bab ii landasan teorirepo.itera.ac.id/assets/file_upload/sb2011040001/... · 2020. 11. 4. · 33...
Post on 01-Dec-2020
7 Views
Preview:
TRANSCRIPT
33
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Kawasan Informal dan Karakteristiknya
Kawasan informal sering kita jumpai pada kawasan perkotaan yang padat
penduduk, Louis Wirth (1938) dalam AlSayyad N (2003) menyebutkan bahwa ada
suatu fenomena yang bernama urbanism yang telah menjadi cara sebuah kota
bekerja. Mereka melihat bahwa apa yang terjadi pada salah satu hal yang terjadi
dalam urbanism ini adalah proses bertahan hidup (survival mechanism) di kota yang
dilakukan oleh para penghuninya. Meskipun konsep “informal” baru hadir dan
didiskusikan pada tahun 1970-an (Roy, 2005), perilaku bertahan pada urbanism
menandakan adanya sebuah proses dan reaksi yang dilakukan para penghuni kota
terhadap ketidakmampuan sistem formal di kota dalam mewadahi kebutuhan
seluruh penghuninya. Dengan kata lain, mereka melihat bahwa informality hadir
sebagai salah satu bentuk proses bertahan hidup yang terjadi pada urbanism.
Hernando de Soto juga mencoba melihat in-formalitas dari sudut pandang ekonomi.
Dia menyebutkan bahwa sektor informal hadir sebagai respons spontan dan kreatif
dari penghuni kota terhadap ketidakmampuan kota dalam memenuhi kebutuhan
mereka (Soto, 1941).
Kawasan informal tumbuh saat sektor formal tidak mampu untuk
memenuhi kebutuhan orang-orang di kawasan tersebut, keberagaman serta jumlah
orang yang hadir di tempat-tempat tersebut memperlihatkan social equity yang
disebutkan oleh Hamid Shirvani (1984) dalam Roy (2005) menyebutkan bahwa
ternyata penduduk di permukiman “kumuh” (slum) di haravi juga memproduksi
barang untuk pasar global. Kemungkinan untuk seseorang bekerja di sektor formal,
namun tinggal di permukiman informal (begitu juga sebaliknya) juga menunjukkan
bahwa ada hubungan yang erat antara kehadiran dengan yang formal. Proses
pengecualian yang dilakukan oleh pihak yang berwenang dan berdaulat terhadap
suatu kegiatan yang seharusnya informal (penggunaan hukum warisan di Mesir)
merupakan suatu contoh bahwa kegiatan informal sangat dekat kaitannya dengan
kegiatan-kegiatan formal (Roy, 2005).
34
Contoh-contoh tersebut juga menggambarkan bahwa sebenarnya informal
dan formal memiliki hubungan yang sangat erat bahkan ada yang menyebutkan
bahwa tidak terdapat batas yang jelas antara formal dan informal sehingga
diperlukan pula pemahaman yang lebih dari hanya sekedar mengetahui dan/atau
mengakui bahwa sektor informal telah menjadi suatu bagian yang tak dapat
terpisahkan dalam kehidupan berkota (Jones, 2008). Dengan melihat hal-hal
tersebut, in-formalitas sangat penting untuk diteliti mengenai modal ketahanan
yang ada pada kawasan informal dalam menghadapi dampak perubahan iklim untuk
bisa bertahan dan terus berkontribusi dalam perkembangan suatu kota.
Pada Global Report on Human Settlements yang berjudul The Challenge
of Slums (2003) memperkirakan setengah populasi dunia akan tinggal pada struktur
yang didirikan sendiri di luar perencanaan resmi dan kontrol negara dalam dua
puluh tahun ke depan (UN-Habitat, 2003). Pandangan bahwa in-formalitas sudah
menjadi mode baru dalam kegiatan berkota ini dapat menggantikan pandangan-
pandangan terhadap in-formalitas lainnya. Dari sudut pandang permukiman,
hubungan antara in-formalitas terhadap bentuk kampung kota dan penggusuran
yang dilakukan untuk mengatasinya dibahas oleh (Harjoko, 2004).
Berdasarkan mata pencahariannya kawasan informal yang didominasi
dengan sektor-sektor informal yang juga diterangkan oleh Keith Hart yang ditulis
dalam jurnal Informal income opportunities and Urban Employment in Ghana
(1973), ada dua macam sektor informal dilihat dari kesempatan memperoleh
penghasilan (Hart, 1973) yaitu:
1. Mata Pencaharian yang sah, terdiri atas:
a. Kegiatan-kegiatan primer dan sekunder yaitu seperti pertanian, perkebunan
yang berorientasi pasar, kontraktor bangunan, dan lain-lain.
b. Usaha tersier dengan modal yang relatif besar yaitu seperti perumahan,
transportasi, usaha-usaha untuk kepentingan umum, dan lain-lain.
c. Distribusi kecil-kecilan, yaitu seperti pedagang kaki lima, pedagang pasar,
pedagang kelontong, pedagang asongan, dan lain-lain.
d. Transaksi pribadi yaitu seperti pinjam-meminjam, pengemis.
e. Jasa yang lain, seperti: pengamen, penyemir sepatu, tukang cukur,
pembuang sampah, dan lain-lain.
35
2. Mata pencaharian yang tidak sah, terdiri atas :
a. Jasa kegiatan dan perdagangan gelap yaitu pada umumnya terbagi atas
penadah barang-barang curian, perdagangan obat bius, penyelundupan,
pelacuran, dan lain-lain.
b. Transaksi yaitu seperti pencurian kecil (pencopetan), pencurian besar
(perampokan bersenjata), pemalsuan uang, perjudian, dan lain-lain.
Dapat disimpulkan masyarakat memiliki mata pencaharian pada sektor
informal, merupakan mata pencaharian berada pada modal yang kecil, teknologi
sederhana, kegiatan usaha tidak terorganisasi, serta karyawan sedikit dan
merupakan kekerabatan atau anggota keluarga dari pengusaha.
Adapun ciri-ciri sektor informal menurut Urip Soewarno dan Hidayat
(1979) dalam Indrawan (2005) adalah sebagai berikut:
a. Aktivitas pada sektor ini tidak terorganisir secara baik karena timbulnya
tidak melalui institusi yang ada pada perekonomian modern.
b. Karena kebijakan pemerintah tidak sampai pada sektor ini, maka sektor
informal tidak memiliki hubungan langsung dengan pemerintah.
c. Pada umumnya setiap unit usaha tidak memiliki izin usaha dari pemerintah.
d. Pola kegiatan tidak teratur dengan baik dalam arti tempat dan jam kerja.
e. Unit usaha pada sektor ini mudah untuk masuk dan keluar dari sektor ke
sektor lain. Karena modal dan peralatan serta perputaran usaha relatif kecil,
maka skala operasi unit usaha ini kecil pula.
f. Teknologi yang digunakan termasuk ke dalam teknologi yang sederhana.
g. Untuk mengelola usaha tidak diperlukan tingkat pendidikan tertentu, serta
keahliannya didapat dari sistem pendidikan non formal dan pengalaman.
h. Unit usaha ini termasuk ke dalam one man enter prise atau kalau memiliki
buruh, maka buruh berasal dari lingkungan keluarga atau disebut juga family
enterprise.
i. Sumber dana untuk modal tetap atau modal kerja kebanyakan berasal dari
tabungan sendiri dan dari sumber keuangan tidak resmi.
j. Hasil produksi dan jasa dari sektor ini terutama dikonsumsi oleh golongan
masyarakat miskin dan kadang-kadang oleh golongan menengah.
36
Kajian tentang sektor informal tersebut, ditambahkan lagi oleh Hidayat
(1986) dalam Indrawan (2005) yang menyatakan bahwa dalam “Definisi dan
Evaluasi Sektor Informal”, sektor informal diartikan menjadi tiga hal :
a. Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari pemerintah
seperti perlindungan, tarif terhadap barang dan jasa yang dihasilkan,
pemberian kredit dengan bunga yang relatif rendah bimbingan teknis,
ketatalaksanaan, perlindungan dan perawatan tenaga kerja, penyediaan
teknologi maju asal impor dan hak paten.
b. Sektor yang mungkin mempergunakan bantuan ekonomi pemerintah
meskipun bantuan itu telah tersedia. Jadi kriteria accessability atau
penggunaan bantuan yang disediakan langsung telah dipakai sebagai ukuran
bukan telah tersedianya fasilitas.
c. Sektor yang telah menerima dan menggunakan bantuan atau fasilitas yang
disediakan oleh pemerintah tetapi bantuan itu belum sanggup membuat unit
usaha tersebut mandiri.
2.2 Perubahan Iklim
Perubahan iklim akan berpengaruh terhadap berbagai hal karena
ketidaksesuaian yang terjadi akibat pergeseran anomali cuaca yang berubah
menyebabkan perlu adanya penyesuaian dan pencegahan dari berbagai dampak
yang akan ditimbulkannya. Perubahan iklim yang dimaksud adalah adanya
perubahan terhadap iklim baik secara langsung atau tidak langsung berkaitan
dengan kegiatan manusia yang mengubah komposisi atmosfer global dan yang
merupakan tambahan atas perubahan iklim alami yang diamati selama periode
waktu yang sebanding berdasarkan definisi dari United Nations Framework
Convention on Climate Change/UNFCCC, (1922) dengan banyaknya bukti dari
pengamatan kenaikan temperatur udara dan laut, pencairan salju dan es di berbagai
tempat di dunia, dan naiknya permukaan laut global (Direktorat Jendral
Pengendalian Perubahan Iklim/Dirjen PPI, 2016). Kita mengetahui bahwa iklim
tengah berubah karena ilmuwan mengamati dan mengukur perubahan dalam pola
cuaca dan orang-orang di seluruh dunia merasakan perubahan ini dan tanda-tanda
37
utama perubahan iklim global yang dalam buku Climate Change and The Role of
Forest (2010) dijabarkan sebagai berikut:
1. Meningkatnya suhu global pemanasan global, suhu global rata-rata telah
mengalami kenaikan secara tetap selama 100 tahun terakhir sekitar 0,74 derajat
Celsius (1,3 derajat Fahrenheit).
2. Perubahan curah hujan, telah terjadi perubahan curah hujan di seluruh dunia
akibat perubahan suhu permukaan samudra dan area daratan.
3. Tutupan salju dan mencairnya lapisan es di kutub, area kutub bumi di bagian
paling selatan dan utara dunia, iklimnya sangat dingin terdapat es yang menutupi
permukaan bumi dan beberapa menutup laut seperti Gunung Kilimanjaro yaitu
gunung yang telah berusia 12 ribu tahun, namun menurut ilmuan es gletser
dipuncaknya akan hilang tahun 2020.
4. Kejadian cuaca tidak biasa atau cuaca ekstrem sering selama 50 tahun terakhir,
siang dan malam yang sangat panas berlangsung makin sering sedangkan siang
dan malam yang sangat dingin makin jarang terjadi.
5. Tinggi permukaan air laut dalam 100 tahun terakhir rata-rata naik 15 sentimeter
atau 6 (enam) inci. Kenaikan air laut mengancam masyarakat di daerah pantai
dan sebagian negara kepulauan yang menyebabkan banjir dan mengikis lahan
pantai dan mempengaruhi kualitas pasokan air.
Bahkan UNFCCC menyebutkan bahwa perubahan iklim akan berdampak
lebih besar saat temperatur global yang lebih panas telah menyebabkan perubahan
besar pada sistem alami bumi. Sekitar 20-30% spesies tumbuhan dan hewan
terancam punah jika peningkatan temperatur rata-rata global melebihi 1,5-2,5
derajat celsius. Peningkatan temperatur sebesar 3% akan menyebabkan dampak
negatif bagi keanekaragaman ekosistem yang berperan dalam kehidupan manusia.
Peningkatan runoff dan debit sungai yang bersumber dari gletser/salju,
bertambahnya kenaikan muka laut akibat perluasan lautan dan melelehnya gletser
pada akhir abad dan apabila pemanasan global rata-rata sebesar 1,9-4,6 derajat
celsius terus berlangsung selama 10 abad maka akan menyebabkan kenaikan muka
laut sebesar 7 (tujuh) meter (BAPPENAS, 2010).
38
2.2.1 Perubahan Iklim di Indonesia
Perubahan iklim dapat dilihat dari perubahan pola cuaca normal di seluruh
dunia selama periode waktu yang panjang, berpuluh-puluh tahun atau jauh lebih
lama lagi dengan suhu rata-rata bumi secara perlahan mengalami peningkatan
selama 100 tahun terakhir. Dirjen PPI melihatnya dengan melakukan perbandingan
variasi suhu beberapa dekade untuk melihat mean dari perbandingan suhu tersebut.
Berikut contoh grafik yang dibuat oleh Dirjen PPI dengan perbandingan kurun
waktu 30 tahun yang biasa digunakan oleh pemerintahan di Indonesia dapat dilihat
pada Gambar 2.1.
Sumber : http://ditjenppi.menlhk.go.id/kcpi/index.php/info-iklim/perubahan-iklim
GAMBAR 2.1
GRAFIK DATA SUHU RATA-RATA TAHUNAN SELAMA 30 TAHUN
(PERIODE 1981-2010)
Gambar 2.1 di atas menjelaskan adanya anomali data suhu rata-rata
tahunan yaitu cuaca ekstrem tinggi dan ekstrem rendah. Indonesia sangat rentan
terhadap dampak perubahan iklim dan beberapa dampak paling signifikan
diperkirakan sebagai berikut : a. Kenaikan temperatur yang tidak terlalu tinggi,
Indonesia sempat memiliki kenaikan tertinggi pada tahun 1998 dibandingkan rata-
rata pada tahun 1961-1990; b. Curah hujan yang lebih tinggi, diperkirakan
Indonesia akan mengalami kenaikan curah hujan 2-3 persen per tahun, serta musim
hujan yang lebih pendek sehingga menyebabkan risiko banjir meningkat secara
39
signifikan. Hal ini juga akan berpengaruh terhadap keseimbangan air di lingkungan,
pembangkit listrik dan suplai air minum; c. Kenaikan permukaan air laut, daerah
berpopulasi pada akan sangat dipengaruhi oleh kenaikan permukaan laut. Sekitar
40 juta masyarakat Indonesia yang bermukim dalam jarak 10m dari permukaan air
laut rata-rata, yang artinya rentan terhadap perubahan permukaan air laut; d.
Ketahanan pangan, penurunan produktivitas pertanian seperti padi, kedelai dan
jagung yang bisa mencapai 50 persen akibat curah hujan yang tidak normal dan
produksi ikan dan udang karena kenaikan muka air laut di wilayah pesisir dapat
menggenangi tambak; e. Pengaruh pada keanekaragaman bahari, kenaikan suhu air
laut Indonesia 0,2-2,5oC menambah tekanan pada 50 ribu Km persegi terumbu
karang, yang sudah dalam keadaan darurat (World Bank, 2010).
Dalam Dokumen Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap/ICCSR
Bappenas (2009) bahwa peningkatan suhu udara permukaan dipandang sebagai isu
utama perubahan iklim yang disebabkan oleh peningkatan kandungan CO2 dan
emisi gas rumah kaca yang dipicu antropogenik yang berpotensi terjadinya bahaya
iklim berdampak pada sektor-sektor utama seperti air, kelautan dan perikanan,
kesehatan, pertanian, dan kehutanan. Melalui pengukuran dari jumlah stasiun yang
terbatas menunjukkan bahwa peningkatan suhu sekitar 0,5% telah terjadi selama
abad ke-20 yang juga selaras dengan tingginya rata-rata peningkatan temperatur
global sebagaimana diperkirakan di IPCC AR-4, sekitar 0,7 ° C ± 0.2 per abad
(BAPPENAS, 2010).
Berdasarkan analisis keluaran Global Climate Model (GMC), peningkatan
rata-rata suhu di Indonesia berkisar antara 0,8-1oC untuk periode 2020-2050,
dibandingkan dengan periode baseline tahun 1961-1990. Peningkatan suhu terjadi
di berbagai wilayah di Indonesia seperti Jawa-Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan
Sumatera menurut hasil prediksi kenaikan suhu rata-rata 2-4oC dan pulau Sumatera
menjadi wilayah yang memiliki kemungkinan terjadi kenaikan suhu tertinggi yaitu
40C (BAPPENAS, 2010). Selanjutnya, tinggi muka air laut mengalami kenaikan
yang berisiko terhadap penurunan kualitas kehidupan di pesisir pantai. Kenaikan
rata-rata tinggi muka laut pada abad ke-20 tercatat sebesar 1,7 mm per tahun secara
global, namun kenaikan tersebut tidak terjadi secara seragam. Bagi Indonesia yang
diapit oleh Samudera Hindia dan Pasifik, kenaikan tinggi muka laut yang tidak
40
seragam dapat berpengaruh pada pola arus laut. Selain perubahan terhadap pola
arus, kenaikan tinggi muka laut yang tidak seragam juga meningkatkan potensi
terjadinya erosi, perubahan garis pantai, mereduksi wetland (lahan basah) di
sepanjang pantai, dan meningkatkan laju intrusi air laut terhadap akuifer daerah
pantai.
Perubahan iklim juga mempengaruhi kenaikan intensitas kejadian El Nino
dan La Nina yang normalnya terjadi 5-7 tahun dengan adanya perubahan iklim
menjadi lebih sering 3-5 tahun (Dirjen PPI, 2016). Hal ini juga mempengaruhi
muka laut dalam jangka waktu yang pendek. Pada saat terjadi El Nino permukaan
air laut di perairan Indonesia mengalami penurunan sebaliknya pada saat La Nina
permukaan air laut mengalami kenaikan. Sedangkan banjir pada musim tertentu
dalam kurun waktu musiman yang mempengaruhi muka laut dalam jangka pendek,
di mana terjadi penambahan runoff dari sungai menuju ke laut dan menambah
ketinggian muka laut (BAPPENAS, 2010). Fenomena ini khususnya El Nino
memberikan dampak lanjutan berupa kejadian kebakaran lahan dan hutan yang
menjadi permasalahan di berbagai wilayah di Indonesia (Direktorat Jendral
Pengendalian Perubahan Iklim, 2017).
2.2.2 Pengaruh Perubahan Iklim Terhadap Wilayah Pesisir
Menurut Undang-undang Nomor 01 tahun 2014, wilayah pesisir adalah
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan
di darat dan laut. Wilayah pesisir adalah daerah pertemuan antara darat dan laut, ke
arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam
air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan
perembesan air asin, sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut
yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti
sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia
di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran. Apabila ditinjau dari garis
pantai, maka wilayah pesisir mempunyai dua macam batas yaitu batas yang sejajar
garis pantai dan batas yang tegak lurus garis pantai. Untuk kepentingan
pengelolaan, batas ke arah darat suatu wilayah pesisir ditetapkan dalam dua macam,
yaitu wilayah perencanaan dan batas untuk wilayah pengaturan atau pengelolaan
41
keseharian. Batas wilayah perencanaan sebaiknya meliputi seluruh daerah daratan
di mana terdapat kegiatan manusia yang dapat menimbulkan dampak secara nyata
terhadap lingkungan dan sumber daya di wilayah pesisir dan lautan, sehingga batas
wilayah perencanaan lebih luas dari wilayah pengaturan. Sehingga dalam suatu
wilayah pesisir terdapat satu atau lebih ekosistem dan sumber daya pesisir.
Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan (man-made). Ekosistem
alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral
reefs), hutan mangrove, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi
baringtonia, estuaria, laguna dan delta. Sedangkan ekosistem buatan antara lain
berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri,
kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman menurut Dahuri, Rais, Ginting dan
Sitepu (2001) dalam Hajrah (2016).
Pengaruh perubahan iklim di Indonesia sangat berpengaruh terhadap
masyarakat yang tinggal atau bermukim di wilayah pesisir yaitu sekitar 65 persen
penduduk Indonesia yaitu baik tinggal di kota pesisir yang padat penduduk maupun
masyarakat desa nelayan (World Bank, 2010). Dalam Dokumen Rencana Aksi
Nasional Adaptasi Dampak Perubahan Iklim/RAN-API (2014) bahwa curah hujan
yang berlebih dapat mengakibatkan kejadian banjir dan longsor, namun sebaliknya
curah hujan yang terlalu sedikit dapat mengakibatkan kekeringan dan ketersediaan
air yang berkurang. Kejadian banjir akan merugikan wilayah pemukiman,
perkotaan dan pertanian, kejadian longsor akan merugikan kawasan pemukiman
yang terjal (BAPPENAS, 2014). Perubahan iklim global akan berpengaruh
terhadap kawasan urban di mana sebagian besar populasi dunia tinggal. Populasi
penduduk perkotaan terbesar kebanyakan terletak di daerah pantai, lereng, jurang,
permukiman sempadan sungai, dan daerah rawan risiko bencana lainnya. Lebih dari
90 persen kematian yang berhubungan dengan perubahan iklim terjadi pada tempat
sebagian besar orang miskin hidup dan bermukim. Mereka menempati permukiman
informal dengan kondisi rumah kurang baik, kekurangan air, buruknya drainase,
dan pelayanan publik lainnya. Jumlah masyarakat miskin ini setengah dari populasi
dunia, dengan kondisi tidak mampu beradaptasi pada perubahan iklim akibat
ketidakmampuan perekonomian untuk meminimalkan risiko, misalnya
42
mengasuransikan diri terhadap risiko perubahan iklim atau membeli alat
mengondisikan udara (Wicaksono, A., Ariyanti, R. V., dan Eng, M, 2012).
2.2.3 Ketahanan Terhadap Perubahan Iklim
Pada dasarnya ketahanan terhadap perubahan iklim dapat dilakukan
dengan cara mitigasi dan adaptasi dampak perubahan iklim. Risiko iklim yang
dapat meningkatkan intensitas terjadinya bencana dampak perubahan iklim sendiri
seperti banjir, longsor, dan penyakit epidemi seperti DBD akibat suhu dan
lingkungan yang mendukung koloni nyamuk mudah untuk berkembang biak
(Mukhlis, Putri, dan Purnawaty, 2011). Adapun ketahanan menurut RAN-API
(2014) berupa perubahan yang besar dapat membuat suatu sistem tetap berjalan
tanpa mengubah kondisi sebelumnya baik sistem sosial maupun ekologi untuk
menyerap gangguan, sementara sistem tetap mempertahankan struktur dan
fungsinya. Ketahanan terhadap perubahan iklim terlebih pada kawasan informal
pesisir teluk perkotaan termasuk pada ketahanan wilayah khusus yang artinya
ketahanan merujuk pada kemampuan wilayah yang menghadapi ancaman
perubahan yang khusus untuk bertahan dan pulih pada saat terjadi gangguan dengan
karakteristik wilayah masing-masing.
Adaptasi, daya adaptasi terhadap perubahan iklim adalah kemampuan
suatu sistem untuk menyesuaikan diri dari perubahan iklim (termasuk di dalamnya
variabilitas iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara mengurangi kerusakan yang
ditimbulkan, mengambil manfaat atau mengatasi perubahan dengan segala
akibatnya. Sedangkan dampak perubahan iklim adalah akibat yang ditimbulkan dari
proses perubahan iklim terhadap alam dan manusia, seperti terjadinya banjir rob di
pesisir akibat kenaikan permukaan air laut. Dengan demikian adaptasi terhadap
perubahan iklim merupakan strategi yang diperlukan pada semua skala untuk
meringankan usaha mitigasi. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak strategi
adaptasi dapat memberikan manfaat baik dalam penyelesaian jangka pendek dan
maupun jangka panjang, namun masih ada keterbatasan dalam implementasi dan
keefektifannya. Hal ini disebabkan daya adaptasi yang berbeda-beda berdasarkan
daerah, negara, maupun kelompok sosial-ekonomi (BAPPENAS, 2014).
43
Mitigasi perubahan iklim pada dasarnya adalah tindakan aktif untuk
mencegah atau memperlambat terjadinya perubahan iklim (Dirjen Pengendalian
Perubahan Iklim, 2017), dalam kata lainnya usaha menekan penyebab perubahan
iklim, seperti gas rumah kaca dan lainnya agar risiko terjadinya perubahan iklim
dapat dikurangi atau dicegah. Contoh upaya mitigasi dalam upaya mengurangi
dampak perubahan iklim terhadap sumber daya air antara lain; Teknologi
Modifikasi Cuaca (TMC) dengan penaburan material semai (seeding agent) berupa
powder atau flare, usaha rehabilitasi waduk dan embung, alokasi air melalui operasi
waduk pola kering, pembangunan jaringan irigasi, penghijauan lahan kritis dan
sosialisasi gerakan hemat air, peningkatan keandalan sumber air baku, peningkatan
pembangunan Instalasi Pengolahan Air (IPA), pengembangan teknologi
pengolahan air tepat guna, pembangunan dan rehabilitasi waduk dan embung serta
pembangunan jaringan irigasi.
2.3 Ketahanan Kota
Isitlah ketahanan ini muncul pada bidang ekologi tahun 1970-an, yang
didefinisikan untuk menggambarkan kapasitas suatu sistem untuk dipelihara atau
memulihkan fungsionalitas jika terjadi gangguan. Ketahanan (resilience)
merupakan suatu kondisi dari kemampuan suatu sistem dan bagian-bagian
komponen lainnya untuk mengantisipasi, menyerap, mengakomodasi, atau
memulihkan dari berbagai efek yang ditimbulkan atas kejadian yang tidak
diinginkan secara efektif dan efisien, termasuk upaya-upaya yang memastikan
adanya pelestarian, pemulihan, atau perbaikan struktur dan fungsi yang mendasar
menurut Laporan IPCC (2012) dalam Sekilas tentang Perubahan Iklim (2005).
2.3.1 Konsep Ketahanan Kota
Konsep ketahanan tersebut berlaku untuk kota, karena berdasarkan
dokumen City Resilience Framework (2014) ketahanan kota adalah suatu sistem
yang kompleks dan terus beradaptasi dengan perubahan keadaan fisik lingkungan
dan sosial kependudukannya. Gagasan ulet kota menjadi relevan secara konseptual
44
ketika tekanan kronis atau guncangan tiba-tiba mengancam dengan gangguan yang
meluas atau keruntuhan sistem fisik atau sosial (Bhoite, et al., 2014).
Dalam konteks kota, ketahanan telah membantu untuk menjembatani
kesenjangan antara pengurangan risiko bencana dan adaptasi perubahan iklim. Hal
itu berseberangan dengan manajemen risiko bencana tradisional, yang didasarkan
pada penilaian risiko yang berkaitan dengan bahaya tertentu. Sebaliknya, kota
menerima kemungkinan bahwa berbagai macam peristiwa yang mengganggu baik
tekanan maupun guncangan yang mungkin terjadi dan tidak bisa selalu terprediksi.
Fokus ketahanan pada peningkatan kinerja suatu sistem dalam menghadapi
berbagai bahaya, bukan mencegah atau mengurangi hilangnya aset karena kejadian
tertentu. Berbagai kota di seluruh dunia sedang menghadapi berbagai jenis
tantangan yang terus bertambah dan berkembang di abad ke-21 ini. Mulai dari
dampak dari perubahan iklim (climate change), pertumbuhan jumlah pendatang,
infrastruktur yang kurang memadai, wabah penyakit, sampai dengan serangan
cyber (Bhoite, et al., 2014).
Dalam hal ini, konsep ketahanan akan membantu kota untuk beradaptasi,
berubah ke arah yang lebih baik, dan mempersiapkan diri dalam menghadapi segala
tantangan tersebut. 100 Resilient Cities (100RC) mendefinisikan ‘Ketahanan Kota’
sebagai “kapasitas individu, masyarakat, institusi, bisnis, dan sistem dari sebuah
kota untuk bisa bertahan, beradaptasi, dan tumbuh terhadap tekanan (stress) yang
terus menerus dan guncangan (shock) besar yang dihadapi” (ARUP, 2015). Konsep
ketahanan kota ini seiring berjalan dengan Undang-undang No.26 Tahun 2007
Tentang Penataan Ruang yang menjelaskan bahwa menyelenggarakan penataan
ruang bertujuan untuk mewujudkan ruang wilayah yang aman, nyaman, produktif
dan berkelanjutan, berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional yang
dengan terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif
terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang (Departemen Pekerjaan Umum,
2007).
Berdasarkan City Resilience Framework (2014) sebagai proses
membangun ketahanan kota, perlu untuk melihat, menelaah, dan mempelajari kota
secara menyeluruh (holistik) dengan cara memahami sistem yang bekerja dan
membentuk kota tersebut, hubungan keterkaitan yang dimiliki sistem tersebut, serta
45
risiko yang mungkin dihadapinya. Dengan memperkuat sistem-sistem tersebut serta
memahami potensi tekanan (stress) dan guncangan (shock) yang akan dihadapi.
Adapun tekanan atau guncangan dalam konteks ketahanan kota adalah :
• Tekanan (Stresses): Fenomena yang terjadi terus-menerus (kronis) dan
melemahkan kemampuan penduduk kota dan/atau aset kota untuk berfungsi dan
menyediakan kebutuhan dasar. Seperti: Tingginya tingkat pengangguran,
tingginya pajak dan sistem transportasi publik yang tidak memadai, kekerasan
sosial, dan kurangnya suplai makanan dan air bersih.
• Guncangan (Shocks): Kejadian yang terjadi secara cepat dan tiba-tiba dan
berpotensi untuk mengakibatkan korban jiwa dan/atau kerusakan besar pada aset
kota. Seperti: Gempa bumi, banjir bandang, penyebaran wabah penyakit, dan
serangan teroris.
Tantangan yang dihadapi oleh sebuah kota tentunya tidak hanya berupa
satu macam tekanan dan/atau guncangan saja. Banyak kota di dunia yang
menghadapi kombinasi dari tantangan-tantangan tersebut yang berakibat pada
melemahnya ketahanan kota. Pada akhirnya, tidak cukup jika hanya memahami
berbagai sistem yang bekerja di dalam kota. Untuk membangun ‘ketahanan kota’,
sistem-sistem tersebut harus dirancang agar berfungsi sedemikian rupa agar mampu
merespons dan beradaptasi dengan lebih baik terhadap segala tekanan dan
guncangan (ARUP, 2015).
2.3.2 Konsep Ketahanan Iklim Kota
Konsep ketahanan iklim kota pada urban climate resilience planning
framework/UCRPF yang merupakan salah satu bagian dari program ACCCRN
yang didukung oleh the rockefeller foundation. Fokus dari ketahanan iklim kota
terbagi menjadi 4 (empat) yaitu urban systems, urban agents, urban institutions,
dan exposure to climate change sehingga UCRPF ini membantu dalam menemukan
dan menypesifikkan siapa yang berperan dalam membangun ketahanan iklim kota.
Elemen kunci dalam membangun ketahanan iklim kota adalah dengan mengenali
sistem yang tidak stabil sehingga dapat meningkatkan kerentanan dari dampak
perubahan iklim, meningkatkan kapasitas agen sosial untuk mengakses sistem
perkotaan dan untuk membangun respons yang adaptif, serta mengembalikan
46
fungsi dari institusi yang dapat menguatkan sistem perkotaan dan membangun
kapasitas agen (Moench, et al., 2011).
Karakteristik ketahanan pada sistem perkotaan yaitu, robust, redudancy,
learn, sedangkan urban agent responsif, resourceful and capacity to learn dan
intitusi right and enttilement, decision making, information, proses for learning and
change (Moench, et al., 2011). Berikut karakteristik ketahanan pada ketahanan
iklim kota yang dapat dilihat pada Gambar 2.2.
Sumber: (Moench, et al., 2011)
GAMBAR 2.2
ELEMEN PADA KONSEP KETAHANAN IKLIM KOTA
System, sistem perkotaan menurut Little (2002) dalam MacClune dan
Stapleton (2012) meliputi infrastruktur dan ekosistem yang mendukung pekerjaan
dan kegiatan ekonomi pada area perkotaan di Indonesia, dan sangat penting untuk
menciptakan suasana yang produktif sebagai pusat penghidupan di perkotaan.
Khususnya, sistem inti atau "kritis" sangat penting untuk fungsi perkotaan.
Kegagalan mereka dapat dengan serius membahayakan kesejahteraan di seluruh
daerah yang terkena dampak, dan menghalangi aktivitas ekonomi tingkat tinggi
hingga fungsinya dipulihkan. Sistem ini termasuk pada persediaan air, persediaan
makanan dan ekosistem yang mendukung, serta energi, transportasi, tempat tinggal
dan komunikasi, dengan sistem yang elastis yaitu:
• Flexibility dan diversity : kemampuan untuk melakukan tugas-tugas penting di
bawah berbagai macam kondisi. Aset dan fungsi utama adalah didistribusikan
47
secara fisik sehingga mereka tidak semua dipengaruhi oleh peristiwa tertentu
pada satu waktu (keragaman spasial) dan ada banyak cara untuk memenuhi
kebutuhan yang diberikan (keanekaragaman fungsional).
• Redundancy dan/atau Modularity : kapasitas cadangan tersedia untuk situasi
darurat; ada beberapa jalur dan beragam opsi untuk pemberian layanan; dan/atau
berinteraksi komponen tersusun dari bagian yang serupa itu dapat saling
menggantikan jika satu, atau bahkan banyak, gagal. Redundansi juga didukung
oleh kehadiran stok buffer dalam sistem itu dapat mengompensasi jika aliran
terganggu (misalkan, pasokan air atau makanan lokal untuk menyangga impor).
• Safe Failure : kemampuan menyerap guncangan yang tiba-tiba (termasuk yang
melebihi desain ambang batas) atau efek kumulatif stres lambat dengan cara
yang menghindari kegagalan katastropik. Kerusakan yang aman juga mengacu
pada saling ketergantungan dari berbagai sistem itu saling mendukung;
kegagalan dalam satu struktur atau tautan tidak mungkin menghasilkan kaskade
dampak di seluruh sistem lain.
Agent adalah aktor di lingkungan perkotaan. Mereka termasuk individu
(misalnya, petani, konsumen); rumah tangga (sebagai unit untuk konsumsi, sosial
reproduksi, pendidikan, akumulasi modal); dan organisasi sektor swasta dan publik
(pemerintah departemen atau biro, perusahaan swasta, organisasi masyarakat).
Kapasitas kunci yang berkontribusi ketahanan agen termasuk (Gunderson dan
Holling, 2002; Diduck, 2010) dalam MacClune dan Stapleton (2012) sebagai
berikut:
• Responsiveness : kapasitas untuk mengatur dan mengatur ulang untuk
membangun fungsi, struktur dan ketertiban dasar secara tepat waktu dalam
menanggapi kejadian/pristiwa yang mengganggu atau kegagalan organisasi.
• Resourcefullness : kapasitas untuk mengidentifikasi dan mengantisipasi
masalah, menetapkan prioritas, dan memobilisasi sumber daya untuk bertindak.
Ini termasuk kapasitas untuk memvisualisasikan dan merencanakan, yang
mungkin membutuhkan kolaborasi, dan kemampuan untuk mengakses sumber
daya keuangan dan lainnya.
48
• Capacity to Learn : kemampuan untuk mempelajari keterampilan baru,
menginternalisasi pengalaman masa lalu, menghindari pengulangan kegagalan
dan berinovasi untuk meningkatkan kinerja.
Institution adalah aturan atau konvensi itu membatasi perilaku manusia
dan pertukaran sosial dan transaksi ekonomi. Institusi mungkin formal atau
informal dan diciptakan untuk mengurangi ketidakpastian, untuk menjaga
kontinuitas sosial pola dan tatanan sosial, dan untuk menstabilkan bentuk interaksi
manusia dengan cara yang lebih mudah diprediksi. Kelembagaan karakteristik yang
mendukung ketahanan meliputi:
• Access : Hapus hak dan hak untuk digunakan sumber daya utama atau akses
sistem perkotaan.
• Decision making : Transparan, akuntabel dan pengambilan keputusan yang
responsif, khususnya dalam kaitannya dengan pembangunan perkotaan dan
sistem manajemen perkotaan.
• Information : Fasilitasi generasi, pertukaran dan penerapan pengetahuan baru.
Rumah tangga pribadi, bisnis dan lainnya agen pembuat keputusan harus
memiliki akses siap untuk akurat dan bermakna informasi untuk memungkinkan
penilaian tentang risiko dan kerentanan, untuk menilai pilihan adaptasi.
Exposure to climate change, Terminologi ketahanan, keterpaparan dan
kerentanan adalah banyak digunakan di beberapa bidang terkait, tetapi dengan
sedikit konsistensi atau konsensus tentang definisi menurut Berkes (2007);
Gallopin, (2006); dan Klein et al., (2003) dalam MacClune dan Stapleton (2012).
Sistem ketahanan rendah intrinsik rentan terhadap stres dan syok, jadi dalam hal ini
akal meningkatkan ketahanan mengurangi kerentanan menurut Folke (2006) dalam
MacClune dan Stapleton (2012). Namun, kedua konsep ini berbeda asal-usul dan
penelitian yang diterbitkan: ketahanan telah muncul dari perspektif ilmiah biofisik
positif, sementara kerentanan telah dijelaskan terutama dari seorang konstruktif
ilmu sosial dan kerangka kerja ekologi politik menurut Miller et al., (2010) dalam
MacClune dan Stapleton (2012).
Kerentanan dianggap memiliki makna hanya terkait dengan bahaya
tertentu menurut Klein et al. (2003) dalam Moench et al. (2011). Penduduk gunung
tidak rentan terhadap kenaikan permukaan laut. Kerentanan untuk banjir
49
melibatkan penilaian berbagai faktor dari yang dinilai rentan terhadap gempa. Oleh
perbandingan, ketahanan dipandang sebagai sesuatu yang intrinsik atau muncul
fitur sistem sosial-ekologis yang kompleks Folke (2006) dalam MacClune dan
Stapleton (2012). Ketahanan hanya terwujud melalui paparan stres atau guncangan,
dan dalam pemulihan atau reorganisasi selanjutnya periode, tetapi karakter latennya
ada dalam suatu sistem terlepas dari paparan itu.
Marginalisasi memaksakan kapasitas dan hambatan kelembagaan untuk
adaptasi, tetapi penting untuk mengenali itu tergantung pada lokal konteksnya,
kelompok sosial lain mungkin lebih rentan daripada orang miskin karena
keterpaparan mereka (contoh: perumahan pesisir, rumah gunung bisa terbakar) atau
karena rumah mereka ketergantungan yang lebih besar pada sistem kritis (contoh:
listrik untuk pompa lubang bor). Beberapa tekanan terbesar di perkotaan area dari
perubahan iklim cenderung tidak langsung, tambahan atau keduanya. Mereka akan
muncul sebagai akibat dari perubahan jauh yang diterjemahkan ke daerah perkotaan
melalui sistem yang saling terkait sebagai hasil dari pasar global, penawaran rantai
dan ketergantungan pada ekosistem terpencil atau lebih luas jaringan infrastruktur.
Ini menyarankan lagi sementara itu hubungan tidak langsung seperti itu mungkin
terlewatkan dalam kerentanan penilaian, mereka dapat dikelola melalui ketahanan
bangunan menurut Tompkins dan Adger, (2004) dan Walker et al. (2002) dalam
MacClune dan Stapleton (2012).
2.3.3 Dimensi/Elemen pada Ketahanan Kota
Berbagai kriteria di atas diturunkan menjadi beberapa dimensi atau elemen
yang dapat memudahkan dalam menerapkan konsep ketahanan kota yang dimaksud
oleh City Resilience Framework (2015) sebagai berikut:
• Health & Wellbeing, memenuhi kebutuhan dasar, baik kesehatan maupun
hal lainnya berupa kemudahan akses pelayanan dasar yang dibutuhkan
setiap masyarakat. Mendukung mata pencaharian dan pekerjaan berupa
pelatihan dan upaya yang dapat menjamin ketersediaan kebutuhan
masyarakat.
• Economy & Sociecty, mendorong terjadinya kohesif yaitu keterlibatan
komunitas, dengan jaringan sosial dan integrasi yang baik mendorong
50
warga untuk bisa terlibat aktif dalam perencanaan dan pembuatan
keputusan. Mendapatkan jaminan hukum, preventif atas tindak kriminalitas,
dan tindakan diluar normatif hukum yang berlaku serta manajemen ekonomi
kota yang baik.
• Infrastructure & Environment, memperbaiki dan memberikan
perlindungan baik secara alami dan juga buatan oleh manusia melalui
infrastruktur, efektivitas perencanaan guna lahan dan regulasi. Konservasi
lingkungan menjaga ekosistem perkotaan yang masuk dalam manajemen
kota yang baik. Memiliki dan melakukan manajemen ekosistem dan
infrastruktur serta rencana kontijensi. Komunikasi dan mobilisasi yang
ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti menerapkan transportasi
publik.
• Leadership & Strategy, tata kelola pemerintahan yang baik, terjalinnya
pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Berbagai pemangku
kepentingan dapat merumuskan keputusan secara bersama. Pendidikan
untuk semua, akses terhadap informasi dan ilmu pengetahuan mudah
diakses oleh masyarakat maupun organisasi untuk mengambil keputusan.
Adapun konsep ketahanan yang dimaksud oleh Coastal Community
Resilience (2008) terbagi menjadi 8 (delapan) elemen ketahanan yaitu :
• Tata Kelola, tata kelola adalah proses pemangku kepentingan yaitu
lembaga, organisasi, komunitas, atau kelompok orang dan pemerintah
dengan sebuah mandat atau dengan tujuan yang sama membuat keputusan
yang mengarahkan upaya kolektif mereka. Tata kelola yang baik adalah
tentang mencapai hasil yang diinginkan dan mencapainya dengan cara yang
benar, dalam memenuhi hukum dan kebijakan dan dibentuk oleh norma dan
nilai budaya dari lembaga, organisasi, atau masyarakat.
• Sosial dan Ekonomi, Kekuatan ekonomi dan keragaman mata pencaharian
sangat mempengaruhi kemampuan masyarakat untuk mempersiapkan diri
dari bencana, mempercepat proses pemulihan, dan menyesuaikan diri
dengan perubahan yang membuat mereka tidak rentan dikemudian hari
meskipun adanya perubahan di ekologi pantai, kesehatan, hukum, kerangka
kerja tata pemerintahan, atau program tanggap bencana, perbaikan atau
51
penurunan mata pencaharian seseorang yang secara langsung berdampak
pada ketahanan.
• Sumber Daya Pesisir, sumber daya pesisir menyediakan banyak layanan
berharga dan berkelanjutan bagi masyarakat. Hal ini mencakup antara lain,
sumber makanan yang dapat diandalkan, pembangunan ekonomi melalui
penggunaan sumber daya yang dapat diandalkan seperti bakau, transportasi,
perlindungan dari bahaya pantai seperti badai, banjir, tsunami, erosi, polusi,
DSB.), konservasi keanekaragaman hayati (faktor ketahanan ekologi dan
sumber manfaat dari pariwisata berbasis alam dan obat-obatan baru), dan
gaya hidup yang menyenangkan. Sumber daya pesisir melindungi sumber
dari "bahan bakar" bagi ketahanan masyarakat dalam hal makanan, sumber
ekonomi, kualitas lingkungan yang merupakan inti dari budaya dan gaya
hidup, dan perlindungan dari kekuatan alam.
• Struktur Desain dan Guna Lahan, dengan mengarahkan lahan tertentu
menjauh dari daerah yang rawan bencana dan mendorong pengembangan
mereka di lokasi yang kurang membahayakan, sebuah komunitas bisa
mengurangi risiko bagi individu dan mata pencaharian mereka. Akan tetapi,
jika jenis pengembangan tertentu terjadi di daerah yang rawan, desain
struktural dapat menjadi cara yang efektif untuk menyerap kejutan bahaya
pantai. Misalnya, dengan meninggikan bangunan di pesisir dan
menggunakan teknik pembangunan dan bahan bangunan yang tepat,
komunitas dapat sangat mengurangi dampak potensial tsunami dan
penyebab banjir di pesisir. Penggunaan lahan yang efektif oleh manajemen
dan struktur yang dirancang dengan baik juga memungkinkan masyarakat
pulih lebih cepat setelah peristiwa bencana. Selain itu, adanya rencana
penggunaan tanah dan kebijakan yang mengatasi berbagai kerentanan
penting yang diidentifikasi melalui pemeriksaan risiko dapat mempercepat
pemulihan. Misalnya, memiliki kebijakan untuk pembuangan sampah
sebelum bencana terjadi dapat turut mencegah dampak sekunder terhadap
sumber daya alam seperti lahan basah dan hutan bakau.
• Pengetahuan Risiko, pengetahuan terhadap risiko adalah landasan untuk
membangun sebuah komunitas tangguh. Komunitas tidak dapat memetakan
52
jalannya menuju ketahanan jika tidak mengetahui terlebih dahulu apa yang
dipertaruhkan. Pengetahuan menyeluruh tentang risiko terhadap berbagai
bahaya yang dihadapi masyarakat memungkinkan penyesuaian untuk
menghilangkan atau mengurangi dampak dari bahaya. Hal ini juga
memungkinkan sebuah komunitas untuk lebih mudah meredam guncangan
yang berhubungan dengan bahaya-bahaya dan bangkit kembali lebih cepat
setelah peristiwa bahaya.
• Sistem Peringatan dan Evakuasi, sistem peringatan dan prosedur
evakuasi memberi masyarakat kesempatan untuk secara signifikan
mengurangi risiko dengan mengambil tindakan cepat untuk mengurangi
dampak dari peristiwa bahaya. Tanggapan yang efektif terhadap peristiwa
bahaya yang akan datang dan dapat mengurangi dampak bahaya dengan
menyingkirkan orang-orang dari tempat-tempat berbahaya.
• Tanggap Darurat, tanggap darurat yang efektif memungkinkan
masyarakat pesisir yang tangguh untuk meredam guncangan akibat
bencana. Rencana dan mekanisme tanggap darurat juga menjadi dasar bagi
masyarakat untuk cepat pulih dari dampak bencana. Pada saat terjadi
bencana, prosedur tanggap darurat yang efektif dapat mengurangi korban
jiwa dan turut mengurangi waktu dan investasi yang dibutuhkan masyarakat
untuk pulih.
• Pemulihan Bencana, pemulihan bencana merupakan unsur penting karena
memberikan jendela berharga bagi masyarakat untuk belajar dari
pengalaman bencana dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko.
Periode terjadinya bencana segera menyediakan banyak kesempatan untuk
menerapkan strategi guna mengurangi dampak bencana di masa depan,
khususnya ketika peran politik tetap kuat. Jika proses pemulihan bencana
berhasil dalam membangun ketahanan masyarakat, harus mengambil
pendekatan holistik dengan memasukkan praktik baik dari unsur-unsur
penting lainnya di Coastal Commuity Resilience dan mengintegrasikan
sepenuhnya berbagai bidang manajemen bencana, pengembangan
masyarakat, dan manajemen sumber daya pesisir. Jika proses ini hanya
terpusat dan kegiatan pemulihan tidak dikoordinasikan di tiga bidang ini,
53
proses pemulihan bencana dapat mengakibatkan komunitas yang lebih
rentan dan kurang bertahan dari sebelumnya.
2.3.4 Pendekatan 7 (tujuh) Karakteristik Ketahanan Kota
Pendekatan yang dilakukan oleh ARUP yang didukung oleh The
Rockefeller Foundation telah menyusun kerangka ketahanan kota pada dokumen
City Resilience Framework (2015), berdasarkan hasil riset puluhan tahun tentang
sistem ketahanan (resilient systems) yang mengidentifikasi 7 (tujuh) karakteristik
yang harus ada pada suatu kota untuk membangun ketahanan, yaitu:
• Reflective kemampuan kota untuk belajar dan mengantisipasi tantangan dari
pengalaman yang telah dilalui sebelumnya sehingga mampu menghasilkan suatu
strategi ketahanan yang lebih komprehensif.
• Resourceful kemampuan kota untuk menghadapi tantangan dengan berbagai
sumber daya sehingga tidak hanya bertopang pada 1 (satu) sumber daya saja.
• Robust kemampuan kota untuk merencanakan strategi kota yang lebih
menyeluruh sehingga tantangan yang dihadapi oleh kota tidak akan
mempengaruhi kehidupan berkota.
• Redundant kemampuan kota untuk bangkit dari tantangan yang dihadapi karena
telah memiliki kapasitas cadangan dalam menyelesaikan akibat dari tantangan
tersebut.
• Flexible kemampuan kota untuk menghadapi tantangan dengan memiliki
strategi alternatif ketika dihadapkan dengan tantangan.
• Inclusive kemampuan kota untuk menghadapi tantangan karena berhasil
melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders).
• Integrated kemampuan kota untuk menghadapi tantangan karena semua sistem
kehidupan berkota telah mampu terintegrasi dengan baik sehingga tantangan
yang dihadapi tidak memberikan efek yang besar terhadap kehidupan berkota.
2.3.5 Indikator yang membentuk Ketahanan Kota
Ketahanan pada umumnya dilihat sebagai konsep yang lebih luas
dibandingkan kapasitas seperti kerentanan, ketahanan sangat kompleks dan
memiliki banyak sisi. Berbagai unsur atau lapisan ketahanan dibutuhkan untuk
54
menghadapi berbagai jenis dan stres berat. Pada dasarnya ketahanan suatu kota
dapat berhasil apabila sistem suatu kota yang kompleks dapat beradaptasi dari
berbagai perubahan yang terjadi pada fisik lingkungan dan sosial kependudukannya
(Bhoite, et al., 2014). Menurut City Resilience Framework (2015) yang
mengindikasikan bahwa kota tersebut berketahanan apabila terpenuhinya indikator-
indikator ketahanan kota yang dapat dilihat pada Tabel II.1.
TABEL II.1
INDIKATOR YANG MEMBENTUK KETAHANAN KOTA MENURUT
CITY RESILIENCE FRAMEWORK
Indikator
No Kriteria Sub Kriteria Parameter
1 Kesehatan dan
Kesejahteraan
Pengurangan
Kerentanan
Manusia
• Kemampuan memiliki rumah yang aman
• Pemenuhan kebutuhan energi yang cukup
• Akses yang inklusif dalam memenuhi
kebutuhan air minum
• Sanitasi yang efektif
• Kemampuan penyediaan pangan yang baik
Beragam
Penghidupan
Dan Pekerjaan
• Kebijakan yang inklusif bagi buruh
• Kemampuan dan keahlian yang relevan
• Pembangunan bisnis dinamika lokal dan
inovasi
• Mekanisme pembiayaan yang mendukung
• Pekerjaan yang dapat beradaptasi
Perlindungan
Yang Efektif
Bagi
Kesehatan Dan
Kehidupan
Manusia
• Memiliki strategi yang baik dalam
merencanakan sistem kesehatan publik
• Akses kesehatan
• Kesiapan penanganan kesehatan darurat
• Pelayanan yang efektif pada keadaan darurat
2 Sosial dan Ekonomi
Identitas
Kolektif Dan
Dukungan
Masyarakat
• Dukungan masyarakat lokal
• Masyarakat yang kohesif
• Kota yang kental akan identitas dan budaya
• Keterlibatan aktif masyarakat
Pengamanan
Menyeluruh
Dan
Penegakan
Aturan Hukum
• Sistem yang efektif dalam menangani
masalah
• Proaktif terhadap tindak korupsi
• Kebijakan yang kompeten
• Penegakan hukum dan keadilan yang handal
Ekonomi
Berkelanjutan
• Manajemen pembiayaan publik yang baik
• Komprehensif perencanaan bisnis yang
berkelanjutan
• Basis ekonomi yang beraneka ragam
• Ekonomi bisnis yang berkelanjutan
• Integrasi yang kuat antara ekonomi regional
dan global
55
Indikator
No Kriteria Sub Kriteria Parameter
3 Infrastruktur dan
Lingkungan
Pengurangan
Paparan dan
Kerapuhan
• Pemetaan keterpaparan pada bahaya secara
menyeluruh
• Kesesuaian kode, standar dan
penyelenggaraan
• Ekosistem terkelola dengan efektif
• Infrastruktur perlindungan yang kokoh
Efektivitas
Penyediaan
Pelayanan
Kritis
• Layanan infrastruktur yang efektif
• Mempertahankan kapasitas cadangan
• Mempertahankan kapasitas cadangan dan
kontinuitas
• Kelanjutan yang memadai untuk aset dan jasa
penting
Mobilitas
Yang Handal
dan
Komunikasi
• Jaringan transportasi yang beragam dan
terjangkau
• Operasi transportasi dan pemeliharaan yang
efektif
• Teknologi komunikasi yang andal
• Jaringan teknologi yang aman
4 Strategi dan
Kepemimpinan
Efektif
Kepemimpinan
dan
Manajemen
• Keputusan pemerintah yang sesuai
• Sistem koordinasi dengan pemerintah yang
efektif
• Proaktif berbagai pemangku kepentingan
yang berkolaborasi
• Pemantauan bahaya dan penilaian risiko yang
komprehensif
• Manajemen darurat oleh pemerintah yang
komprehensif
Pemberdayaan
Pemangku
Kepentingan
• Terpenuhinya pendidikan untuk semua
• Tersebar edukasi tentang kesiapsiagaan dan
kesadaran masyarakat
• Efektivitas mekanisme untuk masyarakat
dapat terlibat dengan pemerintah
Integrasi
Rencana
Pembangunan
• Monitoring dan manajemen kota yang
komprehensif
• Proses perencanaan yang konsultatif
• Kesesuaian zonasi dan guna lahan
• Kuatnya proses penetapan perencanaan Sumber: (The Rockefeller Foundation & ARUP, 2015)
Menurut Climate Disaster Resilience Index (2009) masyarakat yang
tinggal di pesisir kota jauh lebih rentan terhadap perubahan iklim terutama bagi
mereka yang tinggal di pemukiman informal. Ada 5 (lima) Indikator utama yang
membentuk konsep ketahanan (SHAW, 2009) yang dapat dilihat pada Tabel II.2.
56
TABEL II.2
INDIKATOR YANG MEMBENTUK KETAHANAN KOTA MENURUT
CLIMATE DISASTER RESILIENCE INDEX
No Indikator
Kriteria Sub Kriteria
1 Fisik Listrik, penyediaan air, sanitasi, pembuangan limbah padat, jalan
penghubung internal, perumahan dan guna lahan
2 Sosial Modal masyarakat, sistem peringatan dan evakuasi
Keadaan kesehatan, pendidikan dan pengetahuan, modal sosial;
3 Ekonomi Pendapatan, pekerjaan, aset rumah tangga, akses pelayanan keuangan,
tabungan dan asuransi, anggaran dan subsidi
4 Institusi Institusi internal dan rencana pembangunan, efektifitas institusi internal,
institusi eksternal dan hubungan, koordinasi dan hubungan institusi
5 Alam Intensitas bahaya dan frekuensi bahaya
Sumber: (Razafindrabe, Parvin, Surjan, Takeuchi, dan Shaw, 2009)
Konsep ketahanan adalah inti dari pemahaman tentang kerentanan area
perkotaan. Kesanggupan masyarakat untuk beradaptasi sewaktu ada bahaya.
Integritas melakukannya dengan melawan atau berubah agar dapat mencapai dan
mempertahankan tingkat fungsi dan struktur yang diterima. Kemampuan manusia
untuk mengantisipasi dan merencanakan masa depan lebih kuat dari pada
kemampuan untuk memulihkan diri. Manusia bergantung pada kemampuan untuk
bertahan hidup. Kota yang tangguh adalah kota yang sanggup mempertahankan
kelangsungan hidupnya melalui berbagai masalah dan peristiwa yang mengancam,
merusak, atau berupaya menghancurkannya (prasad, et al., 2009). Menurut Coastal
Community Resilience ketahanan masyarakat sebagai seberapa baik hal itu
dipersiapkan dan dapat menanggapi bencana alam (U.S. Indian Ocean Tsunami
Warning System Program, 2007). Indikator yang dapat membentuk ketahanan yang
dimaksud dapat dilihat pada Tabel II.3.
TABEL II.3
INDIKATOR YANG MEMBENTUK KETAHANAN KOTA MENURUT
COASTAL COMMUNITY RESILIENCE
No Indikator
Kriteria Sub Kriteria
1 Sosial dan
Ekonomi
Kebijakan dan rencana pembangunan membangun modal sosial dan
keterampilan untuk keragaman ekonomi dan kemandirian diri.
Perekonomian lokal dicirikan dengan penghidupan yang beragam dan
ramah lingkungan yang berkelanjutan.
57
No Indikator
Kriteria Sub Kriteria
Jaringan sosial dan budaya mempromosikan komunitas yang mandiri dan
memiliki kemampuan untuk menyediakan dukungan bagi kawasan-
kawasan yang terkena bencana.
Sumber-sumber teknis dan keuangan tersedia untuk mempromosikan
perekonomian yang stabil dan kuat, mengurangi kerentanan terhadap
bahaya, dan bantuan dalam pemulihan bencana
2
Manajemen
Sumber daya
Pesisir
Kebijakan dan rencana diimplementasikan dan dimonitor untuk secara
efektif mengelola sumber daya alam pesisir.
Habitat pesisir yang sensitif, ekosistem, dan unsur-unsur alam dilindungi
dan dijaga untuk mengurangi risiko bahaya pesisir.
Masyarakat secara aktif terlibat dalam perencanaan dan menerapkan
kegiatan pengelolaan sumber daya pesisir. Masyarakat dan pemerintah
setempat menghargai dan berinvestasi dalam pengelolaan dan konservasi
untuk mempertahankan sumber daya alam mereka.
3
Guna Lahan
dan Desain
Struktur
Peraturan dan standar penggunaan tanah yang menyertakan langkah-
langkah untuk mengurangi risiko dari bahaya dan melindungi habitat yang
sensitif ditetapkan, diawasi dan ditegakkan.
Infrastruktur kritis yang terletak di luar daerah berisiko tinggi dan
dibangun untuk mengatasi risiko dari bahaya prioritas. Para pengembang
dan masyarakat memasukkan pengurangan risiko ke dalam lokasi dan
desain bangunan.
Program pendidikan, program penyuluhan, dan pelatihan dibentuk untuk
meningkatkan kepatuhan terhadap kebijakan penggunaan tanah dan
standar pembangunan.
4 Pengetahuan
Risiko
Penilaian risiko bahaya pesisir diselesaikan pada skala yang sesuai dengan
masyarakat dan diperbarui secara rutin. Penilaian risiko pesisir bersifat
menyeluruh dan memasukkan risiko terhadap semua unsur ketahanan
(misalnya mata pencaharian, sumber daya pantai, penggunaan lahan, dan
sebagainya).
Masyarakat berpartisipasi dalam proses penilaian risiko.
Informasi dari penilaian risiko dapat diakses dan digunakan oleh
masyarakat dan pemerintah.
5 Peringatan
dan Evakuasi
Sistem peringatan masyarakat dan sistem evakuasi, kebijakan, rencana,
dan prosedur sedang dibuat dan mampu memperingatkan penduduk yang
rentan secara tepat pada waktunya.
Peringatan masyarakat dan infrastruktur evakuasi sudah di tempat dan
dipelihara.
Masyarakat siap menanggapi peringatan bahaya dengan tindakan yang
pantas.
Sumber teknis dan keuangan tersedia untuk mempertahankan dan
meningkatkan sistem peringatan dan evakuasi.
6 Tanggap
Darurat
Peran dan tanggung jawab yang telah ditentukan ditetapkan di tetapkan
untuk segera bertindak di semua tingkatan
Layanan darurat dan bantuan dasar tersedia.
Kegiatan persiapan (latihan dan simulasi) terus berlangsung untuk melatih
dan mendidik responden.
Organisasi dan sukarelawan ditetapkan dengan sumber teknis dan
keuangan untuk mendukung kegiatan tanggap darurat.
7 Pemulihan
Bencana
Rencana pemulihan bencana telah ditetapkan bahwa keprihatinan
ekonomi, lingkungan, dan sosial dari masyarakat.
Proses pemulihan bencana dimonitor, dievaluasi, dan diperbaiki pada
selang waktu tertentu.
58
No Indikator
Kriteria Sub Kriteria
Mekanisme koordinasi di tingkat internasional, nasional, dan lokal sudah
ditetapkan untuk pemulihan bencana.
Sumber-sumber teknis dan keuangan tersedia untuk mendukung proses
pemulihan. Sumber: (U.S. IOTWS, 2007)
Ketahanan dapat didefinisikan sebagai fungsi yang menunjukkan
kemampuan untuk mempertahankan tingkat fungsionalitas atau kinerja yang
diberikan untuk sebuah bangunan, jembatan, jaringan garis kehidupan, atau
komunitas, selama periode yang didefinisikan sebagai waktu kontrol. Waktu
kontrol biasanya diputuskan dengan membangun para pemilik atau masyarakat,
misalnya, dan bertepatan dengan siklus hidup atau jangka hidup bangunan atau
sistem lainnya yang diharapkan. Ketahanan didefinisikan secara grafis sebagai
daerah yang diarsir normal di bawah fungsi suatu sistem (C.S. Renschler, et al.,
2010).
2.4 Sintesis Literatur
Sintesis literatur ini bertujuan untuk mengerucutkan kembali hasil dari
berbagai referensi dan sumber yang diambil oleh penulis yang akan digunakan
dalam penelitian yang dilakukan nanti sebagai teori pendukung dalam melakukan
pengambilan data interpretasi terhadap berbagai temuan di lapangan. Berikut
penjabaran literatur yang digunakan dalam bab hasil dan pembahasan yang dapat
dilihat pada Tabel II.4.
59
TABEL II.4
TAHAP IDENTIFIKASI INDIKATOR KETAHANAN
Literatur Sumber Teori Variabel
Konsep
Ketahanan
City Resilience
Framework/ARUP
(2015)
Ketahanan kota adalah suatu sistem yang
kompleks dan terus beradaptasi dengan
perubahan keadaan fisik lingkungan dan
sosial kependudukannya. Gagasan ulet kota
menjadi relevan secara konseptual ketika
tekanan kronis atau guncangan tiba-tiba
mengancam gangguan yang meluas atau
keruntuhan sistem fisik atau sosial.
Pendekatan:
• Reflective
• Resourceful
• Robust
• Redundant
• Felxible
• Inclusive
• Intergrated
Variabel :
• Kesehatan dan
Kesejahteraan
• Sosial dan Ekonomi
• Infrastruktur dan
Lingkungan
• Strategi dan
Kepemimpinan
100 Resilient
Cities (2016)
Ketahanan Kota sebagai kapasitas individu,
masyarakat, institusi, bisnis, dan sistem
dari sebuah kota untuk bisa bertahan,
beradaptasi, dan tumbuh terhadap tekanan
(stress) yang terus menerus dan guncangan
(shock) besar yang dihadapi.
Climate Disaster
Resilience Index
(2009)
Ketahanan masyarakat adalah kesanggupan
masyarakat untuk beradaptasi sewaktu ada
bahaya yang tangguh dapat menahan
guncangan dan membangun kembali
dirinya. Manusia bergantung pada
kemampuan untuk bertahan hidup dan
sebagai masyarakat pesisir yang memiliki
kerentanan tertinggi dari dampak
perubahan iklim perlu memiliki ketahanan
yang baik.
Variabel:
• Fisik
• Sosial
• Ekonomi
• Institusi
• Alam
Coastal
Community
Resilience (2007)
Konsep Ketahanan pada sisi masyarakat
mendefinisikan ketahanan dari
mempertahankan kepentingan bisnis atau
mendukung populasi yang rentan untuk
melestarikan ciri khas sejarah dari bencana
dan juga ancaman.
Variabel :
• Tata Kelola
• Sosial dan Ekonomi
• Sumber Daya
Pesisir
• Struktur Desain dan
Guna Lahan
• Penilaian Bahaya
• Sistem Peringatan
dan Evakuasi
• Tanggap Darurat
• Pemulihan Bencana
RAN-API (2014)
Ketahanan berupa perubahan yang besar
dapat membuat suatu sistem tetap berjalan
tanpa mengubah kondisi sebelumnya baik
sistem sosial maupun ekologi untuk
menyerap gangguan, sementara sistem
tetap mempertahankan struktur dan
fungsinya. Ketahanan terhadap perubahan
iklim pada kawasan informal masuk ke
dalam ketahanan wilayah khusus.
60
Literatur Sumber Teori Variabel
Intergovermental
Panel on Climate
Change/ IPCC
(2012)
Ketahanan (resilience) merupakan suatu
kondisi dari kemampuan suatu sistem dan
bagian-bagian komponen lainnya untuk
mengantisipasi, menyerap,
mengakomodasi, atau memulihkan dari
berbagai efek yang ditimbulkan atas
kejadian yang tidak diinginkan secara
efektif dan efisien, termasuk upaya-upaya
yang memastikan adanya pelestarian,
pemulihan, atau perbaikan struktur dan
fungsi yang mendasar.
Ketahanan
Iklim Kota
Urban Climate
Resilience
Framework/UCRF
(2011)
dari ketahanan iklim kota terbagi menjadi 4
(empat) yaitu urban systems, urban agents,
urban institutions, dan exposure to climate
change sehingga UCRPF ini membantu
dalam menemukan dan menspesifikan
siapa yang berperan dalam membangun
ketahanan iklim kota.
• System
• Agent
• Institution
• Exprosure climate
change and
Vulnerability
Perubahan
Iklim
United Nations
Framework
Covention on
Climate Change
(1922)
Perubahan iklim yang dimaksud adalah
adanya perubahan terhadap iklim baik
secara langsung atau tidak langsung
berkaitan dengan kegiatan manusia yang
mengubah komposisi atmosfer global dan
yang merupakan tambahan atas perubahan
iklim alami yang diamati selama periode
waktu yang sebanding.
• Peningkatan Suhu
Global
• Curah Hujan yang
Fluktuatif
• Mencari Es di
Kutub
• Kejadian Cuaca
Ekstrem Meningkat
• Kenaikan Muka Air
Laut
• 30 tahun biasa
dilakukan
Pemerintah
Indonesia untuk
membandingkan
suhu, curah hujan ,
dan angin dalam
melihat variasi atau
anomali
iklim/perubahan
iklim.
Climate Change
and The Role of
Forest (2010)
Perubahan pola cuaca normal di seluruh
dunia selama periode waktu yang panjang,
berpuluh-puluh tahun atau jauh lebih lama
lagi dengan suhu rata-rata bumi secara
perlahan mengalami peningkatan selama
100 tahun terakhir
Indonesia Climate
Sectoral
Roadmap/ICCSR
(2010)
Perubahan iklim adalah suatu fenomena
yang dapat mempengaruhi kehidupan kita
mulai dari persediaan air, persediaan
makanan, kesehatan, pekerjaan dan
pembangunan, serta hutan dan
keanekaragaman hayati. Pola hujan dan
cuaca panas dan dingin terus berubah akan
berdampak serius bagi kehidupan manusia.
Adaptasi
dan
Mitigasi
Perubahan
Iklim
Ditjen PPI (2016)
Adaptasi, daya adaptasi terhadap perubahan
iklim adalah kemampuan suatu sistem
untuk menyesuaikan diri dari perubahan
iklim (termasuk di dalamnya variabilitas
iklim dan variabilitas ekstrem) dengan cara
mengurangi kerusakan yang ditimbulkan,
mengambil manfaat atau mengatasi
perubahan dengan segala akibatnya dan
Mitigasi perubahan iklim pada dasarnya
adalah tindakan aktif untuk mencegah atau
memperlambat terjadinya perubahan iklim.
61
Literatur Sumber Teori Variabel
Dampak
Perubahan
Iklim
World Bank
(2010)
Dampak perubahan iklim dapat
mengakibatkan kenaikan temperatur yang
terlalu tinggi, curah hujan tinggi, kenaikan
permukaan air laut, penurunan ketahanan
pangan, keanekaragaman bahari berkurang.
• Banjir
• Longsor
• Erosi
• Abrasi
• Kekeringan
• Longsor
• Kekurangan Air
Bersih
• Ketersediaan
Pangan Berkurang
baik hasil Laut
Maupun Darat
Ditjen PPI (2016)
Dampak perubahan iklim mempengaruhi
kenaikan intensitas El Nino dan La Nina
sehingga permukaan air laut Indonesia
mengalami kenaikan dan penurunan,
dampak lain bisa terjadi kebakaran hutan,
erosi, abrasi yang dapat mengubah garis
pantai secara signifikan.
RAN-API (2014)
Dampak perubahan iklim dapat
mengakibatkan meningkatnya kejadian
banjir, longsor, kekeringan dan
ketersediaan air yang kurang. Akan
berdampak langsung maupun tidak
langsung.
Kawasan
Informal
Louis Wirth
(1938) dalam
Alsyayyd dan Roy
(2004)
Kawasan informal sering kita jumpai pada
kawasan perkotaan yang padat penduduk,
Louis Wirth (1938) dalam AlSayyad dan
Roy (2004) menyebutkan bahwa ada suatu
fenomena yang bernama urbanism yang
telah menjadi cara sebuah kota bekerja.
Mereka melihat bahwa apa yang terjadi
pada salah satu hal yang terjadi dalam
urbanism ini adalah proses bertahan hidup
(survival mechanism) di kota yang
dilakukan oleh para penghuninya.
• Kepadatan
Penduduk Tinggi
• Tempat Tinggal
Informal
• Mata Pencaharian
Informal
• Pemukiman Kumuh
dan Liar
Roy (2005) dan
Hamid Shirvani
(1984)
Kawasan informal tumbuh saat sektor
formal tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan orang-orang di kawasan
tersebut, keberagaman serta jumlah orang
yang hadir di tempat-tempat tersebut
memperlihatkan social equity yang
disebutkan oleh Hamid Shirvani (1984) dan
Roy (2005) menyebutkan bahwa ternyata
penduduk di permukiman “kumuh” (slum)
di Haravi juga memproduksi barang untuk
pasar global.
Hart (1973)
Pada sektor informal dijelaskan bahwa
terdapat dua macam sektor informal dalam
memperoleh penghasilan yaitu pencaharian
sah dan tidak sah.
Primer dan
Sekunder:
• Pertanian dan
Perkebunan yang
Berorientasi Pasar
• Kontraktor
Bangunan
• Usaha Tersier
dengan Modal
Relatif Besar
Seperti Perumahan,
Transportasi,
Usaha-usaha untuk
kepentingan umum
lain
62
Literatur Sumber Teori Variabel
• Distribusi kecil-
kecilan seperti
Perdagangan Pasar,
Pedagang
Kelontongan,
Pedagang Asongan,
Transaksi Pribadi
Seperti Peminjam
dan Pengemis
• Jasa lainnya seperti
Pengamen,
Penyemir Sepatu,
Tukang Cukur, dan
Pembuang Sampah.
• Mata Pencaharian
yang tidak sah
seperti pencuri,
perampok,
pemalsuan, pejudi,
dan pasar gelap.
Kawasan
Pesisir
UU No 01 tahun
2014
Wilayah pesisir adalah daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan
laut.
2.5 Sintesis Variabel
Indikator-indikator yang berkaitan dengan ketahanan banyak
dikemukakan oleh para ahli, para peneliti dan organisasi sebelumnya yang sudah
dijelaskan di atas dan dapat berbeda pandangan karena memiliki sudut pandangnya
sendiri-sendiri yang mungkin menyesuaikan studi kasus dalam penyusunan konsep
ketahanan tersebut melihat ciri atau karakteristik suatu wilayah ataupun kota
berbeda-beda di dunia. Indikator-indikator tersebut memiliki kesamaan tujuan yaitu
mewujudkan suatu ketahanan terhadap sesuatu yang mengancam baik tegangan
maupun guncangan yang terjadi. Indikator-indikator tersebut yang nantinya akan
dilakukan sintesis penelitian dan dijadikan indikator dalam penelitian ini khususnya
untuk menyasar sasaran ketiga. Indikator-indikator tersebut tidak semua dipilih
harus sesuai dengan kondisi masyarakat dan lingkungan yang relevan di wilayah
penelitian. Indikator yang terpilih harus mempresentasikan lingkup yang akan
dinilai. Hasil sintesis berupa faktor yang mempengaruhi ketahanan yang dipilih
sesuai dengan keadaan masyarakat. Dalam penentuan indikator dilakukan dalam
tiga tahapan yaitu identifikasi, verifikasi, dan penetapan indikator.
63
2.5.1 Identifikasi Indikator Ketahanan
Mengidentifikasi indikator ketahanan iklim kota berdasarkan referensi
yang digunakan sebagai acuan dalam memperoleh data dan analisis pada bab hasil
dan pembahasan berdasarkan hasil identifikasi indikator yang dapat dilihat pada
Tabel II.5.
TABEL II.5
TAHAP IDENTIFIKASI INDIKATOR KETAHANAN
No Indikator Sumber
A B D
1 Tata Kelola √
2 Kesehatan dan Kesejahteraan √
3 Sosial dan Ekonomi √ √
4 Infrastruktur dan Lingkungan √
5 Strategi dan Kepemimpinan √
6 Fisik √
7 Sosial √
8 Ekonomi √
9 Institusi √
10 Alam √
11 Manajemen Sumber daya pesisir √
12 Guna Lahan dan Desain Struktur √
13 Pengetahuan Risiko √
14 Peringatan dan Evakuasi √
15 Tanggap darurat √
16 Pemulihan Bencana √ Sumber : A. City Resilience Framework (2015) B. Climate Disaster Resilience Index (2009) C.
Coastal Community Resilience (2007).
Tabel II.5 di atas merupakan tabel yang memuat indikator yang dapat
membentuk suatu ketahanan dari tiga sumber yang sudah dijelaskan sebelumnya.
Berdasarkan tabel di atas dapat dilihat bahwa ada beberapa indikator yang memiliki
kesamaan dari beberapa sumber sehingga diperlukan tahap verifikasi untuk
menentukan faktor yang akan digunakan dalam penelitian.
2.5.2 Verifikasi Indikator Ketahanan
Berdasarkan indikator ketahanan teridentifikasi di atas tidak seluruhnya
sesuai dengan penelitian ini dan terdapat indikator yang memiliki kesamaan. Maka
dari itu tidak semua indikator digunakan pada penelitian ini. Indikator yang telah
terkumpul diverifikasi dan justifikasi berdasarkan alasan mengenai pemilihan
64
indikator yang sesuai. Berikut penjabaran mengenai pemilihan indikator ketahanan
yang akan digunakan dalam penelitian ini yang dapat dilihat pada Tabel II.6.
TABEL II.6
VERIFIKASI INDIKATOR JUSTIFIKASI
No. Kriteria Verifikasi Justifikasi
1 Tata Kelola Diambil
Tata kelola menjadi aspek penting yang ada
dalam mengurusi penyediaan , pelayanan,
koordinasi dan urusan keorganisasian dalam
membentuk sistem ketahanan yang ideal
2 Kesehatan Dan
Kesejahteraan
Dilebur ke dalam
Sosial dan
Ekonomi
Kesehatan dan kesejahteraan termasuk tujuan
yang ada di aspek sosial dan ekonomi
3 Sosial Dan
Ekonomi Diambil
Sosial dan ekonomi menjadi kriteria yang
penting yang harus dikaji dalam membangun
ketahanan
4 Infrastruktur
Dan Lingkungan
Dilebur ke dalam
Fisik Dan
Lingkungan
Infrastruktur dan lingkungan masuk ke dalam
fisik dan lingkungan
5 Strategi Dan
Kepemimpinan
Dilebur ke dalam
Tata Kelola
Strategi dan kepemimpinan dapat dilakukan ke
dalam fungsi tata kelola
6 Fisik
Digabung dengan
Fisik dan
Lingkungan
Fisik masuk ke dalam kriteria fisik dan
lingkungan yang lebih kompleks
7 Sosial Diambil dan lebur
bersama Ekonomi
Sosial menjadi aspek penting yang ada dalam
mengurusi penyediaan, pelayanan, koordinasi
dan urusan keorganisasian dalam membentuk
sistem ketahanan yang ideal
8 Ekonomi Diambil dan lebur
bersama Sosial
Ekonomi menjadi aspek yang bisa menaungi
urusan perekonomian dan pendapatan
masyarakat ketahanan finansial
9 Institusi
Dilebur ke dalam
Strategi dan
Kepemimpinan
pada Tata Kelola
Institusi dapat dilakukan ke dalam fungsi tata
kelola sebagai integrasi institusi yang berperan
dalam meningkatkan ketahanan
10 Alam
Dilebur ke dalam
Lingkungan pada
Fisik Dan
Lingkungan
Alam masuk ke dalam fisik dan lingkungan
yang jauh lebih kompleks.
11
Manajemen
Sumber Daya
Pesisir
Dilebur ke dalam
Tata Kelola
Manajemen sumber daya pesisir dapat
dilakukan ke dalam fungsi tata kelola
12
Guna Lahan
Dan Desain
Struktur
Dilebur ke dalam
Fisik Dan
Lingkungan
Guna lahan dan desain struktur masuk dalam
bagian fisik dan lingkungan
13 Pengetahuan
Risiko
Dilebur ke dalam
Sosial dan
Ekonomi
Pengetahuan risiko menjadi salah satu muatan
yang harus dimiliki masyarakat sehingga masuk
ke dalam aspek sosial
65
No. Kriteria Verifikasi Justifikasi
14 Peringatan Dan
Evakuasi
Dilebur ke dalam
Tata Kelola
Peringatan dan evakuasi dapat dilakukan ke
dalam fungsi tata kelola yang berkaitan
langsung dengan manajemen bencana
15 Tanggap
Darurat
Dilebur ke dalam
Tata Kelola
Tanggap darurat kesiapan dari seluruh elemen
dalam manajemen bencana
16 Pemulihan
Bencana
Dilebur ke dalam
Tata Kelola
Pemulihan bencana dapat dilakukan ke dalam
fungsi tata kelola kesiapan stakeholders dalam
menangani persoalan paska bencana
2.5.3 Penetapan Indikator Ketahanan Kota
Berdasarkan tahapan penetapan verifikasi indikator di atas maka tahap
selanjutnya adalah tahap penetapan indikator. Dari tabel verifikasi di atas maka
terbentuklah 4 (empat) kriteria dan 25 sub kriteria yang menjadi indikator dalam
pembentuk ketahanan dan solusi yang sesuai dengan lokasi penelitian. Berikut
penjabaran dari penetapan indikator ketahanan kota yang telah ditetapkan dapat
dilihat pada Tabel II.7.
TABEL II.7
PENETAPAN INDIKATOR KETAHANAN KOTA
No Kriteria Sub Kriteria Justifikasi
1
Sosial
dan
Ekonomi
Kesehatan dan
Kesejahteraan
Memenuhi kebutuhan dasar, baik kesehatan maupun hal
lainnya untuk mendapatkan kemudahan akses pelayanan
dasar yang dibutuhkan setiap masyarakat dalam
pemenuhan kebutuhannya. Mendukung mata pencaharian
dan pekerjaan berupa pelatihan dan upaya yang dapat
menjamin ketersediaan kebutuhan masyarakat.
Memastikan pelayanan kesehatan dan fasilitas pendukung
untuk kepentingan umum dan masyarakat.
Pengetahuan
Risiko
Pengetahuan terhadap risiko adalah landasan untuk
membangun sebuah komunitas tangguh. Komunitas tidak
dapat memetakan jalannya menuju ketahanan jika tidak
mengetahui terlebih dahulu apa yang dipertaruhkan.
Pengetahuan menyeluruh tentang risiko terhadap berbagai
bahaya yang dihadapi masyarakat memungkinkan
penyesuaian untuk menghilangkan atau mengurangi
dampak dari bahaya. Hal ini juga memungkinkan sebuah
komunitas untuk lebih mudah meredam guncangan yang
berhubungan dengan bahaya-bahaya dan bangkit kembali
lebih cepat setelah peristiwa bahaya.
66
No Kriteria Sub Kriteria Justifikasi
2
Fisik dan
Lingkung
an
Infrastruktur
dan
Lingkungan/Ala
m
Memperbaiki dan memberikan perlindungan baik secara
alami dan juga buatan manusia melalui infrastruktur,
efektivitas dari perencanaan guna lahan dan regulasi.
Konservasi lingkungan menjaga ekosistem perkotaan yang
masuk ke dalam manajemen kota yang baik. Memiliki dan
melakukan manajemen ekosistem dan infrastruktur serta
rencana kontijensi. Komunikasi dan mobilisasi yang ramah
lingkungan dan berkelanjutan seperti menerapkan
transportasi publik.
Guna Lahan dan
Desain Struktur
Baik penerapan manajemen lahan dan desain struktural
adalah elemen penting coastal commuity resilience karena
ketika diterapkan secara efektif, hal itu memungkinkan
masyarakat untuk menyerap guncangan tsunami dan
bahaya pantai lainnya. Dengan mengarahkan lahan tertentu
menjauh dari daerah yang rawan bencana dan mendorong
pengembangan mereka di lokasi yang kurang
membahayakan, sebuah komunitas bisa mengurangi risiko
bagi individu dan mata pencaharian mereka.
3 Tata
Kelola
Strategi dan
Kepemimpinan
Tata kelola pemerintahan yang baik, terjalinnya
pemerintah, masyarakat, dan pelaku usaha. Berbagai
pemangku kepentingan dapat merumuskan keputusan
secara bersama. Pendidikan untuk semua, akses terhadap
informasi dan ilmu pengetahuan mudah diakses oleh
masyarakat maupun organisasi untuk mengambil
keputusan. Tujuan yang mencakup keseluruhan
berdasarkan data sehingga strategi atau rencana seharusnya
bisa terintegrasi lintas sektor sehingga guna lahan bisa
mengakomodasi berbagai kepentingan dan menyelesaikan
permasalahan serta dapat mengurangi bahkan
menghapuskan berbagai dampak yang muncul dari
pembangunan tersebut.
Manajemen
Sumber daya
pesisir
Sumber daya pesisir menyediakan banyak layanan
berharga dan berkelanjutan bagi masyarakat. Hal ini
mencakup, antara lain, sumber makanan yang dapat
diandalkan, pembangunan ekonomi melalui penggunaan
sumber daya yang dapat diandalkan seperti bakau,
transportasi, perlindungan dari bahaya pantai seperti badai,
banjir, tsunami, erosi, polusi, dsb.).
Peringatan dan
Evakuasi
Sistem peringatan dan prosedur evakuasi memberi
masyarakat kesempatan untuk secara signifikan
mengurangi risiko dengan mengambil tindakan cepat
untuk mengurangi dampak dari peristiwa bahaya.
Tanggapan yang efektif terhadap peristiwa bahaya yang
akan datang dan dapat mengurangi dampak bahaya dengan
menyingkirkan orang-orang dari tempat-tempat berbahaya.
Tanggap darurat
Tanggap darurat yang efektif memungkinkan masyarakat
pesisir yang tangguh untuk meredam guncangan akibat
bencana. Rencana dan mekanisme tanggap darurat juga
menjadi dasar bagi masyarakat untuk cepat pulih dari
dampak bencana. Pada saat terjadi bencana, prosedur
tanggap darurat yang efektif dapat mengurangi korban
jiwa dan turut mengurangi waktu dan investasi yang
dibutuhkan masyarakat untuk pulih
Pemulihan
Bencana
Pemulihan bencana merupakan unsur penting dari coastal
commuity resilience karena memberikan jendela berharga
bagi masyarakat untuk belajar dari pengalaman bencana
67
No Kriteria Sub Kriteria Justifikasi
dan mengambil tindakan untuk mengurangi risiko. Periode
terjadinya bencana segera menyediakan banyak
kesempatan untuk menerapkan strategi guna mengurangi
dampak bencana di masa depan, khususnya ketika peran
politik tetap kuat. Jika proses pemulihan bencana berhasil
dalam membangun ketahanan masyarakat.
2.6 Metode Analisis Faktor
Analisis Faktor adalah salah satu teknik analisis statistik multivariat yang
berupaya untuk menghilangkan keragaman variabel yang direduksi dan
dikelompokkan ke dalam bentukan kelompok variabel baru yang saling berkorelasi
dan lebih ringkas/sedikit (disebut Faktor) tanpa kehilangan informasi yang berarti.
Selain sebagai hasil akhir, analisis ini sebagai langkah awal untuk analisis statistika
yang bersifat lebih besar atau lebih kompleks (Sawitri dan Maryati, 2014). Analisis
Faktor dapat dipandang sebagai perluasan analisis komponen utama yang pada
dasarnya bertujuan untuk mendapatkan sejumlah kecil faktor yang memiliki sifat :
1. Mampu menerangkan semaksimal mungkin keragaman data,
2. Faktor-faktor tersebut saling bebas, dan
3. Tiap-tiap faktor dapat diinterpretasikan.
Data yang digunakan interval atau ratio, dengan jumlah sampel besar yaitu
50-100 sampel. Input data yang digunakan ada dua jenis, yaitu :
1. Kovarian adalah data yang ada memiliki ukuran atau skala yang sama
2. Korelasi adalah data yang ada memiliki ukuran atau skala yang tidak sama.
Berdasarkan standar deviasi korelasi dilihat dari nilai diagonalnya yaitu satu,
sedangkan eigenvalue > 1 agar bisa digunakan untuk analisis. Penyusunan
matrix colleration dibagi menjadi dua macam, yaitu :
a. Korelasi Matriks
Tingginya korelasi antar variabel mengindikasikan bahwa variabel dapat
dikelompokkan ke dalam sebuah variabel yang bersifat homogeny, nilai
determinannya yang mendekati nol.
b. Korelasi Parsial
Metode kedua adalah memeriksa korelasi parsial yaitu mencari korelasi
satu indikator dengan indikator lain dengan mengontrol indikator lain. Sign kurang
68
dari 0,05 (jika sign > 0,05 maka data tidak valid dan tidak dapat dilanjutkan untuk
melakukan analisis lebih lanjut).
3. Kaiser-Meyer Olkin (KMO) MSA
Metode KMO ini mengukur kecukupan sampling secara menyeluruh dan
mengukur kecukupan sampling untuk setiap indikator. Nilai Kiser Meyer Olkin
measure of sampling adequency (KMO) > 0,5 maka layak untuk dilakukan analisis
lebih lanjut dan datanya valid. Tetapi , apabila KMO < 0,5 maka data tidak valid
(Sawitri dan Maryati, 2014).
Analisis faktor pada dasarnya dapat dibedakan secara nyata menjadi dua
macam yaitu: 1. Analisis Komponen Utama atau Principal Component Analysis
(PCA) dan Analisis Faktor Konfirmatori atau Common Factor Analysis (CFA).
Pada penelitian ini menggunakan analisis kuadran utama yaitu suatu teknik
analisis faktor di mana beberapa faktor yang akan terbentuk berupa variabel laten
yang belum dapat ditentukan sebelum analisis dilakukan. Analisis kuadran utama
merupakan metode yang paling sederhana di dalam melakukan ekstraksi faktor.
Metode ini membentuk kombinasi linear dari indikator yang diobservasi. Analisis
ini bertujuan mentransformasi variabel lama menjadi variabel baru dengan konsep
yang digunakan adalah jarak Euclidian. Semisal variabel X1 , X2, .... XP (Variabel
Ketahanan). Berdasarkan variabel ini kombinasi linier baru atau faktor score yang
terbentuk adalah :
Z1 : a11X1 + a12X2 + .... a1pXp
Z2 : a21X1 + a22X2 + .... a2pXp
Zp : ap1X1 + ap2X2 + .... appXpp
Bobot dari (a) atau eigenvalue dipilih untuk memaksimalkan variansi rasio
Z1 terhadap total variansi. Tujuan dari analisis kuadran ini untuk menjelaskan
sebanyak mungkin total variansi dengan sedikit faktor (jumlah komponen utama <
dari pada jumlah variabel). Z diekstraksi sedemikian rupa sehingga komponen
utama pertama (Z1) menghitung jumlah variansi data terbesar yaitu sama dengan 1
(satu). Secara matematis dinotasikan sebagai var(Z1) ≥ var(Z2) ≥... ≥ var(Zp),
dimana var(Zi) adalah varians dari Zi dalam kumpulan data yang dipelajari. Nilai
dari Z tersebut merupakan titik koordinat ordinasi untuk diplot dalam sumbu
komponen utama yang diinginkan (Sawitri dan Maryati, 2014).
top related