bab i pendahuluan 1.1 latar belakang masalah. bab i.pdf · dalam kontrak komersil, prenada media...
Post on 11-Mar-2019
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Notaris merupakan pejabat umum yang menjalankan profesinya
memberikan pelayanan hukum berupa pembuatan akta notaris kepada anggota
masyarakat. Oleh karena itu, dalam rangka menjalankan jabatannya notaris dapat
melayani kepentingan orang banyak, membantu menciptakan kepastian hukum
dan memberikan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 sebagaimana telah dirubah dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN).
Notaris sebagai Pejabat Umum yang membuat akta otentik, wajib secara
mandiri dan tidak berpihak melindungi kepentingan anggota masyarakat yang
meminta jasanya. Pengertian akta otentik menurut Pasal 1868 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (selanjutnya disebut KUH Perdata) menyebutkan bahwa suatu akta
otentik ialah suatu akta yang bentuknya ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh
atau di hadapan pegawai-pegawai yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta
dibuatnya.
Akta otentik merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh serta mempunyai
peranan penting dalam setiap hubungan hukum khususnya pada hukum
pembuktian. Berbagai hubungan bisnis, kegiatan di bidang perbankan, pertanahan,
kegiatan sosial, dan lain-lain, membutuhkan pembuktian tertulis berupa akta
otentik yang semakin meningkat kebutuhannya sejalan dengan berkembangnya
2
tuntutan akan kepastian hukum pada berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik
pada tingkat nasional, regional, maupun global. Akta otentik dapat membedakan
secara jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum dan sekaligus
diharapkan dapat menghindari dari terjadinya sengketa.
Akta otentik pada hakikatnya memuat kebenaran formal sesuai dengan apa
yang diberitahukan oleh para pihak kepada notaris. Namun, Notaris mempunyai
kewajiban untuk memastikan bahwa apa yang termuat dalam akta notaris
sungguh-sungguh telah dimengerti dan sesuai dengan kehendak para pihak, yaitu
dengan cara membacakannya sehingga menjadi jelas isi akta notaris tersebut, serta
memberikan akses terhadap informasi, termasuk akses terhadap peraturan
perundang-undangan yang terkait bagi para pihak penanda tangan akta. Dengan
demikian, para pihak dapat menentukan dengan bebas untuk menyetujui atau tidak
menyetujui isi akta notaris yang akan ditandatanganinya.
Selain itu, hukum tanah nasional di Indonesia tidak mengijinkan Warga
Negara Asing (selanjutnya disingkat WNA) untuk memiliki hak milik atas tanah
di wilayah Indonesia. Hanya Warga Negara Indonesia (selanjutnya disingkat
WNI) saja yang berhak untuk memiliki tanah dengan hak milik di wilayah
Indonesia. Kondisi tersebut membuat para pihak yang berkepentingan mencari
suatu cara untuk menyiasati hal dimaksud. Cara yang kemudian digunakan adalah
dengan melakukan Perjanjian Nominee antara WNA dan WNI, yaitu dengan
menggunakan nama pihak lain yang merupakan WNI yang ditunjuk sebagai
Nominee untuk didaftarkan sebagai pemilik atas tanah tersebut.
3
Mengenai perjanjian nominee, meskipun perjanjian tersebut tidak diatur
dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya
disebut UUJN) maupun peraturan perundang-undangan lainnya, namun banyak
Notaris di Denpasar yang melayani pembuatan perjanjian nominee tersebut.
Notaris yang bersedia membuatkan perjanjian nominee dapat dikatakan melanggar
UUJN dan Kode Etik Notaris, sebab dalam kedua peraturan perundang-undangan
tersebut tidak ditemukan pasal yang secara tegas mengatur kewenangan notaris
untuk melayani pembuatan perjanjian nominee.
Di lihat dari segi hukum perdata, dalam KUH Perdata terdapat 3 (tiga) hal
yang dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak berdasarkan cacat kehendak,
yaitu: kesesatan atau dwaling (Pasal 1322 KUH Perdata), paksaan atau dwang
(Pasal 1323-1327 KUH Perdata) dan penipuan atau bedrog (Pasal 1328 KUH
Perdata).1 Dewasa ini penyelundupan hukum dengan akta notariil dianggap
sebagai jalan keluar untuk melewati batasan-batasan dalam beberapa tindakan
tertentu yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan.
Penyelundupan hukum muncul sebagai suatu konsep baru yang dilahirkan oleh
individu tertentu untuk mencapai keinginannya yang sesungguhnya telah dilarang
oleh peraturan perundang-undangan.
Salah satu tindakan yang melahirkan konsep baru sebagai upaya
penyelundupan hukum adalah keinginan orang asing untuk menguasai hak milik
atas tanah di Indonesia dengan instrumen perjanjian nominee secara notariil.
Dengan kata lain suatu perjanjian nominee merupakan perjanjian yang dibuat
1Agus Yudha Hernoko, 2010, Hukum Perjanjian, Asas Proporsionalitas
dalam Kontrak Komersil, Prenada Media Group, Jakarta, hal. 171-172.
4
antara seseorang yang menurut hukum tidak dapat menjadi subyek hak atas tanah
tertentu (hak milik), dalam hal ini yaitu orang asing dengan WNI, dengan maksud
agar orang asing tersebut dapat menguasai (memiliki) tanah hak milik secara de
facto, namun secara legal-formal (dejure) tanah hak milik tersebut diatasnamakan
WNI. Dengan perkataan lain, WNI dipinjam namanya oleh orang asing (bertindak
selaku nominee).2
Suatu perjanjian nominee dibuat dengan maksud untuk memberi
kesempatan atau celah kepada WNA untuk menguasai dan memiliki bidang tanah
hak milik di Indonesia. Dimana orang asing/WNA membeli sebidang tanah hak
milik dengan menggunakan nama WNI, yaitu tanah hak milik yang nyatanya
dibeli (dibayar) oleh orang asing/WNA tersebut namun didaftarkan menjadi/ke
atas nama WNI, sementara itu guna kepastian hukum atas hak atas tanah yang
dibelinya tersebut antara orang asing/WNA dengan WNI dibuatkan dalam suatu
atau beberapa perjanjian dan bahkan dalam suatu akta pernyataan yang isinya
bahwa WNI adalah orang yang hanya dipinjam namanya dalam bukti hak milik
(sertipikat) sedangkan pemilik sesungguhnya adalah orang asing/WNA tersebut
dan terobosan atau hal seperti inilah dalam kehidupan masyakarat lazim disebut
dengan perjanjian nominee.
Lebih jelasnya perjanjian nominee merupakan perjanjian yang isinya
tentang pengingkaran atas pemilikan tanah hak milik dari seseorang WNI yang
telah diberikan atau ditetapkan oleh negara kepada warga negaranya sebagaimana
ditulis dalam sertipikat tanahnya, dengan menyatakan bahwa ia bukanlah sebagai
2 Maria S.W. Sumardjono, 2012, Penguasaan Tanah Oleh Warga Negara
Asing Melalui Perjanjian Nominee, Rapat Kerja Wilayah Ikatan Notaris Indonesia
(INI) Pengurus Wilayah Bali dan NTT, Denpasar, hal.2.
5
pemilik (de facto) dari tanah tersebut melainkan milik WNA yang memang
memberi uang dan selanjutnya menguasai tanah dimaksud untuk keperluan dan
keuntungannya. Namun dalam kenyataannya yang menguasai tanah hak milik
tersebut adalah WNA sementara yang atasnama adalah WNI.
Perjanjian nominee biasanya dibuat dalam bentuk akta otentik, yaitu dalam
bentuk akta notaris yakni akta yang dibuat oleh Notaris untuk para pihak
terutamanya oleh WNA dibuat dengan tujuan untuk mendapat kepastian hukum
dan dapat dijadikan alat bukti yang kuat tentang hak atas kepemilikan tanah
tersebut. Selain untuk dirinya sendiri juga untuk alat bukti di pengadilan apabila
terjadi permasalahan atau sengketa antara para pihak yang membuat perjanjian
tersebut.
Pasal 9 ayat (1) jo. Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, (selanjutnya disebut UUPA)
dengan jelas menyebutkan bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hubungan
sepenuhnya dengan bumi, air dan ruang angkasa, serta dengan jelas mengatur
bahwa hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik. Hal ini kemudian dipertegas
kembali dalam Pasal 26 ayat (2) UUPA yaitu disebutkan setiap jual beli,
penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat dan perbuatan-perbuatan lain
yang dimaksudkan untuk langsung atau tidak langsung memindahkan hak milik
kepada orang asing, kepada seorang warga negara disamping kewarganegaraan
Indonesianya mempunyai kewarganegaraan asing adalah batal karena hukum dan
tanahnya jatuh kepada negara.
6
Berdasarkan Pasal 21 ayat (3) UUPA apabila orang asing memperoleh
tanah hak milik karena warisan atau akibat percampuran harta, maka hak milik
tersebut wajib dilepaskan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak diperolehnya
hak tersebut. Apabila hal tersebut tidak dilaksanakan maka hak milik atas tanah
tersebut menjadi hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara.3
Dari uraian diatas mengenai perjanjian nominee tidak terdapat peraturan
perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya, baik dalam Undang-Undang
No 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Undang-Undang No 5 Tahun 1960
mengenai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maupun perundang-undangan
lainnya. Berkenaan dengan hal tersebut, dapat dilihat adanya suatu kekosongan
norma mengenai perjanjian nominee, sehingga peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian mengenai perjanjian nominee dalam tesis ini.
Berdasarkan penelitian kepustakaan baik melalui perpustakaan-
perpustakaan yang ada di Kota Denpasar maupun secara online terdapat beberapa
penelitian yang berkaitan dengan perjanjian nominee, yaitu:
1. Penelitian Miggi Sahabati dengan judul ”Perjanjian Nominee dalam Kaitannya
dengan Kepastian Hukum bagi Pihak Pemberi Kuasa Ditinjau dari Undang-
Undang Pokok Agraria, Undang-Undang tentang Penanaman Modal, dan
Undang-Undang Kewarganegaraan”. Tesis dari Program Studi Magister
Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2011. Rumusan masalah
dari tesis ini adalah sebagai berikut:
3 Gde Widhi Wiratama, Ida Bagus Rai Djaja, 2012, “Pengaturan Mengenai
Perjanjian Nominee Dan Keabsahannya (Ditinjau Dari Kitab Undang-Undang
Universitas Udayana, hal. 3.
7
a. Bagaimana pengaturan mengenai Perjanjian Nominee saat ini yang berlaku
di Indonesia?
b. Bagaimana pihak pemberi kuasa dapat terlindungi haknya apabila terjadi
wanprestasi?
c. Apakah keberadaan Perjanjian Nominee dapat menjadi alternatif yang
menguntungkan dalam pengembangan investasi di Indonesia?
Penelitian Miggi Sahabati dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama
meneliti mengenai perjanjian nominee. Perbedaannya jika penelitian Miggi
Sahabati hanya meneliti perjanjian nominee saja, maka pada penelitian yang
akan dilakukan selain meneliti mengenai perjanjian nominee juga
dihubungkan dengan Pasal 1328 KUH Perdata.
2. Penelitian Safarni Husain dengan judul ”Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
yang dibuat secara Proforma”. Tesis dari Program Studi Magister Ilmu
Hukum, Universitas Mulawarman, Banjarmasin, Tahun 2013. Rumusan
masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana fungsi dan peran akta otentik yang dibuat secara proforma?
b. Bagaimana kekuatan hukum akta otentik yang dibuat secara proforma?
Penelitian Safarni Husain dengan penelitian yang akan dilakukan memiliki
persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-sama
meneliti mengenai akta otentik yang dibuat secara proforma. Perbedaannya
jika penelitian Safarni Husain hanya meneliti akta otentik secara proforma
8
saja, maka pada penelitian yang akan dilakukan selain meneliti mengenai akta
otentik yang dibuat secara proforma juga meneliti tentang perjanjian nominee.
3. Penelitian Michael Wisnoe Barata dengan judul ”Kepemilikan Hak atas Tanah
bagi Warga Negara Asing dan Kewarganegaraan Ganda”. Tesis dari Program
Studi Magister Kenotariatan, Universitas Indonesia, Jakarta, Tahun 2012.
Rumusan masalah dari tesis ini adalah sebagai berikut:
a. Bagaimana dengan kepemilikan hak-hak atas tanah beserta bangunan bagi
warga negara asing dan badan-badan hukum asing, menurut Undang-
Undang Pokok Agraria?
b. Bagaimana dengan status kepemilikan hak atas tanah yang dapat dimiliki
oleh anak hasil dari perkawinan campuran yang berstatus
kewarganegaraan ganda menurut Undang-Undang kewarganegaraan dan
Undang-Undang Pokok Agraria?
Penelitian Michael Wisnoe Barata dengan penelitian yang akan dilakukan
memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaannya kedua penelitian ini sama-
sama meneliti mengenai kepemilikan tanah oleh WNA melalui perjanjian
nominee. Perbedaannya jika penelitian Michael Wisnoe Barata hanya meneliti
kepemilikan tanah oleh WNA melalui perjanjian nominee, maka pada penelitian
yang akan dilakukan juga meneliti kepemilikan tanah oleh WNA dan memasukan
Pasal 1328 KUH Perdata sebagai kajiannya.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat
dikatakan bahwa penelitian yang akan dilakukan berbeda substansinya dengan
penelitian sebelumnya. Kasus yang dibahas dalam kasus ini adalah kasus transaksi
pembelian sebidang tanah dan bangunan antara Franciano dengan Global Village
9
Complex dimana Franciano adalah nominee dari Carmen Van Ommeren seorang
berkewarganegaraan Belanda yang tinggal dan berdomisili di Viterdijk 14 4011
EV Zoelen dan kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Nomor:
12/PDT/2014/PT.DPS antara Saito Hiromi berkedudukan sebagai WNA
meminjam nama Choirul Anam yang berkedudukan sebagai WNI mengenai
peralihan hak milik atas tanah yang disebut dalam Perjanjian nominee.
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian yang dituangkan dalam bentuk tesis dengan
judul ”Akibat Hukum dari Pembuatan Perjanjian Nominee Dikaitkan
dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, permasalahan
dalam penelitian ini dapat dirumuskan dalam bentuk research questions sebagai
berikut:
1. Bagaimana akibat hukum dari pembuatan perjanjian nominee yang
dituangkan dalam bentuk akta otentik dikaitkan dengan Pasal 1328
KUHPerdata ?
2. Bagaimana tanggungjawab Notaris terhadap perjanjian nominee yang telah
dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal 1328 KUHPerdata ?
10
1.3 Tujuan Penelitian
Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan untuk mencari, menggali,
menghubungkan dan memprediksi suatu kejadian. Setiap penelitian hukum yang
dilakukan memiliki tujuan yang jelas dan terarah. Adapun tujuan dari penelitian
hukum ini adalah :
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum yang hendak dicapai dari penulisan tesis ini yaitu untuk
pengembangan ilmu hukum terkait paradigma science as a process (ilmu sebagai
proses). Dengan paradigma ini, ilmu hukum tidak akan terhenti dalam penggalian
atas kebenaran, khususnya terkait dengan topik akibat hukum dari pembuatan
perjanjian Nominee dikaitkan dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
1.3.2 Tujuan Khusus
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas, maka tujuan
khusus dari penelitian tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui dan menganalisis akibat hukum dari pembuatan
perjanjian nominee yang dituangkan dalam bentuk akta otentik dikaitkan
dengan Pasal 1328 KUHPerdata.
2. Untuk mengetahui dan menganalisis tanggungjawab Notaris terhadap
perjanjian nominee yang telah dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal
1328 KUHPerdata.
11
1.4 Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik yang
bersifat teoritis maupun praktis sebagai berikut :
1.4.1 Manfaat Teoritis
1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam usaha turut
mengembangkan ilmu hukum pada umumnya dan pengaturan mengenai
pelaksanaan tertib hukum mengenai kepemilikan tanah oleh WNA.
2. Dapat dijadikan sebagai dasar acuan bagi penelitian selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
Adapun manfaat praktis dalam penelitian ini adalah :
1. Memberikan pandangan kepada masyarakat khususnya WNA mengenai
pengaturan yang seharusnya terhadap kepemilikan tanah dan bangunan
oleh WNA.
2. Memberikan pemahaman bagi Notaris-PPAT dalam rangka mencegah
pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh WNA dalam penguasaan
atas tanah dan bangunan di wilayah indonesia.
1.5 Landasan Teoritis
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan
diatas, adapun teori-teori dan konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian
tesis ini yaitu:
12
1.5.1 Landasan Teoritis
Pada dasarnya yang disebut teori adalah asas, konsep dasar, pendapat yang
telah menjadi kebenaran umum. Menurut Karlinger4 sebuah teori adalah
seperangkat konstruk atau konsep, batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu
pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan-hubungan
variabel dengan tujuan menjelaskan dan memprediksi fenomena itu. Sedangkan
konsep adalah suatu pemikiran, ide atau gagasan yang menjadi obyek penelitian.
1.5.1.1 Teori Perjanjian
Teori perjanjian pertama kali di Indonesia diperkenalkan oleh Subekti.5
Teori ini digunakan untuk menganalisis rumusan masalah yang pertama yaitu
akibat hukum dari perjanjian nominee dikaitkan dengan Pasal 1328 Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata.
Perjanjian Innominaat adalah Perjanjian yang tumbuh dan berkembang di
dalam praktik dan belum dikenal saat KUHPerdata diundangkan.6 Dalam
ketentuan Pasal 1319 KUHPerdata tersirat adanya dua jenis perjanjian, yaitu
Perjanjian Nominaat dan Perjanjian Innominaat. Perjanjian Nominaat merupakan
Perjanjian yang dikenal di dalam KUHPerdata karena diatur dan disebutkan dalam
beberapa pasal KUHPerdata. Salah satu contoh dari Perjanjian Innominaat adalah
Perjanjian Nominee.
4Fred N. Karlinger, 2004, Foundation of Behavioral Research. Holt,
Rinehart, hal. 16-17. 5 Subekti, 2002, Hukum Perjanjian, Cet.19, PT. Intermasa, Jakarta, hal. 37.
6 Salim H. S., 2004, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di
Indonesia (b), cet.2, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 1.
13
Pasal 1319 KUHPerdata mengatur bahwa semua Perjanjian tunduk pada
peraturan-peraturan umum yang termuat dalam bab kedua dan bab kesatu Buku III
KUHPerdata. Dengan demikian, meskipun Perjanjian Innominaat tidak dikenal
dalam KUHPerdata, namun dalam pelaksanaannya Perjanjian Innominaat harus
tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam Buku III KUHPerdata termasuk asas-asas
yang terkandung di dalam KUHPerdata yang berkaitan dengan Hukum Perjanjian.
Perjanjian Innominaat sebagai jenis Perjanjian yang tidak dikenal dengan
nama tertentu juga memiliki unsur-unsur yang sama dengan Perjanjian pada
umumnya, yaitu:7
1. adanya unsur kaidah hukum, baik kaidah Hukum Perjanjian tertulis
maupun yang tidak tertulis;
2. adanya unsur subjek hukum, yaitu para pihak dalam Perjanjian;
3. adanya unsur objek hukum, yaitu pokok prestasi dalam Perjanjian;
4. adanya unsur kata sepakat yang merupakan persesuaian pernyataan
kehendak para pihak mengenai substansi dan objek Perjanjian;
5. adanya unsur hak dan kewajiban bagi para pihak sebagai akibat hukum
yang timbul dari Perjanjian.
Tidak diaturnya Perjanjian Innominaat oleh KUHPerdata menyebabkan
ketentuan yang terdapat dalam Perjanjian Innominaat diatur sendiri oleh para
pihak berdasarkan kesepakatan bersama, dengan tetap memperhatikan asas-asas
yang berlaku dalam kebebasan berkontrak. Apabila dalam pelaksanaannya
kemudian ditemukan hal-hal yang tidak diatur secara khusus, atas hal tersebut
berlaku ketentuan dalam KUHPerdata mengenai Perjanjian.
7 Ibid, hal.5.
14
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, syarat sahnya perjanjian
innominaat juga mengacu pada Pasal 1320 KUH Perdata adalah sebagai berikut:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri
Dalam syarat yang pertama ini, kehendak dari para pihak
mempunyai kedudukan yang prinsipil, karena langsung berhubungan
dengan apa yang menjadi kemauan para pihak. Dalam kerangka pengertian
perjanjian, kehendak adalah apa yang benar-benar dimaui oleh kedua
belah pihak. Dengan kesepakatan yang dimaksudkan bahwa di antara
pihak-pihak yang bersangkutan tercapai suatu persesuaian kehendak,
artinya: apa yang dikehendaki oleh yang satu adalah pula dikehendaki
yang lain.8
Di dalam KUH Perdata tidak dijelaskan mengenai kata sepakat ini,
tetapi di dalam Pasal 1321 KUH Perdata. Ditentukan syarat bahwa tidak
ada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau
diperolehnya karena dengan paksaan atau penipuan. Dari pasal ini dapat
disimpulkan bahwa terjadinya kata sepakat di antara masing-masing pihak
tidak boleh dipaksakan pada pihak lainnya. Demikian juga apabila
kehendak yang satu didasarkan atas kekhilafan atau penipuan, maka akan
menyebabkan perjanjian tersebut dikemudian hari dapat dimintakan
pembatalannya.
8 R. Subekti, 1986, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni,
Bandung, hal. 3.
15
Dengan adanya kesepakatan dari para pihak itu, maka kesepakatan
itu menimbukan kekuatan mengingat perjanjian sebagaimana layaknya
undang-undang (pacta sunt servanda). Apa yang dinyatakan seseorang
dalam suatu hubungan menjadi hukum bagi mereka. Asas inilah yang
menjadi kekuatan mengikatnya perjanjian. Ini bukan kewajiban moral,
tetapi juga kewajiban hukum yang pelaksanaannya wajib ditaati.9
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Dalam membuat perjanjian, kedua belah pihak harus cakap atau
mempu untuk membuat suatu perjanjian. Pasal 1329 KUH Perdata.
Menyebutkan bahwa setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian
jika ia oleh undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap. Dari ketentuan
pasal tersebut dapat disimpulkan bahwa pada umumnya setiap orang
dianggap cakap atau mampu untuk membuat perjanjian, kecuali mereka
yang dianggap tidak cakap. Kecakapan bertindak ini menunjukkan kepada
kewenangan yang umum (kewenangan umum untuk menutup perjanjian)
dan sedangkan kewenangan bertindak menunjukkan kepada yang khusus
yaitu kewenangan untuk bertindak dalam peristiwa khusus.10
Berdasarkan ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata, dapat
disimpulkan bahwa yang dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap
membuat perjanjian adalah: (a) orang yang belum dewasa, (b) mereka
yang berada di bawah pengampuan/perwakilan, (c) perempuan yang
menikah atau berstatus sebagai istri. Namun dengan berlakunya Surat
9 Ridwan Khairandy, 2008, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak,
Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 27. 10
Ibid, hal. 274-275.
16
Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, yang menghimbau pada
para hakim Pengadilan Negeri untuk tidak memberlakukan Pasal 108 dan
110 KUH Perdata. Dipertegas dengan adanya Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 yang menyatakan bahwa setelah terjadi perkawinan istri
mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan suami. Sehingga istri
adalah cakap untuk melakukan hubungan hukum tanpa harus ada ijin dari
suami.
3. Suatu Hal tertentu
Syarat ketiga sahnya perjanjian menurut ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata adalah adanya suatu hal tertentu. Maksudnya hal tertentu ini
ditegaskan dalam Pasal 1333 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan
bahwa suatu perjanjian harus mempunyai suatu hal tertentu sebagai pokok
perjanjian, yaitu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya.
Sedangkan ayat (2) menyatakan bahwa tidak menjadi halangan bahwa
jumlah barang tidak tertentu, asal saja jumlah itu kemudian dapat
ditentukan atau dihitung.
Dari ketentuan di atas disimpulkan bahwa yang diperjanjikan
dalam suatu perjanjian, haruslah suatu hal atau barang yang cukup jelas
atau tertentu dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan. Syarat ini diperlukan agar dapat ditetapkan kewajiban debitur
apabila terjadi perselisihan. Hal atau barang yang diperjanjikan paling
tidak harus ditentukan jenis dan jumlahnya. Tetapi undang-undang tidak
mengharuskan barang itu harus ada atau sudah ada ditangan debitur pada
waktu perjanjian dibuat. Di samping itu undang-undang juga tidak
17
mengharuskan penyebutan jumlahnya, asalkan dikemudian hari dapat
ditentukan dan dihitung.
4. Kausa atau sebab yang halal
Pengertian mengenai kausa yang halal ini tidak dapat diperoleh
pengertiannya dalam undang-undang. Namun pengertian sebaliknya, yaitu
kausa yang tidak hal dapat ditemukan di dalam Pasal 1337 KUH Perdata.
Pasal tersebut menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh Undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan
atau ketertiban umum.
Pasal 1337 KUH Perdata tersebut dapat diinterprestasikan secara
contrario menjadi kausa yang halal, yaitu kausa yang tidak bertentangan
dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum, artinya isi
perjanjian harus halal atau tidak terlarang.
Dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, dinyatakan semua perjanjian
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya. Jadi, dalam pasal ini terkandung 3 macam asas utama dalam
perjanjian, yaitu: asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas pacta
sun servanda. Di samping asas-asas itu, masih terdapat asas itikad baik dan asas
kepribadian.
a. Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat
penting dalam hukum kontrak. Kebebasan berkontrak ini oleh sebagian
sarjana hukum biasanya didasarkan pada Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-
18
undang bagi mereka yang membuatnya. Demikian pula ada yang mendasarkan
pada Pasal 1320 KUHPerdata yang menerangkan tentang syarat-syarat sahnya
perjanjian.
Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada
seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan
perjanjian, sebagaimana yang dikemukakan Ahmadi Miru, di antaranya:11
1) bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
2) bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
3) bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
4) bebas menentukan bentuk perjanjian; dan
5) kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan.
Asas kebebasan berkontrak merupakan suatu dasar yang menjamin
kebebasan orang dalam melakukan kontrak. Hal ini tidak terlepas juga dari
sifat Buku III KUHPerdata yang hanya merupakan hukum yang mengatur
sehingga para pihak dapat menyimpanginya (mengesampingkannya), kecuali
terhadap pasal-pasal tertentu yang sifatnya memaksa.12
b. Asas konsensualisme
Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338
KUHPerdata. Dalam Pasal 1320 KUHPerdata penyebutnya tugas sedangkan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata ditemukan dalam istilah ”semua.” Kata-kata
semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan
11
Ahmadi Miru, 2007, Hukum Kontrak Perencanaan Kontrak, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hal. 4. 12
Ibid, hal. 4.
19
keinginannya (will), yang dirasanya baik untuk menciptakan perjanjian. Asas
ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.13
Perjanjian yang telah terbentuk dengan tercapainya kata sepakat
(consensus) diantara para pihak. Perjanjian ini tidak memerlukan formalitas
lain lagi sehingga dikatakan juga perjanjian ini sebagai perjanjian bebas
bentuk. Jika perjanjian ini dituangkan dalam bentuk tertulis, maka tulisan itu
hanya merupakan alat bukti saja dan bukan syarat untuk terjadinya perjanjian.
Perjanjian tersebut dinamakan perjanjian konsensuil.
Ada kalanya menetapkan perjanjian itu harus diadakan secara tertulis
atau dengan akta Notaris, akan tetapi hal ini ada pengecualiannya yaitu
undang-undang menetapkan formalitas-formalitas tertentu untuk beberapa
macam perjanjian karena adanya ancaman batal apabila perjanjian tersebut
tidak memenuhi syarat-syarat yang dimaksud Pasal 1320 KUHPerdata, seperti
perjanjian hibah harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus secara
tertulis. Perjanjian yang ditetapkan dengan suatu formalitas tertentu tersebut
dengan perjanjian formil.
c. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan tersimpul dalam
kalimat "berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya"
pada akhir Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata. Jadi, perjanjian yang dibuat
secara sah oleh para pihak mengikat para pembuatanya sebagai undang-
undang. Dan kalimat ini pula tersimpul larangan bagi semua pihak termasuk di
13
Mariam Darus Badrulzaman, 1996, Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku III Tentang Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Ed. II, Cet. I,
Alumni, Bandung, (Selanjutnya disingkat Badrulzaman I), hal. 113.
20
dalamnya “hakim” untuk mencampuri isi perjanjian yang telah dibuat secara
sah oleh para pihak tersebut. Oleh karenanya asas ini disebut juga asas
kepastian hukum.
Asas ini dapat dipertahankan sepenuhnya dalam hal:
1) Kedudukan para pihak dalam perjanjian itu seimbang;
2) Para pihak cakap untuk melakukan perbuatan hukum.
d. Asas itikad baik
Asas itikad baik terkandung dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian-perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik. Asas ini berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian dan berlaku bagi
debitur maupun bagi kreditur.
Menurut Subekti, pengertian itikad baik dapat ditemui dalam hukum
benda (pengertian subyektif) maupun dalam hukum perjanjian seperti yang
diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata (pengertian obyektif).14
Dalam hukum benda, itikad baik, artinya kejujuran atau bersih. Seorang
pembeli beritikad baik adalah orang jujur, orang bersih. Ia tidak mengetahui
tentang adanya cacat-cacat yang melekat pada barang yang dibelinya, dalam
arti cacat mengenai asal-usulnya. Sedangkan pengertian itikad baik dalam
Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata adalah bahwa dalam pelaksanaan perjanjian
harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan.
14
Subekti, 2001, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, hal.
42.
21
Ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata juga memberikan
kekuasaan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian jangan
sampai pelaksanaan itu melanggar kepatutan dan keadilan.
e. Asas kepribadian
Asas kepribadian ini sebenarnya menerangkan pihak-pihak mana yang
terikat pada perjanjian. Asas ini terkandung pada Pasal 1315 dan Pasal 1340
KUHPerdata.
Pada Pasal 1315 disebutkan bahwa pada umumnya tak seorangpun
dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu
janji daripada untuk dirinya. Selanjutnya Pasal 1340 KUHPerdata menyatakan
bahwa perjanjian-perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya, perjanjian itu tidak dapat membawa rugi atau manfaat kepada
pihak ketiga, selain dalam hal yang diatur klaim Pasal 1317 KUHPerdata.
Oleh karena perjanjian itu hanya mengikat para pihak yang membuatnya dan
tidak dapat mengikat pihak lain. Maka asas ini dinamakan asas kepribadian.
1.5.1.2 Teori Pertanggungjawaban
Teori pertanggungjawaban digunakan dalam penelitian ini untuk
menjawab rumusan masalah kedua yaitu tanggungjawab notaris terhadap
perjanjian nominee yang telah dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal 1328
KUHPerdata. Pertanggungjawaban seseorang ada seimbang dengan kerugian yang
diakibatkan oleh perbuatannya yang bertentangan dengan hukum dari orang lain.
22
Hal ini disebut tanggung jawab kualitatif, yaitu orang yang bertanggungjawab
karena orang itu memiliki suatu kualitas tertentu.15
Kranenburg dan Vegtig mengemukakan bahwa mengenai persoalan
pertanggungjawaban pejabat ada dua teori yang melandasi, yaitu Teori Fautes
Personalles dan Teori Fautes de Servuces yang akan diuraikan sebagai berikut:
a. Teori Fautes Personalles yang menyatakan bahwa kerugian terhadap
pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya itu telah
menimbulkan kerugian. Menurut teori ini, beban tanggungjawab ditujukan
pada manusia selaku pribadi.
b. Teori Fautes de Servucesyaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian
terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang
bersangkutan. Menurut teori ini tanggungjawab dibebankan kepada
jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula
apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau
kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan
berimplikasi pada tanggungjawab yang harus ditanggung.16
Dalam suatu negara hukum, setiap tindakan jabatan yang dilakukan oleh
suatu perwakilan (vertegenwoordiger) yaitu pejabat (ambtsdrager) harus
berdasarkan pada asas legalitas, artinya setiap tindakan jabatan harus berdasarkan
pada wewenang yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Oleh
15
W. Sommermeijer, 2003, Tanggung Jawab Hukum, Pusat Studi Hukum
Universitas Parahyangan, Bandung, hal. 23. 16
Ridwan, HR, 2006, Hukum Administrasi Negara, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hal. 365.
23
karenannya, penggunaan wewenang untuk melakukan tindakan hukum harus
dapat dipertanggungjawabkan.17
Hans Kelsen mengemukakan dalam teorinya mengenai
pertanggungjawaban bahwa: “Seseorang bertanggungjawab secara hukum
terhadap suatu perbuatan tertentu atau karena ia memikul tanggungjawab hukum
tersebut yang berarti ia bertanggungjawab apabila ia melakukan suatu perbuatan
yang bertentangan dengan hukum”.18
Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa
pertanggungjawaban sangat erat kaitannya dengan sanksi, selain itu ia juga
menyatakan bahwa pertanggungjawaban dibagi menjadi: Pertanggungjawaban
individu, pertanggungjawaban kolektif, pertanggungjawaban berdasarkan
kesalahan (based on fault) dan pertanggungjawaban mutlak (absolute
responsibility).19
Menurut teori tradisional pertanggungjawaban dapat dibedakan menjadi
dua macam, yaitu pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (based on fault)
dan pertanggungjawaban mutlak (absolute responsibility).20
Pertanggungjawaban
berdasarkan kesalahan yaitu seorang individu yang bertanggungjawab atas
pelanggaran yang dilakukannya dengan sengaja dan diperkirakan memiliki tujuan
untuk menimbulkan kerugian. Pertanggungjawaban mutlak artinya seorang
17
Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Di Daerah Yogyakarta, FH UII
Press. Yogyakarta, hal. 114. 18
Hans Kelsen, 2007, General Theory Of Law And State, Teori Umum
Hukum Dan Negara, Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum
Deskriptif Empirik, terjemahan Somardi, BEE Media Indonesia, Jakarta, hal. 81. 19
Hans Kelsen, 2006, Teori Hukum Murni, terjemahan Raisul Mutaqien,
Nuansa & Nusamedia, Bandung, hal. 140. 20
Hans Kelsen, 1961, General Theory Of Law And State, terjemahan
Andrew Wedberg, Russel & Russel, New York, hal. 65.
24
individu bertanggungjawab atas pelanggaran yang dilakukannya karena tidak
sengaja dan tidak diperkirakan.21
Beberapa prinsip-prinsip yang terkait dengan tanggungjawab yang
sering diterapkan dalam upaya perlindungan hukum:
1. Prinsip Tanggungjawab Berdasarkan Unsur Kesalahan
Prinsip tanggungjawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau
based on fault) adalah prinsip yang umum dianut. Prinsip ini menyatakan
seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawaban secara hukum jika
terdapat unsur kesalahan yang dilakukan.22
Berdasarkan prinsip ini
konsumen diberikan tanggungjawab untuk membuktikan adanya unsur
kesalahan pelaku usaha yang tentunya berdampak memberatkan
konsumen.23
2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggungjawab
Prinsip ini menyatakan tergugat selalu dianggap bertanggungjawab
(presumption of liability principlep), sampai ia dapat membuktikan ia
tidak bersalah. Jadi beban pembuktian diletakkan pada tergugat (pelaku
usaha).
3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggungjawab
Prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip sebelumnya, dimana pihak
yang dibebankan untuk membuktikan kesalahan itu terdapat pada
21
Hans Kelsen, terjemahan Raisul Mutaqien, loc. cit. 22
Lukman Santoso AZ, 2011, Hak dan Kewajiban Hukum Nasabah Bank,
Pustaka Yustisia, Jakarta, hal. 130. 23
Erman Rajagukguk, et. Al., 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, CV
Mandar Maju, Bandung.
25
konsumen. Konsumen dianggap selalu bertanggungjawab, sampai ia dapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah.
4. Prinsip Tanggungjawab Mutlak
Prinsip tanggungjawab mutlak (strict liability) adalah prinsip
tanggungjawab yang menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang
menentukan, tetapi masih terdapat suatu pengecualian yang
memungkinkan dibebaskannya dari tanggungjawab, yaitu keadaan force
majeure. Prinsip tanggungjawab mutlak ini secara umum dipergunakan
untuk menjerat pelaku usaha, khususnya pelaku usaha yang memasarkan
produk dan merugikan konsumen. Dalam perlindungan konsumen
penerapan prinsip tanggungjawab mutlak ini dikenal dengan product
liability.
5. Prinsip Tanggungjawab Dengan Pembatasan
Prinsip tanggungjawab dengan pembatasa ini (limitation ability principle)
sangat disenangi pelaku usaha, karena pelaku usaha dapat membatasi
secara maksimal tanggungjawabnya.
6. Product Liability, Professional Liability
Tanggungjawab produk (product liability) merupakan tanggungjawab
produsen untuk produk yang dibawanya kedalam peredaran yang
menimbulkan atau menyebabkan kerugian karena cacat yang melekat pada
produk tersebut. Melalui prinsip ini, dasar gugatan untuk tanggungjawab
produk dapat dilakukan atas landasan adanya:
1) pelanggaran jaminan;
26
2) kelalaian; dan
3) tanggungjawab mutlak.
Teori tanggungjawab memberikan pengertian bahwa setiap orang harus
bertanggungjawab atas perbuatan hukum yang dilakukannya. Dalam penulisan
tesis ini menekankan pada pembahasan menganai pertanggungjawaban notaris
terhadap perjanjian nominee yang telah dibuatnya apabila dikaitkan dengan Pasal
1328 KUHPerdata.
1.5.1.3 Konsep Akta Otentik
Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang
diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang
telah ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan,
yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh yang
berkepentingan, Akta otentik terutama memuat keterangan seorang pejabat, yang
menerangkan apa yang dilakukannya dan dilihatnya dihadapannya.24
Di dalam HIR akta otentik diatur dalam Pasal 165 (Pasal 1868 KUH
Perdata) yang berbunyi sebagai berikut: “akta otentik yaitu suatu akta yang dibuat
oleh atau dihadapan pejabat yang diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti
yang lengkap antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat
hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan tentang yang
tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan belaka, akan tetapi yang terakhir
24
Teguh Samudera, 1992, Hukum Pembuktian dalam Acara Perdata,
Alumni, Bandung, hal. 36.
27
ini hanyalah sepanjang yang diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok
daripada akta”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, akta otentik dapat dibagi menjadi 2
(dua) macam yaitu:25
1. Akta otentik yang dibuat oleh pejabat atau yang dinamakan akta relaas
atau akta pejabat (ambtelijke akten).
Akta relaas atau akta pejabat (ambtelijke akten) merupakan suatu
akta yang menguraikan secara otentik sesuatu tindakan yang dilakukan
atau suatu keadaan yang dilihat atau disaksikan oleh notaris selaku
pembuat akta. Dengan kata lain, akta yang dibuat sedemikian dan yang
memuat uraian dari apa yang dilihat dan disaksikan serta dialami notaris
dinamakan akta yang dibuat oleh notaris sebagai pejabat yang berwenang.
2. Akta yang dibuat dihadapan notaris atau yang dinamakan akta partij
Akta partij adalah akta yang berisi suatu keterangan dari apa yang
terjadi karena perbuatan yang dilakukan oleh pihak lain dihadapan notaris,
artinya diterangkan oleh pihak lain kepada notaris dalam menjalankan
jabatannya dan untuk keperluan mana pihak lain itu sengaja datang di
hadapan notaris dan memberikan keterangan itu atau melakukan perbuatan
itu di hadapan notaris, agar keterangan atau perbuatan itu dikonstatir oleh
notaris di dalam suatu akta otentik. Akta yang seperti itu dinamakan akta
25
G.H.S. Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga,
Jakarta, hal. 51.
28
yang dibuat dihadapan notaris. Contohnya perjanjian hibah, wasiat, kuasa
dan lain sebagainya.26
Pada akta partij selalu terdapat kekuatan bukti materiil dan merupakan alat
bukti sempurna sebab dalam akta partij kebenaran dari isi akta tersebut ditentukan
oleh pihak-pihak dan diakui pula oleh pihak-pihak dan pejabat yang menerangkan
seperti apa yang dilihat, diketahuinya dari para pihak itu. Tetapi pada akta Relaas
tidak selalu terdapat kekuatan bukti materiil artinya setiap orang dapat
menyangkal kebenaran isi akta otentik itu asal dapat membuktikannya, sebab apa
yang dilihat dan dilakukan oleh pejabat itu hanya berdasarkan pada apa yang
dikehendaki oleh yang berkepentingan.27
Dari 2 (dua) macam akta tersebut, maka dapatlah dilihat bahwa notaris
tidak berada di dalamnya, tetapi yang melakukan perbuatan hukum itu adalah
pihak-pihak yang berkepentingan. Inisiatif dalam pembuatan akta notaris atau akta
otentik itu ada pada para pihak. Dengan demikian, akta notaris atau akta otentik
tidak menjamin bahwa pihak-pihak tersebut berkata benar, tetapi yang dijamin
oleh akta otentik adalah para pihak benar-benar berkata atau melakukan perbuatan
hukum seperti yang termuat dalam akta tersebut.
Terhadap hal-hal yang disampaikan kepada notaris, apakah itu
mengandung suatu kebenaran atau tidak, hal itu bukanlah kewenangan notaris
karena notaris tidak memiliki kewenangan investigatori. Apabila akta notaris itu
mengandung kebohongan atau kepalsuan dimana keterangan yang diberikan
26
Ibid, hal. 46 27
Abdulkadir Muhammad, 1992, Hukum Acara Perdata Indonesia, PT.
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 136.
29
kepada notaris tidak benar maka tidak menjadikan akta tersebut sebagai akta
palsu, sepanjang notaris tersebut tidak mengetahui bahwa keterangan yang
diberikan padanya adalah tidak benar atau palsu.
Dari uraian di atas, maka antara akta otentik yang dibuat “oleh” dan yang
dibuat “dihadapan” pegawai umum terdapat perbedaan pokok antara lain:
1. Pada akta otentik yang dibuat “oleh” pegawai umum, inisiatif datang dari
pihaknya, pihaknya mengetahui benar tentang hal-hal yang dikemukakan
dalam akta (isi akta); sedangkan pada akta otentik yang dibuat
“dihadapan” pegawai umum yaitu notaris, notaris tidak pernah memulai
inisiatifnya, notaris tidak tahu benar kebenaran dari hal-hal yang
dikemukakan oleh kedua belah pihak yang hadir dihadapannya (isi dari
akta), ia hanya membantu merumuskan kehendak para pihak.
2. Akta otentik yang dibuat “dihadapan” pegawai umum biasanya disebut
juga dengan akta para pihak, dalam hal ini notaris pasif artinya notaris
menunggu sampai ia diperlukan oleh pihak lain untuk membuatkan akta.
Jadi, tidak ia dengan sendirinya tanpa dipanggil membuat akta. Akta para
pihak juga tidak berarti hanya berisikan keterangan dari pihak saja,
melainkan juga berisikan keterangan dari notaris itu sendiri.
3. Akta yang dibuat “oleh” pegawai umum terhadap ketiadaan tanda tangan
tidak mengakibatkan akta tersebut kehilangan otensitasnya. Sebagai
contoh sering kali orang-orang yang hadir telah meninggalkan rapat
sebelum akta itu ditandatangani dan oleh notaris cukup hanya
menerangkan dalam akta tersebut bahwa para pihak yang hadir telah
meninggalkan rapat sebelum menandatangani akta itu dan akta itu tetap
30
merupakan akta otentik. Pada akta yang dibuat “dihadapan” pejabat
umum, keharusan adanya tanda tangan para pihak adalah untuk
mempertahankan otentisitasnya. Jika akta tersebut tidak ditandatangani
maka akta tersebut harus diterangkan apa yang menjadi alasan tidak
ditandatanganinya akta itu, misalnya para pihak atau salah satu pihak buta
huruf atau tangannya lumpuh. Keterangan notaris mengenai hal tersebut
adalah sebagai ganti tanda tangan (surrogaat). Dengan demikian dalam
akta partij penandatanganan oleh para pihak adalah merupakan suatu
keharusan.28
Suatu akta yang dibuat oleh notaris dalam kedudukannya dapat
menjadi akta otentik apabila memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam
Pasal 1868 KUH Perdata, yaitu:
a. Akta harus dibuat “oleh” atau “dihadapan” seseorang pejabat umum.
b. Akta itu harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang.
c. Pejabat umum oleh atau dihadapan siapa akta itu dibuat, harus
mempunyai kewenangan untuk membuat akta itu.
Berdasarkan Pasal 1869 KUH Perdata jo Pasal 16 ayat (8) UUJN, apabila
salah satu syarat yang ditentukan dalam Pasal 1868 KUH Perdata itu tidak
terpenuhi maka akta yang dibuatnya tidak otentik, hanya mempunyai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan apabila akta itu ditandatangani oleh para penghadap.
28
Teguh Samudera, Op.Cit, hal.42
31
1.5.1.4 Konsep Pertanggungjawaban Notaris
Pengertian Notaris berdasarkan Pasal 1 angka 1 UUJN adalah sebagai
berikut: “Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta
autentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya”. Tanggungjawab adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatunya, sehingga bertanggungjawab dapat
diartikan berkewajiban menanggung, memikul jawab, menanggung segala
sesuatunya atau memberikan jawab dan menanggung akibatnya. Tanggungjawab
merupakan kesadaran manusia akan tingkah laku perbuatannya yang disengaja
maupun yang tidak disengaja.
Tanggungjawab juga berarti berbuat sebagai perwujudan kesadaran akan
kewajibannya Selanjutnya menurut Habib Adjie terkait kedudukan Notaris dalam
mengemban tanggung jawabnya adalah sebagai berikut:
Notaris sebagai pejabat publik produk akhirnya yaitu akta otentik, yang
terikat dalam ketentuan hukum perdata terutama dalam hukum pembuktian. Akta
tidak memenuhi syarat sebagai Keputusan Tata Usaha Negara yang bersifat
konkret, individual, dan final dan tidak menimbulkan akibat hukum perdata bagi
seseorang atau badan hukum perdata, karena akta merupakan formulasi keinginan
atau kehendak (wilsvorming) para pihak yang dituangkan dalam akta Notaris yang
dibuat di hadapan atau oleh Notaris dan bukan kehendak Notaris.29
Tanggung
jawab Notaris dapat dilihat dari kewajiban dan wewenang Notaris yang diatur
dalam UUJN.
Dikaitkan dengan perjanjian nominee, notaris bertanggung jawab atas
pelanggaran 2 (dua) peraturan, yaitu UUJN dan Kode Etik.
1. UUJN
Pembuatan akta nominee agreement oleh notaris dapat digolongkan
melanggar pasal-pasal UUJN sebagai berikut:
a. Pasal 4 ayat (2) yaitu sumpah/ janji jabatan notaris
Notaris wajib mengucapkan sumpah/ janji di hadapan Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia sebelum menjalankan jabatannya.
29
Habib Adjie, Op.Cit, hal.163-164.
32
Dalam sumpah/janji jabatan notaris, ketika diambil sumpahnya notaris
mengucapkan “bahwa saya akan patuh dan setia kepada Negara
Republik Indonesia, Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-undang tentang Jabatan
Notaris serta peraturan perundang-undangan lainnya.”30
Berdasarkan
kata-kata bahwa notaris akan patuh pada peraturan perundang-
undangan lainnya, dapat disimpulkan bahwa notaris dalam
menjalankan jabatannya juga harus mematuhi peraturan perundang-
undangan lainnya. Jadi Notaris tidak diperbolehkan membuat
perjanjian nominee dimana perjanjian dan/atau pernyataan tersebut
menegaskan bahwa kepemilikan suatu barang/benda untuk dan atas
nama orang lain.
b. Pasal 15 ayat (2) huruf e
Tugas jabatan Notaris adalah memformulasikan keinginan atau
tindakan para pihak ke dalam akta otentik, dengan memperhatikan
aturan hukum yang berlaku.31
Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) huruf e
mengenai kewenangan Notaris ini, sudah seharusnya Notaris
memberikan penyuluhan-penyuluhan hukum kepada para pihak yang
datang kepadanya dengan maksud membuat perjanjian nominee yang
dilarang.
Notaris harus memberikan penyuluhan hukum atau memberi
penjelasan kepada para pihak, bahwa perjanjian atau pernyataan yang
31
Ibid.
33
hendak mereka buat, yang di dalamnya menegaskan bahwa
kepemilikan barang atau benda untuk dan atas nama orang lain, adalah
melanggar hukum, para pihak seharusnya tidak membuat perjanjian
atau pernyataan tersebut karena akan mengakibatkan perjanjian atau
pernyataan tersebut menjadi batal demi hukum. Akta notaris yang batal
demi hukum, mulai terjadinya pembatalan adalah sejak saat akta
tersebut ditandatangani dan tindakan hukum yang tersebut dalam akta
dianggap tidak pernah terjadi dan tanpa perlu adanya putusan
pengadilan.
c. Pasal 16 ayat (1) huruf a
Pada Pasal 16 ayat (1) huruf d mengenai kewajiban Notaris ini,
disebutkan bahwa Notaris dalam menjalankan jabatannya wajib
bertindak jujur. Dalam hal ini Notaris harus jujur memberitahukan
kepada para pihak yang datang kepadanya untuk membuat perjanjian
nominee dilarang oleh hukum. Apabila perjanjian atau pernyataan
tersebut dibuat, maka akan mengakibatkan perjanjian atau pernyataan
tersebut menjadi batal demi hukum. Hal ini juga dimaksudkan untuk
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum,
dalam hal ini para pihak yang datang kepada Notaris, agar para pihak
tidak dirugikan dengan dibuatnya perjanjian atau pernyataan tersebut.
d. Pasal 16 ayat (1) huruf d
Pelayanan Notaris kepada masyarakat yang memerlukan bukti otentik
wajib diutamakan sesuai dengan UUJN, tetapi dalam keadaan tertentu
34
notaris dapat menolak untuk memberikan pelayanan dengan alasan-
alasan tertentu.
2. Kode Etik
Pasal 3 angka 4
“Bertindak jujur, mandiri, tidak berpihak, penuh rasa tanggungjawab,
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan isi sumpah jabatan
notaris.”32
Berdasarkan pasal tersebut, Notaris harus bertindak jujur kepada para
pihak, yaitu memberitahukan kepada para pihak bahwa kepemilikan
barang atau benda oleh hukum untuk dan atas nama orang lain terbatas.
Oleh karena itu, Notaris juga harus menjelaskan kepada para pihak, bahwa
perjanjian yang hendak mereka tuangkan dalam akta notaris itu adalah
melanggar isi sumpah jabatan Notaris, yang apabila perjanjian tersebut
tetap dibuat maka akan mengakibatkan perjanjian tersebut menjadi batal
demi hukum.
32
Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Notariat di Indonesia, Suatu
Penjelasan, Rajawali, Jakarta, hal. 98.
35
1.6 Metode Penelitian
1.6.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini megggunakan jenis penelitian hukum normatif, yang
mengkaji dan menganalisis bahan hukum yaitu berupa bahan hukum primer,
bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yang terkait dengan pembuatan
perjanjian nominee. Penelitian hukum normatif (normative legal research)
merupakan penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan perundang-
undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu.
Penelitian normatif seringkali disebut dengan penelitian doktrinal, yaitu
penelitian yang objek kajiannya adalah dokumen peraturan perundang-undangan
dan bahan pustaka.33
Penelitian hukum normatif juga disebut penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma dalam hukum
positif.34
Dalam peneltian normatif, hukum dipandang identik dengan norma-
norma tertulis, yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau pejabat yang
berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif yang otonom,
mandiri, tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat nyata.35
33
Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenida
Media, Jakarta, hal. 34. 34
Johny Ibrahim, 2012, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,
Banyumedia, Malang, hal. 295. 35
Ronny Hanitijo Soemitro, 2008, Metode Penelitian Hukum dan
Jurimetri, Alumni, Jakarta, hal 13-14.
36
1.6.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan yang digunakan dalam suatu penelitian normatif akan
memungkinkan seorang peneliti untuk memanfaatkan hasil-hasil temuan ilmu
hukum dan ilmu-ilmu lain untuk kepentingan analisis dan eksplanasi. Dalam
kaitannya dengan penelitian normatif dapat digunakan beberapa pendekatan
yaitu:36
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach).
2. Pendekatan Konsep (conceptual approach).
3. Pendekatan Perbandingan (comparative approach).
4. Pendekatan Historis (historical approach).
5. Pendekatan Filsafat (philosophical approach).
6. Pendekatan Kasus (case approach).
Pendekatan-pendekatan tersebut dapat digabungkan sehingga dalam suatu
penelitian hukum normatif dapat saja menggunakan dua pendekatan atau lebih
yang sesuai. Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conceptual approach) dan pendekatan kasus (case approach), mengingat
permasalahan yang diteliti adalah mengenai akibat hukum dari pembuatan
perjanjian nominee dikaitkan dengan Pasal 1328 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
36
Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal. 300-301.
37
1.6.3 Sumber Bahan Hukum
Sumber bahan hukum yang diperlukan dalam penelitian ini merupakan
bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.37
1. Bahan hukum primer
Merupakan bahan-bahan hukum yang mengikat, yang berupa peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan yang akan
dikaji, terdiri dari:
a. Undang-Undang Dasar Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
c. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
d. Undang-undang Nommor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria.
2. Bahan hukum sekunder
Merupakan bahan yang menjelaskan bahan hukum primer, seperti: hasil
penelitian, jurnal ilmiah, hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya,
bahkan menurut Ronny Hanitijo Soemitro, dokumen pribadi atau pendapat
dari kalangan pakar hukum termasuk dalam bahan hukum sekunder ini
sepanjang relevan dengan objek kajian penelitian hukum ini.38
37
Bambang Waluyo, 2001, Penelitian Hukum Dalam Praktik, Penerbit
Sinar Grafika, Jakarta, hal. 18. 38
Ronny Hanitijo Soemitro, Op.Cit, hal. 24.
38
1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan metode
pengumpulan bahan hukum dan iventarisasi bahan hukum primer yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti kemudian diklasifikasi secara sistematis dan
tujuannya serta mengkaji isinya menurut kelompoknya sesuai dengan hirarkhi
peraturan perundang-undangan. Dimana bahan hukum sekunder dan tersier
dikumpulkan dengan cara teknik studi dokumen (study document) diperoleh
melalui penelitian kepustakaan (Library reasearch), dengan cara mengkaji isinya
secara mendalam, menelah, mengola bahan-bahan hukum leteratur, artikel
ataupun tulisan yang berkaitan dengan obyek yang akan diteliti. Penelitian
dokumen ini dilakukan dengan sistem kartu yakni dengan mencatat dan
memahami dari masing-masing bahan informasi yang didapatkan baik dari bahan
hukum primer, skunder maupun tersier menitik beratkan pada penelitian
kepustakaan (library research) dan juga bahan-bahan hukum lainya.
Jadi, teknik pengumpulan data yang akan digunakan adalah studi pustaka
atau studi dokumen yaitu mengumpulkan bahan hukum sekunder mengenai obyek
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum bersifat normative-perspektif,
dilakukan dengan cara penelusuran, pengumpulan bahan hukum sekunder
mengenai objek penelitian, baik secara konvensional maupun dengan
menggunakan teknologi informasi seperti internet, dan lain-lain.
39
1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum
Di dalam penelitian hukum normatif yang dianalisis bukanlah data,
melainkan melalui bahan hukum seperti tersebut di atas. Dengan demikian, erat
kaitannya antara metode analisis dengan pendekatan masalah. Analisis bahan
hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian ini akan dilakukan secara
interpretatif, evaluatif, argumentatif dan deskriptif.39
1. Teknik Interpretatif berupa penggunaan jenis-jenis penafsiran dalam ilmu
hukum seperti penafsiran historis, sistematis dan lain-lain. Selanjutnya bahan
Hukum tersebut dianalisis dengan menggunakan teknik evaluatif, sistematis
dan argumentatif.
2. Teknik evaluatif yaitu memberikan penilaian terhadap suatu pandangan,
proporsi, pernyataan, rumusan norma, keputusan, baik yang tertera dalam baik
dalam hukum primer maupun dalam hukum sekunder.
3. Teknik sistematif berupaya mencari kaitan rumus suatu konsep hukum atau
konsep hukum antara perundang-undangan yang sederajat maupun tidak
sederajat.
4. Teknik argumentatif tidak bisa dilepaskan dari teknik evaluasi karena
penilaian harus didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat penalaran hukum.
39
Pedoman Penulisan Usulan Penelitian dan Tesis, 2008, Program Studi
Magister Hukum, Universitas Udayana. hal. 14.
top related