bab ii tinjauan pustaka 2.1. 2.1 - sinta.unud.ac.id ii.pdf2.1.1 definisi dinding pengisi ... adalah...
Post on 14-Jun-2018
242 Views
Preview:
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Dinding Pengisi
2.1.1 Definisi
Dinding pengisi yang umumnya difungsikan sebagai penyekat, dinding
eksterior, dan dinding yang terdapat pada sekeliling tangga dan elevator secara
struktural memberikan pengaruh memperkaku rangka terhadap beban horizontal.
Dinding pengisi umumnya digunakan untuk meningkatkan kekakuan dan
kekuatan struktur beton bertulang dan umumnya dianggap sebagai elemen non-
struktural.
2.1.2 Rangka dengan Dinding Pengisi
RDP (infilled frame) ialah struktur yang terdiri atas kolom dan balok
berbahan baja atau beton bertulang dengan dinding pengisi berbahan batu-bata
ataupun batako.
Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi
Perilaku struktur rangka akibat adanya dinding pengisi tentu berbeda
dengan struktur rangka tanpa dinding pengisi. Perilaku seperti deformasi dan
gaya-gaya dalam pada struktur akan diterima pula oleh dinding pengisi yang
berarti dinding pengisi akan mendistribusikan gaya-gaya yang ada pada struktur
sampai pada batas kemampuannya. Adanya kontak antara dinding dan struktur
yang mengelilinginya dan perilaku struktur ketika mendapat beban lateral
mengakibatkan dinding pengisi mengalami pola keruntuhan tertentu. Keruntuhan
yang terjadi pada dinding salah satunya terjadi pada bagian sudut-sudutnya.
5
Ketika menerima beban lateral, struktur rangka akan menekan dinding bagian
ujung, sementara dinding akan menahan gaya tersebut. Konsep inilah yang
menjadi dasar untuk memodelkan dinding pengisi sebagai sebuah strat diagonal.
2.2. Pemodelan
Analisis pemodelan untuk struktur bangunan yang tinggi bergantung pada
beberapa keadaan dan pendekatan yang berhubungan dengan tipe dan ukuran
struktur dan banyaknya tingkat dalam desain rancangan. Pemodelan struktur
berkembang dengan cepat seiring dengan dukungan teknologi komputer yang
makin canggih. Kemudahan yang diberikan dalam pemodelan struktur dengan
komputer dapat mempercepat proses perhitungan, sehingga yang menjadi fokus
para perancang bangunan adalah bagaimana cara menginterpretasikan
permasalahan yang ada ke dalam model struktur yang dapat diproses komputer.
Dalam Smith & Coull (1991) dijelaskan bahwa pendekatan dalam pemodelan
dibagi menjadi tiga yaitu, analisis pendahuluan, analisis menengah dan final serta
pendekatan gabungan untuk analisis pendahuluan dan final.
2.2.1 Analisis Pendahuluan
Analisis ini biasanya dilakukan pada tahap awal. Analisis dilakukan untuk
menentukan dimensi struktur agar didapat seproporsional dan seefektif mungkin.
Maka dari itu analisis ini menuntut kecepatan dari prosesnya sehingga pada
pelaksanaannya tidak memodel struktur secara mendetail. Pemodelan dengan cara
ini memiliki simpangan sekitar 15% dari analisis yang lebih detail (Smith &
Coull, 1991).
2.2.2 Analisis Menengah dan Final
Analisi ini dilakukan dengan memodel struktur secara apa adanya dengan
menekankan hasil yang didapat haruslah seakurat mungkin. Sehingga model yang
akan dibuat menjadi detail sebagaimana kemampuan program yang digunakan
untuk mengerjakannya. Kelemahan dari cara ini berada pada waktu
pengerjaannya. Semakin kompleks suatu model yang dibuat, semakin banyak
parameter yang harus diperhitungkan, dan semakin lama pula proses
6
analisanya.Bahkan dengan semakin rumit perhitungan yang dilakukan, resiko
terjadinya kesalahan juga semakin besar.
2.2.3 Pendekatan Gabungan untuk Analisis Pendahuluan dan Final
Ketika sebuah struktur dimodel dengan sangat detail sehingga kinerja
program menjadi sangat berat, maka dapat menggunakan cara analisis pendekatan.
Analisis ini bertujuan untuk membuat model yang lebih sederhana namun tetap
menghasilkan analisis yang cukup akurat. Caranya adalah dengan
menyederhanakan bentuk dari suatu elemen namun tidak menghilangkan
kontribusinya dalam mempengaruhi perilaku struktur secara keseluruhan.
2.3. Strat Diagonal
Dinding pengisi yang dimodel sebagai strat diagonal sudah lama
diterapkan dan sudah banyak pula referensi terkait hal tersebut. Dinding pengisi
diasumsikan menerima gaya dari struktur rangka di sekelilingnya yang telah
menerima gaya lateral sehingga dinding mengalami gaya tekan. Gaya yang
diberikan oleh struktur rangka tersebut akan ditahan oleh dinding secara diagonal.
Perumpamaan tersebut yang menjadi dasar untuk memodel dinding pengisi
sebagai strat. Strat dalam desainnya juga hanya mampu menerima gaya aksial
tekan atau tidak menerima gaya tarik. Asumsinya bahwa dinding pengisi tersusun
atas material yang tidak homogen sehingga kuat tarik yang dimiliki material ini
diabaikan. Perumusan untuk lebar strat pun sudah banyak berkembang. Salah satu
rumus yang cukup banyak digunakan termasuk dalam peraturan FEMA-356
terkait analisis dinding pengisi.
Gambar 2.2Model Dinding Pengisi Sebagai Strat Diagonal
h kolom
r
a
?
h dinding
θ
7
𝑎 = 0.175 𝜆1𝑐𝑜𝑙 −0.4𝑟𝑖𝑛𝑓 (2.1)
dimana λ1 adalah:
𝜆1 = 𝐸𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑛𝑓 sin 2θ
4𝐸𝑓𝑒 𝐼𝑐𝑜𝑙 𝑖𝑛𝑓
1
4 (2.2)
dengan a adalah lebar strat diagonal, rinf adalah panjang strat, Eme adalah modulus
elastisitas dinding pengisi, Efe Icol adalah modulus elastisitas dan momen inersia
kolom, tinf adalah tebal dinding dan tebal strat, hcol adalah tinggi kolom di antara as
balok, hinf adalah tinggi dinding pengisi, dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh
strat diagonal.
Berdasarkan cara diatas, pemodelan dinding pengisi sebagai strat diagonal
tidak akan mampu meninjau adanya bukaan atau lubang pada dinding. Maka dari
itu, Asteris, et al. (2012) mengusulkan adanya faktor reduksi terhadap dimensi
strat diagonal akibat adanya lubang, dengan ketentuan seperti pada Gambar 2.3.
Gambar 2.3Grafik Hubungan Antara Faktor Reduksi dengan Persentase Lubang
pada Dinding.
Sumber: Asteris et al. (2012)
8
Grafik di atas menunjukkan hubungan antara persentase bukaan dinding
dan faktor reduksi terhadap kekakuan dinding. Persamaan yang dihasilkan oleh
grafik tersebut adalah:
𝜆 = 1 − 2𝛼𝑤0.54 + 𝛼𝑤
1.14 (2.3)
dengan αw adalah persentase lubang (luas lubang dibagi luas dinding).
2.4. Elemen Shell
Elemen shell merupakan suatu bentuk sistem struktur berbentuk bidang
(area) yang dapat dikerjakan gaya sejajar bidang maupun tegak lurus bidang
(Dewobroto, 2013). Pada program SAP2000, penggunaan elemen shell dapat
dibagi menjadi tiga sesuai dengan perilakunya yaitu:
1. Membran
Elemen membran hanya dapat memperhitungkan gaya-gaya yang bekerja
sejajar dengan bidang (in-plane) dan momen drilling (momen yang bekerja
dengan sumbu putar tegak lurus arah bidang). Elemen ini dapat digunakan jika
ingin memodel suatu bidang tanpa memperhitungkan gaya tegak lurus bidang.
2. Pelat
Elemen pelat merupakan kebalikan dari elemen membran, yaitu hanya dapat
menerima gaya tegak lurus arah bidang (out-of-plane). Model pelat pondasi yang
memiliki rasio ketebalan yang kecil dapat menggunakan elemen pelat ini.
3. Shell
Jika dibutuhkan suatu elemen dengan perilaku gabungan antara elemen
membran dan elemen pelat, maka elemen shell merupakan pilihannya. Elemen
shell memiliki kemampuan untuk menahan gaya searah maupun tegak lurus
bidang.
Bentuk bidang elemen shell dapat dibagi menjadi dua. Jika nodal yang
terdapat pada satu bidang elemen berjumlah 4 buah (j1, j2, j3, j4) maka bentuknya
berupa segi empat (quadrilateral) dan jika terdapat tiga buah nodal (j1, j2, j3)
maka bentuknya berupa segitiga (triangular). Penggunaan kedua bentuk tersebut
9
ditujukan untuk mendapatkan bentuk yang proporsional dalam membuat model
yang saling terhubung (kontinyu) pada setiap nodal.
2.5. Elemen Gap
Elemen gap merupakan elemen yang menghubungkan dua material yang
berbeda dengan tujuan untuk menyalurkan gaya yang berasal dari masing-masing
material tersebut. Pada program SAP2000 terdapat fitur link element atau elemen
penghubung yang dapat digunakan sebagai elemen gap. Elemen ini bekerja
dengan cara mengikat dua buah titik simpul dan dapat dilepas sesuai kondisi
tertentu. Gambar 2.4 menunjukkan elemen gap dan komponennya, dengan i dan j
sebagai simpul (titik ujung) dari elemen gap. Simpul atau titik ujung yang
dimaksud nodal dari elemen frame dan nodal elemen shell sedangkan k
merupakan nilai kekakuan dari elemen gap.
Gambar 2.4Elemen Gap
Aplikasi elemen kontak ini pada dinding pengisi salah satunya dibahas
dalam penelitian dari Dorji& Thambiratnam (2009). Pada penelitian tersebut
dijelaskan tentang perbandingan kekakuan yang dimiliki oleh elemen gap dengan
kekakuan dari dinding pengisi. Hubungan dari kekakuan kedua elemen tersebut
dapat dilihat pada Gambar 2.5
10
Gambar 2.5 Grafik hubungan antara kekakuan dinding dan kekakuan gap
Sumber: Dorji (2009)
Persamaan dari grafik yang terdapat pada Gambar 2.5 dapat dirumuskan
sebagai berikut:
𝐾𝑔 = 0.0378𝐾𝑖 + 347 (2.4)
dengan Ki
𝐾𝑖 = 𝐸𝑖𝑡 (2.5)
dimana Kg adalah kekakuan dari gap element dalam satuan N/mm, Ki adalah
kekakuan dari dinding pengisi, Ei adalah modulus elastisitas dinding dan t adalah
tebal dinding.
2.6. Material Nonlinier
Sebuah material atau bahan memiliki sifat nonlinier yang berarti material
tersebut dapat menurun kekuatannya pada batas tegangan tertentu. Material yang
berbeda tentunya memiliki kekuatan yang berbeda. Hal yang digunakan untuk
menunjukkan perilaku material salah satunya adalah modulus elastisitas.
Parameter ini memberikan gambaran tentang kemampuan suatu material untuk
mengalami deformasi. Semakin kecil nilai modulus elastisitas maka semakin
mudah suatu material dapat mengalami perpanjangan atau perpendekan.
11
Berdasarkan SNI 2847:2013, modulus elastisitas pada material beton dapat dicari
dengan rumus berikut:
untuk beton dengan berat volume antara 1440 dan 2560 kg/m3 menggunakan
rumus
𝐸𝑐 = 𝑤𝑐1.50.043 𝑓′𝑐 (2.6)
Nilai tegangan dan regangan material beton dapat digambarkan dalam
kurva nonlinier. Pada program SAP2000 dapat dibuat kurva tegangan regangan
secara otomatis berdasarkan ketentuan dari Mander.
Pada material dinding dapat diketahui nilai modulus elastisitasnya
berdasarkan pendekatan dari FEMA-356 dengan rumus
𝐸𝑚 = 550𝑓′𝑚 (2.7)
Sifat nonlinier dari material dinding bata sendiri telah dirumuskan oleh
Kaushik et al. (2007). Gambar 2.6 menunjukkan hubungan antara tegangan dan
regangan pada dinding bata.
Gambar 2.6Kurva Hubungan Tegangan dan Regangan Dinding Pengisi
Sumber: Kaushik et al. (2007)
12
Kurva bagian lengkung (parabolic variation) dari titik nol sampai bagian
puncak (ε’m,f’m) dan pada saat f’m turun sebesar 90% (0.9f’m) dapat dicari dengan
persamaan sebagai berikut:
𝑓𝑚
𝑓′𝑚= 2
𝜀𝑚
𝜀′𝑚−
𝜀𝑚
𝜀′𝑚 2 (2.8)
Kemudian untuk bagian lurus (linear variation) digunakan persamaan
sebagai berikut:
𝑓𝑚−0.9𝑓′𝑚
0.2𝑓′𝑚−0.9𝑓′𝑚=
𝜀𝑚−𝜀𝑚@0.9𝑓′𝑚
2𝜀′𝑚−𝜀𝑚@0.9𝑓′𝑚
(2.9)
dengan:
𝜀′𝑚 = 𝐶𝑗𝑓′𝑚
𝐸𝑚0.7 (2.10)
𝐶𝑗 =0.27
𝑓𝑗0.25 (2.11)
dimana:
Cj = faktor dari kuat tekan mortar
fj = kuat tekan mortar (MPa)
fm = tegangan dinding pengisi (MPa)
f’m = kuat tekan dinding pengisi (MPa)
ε’m = regangan dinding pengisi pada f’m
εm = regangan dinding pengisi
𝜀𝑚@0.9𝑓′𝑚 = regangan dinding pengisi saat 0.9f’m
2.7. Penelitian Terkait
Kakaletsis and Karayannis (2009) melakukan penelitian laboratorium
mengenai perilaku struktur rangka dinding pengisi dengan bukaan. Dalam
penelitiannya, terdapat 10 spesimen yang diuji, ditunjukkan pada Tabel 2.1.
Spesimen yang diuji berupa struktur RT (Bare Frame), struktur RDP dengan
dinding solid, dan struktur RDP dengan bukaan. Untuk bukaan, parameter yang
digunakan yaitu bentuk bukaan dan ukuran bukaan. Terdapat tiga spesimen
bukaan jendela dengan ukuran perbandingan la/l sebesar 0.25, 0.38, 0.50 dan tiga
13
spesimen bukaan pintu dengan ukuran perbandingan la/l sebesar 0.25, 0.38, dan
0.50. Selain itu, ada dua spesimen menggunakan parameter untuk lokasi bukaan
pada struktur rangka dengan perbandingan x/l sebesar 0.167. Dimana, l adalah
panjang dinding pasangan bata, la adalah lebar bukaan, dan x adalah jarak antara
garis pusat dari bukaan ke tepi dinding pengisi, terlihat pada Tabel 2.1.
Tabel 2.1Spesimen eksperimen
Notasi
Benda Uji
Bentuk bukaan Ukuran Bukaan la/l Jarak
bukaan x/l Jendela Pintu 0 0.25 0.38 0.5 1
B Bare Bare - - - - √ -
S Solid Solid √ - - - - -
WO2 √ - - √ - - - 0.5
WO3 √ - - - √ - - 0.5
WO4 √ - - - - √ - 0.5
DO2 - √ - √ - - - 0.5
DO3 - √ - - √ - - 0.5
DO4 - √ - - - √ - 0.5
WX1 √ - - √ - - - 0.167
DX1 - √ - √ - - - 0.167
Sumber: Kakaletsis & Karayannis (2009)
Rincian untuk struktur rangka beton bertulang ditunjukkan pada Gambar
2.7(a). Dimensi balok (100x200) mm dan dimensi kolom (150x150) mm. Dimensi
tersebut sesuai dengan1/3 skala dari bentuk asli di lapangan yaitu (300x600) mm
untuk balok dan (450x450) mm untuk kolom. Pasangan bata dinding pengisi
dalam spesimen memiliki ketinggian (H) =800 mm dan panjang (l) = 1200 mm,
ditunjukkan pada Gambar 2.7(c) dan Gambar 2.7(d), yang mewakili dinding
partisi bagian luar struktur yang bentuk asli di lapangan dengan tinggi (H) =2.40
m dan panjang (l) = 3.60m, dimana rasio H/l=1/1.50. Pada eksperimen
menggunakan dimensi bata (60x60x93)mm, terlihat gambar 2.7(b). Dimensi bata
sesuai dengan 1/3 skala dengan bentuk asli bata dengan dimensi (180x180x300)
mm. Data material dapat dilihat pada Tabel 2.2.
14
Gambar 2.7Spesimen struktur RDP (a) detail tulangan struktur rangka beton
bertulang, (b) unit bata, (c) struktur RDP dengan bukaan jendela dan (d) struktur
RDP dengan bukaan pintu, dalam mm.
Sumber: Kakaletsis and Karayannis (2009)
Tabel 2.2Sifat material yang digunakan
Sifat Mekanik Nilai yang Terukur
Campuran Semen/Plester
Kuat Tekan fm 0.22 ksi (1.53 MPa)
Pasangan Bata
Kuat tekan | | untuk rongga fc90 0.74 ksi (5.11 MPa)
Modulus elastisitas | | untuk rongga E90 97.29 ksi (670.30 MPa)
Geser modulus G 37.65 ksi (259.39 MPa)
Rangka Beton
Kuat tekan f’c 4.14 ksi (28.51 MPa)
Sumber: Kakaletsis and Karayannis (2009)
Beban lateral dibuatkan menggunakan alat double action hydraulic
actuator sedangkan beban vertikal menggunakan hydraulic jacks, dipasang
dengan empat strands di bagian atas setiap kolom, yang konstan dan terus-
menerus disesuaikan selama pengujian. Tingkat beban tekan aksial per kolom ini
15
ditetapkan sebesar 50 kN dengan rata-rata tegangan tekan sebesar 0.1 MPa untuk
kekuatan tekan.
Hasil utama dari eksperimen laboratorium adalah grafik hubungan antara
beban lateral dan perpindahan, selain itu ditampilkan pola kegagalan yang terjadi
pada struktur, disajikan pada Gambar 2.8, 2.9 dan 2.10
Gambar 2.8Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan dan Pola
Keruntuhan dari Benda Uji S
Gambar 2.9Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan dan Pola
Keruntuhan dari Benda Uji WO2
16
Gambar 2.10Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan dan Pola
Keruntuhan dari Benda Uji DO2
Spesimen S pada Gambar 2.8 memiliki dinding penuh, dimana retak pada
dinding terjadi pada drift 0.3%. Sendi plastis terjadi pada bagian atas dan bawah
kolom pada drift 1.1%. Kegagalan dari spesimen ini didominasi dengan retak
diagonal di dinding pada drift 1.9%. Spesimen WO2 dengan bukaan jendela pada
Gambar 2.9 mengalami retak pertama di dinding pada drift 0.3% sampai 0.4%.
Sendi plastis terjadi pada ujung atas dan bawah kolom pada drift 0.3% sampai
0.9%. Spesimen DO2 pada Gambar 2.10 mengalami retak pertama di dinding
pada drift 0.3%. Sendi plastis terjadi pada bagian atas dan bawah kolom pada drift
0.4% sampai 0.6%.
Berdasarkan hasil penelitian laboratorium tersebut disimpulkan bahwa
ukuranbukaandaribentuk yang samatampaknya tidakjauhmempengaruhi
perilakubenda uji. Retak pada dinding dan terpisahnya dinding dari struktur terjadi
pada tahap sebelum adanya leleh pada tulangan kolom. Pada perpindahan yang
besar pada kasus model dengan bukaan, beban lateral tetap ditahan oleh struktur
sementara dinding pengisi mulai berhenti menahan beban.
Hasil dari kurva histeresis beban lateral dan perpindahan dari setiap
spesimen dapat disederhanakan dengan menghubungkan tiap titik puncaknya
seperti pada gambar 2.11.
17
Gambar 2.11Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan Spesimen S,
WO2, dan DO2
2.8. Beban Gempa
2.8.1 SNI 1726:2002
Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan
faktor-faktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari
wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I),
faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut
digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (C) dengan rumus:
𝐶𝑎 =𝐴𝑟
𝑇 (2.12)
dengan
𝐴𝑟 = 𝐴𝑚 × 𝑇𝑐 (2.13)
𝑇 = 𝜁 × 𝑛 (2.14)
𝐴𝑚 = 0.25 × 𝐴𝑜 (2.15)
dimana:
Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C
Am = Percepatan respons maksimum
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Gay
a La
tera
l (kN
)
Perpindahan (mm)
S
WO2
DO2
18
T = Waktu getar alami struktur gedung (detik)
ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung
n = Jumlah tingkat
Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor
respon gempa vertikal (Cv) dengan rumus:
𝐶𝑣 = Ψ × 𝐴0 × 𝐼 (2.16)
dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat
struktur gedung berada.
2.8.2 SNI 1720:2012
Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia
yang berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa 1726:2012. Pada peraturan ini
dijelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk
analisis beban gempa sebagai berikut:
1. Geografis
Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi
gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang
berbeda memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula.
2. Faktor keutamaan gedung
Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung
dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1,
untuk kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV
memiliki faktor 1.5.
3. Kategori Desain Seismik
Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C,
D, E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A
Tabel A5.
4. Sistem penahan gaya seismik
Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi
gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem
19
(Ω0), dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai
dengan Tabel A6 pada lampiran A.
2.9. Analisis Pushover
Analisis Pushover merupakan metode analisis berbasis kinerja
(performance-based design) yang pada perhitungannya mengerjakan beban yang
ditingkatkan untuk menunjukkan hasil berupa kinerja dari suatu struktur.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan analisis ini meliputi:
2.9.1 Kenonlinieran Material
Sifat-sifat nonlinier dari material seperti perbandingan tegangan dan
regangan secara otomatis akan diperhitungkan oleh program ketika menggunakan
analisis nonlinier. Namun pada program hanya mengenal material beton dan baja
saja, sehingga dalam mendefinisikan sifat nonlinier dari material lainnya seperti
dinding pengisi harus dilakukan secara manual dengan menginput kurva tegangan
dan regangannya sesuai dengan perencanaan.
2.9.2 Sendi Plastis
Sendi plastis adalah penggambaran dari perilaku pasca-leleh yang
terkonsentrasi dalam satu atau lebih derajat kebebasan. Sifat sendi plastis adalah
sebutan pengaturan dari sifat kaku-plastis yang dapat diberikan pada satu atau
lebih elemen rangka. Perilaku gaya-perpindahan plastis dapat ditentukan untuk
tiap derajat kebebasan gaya (aksial dan geser), begitu pula perilaku momen-rotasi
plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan momen (lentur dan torsi).
Derajat kebebasan yang tidak ditentukan tetap dalam kondisi elastis. Pada
SAP2000, sendi plastis hanya dapat diaplikasikan pada elemen rangka.
Untuk tiap derajat kebebasan, kurva gaya-perpindahan (force-
displacement) didefinisikan agar memberikan nilai leleh dan deformasi plastis
setelah leleh. Hal ini dilakukan dalam hubungan dari kurva dengan nilai pada lima
titik, A-B-C-D-E, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.12. Titik-titik tersebut
dijelaskan sebagai berikut:
- Titik A selalu merupakan titik awal.
- Titik B mewakili pelelehan. Tidak ada deformasi yang terjadi dalam sendi
plastis sampai titik B, meskipun nilai deformasi ditentukan untuk titik B.
20
Perpindahan (rotasi) pada titik B akan dikurangi dari deformasi pada titik C,
D, dan E. Hanya deformasi plastis yang melewati titik B diperlihatkan oleh
sendi plastis.
- Titik C mewakili kapasitas ultimit untuk analisis pushover.
- Titik D mewakili kekuatan sisa untuk analisis pushover.
- Titik E mewakili kegagalan total. Setelah titik E, sendi plastis akan jatuh
berkurang sampai titik F (tidak diperlihatkan) secara langsung dibawah titik
E pada sumbu horizontal.
Gambar 2.12 Kurva deformasi plastis untuk gaya-perpindahan
2.9.3 Kontrol Pembebanan
Ada 2 macam bentuk kontrol pembebanan untuk analisa statik nonlinear
yaitu a load-controlled dan displacement-controlled. A load-controlled dipakai
apabila kita tahu pembesaran beban yang akan diberikan kepada struktur yang
diperkirakan dapat menahan beban tersebut, contohnya adalah beban gravitasi.
Pada a load-controlled semua beban akan ditambahkan dari nol hingga pebesaran
yang diinginkan. Displacement-controlled dipakai apabila kita mengetahui sejauh
mana struktur kita bergerak tetapi kita tidak tahu beban yang harus dimasukkan.
Ini sangat berguna untuk mengetahui perilaku struktur tidak stabil dan mungkin
kehilangan kapasitas pembawa beban selama analisa dilakukan.
top related