css kelainan refraksi mata (yeni marlina-0718011038)
Post on 20-Feb-2016
46 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
CLINICAL SCIENCE SESSION
REFRAKSI MATA
Oleh :
Yeni Marlina N.0718011038
Preceptor :
dr. Helmi Muchtar, Sp.M
SMF ILMU PENYAKIT MATARSUD Dr. Hi. ABDOEL MOELOEK BANDAR LAMPUNG
PERIODE 4 JUNI 2012 – 23 JUNI 2012
DAFTAR ISI
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.......................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan....................................................................... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Mata...................................................... 3
B. Kelainan Refraksi...................................................................... 12
1. Miopia.................................................................................. 13
2. Hipermetropia....................................................................... 17
3. Astigmatisma........................................................................ 22
4. Presbiopi............................................................................... 25
III. PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA............................................................................ 28
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Panca indra adalah organ–organ yang dikhususkan untuk menerima jenis
rangsangan tertentu. Mata merupakan salah satu organ indra manusia yang
mempunyai fungsi yang sangat besar.
Penyakit mata seperti kelainan-kelainan refraksi sangat membatasi fungsi
tersebut. Ada tiga kelainan refraksi, yaitu: miopia, hipermetropia,
astigmatisme, atau campuran kelainan-kelainan tersebut. Diantara kelainan
refraksi tersebut, miopia adalah yang paling sering dijumpai, kedua adalah
hipermetropia, dan yang ketiga adalah astigmatisma (H. Sidarta Ilyas, 2007).
Hasil survai Morbiditas Mata dan Kebutaan di Indonesia yang dilaksanakan
oleh Departemen Kesehatan RI bekerjasama dengan Perhimpunan Dokter
Ahli Mata Indonesia pada tahun 1982, menunjukkan bahwa kelainan refraksi
menduduki urutan paling atas dari 10 penyakit mata (Hamurwono, 1984).
Dari hasil survai kesehatan anak di daerah DKI Jaya yang dilakukan oleh
Kanwil Depkes DKI bersama PERDAMI Cabang DKI pada anak Sekolah
Dasar dan lbtiddaiah di seluruh wilayah DKI diketahui bahwa angka kelainan
refraksi rata-rata sebesar 11,8%. Sehingga di Indonesia dari ± 48,6 juta murid
Sekolah Dasar diperkirakan terdapat 5,8 juta orang anak yang menderita
kelainan refraksi.
Kainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk pada
retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi ketidakseimbangan
sistem optik pada mata sehingga menghasilkan bayangan kabur. Pada mata
normal, kornea dan lensa membelokkan sinar pada titik fokus yang tepat pada
sentral retina. Keadaan ini memerlukan susunan kornea dan lensa yang sesuai
dengan panjangnya bola mata. Pada kelainan refraksi, sinar tidak di biaskan
tepat pada makula lutea, tetapi dapat di depan atau dibelakang makula.
Miopia tinggi adalah salah satu penyebab kebutaan pada usia dibawah 40
tahun. Miopia tinggi adalah myopia dengan ukuran 6 dioptri atau lebih.
Penderita dengan minus di atas 6 dioptri akan menyebabkan 3-4 kali lebih
besar untuk terjadinya komplikasi pada mata. Dalam bidang oftalmologi
tercatat bahwa miopia merupakan obyek penelitian yang paling lama telah
dilakukan. Hal ini disebabkan karena penglihatan sangat penting untuk
kehidupan. Dalam sejarahnya kelainan miopia telah diketahui sejak zaman
Aristoteles, tetapi penelitian yang lebih mendalam dan akurat serta sistematis
baru dilakukan pada pertengahan abad 19 oleh Von Jaegger, Donders, Von
Graefe, Von Reuss dan Von Arlt. Pada permulaan pertengahan abad ke 19
sejalan dengan kemajuan di bidang oftalmologi dan optik, Schnabel &
Herrnheiser telah membuktikan bahwa miopia antara lain dapat disebabkan
oleh panjang sumbu bola mata (H. Sidarta Ilyas, 2004).
Astigmatisme idiopatik lebih sering. Secara klinis astigmatisme refraktif
ditemukan sebanyak 95% mata. Insidensi astigmatisme yang signifikan secara
klinis dilaporkan 7,5-75%, bergantung pada specific study dan defenisi derajat
astigmatisma yang signifikan secara klinis. Kira-kira 44% dari populasi
umum memiliki astigmatisme lebiih dari 0.50 D, 10% lebih dari 1.00 D, dan
8% lebih dari 1.50 D. astigmatisme ditemukan 22% pada Down Syndrome.
B. Tujuan Penulisan
Tujuan dari penulisan ini adalah:
1. Untuk mengetahui kelainan refraksi
2. Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi mata
3. Untuk mengetahui pengertian dan konsep dasar tentang kelainan refraksi
4. Untuk mengetahui pengertian, proses terjadi, tanda gejala, serta koreksi
mata pada kelainan refraksi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Mata
Gambar 1. Anatomi Mata
1. Struktur Mata
Terdapat 4 struktur bola mata yang berperan dalam proses perjalanan
cahaya dari luar menuju retina, yaitu:
a) Kornea
Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya
sebanding dengan Kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea dewasa
rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah, sekitar 0,65 mm di tepi,
dan diameternya sekitar 11,5 mm. Dari anterior ke posterior kornea
mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda, yaitu lapisan epitel,
lapisan Bowman, stroma, membran Descemet, dan lapisan endotel.
Lapisan epitel mempunyai lima atau enam lapis sel sedangkan endotel
hanya satu lapis. Lapisan Bowman merupakan lapisan jernih aseluler,
yang merupakan bagian stroma yang berubah. Membran Descemet
merupakan suatu membran elastik yang jernih yang tampak amorf
pada pemeriksaan mikroskop elekron dan merupakan membran
basalis dari endotel kornea. Stroma kornea mencakup sekitar 90% dari
ketebalan lensa. Bagian ini tersusun dari lamella fibril-fibril kolagen
dengan lebar sekitar 1μm yang salin menjalin yang hampir mencakup
seluruh diameter kornea. Lamella ini berjalan sejajar dengan
permukaan kornea dan karena ukuran dan periodiditasnya secara optic
menjadi jernih. Lamella terletak di dalam suatu zat dasar proteoglikan
hidrat bersama dengan keratosit yang menghasilkan kolagen dan zat
dasar ( Sidarta ilyas, 2007).
Sumber-sumber nutrisi untuk kornea berasal dari pembuluh-pembuluh
darah limbus, humor aqueus, dan air mata. Kornea superficial juga
mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfer. Saraf-saraf sensorik
kornea didapat dari percabangan pertama (oftalmika) dari nervus
kranialis V (trigeminus).
Kornea mempunyai indeksi bias 1,38. Kelengkungan kornea
mempunyai kekuatan yang sebanding dengan lensa hingga 40 dioptri.
Pemeriksaan kelengkungan kornea ditentukan dengan keratometer.
Keratometri diperlukan untuk:
1) Melihat kecembungan yang teratur
2) Melihat kecembungan berbeda pada meridian berbeda sehingga
diketahui mata tersebut mempunyai kelainan refraksi
astigmatisma/silinder
3) Menyesuaikan kelengkungan lensa kontak pada permukaan
cembung, flat (permukaan yang rata) dan normal
4) Melihat kemungkinan terdapat permukaan kornea yang tidak
teratur atau astigmatisme ireguler
b) Humor aquaeus
Humor aqueus diproduksi oleh prosesus siliaris. Setelah memasuki
kamera okuli posterior, humor aqueus melalui pupil masuk ke kamera
okuli anterior dan kemudian ke perifer menuju sudut kamera okuli
anterior.
Gambar 2. Aliran Humor Aquosus yang normal
c) Lensa
Lensa yang berkembang dengan sempurna berbentuk bikonveks dan
tidak berwarna sehingga hampir transparan sempurna. Permukaan
posteriornya lebih konveks dari permukaan anteriornya. Pada orang
dewasa, tebalnya sekitar 4 mm dengan diameter 9 mm. Berat suatu
lensa bertambah lima kali lipat berbanding berat lensa saat lahir.
Lensa pada orang dewasa diperkirakan seberat 220 gm. Lensa terletak
pada bilik mata belakang yaitu antara bagian posterior dari iris dan
bagian anterior dari corpus vitreous yang dinamakan fossa hialoid.
Terdapat serabut-serabut yang dinamakan zonulla zinn (zonula fibres)
di sekitar ekuator lensa yang berfungsi untuk mengikat lensa dengan
corpus siliaris. Serabut-serabut ini memegang lensa pada posisinya
dan akan berkontraksi atau mengendur saat otot siliaris berkontraksi
atau berdilatasi saat proses akomodasi.
Lensa merupakan salah satu media refraksi yang penting. Kekuatan
dioptri seluruh bola mata adalah sekitar 58 dioptri. Lensa mempunyai
kekuatan dioptri sekitar 15 dioptri. Tetapi kekuatan dioptri ini tidak
menetap seperti pada kornea (43 dioptri). Kekuatan dioptri lensa
berubah dengan meningkatnya umur, yaitu menjadi sekitar 8 dioptri
pada umur 40 tahun dan menjadi 1 atau 2 dioptri pada umur 60 tahun.
Lensa terbentuk dari kapsul yang elastis, epitel yang terbatas pada
permukaan anterior lensa dan serabut-serabut lensa yang dibagi lagi
menjadi nukleus dan korteks.
Kapsul lensa merupakan suatu membran elastis yang membungkus
seluruh permukaan lensa. Kapsul bagian anterior (20µm) lebih tebal
berbanding kapsul bagian posterior (3µm). Di bawah mikroskop
electron, kapsul lensa terdiri dari lamela yang mengandung kolagen
tipe 4. Pada bagian ekuator lensa, terdapat zonula zinnia yang
mengikat lensa pada prosessus ciliaris. Kapsul lensa berfungsi sebagai
diffusion barier dan permeabel terhadap komponen dengan berat
molekul rendah. Fungsi utama kapsul lensa adalah untuk membentuk
lensa sebagai respon dari penarikan serabut-serabut zonula saat proses
akomodasi.
Epitel lensa berbentuk kuboid dan terletak di bawah kapsul bagian
anterior. Di bagian ekuator, sel-sel ini memanjang dan membentuk
kolumnar. Di bagian ekuator ini juga sel epitel lensa berubah
membentuk serabut-serabut lensa karena di bagian ini aktivitas mitotik
berada pada puncaknya. Fungsi sel epitel lensa adalah untuk
berdiferensiasi membentuk serabut lensa dan terlibat dalam
transportasi antara humor aquous dengan bagian dalamnya dan sekresi
material kapsul.
Seperti yang telah diketahui, serabut-serabut lensa terbentuk dari
multiplikasi dan diferensiasi dari sel epitel lensa di bagian ekuator.
Oleh karena pertumbuhan normal dari lensa bermula dari permukaan
ke arah dalam, maka serabut yang terbentuk terlebih dahulu
dinamakan nukleus lensa dan serabut yang baru terbentuk dinamakan
korteks.
Enam puluh lima persen lensa terdiri dari air, sekitar 15 % protein,
dan sedikit sekali mineral yang biasa ada di jaringan tubuh lainnya.
Kandungan kalium lebih tinggi di lensa daripada di kebanyakan
jaringan lain. Asam askorbat dan glutation terdapat dalam bentuk
teroksidasi maupun tereduksi. Tidak ada serat nyeri, pembuluh darah
dan persarafan di lensa.
d) Korpus Vitreus
Vitreus adalah suatu badan gelatin yang jernih dan avaskuler yang
membentuk duapertiga dari volume dan berat mata. Vitreus mengisi
ruangan yang dibatasi oleh kornea, retina dan diskus optikus.
Permukaan luar vitreus (membrane hiloid) normalnya kontak dengan
struktur-struktur seperti kapsul lensa posterior, serat-serat zonula pars
plana lapisan epitel, retina, dan caput nervi optici. Basis vitreus
mempertahankan penempelan yang kuat sepanjang hidup ke lapisan
epitel pars plana dan retina tepat di belakang ora serata Perlekatan ke
kapsul lensa dan nervus optikus kuat pada awal kehidupan tetapi
segera hilang. Vitreus berisi air sekitar 99%. Sisanya 1% meliputi dua
komponen, kolagen dan asam hialuronat, yang memberikan bentuk
dan konsistensi mirip gel pada vitreus karena kemampuannya
mengikat banyak air.
Selain keempat struktur bola mata di atas, terdapat satu struktur lagi yang
penting pada proses masuknya cahaya ke retina, yaitu pupil. Pupil
merupakan lubang bundar di tengah iris yang sesuai dengan bukaan lensa
pada sebuah kamera. Pupil mengendalikan banyaknya cahaya yang masuk
ke dalam mata. Ukuran pupil pada prinsipnya diatur oleh keseimbangan
antara konstriksi akibat aktivitas parasimpatik yang dihantarkan melalui
nervus kranialis III dan dilatasi yang ditimbulkan oleh aktivitas simpatik.
Pada proses miosis (konstriksi), otot sfingter pupil mengecilkan pupil. Hal
ini terjadi pada kondisi lingkungan yang terang dan selama proses
akomodasi. Miosis merupakan aktivitas saraf parasimpatis. Pada proses
midriasis (dilatasi), otot dilator pupil melebarkan pupil. Hal ini terjadi
pada kondisi lingkungan yang gelap. Midriasis merupakan aktivitas saraf
simpatis.
1. Media Refraksi
Media refraksi merupakan bangunan transparan yang harus dilalui berkas
cahaya untuk mencapai retina. Komponen media refraksi adalah:
a. Kornea
b. kamera okuli anterior
c. kamera okuli posterior
d. lensa
e. badan vitreus
Mata dapat dianggap sebagai kamera dimana sistem refraksinya
menghasilkan bayangan kecil dan terbalik di retina. Rangsangan ini
diterima oleh sel batang dan kerucut di retina, yang diteruskan melalui N.II
ke korteks serebri pusat penglihatan, yang kemudian tampak sebagai
bayangan yang tegak. Supaya bayangan tak kabur, kelebihan cahaya
diserap oleh lapisan epitel pigmen di retina. Bila intensitas cahaya terlalu
tinggi, pupil akan mengecil untuk menguranginya. Alat-alat refraksi mata
terdiri dari permukaan kornea, humor aqueus, lensa, dan korpus vitreus.
Daya refraksi kornea hampir sama dengan humor aqueus, sedangkan daya
refraksi lensa hampir sama dengan korpus vitreus. Keseluruhan sistem
refraksi mata ini membentuk lensa yang cembung dengan vokus 23 mm.
dengan demikian pada mata yang emetrop, dalam keadaan istirahat, sinar
yang sejajar yang datang di mata akan dibiaskan tepat di fovea sentralis di
retina. Fovea sentralis merupakan posterior principal focus dari sistem
refraksi mata ini dimana cahaya yang datangnya sejajar, setelah melalui
sistem refraksi ini bertemu. Fovea sentralis letaknya 23 mm di belakang
kornea, tepat dibagian dalam macula lutea. Pembiasan yang terbesar
terdapat pada permukaan anterior dari kornea, ditambah dengan
permukaan anterior dan posterior dari lensa (Sidarta ilyas, 2007).
Gambar 3. Refraksi pada mata emetrop
Hasil pembiasan sinar pada mata ditentukan oleh media penglihatan yang
terdiri atas kornea, cairan mata, lensa dan panjangnya bola mata. Pada
orang normal, susunan pembiasan oleh media penglihatan dan panjangnya
bola mata demikian seimbang sehingga bayangan benda setelah melalui
media penglihatan dibiaskan tepat pada daerah makula lutea. Mata yang
normal dikenal dengan emetropia dan akan menempatkan bayangan benda
tepat diretinanya pada keadaan mata tidak melakukan akomodasi / melihat
jauh.
Bagan 1. Mekanisme penglihatan normal
Dikenal beberapa titik didalam bidang refraksi, seperti Pungtum
Proksimum merupakan titik terdekat dimana seseorang masih dapat
melihat dengan jelas. Pungtum Remotum adalah titik terjauh dimana
seseorang masih dapat melihat dengan jelas. Titik ini merupakan titik
dalam ruang yang berhubungan dengan retina bila mata beristirahat. Pada
emetropia pungtum remotum terletak di depan mata sedang pada mata
hipermetropia titik semu di belakang mata.
2. Akomodasi
Akomodasi adalah kesanggupan mata untuk memperbesar daya
pembiasannya. Akomodasi dipengaruhi oleh serat-serat sirkuler. Fungsi
serat-serat sirkuler adalah mengerutkan dan relaksasi serat-serat zonula
yang berorigo di lembah-lembah di antara prosesus siliaris. Otot ini
mengubah tegangan pada kapsul lensa, sehingga lensa dapat mempunyai
berbagai focus baik untuk objek dekat maupun yang berjarak jauh dalam
lapangan pandang (Sidarta ilyas, 2007).
Ada beberapa teori mengenai mekanisme akomodasi, antara lain:
1) Teori Helmholtz. Jika mm.siliaris berkontraksi maka iris dan korpus
siliaris digerakkan ke depan bawah, sehingga zonulla Zinnii menjadi
kendor, lensa menjadi cembung.
2) Teori Schoen. Terjadi akibat mm.siliaris pada bola karet yang
dipegang dengan kedua tangan dengan jari akan mengakibatkan
pencembungan bola di bagian tengah.
3) Teori dari Tichering. Jika mm.siliaris berkontraksi maka iris dan
korpus siliaris digerakkan ke belakang atas/luar, sehingga zonulla
Zinnii menjadi tegang, bagian perifer lensa juga menjadi tegang,
sedangkan bagian tengahnya didorong ke sentraldan menjadi cembung
(Sidarta ilyas, 2007)
Gambar 4. Skema terjadinya akomodasi mata
Punctum remotum (R) adalah titik terjauh yang dapat dilihat dengan nyata
tanpa akomodasi. Pada emetrop letak R adalah tak terhingga. Punctum
proksimum (P) adalah titik terdekat yang dapat dilihat dengan akomodasi
maksimal. Daerah akomodasi adalah daerah di antara titik R dan titik P.
Lebar akomodasi (A) adalah tenaga yang dibutuhkan untuk melihat
daerah akomodasi. Lebar akomodasi dinyatakan dengan dioptri, besarnya
sama dengan kekuatan lensa konfeks yang harus diletakkan di depan mata
yang menggantikan akomodasi untuk punctum proksimum.
A = 1/P – 1/R
Kekuatan akomodasi makin berkurang dengan bertambahnya umur dan
punctum proksimumnya (P) semakin menjauh. Hal ini disebabkan oleh
karena berkurangnya elastisitas dari lensa dan berkurangnya kekuatan otot
siliarnya.
B. Kelainan Refraksi
Kelainan refraksi adalah kelainan pembiasan sinar oleh media penglihatan
yang terdiri dari kornea, cairan mata, lensa, badan kaca, atau panjang bola
mata, sehingga bayangan benda dibiaskan tidak tepat di daerah makula lutea
tanpa bantuan akomodasi. Kelainan refraksi dapat dibagi menjadi miopia
(rabun jauh), hipermetropia (rabun dekat), dan astigmatisme, serta presbiopia
yang terjadi pada orang lanjut usia.
1. Miopia
Miopia adalah anomali refraksi pada mata dimana bayangan difokuskan di
depan retina, ketika mata tidak dalam kondisi berakomodasi. Ini juga dapat
dijelaskan pada kondisi refraktif dimana cahaya yang sejajar dari suatu
objek yang masuk pada mata akan jatuh di depan retina, tanpa akomodasi.
Myopia berasal dari bahasa yunani “ muopia” yang memiliki arti menutup
mata. Myopia merupakan manifestasi kabur bila melihat jauh, istilah
populernya adalah “nearsightedness (American Optometric Association,
2000). Myopia atau biasa juga disebut sebagai rabun jauh merupakan jenis
kerusakan mata yang disebabkan pertumbuhan bola mata yang terlalu
panjang atau kelengkungan kornea yang terlalu cekung (Sidarta, 2007).
Gambar 5. Refraksi Pada Mata Miopi
Sebenarnya, myopia juga dapat dikatakan merupakan keadaan di mana
panjang fokus media refrakta lebih pendek dari sumbu orbita (mudahnya,
panjang aksial bola mata jika diukur dari kornea hingga makula lutea di
retina) (Nisna, 2008).
a) Klasifikasi
Klasifikasi myopia berdasarkan besarnya derajat refraksi anomaly,
antara lain :
1) Myopia ringan : Spheris - 0.25 Dioptri s/d Spheris - 3.00 Dioptri
2) Myopia sedang : Speris - 3.25 Dioptri s/d Spheris - 6.00 Dioptri
3) Myopia tinggi : Lebih dari Spheris - 6.25 Dioptri
Klasifikasi berdasarkan laju perubahan besarnya derajat anomaly secara
klinik, antara lain :
1) Myopia simplek/stasioner/fisiologik
Myopia simplek biasanya timbul pada usia yang masih muda
kemudian akan berhenti. Tetapi dapat juga naik sedikit kemudian
berhenti. Dapat juga naik sedikit pada masa puber sampai sekitar
umur 20 tahun. Besar dioptrinya kurang dari S -5.00 Dioptri atau S -
6.00 Dioptri. Tetapi kalau dikoreksi dengan lensa yang sesuai dapat
mencapai normal yaitu 6/6 atau 20/20.
2) Myopia progresif
Myopia ini ditemukan pada segala umur. Pada keadaan ini akan
terjadi kelainan fundus yang khas untuk myopia tinggi (myopia lebih
dari Speris - 6.00 Dioptri).
3) Myopia maligna
Myopia ini disebut juga dengan myopia patologis/degeneratif karena
disertai penuaan dari koroid dan bagian lain dalam bolamata (lensa,
koroid, badan siliar).
Klasifikasi myopia berdasarkan faktor penyebab dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu :
1) Myopia axial
Myopia axial ini dapat terjadi sejak lahir oleh karena faktor
hereditas, komplikasi penyakit lain seperti gondok, TBC, dan
campak maupun karena konginetal. Selain itu juga dapat karena anak
biasa membaca dalam jarak yang selalu dekat sehingga mata luar
dan polus posterior yang paling lemah dari bolamata memanjang.
Orang yang berwajah lebar akan menyebabkan konvergensi
berlebihan saat melakukan pekerjaan dekat, karena peradangan atau
melemahnya lapisan yang mengelilingi bolamata disertai tekanan
yang tinggi.
Myopia ini dapat bertambah terus sampai dewasa. Myopia axial
merupakan suatu keadaan dimana jarak fokus media refrakta lebih
pendek dibandingkan sumbu orbitnya. Dalam hal ini jarak fokus
media refrakta normal 22,6 mm sedangkan jarak sumbu orbitnya
adalah > 22,6 mm.
2) Myopia refraktif
Myopia refraktif merupakan suatu keadaan dimana jarak fokus
media refrakta lebih pendek dibandingkan sumbu orbitnya. Namun
dalam hal ini sumbu orbit normal 22,6 mm sedangkan jarak fokus
media refrakta < 22,6 mm.
b) Gejala dan Tanda Miopia
Tanda-tanda Myopia :
Penderita mata myopia kurang mampu untuk berakomodasi
dibandingkan dengan mata emetropia. Penderita myopia mampu
melihat obyek dekat dengan jelas tetapi untuk melihat obyek jauh
kurang jelas. Oleh karena itu seorang penderita myopia biasanya selalu
menyipitkan matanya saat melihat obyek jauh untuk mendapatkan efek
pin hole yang akan membantu menggeser bayangan yang tadinya jatuh
didepan retina supaya dapat mendekati retina.
Gejala Myopia :
1. Gejala tunggal paling penting dari myopia adalah penglihatan jauh
yang kabur atau buram.
2. Sakit kepala jarang dialami meskipun ditunjukkan bahwa koreksi
kesalahan myopia yang rendah membantu mengurangi rasa sakit
kepala akibat asthenopia.
3. Ada kecenderungan pasien untuk memincingkan mata jika ia ingin
melihat jauh, efek pinhole dari celah palpebra membuat ia melihat
lebih jelas.
4. Keadaan bolamata cepat lelah, mudah berair, terasa pusing, cepat
terasa mengantuk, atau biasanya disebut dengan asthenopia ( kedaan
mata cepat lelah/capai).
c) Koreksi Mata
Koreksi myopia dengan menggunakan lensa konkaf atau lensa negatif,
perlu diingat bahwa cahaya yang melalui lensa konkaf akan disebarkan.
Karena itu, bila permukaan refraksi mata mempunyai daya bias terlalu
besar, seperti pada myopia, kelebihan daya bias ini dapat dinetralisasi
dengan meletakkan lensa sferis konkaf di depan mata (Guyton, 2000).
Gambar 6. Koreksi myopia dengan lensa cekung
Besarnya kekuatan lensa yang digunakan untuk mengkoreksi mata
myopia ditentukan dengan cara trial and error, yaitu dengan mula-mula
meletakan sebuah lensa kuat dan kemudian diganti dengan lensa yang
lebih kuat atau lebih lemah sampai memberikan tajam penglihatan yang
terbaik (Guyton, 2000).
Pasien myopia yang dikoreksi dengan kacamata sferis negatif terkecil
yang memberikan ketajaman penglihatan maksimal. Sebagai contoh
bila pasien dikoreksi dengan -3.00 dioptri memberikan tajam
penglihatan 6/6, demikian juga bila diberi sferis -3.25 dioptri, maka
sebaiknya diberikan koreksi -3.00 dioptri agar untuk memberikan
istirahat mata dengan baik setelah dikoreksi (Sidarta, 2007).
2. Hipermetropia
Hipermetropia merupakan keadaan dimana kekuatan pembiasan sinar pada
mata tidak cukup kuat untuk memfokuskan sinar pada bintik kuning
(macula lutea), sehingga mata menfokuskan sinar di belakang retina.
Hipermetropia merupakan kelainan refraksi dimana dalam keadaan mata
istirahat semua sinar sejajar yang datang dari benda-benda pada jarak tak
terhingga dibiaskan dibelakang retina, dan sinar-sinar divergen yang
datang dari benda-benda yang jaraknya dekat dibiaskan lebih jauh lagi di
belakang retina.
Penyebab utama hipermetropia adalah panjangnya bola mata yang lebih
pendek. Akibat bola mata yang lebih pendek, bayangan benda akan
difokuskan di belakang retina atau selaput jala.
Berdasarkan penyebabnya, hipermetrop dibedakan atas 3 jenis, yaitu:
1) Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan
refraksi akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang
pendek.
2) Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa
kurang sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3) Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang
kurang pada sistem optic mata, misalnya pada usia lanjut lensa
mempunyai indeks refraksi yang berkurang (Sidarta ilyas, 2007)
Gambar 7. Refraksi pada mata hipermetrop
Gambar 8. Penggunaan lensa positif pada hipermetrop
1) Bentuk hipermetropia
Hipermetropia dikenal dalam bentuk :
a) Hipermetropia manifes ialah hipermetropia yang dapat dikoreksi
dengan kacamata positif maksimal yang memberikan tajam
penglihatan normal. Hipermetropia ini tediri atas hipermetropia
absolut ditambah dengan hipermetropia fakultatif. Bila dilakukan
pemeriksaan mata pada seorang hipermetropia dan dapat melihat
jelas (visus 6/6) dengan ∫ +3,00 akan tetapi dapat menjadi lebih jelas
dengan ∫ +3,50 maka dikatakan hipermetropia manifesnya adalah
∫ +3,50
b) Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak dapat
diimbangi dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif
untuk melihat jauh. Pada contoh di atas hipermetropia absolutnya
bernilai ∫ +3,00.
c) Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat
diimbangi dengan akomodasi ataupun dengan kacamata positif.
Pasien yang hanya mempunyai hipermetropia fakultatif akan melihat
normal tanpa kacamata. Bila diberikan kacamata positif yang
memberikan penglihatan normal maka otot akomodasinya akan
beristirahat. Pada contoh di atas maka hipermetropia fakultatifnya
adalah ∫ +3,50 dikurang ∫ +3,00 atau 0,50.
d) Hipermetropia laten, di mana kelainan hipermetropia tanpa siklopegi
(atau dengan obat yang melemahkan akomodasi) diimbangi
seluruhnya dengan akomodasi. Hipermetropia laten hanya dapat
diukur bila diberikan siklopegia. Hipermetropia laten merupakan
selisih antara hipermetropia total dan manifes yang menunjukkan
kekuatan tonus dari mm.siliaris. Makin muda makin besar komponen
hipermetropia laten seseorang, makin tua seseorang akan terjadi
kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi
hipermetropia fakultatif dan kemudian akan menjadi hipermetropia
absolut. Hipermetropia laten sehari-hari diatasi pasien dengan
akomodasi terus-menerus, terutama bila pasien masih muda dan daya
akomodasinya masih kuat
e) Hipermetropia total ialah hipermetropia yang ukurannya didapat
sesudah diberikan siklopegia. Hasil pengukuran lensa sesudah
diberikan siklopegia (hipermetropia total) lebih besar daripada
hipermetropia manifes (Sidarta ilyas, 2007).
2) Gejala dan tanda hipermetropia
Pada hipermetropia, untuk melihat benda yang terletak pada jarak jauh
sampai tak terhingga (6m atau lebih) dengan baik, mata penderita harus
berakomodasi supaya bayangan benda yang difokuskan di belakang
retina dapat dipindahkan tepat di retina. Untuk melihat benda yang
lebih dekat dengan jelas, akomodasi lebih banyak dibutuhkan, karena
bayangannya jatuh lebih jauh lagi di belakang retina. Dengan demikian
untuk mendapatkan ketajaman penglihatan sebaik-baiknya penderita
hipermetropia harus selalu berakomodasi, baik untuk penglihatan jauh,
apalagi untuk penglihatan dekat.
Penderita hipermetropia sukar untuk melihat dekat dan tidak sukar
melihat jauh. Penglihatan jauh dapat terganggu bila hipermetropianya
tinggi melebihi daya akomodasi, jadi merupakan hipermetropia manifes
absolut. Dengan bertambahnya usia maka kemampuan mata
berakomodasi untuk mengatasi hipermetropia ringan berkurang. Pasien
hipermetropia hingga ∫ + 2,00 D dengan usia 20 tahun masih dapat
melihat jauh dan dekat tanpa kaca mata dengan tidak mendapatkan
kesukaran. Tidak demikian bila sudah berumur 60 tahun.
Pada penderita hipermetropia, dirasakan sakit kepala terutama di daerah
dahi atau frontal, rasa silau, dan kadang rasa juling atau melihat ganda.
Pasien hipermetropia akan mengeluh matanya lelah, panas, mengantuk
dan sakit karena terus-menerus harus berakomodasi untuk melihat atau
memfokuskan bayangan yang terletak di belakang retina agar terletak di
daerah macula lutea. Keadaan ini disebut astenopia akomodatif. Akibat
terus-menerus berakomodasi, maka bola mata bersama-sama
melakukan konvergensi dan mata akan sering terlihat mempunyai
kedudukan esotropia atau juling kearah dalam (nasal).
Pasien muda dengan hipermetropia tidak akan memberikan keluhan
karena matanya masih mampu melakukan akomodasi kuat untuk
melihat benda dengan jelas. Pada pasien yang banyak membaca atau
mempergunakan matanya, terutama pada usia yang lanjut akan
memberikan keluhan kelelahan setelah membaca. Selain itu sering
terasa sakit kepala, mata terasa pedas, dan tertekan. Pada usia lanjut
seluruh titik focus akan berada di belakang retina karena berkurangnya
daya akomodasi mata dan penglihatan akan berkurang.
Pada hipermetropia terjadi akomodasi terus-menerus sehingga timbul
hipertrofi otot siliaris, yang disertai terdorongnya iris ke depan,
sehingga bilik mata depan menjadi dangkal. Karena selalu
berakomodasi, pupil menjadi miosis.
3) Penyulit pada hipermetropia
Mata dengan hipermetropia sering akan memperlihatkan ambliopia
akibat mata tanpa akomodasi tidak pernah melihat obyek dengan baik
dan jelas. Bila terdapat perbedaan kekuatan hipermetropia antara kedua
mata maka akan terjadi ambliopia pada salah satu mata. Mata ambliopia
sering menggulir kearah temporal. Penyulit lain adalah esotropia dan
glaucoma. Esotropia atau juling ke dalam terjadi akibat pasien
selamanya menggunakan akomodasi. Glaucoma sekunder terjadi akibat
hipertrofi otot siliar pada badan siliar yang akan mempersempit sudut
bilik mata.
4) Koreksi mata
Untuk memperbaiki kelainan refraksi adalah dengan mengubah sistem
pembiasan dalam mata. Pada hipermetropia diperlukan lensa cembung
atau konveks untuk mematahkan sinar lebih kuat ke dalam lensa.
Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi hipermetropia
manifes dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif
maksimal yang memberiakn tajam penglihatan normal.
Pasien dengan hipermetropia sebaiknya diberikan kaca mata sferis
positif terkuat atau lensa positif terbesar yang masih memberikan tajam
penglihatan maksimal. Bila pasien datang dengan + 3,00 D ataupun
dengan + 3,25 D dan memberikan ketajaman penglihatan normal, maka
diberikan kacamata + 3,25 D. Hal ini untuk memberikan istirahat pada
mata akibat hipermetropia fakultatifnya diistirahatkan dengan lensa
positif.
Pada pasien di mana akomodasi masih sangat kuat atau pada anak-anak,
maka sebaiknya dilakukan dengan memberikan siklopegik atau
melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot akomodasi,
maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya dengan mata yang
istirahat.
Pada pasien hipermetropia aksial memerlukan kekuatan lensa yang
lebih tinggi untuk menggeser sinar ke macula lutea dibanding dengan
hipermetropia lain. Pada setiap kekuatan lensa +1 dioptri akan terjadi
pembesaran benda yang dilihat sebesar 2%. Penderita yang memakai
kacamata positif akan terlihat seolah-olah matanya menjadi besar.
Dengan kacamata positif tebal akan terjadi kesukaran melihat seperti
gangguan penglihatan tepi dan aberasi sferis.
Lensa kontak dapat mengurangi masalah dalam hal koreksi visus
penderita hipermetropia akan tetapi perlu diperhatikan kebersihan dan
ketelitian pemakaiannya. Selain itu, perlu diperhatikan juga masalah
lama pemakaian, infeksi, dan alergi terhadap bahan yang dipakai.
3. Astigmatisma
Yang dimaksud dengan astigmatismus atau astigmat atau silinder adalah
terdapatnya variasi kurvatur atau kelengkungan kornea atau lensa pada
meridian yang berbeda yang akan mengakibatkan sinar tidak terfokus pada
satu titik. Setiap meridian mata mempunyai titik focus tersendiri yang
letaknya mungkin teratur (pada astigmat regular) dan mungkin pula tidak
teratur (pada astigmat ireguler).
Astigmatismus biasanya bersifat diturunkan atau terjadi sejak lahir,
biasanya berjalan bersama dengan myopia dan hipermetropia dan tidak
banyak terjadi perubahan selama hidup. Astigmat merupakan akibat
bentuk kornea yang oval seperti telur, makin lonjong bentuk kornea makin
tinggi astigmat mata tesebut. Astigmat juga dapat terjadi akibat jaringan
parut pada kornea atau setelah pembedahan mata. Jahitan yang terlalu kuat
pada bedah mata dapat mengakibatkan perubahan pada permukaan kornea.
Bila dilakukan pengencangan atau pengendoran jahitan pada kornea maka
dapat terjadi astigmat akibat terjadi perubahan kelengkungan kornea.
Gambar 9. Gambaran Refraksi pada mata astigmat.
1) Bentuk Astigmatismus
Pada astigmat regular, meskipun setiap meridian mempunyai daya bias
tersendiri, tetapi perbedaan itu teratur, dari meridian dengan daya bias
terlemah sedikit demi sedikit membesar sampai meridian dengan daya
bias terkuat. Meridian dengan daya bias terlemah tegak lurus terhadapa
meridian dengan daya bias yang terkuat.
Pada astigmat ada dua bidang utama, yaitu meridian dengan daya bias
maksimal dan minimal yang saling tegak lurus letaknya. Jadi ada
meridian yang vertical dan ada yang horizontal. Bila meridian vertical
mempunyai daya bias yang yang lebih besar daripada yang horizontal
dinamakan astigmat lazim (astigmat with the role), bila sebaliknya
disebut astigmat tidak lazim (astigmat against the role). Astigmat lazim
lebih sering muncul pada anak-anak sedangkan astigmat tidak lazim
lebih banyak pada orang dewasa. Astigmat regular dimana bidang
meridian tidak terletak di bidang vertical dan horizontal dikenal sebagai
astigmat oblik.
Pada astigmat ireguler terdapat perbedaan refraksi yang tak teratur pada
setiap meridian dan bahkan mungkin terdapat perbedaan refraksi pada
meridian yang sama. Videokeratografi merupakan cara terbaik untuk
mengobservasi atau melihat permukaan kornea yang ireguler. Selain itu,
astigmat ireguler dapat diketahui dengan keratometer dan/atau feflex
retinoskopi yang ireguler (Sidarta ilyas, 2007).
2) Gejala dan tanda astigmatismus
Seseorang dengan astigmat akan memberikan keluhan:
a) Penglihatan ganda pada satu atau kedua mata
b) Melihat benda yang bulat menjadi lonjong
c) Penglihatan kabur
d) Bentukbenda berubah
e) Sakit kepala
f) Mata tegang dan pegal
g) Mata dan fisik lemah
h) Pada astigmat tinggi (4-8 D) yang selalu melihat kabur sering
mengakibatkan ambliopia.
3) Koreksi mata
Koreksi mata astigmat adalah dengan memakai lensa dengan dua
kekuatan yang berbeda. Astigmat ringan tidak perlu diberi kacamata.
Pada astigmat yang berat dapat diberi kacamata silinder, lensa kontak
atau pembedahan. Pada astigmat ireguler, dapat digunakan kontak lensa
yang kaku, dimana air mata antara kontak lensa dan permukaan kornea
dapat mengkompensasi permukaan kornea yang tidak regular.
4. Presbiopia
Presbiopia merupakan keadaan refraksi mata dimana punctum proksimum
(titik terdekat yang dapat dilihat dengan akomodasi yang maksimal) telah
begitu jauh sehingga pekerjaan dekat yang halus seperti membaca,
menjahit sukar dilakukan.
Pada presbiopia terjadi gangguan akomodasi pada usia lanjut. Presbiopia
biasanya mulai muncul pada usia 40 tahun. Dengan bertambahnya usia
maka semakin kurang kemampuan mata untuk melihat dekat. Presbiopia
terjadi akibat lensa makin keras, sehingga elastisitasnya berkurang.
Demikian pula dengan otot akomodasinya, daya kontraksinya berkurang
sehingga tidak terdapat pengenduran zonula Zinnii yang sempurna. Orang
yang lemah dengan keadaan umum yang kurang baik sering lebih cepat
membutuhkan kacamata baca akibat presbiopia daripada orang sehat dan
kuat.
1) Gejala dan tanda
Keluhan muncul pada saat membaca dekat. Semua pekerjaan dekat
sukar dilakukan karena penglihatan kabur. Bila dipaksakan akan
muncul keluhan lain yaitu berupa mata lelah, berair, dan sering terasa
pedas. Penderita presbiopia memposisikan membaca dengan
menjauhkan kertas yang dibaca, sukar melakukan pekerjaan dengan
melihat dekat terutama di malam hari, sering memerlukan sinar yang
lebih terang untuk membaca.
2) Koreksi mata
Untuk membantu kekurangan daya akomodasi pada presbiopia maka
dapat dipergunakan lensa positif untuk menambah kekuatan lensa yang
berkurang sesuai usia. Pada pasien presbiopia ini diperlukan kacamata
baca atau adisi untuk membaca dekat yang berkekuatan tertentu,
biasanya :
+1,0 D untuk usia 40 tahun
+1,5D untuk usia 45 tahun
+ 2,0 D untuk usia 50 tahun
+ 2,5 D untuk usia 55 tahun
+ 3,0 D untul usia 60 tahun (Sidarta ilyas, 2007)
Karena jarak baca biasanya 33 cm, maka adisi + 3,0 dioptri adalah lensa
positif terkuat yang dapat diberikan pada seseorang. Pada keadaan ini
mata tidak melakukan akomodasi bila membaca pada jarak 33 cm,
karena benda yang dibaca terletak pada titik api lensa + 3,0 dioptri
sehingga sinar yang keluar akan sejajar. Kekuatan lensa kacamata baca
sering disesuaikan dengan kebutuhannya. Seperti seorang ahli music
yang membutuhkan jarak dekat 50 cm untuk membaca not-not sehingga
dia membutuhkan kacamata dengan kekuatan lensa yang lebih kecil.
Gambar 10. Gambaran Refraksi pada Mata Presbiopia
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kelainan refraksi adalah keadaan dimana bayangan tegas tidak dibentuk
pada retina (macula lutea). Pada kelainan refraksi terjadi
ketidakseimbangan sistem optik pada mata sehingga menghasilkan
bayangan kabur.
2. Dikenal istilah emetropia yang berarti tidak adanya kelainan refraksi dan
ametropia yang berarti adanya kelainan refraksi seperti miopia,
hipermetropia, astigmat, dan presbiopia
3. Miopia adalah salah satu bentuk kelainan refraksi dimana sinar yang
datang sejajar dari jarak yang tak berhingga difokuskan di depan retina
saat mata tidak berakomodasi. Kelainan ini dapat dikoreksi dengan
menggunakan lensa sferis negatif.
4. Hipermetropia atau rabun dekat merupakan keadaan gangguan kekuatan
pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga
titik fokusnya terletak di belakang retina. Kelainan ini dapat dikoreksi
dengan menggunakan lensa sferis positif.
5. Astigmatisma adalah keadaan dimana terdapat variasi pada kurvatur
kornea atau lensa pada meridian yang berbeda yang mengakibatkan berkas
cahaya tidak difokuskan pada satu titik.
6. Presbiopia merupakan kelainan penglihatan yang diakibatkan makin
berkurangnya kemampuan akomodasi mata sesuai dengan makin
meningkatnya umur.
7. Kelainan-kelainan refraksi dapat dikoreksi dengan menggunakan lensa
yang sesuai. Dan perkembangan ilmu pengetahuan menyediakan modalitas
terapi pembedahan untuk penatalaksanaan kelainan-kelainan refraksi.
DAFTAR PUSTAKA
American Academy Of Ophthamology, in Basic and Clinical Science Course,
section 10, 2005-2006.
Ilyas, Sidarta, 2007. Ilmu penyakit Mata, Jakarta; Bagian Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Indonesia.
Kelainan Refraksi. 2010.
http://www.klikdokter.com/medisaz/read/2010/07/05/35/kelainan-refraksi
Miliana, S. Myopia. 2005.
http://www.klikdokter.com/medicinet.com/script/main/hp.asp
Mesiana, L. Myopia. 2002. http://www.bambooweb.com
Refractive Error. 2005
http://www.eyemdlink.com/doctorweb/tymiakwrap/condition.asp.
Vaughan, Daniel G dkk. Oftalmologi umum. Penerbit EGC.edisi 14, 2000
Zafika, N. 2008. Kelainan Refraksi. http://www.scribd.com/doc/83310853/DP-
refraksi-ambliopia
top related