bab ii tinjauan pustaka 2.1. 2.1 - sinta.unud.ac.id ii.pdf2.1.1 definisi dinding pengisi ... adalah...

17
4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Dinding Pengisi 2.1.1 Definisi Dinding pengisi yang umumnya difungsikan sebagai penyekat, dinding eksterior, dan dinding yang terdapat pada sekeliling tangga dan elevator secara struktural memberikan pengaruh memperkaku rangka terhadap beban horizontal. Dinding pengisi umumnya digunakan untuk meningkatkan kekakuan dan kekuatan struktur beton bertulang dan umumnya dianggap sebagai elemen non- struktural. 2.1.2 Rangka dengan Dinding Pengisi RDP (infilled frame) ialah struktur yang terdiri atas kolom dan balok berbahan baja atau beton bertulang dengan dinding pengisi berbahan batu-bata ataupun batako. Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi Perilaku struktur rangka akibat adanya dinding pengisi tentu berbeda dengan struktur rangka tanpa dinding pengisi. Perilaku seperti deformasi dan gaya-gaya dalam pada struktur akan diterima pula oleh dinding pengisi yang berarti dinding pengisi akan mendistribusikan gaya-gaya yang ada pada struktur sampai pada batas kemampuannya. Adanya kontak antara dinding dan struktur yang mengelilinginya dan perilaku struktur ketika mendapat beban lateral mengakibatkan dinding pengisi mengalami pola keruntuhan tertentu. Keruntuhan yang terjadi pada dinding salah satunya terjadi pada bagian sudut-sudutnya.

Upload: hoangcong

Post on 14-Jun-2018

241 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

4

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Dinding Pengisi

2.1.1 Definisi

Dinding pengisi yang umumnya difungsikan sebagai penyekat, dinding

eksterior, dan dinding yang terdapat pada sekeliling tangga dan elevator secara

struktural memberikan pengaruh memperkaku rangka terhadap beban horizontal.

Dinding pengisi umumnya digunakan untuk meningkatkan kekakuan dan

kekuatan struktur beton bertulang dan umumnya dianggap sebagai elemen non-

struktural.

2.1.2 Rangka dengan Dinding Pengisi

RDP (infilled frame) ialah struktur yang terdiri atas kolom dan balok

berbahan baja atau beton bertulang dengan dinding pengisi berbahan batu-bata

ataupun batako.

Gambar 2.1 Rangka dengan Dinding Pengisi

Perilaku struktur rangka akibat adanya dinding pengisi tentu berbeda

dengan struktur rangka tanpa dinding pengisi. Perilaku seperti deformasi dan

gaya-gaya dalam pada struktur akan diterima pula oleh dinding pengisi yang

berarti dinding pengisi akan mendistribusikan gaya-gaya yang ada pada struktur

sampai pada batas kemampuannya. Adanya kontak antara dinding dan struktur

yang mengelilinginya dan perilaku struktur ketika mendapat beban lateral

mengakibatkan dinding pengisi mengalami pola keruntuhan tertentu. Keruntuhan

yang terjadi pada dinding salah satunya terjadi pada bagian sudut-sudutnya.

5

Ketika menerima beban lateral, struktur rangka akan menekan dinding bagian

ujung, sementara dinding akan menahan gaya tersebut. Konsep inilah yang

menjadi dasar untuk memodelkan dinding pengisi sebagai sebuah strat diagonal.

2.2. Pemodelan

Analisis pemodelan untuk struktur bangunan yang tinggi bergantung pada

beberapa keadaan dan pendekatan yang berhubungan dengan tipe dan ukuran

struktur dan banyaknya tingkat dalam desain rancangan. Pemodelan struktur

berkembang dengan cepat seiring dengan dukungan teknologi komputer yang

makin canggih. Kemudahan yang diberikan dalam pemodelan struktur dengan

komputer dapat mempercepat proses perhitungan, sehingga yang menjadi fokus

para perancang bangunan adalah bagaimana cara menginterpretasikan

permasalahan yang ada ke dalam model struktur yang dapat diproses komputer.

Dalam Smith & Coull (1991) dijelaskan bahwa pendekatan dalam pemodelan

dibagi menjadi tiga yaitu, analisis pendahuluan, analisis menengah dan final serta

pendekatan gabungan untuk analisis pendahuluan dan final.

2.2.1 Analisis Pendahuluan

Analisis ini biasanya dilakukan pada tahap awal. Analisis dilakukan untuk

menentukan dimensi struktur agar didapat seproporsional dan seefektif mungkin.

Maka dari itu analisis ini menuntut kecepatan dari prosesnya sehingga pada

pelaksanaannya tidak memodel struktur secara mendetail. Pemodelan dengan cara

ini memiliki simpangan sekitar 15% dari analisis yang lebih detail (Smith &

Coull, 1991).

2.2.2 Analisis Menengah dan Final

Analisi ini dilakukan dengan memodel struktur secara apa adanya dengan

menekankan hasil yang didapat haruslah seakurat mungkin. Sehingga model yang

akan dibuat menjadi detail sebagaimana kemampuan program yang digunakan

untuk mengerjakannya. Kelemahan dari cara ini berada pada waktu

pengerjaannya. Semakin kompleks suatu model yang dibuat, semakin banyak

parameter yang harus diperhitungkan, dan semakin lama pula proses

6

analisanya.Bahkan dengan semakin rumit perhitungan yang dilakukan, resiko

terjadinya kesalahan juga semakin besar.

2.2.3 Pendekatan Gabungan untuk Analisis Pendahuluan dan Final

Ketika sebuah struktur dimodel dengan sangat detail sehingga kinerja

program menjadi sangat berat, maka dapat menggunakan cara analisis pendekatan.

Analisis ini bertujuan untuk membuat model yang lebih sederhana namun tetap

menghasilkan analisis yang cukup akurat. Caranya adalah dengan

menyederhanakan bentuk dari suatu elemen namun tidak menghilangkan

kontribusinya dalam mempengaruhi perilaku struktur secara keseluruhan.

2.3. Strat Diagonal

Dinding pengisi yang dimodel sebagai strat diagonal sudah lama

diterapkan dan sudah banyak pula referensi terkait hal tersebut. Dinding pengisi

diasumsikan menerima gaya dari struktur rangka di sekelilingnya yang telah

menerima gaya lateral sehingga dinding mengalami gaya tekan. Gaya yang

diberikan oleh struktur rangka tersebut akan ditahan oleh dinding secara diagonal.

Perumpamaan tersebut yang menjadi dasar untuk memodel dinding pengisi

sebagai strat. Strat dalam desainnya juga hanya mampu menerima gaya aksial

tekan atau tidak menerima gaya tarik. Asumsinya bahwa dinding pengisi tersusun

atas material yang tidak homogen sehingga kuat tarik yang dimiliki material ini

diabaikan. Perumusan untuk lebar strat pun sudah banyak berkembang. Salah satu

rumus yang cukup banyak digunakan termasuk dalam peraturan FEMA-356

terkait analisis dinding pengisi.

Gambar 2.2Model Dinding Pengisi Sebagai Strat Diagonal

h kolom

r

a

?

h dinding

θ

7

𝑎 = 0.175 𝜆1𝑕𝑐𝑜𝑙 −0.4𝑟𝑖𝑛𝑓 (2.1)

dimana λ1 adalah:

𝜆1 = 𝐸𝑚𝑒 𝑡𝑖𝑛𝑓 sin 2θ

4𝐸𝑓𝑒 𝐼𝑐𝑜𝑙 𝑕𝑖𝑛𝑓

1

4 (2.2)

dengan a adalah lebar strat diagonal, rinf adalah panjang strat, Eme adalah modulus

elastisitas dinding pengisi, Efe Icol adalah modulus elastisitas dan momen inersia

kolom, tinf adalah tebal dinding dan tebal strat, hcol adalah tinggi kolom di antara as

balok, hinf adalah tinggi dinding pengisi, dan θ adalah sudut yang dibentuk oleh

strat diagonal.

Berdasarkan cara diatas, pemodelan dinding pengisi sebagai strat diagonal

tidak akan mampu meninjau adanya bukaan atau lubang pada dinding. Maka dari

itu, Asteris, et al. (2012) mengusulkan adanya faktor reduksi terhadap dimensi

strat diagonal akibat adanya lubang, dengan ketentuan seperti pada Gambar 2.3.

Gambar 2.3Grafik Hubungan Antara Faktor Reduksi dengan Persentase Lubang

pada Dinding.

Sumber: Asteris et al. (2012)

8

Grafik di atas menunjukkan hubungan antara persentase bukaan dinding

dan faktor reduksi terhadap kekakuan dinding. Persamaan yang dihasilkan oleh

grafik tersebut adalah:

𝜆 = 1 − 2𝛼𝑤0.54 + 𝛼𝑤

1.14 (2.3)

dengan αw adalah persentase lubang (luas lubang dibagi luas dinding).

2.4. Elemen Shell

Elemen shell merupakan suatu bentuk sistem struktur berbentuk bidang

(area) yang dapat dikerjakan gaya sejajar bidang maupun tegak lurus bidang

(Dewobroto, 2013). Pada program SAP2000, penggunaan elemen shell dapat

dibagi menjadi tiga sesuai dengan perilakunya yaitu:

1. Membran

Elemen membran hanya dapat memperhitungkan gaya-gaya yang bekerja

sejajar dengan bidang (in-plane) dan momen drilling (momen yang bekerja

dengan sumbu putar tegak lurus arah bidang). Elemen ini dapat digunakan jika

ingin memodel suatu bidang tanpa memperhitungkan gaya tegak lurus bidang.

2. Pelat

Elemen pelat merupakan kebalikan dari elemen membran, yaitu hanya dapat

menerima gaya tegak lurus arah bidang (out-of-plane). Model pelat pondasi yang

memiliki rasio ketebalan yang kecil dapat menggunakan elemen pelat ini.

3. Shell

Jika dibutuhkan suatu elemen dengan perilaku gabungan antara elemen

membran dan elemen pelat, maka elemen shell merupakan pilihannya. Elemen

shell memiliki kemampuan untuk menahan gaya searah maupun tegak lurus

bidang.

Bentuk bidang elemen shell dapat dibagi menjadi dua. Jika nodal yang

terdapat pada satu bidang elemen berjumlah 4 buah (j1, j2, j3, j4) maka bentuknya

berupa segi empat (quadrilateral) dan jika terdapat tiga buah nodal (j1, j2, j3)

maka bentuknya berupa segitiga (triangular). Penggunaan kedua bentuk tersebut

9

ditujukan untuk mendapatkan bentuk yang proporsional dalam membuat model

yang saling terhubung (kontinyu) pada setiap nodal.

2.5. Elemen Gap

Elemen gap merupakan elemen yang menghubungkan dua material yang

berbeda dengan tujuan untuk menyalurkan gaya yang berasal dari masing-masing

material tersebut. Pada program SAP2000 terdapat fitur link element atau elemen

penghubung yang dapat digunakan sebagai elemen gap. Elemen ini bekerja

dengan cara mengikat dua buah titik simpul dan dapat dilepas sesuai kondisi

tertentu. Gambar 2.4 menunjukkan elemen gap dan komponennya, dengan i dan j

sebagai simpul (titik ujung) dari elemen gap. Simpul atau titik ujung yang

dimaksud nodal dari elemen frame dan nodal elemen shell sedangkan k

merupakan nilai kekakuan dari elemen gap.

Gambar 2.4Elemen Gap

Aplikasi elemen kontak ini pada dinding pengisi salah satunya dibahas

dalam penelitian dari Dorji& Thambiratnam (2009). Pada penelitian tersebut

dijelaskan tentang perbandingan kekakuan yang dimiliki oleh elemen gap dengan

kekakuan dari dinding pengisi. Hubungan dari kekakuan kedua elemen tersebut

dapat dilihat pada Gambar 2.5

10

Gambar 2.5 Grafik hubungan antara kekakuan dinding dan kekakuan gap

Sumber: Dorji (2009)

Persamaan dari grafik yang terdapat pada Gambar 2.5 dapat dirumuskan

sebagai berikut:

𝐾𝑔 = 0.0378𝐾𝑖 + 347 (2.4)

dengan Ki

𝐾𝑖 = 𝐸𝑖𝑡 (2.5)

dimana Kg adalah kekakuan dari gap element dalam satuan N/mm, Ki adalah

kekakuan dari dinding pengisi, Ei adalah modulus elastisitas dinding dan t adalah

tebal dinding.

2.6. Material Nonlinier

Sebuah material atau bahan memiliki sifat nonlinier yang berarti material

tersebut dapat menurun kekuatannya pada batas tegangan tertentu. Material yang

berbeda tentunya memiliki kekuatan yang berbeda. Hal yang digunakan untuk

menunjukkan perilaku material salah satunya adalah modulus elastisitas.

Parameter ini memberikan gambaran tentang kemampuan suatu material untuk

mengalami deformasi. Semakin kecil nilai modulus elastisitas maka semakin

mudah suatu material dapat mengalami perpanjangan atau perpendekan.

11

Berdasarkan SNI 2847:2013, modulus elastisitas pada material beton dapat dicari

dengan rumus berikut:

untuk beton dengan berat volume antara 1440 dan 2560 kg/m3 menggunakan

rumus

𝐸𝑐 = 𝑤𝑐1.50.043 𝑓′𝑐 (2.6)

Nilai tegangan dan regangan material beton dapat digambarkan dalam

kurva nonlinier. Pada program SAP2000 dapat dibuat kurva tegangan regangan

secara otomatis berdasarkan ketentuan dari Mander.

Pada material dinding dapat diketahui nilai modulus elastisitasnya

berdasarkan pendekatan dari FEMA-356 dengan rumus

𝐸𝑚 = 550𝑓′𝑚 (2.7)

Sifat nonlinier dari material dinding bata sendiri telah dirumuskan oleh

Kaushik et al. (2007). Gambar 2.6 menunjukkan hubungan antara tegangan dan

regangan pada dinding bata.

Gambar 2.6Kurva Hubungan Tegangan dan Regangan Dinding Pengisi

Sumber: Kaushik et al. (2007)

12

Kurva bagian lengkung (parabolic variation) dari titik nol sampai bagian

puncak (ε’m,f’m) dan pada saat f’m turun sebesar 90% (0.9f’m) dapat dicari dengan

persamaan sebagai berikut:

𝑓𝑚

𝑓′𝑚= 2

𝜀𝑚

𝜀′𝑚−

𝜀𝑚

𝜀′𝑚 2 (2.8)

Kemudian untuk bagian lurus (linear variation) digunakan persamaan

sebagai berikut:

𝑓𝑚−0.9𝑓′𝑚

0.2𝑓′𝑚−0.9𝑓′𝑚=

𝜀𝑚−𝜀𝑚@0.9𝑓′𝑚

2𝜀′𝑚−𝜀𝑚@0.9𝑓′𝑚

(2.9)

dengan:

𝜀′𝑚 = 𝐶𝑗𝑓′𝑚

𝐸𝑚0.7 (2.10)

𝐶𝑗 =0.27

𝑓𝑗0.25 (2.11)

dimana:

Cj = faktor dari kuat tekan mortar

fj = kuat tekan mortar (MPa)

fm = tegangan dinding pengisi (MPa)

f’m = kuat tekan dinding pengisi (MPa)

ε’m = regangan dinding pengisi pada f’m

εm = regangan dinding pengisi

𝜀𝑚@0.9𝑓′𝑚 = regangan dinding pengisi saat 0.9f’m

2.7. Penelitian Terkait

Kakaletsis and Karayannis (2009) melakukan penelitian laboratorium

mengenai perilaku struktur rangka dinding pengisi dengan bukaan. Dalam

penelitiannya, terdapat 10 spesimen yang diuji, ditunjukkan pada Tabel 2.1.

Spesimen yang diuji berupa struktur RT (Bare Frame), struktur RDP dengan

dinding solid, dan struktur RDP dengan bukaan. Untuk bukaan, parameter yang

digunakan yaitu bentuk bukaan dan ukuran bukaan. Terdapat tiga spesimen

bukaan jendela dengan ukuran perbandingan la/l sebesar 0.25, 0.38, 0.50 dan tiga

13

spesimen bukaan pintu dengan ukuran perbandingan la/l sebesar 0.25, 0.38, dan

0.50. Selain itu, ada dua spesimen menggunakan parameter untuk lokasi bukaan

pada struktur rangka dengan perbandingan x/l sebesar 0.167. Dimana, l adalah

panjang dinding pasangan bata, la adalah lebar bukaan, dan x adalah jarak antara

garis pusat dari bukaan ke tepi dinding pengisi, terlihat pada Tabel 2.1.

Tabel 2.1Spesimen eksperimen

Notasi

Benda Uji

Bentuk bukaan Ukuran Bukaan la/l Jarak

bukaan x/l Jendela Pintu 0 0.25 0.38 0.5 1

B Bare Bare - - - - √ -

S Solid Solid √ - - - - -

WO2 √ - - √ - - - 0.5

WO3 √ - - - √ - - 0.5

WO4 √ - - - - √ - 0.5

DO2 - √ - √ - - - 0.5

DO3 - √ - - √ - - 0.5

DO4 - √ - - - √ - 0.5

WX1 √ - - √ - - - 0.167

DX1 - √ - √ - - - 0.167

Sumber: Kakaletsis & Karayannis (2009)

Rincian untuk struktur rangka beton bertulang ditunjukkan pada Gambar

2.7(a). Dimensi balok (100x200) mm dan dimensi kolom (150x150) mm. Dimensi

tersebut sesuai dengan1/3 skala dari bentuk asli di lapangan yaitu (300x600) mm

untuk balok dan (450x450) mm untuk kolom. Pasangan bata dinding pengisi

dalam spesimen memiliki ketinggian (H) =800 mm dan panjang (l) = 1200 mm,

ditunjukkan pada Gambar 2.7(c) dan Gambar 2.7(d), yang mewakili dinding

partisi bagian luar struktur yang bentuk asli di lapangan dengan tinggi (H) =2.40

m dan panjang (l) = 3.60m, dimana rasio H/l=1/1.50. Pada eksperimen

menggunakan dimensi bata (60x60x93)mm, terlihat gambar 2.7(b). Dimensi bata

sesuai dengan 1/3 skala dengan bentuk asli bata dengan dimensi (180x180x300)

mm. Data material dapat dilihat pada Tabel 2.2.

14

Gambar 2.7Spesimen struktur RDP (a) detail tulangan struktur rangka beton

bertulang, (b) unit bata, (c) struktur RDP dengan bukaan jendela dan (d) struktur

RDP dengan bukaan pintu, dalam mm.

Sumber: Kakaletsis and Karayannis (2009)

Tabel 2.2Sifat material yang digunakan

Sifat Mekanik Nilai yang Terukur

Campuran Semen/Plester

Kuat Tekan fm 0.22 ksi (1.53 MPa)

Pasangan Bata

Kuat tekan | | untuk rongga fc90 0.74 ksi (5.11 MPa)

Modulus elastisitas | | untuk rongga E90 97.29 ksi (670.30 MPa)

Geser modulus G 37.65 ksi (259.39 MPa)

Rangka Beton

Kuat tekan f’c 4.14 ksi (28.51 MPa)

Sumber: Kakaletsis and Karayannis (2009)

Beban lateral dibuatkan menggunakan alat double action hydraulic

actuator sedangkan beban vertikal menggunakan hydraulic jacks, dipasang

dengan empat strands di bagian atas setiap kolom, yang konstan dan terus-

menerus disesuaikan selama pengujian. Tingkat beban tekan aksial per kolom ini

15

ditetapkan sebesar 50 kN dengan rata-rata tegangan tekan sebesar 0.1 MPa untuk

kekuatan tekan.

Hasil utama dari eksperimen laboratorium adalah grafik hubungan antara

beban lateral dan perpindahan, selain itu ditampilkan pola kegagalan yang terjadi

pada struktur, disajikan pada Gambar 2.8, 2.9 dan 2.10

Gambar 2.8Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan dan Pola

Keruntuhan dari Benda Uji S

Gambar 2.9Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan dan Pola

Keruntuhan dari Benda Uji WO2

16

Gambar 2.10Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan dan Pola

Keruntuhan dari Benda Uji DO2

Spesimen S pada Gambar 2.8 memiliki dinding penuh, dimana retak pada

dinding terjadi pada drift 0.3%. Sendi plastis terjadi pada bagian atas dan bawah

kolom pada drift 1.1%. Kegagalan dari spesimen ini didominasi dengan retak

diagonal di dinding pada drift 1.9%. Spesimen WO2 dengan bukaan jendela pada

Gambar 2.9 mengalami retak pertama di dinding pada drift 0.3% sampai 0.4%.

Sendi plastis terjadi pada ujung atas dan bawah kolom pada drift 0.3% sampai

0.9%. Spesimen DO2 pada Gambar 2.10 mengalami retak pertama di dinding

pada drift 0.3%. Sendi plastis terjadi pada bagian atas dan bawah kolom pada drift

0.4% sampai 0.6%.

Berdasarkan hasil penelitian laboratorium tersebut disimpulkan bahwa

ukuranbukaandaribentuk yang samatampaknya tidakjauhmempengaruhi

perilakubenda uji. Retak pada dinding dan terpisahnya dinding dari struktur terjadi

pada tahap sebelum adanya leleh pada tulangan kolom. Pada perpindahan yang

besar pada kasus model dengan bukaan, beban lateral tetap ditahan oleh struktur

sementara dinding pengisi mulai berhenti menahan beban.

Hasil dari kurva histeresis beban lateral dan perpindahan dari setiap

spesimen dapat disederhanakan dengan menghubungkan tiap titik puncaknya

seperti pada gambar 2.11.

17

Gambar 2.11Kurva Perbandingan Gaya Lateral dengan Perpindahan Spesimen S,

WO2, dan DO2

2.8. Beban Gempa

2.8.1 SNI 1726:2002

Pada peraturan perencanaan beban gempa SNI 1726:2002 digunakan

faktor-faktor yang disesuaikan dengan perencanaan suatu struktur yang terdiri dari

wilayah gempa, percepatan puncak muka tanah (Ao), faktor keutamaan gedung (I),

faktor reduksi gempa (R), dan waktu getar alami (Tc). Faktor-faktor tersebut

digunakan untuk menghitung faktor respon gempa (C) dengan rumus:

𝐶𝑎 =𝐴𝑟

𝑇 (2.12)

dengan

𝐴𝑟 = 𝐴𝑚 × 𝑇𝑐 (2.13)

𝑇 = 𝜁 × 𝑛 (2.14)

𝐴𝑚 = 0.25 × 𝐴𝑜 (2.15)

dimana:

Ar = Pembilang dalam persamaan hiperbola Faktor Respons Gempa C

Am = Percepatan respons maksimum

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 5 10 15 20 25 30 35 40

Gay

a La

tera

l (kN

)

Perpindahan (mm)

S

WO2

DO2

18

T = Waktu getar alami struktur gedung (detik)

ζ = Koefisien pengali dari jumlah tingkat struktur gedung

n = Jumlah tingkat

Gempa arah vertikal juga diperhitungkan dengan mencari nilai faktor

respon gempa vertikal (Cv) dengan rumus:

𝐶𝑣 = Ψ × 𝐴0 × 𝐼 (2.16)

dengan ψ adalah koefisien yang disesuaikan dengan wilayah gempa tempat

struktur gedung berada.

2.8.2 SNI 1720:2012

Peraturan perencanaan beban gempa pada gedung-gedung di Indonesia

yang berlaku saat ini diatur dalam SNI Gempa 1726:2012. Pada peraturan ini

dijelaskan tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perhitungan untuk

analisis beban gempa sebagai berikut:

1. Geografis

Perencanaan beban gempa pada sebuah gedung tergantung dari lokasi

gedung tersebut dibangun. Hal ini disebabkan karena wilayah yang

berbeda memiliki percepatan batuan dasar yang berbeda pula.

2. Faktor keutamaan gedung

Faktor ini ditentukan berdasarkan jenis pemanfaatan gedung. Gedung

dengan kategori risiko I dan II memiliki faktor keutamaan gedung 1,

untuk kategori resiko III memiliki faktor 1.25, dan kategori resiko IV

memiliki faktor 1.5.

3. Kategori Desain Seismik

Pembagian kategori desain seismik dari rendah ke tinggi yaitu A, B, C,

D, E, dan F. Penentuan kategori ini dapat dilihat pada lampiran A

Tabel A5.

4. Sistem penahan gaya seismik

Struktur dengan sistem penahan gaya seismik memiliki faktor reduksi

gempa atau koefisien modifikasi respon (R), faktor kuat lebih sistem

19

(Ω0), dan faktor pembesaran defleksi (Cd) yang berbeda-beda sesuai

dengan Tabel A6 pada lampiran A.

2.9. Analisis Pushover

Analisis Pushover merupakan metode analisis berbasis kinerja

(performance-based design) yang pada perhitungannya mengerjakan beban yang

ditingkatkan untuk menunjukkan hasil berupa kinerja dari suatu struktur.

Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan analisis ini meliputi:

2.9.1 Kenonlinieran Material

Sifat-sifat nonlinier dari material seperti perbandingan tegangan dan

regangan secara otomatis akan diperhitungkan oleh program ketika menggunakan

analisis nonlinier. Namun pada program hanya mengenal material beton dan baja

saja, sehingga dalam mendefinisikan sifat nonlinier dari material lainnya seperti

dinding pengisi harus dilakukan secara manual dengan menginput kurva tegangan

dan regangannya sesuai dengan perencanaan.

2.9.2 Sendi Plastis

Sendi plastis adalah penggambaran dari perilaku pasca-leleh yang

terkonsentrasi dalam satu atau lebih derajat kebebasan. Sifat sendi plastis adalah

sebutan pengaturan dari sifat kaku-plastis yang dapat diberikan pada satu atau

lebih elemen rangka. Perilaku gaya-perpindahan plastis dapat ditentukan untuk

tiap derajat kebebasan gaya (aksial dan geser), begitu pula perilaku momen-rotasi

plastis dapat ditentukan untuk tiap derajat kebebasan momen (lentur dan torsi).

Derajat kebebasan yang tidak ditentukan tetap dalam kondisi elastis. Pada

SAP2000, sendi plastis hanya dapat diaplikasikan pada elemen rangka.

Untuk tiap derajat kebebasan, kurva gaya-perpindahan (force-

displacement) didefinisikan agar memberikan nilai leleh dan deformasi plastis

setelah leleh. Hal ini dilakukan dalam hubungan dari kurva dengan nilai pada lima

titik, A-B-C-D-E, seperti yang ditunjukkan pada gambar 2.12. Titik-titik tersebut

dijelaskan sebagai berikut:

- Titik A selalu merupakan titik awal.

- Titik B mewakili pelelehan. Tidak ada deformasi yang terjadi dalam sendi

plastis sampai titik B, meskipun nilai deformasi ditentukan untuk titik B.

20

Perpindahan (rotasi) pada titik B akan dikurangi dari deformasi pada titik C,

D, dan E. Hanya deformasi plastis yang melewati titik B diperlihatkan oleh

sendi plastis.

- Titik C mewakili kapasitas ultimit untuk analisis pushover.

- Titik D mewakili kekuatan sisa untuk analisis pushover.

- Titik E mewakili kegagalan total. Setelah titik E, sendi plastis akan jatuh

berkurang sampai titik F (tidak diperlihatkan) secara langsung dibawah titik

E pada sumbu horizontal.

Gambar 2.12 Kurva deformasi plastis untuk gaya-perpindahan

2.9.3 Kontrol Pembebanan

Ada 2 macam bentuk kontrol pembebanan untuk analisa statik nonlinear

yaitu a load-controlled dan displacement-controlled. A load-controlled dipakai

apabila kita tahu pembesaran beban yang akan diberikan kepada struktur yang

diperkirakan dapat menahan beban tersebut, contohnya adalah beban gravitasi.

Pada a load-controlled semua beban akan ditambahkan dari nol hingga pebesaran

yang diinginkan. Displacement-controlled dipakai apabila kita mengetahui sejauh

mana struktur kita bergerak tetapi kita tidak tahu beban yang harus dimasukkan.

Ini sangat berguna untuk mengetahui perilaku struktur tidak stabil dan mungkin

kehilangan kapasitas pembawa beban selama analisa dilakukan.