hapusnya perjanjian pemakaian tempat...
Post on 23-Feb-2018
243 Views
Preview:
TRANSCRIPT
HAPUSNYA PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DAN PENYELESAIANNYA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
”Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang ”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh:
Saipul Hidayat NIM: 105043201343
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A
1431 H / 2010 M
HAPUSNYA PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DAN PENYELESAIANNYA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
”Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang ”
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (SSy)
Oleh:
Saipul Hidayat NIM: 105043201343
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. Nahrowi, S.H., M.H. NIP: 197003232000031001 NIP: 197302151999031002
K O N S E N T R A S I P E R B A N D I N G A N H U K U M
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul ”HAPUSNYA PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
DAN PENYELASAIANNYA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM
ISLAM (Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang)”, telah
diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Pada tanggal 15 Maret 2010. Skripsi ini
telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (SSy) pada
Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum (PMH) Konsentrasi Perbandingan
Hukum.
Ciputat, 19 Maret 2010
Mengesahkan
Dekan
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.A., M.M.
NIP: 195505051982031012
PANITIA UJIAN 1. Ketua : Dr. H. Ahmad Mukri Aji, M.A. ( .............................. )
NIP: 195703121985031003 2. Sekretaris : Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. ( .............................. ) NIP: 196511191998031002 3. Pembimbing I : Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. ( .............................. ) NIP: 197003232000031001 4. Pembimbing II : Nahrowi, S.H., M.H. ( .............................. ) NIP: 197302151999031002 5. Penguji I : Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H., M.A. ( .............................. ) NIP: 195003061976031001 6. Penguji II : Drs. H. Hamid Farihi, M.A. ( .............................. ) NIP: 195811191986031001
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Ciputat, 19 Maret 2009
Saipul Hidayat
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadlirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan Skripsi dengan judul “Hapusnya Perjanjian Pemakaian Tempat
Usaha Dan Penyelesaiannya Perspektif Hukum Positif Dan Hukum Islam
(Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang)” yang merupakan
kewajiban bagi Mahasiswa Program Sarjana (S-1) Perbandingan Hukum pada
Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi
dan melengkapi sebagian persyaratan dan tugas akhir untuk mencapai Gelar
Sarjana Syariah (SSy).
Dalam penulisan Skripsi ini, sudah barang tentu Penulis banyak
memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, yang
sangat bermanfaat bagi penulisan ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih, yang setulus-tulusnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H., M.H., M.M., selaku Dekan
Fakultas Syari’ah dan Hukum.
2. Bapak Dr. H. Ahmad Mukri Adji, MA. Dan Bapak Dr. H. Ahmad Taufiqi,
M.Ag., selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Perbandingan Madzhab dan
Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Dr. H. Fuad Thohari, M.Ag. dan Bapak Nahrowi, S.H., M.H., selaku
Dosen Pembimbing, yang telah membimbing dan memberikan motivasi yang
besar selama proses penulisan skripsi ini.
i
4. Seluruh Dosen Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum Fakultas
Syari’ah dan Hukum yang dengan penuh keihlasan mencurahkan ilmu
pengetahuannya kepada penulis selama masa studi.
5. Bapak Wayan Darmajaya, S.H., M.H. dan Ibu Yohana Damar Lati, S.H.
selaku Manager PD. Pasar Jaya Area Tebet dan Asisten Manager Divisi
Hukum PD. Pasar Jaya yang telah membantu dalam pemenuhan data
penelitian yang Penulis lakukan.
6. Segenap Pengelola Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidaytullah Jakarta dan
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan fasilitas
kepada penulis dalam mencari data-data pustaka.
7. Ayahanda dan Ibunda, Bapak Mardinis dan Ibu Niswar, yang selalu penulis
hormati dan sayangi, dan yang selalu mencurahkan kasih sayangnya kepada
penulis, memberikan bimbingan, arahan, nasehat dan do’a demi kesuksesan
penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberi limpahan rahmat dan
kasih sayangnya kepada mereka. Amin.
8. Dewan Guru Pesantren Qotrun Nada yang selalu memberikan motivasi dan
dukungan demi kesuksesan dalam penulisan skripsi ini.
9. Rekan-rekan Mahasiswa dan Mahasiswi dari Program Studi Perbandingan
Madzhab dan Hukum angkatan 2005 / 2006 Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Syarif Hidayatullah yang telah memberikan bantuan kepada penulis
dalam masa studi dan dalam menyelesaikan karya ilmiah ini, Sholahuddin,
S.H.I., Arif Hidayat, S.H.I., Rizal Baydillah, S.H.I., Shohibul Munir,
ii
iii
Dzulfikar, Agus Setiawan, Saifuddin Djazuli dan lain-lainya yang tidak
penulis sebutkan satu persatu.
Akhirnya atas jasa dan bantuan semua pihak, baik berupa moril maupun
materil penulis panjatkan do’a semoga Allah SWT membalas dengan imbalan
pahala yang berlipat ganda dan menjadikan sebagai amal jariah yang tidak pernah
surut mengalir pahalanya, dan mudah-mudahan skripsi ini dapat bermanfaat dan
berguna bagi penulis dan semua pihak. Amin.
Ciputat, 18 Maret 2010
Saipul Hidayat Penulis
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah…………………………………………..1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………..6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……………………………………7
D. Metode Penelitian…………………………………………………8
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu…………………………….11
F. Sistematika Penulisan……………………………………………13
BAB II KAJIAN TEORITIS PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT
USAHA
A. Hukum Perdata
1. Hakikat Perjanjian…………………………………………...15
2. Pengertian Hak Pakai………………………………………..17
3. Pengertian Perjanjian Pemakian Tempat Usaha……………..18
4. Syarat Syahnya Perjanjian…………………………………...20
5. Asas-Asas Perjanjian………………………………………...22
6. Hapusnya Perjanjian…………………………………………25
7. Penyelesaian Perselisihan……………………………………27
B. Hukum Islam
1. Pengertian Perjanjian (Akad)………………………………...30
iv
2. Pengertian Ijârah…………………………………………….32
3. Asas-Asas Perjanjian………………………………………...33
4. Syarat Sahnya Perjanjian…………………………………….37
5. Hapusnya/Berakhirnya Perjanjian…………………………...39
6. Penyelesaian Perselisihan……………………………………41
BAB III PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
DI PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA (PD. PASAR
JAYA)
A. Profil Singkat PD. Pasar Jaya
1. Sejarah Singkat PD. Pasar Jaya ……………………………..45
2. Visi dan Misi PD. Pasar Jaya………………………………...46
3. Struktur Organisasi PD. Pasar Jaya………………………….47
B. Perjanjian di PD. Pasar Jaya
1. Bentuk Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha………………..50
2. Hak dan Kewajiban Pemakai Tempat Usaha………………...51
C. Mekanisme Terjadinya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha
di PD. Pasar Jaya………………………………………………....53
v
vi
BAB IV ANALISIS PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
DI PD. PASAR JAYA
A. Penyelesaian Permasalahan Hapusnya Perjanjian Pemakaian
Tempat Usaha antara PD. Pasar Jaya dengan Pihak Pemakai
Tempat Usaha
1. Kronologis Kasus…………………………………………….56
2. Dasar Hukum Kedua Belah Pihak…………………………...58
3. Dasar Pertimbangan Hukum…………………………………62
B. Perbandingan Penyelesaian Perselisihan yang Terjadi pada
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha Menurut Hukum Positif dan
Hukum Islam..................................................................................67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan………………………………………………………77
B. Saran……..………………………………………………………78
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………….79
LAMPIRAN-LAMPIRAN…………………………………………………………82
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sehari-hari, manusia tidak dapat terlepas dari hubungan
dengan manusia lainnya untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Hubungan
tersebut akan berlangsung baik apabila ada penyesuaian kehendak di antara para
pihak yang berhubungan. Untuk mencapai kesesuaian kehendak dalam hubungan
tersebut timbul suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada orang lainnya
untuk melakukan suatu hal. Hal itu dapat berupa kebebasan untuk berbuat sesuatu,
untuk menuntut sesuatu, untuk tidak berbuat sesuatu dan dapat berarti keharusan
untuk menyerahkan sesuatu, untuk berbuat suatu hal, atau untuk tidak bebuat suatu
hal, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Hal ini berarti para pihak tersebut melakukan
suatu perjanjian sehingga antara para pihak timbul hubungan hukum yang dinamakan
perikatan.
Perikatan didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum antara dua orang atau
dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak
lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.1
Perikatan dapat lahir dari perjanjian atau undang-undang seperti yang
disebutkan dalam pasal 1233 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUP Perdata).2
1Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2001), cet.ke-18, h.1.
2
Perikatan yang timbul baik dari perjanjian maupun undang-undang akan melahirkan
hak dan tanggung jawab yang dapat dituntut serta harus dipenuhi oleh masing-masing
pihak. Namun dasar lahirnya perikatan tersebut mempunyai akibat yang berbeda bagi
para pihak. Dalam perikatan yang lahir dari perjanjian akibat yang timbul
dikehendaki oleh para pihak sedangkan dalam perikatan yang lahir dari undang-
undang, akibat hukum yang timbul ditentukan oleh undang-undang yang mungkin
saja tidak dikehendaki para pihak.
Perjanjian sebagaimana yang diungkapakan M. Yahya Harahap adalah suatu
hubungan hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang
memberikan kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.3
Dalam Islam istilah perjanjian lebih dikenal dengan kata akad, yaitu pertalian
îjâb dan qâbûl yang dibenarkan oleh syara’ yang menimbulkan akibat hukum
terhadap objeknya.4 Ajaran Islam mengharuskan kepada kedua belah pihak yang
melakukan suatu akad untuk memenuhi akad tersebut. Ini sesuai dengan firman
Allah SWT dalam surat al-Maidah (5) ayat 1 yang berbunyi:
☺
2Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek),
(Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2005), cet. ke-36, h.323. 3M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986), cet. ke-2, h.6. 4Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta: Kencana 2007), cet. ke-3,
h. 46.
3
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Maidah/5: 1)
Seiring perkembangan zaman, perjanjian tertulis (kontrak) banyak diterapkan
oleh orang dan atau badan usaha untuk melaksanakan berbagai transaksi dengan
seseorang atau dan badan usaha lainya. Ini terjadi karena bisa menjamin kedua belah
pihak yang melakukan transaksi melaksanakan apa yang diperjanjikan. Terkait
dengan hal tersebut Perusahaan Daerah Pasar Jaya (yang selanjutnya disingkat PD.
Pasar Jaya) menerapkan perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan Pemakai tempat
usaha (pedagang), yang dinamakan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU).
PD. Pasar Jaya merupakan perusahaan daerah yang dimiliki DKI Jakarta
yang bergerak di bidang perpasaran terutama pasar tradisional. Sesuai Peraturan
Daerah Provinsi DKI Jakarta No.12 Tahun 1999 jo Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta No. 2 Tahun 2009, PD. Pasar Jaya mempunyai tugas pokok melaksanakan
pelayanan umum di bidang perpasaran, membina pedagang pasar, dan ikut
membantu stabilitas harga dan kelancaran distribusi barang dan jasa di pasar.5
Dalam menyediakan fasilitas tempat usaha PD. Pasar jaya memberikan harga
yang variatif sesuai lokasi tempat yang diinginkan. Sebelum diterapkannya perjanjian
5Administrator PD. Pasar Jaya, “Tugas Pokok PD. Pasar Jaya” diakses 24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.
4
tertulis yaitu perjanjian pemakaian tempat usaha (PPTU) dan sertifikat hak
pemakaian tempat usaha (SHPTU) sebagai bukti kepemilikan tempat PD. Pasar Jaya
hanya memberikan surat izin pemakaian tempat usaha (SIPTU) tanpa didahului
perjanjian tertulis antara kedua belah pihak, dengan jangka waktu pemakaian tempat
selama-lamanya 20 tahun sesuai ketentuan Pasal 8 dan Pasal 9 ayat 2 Perda No. 6
tahun 1992. Meskipun belum diterapkannya perjanjian pemakaian tempat usaha
PD. Pasar Jaya dan pemakai tempat sudah bersepakat untuk saling memberikan
prestasi yaitu pembayaran atas hak pemakaian tempat usaha oleh pemakai tempat
usaha kepada PD. Pasar Jaya dan pemberian hak pemakaian tempat usaha oleh
PD. Pasar Jaya kepada Pemakai tempat usaha. peristiwa ini dapat dianalogikan
kepada sebuah perjanjian (kontrak) karena pada peristiwa tersebut telah terpenuhi
syarat-syarat sahnya perjanjian.
Seiring berjalannya waktu praktek pelaksanaan pemakaian tempat usaha,
salah satu pasar yang dikelola PD. Pasar Jaya, tepatnya di Area Tanah Abang
mengalami kebakaran yang mengakibatkan sebagian tempat usaha tidak dapat
beroperasi. Kejadian ini berlangsung setelah hak pemakaian berlangsung selama 15
tahun dan masih menyisakan 5 tahun lagi. Sesuai keputusan Direksi PD. Pasar Jaya
No. 4.268 tanggal 29 Desember, bahwa hak pemakaian tempat yang dimiliki pemakai
tempat usaha dinyatakan berakhir/batal demi hukum bila terjadi suatu musibah seperti
bencana alam baik berupa tanah longsor, gempa bumi dan atau kebakaran sehingga
tempat usaha tidak berfungsi sebagaimana mestinya secara total.
5
Keputusan ini diperkuat dengan ketentuan KUH Perdata Pasal 1381 tentang
hapusnya perikatan (perjanjian), bahwa salah satu sebab hapusnya perjanjian karena
musnhanya barang yang terutang, yaitu jika suatu barang tertentu yang dijadikan
objek perjanjian dalam hal ini tempat usaha musnah, tidak dapat diperdagangkan,
atau hilang, hapuslah perikatannya kecuali kalau hal tersebut terjadi karena kesalahan
debitur telah lalai menyerahkan sesuai dengan waktu yang telah ditentukan.6
Setelah kejadian ini, PD. Pasar Jaya melakukan peremajaan kembali
bangunan sehingga bisa berfungsi sebagaimana mestinya dengan membongkar
bangunan tersebut. Namun tidak hanya yang terkena kebakaran yang dibongkar tetapi
yang terkena dampak kebakaran juga ikut dibongkar, sehingga menimbulkan polemik
antara PD. Pasar Jaya dengan pemakai tempat usaha yang tidak terkena kebakaran
yang masih menyisakan 5 tahun waktu pemakaian yang mengakibatkan kerugian
materil bagi pedagang yang tak terkena kebakaran. Ini dilakukan PD. Pasar Jaya
dengan alasan kadar kualitas bangunan telah menurun yang telah diteliti oleh ahlinya
dan dikhawatirkan akan timbul kejadian yang tidak diinginkan dengan menurunnya
kualitas bangunan.7
Berdasarkan kejadian tersebut, PD. Pasar Jaya melakukan perbaikan
di bidang pelayanan tempat usaha khususnya ketentuan-ketentuan mengenai hak dan
kewajiban antara PD. Pasar Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha dengan menerbitkan
6Ahmad Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007) h.105. 7Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi,
Jakarta , 29 Januari 2010.
6
perjanjian tertulis yaitu perjanjian pemakaian tempat usaha (PPTU), di mana
perjanjian ini telah berlaku setelah kejadian tersebut.
Dengan latar belakang di atas penulis menulis skripsi ini dengan judul:
HAPUSNYA PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA DAN
PENYELESAIANNYA PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
( Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang).
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Agar pembahasan dalam skripsi ini tidak meluas, penulis memfokuskan
bahasan skripsi ini yang berkisar pada hapusnya perjanjian pemakaian tempat
usaha dan penyelesaiannya yang diatur PD. Pasar Jaya perspektif hukum Positif
dan hukum Islam dilatar belakangi kasus yang terjadi di Perusahaan Daerah Pasar
Jaya Area Tanah Abang.
2. Perumusan Masalah
Masalah dalam skripsi ini penulis rumuskan sebgaimana berikut:
“Di antara ketentuan Pasal 1381 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Per.) tentang hapusnya perikatan (perjanjian) adalah hapusnya perikatan karena
musnahnya barang yang terutang (objek yang diperjanjikan). Namun pada
kenyataannya tidak musnahnya barang yang terutang (objek yang diperjanjikan)
dinyatakan hapus perikatannya.
7
Dari rumusan masalah di atas penulis merinci dalam bentuk beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
a. Bagaimana mekanisme perjanjian pemakaian tempat usaha di PD. Pasar Jaya?
b. Bagaimana penyelesaian permasalahan hapusnya perjanjian pemakaian
tempat usaha antara PD. Pasar Jaya dengan pihak Pemakai tempat usaha?
c. Bagaimana Pandangan Hukum Positif dan Hukum Islam mengenai
penyelesaian perselisihan antara kedua belah pihak yang berselisih dalam
perjanjian pemakaian tempat usaha?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui konsep perjanjian pemakaian tempat usaha menurut
Hukum Positif dan Hukum Islam.
b. Untuk mengetahui mekanisme perjanjian pemakaian tempat usaha yang diatur
PD. Pasar Jaya.
c. Untuk mengetahui dan menganalis hapusnya perjanjian pemakaian tempat
usaha dan penyelesaiannya sesuai ketentuan yang diatur PD. Pasar Jaya.
2. Manfaat Penelitian
Penelitian ini, diharapkan dapat memberikan manfaat, yaitu:
1. Manfaat akademis
8
a. Penelitian ini dapat menciptakan suatu penemuan tentang hal-hal yang
berhubungan dengan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu hukum.
b. Penelitian ini dapat memberikan sumbangan khazanah pengetahuan
kepada para mahasiswa dalam masalah perjanjian pemakaian tempat
usaha.
2. Manfaat praktis
a. Penelitian ini sekiranya dapat memberikan wawasan bagi para pemakai
tempat usaha, khususnya para pedagang yang terikat perjanjian dengan
PD. Pasar Jaya
b. Penelitian ini sekiranya berguna bagi para pemakai tempat usaha dalam
mengetahui dan memahami isi perjanjian antara PD. Pasar Jaya dan
Pemakai tempat usaha dalam hal ini pedagang.
D. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh penulis dalam
mengumpulkan dan mengolah data penelitian.8
1. Jenis Penelitian
Penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah deskriptif yang
menggambarkan data informasi berdasarkan pada data yang diperoleh di
8Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 1998). cet. ke-11, ed. revisi ke-4, h.151.
9
lapangan.9 Metode kualitatif, menurut Boy dan Taylor (1975) merupakan
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis
atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati10. Serta metode
komperatif, yaitu metode yang mengkomparasikan antara Hukum Positif dan
Hukum Islam yang berlaku dalam menelaah masalah yang sedang diteliti.
2. Sumber Data
Sumber data yang penulis jadikan sebagai bahan untuk memudahkan
dalam penyelesaian masalah penelitian dengan menggunakan data-data sebagai
berikut:
a. Data Primer
Data utama yang dijadikan acuan pembahasan sedangkan data acuan
tersebut adalah Perjanjian pemakaian tempat usaha yang diatur PD. Pasar
Jaya, KUH-Perdata, Peraturan Daerah DKI Jakrata No. 6 Tahun 1992 jo
Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2009, keputusan-keputusan
Direksi PD. Pasar Jaya sebagai sumber hukum positif, serta Al-Qur’an
sebagai literatur dari hukum Islam.
b. Data Sekunder
Data-data sekunder yang penulis gunakan terdiri dari buku-buku
hukum, artikel maupun data dari internet (website) yang ada kolerasinya
9Suharsimi Arikunto, Manajemen Penelitian, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993), cet. ke-2,
h.309. 10Lexy J. Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya,
2001), h.3.
10
dengan materi yang menjadi pokok masalah yang dibahas dalam skripsi ini
sehingga memudahkan bagi penulis untuk menganalisa bagian-bagian yang
menjadi pembahasan dalam skripsi ini.
3. Teknik Pengumpulan Data
Dalam rangka mengumpulkan, mengolah dan menyajikan bahan-bahan
yang diperlukan, maka dilakukan pengolahan data dengan cara sebagai berikut:
a. Studi Pustaka
Melalui studi pustaka ini dikumpulkan data yang berhubungan dengan
penulisan skripsi ini yaitu literatur-literatur, buku-buku perpustakaan, tulisan-
tulisan sebagai dasar teori dalam pembahasan masalah.
b. Penelitian Lapangan
Melalui penelitian ini, didapatkan data-data mengenai pelaksanaan
perjanjian pemakaian tempat usaha yang dilaksanakan oleh perusahaan serta
melakukan wawancara dengan pihak-pihak yang mengerti dan menguasai
tentang prosedur pelaksanaan perjanjian pemakaian tempat usaha yaitu dari
pejabat instansi perusahaan daerah Pasar Jaya.
4. Metode Analisis Data
Metode analisis data yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Alasan
penggunaan metode ini ialah karena data kualitatif berdasarkan metode data yang
didapat, oleh karenanya dapat mengolah dari berbagai teknik pengumpulan data.
Penggunaan metode ini menyajikan suatu kesimpulan dalam bentuk uraian
mengenai kualitas data.
11
Proses analisis data atau pengolahan data dimulai dengan menelaah
seluruh data yang diperoleh dari berbagai sumber, yaitu dari fakta-fakta
pengamatan di lapangan, wawancara dan dokumen yang tersedia.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini mengacu pada buku pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syari’ah dan Hukum Iniveristas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta 2007.
E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
1. Buku yang berjudul “Hapusnya Perikatan”, yang ditulis oleh Gunawan Widjaja
dan Kartini Muljadi, PT. Raja Grafindo Persada 2003, buku ini membahas tentang
konsep perikatan dan perjanjian, khususnya hapusnya perikatan yang diatur dalam
KUH Perdata dan seberapa jauh tentang pembatalan perjanjian oleh para pihak
dalam sebuah perjanjian sebelum jangka waktunya berakhir, serta hak-hak yang
diberikan dan dimiliki oleh pihak tertentu untuk membatalkan suatu perjanjian
yang merugikan kepentingannya.
Persamaan dengan skripsi yang Penulis angkat, konsep teori hapusnya
perikatan yang dibahas buku ini sama dengan teori hapusnya perjanjian yang
penulis bahas dalam skripsi yang berujuk pada ketentuan KUH Perdata. Adapun
kaitannya perjanjian dengan perikatan adalah akibat diterapkannya perjanjian
timbulah perikatan. Adapun perbedaan dengan skripsi yang penulis angkat, objek
bahasan dalam buku ini umum untuk semua perjanjian sedangkan dalam bahasan
12
skripsi ini objek bahasan fokus pada hapusnya perjanjian pemakaian tempat
berdasarkan yang terjadi di lapangan, selain itu dijelaskan pula penyelesaian
perselisihan yang timbul akibat perjanjian tersebut.
2. Skripsi yang berjudul “Perjanjian Sewa Kendaraan Antara PT. Medco Power
Indonesia Dengan PT. Pustaka Prima Transport Dalam Perspektif Hukum
Islam dan Hukum Positif”, yang ditulis oleh Citra Mayasari (202064101224)
SJM tahun 1428 H/2007 M. Skripsi ini menjelaskan Perjanjian Sewa kendaraan
antara dua perusahaan PT. Medco Power Indonesia dengan PT. Pustaka Prima
Transport yaitu yang didalamnya dibahas konsep perjanjiannya dan analisis
perjanjian tersebut dan membandingkannya dengan tinjauan hukum Islam dan
Positif.
Persamaan dengan skripsi yang penulis angkat, konsep teori perjanjian
yang dibahas skripsi ini sama dengan skripsi yang penulis angkat, baik syarat
sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian dan hapusnya perjanjian yang
berlandaskan KUH Perdata, selain itu dalam skripsi ini terdapat studi
perbandingan antara hukum Positif dan hukum Islam, hal ini sama dengan skripsi
yang penulis angkat. Adapun perbedaan dengan skripsi yang penulis angkat,
objek kajian yang dibahas dalam skripsi ini adalah perjanjian sewa kendaraan
sedangkan skripsi yang penulis angkat adalah perjanjian pemakaian tempat usaha,
selain itu bahasan dalam skripsi ini tidak dijelaskan pola penyelesaian
perselisihan yang terjadi pada perjanjian tersebut, sedangkan skripsi yang penulis
13
angkat dijelaskan pola penyelesaian perselisihan yang terjadi pada perjanjian
pemakaian tempat usaha.
Dari skripsi dan literatur yang membahas tentang perjanjian di atas, fokus
bahasan yang penulis angkat dalam skripsi ini berbeda dengan kajian terdahulu
tersebut, yaitu tentang Hapusnya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dan
Penyelesaiannya (Studi Kasus Perusahaan Daerah Pasar Jaya Area Tanah Abang).
Dengan demikian melalui studi review yang penulis lakukan, penulis yakin
bahwa judul skripsi yang diangkat belum ada yang membahas khususnya di
lingkungan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Dalam penelitian ini penulis memberikan suatu gambaran tentang bagian-
bagian dalam susunan penelitian sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan. Dalam uraian bab ini berisi tentang latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian,
metode penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan sistematika
penulisan.
Bab II Tinjauan Teoritis Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha. Dalam uraian bab
ini berisi tentang konsep perjanjian pemakaian tempat usaha menurut
hukum positif dan hukum Islam. Dalam hukum Positif tercakup di
dalamnya hakikat perjanjian, pengertian hak pakai, pengertian perjanjian
pemakaian tempat usaha, syarat sahnya perjanjian, asas-asas perjanjian,
14
hapusnya perjanjian dan penyelesaian perselisihan dalam perjanjian.
Adapun hukum Islam tercakup didalamnya pengertian perjanjian (akad),
pengertian ijârah, asas-asas perjanjian, syarat sahnya perjanjian, hapusnya
perjanjian, dan penyelesaian perselisihan dalam perjanjian.
Bab III Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha di Perusahaan Daerah Pasar Jaya.
Dalam uraian bab ini berisi tentang porfil singkat PD. Pasar Jaya yang
mencakup sejarah, visi dan misi, serta struktur Organisasi PD. Pasar Jaya
dan pembahasan bentuk perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya, hak
dan kewajiban Pemakai tempat usaha serta mekanisme terjadinya
Perjanjian pemakian tempat usaha .
Bab IV Analisis Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha. Dalam uraian bab ini berisi
tentang penyelesaian permasalahan hapusnya perjanjian pemakaian
tempat usaha antara PD. Pasar Jaya dengan pihak Pemakai tempat usaha,
serta analisis hukum Positif dan hukum Islam mengenai penyelesaian
perselisihan yang terjadi pada Perjanjian pemakaian tempat usaha.
Bab V Penutup. Dalam uraian bab ini berisi tentang kesimpulan dari seluruh hasil
pembahasan penelitian yang dilakukan dan saran-saran.
15
BAB II
KAJIAN TEORITIS
PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
A. Hukum Perdata
1. Hakikat Perjanjian
Perjanjian jika dilihat dari wujudnya adalah merupakan rangkai kata-
kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan yang
diucapkan atau dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pihak-pihak yang
membuat perjanjian. Dalam perjanjian tercantum hak-hak dan kewajiban-
kewajiban para pihak yang membuatnya.
Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya
apa yang merupakan kewajiban terhadap siapa perjanjian itu dibuat. Oleh
karena itu, melaksanakan perjanjian pada hakikatnya adalah berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan orang lain yakni pihak yang
berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut.
Hukum perjanjian diatur pada buku III KUH Perdata. Dalam buku III
KUH Perdata, kata “persetujuan” digunakan untuk menyatakan perjanjian.
Pasal 1313 KUH Perdata menyebutkan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu
16
perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih.” 1
Pengertian yang diberikan pasal 1313 KUH Perdata ini, hanya
mengenai perjanjian sepihak saja, namun juga dikatakan luas karena mencakup
janji kawin.
Dalam mendefinisikan perjanjian, belum ada keseragaman dari para
sarjana, dan juga belum terdapat suatu kesepakatan tentang rumusan yang
tepat. Karenanya untuk lebih mudah memahami dan mengerti apa yang
dimaksud dengan perjanjian (verbintenis), ada baiknya dikemukakan beberapa
definisi perjanjian yang diberikan oleh para ahli sarjana hukum.
Menurut K.R.M.T. Tirtodiningrat, Perjanjian adalah suatu perbuatan
hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk
menimbulkan akibat-akibat hukum yang diperkenankan oleh undang-undang.2
Begitu pula Wirjono Prodjodikoro, memberikan rumusan sebagai berikut:
“Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai benda antara dua pihak
dalam mana satu pihak berjanji untuk melakukan suatu hal atau tidak
melakukan sesuatu hal. Sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan
janji itu.”3
1Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata (Bandung: PT. Alumni,
2004), h.26. 2K.R.M.T. Tirtodiningrat, Ichtiar Hukum Perdata dan Dagang (Bandung: Sumur
Bandung, 1981), h.9.
17
Menurut Subekti perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang
berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang tua saling berjanji untuk
melaksanakan suatu hal.4
Menurut M. Yahya Harahap perjanjian adalah suatu hubungan hukum
kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan kekuatan
hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan
pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.5
Dari definisi atau rumusan yang dikemukakan para sarjana di atas dapat
disimpulkan bahwa perjanjian mengandung pengertian, sebagai suatu
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan atau harta benda antara dua
orang atau lebih yang memberikan prestasi pada suatu pihak dan sekaligus
mewajibkan pihak lain dalm memenuhi prestasinya.
2. Pengertian Hak Pakai
Hak Pakai sesuai ketentuan Pasal 41 Undang-Undang Pokok Agraria
(UUPA) adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah
yang langsung dikuasai oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi
wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam surat keputusan surat
3Wirdjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, (Bandung: Sumur Bandung, 1981),
h.9. 4Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2001), cet ke-18, h.1. 5M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, (Bandung: Alumni, 1986) cet. ke-2, h.6.
18
pemberian hak (tanah negara) atau perjanjian dengan pemiliknya yang bukan
sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (tanah milik orang lain).6
Adapun sifat dan ciri-ciri hak pakai itu adalah:7
1. Termasuk hak yang harus didaftar menurut PP 10/1961, apabila jangka
waktunya melebihi 5 tahun (Pasal 9 PMA No. 9/1965);
2. Pengalihan hak pakai tidak merupakan unsur mutlak. Hak pakai dapat
diberikan dengan ketentuan atau dengan perjanjian bahwa jika pemegang
hak pakai tersebut meninggal, hak pakai itu tidak jatuh kepada ahli waris
pemegang hak pakai akan tetapi batal dengan sendirinya;
3. Tidak dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan,
tetapi khusus Hak Pakai di atas tanah Negara dapat difiduciakan menurut
UU 16/1985;
4. Dapat dialihkan;
5. Dapat dilepaskan;
6. Dapat diberikan dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian
jasa berupa apapun (Pasal 41 (2) UUPA).
3. Pengertian Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU) terdiri dari dua istilah
yaitu Perjanjian dan Hak Pemakaian Tempat Usaha. Perjanjian sebagaimana
6Arie S. Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1993), h.52. 7Ibid.
19
yang telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya, adalah suatu hubungan
hukum kekayaan harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberikan
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.8 Adapun hak
pemakaian tempat usaha sebagaiman yang diatur dalam Peraturan Daerah DKI
Jakarta No. 3 tahun 2009 tentang Pengelolaan Pasar Pasal 1 butir 21: “Hak
Pemakaian Tempat Usaha adalah hak memakai tempat di pasar untuk jangka
waktu tertentu dengan kewajiban membayar hak pemakaian tempat usaha di
pasar dan kewajiban yang ditetapkan oleh direksi.”
Adapun definisi Perjanjian pemakaian tempat usaha adalah Perjanjian
antara Perusahaan Daerah Pasar Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha yang
didalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah pihak yang berkaitan dengan
tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi apabila tidak
dilaksanakan.9
Penerapan perjanjian pemakaian tempat usaha berlandaskan hukum:
KUH Perdata di dalam Buku Ketiga tentang Perikatan, Peraturan Daerah DKI
Jakarta No.06 Tahun 1992 jo. Peraturan Daerah DKI Jakarta No. 3 Tahun 2009
tentang Pengelolaan Area Pasar dan Keputusan Direksi No. 450 Tahun 2003.10
8Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, h.6. 9Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara
Pribadi, Jakarta, 29 Januari 2010.
20
5. Syarat Sahnya Perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat seperti
ditegaskan oleh pasal 1320 KUH Perdata. Syarat-syarat tersebut adalah:
a. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Dengan sepakat atau juga dinamakan perizinan, dimaksudkan
bahwa subyek yang mengadakan perjanjian itu harus bersepakat, setuju
atau seia-sekata mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang
diadakan itu. Apa yang dikehendakai oleh pihak yang satu, juga
dikehendaki oleh pihak yang lain.11 Namun kesepakatan itu tidak dianggap
sah sebagai suatu kesepakatan, jika kesepakatan itu diberikan karena: 1)
Salah pengertian (dwaling) atau kekhilafan, 2) Paksaan (dwang), dan 3)
Penipuan (bedrog).
b. Kecakapan untuk Membuat Suatu Perjanjian
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum,
pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat
pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak
cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1) Orang yang belum dewasa;
10Wayan Darmajaya, Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 27 Januari 2010. 11Subekti, Hukum Perjanjian, h.17.
21
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang,
dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang
membuat perjanjian-perjanjian tertentu.12
c. Suatu Hal atau Objek Tertentu
Suatu perjanjian, obyeknya harus jelas dan terang. Jika pokok
perjanjian obyeknya atau prestasinya kabur, tidak jelas, sulit bahkan tidak
mungkin dilaksanakan, maka perjanjian itu batal.13 Pasal 1332
menyebutkan “Hanya benda yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok persetujuan”. Hal ini berarti segala sesuatu yang menjadi
obyek hukum yang dapat dihaki dapat dijadikan obyek perikatan. Benda ini
bila berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, yaitu berupa hak.14
d. Suatu sebab yang halal
Subekti mengemukakan bahwa “Sebab atau causa dari suatu
perjanjian adalah isi perjanjian itu sendiri.”15 Wirjono Prodjodikoro
mengemukakan bahwa “Yang dimaksud sebab atau causa dalam perjanjian
adalah isi dan tujuan persetujuan yang menyebabkan adanya persetujuan
12Ibid, h.17. 13Kama Rusdiana dan Jaenal Aripin, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), hal.111. 14Ibid., h.112. 15Subekti, Hukum Perjanjian, h.20.
22
itu.”16 Namun isi dan tujuan perjanjian yang melahirkan perjanjian itu tidak
boleh bertentangan dengan undang-undang, kepentingan umum dan nilai
kesusilaan. Dengan kata lain sebab atau causa yang melahirkan perjanjian
adalah sebab atau causa yang sah atau halal.
6. Asas-Asas Perjanjian
Dalam suatu perjanjian terdapat asas-asas yang berpengaruh pada suatu
perjanjian. Ketika asas ini tidak terpenuhi maka akan mengakibatkan batal atau
tidak sahnya perjanjian yang dibuat. Adapun asas-asas itu adalah:
a. Asas Kebebasan Berkontrak
Setiap orang bebas mengadakan perjanjian apa saja, baik yang
sudah diatur atau belum diatur dalam undang-undang. Kebebasan ini
dibatasi oleh tiga hal, yaitu tidak betentangan dengan undang-undang, tidak
bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan
kesusilaan. 17
b. Asas Pelengkap (aanvullend recht)
Asas ini mengandung arti bahwa ketentuan-ketentuan undang-
undang boleh tidak diikuti apabila para pihak menghendaki dan membuat
ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari ketentuan Undang-
16Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perjanjian, h.35. 17Rusdiana, Perbandingan Hukum Perdata, h.107.
23
undang. Tetapi apabila tidak ditentukan lain dalam perjanjian yang mereka
buat, maka berlakulah ketentuan undang-undang.18
c. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme dapat disimpulkan dalam pasal 1320 ayat (1)
KUH Perdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya
perjanjian yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Asas
konsensualisme merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada
umumnya tidak diadakan formal, tetapi cukup dengan adanya kesepakatan
kedua belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak
dan pernyataan yang dibuat kedua belah pihak.19
d. Asas Personalia
Asas ini diatur dan dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 1351
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi: “Pada umumnya
tak seorang pun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji selain untuk dirinya sendiri”. Dari rumusan
tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu perjanjian yang dibuat
oleh seseorang dalam kapasitasnya sebagai individu, subyek hukum
pribadi, hanya akan berlaku dan mengikat untuk dirinya sendiri.20
18Ibid. 19Salim H.S., Hukum Kontrak Teori &Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2003) cet.ke-4, h.10.
24
e. Asas Persamaan Hukum
Asas ini menempatkan para pihak didalam persamaan derajat, tidak
ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan,
kekuasaan, jabatan dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat
adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati
satu sama lain sebagai manusia ciptaan Tuhan.21
f. Perjanjian Harus Dilakasanakan dengan Iktikad Baik
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
menyatakan bahwa “Perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan
iktikad baik.” Rumusan tersebut memberikan arti pada kita semua bahwa
sebagai sesuatu yang disepakati dan disetujui oleh para pihak, pelaksanaan
prestasi dalam tiap-tiap perjanjian harus dihormati sepenuhnya, sesuai
dengan kehendak para pihak pada saat perjanjian ditutup.22
7. Hapusnya Perjanjian
Dalam KUH Perdata tidak diatur secara khusus tetntang hapusnya
perjanjian, tetapi yang diatur dalam Bab IV Buku III KUH Perdata hanya
hapusnya perikatan-perikatan. Walaupun demikian, ketentuan tentang
20Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian, (Jakarta:
PT. Raja Garfindo Persada, 2004) cet. ke-2, h.15. 21Mariam Darus Badrulzaman, et. al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001), h.88. 22Gunawan Widjaja, Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam Hukum
Perdata, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h.283.
25
hapusnya perikatan tersebut juga merupakan ketentuan hapusnya perjanjian
karena perikatan yang dimaksud dalam Bab IV Buku III KUH Perdata tersebut
adalah perikatan pada umumnya baik itu lahir dari perjanjian maupun yang
lahir dari perbuatan melanggar hukum.
Dari sepuluh ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata tentang hapusnya
perikatan-perikatan. PD. Pasar Jaya hanya menerapkan lima dari ketentuan-
ketentuan yang diatur Pasal tersebut tentang hapusnya perjanjian pemakaian
tempat usaha. berdasarkan ketentuan Pasal 1381 KUH Perdata, hapusnya
perjanjian pemakaian tempat usaha karena:
a. Pembaharuan Utang atau Novasi23
Pembaharuan utang dapat terjadi jika si berutang dengan
persetujuan si berpiutang digantikan oleh seorang yang lain yang
menyanggupi untuk membayar utang itu. Disini ada perjanjian baru yang
mengahapuskan utang yang lama dengan timbulnya suatu perikatan baru,
antara si berpiutang dengan orang yang baru itu.
b. Musnahnya Barang yang Terutang24
Musnahnya barang terutang adalah hancurnya, tidak dapat
diperdagangkan, atau hilangnya barang yang terhutang, sehingga tidak
diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada atau tidak ada.
23Subekti, Hukum Perjanjian, h.70. 24Ibid., h.198.
26
Syaratnya, bahwa musnahnya barang itu di luar kesalahan debitor dan
sebelumnya dinyatakan lalai oleh kreditor.
c. Kebatalan atau Pembatalan25
Kebatalan atau batal demi hukum suatu kontrak terjadi jika
perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat objektif dari syarat sahnya
perjanjian (kontrak) yaitu “suatu hal tertentu” dan “sebab yang halal.” Jadi
kalau kontrak itu objeknya tidak jelas atau bertentangan dengan undang-
undang ketertiban umum atau kesusilaan, kontrak tersebut batal demi
hukum.
9. Berlakunya Suatu Syarat Batal26
Syarat batal adalah suatu syarat yang apabila terpenuhi,
menghentikan perjanjian dan membawa segala sesuatu kembali pada
keadaan semula seolah-olah tidak pernah terjadi perjanjian, demikianlah
pasal 1265 KUHPer. menjelaskan. Dengan begitu, syarat batal itu
mewajibkan si berhutang untuk mengembalikan apa yang telah
diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksud itu terjadi.
25Ahmadi Miru, Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2007), h.107. 26Subekti, Hukum Perjanjian, h.77.
27
10. Daluwarsa atau Lewat Waktu 27
Pasal 1946 KUHPer. menjelaskan, yang dinamakan daluwarsa atau
lewat waktu ialah “ suatu upaya untuk memperoleh sesuatu atau untuk
dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan
atas syarat-syarat yang ditentukan oleh Undang-Undang”. Daluwarsa untuk
memperoleh hak milik atas suatu barang dinamakan daluwarsa
“acquasitif”, sedangkan daluwarsa untuk dibebaskan dari suatu periaktan
(atau suatu tuntutan) dinamakan daluwarsa “extincif”.
8. Penyelesaian Perselisihan
Pada dasarnya setiap perjanjian yang dibuat para pihak yang berjanji
harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau i’tikad baik, namun dalam
kenyataannya perjanjian yang dibuatnya sering kali dilanggar. Dan pelanggaran
inilah yang membuat terjadinya sengketa antara kedua belah pihak. Untuk
penyelesaian perselisihan tersebut dibutuhkan pola dalam menyelesaiakannya.
Pola penyelesaian perselisihan ini dibagi menjadi 2 macam yaitu (1) melalui
pengadilan (litigasi), dan alternatif penyelesaian sengketa.28
a. Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan (Litigasi)
1) Penyelesaian perselisihan (sengketa) melalui pengadilan (litigasi)
merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan yang
27Ibid. 28Salim H.S. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2006) cet. ke-4, h.140.
28
menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan
memberikan kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang
berbeda.
Proses (pengadilan) litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa
dan persoalan-persoalan sehingga para hakim atau para pengambil
keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan. Di dalam
pengandilan terdapat proses yang penting dalam menetapkan suatu
keputusan yaitu pembuktian dan alat-alat pembuktian tersebut sesuai
ketentuan KUH Perdata Pasal 1866 adalah: a) bukti tulisan (surat);
b) bukti dengan saksi-saksi; c) bukti persangkaan; d) Bukti pengakuan;
e) bukti sumpah.
b. Penyelesaian Perselisihan Melalui Alternatif Penyelesaian Sengketa (ADR)
Penyelesaian Perselisihan melalui alternatif penyelesaian sengketa
(ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan
dengan cara arbitrase dan atau konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi,
atau penilaian ahli ini sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan
Penyelesaian Sengketa. Dari kelima pola penyelesaian sengketa diluar
pengadilan peneliti hanya membahas sebagian dari pola penyelesaian
sengketa ini, yaitu :
29
1. Negosiasi 29
Negosiasi adalah penyelesaian sengketa secara langsung antara
pihak atau wakil mereka, dalam penyelesaian melalui negosiasi para
pihak menggunakan cara persuasive dan kompromi guna
menyelesaikan sengketa diantara mereka tanpa bantuan pihak ketiga.
2. Mediasi30
Mediasi adalah penggunaan pihak ketiga yang netral (mediator)
untuk membantu para pihak menegosiasikan suatu penyelesaiaan.
Model ini merupakan perluasan dari proses negosiasi. Berbeda dengan
arbiter seorang mediator tidak berwenang untuk memaksakan suatu
penyelesaiaan kepada para pihak yang bersengketa. Sebaliknya
mediator berupaya menciptakan suatu kondisi dimana para pihak dapat
mencapai suatu penyelesaiaan sendiri.
3. Konsiliasi
Menurut Oppenheim, konsiliasi adalah suatu proses
penylesaian sengketa dengan menyerahkannya kepada suatu komisi
orang-orang yang bertugas menguraikan/menjelaskan fakta-fakta dan
(biasanya setelah mendengar para pihak dan mengupayakan agar
29Lalu Husni, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2003), cet. ke-4, h. 129. 30 Ibid., h.130.
30
mereka mencapai suatu kesepakatan), membuat usulan-usulan suatu
penyelesaian, namun keputusan tersebut tidak mengikat.31
B. Hukum Islam
1. Pengertian Perjanjian (Akad)
Istilah “perjanjian” dalam hukum Indonesia disebut “akad” dalam
hukum Islam. Kata akad berasal dari kata al-‘aqd, yang berarti mengikat,
menyambung atau menghubungkan (al-rabt).32 Secara terminologi, akad
memiliki arti umum (al-ma’na al-âm) dan khusus (al-ma’na al-khâs). Adapun
arti umum dari akad adalah “segala sesuatu yang dikehendaki seseorang untuk
dikerjakan, baik yang muncul dari kehendaknya sendiri, seperti kehendak
untuk wakaf, membebaskan hutang, thalak, dan sumpah, maupun yang
membutuhkan pada kehendak dua pihak dalam melakukannya, seperti jual beli,
sewa menyewa, perwakilan, dan gadai/jaminan. Sedangkan arti khusus (al-
ma’na al-khâs) akad adalah Pertalian atau keterikatan antara îjâb dan qabul
sesuai dengan kehendak syarî’ah (Allah dan Rasul-Nya) yang menimbulkan
akibat hukum pada obyek akad.33
31Salim, Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, h.155. 32Syamsul Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007), h.68.
33Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1. h.60.
31
Îjâb dan qabûl dimaksudkan untuk menunjukan adanya keinginan dan
kerelaan timbal balik para pihak yang bersangkutan terhadap isi akad. Oleh
karena itu, îjâb dan qabûl menimbulkan hak dan kewajiban atas masing-masing
pihak secara timbal balik. Îjâb adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi
perikatan yang diinginkan, sedangkan qabûl adalah pernyataan pihak kedua
untuk menerimanya.34
Pencantuman kata “sesuai dengan kehendak syarî’ah” dalam definisi di
atas, maksudnya adalah bahwa setiap akad yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih tidak dipandang sah jika tidak sejalan dengan kehendak atau ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan oleh al-syâri’ (Allah dan Rasul-Nya) misalnya
akad untuk melakukan transaksi riba atau transaksi lain yang dilarang. Apabila
ijâb dan qabûl telah dilakukan sesuai dengan kehendak syara’, maka munculah
akibat hukum dari perjanjian tersebut.35
2. Pengertian Ijârah
Menurut Ulama Hanafi ijârah adalah transaksi terhadap suatu menfaat
dengan imbalan. Menurut Ulama Syafi’i adalah transaksi terhadap suatu
manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan
imbalan tertentu. Sedangkan, menurut Ulama Maliki dan Hambali adalah
pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan dalam waktu tertentu dengan suatu
34Ibid. 35Ibid.
32
imabalan. Berdasarkan beberapa definisi tersebut, akad ijârah tidak boleh
dibatasi oleh syarat. Akad ijârah itu hanya ditujukan kepada adanya menfaat
pada barang maupun bersifat jasa.36
Dasar hukum dibolehkanya akad ijârah terdapat dalam Al-Qur’an yaitu
pada surat al-Qasas (28) ayat 26 yang berbunyi:
☺
)26: 28/قصصال(
Artinya: Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: "Ya bapakku ambillah
ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), Karena Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang Kuat lagi dapat dipercaya" (al-Qasas/28: 26).
Ijârah yang mempunyai status hukum boleh ini, mempunyai syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk mencapai kebolehannya. Adapun syarat-syarat
tersebut adalah:37
1. Harus diketahui kegunaanya, seperti membuat rumah, menjahit pakaian,
memakai kendaraan, dan sebagainya. Transaksi sewa-menyewa
mempunyai kesamaan dengan jual beli. Jual beli tersebut harus diketahui
kualitas barang yang diperjualbelikannya. Demikian juga sewa-menyewa
dalam pengertian harus duketahui kualitas barang yang disewa;
36Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007),
cet. ke-3. h.112. 37Zainuddin Ali, Hukum Perdata Islam di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h.150.
33
2. Pemanfaatan barang yang disewa harus yang dibolehkan. Menyewakan
seorang budak perempuan untuk disetubuhi, atau untuk meratap, atau
menyewakan tanah untuk dibangun gereja atau tempat-tempat yang tidak
baik (maksiat) adalah dilarang oleh hukum perdata Islam;
3. Harus diketahui oleh penyewa mengenai jumlah upah atau sewa dari suatu
pekerjaan.
3. Asas-Asas Perjanjian (Akad)
Dalam Hukum Islam, Terdapat asas-asas dari suatu perjanjian yang
berpengaruh pada status akad. Dimana ketika asas ini tidak terpenuhi akan
berakibat pada batalnya atau tidak sahnya perikatan/perjanjian yang dibuat.
Adapun asas-asas itu adalah sebagai berikut:
a. Asas Ibâhah (Mabda’ al-Ibâhah)
Asas Ibâhah adalah asas umum hukum Islam dalam bidang
muamalat secara umum. Asas ini dirumuskan dalam adagium “Pada
asasnya segala sesuatu itu boleh dilakukan sampai ada dalil yang
melarangnya.” Asas ini merupakan kebalikan dari asas yang berlaku dalam
masalah ibadah. Dalam hukum Islam, untuk tindakan ibadah berlaku asas
bahwa bentuk-bentuk ibadah yang sah adalah bentuk-bentuk yang
disebutkan dalam dalil-dalil Syariah. Sebaliknya, dalam tindakan-tindakan
34
muamalat berlaku asas sebaliknya, yaitu bahwa segala sesuatu itu sah
dilakukan sepanjang tidak ada larangan tegas atas tindakan itu.38
b. Asas Kebebasan Berakad (Mabda’ Hurriyyah at-Ta’âqud)
Hukum Islam mengakui kebebasan berakad, yaitu suatu prinsip
hukum yang menyatakan bahwa setiap orang dapat membuat akad jenis apa
pun tanpa terikat kepada nama-nama yang telah ditentukan dalam undang-
undang Syariah dan memasukan klausul apa saja ke dalam akad yang
dibuatnya itu sesuai dengan kepentingannya, sejauh tidak berakibat makan
harta sesama dengan jalan batil.39 Landasan asas kebebasan berakad
terdapat dalam Q.S. al-Mâidah (5) ayat 1:
☺
⌧
)1: 5/المائدة(
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.” (Q.S. al-Mâidah/5: 1).
c. Asas Konsensualisme (Mabda’ al-Ridâiyyah)
38Anwar, Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih Muamalat,
h.83.
39Ibid., h.84.
35
Asas konsensualisme menyatakan bahwa untuk terciptanya suatu
perjanjian cukup dengan tercapainya kata sepakat antara para pihak tanpa
perlu dipenuhinya formalitas-formalitas tertentu. Dalam hukum Islam
umumnya perjanjian-perjanjian itu bersifat konsensual.40 Landasan asas
konsensualisme terdapat dalam Q.S. an-Nisâ (4) ayat 29:
)29: 4/النساء( ☺ ⌧
Artinya:“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (Q.S. an-Nisâ’/4: 29).
d. Asas Keseimbangan (Mabda’ al-Tawâzun fi al-Mu’âwadah)
Asas keseimbangan dalam transaksi antara apa yang diberikan
dengan apa yang diterima tercermin pada dibatalkannya suatu akad yang
mengalami ketidakseimbangan prestasi yang mencolok. Asas
keseimbangan dalam memikul risiko tercermin dalam larangan terhadap
transaksi riba, di mana dalam konsep riba hanya debitur yang memikul
segala risiko atas kerugian usaha, sementara kreditor bebas sama sekali dan
40Ibid., h.87.
36
harus mendapat presentase tertentu sekalipun pada saat dananya mengalami
kembalian negatif.41
e. Asas Amanah (Mabda’ al-Amânah)
Dengan asas amanah dimaksudkan bahwa masing-masing pihak
haruslah beritikad baik dalam bertransaksi dengan pihak lainnya dan tidak
dibenarkan salah satu pihak mengekploitasi ketidaktahuan mitranya. Dalam
hukum Islam, terdapat suatu bentuk perjanjian amanah, salah satu pihak
hanya bergantung kepada informasi jujur dari pihak lainnya untuk
mengambil keputusan untuk menutup perjanjian bersangkutan. 42
f. Asas Keadilan (Mabda’ al-‘Adâlah)
Keadilan adalah tujuan yang hendak diwujudkan oleh semua
hukum. Dalam hukum Islam, keadilan langsung merupakan perintah Al-
Qur’an yang menegaskan, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat
kepada takwa” (Q.S. al-Maidah/5: 8). Keadilan merupakan sendi setiap
perjanjian yang dibuat oleh para pihak.43
4. Syarat Sahnya Perjanjian (Akad)
41Ibid., h.90. 42Ibid., h.91. 43Ibid., h.92.
37
Para ulama fiqh menetapkan beberapa syarat umum yang harus
dipenuhi oleh suatu akad. Disamping itu, setiap akad juga memiliki syarat-
syarat khusus. Akad jual-beli memiliki syarat-syarat tersendiri sedang akad
al-ijârah (sewa menyewa) demikian juga. Adapun syarat-syarat umum suatu
akad itu adalah:44
1. Pihak-pihak yang melakukan akad itu telah cakap bertindak hukum
(mukallaf) atau jika obyek akad itu merupakan milik orang yang belum
cakap bertindak hukum, maka harus dilakukan oleh walinya. Oleh sebab
itu, suatu akad yang dilakukan orang gila dan anak kecil yang belum
mumayyiz secara langsung , hukumnya tidak sah. Tetapi, jika dilakukan
wali ini memberi manfaat bagi orang-orang yang diampunya, maka akad itu
hukumnya sah.
2. Obyek akad itu diakui oleh syara’. Untuk obyek akad ini disyaratkan pula:
a) berbentuk harta, b) dimiliki oleh seseorang, dan c) bernilai harta menurut
syara’. Oleh sebab itu, jika obyek akad itu sesuatu yang tidak bernilai harta
dalam Islam, maka akadnya tidak sah, sepreti khamar (minuman keras).
Disamping itu, jumhur ulama fiqh selain ulama Hanafiyah, menyatakan
bahwa barang najis, seperti anjing, bulu dari babi, bangkai dan darah tidak
bisa dijadikan obyek akad, karena najis tidak bernilai harta dalam Syara’.
44Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah , (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), h.101-104.
38
3. Akad itu tidak dilarang oleh nas (ayat atau hadits) syara’. Atas dasar syarat
ini, seorang wali (pengelola anak kecil) tidak boleh menghibahkan harta
anak kecil itu. Alasannya adalah melakukan suatu akad yang sifatnya
menolong sementara (tanpa imbalan) terhadap harta anak kecil tidak
dibolehkan syara’.
4. Akad yang dilakukan itu memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait
dengan akad itu. Artinya, disamping memenuhi syarat-syarat khususnya.
Misalnya, dalam jual beli, disamping syarat-syarat umum suatu akad
terpenuhi, juga harus terpenuhi syarat-syarat khusus yang berlaku dalam
akad jual beli.
5. Akad itu bermanfaat. Oleh sebab itu, jika seseorang melakukan suatu akad
dan imbalan yang diambil salah seseorang yang berakad merupakan
kewajiban baginya, maka akad itu batal.
6. Pernyataan îjâb tetap utuh dan shahih sampai terjadinya qabûl. Apabila îjâb
tidak utuh dan shahih lagi ketika qabûl diucapkan, maka akad itu tidak sah.
Hal ini banyak dijumpai dalam suatu akad yang dilangsungkan melalui
tulisan. Misalnya, dua orang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan
suatu transaksi dagang melalui surat.
7. Îjâb dan Qabûl dilakukan dalam suatu majelis, yaitu suatu keadaan yang
menggambarkan proses suatu transaksi. Oleh sebab itu menurut Mustafa
39
Ahmad al-Zarqa’,45 majelis itu bisa berbentuk tempat dilangsungkannya
akad dan bisa juga berbentuk keadaan selama proses berlangsungnya akad,
sekalipun tidak dalam satu tempat.
8. Tujuan akad itu jelas dan diakui syara’. Di mana tujuan akad ini terkait erat
dengan tujuan berbagai bentuk akad yang dilakukan. Misalnya dalam akad
nikah, tujuannya adalah untuk menghalalkan hubungan suami istri antara
seorang pria dengan seorang wanita, dalam jual beli tujuannya adalah untuk
memindahkan hak milik dari penjual kepada pembeli dengan imbalan,
dalam akad ijârah (sewa menyewa) tujuannya adalah pemilikan manfaat
bagi orang yang menyewa dan hak yang menyewakan mendapat imbalan.
5. Hapusnya/Berakhirnya Perjanjian (Akad)
Menurut hukum Islam,46 akad hapus/berakhir disebabkan terpenuhinya
tujuan akad (tahqîq gharad al-‘aqd), fasakh, infisâkh, kematian, dan ketidak-
izinan (‘adam al-ijâzah) dari pihak yang memiliki kewenangan dalam akad
mauqûf.
1. Suatu akad dipandang berakhir apabila tujuan akad telah tercapai. Dalam
akad jual beli misalnya, akad dipandang telah berakhir apabila barang telah
berakhir apabila barang telah berpindah tangan kepada pembeli dan
45Mustafa bin Ahmad bin Muhammad az-Zarqa (1904-1999 M). Mustafa az-Zarqa adalah
seorang ulama fiqh dan mujtahid asal Syiria. Beliau merupakan salah satu guru besar fiqh Islam di Universitas Amman, Yordania. di antara karangannya adalah al-Madkhal al-Fiqhi al-Âm al-Islâmi fi Tsaubihi al-Jadîd.
46 Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1.
h.75-77.
40
harganya telah menjadi milik penjual. Demikian juga, akad berakhir
disebabkan intihâ’muddah al-‘aqd (berakhir masa akad). Jika masa
kontrak sudah berakhir misalnya, maka akad sewa menyewa sudah habis
dan akad menjadi berakhir/selesai dengan sendirinya.
2. Fasakh. sebuah akad berakhir disebabkan fasakh (pemutusan). Dalam akad
yang mengikat bagi para pihak, ada beberapa alasan yang menyebabkan
akad dapat atau bahkan harus difaskah:
a. Disebabkan akad dipandang fasâd, misalnya menjual sesuatu yang tidak
jelas spesifikasi atau menjual sesuatu dengan dibatasi waktu. Jual beli
semacam itu dipandang fasâd, dan karenanya harus (wajib) difasakh,
baik oleh para pihak yang berakad maupun oleh hakim, kecuali terdapat
hal-hal yang menyebabkan fasakh tidak dapat dilakukan seperti pihak
pembeli telah menjual barang yang dibelinya.
b. Disebabkan adanya khiyâr. Pihak yang memiliki hak khiyâr, baik
khiyâr syarat, khiyâr ‘aib, kyiyâr ru’yah maupun lainnya dibolehkan
untuk melakukan fasakh akad yang telah dilakukannya.
c. Disebakan iqâlah. yaitu fasakh terhadap akad berdasarkan kerelaan
kedua belah pihak ketika salah satu pihak menyesal dan ingin mencabut
kembali akad yang telah dilakukannya.
d. Disebabkan ‘adam al-tanfîdz yakni kewajiban yang ditimbulkan oleh
akad tidak dipenuhi oleh pihak atau salah satu pihak yang bersangkutan.
Jika hal itu terjadi, akad boleh fasakh.
41
3. Infisâkh, yakni putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi
hukum). Sebuah akad dinyatakan putus apabila si akad tidak mungkin dapat
dilaksanakan (istihâlah al-tanfîdz) disebabkan âfat samawiyah (force
majeure). Dalam akad jual beli misalnya, barang yang dijual rusak di
tangan penjual sebelum diserahkan ke tangan pembeli.
4. Kematian
Beberapa bentuk akad berakhir disebabkan kematian salah satu
pihak yang berakad. Berikut contoh-contoh akad yang dimaksud:
a. Akad sewa menyewa (ijârah).
b. Akad rahn dan kafâlah.
5. Tidak ada persetujuan (‘adam al-ijâzah). Akad mauqûf berakahir apabila
pihak yang memiliki kewenangan tidak memberikan persetujuan terhadap
pelaksanaan akad.
6. Penyelesaian Perselisihan
Penyelesaian perselisihan dalam Hukum Perjanjian Islam (akad), pada
prinsipnya boleh dilaksanakan melalui tiga jalan, yaitu pertama dengan jalan
perdamaian (sulhu); yang kedua dengan jalan arbitrase (tahkîm); dan yang
terakhir melalui proses peradilan (al-Qadhâ’).47
a. Sulhu (Perdamaian)
47 Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h.87.
42
Jalan pertama dikakukan apabila terjadi perselisihan dalam suatu
akad adalah menggunakan jalan perdamaian (sulhu) antara kedua pihak.
Dalam fiqh pengertian sulhu adalah suatu jenis akad untuk mengakhiri
perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk
mengakhiri sengketa.48
Perdamaian (sulhu) ini diisyaratkan berdasarkan Al-Qur’an surat al-
Hujurât (49) ayat 9, yang berbunyi:
⌧ ☺
☺ ☺
☺
☺ ): /الحجرات(
Artinya: "Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau dia Telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil. (Q.S. al-Hujurat/49: 9).
48A.T. Hamid, Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan
Perikatan. (Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983), h.135.
43
Dalam suatu riwayat Umar r.a pernah berkata: ”Tolaklah permusuhan
hingga mereka berdamai, karena pemutusan perkara melalui pengadilan akan
menembangkan kedengkian di antara mereka”.49
b. Tahkîm (Arbitrase)
Istilah Tahkim secara literal berarti mengangkat sebagai wasit atau
juru damai. Sedangkan secara terminologis tahkîm berarti pengangkatan
seorang atau lebih yang bersengketa, sebagai wasit atau juru damai oleh
dua orang atau lebih yang bersengketa, guna menyelesaikan perkara yang
mereka perselisihkan secara damai. Dalam hal ini, hakam ditunjuk untuk
menyelesaikan perkara bukan oleh pihak pemerintah, tetapi ditunjuk
langsung oleh dua orang yang bersengketa. Penyelesaian yang dilakukan
oleh hakam dikenal di abad modern dengan arbitrase.50
Dasar hukum dari tahkîm ini yaitu QS. an-Nisâ’ (4) ayat 35:
☺ ☺
☯ ☺ ⌧
)35: 4/النساء( ☺Artinya: “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah
49Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Daar al-Fikr, 2007), jilid 3, h.938. 50Dewi, Hukum Perikatan Islam di Indonesia, h.89.
44
memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Q.S. an-Nisa/4: 35).
C. Al-Qadhâ’ (Pengadilan)
Al-qadhâ’ secara harfiah berarti antara lain memutuskan atau
menetapkan. Menurut istilah fiqih kata ini berarti menetapkan hukum
syara’ pada suatu peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara
adil dan mengikat. Lembaga peradilan semacam ini berwenang
menyelesaikan perkara-perkara tertentu yang mencakup perkara-perkara
atau masalah keperdataan, termasuk ke dalamnya Hukum Keluarga, dan
masalah tindak pidana. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada
pengadilan semacam ini dikenal qâdhi (hakim). Penyelesaian sengketa
melalui peradilan melawati beberapa proses, salah satu proses yang penting
adalah pembuktian.51 Alat bukti menurut Islam yaitu:52
1. Ikrâr (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu);
2. Syahâdat (persaksian);
3. Yamîn (sumpah);
4. Watsâiq Rasmiyyah Tsâbitah (pegangan resmi yang telah ditetapkan
pemerintah).
51Ibid., h.89-90. 52Sabiq, Fiqih Sunnah, h.951.
45
BAB III
PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
DI PERUSAHAAN DAERAH PASAR JAYA
A. Profil Singkat Perusahaan Daerah Pasar Jaya
a. Sejarah Singkat PD. Pasar Jaya1
Perusahaan Daerah Pasar Jaya, pada awalnya adalah perusahaan pasar
hasil reorganisasi di lingkungan Djawatan Perekonomian Rakyat DKI Jakarta
yang ditetapkan melalui Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota
Jakarta Nomor lb.3/2/15/66 Tanggal 24 Desember 1966, dan kemudian disahkan
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor Ekbang 8/8/13305 Tanggal 23
Desember 1967.
Seiring dengan perkembangan kota Jakarta menjadi kota metropolitan dan
persaingan usaha yang makin kompetitif, status dan kedudukan hukum PD. Pasar
Jaya ditingkatkan dengan Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 7
Tahun 1982 dan disahkan dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
511.2331 - 181 Tanggal 19 April 1983.
Dalam upaya meningkatkan peranan PD. Pasar Jaya sebagai perusahaan
daerah yang lebih profesional serta mengantisipasi tuntutan perkembangan bisnis
1Administrator PD. Pasar Jaya, “Sejarah PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010 dari
http://www.pasar jaya.com.
46
perpasaran di DKI Jakarta yang makin kompetitif dan untuk meningkatkan fungsi
dan peranannya maka Perusahaan Daerah Pasar Jaya ditetapkan kembali dengan
Peraturan Daerah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 12 Tahun 1999
Tanggal 30 Desember 1999.
Dengan bergulirnya waktu, pasar terus berkembang. Pada mulanya pasar
merupakan tempat bertemunya pedagang dan pembeli dan terjadinya transaksi
langsung, namun dari waktu ke waktu, dan tuntutan konsumen pasar yang terus
berubah maka pasar tidak hanya sekedar menjadi tempat bertemunya pedagang
dan konsumen serta terjadi transaksi barang riil di pasar, akan tetapi pasar
merupakan entity business yang lengkap dan kompleks dimana kenyamanan dan
kepuasan pelanggan (consumer satisfaction) yang menjadi tujuan utama.
2. Visi dan Misi PD. Pasar Jaya
a. Visi PD. Pasar Jaya2
Sebagai pedoman dan panduan langkah untuk menentukan arah jangka
panjang dalam mencapai tujuan perusahaan perlu penyamaan dan
pembudayaan visi perusahaan. Visi PD. Pasar Jaya adalah menjadikan pasar
tradisional dan modern sebagai sarana unggulan dalam penggerak
perekonomian daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
]
2Administrator PD. Pasar Jaya, “Visi dan Misi PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari 2010
dari http://www.pasar jaya.com.
47
b. Misi PD. Pasar Jaya3
Misi PD. Pasar Jaya adalah menyediakan pasar tradisional dan
modern yang bersih, aman, nyaman dan berwawasan lingkungan serta
memenuhi kebutuhan barang dan jasa yang lengkap, segar, murah dan
bersaing.
3. Struktur Organisasi PD. Pasar Jaya
Sumber Daya Manusia merupakan aset terpenting bagi perusahaan, maju
mundurnya perusahaan sangat tergantung dengan kualitas SDM, teamwork, dan
komitmen dalam berorganisasi serta strategi jitu perusahaan dalam menangkap
peluang dan memenangkan setiap persaingan yang dihadapi.
Salah satu program utama dalam bidang organisasi adalah restrukturisasi
dan pengurangan jumlah karyawan serta pendelegasian tugas dan tanggung jawab
secara tepat dan proporsional. Sistem pengelolaan pasar yang semula berdasarkan
pendekatan wilayah kotamadya (5 wilayah) diubah menjadi berdasarkan letak
geografis yaitu (20 Area). Jumlah karyawan Perusahaan Daerah Pasar Jaya pada
bulan Januari 2004 adalah sebanyak 2.241 orang yang tersebar di 151 pasar.
Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan periode satu semester sebelumnya
yaitu bulan Juli 2003 yang mencapai 3.429 orang.4
3Ibid. 4Administrator PD. Pasar Jaya, “Organisasi dan SDM PD. Pasar Jaya” diakses pada 24
Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com.
48
Program restrukturisasi berjalan mulus dan dapat mengurangi beban
operasional serta meningkatkan kesejahteraan karyawan yang diimbangi dengan
meningkatnya produktivitas kerja. Pada awal tahun 2007 jumlah karyawan 1.876
orang, seiring dengan adanya karyawan yang pensiun, meninggal dunia atau yang
mundur atas permintaan sendiri. Jumlah karyawan awal tahun 2009 sebanyak
1541 karyawan.
PD. Pasar Jaya dipimpin oleh 4 orang Direktur yang terdiri atas Direktur
Utama, Direktur Administrasi, Direktur Operasi dan Direktur Perencanaan &
Hukum yang masing-masing bertanggung jawab kepada Gubernur Provinsi DKI
Jakarta melalui Badan Pengawas PD. Pasar Jaya. Dalam menjalankan tugasnya
sehari-hari dibantu oleh Kepala Satuan Pengawasan Intern, 7 Manager Divisi dan
19 Manager Area serta 1 Unit Strategic Business Unit / Unit Usaha Perpakiran.5
Berikut ini sturuktur orgnisasi yang berlaku di PD. Pasar Jaya:
a. Badan Pengawas
b. Direksi terdiri dari:
1). Direktur Utama
2). Direktur Administrasi
3). Direktur Operasi
4). Direktur Perencanaan dan Hukum
5Ibid.
49
c. Unsur Staf terdiri dari:
1). Satuan Pengawasan Intern
2). Divisi Satuan Umum dan Humas
3). Divisi Sumber Daya Manusia (SDM)
4). Divisi Keuangan
5). Divisi Usaha
6). Divisi Teknik
7). Divisi Perencanaan
8). Divisi Hukum dan Keamanan Ketertiban
d. Unsur Pelaksana:
1). Unit Area
2). Unit Usaha Perparkiran
50
B. Bentuk Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha
Perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya berkaitan dengan pemakaian tempat
usaha terdiri dari dua bentuk perjanjian, yaitu:6
1. Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha yaitu Perjanjian antara PD. Pasar Jaya
dengan Pemakai Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban
kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut
penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan
2. Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu Perjanjian antara PD. Pasar Jaya dengan
Penyewa Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban kedua belah
pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai berikut penerapan sanksi
apabila tidak dilaksanakan
Menurut Wayan Darmajaya letak perbedaan dari kedua perjanjian ini
adalah:7
a. Jangka waktu Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha selama-lamanya adalah 20
(dua puluh) tahun, sedangkan Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu dengan
sistem sewa kontrak tahunan.
b. Sebagai bukti kepemilikan hak pemakaian atas tempat usaha, pemakai tempat
usaha selain diberikan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU),
diterbitkan pula Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) dan Surat
6Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 29 Januari 2010. 7Wayan Darmajaya, Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi, Jakarta,
27 Januari 2010.
51
Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU), sedangkan Perjanjian Sewa Tempat
usaha hanya diberikan Perjanjian saja;
c. Akibat Perjanjian pemakaian tempat usaha hak pemakaian atas tempat usaha
tersebut dapat dialihkan, sedangkan Perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat
dialihkan;
d. Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) yang diterbitkan setelah
adanya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dapat dijadikan jaminan kredit,
sedangkan perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat dijadikan jaminan kredit,
karena tidak mendapat SHPTU.
e. Perjanjian pemakaian tempat usaha memiliki nilai ekonomis, sedangkan
Perjanjian sewa kontrak tidak memiliki nilai ekonomis.
C. Hak dan Kewajiban Pemakai Tempat Usaha
Akibat diterapkannya suatu perjanjian maka timbulah hak dan kewajiban bagi
yang mengadakan perjanjian, begitu pula dalam Perjanjian pemakaian tempat usaha.
Adapun hak dan kewajiban pemakai tempat usaha sesuai ketentuan yang terdapat
dalam Perjanjian pemakaian tempat usaha adalah:
1. Hak Pemakai Tempat Usaha8
a. Pemakai tempat usaha memiliki hak pemakaian tempat usaha selama 20 (dua
puluh) tahun dan dijamin tidak akan mendapat rintangan dari pihak siapapun
8 Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi, Jakarta, 29 Januari 2010.
52
juga yang menyatakan turut mempunyai hak terlebih dahulu atas tempat usaha
yang dipakainya dan membebaskan Pemakai tempat usaha dari segala
tuntutan dari pihak lain mengenai hal-hal tersebut;
b. Pemakai tempat usaha boleh mengalihkan hak pemakaian tempat usahanya
kepada pihak lain;
c. Pemakai tempat usaha dapat menjaminkan apa yang ia miliki dari Sertifikat
Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) kepada Bank sebagai jaminan kredit;
d. Pemakai tempat usaha dapat menghibahkan, mewariskan dan atau
menyewakan hak pemakaian tempat usaha.
2. Kewajiban Pemakai Tempat Usaha
a. Pemakai tempat usaha dibebani Biaya Pengelolaan Pasar sesuai ketentuan
tarif yang berlaku untuk masa Hak Pemakaian 20 (dua puluh) tahun yang
pembayarannya dilakukan oleh pemakai tempat usaha kepada PD. Pasar Jaya
secara harian atau bulanan terhitung sejak digunakan Tempat Usaha dimaksud
oleh PD. Pasar Jaya;
b. Pemakai tempat usaha dibebani kewajiban tagihan pemakaian listrik sesuai
meteran tersendiri yang digunakan oleh pemakai tempat usaha dan kewajiban
membayar tagihan listrik untuk sarana dan prasarana Pasar yang dihitung
secara proporsional oleh PD. Pasar Jaya;
c. Pemakai tempat usaha harus membayar Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
sesuai tagihan yang dikeluarkan oleh Kantor Pelayanan Pajak;
53
d. Pemakai tempat usaha harus memperpanjang Surat Ijin Pemakaian Tempat
Usaha (SIPTU), tepat pada waktunya serta membayar biaya administrasi
perpanjangan SIPTU;
e. Pemakai tempat usaha tidak diperkenankan:
1) Bertempat tinggal, atau tidur di Pasar;
2) Mengotori, merusak tempat atau bangunan dan barang inventaris Pasar;
3) Melakukan perbuatan asusila di Pasar;
4) Menyalahgunakan narkoba dan minuman keras, melakukan perjudian atau
sejenisnya;
5) Mempergunakan dan menyalakan kompor yang dapat menimbulkan
bahaya kebakaran.
D. Mekanisme Terjadinya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha
Pencapaian kata sepakat dalam perjanjian merupakan salah salah satu syarat
sahnya suatu perjanjian. Begitu pula halnya dalam Perjanjian Pemakaian Tempat
Usaha, untuk terjadinya hal tersebut maka harus diketahui mekanisme terjadinya
perjanjian pemakaian tempat usaha. Adapun mekanisme terjadinya Perjanjian
pemakaian tempat usaha didahului dengan permohonan calon pemakai tempat usaha
kepada Manager Area Pasar dan atau Developer untuk tempat usaha yang akan dibeli
hak pemakaiannya oleh pemohon nantinya, kemudian Maneger Area menyampaikan
permohonan tersebut kepada Direktur Operasi PD. Pasar Jaya. Sebelum dilaksanakan
Perjanjian, calon pemakai tempat usaha diberitahu akan ketentuan-ketentuan pasal
54
perjanjian yang di dalamnya terdapat hak dan kewajiban calon pemakai tempat usaha,
setelah disetujui pihak kedua dengan mengasaskan kebebasan berkontrak maka
dibuatlah draft perjanjian antara Direktur Operasi PD. Pasar Jaya sebagai pihak
pertama dan Pemakai Tempat Usaha sebagai pihak kedua.
Draft Perjanjian pemakaian tempat usaha dibuat sesuai dengan tanggal
terjadinya perjanjian, dimana dalam perjanjian tersebut dicantumkan identitas kedua
belah pihak yang tercakup didalamnya nama dan tempat tinggal kedua belah pihak,
Jenis tempat usaha, Nomor tempat usaha, Luas tempat usaha dan Harga jual tempat
usaha dan Cara pembayaran. Setelah diketahui itu semua, maka Pihak Kedua harus
tunduk pada aturan PD. Pasar Jaya dan pasal-pasal yang tercantum dalam Perjanjian,
selanjutnya kedua belah pihak menandatangani Perjanjian Pemakaian
Tempat/Ruangan Usaha sesuai dengan Surat Penunjukan Tempat yang diterbitkan
PD. Pasar Jaya dan Perjanjian yang dimaksud dicatatkan pada Register Notaris.9
Adapun ketentuan Pasal-pasal yang diatur dalam Perjanjian pemakaian tempat
usaha adalah sebagai berikut (penjelasan terlampir):
1. Pasal 1: Ketentuan Umum
2. Pasal 2: Penggunaan Tempat Usaha
3. Pasal 3: Masa Hak Pemakaian
4. Pasal 4: Pembayaran Iuran Pembangunan Pasar
5. Pasal 5: Pembayaran Iuran Pembangunan Pasar
9Wayan Darmajaya, Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi, Jakarta,
27 Januari 2010.
55
6. Pasal 6: Kewajiban Pihak Kedua
7. Pasal 7: Jaminan dan Asuransi
8. Pasal 8: Renovasi
9. Pasal 9: Bea Materai, Beban Pajak dan Biaya Notaris
10. Pasal 1: Sanksi dan Denda
11. Pasal 1: Reklame
12. Pasal 12: Penyelesaian Perselisihan
13. Pasal 13: Domisili
14. Pasal 14 : Hal-Hal Yang Belum Diatur
15. Pasal 15: Force Majeure
16. Pasal 16: Penutup
56
BAB IV
ANALISIS PERJANJIAN PEMAKAIAN TEMPAT USAHA
DI PD. PASAR JAYA AREA TANAH ABANG
A. Penyelesaian Permasalahan Hapusnya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha
antara PD. Pasar Jaya dengan Pihak Pemakai Tempat Usaha
1. Kronologis Kasus
Pada tahun 1987 Bapak Bahri membeli tempat usaha di PD. Pasar Jaya
dengan harga yang beragam sesuai dengan lokasi tempat usaha, Bapak Bahri
menempati kios di Area 01 Pasar Tanah Abang tepatnya di blok E. Adapun ijin
yang dimiliki bapak Bahri adalah sampai dengan tahun 2007 (20 tahun) sesuai
dengan Surat Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU).
Setelah 15 tahun berjalannya Pemakaian Tempat Usaha tepatnya pada
Bulan September 2002, terjadilah peristiwa kebakaran pada salah satu blok Pasar
yaitu di blok A yang mengakibatkan banyak tempat usaha di blok tersebut dan di
blok-blok lain musnah terbakar, sehingga tempat usaha tidak dapat digunakan
sebagaimana mestinya. Namun dalam peristiwa tersebut, kios bapak Bahri yang
terletak di blok E, tidak ikut terbakar.
Setelah kejadian tersebut PD. Pasar Jaya melakukan peremajaan kembali
bangunan yang terkena kebakaran dengan membongkar bangunan tersebut
dengan alasan musnahnya barang yang terutang yang merupakan sebab hapusnya
perjanjian. Namun tidak hanya bangunan yang terbakar saja yang dibongkar,
.
57
bangunan yang tidak terkena kebakaranpun juga ikut dibongkar dengan alasan
terkena dampak kebakaran. Bapak Bahri yang berada di blok E merasa masih
memiliki hak pemakaian tempat usaha, karena tidak terbakar dan masih
menyisakan 5 (lima) tahun hak pemakaian tempat usaha tersebut tidak menerima
perlakuan PD. Pasar Jaya karena dianggap melawan hukum dan mengabaikan
aspek-aspek serta prinsip musyawarah dengan para pemilik dan penghuni kios.
Di lain pihak PD. Pasar Jaya menjanjikan kepada Bapak Bahri dan
kawan-kawan akan diberikan tempat baru sebagai pengganti tempat usaha yang
mereka ikut rubuhkan, selain itu pula PD. Pasar Jaya menyediakan penampungan
sementara bagi tempat yang terkena ataupun dampak kebakaran. Setelah
pembangunan selesai, Bapak Bahri kehilangan hak pemakaian tempat usaha
dengan lokasi yang sama seperti sebelum kios mereka dirubuhkan. Akan tetapi
Bapak Bahri ditawarkan kios dengan lokasi yang sangat tidak strategis dengan
menambah Rp. 20.000.000,-(dua puluh juta rupiah).
Setelah pembangunan kembali pasar, ada rencana pengundian lokasi kios
bagi pemilik kios yang terut terbongkar (tidak terbakar), pengundian ini awalnya
ditolak oleh Bapak Bahri karena lokasi yang ditawarkan sangat tidak strategis,
yang berarti menimbulkan kerugian bagi Bapak Bahri, namun pengundian
tersebut tetap berlangsung dan pada saat pengundian tempat usaha bangunan baru
blok A, sedangkan Bapak Bahri dalam keadaan sakit dan tidak mendapatkan
informasi tentang pelaksanaan undian karena sedang berada diluar daerah
tepatnya di Padang Sumatera Barat.
.
58
Berbagai upaya dilakukan Bapak Bahri untuk mengurus permasalahan ini
ke PD. Pasar Jaya, namun PD. Pasar Jaya menghindar dan menyerahkan ke PT.
Priamanaya Djan Internasional sebagai developer yang membangun atau
meremajakan Pasar Tanah Abang. Pada akhirnya Bapak Bahri selaku pemakai
tempat usaha menggugat tindakan PD. Pasar Jaya ke Pengadilan sebagai tindakan
melawan hukum.
2. Dasar Hukum Kedua Belah Pihak
a. Dasar Hukum Pihak Pemakai Tempat Usaha
Berdasarkan kronologis kasus di atas Bapak Bahri selaku pemakai
tempat usaha yang merasa dirugikan dengan tindakan PD. Pasar Jaya atas
pembongkaran tempat usaha yang dimiliki Bapak Bahri menggugat PD.
Pasar Jaya ke Pengadilan Negeri. Adapun dasar hukum Bapak Bahri sebagai
Pihak pemakai tempat usaha mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Bahri
adalah:
1) Hak pemakaian tempat Usaha (kios) ditetapkan oleh Direksi adalah untuk
jangka waktu selama-lamanya 20 tahun. Pasal 9 ayat 2 Perda No. 6 tahun
1992.
2) Penggugat memiliki SIPTU (Surat Ijin Pemakaian Tempat Usaha) seperti
yang telah diuraikan di atas sesuai dengan persyaratan pemakaian kios.
Untuk itu, Penggugat juga memiliki hak pakai kios selama 20 tahun.
Artinya PD. Pasar Jaya wajib memenuhi kewajibannya untuk
.
59
3) Fakta pasar Tanah Abang dibangun ulang PT. Priamanaya Djan
Internasional sebagai akibat dari kebakaran yang terjadi pada seluruh
Lokasi A dan sebagian lokasi E Pasar Tanah Abang. Yang menjadi catatan
adalah, bahwa tempat usaha milik penggugat tidak mengalami kebakaran
dan jangka waktu pemakaian belum berakhir, namun tempat usaha
penggugat turut dibongkar dengan alasan demi pembangunan kembali
serta dijanjikan oleh PT. Priamanaya Djan Internasional bahwa mereka
akan mendapatkan tempat usaha pengganti yang sesuai.
4) Setelah pembangunan selesai, Bapak Bahri diminta oleh PD. Pasar Jaya
untuk membeli tempat usaha dengan harga yang sama dengan pembeli
baru, tanpa kompensasi.
Perbuatan PD. Pasar Jaya sebagaimana diuraikan di atas merugikan
Perbuatan melawan hukum (onrechtmadge daad) sebagiamana yang
dimaksud dalam Pasal 1365 KUHPerdata, karena perbutan tersebut
bertetangan dengan pasal-pasal 9 ayat 2 Perda DKI No. 6 tahun 1993, Pasal
36 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Perbuatan melawan hukum PD. Pasar Jaya telah merugikan Bapak
Bahri karena :
a) Hak Pemakaian Tempat Usaha selama 20 tahun atas nama Bapak Bahri
hilang, dan karenanya Bapak Bahri kehilangan tempat usaha.
.
60
b) Bapak Bahri diharuskan membayar dengan harga yang mahal.
c) Bapak Bahri telah kehilangan banyak biaya untuk mengurus dan
memeprtahankan haknya selama ini dengan nilai pengeluaran sekitar Rp.
50.000.000,-.
d) Bapak Bahri mengalami kehilangan potensi keuntungan karena
terhentinya usaha sebesar 3.000.000.000,- rupiah selama 5 tahun tidak
menempati kios dengan rincian perhari sebesar Rp. 2.000.000,-.
b. Dasar Hukum Pengelola Tempat Usaha
Dalam menanggapi gugatan yang diajukan pihak pemakai tempat
usaha (Bapak Bahri) PD. Pasar Jaya sebagai pengelola tempat usaha
menjawab dengan berlandaskan hukum, sebagai berikut:
1) Obyek yang disengketakan secara formal tidak jelas dan kabur, karena
Bapak Bahri tidak menyebutkan secara jelas dan rinci tentang nomor
tempat usaha maupun letak lantainya sedangkan di bangunan blok E,
karena terdapat ratusan tempat usaha.
2) Kebakaran pada bulan Februari berlangsung selama 3 (tiga) hari yang
terjadi di bangunan Pasar Tanah Abang Blok A, juga berimbas di sebagian
Blok E. Untuk menjaga keamanan bagi para pedagang maupun konsumen,
bangunan blok A dan sebagian blok E harus dibongkar
3) Dalam KUH. Perdata terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang
hapusnya perikatan yaitu hapusnya perikatan karena musnahnya barang
yang terhutang, antara lain Pasal 1381 ayat (1), 1444 dan 1445 KUH.
.
61
Perdata, berdasarkan ketentuan tersebut hubungan hukum antara Bapak
Bahri dengan PD. Pasar Jaya telah hapus dan Bapak Bahri tidak
mempunyai legalitas mengajukan gugatan.
4) Laporan rekomendasi I pekerja penelitian struktur bangunan eks
kebakaran Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat oleh PT. Perencana Jaya
Architects, Planner and Engineers yang melakukan penelitian pengujian
tempat usaha pada bangunan blok E (blok yang ditempati penggugat),
yaitu:
a) terdapat degradasi mutu beton terhadap mutu beton awal (K-225),
degradasi tersebut mencapai 46 % pada lantai 35-57 % pada lantai 2
dan 27-37 % pada lantai 1;
b) dari hasil pengujian tarik baja tulangan ditemukan penurunan kekuatan
sekitar 45 % pada lantai 1, 25 % pada lantai 2 dan 50 % pada lantai 3.
Terhadap hasil tersebut maka PT. Perencana Jaya
merekomendasikan untuk segera dilakukan pengosongan bangunan agar
keselamatan publik terjamin, karena adanya kemungkinan robohnya
bangunan akibat ambruknya bangunan terbakar.
5) Ketentuan Diktum Ketiga, Keempat dan Kelima Keputusan Direksi PD. Pasar
Jaya (Tergugat) Nomor : 4.268 tanggal 29 Desember 1993 masih berlaku,
tentang batas waktu hak pemakaian Tempat di Pasar-Pasar milik PD. Pasar
Jaya menyatakan sebagai berikut:
.
62
a) Bila dianggap perlu batas waktu hak pemakaian tempat untuk bagian-
bagian tertentu dari bangunan pasar, dapat ditentukan lain
b) Apabila pada suatu saat terjadi musibah yang menimpa bangunan pasar
seperti bencana alam baik berupa tanah longsor/sambaran petir/gempa
bumi dan atau kebakaran maupun huru hara yang berakibat bangunan
pasar tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya secara total, maka hak
pakai tempat usaha yang dimiliki pedagang pada bangunan itu dinyatakan
berakhir/batal demi hukum
c) Dengan terjadinya hal-hal dimaksud dictum keempat Keputusan ini, maka
apabila dikemudian hari ternyata bangunan pasar dimaksud dibangun
kembali/diremajakan, maka prioritas pertama untuk memperoleh hak
pakai di bangunan baru diberikan kepada pemegang hak pakai (SIPT)
lama dengan syarat-syarat yang ditentukan kemudian.
4. Dasar Pertimbangan Hukum
Berdasarkan alasan-alasan yang didasari hukum oleh kedua belah pihak,
hakim sebagai pengadil kedua belah pihak memutuskan menolak semua gugatan
yang diajukan oleh pihak pemakai tempat usaha dengan pertimbangan-
pertimbangan, sebagai berikut:
a. Surat Keterangan dari Direksi Pasar Jaya No. 4197/2007 tanggal 4 Oktober
2007 tentang masih berlakunya Surat Keputusan Direksi PD. Pasar Jaya No.
4.268 tahun 1993 tanggal 23 Desember 1993 yang dalam bagian keempat
surat keterangan tersebut dinyatakan bahwa apabila pada suatu saat terjadi
.
63
musibah yang menimpa bangunan pasar seperti bencana alam baik berupa
tanah longsor/sambaran petir/gempa bumi dan atau kebakaran maupun huru
hara yang berakibat bangunan pasar tidak dapat berfungsi sebagaimana
mestinya secara total, maka hak pakai tempat usaha yang dimiliki pedagang
pada bangunan itu dinyatakan berakhir/batal demi hukum.
b. Laporan rekomendasi I pekerja penelitian struktur bangunan eks kebakaran
Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat oleh PT. Perencana Jaya selaku Architects,
Planner and Engineers yang melakukan penelitian pengujian tempat usaha
pada bangunan blok E yang di antaranya terdapt tempat usaha Pengugat
(Bapak Bahri), yaitu:
1) terdapat degradasi mutu beton terhadap mutu beton awal (K-225),
degradasi tersebut mencapai 46 % pada lantai 35-57 % pada lantai 2 dan
27-37 % pada lantai 1;
2) dari hasil pengujian tarik baja tulangan ditemukan penurunan kekuatan
sekitar 45 % pada lantai 1, 25 % pada lantai 2 dan 50 % pada lantai 3.
Selanjutnya PT. Perencana Jaya merekomendasikan untuk segera
dilakukan pengosongan setelah melihat kerusakan yang terjadi agar
keselamatan publik terjamin, pengosongan ini didasarkan kemungkinan
robohnya bangunan akibat bangunan terbakar serta daerah yang
memerlukan perbaikan/perkuatan.
b. Keterangan saksi yang dihadirkan Tergugat Dr. Tosari, MM dan saksi Buhari
Tambunan bahwa pada waktu terjadi kebakaran serta saat pembangunan
.
64
c. Surat bukti tergugat yang berupa
1) Undangan dari maneger Area Tanah Abang No. 168/073.55 tanggal 25
Maret 2004,
2) Undangan dari maneger Area Tanah Abang No. 171/073.55 tanggal 28
Maret 2004,
3) Pengumuman di harian Sinar harapan tanggal 15 April 2004,
4) Pengumuman di harian Pos Kota tanggal 16 April 2004..
Tergugat (PD. Pasar Jaya) telah memanggil para bekas penghuni Pasar
Tanah Abang yang kebakaran maupun yang terkena dampak kebakaran untuk
menghadiri undian pengisian kios, akan tetapi setelah Penggugat (Bapak
Bahri) diundang 2 (dua) kali dan diumumkan di Koran sebanyak 2 (kali) kali
ternyata Penggugat juga tidak hadir.
Analisa Penyelesaian Permasalahan
Dilihat dari kronologis permasalahan yang terjadi maka tampak pokok
permasalahan tersebut terletak pada apakah tempat usaha yang terkena dampak
kebakaran dinyatakan hapus perikatan yang timbul akibat perjanjian antrara PD.
Pasar Jaya dengan Pihak pemakai tempat usaha. Terkait dengan kasus tersebut,
jika dikaitkan dengan ketentuan KUH Perdata tentang hapusnya perikatan, bahwa
salah satu yang menyebabkan hapusnya perikatan adalah musnahnya barang yang
.
65
terutang atau objek yang diperjanjikan ini didadasari ketentuan KUH Perdata
Pasal 1444 ayat 1 dan 1445 yaitu:
“Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerakannya.”(1444 ayat 1). ”Jika barang yang terutang, diluar salahnya si berutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, maka si berutang, jika ia mempunyai hak-hak dan ketentuan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak-hak dan tuntutan-tuntutan tersebut kepada orang yang mengutang kepadanya.” (1445).
Maka penulis berpendapat ketentuan tersebut tidak berlaku bagi bagi pihak
pemakai tempat yang terkena dampak kebakaran, karena objek yang diperjanjikan
masih ada.
Namun bila dikaitkan dengan rekomendasi I pekerja penelitian struktur
bangunan eks kebakaran Pasar Tanah Abang Jakarta Pusat oleh PT. Perencana
Jaya selaku Architects, Planner and Engineers yang melakukan penelitian
pengujian tempat usaha pada bangunan blok E yang di antaranya terdapt tempat
usaha Pengugat (Bapak Bahri), yaitu:
1) terdapat degradasi mutu beton terhadap mutu beton awal (K-225), degradasi
tersebut mencapai 46 % pada lantai 35-57 % pada lantai 2 dan 27-37 % pada
lantai 1;
2) dari hasil pengujian tarik baja tulangan ditemukan penurunan kekuatan sekitar
45 % pada lantai 1, 25 % pada lantai 2 dan 50 % pada lantai 3. Selanjutnya
PT. Perencana Jaya merekomendasikan untuk segera dilakukan pengosongan
setelah melihat kerusakan yang terjadi agar keselamatan publik terjamin,
.
66
pengosongan ini didasarkan kemungkinan robohnya bangunan akibat
bangunan terbakar serta daerah yang memerlukan perbaikan/perkuatan.
Maka penulis berpendapat ketentuan ini bisa dijadikan landasan hukum bagi
PD. Pasar Jaya untuk menyatakan hapusnya perjanjian dengan tindakan peremajaan
seluruh bangunan yang terbakar dan terkena dampak kebakaran demi keselamtan
publik.
Bila ditinjau dari hukum Islam, kasus hapusnya perjanjian pemakaian tempat
usaha akibat musnahnya barang yang terutang masuk dalam kategori Infisâkh1, yakni
putus dengan sendirinya (dinyatakan putus, putus demi hukum). Sebuah akad
dinyatakan putus apabila si akad tidak mungkin dapat dilaksanakan (istihâlah al-
tanfîdz) disebabkan âfat samawiyah (force majeure). Namun ketentuan tersebut
harus selaras dengan dengan Qâ’idah fiqhiyah: يزاللضررا yang artinya
”Kemudlratan itu harus dihilangkan. Qâ’idah ini didasari Hadits Nabi yang
diriwayatkan oleh al-Hakim dari Abi Sa’id al-Hudri yang berbunyi:
و من شاق شاق اهللا عليه, من ضار ضاره اهللا. و لا ضرار ررا ضل
Artinya: Tidak boleh berbuat dloror (bahaya) dan membalas perbuatan bahaya kepada orang lain, bagi siapa yang berbuat bahaya kepada orang lain maka Allah akan berbuat bahaya kepada orang tersebut, dan bagi siapa yang mempersulit kepada orang lain maka Allah akan menyulitkan dia.
Maksud Qâ’idah ini penyelesaian kasus di atas tidak boleh menimbulkan bahaya bagi
kedua balah pihak yang berselisih baik pemakai tempat usaha atau PD. Pasar Jaya
1Ah. Azharuddin Lathif, Fiqh Muamalat, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005), cet. ke-1. h.77
.
67
sebagai pengelola. Bahaya dalam artian kerugian yang diberatkan pada salah satu
pihak.
Berdasarkan ketentuan hukum posiitif dan hukum Islam di atas penulis
berpendapat bahwa penyelamatan bangunan yang terbakar atau terkena dampak
kebakaran yang dilakukan PD. Pasar Jaya dengan melakukan peremajaan seluruh
bangunan bisa dijadikan landasan keputusan yang tepat dalam penyelesaian
perselisihan yang terjadi. Namun proses penyelamatan tersebut harus dilaksanakan
secara proporsional, yaitu dengan membebankan biaya peremajaan kepada kedua
belah pihak secara seimbang. Sehingga tidak menimbulkan mudlarat (bahaya) kepada
Pemakai tempat usaha maupun PD. Pasar Jaya. Hal ini dilakukan guna mewujudkan
keadilan yang merata.
B. Perbandingan Penyelesaian Perselisihan Yang Terjadi Pada Perjanjian
Pemakaian Tempat Usaha antara Hukum Islam Dan Hukum Positif.
a. Hukum Positif
Pola penyelesaian perselisihan dalam suatu perjanjian telah dibahas
sebelumnya pada bab II yaitu melalui pengadilan (litigasi), dan alternatif
penyelesaian sengketa. Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan
merupakan suatu proses gugatan, suatu sengketa diritualisasikan yang
menggantikan sengketa sesungguhnya, yaitu para pihak dengan memberikan
kepada seorang pengambil keputusan dua pilihan yang berbeda.
.
68
Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangannya
dalam penyelesaian suatu sengketa. Keuntungannya yaitu:2
1. Dalam mengambil alih keputusan dari para pihak, litigasi sekurang-
kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat
dipengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman social;
2. Litigasi sangat baik sekali untuk menemukan berbagai kesalahan dan
masalah dalam posisi pihak lawan;
3. Litigasi memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan dapat
memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar
keterangannya sebelum mengambil keputusan;
4. Litigasi membawa nilai-nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa
pribadi;
5. Dalam sistem litigasi para hakim menerapkan nilai-nilai masyarakat yang
terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Dari paparan keuntungan-keuntungan sistem litigasi diatas, dapat
dikatakan bahwa litigasi tidak hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari
itu juga menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam undang-
undang secara eksplisit maupun implisit. Namun litigasi memiliki banyak
kekurangan. Kekurangan-kekurangan litigasi adalah:3
2Salim H.S. Hukum Kontrak Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta: Sinar Grafika,
2006) cet. ke-4, h.141.
.
69
1. memaksa para pihak pada posisi yang ekstrim;
2. memerlukan pembelaan (advocacy) atas setiap maksud yang dapat
mempengaruhi putusan;
3. litigasi benar-benar mengangkat seluruh persoalan dalam suatu perkara,
apakah persoalan materi (substantive) atau prosedur, untuk persamaan
kepentingan dan mendorong para pihak melakukan penyelidikan fakta yang
ekstrim dan sering kali marginal;
4. menyita waktu dan meningkatkan biaya keuangan;
5. fakta-fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, para
pihak tidak selalu mampu mengemukakan kekhawatiran mereka yang
sebenarnya;
6. litigasi tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan hubungan
para pihak yang bersengketa;
7. litigasi tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris, yaitu sengketa
yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa
kemungkinan alternatif penyelesaian.
Di dalam penyelesaian malalui pengadilan, terdapat proses yang penting
dalam menetapakan suatu keputusan yaitu pembuktian dan alat pembuktian
tersebut mencakup:
1. Bukti tulisan (surat);
2. Bukti dengan saksi-saksi;
3Ibid., h.142.
.
70
3. Bukti persangkaan;
4. Bukti pengakuan;
5. Bukti sumpah.
Penyelesaian Perselisihan melalui alternatif penyelesaian sengketa
(ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian perselisihan di luar
pengadilan dengan cara konsiliasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli ini sesuai ketentuan Pasal 1 ayat (10) Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa.
Penggunaan penyelesaian perselisihan melalui alternatif penyelesaian
sengketa (ADR) secara umum mempunyai keuntungan dan kerugian kelebihan
dan kekurangannya. Kelebihan penyelesaian ini adalah biaya murah, tidak
formal, mengurangi timbulnya rasa permusuhan, dan bersifat pribadi.
Sedangkan kekurangannya keputusan tersebut tidak mengikat pihak yang
berselisih sehingga sering kali mengalami kesulitan dalam melaksanakan hasil
penyelesaian dan sering terjadi praktek penundaan terhadap hasil penyelesaian.
Terkait dengan Penyelesaian perselisihan yang terjadi dalam Perjanjian
pemakaian tempat usaha antara PD. Pasar Jaya dan Pemakai tempat usaha,
penyelesaian perselisihan mengacu pada isi perjanjian tersebut yaitu pada pasal
12 tentang penyelesaian perselisihan yang berbunyi:
1. Segala sengketa/perselisihan yang timbul antara kedua belah pihak yang berhubungan dengan pelaksanaan Perjanjian ini akan diselesaikan secara musyawarah.
.
71
2. Apabila dengan musyawarah tidak tercapai kata sepakat, maka sengketa/perselisihan akan diserahkan ke Pengadilan Negeri yang berwenang untuk mendapat keputusan yang mengikat.
Dari ketentuan Pasal diatas maka bisa dipahami bahwa penyelesaian
perselisihan dalam perjanjian pemakaian tempat usaha memiliki dua pola
penyelesaian yang sama dengan perjanjian umumnya. Hanya saja pola
penyelesaian di luar pengadilan yaitu musyawarah terlihat lebih umum karena
tidak dijelaskan cara mana yang digunakan oleh PD. Pasar Jaya untuk
penyelesaian perselisihan dari cara yang tercantum dalam Undang-undang
Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Pilihan Penyelesaian
Sengketa.
Adapun mekanisme penyelesaian perselisihan tersebut didahului dengan
melakukan musyawarah antara kedua belah pihak yang berselisih, dalam hal ini
PD. Pasar Jaya dan pemakai tempat usaha tentang apa yang diperselisihkan
dengan harapan menemukan kesepakatan dari apa yang diperselisihkan kedua
belah pihak. Dan bila cara ini tidak bisa menyelesaikan masalah maka salah satu
pihak bisa menempuh jalur hukum yaitu proses pengadilan (litigasi). Menurut
Yohana Damar Lati yang menjabat sebagai Asisten Divisi Hukum PD. Pasar
Jaya tentang penyelesaian perselisihan yang terjadi akibat penerapan perjanjian
pemakaian tempat usaha mengatakan:
“Untuk menyelesaikan perselisihan (sengketa) yang terjadi antara PD. Pasar Jaya dengan pemakai tempat usaha sebagai akibat penerapan Perjanjian pemakaian tempat usaha, PD. Pasar Jaya mengacu pada ketentuan Pasal 12 yang terdapat pada Perjanjian pemakaian tempat usaha itu sendiri, yaitu dengan mengadakan musyawarah antara kedua belah pihak, bila tidak bisa menemukan
.
72
titik temu maka ditempuh jalur hukum oleh salah satu pihak melalui pengadilan, sebelum proses persidangan pengadilan, pengadilan menyelesaikan dahulu sengketa tersebut melalui proses mediasi, yang dimediatori pengadilan sendiri, bila tidak bisa diselesaikan juga maka dilanjutkan ke proses persidangan .”4
Berdasarkan mekanisme penyelesaian perselisihan yang dipaparkan
Yohana Damar Lati dapat dipahami, bahwa musyawarah merupakan jalan
pertama yang dilakukan PD. Pasar Jaya dengan Pemakai tempat usaha dalam
menyelesaiakan perseilsihan, dan jalan kedua ditempuh bila tidak ditemukan
kata sepakat dalam bermusyawarah. Namun sebelum memasuki proses
persidangan terlebih dahulu diadakan mediasi, yang dimediatori oleh
pengadilan.
Mediasi merupakan proses pengambilan keputusan yang dilakukan para
pihak dengan dibantu pihak ketiga sebagai mediator. Ini menunjukan bahwa
dalam proses medaiasi kewenangan dalam pengambilan keputusan sepenuhnya
berada ditangan para pihak, dan mediator hanyalah membantu para pihak di
dalam proses pengambilan keputusan tersebut.5
Terkait dengan perselisihan yang terjadi antara PD. Pasar Jaya dengan
pemakai tempat usaha mengenai peristiwa kebakaran pada tahun 2002 lalu yang
mengakibatkan sebagian tempat usaha hangus terbakar dan sebagian lain tidak
terbakar. PD. Pasar Jaya sebagai pengelola pada dasarnya sudah mengadakan
4Yohana Damar Lati, Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara Pribadi,
Jakarta, 29 Januari 2010. 5Syahrizal Abbas, Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari’at, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009), h.4.
.
73
musyawarah dengan pihak pemakai tempat usaha (Bapak Bahri) yaitu dengan
memberi penampungan sementara, mengadakan pengundian tempat dan
pemberian prioritas mendapatkan tempat usaha setelah diremajakan bagi yang
terkena kebakaran dan yang terkena dampak kebakaran. Namun pihak pemakai
tidak bisa menerima, karena kebijakan yang dikeluarkan PD. Pasar Jaya sama
dengan pihak yang terkena kebakaran.
Bila ditinjau dari aspek perjanjian, pihak yang terkena kebakaran dapat
dinyatakan hapus perjanjiannya, karena musnahnya obyek yang diperjanjikan
ini sesuai dengan ketentuan KUH Perdata Pasal 1444 ayat 1 tentang musnahnya
barang yang terutang:
“Jika barang tertentu yang menjadi bahan perjanjian musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang, sedemikian hingga sama sekali tak diketahui apakah barang itu masih ada, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang diluar salahnya si berutang, dan sebelum ia lalai menyerakannya.” Namun ketentuan ini tidak berlaku bagi pihak pemakai yang terkena dampak
kebakaran karena tidak masuk kategori musnah/hilangnya barang yang
diperjanjikan, karena barang (tempat usaha) tersebut masih dapat digunakan.
Oleh karena itu pihak pemakai yang terkena dampak kebakaran, mengajukan
gugatan ke Pengadilan Negeri sebagai perbuatan melawan hukum.
Di samping itu PD. Pasar Jaya melakukan hal merobohkan bangunan
terhadap tempat usaha yang terbakar dan terkena dampak kebakaran, karena
setelah hasil pengujian penelitian bangunan yang terkena dampak kebakaran,
bangunan tersebut telah mengalami penurunan kualitas, sehingga dikhawatirkan
.
74
bangunan roboh akibat ambruk dan membahayakan pihak pemakai dan
pembeli/pengunjung yang dating ke Pasar tersebut.
Proses penyelesaian perselisihan kasus tersebut sudah melalui jalan yang
ditentukan Perjanjian pemakaian tempat usaha, yaitu melalui jalan musyawarah
untuk mufakat sebagai jalan pertama, karena tidak bisa diselesiakan maka
ditempuhlah jalur pengdilan untuk menentukan keputusan yang adil oleh hakim.
Meskipun salah satu pihak tidak menerima keputusan tersebut, namun
kepustusan tersebut harus dijalani karena telah mempunyai kekuatan hukum
tetap.
b. Hukum Islam
Dalam hal penyelesaian perselisihan, hukum islam atau disini dapat
dikatakan fiqih belum memberikan konsep penyelesaian perselisihan seperti
halnya dalam hukum positif. Namun dari semua bentuk penyelesaian
perselisihan pada hukum positif hampir sama, yakni dengan jalan pertama
yang digunakan adalah sulhu atau perdamaian yaitu suatu jenis akad untuk
mengakhiri perlawanan antara dua orang yang saling berlawanan, atau untuk
mengakhiri sengketa. Malalui cara ibra’ membebaskan debitor dari sebagian
kewajibannya atau dengan cara mufâdhah (penggantian dengan yang lain).
Jalan yang kedua melalui tahkîm atau arbitrase yaitu dengan suatu
penyelesaian sengketa yang dilakukan oleh hakam yang dipilih atau ditunjuk
secara sukarela oleh dua orang yang bersengketa untuk mengakhiri, dan dua
.
75
belah pihak akan menaati penyelesaian oleh hakam atau para hakam yang
mereka tunjuk itu.
Dan jalan yang ketiga digunakan dalam menyelesaikan perselisihan
adalah al-qadhâ’ (pengadilan) yaitu menetapkan hukum syara’ pada suatu
peristiwa atau sengketa untuk menyelesaikannya secara adil dan mengikat.
Lembaga peradilan semacam ini berwenang menyelesaikan perkara-perkara
tertentu yang mencakup perkara-perkara atau masalah keperdataan dan
masalah tindak pidana. Orang yang berwenang menyelesaikan perkara pada
pengadilan semacam ini dikenal qâdhi (hakim). Penyelesaian sengketa
melalui peradilan melawati beberapa proses, salah satu proses yang penting
adalah pembuktian.
Alat bukti menurut Islam yaitu:
1. Ikrâr (pengakuan para pihak mengenai ada tidaknya sesuatu);
2. Syahâdat (persaksian);
3. Yamîn (sumpah);
4. Watsâiq Rasmiyyah Tsâbitah (pegangan resmi yang ditetapkan
pemerintah).
Dua jalan penyelesaian yang pertama dapat dianalogikan seperti
penyelesaian perselisihan di luar pengadilan karena didasari musyawarah
untuk mufakat, sedangkan jalan yang ketiga merupakan jalan penyelesaian
perselisihan di dalam pengadilan yang berasaskan syariat Islam.
.
76
Dari ketentuan di atas terdapat perbedaan antara penyelesaian
perselisihan antara perspektif hukum Positif dan hukum Islam di dalam pola
penyelesaian di dalam pengadilan yaitu fungsi alat bukti sumpah (yamîn)
dalam hukum Islam alat bukti sumpah adalah alat bukti yang berdiri sendiri
(mutlak) dan mengikat sebagai bukti terkait tanpa di sertai petunjuk linnya.
Sedangkan menurut hukum Positif sumpah adalah salah satu bentuk
pengakuan yang mengaskan adanya pengaduan atau gugatan saja, sehingga
sumpah tersebut harus disertai dengan petunjuk lainnya, seperti kartu nama
seseoarang, dan sebagainya. Dalam hukum Islam syarat-syarat saksi serta
jumlah mereka telah jelas untuk masing-masing perkara, sedangkan Hukum
Positif tidak ditentukan demikian.6
6Gemala Dewi, dkk., Hukum Perikatan di Indonesia, (Jakarta : Kencana 2007 ), cet. ke-3.
h.90-91.
.
77
.
77
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan rumusan masalah dan uraian panjang diatas penulis
menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Mekanisme terjadinya Perjanjian pemakaian tempat usaha didahului dengan
permohonan calon pemakai tempat usaha kepada Manager Area Pasar dan atau
Developer, kemudian permohonan tersebut disampaikan kepada Direktur Operasi
PD. Pasar Jaya. Sebelum dilaksanakan Perjanjian, calon pemakai tempat usaha
diberitahu ketentuan-ketentuan dalam perjanjian, setelah disepakati pihak kedua
dibuatlah draft perjanjian antara Direktur Operasi PD. Pasar Jaya dan Pihak
Pemakai sesuai dengan tanggal terjadinya perjanjian, yang didalamnya tercantum
identitas kedua belah pihak dan letak tempat usaha. Setelah diketahui itu semua,
maka Pihak Kedua harus tunduk pada aturan PD. Pasar Jaya dan pasal-pasal yang
tercantum dalam Perjanjian, selanjutnya kedua belah pihak menandatangani
Perjanjian tersebut sesuai dengan Surat Penunjukan Tempat yang diterbitkan PD.
Pasar Jaya dan Perjanjian yang dimaksud dicatatkan pada Register Notaris.
2. Dalam menyelesaikan permasalahan hapusnya perjanjian yang terjadi antara PD.
Pasar Jaya dengan pemakai tempat usaha. PD. Pasar Jaya mengacu pada
ketentuan Pasal 12 yang terdapat pada Perjanjian pemakaian tempat usaha itu
sendiri, yaitu dengan mengadakan musyawarah antara kedua belah pihak, bila
78
tidak bisa menemukan titik temu maka ditempuh jalur hukum oleh salah satu
pihak melalui Pengadilan.
3. Bentuk penyelesaian perselisihan hukum Positif pada umumnya sama dengan
hukum Islam, yaitu dengan jalan musyawarah dan melalui jalur pengadilan.
Namun terdapat perbedaan dalam penyelesaian melalui jalur pengadilan yaitu
fungsi alat bukti yaitu fungsi alat bukti sumpah dan syarat-syarat dan jumlah
saksi dan (yamin).
B. Saran
Ada beberapa saran yang dapat penulis sampaikan berkaitan dengan skripsi
yang penulis tulis ini:
1. Hendaknya Pemakai tempat usaha lebih memahami isi Perjanjian pemakaian
tempat usaha yang diterapkan PD. Pasar Jaya, agar pemakai tempat usaha
mengetahui secara jelas hak dan kewajibannya sebagai pemakai tempat usaha.
Pemahaman ini dapat disosialisasikan melalui penyuluhan di bidang hukum.
2. Dalam menyelesaikan suatu perselisiahan hendaknya kedua belah pihak
memaksimalkan penyelesaian melalui musyawarah karena penyelesaian tersebut
lebih mendekati keadilan yang sesungguhnya. Pemahaman ini dapat
disosialisasikan lewat penyuluhan di bidang hukum.
79
DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an Al- Karim. Abbas, Syahrizal. Mediasi Dalam Perspektif Hukum Syari’at. Hukum Adat, dan
Hukum Nasional Jakarta: Kencana Prenada Group, 2009. Ali, Zainuddin Ali. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Anwar, Syamsul. Hukum Perjanjian Syariah Studi tentang Teori Akad dalam Fikih
Muamalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2007. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT.
Rineka Cipta, 1998, Cet. Ke-11.
Arikunto, Suharsimi. Manajemen Penelitian. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1993, Cet. Ke-2.
Darmajaya, Wayan. Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet, Wawancara Pribadi.
Jakarta, 27 Januari 2010. Darus Badrulzaman, Mariam. et.al. Kompilasi Hukum Perikatan. Bandung: PT. Citra
Aditya Bakti, 2001. Dewi, Gemala. dkk. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana 2007,
Cet.Ke-3. Hamid, A.T. Ketentuan Fiqih dan Ketentuan Hukum yang Kini Berlaku di Lapangan
Perikatan. Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1983. Harahap, M. Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian. Bandung: Alumni, 1986,
Cet. Ke-2. Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000. Hasan, M. Ali. Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2004, Cet. Ke-2. Husni, Lalu. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2003, Cet. Ke-4.
80
HS., Salim. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2003, Cet. Ke-4.
HS., Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Jakarta: Sinar Grafika, 2003,
Cet. Ke-2.
Lathif, Ah. Azharuddin. Fiqh Muamalat. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005, Cet. Ke-1.
Lati, Yohana Damar. Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya, Wawancara
Pribadi. Jakarta, 29 Januari 2010. PD. Pasar Jaya, Administrator. “Tugas Pokok PD. Pasar Jaya” diakses 24 Januari
2010 dari http://www.pasar jaya.com. PD. Pasar Jaya, Administrator. “Sejarah PD. Pasar Jaya” diakses pada 24 Januari
2010 dari http://www.pasar jaya.com. PD. Pasar Jaya, Administrator. “Visi dan Misi PD. Pasar Jaya” diakses pada 24
Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com. PD. Pasar Jaya, Administrator. “Organisasi dan SDM PD. Pasar Jaya” diakses pada
24 Januari 2010 dari http://www.pasar jaya.com. Miru, Ahmadi. Hukum Kontrak dan Perencanaan Kontrak. Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2007. Moleong, Lexy J. Metodelogi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda
Karya, 2001. Muljadi, Kartini dan Widjaja, Gunawan. Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian..
Jakarta : PT. Raja Garfindo Persada, 2004, Cet. Ke-2. Prodjodikoro, Wirdjono. Asas-asas Hukum Perjanjian. Bandung: Sumur Bandung,
1981.
Rusdiana, Kama dan Aripin, Jaenal. Perbandingan Hukum Perdata. Jakarta: UIN Jakarta Press 2007.
Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Beirut: Daar al-Fikr, 2007, Jilid 3 Sabiq, Sayyid. Fiqh Sunnah (terj. H. Kamaluddin A.M. ). Bandung: PT. Al-
Ma’arif, 1998, Jilid 12.
81
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta : PT. Intermasa, 2001, Cet. Ke-18. Subekti dan Tjitrosudibio. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek). Jakarta: PT. Pradnya Paramita 2005, Cet. Ke-36. Syahrini, Riduan. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung : PT. Alumni,
2004. S. Hutagalung, Arie. Asas-Asas Hukum Agraria. Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, 1993. Tirtodiningrat, K.R.M.T. Ichtiar Hukum Perdata dan Dagang. Bandung: PT.
Pembangunan, 1960. Widjaja, Gunawan. Memahami Prinsip Keterbukaan (Aanvullend Recht) Dalam
Hukum Perdata. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006.
Wawancara Pribadi
1. Responden : Wayan Darmajaya, S.H., M.H. Jabatan : Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet (eks. Kepala Divisi
Hukum dan Keamanan Ketertiban PD. Pasar Jaya) Tempat : Ruang Kerja Manager PD. Pasar Jaya Area 15 Tebet
2. Responden : Yohana Damar Lati , S.H. Jabatan : Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya Tempat : Ruang Kerja Asisten Manager Divisi Hukum PD. Pasar Jaya
Hari/Tanggal : Rabu/27 Januari 2010 dan Jum’at/29 Januari 2010. 1. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu, tentang Perjanjian pemakaian tempat usaha?
Jawab: ”Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha, yaitu Perjanjian antara PD. Pasar
Jaya dengan Pemakai Tempat Usaha yang di dalamnya diatur hak dan kewajiban
kedua belah pihak yang berkaitan dengan tempat usaha yang dipakai beriktu
penerapan sanksi apabila tidak dilaksanakan.
2. Kapan diterapakannya Perjanjian pemakaian tempat usaha di pasar-pasar PD.
Pasar Jaya dan apa landasan yuridis diterpkannya Perjanjian pemakaian tempat
usaha?
Jawab: “ Penerapan Perjanjian pemakaian tempat usaha di pasar-pasar PD. Pasar
Jaya sejak tahun 2001 dan itu hanya terjadi pada sebagian pasar PD. Pasar Jaya,
sebelumnya Pemakai tempat usaha hanya diberikan surat ijin pemakaian tempat
usaha (SIPTU) sebagai pegangan yuridis Pemakai tempat usaha. Namun hingga
saat ini belum semua area Pasar diterapkan Perjanjian ini. Penerapan Perjanjian
pemakaian tempat usaha berlandaskan hukum: KUH Perdata (Buku ketiga tentang
Perikatan), Perda Provinsi DKI Jakarta No.06 Tahun 1992 jo. Perda Provinsi DKI
Jakarta No. 3 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Area Pasar dan Keputusan Direksi
No. 450 Tahun 2003.
3. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu, tentang mekanisme terjadinya Perjanjian
Pemakaian Tempat Usaha?
Jawab: ”Mekanisme terjadinya Perjanjian pemakaian tempat usaha didahului
dengan permohonan calon pemakai tempat usaha kepada Manager Area Pasar dan
atau Developer untuk tempat usaha yang akan dibeli hak pemakaianya oleh
pemohon nantinya, kemudian Maneger Area menyampaikan permohonan tersebut
kepada Direktur Operasi PD. Pasar Jaya. Sebelum dilaksanakan Perjanjian calon
pemakai tempat usaha diberitahu akan ketentuan-ketentuan pasal perjanjian yang
di dalamnya terdapat hak dan kewajiban calon pemakai tempat usaha, setelah
disetuji pihak kedua dengan mengasaskan kebebasan berkontrak maka dibuatlah
draft perjanjian antara Direktur Operasi PD. Pasar Jaya sebagai pihak pertama dan
Pemakai Tempat Usaha sebagai pihak kedua sesuai dengan tanggal terjadinya
perjanjian, dimana dalam perjanjian tersebut dicantumkan idintitas kedua belah
pihak yang tercakup didalamnya nama dan tempat tinggal kedua belah pihak,
Jenis tempat usaha, Nomor tempat usaha, Luas tempat usaha dan Harga jual
tempat usaha dan Cara pembayaran. Setelah diketahui itu semua, maka Pihak
Kedua harus tunduk pada aturan PD. Pasar Jaya dan pasal-pasal yang tercantum
dalam Perjanjian, selanjutnya kedua belah pihak menandatangani Perjanjian
Pemakaian Tempat/Ruangan Usaha sesuai dengan Surat Penunjukan Tempat yang
diterbitkan PD. Pasar Jaya dan Perjanjian yang dimaksud dicatatkan pada
Register Notaris.
4. Menurut Bapak/Ibu hal apa saja yang menjadi hak bagi pemakai tempat usaha
setelah diterapkannya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha?
Jawab: setelah diterapkannya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha, Pemakai
tempat usaha berhak atas ketentuan-ketentauan sebagai berikut:
a. Pemakai tempat usaha memiliki hak pemakaian tempat usaha selama 20 (dua
puluh) tahun dan dijamin tidak akan mendapat rintangan dari pihak siapapun
juga yang menyatakan turut mempunyai hak terlebih dahulu atas tempat usaha
yang dipakainya dan membebaskan Pemakai tempat usaha dari segala
tuntutan dari pihak lain mengenai hal-hal tersebut.
b. Pemakai tempat usaha boleh mengalihkan hak pemakaian tempat usahanya
kepada pihak lain.
c. Pemakai tempat usaha dapat menjaminkan apa yang ia miliki dari Sertifikat
Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) kepada Bank sebagai jaminan kredit.
d. Pemakai tempat usaha dapat menghibahkan, mewariskan dan atau
menyewakan hak pemakaian tempat usaha.
5. Perjanjian apa sajakah yang diatur oleh PD. Pasar Jaya berkaitan dengan
pemakaian tempat usaha dan apa letak perbedaan antara bentuk perjanjian
tersebut?
Jawab: ”Ada 2 (dua) bentuk Perjanjian yang diatur oleh PD. Pasar Jaya yaitu,
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dan Perjanjian Sewa Tempat Usaha.
Adapun letak perbedaannya adalah:
1. Jangka waktu Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha selama-lamanya adalah 20
(dua puluh) tahun, sedangkan Perjanjian Sewa Tempat Usaha yaitu sengan
sistem sewa kontrak tahunan.
2. Sebagai bukti kepemilikan hak pemakaian atas tempat usaha, Pemakai tempat
usaha selain diberikan Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha (PPTU),
diterbitkan pula Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) dan Surat
Ijin Pemakaian Tempat Usaha (SIPTU), sedangkan Perjanjian Sewa Tempat
usaha hanya diberikan Perjanjian saja;
3. Akibat Perjanjian pemakaian tempat usaha hak pemakaian atas tempat usaha
tersebut dapat dialihkan, sedangkan Perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat
dialihkan;
4. Sertifikat Hak Pemakaian Tempat Usaha (SHPTU) yang diterbitkan setelah
adanya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha dapat dijadikan jaminan kredit,
sedangkan perjanjian sewa tempat usaha tidak dapat dijadikan jaminan kredit,
karena tidak mendapat SHPTU.
6. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu sehubungan dengan kasus yang terjadi pada
tahun 2002 silam di Pasar Area Tanah Abang?
Jawab: “Kejadian yang terjadi pada tahun 2002 yang lalu merupakan peristiwa
kebakaran yang hebat yang mangkibatkan sebagian tempat usaha di area Tanah
Abang hangus terbakar dan harus dibongkar untuk diremajakan kembali. Sesuai
ketentuan KUH Perdata Pasal 1381 tentang hapusnya perikatan yaitu yang
menyebabkan hapusnya perikatan diantaranya adalah karena musnahnya barang
yang terutang (objek perjanjian), dari sini jelas bahwa pemakai tempat usaha yang
tempatnya terbakar maka hak pakai atas tempat usahanya hilang dan ini dikuatkan
dengan diktum keempat Keputusan Direksi No. 4.268 tanggal 29 Desember 1993
tentang batas waktu pemakaian tempat usaha yaitu “apabila pada suatu saat terjadi
musibah yang menimpa bangunan seperti bencana alam baik berupa tanah
longsor/sambaran petir/gempa bumi dan atau kebakaran maupun huru hara yang
berakibat bangunan pasar tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya secara
total, maka hak pemakaian tempat usaha yang dimiliki pedagang pada bangunan
itu dinyatakan berakhir/batal demi hukum. Adapun pembongkaran yang
dilakukan oleh PD. Pasar Jaya untuk seluruh tempat usaha yang terbakar dan
terkena dampak kebakaran (tidak terbakar) ini dilakukan karena kondisi bangunan
yang sudah tidak memungkinkan untuk dipakai karena dikhawatirkan akan
membahayakan pemakai tempat usaha (pedagang) dan juga para pembeli, hal ini
terkait dengan Undang-undang tentang Bangunan No. 28 Tahun 2002. Dan kami
selaku pengelola tidak serta merta lepas dari tanggung jawab karena
memfasilitasi tempat penampungan sementara kepada seluruh pemakai tempat
usaha tersebut.
7. Apakah ketika kejadian kebakaran 2002 lalu tersebut sudah diterapakan
Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha?
Jawab: “Pada kejadian tersebut pasar area Tanah Abang belum menerapkan
Perjanjian pemakaian tempat usaha dan pemakai tempat usaha hanya diberikan
Surat Ijin Pemakian Tempat Usaha (SIPTU) sebagai pegangan yuridis Pemakai
tempat usaha. Namun disebagian pasar telah diterapkan Perjanjian tersebut.
8. Menurut Bapak/Ibu, hal apa saja yang menyebabkan hapusnya perjanjian
Pemakaian Tempat Usaha?
Jawab: “Hal yang menyebabkan hapusnya Perjanjian pemakaian tempat usaha ini
mengacu pada KUH Perdata Pasal 1381 tentang hapusnya perikatan-perikatan,
yaitu:
a. karena pembaruan hutang/novasi;
b. karena musnahnya barang yang terutang ;
c. karena kebatalan atau pembatalan;
d. karena berlakunya suatu syarat batal;
e. karena lewat waktu.
.
9. Menurut Bapak/Ibu, apakah dampak kebakaran merupakan hal yang
menyebabkan hapusnya Perjanjian pemakaian tempat usaha?
Jawab: “ Dampak kebakaran bukan merupakan hal yang menyebabkan hapusnya
Perjanjian, namun kami melihat apakah dampak tersebut mengakibatkan
kerusakan pada tempat usaha, bila terjadi hal tersebut maka kami akan
merenovasi kembali sesuai kebutuhan dan biaya renovasi ditanggung oleh para
Pemakai tempat usaha dan PD. Pasar Jaya dihitung secara proporsional.
10. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu tentang penyelesaian PD. Pasar Jaya sengketa
yang terjadi akibat adanya Perjanjian Pemakaian Tempat Usaha?
Jawab: “Untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi antara PD. Pasar Jaya dengan
pemakai tempat usaha sebagai akibat Perjanjian pemakaian tempat usaha, PD.
Pasar Jaya mengacu pada ketentuan Pasal 12 yang terdapat pada Perjanjian
pemakaian tempat usaha itu sendiri, yaitu dengan mengadakan musyawarah
antara kedua belah pihak, bila tidak bisa menemukan titik temu maka ditempuh
jalur hukum oleh salah satu pihak melalui pengadilan, sebelum proses
persidangan pengadilan, pengadilan menyelesaiakan dahulu sengketa tersebut
melalui proses mediasi, yang dimediatori pengadilan sendiri, bila tidak bisa
diselesaikan juga maka dilanjutkan ke proses persidangan .
top related