bab ii tinjauan pustaka a. perilaku agresi 1. pengertian...
Post on 13-Mar-2019
235 Views
Preview:
TRANSCRIPT
12
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perilaku Agresi
1. Pengertian Perilaku Agresi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, agresi adalah perbuatan
bermusuhan yang bersifat menyerang secara fisik maupun psikis kepada pihak
lain, agresi merupakan tindakan kasar akibat kekecewaan dalam mencapai
pemuasan atau tujuan yang dapat ditujukan kepada orang lain atau benda.
Buss dan Perry (1992) menyatakan perilaku agresi sebagai perilaku yang
niatnya untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun secara psikologis.
Perilaku agresi sepertinya telah menjadi sesuatu hal yang sangat biasa terjadi
pada kehidupan sosial individu saat ini. Perilaku agresi adalah setiap bentuk
perilaku yang dimaksudkan untuk menyakiti atau merugikan seseorang yang
bertentangan dengan kemauan orang itu (Breakwell, 1998). Perilaku agresi
dapat dimunculkan secara fisik maupun verbal. Perilaku agresi fisik yaitu
perilaku agresi yang dilakukan dengan cara melakukan kekerasan secara fisik,
seperti menampar, memukul, melempar dengan benda terhadap orang lain di
sekitarnya. Perilaku agresi verbal yaitu perilaku agresi yang dilakukan dengan
cara mengeluarkan kata-kata untuk menyerang orang lain, dapat berupa ejekan,
hinaan, maupun caci maki.
Selanjutnya menurut Kartono (2003) agresi merupakan suatu ledakan
emosi dan kemarahan-kemarahan hebat, perbuatan-perbuatan yang
13
menimbulkan permusuhan yang ditujukan kepada seseorang atau suatu benda.
Atkinson (2000) menjelaskan agresi adalah perilaku yang secara sengaja
bermaksud melukai orang lain (secara fisik atau verbal) atau menghancurkan
harta benda.Agresi sendiri menurut Berkowitz (2003) selalu mengacu pada
beberapa jenis perilaku, baik secara fisik maupun simbolis yang dilakukan
dengan tujuan menyakiti.
Murray (dalam Chaplin, 2004) mengatakan bahwa perilaku agresi adalah
kebutuhan untuk menyerang, memperkosa atau melukai orang lain untuk
meremehkan, merugikan, mengganggu, membahayakan, merusak, menjahati,
mengejek, mencemoohkan atau menuduh secara sehat, menghukum berat atau
melakukan tindakan sadis lainnya. Dayakisni dan Hudaniah (2006)
mengartikan agresi sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh suatu
organisme terhadap organisme lain, objek lain dan bahkan dirinya sendiri.
Chaplin (2004) mengatakan bahwa perilaku agresi adalah satu serangan atau
serbuan tindakan permusuhan yang ditujukan pada seseorang atau benda.
Myers (2002) menjelaskan bahwa agresi merupakan perilaku fisik maupun
verbal yang disengaja dan memiliki maksud untuk menyakiti, menghancurkan
atau merugikan orang lain untuk melukai objek yang menjadi sasaran agresi.
Menurut Baron dan Richardson (dalam Krahe, 2005) mendefinisikan agresi
sebagai suatu perilaku yang diwujudkan dalam berbagai bentuk yang
dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai makhluk hidup lain yang terdorong
untuk menghindari perlakuan tersebut. Agresi merupakan tindakan melukai
yang disengaja oleh seseorang atau institusi terhadap orang atau institusi yang
14
sejatinya disengaja (Sarwono, 2009). Agresi merupakan setiap tindakan yang
dimaksudkan untuk menyakiti atau melukai orang lain (Taylor, Peplau, &
Sears, 2009).
Agresi lebih difokuskan pada pengertian dari perilaku agresi itu sendiri
yang menurut pendapat para ahli seperti Baron (2005) yang mendefinisikan
perilaku agresi merupakan tingkah laku yang diarahkan untuk tujuan menyakiti
makhluk hidup lain yang ingin menghindari perlakuan semacam menyakiti.
Agresi dapat diartikan sebagai suatu serangan yang dilakukan oleh organisme
terhadap organisme lain, obyek lain atau bahkan pada dirinya sendiri
(Dayakisni dan Hudaniah, 2009). Lebih lanjut Mahmudah (2010) menyatakan
bahwa perilaku agresi merupakan tindakan yang dimaksudkan untuk melukai
orang lain.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa perilaku agresi adalah perbuatan bermusuhan yang bersifat menyerang
secara fisik maupun psikis kepada pihak lain, agresi merupakan tindakan kasar
akibat kekecewaan dalam mencapai pemuasan atau tujuan yang dapat
ditujukan kepada orang lain atau benda.
2. Aspek-aspek Perilaku Agresi
Menurut Buss dan Perry (1992), terdapat empat aspek perilaku agresi yang
didasari dari tiga dimensi dasar yaitu motorik, afektif, dan kognitif. Empat
aspek perilaku agresi menurut Buss dan Perry yaitu sebagai berikut:
a. Physical aggression
15
Physical aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti,
mengganggu, atau membahayakan orang lain melalui respon motorik dalam
bentuk fisik, seperti memukul, menendang, dan lain-lain.
b. Verbal aggression
Verbal aggression yaitu tindakan agresi yang bertujuan untuk menyakiti,
mengganggu atau membahayakan orang lain dalam bentuk penolakan dan
ancaman melalui respon vokal dalam bentuk verbal.
c. Anger
Anger merupakan emosi negatif yang disebabkan oleh harapan yang tidak
terpenuhi dan bentuk ekspresinya dapat menyakiti orang lain serta dirinya
sendiri. Beberapa bentuk anger adalah perasaan marah, kesal, sebal, dan
bagaimana mengontrol hal tersebut. Termasuk di dalamnya adalah
irritability, yaitu mengenai temperamental, kecenderungan untuk cepat
marah, dan kesulitan mengendalikan amarah.
d. Hostility
Hostility yaitu tindakan yang mengekspresikan kebencian, permusuhan,
antagonisme, ataupun kemarahan yang sangat kepada pihak lain. Hostility
adalah suatu bentuk agresi yang tergolong covert (tidak kelihatan). Hostility
mewakili komponen kognitif yang terdiri dari kebencian seperti cemburu
dan iri terhadap orang lain dan kecurigaan seperti adanya ketidak percayaan
serta kekhawatiran.
16
Menurut Sadli (dalam Adji, 2002) aspek-aspek perilaku agresif yaitu
sebagai berikut:
a. Pertahanan diri
Pertahanan diri yaitu individu mempertahankan dirinya dengan cara
menunjukkan permusuhan, pemberontakan, dan pengrusakan.
b. Perlawanan disiplin
Perlawanan disiplin yaitu individu melakukan hal-hal yang menyenangkan
tetapi melanggar aturan.
c. Egosentris
Egosentris yaitu individu mengutamakan kepentingan pribadi seperti yang
ditunjukkan dengan kekuasaan dan kepemilikan. Individu ingin menguasai
suatu daerah atau memiliki suatu benda sehingga menyerang orang lain
untuk mencapai tujuannya tersebut, misalnya bergabung dalam kelompok
tertentu.
d. Superioritas
Superioritas yaitu individu merasa lebih baik daripada yang lainnya
sehingga individu tidak mau diremehkan, dianggap rendah oleh orang dan
merasa dirinya selalu benar sehingga akan melakukan apa saja walaupun
dengan menyerang atau menyakiti orang lain.
e. Prasangka
Prasangka yaitu memandang orang lain dengan tidak rasional.
f. Otoriter
17
Otoriter yaitu seseorang yang cenderung kaku dalam memegang keyakinan,
cenderung memegang nilai-nilai konvensional, tidak bisa toleran terhadap
kelemahan-kelemahan yang ada pada dirinya sendiri atau orang lain dan
selalu curiga.
Menurut Schneiders (dalam Aman, 2004) aspek-aspek perilaku agresif yaitu
sebagai berikut:
a. Otoriter
Otoriter yaitu orang memiliki ciri kepribadian kaku dalam memegang nilai-
nilai konvensional dan tidak bisa toleransi terhadap kelemahan-kelemahan
yang ada dalam diri sendiri maupun orang lain.
b. Superior
Superior yaitu individu merasa yang paling baik dibanding dengan individu
lain.
c. Egosentris
Egosentris yaitu individu mengutamakan keperluan pribadi tanpa
memperhatikan kepentingan diri sendiri seperti yang ditunjukan dengan
kekuasaan dan kepemilikan.
d. Keinginan untuk menyerang baik terhadap benda maupun manusia
Hal ini yang dimaksudkan yaitu mempunyai kecenderungan untuk
melampiaskan keinginannnya dan perasaannya yang tidak nyaman ataupun
tidak puas pada lingkungan di sekitarnya dengan melakukan penyerangan
terhadap individu ataupun benda lain di sekitarnya.
18
Berdasarkan aspek-aspek perilaku agresi yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari perilaku agresi
menurut Buss dan Perry (1992) yaitu physical aggression, verbal aggression,
anger dan Hostility. Selanjutnya aspek-aspek dari perilaku agresi menurut
Sadli (dalam Adji, 2002) yaitu pertahanan diri, perlawanan disiplin, egosentris,
superioritas, prasangka dan otoriter, serta aspek-aspek perilaku agresi menurut
Schneiders (dalam Aman, 2004) yaitu otoriter, superior, egosentris dan
keinginan untuk menyerang baik terhadap benda maupun manusia.
Dari aspek-aspek perilaku agresi yang telah dipaparkan diatas, maka peneliti
akan mengacu pada aspek-aspek perilaku agresi menurut Buss dan Perry
(1992), hal ini dikarenakan definisi di setiap ciri-cirinya lebih operasional
sehingga lebih mudah dipahami dan lebih jelas untuk dijabarkan atau diamati
dalam mengungkapkan adanya indikator-indikator perilaku agresi pada remaja
dibandingkan dengan teori dari Sadli (dalam Adji, 2002) dan Schneiders
(dalam Aman, 2004).
3. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi Perilaku Agresi
Menurut Sears, Freedman, dan Peplau (2009), menyatakan perilaku agresi
disebabkan oleh dua faktor utama, yaitu sebagai berikut:
a. Serangan
Serangan merupakan salah satu faktor yang paling sering menjadi penyebab
perilaku agresi dan muncul dalam bentuk serangan verbal atau serangan
19
fisik. Serangan adalah gangguan yang dilakukan oleh orang lain. Pada
umumnya orang akan memunculkan perilaku agresi terhadap sumber
serangan. Berbagai rangsang yang tidak disukai juga akan menimbukan
agresi.
b. Frustrasi
Frustrasi adalah gangguan atau kegagalan dalam mencapai tujuan, frustrasi
(keadaan tidak tercapainya tujuan perilaku) menciptakan suatu menciptakan
suatu motif untuk agresi. Frustrasi terjadi bila seseorang terhalang oleh suatu
hal dalam mencapai suatu tujuan, kebutuhan, keinginan, penghargaan atau
tindakan tertentu. Menurut Dollard, dkk (dalam Baron dan Byrne, 2005)
mengemukakan hipotesis bahwa frustrasi menyebabkan agresi, hipotesis
tersebut kemudian dijadikan postulat “agresi selalu frustrasi”.
Menurut Berkowitz (2003), terdapat sembilan faktor penyebab atau
stimulus munculnya perilaku agresi, adalah sebagai berikut:
a. Frustasi
Frustrasi bisa mempengaruhi kemungkinan untuk melakukan serangan
terbuka, mereka bisa menjadi agresi meskipun hanya menemui rintangan
yang sifatnya legal atau tak sengaja. Dorongan agresi mungkin tidak selalu
tampak mata, akan tetapi bisa juga rintangan yang tidak bertentangan
dengan kaidah sosial menyebabkan kecenderungan agresi.
b. Perasaan negatif (inferiority feeling)
20
Perasaan negatif merupakan akar dari agresi emosional. Salah satu bentuk
dari perasaan negatif adalah inferiority feeling. Inferiority feeling adalah
suatu bentuk perasaan negatif terhadap dirinya sendiri (Jalaludin, 1977).
Berkowitz (1995) yang mengatakan bahwa individu mengamuk baik secara
verbal maupun secara fisik karena merasa terhina atau merasa harga dirinya
tersinggung.
c. Pikiran atau kognitif
Penilaian mungkin tidak begitu penting, tetapi jelas bisa mempunyai
pengaruh besar. Interpretasi untuk bisa menentukan apakah kejadian
emosional menyenangkan atau tidak menyenangkan, seberapa kuat
perasaan yang ditimbulkan dan apakah faktor penahan memainkan peranan.
Dengan demikian, pikiran dapat mempengaruhi agresi seseorang dengan
menentukan kejadian emosionalnya terlebih dahulu. Berkowitz (1995)
menyatakan bahwa seseorang menjadi marah hanya ketika mereka
berkeyakinan bahwa ada yang berbuat salah pada diri mereka atau sengaja
mengancam diri mereka, dan kemudian mereka ingin menyakiti orang itu
karena kemarahan yang dimiliki.
d. Pengalaman masa kecil
Pengalaman pada waktu masih kecil memiliki kemungkinan untuk
menjadikan anak bertindak agresi emosional, sehingga waktu dewasa
menjadi agresif dan anti sosial.
e. Pengaruh teman
21
Teman merupakan salah satu agen sosialisasi yang dijumpai anak-anak
dalam kehidupan dari waktu kecil hingga dewasa. Teman ini mengajari cara
bertindak dalam situasi tertentu, dengan berperan sebagai model dan dengan
memberi suatu penerimaan atau dukungan apabila mereka bertindak dengan
cara yang dianggap pas.
f. Pengaruh kelompok (geng)
Dalam kelompok atau geng, anak-anak merasa dapat penerimaan dan status,
mereka merasa penting dalam geng, sementara di tempat lain tidak berharga.
Mereka juga mendapatkan dukungan bahwa pandangan dan sikap mereka
bersama itu benar, bahkan bahaya yang mereka takuti dapat diatasi.
Dukungan ini memainkan peran penting pada perilaku agresi anak. Seorang
anak yang mengalami penyimpangan sosial mungkin tidak berani
melanggar hukum, tetapi jika bersama teman-teman anggota geng, ia merasa
berani dan aman.
g. Kondisi tidak menyenangkan yang diciptakan orangtua
Kondisi tidak menyenangkan ini dapat berupa memberikan sikap dingin,
acuh, tidak konsisten terhadap apa yang diinginkan dari si anak, serta
memberikan hukuman yang kejam jika si anak tidak mematuhi perintah.
Dari kondisi tidak menyenangkan tersebut, dapat dipastikan bahwa anak
akan menjadi relatif agresif apabila berada di luar lingkungan keluarga.
h. Konflik keluarga
Banyak yang beranggapan bahwa banyak anak nakal merupakan korban
penyimpangan sosial dari kondisi keluarga abnormal. Hal tersebut
22
dikarenakan mereka tidak hanya tumbuh dalam kemiskinan tetapi juga
hanya mempunyai satu orang tua dan bukan dua sehingga mereka belajar
untuk tidak menerima norma dan nilai-nilai tradisional masyarakat.
i. Pengaruh model
Pengaruh model terhadap anak juga bisa mempengaruhi kecenderungan
agresi anak, tidak peduli apakah orang lain itu ingin ditiru atau tidak. Dalam
psikologi, fenomena ini disebut dengan modelling dan mendefinisikannya
sebagai pengaruh yang timbul ketika orang lain melihat orang lain (model)
bertindak dengan cara tertentu dan kemudian meniru perilaku model.
Berdasarkan faktor-faktor yang telah dikemukakan oleh Sears, Freedman,
dan Peplau (2009) dan Berkowitz (2003), maka variabel yang akan digunakan
sebagai variabel independen adalah inferiority feeling hal ini dikarenakan
perilaku agresi dipengaruhi oleh beberapa faktor dan salah satunya adalah
inferiority feeling, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Smith, dkk (1995) yang
mendukung teori perilaku agresi Adler. Perilaku agresi ini terjadi pada
seseorang yang memiliki inferiority feeling karena tindak agresi ini
dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk mencapai tujuan hidup mereka
yaitu menuju superioritas. Hal ini juga dikemukakan oleh Adler (dalam Hall
Hall & Lindzey, 1993) yang menyatakan bahwa orang yang mengalami
perasaan negatif (inferiority feeling) akan mengkompensasikan perasaannya.
Orang tersebut akan berusaha menutupi kelemahannya dengan berbagai cara
23
termasuk dengan cara yang negatif atau buruk seperti dengan melakukan
perilaku agresi baik verbal maupun non-verbal.
B. Inferiority Feeling
1. Pengertian Inferiority Feeling
Menurut Adler (dalam Hall & Lindzey, 1993) inferiority feeling adalah
perasaan-perasaan yang muncul sebagai akibat dari hambatan psikis dan sosial
yang dirasakan secara subjektif dan perasaan-perasaan yang muncul dari
kelemahan diri. Inferiority feeling merupakan suatu perasaan bahwa diri
individu kurang atau rendah diri yang ada pada setiap diri individu karena pada
dasarnya manusia diciptakan atau dilahirkan dengan keadaan lemah tak
berdaya.
Menurut Suadirman (1986), inferioritas adalah keadaan seseorang yang
merasakan dirinya dalam keadaan serba kurang, serba ketinggalan dan serba
dibawah jika membandingkan dirinya dengan orang lain. Suryabrata (1990),
inferiority feeling adalah adanya rasa diri yang kurang berharga atau kurang
mampu dalam berbagai bidang kehidupan. Seseorang yang cacat seringkali
berusaha mengkompensasikan kelemahan tersebut dengan cara
memperkuatnya melalui latihan intensif. Perasaan-perasaan tersebut
bersumber pada rasa tidak lengkap atau tidak sempurna dalam setiap bidang
kehidupan.
Inferiority feeling adalah kondisi umum yang dimiliki oleh setiap orang
bukan sebagai tanda dari kelemahan ataupun suatu tanda abnormal (dalam
24
Schultz, 1986). Jadi, inferiority feeling bukanlah tanda ketidakmampuan
seseorang namun ini hanya suatu bentuk perasaan kekurangmampuan pada
dirinya, dilanjutkan lagi oleh Adler (dalam Schultz, 1986) bahwa inferiority
feeling adalah sumber dari semua kekuatan manusia. Adler (dalam Suryabrata,
2007) menyatakan bahwa inferiority feeling adalah rasa rendah diri yang
timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang mampu dalam
penghidupan apa saja.
Inferiority feeling adalah bentuk perasaan negatif terhadap dirinya sendiri
(Jalaludin, 1977). Konsep populer dari Adler dan menjadi dasar dalam
psikologi individu, Inferiority feeling ada pada diri setiap individu tanpa
terkecuali karena setiap manusia terlahir dengan inferiority feeling (merasa
kurang mampu dan kurang kompeten) jika dibandingkan dengan orang dewasa
Adler (Boeree, 2010) yang menyatakan bahwa setiap orang menderita
inferioritas dalam bentuk yang berbeda-beda. Inferiority feeling ditandai
dengan adanya perasaan tidak kompeten atau ketidakmampuan diri. Faktor-
faktor yang menyebabkan Inferiority feeling menurut Paponoe (Lin, 1997)
ialah: sikap orangtua (parental attitude), kekurangan fisik (physical defects),
keterbatasan mental (mental limitations), dan kekurangan secara sosial (social
disadvantage).
Kartono (2010) mengatakan bahwa inferiority feeling muncul sejak usia
kanak-kanak yang umumnya perasaan ini tidak bisa diterima individu yang
bersangkutan karena dirasakan sangat menghimpit dirinya dan menyiksa
25
batinnya, sehingga muncul dorongan-dorongan untuk menyelesaikan atau
mengkompensasikan perasaan tersebut.
Berdasarkan teori yang telah dikemukakan di atas maka dapat disimpulkan
bahwa inferiority feeling adalah perasaan-perasaan yang muncul sebagai akibat
dari hambatan psikis dan sosial yang dirasakan secara subjektif dan perasaan-
perasaan yang muncul dari kelemahan diri.
2. Aspek-aspek Inferiority Feeling
Lauster (1978) menyebutkan karakteristik remaja yang memiliki inferiority
feeling adalah sebagai berikut:
a. Individu merasa bahwa tindakan yang dilakukan tidak adekuat. Individu
tersebut cenderung merasa tidak aman dan tidak bebas bertindak, cenderung
ragu-ragu dan membuang waktu dalam pengambilan keputusan, memiliki
perasaan rendah diri dan pengecut, kurang bertanggung jawab dan
cenderung menyalahkan pihak lain sebagai penyebab masalahnya, serta
pesimis dalam menghadapi rintangan.
b. Individu merasa tidak diterima oleh kelompoknya atau orang lain. Individu
ini cenderung menghindari situasi komunikasi karena merasa takut
disalahkan atau direndahkan, merasa malu jika tampil di hadapan orang.
c. Individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup. Individu ini
merasa cemas dalam mengemukakan gagasannya dan selalu
membandingkan keadaan dirinya dengan orang lain.
26
Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver, dan Wrightman, 1991)
menjabarkan inferiority feeling yang mengindikasikan perasaan tidak mampu
dalam lima aspek sebagai berikut:
a. Social confidence
Social confidence merupakan perasaan kurang pasti, merasa kurang bisa
diandalkan, dan kurangnya rasa percaya pada kemampuan seseorang dalam
situasi yang melibatkan orang lain. Faktor social confidence lebih
mendekati pada umur dan pengalaman.
b. School Abilities
School Abilities merupakan perasaan tidak mampu atau tidak berdaya
terhadap kualitas, kekuatan, daya kompetensi, kecakapan, keahlian,
keterampilan, kesanggupan dalam melakukan tugas akademik.
c. Self Regard
Self Regard yaitu penghormatan terhadap dirinya sendiri yang rendah atau
kurangnya perhatian dan pertimbangan terhadap kepentingan dan minatnya
sendiri atau dengan pengertian lain self regard adalah persepsi individu
terhadap dirinya.
d. Physical appearance
Individu dengan inferiority feeling sangat memperhatikan penampilannya,
ia akan berusaha memperhatikan penampilan tubuhnya, ini merupakan salah
satu bentuk untuk mengkompensasikan inferiority feeling miliknya.
e. Physical abilities
27
Perasaan diri lebih lemah dalam hal kemampuan tubuh yang dimiliki serta
potensi individu untuk melakukan performasi yang berkaitan dengan
fisiknya dibandingkan teman atau kelompok sebayanya.
Berdasarkan aspek-aspek inferiority feeling yang telah dikemukakan oleh
beberapa ahli, maka dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek dari inferiority
feeling menurut Lauster (1978) yaitu individu merasa bahwa tindakan yang
dilakukan tidak adekuat, individu merasa tidak terima oleh kelompoknya atau
orang lain dan individu tidak percaya terhadap dirinya dan mudah gugup.
Selanjutnya aspek-aspek inferiority feeling menurut Fleming dan Courtney
(dalam Robinson, Shaver dan Wrightman, 1991) yaitu social confidence,
school abilities, self regard, physical appearance dan physical abilities.
Dari aspek-aspek inferiority feeling yang telah dipaparkan diatas, maka
peneliti akan mengacu pada aspek-aspek inferiority feeling menurut Fleming
dan Courtney (dalam Robinson, Shaver dan Wrightman, 1991), hal ini
dikarenakan definisi di setiap ciri-cirinya lebih operasional dan aspek-aspek
tersebut menjelaskan unsur-unsur psikologis yang terkandung dalam
inferiority feeling sehingga lebih mudah dipahami dan lebih jelas untuk
dijabarkan atau diamati dalam mengungkapkan adanya indikator-indikator
28
C. Hubungan antara Inferiority Feeling dengan Perilaku Agresi pada
Remaja
Salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku agresi adalah
perasaan negatif pada diri individu. Perilaku agresi akan muncul ketika
seseorang mempunyai pikiran yang negatif mengenai orang lain. Perasaan
negatif tersebut disebut sebagai Inferiority Feeling. Inferiority feeling adalah
rasa rendah diri yang timbul karena perasaan kurang berharga atau kurang
mampu dalam penghidupan apa saja Adler (dalam Schultz, 1986). Menurut
Adler (dalam Boeree, 2010) menyatakan bahwa setiap orang menderita
inferioritas dalam bentuk yang berbeda-beda. Inferiority feeling ditandai dengan
adanya perasaan tidak kompeten atau kekurang mampuan diri.
Kartono (2010) mengatakan bahwa inferiority feeling muncul sejak kanak-
kanak yang umumnya perasaan ini tidak bisa diterima individu yang
bersangkutan karena dirasakan sangat menghimpit dirinya, menyiksa batin dan
juga menyiksa batinnya sehingga memunculkan dorongan-dorongan untuk
menyelesaikan atau mengkompensasikannya perasaan tersebut. Inferiority
feeling merupakan salah satu komponen perasaan negatif yang sering terjadi
pada setiap diri remaja, dikarenakan dalam kehidupan sehari-hari remaja akan
membandingkan dirinya dengan orang lain sehingga hal tersebut akan
menimbulkan pikiran yang negatif, serta remaja akan mengkompensasikan
perasaannya tersebut menjadi perilaku agresi. Pada dasarnya seorang remaja
memiliki tugas-tugas perkembangan antara lain untuk mencapai kemandirian
emosional dan mampu meningkatkan kemampuan mengendalikan dirinya.
29
Inferiority feeling yang dimiliki remaja akan dikompensasikan melalui
bentuk withdrawal atau menarik diri dan perilaku agresi seperti yang telah
dikemukakan oleh Lin (1997), bahwa pengkompensasian inferiority feeling
dalam diri seseorang yaitu dalam bentuk-bentuk dengan strategi menarik diri dan
strategi perilaku agresi, pendapat yang serupa juga dikemukakan oleh Alwisol
(2008) yang menyatakan bahwa pengkompensasian inferiority feeling dapat
digolongkan dalam tiga cara yaitu dengan penyesalan, perilaku agresi dan
menarik diri. Menurut Alwisol (2008) penggunaan perilaku agresi untuk
pengkompensasian pada inferiority feeling ditujukan untuk melindungi harga
dirinya yang rentan.
Apabila remaja mampu mengendalikan perasaan negatifnya inferiority
feeling maka dirinya akan terhindar dari perilaku agresi yang dapat merugikan
orang lain. Hal tersebut tentu tidak mudah bagi remaja, karena perasaan negatif
tersebut muncul karena adanya stimulus-stimulus yang dimunculkan dari
berbagai faktor. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa inferiority feeling
mempunyai pengaruh yang besar dalam menimbulkan perilaku agresi. Menurut
Fleming dan Courtney (dalam Robinson, Shaver, dan Wrightman, 1991)
menjabarkan inferiority feeling yang mengindikasikan perasaan tidak mampu
dalam lima aspek yaitu Social confidence, school abilities, self regard, physical
appearance dan physical abilities.
Aspek yang pertama dari inferiority feeling yaitu Social confidence. Social
confidence merupakan perasaan kurang pasti, merasa kurang bisa diandalkan,
dan kurangnya rasa percaya pada kemampuan seseorang dalam situasi yang
30
melibatkan orang lain. Idealnya pada remaja mempunyai pemikiran yang positif
terhadap dirinya dan percaya pada kemampuan diri sendiri, karena pada masa
remaja akan lebih sering untuk bersosialisasi pada lingkungan sekitar. Sebagai
contoh, seorang remaja yang mempunyai social confidence yang rendah maka
remaja tersebut akan memiliki rasa percaya diri yang tinggi terhadap
kemampuan-kemampuan diri yang dimilikinya, remaja tersebut juga merasa
bahwa dirinya adalah orang yang dapat diandalkan, dengan begitu remaja akan
mempunyai pemikiran yang positif dan akan berusaha untuk melakukan hal-hal
yang baik dan tidak menyakiti orang lain. Hal ini juga diperkuat dengan adanya
pernyataan yang menyatakan bahwa percaya diri merupakan modal dasar untuk
pengembangan dalam aktualisasi diri (eksplorasi segala kemampuan dalam diri),
dengan percaya diri seseorang akan mampu mengenal dan memahami diri
sendiri (Maslow dalam Iswidharmanjaya & Agung, 2004). Jadi, dapat dikatakan
bahwa seseorang yang memiliki rasa percaya diri akan optimis di dalam
melakukan semua aktivitasnya, dan mempunyai tujuan yang realistik, artinya
individu tersebut akan membuat tujuan hidup yang mampu untuk dilakukan,
sehingga apa yang direncanakan akan dilakukan dengan keyakinan akan berhasil
atau akan mencapai tujuan yang telah ditetapkannya.
Sedangkan seorang remaja yang memiliki social confidence yang tinggi
maka remaja akan merasa tidak percaya diri, merasa bahwa individu tersebut
tidak memiliki kemampuan dan juga tidak dapat diandalkan, sehingga hal
tersebut akan membuat remaja mengkompensasikan perasaannya untuk
mendapatkan perasaan yang baik dengan berbagai cara, salah satunya yaitu
31
dengan menyakiti orang lain untuk menuju diri yang superior. Terbentuknya rasa
tidak percaya diri berawal dari kelemahan individu pada berbagai aspek
kepribadiannya terutama yang berasal dari keluarga. Pemahaman negatif yang
akan muncul pada diri seseorang maupun lingkungan sehingga individu
meyakini bahwa dirinya tidak memiliki kelebihan. Akibatnya perilaku dalam
kehidupan pribadi dan sosialnya kurang baik. Hal ini juga dijelaskan oleh Hakim
(2005), bahwa proses terbentuknya rasa tidak percaya diri adalah sebagai
berikut:
a. Terbentuknya berbagai kekurangan atau kelemahan dalam berbagai aspek
kepribadian seseorang yang dimulai dari kehidupan keluarga dan meliputi
berbagai aspek seperti aspek mental, fisik, sosial atau ekonomi.
b. Pemahaman negatif seseorang terhadap dirinya sendiri yang cenderung
selalu memikirkan kekurangan tanpa pernah meyakini bahwa dirinya juga
memiliki kelebihan
c. Kehidupan sosial yang dijalani dengan sikap negatif, seperti rendah diri,
suka menyendiri, lari dari tanggung jawab, mengisolasi dari kelompok dan
reaksi negatif lainnya.
Aspek kedua yaitu School abilities. School abilities merupakan perasaan
tidak mampu atau tidak berdaya terhadap kualitas, kekuatan, daya kompetensi,
kecakapan, keahlian, keterampilan dan kesanggupan dalam melakukan tugas
akademik. Sebagai contoh, seseorang yang memiliki school abilities yang
rendah dia akan merasa bahwa dia memiliki kemampuan tersendiri di dalam
dirinya, dia akan menganggap bahwa dia seseorang yang cukup mampu untuk
32
menyelesaikan tugas akademiknya serta dia juga merasa bahwa dia memiliki
daya kompetensi dan keterampilan yang perlu dikembangkan serta kecakapan
yang cukup baik sehingga dia tidak akan melakukan persaingan sengit yang
dapat menimbulkan pikiran negatif untuk menyakiti orang lain karena dia sudah
cukup bangga akan dirinya dan kemampuannya. Berdasarkan hasil penelitian
Fink dan Walsh (Dra. Desmita, M.Si : 2009) dapat disimpulkan bahwa konsep
diri dan prestasi belajar siswa di sekolah mempunyai hubungan yang erat. Siswa
yang memiliki konsep diri yang positif akan memperlihatkan prestasi yang baik
di sekolah atau siswa yang berprestasi tinggi di sekolah memiliki penilaian diri
yang tinggi, serta menunjukkan hubungan antar pribadi yang positif pula.
Mereka juga akan memperlihatkan kemandirian dalam belajar sehingga tidak
tergantung pada guru semata.
Sedangkan, pada remaja yang memiliki school abilities yang tinggi di
dalam dirinya akan merasa bahwa dia tidak mampu bersaing dengan teman
sebayanya, merasa tidak memiliki kekuatan, daya kompetensi, keterampilan dan
kesanggupan dalam melakukan tugas akademik. Hal tersebut akan
memunculkan pemikiran yang negatif pada remaja untuk dapat melakukan
berbagai hal agar dia dapat mencapai pribadi yang lebih baik dibandingkan
dengan teman sebayanya, karena pada usia remaja mereka akan melakukan
persaingan kompetensi di lingkungan sekolahnya. Pada hal ini remaja dapat
melakukan berbagai hal yang dapat menyakiti temannya dalam bentuk verbal
maupun non-verbal untuk mendapatkan pemuasan batin dalam dirinya. Menurut
Iswidharmanjaya dan Agung (2004), mengungkapkan bahwa seseorang yang
33
mempunyai rasa minder dalam kompetensi akademiknya maka dia akan
melakukan berbagai hal sebagai berikut : a) tidak dapat menunjukkan
kemampuan diri, b) kurang berprestasi dalam studi, c) malu-malu dan canggung,
d) tidak berani mengungkapkan ide-ide, e) cenderung hanya melihat dan
menunggu kesempatan, f) membuang-buang waktu dalam membuat keputusan,
g) rendah diri bahkan takut dan merasa tidak aman, h) apabila gagal maka
individu akan cenderung menyalahkan orang lain, i) suka mencari pengakuan
dari orang lain.
Aspek yang ketiga adalah Self regard. Self regard yaitu penghormatan
terhadap dirinya sendiri yang rendah atau kurangnya perhatian dan
pertimbangan terhadap kepentingan dan minatnya sendiri. Menurut Jorfi, dkk
(2010) self regard adalah persepsi individu terhadap dirinya. Sebagai contoh,
seseorang yang memiliki self regard yang rendah dia akan sangat
memperhatikan dirinya, dia tidak akan memandang dirinya rendah, dan dia juga
akan memperhatikan kepentingan dan minatnya. Hal tersebut tentu akan
berdampak positif bagi diri individu tersebut karena dia mampu memberikan
penghormatan kepada dirinya sendiri, sehingga hal tersebut akan
menghindarkan diri individu dari perasaan yang negatif terhadap diri sendiri
maupun terhadap orang lain. Menurut Branden (2007) menyatakan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara harga diri yang sehat dengan karakter
orang lain yang secara langsung mendukung pencapaian dan kebahagiaan
seseorang. Harga diri yang sehat juga berhubungan dengan rasionalitas, realistis,
34
intuitif, kreatif, mandiri, fleksibel, kemampuan untuk mengelola perubahan,
keinginan untuk mengakui kesalahan, kebaikan dan sikap kooperatif.
Sedangkan pada remaja yang memiliki self regard yang tinggi, dia akan
memandang dirinya rendah, tidak mempunyai penghargaan tehadap dirinya
sendiri dan tidak memberikan perhatian terhadap kepentingan dan minatnya
sendiri. Hal tersebut akan memberikan dampak yang negatif bagi individu,
karena hal ini akan membuat individu memiliki pemikiran yang negatif terhadap
dirinya sehingga dia akan mencoba untuk melampiaskan perasaan negatifnya
pada orang lain dengan berbagai macam cara. Hal ini juga diungkapkan oleh
Branden (2007) bahwa seseorang yang memiliki harga diri yang tidak sehat
maka individu tersebut akan berhubungan dengan ketidakrasionalan, tidak
realistis, keras kepala, takut terhadap sesuatu yang baru, memberontak,
mengeluh, bersikap berlebihan atau memusuhi orang lain.
Aspek yang keempat adalah Physical appearance. Individu dengan
inferiority feeling sangat memperhatikan penampilannya, ia akan berusaha
memperhatikan penampilan tubuhnya, hal ini merupakan salah satu bentuk
untuk mengkompensasikan inferiority feeling miliknya. Sebagai contoh individu
yang memiliki physical appearance yang rendah maka ia akan memperhatikan
penampilannya namun tidak berlebihan, karena ia mempunyai cara pandang
yang positif mengenai dirinya sendiri, penampilan maupun situasi lingkungan
sekitar. Dengan begitu hal tersebut akan membawa dampak yang positif bagi diri
individu tersebut dan juga orang lain. Menurut Willis (2005), penerimaan diri
yang baik adalah kemampuan seseorang untuk hidup dan bergaul secara wajar
35
terhadap lingkungannya, sehingga remaja merasa puas terhadap diri sendiri dan
lingkungan.
Sedangkan seseorang yang memiliki physical appearance yang tinggi ia
akan sangat memperhatikan penampilannya, ia akan berusaha memperhatikan
penampilan tubuhnya, hal ini merupakan salah satu bentuk untuk
mengkompensasikan inferiority feeling miliknya. Individu tersebut akan
cenderung merasa tidak percaya diri pada setiap saat karena penampilan
fisiknya. Hal ini tentu menjadi salah satu aspek yang dapat mempengaruhi
seseorang untuk berperilaku agresi baik secara verbal maupun non-verbal.
Aspek yang kelima adalah Physical abilities. Physical abilities merupakan
perasaan diri lebih lemah dalam hal kemampuan tubuh yang dimiliki serta
potensi individu untuk melakukan performasi yang berkaitan dengan fisiknya
dibandingkan dengan teman atau kelompok sebayanya. Sebagai contoh
seseorang yang memiliki physical abilities yang rendah dalam dirinya tidak akan
berpikir bahwa dirinya lemah dan tidak memiliki potensi, ia justru akan berpikir
bahwa ia memiliki potensi yang harus dikembangkan sehingga ia akan
mengambil setiap kesempatan yang ada untuk mengembangkan kemampuan
yang dimilikinya. Sedangkan seseorang yang memiliki physical abilities yang
tinggi di dalam dirinya dia tidak akan merasa percaya diri akan kemampuan
tubuh serta potensi yang dimilikinya, individu tersebut akan membandingkan
dirinya dengan orang lain dan merasa bahwa ia tidak mampu melakukan
berbagai hal yang membutuhkan kemampuan fisiknya. Hal tersebut akan
menjadi aspek yang berpengaruh bagi seseorang untuk melakukan perilaku
36
agresi baik verbal maupun non-verbal pada teman sebayanya karena ia merasa
tidak berharga dan harus menuju superior.
Beberapa aspek di atas akan saling berinteraksi, sehingga inferiority
feeling atau perasaan negatif pada remaja akan muncul. Dampak dari inferiority
feeling dalam diri individu yaitu memunculkan adanya perilaku agresi pada
remaja. Sehingga apabila inferiority feeling pada diri remaja rendah maka tidak
akan menimbulkan perilaku agresi, namun apabila inferiority feeling pada
remaja maka akan menimbulkan perilaku agresi yang dapat menyebabkan
kerugian bagi berbagai pihak.
Hasil penelitian Hardianto (2009) mengatakan bahwa salah satu faktor
seseorang melakukan kekerasan dalam berpacaran adalah inferiority feeling.
Inferiority feeling yang dirasa semakin kuat pada saat orang tersebut sudah
merasa tidak mampu menghadapi tekanan, maka inferiority feeling tersebut
dikompensasi menjadi perilaku agresi. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Ulfah (2010) didapati bahwa anak jalanan perempuan yang terlibat pelacuran
juga mengkompensasikan inferiority feeling yang dimiliknya menuju
superioritas dengan perilaku agresi yaitu dengan cara mengadu domba orang-
orang yang menyukai dirinya.
37
D. Hipotesis
Berdasarkan uraian-uraian yang terdapat dalam landasan teori di atas,
maka perumusan hipotesis pada penelitian ini adalah terdapat hubungan positif
antara inferiority feeling dengan perilaku agresi pada remaja. Hal ini dikarenakan
semakin tinggi inferiority feeling pada remaja maka cenderung tinggi pula
perilaku agresi yang dihasilkan, sebaliknya jika semakin rendah inferiority
feeling pada remaja maka cenderung rendah perilaku agresi yang dimunculkan.
top related