akhlak za

123
Minggu, 17 Juni 2012 Makalah Akhlaq, Persoalan Akhlaq dan Macam-Macam Akhlaq Pengertian Akhlaq Mulia (Al-Akhlaq Al-Karimah) Akhlaq adalah lafadz yang berasal dari bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Berasal dari kata khalaq yang berarti menciptakan, yang seakar dengan kata khaliq yang berarti pencipta, makhluq artinya yang diciptakan, dan kahlq artinya ciptaan. Dari pengertian tersebut, memberi informasi bahwa akhlaq, selain merupakan tata aturan atau norma-norma perilaku tentang hubungan antara sesama manusia, juga merupakan norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan yang maha pencipta, bahkan hubungan dengan alam sekitarnya. Adapaun akhlaq menurut beberapa ulama antara lain, menurut : # Imam Al-Ghazali “Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. # Ibrahim Anis “Akhlaq adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikir dan dipertimbangkan lebih dahul”. Dari keempat pengertian di atas dapat dipahami bahwa akhlaq adalah merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dapat menimbulkan gerakan, perbuatan, tingkah laku secara spontan, gampang atau mudah pada saat dibuthkan tanpa memerlukan pemikiran atau perimbangan terlebih dahulu dan tidak memerlukan dorongan dari luar.

Upload: mursalin-azzam

Post on 03-Jan-2016

204 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

Panduan Akhlak Manusia

TRANSCRIPT

Page 1: Akhlak Za

Minggu, 17 Juni 2012

Makalah Akhlaq, Persoalan Akhlaq dan Macam-Macam Akhlaq

Pengertian Akhlaq Mulia (Al-Akhlaq Al-Karimah)

Akhlaq adalah lafadz yang berasal dari bahasa Arab merupakan bentuk jamak dari kata khuluq yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat. Berasal dari kata khalaq yang berarti menciptakan, yang seakar dengan kata khaliq yang berarti pencipta, makhluq artinya yang diciptakan, dan kahlq artinya ciptaan.

Dari pengertian tersebut, memberi informasi bahwa akhlaq, selain merupakan tata aturan atau norma-norma perilaku tentang hubungan antara sesama manusia, juga merupakan norma yang mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan yang maha pencipta, bahkan hubungan dengan alam sekitarnya.Adapaun akhlaq menurut  beberapa ulama antara lain, menurut :

# Imam Al-Ghazali “Akhlaq adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan.

# Ibrahim Anis “Akhlaq adalah keadaan jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikir dan dipertimbangkan lebih dahul”.

Dari keempat pengertian di atas dapat dipahami bahwa akhlaq adalah merupakan sifat yang tertanam dalam jiwa seseorang yang dapat menimbulkan gerakan, perbuatan, tingkah laku secara spontan, gampang atau mudah pada saat dibuthkan tanpa memerlukan pemikiran atau perimbangan terlebih dahulu dan tidak memerlukan dorongan dari luar.

Akhlaq adalah gambaran atau bayangan dari jiwa seseorang, mereka berbuat, bertindak, atau bertingkah laku berdasarkan apa yang tertanam dalam jiwanya dan telah menjadi kebiasaan setiap hari tanpa ada pengaruh atau dorongan dari pihak lain, mereka melakukan secara spontan tanpa pertimbangan pikiran sebelumnya.

Untuk melekatkan akhlaq yang mulia pada diri seseorang, harus terlebih dahulu dilakukan pembersihan diri dari hal-hal sebagai berikut :

1. Dosa dan kesalahan melalui taubat dan istighfar kepada Allah2. Sifat-sifat yang tercela, yang melekat pada dirinya melalui latihan dan

pembiasaan yang berkesinambungan

Sumber dan Ruang Lingkup Akhlaq 

Yang dimaksud dengan sumber akhlaq adalah yang menjadi ukuran baik dan

Page 2: Akhlak Za

buruk atau mulia dan tercela. Sebagaimana keseluruhan ajaran Islam, sumber akhlaq adalah Al-Qur’an dan Sunnah, bukan akal pikiran atau pandangan masyarakat sebagaimana pada konsep etika dan moral.

Adapun ruang lingkup akhlaq menurut Abdullah Draz ada lima bagian yaitu :

Akhlaq pribadi terdiri dari Yang diperintahkan, yang dilarang, yang dibolehkan dan Akhlaq dalam keadaan darurat

Akhlaq berkeluarga terdiri dari Kewajiban timbal balik antara orang dengan anak, kewajiban sumai dengan istri dan kewajiban terhadap karib kerabat.

Akhlaq bermasyarakat terdiri dari Yang dilarang yang iperintahkan dan Kaedah-kaedah adab.

Akhlaq bernegara terdiri dari Hubungan antara pimpinan dan rakyat dan hubungan luar negeri.

Akhlaq beragama yaitu kewajiban terhadap Allah SWT.

Berangkat dari sistematika di atas, sedikit modifikasi, maka penulis membagi pembahasan akhlaq menjadi :

Akhlaq terhadap Allah SWT. Akhlaq terhadap Rasulullah SAW. Akhlaq pribadi Akhlaq dalam keluarga Akhlaq bermasyarakat dan Akhlaq bernegara

Kedudukan dan Keistimewaan Akhlaq dalam Kehidupan 

Dalam keseluruhan ajaran Islam akhlaq menempati kedudukan yang istimewa dan sangat penting dalam kehidupan, seperti terlihat dalam beberapa poin berikut ini :

# Rasulullah SAW. Menempatkan penyempurnaan akhlaq, yang mulia sebagai misi pokok Risalah Islam, sebagai sabdanya :“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia”. (HR. Baihaqi).

Akhlaq merupakan salah satu ajaran pokok agama Islam, sehingga Rasulullah pernah mendefinisikan agam dengan akhlaq yang baik, sebagaimana sabda beliau.

Terjemahannya :“Ya Rasulullah, apakah agama itu ? beliau menjawab : agama itu adalah akhlak yang baik”.

# Akhlaq yang baik akan memberatkan timbangan kebaikan seseorang nanti pada hari kiamat.

Page 3: Akhlak Za

# Rasulullah SAW. Menjadikan baik buruknya akhlaq seseorang sebagai ukuran kualitasnya.

# Islam menjadikan akhlaw baik sebagai bukti dan buah dari ibadah kepada Allah SWT.

# Nabi Muhammad SAW. Selalu berdoa agar Allah SWT. Membaikkan akhlaq beliau.

PERSOALAN AKHLAQ

Perbuatan Baik dan Buruk 

Yang dimaksud perbuatan baik adalah :

Sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan Sesuatu yang menimbulkan rasa keharusan dalam kepuasan, kesenangan,

persesuaian dan seterusnya. Sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yang diharapkan, yang

memberikan kepuasan Sesuatu dengan sesuai dengan keinginan yang bersifat berfitrah Sesuatu hal yang dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat,

memberikan perasaan senang atau bahagia.

Adapun yang dimaksud dengan perbuatan buruk adalah :

Sesuatu yang tidak baik, tidak seperti seharusnya, tidak sempurna dalam kualitas, di bawah standart, kurang dalam nilai dan tidak mencukupi.

Sesuatu yang keji, jahat, tidak bermoral dan tidak menyenangkan Adalah segala sesuatu yang tercela, karena melanggar norma-norma atau

aturan-aturan menurut yang ditetapkan oleh syara’ (agama).

Ukuran Baik dan Buruk 

Persepsi Manusia Tentang Baik dan Buruk 

Banyak orang yang berselisih pendapat untuk menilai suatu perbuatan, ada yang melihatnya baik dan ada yang melihatnya buruk. Dpandang baik oleh suatu masyarakat atau bangsa dipandang buruk yang lain. Dipandang baik pada waktu ini dinilai buruk pada waktu yang lain.

Selanjutnya dalam menetapkan nilai perbuatan manusia, selain memperhatikan nilai yang mendasarinya, kriteria lain yang harus diperhatikan adalah cara melakukan perbuatan itu. Meskipun seseorang mempunyai niat baik, tetapi lakukan dengan cara yang salah, dia dinilai tercela karena salah melakukannya,

Page 4: Akhlak Za

bukan tercela karena niatnya. Kadang-kadang tercelanya manusia itu dapat berpangkal dari keyakinan yang salah, bukan karena niatnya.

Dari uraian di muka tentang tingkah laku manusia dapat diketahui bahwa element-element pokok yang perlu diperhatikan padanya adalah :

Kehendak (Karsa), yakni sesuatu yang mendorong yang ada di dalam jiwa manusia.

Manifestasi dari kehendak, yaitu cara dalam merealisir kehendak tersebut. Barangkali hal ini dapat disamakan dengan ungkapan karya, yakni perbuatan dalam mewujudkan karsa tadi. Kalau karsa dan karya menjadi satu, maka bisa dipastikan adanya aktivitas yang tidak kecil artinya.

Selanjutnya untuk menialai baik buruknya niat dan cara seseorang dalam melakukan perbuatannya haruslah berdasarkan ajaran Islam sebagaimana firman Allah SWT. Dalam QS. An-Nisa (4) :

Terjemahannya :“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taati Rasul-Nya dan oramg-orang yang memegang kekuasaan diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan perndapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebi utama bagi kamu dan lebih baik akibatnya”.

MACAM-MACAM AKHLAK

# Akhlak Terpuji

Akhlak Terpuji (al-mahmudah) atau akhlak al-karimah artinya sikap dan sifat yang mulia atau terpuji, yang terkadang disebut dengan budi pekerti yang luhur.

Akhlak mulia suatu sikap atau sifat yang terpuji yang pantas melekat pada diri setiap Muslim, sehingga menjadi orang yang berbudi baik atau luhur dan memiliki karakter yang baik pula.Indikator dalam akhlak mulia terbagi menjadi berbagai macam diantaranya adalah :

Indikator akhlak mulia adalah sebagai berikut :

Shiddiq (benar atau jujur) Al-manah (menyampaikan atau terbuka) Tabligh (menyampaikan atau terbuka) Fathana (cerdas dan cakap) Istiqamah (teguh pendirian) Ikhlas berbuat atau beramal Syukur (menerima baik) Sabar (teguh) Iffah (perwira)

Page 5: Akhlak Za

Tawadhu’, adalah sikap sabar yang tertanam dalam jiwa untuk dapat mengendalikan hawa nafsu.

Syaja’ (berani) Hikmah (bijaksana) Tasamuh (toleransi) Lapang dada Adil Qana’ah Intiqad atau mawas diri Al-Afwu atau pemaaf Anisatun atau bermuka manis Khusyu’ atau tenang dala beribadah Wara’, adalah sikap batin yang tertanam dalam jiwa yang selalu menjaga

dan waspada dari segala bentuk perbuatan yang mungkin mendatangkan dosa, baik itu dosa kecil atau dosa besar.

Belas kasihan Beriman kepada Allah Ta’awun atau tolong menolong Tadarru atau merendah Shalihah (shaleh) Sakhaa’ (pemurah) Nadhief (bersih) Ihsan Malu (haya) Uswatun hasanah (teladan yang baik) Hifdu Al-Lisan (menjaga ibadah) Hub al-wathan (cinta tanah air)

Akhlak yang tercela

Akhlak tercela adalah semua sifat dan tingkah laku yang berbeda atau berlawanan, bahkan bertentangan dengan sifat-sifat yang telah disebutkan pada bagian terdahulu (akhlak mulia) tersebut di atas.Jenis akhlak yang dimaksudkan adalah sebagai berikut :

Dusta (bohong) Khiyanat (menyia-nyiakan kepercayaan) Hasad (dengki) Iri hati Al-Riya (puji diri) Takabbur (sombong) Al-Tabdzir (boros) Al-Bukhlu (kikir) Bakhil (kikir) Al-Dzulmu (aniaya) Ceroboh

Page 6: Akhlak Za

Ananiyah Al-Baghyu Al-Buhtaan (bohong) Ingkar janji Al-Kamru Al-Jubnu (pengecut) Al-Fawahisy (dosa yang besar) Saksi palsu Fitnah Al-Israf (hidup berlebih-lebihan) Al-Liwathah (hubungan seksual tidak normal) Al-namimah (adu domba) Al-khufran (kekufuran) Qatlun Nafs (menghilangkan jiwa) Al-Riba (pemakan riba) Al-sikhriyah (berolok-olok) Tanabazu bil al-qad (memberi gelaran yang tidak benar atau berlebihan) Al-Syakhwat (mengikuti hawa nafsu) Dan lain-lain sifat tercela

Dari berbagai kesimpulan di atas kami menarik kesimpulan bahwa akhlak adalah sesuatu sifat yang harus dijaga dan dipelihara, karena merupakan kunci sukses untuk hidup. akhak ialah bunga diri, indah dipandang mata, nikmat dirasa oleh hati dan memberi manfaat. Intinya adalah mencapai keridhaan Allah SWT.

http://senyumkudakwahku.blogspot.com/2012/06/makalah-akhlaq-persoalan-akhlaq-dan.html

Bentuk dan Macam-macam Akhlak

March 23, 2012 at 1:12 pm (Akhlak) Tags: Akhlak, Akhlak Manusia, Arti Akhlak, Pengertian Akhlak, Tingkat Akhlak

Bentuk dan Macam-macam AkhlakBeberapa sasaran Akhlak [baca juga: Hakikat dan Pengertian Akhlak], yakni :

a.    Akhlak terhadap Allah SWT

Akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikat_Nya.

b.    Akhlak terhadap manusia

Page 7: Akhlak Za

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan hal negatif seperti membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau salah. Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan pula bahwa beliau adalah rasul yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar adalah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain.

c.    Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifaan menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Menurut Soegarda Purbakawatja, ada tiga aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang muslim menurut ajaran Islam, yakni :

1. Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran kewajiban ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.

2. Praktek ibadah yang harus dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan sesamanya secara terorganisir.

3. Konsepsi Al-qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).

Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah, sebagai berikut :

1. Siddiq, lurus dalam perkataan, lurus dalam perbuatan.2. Amanah, jujur, boleh dipercaya tentang apa saja.3. Sabar, takan menanggung barang atau perkara yang menyusahkan, tahan

uji.

Page 8: Akhlak Za

4. Ittihad, bersatu didalam mengerjakan kebaikan dan keperrluan.5. Ihsan, berbuat baik kepada orang tuanya, kepada keluarganya dan kepada

siapapun.6. Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan tetangga-tetangga.7. Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati kesanggupan atau perjanjian.8. Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati dan memegang barang hak

atau kebenaran.9. Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.10. Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah dan papa.11. Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang fakir atau miskin.12. Rifqi, berhati belas kalian sehingga kepada hewan sekalipun (Waso’al

Dja’far, Addien, 1951:25).

Demikianlah sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh tiap-tiap pribadi muslim. Jika sifat-sifat ini telah dimiliki oleh pribadi muslim, dengan demikian akan dapat menentukan kualitas dirinya/akhlak dan perilaku [baca juga: Akhlak dan Perilaku Anak] sebagai seorang muslim.

http://akhlakmanusia.wordpress.com/2012/03/23/bentuk-dan-macam-macam-akhlak/

5 MACAM-MACAM AKHLAK DALAM ISLAM DI RUMAH

Page 9: Akhlak Za

Ada bebrapa akhlak islam yang harus di terapkan di dalam

rumah untuk mendapatkan keluarga yang harmonis (sakinah

dan mawaddah) seperti yang di idam-idamkan seluruh orang.

Tetapi sangat disayangkan mereka tidak meu mencitakan

suasana yang menunjang terjadinya keluarga yang hangat

dan terciptanya sifat kasih sayang. Nacan-nacan akhlak dalam

islam di rumah adalah:

1.    Mentradisikan pergaulan yang baik (keramahan tamah) di

rumah. 

2.    Membantu keluarga dalam pekerjaan rumah

3.    Bersikap lembut dan bercanda dengan keluarga

4.    Menyingkirkan akhlak buruk di rumah.

5.    Gantungkanlah cambuk sehingga bisa dilihat oleh anggota

keluarga

Page 10: Akhlak Za

Mentradisikan Pergaulan Yang Baik Di Rumah

Dari Aisyah radhiyallah 'anhu dia berkata: Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) bersabda:

"Jika Allah 'Azza Wa Jalla menginginkan kebaikan kepada

sebuah keluarga maka Dia akan menganugerahkan atas

mereka pergaulan yang baik".

Dalam riwayat yang lain di katakan:

"Sesungguhnya Allah jika mencintai sebuah keluarga maka

Dia akan menganugerahkan atas mereka pergaulan yang

baik".

Maksudnya masing-masing individu saling mempergauli

anggota yang lain dengan cara yang baik. Cara bergaul

dengan baik serta keramah-tamahan adalah sebuah sifat yang

sangat bermanfaat bagi kedua suami isteri dan anak-anak.

Dan untuk ndapatkan pergaulan yang demikian akan

diperoleh tanpa ada kekerasan di dalam rumah. Dan sabda

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW):

"Sesungguhnya Allah mencintai pergaulan yang keramahan

(baik) dan Dia memberikan kepada pergaulan yang

Page 11: Akhlak Za

keramahan (baik) apa yang tidak diberikan-Nya kepada

kekerasan dan apa yang tidak diberikan kepada selainnya".

Membantu Keluarga Dalam Pekerjaan Rumah

Banyak lelaki yang tidak mau melakukan pekerjaan rumah

mereka memiliki keyakinan bisa menurunkan derajat atau

kewibawaan seorang laki-laki. Di contohkan oleh Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) beliau menjahit baju-nya

sendiri, menambal sandal dan pekerjaan-pekerjaan lain di

dalam rumah.

Dikatakan Aisyah radhiyallah 'anha ketika ia ditanya apa yang

dikerjakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW)

di rumahnya. Aisyah radhiyallah 'anhu menjawab: "DIa adalah

manusia di antara sekalian manusia, membersihkan bajunya,

memerah susu kambingnya dan melayani dirinya".

Aisyah radhiyallah 'anha juga ditanya apa yang dilakukan oleh

Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumahnya. Ia

berkata: "DIa membantu keluarganya dan apabila masuk

waktu shalat Dia keluar untuk shalat".

Page 12: Akhlak Za

Jika apa yangdilakukan oleh Rasulullah kita terapkan, maka

kita akan:

• Meneladani serta mengikuti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa

sallam .

• Membantu keluarga.

• Menghilangkan sifat sombong dan menanamkan sifat rendah

diri.

Bersikap Lembut Dan Bercanda Dengan Keluarga

Bersikap lembut terhadap isteri serta anak-anak merupakan

salah satu faktor yang mampu menebarkan suasana

kebahagiaan dan eratnya hubungan baik di antara anggota

keluarga. Karena itu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam

(SAW) memberi nasehat pada Jabir agar menikahi wanita yang

perawan. Beliau berkata:

"Kenapa engkau tidak menikahi perawan sehingga engkau

bisa mencandainya dan dia pun mencandaimu dan engkau

dapat membuatnya tertawa dan dia pun membuatmu tertawa"

Agar jabir dapat bermesra-mesraan dengan istrinya dan saling

sayang menyayangi ketika telah menjadi suami istri. Dan

menyayangi anak-anak, sebaiknya orang tua mencium anak-

Page 13: Akhlak Za

anaknya. Serta siapa mengira bahwa mencium seorang anak

dapat mengurangi wibawa seorang ayah maka hendaknya

untuk membaca hadits ini:

Dari Abu Hurairah radhiyallah 'anhu dia berkata: "Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) mencium Hasan bin Ali

sedang di sisi beliau terdapat Al-Aqra' bin Habis At-Tamimi

sedang duduk. Maka Al-Aqra' berkata: "Saya mempunyai

sepuluh orang anak tetapi saya tidak pernah mencium

seorangpun anakpun dari mereka". Maka Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW)melihat nya dan berkata:

"Barangsiapa yang tidak mengasihi, niscaya dia tidak

dikasihi".

Menyingkirkan Akhlak Buruk Di Rumah

Jika anggota keluarga memiliki akhlak buruk dan menyimpang,

seperti: menggunjing, mengadu domba dusta, menggunjing

dan lain-lain. Akhlak buruk ini harus dilawan serta disingkirkan

dari dalam diri anggot keluarga dengan mengajarkan pola

hidup menurut rasulullah dan menerapkan akhlak islam di

dalam rumah. Sebagian orang menyangka bahwa hukuman

jasmani (pukulan atau siksaan) adalah salah satu jalan keluar

untuk mengatasi nya.

Page 14: Akhlak Za

Aisyah radhiyallah 'anha meriwayatkan hadits: "Rasulullah

Shallallahu 'alaihi wa sallam (SAW) jika mengetahui seseorang

anggota keluarganya melakukan dusta, beliau (Rasulullah)

terus memalingkan diri dari padanya sehingga dia

mengatakan bertaubat."

Maksud  memalingkan diri adalah mendiamkan (tidak

berbicara) karna sikap ini dapan menyentu hati seseorang dan

membuatnya menyadi sadar dan tak mengulangi lagi

kesalahan nya.

Gantungkanlah Cambuk Sehingga Bisa Dilihat Oleh

Anggota Keluarga

Memberi isyarat serta bentuk hukuman, ini adalah sebuah

metode / cara pendidikan yang tinggi dalam meningkatkan

akhlak (bukan menakut-nakuti). Seperti Rasulullah Shallallahu

'alaihi wa sallam (SAW) bersabda:

"Gantungkanlah cambuk di mana bisa dilihat oleh anggota

keluarga, karena ia lebih mendidik mereka".

Page 15: Akhlak Za

alat cambuk / rotan untuk menghukum, menjadikan anggota

keluarga yang berniat melakukan kejahatan tidak jadi untuk

melakukannya karena ingaat akan hukuman Allah lebih berat

dari cambukan yang ada di muka bumi ini.

http://seelookbook.blogspot.com/2013/06/5-macam-macam-akhlak-dalam-islam-di.html

Bentuk dan Macam-macam Akhlak

08.59  Materi Pendidikan Agama Islam  2 comments

Beberapa sasaran Akhlak , yakni :

a.    Akhlak terhadap Allah SWT

Akhlak terhadap Allah SWT adalah pengakuan dan kesadaran bahwa tiada Tuhan melainkan Allah. Dia memiliki sifat – sifat terpuji. Demikian agung sifat itu, yang jangankan manusia, malaikatpun tidak akan mampu menjangkau hakikat_Nya.

b.    Akhlak terhadap manusia

Banyak sekali rincian yang dikemukakan Al-Qur’an berkaitan dengan perlakuan terhadap sesama manusia. Petunjuk mengenai hal ini bukan hanya dalam larangan melakukan hal negatif seperti membunuh, menyakiti atau mengambil harta tanpa alasan yang benar, melainkan juga sampai kepada menyakiti hati dengan jalan menceritakan aib seseorang dibelakngnya, tidak peduli aib itu benar atau salah. Al-Qur’an menekankan bahwa setiap orang hendaknya didudukan secara wajar. Nabi Muhammad SAW, misalnya dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain. Namun dinyatakan sebagai manusia seperti manusia yang lain, akan tetapi dinyatakan pula bahwa beliau adalah rasul yang memperoleh wahyu dari Allah SWT. Atas dasar adalah beliau berhak memperoleh penghormatan melebihi manusia lain.

c.    Akhlak terhadap lingkungan

Yang dimaksud dengan akhlak terhadap lingkungan adalah segala sesuatu yang berada disekitar manusia, baik binatang, tumbuh-tumbuhan, maupun benda-benda tak bernyawa. Pada dasarnya akhlak yang diajarkan oleh Al-Qur’an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia sebagai khalifah. Kekhalifaan

Page 16: Akhlak Za

menuntut adanya interaksi antara manusia dengan sesamanya, dan manusia dengan alam. Kekhalifaan juga mengandung arti pengayoman, pemeliharaan, serta pembimbingan, agar setiap makhluk mencapai tujuan penciptaannya.

Menurut Soegarda Purbakawatja, ada tiga aspek pokok yang memberi corak khusus akhlak seorang muslim menurut ajaran Islam, yakni :

1. Adanya wahyu Allah yang memberi ketetapan kewajiban-kewajiban pokok yang harus dilaksanakan oleh seorang muslim, yang mencakup seluruh lapangan hidupnya, baik yang menyangkut tugas-tugas terhadap Tuhan, maupun terhadap masyarakat. Dengan ajaran kewajiban ini menjadikan seorang muslim siap berpartisipasi dan beramal saleh, bahkan bersedia mengorbankan jiwanya demi terlaksananya ajaran agamanya.

2. Praktek ibadah yang harus dilaksaanakan dengan aturan-aturan yang pasti dan teliti. Hal ini akan mendorong tiap-tiap orang muslim untuk memperkuat rasa berkelompok dengan sesamanya secara terorganisir.

3. Konsepsi Al-qur’an tentang alam yang menggambarkan penciptaan manusia secara harmonis dan seimbang dibawah perlindungan Tuhan. Ajaran ini juga akan mengukuhkan konstruksi kelompok (Soegarda Purwakawatja, 1976:9).

Waso’al Dja’far, menerangkan sifat – sifat seorang muslim adalah, sebagai berikut :

1. Siddiq, lurus dalam perkataan, lurus dalam perbuatan.2. Amanah, jujur, boleh dipercaya tentang apa saja.3. Sabar, takan menanggung barang atau perkara yang menyusahkan, tahan

uji.4. Ittihad, bersatu didalam mengerjakan kebaikan dan keperrluan.5. Ihsan, berbuat baik kepada orang tuanya, kepada keluarganya dan kepada

siapapun.6. Ri’yatul Jiwar, menjaga kehormatan tetangga-tetangga.7. Wafa ‘bil ahdi, memenuhi dan menepati kesanggupan atau perjanjian.8. Tawasau bil haq, pesan memesan, menepati dan memegang barang hak

atau kebenaran.9. Ta’awun, tolong menolong atas kebaikan.10. Athfi ‘alad-dla’if, sayang hati kepada orang-orang yang lemah dan papa.11. Muwasatil faqier, menghiburkan hati orang fakir atau miskin.12. Rifqi, berhati belas kalian sehingga kepada hewan sekalipun (Waso’al

Dja’far, Addien, 1951:25).

Demikianlah sifat-sifat yang wajib dimiliki oleh tiap-tiap pribadi muslim. Jika sifat-sifat ini telah dimiliki oleh pribadi muslim, dengan demikian akan dapat menentukan kualitas dirinya/akhlak dan perilaku sebagai seorang muslim.

Page 17: Akhlak Za

http://gudangmaterikuliah.blogspot.com/2012/05/bentuk-dan-macam-macam-akhlak.html

Makalah Macam-macam akhlak terhadap Allah BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Menjaga Akhlak kepada Allah K.H. Abdullah Gymnastiar Mudah-mudahan Allah SWT yg Maha Mengetahui siapa diri kita yg sebenar menolong kita agar dapat mengetahui kekurangan yg harus diperbaiki memberitahu jalan yg harus ditempuh dan memberikan karunia semangat terus-menerus sehingga kita tak dikalahkan oleh kemalasan tak dikalahkan oleh kebosanan dan tak dikalahkan oleh hawa nafsu. Dan mudah-mudahan pula warisan terbaik diri kita yg dapat diwariskan kepada keluarga keturunan dan lingkungan adl keindahan akhlak kita. Karena ternyata keislaman seseorang tak diukur oleh luas ilmu. Keimanan seseorang tak diukur oleh hebat pembicaraan. Kedudukan seseorang disisi Allah tak juga diukur oleh kekuatan ibadah semata. Tapi semua kemuliaan seorang yg paling benar Islam yg paling baik iman yg paling dicintai oleh Allah yg paling tinggi kedudukan dalam pandangan Allah dan yg akan menemani Rasulullah SAW ternyata sangat khas yaitu orang yg paling mulia akhlaknya. Walhasil sehebat apapun pengetahuan dan amal kita sebanyak apapun harta kita setinggi apapun kedudukan kita jikalau akhlak rusak maka tak bernilai. Kadang kita terpesona kepada topeng duniawi tapi segera sesudah tahu akhlak buruk pesona pun akan pudar. Yakinlah bahwa Rasulullah SAW diutus ke dunia ini adl utk menyempurnakan akhlak. Hal ini dinyatakan sendiri oleh beliau ketika menjawab pertanyaan seorang sahabat “Mengapa engkau diutus ke dunia ini ya Rasul?”. Rasul menjawab “Innama buitsu liutamimma makarimal akhlak” “Sesungguh aku diutus ke dunia hanyalah utk menyempurnakan akhlak”.

Setiap muslim meyakini, bahwa Allah adalah sumber segala sumber dalam kehidupannya. Allah adalah Pencipta dirinya, pencipta jagad raya dengan segala isinya, Allah adalah pengatur alam semesta yang demikian luasnya. Allah adalah pemberi hidayah dan pedoman hidup dalam kehidupan manusia, dan lain sebagainya. Sehingga manakala hal seperti ini mengakar dalam diri setiap muslim,

Page 18: Akhlak Za

maka akan terimplementasikan dalam realita bahwa Allah lah yang pertama kali harus dijadikan prioritas dalam berakhlak.

Jika kita perhatikan, akhlak terhadap Allah ini merupakan pondasi atau dasar dalam berakhlak terhadap siapapun yang ada di muka bumi ini. Jika seseorang tidak memiliki akhlak positif terhadap Allah, maka ia tidak akan mungkin memiliki akhlak positif terhadap siapapun. Demikian pula sebaliknya, jika ia memiliki akhlak yang karimah terhadap Allah, maka ini merupakan pintu gerbang untuk menuju kesempurnaan akhlak terhadap orang lain.

B. RUMUSAN MASALAH

Dari latar belakang masalah diatas, dapat dirumuskan beberapa rumusan masalah adalah bagaimna akhlak terhadap Allah dan macam-macam akhlak terhadap Allah.

BAB II

PEMBAHASAN

A. MACAM-MACAM AKHLAK TERHADAP ALLAH

Diantara akhlak terhadap allah swt adalah:

1. Taat terhadap perintah-perintah-Nya.

Hal pertama yang harus dilakukan seorang muslim dalam beretika kepada Allah SWT, adalah dengan mentaati segala perintah-perintah-Nya. Sebab bagaimana mungkin ia tidak mentaati-Nya, padahal Allah lah yang telah memberikan segala-galanya pada

Page 19: Akhlak Za

dirinya. Allah berfirman (QS. 4 : 65):

“Maka demi Rab-mu, mereka pada hakekatnya

tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemdian mrekea tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap ptutusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”

Karena taat kepada Allah merupakan konsekwensi keimanan seorang muslim kepada Allah SWT. Tanpa adanya ketaatan, maka ini merupakan salah satu indikasi tidak adanya keimanan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW juga menguatkan makna ayat di atas dengan bersabda:

“Tidak beriman salah seorang diantara kalian, hingga hawa nafsunya (keinginannya) mengikuti apa yang telah datang dariku (Al-Qur’an dan sunnah)." (HR. Abi Ashim al-syaibani).

2. Memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diembankan padanya.

Etika kedua yang harus dilakukan seorang muslim kepada Allah SWT, adalah memiliki rasa tanggung jawab atas amanah yang diberikan padanya. Karena pada hakekatnya, kehidupan inipun merupakan amanah dari Allah SWT. Oleh karenanya, seorang mukmin senantiasa meyakini, apapun yang Allah berikan padanya, maka itu merupakan amanah yang kelak akan dimintai pertanggung jawaban dari Allah. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW pernah bersabda:

Dari ibnu Umar ra, Rasulullah SAW bersabda:

Page 20: Akhlak Za

"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Seorang amir (presiden/ imam/ ketua) atas manusia, merupakan pemimpin, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang suami merupakan pemimpin bagi keluarganya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang wanita juga merupakan pemimpin atas rumah keluarganya dan juga anak-anaknya, dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Seorang hamba adalah pemimpin atas harta tuannya, dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya. Dan setiap kalian adalah pemimpin, dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya." (HR. Muslim)

3. Ridha terhadap ketentuan Allah SWT.

Etika berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT, adalah ridha terhadap segala ketentuan yang telah Allah berikan pada dirinya. Seperti ketika ia dilahirkan baik oleh keluarga yang berada maupun oleh keluarga yang tidak mampu, bentuk fisik yang Allah berikan padanya, atau hal-hal lainnya. Karena pada hakekatnya, sikap seorang muslim senantiasa yakin (baca; tsiqah) terhadap apapun yang Allah berikan pada dirinya. Baik yang berupa kebaikan, atau berupa keburukan. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW bersabda:

" sungguh mempesona perkara orang beriman. Karena segala urusannya adalah dipandang baik bagi dirinya. Jika ia mendapatkan kebaikan, ia bersyukur, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya. Dan jika ia tertimpa musibah, ia bersabar, karena ia tahu bahwa hal tersebut merupakan hal terbaik bagi dirinya." (HR. Bukhari)

Apalagi terkadang sebagai seorang manusia, pengetahuan atau pandangan kita terhadap sesuatu sangat terbatas. Sehingga bisa jadi, sesuatu yang kita anggap baik justru buruk, sementara sesuatu yang dipandang buruk ternyata malah memiliki kebaikan bagi diri kita.

4. Senantiasa bertaubat kepada-Nya.

Page 21: Akhlak Za

Sebagai seorang manusia biasa, kita juga tidak akan pernah luput dari sifat lalai dan lupa. Karena hal ini memang merupakan tabiat manusia. Oleh karena itulah, etika kita kepada Allah, manakala sedang terjerumus dalam ‘kelupaan’ sehingga berbuat kemaksiatan kepada-Nya adalah dengan segera bertaubat kepada Allah SWT. Dalam

Al-Qur’an Allah berfirman (QS. 3 : 135) :

"Dan juga orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri mereka sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka. Dan siapakah yang dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu sedang mereka mengetahui."

5. Obsesinya adalah keridhaan ilahi.

Seseorang yang benar-benar beriman kepada Allah SWT, akanm memiliki obsesi dan orientasi dalam segala aktivitasnya, hanya kepada Allah SWT. Dia tidak beramal dan beraktivitas untuk mencari keridhaan atau pujian atau apapun dari manusia. Bahkan terkadang, untuk mencapai keridhaan Allah tersebut, ‘terpakasa’ harus mendapatkan ‘ketidaksukaan’ dari para manusia lainnya. Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW pernah menggambarkan kepada kita:

"Barang siapa yang mencari keridhaan Allah dengan ‘adanya’ kemurkaan manusia, maka Allah akan memberikan keridhaan manusia juga. Dan barang siapa yang mencari keridhaan manusia dengan cara kemurkaan Allah, maka Allah akan mewakilkan kebencian-Nya pada manusia." (HR. Tirmidzi, Al-Qadha’I dan ibnu Asakir).

Dan hal seperti ini sekaligus merupakan bukti keimanan yang terdapat dalam dirinya. Karena orang yang tidak memiliki kesungguhan iman, otientasi yang dicarinya tentulah hanya keridhaan manusia. Ia tidak akan perduli, apakah Allah menyukai tindakannya atau tidak. Yang penting ia dipuji oleh oran lain.

Page 22: Akhlak Za

6. Merealisasikan ibadah kepada-Nya.

Etika atau akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah SWT adalah merealisasikan segala ibadah kepada Allah SWT. Baik ibadah yang bersifat mahdhah, ataupun ibadah yang ghairu mahdhah. Karena pada hakekatnya, seluruh aktiivitas sehari-hari adalah ibadah kepada Allah SWT.

Dalam Al-Qur’an Allah berberfirman (QS. 51 : 56):

“Dan tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.”

Oleh karenanya, segala aktivitas, gerak gerik, kehidupan sosial dan lain sebagainya merupakan ibadah yang dilakukan seorang muslim terhadap Allah. Sehingga ibadah tidak hanya yang memiliki skup mahdhah saja, seperti shalat, puasa haji dan sebagainya. Perealisasian ibadah yang paling penting untuk dilakukan pada saat ini adalah beraktivitas dalam rangkaian tujuan untuk dapat menerakpak hokum Allah di muka bumi ini. Sehingga Islam menjadi pedoman idup yang direalisasikan oleh masyarakat Islam pada khususnya dan juga oleh masyarakat dunia pada umumnya.

7. Banyak membaca al-Qur’an.

Etika dan akhlak berikutnya yang harus dilakukan seorang muslim terhadap Allah adalah dengan memperbanyak membaca dan mentadaburi ayat-ayat, yang merupakan firman-firman-Nya. Seseeorang yang mencintai sesuatu, tentulah ia akan banyak dan sering menyebutnya. Demikian juga dengan mukmin, yang mencintai Allah SWT, tentulah ia akan selalu menyebut-nyebut Asma-Nya dan juga senantiasa akan membaca firman-firman-Nya. Apalagi menakala kita mengetahui keutamaan membaca Al-Qur’an yang dmikian besxarnya. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW mengatakan kepada kita:

Page 23: Akhlak Za

"Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya Al-Qur’an itu dapat memberikan syafaat di hari kiamat kepada para pembacanya." (HR. Muslim).

Adapun bagi mereka-mereka yang belum bisa atau belum lancar dalam membacanya, maka hendaknya ia senantiasa mempelajarinya hingga dapat membacanya dengan baik. Kalaupun seseorang harus terbata-bata dalam membaca Al-Qur’an tersebut, maka Allah pun akan memberikan pahala dua kali lipat bagi dirinya. Dalam hadits lain, Rasulullah SAW bersabda:

"Orang (mu’min) yang membaca Al-Qur’an dan ia lancar dalam membacanya, maka ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi suci. Adapun orang mu’min yang membaca Al-Qur’an, sedang ia terbata-bata dalam membacanya, lagi berat (dalam mengucapkan huruf-hurufnya), ia akan mendapatkan pahala dua kali lipat." (HR. Bukhori Muslim)

B. ANALISIS

Kalau kita mendengar kata akhlak seakan fokus pikiran kita hanya terbentuk pada senyuman dan keramahan. Padahal maksud akhlak yg sebenar jauh melampaui sekedar senyuman dan keramahan. Karena penjabaran akhlak dalam perilaku sehari-hari bukanlah suatu hal yg terpecah-pecah semua terintegrasi dalam satu kesatuan utuh termasuk bagaimana akhlak kita kepada Allah. Akhlak kita kepada Allah SWT harus dipastikan benar-benar bersih. Orang yang menjaga akhlak kepada Allah hati benar-benar putih seperti putih air susu yg tak pernah tercampuri apapun. Bersih sebersih-bersihnya. Bersih keyakinan tak ada sekutu lain selain Allah. Tidak ada satu tetes pun di hati meyakini kekuatan di alam semesta ini selain kekuatan Allah SWT sehingga ia sangat jauh dari sifat munafik.Tapi kenyataannya sekarang mengapa masih banyak diantara kita yang seolah jauh dari semua itu? Padahal dari sekolah tingkat dasar kita sudah diajarkan tentang bagaimana kewajiban kita terhadap Allah, bahkan sejak kecil sudah di beritahukan tentang semua itu toh sekarang kenapa masih banyak yang tidak mengamalkannya ?

Page 24: Akhlak Za

BAB III

PENUTUP

KESIMPULAN

Dari pembahasan makalah ini, penulis menyimpulkan, bahwa akhlak kepada Allah merupakan pondasi dasar yang harus di bangun , karena jika seseorang benar- benar memiliki akhlak yang baik terhadap Allahnya, maka akhlaknya terhadap manusia dan lingkungan pun akan ikut baik.begitupun sebaliknya.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah Zakiy Al – Kaaf , “ Membentuk Akhlak ( Mempersiapkan Generasi Islami ), Pustaka Setia, Bandung, 2001

Mustofa, Akhlak Tasawuf, Pustaka setia, Bandung, 1997

Al-Ghazali, Rindu dan Cinta kepada Allah , Pustaka Panji Mas, Jakarta, 2005

http://newjoesafirablog.blogspot.com/2013/05/makalah-macam-macam-akhlak-terhadap.html

Jumat, 26 April 2013

MACAM-MACAM AKHLAK MADZMUMAH

Page 25: Akhlak Za

       I.  PENDAHULUAN

Pada dasarnya manusia dilahirkan dibumi ini dengan keadaan yang fitrah atau

suci tanpa adanya suatu dosa apapun. Akan tetapi setelah itu keluarga yang

memiliki peran terbesar dalam mendidiknya menjadi insan yang bermutu. Selain

dari pada keluarga, lingkungan juga mendominasi dalam terciptanya akhlak

manusia menjadi baik ataupun buruk.

Ketika manusia melakukan perilaku seburuk apapun, ada kemungkinan

manusia kemballi keasalnya yaitu fitrah. Sebab dalam hal ini manusia dikaruniai

kebaikan dan kebenaran yang hakiki. Namun sebelum kembalinya pada fitrah

tersebut manusia akan merasakan dampak psikologis. Khususnya dalam makalah

ini akan akan membahas tentang dampak psikologis dari akhlak madzmumah.

    II.  RUMUSAN MASALAH

A.       Bagaimana Hakikat Akhlak Madzmumah?

B.       Apa saja Macam-macam Akhlak Madzmumah?

C.       Bagaimana Efek Psikologis Pelaku Akhlak Madzmumah?

III.  PEMBAHASAN

A.  Hakikat Akhlak Madzmumah

Akhlakul madzmumah adalah perangai atau tingkah laku pada tutur kata

yang tercermin pada diri manusia yang cenderung melekat pada bentuk yang tidak

menyenangkan orang lain.

Akhlakul madzmumah merupakan tingkah laku kejahatan, kriminal,

perampasan hak. Sifat ini telah ada sejak lahir, baik wanita maupun pria yang

tertanam dalam jiwa setiap manusia. Akhlak secara fitrah manusia adalah baik,

namun dapat berubah menjadi akhlak buruk apabila manusia itu lahir dari

keluarga yang tabiatnya kurang baik, lingkungannya buruk, pendidikan tidak baik

dan kebiasaan-kebiasaan tidak baik sehingga menghasilkan akhlak yang buruk.1

[1]

1[1] Yatimin Abdullah, Studi Akhlak Dalam Perspektif Al-qur’an, (Jakarta: Amzah, 2007), Hlm.56

Page 26: Akhlak Za

Ada berbagai macam jenis sifat yang tercela ini dan beberapa diantaranya

akan diuraikan di belakang. Sekedar contoh, termasuk sifat tercela yang

dikerjakan oleh anggota lahir (maksiat lahir) adalah mencuri, berdusta,

memfitnah, dan sebagainya. Dan termasuk sifat tercela yang dikerjakan oleh hati

(maksiat batin) adalah dengki, takabur, dan lain sebagainya.

Maksiat lahir itu akan mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat,

seperti mencuri, mencopet, merampok, menganiaya, membunuh, dan lain-lain

yang dapat dilakukan dengan tangan manusia. Begitu pula dengan kejahatan-

kejahatan yang dilakukan oleh anggota lahir lainnya yang sangat berbahaya untuk

keamanan dan ketentraman masyarakat.

Tetapi disamping itu maksiat batin lebih berbahaya karena ia tidak

kelihatan dan kurang diperhatikan dan lebih sukar dihilangkan. Maksiat ini

merupakan pendorong dari maksiat lahir. Selama maksiat batin ini belum

dilenyapkan, maksiat lahir tidak bisa dihindarkan dari manusia. Allah SWT

memperingatkan agar manusia membersihkan jiwanya atau hatinya dari segala

kotoran, yakni sifat-sifat tercela yang melekat di hati, karena kebersihan jiwa atau

kemurnian hati itu merupakan syarat kebahagiaan manusia, di dunia dan di

akhitrat.2[2]

B.  Macam-macam Akhlak Madzmumah

1.    Ananiyah (egois)

Manusia hidup tidaklah menyendiri, tetapi berada di tengah-tengah

masyarakat yang heterogen. Ia harus yakin jika hasil perbuatan baik, masyarakat

turut mengecap hasilnya, tetapi jika akibat perbuatannya buruk masyarakatpun

turut menderita. Sebaliknya orang tiada patut hanya bekerja untuk dirinya, tanpa

memerhatikan tuntutan masyarakat, sebab kebutuhan-kebutuhan manusia tidak

dapat dihasilkan sendiri. Ia sangat memerlukan bantuan orang lain dan

pertolongan dari anggota masyarakat. sifat egoistis tidak diperdulikan orang lain,

2[2] Asmaran AS, Pengantar Studi Akhlak, (Jakarta: Rajawali Press, 1992), Hlm.185

Page 27: Akhlak Za

sahabatnya tidak banyak dan ini berarti mempersempit langkahnya sendiri di

dunia yang luas ini.3[3]

Oleh karena itu sebagai makhluk sosial, manusia tidak dapat hidup sendiri

dalam masyarakat, ia mutlak memerlukan bantuan orang lain dalam memenuhi

kebutuhan hidupnya. Maka dari itu, dalam hidup bermasyarakat kita harus berbaur

satu sama lain dan saling membantu. Karena jika mengedepankan sifat egois kita

akan dijauhi banyak orang, orang yang egois terkesan seakan bisa hidup sendiri

tanpa bantuan orang lain.

2.    Al- Buhtan (dusta)

Maksud sifat dusta ialah mengada-ada sesuatu yang sebenarnya tidak ada,

dengan maksud untuk merendahkan seseorang. Kadang-kadang ia sendiri yang

sengaja berdusta. Dikatakannya orang lain yang menjadi pelaku, juga ada kalanya

secara brutal ia bertindak, yaitu mengadakan kejelekan terhadap orang yang

sebenarnya tidak bersalah. Orang yang seperti ini perkataannya tidak dipercayai

orang lain. Di dunia ia akan memperoleh derita dan di akhirat ia akan menerima

siksa. Menghadapi orang yang bersifat demikian, apabila ia membawa berita

hendaklah berhati-hati, jangan mudah diperdayakan, sebab berdusta sudah

memang hobinya, celakalah setiap pendusta, pengumpat, pencela, dan pemfitnah.4

[4]

3.    Al- Ghadlab (Pemarah)

Marah atau disebut juga sifat pemarah terjadi karena darah mendidih di

dalam hati untuk menuntut pembalasan. Pembalasan ini merupakan bentuk

kekuatan untuk memberikan kelezatan dan tidak akan reda kecuali dengan

pembalasan. Amarah merupakan bagian dari karakter yang selalu ada pada diri

manusia. Barang siapa marah dan selalu mengikuti kemarahannya hingga

mengikuti perbuatan yang jelek, maka hal tersebut merupakan kemarahan yang

tercela sesuai perbuatan yang dulakukannya.

3[3] Yatimin Abdullah, Op.Cit, Hlm.14

4[4] Ibid, hlm. 15

Page 28: Akhlak Za

Marah menunjukkan tingkat kelabilan jiwa seseorang karena ia tidak

mampu mengendalikan amarahnya. Ketika marah berkobar maka kesadaran

nurani terhalangi yang kemudian mendatangkan sakit hati yang berat.

Kecenderungannya ingin menjatuhkan orang lain melalui provokasi, permusuhan

dan perusakan.5[5]

Oleh karena dampak yang disebabkan oleh sifat marah dapat merugikan

orang lain, maka sifat itu dilarang oleh agama. Sebagaimana sabda Rasulullah:

Iي هرير ة رضي الله عنه قال قال رسول لل6ه ص6لي الل6ه Kِب عKْنL اNُك I66لLْمK ِذI ي R66لK ُدN ا L66ي Iُد Rا الٌشKْمR Iٌن Iا الٌصRرL عKِةI ا LُدN ِب ُدI ي Rالٌش KَسL Kْي علْيه وسلم ل

LَغKَضKِبI (متفق علْيه) LُدK ال ن Iع Nه KَسLفK ٌن

Artinya:Dari Abu Hurairah Ra Rasulullah bersabda: “ orang kuat itu bukanlah orang yang sering mengalahkan lawan ketika gulat. Sesungguhnya orang yang kuat itu adalah orang yang dapat menguasai nafsunya ketika marah”. HR. Muttafaqun alaih.

4.    Al- Hasad (dengki)

Dengki ialah suatu keadaan pikiran, yang membuat dirinya merasa sakit

jika orang lain mendapat suatu kesenangan dan ia ingin agar kesenangan itu

diambil dari orang itu meskipun ia sendiri tidak akan mendapat keuntungan

apapun dengan hilangnya kesenangan itu. Ini mengarah kepada kekejian, merasa

gembira jika orang lain bernasib buruk. Semua yang baik yang dimiliki manusia

adalah karunia Allah dan setiap keinginan orang lain agar ini dihapuskan

menunjukkan bahwa: ketidak senangannya dengan putusan Allah, dan

keserakahan yang keterlampauan. Karena seorang bakhil itu kikir dengan harta

miliknya sendiri, tetapi seorang pendengki, kikir berkenaan dengan anugerah yang

datang dari khazanah Allah.6[6]

5[5] Sri Rejeki, Dimensi Psikoterapi Suluk Ling-lung Sunan Kalijaga, (Semarang: Puslit IAIN Walisongo Semarang, 2010), Hlm. 44-45

6[6] Muhammad Abdul Quasem, Etika Al-Ghazali, terj. Mahyudin, (Bandung: Pustaka, 1988)Hlm.135

Page 29: Akhlak Za

Sebagaimana hadist Nabi, sesungguhnya sifat dengki banyak membawa

kerugian.

NمN ُك KرKمK ا KْمKا ُك eا IْخLوKاٌن ا َدKالله Kا َب Iع وLا NرK KُدKاِب َت KاَلKو KاَغKَضNوLا Kَب َت KاَلKو وLا NَسKاَجK Kن َت KاَلKو ُدNوLا Kس KَحKا َت Kاَل

علْيه ( ) متفق الله

Artinya:

Janganlah kamu dengki mendengki, jangan pula putus memutuskan hubungan persaudaraan, jangan benci membenci, jangan pula belakang membelakangi, dan jadilah kamu semua hamba Allah seperti saudara, sebagai mana yang diperintahkan Allah kepadamu. HR. Bukhori-Muslim

5.    Al- Istikbar (sombong)

Sombong yaitu menganggap dirinya lebih dari yang lain sehingga ia

berusaha menutupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa

lebih besar, labih kaya, lebih pintar, lebih dihormati, lebih mulia, dan lebih

beruntung dari yang lain. Maka biasanya orang seperti itu memandang orang lain

lebih buruk , lebih rendah dan tidak mau mengakui kelebihan orang tersebut,

sebab tindakan itu menurutnya sama dengan merendahkan dan menghinakan

dirinya sendiri.7[7]

Al-Ghazali menyebutkan kesombongan itu banyak macamnya.

Berdasarkan terhadap apa kesombongan itu ditujukan, maka terdapat tiga macam,

yakni sombong terhadap Allah, sombong terhadap para Nabi dan sombong

terhadap orang lain.8[8]

Adapun ayat Al-qur’an yang menjelaskan sifat sombong adalah sebagai

berikut:

) $¨Br&ur šúïÏ%©!$# (#qàÿs3ZtFó™$# (#rçŽy9õ3tFó™$#ur óOßgç/Éj‹yèãŠsù $¹/#x‹tã $V ŠJ Ï9r& Ÿwur tbr߉Ågs†

Nßgs9 `ÏiB Èbrߊ «!$# $wŠÏ9ur Ÿwur #ZŽ�ÅÁtR ÇÊÐÌÈ Artinya: adapun orang-orang yang enggan dan menyombongkan diri, maka

Allah akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih, dan mereka tidak akan memperoleh bagi diri mereka, pelindung dan penolong selain daripada Allah. (Q.S. An-Nisa’: 173)

7[7] Yatimin Abdullah, Op.Cit, Hlm. 66

8[8] Muhammad Abdul Quasem, Op.Cit. hlm.154

Page 30: Akhlak Za

6.    Al- Ishraf (berlebihan)

Al- Ishraf ialah menyianyiakan sesuatu tanpa manfaat, melebihi batas

disetiap perbuatan, misalnya menyianyiakan harta, ini dilarang oleh agama dan

merupakan penyakit hati, mengeluarkan harta tanpa faidah, umpama makan dan

minum dikala belum lapar dan belum haus atau makan minum yang berlebih-

lebihan, berpakaian yang terlalu menyolok secara keterlaluan.

Karena itu, makan, minum, berpakaian hendaklah sekadar cukup saja,

jangan berlabih- lebihan, sifat ini timbul pada mereka yang bodoh karena tidak

pandai mengatur, padahal masih banyak keperluan-keperluan urgent yang lebih

patut.

7.    Al- Ifsad (berbuat kerusakan)

Orang yang berbuat kerusakan jiwanya seperti jiwa serigala yaitu selalu

berusaha bagaimana caranya menganiaya orang lain, dan yang ada difikirannya

hanya bagaimana cara merusak orang lain. Dapat juga dikatakan seperti jiwa tikus

yaitu tidak dengan moncong mulutnya, dengan ekornya dia mencuri, selain itu

kerjanya hanya merusak saja.

Ia senang menagdu dombakan orang, menghasut dan melancarkan fitnah

untuk merusakkan orang lain, membuat bencana, maka orang seperti itu tidak dapt

dipercaya dan harus dijauhi.

8.    Al- Namimah (mengadu domba)

Menyampaikan perkataan seseorang atau menceritakan keadaan seseorang

atau mengabarkan pekerjaan seseorang kepada orang lain dengan maksud

mengadu domba antara keduanya atau merusakkan hubungan baik antara mereka.

Keadaan ini mengakibatkan timbulnya kejahatan antara orang dengan

orang atau memutuskan silaturrahmi anttara keluarga dan sahabat, menceraikan

hubungan orang dan sebenarnya hal ini berarti memperbanyak jumlah lawan.

9.    Al- Sikhriyyah (berolok-olok)

Al- Sikhriyyah adalah menghina ke’aiban atau kekurangan orang dengan

menertawakannya, dengan memperkatakannya, atau dengan meniru perbuatannya

dengan isyarat.

Page 31: Akhlak Za

Janganlah menghina atau memperolok-olokkan orang, boleh jadi orang

tersebut lebih baik dari engkau sendiri. Orang yang selalu berolok-olok adalah

orang yang berjiwa kera, senangnya hanya mengejek perbuatan orang lain.9[9]

Berikut ini adalah Firman Allah yang melarang perbuatan sikhriyyah atau

mengolok-olok.

$pkš‰r'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw ö�y‚ó¡o„ ×Pöqs% `ÏiB BQöqs% #Ó|¤tã br& (#qçRqä3tƒ #ZŽö�yz öNåk÷]ÏiB Ÿwur Öä!$|¡ÎS `ÏiB >ä!$|¡ÎpS #Ó|¤tã br& £`ä3tƒ #ZŽö�yz £`åk÷]ÏiB ( Ÿwur (#ÿrâ“ÏJù=s? ö/ä3|¡àÿRr& Ÿwur (#râ“t/$uZs? É=»s)ø9F{$$Î/ ( }§ø©Î/ ãLôœew$# ä-qÝ¡àÿø9$# y‰÷èt/ Ç`»y ƒJ M}$# 4 `tBur öN©9 ó=çGtƒ y7Í

´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqçHÍ>»©à9$# ÇÊÊÈ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”

C.  Efek Psikologis Pelaku Akhlak Madzmumah

Efek psikologis dari pelaku Akhlak Madzmumah adalah seperti dalam QS.

Al-Hujurat 49: 11 sebagaimana tertera di atas. Dalam ayat tersebut Allah

memperingatkan, kalau ada orang yang suka menjelekkan orang lain, bisa jadi

justru yang bersangkutan tanpa sadar tengah menunjukkan kejelekan dirinya.

Secara psikologis, orang yang demikian itu tergolong tidak sehat mentalnya. Dia

tidak rela dan sakit hati jika melihat orang lain melebihi dirinya hal itu membuat

orang tersebut selalu saja ingin mencari kekurangannya, bukan belajar dari

kelebihannya. 10[10]

9[9] Barmawie Umary, Materia Akhlak, (Solo: Ramadhani, 1995), hlm. 62-67

10[10] Komaruddin Hidayat, Psikologi Beragama, (Jakarta: Hikmah, 2010), hlm. 32

Page 32: Akhlak Za

Kesehatan mental (Mental Hygiene atau Mental Health) berusaha

membina kesehatan mental dengan memandang manusia sebagaimana adanya.

Artinya, kesehatan mental memandang manusia sebagai satu kesatuan

psikosomatis, kesatuan jiwa raga atau kesatuan jasmani rohani secara utuh.

Hilangnya gangguan mental merupakan tujuan psikoterapi. Mental yang sehat

merupakan tujuan kesehatan mental. Psikoterapi menangani orang sakit untuk

disembuhkan dan kesehatan mental menangani orang yang sehat untuk dibina

agar tidak jatuh menjadi sakit mental. Kedua ilmu itu saling berkaitan. Psikologi

dan agama merupakan dasar atau landasan dan sekaligus sebagai alat baik untuk

menyembuhkan gangguan mentak maupun untuk pembinaan kesehatan mental.

Baik agama maupun psikologi dengan psikoterapi berusaha membentuk,

mengolah, membina dan mengembangkan kepribadian yang utuh, kaya dan

mantap. 11[11]

Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu

seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:

1.    Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam

hati, dan maksiat mematikan itu.

2.    Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang   

hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."

3.    Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa

kelezatan.

4.    Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di

kegelapan malam.

5.    Terhalangnya ketaatan.

6.    Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.

7.    Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum

kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan

lagi.

11[11] H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama Kepribadian Muslim Pancasila, (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1995), hlm.207-208

Page 33: Akhlak Za

8.    Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia

merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.

9.    Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan

kejayaan.

10.               Maksiat merusak akal, sedang kebaikan membangun akal.12[12]

IV.  KESIMPULAN

Akhlakul madzmumah adalah perangai atau tingkah laku pada tutur kata

yang tercermin pada diri manusia yang cenderung melekat pada bentuk yang tidak

menyenangkan orang lain.

Macam-macam akhlak madzmumah yaitu: Ananiyah (egois), Al- Buhtan

(dusta), Al- Ghadlab (Pemarah), Al- Hasad (dengki), Al- Istikbar (sombong), Al-

Ishraf (berlebihan), Al- Ifsad (berbuat kerusakan), Al- Namimah (mengadu

domba), Al- Sikhriyyah (berolok-olok).

Adapun bahaya yang ditimbulkan oleh maksiat atau perbuatan dosa itu

seperti di sebutkan oleh Ibnu Qoyyim rahimullah, sebagai berikut:

1.   Terhalangnya ilmu agama karena ilmu itu cahaya yang diberikan Allah di dalam

hati, dan maksiat mematikan itu.

2.    Terhalangnya rezeki, seperti dalam hadits riwayat Imam Ahmad, "Seorang   

hamba bisa terhalang rezekinya karena dosa yang menimpanya."

3.    Perasaan alienasi pada diri si pendosa yang tiada tandingannya dan tiada terasa

kelezatan.

4.    Kegelapan yang dialami oleh tukang maksiat di dalam hatinya seperti perasaan di

kegelapan malam.

5.    Terhalangnya ketaatan.

6.    Maksiat memperpendek umur dan menghapus keberkahannya.

7.    Maksiat akan melahirkan maksiat lain lagi, demikian kata ulama salaf: Hukum

kejahatan adalah kejahatan lagi sebagaimana kebaikan akan melahirkan kebaikan

lagi.

12

Page 34: Akhlak Za

8.    Orang yang melakukan dosa akan terus berjalan ke dalam dosanya sampai dia

merasa dirinya hina. Itu pertanda-tanda kehancuran.

9.    Kemaksiatan menyebabkan kehinaan. Dan kebaikan melahirkan kebanggaan dan

kejayaan.

http://nafimubarokdawam.blogspot.com/2013/04/macam-macam-akhlak-madzmumah_6191.html

TASWUF

Selasa, 28 Mei 2013

Macam-Macam Tasawuf

A.MACAM-MACAM TASAWUF1. Tasawuf Akhlaqi(sunni)Tasawuf akhlaqi adalah tasawuf yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, akhlaq atau budi pekerti atau perbaikan akhlaq.Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan, tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan akhlaq mahmudah. Tasawuf seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi.    2.Tasawuf FalsafiTasawuf Falsafi adalah tasawuf yang didasarkan kepada gabungan teori-teori tasawuf dan filsafat atau yang bermakana mistik metafisis, karakter umum dari tasawuf ini sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Al-Taftazani bahwa tasawuf seperti ini: tidak dapat dikatagorikan sebagai tasawuf dalam arti sesungguhnya, karena teori-teorinya selalu dikemukakan dalam bahasa filsafat, juga tidak dapat dikatakan sebagai filsafat dalam artian yang sebenarnya karena teori-teorinya juga didasarkan pada rasa. Hamka menegaskan juga bahwa tasawuf jenis tidak sepenuhnya dapat dikatakan tasawuf dan begitu juga sebaliknya. Tasawuf seperti ini dikembangkan oleh ahli-ahli sufi sekaligus filosof. Oleh karena itu, mereka gemar terhadap ide-ide spekulatif.Dari kegemaran berfilsafat itu, mereka mampu menampilkan argumen-argumen yang kaya dan luas tentang ide-ide ketuhanan.    3. Tasawuf Syi’i

Page 35: Akhlak Za

Paham tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i.Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan iman-iman mereka.Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.

B.ASAL MULA TASAWUF AKHLAQI    Tasawuf akhlaqi ini ditunjukan dengan banyak istilah:Disebut “tasawuf praktis” karena lebih berorentasi pada praktek akhlak atau prilaku shaleh, dan disebut juga tasawuf sunni.Ada juga yang menambahkan istilah tasawuf sunni-salafi.Hanya saja, disebut tasawuf sunnikarena para pelaku tasawufnya berupaya memagari perilaku sufismenyadengan Al-Qur’an dan sunah serta menjadikan kedua tersebut sebagai rujukan utama dalam setiap perilaku tasawufnya. Dalam pandangan para sufi berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu, menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan -bila mungkin- mematikan hawa nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf akhlaqi mempunyai tahap sistem pembinaan akhlak disusun sebagai berikut:1. TakhalliTakhalli merupakan langkah pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan duniawi.2. TahalliTahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji. Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam).Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan 3. TajalliUntuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli.Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.

Page 36: Akhlak Za

C. .ADA BEBERAPA TASAWUF  AKHLAQI YAITU:1.    Tasawuf AmaliTasawuf Amali sebagai “kepanjangan tangan”, “saudara kembar” atau warna lain dari Tasawuf akhlaki memiliki dua ajaran utama: pertama ajaran yang berkaitan dengan Maqamat (tahapan/tingkatan spiritual) dan kedua ajaran yang berkaitan dengan Ahwal (kondisi mental/situasi mistik), disamping bawah tasawuf jenis ini memiliki beberapa istilah teknis, yaitu syari’ah (hukum Islam/fikih/asfek lahir agama), Thariqah (perjalanan menuju Allah), Haqiqah (asfek batiniah dari syari’at) danMa’rifah (pengetahuan mengenai Tuhan melalui hati/intuisi/ilham atau dzauq/rasa spiritual).

2.    Tasawuf SunniTasawuf Sunni memiliki ciri-ciri penting yang membedakannya dari jenis Tasawuf Falsafi.Pertama, Melandaskan diri pada Al-Qur’an dan sunah (Hadit). Kedua, tidak menggunakan terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan-ungkapan syathahat.Ketiga, lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara Tuhan dan manusia.Keempat, kesinambungan dan integrasi (kesatupaduan) antara hakikat dan syari’at.Kelima, lebih kekonsentrasi pada pembinaan mental, pendidikan akhlak (moral) dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah melalui tahapan takhalli, tahalli, tajalliKeenam, tasawuf jenis ini lebih berorientasi pada prakktek ritual keagamaan, ketimbang memusatkan diri pada kreasi pemikiran pemikiran teoritik-spekulatif.

D. TOKOH-TOKOH TASAWUF DAN PEMIKIRANNYATasawuf Akhlaki merupakan tasawuf yang berorientasi pada perbaikan akhlak’ mencari hakikat kebenaran yang mewujudkan menuasia yang dapat ma’rifah kepada Allah, dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf Akhlaki, biasadisebut juga dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf Akhlaki ini dikembangkan oleh ulama salaf as-salih.Dalam diri manusia ada potensi untuk menjadi baik dan potensi untuk menjadi buruk.Potensi untuk menjadi baik adalah al-‘Aql dan al-Qalb.Sementara potensi untuk menjadi buruk adalah an-Nafs. (nafsu) yang dibantu oleh syaithan.Sebagaimana digambarkan dalam al-Qur’an, surat as-Syams : 7-8 sebagai berikut

Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya”.Para sufi yang mengembangkan taswuf akhlaki antara lain : Hasan al-Basri (21 H – 110 H), al-Muhasibi (165 H – 243 H), al-Qusyairi (376 H – 465 H), Syaikh al-Islam Sultan al-Aulia Abdul Qadir al-Jilani (470 – 561 H), Hujjatul Islam Abu Hamid al-Gajali (450 H – 505 H), Ibnu Atoilah as-Sakandari dan lain-lain.

E. TOKOH-TOKOH TASAWUF AHLAKI  DAN AJARANNYA1. Junaid Al-Baghdadi

Page 37: Akhlak Za

Nama lengkapnya adalah Abu al-Qasim al-Junaid bin Muhammad al-Kazzaz al-nihawandi. Dia aadalah seorang putera pedagang barang pecah belah dan keponakan Surri al-Saqti serta teman akrab dari Haris al-Muhasibi. Dia meninggal di Baghdad pada tahun 297/910 M. dia termasuk tokoh sufi yang luar biasa, yang teguh dalam menjalankan syari`at agama, sangat mendalam jiwa kesufiannya. Dia adalah seorang yang sangat faqih, sering memberi fatwa sesuia apa yang dianutnya, madzhab abu sauri: serta teman akrab imam Syafi`i.Pendapat-pendapatnya dalam masalah ini banyak diriwayatkan dalam kitab-kitab biografi para sufi, antara lain sebagaimana diriwayatkan oleh al-qusyairi: “oang-orang yang mengesakan Allah adalah mereka yang merealisasikan keesaan-Nya dalam arti sempurna, meyakini bahwa Dia adalah Yang Maha Esa, dia tidak beranak dan diperanakkan. Di sini memberikan pengertian tauhid yang hakiki.Menurutnya adalah buah dari fana` terhadap semua yang selain Allah. Dalam hal ini dia menegaskanAl-Junaid juga menandaskan bahwa tasawuf berarti “allah akan menyebabkan mati dari dirimu sendiri dan hidup di dalam-Nya.”Peniadaan diri ini oleh Junaid disebut fana`, sebuah istilah yang mengingatkan kepada ungkapan Qur`ani “segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya (QA.55:26-27); dan hidup dan hidup dalam sebutannya baqa`.Al-Junaid menganggap bahwa tasawuf merupakan penyucian dan perjuangan kejiwaan yang tidak ada habis-habisnya.

2. Al-Qusyairi An-NaisaburyDialah Imam Al-Qusyary an-Naisabury, tokoh sufi yang hidup pada abad kelima hijriah. Tepatnya pada masa pemerintahan Bani Saljuk.Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al-Qusyairy, nasabnya Abdul Karim ibn Hawazin ibn Abdul Malik ibn Thalhah ibn Muhammad.Ia lahir di Astawa pada Bulan Rabiul Awal tahun 376 H atau 986 M.Imam Al-Qusyairy merupakan ulama yang ahli dalam banyak disiplin ilmu yang berkembang pada masanya, hal ini terlihat dari karya-karya beliau, seperti yang tercantum pada pembukaan Kitabnya Risalatul Qusyairiyah.Karya-karya itu adalah; Ahkaamu as-Syariah, kitab yang membahas masalah-masalah Fiqh, Adaabu as-Shufiyyah, tentang Tasawuf, al-Arbauuna fil Hadis, kitab ini berisi 40 buah hadis yang sanadnya tersambung dari gurunya Abi Ali Ad-Daqqaq ke Rasulullah. Karya lainnya adalah; Kitab Istifaadatul Muraadaats, Kitab Bulghatul Maqaashid fii al-Tasawwuf, Kitab at-Tahbir fii Tadzkir, Kitab Tartiibu as-Suluuki fii Tariqillahi Ta’ala yang merupakan kumpulan makalah beliau tentang Tasawwuf, Kitab At-Tauhidu an-Nabawi, Kitab At-Taisir fi ‘Ulumi at-Tafsir atau lebih dikenal dengan al-Tafsir al-Kabir. Ini merupakan buku pertama yang ia tulis, yang penyusunannya selesai pada tahun 410 H/1019 M. Menurut Tajuddin as-Syubkhi dan Jalaluddin as-Suyuthi, tafsir tersebut merupakan kitab tafsir terbaik dan terjelas.3.Al-HarawiNama lengkapnya adalah Abu isma`il `Abdullah bin Muhammad al-Ansari. Beliau lahir tahun 396 H. di Heart, kawasan khurasan.Seperti dikatakan Louis Massignon, dia adalah seorang faqih dari madzhab hambali; dan karya-karyanya di bidang tasawuf dipandang amat bermut. Sebagai tokoh sufi pada abad kelima

Page 38: Akhlak Za

Hijriyah, dia mendasarkan tasawufnya di atas doktrin Ahl al-Sunnah. Bahkan ada yang memandangnya sebagai pengasas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang para sufi yang terkenal dengan ungkapan-ungkapan yang anah, seperti al-Bustami dan al-Hallaj.Di antara karya-karya beliau tentang tasawuf adalah Manazil al-Sa`irin ila Rabb al-`Alamin. Dalam dalam karyanya yang ringkas ini, dia menguraikan tingkatan-tingkatan rohaniyah para sufi, di mana tingakatan para sufi tersebut, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti katanya; ”kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dipaandang benar kecuali dengan benarnya tingkatan awal, seperti halnya bangunan tidak bias tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Benarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keihklasan serta keikutannya terhadap al-Sunnah”.

E. Ciri-ciri Tasawuf Akhlaqia.    Melandaskan diri ada Al-Qur’an dan As-sunah. mereka tidak mau menerjunkan pemahamannya pada konteks iluar pembahasan Al-Qur’an dan Haditsb.    Tidak menggunakan terminologi-terminologi filsafat sebagaimana terdapat pada ungkapan syahadat-syahadat.c.    Lebih bersifat mengajarkan dualisme dalam hubungan antara tuhan dan manusia. Dualisme yang dimaksud disiini adalah ajaran yang mengakui bahwa meskipun manusia dapat berhubungan dengan tuhan, sehubungannya tetap dalam kerangka yang berbeda diantara keduanya,dalam hal esensinya.d.    Kesenambungan,antar hakikat dan syariat.e.    Lebih terkonsentrasi pada soal pembinaan,pendidikan akhlak,dan pengobatan jiwa dengan cara riyadhah (latihan mental)dan langkah takhalli, tahalli, tajalli.

PENUTUP    KESIMPULANTaswuf akhlaki adalah taswuf yang berkonsentrasi pada perbaikan akhlak. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,tasawuf bentuk ini berkonsentrasi pada upaya-upaya menghindarkan diri dari akhlak yang tercela (Mazmumah) sekaligus mewujudkan akhlak yang terpuji (Mahmudah) didalam diri para sufi.Selain itu, tasawuf juga mempunyai tujuan-tujuan sebagai berikut:1.Berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil2.Melepaskan diri (takhalli) dari penyakit-penyakit kalbu.3.Menghiasi diri (tahalli) dengan akhlak Islam yang mulia.4.Mencapai derajat ihsan dalam ibadah (tajalli).            Dengan demikian kaum sufi harus selalu melaksanakan pembinaan akhlak mulia dalam diri mereka pada setiap kali beribadah.

DAFTAR PUSTAKA

Page 39: Akhlak Za

Abul Wafa’ al-Taftazani, sufi dari Zaman ke Zaman, Bandung: Pustaka, 1985

Asmaran As, Pengantar Studi Tasawuf, Jakarta: Rajawali Pers, 1996

Drs. H. Mahfud, M.Ag, Ilmu Tasawuf, Cirebon, 2009Mukhtar Solihin dan Rosikhon Anwar, kamus tasawuf, Bandung: Rosda     Karya, 2002.http://kangobed.blogspot.com/2013/05/macam-macam-tasawuf.html

riday, November 30, 2012

Macam-macam Aliran Tasawuf

Secara keseluruhan Ilmu tasawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tasawuf ilmi atau nadhari, yaitu tasawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian ini ialah sejarah lahirnya tasawuf dan perkembangannya sehingga menjelma manjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori tasawuf menurut bebagai tokoh tasawuf dan tokoh luar tasawuf yang berwujud ungkapan sistematis dan filosofis. Bagian ke dua ialah Tasawuf Amali atau Tathbiqi, yaitu tasawuf terapan yakni ajaran tasawuf yang praktis. Tidak hanya sebagai teori belaka. Namun menuntut adanya pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tasawuf. Orang yang menjalanakan ajaran tasawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara materiil dan spiritual, dunia dan akhirat.Sementara ada lagi yang membagi tasawuf manjadi tiga macam bagian aliran tasawuf, yakni : 1. Tasawuf akhlaki, 2. Tasawuf amali, 3. Tasawuf falsafi. Perlu di maklumi bahwa pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ke tiganya tidak bisa di pisahkan secara dichotomik, sebab dalam prakteknya ke tiganya tidak dapat di pisahkan satu sama lain. Selanjutnya untuk mengkaji masing-masing bagian tasawuf tadi, berikut ini akan di uraikan satu persatu. 

Tasawuf akhlaki adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian yang optimum, manusia harus lebih dahulu yang mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke tuhanan melaui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral dan ber akhlak mulia, yang dalam ilmu tasawuf dikenal Takhalli (pengosongan diri dari sifat-sifat tercela), Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji), dan Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih seehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan).Takhalli berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah pertama yang harus di tempuh adalah mengetahui

Page 40: Akhlak Za

dan menyadari, betapa buruknya sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses, maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah berfirman : Asy-Syams: 9-10Artinya: “sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya” (asy-syams: 9-10)Adapun sifat-sifat tercela yang harus di hilangkan ialah antara lain Syirik (penyekutuan tuhan), hasad (dengki), hirsh (keinginan yang berlebih-lebihan), Ghadlab ( marah), Riya dan Sum’ah (pamer), Ujb (bangga diri) dan sebagainya.Untuk menghilangkan sifat-sifat tersebut, maka perlu dilakukan dengan cara :

a.       Menghayati segala bentuk akidah dan ibadah.b.      Muhasabah (koreksi) terhadap dirinya sendiri.c.       Riyadlah (latihan) dan Mujahadah (perjuangan).d.      Berupaya mempunyai kemauan dan gaya tangkal yang kuat terhadap kebiasaan-

kebiasaan yang jelek dan menggantinya dengan kebiasaan-kebiasaab baik.e.       Mencari waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek-jelek itu, dan f.       Memohon pertolongan dari Allah swt.

Tahap selanjutnya ialah Tahalli, yakni menghias diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama.Langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senantiasa konsisten dengan langkah yang di rintis sebelumnya (dalam bertkhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan manusia yang sempurna (ihsan kamil).Langkah ini perlu di tingkatkan dengan tahap mengisi dan menyinari hati dengan sifat-sifat terpuji, antara lain at-tauhid (pengesaan Tuhan secara mutlak), ash-shabru (tabah dalam menghadapi segala situasi dan kondisi), dll.Setelah seseorang melalui dua tahap tersebut, maka pada tahap ke tiga yakni Tajalli, seseorang hatinya terbebaskan dari tabir (hijab), yaitu : sifat-sifat kemanusiaan atau memperoleh Nur yang selama ini tersembunyi atau fana’ segala sesuatu selain Allah ketika Nampak (tajalli) wajah-Nya.Al-kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam yaitu :

1.      Tajallidz Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang menutupi kerahasiaan-Nya).

2.      Tajallis Sifatidz Dzat, yakni nampaknya sifat-sifat Dzat-Nya sebagai sumber atau tempat cahaya.

3.      Tajalli Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum Dzat, atau hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya.Pencapaian tajalli tersebut melalui pendekatan melalui pendekatan rasa atau Dzauq dengan alat al-Qalb. Qalb menurut shufi mempunyai kemempuan lebih bila dibandingkan dengan akal. Yang kedua ini tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya tentang Allah swt. Sedang al-Qalb bisa mengetahuinya. Apabila ia telah member atau menembus qalb dengan Nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang karunia dan rahmat-Nya. Ketika itu

Page 41: Akhlak Za

Qalb menjadi terang-benderang, terangkatlah tabir rahasia dengan karunianya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat ketuhanan selama itu terhijab dan terahasiakan.Apabila seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan memperoleh ma’rifat, yaitu mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala yang ada atau bisa di artikan lenyapnya segala sesuatu dengan ketika menyaksikan Tuhan.Ma’rifat merupakan pemberian Tuhan, bukan usaha manusia. Ia merupakan ahwal tertinggi, yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim Basyuni, ma’rifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir dari segala pemberian setela melakukan mujahadah dan riyadlah, dan bisa dicapai ketika terpenuhinya qalb dengan Nur Ilahi.Nur Ilahi itu akan diberikan kepada seseorang yang telah terkendali hawa nafsunya, bahkan bisa dilenyapkan sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) nya yang cenderung berbuat maksiat, dan terlepasnya dari kecendrungan kepada masalah duniawiyah. Karena dosa dan cinta kepadanya, akan menjadi penghalang qalb untuk melihat (ma’rifat) kepada-Nya.

Tasawuf amali, yaitu tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pengertian ini, tasawuf amali berkonotasikan thariqah, dalam thariqah dibedakan antara kemampuan shufi yang satu dari pada yang lain, ada orang yang di anggap mampu dan tahu cara mendekatkan diri kepada Allah, dan ada orang yang memerlukan bantuan orang lain yang di anggap memiliki otoritas dalam masalah itu. Dalam perkembangan selanjutnya, para pencari dan pengikut semakin banyak dan terbentuklah semacam komunitas social yang sepaham, dan dari sini muncullah strata-strata berdasarkan pengetahuan serta amalan yang mereka lakukan. Dari sini maka mucullah istilah Murid, Mursyid, Wali, dan sebagainya.Dalam tasawuf amali yang berkonotasikan thariqah ini mempunyai aturan, prinsip dan system khusus. Semula hanya merupakan jalan yang harus di tempuh seorang sufi dalam mencapai tujuan berada sedekat mungkin dengan tuhan, lama-kelamaan bekembang menjadi organisasi shufi, yang melegalisir kegiatan tasawuf. Praktek amaliahnya disistimatisasikan sedemikian rupa sehingga masing-masing thariqah mempunyai metode sendiri-sendiri.Pengertian ini di tegaskan oleh J. Scencer Trimingham bahwa thariqah adalah suatu metode praktis untuk menuntun seorang shufi secara berencana dengan jalan pikiran, perasaan, dan tindakkan, terkendali terus menerus kepada suatu rangkaian maqam untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.Dalam thariqah ada tiga unsure yakni: guru, murid, dan ajaran. Guru adalah orang yang mempunyai otoritas dan legalitas ke shufian, yang berhak mengawasi muridnya dalam setiap langkah dan geraknya sesuai dengan ajaran islam. Oleh karena itu dia mempunyai ke istimewaan khusus, seperti jiwa yang bersih.

Tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan antara visi intuitif dan visi resional. Terminology filosofis yang digunakan berasal dari

Page 42: Akhlak Za

bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun demikian tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena ajaran daan metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di kategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa filsafat.Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya, para shufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy. Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan sebagainya.Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu tingkatan dalam tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi deengan kata-kata : “hai aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi satu.Salah satu Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :

1.      “tiada tuhan selain aku, maka sembahlah aku”.2.      “maha suci aku, maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku”.3.      “tidak ada sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”.

Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil tempat (hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.Menurut al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut (kemanusiaan), dan unsure Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul.Al-Hallaj juga mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan al-Busthami, seperti : “aku adalah yang haq”. Karena ungkapannya yang di anggap menyimpang dari tauhid inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syi’ah Qaramithah, maka dia di jebloskan ke dalam keputusan pengadilan fuqaha’ yang sepihak dan berkolusi dengan pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi hukuman mati.Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsure tersebut pasti ada pada setiap makhluk yang ada ini , sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : “ maha suci dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri”.Paham yang di bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena perbedaan latar belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia tasawuf di kenal istilah fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di depan. Ketika seseorang telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai puncak tujuan yang di inginkannya, yakni ma’rifat dan hakikat, sehingga muncul kesadaran bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan al-Ma’ruf (yang di ketahui/tuhan) adalah satu.Orang yang telah mencapai ma’rifat, hatinya bersih, dia akan merenungi sifat-sifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena dalam ma’rifat masih ada sia-sia

Page 43: Akhlak Za

kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama Tuhan adalah ketuhanan dan kesatuan ilahi merupakan prinsip ma’rifat yang pertama dan yang terakhir.Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang mendasari seluruh peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim. Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang dari pada-Nya, tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar matahari atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai pandangan tersebut di atas.Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang diperoleh oleh para shufi falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu yang wajar saja, dan suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan fiqih dan ilmu kalam, adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang menyimpang, karena antara khalik dan makhluk, antara ‘abid dan ma’bud tidak bisa di satukan.

DAFTAR PUSTAKAEmroni. Ilmu tasawuf. IAIN Antasari. Banjar masin. 2001Ahmad jaiz. Hartono. Mendudukan tasawuf. Buku Islam kafah.jakarta

http://mujib-ennal.blogspot.com/2012/11/macam-macam-aliran-tasawuf.html

Sejarah Singkat Ilmu Kalam, Filsafat Islam dan Tasawuf Beserta Aliran-alirannyaJan 8

A. Sejarah Singkat lahirnya Ilmu Kalam beserta Aliran-alirannya

Kelahiran Ilmu Kalam dilatarbelakangi oleh topik-topik pembahasan seputar Ketuhanan seperti jabr (doktrin yang menganggap bahwa Tuhan telah menetapkan sebelumnya apa yang akan terjadi, sehingga garis ketetapan itu tak dapat diubah. Dan mengenai kehendak bebas (ikhtiyar), serta topic mengenai keadilan Ilahi berlangsung di kalangan Muslim pada paro pertama abad kedua

Page 44: Akhlak Za

hijriah. Ada tokoh-tokoh yang senantiasa mendukung kehendak bebas (ikhtiyar) seperti Ma’bad Al-Juhani  paro abad kedua pertama (wafat tahun 80 H/699 M). Dan ada juga yang menentang kehendak bebas dan lebih mendukung jabr. Kaum yang memiliki kehendak bebas dinamakan Qodariah sedangkan lawannya adalah Jabariyah. Maka berangsur-angsur pokok-pokok perselisihan antara kedua kelompok ini meluas ke bidang teologi dan masalah-masalah lain yang berhubungan dengan manusia dan kebangkitan, diantaranya juga masalah jabr dan ikhtiyar.[1] Maka bermunculan aliran-alirab teologi dengan dasar ajaran dan keyakinannya masing-masing. Berikut adalah penjelasan singkat mengenai aliran-aliran kalam :

1. 1.      Aliran Khawarij

Khawarij adalah aliran dalam teologi islam yang pertama kali muncul. Menurut Ibnu Abi Bakar Ahmad al_syahrastani, Khawarij adalah setiap orang yang keluar dari imam yang hak dan telah disepakati para jamaah, baik ia keluar pada masa sahabat Khulafaur Rasyidin maupun pada masa tabi’in secara baik-baik.

Khawarij sebagai sebuah aliran teologi adalah kaum yang terdiri dari pengikut Ali Ibn Abi Thalib yang meninggalkan barisan, karena tidak setuju terhadap sikap Ali Ibn Abi Thalib yang menerima kesepakatan damai sebagai jalan untuk menyelesaikan persengketaan khalifah dengan Mu’awyiyah Ibn Abi Sufyan.

Mereka pada umumnya terdiri dari orang-orang  Arab Badawi. Kehidupannya di padang pasir yang serba tandus, menyebabkan mereka bersifat sederhana baik dalam cara hidup maupun cara berpikir. Golongan-golongan Khawarij yang terbesar menurut al-Syahrastani ada delapan. yaitu al-Muhakkimah, al-Azariqah, al-Najdat, al-Baihasiyyah, al-Ajaridah, al-Sa’alibah, al-Ibadiah dan al-Shufriyah.

a. Al-Muhakkimah.

Al-Muhakkirnah adalah mereka yang keluar dari barisan Ali ketika berlangsung peristiwa tahkim,. Pimpinan mereka diantaranya Abdullah bin Al-Kawa, Utab bin al- A’war, Abdullah bin Wahab al-Rasiby. Al-Muhakkimah ini adalah golongan Khawarij pertama yang terdiri dari pengikut-pengikut Ali. Merekalah yang berpendapat bahwa Ali, Muawiyah, kedua pengantara ‘Amr Ibnu al-Ash dan Abu Musa al-Asy’ari serta semua orang yang menyetujui tahkim sebagai orang-orang yang bersalah dan menjadi kafir.

b. AI-Azariqah

Al-Azarigah adalah bagian dari golongan Khawarij yang dapat menyusun barisan baru yang besar dan kuat. Daerah kekuasaannya terletak di perbatasan Irak dan. Iran. Khalifah yang pertama mereka pilih adalah Nafi’ sendiri, dan kepadanya mereka memberi gelar Amir al- Mu’minin. Sub sekte al-Azariqah ini sikapnya lebih radikal dari Muakimah. Mereka mengubah term kafir menjadi term musyrik.

Page 45: Akhlak Za

c. Al-Najdat

            Al-Najdat adalah golongan khawarij yang ketiga. Nama golongan ini diabil dari nama pemimpinnya yang bernama Najdah Ibn ‘Amir al-Hanafi dari Yamamah. Mereka ini pada mulanya ingin bergabung dengan kaum Azariqah. Namun rencanan ini tidak terwujud, karena terjadi perselisihan paham antara pengikut al-Azariqah dengan al-najdat. Para pengikut Nafi’ Ibnu al-Azraq yang bernama Abu Fudaik, Rasyid al_Tawil dan Atiah al-Hanafi dalam tidak menyetujui paham al-Azariqah yang mengatakan bahwa orang Azraqy yang tak mau berhijrah ke dalam lingkungan al-Azariqah adalah musyrik.

Najdah berpendapat bahwa orang yang berdosa besar dan dapat menjadi kafir serta kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang, tak sepaham dengan golongannya. Sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat balasan siksa, tetapi bukan dalam neraka dan kemudian akan masuk surga.

2. Aliran Murji’ ah

Aliran Murji’ah ini muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagaimana hal itu dilakukan oleh aliran Khawarij. Mereka menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan karena hanya Tuhan-lah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Demikian pula orang mukmin yang melakukan dosa besar masih dianggap mukmin di hadapan mereka. Orang mukmin yang melakukan dosa besar itu dianggap tetap mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad sebagai Rasul-Nya. Dengan kata lain bahwa orang mukmin sekalipun melakukan dosa besar masih tetap mengucapkan dua kalimat syahadat yang menjadi dasar utama dari iman. Oleh karena itu orang tersebut masih tetap mukmin, bukan kafir. Pada golongan Murji’ah yang moderat ini terdapat nama al-Hasan Ibnu Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Thalib, Abu Hanifah, Au Yusuf dan beberapa ahli hadis.

3. Aliran Qadariyah

Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang mempunyai gudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepada qadar atau qada Tuhan. Aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam gerak laku dan perbuatannya. Qodariah dosebut juga dengan aliran Mu’tazilah.

Page 46: Akhlak Za

4. Aliran Jabariyah

Nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Paham Jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memilki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Aliran Jabariyah ini selanjutnya mengembangkan pahamnya sejalan dengan perkembangan masyarakat pada masa itu.  Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa Jabariyah ini mengajarkan paham bahwa manusia dalam melakukan perbuatannya berada dalam keadaan terpaksa. Manusia dianggap tidak mempunyai kebebasan dan kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan.

Dalam sejarah tercatat, bahwa orang yang pertama kali mengemukakan paham Jabariyah di kalangan umat Islam adalah Al-Ja’ad Ibn Dirham. Pandangan-pandangan Mad ini kemudian disebarluaskan oleh para pengikutnya.

B. Sejarah Singkat Tasawuf beserta Aliran-alirannya

Kata tasawuf dan sufi belum dikenal pada masa awal Islam, namun tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada walaupun istilah sufi dan nama ilmu tersebut belum muncul. Ilmu kesufian atau ilmu tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh al-Qur’an dan al-Hadits dengan tujuan utama mengesakan Allah dengan amar ma’ruf nahi munkar. Munculnya istilah tasawuf baru dimulai pada pertengahan abad III Hijriyah oleh Abu Hasyim al-Kufi (w. 250 H) dengan meletakkan al-sufi dibelakang namanya menjadi Abu Hasyim Al-Sufi. Dalam sejarah Islam sebelum muncul aliran tasawuf, terlebih dahulu muncul aliran zuhud. Aliran zuhud timbul pada akhir abad I dan permulaan abad II Hijriyah. Zuhud adalah keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian.[2]

Akan tetapi setelah tasawuf menjadi sebuah ilmu pengetahuan maka pengertian tentang tasawuf sebagai ilmu kerohanian maupun sebagai mistisisme dalam Islam, masih perlu dilihat dari tipe-tipe atau mazhab-mazhab tasawuf.  tasawuf dikelompokkan kepada tiga aliran induk, yaitu; tasawuf akhlaki yang lebih berorientasi etis, tasawuf amali yang lebih mengutamakan intensitas dan ekstensitas ibadah ketiga adalah tasawuf falsafi yang bermakna mistik metafisis. Apabila tasawuf diartikan sebagai upaya agar berada sedekat  mungkin dengan Tuhan maka tasawuf dapat dibedakan berdasarkan “kedekatan” atau “jarak” antara manusia dengan Tuhan. Tipe tasawuf ini kemudian disebut tasawuf Syi’I dan tipe pertama disebut tasawuf Sunni. Apabila konsepnya dipandang telah menyimpang dari prinsip-prinsip Islam,” maka ia dikelompokkan kepada tasawuf Syi’i, sebaliknya apabila ajaran tasawuf itu masih berada dalam garis garis  islam disebut tasawuf Sunni. Dalam Ilmu tasawuf terminologi tarekat tidak hanya berarti sebagai  metoda tertentu atau jalan yang dapat mengantarkan seorang agar berada sedekat mungkin dengan Tuhan, tatpi ia juga bermakna segenap ajaran

Page 47: Akhlak Za

Islam adalah tarekat menuju umat menuju perjumpaan  Tuhan. Tarekat dalam terminologi tasawuf adalah gaya yang ditempuh seseorang sufi dalam memahami, menghayati dan mengamalkan seluruh aspek ajaran islam agar ia selalu berada dekat dengan Tuhan. Berdasarkan kode etik keilmuan dan penyajian yang lebih bersifat akademik, maka penulis membedakan tasawuf kepada dua aliran, vaitu TASAWUF SUNNI dan TASAWUF FALSAFI.

Apabila dibandingkan antara konsep-konsep tasawuf Sunni dengan tasawuf falsafi, ada sejumlah kesamaaan yang jelas disamping adanya perbedaan yang cukup mendasar. Kedua aliran sama-sama mengakui ajarannya bersumber dari al-Quran dan sunnah serta sama-sama mengamalkan Islam secara konsekuen. Tasawuf sunni berpendapat, bahwa antara makhluk dengan Khalik tetap ada Jarak yang terpisah sehingga tidak mungkin tumbuh karena keduanya tidak seesensi. Lain halnya dengan tasawuf falsafi, mengatakan manusia seesensi dengan Tuhan karena manusia berasal dan tercipta dari esensi-Nya.

Terjadinya perbedaan itu bersumber dari perbedaan kecenderungan dan minat terhadap pemikiran-pemikiran spekulatif filsafat. Tasawuf ini kurang memperhatikan ide-ide spekulatif karena mereka sudah, merasa puas dengan argumentasi yang bersifat naqli  agamawi.  Nampaknya perbedaan dan sebab penamaan itu tidak terletak pada menyimpang  atau tidaknya dari ajaran Islam atau karena perbedaan nilai, tetapi perbedaan itu hanyalah bersifat instrumental belaka yakni sistem pemecahan masalah. Di satu pihak membatasi diri hanya menggunakan  landasan naqli, sedangkan dipihak lainnya menggunakan alat bantu yang bersifat aqli filsafati, filsafati timur, filsafat dari belahan dunia barat.

C. Sejarah Singkat Filsafat Islam beserta aliran-alirannya

Cara pemikiran Filsafat secara teknis muncul pada masa permulaan jayanya Dinasti Abbasiyah. Di bawah pemerintahan Harun al-rasyid, dimulailah penerjemahan buku-buku bahasa Yunani kedalam bahasa Arab. Orang-orang banyak dikirim ke kerajaan Romawi di Eropa untuk membeli manuskrip Awalnya yang dipentingkan adalah pengetahuan tentang kedokteran, tetapi kemudian juga pengetahuan-pengatahuan lain termasuk filsafat.

Penerjemahan ini sebagian besar dari karangan Aristoteles, Plato, serta karangan mengenai Neoplatonisme, karangan Galen, serta karangan mengenai ilmu kedokteran lainya, yang juga mengenai ilmu pengetahuan Yunani lainnya yang dapat dibaca oleh ulama Islam. Tak lama kemudian timbulah para filosof-filosof dan ahli ilmu pengetahuan terutama kedokteran di kalam umat Islam. Dan muncullah beberapa aliran filsafat Islam. Aliran-alirannya adalah yang akan kami jelaskan sebagai berikut :

A. Aliran Paripatetik

Page 48: Akhlak Za

Istilah paripatetik merujuk kepada kebiasaan Aristoteles dalam mengajarkan filsafat kepada murid-muridnya. Dengan demikian istilah paripatetik ini merujuk kepada para penbgikut Aristoteles. Tokoh-tokoh yang dikategorikan dalam aliran ini diantaranya adalah al-Kindi (w.866), al-Farabi (W.9540), ibn Sina (w. 1037), Ibn Rusyd (W.1196), dan Nashir al-Din Thusi (w. 1274).

Ciri khas dari aliran ini adalah penjelasan yang bersifat diskursif, yakni menggunakan logika formal berdasarkan penalaran akal. Lalu sifatnya tidak langsung karena mereka menggunakan symbol dalam menangkap objek dan cirri lainnya adalah penekanan yang kuat pada daya-daya rasio.

B. Aliran Iluminasionis (Isyraqi)

Aliran ini didirikan oleh Pemikir Iran bernama Suhrawardi al-Maqtul yang dijatuhi hukuman mati karena dituduh oleh para ulama Suriah yang iri padanya bahwa ia telah menyebarkan aliran sesat.

Karakteristik dalam filsafat iluminasionis ini diantaranya adalah mementingkan posisi pengetahuan intuitif (irfani) sebagai pendamping dari penalaran rasional. Jadi Suhrawardi mensintesiskan dua pendekatan burhani dan irfani dalam sebuah system pemikiran yang solid dan holistic.

C. Aliran Irfani (Tasawuf)

Dalam perkembangan filsafat pasca Ibn Rusyd, tasawuf semakin tidak bisa dipisahkan dari filsafat. Bahkan Suhrawardi sendiri mengatakan bahwa tasawuf merupakan fundamental bagi filsafat. Sebagaimana yang kita ketahui tasawuf didasarkan oleh pengetahuan intuitif. Persepsi intuitif berbeda dengan persepsi intelektual, karena persepsi intuitif ini bisa langsung menembus langsung jantung objeknya. Rumi menyatakan pandangannya dengan sebuah pertanyaan retorik :” Bisakah anda menyunting mawar dengan M.A.W.A.R?” Tidak, anda baru menyebut nama” kata Rumi, “ Carilah yang empunya Nama!”

Tentu saja pertanyaan ini menunjukkan kelemahan akal dalam mencapai realitas objeknya. Menurut para sufi, “Cinta” pun tidak akan bisa dipahami oleh akal kecuali jika kita mengalaminya sendiri.

D. Aliran Hikmah Muta’aliyah

Aliran ini diwakili oleh seorang filosof Syi’ah abad ketujuh belas, Shadr al-Din al-Syirazi (w.1641) yang lebih dikenal dengan Mulla Shadra. Mulla Shadra adalah seorang filosof yang berhasil mensintesiskan ketiga aliran filsafat yaitu Paripatetik, Iluminasi, dan Irfani.

Filsafat hikmah percaya bukan hanya pada akal diskursif, melainkan juga pada pengalaman mistik. Namun filsafat Hikmah disini menekankan bahwa

Page 49: Akhlak Za

pengalaman mistik bukan hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis, melainkan “harus” diungkapkan seperti itu untuk keperluan verifikasi public. Mulla shadra juga membicarakan antara kesatuan akal dan ma’qul. Tidak mungkin ada yang dipikirkan (al-ma’qul) kalau tidak ada yang berpikir (aqil). Maka ma’qul tidak akan menjadi yang dipikirkan kalau dilepas hubungannya dengan yang berpikir, atau kalau yang terakhir dipandang sama sekali lain daripada dirinya. Karena itu maka yang dipikir (ma’qul) haruslah sama dengan sesuatu yang bisa berpikir (‘aql), yang pada gilirannya harus sama juga dengan yang berpikir (‘aqil). Mulla Shadra juga menciptakan ajaran Wahdatul Wujud sebagaimana Ibn Arabi tetapi tentunya dengan perbedaan yang cukup signifikan.[3]

 

 

 

 

 

2. Pengertian dan Pembahasan Ilmu Kalam (Teologi), Filsafat Serta Tasawuf

A. Pengertian Teologi dan Objek Pembahasannya

Teologi merupakan suatu ilmu yang membahas ajaran-ajaran dasar suatu agama. Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar tersebut biasa disebut dengan Usul al-Din, aqa’id dan disebut pula credos. Teologi dalam Islam disebut juga dengan ilmu tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa, dan keesaan dalam pandangan Islam, sebagai agama monoteisme, merupakan sifat terpenting dari segala sifat-sifat Tuhan. Teologi dalam Islam disebut juga dengan Ilmu Kalam. Arti Kalam adalah kata-kata. Jika yang dimaksud dengan kalam adalah sabda Tuhan maka teologi dalam Islam disebut ‘ilm kalam, karena persoalan mengenai kalam (Sabda Tuhan) atau al-Qur’an pernah menimbulkan pertentangan-pertentangan keras di kalangan umat Islam di abad IX dan X masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan-pembunuhan terhadap sesama muslim waktu itu. Jika yang dimaksud dengan kalam ialah kata-kata manusia, maka teologi dalam Islam disebut dengan ‘ilm kalam, karena kaum teolog Islam bersilat dengan kata-kata dalam mempertahankan pendapat dan pendirian masing-masing.[4]

Ilmu Kalam membahas iman dan akidah dari berbagai aspek dan memaparkan alasan-alasan yang memperkuat pembahasan tersebut. ilmu kalam ini merupakan studi tentang doktrin (akidah) dan iman Islam. Secara sederhana Murtadha Muthahhari mendefinisikan bahwa ilmu kalam adalah sebuah ilmu yang mengkaji doktrin-doktrin dasar atau akidah-akidah pokok Islam. Ilmu kalam

Page 50: Akhlak Za

mengidentifikasi akidah-akidah pokok dan berupaya membuktikan keabsahannya dan menjawab keraguan terhadap akidah-akidah pokok tersebut. karena sebagian besar perdebatan tentang akidah-akidah Islam berkisar seputar huduts (kemakhlukan, keterciptaan, temporalitas) atau qidam (keabadian) firman atau kalam Allah, maka disiplin yang membahas akidah utama agama Islam pun mendapat sebutan “ilmu kalam” (secara harfiah, ilmu firman).

B. Pengertian Filsafat Islam dan Objek Pembahasannya

Filsafat adalah usaha manusia dengan akal budinya untuk memahami, mendalami, dan menyelami secara radikal dan universal hakikat semua yang ada, yakni meliputi hakikat Tuhan, hakikat Alam Semesta, dan hakikat manusia serta sikap manusia sebagai konsekuensi dari paham dan pemahamannya.[5]

Filsafat Islam adalah hasil pemikiran filsuf  tentang ajaran ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam yang disinari ajaran Islam dalam suatu aturan pemikiran yang logis dan sistematis. Menurut Mustofa Abdur Razik, Filsafat Islam adalah filsafat yang tumbuh di negeri Islam dan di bawah naungan negara Islam, tanpa memandang agama dan bahasa-bahasa pemiliknya.[6] Menurut Ahmad Fu’ad al-Ahwani filsafat Islam ialah pembahasan tentang alam dan manusia yang disinari ajaran Islam.

Pendapat lain mengatakan bahwa filsafat islam adalah filsafat Qur’aniah, yaitu filsafat yang berorientasi kepada al-Qur’an untuk mencari jawaban-jawaban mengenai masalah-masalah asasi filsafat kepada wahyu.[7] Namun penamaan istilah filsafat islam pada dasarnya adalah karena islam ini bukan hanya sekedar agama namun termasuk juga di dalamnya kebudayaan. Jadi pemikiran filsafat ini juga tentunya terpengaruh oleh kebudayaan islam tersebut, meskipun pemikiran itu banyak sumbernya dan berbeda-beda jenis orangnya. Corak pemikiran tersebut adalah Islam, baik tentang problema-problemanya, motif pembinaannya maupun tujuannya, karena Islam telah memadu dan menampung aneka kebudayaan serta pemikiran dalam satu kesatuan.[8] Objek kajian filsafat adalah masalah ketuhanan disamping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. filsafat sebagai ilmu yang mengungkap tentang wujud-wujud melalui sebab-sebab yang jauh, yakni pengetahuan yang yakin yang sampai kepada munculnya suatu sebab. Ilmu terhadap wujud-wujud itu adalah bersifat keseluruhan, bukan terperinci, karena pengetahuan secara terperinci menjadi lapangan ilmu-ilmu khusus. Oleh karena sifatnya keseluruhan, maka filsafat hanya membicarakan benda pada umumnya atau kehidupan pada umumnya. filsafat mencakup seluruh benda dan semua yang hidup yakni pengetahuan terhadap sebab-sebab yang jauh yang tidak perlu lagi dicari sesudahnya. Filsafat berusaha untuk menafsirkan hidup itu sendiri yang menjadi sebab pokok bagi partikel-partikel itu beserta fungsi-fungsinya. Cakupan filsafat Islam tidak jauh berbeda dari objek filsafat ini. Hanya dalam proses pencarian itu Filsafat Islam telah diwarnai oleh nilai-nilai yang Islami. Kebebasan pola pikirannya pun digantungkan nilai etis yakni sebuah ketergantungan yang didasarkan pada kebenaran ajaran ialah Islam.

Page 51: Akhlak Za

Tujuan mempelajari filsafat Islam ialah mencintai kebenaran dan kebijaksanaan. Sedangkan manfaat mempelajarinya ialah :

1. Dapat menolong dan menididik, menbangun diri sendiri untuk berfikir lebih mendalam dan menyadari bahwa ia mahluk Tuhan.

2. Dapat memberikan kebiasaan dan kepandaian untuk melihat dan memecahkan persoalan.

C. Pengertian Tasawuf dan Objek Pembahasannya

Tasawuf berasal dari kata shafw yang artinya bersih atau shafaa, dari kata shuffah yang artinya suatu kamar disamping mesjid Rasulullah di kota Madinatul Munawwarah, berasal dari kata shaff yang artinya barisan dikala sembahyang sholat, dari kata shaufanah yaitu sejenis buah-buahan kecil berbulu-bulu yang banyak sekali tumbuh di padang pasir, dan kaum sufi mengenakan baju berbulu seperti buah itu, dalam kesederhanaannya.[9]Tasawuf juga berasal dari kata shuf’ wol. Konon, dulu para sufi (ahli tasawuf) biasa berpakaian shuf atau bulu domba. Secara istilah tasawuf bisa disamakan dengan mystic, yaitu satu system cara bagaimana agar seseorang bisa mencapai hubungan yang mesra dengan Tuhan yang Mahakekal dan Mahasempurna. Hubungan ini adalah berdasarkan cinta dan kasih.[10] Ibn Khaldun berpendapat bahwa “ Tasawuf adalah jalan kebenaran dan petunjuk. Sementara asal-usulnya adalah pemusatan diri dalam ibadah, konsentrasi secara penuh kepada Allah, penghindaran diri dari hiasan dan pesona dunia, penjauhan diri dari kelezatan, harta dan pangkat dan pemisahan diri dari orang lain untuk menyendiri dan beribadah,”[11] yang tujuannya menurut Abd-al-Hakim Al-Hasan adalah sampai (wusul) kepada Zat Yang Haq dan atau Zat Yang Mutlak dan bersatu (ittihad) dengan-Nya.[12] Sedangkan tasawuf menurut Abu Nasar al-Sarraj adalah menghindari hal-hal yang terlarang, melakukan kewajiban-kewajiban agama dan menolak dunia. Menurut Abu Bakar al-Kalabadhi Tasawuf adalah menarik diri dari dunia, meninggalkan semua hal yang sudah mapan, terus menerus berkelana, menolak kesenangan-kesenangan hawa nafsu bagi jiwa, menyucikan perilaku dan memberikan hati nurani.[13]

Tasawuf adalah ilmu yang mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang Muslim berada sedekat mungkin dengan Allah. Ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa daripada rasio. Ilmu tasawuf bersifat sangat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Para sufi mengembangkan suatu cara bagaimana bisa mendekatkan diri kepada Tuhan. Tujuan yang hendak dicapainya adalah kebahagiaan, yakni dengan persatuannya dengan Kekasih. Kesengsaraan yang memilukan bagi mereka bukanlah masuk Neraka, tetapi apabila Tuhan telah menjauhi dan tidak mau bicara dengan mereka. [14] Objek kajian tasawuf adalah Tuhan (Al-Haq) , yakni upaya-upaya pendekatan terhadap-Nya.

D. Korelasi antara Filsafat Islam, ilmu Kalam dan Tasawuf

Page 52: Akhlak Za

1. Filsafat Islam dan Ilmu Kalam

Setelah abad ke-6 Hijriah terjadi percampuran antara filsafat dengan ilmu kalam, sehingga ilmu kalam menelan filsafat secara mentah-mentah dan dituangkan dalam berbagai bukti dengan mana Ilmu Tauhid. Yaitu pembahasan problema ilmu kalam dengan menekankan penggunanaan semantic (logika) Aristoteles sebagai metode, sama dengan metode yang ditempuh para filosof. Kendatipun Ilmu Kalam tetap menjadikan nash-nash agama sebagai sumber pokok, tetapi dalam kenyataannya penggunaan dalil naqli juga tampak pada perbincangan mutakalimin. Atas dasar itulah sejumlah pakar memasukkan Ilmu Kalam dalam lingkup Filsafat Islam.

Jadi Filsafat Islam bertujuan untuk menyelaraskan antara firman dan akal, ilmu pengetahuan dengan keyakinan, agama dengan filsafat serta menunjukkan bahwa akal dan firman tidak bertentangan satu sama lain. Walaupun orientasinya bersifat religius, namun isu-isu penting dalam filsafat tidak diabaikan, seperti waktu, ruang, materi, kehidupan dan masalah-masalah kontemporer.

Filsafat islam dan ilmu kalam sangat kuat pengaruhnya satu sama lain. Kalam mencuatkan masalah-masalah baru bagi filsafat, dan filsafat membantu memperluas area, bidang, atau jangkauan kalam, dalam pengertian bahwa pembahasan tentang banyak masalah filsafat jadi dianggap penting dalam kalam. Filsafat Islam mengandalkan akal dalam mengkaji objeknya-Allah, Alam dan Manusia-tanpa terikat dengan pendapat yang ada (pemikiran-pemikiran yang sama sifatnya, hanya berfungsi sebatas masukan dan relative). Nash-nash agama hanya sebagai bukti untuk membenarkan hasil temuan akal. Sebaliknya, ilmu kalam mengambil dalil akidah sebagaimana tertera dalam wahyu, yang mutlak kebenarannya untuk menguji objeknya – Allah dan sifat-sifatnya, serta hubungan dengan Allah dengan Alam dan Manusia sebagaimana tertuang dalam kitab suci – menjadikan filsafat sebagai alat untuk  membenarkan nash agama. Seperti keberadaan Allah, Filsafat Islam mengawali pembuktiannya dengan argumentasi akal, barulah pembenarannya diberikan oleh wahyu, sementara ilmu kalam mencari wahyu yang berbicara tentang keberadaan Allah, baru kemudian didukung oleh argumentasi akal. Walaupun objek dan metode kedua ilmu ini berbeda, tapi saling melengkapi dalam memahami Islam dan pembentukan akidah Muslim.[15]

2. Filsafat dan Tasawuf

Tasawuf sebagai ilmu yang mempelajari cara dan jalan untuk semakin mendekatkan diri kepada Allah terbagi ke dalam dua bagian, yakni Tasawuf Amali/Akhlaqi dan Tasawuf Falsafi (Ibn Arabi dan Al-Hallaj). Dari pengelompokkan ini tergambar adanya unsur-unsur filsafat dalam ajaran tasawuf, seperti logika dalam penjelasan maqomat (al-fana-al-baqa, ittihad, hulul, wahdat al-wujud).

Page 53: Akhlak Za

Tasawuf  Falsafi yang biasanya juga disebut dengan irfan yakni secara teknis diterapkan pada persepsi-persepsi khas yang ditangkap melalui pemusatan perhatian relung terdalam jiwa dan tidak melalui pengalaman inderawi dan rasional. Irfan sejati diperoleh semata-mata melalui keterikatan Allah dan ketaatan kepada segenap perintah-Nya. Keterikatan tanpa pengetahuan mustahil adanya, dan pengetahuan ini mesti bersandar pada sejumlah prinsip filsafat. Penyingkapan dan visi irfan memunculkan masalah-masalah baru untuk diuraikan dan dikupas tuntas oleh filosof, dan memperluas cakrawala pandang filsafat. Dalam pemecahan berbagai masalah dalam ilmu-ilmu kefilsafatan, visi-visi irfan bisa dianggap sebagai pendamping. Banyak hal yang terbukti secara rasional dalam filsafat, terungkap pula melalui penglihatan kalbu.[16]

Kajian-kajian Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Al-Ghazali tentang jiwa dalam pendekatan kefilsafatan ternyata telah banyak memberikan sumbangan yang sangat berharga bagi kesempurnaan kajian tasawuf dalam dunia Islam. Pemahaman tentang jiwa dan roh itu pun menjadi hal yang esensial dalam tasawuf. Kajian-kajian kefilsafatan tentang jiwa dan roh kemudian banyak dikembangkan dalam tasawuf.

3.  Hubungan Antara Ilmu Kalam, filsafat dan Tasawuf

A. Titik Persamaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf mempunyai kemiripan objek kajian. Objek kajian ilmu kalam adalah ketuhanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan-Nya. Ilmu kalam merupakan salah satu ilmu islam yang mengkaji akidah (doktrin)[17]. Objek kajian filsafat adalah masih dalam masalah ketuhanan di samping masalah alam, manusia, dan segala sesuatu yang ada. Sementara itu objek kajian tasawuf adalah Tuhan, yakni upaya-uapaya pendekatan terhadap-Nya. Jadi, di lihat dari objeknya, ketiga ilmu itu membahas masalah yang berkaitan dengan ketuhanan.

Argumen filsafat- sebagai mana ilmu kalam- dibangun di atas logika. Oleh karena itu, hasil kajiannya bersifat spekulatif (dugaan yang tak dapat dibuktikan secara empiris, riset, dan eksperimental). Kerelatifan hasil karya logika itu menyebabkan beragamannya kebenaran yang dihasilkannya.

Bagi ilmu kalam, filsafat, maupun tasawuf berurusan dengan hal yang sama yaitu kebenaran. Ilmu kalam dengan metodenya sendiri berusaha mencari kebenaran tentang Tuhan yang berkaitan dengan-Nya. Filsafat dengan wataknya sendiri pula, berusaha menghampiri kebenaran, baik tentang alam maupun manusia (yang belum atau tidak dapat dijangkau oleh ilmu pengetahuaan karena berada di luar atau di atas jangkauanya), atau tentang Tuhan. Sementara itu, tasawuf juga dengan metodenya yang tipikai berusaha menghampiri kebenaran yang berkaitan dengan perjalanan spritual menuju Tuhan.

Page 54: Akhlak Za

Pada intinya bahwa ilmu kalam, filsafat maupun tasawuf memliki kesamaan dalam segi bojek kajiannya, yaitu tentang Tuhan dan segala yang berkaitan dengan_Nya. Namun dalam kajian objek tersebut hanya dibedakan dalam penamaannya saja. Ilmu kalam dalam objek kajiannya dikenal dengan sebutan kajian tentang Tuhan, sedangkan dalam filsafat di kenal dengan sebutan kajian tentang Wujud dan dalam ilmu tasawuf (irfan) dikenal dengan sebutan kajian tentang Al-Haq. Akan tetapi pada dasarnya ketiga ilmu tersebut mengkaji kajian tentang Tuhan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan_Nya.

B. Titik Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

1. Ilmu Kalam

Setelah membahas tentang persamaan dari ketiga ilmu tersebut, yaitu terdapat persamaan dalam objek kajiannya, maka akan ditemukan juga titik perbedaannya. Perbedaan di antara ilmu tersebut terletak pada aspek metodologinya. Ilmu kalam, sebagai ilmu yang menggunakan logika di samping argumentasi-argumentasi naqliah berfungsi untuk mempertahankan keyakinan ajaran agama, yang sangat tampak nilai-nilai apologinya. Pada dasarnya ilmu ini menggunakan metode dialektika (jadaliah) dikenal juga dengan istilah dialog keagamaan. Sebagian ilmuwan bahkan mengatakan bahwa ilmu ini berisi keyakinan-keyakinan kebenaran, praktek dan pelaksanaan ajaran agama, serta pengalaman keagamaan yang dijelaskan dengan pendekatan rasional.

Meskipun ilmu kalam merupakan sebuah disiplin ilmu yang rasional dan logis, namun kalau dilihat adari asas-asas yang dipakai dalam argumentasinya terdiri dari dua bagian, yaitu ; Aqli dan Naqli[18]. Bagian Aqli ini terbangun dengan dasar pemikiran yang rasional murni, itupun kalau ada relevansinya dengan Naqli. Karena naqli tersebut adalah untuk menjelaskan dan menegaskan pertimbangan rasional supaya memperkuat argumen-argumennya.

2. Ilmu Filsafat

Sementara itu, filsafat adalah sebuah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran rasional. Metode yang digunakannya pun adalah metode rasional. Filsafat menghampiri kebenaran dengan cara menuangkan akal budi secara radikal (mengakar) dan integral (menyeluruh) serta universal (mengalam); tidak merasa terikatat  oleh apapun, kecuali oleh ikatan tangannya sendiri yang bernama logika. Peranan filsafat sebagaimana dikatakan Socrates adalah berpegang teguh pada ilmu pengetahuan melalui usaha menjelaskan konsep-konsep (the gaining of conceptual clarity). Murthadha muthahari berkata bahwa metode filsafat hanya bertumpu pada silogisme (qiyas), argumentasi rasional (istidal aqli) dan demonstrasi rasional ( burhan aqli).[19]

Berkenaan dengan keragaman kebenaran yang dihasilkan oleh kerja logika maka dalam filsafat dikenal apa yang disebut kebenaran korespondensi. Dalam

Page 55: Akhlak Za

pandangan korespodensi, kebenaran adalah persesuaian antara kenyataan sebenarnya di alam nyata. Disamping kebenaran korespodensi, di dalam filsafat juga dikenal kebenaran korehensi. Dalam pandangan korehensi, kebenaran adalah kesesuaian antara suatu pertimbangan baru dan suatu pertimbangan yang telah diakui kebenarannya secara umum dan permanen. Jadi, kebenaran dianggap tidak benar kalau tidak sesuai dengan kebenaran yang dianggap benar oleh ulama umum.

Disamping dua kebenaran di atas, di dalam filsafat dikenal juga kebenaran pragmatis. Dalam pandangan pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang bermanfaat (utility) dan mungkin dapat dikerjakan (workability) dengan dampak yang memuaskan. Jadi, sesuatu akan dianggap tidak benar kalau tidak tampak manfaatnya secara nyata dan sulit untuk di kerjakan.

3. Ilmu Tasawuf

Adapun ilmu tasawuf adalah ilmu yang lebih menekankan rasa dari pada rasio. Oleh sebab itu, filsafat dan tasawuf sangat distingtif. Sebagai sebuah ilmu yang prosesnya diperoleh dari rasa, ilmu tasawuf  bersifat subjektif, yakni sangat berkaitan dengan pengalaman seseorang. Itulah sebabnya, bahasa tasawuf sering tampak aneh bila dilihat dari aspek rasio. Hal ini karena pengalaman rasa sulit dibahasan. Pengalaman rasa lebih muda dirasakan langsung oleh orang yang ingin memperoleh kebenaranya dan mudah digambarkan dengan bahasa lambang, sehingga sangat interpretable dapat diinterpretasikan bermacam-macam). Sebagian pakar mengatakan bahwa metode ilmu tasawuf adalah intuisi, atau  ilham, atau inspirasi yang datang dari tuhan. Kebenaran yang dihasilkan ilmu tasawuf dikenal dengan istilah kebenaran hudhuri, yaitu suatu kebenaran yang objeknya datang dari dalam diri subjek sendiri. Itulah sebabnya dalam sains dikenal istilah objeknya  tidak objektif. Ilmu seperti ini dalam sains dikenal dengan ilmu yang diketahui bersama atau tacit knowledge, dan bukan ilmu proporsional.

Didalam pertumbuhannya, ilmu kalam (teologi) berkembang menjadi teologi rasional dan teologi tradisional. Filsafat berkembang menjadi sains dan  filsafat sendiri. Sains berkembang menjadi sains kealaman,sosial, dan humaniora; sedangkan filsafat berkembang lagi menjadi filsafat klasik, pertengahan, dan filsafat modern. Tasawuf selanjutnya berkembang menjadi tasawuf praktis dan tasawuf teoritis.

4. Manfaat Dari Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

Dilihat dari aspek aksiologi (manfaatnya), teologi diantaranya berperan sebagai ilmu yang mengajak orang baru untuk mengenal rasional sebagai upaya mengenal Tuhan secara rasional. Adapun filsafat, lebih berperan sebagai ilmu yang mengajak kepada orang yang mempunyai rasio secara prima untuk mengenal Tuhan secara lebih bebas melalui pengamatan dan kajian alam dan ekosistemnya

Page 56: Akhlak Za

langsung. Dengan cara ini, orang yang telah mempunyai rasio sangat prima diharapkan dapat mengenal Tuhan secara meyakinkan melalui rasionya. Adapaun tasawuf lebih perperan sebagai ilmu yang memberi kepuasan kepada orang yang telah melepaskan rasionya secara bebas karena tidak memperoleh apa yang ingin dicarinya.

5. Tabel persamaan dan Perbedaan Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasawuf

 

Ilmu kajian Objek kajian Metodologi kajianKalam Tuhan Aqli dan NaqliFilsafat Wujud Aqli (empiris)

Tasawuf (Irfan) Al-Haq Kasyf (pengalaman)

 

            Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan awal, bahwa table tersebut menjelaskan objek kajian ilmu kalam, filsafat dan tasawuf itu sama, yaitu kajian tentang Tuhan namun hanya dalam segi penamaannya saja yang berbeda. Adapun dalam segi perbedaanya jelas bahwa kalam menggunakan aqli yang diseimbangkan atau diperjelas oleh naqli, sedangkan filsafat hanya menggunakan aqli (rasional) saja, yaitu melakukan kajian secara empiris dan menggunakan akal secara prima, dan tasawuf dengan menggunakan metode rasa (rasio) dan hati (intuisi), dengan menggunakan pengalaman dengan melakukan tiga proses penting, yaitu takhali (pengosongan dir dari perbuatan buruk), tahali (penghiasan diri dengan perbuatan-perbuatan baik) dan tazali (penyucian diri).

[1] Muthahhari, Murtadha, Mengenal Ilmu Kalam, hal. 18

[2] Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah, Sentot. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), hal. 5

[3] Kartanegara, Mulyadhi. Gerbang Kearifan,  hal. 26

[4] Nasution, Harun. Teologi Islam, Pendahuluan

[5] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 113

[6] http://a2i3s-c0ol.blogspot.com/2009/01/hubungan-filsafat-islam-dengan-filsafat.html

[7] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 114

Page 57: Akhlak Za

[8] Hanafi, A. Pengantar Filsafat Islam, hal. 23

[9] Budi Santoso bin Danuri bin Abdullah, Sentot. Wujud (Menuju Jalan Kebenaran), hal. 13

[10] Anshari, Endang Saifudin. Wawasan Islam, hal. 116

[11] Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf, hal. 204

[12] Masyharuddin. Pemberontakan Tasawuf, hal. 205

[13] Qadir, C.A. Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam, hal. 99

[14] Kartanegara, Mulyadhi. Mozaik Khazanah Islam, hal.144

[15] Nasution, Hasyimiah. Filsafat Islam, hal.6

[16] Yazdi, M.T. Mishbah. Buku Daras Filsafat Islam, hal. 78

[17] Murthadha Muthahari. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Hlm. 196

[18] Murthadha Muthahari. Mengenal Ilmu Kalam, Hlm.24

[19] Murthadha Muthahari. Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, Hlm.326

penulis :  Ridwan Efendi

http://readone111.wordpress.com/2013/01/08/1-sejarah-singkat-ilmu-kalam-filsafat-islam-dan-tasawuf-beserta-aliran-alirannya/

ALIRAN & TOKOH ILMU KALAM

Diposkan oleh Ilham Yunar di 07.17 Selasa, 24 Mei 2011

Asal-Usul Munculnya Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam

Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw, kaum muslimin sudah mulai

menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi reda, karena terpilihnya

Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa lamanya Abu Bakar menduduki

jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang disebarkan oleh

orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang mengumumkan dirinya

menjadi nabi, seperti Musailamatul Kadzdzab, Thulalhah, Sajah dan Al-Aswad

Page 58: Akhlak Za

Al-Ansy. Di samping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak mau

membayar zakat kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka semua taat dan

disiplin membayar zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera

dapat diatas dan dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar.

Maka selamatlah kekuasaan Islam yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-

musuh Islam yang hendak menghancur-leburkannya.

Kemudian perjalanan kekhalifahan Abu Bakar As-shiddiq, Umar ibnu

Khattab, dan Utsman Ibnu Affan tidak begitu menghadapi persoalan, bahkan

terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab. Pada masa ketiga khalifah itulah,

dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya mengerahkan semua tenaga kaum

muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam ke seluruh pelosok

penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia Timur bahkan Asia

Tenggara tiba-tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu persoalan yang

ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam dianggap

kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.

Kebijakan khalifah Utsman bin Affan yang dianggap tidak sesuai dengan

kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya ialah kurang pengawasan dan

pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting dalam pemerintahan, sehingga

para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di lapangan tidak bekerja secara

maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap nepotisme dari keluarganya.

Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut dari kalangan keluarganya,

sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat Islam. Dan sebenarnya

hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga Usman bin Affan adalah

keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah bermulanya fitnah yang

membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk menggulingkan

pemerintahan Utsman.

Karena derasnya arus fitnah ini sehingga mengakibatkan terbunuhnya

Sayyidina Utsman bin Affan . Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib terpilih dan

diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak memperoleh suara

Page 59: Akhlak Za

yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui pengangkatan itu. Bahkan

ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan tersebut sekaligus

menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya membiarkan

komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya

perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan.

Diantaranya sebagai berikut :

Kelompok yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.

Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi kemudian setelah

terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka berpendidikan, tidak

mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula memusuhinya Ali. Karena mereka

berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari dua golongan tersebut

tidak berakibat baik.

Kelompok yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka, yaitu Thalhah

bin Abdullah, Zubir bin Awam, Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu

dan sepakat menjadikan Aisyah sebagai komandan untuk menggulingkan khalifah

Ali. Mereka menyusun tentara, lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di

Basrah dibunuh, perbendaharaan dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa

pasukan yang dipimpinnya sendiri menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah

pertempuran hebat. Thalhah dan Zubir terbunuh. Aisyah tertangkap dan

dipulangkan ke Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal (unta), sebab

Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak

yang melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam,

yang same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan

Ali, hingga pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.

Ada golongan umat Islam yang memisahkan diri dari tentara Ali.

Golongan

ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan

senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan

pula

Page 60: Akhlak Za

oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-

sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam

mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi

mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa

mempunyai

hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-

alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.

Demikianlah golongan-golongan politik yang timbul di masa Khalifah

AIi-Kemudian sesudah Ali, timbullah beberapa kelompok atau aliran ilmu kalam

(aliran tentang aqidah) yang diakibatkan oleh timbulnya golongan-golongan

politik tersebar di atas, yaitu:

1.      Syi’ah

Golongan  ini sangat fanatik kepada, khalifah Ali bin Abi Thalib dan,

keturunannya. Mereka berkeyakinan tidak seorangpun yang berhak memegang,

menduduki jabatan kekhalifahan kecuali dari keturunan Ali. Jika orang yang

mengakui khalifah bukan dari keturunan Ali, berarti merampas hak kekuasaan dan

kekhalifahannya tidak syah. Tetapi akhirnya golongan ini dimasuki pula oleh

unsur-unsur yang menyimpang dari pokok-pokok agama Islam.

2.      Qadariyah

Golongan Qodariyah, pokok pemikirannya adalah bahwa usaha dan gerak

perbuatan manusia ditimbulkan sendiri, bukan dari Allah. Faham ini, mula-mula

dianjurkan oleh Ma’bad Al-Juhainy, Ghailan al-Dimasyqi dan Al-Ja’du bin

Dirham. Ketiga tokoh ini hidup pada zaman Daulah Umaiyah dan ketiganya mati

terbunuh.

3.      Jabariyah

Golongan ini muncul di Khurasan, yang dipelopori oleh Al-Jaham bin

Shafwan la berpendapat bahwa hidup manusia ini sudah ditentukan oleh Allah

Ta’ala. Segala gerak-geriknya dijadikan Tuhan semata-mata, manusia tidak dapat

Page 61: Akhlak Za

berusaha dan menggerakkan dirinya. Mereka juga meniadakan sifat-sifat Allah

Ta’ala. “Kita tidak boleh menyifati Allah Ta’ala, dengan suatu sifat yang

bersamaan dengan sifat-sifat yang terdapat pada makhluknya”. Pemimpin

golongan ini, akhirnya terbunuh juga di Khurasan.

4.      Murjiah

Golongan Murji’ah berpendapat, bahwa kemaksiatan tidaklah

menghilangkan keimanan atau tidak memberi bekas terhadap keimanan seseorang,

sebagaimana ketaatan, tidak memberi pengaruh kepada orang yang kafir.

5.      Karamiyah

Golongan ini berpendapat, bahwa yang diwajibkan kepada setiap muslim

hanyalah pengakuan lisan saja atas kebenaran rasul. Artinya cukuplah seseorang

dengan mengucapkan dua kalimat syahadat saja, sekalipun tanpa amal dan tanpa

tashdiq di hati.

6.      Khawarij

Golongan ini pada mulanya adalah pengikut setia Khalifah Ali, namun

mereka memisahkan diri akibat tidak setuju dengan kebijakan khalifah menerima

perdamian dengan Mu’awiyah pada saat perang Siffin. Mereka berpendapat

bahwa orang yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-

kewajiban yang sampai mati belum sempat tobat, maka orang itu dihukumkan

keluar dari Islam dan menjadi kafir. Jadi mereka abadi dalam neraka.

7.      Mu’tazilah

Golongan Mu’tazilah ini salah satu pokok pikirannya adalah, bahwa orang

Islam yang mengerjakan dosa besar, atau meninggalkan kewajiban-kewajiban,

yang sampai matinya belum sempat bertobat, maka orang itu dihukum keluar dari

Page 62: Akhlak Za

Islam, tetapi tidak menjadi kafir, hanya fasiq saja, namun menurutnya orang fasiq

akan abadi di neraka.

8.      Ahli Sunah wal Jama’ah

Kelompok ini biasa menyebut dirinya Islama Aswaja. Pemahaman 

mereka ialah bahwa yang dihukumkan dengan orang Islam, ialah orang yang

memenuhi tiga syarat, yaitu : menuturkan dua kalimat syahadat dengan lisan, dan

diikuti dengan kepercayaan hati dan buktikan dengan amal. Menurut Ahli Sunah

wal Jama’ah, bahwa orang yang mengerjakan dosa besar atau mengingkari

kewajiban-kewajiban yang diperihtahkan Allah sampai mati tidak sempat tobat,

dihukumkan sebagai mukmin “yang melakukan maksiat. Hukumnya di akhirat

kelak, bila tidak memperoleh ampunan dari Allah akan masuk neraka untuk

menjalani hukumannya. Sesudah menjalani azab dan hukumnya itu, ada harapan

mendapat kebebasan dan masuk surga.

Aliran-Aliran Dalam Ilmu Kalam

Sebagaimana kita bahas di atas, bahwa pada masa akhir pemerintahan

Khulafa al-Rasyidin muncul aliran kalam yang popular dengan nama Khawarij,

kemudian diikuti oleh Murji’ah, Qadariyah dan Jabariyah, Mu’tazilah dan

Asy’ariyah atau Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Marl kita telisik satu persatu

sehingga kita dapat memahami pandangan-pandangan mereka dengan benar.

1.      Aliran Syi’ah

Syi’ah adalah golongan yang menyanjung dan memuji Sayyidina Ali

secara berlebih-lebihan. Karena mereka beranggapan bahwa Ali yang lebih berhak

menjadi khalifah pengganti Nabi Muhammad SAW, berdasarkan wasiatnya.

Page 63: Akhlak Za

Sedangkan khalifah-khalifah seperti Abu Bakar As Shiddiq, Umar Bin Khattab

dan Utsman Bin Affan dianggap sebagai penggasab atau perampas khilafah.

Sebagaimana dimaklumi bahwa mulai timbulnya fitnah di kalangan

ummat Islam biang keladinya adalah Abdullah Bin Saba’, seorang Yahudi yang

pura-pura masuk Islam. Pitnah tereebut cukup berhasil, dengan terpecah-belahnya

persatuan ummat, dan timbullah Syi’ah sebagai firqoh pertama :

Sebenarnya Syi’ah bermula dari perjuangan politik yaitu khilafah,

kemudian berkembang menjadi agama. Adapun dasar pokok Syi’ah ialah tentang

Khalifah, atau sebagaimana mereka menamakannya Imam. Maka Sayyidina Ali

adalah iman sesudah Nabi Muhammad SAW. Kemudian sambung-bersambung

Imam itu menurut urutan dari Allah. Beriman kepada imam, dan taat kepadanya

merupakan sebagian dari iman. Iman menurut pandangan Syi’ah bukan seperi.

pandangan Golongan Ahlus Sunnah. Menurut golongan Ahlus Sunnah, khalifah

atau imam adalah wakil pembawa syari’at (Nabi) dalam menjaga agama. Dia

mendorong manusia untuk beramal apa yang diperintahkan Allah. Dia adalah

pemimpin kekuasaan peradilan, pemerintahan dan peperangan. Akan tetapi

baginya tidak ada kekuasaan di bidang syari’at, kecuali menafsirkan sesuatu atau

berijtihad tentang sesuatu yang tidak ada nashnya.

Adapun menurut golongan Syi’ah, imam itu mempunyai pengertian yang

lain, dia adalah guru yang paling besar. Imam pertama telah mewarisi macam-

macam ilmu Nabi SAW. Imam bukan manusia biasa, tetapi manusia luar biasa,

karena dia ma’shum dari berbuat salah. Di sini ada dua macam ilmu yang dimiliki

imam yaitu; ilmu lahir dan ilmu batin. Sungguh Nabi SAW telah mengajarkan Al-

Qur’an dengan makna batin dan makna lahir, mengajarkannya rahasia-rahasia

alam dan masalah-masalah ghaib. Tiap imam mewariskan perbendaharaan ilmu-

ilmu kepada imam sesudahnya. Tiap imam mengajar manusia pada waktunya

sesuatu rahasia-rahasia (asrar) yang mereka mampu memahaminya. Oleh karena

itulah imam merupakan guru yang paling besar. Orang-orang Syi’ah tidak percaya

Page 64: Akhlak Za

kepada ilmu dan hadits, kecuali yang diriwayatkan dari imam-imam golongan

Syi’ah sendiri.

Apabila berpadu pada kekuasaan khalifah urusan agama dan politik.

maka perselisihan antara golongan Syi’ah dengan golongan-golongan lainnya

adalah bercorak agama dan politik. Inti ajaran Syi’ah adalah berkisar masalah

khilafah. Jadi masalah politik, yang akhirnya berkembang dan bercampur dengan

masalah-masalah agama. Ajaran-ajarannya. yang terpenting yang berkaitan

dengan khilafah ialah Al’ Ishmah, Al Mahdi, At Taqiyyah dan Ar Raj’ah.

Menurut keyakinan golongan Syi’ah bahwa imam-imam mereka itu

sebagaimana para nabi adalah bersifat Al Ishmah atau ma’shum dalam segala

tindak lakunya, tidak pernah berbuat dosa besar maupun kecil, tidak ada tanda

berlaku maksiat, tidak boleh berbuat salah ataupun lupa. Hal itu didasarkan :

1.      Apabila imam boleh berbuat salah, maka akan membutuhkan kepada imam lain

untuk memberikan petunjuk, demikian seterusnya. Oleh karena itu imam tidak

boleh salah, dengan perkataan lain hams ma’shum. Lawan-lawan golongan Syi’ah

menolak ajaran tersebut dengan alasan bahwa kebutuhan terhadap imam itu bukan

karena kemungkinan masyarakat berbuat salah, akan tetapi karena fungsi imam itu

sendiri sebagai pelaksana hukum, menolak kerusakan dan memelihara kesucian

agama. Tidak ada kebutuhan dalam tugas itu tentang ma’shumnya imam, tetapi

cukup dengan ijtihad dan berlaku adil.

2.      Imam itu adalah pemelihara syari’at, oleh karena imam harus ma’shum. Kalau

tidak demikian maka niscaya membutuhkan pemelihara yang lain. Lawan-lawan

mereka menoiaknya dengan alasan bahwa imam itu bukan pemelihara syari’at,

tetapi sebagai pelaksana syari’at. Adapun pemelihara syari’at ialah para ulama.

Aliran-aliran Syi’ah ada yang moderat dan ada yang radikal. Zaidiyah

merupakan aliran yang paling dekat Sunni, bahkan menolak faham Al-Mahdi dan

Ar Raj’ah yang menjadi keparcayaan umum aliran-aliran Syi’ah.

Page 65: Akhlak Za

Syi’ah Az Zaidiyah adalah pengikut Zaid Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin

Abi Thalib. Syi’ah Az Zaidiyah ini adalah firqoh Syi’ah yang paling dekat (tidak

banyak menyimpang) kepada Aldus Sunnah dan yang paling lurus. la tidak

mengangkat imam-imamnya sampai pada martabat kenabian, bahkan juga tidak

mengangkatnya ke martabat yang mendekatinya, tetapi mereka menganggap

imam-imam seperti manusia pada umumnya. Hanya saja mereka adalah seutama-

utama orang sesudah Rasulullah SAW. Mereka tidak mengkafirkan seorang pun

di antara sahabat-sahabat Nabi dan terutama orang (Abu Bakar, Umar dan

Utsman, pen) yang dibai’at oleh Ali dan mengakui keimanannya.

Aliran Zaidiyyah menolak faham Al Mahdi : “Aliran Zaidiyyah adalah

sebagian dari aliran-aliran dalam Syi’ah, yang sangat terpengaruh oleh ajaran-

ajaran Mu’tazilah, karena Zaid pemimpin aliran Zaidiyyah ini pernah berguru

kepada Washil Bin Atho’, pemimpin Mu’tazilah. Mereka sangat mengingkari

sekali terhadap faham Al Mahdi dan Raj’ah, dan dalam kitab-kitabnya mereka

menolak hadits-hadits dan cerita-cerita yang berhubungan dengan hal tersebut.

Syi’ah Ghaliyah atau Ashabu I-Ghulat, golongan Syi’ah yang ajaran-

ajarannya telah melampaui batas (ekstrim). Mereka ada yang berpendapat bahwa

imam-imam mereka mempunyai unsur-unsur ketuhanan. Ada pula yang

menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya. Kepercayaan tersebut adalah

pengaruh dari kepercayaan-kepercayaan inkarnasi, reinkamasi, ajaran-ajaran

Yahudi dan Kristen. Agama Yahudi menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya,

sedangkan agama Kristen menyerupakan makhluk dengan Tuhannya.

Di antara aliran-aliran Al Ghaliyah yang keterlaluan ialah As Saba’iyah, Al

‘Al’Alba’iyah dan Al Khattabiyah. Aliran As Sabai’yah adalah pengikut Abdullah

Bin Saba’, orang Yahudi dari Yaman, yang pura-pura masuk Islam. Aliran

Saba’iyah inilah yang pertama kali menyatakan ajaran tentang gaibnya imam,

raj’ah, menitis (hulul)-nya sifat ketuhanan kepada imam, dan berpindah

(tanasukh)-nya sifat ketuhanan dari seorang imam kepada imam berikutnya.

Page 66: Akhlak Za

Aliran Al Khattabiyah, pengikut Abil Khattab Muhammad Bin Abi Zainab

Bani Asad. Setelah dia meninggal, diganti Mu’amar mempunyai ajaran-ajaran

yang berlebih-lebihan. Mereka beranggapan bahwa dunia itu tidak akan rusak.

Sesungguhnya surga ialah keadaan yang manusia mendapatkan kebaikan,

kenikmatan dan kesehatan. Dan sesungguhnya neraka ialah keadaan yang manusia

mendapatkan keburukan, kesulitan dan bencana. Mereka menghalalkan khamer,

zina, dan semua hal yang diharamkan. Dan mereka selalu meninggalkan shalat

dan fardlu-fardlu lainnya.

Kini, Syi’ah dengan berbagai bentuk alirannya, masih tersebar cukup luas.

Di Iran, Syi’ah merupakan mazhab resmi negara. Di samping itu, Syi’ah terdapat

juga di Irak, Pakistan, India dan Yaman. Monument yang tidak boleh dilupakan

yang merupakan jasa Syi’ah, ialah Universitas Al Azhar Mesir, didirikan pada

tahun 359 H = 970 M, oleh Khalifah Al Muiz Lidinillah, dari Bani Fathimiyah.

Semula, di Universitas Al Azhar ini adalah untuk mencetak kader-kader Syi’ah,

pejabat-pejabat penting pemerintah. Namun, bersamaan dengan runtuhnya

kekuasaan Bani Fathimiyah dengan khalifah terakhirnya Al ‘Azid Lidinillah pada

tahun 555 H = 1160 M, maka corak Universitas Al Azhar yang semula berfaham

Syi’ah, berganti berfaham Sunni sampai sekarang.

2.      Lahirnya Aliran Khawarij

Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari

sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena

mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat mereka pulang dari perang Siffin,

yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian. Gerakan

exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan

peperangan, padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali

menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka, merupakan suatu kesalahan

besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan

Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan Ali

Page 67: Akhlak Za

semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan

tunduk.

Kemudian orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang

dianggap melakukan kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan

kesalahan karena mengubah sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-hara.

Kemudian Thalhah. Zubair dan Mu’awiyah yang melakukan pembangkangan

terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah yang sah. Dan Ali bin Abi Thalib

sendiri yang melakukan kesalahan karena menghentikan pertempuran dalam

perang Siffin, ketika menaklukkan mu’awiyah yang tidak mau bai’at kepadanya.

Pada awalnya tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada

Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang

keempatnya ini pelaku utama proses tahkim (damai) untuk mengakhiri

peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut orang-orang khawarij tidak sesuai

dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah adalah pembangkang yang

seharusnya diperangi sampai hancur dan tunduk. Dengan demikian, jalan terakhir

tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah, dan barang siapa

menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan hukum Allah

tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah al-Maidah

ayat 44 yang

Artinya:

“Barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh

Allah adalah kafir”.

Kemudian sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya

mereka mengafirkan orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa) besar, karena

tidak mengikuti hukum Allah juga termasuk suatu kesalahan besar. Kendati

semua yang mereka kafirkan itu adalah para pelaku pilitik yang menuntut

pandangannya melakukan kesalahan besar dengan tidak mengikuti norma agama

sesuai Al-Qur’an, namun demikian mereka juga mengafirkan para pelaku dosa

besar di luar politik, bahkan lebih jauh mereka mengafirkan orang-orang yang

Page 68: Akhlak Za

tidak sependapat dan tidak sealiran dengan mereka. Akhirnya semakin banyak

konflik dan pertempuran akibat pemikiran teologinya itu, sehingga Ali bin Abi

Thalib penguasa sah saat itu menyerang mereka dan menghancurkannya tahun 37

H. Akan tetapi salah seorang dari mereka ada yang selamat dan membunuh Ali

bin Abi Thalib tahun ke-40 H.

Walaupun telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun

sisa-sisa kekuatan mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun

kekuatan lagi, sehingga terus melakukan gerakan oposisi terhadap daulah

Umayah. Akan tetapi, kelompok ini rentan sekali sehingga mudah pecah, dapat

dihancurkan kembali oleh Banu Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari sub

sekte Ibadiyah (sebutan sub sekte Khawarij yang sangat moderat) sampai kink

masih ada di Sahara Al-Jazair, Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar, Omman dan

Arabia Selatan, dan tidak melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap

penguasa yang sah.

Sesuai dengan uraian diatas, make pemikiran kalam aliran khawarij yang

paling menonjol adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong

orang kafir, dan termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap menentang

terhadap pemikiran khawarij sehingga orang-orang yang tidak sepaham dengan

mereka tergolong kafir.

Di samping itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi

iman. Yakni menurut mereka iman itu adalah meyakini dengan hati, mengucapkan

dengan lisan dan mengamalkan dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya

ini, maka orang-orang yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan

pelanggaran dalam kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal

mempengaruhi iman.

Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat

disimpulkan sbb :

1)      Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk Kafir

Page 69: Akhlak Za

2)      Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara Ali dan Aisyah dan

 pelaku arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir

3)      Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi atau suku quraisy

Mempercayai bahwa muhamad bin hanafiah sebagai pemimpin setelah husein Ali

wafat

A.      Nama kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abuthilib.

Mesikpun sekte(organisasi) ini punah, cerita kebesaran muhamad bin hanafiah

dapat di jumpai dalam cerita rakyat, hikayat ini terkenal sejak abad 15 M di

malaka.

B.      Saidiyah : Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah

mempercayai bahwa Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal  Abidin merupakan peimpin

setelah husein bin Ali wafat. Dalam sekte ini ada 5 syarat untuk dapat di angkat

sebagai pemimpin. Yaitu :

1.      Berasal dari keturunan Fatimah Binti Muhammad

2.      Berpengetahuan luas tentang agama

3.      Hidupnya untuk beribadah

4.      Jihad di jalan Allah dengan mengangkat senjata

5.      Berani

C.      Sekte Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin

Abitholib untuk menjadi imam oleh rassulullah Sebagai pengganti  beliau.

Sehingga sekte ini tidak mengakui Abu bakar dan Umar.sekte imamyah pecah

menjadi 2 golongan, yang terbesar yaitu:

1.       Isna Asy’ariah / Syi’ah dua 12

Ismailiyah

3.      Lahirnya Aliran Murji’ah

Page 70: Akhlak Za

Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin

Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan

politik. Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak pendukung Ali

dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap

“irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka,

biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di

antara mereka yang tengah berselisih ini.

Selanjutnya mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang

melakukan dosa besar itu menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka

Kaum Murji’ah berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar tersebut

masih tetap mukmin, yaitu mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir.

Lalu apakah mereka akan masuk ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka

terlebih dahulu baru kemudian ke dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir

dari Allah. Disamping itu, khusus bagi para pelaku dosa besar, mereka juga

berharap agar mereka mau bertaubat, dan berharap pula agar taubatnya diterima di

sisi Allah SWT.

Karena penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa

berharap Allah akan mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut,

maka mereka ini kemudian populer disebut sebagai golongan atau aliran

“murji’ah” (orang yang mendapat putusan para pelaku dosa besar sampai ada

ketetapan dari Allah, sambil berharap bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa

mereka itu).

Pendirian Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian

umat Islam pada umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka

sendiri kemudian disebut sebagai penganut aliran Murji’ah moderat. Akan tetapi

pada akhir abad pertama dan awal abad kedua hijrah, muncul orang-orang

murji’ah ekstrim yang sangat meremehkan peran amal perbuatan. Mereka

selanjutnya berpendapat bahwa siapa saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-

Rasulan Muhammad SAW, adalah orang beriman walaupun selalu melakukan

Page 71: Akhlak Za

perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh dikatakan kafir kendati sering

melakukan ibadah di dalam gereja, karena keimanan itu ada dalam hati, dan hanya

dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh aliran murji’ah ekstrim ini adalah Jaham

bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih, Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.

Kaum murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama

saat itu, dan tidak memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah

moderat kemudian menjadi pengikut aliran Ahlus Sunrah wal Jama’ah.

Pemikiran yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dosa

besar tidak dikategori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki

keimanan dan keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, Rasul-

Nya adalah Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta meyakini

rukun-rukun iman lainnya.

Disamping itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui

dan meyakini atas ke-Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak

memasukkan unsur amal dalam iman, sehingga amal tidak mempengaruhi iman.

Oleh sebab itu pulalah mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap

mukmin, dan tidak terkategori sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran

khawarij. Sedangkan dosanya harus mereka pertanggungjawabkan di akhirat

kelak.

Dengan demikian pokok-pokok pikiran aliran ilmu kalam mereka dapat

disimpulkan sbb:

1)      Pengakuan Iman Islam cukup di dalam  hatinya saja dan tidak dituntut

membuktikan keimanan dengan perbuatan.

2)      Selama seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat

dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di

akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum

4.      Lahirnya Aliran Qadariyah

Page 72: Akhlak Za

Sebagaimana khawarij dan murji’ab, aliran teologi qadariyah juga lahir

dengan dilatarbelakangi oleh kegiatan politik, yakni pada masa pemerintahan

mu’awiyah bin Abu Sufyan, dari Daulah Banu Umayah. Sepeninggal Ali bin Abi

Thalib, tahun 40 H mu’wiyah menjadi penguasa daulah islamiyah. Dan untuk

memperkokoh kekuasaannya itu, dia menggunakan berbagai cara, khususnya

dalam menumpas semua oposisi, bahkan mendiang Ali bin Abi Thalib dicaci maki

dalam setiap kesempatan berpidato termasuk saat berkhotbah Jum’at.

Para ulama yang shalil banyak yang tidak setuju dengan gaya dan cara

mu’awiyah, namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk menutupi kesalahan

itu, mereka mengembalikan semuanya kepada Allah bahwa semua yang terjadi

atas kehendak-Nya. Isu ini kemudian dimanfaatkan pula oleh mu’awiyah dalam

memimpin daulah islamiyah, bahwa semua yang dilakukan itu atas kehendak

Allah.

Dalam suasana inilah muncul Ma’bad al-Jauhani dan Ghailan al-

Damasyqi, dua tokoh pemberani yang melontarkan kritik terhadap mu’awiyah

sekaligus menentang pernyataan teologis yang membenarkan tindakan politiknya.

Menurut keduanya, manusia bertanggung jawab untuk menegakkan kebenaran

dan kebaikan serta menghancurkan kedhaliman. Manusia diberi Allah daya dan

kekuatan untuk melakukan suatu perbuatan. Manusia juga diberi kebebasan untuk

memilih antara melakukan sesuatu kebaikan dan keburukan, dan mereka harus

mempertanggung-jawabkan semua perbuatannya kelak di hari akhir.

Bila manusia memilih untuk melakukan perbuatan baik, maka dia akan

memperoleh pahala di sisi Allah dan akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup

di akhiratnya kelak. Sedang mereka yang memilih melakukan perbuatan buruk,

akan memperoleh siksa dalam neraka. Manusia tidak boleh berpangku tangan

melihat kedzaliman dan keburukan. Manusia harus berjuang melawan kedzaliman

dan menegakkan kebenaran. Manusia bukanlah majbur (dipaksa oleh Allah).

Karena Ma’bad dan Ghailan ini mengajarkan bahwa manusia memiliki qudrah

Page 73: Akhlak Za

untuk mewujudkan suatu perbuatan, maka fahamnya dinamakan faham

“qadariyah”.

Kemudian Ma’bab al-Jauhani ikut menentang kekuasaan Bani Umayah

dengan membantu Abdurrahman ibnu al-Asy’ats, gubernur Syijistan yang

memberontak melawan daulah Banu Umayah. Dalam suatu pertempuran tahun

80H. Ma’bad al-Jauhani mati terbunuh. Sedang temannya Ghailan al-Darmasqi

terus menyirakan faham qadariyah itu, dengan banyak melontarkan kritik terhadap

Banu Umayah, dan sering keluar masuk penjara, dan akhirnya dia menjalani

hukuman mali pada masa pemerintahan Hisyam bin Abd al-Malik (105-125 H).

Sesuai dengan uraian diatas, pemikiran yang menonjol dari aliran ini

adalah soal perbuatan manusia dan kekuatan Tuhan. Dalam pandangannya,

manusia mempunyai kebebasan untuk menentukan perbuatannya serta melakukan

perbuatannya itu. Dan di akhirat mereka harus mempertanggungjawabkan semua

perbuatan itu. Sejalan dengan pemikirannya ini, mereka berpendapat bahwa

Tuhan telah memberikan daya kepada manusia, serta memberikan aturan-aturan

hidup yang sangat jelas dengan berbagai akibatnya. Ada perbuatan-perbuatan baik

yang akan memberi mereka imbalan pahala dan kebahagiaan akhirat, dan ada pula

perbuatan-perbuatan jahat dan ancaman siksaan mereka bagi yang melanggarnya.

Daya yang diberikan Tuhan itu kemudian menjadi milik manusia sendiri

untuk mereka gunakan melakukan berbagai perbuatan. Kalau mereka gunakan

untuk melakukan perbuatan baik sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Sunnah, maka

mereka akan memperoleh kebahagiaan. Dan sebaliknya, kalau mereka gunakan 

untuk melakukan perbuatan buruk, maka mereka harus mempertanggung

jawabkan   semua   perbuatannya   itu.   Inilah   yang   kemudian disebut dengan

konsep keadilan Tuhan.

Pemikiran mereka ini mempunyai landasan yang cukup kuat antara lain

firman Allah dalam Surat Al-Kahfi ayat 29 yang

Artinya : “Barang siapa mengehendaki (untuk menjadi orang berimab) maka berimanlah,

dan barang siapa menghendaki (untuk menjadi orang kafir) maka kafirlah”.

Page 74: Akhlak Za

Artinya:“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah keadaan suatu masyarakat bila mereka

sendiri tidak melakukan perubahan apa-apa terhadap dirinya.

Dengan demikian, aliran qadariyah merupakan suatu aliran ilmu kalam

yang menekankan kebebasan manusia dalam melakukan perbuatannya, dan

mereka harus mempertanggungjawabkan perbuatannya itu di sisi Allah kelak di

hari perhitungan. Mereka yang berprestasi dalam melakukan amal kebajikan akan

memperoleh imbalan pahala di dalam surga, sementara yang justru banyak

melakukan perbuatan jahat, serta kurang berprestasi dalam melakukan perbuatan

baik, akan terkena ancaman siksa di dalam neraka. Posisi manusia di surga atau

neraka tersebut, menurut aliran ini sangat tergantung pada perbuatannya selama

hidup di dunia ini.

Pemikiran-pemikiran qadariyah ini kemudian diikuti den diteruskan oleh

para penganut aliran mu’tazilah, khususnya pada aspek pemikiran mereka tentang

perbuatan manusia, dan kekuasaan mutlak Tuhan. Yakni bahwa manusia

mempunyai kebebasan untuk menentukan kehendak serta perbuatannya, namun

mereka harus mempertanggungjawabkan semua perbuatannya di hadapan Tuhan.

Aliran mu’tazilah meneruskan pemikiran qadariyah mi, karena aliran terakhir ini

mempunyai kecenderungan yang sama dalam memahami ajaran-ajaran aqidah,

terutama dalam aspek-aspek yang boleh berbeda pendapat, yaitu pada ajaran-

ajaran yang dikemukakan dengan lafal zhanni Aliran qadariyah dan mu’tazilah

sama-sama menganut aliran rasional dalam pemahaman kalam mereka.

5.      Lahirnya Aliran Jabariyah

Kalau qadariyah lahir seiring dengan lontaran-lontaran kritik terhadap

kekejaman Daulah Banu Umayah, maka Jabariyah sebaliknya, aliran ini lahir

bermula dari ketidak berdayaan dalam menghadapi kekejaman mu’awiyah bin

Abu Sufyan, dan mengembalikan semuanya atas kehendak dan kekuasaan Tuhan.

Kemudian isu keagamaan ini dipegang oleh mu’awiyah sendiri untuk

Page 75: Akhlak Za

membenarkan perlakuan-perlakuan politiknya itu. Oleh sebab itu masa

kelahirannya sebenarnya berbarengan dengan kelahiran qadariyah. Namun pada

masa munculnya, yang dipelopori oleh Ja’ad bin Dirham, pemikiran kalam ini

belum berkembang. Dan menjadi satu aliran yang punya pengaruh serta tersebar

di masyarakat setelah dikembangkan oleh Jahm bin Shafwan (W.131 H). Oleh

sebab itu, aliran ini sering juga disebut aliran Jahmiyah.

Dilihat dari segi pemikiran kalamnya, aliran Jabariyah bertolak belakang

dengan qadariyah. Menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai kemampuan

untuk mewujudkan perbuatannya, dan tidak memiliki kemampuan untuk memilih.

Segala gerak dan perbuatan yang dilakukan manusia, pada hakikatnya adalah

dari Allah semata. Meskipun demikian, manusia tetap mendapatkan pahala atau

siksa, karena perbuatan baik atau jahat yang dilakukannya. Faham bahwa yang

dilakukan manusia adalah sebenarnya perbuatan Tuhan tidak menafikan adanya

pahala dan siksa.

Menurut faham ini, manusia tidak hanya bagaikan wayang, yang

digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam

mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sementara nasib mereka di akhirat sangat

ditentukan oleh kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Yakni posisi mereka

ditentukan oleh kekuasaan mutlak Tuhan. Pemikiran-pemikiran kalam dari aliran

Jabariyah ini kemudian banyak diserap oleh aliran Asy’ariyah, karena keduanya

sama-sama memiliki kecenderungan untuk mengikuti aliran tradisional, yakni

aliran ilmu kalam yang kurang menghargai kebebasan manusia, serta kurang

melakukan pendekatan logika nalar dalam pemikiran kalam mereka.

6.      Lahirnya Aliran Mu’tazilah

Lahirnya aliran teologi mu’tazilah tidak terlepas dari perkembangan

pemikiran-pemikiran ilmu kalam yang sudah muncul sebelumnya. Aliran ini lahir

berawal dari tanggapan Washil bin Atha’ salah seorang murid Hasan Bashri di

Bashrah, alas pemikiran yang dilontarkan khawarij tentang pelaku dosa besar.

Ketika Hasan Bashri bertanya tentang tanggapan Washil terhadap pemikiran

Page 76: Akhlak Za

khawarij tersebut, dia menjawab bahwa para pelaku dosa besar bukan mukmin

dan juga bukan kefir. Mereka berada dalam posisi antara mukmin dan kafir (orang

fasik). Kemudian Washil memisahkan diri dari jamaah Hasan Bashri, dan gurunya

itu secara spontan berkata Ttazala ‘anna” (Washil memisahkan diri dari kita

semua). Karena itulah kemudian pemikiran yang dikembangkan Washil menjadi

sebuah aliran yang oleh anggota jamaah Hasan Bashri dinamai dengan

“mu’tazilah”.

Kelompok ini kemudian mengembangkan diri dengan memperkaya

wawasan keilmuannya melalui penelaahan mendalam terhadap literatur-literatur

Yunani yang berada di pusat-pusat studi gereja timur, yaitu Antochia, Jundisaphur

dan Alexandria. Langkah-langkah kieatif tersebut, mereka lakukan dalam rangka

menghadapi serangan-serangan logika kelompok Kristen terhadap teologi Islam

dan kemudian menghasilkan suatu format pemikiran ilmu kalam yang lebih

cenderung menggunakan pendekatan berpikir filsafat, sehingga aliran ini

kemudian terkenal dengan aliran kalam rasional.

Sebenarnya mereka sendiri menanamkan dirinya sebagai ahlu at-tauhid

(menjaga ke-Esa-an Allah) dan ahlu al-’adl (mempercayai dan meyakini penuh

akan keadilan Tuhan), karena rumusan-rumusan pemikiran kalamnya itu benar-

benar menjaga kemurnian tauhid dan prinsip keadilan Tuhan. Dan ajaran-ajaran

pokoknya itu tertuang dalam rumusan “Mabadi al-Khamsah” (lima dasar ajaran),

yaitu al-Tauhid, al-’adlu, al-wa’du wa al-wa’id, al-manzilah baina al-manzilatain,

serta amar ma’ruf nahi munkar.

At-tauhid artinya mengesakan Allah, yakni Allah itu benar-benar Esa

dalam segala-galanyb, tidak ada sesuatu pun yang dapat menandingi ke-Esa-annya

itu. Sehubungan dengan prinsip Tauhidnya itu, mu’tazilah menafikan sifat, karena

merupakan sesuatu yang berada di luar zat. Kalau ada sifat berarti ada dua yang

qadim yaitu zat dan sifat. Untuk menghindari pemikiran yang akan membawa

kepada kemusyrikan tersebut, mereka nafikan sifat Tuhan, dan seterusnya mereka

berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah zat Tuhan sendiri. Kemudian untuk

Page 77: Akhlak Za

menjaga prinsip, ketauhidannya itu, Mu’tazilah juga berpendapat bahwa al-Qur’an

itu makhluk, karena kalau bukan makhluk akan ada qadim lain selain Allah.

Sedangkan al-’adlu adalah suatu prinsip yang mengatakan bahwa Tuhan

itu Maha Adil, Dia akan memberikan imbalan pahala dan jaminan kebahagiaan

bagi orang yang tidak berprestasi dalam melakukan perbuatan-perbuatan baik.

Dan dia tidak akan, menyiksa orang-orang shahih. Seiring dengan prinsip

keadilannya itu, maka Allah sudah menetapkan janji dan ancaman senada yang

akan dipatuhi-Nya sendiri. Akan tetapi, prestasi keagamaan setiap orang itu pasti

berbeda, bisa saja ada orang mukmin yang kelakuannya seperti orang kafir. Inilah

yang mereka sebut sebagai orang fasik, yang menempati posisi antara mukmin

dan kafir.

Sedang di akhirat nanti mereka akan tetap memperoleh siksa atas

perbuatan-perbuatan dosanya, namun siksanya tidak sama dengan siksaan orang

kafir Untuk menghindari posisi ini, dan agar semua orang menjadi orang baik,

maka mereka mewajibkan amar ma’ruf nahi munkar sebagai wajib ‘ain. Dengan

demikian kelima dasar ajaran rnu’tazilah ini merupakan suatu rangkaian logis,

yang satu sama lain mempunyai keterkaitan.

Aliran teologi mu’tazilah ini menjadi aliran resmi di Daulah Bani

Abbasiah pada zaman pemerintahan al-Makmun (198-218 H), dan dua   khalifah

sesudahnya, Mu’tashim (218-227 H) dan al-Wasiq (227-232 H). Namun

dihancurkan kembali oleh al-Mutawakil pada tahun 234 H, sehingga kekuatan

aliran ini kembali lemah dan diganti kemudian dengan aliran Asy’ariyah yang

lebih terkenal dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah. Kesimpulan dari pokok-pokok

Mu’tazilah adalah sebagai berikut: Aliran Mu’tazilah memiliki lima ajaran pokok

yaitu :

1.      Tauhid (Keesaan Allah SWT)

Terkait hal ini mu’tazilah berpendapat, antara lain :

�         Mengingkari sifat-sifat Allah SWT, menurut Kaum Mu’tazilah apa yang

Page 78: Akhlak Za

dikatakan sifat adalah tak lain dari zat-Nya sendiri;

�         Al-Qur’an me.nurutnya adalan makhluk (baru);

�         Allah di akhirat kelak tidak dapat dilihat oleh panca indra manusia,

karena Allah tidak akan terjangkau oleh mata

2.      Keadilan Allah SWT

Setiap orang Islam harus percaya akan keadilan Allah, tetapi aliran

mu’tazilah, memperdalam arti keadilan serta menunjukkan batas-batasnya,

sehingga menimbulkan beberapa masalah. Dasar keadilan yang diyakini oleh

kaum Mu’tazilah adalah meletakkan pertanggungjawaban manusia atas segala

perbuatannya. Dalam menafsirkan keadilan tersebut mereka mengatakan sebagai

berikut :

“Tuhan tidak menghendaki keburukan, tidak menciptakan perbuatan manusia.

Manusia bisa mengerjakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-

larangan-Nya, dengan kekuasaan yang diciptakan-Nya terhadap diri manusia. la

hanya memerintahkan apa yang dikehendaki-Nya. Ia hanya menguasai kebaikan-

kebaikan yang diperintahkan-Nya dan tidak campur tangan dalam keburukan yang

dilarang-Nya.

Aliran ini berpendapat bahwa Allah akan memberikan balasan kepada

manusia sesuai dengan apa yang diperbuat manusia. (Mulyadi, 2005, hal. 108)

3.                  Janji dan Ancaman

Aliran mu’tazilah berpendapat, bahwa Allah tidak akan mengingkari janji-

Nya; memberi pahala kepada orang muslim yang berbuat baik, dan menimpakan

azab kepada yang berbuat dosa (Mulyadi, 2005, hal. 108)

4.      Posisi di antara dua posisi (al-manzilatu bainal manzilatain)

Karena prinsip ini, Washil bin ‘Atha memisahkan diri dari majlis Hajsan

Bashri, seperti yang disebutkan di atas. Menurut pendapatnya,, seseorang muslim

Page 79: Akhlak Za

yang mengerjakan dosa besar ia tergolong bukan mukmin tetapi juga tidak kafir,

melainkan menjadi orang fasik. Jadi kefasikan merupakan tempat tersendiri antara

“kufur” dan “iman”. Tingkatan seorang fasik berada di bawah orang mukmin dan

diatas orang kafir.

Jalan tengah ini kemudian berlaku juga dalam bidang-bidang lain. Jalan

tengah ini diambil oleh aliran mu’tazilah dari sumber-sumber agama Islam, yaitu:

a)      Al-Qur’an : banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan dan memuji

untuk mengambil jalan tengah seperti (QS. Al-Isra’: 31) “Jangan engkau

jadikan   tanganmu   terbelenggu   di lehermu   dan   Jangan   pula   terlalu

membeberkannya seluruhnya”. Ia juga menggunakan argument (QS. Al-

Baqarah: 137).

b)      Al-Hadits : seperti (sebaik-baiknya perkara ialah yang berada di tengah-

tengah) (Mulyadi, 2005, hal 109)

5.      Amar makruf dan nahi mungkar

Ajaran mu’tazilah mengenai tuntutan untuk berbuat baik dan mencegah

segala perbuatan yang tercela ini lebih banyak berkaitan dengan fiqh.

Kelima prinsip tersebut merupakan dasar utama yang harus dipegang oleh

setiap orang mu’tazilah dan hal ini sudah menjadi kesepakatan mereka. Akan

tetapi mereka berbeda-beda pendapat dalam soal-soal kecil dan terperinci. ketika

memperdalam pembahasan kelima prinsip tersebut dan menganalisanya dengan

didasarkan atas pikiran filsafat Yunani dan Iain-lain. Karena itu sebenarnya

pemikiran aliran mu’tazilah sangat beragam. sebagaimana halnya dengan

bermacam-macam aliran filsafat, seperti Stoic, Epicure. Phytagoras, Neo-

Platonismc dan sebagainya, yang k9semuanya disebut filsafat Yunani. (Mulyadi,

2005, hal 109)

7.      Lahirnya Aliran Ahlus Sunnah Wal Jamaah

Page 80: Akhlak Za

Aliran ini dilahirkan dan dikembangkan oleh Abu Hasan al-Asy’ari (260-

324 H) pada tahun 300 H di Baghdad. Abu Hasan al-Asy’ari sendiri pada awalnya

adalah seorang pengikut aliran teologi Mu’tazilah, namun dia terus dilanda

keraguan dengan pemikiran-pemikiran kalam mu’taziiah, terutama karena

kaberanian mu’tazilah dalam mena’wilkan ayat-ayat mutasyabihat untuk

mendukung logika teologi mereka, sehingga pemaknaannya berbeda dengan

lafalnya, dan juga karena keberanian mereka dalam membatasi penggunaan al-

Sunnah hanya yang mutawatir saja untuk doktrin-doktrin aqidahnya.

Karena keraguannya itulah, pada usianya yang ke-40 al-Asy’ari yang

menyatakan keluar dari Mu’tazilah dan mengembangkan pemikiran teologi

sendiri, dengan memperbanyak penggunaan al-Sunnah dan membatasi 

penggunaan logika filsafat dalam pemikiran kalamnya itu. Karena membatasi

penggunaan logika filsafat dan memperbanyak penggunaan al-Sunnah, maka 

pemikiran-pemikiran kalam Abu Hasan mudah dipahami oleh orang banyak, dan

memperoleh pengikut serta pendukung yang cukup besar. Sejalan dengan itu,

aliran teologinya ini disebut dengan Ahlus Sunah wal Jama’ah artinya aliran

kalam yang banyak menggunakan al-Sunnah dalam perumusan-perumusan

pemikiran kalamnya, dan memperoleh pengikut yang cukup besar (wal jama’ah)

dari kalangan masyarakat, khususnya dari lapisan yang tidak mampu menjangkau

pemikiran kalam rasional yang diperkenalkan aliran mu’tazilah dan aliran juga

sering disebut asy’ariyah karena dinisbitkan pada tokohnya.

Berbagai pemikiran kalam yang dikemukakan mu’tazilah dia kritisi habis.

Seperti tentang sifat. Dia katakan Tuhan itu mempunyai sifat, karena kalau sifat-

sifat itu dikatakan sebagai zat seperti yang dikemukakan mu’tazilah, maka akan

terjadi kerancuan yang sangat besar. Seperti tentang “ilmu”, kalau ilmu

(pengetahuan) dijadikan sebagai zat dan bukan sebagai sifat, maka Tuhan itu

adalah ilmu atau pengetahuan. Padahal Tuhan adalah Allah Yang Maha Tahu,

bukan ilmu atau pengetahuan itu sendiri.

Page 81: Akhlak Za

Demikian pula dengan al-Qur’an, menurutnya kitab suci ini qadim karena

al-Qur’an itu kalam Allah, maka posisinya sama seperti pemilik kalam. Kalau

Allah qadim, maka kalam-Nya pun qadim. Disamping itu, keyakinan bahwa AI-

Qur’an itu makhluk juga akan dihadapkan dengan kerancuan logika berpikir,

karena Allah menciptakan makhluk-Nya ini dengan kata-kata “kun”. Dan kalau

kata “kun” sendiri sudah makhluk make perlu “kun” yang lain untuk

menciptakannya, dan begitulah seterusnya tanpa ada akhir, sehingga terjadi

lingkaran logika yang tidak berujung (tasalsul).

Kemudian ayat-ayat mutajasimah yang dita’wilkan Mu’tazilah, dia bahwa

pada pengertian lafalnya, hanya saja tidak bisa diidentifikasikan seperti kata

Yadullah, yang diartikan mu’tazilah sebagai kekuasaan Allah, Abu Hasan

menafsirkannya dengan tangan Allah. Hanya saja dia tidak bisa

mengidentifikasikan bentuk tangan-Nya itu, sehingga dia mengatakan bahwa

Allah itu bertangan namun tangan-Nya itu tidak bisa diidentifikasi (layukayyaf).

Demikian pula dengan ayat-ayat mutajasimah lainnya.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, aliran teologi ini, mulai

berkembang tahun 300 H, dan mempunyai pengaruh pada pemerintahan

Abbasiah, bahkan untuk seterusnya sampai kini, pada umumnya umat Islam di

dunia termasuk di Indonesia menganut aliran teologi ini, walaupun sebahagian

kalangan intelektual muslim sudah mudah keluar dari doktrin-doktrin Asy’ariyah

dan memasuki aliran kalam rasional.

Adapun pokok-pokok pikiran golongan ahlu sunnah wal jama’ah dapat

disimpulkan sbb:

1)            Sifat Tuhan

Pendapat Al-Asy’ari dalam soal sifat Tuhan terletak di tengah-tengah antara aliran

Mu’tazilah di satu pihak rian aliran Hasywiah dan Mujassimah di lain pihak.

Aliran Mu’tazilah tidak mengakui sifat-sifat wujud, qidam, baqa dan wahdaniah

(Ke-Esa-an). Sifat zat yang lain, seperti sama’, bashar dan lain-lain tidak lain

hanya zat Tuhan sendiri. Golongan Hasywiah dan Mujassimah mempersamakan

Page 82: Akhlak Za

sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat makhluk. Al-Asy’ari mengakui sifat-sifat Allah

yang tersebut sesuai dengan zat Allah sendiri dan sama sekali tidak menyerupai

sifat-sifat makhluk. Jadi, Allah mendengar tetapi tidak seperti manusia

mendengar. Allah dapat melihat tetapi tidak seperti penglihatan manusia, dan

seterusnya.

2)            Kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia

Pendapat Al-asy’ari dalam soal ini juga tengah-tengah antara aliran Jabariah dan

aliran Mu’tazilah. Menurut aliran Mu’tazilah, manusia itulah yang mengerjakan

perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Allah kepadanya. Menurut

aliran Jabariah, manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu,

tidak memperoleh (kasb) sesuatu bahkan ia laksana bulu yang bergerak kian

kemari menurut arah angin yang meniupnya. Datanglah Al-Asy’ari dan

mengatakan bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu, tetapi berkuasa

untuk memperoleh (kasb) sesuatu perbuatan.

3)            Melihat Tuhan pada hari Qiyamat

Menurut aliran Mu’tazilah Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala dan

dengan demikian, mereka menakwilkan ayat-ayat yang mengatakan ru’yat,

disamping menolak hadits-hadits Nabi yang menetapkan ru’yat Karena tingkatan

hadits tersebut mereka adalah hadits ahad (hadits perseorangan). Menurut

golongan Musyabihat, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah

tertentu pula. Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, Al-

Asy’ari mengatakan bahwa Tuhan dapat dilihat di akhirat kelak.

4)            Dosa besar

Aliran Mu’tazilah mengatakan, apabila pembcat dosa besar tidak bertobat dan

dosanya itu, meskipun ia mempunyai iman dan kataatan, tidak akan keluar dari

neraka. Aliran Murji’ah mengatakan, siapa yang iman kepada Tuhan dan

mengiklilaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang

Page 83: Akhlak Za

dikerjakannya, namun tidak akan mempengaruhi imannya, artinya tetap

dipandang sebagai orang mukmin.

http://ilhamyp06.blogspot.com/2011/05/aliran-tokoh-ilmu-kalam.html