akhlak za
DESCRIPTION
Panduan Akhlak ManusiaTRANSCRIPT
Minggu, 17 Juni 2012
Makalah Akhlaq, Persoalan Akhlaq dan Macam-Macam Akhlaq
Pengertian Akhlaq Mulia (Al-Akhlaq Al-Karimah)
Akhlaq adalah lafadz yang berasal dari bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Berasal dari kata khalaq yang berarti menciptakan, yang seakar dengan kata khaliq yang berarti pencipta, makhluq artinya yang diciptakan, dan kahlq artinya ciptaan.
Dari pengertian tersebut, memberi informasi bahwa akhlaq, selain merupakan tata aturan atau norma-norma perilaku tentang hubungan antara sesama manusia, juga merupakan norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan yang maha pencipta, bahkan hubungan dengan alam sekitarnya.Adapaun akhlaq menurut beberapa ulama antara lain, menurut :
# Imam Al-Ghazali “Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.
# Ibrahim Anis “Akhlaq adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikir dan dipertimbangkan lebih dahul”.
Dari keempat pengertian di atas dapat dipahami bahwa akhlaq adalah merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dapat menimbulkan gerakan, perbuatan, tingkah laku secara spontan, gampang atau mudah pada saat dibuthkan tanpa memerlukan pemikiran atau perimbangan terlebih dahulu dan tidak memerlukan dorongan dari luar.
Akhlaq adalah gambaran atau bayangan dari jiwa seseorang, mereka berbuat, bertindak, atau bertingkah laku berdasarkan apa yang tertanam dalam jiwanya dan telah menjadi kebiasaan setiap hari tanpa ada pengaruh atau dorongan dari pihak lain, mereka melakukan secara spontan tanpa pertimbangan pikiran sebelumnya.
Untuk melekatkan akhlaq yang mulia pada diri seseorang, harus terlebih dahulu dilakukan pembersihan diri dari hal-hal sebagai berikut :
1. Dosa dan kesalahan melalui taubat dan istighfar kepada Allah2. Sifat-sifat yang tercela, yang melekat pada dirinya melalui latihan dan
pembiasaan yang berkesinambungan
Sumber dan Ruang Lingkup Akhlaq
Yang dimaksud dengan sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan
buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur’an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.
Adapun ruang lingkup akhlaq menurut Abdullah Draz ada lima bagian yaitu :
Akhlaq pribadi terdiri dari Yang diperintahkan, yang dilarang, yang dibolehkan dan Akhlaq dalam keadaan darurat
Akhlaq berkeluarga terdiri dari Kewajiban timbal balik antara orang dengan anak, kewajiban sumai dengan istri dan kewajiban terhadap karib kerabat.
Akhlaq bermasyarakat terdiri dari Yang dilarang yang iperintahkan dan Kaedah-kaedah adab.
Akhlaq bernegara terdiri dari Hubungan antara pimpinan dan rakyat dan hubungan luar negeri.
Akhlaq beragama yaitu kewajiban terhadap Allah SWT.
Berangkat dari sistematika di atas, sedikit modifikasi, maka penulis membagi pembahasan akhlaq menjadi :
Akhlaq terhadap Allah SWT. Akhlaq terhadap Rasulullah SAW. Akhlaq pribadi Akhlaq dalam keluarga Akhlaq bermasyarakat dan Akhlaq bernegara
Kedudukan dan Keistimewaan Akhlaq dalam Kehidupan
Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlaq menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting dalam kehidupan, seperti terlihat dalam beberapa poin berikut ini :
# Rasulullah SAW. Menempatkan penyempurnaan akhlaq, yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam, sebagai sabdanya :“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. (HR. Baihaqi).
Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah pernah mendefinisikan agam dengan akhlaq yang baik, sebagaimana sabda beliau.
Terjemahannya :“Ya Rasulullah, apakah agama itu ? beliau menjawab : agama itu adalah akhlak yang baik”.
# Akhlaq yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat.
# Rasulullah SAW. Menjadikan baik buruknya akhlaq seseorang sebagai ukuran kualitasnya.
# Islam menjadikan akhlaw baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT.
# Nabi Muhammad SAW. Selalu berdoa agar Allah SWT. Membaikkan akhlaq beliau.
PERSOALAN AKHLAQ
Perbuatan Baik dan Buruk
Yang dimaksud perbuatan baik adalah :
Sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan Sesuatu yang menimbulkan rasa keharusan dalam kepuasan, kesenangan,
persesuaian dan seterusnya. Sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang
memberikan kepuasan Sesuatu dengan sesuai dengan keinginan yang bersifat berfitrah Sesuatu hal yang dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat,
memberikan perasaan senang atau bahagia.
Adapun yang dimaksud dengan perbuatan buruk adalah :
Sesuatu yang tidak baik, tidak seperti seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di bawah standart, kurang dalam nilai dan tidak mencukupi.
Sesuatu yang keji, jahat, tidak bermoral dan tidak menyenangkan Adalah segala sesuatu yang tercela, karena melanggar norma-norma atau
aturan-aturan menurut yang ditetapkan oleh syara’ (agama).
Ukuran Baik dan Buruk
Persepsi Manusia Tentang Baik dan Buruk
Banyak orang yang berselisih pendapat untuk menilai suatu perbuatan, ada yang melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dpandang baik oleh suatu masyarakat atau bangsa dipandang buruk yang lain. Dipandang baik pada waktu ini dinilai buruk pada waktu yang lain.
Selanjutnya dalam menetapkan nilai perbuatan manusia, selain memperhatikan nilai yang mendasarinya, kriteria lain yang harus diperhatikan adalah cara melakukan perbuatan itu. Meskipun seseorang mempunyai niat baik, tetapi lakukan dengan cara yang salah, dia dinilai tercela karena salah melakukannya,
bukan tercela karena niatnya. Kadang-kadang tercelanya manusia itu dapat berpangkal dari keyakinan yang salah, bukan karena niatnya.
Dari uraian di muka tentang tingkah laku manusia dapat diketahui bahwa element-element pokok yang perlu diperhatikan padanya adalah :
Kehendak (Karsa), yakni sesuatu yang mendorong yang ada di dalam jiwa manusia.
Manifestasi dari kehendak, yaitu cara dalam merealisir kehendak tersebut. Barangkali hal ini dapat disamakan dengan ungkapan karya, yakni perbuatan dalam mewujudkan karsa tadi. Kalau karsa dan karya menjadi satu, maka bisa dipastikan adanya aktivitas yang tidak kecil artinya.
Selanjutnya untuk menialai baik buruknya niat dan cara seseorang dalam melakukan perbuatannya haruslah berdasarkan ajaran Islam sebagaimana firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa (4) :
Terjemahannya :“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan oramg-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan perndapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebi utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya”.
MACAM-MACAM AKHLAK
# Akhlak Terpuji
Akhlak Terpuji (al-mahmudah) atau akhlak al-karimah artinya sikap dan sifat yang mulia atau terpuji, yang terkadang disebut dengan budi pekerti yang luhur.
Akhlak mulia suatu sikap atau sifat yang terpuji yang pantas melekat pada diri setiap Muslim, sehingga menjadi orang yang berbudi baik atau luhur dan memiliki karakter yang baik pula.Indikator dalam akhlak mulia terbagi menjadi berbagai macam diantaranya adalah :
Indikator akhlak mulia adalah sebagai berikut :
Shiddiq (benar atau jujur) Al-manah (menyampaikan atau terbuka) Tabligh (menyampaikan atau terbuka) Fathana (cerdas dan cakap) Istiqamah (teguh pendirian) Ikhlas berbuat atau beramal Syukur (menerima baik) Sabar (teguh) Iffah (perwira)
Tawadhu’, adalah sikap sabar yang tertanam dalam jiwa untuk dapat mengendalikan hawa nafsu.
Syaja’ (berani) Hikmah (bijaksana) Tasamuh (toleransi) Lapang dada Adil Qana’ah Intiqad atau mawas diri Al-Afwu atau pemaaf Anisatun atau bermuka manis Khusyu’ atau tenang dala beribadah Wara’, adalah sikap batin yang tertanam dalam jiwa yang selalu menjaga
dan waspada dari segala bentuk perbuatan yang mungkin mendatangkan dosa, baik itu dosa kecil atau dosa besar.
Belas kasihan Beriman kepada Allah Ta’awun atau tolong menolong Tadarru atau merendah Shalihah (shaleh) Sakhaa’ (pemurah) Nadhief (bersih) Ihsan Malu (haya) Uswatun hasanah (teladan yang baik) Hifdu Al-Lisan (menjaga ibadah) Hub al-wathan (cinta tanah air)
Akhlak yang tercela
Akhlak tercela adalah semua sifat dan tingkah laku yang berbeda atau berlawanan, bahkan bertentangan dengan sifat-sifat yang telah disebutkan pada bagian terdahulu (akhlak mulia) tersebut di atas.Jenis akhlak yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :
Dusta (bohong) Khiyanat (menyia-nyiakan kepercayaan) Hasad (dengki) Iri hati Al-Riya (puji diri) Takabbur (sombong) Al-Tabdzir (boros) Al-Bukhlu (kikir) Bakhil (kikir) Al-Dzulmu (aniaya) Ceroboh
Ananiyah Al-Baghyu Al-Buhtaan (bohong) Ingkar janji Al-Kamru Al-Jubnu (pengecut) Al-Fawahisy (dosa yang besar) Saksi palsu Fitnah Al-Israf (hidup berlebih-lebihan) Al-Liwathah (hubungan seksual tidak normal) Al-namimah (adu domba) Al-khufran (kekufuran) Qatlun Nafs (menghilangkan jiwa) Al-Riba (pemakan riba) Al-sikhriyah (berolok-olok) Tanabazu bil al-qad (memberi gelaran yang tidak benar atau berlebihan) Al-Syakhwat (mengikuti hawa nafsu) Dan lain-lain sifat tercela
Dari berbagai kesimpulan di atas kami menarik kesimpulan bahwa akhlak adalah sesuatu sifat yang harus dijaga dan dipelihara, karena merupakan kunci sukses untuk hidup. akhak ialah bunga diri, indah dipandang mata, nikmat dirasa oleh hati dan memberi manfaat. Intinya adalah mencapai keridhaan Allah SWT.
http://senyumkudakwahku.blogspot.com/2012/06/makalah-akhlaq-persoalan-akhlaq-dan.html
Bentuk dan Macam-macam Akhlak
March 23, 2012 at 1:12 pm (Akhlak) Tags: Akhlak, Akhlak Manusia, Arti Akhlak, Pengertian Akhlak, Tingkat Akhlak
Bentuk dan Macam-macam AkhlakBeberapa sasaran Akhlak [baca juga: Hakikat dan Pengertian Akhlak], yakni :
a. Akhlak terhadap Allah SWT
Akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikat_Nya.
b. Akhlak terhadap manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan hal negatif seperti membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau salah. Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan pula bahwa beliau adalah rasul yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar adalah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain.
c. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifaan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Menurut Soegarda Purbakawatja, ada tiga aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang muslim menurut ajaran Islam, yakni :
1. Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran kewajiban ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.
2. Praktek ibadah yang harus dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan sesamanya secara terorganisir.
3. Konsepsi Al-qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).
Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah, sebagai berikut :
1. Siddiq, lurus dalam perkataan, lurus dalam perbuatan.2. Amanah, jujur, boleh dipercaya tentang apa saja.3. Sabar, takan menanggung barang atau perkara yang menyusahkan, tahan
uji.
4. Ittihad, bersatu didalam mengerjakan kebaikan dan keperrluan.5. Ihsan, berbuat baik kepada orang tuanya, kepada keluarganya dan kepada
siapapun.6. Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan tetangga-tetangga.7. Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati kesanggupan atau perjanjian.8. Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati dan memegang barang hak
atau kebenaran.9. Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.10. Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah dan papa.11. Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang fakir atau miskin.12. Rifqi, berhati belas kalian sehingga kepada hewan sekalipun (Waso’al
Dja’far, Addien, 1951:25).
Demikianlah sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh tiap-tiap pribadi muslim. Jika sifat-sifat ini telah dimiliki oleh pribadi muslim, dengan demikian akan dapat menentukan kualitas dirinya/akhlak dan perilaku [baca juga: Akhlak dan Perilaku Anak] sebagai seorang muslim.
http://akhlakmanusia.wordpress.com/2012/03/23/bentuk-dan-macam-macam-akhlak/
5 MACAM-MACAM AKHLAK DALAM ISLAM DI RUMAH
Ada bebrapa akhlak islam yang harus di terapkan di dalam
rumah untuk mendapatkan keluarga yang harmonis (sakinah
dan mawaddah) seperti yang di idam-idamkan seluruh orang.
Tetapi sangat disayangkan mereka tidak meu mencitakan
suasana yang menunjang terjadinya keluarga yang hangat
dan terciptanya sifat kasih sayang. Nacan-nacan akhlak dalam
islam di rumah adalah:
1. Mentradisikan pergaulan yang baik (keramahan tamah) di
rumah.
2. Membantu keluarga dalam pekerjaan rumah
3. Bersikap lembut dan bercanda dengan keluarga
4. Menyingkirkan akhlak buruk di rumah.
5. Gantungkanlah cambuk sehingga bisa dilihat oleh anggota
keluarga
Mentradisikan Pergaulan Yang Baik Di Rumah
Dari Aisyah radhiyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
"Jika Allah 'Azza Wa Jalla menginginkan kebaikan kepada
sebuah keluarga maka Dia akan menganugerahkan atas
mereka pergaulan yang baik".
Dalam riwayat yang lain di katakan:
"Sesungguhnya Allah jika mencintai sebuah keluarga maka
Dia akan menganugerahkan atas mereka pergaulan yang
baik".
Maksudnya masing-masing individu saling mempergauli
anggota yang lain dengan cara yang baik. Cara bergaul
dengan baik serta keramah-tamahan adalah sebuah sifat yang
sangat bermanfaat bagi kedua suami isteri dan anak-anak.
Dan untuk ndapatkan pergaulan yang demikian akan
diperoleh tanpa ada kekerasan di dalam rumah. Dan sabda
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW):
"Sesungguhnya Allah mencintai pergaulan yang keramahan
(baik) dan Dia memberikan kepada pergaulan yang
keramahan (baik) apa yang tidak diberikan-Nya kepada
kekerasan dan apa yang tidak diberikan kepada selainnya".
Membantu Keluarga Dalam Pekerjaan Rumah
Banyak lelaki yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah
mereka memiliki keyakinan bisa menurunkan derajat atau
kewibawaan seorang laki-laki. Di contohkan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) beliau menjahit baju-nya
sendiri, menambal sandal dan pekerjaan-pekerjaan lain di
dalam rumah.
Dikatakan Aisyah radhiyallah 'anha ketika ia ditanya apa yang
dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW)
di rumahnya. Aisyah radhiyallah 'anhu menjawab: "DIa adalah
manusia di antara sekalian manusia, membersihkan bajunya,
memerah susu kambingnya dan melayani dirinya".
Aisyah radhiyallah 'anha juga ditanya apa yang dilakukan oleh
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya. Ia
berkata: "DIa membantu keluarganya dan apabila masuk
waktu shalat Dia keluar untuk shalat".
Jika apa yangdilakukan oleh Rasulullah kita terapkan, maka
kita akan:
• Meneladani serta mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam .
• Membantu keluarga.
• Menghilangkan sifat sombong dan menanamkan sifat rendah
diri.
Bersikap Lembut Dan Bercanda Dengan Keluarga
Bersikap lembut terhadap isteri serta anak-anak merupakan
salah satu faktor yang mampu menebarkan suasana
kebahagiaan dan eratnya hubungan baik di antara anggota
keluarga. Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
(SAW) memberi nasehat pada Jabir agar menikahi wanita yang
perawan. Beliau berkata:
"Kenapa engkau tidak menikahi perawan sehingga engkau
bisa mencandainya dan dia pun mencandaimu dan engkau
dapat membuatnya tertawa dan dia pun membuatmu tertawa"
Agar jabir dapat bermesra-mesraan dengan istrinya dan saling
sayang menyayangi ketika telah menjadi suami istri. Dan
menyayangi anak-anak, sebaiknya orang tua mencium anak-
anaknya. Serta siapa mengira bahwa mencium seorang anak
dapat mengurangi wibawa seorang ayah maka hendaknya
untuk membaca hadits ini:
Dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu dia berkata: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) mencium Hasan bin Ali
sedang di sisi beliau terdapat Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi
sedang duduk. Maka Al-Aqra' berkata: "Saya mempunyai
sepuluh orang anak tetapi saya tidak pernah mencium
seorangpun anakpun dari mereka". Maka Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW)melihat nya dan berkata:
"Barangsiapa yang tidak mengasihi, niscaya dia tidak
dikasihi".
Menyingkirkan Akhlak Buruk Di Rumah
Jika anggota keluarga memiliki akhlak buruk dan menyimpang,
seperti: menggunjing, mengadu domba dusta, menggunjing
dan lain-lain. Akhlak buruk ini harus dilawan serta disingkirkan
dari dalam diri anggot keluarga dengan mengajarkan pola
hidup menurut rasulullah dan menerapkan akhlak islam di
dalam rumah. Sebagian orang menyangka bahwa hukuman
jasmani (pukulan atau siksaan) adalah salah satu jalan keluar
untuk mengatasi nya.
Aisyah radhiyallah 'anha meriwayatkan hadits: "Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) jika mengetahui seseorang
anggota keluarganya melakukan dusta, beliau (Rasulullah)
terus memalingkan diri dari padanya sehingga dia
mengatakan bertaubat."
Maksud memalingkan diri adalah mendiamkan (tidak
berbicara) karna sikap ini dapan menyentu hati seseorang dan
membuatnya menyadi sadar dan tak mengulangi lagi
kesalahan nya.
Gantungkanlah Cambuk Sehingga Bisa Dilihat Oleh
Anggota Keluarga
Memberi isyarat serta bentuk hukuman, ini adalah sebuah
metode / cara pendidikan yang tinggi dalam meningkatkan
akhlak (bukan menakut-nakuti). Seperti Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam (SAW) bersabda:
"Gantungkanlah cambuk di mana bisa dilihat oleh anggota
keluarga, karena ia lebih mendidik mereka".
alat cambuk / rotan untuk menghukum, menjadikan anggota
keluarga yang berniat melakukan kejahatan tidak jadi untuk
melakukannya karena ingaat akan hukuman Allah lebih berat
dari cambukan yang ada di muka bumi ini.
http://seelookbook.blogspot.com/2013/06/5-macam-macam-akhlak-dalam-islam-di.html
Bentuk dan Macam-macam Akhlak
08.59 Materi Pendidikan Agama Islam 2 comments
Beberapa sasaran Akhlak , yakni :
a. Akhlak terhadap Allah SWT
Akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikat_Nya.
b. Akhlak terhadap manusia
Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan hal negatif seperti membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau salah. Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan pula bahwa beliau adalah rasul yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar adalah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain.
c. Akhlak terhadap lingkungan
Yang dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifaan
menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.
Menurut Soegarda Purbakawatja, ada tiga aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang muslim menurut ajaran Islam, yakni :
1. Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran kewajiban ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.
2. Praktek ibadah yang harus dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan sesamanya secara terorganisir.
3. Konsepsi Al-qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).
Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah, sebagai berikut :
1. Siddiq, lurus dalam perkataan, lurus dalam perbuatan.2. Amanah, jujur, boleh dipercaya tentang apa saja.3. Sabar, takan menanggung barang atau perkara yang menyusahkan, tahan
uji.4. Ittihad, bersatu didalam mengerjakan kebaikan dan keperrluan.5. Ihsan, berbuat baik kepada orang tuanya, kepada keluarganya dan kepada
siapapun.6. Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan tetangga-tetangga.7. Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati kesanggupan atau perjanjian.8. Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati dan memegang barang hak
atau kebenaran.9. Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.10. Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah dan papa.11. Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang fakir atau miskin.12. Rifqi, berhati belas kalian sehingga kepada hewan sekalipun (Waso’al
Dja’far, Addien, 1951:25).
Demikianlah sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh tiap-tiap pribadi muslim. Jika sifat-sifat ini telah dimiliki oleh pribadi muslim, dengan demikian akan dapat menentukan kualitas dirinya/akhlak dan perilaku sebagai seorang muslim.
http://gudangmaterikuliah.blogspot.com/2012/05/bentuk-dan-macam-macam-akhlak.html
Makalah Macam-macam akhlak terhadap Allah BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Menjaga Akhlak kepada Allah K.H. Abdullah Gymnastiar Mudah-mudahan Allah SWT yg Maha Mengetahui siapa diri kita yg sebenar menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yg harus diperbaiki memberitahu jalan yg harus ditempuh dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tak dikalahkan oleh kemalasan tak dikalahkan oleh kebosanan dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu. Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yg dapat diwariskan kepada keluarga keturunan dan lingkungan adl keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tak diukur oleh luas ilmu. Keimanan seseorang tak diukur oleh hebat pembicaraan. Kedudukan seseorang disisi Allah tak juga diukur oleh kekuatan ibadah semata. Tapi semua kemuliaan seorang yg paling benar Islam yg paling baik iman yg paling dicintai oleh Allah yg paling tinggi kedudukan dalam pandangan Allah dan yg akan menemani Rasulullah SAW ternyata sangat khas yaitu orang yg paling mulia akhlaknya. Walhasil sehebat apapun pengetahuan dan amal kita sebanyak apapun harta kita setinggi apapun kedudukan kita jikalau akhlak rusak maka tak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlak buruk pesona pun akan pudar. Yakinlah bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia ini adl utk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabat “Mengapa engkau diutus ke dunia ini ya Rasul?”. Rasul menjawab “Innama buitsu liutamimma makarimal akhlak” “Sesungguh aku diutus ke dunia hanyalah utk menyempurnakan akhlak”.
Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,
maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.
Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.
B. RUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah adalah bagaimna akhlak terhadap Allah dan macam-macam akhlak terhadap Allah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP ALLAH
Diantara akhlak terhadap allah swt adalah:
1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya.
Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada
dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):
“Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya
tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda:
“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani).
2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.
Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:
Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda:
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya." (HR. Muslim)
3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.
Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:
" sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Bukhari)
Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.
4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.
Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam
Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :
"Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui."
5. Obsesinya adalah keridhaan ilahi.
Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akanm memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:
"Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia." (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).
Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.
6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.
Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.
Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):
“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”
Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hokum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman idup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.
7. Banyak membaca al-Qur’an.
Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:
"Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya." (HR. Muslim).
Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik. Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:
"Orang (mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun orang mu’min yang membaca Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat." (HR. Bukhori Muslim)
B. ANALISIS
Kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yg sebenar jauh melampaui sekedar senyuman dan keramahan. Karena penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yg terpecah-pecah semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh termasuk bagaimana akhlak kita kepada Allah. Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlak kepada Allah hati benar-benar putih seperti putih air susu yg tak pernah tercampuri apapun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinan tak ada sekutu lain selain Allah. Tidak ada satu tetes pun di hati meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.Tapi kenyataannya sekarang mengapa masih banyak diantara kita yang seolah jauh dari semua itu? Padahal dari sekolah tingkat dasar kita sudah diajarkan tentang bagaimana kewajiban kita terhadap Allah, bahkan sejak kecil sudah di beritahukan tentang semua itu toh sekarang kenapa masih banyak yang tidak mengamalkannya ?
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Dari pembahasan makalah ini, penulis menyimpulkan, bahwa akhlak kepada Allah merupakan pondasi dasar yang harus di bangun , karena jika seseorang benar- benar memiliki akhlak yang baik terhadap Allahnya, maka akhlaknya terhadap manusia dan lingkungan pun akan ikut baik.begitupun sebaliknya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Zakiy Al – Kaaf , “ Membentuk Akhlak ( Mempersiapkan Generasi Islami ), Pustaka Setia, Bandung, 2001
Mustofa, Akhlak Tasawuf, Pustaka setia, Bandung, 1997
Al-Ghazali, Rindu dan Cinta kepada Allah , Pustaka Panji Mas, Jakarta, 2005
http://newjoesafirablog.blogspot.com/2013/05/makalah-macam-macam-akhlak-terhadap.html
Jumat, 26 April 2013
MACAM-MACAM AKHLAK MADZMUMAH
I. PENDAHULUAN
Pada dasarnya manusia dilahirkan dibumi ini dengan keadaan yang fitrah atau
suci tanpa adanya suatu dosa apapun. Akan tetapi setelah itu keluarga yang
memiliki peran terbesar dalam mendidiknya menjadi insan yang bermutu. Selain
dari pada keluarga, lingkungan juga mendominasi dalam terciptanya akhlak
manusia menjadi baik ataupun buruk.
Ketika manusia melakukan perilaku seburuk apapun, ada kemungkinan
manusia kemballi keasalnya yaitu fitrah. Sebab dalam hal ini manusia dikaruniai
kebaikan dan kebenaran yang hakiki. Namun sebelum kembalinya pada fitrah
tersebut manusia akan merasakan dampak psikologis. Khususnya dalam makalah
ini akan akan membahas tentang dampak psikologis dari akhlak madzmumah.
II. RUMUSAN MASALAH
A. Bagaimana Hakikat Akhlak Madzmumah?
B. Apa saja Macam-macam Akhlak Madzmumah?
C. Bagaimana Efek Psikologis Pelaku Akhlak Madzmumah?
III. PEMBAHASAN
A. Hakikat Akhlak Madzmumah
Akhlakul madzmumah adalah perangai atau tingkah laku pada tutur kata
yang tercermin pada diri manusia yang cenderung melekat pada bentuk yang tidak
menyenangkan orang lain.
Akhlakul madzmumah merupakan tingkah laku kejahatan, kriminal,
perampasan hak. Sifat ini telah ada sejak lahir, baik wanita maupun pria yang
tertanam dalam jiwa setiap manusia. Akhlak secara fitrah manusia adalah baik,
namun dapat berubah menjadi akhlak buruk apabila manusia itu lahir dari
keluarga yang tabiatnya kurang baik, lingkungannya buruk, pendidikan tidak baik
dan kebiasaan-kebiasaan tidak baik sehingga menghasilkan akhlak yang buruk.1
[1]
1[1] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), Hlm.56
Ada berbagai macam jenis sifat yang tercela ini dan beberapa diantaranya
akan diuraikan di belakang. Sekedar contoh, termasuk sifat tercela yang
dikerjakan oleh anggota lahir (maksiat lahir) adalah mencuri, berdusta,
memfitnah, dan sebagainya. Dan termasuk sifat tercela yang dikerjakan oleh hati
(maksiat batin) adalah dengki, takabur, dan lain sebagainya.
Maksiat lahir itu akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat,
seperti mencuri, mencopet, merampok, menganiaya, membunuh, dan lain-lain
yang dapat dilakukan dengan tangan manusia. Begitu pula dengan kejahatan-
kejahatan yang dilakukan oleh anggota lahir lainnya yang sangat berbahaya untuk
keamanan dan ketentraman masyarakat.
Tetapi disamping itu maksiat batin lebih berbahaya karena ia tidak
kelihatan dan kurang diperhatikan dan lebih sukar dihilangkan. Maksiat ini
merupakan pendorong dari maksiat lahir. Selama maksiat batin ini belum
dilenyapkan, maksiat lahir tidak bisa dihindarkan dari manusia. Allah SWT
memperingatkan agar manusia membersihkan jiwanya atau hatinya dari segala
kotoran, yakni sifat-sifat tercela yang melekat di hati, karena kebersihan jiwa atau
kemurnian hati itu merupakan syarat kebahagiaan manusia, di dunia dan di
akhitrat.2[2]
B. Macam-macam Akhlak Madzmumah
1. Ananiyah (egois)
Manusia hidup tidaklah menyendiri, tetapi berada di tengah-tengah
masyarakat yang heterogen. Ia harus yakin jika hasil perbuatan baik, masyarakat
turut mengecap hasilnya, tetapi jika akibat perbuatannya buruk masyarakatpun
turut menderita. Sebaliknya orang tiada patut hanya bekerja untuk dirinya, tanpa
memerhatikan tuntutan masyarakat, sebab kebutuhan-kebutuhan manusia tidak
dapat dihasilkan sendiri. Ia sangat memerlukan bantuan orang lain dan
pertolongan dari anggota masyarakat. sifat egoistis tidak diperdulikan orang lain,
2[2] Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), Hlm.185
sahabatnya tidak banyak dan ini berarti mempersempit langkahnya sendiri di
dunia yang luas ini.3[3]
Oleh karena itu sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri
dalam masyarakat, ia mutlak memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya. Maka dari itu, dalam hidup bermasyarakat kita harus berbaur
satu sama lain dan saling membantu. Karena jika mengedepankan sifat egois kita
akan dijauhi banyak orang, orang yang egois terkesan seakan bisa hidup sendiri
tanpa bantuan orang lain.
2. Al- Buhtan (dusta)
Maksud sifat dusta ialah mengada-ada sesuatu yang sebenarnya tidak ada,
dengan maksud untuk merendahkan seseorang. Kadang-kadang ia sendiri yang
sengaja berdusta. Dikatakannya orang lain yang menjadi pelaku, juga ada kalanya
secara brutal ia bertindak, yaitu mengadakan kejelekan terhadap orang yang
sebenarnya tidak bersalah. Orang yang seperti ini perkataannya tidak dipercayai
orang lain. Di dunia ia akan memperoleh derita dan di akhirat ia akan menerima
siksa. Menghadapi orang yang bersifat demikian, apabila ia membawa berita
hendaklah berhati-hati, jangan mudah diperdayakan, sebab berdusta sudah
memang hobinya, celakalah setiap pendusta, pengumpat, pencela, dan pemfitnah.4
[4]
3. Al- Ghadlab (Pemarah)
Marah atau disebut juga sifat pemarah terjadi karena darah mendidih di
dalam hati untuk menuntut pembalasan. Pembalasan ini merupakan bentuk
kekuatan untuk memberikan kelezatan dan tidak akan reda kecuali dengan
pembalasan. Amarah merupakan bagian dari karakter yang selalu ada pada diri
manusia. Barang siapa marah dan selalu mengikuti kemarahannya hingga
mengikuti perbuatan yang jelek, maka hal tersebut merupakan kemarahan yang
tercela sesuai perbuatan yang dulakukannya.
3[3] Yatimin Abdullah, Op.Cit, Hlm.14
4[4] Ibid, hlm. 15
Marah menunjukkan tingkat kelabilan jiwa seseorang karena ia tidak
mampu mengendalikan amarahnya. Ketika marah berkobar maka kesadaran
nurani terhalangi yang kemudian mendatangkan sakit hati yang berat.
Kecenderungannya ingin menjatuhkan orang lain melalui provokasi, permusuhan
dan perusakan.5[5]
Oleh karena dampak yang disebabkan oleh sifat marah dapat merugikan
orang lain, maka sifat itu dilarang oleh agama. Sebagaimana sabda Rasulullah:
Iي هرير ة رضي الله عنه قال قال رسول لل6ه ص6لي الل6ه Kِب عKْنL اNُك I66لLْمK ِذI ي R66لK ُدN ا L66ي Iُد Rا الٌشKْمR Iٌن Iا الٌصRرL عKِةI ا LُدN ِب ُدI ي Rالٌش KَسL Kْي علْيه وسلم ل
LَغKَضKِبI (متفق علْيه) LُدK ال ن Iع Nه KَسLفK ٌن
Artinya:Dari Abu Hurairah Ra Rasulullah bersabda: “ orang kuat itu bukanlah orang yang sering mengalahkan lawan ketika gulat. Sesungguhnya orang yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai nafsunya ketika marah”. HR. Muttafaqun alaih.
4. Al- Hasad (dengki)
Dengki ialah suatu keadaan pikiran, yang membuat dirinya merasa sakit
jika orang lain mendapat suatu kesenangan dan ia ingin agar kesenangan itu
diambil dari orang itu meskipun ia sendiri tidak akan mendapat keuntungan
apapun dengan hilangnya kesenangan itu. Ini mengarah kepada kekejian, merasa
gembira jika orang lain bernasib buruk. Semua yang baik yang dimiliki manusia
adalah karunia Allah dan setiap keinginan orang lain agar ini dihapuskan
menunjukkan bahwa: ketidak senangannya dengan putusan Allah, dan
keserakahan yang keterlampauan. Karena seorang bakhil itu kikir dengan harta
miliknya sendiri, tetapi seorang pendengki, kikir berkenaan dengan anugerah yang
datang dari khazanah Allah.6[6]
5[5] Sri Rejeki, Dimensi Psikoterapi Suluk Ling-lung Sunan Kalijaga, (Semarang: Puslit IAIN Walisongo Semarang, 2010), Hlm. 44-45
6[6] Muhammad Abdul Quasem, Etika Al-Ghazali, terj. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988)Hlm.135
Sebagaimana hadist Nabi, sesungguhnya sifat dengki banyak membawa
kerugian.
NمN ُك KرKمK ا KْمKا ُك eا IْخLوKاٌن ا َدKالله Kا َب Iع وLا NرK KُدKاِب َت KاَلKو KاَغKَضNوLا Kَب َت KاَلKو وLا NَسKاَجK Kن َت KاَلKو ُدNوLا Kس KَحKا َت Kاَل
علْيه ( ) متفق الله
Artinya:
Janganlah kamu dengki mendengki, jangan pula putus memutuskan hubungan persaudaraan, jangan benci membenci, jangan pula belakang membelakangi, dan jadilah kamu semua hamba Allah seperti saudara, sebagai mana yang diperintahkan Allah kepadamu. HR. Bukhori-Muslim
5. Al- Istikbar (sombong)
Sombong yaitu menganggap dirinya lebih dari yang lain sehingga ia
berusaha menutupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa
lebih besar, labih kaya, lebih pintar, lebih dihormati, lebih mulia, dan lebih
beruntung dari yang lain. Maka biasanya orang seperti itu memandang orang lain
lebih buruk , lebih rendah dan tidak mau mengakui kelebihan orang tersebut,
sebab tindakan itu menurutnya sama dengan merendahkan dan menghinakan
dirinya sendiri.7[7]
Al-Ghazali menyebutkan kesombongan itu banyak macamnya.
Berdasarkan terhadap apa kesombongan itu ditujukan, maka terdapat tiga macam,
yakni sombong terhadap Allah, sombong terhadap para Nabi dan sombong
terhadap orang lain.8[8]
Adapun ayat Al-qur’an yang menjelaskan sifat sombong adalah sebagai
berikut:
) $¨Br&ur šúïÏ%©!$# (#qàÿs3ZtFó™$# (#rçŽy9õ3tFó™$#ur óOßgç/Éj‹yèãŠsù $¹/#x‹tã $V ŠJ Ï9r& Ÿwur tbr߉Ågs†
Nßgs9 `ÏiB Èbrߊ «!$# $wŠÏ9ur Ÿwur #ZŽ�ÅÁtR ÇÊÐÌÈ Artinya: adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka
Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripada Allah. (Q.S. An-Nisa’: 173)
7[7] Yatimin Abdullah, Op.Cit, Hlm. 66
8[8] Muhammad Abdul Quasem, Op.Cit. hlm.154
6. Al- Ishraf (berlebihan)
Al- Ishraf ialah menyianyiakan sesuatu tanpa manfaat, melebihi batas
disetiap perbuatan, misalnya menyianyiakan harta, ini dilarang oleh agama dan
merupakan penyakit hati, mengeluarkan harta tanpa faidah, umpama makan dan
minum dikala belum lapar dan belum haus atau makan minum yang berlebih-
lebihan, berpakaian yang terlalu menyolok secara keterlaluan.
Karena itu, makan, minum, berpakaian hendaklah sekadar cukup saja,
jangan berlabih- lebihan, sifat ini timbul pada mereka yang bodoh karena tidak
pandai mengatur, padahal masih banyak keperluan-keperluan urgent yang lebih
patut.
7. Al- Ifsad (berbuat kerusakan)
Orang yang berbuat kerusakan jiwanya seperti jiwa serigala yaitu selalu
berusaha bagaimana caranya menganiaya orang lain, dan yang ada difikirannya
hanya bagaimana cara merusak orang lain. Dapat juga dikatakan seperti jiwa tikus
yaitu tidak dengan moncong mulutnya, dengan ekornya dia mencuri, selain itu
kerjanya hanya merusak saja.
Ia senang menagdu dombakan orang, menghasut dan melancarkan fitnah
untuk merusakkan orang lain, membuat bencana, maka orang seperti itu tidak dapt
dipercaya dan harus dijauhi.
8. Al- Namimah (mengadu domba)
Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang
atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud
mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka.
Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara orang dengan
orang atau memutuskan silaturrahmi anttara keluarga dan sahabat, menceraikan
hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah lawan.
9. Al- Sikhriyyah (berolok-olok)
Al- Sikhriyyah adalah menghina ke’aiban atau kekurangan orang dengan
menertawakannya, dengan memperkatakannya, atau dengan meniru perbuatannya
dengan isyarat.
Janganlah menghina atau memperolok-olokkan orang, boleh jadi orang
tersebut lebih baik dari engkau sendiri. Orang yang selalu berolok-olok adalah
orang yang berjiwa kera, senangnya hanya mengejek perbuatan orang lain.9[9]
Berikut ini adalah Firman Allah yang melarang perbuatan sikhriyyah atau
mengolok-olok.
$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw ö�y‚ó¡o„ ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽö�yz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽö�yz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâ“ÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#râ“t/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y‰÷èt/ Ç`»y ƒJ M}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í
´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”
C. Efek Psikologis Pelaku Akhlak Madzmumah
Efek psikologis dari pelaku Akhlak Madzmumah adalah seperti dalam QS.
Al-Hujurat 49: 11 sebagaimana tertera di atas. Dalam ayat tersebut Allah
memperingatkan, kalau ada orang yang suka menjelekkan orang lain, bisa jadi
justru yang bersangkutan tanpa sadar tengah menunjukkan kejelekan dirinya.
Secara psikologis, orang yang demikian itu tergolong tidak sehat mentalnya. Dia
tidak rela dan sakit hati jika melihat orang lain melebihi dirinya hal itu membuat
orang tersebut selalu saja ingin mencari kekurangannya, bukan belajar dari
kelebihannya. 10[10]
9[9] Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 62-67
10[10] Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 32
Kesehatan mental (Mental Hygiene atau Mental Health) berusaha
membina kesehatan mental dengan memandang manusia sebagaimana adanya.
Artinya, kesehatan mental memandang manusia sebagai satu kesatuan
psikosomatis, kesatuan jiwa raga atau kesatuan jasmani rohani secara utuh.
Hilangnya gangguan mental merupakan tujuan psikoterapi. Mental yang sehat
merupakan tujuan kesehatan mental. Psikoterapi menangani orang sakit untuk
disembuhkan dan kesehatan mental menangani orang yang sehat untuk dibina
agar tidak jatuh menjadi sakit mental. Kedua ilmu itu saling berkaitan. Psikologi
dan agama merupakan dasar atau landasan dan sekaligus sebagai alat baik untuk
menyembuhkan gangguan mentak maupun untuk pembinaan kesehatan mental.
Baik agama maupun psikologi dengan psikoterapi berusaha membentuk,
mengolah, membina dan mengembangkan kepribadian yang utuh, kaya dan
mantap. 11[11]
Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu
seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:
1. Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam
hati, dan maksiat mematikan itu.
2. Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang
hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."
3. Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa
kelezatan.
4. Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di
kegelapan malam.
5. Terhalangnya ketaatan.
6. Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.
7. Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum
kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan
lagi.
11[11] H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995), hlm.207-208
8. Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia
merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.
9. Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan
kejayaan.
10. Maksiat merusak akal, sedang kebaikan membangun akal.12[12]
IV. KESIMPULAN
Akhlakul madzmumah adalah perangai atau tingkah laku pada tutur kata
yang tercermin pada diri manusia yang cenderung melekat pada bentuk yang tidak
menyenangkan orang lain.
Macam-macam akhlak madzmumah yaitu: Ananiyah (egois), Al- Buhtan
(dusta), Al- Ghadlab (Pemarah), Al- Hasad (dengki), Al- Istikbar (sombong), Al-
Ishraf (berlebihan), Al- Ifsad (berbuat kerusakan), Al- Namimah (mengadu
domba), Al- Sikhriyyah (berolok-olok).
Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu
seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:
1. Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam
hati, dan maksiat mematikan itu.
2. Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang
hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."
3. Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa
kelezatan.
4. Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di
kegelapan malam.
5. Terhalangnya ketaatan.
6. Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.
7. Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum
kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan
lagi.
12
8. Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia
merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.
9. Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan
kejayaan.
http://nafimubarokdawam.blogspot.com/2013/04/macam-macam-akhlak-madzmumah_6191.html
TASWUF
Selasa, 28 Mei 2013
Macam-Macam Tasawuf
A.MACAM-MACAM TASAWUF1. Tasawuf Akhlaqi(sunni)Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi. 2.Tasawuf FalsafiTasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif.Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan. 3. Tasawuf Syi’i
Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i.Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka.Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.
B.ASAL MULA TASAWUF AKHLAQI Tasawuf akhlaqi ini ditunjukan dengan banyak istilah:Disebut “tasawuf praktis” karena lebih berorentasi pada praktek akhlak atau prilaku shaleh, dan disebut juga tasawuf sunni.Ada juga yang menambahkan istilah tasawuf sunni-salafi.Hanya saja, disebut tasawuf sunnikarena para pelaku tasawufnya berupaya memagari perilaku sufismenyadengan Al-Qur’an dan sunah serta menjadikan kedua tersebut sebagai rujukan utama dalam setiap perilaku tasawufnya. Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:1. TakhalliTakhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.2. TahalliTahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam).Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan 3. TajalliUntuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli.Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
C. .ADA BEBERAPA TASAWUF AKHLAQI YAITU:1. Tasawuf AmaliTasawuf Amali sebagai “kepanjangan tangan”, “saudara kembar” atau warna lain dari Tasawuf akhlaki memiliki dua ajaran utama: pertama ajaran yang berkaitan dengan Maqamat (tahapan/tingkatan spiritual) dan kedua ajaran yang berkaitan dengan Ahwal (kondisi mental/situasi mistik), disamping bawah tasawuf jenis ini memiliki beberapa istilah teknis, yaitu syari’ah (hukum Islam/fikih/asfek lahir agama), Thariqah (perjalanan menuju Allah), Haqiqah (asfek batiniah dari syari’at) danMa’rifah (pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati/intuisi/ilham atau dzauq/rasa spiritual).
2. Tasawuf SunniTasawuf Sunni memiliki ciri-ciri penting yang membedakannya dari jenis Tasawuf Falsafi.Pertama, Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan sunah (Hadit). Kedua, tidak menggunakan terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.Ketiga, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.Keempat, kesinambungan dan integrasi (kesatupaduan) antara hakikat dan syari’at.Kelima, lebih kekonsentrasi pada pembinaan mental, pendidikan akhlak (moral) dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah melalui tahapan takhalli, tahalli, tajalliKeenam, tasawuf jenis ini lebih berorientasi pada prakktek ritual keagamaan, ketimbang memusatkan diri pada kreasi pemikiran pemikiran teoritik-spekulatif.
D. TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN PEMIKIRANNYATasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasadisebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk.Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.
E. TOKOH-TOKOH TASAWUF AHLAKI DAN AJARANNYA1. Junaid Al-Baghdadi
Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki.Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskanAl-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.”Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA.55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`.Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.
2. Al-Qusyairi An-NaisaburyDialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk.Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad.Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas.3.Al-HarawiNama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan.Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima
Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.
E. Ciri-ciri Tasawuf Akhlaqia. Melandaskan diri ada Al-Qur’an dan As-sunah. mereka tidak mau menerjunkan pemahamannya pada konteks iluar pembahasan Al-Qur’an dan Haditsb. Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan syahadat-syahadat.c. Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksud disiini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan tuhan, sehubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda diantara keduanya,dalam hal esensinya.d. Kesenambungan,antar hakikat dan syariat.e. Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan,pendidikan akhlak,dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental)dan langkah takhalli, tahalli, tajalli.
PENUTUP KESIMPULANTaswuf akhlaki adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para sufi.Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:1.Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil2.Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.3.Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.4.Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli). Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.
DAFTAR PUSTAKA
Abul Wafa’ al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Pustaka, 1985
Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 1996
Drs. H. Mahfud, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Cirebon, 2009Mukhtar Solihin dan Rosikhon Anwar, kamus tasawuf, Bandung: Rosda Karya, 2002.http://kangobed.blogspot.com/2013/05/macam-macam-tasawuf.html
riday, November 30, 2012
Macam-macam Aliran Tasawuf
Secara keseluruhan Ilmu tasawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma manjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori tasawuf menurut bebagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian ke dua ialah Tasawuf Amali atau Tathbiqi, yaitu tasawuf terapan yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya sebagai teori belaka. Namun menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalanakan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara materiil dan spiritual, dunia dan akhirat.Sementara ada lagi yang membagi tasawuf manjadi tiga macam bagian aliran tasawuf, yakni : 1. Tasawuf akhlaki, 2. Tasawuf amali, 3. Tasawuf falsafi. Perlu di maklumi bahwa pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ke tiganya tidak bisa di pisahkan secara dichotomik, sebab dalam prakteknya ke tiganya tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Selanjutnya untuk mengkaji masing-masing bagian tasawuf tadi, berikut ini akan di uraikan satu persatu.
Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian yang optimum, manusia harus lebih dahulu yang mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke tuhanan melaui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan ber akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih seehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengetahui
dan menyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah berfirman : Asy-Syams: 9-10Artinya: “sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (asy-syams: 9-10)Adapun sifat-sifat tercela yang harus di hilangkan ialah antara lain Syirik (penyekutuan tuhan), hasad (dengki), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), Ghadlab ( marah), Riya dan Sum’ah (pamer), Ujb (bangga diri) dan sebagainya.Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara :
a. Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah.b. Muhasabah (koreksi) terhadap dirinya sendiri.c. Riyadlah (latihan) dan Mujahadah (perjuangan).d. Berupaya mempunyai kemauan dan gaya tangkal yang kuat terhadap kebiasaan-
kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan kebiasaan-kebiasaab baik.e. Mencari waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek-jelek itu, dan f. Memohon pertolongan dari Allah swt.
Tahap selanjutnya ialah Tahalli, yakni menghias diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama.Langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senantiasa konsisten dengan langkah yang di rintis sebelumnya (dalam bertkhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan manusia yang sempurna (ihsan kamil).Langkah ini perlu di tingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji, antara lain at-tauhid (pengesaan Tuhan secara mutlak), ash-shabru (tabah dalam menghadapi segala situasi dan kondisi), dll.Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut, maka pada tahap ke tiga yakni Tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu : sifat-sifat kemanusiaan atau memperoleh Nur yang selama ini tersembunyi atau fana’ segala sesuatu selain Allah ketika Nampak (tajalli) wajah-Nya.Al-kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam yaitu :
1. Tajallidz Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).
2. Tajallis Sifatidz Dzat, yakni nampaknya sifat-sifat Dzat-Nya sebagai sumber atau tempat cahaya.
3. Tajalli Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum Dzat, atau hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.Pencapaian tajalli tersebut melalui pendekatan melalui pendekatan rasa atau Dzauq dengan alat al-Qalb. Qalb menurut shufi mempunyai kemempuan lebih bila dibandingkan dengan akal. Yang kedua ini tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah swt. Sedang al-Qalb bisa mengetahuinya. Apabila ia telah member atau menembus qalb dengan Nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang karunia dan rahmat-Nya. Ketika itu
Qalb menjadi terang-benderang, terangkatlah tabir rahasia dengan karunianya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat ketuhanan selama itu terhijab dan terahasiakan.Apabila seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan memperoleh ma’rifat, yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa di artikan lenyapnya segala sesuatu dengan ketika menyaksikan Tuhan.Ma’rifat merupakan pemberian Tuhan, bukan usaha manusia. Ia merupakan ahwal tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim Basyuni, ma’rifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setela melakukan mujahadah dan riyadlah, dan bisa dicapai ketika terpenuhinya qalb dengan Nur Ilahi.Nur Ilahi itu akan diberikan kepada seseorang yang telah terkendali hawa nafsunya, bahkan bisa dilenyapkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) nya yang cenderung berbuat maksiat, dan terlepasnya dari kecendrungan kepada masalah duniawiyah. Karena dosa dan cinta kepadanya, akan menjadi penghalang qalb untuk melihat (ma’rifat) kepada-Nya.
Tasawuf amali, yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasikan thariqah, dalam thariqah dibedakan antara kemampuan shufi yang satu dari pada yang lain, ada orang yang di anggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang di anggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas social yang sepaham, dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka mucullah istilah Murid, Mursyid, Wali, dan sebagainya.Dalam tasawuf amali yang berkonotasikan thariqah ini mempunyai aturan, prinsip dan system khusus. Semula hanya merupakan jalan yang harus di tempuh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, lama-kelamaan bekembang menjadi organisasi shufi, yang melegalisir kegiatan tasawuf. Praktek amaliahnya disistimatisasikan sedemikian rupa sehingga masing-masing thariqah mempunyai metode sendiri-sendiri.Pengertian ini di tegaskan oleh J. Scencer Trimingham bahwa thariqah adalah suatu metode praktis untuk menuntun seorang shufi secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan, dan tindakkan, terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian maqam untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.Dalam thariqah ada tiga unsure yakni: guru, murid, dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas ke shufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran islam. Oleh karena itu dia mempunyai ke istimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih.
Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari
bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya.Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan kata-kata : “hai aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu.Salah satu Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :
1. “tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku”.2. “maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku”.3. “tidak ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”.
Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul.Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan al-Busthami, seperti : “aku adalah yang haq”. Karena ungkapannya yang di anggap menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syi’ah Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha’ yang sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi hukuman mati.Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap makhluk yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : “ maha suci dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri”.Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia tasawuf di kenal istilah fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di depan. Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai puncak tujuan yang di inginkannya, yakni ma’rifat dan hakikat, sehingga muncul kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan al-Ma’ruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu.Orang yang telah mencapai ma’rifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifat-sifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam ma’rifat masih ada sia-sia
kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan kesatuan ilahi merupakan prinsip ma’rifat yang pertama dan yang terakhir.Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya, tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas.Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam, adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara khalik dan makhluk, antara ‘abid dan ma’bud tidak bisa di satukan.
DAFTAR PUSTAKAEmroni. Ilmu tasawuf. IAIN Antasari. Banjar masin. 2001Ahmad jaiz. Hartono. Mendudukan tasawuf. Buku Islam kafah.jakarta
http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/11/macam-macam-aliran-tasawuf.html
Sejarah Singkat Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf Beserta Aliran-alirannyaJan 8
A. Sejarah Singkat lahirnya Ilmu Kalam beserta Aliran-alirannya
Kelahiran Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh topik-topik pembahasan seputar Ketuhanan seperti jabr (doktrin yang menganggap bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya apa yang akan terjadi, sehingga garis ketetapan itu tak dapat diubah. Dan mengenai kehendak bebas (ikhtiyar), serta topic mengenai keadilan Ilahi berlangsung di kalangan Muslim pada paro pertama abad kedua
hijriah. Ada tokoh-tokoh yang senantiasa mendukung kehendak bebas (ikhtiyar) seperti Ma’bad Al-Juhani paro abad kedua pertama (wafat tahun 80 H/699 M). Dan ada juga yang menentang kehendak bebas dan lebih mendukung jabr. Kaum yang memiliki kehendak bebas dinamakan Qodariah sedangkan lawannya adalah Jabariyah. Maka berangsur-angsur pokok-pokok perselisihan antara kedua kelompok ini meluas ke bidang teologi dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan manusia dan kebangkitan, diantaranya juga masalah jabr dan ikhtiyar.[1] Maka bermunculan aliran-alirab teologi dengan dasar ajaran dan keyakinannya masing-masing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai aliran-aliran kalam :
1. 1. Aliran Khawarij
Khawarij adalah aliran dalam teologi islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al_syahrastani, Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.
Khawarij sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisan, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Ibn Abi Thalib yang menerima kesepakatan damai sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awyiyah Ibn Abi Sufyan.
Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun cara berpikir. Golongan-golongan Khawarij yang terbesar menurut al-Syahrastani ada delapan. yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyyah, al-Ajaridah, al-Sa’alibah, al-Ibadiah dan al-Shufriyah.
a. Al-Muhakkimah.
Al-Muhakkirnah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim,. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al- A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir.
b. AI-Azariqah
Al-Azarigah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak di perbatasan Irak dan. Iran. Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi’ sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al- Mu’minin. Sub sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari Muakimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik.
c. Al-Najdat
Al-Najdat adalah golongan khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diabil dari nama pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencanan ini tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara pengikut al-Azariqah dengan al-najdat. Para pengikut Nafi’ Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al_Tawil dan Atiah al-Hanafi dalam tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.
Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang, tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.
2. Aliran Murji’ ah
Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Au Yusuf dan beberapa ahli hadis.
3. Aliran Qadariyah
Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai gudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada Tuhan. Aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Qodariah dosebut juga dengan aliran Mu’tazilah.
4. Aliran Jabariyah
Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Paham Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memilki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Aliran Jabariyah ini selanjutnya mengembangkan pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu. Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Jabariyah ini mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya berada dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.
Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah di kalangan umat Islam adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Mad ini kemudian disebarluaskan oleh para pengikutnya.
B. Sejarah Singkat Tasawuf beserta Aliran-alirannya
Kata tasawuf dan sufi belum dikenal pada masa awal Islam, namun tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada walaupun istilah sufi dan nama ilmu tersebut belum muncul. Ilmu kesufian atau ilmu tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh al-Qur’an dan al-Hadits dengan tujuan utama mengesakan Allah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya menjadi Abu Hasyim Al-Sufi. Dalam sejarah Islam sebelum muncul aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyah. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2]
Akan tetapi setelah tasawuf menjadi sebuah ilmu pengetahuan maka pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, masih perlu dilihat dari tipe-tipe atau mazhab-mazhab tasawuf. tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’I dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni. Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,” maka ia dikelompokkan kepada tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam garis garis islam disebut tasawuf Sunni. Dalam Ilmu tasawuf terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai metoda tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seorang agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tatpi ia juga bermakna segenap ajaran
Islam adalah tarekat menuju umat menuju perjumpaan Tuhan. Tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh seseorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh aspek ajaran islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan. Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian yang lebih bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran, vaitu TASAWUF SUNNI dan TASAWUF FALSAFI.
Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan tasawuf falsafi, ada sejumlah kesamaaan yang jelas disamping adanya perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Tasawuf sunni berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada Jarak yang terpisah sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan tasawuf falsafi, mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya.
Terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran spekulatif filsafat. Tasawuf ini kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena mereka sudah, merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli agamawi. Nampaknya perbedaan dan sebab penamaan itu tidak terletak pada menyimpang atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, tetapi perbedaan itu hanyalah bersifat instrumental belaka yakni sistem pemecahan masalah. Di satu pihak membatasi diri hanya menggunakan landasan naqli, sedangkan dipihak lainnya menggunakan alat bantu yang bersifat aqli filsafati, filsafati timur, filsafat dari belahan dunia barat.
C. Sejarah Singkat Filsafat Islam beserta aliran-alirannya
Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al-rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.
Penerjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca oleh ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filosof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. Dan muncullah beberapa aliran filsafat Islam. Aliran-alirannya adalah yang akan kami jelaskan sebagai berikut :
A. Aliran Paripatetik
Istilah paripatetik merujuk kepada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya. Dengan demikian istilah paripatetik ini merujuk kepada para penbgikut Aristoteles. Tokoh-tokoh yang dikategorikan dalam aliran ini diantaranya adalah al-Kindi (w.866), al-Farabi (W.9540), ibn Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (W.1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).
Ciri khas dari aliran ini adalah penjelasan yang bersifat diskursif, yakni menggunakan logika formal berdasarkan penalaran akal. Lalu sifatnya tidak langsung karena mereka menggunakan symbol dalam menangkap objek dan cirri lainnya adalah penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.
B. Aliran Iluminasionis (Isyraqi)
Aliran ini didirikan oleh Pemikir Iran bernama Suhrawardi al-Maqtul yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh oleh para ulama Suriah yang iri padanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat.
Karakteristik dalam filsafat iluminasionis ini diantaranya adalah mementingkan posisi pengetahuan intuitif (irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional. Jadi Suhrawardi mensintesiskan dua pendekatan burhani dan irfani dalam sebuah system pemikiran yang solid dan holistic.
C. Aliran Irfani (Tasawuf)
Dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Bahkan Suhrawardi sendiri mengatakan bahwa tasawuf merupakan fundamental bagi filsafat. Sebagaimana yang kita ketahui tasawuf didasarkan oleh pengetahuan intuitif. Persepsi intuitif berbeda dengan persepsi intelektual, karena persepsi intuitif ini bisa langsung menembus langsung jantung objeknya. Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorik :” Bisakah anda menyunting mawar dengan M.A.W.A.R?” Tidak, anda baru menyebut nama” kata Rumi, “ Carilah yang empunya Nama!”
Tentu saja pertanyaan ini menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Menurut para sufi, “Cinta” pun tidak akan bisa dipahami oleh akal kecuali jika kita mengalaminya sendiri.
D. Aliran Hikmah Muta’aliyah
Aliran ini diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w.1641) yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yaitu Paripatetik, Iluminasi, dan Irfani.
Filsafat hikmah percaya bukan hanya pada akal diskursif, melainkan juga pada pengalaman mistik. Namun filsafat Hikmah disini menekankan bahwa
pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public. Mulla shadra juga membicarakan antara kesatuan akal dan ma’qul. Tidak mungkin ada yang dipikirkan (al-ma’qul) kalau tidak ada yang berpikir (aqil). Maka ma’qul tidak akan menjadi yang dipikirkan kalau dilepas hubungannya dengan yang berpikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Karena itu maka yang dipikir (ma’qul) haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berpikir (‘aql), yang pada gilirannya harus sama juga dengan yang berpikir (‘aqil). Mulla Shadra juga menciptakan ajaran Wahdatul Wujud sebagaimana Ibn Arabi tetapi tentunya dengan perbedaan yang cukup signifikan.[3]
2. Pengertian dan Pembahasan Ilmu Kalam (Teologi), Filsafat Serta Tasawuf
A. Pengertian Teologi dan Objek Pembahasannya
Teologi merupakan suatu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar tersebut biasa disebut dengan Usul al-Din, aqa’id dan disebut pula credos. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat terpenting dari segala sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam Islam disebut juga dengan Ilmu Kalam. Arti Kalam adalah kata-kata. Jika yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm kalam, karena persoalan mengenai kalam (Sabda Tuhan) atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim waktu itu. Jika yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut dengan ‘ilm kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.[4]
Ilmu Kalam membahas iman dan akidah dari berbagai aspek dan memaparkan alasan-alasan yang memperkuat pembahasan tersebut. ilmu kalam ini merupakan studi tentang doktrin (akidah) dan iman Islam. Secara sederhana Murtadha Muthahhari mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam. Ilmu kalam
mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut. karena sebagian besar perdebatan tentang akidah-akidah Islam berkisar seputar huduts (kemakhlukan, keterciptaan, temporalitas) atau qidam (keabadian) firman atau kalam Allah, maka disiplin yang membahas akidah utama agama Islam pun mendapat sebutan “ilmu kalam” (secara harfiah, ilmu firman).
B. Pengertian Filsafat Islam dan Objek Pembahasannya
Filsafat adalah usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan universal hakikat semua yang ada, yakni meliputi hakikat Tuhan, hakikat Alam Semesta, dan hakikat manusia serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham dan pemahamannya.[5]
Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.[6] Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.
Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat islam adalah filsafat Qur’aniah, yaitu filsafat yang berorientasi kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban-jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.[7] Namun penamaan istilah filsafat islam pada dasarnya adalah karena islam ini bukan hanya sekedar agama namun termasuk juga di dalamnya kebudayaan. Jadi pemikiran filsafat ini juga tentunya terpengaruh oleh kebudayaan islam tersebut, meskipun pemikiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.[8] Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya. filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.
Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :
1. Dapat menolong dan menididik, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan.
2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.
C. Pengertian Tasawuf dan Objek Pembahasannya
Tasawuf berasal dari kata shafw yang artinya bersih atau shafaa, dari kata shuffah yang artinya suatu kamar disamping mesjid Rasulullah di kota Madinatul Munawwarah, berasal dari kata shaff yang artinya barisan dikala sembahyang sholat, dari kata shaufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir, dan kaum sufi mengenakan baju berbulu seperti buah itu, dalam kesederhanaannya.[9]Tasawuf juga berasal dari kata shuf’ wol. Konon, dulu para sufi (ahli tasawuf) biasa berpakaian shuf atau bulu domba. Secara istilah tasawuf bisa disamakan dengan mystic, yaitu satu system cara bagaimana agar seseorang bisa mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan yang Mahakekal dan Mahasempurna. Hubungan ini adalah berdasarkan cinta dan kasih.[10] Ibn Khaldun berpendapat bahwa “ Tasawuf adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, konsentrasi secara penuh kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari kelezatan, harta dan pangkat dan pemisahan diri dari orang lain untuk menyendiri dan beribadah,”[11] yang tujuannya menurut Abd-al-Hakim Al-Hasan adalah sampai (wusul) kepada Zat Yang Haq dan atau Zat Yang Mutlak dan bersatu (ittihad) dengan-Nya.[12] Sedangkan tasawuf menurut Abu Nasar al-Sarraj adalah menghindari hal-hal yang terlarang, melakukan kewajiban-kewajiban agama dan menolak dunia. Menurut Abu Bakar al-Kalabadhi Tasawuf adalah menarik diri dari dunia, meninggalkan semua hal yang sudah mapan, terus menerus berkelana, menolak kesenangan-kesenangan hawa nafsu bagi jiwa, menyucikan perilaku dan memberikan hati nurani.[13]
Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim berada sedekat mungkin dengan Allah. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Para sufi mengembangkan suatu cara bagaimana bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan yang hendak dicapainya adalah kebahagiaan, yakni dengan persatuannya dengan Kekasih. Kesengsaraan yang memilukan bagi mereka bukanlah masuk Neraka, tetapi apabila Tuhan telah menjauhi dan tidak mau bicara dengan mereka. [14] Objek kajian tasawuf adalah Tuhan (Al-Haq) , yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.
D. Korelasi antara Filsafat Islam, ilmu Kalam dan Tasawuf
1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam
Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran antara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli juga tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.
Jadi Filsafat Islam bertujuan untuk menyelaraskan antara firman dan akal, ilmu pengetahuan dengan keyakinan, agama dengan filsafat serta menunjukkan bahwa akal dan firman tidak bertentangan satu sama lain. Walaupun orientasinya bersifat religius, namun isu-isu penting dalam filsafat tidak diabaikan, seperti waktu, ruang, materi, kehidupan dan masalah-masalah kontemporer.
Filsafat islam dan ilmu kalam sangat kuat pengaruhnya satu sama lain. Kalam mencuatkan masalah-masalah baru bagi filsafat, dan filsafat membantu memperluas area, bidang, atau jangkauan kalam, dalam pengertian bahwa pembahasan tentang banyak masalah filsafat jadi dianggap penting dalam kalam. Filsafat Islam mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya-Allah, Alam dan Manusia-tanpa terikat dengan pendapat yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relative). Nash-nash agama hanya sebagai bukti untuk membenarkan hasil temuan akal. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dalil akidah sebagaimana tertera dalam wahyu, yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya – Allah dan sifat-sifatnya, serta hubungan dengan Allah dengan Alam dan Manusia sebagaimana tertuang dalam kitab suci – menjadikan filsafat sebagai alat untuk membenarkan nash agama. Seperti keberadaan Allah, Filsafat Islam mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan oleh wahyu, sementara ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan Allah, baru kemudian didukung oleh argumentasi akal. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan akidah Muslim.[15]
2. Filsafat dan Tasawuf
Tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tasawuf Amali/Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi (Ibn Arabi dan Al-Hallaj). Dari pengelompokkan ini tergambar adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf, seperti logika dalam penjelasan maqomat (al-fana-al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud).
Tasawuf Falsafi yang biasanya juga disebut dengan irfan yakni secara teknis diterapkan pada persepsi-persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa dan tidak melalui pengalaman inderawi dan rasional. Irfan sejati diperoleh semata-mata melalui keterikatan Allah dan ketaatan kepada segenap perintah-Nya. Keterikatan tanpa pengetahuan mustahil adanya, dan pengetahuan ini mesti bersandar pada sejumlah prinsip filsafat. Penyingkapan dan visi irfan memunculkan masalah-masalah baru untuk diuraikan dan dikupas tuntas oleh filosof, dan memperluas cakrawala pandang filsafat. Dalam pemecahan berbagai masalah dalam ilmu-ilmu kefilsafatan, visi-visi irfan bisa dianggap sebagai pendamping. Banyak hal yang terbukti secara rasional dalam filsafat, terungkap pula melalui penglihatan kalbu.[16]
Kajian-kajian Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.
3. Hubungan Antara Ilmu Kalam, filsafat dan Tasawuf
A. Titik Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu islam yang mengkaji akidah (doktrin)[17]. Objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.
Argumen filsafat- sebagai mana ilmu kalam- dibangun di atas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamannya kebenaran yang dihasilkannya.
Bagi ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikai berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.
Pada intinya bahwa ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi bojek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan_Nya. Namun dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Ilmu kalam dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf (irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya ketiga ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan_Nya.
B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
1. Ilmu Kalam
Setelah membahas tentang persamaan dari ketiga ilmu tersebut, yaitu terdapat persamaan dalam objek kajiannya, maka akan ditemukan juga titik perbedaannya. Perbedaan di antara ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.
Meskipun ilmu kalam merupakan sebuah disiplin ilmu yang rasional dan logis, namun kalau dilihat adari asas-asas yang dipakai dalam argumentasinya terdiri dari dua bagian, yaitu ; Aqli dan Naqli[18]. Bagian Aqli ini terbangun dengan dasar pemikiran yang rasional murni, itupun kalau ada relevansinya dengan Naqli. Karena naqli tersebut adalah untuk menjelaskan dan menegaskan pertimbangan rasional supaya memperkuat argumen-argumennya.
2. Ilmu Filsafat
Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikatat oleh apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity). Murthadha muthahari berkata bahwa metode filsafat hanya bertumpu pada silogisme (qiyas), argumentasi rasional (istidal aqli) dan demonstrasi rasional ( burhan aqli).[19]
Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam
pandangan korespodensi, kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan sebenarnya di alam nyata. Disamping kebenaran korespodensi, di dalam filsafat juga dikenal kebenaran korehensi. Dalam pandangan korehensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum.
Disamping dua kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatis. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk di kerjakan.
3. Ilmu Tasawuf
Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf bersifat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa lebih muda dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau ilham, atau inspirasi yang datang dari tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.
Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman,sosial, dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.
4. Manfaat Dari Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang baru untuk mengenal rasional sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya
langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya. Adapaun tasawuf lebih perperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.
5. Tabel persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf
Ilmu kajian Objek kajian Metodologi kajianKalam Tuhan Aqli dan NaqliFilsafat Wujud Aqli (empiris)
Tasawuf (Irfan) Al-Haq Kasyf (pengalaman)
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan awal, bahwa table tersebut menjelaskan objek kajian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf itu sama, yaitu kajian tentang Tuhan namun hanya dalam segi penamaannya saja yang berbeda. Adapun dalam segi perbedaanya jelas bahwa kalam menggunakan aqli yang diseimbangkan atau diperjelas oleh naqli, sedangkan filsafat hanya menggunakan aqli (rasional) saja, yaitu melakukan kajian secara empiris dan menggunakan akal secara prima, dan tasawuf dengan menggunakan metode rasa (rasio) dan hati (intuisi), dengan menggunakan pengalaman dengan melakukan tiga proses penting, yaitu takhali (pengosongan dir dari perbuatan buruk), tahali (penghiasan diri dengan perbuatan-perbuatan baik) dan tazali (penyucian diri).
[1] Muthahhari, Murtadha, Mengenal Ilmu Kalam, hal. 18
[2] Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah, Sentot. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), hal. 5
[3] Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan, hal. 26
[4] Nasution, Harun. Teologi Islam, Pendahuluan
[5] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 113
[6] http://a2i3s-c0ol.blogspot.com/2009/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat.html
[7] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 114
[8] Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam, hal. 23
[9] Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah, Sentot. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), hal. 13
[10] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 116
[11] Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf, hal. 204
[12] Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf, hal. 205
[13] Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, hal. 99
[14] Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam, hal.144
[15] Nasution, Hasyimiah. Filsafat Islam, hal.6
[16] Yazdi, M.T. Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, hal. 78
[17] Murthadha Muthahari. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Hlm. 196
[18] Murthadha Muthahari. Mengenal Ilmu Kalam, Hlm.24
[19] Murthadha Muthahari. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Hlm.326
penulis : Ridwan Efendi
http://readone111.wordpress.com/2013/01/08/1-sejarah-singkat-ilmu-kalam-filsafat-islam-dan-tasawuf-beserta-aliran-alirannya/
ALIRAN & TOKOH ILMU KALAM
Diposkan oleh Ilham Yunar di 07.17 Selasa, 24 Mei 2011
Asal-Usul Munculnya Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam
Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, kaum muslimin sudah mulai
menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya
Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki
jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang disebarkan oleh
orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya
menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzdzab, Thulalhah, Sajah dan Al-Aswad
Al-Ansy. Di samping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak mau
membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka semua taat dan
disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera
dapat diatas dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar.
Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-
musuh Islam yang hendak menghancur-leburkannya.
Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq, Umar ibnu
Khattab, dan Utsman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan
terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah,
dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum
muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh pelosok
penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia
Tenggara tiba-tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang
ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam dianggap
kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak sesuai dengan
kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang pengawasan dan
pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga
para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara
maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.
Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,
sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya
hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga Usman bin Affan adalah
keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah bermulanya fitnah yang
membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan
pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya
Sayyidina Utsman bin Affan . Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib terpilih dan
diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak memperoleh suara
yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Bahkan
ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan tersebut sekaligus
menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan
komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya
perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan.
Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.
Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah
terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka berpendidikan, tidak
mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula memusuhinya Ali. Karena mereka
berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari dua golongan tersebut
tidak berakibat baik.
Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka, yaitu Thalhah
bin Abdullah, Zubir bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu
dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan untuk menggulingkan khalifah
Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di
Basrah dibunuh, perbendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa
pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah
pertempuran hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh. Aisyah tertangkap dan
dipulangkan ke Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal (unta), sebab
Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak
yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam,
yang same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan
Ali, hingga pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat Islam yang memisahkan diri dari tentara Ali.
Golongan
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan
pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa
mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
Demikianlah golongan-golongan politik yang timbul di masa Khalifah
AIi-Kemudian sesudah Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam
(aliran tentang aqidah) yang diakibatkan oleh timbulnya golongan-golongan
politik tersebar di atas, yaitu:
1. Syi’ah
Golongan ini sangat fanatik kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan,
keturunannya. Mereka berkeyakinan tidak seorangpun yang berhak memegang,
menduduki jabatan kekhalifahan kecuali dari keturunan Ali. Jika orang yang
mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan dan
kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya golongan ini dimasuki pula oleh
unsur-unsur yang menyimpang dari pokok-pokok agama Islam.
2. Qadariyah
Golongan Qodariyah, pokok pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak
perbuatan manusia ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula
dianjurkan oleh Ma’bad Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin
Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman Daulah Umaiyah dan ketiganya mati
terbunuh.
3. Jabariyah
Golongan ini muncul di Khurasan, yang dipelopori oleh Al-Jaham bin
Shafwan la berpendapat bahwa hidup manusia ini sudah ditentukan oleh Allah
Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan semata-mata, manusia tidak dapat
berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga meniadakan sifat-sifat Allah
Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala, dengan suatu sifat yang
bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada makhluknya”. Pemimpin
golongan ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.
4. Murjiah
Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa kemaksiatan tidaklah
menghilangkan keimanan atau tidak memberi bekas terhadap keimanan seseorang,
sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh kepada orang yang kafir.
5. Karamiyah
Golongan ini berpendapat, bahwa yang diwajibkan kepada setiap muslim
hanyalah pengakuan lisan saja atas kebenaran rasul. Artinya cukuplah seseorang
dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, sekalipun tanpa amal dan tanpa
tashdiq di hati.
6. Khawarij
Golongan ini pada mulanya adalah pengikut setia Khalifah Ali, namun
mereka memisahkan diri akibat tidak setuju dengan kebijakan khalifah menerima
perdamian dengan Mu’awiyah pada saat perang Siffin. Mereka berpendapat
bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-
kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka orang itu dihukumkan
keluar dari Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi dalam neraka.
7. Mu’tazilah
Golongan Mu’tazilah ini salah satu pokok pikirannya adalah, bahwa orang
Islam yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban,
yang sampai matinya belum sempat bertobat, maka orang itu dihukum keluar dari
Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja, namun menurutnya orang fasiq
akan abadi di neraka.
8. Ahli Sunah wal Jama’ah
Kelompok ini biasa menyebut dirinya Islama Aswaja. Pemahaman
mereka ialah bahwa yang dihukumkan dengan orang Islam, ialah orang yang
memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua kalimat syahadat dengan lisan, dan
diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan amal. Menurut Ahli Sunah
wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar atau mengingkari
kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati tidak sempat tobat,
dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan maksiat. Hukumnya di akhirat
kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah akan masuk neraka untuk
menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan hukumnya itu, ada harapan
mendapat kebebasan dan masuk surga.
Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam
Sebagaimana kita bahas di atas, bahwa pada masa akhir pemerintahan
Khulafa al-Rasyidin muncul aliran kalam yang popular dengan nama Khawarij,
kemudian diikuti oleh Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah, Mu’tazilah dan
Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marl kita telisik satu persatu
sehingga kita dapat memahami pandangan-pandangan mereka dengan benar.
1. Aliran Syi’ah
Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali
secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak
menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, berdasarkan wasiatnya.
Sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab
dan Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau perampas khilafah.
Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di kalangan
ummat Islam biang keladinya adalah Abdullah Bin Saba’, seorang Yahudi yang
pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut cukup berhasil, dengan terpecah-belahnya
persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah sebagai firqoh pertama :
Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu khilafah,
kemudian berkembang menjadi agama. Adapun dasar pokok Syi’ah ialah tentang
Khalifah, atau sebagaimana mereka menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali
adalah iman sesudah Nabi Muhammad SAW. Kemudian sambung-bersambung
Imam itu menurut urutan dari Allah. Beriman kepada imam, dan taat kepadanya
merupakan sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi.
pandangan Golongan Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah, khalifah
atau imam adalah wakil pembawa syari’at (Nabi) dalam menjaga agama. Dia
mendorong manusia untuk beramal apa yang diperintahkan Allah. Dia adalah
pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi
baginya tidak ada kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau
berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.
Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai pengertian yang
lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-
macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa,
karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki
imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-
Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia
alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-
ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar manusia pada waktunya
sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena
itulah imam merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya
kepada ilmu dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan
Syi’ah sendiri.
Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik.
maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya
adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah
khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan
masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan
dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.
Menurut keyakinan golongan Syi’ah bahwa imam-imam mereka itu
sebagaimana para nabi adalah bersifat Al Ishmah atau ma’shum dalam segala
tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda
berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Hal itu didasarkan :
1. Apabila imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam lain
untuk memberikan petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu imam tidak
boleh salah, dengan perkataan lain hams ma’shum. Lawan-lawan golongan Syi’ah
menolak ajaran tersebut dengan alasan bahwa kebutuhan terhadap imam itu bukan
karena kemungkinan masyarakat berbuat salah, akan tetapi karena fungsi imam itu
sendiri sebagai pelaksana hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian
agama. Tidak ada kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi
cukup dengan ijtihad dan berlaku adil.
2. Imam itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum. Kalau
tidak demikian maka niscaya membutuhkan pemelihara yang lain. Lawan-lawan
mereka menoiaknya dengan alasan bahwa imam itu bukan pemelihara syari’at,
tetapi sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara syari’at ialah para ulama.
Aliran-aliran Syi’ah ada yang moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah
merupakan aliran yang paling dekat Sunni, bahkan menolak faham Al-Mahdi dan
Ar Raj’ah yang menjadi keparcayaan umum aliran-aliran Syi’ah.
Syi’ah Az Zaidiyah adalah pengikut Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin
Abi Thalib. Syi’ah Az Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak
banyak menyimpang) kepada Aldus Sunnah dan yang paling lurus. la tidak
mengangkat imam-imamnya sampai pada martabat kenabian, bahkan juga tidak
mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap
imam-imam seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-
utama orang sesudah Rasulullah SAW. Mereka tidak mengkafirkan seorang pun
di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang (Abu Bakar, Umar dan
Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan mengakui keimanannya.
Aliran Zaidiyyah menolak faham Al Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah
sebagian dari aliran-aliran dalam Syi’ah, yang sangat terpengaruh oleh ajaran-
ajaran Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin aliran Zaidiyyah ini pernah berguru
kepada Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah. Mereka sangat mengingkari
sekali terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam kitab-kitabnya mereka
menolak hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan dengan hal tersebut.
Syi’ah Ghaliyah atau Ashabu I-Ghulat, golongan Syi’ah yang ajaran-
ajarannya telah melampaui batas (ekstrim). Mereka ada yang berpendapat bahwa
imam-imam mereka mempunyai unsur-unsur ketuhanan. Ada pula yang
menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut adalah
pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi, ajaran-ajaran
Yahudi dan Kristen. Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya,
sedangkan agama Kristen menyerupakan makhluk dengan Tuhannya.
Di antara aliran-aliran Al Ghaliyah yang keterlaluan ialah As Saba’iyah, Al
‘Al’Alba’iyah dan Al Khattabiyah. Aliran As Sabai’yah adalah pengikut Abdullah
Bin Saba’, orang Yahudi dari Yaman, yang pura-pura masuk Islam. Aliran
Saba’iyah inilah yang pertama kali menyatakan ajaran tentang gaibnya imam,
raj’ah, menitis (hulul)-nya sifat ketuhanan kepada imam, dan berpindah
(tanasukh)-nya sifat ketuhanan dari seorang imam kepada imam berikutnya.
Aliran Al Khattabiyah, pengikut Abil Khattab Muhammad Bin Abi Zainab
Bani Asad. Setelah dia meninggal, diganti Mu’amar mempunyai ajaran-ajaran
yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa dunia itu tidak akan rusak.
Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia mendapatkan kebaikan,
kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah keadaan yang manusia
mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka menghalalkan khamer,
zina, dan semua hal yang diharamkan. Dan mereka selalu meninggalkan shalat
dan fardlu-fardlu lainnya.
Kini, Syi’ah dengan berbagai bentuk alirannya, masih tersebar cukup luas.
Di Iran, Syi’ah merupakan mazhab resmi negara. Di samping itu, Syi’ah terdapat
juga di Irak, Pakistan, India dan Yaman. Monument yang tidak boleh dilupakan
yang merupakan jasa Syi’ah, ialah Universitas Al Azhar Mesir, didirikan pada
tahun 359 H = 970 M, oleh Khalifah Al Muiz Lidinillah, dari Bani Fathimiyah.
Semula, di Universitas Al Azhar ini adalah untuk mencetak kader-kader Syi’ah,
pejabat-pejabat penting pemerintah. Namun, bersamaan dengan runtuhnya
kekuasaan Bani Fathimiyah dengan khalifah terakhirnya Al ‘Azid Lidinillah pada
tahun 555 H = 1160 M, maka corak Universitas Al Azhar yang semula berfaham
Syi’ah, berganti berfaham Sunni sampai sekarang.
2. Lahirnya Aliran Khawarij
Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari
sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena
mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat mereka pulang dari perang Siffin,
yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian. Gerakan
exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan
peperangan, padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali
menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka, merupakan suatu kesalahan
besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan
Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan Ali
semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan
tunduk.
Kemudian orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang
dianggap melakukan kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan
kesalahan karena mengubah sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-hara.
Kemudian Thalhah. Zubair dan Mu’awiyah yang melakukan pembangkangan
terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah yang sah. Dan Ali bin Abi Thalib
sendiri yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam
perang Siffin, ketika menaklukkan mu’awiyah yang tidak mau bai’at kepadanya.
Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada
Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang
keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai) untuk mengakhiri
peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij tidak sesuai
dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang yang
seharusnya diperangi sampai hancur dan tunduk. Dengan demikian, jalan terakhir
tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah, dan barang siapa
menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum Allah
tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah al-Maidah
ayat 44 yang
Artinya:
“Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah adalah kafir”.
Kemudian sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya
mereka mengafirkan orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa) besar, karena
tidak mengikuti hukum Allah juga termasuk suatu kesalahan besar. Kendati
semua yang mereka kafirkan itu adalah para pelaku pilitik yang menuntut
pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak mengikuti norma agama
sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka juga mengafirkan para pelaku dosa
besar di luar politik, bahkan lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang
tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka. Akhirnya semakin banyak
konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologinya itu, sehingga Ali bin Abi
Thalib penguasa sah saat itu menyerang mereka dan menghancurkannya tahun 37
H. Akan tetapi salah seorang dari mereka ada yang selamat dan membunuh Ali
bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun
sisa-sisa kekuatan mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun
kekuatan lagi, sehingga terus melakukan gerakan oposisi terhadap daulah
Umayah. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga mudah pecah, dapat
dihancurkan kembali oleh Banu Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari sub
sekte Ibadiyah (sebutan sub sekte Khawarij yang sangat moderat) sampai kink
masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar, Omman dan
Arabia Selatan, dan tidak melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap
penguasa yang sah.
Sesuai dengan uraian diatas, make pemikiran kalam aliran khawarij yang
paling menonjol adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong
orang kafir, dan termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap menentang
terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang tidak sepaham dengan
mereka tergolong kafir.
Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi
iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan hati, mengucapkan
dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya
ini, maka orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan
pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal
mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat
disimpulkan sbb :
1) Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir
2) Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan
pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
3) Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy
Mempercayai bahwa muhamad bin hanafiah sebagai pemimpin setelah husein Ali
wafat
A. Nama kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abuthilib.
Mesikpun sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran muhamad bin hanafiah
dapat di jumpai dalam cerita rakyat, hikayat ini terkenal sejak abad 15 M di
malaka.
B. Saidiyah : Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah
mempercayai bahwa Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin merupakan peimpin
setelah husein bin Ali wafat. Dalam sekte ini ada 5 syarat untuk dapat di angkat
sebagai pemimpin. Yaitu :
1. Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad
2. Berpengetahuan luas tentang agama
3. Hidupnya untuk beribadah
4. Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata
5. Berani
C. Sekte Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin
Abitholib untuk menjadi imam oleh rassulullah Sebagai pengganti beliau.
Sehingga sekte ini tidak mengakui Abu bakar dan Umar.sekte imamyah pecah
menjadi 2 golongan, yang terbesar yaitu:
1. Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12
Ismailiyah
3. Lahirnya Aliran Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin
Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan
politik. Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak pendukung Ali
dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap
“irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka,
biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di
antara mereka yang tengah berselisih ini.
Selanjutnya mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang
melakukan dosa besar itu menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka
Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar tersebut
masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir.
Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka
terlebih dahulu baru kemudian ke dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir
dari Allah. Disamping itu, khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga
berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula agar taubatnya diterima di
sisi Allah SWT.
Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa
berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut,
maka mereka ini kemudian populer disebut sebagai golongan atau aliran
“murji’ah” (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai ada
ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa
mereka itu).
Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian
umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka
sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran Murji’ah moderat. Akan tetapi
pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah, muncul orang-orang
murji’ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal perbuatan. Mereka
selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-
Rasulan Muhammad SAW, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan
perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati sering
melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati, dan hanya
dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran murji’ah ekstrim ini adalah Jaham
bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.
Kaum murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama
saat itu, dan tidak memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah
moderat kemudian menjadi pengikut aliran Ahlus Sunrah wal Jama’ah.
Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dosa
besar tidak dikategori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki
keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, Rasul-
Nya adalah Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta meyakini
rukun-rukun iman lainnya.
Disamping itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui
dan meyakini atas ke-Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak
memasukkan unsur amal dalam iman, sehingga amal tidak mempengaruhi iman.
Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap
mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran
khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka pertanggungjawabkan di akhirat
kelak.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat
disimpulkan sbb:
1) Pengakuan Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak dituntut
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
2) Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
4. Lahirnya Aliran Qadariyah
Sebagaimana khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir
dengan dilatarbelakangi oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan
mu’awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi
Thalib, tahun 40 H mu’wiyah menjadi penguasa daulah islamiyah. Dan untuk
memperkokoh kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara, khususnya
dalam menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki
dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat berkhotbah Jum’at.
Para ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara
mu’awiyah, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan
itu, mereka mengembalikan semuanya kepada Allah bahwa semua yang terjadi
atas kehendak-Nya. Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh mu’awiyah dalam
memimpin daulah islamiyah, bahwa semua yang dilakukan itu atas kehendak
Allah.
Dalam suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-
Damasyqi, dua tokoh pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah
sekaligus menentang pernyataan teologis yang membenarkan tindakan politiknya.
Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran
dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah daya dan
kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi kebebasan untuk
memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus
mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.
Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan
memperoleh pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup
di akhiratnya kelak. Sedang mereka yang memilih melakukan perbuatan buruk,
akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia tidak boleh berpangku tangan
melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan kedzaliman
dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah).
Karena Ma’bad dan Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah
untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka fahamnya dinamakan faham
“qadariyah”.
Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah
dengan membantu Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang
memberontak melawan daulah Banu Umayah. Dalam suatu pertempuran tahun
80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-Darmasqi
terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan banyak melontarkan kritik terhadap
Banu Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani
hukuman mali pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).
Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini
adalah soal perbuatan manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya,
manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya serta melakukan
perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus mempertanggungjawabkan semua
perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya ini, mereka berpendapat bahwa
Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta memberikan aturan-aturan
hidup yang sangat jelas dengan berbagai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik
yang akan memberi mereka imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula
perbuatan-perbuatan jahat dan ancaman siksaan mereka bagi yang melanggarnya.
Daya yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri
untuk mereka gunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan
untuk melakukan perbuatan baik sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka
mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan sebaliknya, kalau mereka gunakan
untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus mempertanggung
jawabkan semua perbuatannya itu. Inilah yang kemudian disebut dengan
konsep keadilan Tuhan.
Pemikiran mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain
firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 29 yang
Artinya : “Barang siapa mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka berimanlah,
dan barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”.
Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat bila mereka
sendiri tidak melakukan perubahan apa-apa terhadap dirinya.
Dengan demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam
yang menekankan kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan
mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di sisi Allah kelak di
hari perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam melakukan amal kebajikan akan
memperoleh imbalan pahala di dalam surga, sementara yang justru banyak
melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam melakukan perbuatan
baik, akan terkena ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di surga atau
neraka tersebut, menurut aliran ini sangat tergantung pada perbuatannya selama
hidup di dunia ini.
Pemikiran-pemikiran qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan oleh
para penganut aliran mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang
perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak Tuhan. Yakni bahwa manusia
mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta perbuatannya, namun
mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan.
Aliran mu’tazilah meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena aliran terakhir ini
mempunyai kecenderungan yang sama dalam memahami ajaran-ajaran aqidah,
terutama dalam aspek-aspek yang boleh berbeda pendapat, yaitu pada ajaran-
ajaran yang dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah dan mu’tazilah
sama-sama menganut aliran rasional dalam pemahaman kalam mereka.
5. Lahirnya Aliran Jabariyah
Kalau qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap
kekejaman Daulah Banu Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir
bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi kekejaman mu’awiyah bin
Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan Tuhan.
Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri untuk
membenarkan perlakuan-perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa
kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran qadariyah. Namun pada
masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran kalam ini
belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh serta tersebar
di masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (W.131 H). Oleh
sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran Jahmiyah.
Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang
dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan
untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih.
Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah
dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau
siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang
dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya
pahala dan siksa.
Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang
digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam
mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara nasib mereka di akhirat sangat
ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni posisi mereka
ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari aliran
Jabariyah ini kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah, karena keduanya
sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran tradisional, yakni
aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan manusia, serta kurang
melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.
6. Lahirnya Aliran Mu’tazilah
Lahirnya aliran teologi mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan
pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir
berawal dari tanggapan Washil bin Atha’ salah seorang murid Hasan Bashri di
Bashrah, alas pemikiran yang dilontarkan khawarij tentang pelaku dosa besar.
Ketika Hasan Bashri bertanya tentang tanggapan Washil terhadap pemikiran
khawarij tersebut, dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin
dan juga bukan kefir. Mereka berada dalam posisi antara mukmin dan kafir (orang
fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari jamaah Hasan Bashri, dan gurunya
itu secara spontan berkata Ttazala ‘anna” (Washil memisahkan diri dari kita
semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Washil menjadi
sebuah aliran yang oleh anggota jamaah Hasan Bashri dinamai dengan
“mu’tazilah”.
Kelompok ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya
wawasan keilmuannya melalui penelaahan mendalam terhadap literatur-literatur
Yunani yang berada di pusat-pusat studi gereja timur, yaitu Antochia, Jundisaphur
dan Alexandria. Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka lakukan dalam rangka
menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen terhadap teologi Islam
dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran ilmu kalam yang lebih
cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini
kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.
Sebenarnya mereka sendiri menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid
(menjaga ke-Esa-an Allah) dan ahlu al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh
akan keadilan Tuhan), karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-
benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan. Dan ajaran-ajaran
pokoknya itu tertuang dalam rumusan “Mabadi al-Khamsah” (lima dasar ajaran),
yaitu al-Tauhid, al-’adlu, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain,
serta amar ma’ruf nahi munkar.
At-tauhid artinya mengesakan Allah, yakni Allah itu benar-benar Esa
dalam segala-galanyb, tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi ke-Esa-annya
itu. Sehubungan dengan prinsip Tauhidnya itu, mu’tazilah menafikan sifat, karena
merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Kalau ada sifat berarti ada dua yang
qadim yaitu zat dan sifat. Untuk menghindari pemikiran yang akan membawa
kepada kemusyrikan tersebut, mereka nafikan sifat Tuhan, dan seterusnya mereka
berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri. Kemudian untuk
menjaga prinsip, ketauhidannya itu, Mu’tazilah juga berpendapat bahwa al-Qur’an
itu makhluk, karena kalau bukan makhluk akan ada qadim lain selain Allah.
Sedangkan al-’adlu adalah suatu prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan
itu Maha Adil, Dia akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan
bagi orang yang tidak berprestasi dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik.
Dan dia tidak akan, menyiksa orang-orang shahih. Seiring dengan prinsip
keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang
akan dipatuhi-Nya sendiri. Akan tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu pasti
berbeda, bisa saja ada orang mukmin yang kelakuannya seperti orang kafir. Inilah
yang mereka sebut sebagai orang fasik, yang menempati posisi antara mukmin
dan kafir.
Sedang di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas
perbuatan-perbuatan dosanya, namun siksanya tidak sama dengan siksaan orang
kafir Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua orang menjadi orang baik,
maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain. Dengan
demikian kelima dasar ajaran rnu’tazilah ini merupakan suatu rangkaian logis,
yang satu sama lain mempunyai keterkaitan.
Aliran teologi mu’tazilah ini menjadi aliran resmi di Daulah Bani
Abbasiah pada zaman pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan dua khalifah
sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan al-Wasiq (227-232 H). Namun
dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun 234 H, sehingga kekuatan
aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran Asy’ariyah yang
lebih terkenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah. Kesimpulan dari pokok-pokok
Mu’tazilah adalah sebagai berikut: Aliran Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok
yaitu :
1. Tauhid (Keesaan Allah SWT)
Terkait hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :
� Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa yang
dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;
� Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);
� Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia,
karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata
2. Keadilan Allah SWT
Setiap orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran
mu’tazilah, memperdalam arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya,
sehingga menimbulkan beberapa masalah. Dasar keadilan yang diyakini oleh
kaum Mu’tazilah adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala
perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai
berikut :
“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia.
Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-
larangan-Nya, dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la
hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-
kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang
dilarang-Nya.
Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada
manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)
3. Janji dan Ancaman
Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-
Nya; memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan
azab kepada yang berbuat dosa (Mulyadi, 2005, hal. 108)
4. Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)
Karena prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hajsan
Bashri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,, seseorang muslim
yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin tetapi juga tidak kafir,
melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara
“kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan
diatas orang kafir.
Jalan tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain. Jalan
tengah ini diambil oleh aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:
a) Al-Qur’an : banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji
untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau
jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu dan Jangan pula terlalu
membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-
Baqarah: 137).
b) Al-Hadits : seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-
tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)
5. Amar makruf dan nahi mungkar
Ajaran mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah
segala perbuatan yang tercela ini lebih banyak berkaitan dengan fiqh.
Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh
setiap orang mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan
tetapi mereka berbeda-beda pendapat dalam soal-soal kecil dan terperinci. ketika
memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut dan menganalisanya dengan
didasarkan atas pikiran filsafat Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya
pemikiran aliran mu’tazilah sangat beragam. sebagaimana halnya dengan
bermacam-macam aliran filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras, Neo-
Platonismc dan sebagainya, yang k9semuanya disebut filsafat Yunani. (Mulyadi,
2005, hal 109)
7. Lahirnya Aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah
Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-
324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya
adalah seorang pengikut aliran teologi Mu’tazilah, namun dia terus dilanda
keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’taziiah, terutama karena
kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk
mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan
lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-
Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.
Karena keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang
menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi
sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan membatasi
penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi
penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka
pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan
memperoleh pengikut serta pendukung yang cukup besar. Sejalan dengan itu,
aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah artinya aliran
kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan
pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah)
dari kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau
pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan aliran mu’tazilah dan aliran juga
sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.
Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis.
Seperti tentang sifat. Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-
sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan mu’tazilah, maka akan
terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau ilmu
(pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu
adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu,
bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.
Demikian pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena
al-Qur’an itu kalam Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau
Allah qadim, maka kalam-Nya pun qadim. Disamping itu, keyakinan bahwa AI-
Qur’an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir,
karena Allah menciptakan makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau
kata “kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk
menciptakannya, dan begitulah seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi
lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).
Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa
pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata
Yadullah, yang diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan
menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa
mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya itu, sehingga dia mengatakan bahwa
Allah itu bertangan namun tangan-Nya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf).
Demikian pula dengan ayat-ayat mutajasimah lainnya.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai
berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan
Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada umumnya umat Islam di
dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian
kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah
dan memasuki aliran kalam rasional.
Adapun pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat
disimpulkan sbb:
1) Sifat Tuhan
Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran
Mu’tazilah di satu pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak.
Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah
(Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain
hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan
sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah
yang tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai
sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia
mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan
seterusnya.
2) Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia
Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan
aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan
perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut
aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu,
tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian
kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan
mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa
untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.
3) Melihat Tuhan pada hari Qiyamat
Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan
dengan demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat,
disamping menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat Karena tingkatan
hadits tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut
golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah
tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-
Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak.
4) Dosa besar
Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan
dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari
neraka. Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan
mengiklilaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang
dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap
dipandang sebagai orang mukmin.
http://ilhamyp06.blogspot.com/2011/05/aliran-tokoh-ilmu-kalam.html