alfarabi indon
TRANSCRIPT
Manusia sempurna adalah mereka yang mengetahui kebajikan secara teoretis dan
menjalankannya dalam praktik keseharian.
Kajian filsafat telah lekat dalam kehidupan Al-Farabi. Cendekiawan Muslim yang hidup di abad
ke-8 ini, pun menjelma menjadi seorang filsuf ternama di masanya. Dan kini, reputasinya tetap
tak lekang oleh masa. Al-Farabi pun dikenal sebagai ahli matematika, logika, dan tata bahasa. Di
sisi lain, pemikirannya menjangkau pula ranah pendidikan.
Ia meletakkan dasar-dasar pemikiran di bidang itu. Dalam pandangan Al-Farabi, pendidikan
merupakan media untuk mendapatkan serangkaian nilai, pengetahuan, dan keterampilan praktis
bagi individu dalam periode dan budaya tertentu. Tujuan akhirnya, membimbing individu untuk
menuju kesempurnaan.
Sebab, manusia diciptakan guna mencapai kesempurnaan. Sementara, kesempurnaan tertinggi
adalah kebahagiaan. Menurut Al-Farabi, manusia yang sempurna adalah mereka yang telah
mengetahui kebajikan secara teoretis dan menjalankannya dalam praktik keseharian.
Pendidikan, menurut Al-Farabi, harus menggabungkan antara kemampuan teoretis dari belajar
yang diaplikasikan dengan tindakan praktis. Kesempurnaan manusia, kata dia, terletak pada
tindakannya yang sesuai dengan teori yang dipahaminya.
Ilmu tidak akan mempunyai arti kecuali jika ilmu itu dapat diterapkan dalam kenyataan dalam
masyarakat. Jika tidak diterapkan maka ilmu itu tak berguna. Singkatnya, kata Al-Farabi,
seseorang menjadi sempurna jika ia mempraktikkan ilmunya dalam tataran praktis.
Lebih lanjut Al-Farabi menyatakan, saat kebajikan teoretis dan moral berpadu dengan
kekuasaan, lahirlah penghargaan masyarakat kepada individu itu. Saat kaum terpelajar
mengambil tanggung jawab kepemimpinan politik, ia yakin mereka bisa menjadi panutan.
Sebab, kaum terpelajar memiliki kebajikan teoretis dan moral praktis. Menurut Al-Farabi,
mereka menyatukan nilai-nilai moral dan estetika dalam menjalankan kepemimpinan politiknya.
Kondisi dan perilaku seperti itulah yang mestinya dimiliki kaum terpelajar dan intelektual.
Dengan pandangannya yang seperti itu, Al-Farabi menekankan terwujudnya suatu kesempurnaan
dalam ranah pendidikan. Yaitu, meleburnya pengetahuan intelektual dan perilaku yang saleh.
Saat pemimpin politik tak berada di tangan kaum terpelajar, maka akan lahir bahaya besar.
Ini sangat beralasan, kata Al-Farabi, sebab seorang pemimpin tentu harus menjalankan
kepemimpinannya dengan benar. Jadi, pendidikan itu sama seperti tubuh membutuhkan makanan
dan kapal harus memiliki kapten. Menurut Al-Farabi, para pemimpin politik harus memiliki
keterampilan untuk meningkatkan kesejahteraan suatu wilayah yang dipimpinnya. Tapi, kerja
para pemimpin politik mestinya tak terbatas pada organisasi dan manajemen wilayah.
Mereka harus mampu mendorong orang saling membantu dalam kebajikan dan mengatasi
kejahatan. Tak hanya itu, jelas Al-Farabi, mereka juga harus menggunakan keahlian politiknya
untuk melindungi praktik kebajikan. Jadi, wilayah yang dipimpinnya sarat kebajikan.
Al-Farabi mengungkapkan, di antara karakteristik pemimpin politik yang harus ada adalah
mampu dimintai pendapat. Dengan kata lain mereka mempunyai kapasitas intelektual untuk
memberi solusi yang adil dan bijak.
Tingkat keamanan suatu wilayah, menjadi cerminan keseimbangan moral. Ketika perilaku moral
masyarakat menurun, kenyamanan wilayah itu mengalami gangguan. Jadi, jelas Al-Farabi,
terciptanya moral yang baik juga merupakan bagian mendasar dari penyelenggaraan pendidikan.
Al-Farabi menyimpulkan, pendidikan yang berhasil sangat berkorelasi dengan kondisi moral
yang baik. Terkait soal moral ini, ia mendefenisikan moral sebagai keadaan pikiran tempat
manusia melakukan perbuatan yang baik. Juga, memiliki sifat etis atau rasional.
Selain mengaitkan pendidikan dengan kepemimpinan politik dan kondisi moral masyarakat, Al-
Farabi juga menegaskan pembuatan hukum pun memiliki kaitan erat dengan pendidikan. Ia
menilai bahwa pembuat hukum juga bisa dianggap sebagai penguasa.
Terkait masalah hukum, Al-Farabi mengatakan, hukum harus mempunyai fungsi pendidikan.
Artinya, pembuat hukum harus taat hukum. Dengan demikian, menaati hukum bukan hanya
diwajibkan kepada masyarakat baik awam maupun intelektual.
Di sisi lain, pembuat hukum juga mestinya merupakan figur-figur yang memiliki moral terpuji.
Menurut Al-Farabi, pembuat hukum harus terikat dengan hukum yang dibuatnya, sebelum
mereka mengharapkan orang lain menaati dan menjalankan hukum yang dibuatnya itu.
Masyarakat, jelas Al-Farabi, tak akan mengikuti hukum jika para pembuat hukum sendiri
mengabaikannya. Singkatnya, hukum memiliki fungsi pendidikan karena mengarah pada upaya
penanaman kebajikan di dalam masyarakat.
Untuk tujuan itu, ungkap Al-Farabi, para pembuat hukum harus telah mendapatkan pelatihan
sejak dini dalam urusan negara dan tujuan pembuatan hukum harus sesuai ketentuan Allah SWT.
Menurut dia, para nabi merupakan perintis praktik hukum.
Sedangkan fungsi khalifah, jelas Al-Farabi, adalah memainkan peran pendidik yang sebelumnya
dilakukan oleh para nabi. Dalam pemikirannya tentang pendidikan, ia pun menekankan agar
kaum terpelajar tak hanya berdiam di menara gading.
Mestinya, mereka tak terbuai oleh pemikiran-pemikiran yang tak membumi. Menurut Al-Farabi,
mereka mestinya mampu mengamalkan segala hasil pemikirannya untuk memecahkan masalah
dan mewujudkan kemajuan bagi masyarakatnya, di tempat mereka tinggal dan hidup.
Tak heran jika Al-Farabi menyatakan, kesempurnaan teoretis dan praktik dari pengetahuan yang
dimiliki seseorang hanya bisa diperoleh dalam masyarakat. Sebab, kehidupan di suatu
masyarakatlah yang bisa membuat seseorang mempraktikkan ilmunya.
Bila kaum terpelajar memutus sama sekali kaitan dengan masyarakat dan berada di luar mereka,
ujar Al-Farabi, maka kemungkinan mereka hanya belajar untuk menjadi sosok yang liar tanpa
kendali. Dalam konteks ini, ia ingin mewujudkan masyarakat ideal melalui pendidikan.
Al-Farabi memasukkan pula seni sebagai salah satu mata pelajaran yang harus diajarkan dalam
proses pendidikan. Ia menilai, kesempurnaan dalam teori dan praktik seni merupakan salah satu
ekspresi kebijaksanaan. Sebab, ungkap Al-Farabi, orang bijak adalah mereka yang sangat mahir
dalam bidang seni dan mencapai kesempurnaan di dalamnya. Ia menambahkan, pendidikan juga
harus mampu menggali bakat alami yang dimiliki seseorang.
Optimalisasi indera juga mendapatkan perhatian Al-Farabi. Bukan tanpa alasan ia mengatakan
hal demikian. Menurut Al-Farabi, indera merupakan perangkat awal menangkap ilmu
pengetahuan. Lalu, pengetahuan itu diubah menjadi konsepsi intelektual melalui imajinasi.
Menurut Al-Farabi, jiwa memahami apa pun yang mengandung unsur imajinasi. Ia menjelaskan,
meski indera berkaitan dengan pengetahuan, namun indera hanya salah satu instrumen untuk
menyerap pengetahuan. Akal manusialah yang memiliki potensi pemahaman. ed: ferry
Metode Pengajaran Al-Farabi
Bagi Al-Farabi, pendidikan merupakan kebutuhan setiap individu. Tanpa pendidikan, seseorang
tak dapat mencapai kesempurnaan dan kebahagiaan hidup. Dengan demikian, pendidikan harus
tersedia bagi semua orang tanpa memandang strata sosial mereka.
Namun, metode pengajaran dalam pendidikan harus disesuaikan menurut kelompok tertentu. Al-
Farabi mengatakan, ada dua metode dasar pendidikan. Pertama adalah metode yang disesuaikan
untuk rakyat biasa dengan langkah persuasif.
Menurut Al-Farabi, metode persuasi merupakan metode membujuk pendengar dengan hal-hal
yang logis dan memuaskan pikirannya tanpa mencapai kepastian. Bujukan akan tercapai ketika
pendengar melakukan hal-hal yang dia yakini adalah benar.
Dalam praktiknya, metode persuasif dapat dilakukan melalui pidato dan kegiatan bersama-sama
antara guru dan murid. Metode persuasif cocok untuk mengajarkan mata pelajaran seni dan
kerajinan.
Sedangkan, metode kedua adalah demonstratif. Pengajaran dengan metode kedua ini dapat
dilakukan melalui pidato. Dengan metode ini, jelas Al-Farabi, guru berpidato untuk
menerangkan mata pelajaran yang diajarkannya, seperti mengajarkan teori-teori tentang
kebajikan dalam masyarakat.
Selain itu, Al-Farabi juga mengikuti model yang pernah diajarkan oleh filsuf Yunani, Plato. Ia
menggunakan metode dialog atau perdebatan. Ia menekankan pula pentingnya diskusi dan dialog
dalam pengajaran. Dalam konteks ini, ia memperkenalkan dua hal baru, yaitu argumen dan
wacana.
Metode wacana dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan ilmiah tentang suatu
hal. Lalu, orang-orang akan didorong untuk memecahkan masalah ilmiah tersebut. Sedangkan,
metode argumen digunakan untuk memenangkan debat atas lawan bicara.
Bahkan, metode ini juga bertujuan agar lawan bicara memercayai gagasan yang sebelumnya
mereka tolak. Al-Farabi mengungkapkan, metode argumen cocok untuk mengajar orang-orang
yang keras kepala. Untuk mengajar masyarakat umum, sebaiknya gunakan metode yang paling
dipahami. Al-Farabi menuliskan semua metode pengajaran tersebut dalam bukunya yang
berjudul Al-Alfaz. meta, ed:ferry
Bahagian 2
Pendidikan bagi al-Farabi adalah sesuatu yang pantas diperjuangkan. Ia
menyatakan hal ini dilatarbelakangi oleh situasi dan kondisi tempatnya yang
masih peduli pada hal-hal mitis dan yang selalu menghindari aspek
pengetahuan akal budi. Di sini, budaya Islam juga sangat kental
mempengaruhi. Dalam usaha ingin memperbaiki keadaan negrinya ia
melahirkan suatu ide tentang pendidikan yang didasarkan oleh filsafat Plato
dan Aristoteles. Maka, al-Farabi dengan mengikuti filsafat mereka mencoba
memperkenalkan metode yang menurutnya mampu membawa bangsanya
keluar dari pandangan sempitnya ini dan kemudian bisa menemukan realitas
yang sesungguhnya.
Tujuan dasar pendidikan al-Farabi adalah untuk mencapai kesempurnaan
hidup yang dimaknai dengan kebahagiaan yang akan didapatkannya. Usaha
untuk mencapai tujuan ini adalah dengan keberanian akan keterbukaan.
Dengan keberanian tersebut, manusia dapat bergulat dalam hidup sehingga
itu akan membawanya pada kemampuan untuk melihat realitas yang
sesungguhnya. Hal ini juga akan membawanya pada pencerahan yang bila
dikembangkan mampu mengantarnya kepada kesempurnaan. Al-Farabi
sangat menginginkan bangsanya bisa menemukan realitas yang
sesungguhnya dan karenanya ia membuat suatu konsep pendidikan menurut
paradigma Islam. Konsep ini merupakan suatu kesatuan antara yang teoritis
dan praktis yang mampu menguak kebenaran yang sesungguhnya. Kesatuan
yang teoritis dan yang praktis dalam filsafat al-Farabi adalah kesatuan
antara yang demonstratif dan yang persuasif. Al-Farabi dengan filsafatnya
mencoba menguraikan kedua hal ini dan mengajak kita untuk hidup dengan
kedua posisi ini yang tentunya jika dituang ke dalam tindakan sebaiknya
disesuaikan dengan konteks.
Maka dengan paper ini penulis akan menjabarkan dan menjelaskan filsafat
pendidikan al-Farabi yang sarat akan filsafat Plato dan Aristoteles. Penulis
akan mencoba menjelaskan ke dua metode al-Farabi, yaitu demonstratif dan
persuasif, dalam bab mengenai metode pembelajaran. Kemudian akan
dilanjutkan pemahaman pendidikan filsafat yang berisi mengenai pentingnya
pendidikan filsafat dan teologi agar anak didik mendalami akal budi,
moralitas, dan iman. Dalam bab selanjutnya mengenai tujuan pendidikan
akan dipaparkan mengenai usaha yang mau diwujudkan oleh al-Farabi.
Kemudian dalam makna pembelajaran, penulis akan memberikan masukan
mengenai makna yang ingin diusahakan, hukuman bagi yang melanggar
kesepakatan, dan sisi rekreatif dari pendidikan al-Farabi. Di akhir penulis
akan memberikan tanggapan kritis atas filsafat pendidikan al-Farabi ini.
SEKILAS TENTANG AL-FARABI
Al-Farabi terlahir dari keluarga bangsawan di provinsi Farab di Turkestan
pada 872 SM tepatnya di Wasij. Ayahnya berasal dari Persia dan ia
merupakan komandan angkatan Darat Turki. Ketika bersekolah, ia pindah ke
Baghdad dan di sana ia belajar grammar, logika, filsafat, musik, matematika,
dan ilmu alam. Ia merupakan murid dari Abu Bishr Matta b. Yunus, seorang
penerjemah dan penafsir filsafat Yunani di Baghdad. Kemudian ia
melanjutkan studinya kepada Yuhanna b. Haylan, seorang Nestorian di
Harran . Dalam masa studinya ini ia bergabung dengan sekolah Alexandria
yang sangat menekankan filsafat Aristoteles.
Pada 943 SM, ia pindah ke Aleppo dan menjadi bagian dari kelompok
literatur. Al-Farabi memiliki keinginan besar untuk memahami jagad raya
serta isinya, termasuk manusianya. Maka untuk mengetahui hal-hal tersebut
ia harus meraih intelektual secara komprhensif mengenai dunia dan
masyarakat. Untuk mewujudkannya ia dengan teliti dan tekun belajar
mengenai filsafat kuno, terutama Plato dan Aristoteles. Dalam
pemahamannya lebih lanjut filsafat yang ia pelajari ia kembangkan dan
kontekstualkan dengan dunia Islam yang menurutnya perlu dikembangkan
menjadi lebih terbuka dan beradab.
Dalam filsafat pendidikannya ia sering dikatakan filsuf tabu karena ia
memperkenalkan pendidikan yang helenistik dalam dunia islam. Ia
memperkenalkan logika demonstratif yang dengannya dasar sosial dan
pendidikan diilustrasikannya sebagai formasi atas kesadaran politis dan
pikiran. Walaupun begitu, ia tetap bertahan pada pandangannya. Ia merasa
pandangannya dapat mengubah cara pandang orang-orang Arab untuk
dapat menjadi lebih kritis, terbuka, dan bertanggung jawab.
TUJUAN PENDIDIKAN
Tujuan pendidikan dalam filsafat Al Farabi adalah untuk mencapai
kesempurnaan dan kebahagiaan. Untuk itu tugas pendidikan adalah
mempersiapkan manusia sebagai anggota yang siap terjun ke masyarakat .
Persiapan ini dimulai sedari kecil sehingga di masa dewasa ia akan punya
tabiat baik terutama dalam meraih kesempurnaan dan juga tujuan-tujuan
yang dibuatnya. Pendidikan semacam ini, menurut al-Farabi, penting untuk
jiwa manusia. Keseluruhan aktvitas pendidikan, dalam perspektif Al Farabi,
merupakan peraihan nilai-nilai, pengetahuan intelektual dan keterampilan
praktis, yang kemudian harus dikembangkan pada tujuannnya yaitu
membawa manusia kepada kesempurnaan.
Dengan peraihan kesempurnaan, kemanusiaan tidaklah bisa dilupakan.
Salah satu contoh adalah pencapaian kebahagiaan di dunia ini merupakan
pencapaian tujuan di mana kebahagiaaan merupakan kesempurnaan
tertinggi dan didalamnya terdapat proses memandang sesamanya secara
manusiawi. Kesempurnaan manusia, menurutnya, adalah proses akhir dalam
meraih nilai-nilai teoritis atau pengetahuan intelektual dan nilai-nilai praktis
atau tingkah laku bermoral. Dengan usaha pencapaian kedua hal ini, individu
akan bisa masuk ke dalam masyarakat dengan menjadi anggota
masyarakat. Individu yang kental dengan sifat ini akan bisa menjadi teladan
dan kemudian bisa menjadi seorang pemimpin. Pendidikan semacam ini juga
menyangkut moral dan estetika. Hasil yang dicapai adalah satu yaitu
kebahagiaan dan kebaikan. Kesempurnaan teoritis dan praktis di sini diraih
di dalam masyarakat karena pemahaman kebebasan manusia itu ada
setelah masyarakat. Individu memang tidak pernah berdiri sendiri melainkan
mengandaikan bimbingan orang lain.
Tujuan lain dari filsafat pendidikan al-Farabi adalah pembentukan pemimpin-
pemimpin politik yang handal . Dalam menuju keutuhan masyarakat
memang tidak salah lagi bila dibutuhkan seorang pemimpin semacam itu.
Masyarakat atau kehidupan sosial dalam konteks al-Farabi ada karena terjadi
integrasi antara individu, keluarga, dan kelompok. Pemimpin politik memiliki
fungsi sebagai dokter yang menyembuhkan jiwa sehingga dengan
kepemimpinannya jiwa masyarakat akan selalu sehat. Seorang pemimpin
diusahakan mampu menyemangati masyarakatnya untuk dapat menolong
satu dengan yang lain. Terutama dalam meraih sesuatu yang baik dan
menghindar dari yang jahat. Kemampuan politisnya harus digunakan untuk
menjaga nilai-nilai yang mampu mengembangkan masyarakat.
Kesempurnaan masyarakat al-Farabi dapat terjadi bila ada keseimbangan
moral di antara setiap masyarakat. Ketika tingkah laku moral menurun dan
tidak ada kepercayaan terhadap pemimpin maka masyarakat akan menuju
kepada kehancurannya. Maka, moralitas di sini menjadi dasar objektif dari
pendidikan. Dengan adanya moralitas, negara bisa bertahan dan
mewujudkan dirinya. Keutamaan moral, oleh al-Farabi, didefinisikan sebagai
keadaan dalam pikiran yang dengannya manusia mampu melahirkan
tindakan-tindakan yang sopan dan santun. Dalam filsafat al-Farabi
pendidikan dijadikan proses untuk mengkombinasikan yang teoritis dan
praktis tersebut. Kesempurnaan dari hal-hal tersebut merupakan tujuan
akhir di mana kebahagiaan juga eksis.
Untuk menerapkan filsafatnya dalam kehidupan sehari-hari, al-Farabi
membagi tugas terhadap beberapa figur masyarakat. Misalkan seorang
imam, ia memiliki tanggung jawab besar dalam pendidikan ini. Imam adalah
orang yang dihormati dan diteladani maka dari itu imam memegang peranan
mendidik. Kotbah sang imam harus seputar kesempurnaan moralitas, yaitu
kesatuan teori dan praktek. Juga, pendidikan merupakan tanggung jawab
negara sehingga negara berperanan dalam budget pendidikan. Oleh al-
Farabi, budget pendidikan dalam negara diambil dari sebagian zakat dan
kharaj (pajak tanah) .
METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran al-Farabi tercipta dengan mengacu pada tujuan itu
sendiri, yaitu untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Tujuan ini
dicapai bukan untuk kebutuhan pribadi semata melainkan untuk terciptanya
masyarakat yang islami. Maka, dengan melihat ini al-Farabi percaya bahwa
metode pembelajaran dengan metode instruksi dapat dikatakan sebagai
metode yang baik untuk diterapkan kepada orang-orang. Namun, metode ini
tidak begitu saja bisa diajarkan ke semua orang, melainkan ada levelnya
yaitu level orang-orang biasa dan orang elit. Bagi orang-orang biasa, dasar
metodenya adalah persuasif dan bagi orang elit adalah demonstratif.
Dalam metode demonstratif, anak didik diajak untuk mencapai nilai-nilai
teoritis. Prosesnya dijalankan dengan melakukan “instruksi oral ’ misalnya
dengan kegiatan speech . Al-Farabi juga menekankan pentingnya diskusi dan
dialog dalam metode instruktif. Metode ini digunakan agar anak didik
mampu meraih pemahaman yang sebenarnya. Al-Farabi dengan metode ini
sangat mengikuti Plato di mana ia ingin anak didiknya mendapatkan
penerangan akan realitas yang sebenarnya. Ia tidak ingin setiap manusia,
terutama dalam dunia Islam , tidak mampu melihat realitas an sich. Maka
dengan begitu pemahaman dan pengertian sangat ditekankan dan menjadi
metode yang pasti untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan. Konsep
yang logis dan universal merupakan tantangan metode ini karena tanpa
kedua karakter tersebut pengetahuan tidak bisa memberikan pencerahan.
Metode ini juga tidak begitu saja bisa diterima melainkan harus ada bukti-
bukti yang mendukung agar pengetahuan yang didapat bisa dipercaya dan
diikuti.
Pencapaian nilai-nilai seni dan moral merupakan ciri dari model persuasif.
Model ini merupakan metode yang mengajak atau mempengaruhi orang
tanpa butuh kepastian pengetahuan atau tanpa diharuskannya ada bukti-
bukti yang mendukung. Persuasi akan berjalan bila orang yang dipengaruhi
merasa senang dan puas. Intinya jiwa orang tersebut dapat merasakan dan
membayangkan sesuatu yang baik, dimensi afektif sangat ditekankan di sini.
Metode instruksi al-Farabi memiliki dua aspek yaitu model audisi dan model
imitasi . Dalam model audisi, anak didik belajar dengan didasarkan pada
kemampuan berbicaranya yang disertai dengan pemahaman dan
pengertiannya akan realitas sedangkan model imitasi adalah dengan
mengamati gerak-gerik orang lain dahulu dan kemudian menirunya. Konsep
ini memiliki arti hanya untuk meniru hal-hal yang baik dan yang
mengembangkan sikap berbakti.
Untuk meraih kesempurnaan dari metode yang dibuatnya ini, al-Farabi
sangat menekankan kebiasaan. Kebiasaan yang mengakar akan menjadikan
anak didik semakin mengerti akan isi pembelajaran yang diberikan oleh para
instruktor. Nilai-nilai etis juga digapai dengan melakukan kebiasaan dan
repetisi sehingga nilai-nilai ini dapat tertanam dengan kuat di dalam pikiran.
Dengan demikian, anak didik diharapkan dapat bertingkah laku bermoral.
Model pengulangan juga mungkin dalam mengajarkan seni di mana
kebiasaan yang akan dikembangkan adalah kemampuan berbicara yang
persuasif, afektif, dan reflektif. Metode kebiasaan seperti ini baik diterapkan
kepada orang-orang yang kurang taat karena dengan mengajak mereka
membiasakan diri berpikir dan bertingkah laku yang baik akan ada
kemungkinan mereka akan kembali ke jalan yang benar. Al-Farabi
menyatakan bahwa untuk mengubah orang dengan membiasakannya pada
sesuatu yang baik itu mungkin.
PENDIDIKAN FILSAFAT
Dalam sistem pembelajarannya, al-Farabi menekankan pendidikan filsafat
untuk semua orang. Ini dimaksudkan agar pikiran semua orang dapat
terbuka terhadap berbagai fenomena di dunia ini sehingga memampukan
mereka untuk menginterpretasikan fenomena tersebut dengan kritis,
terbuka, dan bertanggung jawab. Al-Farabi menempatkan pendidikan filsafat
sebagai bentuk pembelajaran yang tertinggi karena pendidikan tersebut
membawa manusia pada bentuk kehidupan yang lebih tertata, entah dalam
tataran tindakan maupun pemikiran. Filsafat juga memampukan manusia
untuk mencari dan menemukan sesuatu yang terbaik bagi dirinya dan bagi
komunitasnya. Hasil yang dicapai jika proses ini tercapai adalah
kebahagiaan. Jika manusia telah mencapai titik ini maka jiwanya telah naik
ke level yang lebih tinggi yaitu level manusia yang rasional. Dalam level ini
dua elemen eksistensi manusia bertemu yaitu elemen biologis dan natural
serta elemen intelektual dan spiritual.
Dalam filsafatnya juga, al-Farabi menyertakan dua metode yang berbeda,
yaitu (a) metode turunan yang diawali dari sebab (the One) dan diakhiri
dengan akibat (the world of senses). Metode ini terdapat dalam buku On the
Views of the People of the Ideal City. Sedangkan yang lainnya adalah (b)
metode naikan yang diawali dengan akibat dan diproses menjadi sebab.
Metode yang kedua ini terdapat dalam bukunya Politics .
Kurikulum dalam pendidikan al-Farabi disusun sedemikian rupa dari yang
ringan hingga yang rumit atau dari yang sekular sampai ke yang religius.
Kurikulum awal pendidikan tersebut adalah bahasa, kemudian dilanjutkan
dengan logika, matematika, ilmu alam, ilmu politik, fiqh, hukum, dan teologi
(kalam) . Dengan urutan kurikulum yang semacam ini, anak didik diharapkan
mampu berkembang dalam akal budi, moralitas, dan iman. Ia akan
menguasai ilmu yang ada di dunia ini namun ia tidak lupa akan pencipta dari
ilmu tersebut.
MAKNA PEMBELAJARAN
Perhatian utama al-Farabi dalam memaknai pembelajaran adalah untuk
pengklasifikasian, pemahaman, dan penyadaran manusia akan arti hidup .
Dia merekomendasikan bahwa manusia dalam pengklasifikasian,
pemahaman, dan penyadaran ini dapat menggunakan observasi visual. Hal
ini dimaksudkan agar manusia dapat mengerti relaitas sesuai dengan
jangkauan inderanya. Dalam menuju abstraksi dari observasi visual, anak
didik terlebih dahulu diajak untuk mendefinisikan sesuatu yang ditangkapnya
dan kemudian anak didik diminta untuk menjelaskan dengan seksama
sesuatu tersebut dengan menggunakan ilustrasi atau semacamnya. Yang
jelas, anak didik mendapatkan makna dalam pembelajaran yang memang
membutuhkan proses yang rumit dan lama.
Untuk menuju pencapaian makna pembelajaran yang maximal namun tidak
membuat anak didik stress dan putus asa maka al-Farabi memberi perhatian
kepada rekreasi yang mendukung yaitu dengan permainan atau penceritaan
kisah-kisah yang menarik. Tujuan dari rekreasi ini adalah untuk membuat
mereka menerima sisi humor dari kehidupan. Dengan sistem pembelajaran
yang ketat dan berat dan kemudian diimbangi dengan rekreasi yang
mendukung adalah usaha untuk membuat anak didik tidak sampai pada
kelelahan atau kejenuhan yang berlebih. Dalam proses ini makna yang ingin
ditarik adalah bahwa anak-anak didik dalam menanggapi dunia tidak
diharapkan menganalisisnya dengan sesuatu pengetahuan teoritis yang
tinggi melulu atau dengan tingkah laku praktis yang emosional melainkan
mampu bersikap kreatif, yaitu mampu mengkondisikan diri berdasarkan
waktu dan ruang yang ada. Dalam hal ini anak didik diharapkan tahu kapan
ia menganalisis, mempersuasikan, ataupun berada ditengahnya.
Al-Farabi juga berbicara mengenai hukuman dalam filsafat pendidikannya di
mana dengan hukuman anak didik suatu ketika dapat mengerti makna
pembelajaran yang diberikannya. Seorang guru menurutnya tidak boleh
terlalu keras dan juga tidak boleh terlalu lembut. Jika ia terlalu keras maka
anak-anak didiknya akan memusuhinya dan jika ia terlalu lembut maka
anak-anak didiknya akan menjadi pemalas dan mereka tidak akan menaruh
perhatian pada pelajaran sang guru. Maka posisi sang guru harus berada di
tengah atau bersikap moderat. Posisi menjadi guru memang rumit tetapi ini
dibutuhkan agar menghasilkan anak yang beguna untuk masyarakat yang
akan mampu mengendalikan negara yang didiaminya. Oleh karena itu
tindakan seorang guru harus benar-benar diperhitungkan apakah tindakan
yang dibuatnya itu patut diteladani atau tidak. Hukuman yang diberikan
sebaiknya tidak terlalu membahayakan dan mampu mengajak anak didik
untuk berpikir reflektif terhadap kesalahan yang telah ia buat. Hukuman
sebaiknya tidak mendeskriditkan atau menjatuhkan jiwa anak didik
melainkan mengembangkannya untuk berpikiran kreatif dan maju ke depan
dengan sesuatu yang positif. Kemudian, seorang guru juga perlu tegas. Hal
ini dibutuhkan untuk pendisiplinan anak didik. Dengan ketegasan seorang
anak didik akan mendapatkan kepastian pembelajaran sehingga tidak
membuat mereka berperilaku menyimpang. Guru yang kurang tegas akan
memberi peluang anak didik berbuat yang kurang baik dalam proses belajar
mengajar.
TANGGAPAN KRITIS
Setelah mendalami dan memahami fisafat al-Farabi ternyata ia adalah orang
yang cemerlang. Cemerlang di sini dalam arti ia berani untuk bersikap dan
bertanggung jawab terhadap kondisi zamannya dengan menciptakan suatu
pendidikan yang berguna untuk menciptakan masyarakat yang bermutu.
Filsafat helenis memang pada saat itu merupakan filsafat yang bertentangan
dengan kebudayaan dan tradisi Islam namun al-Farabi berani membawanya
dan kemudian mengintegrasikan filsafat tersebut dalam konteks Islam.
Penekanan pendidikan dalam filsafat al-Farabi adalah akal budi. Di sini akal
budi lebih dikembangkan ketimbang emosional. Pencapaian dengan akal
budi akan membawa pencerahan yang murni dan itu mampu membawa
manusia melihat realitas yang sesungguhnya, tentunya dengan ada cukup
bukti. Namun, indahnya filsafat al-Farabi ini tidak berhenti pada akal budi
saja melainkan dikembangkan bersama dengan moralitas dan iman.
Pengetahuan tidak bisa berdiri begitu saja tanpa ada moralitas dan agama.
Di sinilah kekuatan dan ciri khas dari al-Farabi di mana pengetahuan bukan
sesuatu mutlak yang harus diraih melainkan terintegrasi dalam hasil akhir
yaitu kesempurnaan dan kebahagiaan. Maka dari itu, walaupun filsafat ini
merupakan filsafat zaman antik namun sepertinya filsafat pendidikan seperti
ini masih perlu dikembangkan di zaman sekarang ini. Kesatuan antara yang
teoritis dan praktis memang perlu diwujudnyatakan bersamaan dengan iman
dan pengharapan.
John locke
Demi mempersiapkan diri sebagai “manusia”, manusia harus melalui proses
pembelajaran. Berbeza dengan haiwan, manusia perlu menjalani proses pembelajaran
untuk mencapai ke arah tersebut. Haiwan adalah sebaliknya, ketika ia dilahirkan ia
sudah dilengkapi dengan kepandaian-kepandaian untuk hidup. Itik sebagai contoh
apabila baru menetas dari telur, setelah beberapa waktu, tanpa perlu belajar lagi, akan
sudah mampu untuk berenang.
Demikian juga pada anak-anak burung, tanpa perlu belajar mereka kemudian akan
mampu untuk terbang. Anak burung ini juga tahu apa yang harus mereka makan dan
apa yang harus mereka tolak jika diberikan makanan yang bukan makanan burung.
Keadaan ini berbeza dan berlainan daripada kehidupan manusia. Manusia lahir
sebelum mampu untuk berbuat banyak perkara. Manusia perlu belajar untuk berjalan,
perlu belajar untuk makan, perlu belajar untuk mengenal perkara baik dan buruk dan
sebagainya. Oleh kerana itulah, manusia boleh dapat dianggap sebagai mahkluk yang
akan sentiasa berkembang oleh kerana perlunya manusia kepada proses pembelajaran
ini. Haiwan pula akibat daripada kejadiannya yang sudah dipersiapkan oleh alam,
akan jauh ketinggalan di belakang kewujudan manusia.
Oleh yang demikian, kehidupan manusia dapat didefinisikan sebagai satu proses
perubahan yang berterusan. Daripada bayi, ke dewasa dan seterusnya sehingga ke
akhir hayat manusia akan sentiasa berubah hasil daripada pelbagai faktor antaranya
seperti yang dinyatakan di atas iaitu faktor pembelajaran. Dengan pembelajaran,
manusia mampu mendapatkan autonomi terhadap dirinya sekaligus mampu memiliki
autoriti terhadap alam supaya dapat dikawal dibawah pemikirannya.
2.0 Konsep pembelajaran
Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai perubahan tingkah laku kesan daripada
pengalaman seseorang manusia. Menurut pendapat John Lockes pula, beliau
menegaskan bahawa minda manusia hanya mampu memiliki ilmu pengetahuan hasil
daripada pancaindera yang seterusnya akan dicetak didalam minda manusia yang
sebelum ini umpama sekeping kertas yang tidak mempunyai apa-apa tulisan diatasnya
atau apa yang beliau gelarkan sebagai “tabula rasa”.
Oleh yang demikian dapat dirumuskan bahawa pembelajaran amat berkait rapat
kepada pengalaman dan pancaindera. Keduanya saling berhubung untuk
membolehkan manusia mengalami suatu proses perubahan tingkah laku dan demi
mendapatkan proses perubahan daripada “ke-tidak-sedaran” manusia menuju kepada
“kesedaran”. Sebagai contoh, seorang pelajar yang mengikuti sistem berorientasikan
kepada peperiksaan semata-mata mungkin akan menggunakan segenap
pancainderanya untuk mendapatkan keputusan yang cemerlang didalam peperiksaan.
Sekiranya pelajar tersebut rajin dan fokus didalam pembelajarannya, maka pasti ia
berjaya melakukannya.
Di sini ternyata pembelajaran yang dilakukan mampu untuk mendapatkan perubahan
tingkahlaku kepada pelajar tersebut iaitu daripada “tidak-tahu” kepada “tahu”. Namun
akibat kurangnya diberikan pendedahan kepada dunia realiti sebenar (pengalaman),
mungkin pelajar tersebut akhirnya setelah mendapatkan ijazahnya akan terus
melanjutkan hidupnya didalam dunia pekerjaan tanpa menghiraukan sifat kemanusiaan
yang ada pada dirinya untuk memikirkan tentang hal kemanusiaan.
Pelajar ini yang kurang diberikan pendedahan yang memberangsangkan tentang hal
kemanusiaan boleh dikatakan sebagai contoh pelajar yang tidak mengalami proses
menuju kepada “kesedaran” yang sepatutnya turut dijadikan sebagai aspek penting
dalam pembelajaran. Di dalam buku Siddharta karya Herman Hesse ada menyebutkan
bahawa Ilmu pengetahuan dapat diajarkan, tetapi kebijaksanaan adalah tidak.
Kebijaksanaan hanya datang daripada pengalaman.
Oleh kerana itu, demi menghuraikan konsep pembelajaran secara mendalam,
kebanyakan ahli psikologi telah membezakan pembelajaran kepada dua kategori yang
luas iaitu pembelajaran kognitif-persepsi dan pembelajaran tingkah laku.
Pembelajaran kognitif-persepsi
Didalam pembelajaran kategori ini ia melibatkan proses pembelajaran yang bergantung
kepada operasi mental. Antaranya seperti pembelajaran yang menggunakan
pendekatan berfikir secara mendalam dalam menyelesaikan masalah dan pencarian
pelbagai sumber maklumat untuk memahami serta mendapatkan sesuatu ilmu
pengetahuan.
Pembelajaran tingkah laku
Ia bermaksud perubahan tingkah laku yang tahan lama disebabkan oleh pengalaman
lampau yang dialami oleh setiap manusia. Akibat daripada pengalaman yang berlaku ke
atas seseorang itu, manusia memperolehi maklumat, celik akal, kemahiran, kebiasaan
dan seumpamanya (perubahan tingkah laku). Setiap pengalaman baru yang dialami,
manusia akan mampu bertindak dalam cara yang berbeza berbanding sebelumnya.
3.0 Teori pembelajaran dalam perlaksanaan pengajaran
Teori diibaratkan sebagai tulang belakang kepada segala usaha pencarian oleh para
pengkaji demi mendapatkan maklumat terhadap sesebuah kajian. Menurut Kamus
Dewan Edisi Ke-4 pula, teori didefinisikan sebagai sebuah pendapat yang masih
bersifat andaian yang dikemukakan untuk menerangkan sesuatu perkara. Oleh yang
demikian, penggunaan teori tidak terhad kepada para pengkaji semata-mata.
Sebaliknya, dalam tidak sedar, setiap manusia telah mengaplikasikan teori dalam
kehidupan seharian bagi berusaha memahami dan menyelami diri dan tingkah laku
orang lain.
Di dalam pembelajaran, guru memainkan peranan penting bagi memudahkan
pembelajaran para pelajar. Untuk memenuhi tugas ini, pengajar atau guru bukan sahaja
harus dapat menyediakan suasana pembelajaran yang menarik dan harmonis, tetapi
mereka juga perlu menciptakan pengajaran yang berkesan. Maka di sini lah perlunya
peranan guru untuk memikirkan sebuah bentuk teori pembelajaran yang sesuai bagi
memudahkan pembelajaran tersebut.
Teori pembelajaran dapat didefinisikan sebagai penjelasan tentang proses, prinsip dan
hukum pembelajaran yang dihasilkan melalui kajian saintifik. Melalui teori pembelajaran
ini, ia berperanan untuk menjelaskan bagaimana konsep pembelajaran dapat dilakukan
dan juga dapat dijadikan asas pembentukan strategi pengajaran untuk diaplikasikan
oleh para pendidik dan juga guru.
Mengikut sejarah, kajian tentang teori pembelajaran telah dihuraikan secara mendalam
sejak kurun ke-18 lagi. Kajian ini telah diusahakan oleh pelbagai pelopor yang terdiri
daripada pelbagai ahli psikologi dan juga ahli falsafah. Teori pembelajaran tersebut
akhirnya telah dipecahkan kepada pelbagai mazhab atau aliran dan seterusnya
dijadikan sebagai rujukan utama oleh para pendidik dan guru dalam melaksanakan
usaha pengajaran.
Antara persamaan yang dihasilkan oleh ahli psikologi dan juga ahli falsafah terhadap
teori yang dicipta adalah setiap kajian tersebut memiliki penjelasan tentang proses yang
dilakukan, prinsip dan juga hukum pembelajaran dalam usaha merangka teori
pembelajaran. Berikut adalah beberapa mazhab teori pembelajaran yang terkenal dan
sering digunapakai hampir di seluruh dunia.
3.1 Teori Behaviouris
Pendekatan jenis ini juga dikenali sebagai kefahaman terhadap tingkah laku.
Pendekatan ini menekankan kepada tingkah laku yang boleh diperhati dan diukur
terhadap objek kajiannya iaitu manusia. Ini juga bererti bahawa pendekatan jenis ini
menolak kajian terhadap proses mental manusia sebaliknya kajian dilakukan hanya
terbatas kepada pengamatan tingkah laku.
Tegasnya, pendekatan ini menekankan peranan persekitaran sebagai penentu kepada
tingkahlaku manusia. Berbeza dengan aliran lain yang akan dibincangkan dibawah,
behaviourisme menyatakan bahawa proses mental tidak boleh dikaji secara saintifik
kerana ianya tidak dapat dilihat, diukur dan bersifat relatif. Oleh yang demikian, usaha
untuk mengkaji mental secara objektif adalah mustahil. Oleh kerana itulah, tumpuan
pengajaran harus diberikan sepenuhnya kepada tingkah laku yang dapat diperhatikan.
Disebabkan teori behaviouris telah menyingkirkan aspek proses mental dalam
perlaksanaan teori pembelajarannya, maka ada beberapa pendapat mengatakan
bahawa teori behaviouris adalah “ilmu jiwa tanpa jiwa”. Ini kerana teori ini telah
menyingkirkan sisi psikologi manusia yang kompleks dan sebaliknya hanya
berpandukan kepada tingkah laku manusia yang berbeza-beza mengikut lingkungan
budayanya.
Ini juga dapat dibuktikan apabila kebanyakan pelopor teori ini telah mencipta teori
behaviouris berdasarkan pemerhatian mereka terhadap binatang seperti anjing, tikus,
burung dan kucing. Berdasarkan pemerhatian ini pula, pelopor ini cuba menyerapkan ia
kepada tingkahlaku manusia untuk dijadikan bahan kajian saintifiknya. Ternyata ia
memiliki falasi yang jelas bermula sejak awal lagi. Oleh kerana itulah, kebanyakkan
penganut teori ini kini tidak lagi mengambil pandangan ekstrim behaviourisme yang
menafikan sisi psikologi manusia, sebaliknya mereka juga telah memberi pertimbangan
terhadap proses mental yang menyumbang kepada perubahan tingkah laku.
Antara tokoh yang melibatkan diri dalam kajian terhadap teori behaviourisme adalah
seperti Ivan Pavlov (1849 – 1936), John B. Watson (1878 – 1958), B. F. Skinner (1904
– 1990), dan Edward L. Thorndike ( 1874 – 1949).
3.2 Teori Kognitivis
Bagi bertindakbalas terhadap pendekatan behaviourisme yang terlalu ketat, pendekatan
kognitif telah tumbuh dan berkembang bagi menjadi anti-tesis terhadap pendekatan
seperti itu. Bagi ahli psikologi kognitif, mereka melihat manusia bukan sebagai
penerima pasif rangsangan daripada persekitaran, sebaliknya manusia adalah aktif
dalam mencari pengalaman, mengubah dan membentuk pengalaman, dan
menggunakan proses mental untuk mengubah maklumat berdasarkan kepada
perkembangan kognitif.
Dengan demikian, teori pembelajaran kognitif telah menyatakan bahawa setiap
manusia mempunyai kebolehan kognitif yang mampu untuk mengelola, menyimpan dan
mengeluarkan semula segala pengalamannya. Berbeza daripada pendekatan
behaviourisme yang menitikberatkan tingkahlaku dalam kajian mereka terhadap
manusia dalam proses pembelajaran, teori kognitif pula menitikberatkan perubahan
dalaman proses mental yang digunakan oleh individu untuk memaknakan dunianya. Ini
bererti bahawa pembelajaran adalah bermula daripada perubahan struktur mental
seseorang yang membolehkannya untuk menunjukkan perubahan dalam
tingkahlakunya.
Oleh kerana pendekatan kognitif menekankan kepada proses mental dalaman.
Maklumat yang diterima oleh seseorang individu akan diproses terlebih dahulu dengan
melalui proses pemilihan, perbandingan dan penyatuan dengan maklumat lain yang
sedia ada didalam ingatan. Penyatuan maklumat yang baru ini pula akan berlanjutan
sehingga seterusnya sehingga berjaya mengubah tingkahlaku manusia daripada “tidak-
tahu” kepada “tahu”.
Inilah yang dimaksudkan oleh ahli psikologi yang menekankan bahawa manusia
bukanlah penerima rangsangan-rangsangan yang pasif seperti yang ditekankan oleh
penganut teori behaviourisme. Ringkasnya, teori kognitif adalah teori yang
berkonsepkan kepada tindakan proses mental seperti mengingat, membuat keputusan
dan memproses informasi dalam mempengaruhi perkembangan manusia.
Antara tokoh yang terlibat dalam kajian terhadap teori kognitif ini adalah Jean Piaget
(1896 – 1980), Jerome Bruner (1915 - ), dan David Ausubel (1918 – 2008).
4.0 Model teori pembelajaran
Seperti yang telah dinyatakan bahawa ahli psikologi telah mengkategorikan
pembelajaran kepada 2 kategori iaitu pembelajaran tingkahlaku (behaviourisme) dan
juga pembelajaran kognitif.
Hasil daripada kategori pembelajaran ini pula, ahli psikologi yang terbabit telah
merangka teori pembelajaran bagi menjelaskan kajiannya secara saintifik terhadap
kedua kategori pembelajaran tersebut.
Bagi memperincikan lagi teori pembelajaran tersebut agar mudah diaplikasikan oleh
para pendidik dan guru di seluruh dunia, maka telah diwujudkan beberapa model teori
pembelajaran seperti yang dinyatakan dibawah.
4.1 Model teori behaviourisme
Kontiguiti
Kontiguiti adalah proses pembelajaran melalui perkaitan mudah iaitu hasil daripada
perpasangan berulang. Teori Kontiguiti menyatakan “Apabila dua peristiwa berlaku
serentak beberapa kali, dua peristiwa ini akan berkait ; dan apabila satu daripada
peristiwa ini berlaku, peristiwa kedua akan diingati.”
Contohnya aktiviti didalam kelas yang memaparkan seorang guru yang menunjukkan
lukisan ayam di papan tanda semasa mengajar. Kemudian guru tersebut meminta
seorang pelajarnya untuk menunjukkan kepada beliau bagaimana anak murid itu
melukis lakaran ayam tersebut. Pelajar tersebut melihat lukisan ayam di papan tanda
dan seterusnya melakarkan lukisan ayam itu di helaian kertasnya.
Kemudian apabila guru tersebut meminta pelajar yang sama untuk melukis lakaran
ayam di pada hari yang lain, maka dengan mudahnya anak murid tersebut melakar
lukisan ayam tersebut tanpa perlu melihat ayam di papan tanda seperti yang
ditunjukkan oleh guru pada hari sebelumnya.
Oleh kerana model ini berjalan atas perkaitan yang mudah iaitu hasil daripada
perpasangan yang berulang. Maka model kontiguiti ini hanya sesuai untuk
pembelajaran fakta seperti mengingati nama, tahun, sifir dan lain-lain. Bagi kemahiran
yang kompleks seperti pencarian makna dan sebagainya adalah tidak sesuai mengikuti
model ini.
Pelaziman Klasik
Menurut teori ini, pembelajaran merupakan tindak balas manusia secara psikologi dan
emosi terhadap persekitarannya. Sebagai contoh, seorang pelajar yang diminta untuk
membuat persembahan di dalam kelas, pelajar tersebut telah berasa gugup biarpun
beliau hanya perlu melakukan persembahan kepada kanak-kanak tadika sahaja.
Hal ini berlaku kerana pelajar tersebut telah mengaitkan persembahan yang sedang
beliau lakukan itu dengan pengalaman lampau di mana beliau telah mengalami
peristiwa memalukan apabila telah melakukan kesilapan di hadapan rakan-rakannya
sendiri. Peristiwa ini telah menghantui beliau sehingga menjadi suatu kelaziman untuk
berasa gugup apabila melakukan persembahan di hadapan orang lain.
Oleh kerana pelaziman klasik melibatkan pembelajaran tindak balas manusia secara
psikologi dan emosi terhadap persekitaran, maka teori ini juga turut berfungsi bagi
menjelaskan pembelajaran emosi.
Pelaziman Operan
Ia juga turut dikenali sebagai pembelajaran cuba dan jaya (trial and error learning).
Menurut pelaziman operan, prinsip asas pembelajaran diwujudkan daripada pengaruh
ganjaran dan denda. Ia juga berdasarkan kepercayaan bahawa setiap manusia akan
membuat sesuatu apabila ia membawa kepada keseronokan / kebahagiaan dan
sebaliknya akan meninggalkan sesuatu perbuatan sekiranya ia membawa kesakitan
atau membahayakan diri.
Ini bererti ganjaran akan mendorong manusia mengulangi sesuatu gerak balas
manakala denda pula boleh menyekat manusia daripada melakukan sesuatu gerak
balas yang bertentangan. Oleh yang demikian, pelaziman operan adalah sebuah teori
yang menjelaskan bahawa pembelajaran sebagai tingkah laku yang terhasil daripada
kesan tingkah laku iaitu bersumberkan denda dan ganjaran.
Oleh kerana pelaziman operan berkait rapat dengan denda dan ganjaran maka ia amat
bersesuaian dengan mentaliti kaum kapitalis yang bertujuan bagi mengaut keuntungan.
Sebagai contoh ; Anak murid belajar bersungguh-sungguh jika dijanjikan akan diberi
hadiah adalah sama seperti buruh yang akan bekerja bersungguh-sungguh jika
dijanjikan untuk diberikan gaji.
4.2 Model teori kognitif
Teori Gestalt
Gestalt pada asasnya merujuk kepada satu pola, bentuk atau konfigurasi yang diteliti
serta diamati oleh seseorang secara keseluruhan. Teori ini memberi penekanan kepada
makna individu itu sendiri dan bagaimana individu itu melakukan pengamatan dan
persepsi serta kemahiran dan pengetahuan terhadap pengalaman mereka sendiri.
Menurut Gestalt lagi, seseorang itu mengalami masalah sekiranya masih belum
melengkapkan persepsinya atau gagal mempunyai kesedaran untuk membolehkannya
merasai sesuatu pengalaman. Oleh kerana itulah, teori Gestalt mengatakan
pembelajaran adalah berlaku secara celik akal. Disinilah bermulanya peranan guru bagi
membantu para pelajar untuk memperolehi celik akal tersebut.
Antaranya adalah seperti melatih para pelajar untuk melihat sesuatu permasalahan
secara keseluruhan sebelum memahaminya secara terperinci. Ini kerana didalam teori
Gestalt, pembelajaran akan dilakukan secara bentuk (patterns), dan bukan bahagian-
bahagian. Hal ini dilakukan bagi melatih para pelajar untuk mengalami sendiri
kefahaman secara individu terhadap objek pemerhatiannya sekaligus meransang
pemikiran pelajar dalam proses pembelajaran.
Tagore
Seterusnya, aliran fahaman yang ketiga untuk Falsafah Pendidikan timur
ialahNasionalisme dan Internasionalisme yang telah diasaskan oleh
RabindranathTagore, seorang ahli falsafah dan penyair dari India. Beliau
mentafsirakanpendidikan sebagai proses yang bertujuan untuk melahirkan manusia
yang berfikiransempurna, berupaya mencapai segala aspek kehidupan, seperti aspek
fizikal,intelek, moral dan kerohanian dengan penuh bermakna. Manakala
matlamatpendidikan beliau adalah untuk menghasilkan individu yang menyeluruh
melaluiinteraksi dan integrasi dalam persekitaran. Kurikulum falsafah
pendidikanRabindranath Tagore pula menekankan komponen ilmu dan aktiviti fizikal.
Antaramata pelajaran yang disyorkan ialah Muzik, Seni, Kesusasteraan, Drama dan
Tarian,Sejarah serta Pendidikan Alam Sekitar. Menurut falsafah pendidikan
RabindranathTagore, guru berperanan sebagai fasilitator serta pemangkin bagi
megerakkanperbincangan murid dan penjana idea yang kreatif dan bernas dalam
kalanganmurid.