bab ii tinjauan pustaka a. landasan filosofis kembali ... · a. landasan filosofis – yuridis...
Post on 30-Oct-2020
30 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Filosofis – Yuridis Lembaga Peninjauan
Kembali Putusan Pengadilan
` Lembaga Peninjauan Kembali (disingkat PK) semata-mata
ditujukan bagi kepentingan terpidana dan ahli warisnya,
merupakan asas/prinsip PK yang diwujudkan dalam norma Pasal
263 Ayat (1) KUHAP.
1. Konsep Dasar Peninjauan Kembali (PK)
Substansi upaya hukum PK berpijak pada dasar,
bahwa negara telah salah mempidana penduduk yang tidak
berdosa yang tidak dapat diperbaiki lagi dengan upaya
hukum biasa, membawa akibat telah dirampasnya keadilan
dan hak-hak terpidana secara tidak sah. 1
Negara merasa berdosa dan hendak bertanggung
jawab untuk mengembalikan keadilan dan hak-hak
terpidana yang telah dirampas secara tidak sah tersebut.
1 M Yahya Harahap, “Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,
2008, Jakarta, Pustaka Kartini, hal 120
Bentuk pertanggungjawaban itu menurut M. Yahya
Harahap “ialah negara memberikan hak kepada terpidana
atau ahli warisnya untuk mengajukan PK, bukan kepada
negara”. Dengan demikian dapatlah diartikan, bahwa PK
adalah wujud nyata penebusan dosa yang telah dilakukan
negara pada penduduk negara, karena negara telah
menghukum penduduk negara yang tidak bersalah.2
Sehubungan dengan dasar filosofis di atas, di
bawah ini penulis kemukakan dua contoh kasus sebagai
berikut:
a. Pada tahun 1977 negara telah menghukum Sengkon
dan Karta karena merampok dan membunuh suami
istri Suleman. Keduanya sudah ditahan sejak tahun
1974. Dalam perkara lain terbukti bahwa yang
merampok dan membunuh suami istri Suleman
adalah Gunel, Siih dan Wasita yang kemudian
dipidana masing-masing 10, 8 dan 6 tahun penjara
oleh Pengadilan Negeri Bekasi.3
2 Ibid. 3 Hendari Djenawi Tahir, “Bab Tentang Herziening Di dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana”,1982, Bandung, Alumni, hal.7.
b. Pada tahun 2002 Risman Lakoro dan istrinya
dijatuhi hukuman karena membunuh Alta Lakoro
anak kandungnya sendiri oleh Pengadilan Negeri
Gorontalo. Oleh karena disiksa polisi pada saat
penyidikan hingga cacat seumur hidup, terpaksa
mengaku membunuh. Keterangan terdakwa dan
bukti patah tulang di sidang pengadilan akibat
disiksa polisi tidak digubris hakim. Risman Lakoro
dipidana 3 tahun penjara. Tahun 2007 tiba-tiba Alta
Lakoro kembali ke kampung halamannya. Terbukti
bahwa Suami istri Risman Lakoro tidak membunuh
anak kandungnya, yang memang sejak tahun 2001
pergi karena cekcok dengan kedua orang tuanya
tersebut.4
Berdasarkan kedua contoh tersebut diatas, nampak
benar kesalahan dan dosa negara yang telah menghukum
penduduk yang sesungguhnya tidak bersalah. Oleh sebab
itulah maka lembaga PK semata-mata ditujukan untuk
4 www.gatra.com, “Peninjauan Kembali Risman Lakoro”,diakses tanggal 10
Oktober 2010).
memperbaiki putusan pemidanaan yang salah tersebut.
Negara tidak dibenarkan mengajukan PK untuk sebaliknya
mengukum terdakwa yang sudah dibebaskan atau lepas
dari tuntutan hukum yang sudah tetap.
2. Tujuan Peninjauan Kembali (PK)
Tujuan Peninjauan Kembali (PK) pada dasarnya
adalah memberikan kepastian dan keadilan hukum kepada
setiap warga negara secara sederajat dan tanpa
pengecualian. Peninjauan Kembali dimaksudkan sebagai
suatu upaya hukum luar biasa yang hanya dapat diajukan
satu kali dan sifat pengajuannya tidak menunda
pelaksanaan eksekusi. Penempatan PK sebagai salah satu
upaya hukum dalam sistem peradilan dimaksudkan sebagai
upaya untuk memberikan perlindungan atas hak asasi
manusia (HAM), tanpa mengorbankan asas kepastian
hukum (rechtszekerheid), yang merupakan sendi dasar dari
suatu negara hukum.5
5 Adami Chazawi, “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana:
Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat”, Cet-2,
Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hal.109.
Hal tersebut disebabkan suatu putusan pengadilan
yang sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht van
gewijsde) bisa dibatalkan manakala berdasarkan bukti-
bukti baru (novum) yang diakui kebenarannya oleh
pengadilan dalam proses peninjauan kembali. Namun,
proses peradilan yang menggunakan sistem hukum acara
yang meskipun sudah menggunakan tata cara pemeriksaan
prosedural yang ketat dan standar pembuktian yang
diharapkan dapat mewujudkan kebenaran materiil (the
ultimate truth), juga bisa mengalami kesalahan justru
karena proseduralnya tersebut.
Menurut H. Rusli Muhamad ada beberapa alasan dapat
diajukannya Peninjauan Kembali yang juga merupakan
tujuan dari PK yakni6 :
a. Apabila negara merasa bahwa putusan pembebasan
terdakwa sebelumnya keliru, ketidakmampuan
negara membuktikan kesalahan terdakwa,
merupakan kesalahan negara sendiri. Apabila
6 H. Rusli Muhamad, “Hukum Acara Pidana Kotemporer”, Bandung, 2007,
Citra Aditya Bakti, hal 287-289.
karena kesalahan negara yang demikian itu
membawa kerugian bagi negara, maka tidak
dibenarkan negara membebankan pengembalian
akibat dari ketidakmampuan membuktikan
kesalahan terdakwa tersebut pada terdakwa yang
sudah dibebaskan dengan putusan yang tetap;
b. Lembaga PK berpijak pada keadilan dan hak-hak
terpidana yang telah dilanggar oleh negara dengan
mempidana terdakwa, yang seharusnya tidak. PK
semata-mata untuk mengembalikan keadilan dan
hak-hak terpidana yang sudah dirampas negara
tanpa hak tersebut. Lembaga PK tidak lagi untuk
mencari keadilan melalui pasal-pasal yang
didakwakan penuntut umum. Melainkan
mengembalikan hak-hak dan keadilan yang sudah
dirampas dan diperkosa negara tanpa hak;
c. Landasan filosofis PK tersebut diwujudkan dalam
norma Pasal 263 Ayat (1) KUHAP. Norma pasal ini
merupakan landasan yang sekaligus menjadi asas
umum dibentuknya lembaga PK Perkara Pidana.
Hal itu merupakan kehendak pembentuk UU.
Hakim tidak dibenarkan membuat tafsir dengan
melanggar kehendak pembentuk UU;
d. Berdasarkan azas keseimbangan, negara telah
diberi hak yang sama dan cukup untuk
memperbaiki putusan pemidanaan salah yang telah
tetap dengan alasan untuk kepentingan
umum/negara, yakni melalui upaya kasasi demi
kepentingan hukum (Pasal 259 KUHAP).
e. Negara telah melanggar asas ne bis in idem (Pasal
76 KUHP). Asas mana bukan sekedar berlatar
belakang untuk membatasi hak negara (due proces
of law) semata dalam hal menuntut demi kepastian
hukum, agar negara tidak sewenang-wenang dan
secara terus menerus mengancam dengan menuntut
pidana pada penduduk, melainkan juga dilandasi
pada dorongan dan kehendak negara untuk
menegakkan kewibawan negara itu sendiri serta
kebutuhan memenuhi tuntutan perdamaian dan
kepastian bagi individu.
3. Peninjauan Kembali (PK) dalam Sistem Peradilan di
Indonesia
Lembaga PK adalah produk hukum yang baru
mendapatkan perhatian di Indonesia sejak tahun 1979
ketika pengadilan melakukan kesalahan dalam
memberikan hukuman penjara kepada orang yang tidak
melakukan tindak pidana seperti yang didakwakan. Kasus
Sengkon dan Karta yang kemudian mendorong masuknya
PK dalam KUHAP yang sedang di bahas di Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (selanjutnya
disingkat DPR RI) saat itu.7
Pengaturan PK dalam KUHAP ditentukan dalam
Pasal 263 sampai dengan Pasal 268. Adapun landasan
filosofisnya sebagaimana dikemukakan oleh R.O.
Tambunan diwujudkan dalam norma Pasal 263 ayat (1)
KUHAP yang menentukan “Terhadap putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
7 Abdul Aziz, “ Peninjauan Kembali dalam Tata Hukum Indonesia”,2004,
Jakarta, Sinar Grafika, hal 59-61.
terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”.8
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP sebagaimana
dikutipkan di atas, secara tersurat dan tegas menyatakan,
bahwa terpidana atau ahli warisnya yang dapat mengajukan
permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Dengan demikian, dari sisi legal formal telah jelas bahwa
hak untuk mengajukan PK merupakan hak terpidana atau
ahli warisnya.
“Norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP tersebut
merupakan norma yang sudah jelas, limitatif, dan tuntas,
maka bersifat. Rumusan norma hukum yang demikian
tidak dapat ditafsirkan lagi (interpretation cessat in
claris)”. Dengan kata lain, berdasarkan ketentuan Pasal
263 ayat (1) KUHAP, kecuali terpidana atau ahli warisnya
tidak seorang pun, baik atas nama pribadi ataupun lembaga
yang dapat mengajukan PK. Adapun Pejelasan Pasal 263
KUHAP menentukan “Pasal ini memuat alasan secara
limitatif untuk dapat dipergunakan meminta peninjauan
8 Ibid.
kembali suatu putusan perkara pidana yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap”.9
Ketentuan Pasal 263 ayat (1) KUHAP yang menyatakan,
bahwa hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak
mengajukan PK ditegaskan kembali oleh KUHAP melalui
ketentuan-ketentuan, antara lain sebagai berikut :
a. Pasal 264 ayat (1) KUHAP yang menentukan,
“Permintaan peninjauan kembali oleh pemohon
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat (1)
diajukankepada panitera pengadilan yang telah
memutus perkaranya dalam tingkat pertama dengan
menyebutkan secara jelas alasannya”;
b. Pasal 265 ayat (1) KUHAP yang menentukan,
“Ketua pengadilan setelah menerima permintaan
peninjauan kembali sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 263 ayat (1) menunjuk hakim yang tidak
memeriksa perkara semula yang dimintakan
peninjauan kembali itu untuk memeriksa apakah
9 Lihat Penjelasan Pasal 263.
permintaan peninjauan kembali tersebut memenuhi
alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 ayat
(2)”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 263 ayat (1), Pasal
264 ayat (1), dan Pasal 265 ayat (1) KUHAP, jelaslah dan
tidak diragukan lagi bahwa PK yang diatur oleh KUHAP
adalah upaya hukum yang diperuntukkan bagi terpidana
atau ahli warisnya untuk tidak menerima putusan
pengadilan yang berbentuk putusan pemidanaan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap.
B. Hubungan Hukum dan Keadilan
1. Tujuan Hukum
Tujuan Hukum dalam penelitian ini menurut penulis
pada dasarnya adalah untuk memberikan kepastian dan
keadilan hukum kepada setiap warga negara secara
sederajat dan tanpa pengecualian. Hal ini sejalan dengan
Tujuan hukum menurut Gustav Radbruch yang
mengemukakan pendapatnya bahwa tujuan hukum pada
umunya terdiri dari tiga nilai dasar yakni Keadilan,
Kemanfaatan Hukum, dan Kepastian Hukum.10
Oleh karena di antara ketiga nilai dasar hukum tersebut
masing-masing mempunyai tuntutan yang berbeda satu
sama lainnya, sehingga ketiganya mempunyai potensi
untuk saling bertentangan. Apabila yang menjad tujuan
utama adalah kepastian hukum maka akan segera
menggeser nilai Keadilan dan Kemanfaatan. Menurut
Radbruch, jika terjadi ketegangan antara nilai-nilai dasar
tersebut, maka harus menggunakan dasar atau asas prioritas
dimana prioritas pertama selalu jatuh pada nilai keadilan,
kemanfaatan dan terakhir kepastian hukum. Ini
menunjukkan bahwa Radbruch menempatkan nilai
keadilan lebih utama daripada nilai kemanfaatan dan nilai
kepastian hukum dan menempatkan nilai kepastian hukum
dibawah nilai kemanfaatan hukum.
Namun dalam penulisan tesis ini, akan lebih merujuk
kepada nilai keadilan dan kepastian hukum.
10 Satjipto Rahardjo,” Ilmu Hukum” , Editor Awaludin Marwan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal 20.
2. Konsep Kepastian Hukum dan Konsep Keadilan
a. Ajaran Kepastian Hukum
Upaya Hukum Peninjauan Kembali (PK) dalam hukum
acara didefiniskan sebagai suatu upaya hukum luar biasa
yang hanya dapat diajukan satu kali dan sifat pengajuannya
tidak menunda pelaksanaan eksekusi. Penempatan PK
sebagai salah satu upaya hukum dalam sistem hukum acara
peradilan dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan
perlindungan atas hak asasi manusia (HAM) tanpa
mengorbankan asas kepastian hukum (rechts zekerheid),
yang merupakan sendi dasar dari suatu negara hukum.11
Pada praktiknya PK tidak hanya menyangkut
Mahkamah Agung dan para hakim pengadilan, melainkan
menyangkut proses yang melibatkan lembaga peradilan
mulai dari PN sampai dengan MA. Tuntutan kehidupan
yang semakin kompleks dan modern tersebut memaksa
setiap individu dalam masyarakat mau tidak mau, suka atau
tidak suka menginginkan adanya kepastian, terutama
11 Adami Chazawi, “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana:
Penegakan Hukum dalam Penyimpangan Praktik dan Peradilan Sesat”, Sinar
Grafika, 2011, Jakarta, hal.109.
kepastian hukum, sehingga setiap individu dapat
menentukan hak dan kewajibannya dengan jelas dan
terstruktur.12
Ajaran kepastian hukum ini berasal dari ajaran Yuridis-
Dogmatik yang didasarkan pada aliran pemikiran
positivistis di dunia hukum yang cenderung melihat hukum
sebagai sesuatu yang otonom dan mandiri karena bagi
penganut pemikiran ini, hukum tak lain hanya kumpulan
aturan. Bagi penganut aliran ini, tujuan hukum tidak lain
dari sekedar menjamin terwujudnya kepastian hukum.13
Kepastian hukum itu diwujudkan oleh hukum dengan
sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum yang
bersifat umum. Sifat umum dari aturan-aturan hukum
membuktikan bahwa hukum tidak bertujuan untuk
mewujudkan keadilan atau kemanfaatan, melainkan
semata-mata untuk kepastian.14
12 Moh.Mahfud MD, “Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi”,
LP3S, 2006, Jakarta, hal. 63. 13 Achmad Ali, “Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis)”, Toko Gunung Agung, 2002, Jakarta, hal. 82-83. 14 Ibid.
Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian,
yaitu pertama, adanya aturan yang bersifat umum membuat
individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak
boleh dilakukan, dan kedua, berupa keamanan hukum bagi
individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan
adanya aturan yang bersifat umum itu individu dapat
mengetahui apa saja yang boleh dibebankan atau dilakukan
oleh Negara terhadap individu.15
Kepastian hukum tersebut dalam masyarakat
dibutuhkan demi tegaknya ketertiban dan keadilan.
Ketidakpastian hukum akan menimbulkan kekacauan
dalam kehidupan masyarakat, dan setiap anggota
masyarakat akan saling berbuat sesuka hati serta bertindak
main hakim sendiri. Keberadaan seperti ini menjadikan
kehidupan berada dalam suasana kekacauan sosial.16
Undang-Undang yang berisi aturan-aturan yang
bersifat umum menjadi pedoman bagi individu bertingkah
laku dalam bermasyarakat, baik dalam hubungan dengan
15 Riduan Syahrani, “Rangkuman Intisari Ilmu Hukum”, PT Citra Aditya
Bakti,1999, Bandung, hal. 23. 16 M.Yahya Harahap,“Pembahasan,Permasalahan dan Penerapan KUHAP”,
Sinar Grafika, 2006, Edisi Kedua, Jakarta, hal. 76.
sesama individu maupun dalam hubungannya dengan
masyarakat. Aturan-aturan itu menjadi batasan bagi
masyarakat dalam membebani atau melakukan tindakan
terhadap individu. Adanya aturan itu dan pelaksanaan
aturan tersebut menimbulkan kepastian hukum.17
Tujuan hukum yang mendekati realistis adalah
kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Kaum positivis
lebih menekankan pada kepastian hukum, sedangkan kaum
fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, dan
sekiranya dapat dikemukakan bahwa “summum ius, summa
injuria, summa lex, summa crux” yang artinya adalah
hukum yang keras dapat melukai, kecuali keadilan yang
dapat menolongnya, dengan demikian kendatipun keadilan
bukan merupakan tujuan hukum satu-satunya akan tetapi
tujuan hukum yang paling substantif adalah keadilan.18
Ajaran kemanfaatan hukum ini sesuai dengan inti
ajaran model hukum pembangunan Mochtar
Kusumaatmadja yang mencerminkan bahwa kepastian
17 Peter Mahmud Marzuki, “Pengantar Ilmu Hukum”, Kencana, Jakarta, 2008,
hal. 158. 18 Dominikus Rato, “Filsafat Hukum Mencari: Memahami dan Memahami
Hukum”, Laksbang Pressindo, 2010, Yogyakarta, hal. 59.
hukum tidak boleh dipertentangkan dengan keadilan.
Keadilan tidak boleh hanya ditetapkan sesuai dengan
kehendak pemegang kekuasaan melainkan harus sesuai
dengan nilai-nilai (baik) yang berkembang dalam
masyarakat.
b. Konsep Keadilan Hukum oleh Gustav Radbruch
Gustav Radbruch adalah seorang filosof hukum dan
seorang legal scholar dari Jerman yang terkemuka yang
mengajarkan konsep tiga ide unsur dasar hukum. Ketiga
konsep dasar tersebut dikemukakannya pada era Perang
Dunia II. Gustav Radbruch mengemukakan mengenai
Tujuan hukum yang dimana menurut pendapatnya ada tiga
tujuan hukum tersebut adalah keadilan, kepastian, dan
kemanfaatan.19
Namun yang menjadi pokok kajian dalam penulisan
tesis ini adalah tujuan hukum sebagai kepastian yang telah
di paparkan tersebut diatas dan keadilan hukum.
19 Satjipto Rahardjo,” Ilmu Hukum” , Editor Awaludin Marwan, PT Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal 20.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut
Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata
hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar
dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan
memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum.
Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang
bermartabat.20
Keadilan menjadi landasan moral hukum dan sekaligus
tolok ukur sistem hukum positif. Kepada keadilanlah
hukum positif berpangkal. Tanpa keadilan, sebuah aturan
tidak pantas menjadi hukum. Apabila, dalam penegakan
hukum cenderung pada nilai kepastian hukum atau dari
sudut peraturannya, maka sebagai nilai ia telah menggeser
nilai keadilan dan kemanfaatan. Hal ini dikarenakan, di
dalam kepastian hukum yang terpenting adalah peraturan
itu sendiri sesuai dengan apa yang dirumuskan. Begitu juga
ketika nilai kemanfaatan lebih diutamakan, maka nilai
kegunaan akan menggeser nilai kepastian hukum maupun
20 Yovita A. Mangesti & Bernard L. Tanya, “Moralitas Hukum”, Yogyakarta:
Genta Publishing: 2014, hal.74.
nilai keadilan karena yang penting bagi nilai kemanfaatan
adalah kenyataan apakah hukum tersebut berguna bagi
masyarakat atau tidak. Demikian juga, ketika yang
diperhatikan hanya nilai keadilan, maka akan menggeser
nilai kepastian hukum dan kegunaan. Sehingga, dalam
penegakan hukum harus ada keseimbangan antara ketiga
nilai tersebut.21
Hukum sebagai pengemban nilai-nilai kemanusiaan,
menurut Radbruch menjadi ukuran bagi adil dan tidak
adilnya tata hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan
(memajukan nilai-nilai kemanusiaan) juga menjadi dasar
dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan
memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum.
Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang
bermartabat. Jadi bagi Radbruch, keadilan merupakan
titik sentral dalam hukum. Adapun dua aspek lainnya yakni
kepastian dan finalitas/kemanfaatan, bukanlah unit yang
21 Artikel dari LBH Perjuangan, “Penegakan Hukum Yang Menjamin
Keadilan, Kepastian Huku, dan Kemanfaatan (Studi Kasus : Kasus Mbah
Minah)”.
http://lbhperjuangan.blogspot.com/2010/10/penegakan-hukum-yang-
menjamin-keadilan.html, diakses pada 18 Oktober 2010.
berdiri sendiri dan terpisah dari kerangka keadilan itu
sendiri. Sebab tujuan keadilan, menurut Radbruch, adalah
untuk memajukan kebaikan dalam hidup manusia. Aspek
inilah yang harus mewarnai isi hukum.22
Keadilan merupakan unsur yang dikedepankan dalam
putusan PK disamping unsur kepastian hukum dan
kemanfaatan. Hal ini memperhatikan pula asas prioritas
yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch tersebut diatas
bahwa untuk menerapkan hukum secara tepat dan adil
untuk memenuhi tujuan hukum maka yang diutamakan
adalah keadilan, kemudian kemanfaatan setelah itu
kepastian hukum. Faktanya, hal tersebut akan
menimbulkan masalah. Tidak jarang antara kepastian
hukum berbenturan dengan kemanfaatan, antara keadilan
dengan kepastian hukum, dan antara keadilan terjadi
benturan dengan kemanfaatan.
Pembaruan oleh hakim melalui putusannya juga tidak
bisa dilakukan secara maksimal. Hal ini karena pengaruh
22 Yovita A. Mangesti & Bernard L, Op. Cit., hal. 74.
civil law system yang menghendaki hakim mendasarkan
diri secara ketat pada bunyi undang-undang meski undang-
undang tersebut telah ketinggalan zaman. Oleh karena itu,
penerapan keadilan dalam pembuatan putusan bukanlah hal
mudah untuk dilakukan. Paradigma berpikir hakim juga
lebih condong pada mendasarkan diri pada filsafat
positivisme hukum.23
Penempatan keadilan sesungguhnya adalah tujuan
hukum yang pertama dan utama, karena hal ini sesuai
dengan hakekat atau ontologi hukum itu sendiri. Hukum
dibuat untuk menciptakan ketertiban melalui peraturan
yang adil, yakni pengaturan kepentingan-kepentingan yang
saling bertentangan dengan seimbang sehingga setiap
orang memperoleh sebanyak mungkin apa yang menjadi
bagiannya. Bahkan dapat dikatakan dalam seluruh sejarah
filsafat hukum selalu memberikan tempat yang istimewa
kepada keadilan sebagai suatu tujuan hukum.24
23 Satjipto Rahardjo, “Ilmu Hukum”, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2012, hal
20. 24 Ahmad Zaenal Fanani, “Berpikir Falsafati Dalam Putusan Hakim”, Varia
Peradilan, No. 304, Maret 2011, hal 4.
Hukum sebagai pengemban nilai keadilan menurut
Radbruch menjadi ukuran bagi adil tidak adilnya tata
hukum. Tidak hanya itu, nilai keadilan juga menjadi dasar
dari hukum sebagai hukum. Dengan demikian, keadilan
memiliki sifat normatif sekaligus konstitutif bagi hukum.
Keadilan menjadi dasar bagi tiap hukum positif yang
bermartabat.25
c. Konsep Keadilan Sosial dalam Negara Hukum
Pancasila dan HAM
Prinsip keadilan sudah seharusnya dapat ditemukan
dalam setiap peraturan perundang-undangan sebagaimana
asas konstitusionalisme dalam negara hukum. Dalam dasar
negara Indonesia yang juga berfungsi sebagai sumber
daripada semua sumber hukum, yakni Pancasila, konsep
keadilan mendapat porsi utama dalam ideologi berbangsa.
Sila kedua menyatakan “Kemanusiaan yang adil dan
beradab”, kemudian sila kelima menyatakan “Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Terhadap dua kata
25 Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, “Moralitas Hukum”, Genta
Publishing, 2014, Yogyakarta, hal 74.
“adil” yang muncul pada dua sila dalam Pancasila tersebut
mengindikasikan bahwa keadilan merupakan salah satu
prinsip utama yang harus diperhatikan dalam
menyelenggarakan negara.
Selain itu, apabila merujuk ke dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,
disebutkan bahwa cita bernegara Indonesia adalah,
“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.”
Keadilan yang tersurat secara ringkas di dalam sila
Pancasila maupun pembukaan UUD 1945 sudah
seharusnya diterjemahkan secara tepat baik makna maupun
tujuan yang terkandung di dalamnya ke dalam suatu produk
peraturan perundang-undangan yang dibuat dan
diberlakukan.26
26 Teguh Prasetyo, “Hukum dan Sistem Hukum Berdasarkan Pancasila”,
Media Perkasa, Yogyakarta, 2015, hal 9.
Menurut pandangan Hak Asasi Manusia (HAM)
Bahwa hak untuk mendapatkan keadilan adalah hak setiap
warga negara tanpa kecuali terutama warga negara yang
sedang memperjuangkan keadilan dan siapapun tidak boleh
menghalangi warga negara atau pencari keadilan untuk
mendapatkan keadilan.
Apabila dilihat dari pandangan HAM yang menganut
prinspi persamaan di dalam hukum (equality before the
law), prinsip keadilan telah tereliminasi oleh ketentuan
yang membatasi pengajuan Peninjauan Kembali lebih dari
sekali sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-
Undang yang dimohonkan untuk diuji, sehingga para
Pemohon tidak dapat menikmati keadilan di depan hukum
sebagai warga negara Indonesia (Pasal 28D ayat (1) UUD
1945).
top related