adab guru terhadap murid menurut kh. hasyim asy‟ari...

109
ADAB GURU TERHADAP MURID MENURUT KH. HASYIM ASY‟ARI DALAM KITAB ADAB AL-„ALIM WA AL-MUTA‟ALIM SKRIPSI Diajukan untuk memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Disusun oleh : MUHAMMAD SYAHRIL MUKIB NIM 11114056 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK) INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) SALATIGA

Upload: others

Post on 08-Feb-2021

22 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • ADAB GURU TERHADAP MURID

    MENURUT KH. HASYIM ASY‟ARI DALAM KITAB ADAB

    AL-„ALIM WA AL-MUTA‟ALIM

    SKRIPSI

    Diajukan untuk memperoleh Gelar

    Sarjana Pendidikan

    Disusun oleh :

    MUHAMMAD SYAHRIL MUKIB

    NIM 11114056

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

  • ii

  • iii

    ADAB GURU TERHADAP MURID

    MENURUT KH. HASYIM ASY‟ARI DALAM KITAB ADAB

    AL-„ALIM WA AL-MUTA‟ALIM

    SKRIPSI

    Diajukan untuk memperoleh Gelar

    Sarjana Pendidikan

    Disusun oleh :

    MUHAMMAD SYAHRIL MUKIB

    NIM 11114056

    PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

    FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN (FTIK)

    INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

    SALATIGA

  • iv

  • v

  • vi

  • vii

    MOTTO

    (..… ُ ٱلهِذيَن َءاَمنُو۟ا ِمنُكْم َوٱلهِذيَن أُوتُو۟ا ٱْلع ت لْ يَْزفَعِ ٱَّللهَم َدَرَجَٰ … )

    ― …Niscaya Allah SWT akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman

    diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu… ― (Q.s. Al-Mujadillah 58:11)

  • viii

    PERSEMBAHAN

    Karya tulis ilmiah yang berbentuk skripsi ini penulis persembahkan kepada :

    1. Bapak dan ibu ku (Maskur dan Khotimah) yang sangat aku sayangi, yang

    sabar memberikan motivasi, doa, dan mengorbankan jiwa, raga maupun

    materiil dalam pendidikan yang telah saya tempuh.

    2. Mbak Siti Muslimah dan mas Manakib, tak lupa adek saya Ita Zuliana

    Putri.

    3. Al-Mukarram romo Alm. KH. Ishaq Ahmad pengasuh PP. Roudhotul

    Muttaqin Mranggen Demak.

    4. Murobbi ruhina romo K. Roikhuddin Mahbub wa Zaujatihi bu nyai

    Niswah wa ahli baitihi.

    5. Semua teman-teman PP. Ittihadul Asna Klumpit Salatiga.

    6. Bu Widyawati Lestari yang memberikan semangat untuk mengerjakan

    skripsi ini.

  • ix

    KATA PENGANTAR

    Dengan menyebut nama Allah SWT Yang Maha Pengasih dan Maha

    Penyayang. Segala puji bagi Allah yang merajai semesta alam, atas rahmat, taufiq

    serta hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat

    serta salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW, sanak saudara dan para

    sahabat yang telah menunjukkan jalan yang benar dengan perantara Islam.

    Penulisan skripsi ini dimaksudkan guna memenuhi kewajiban sebagai syarat

    untuk memperoleh gelar sarjana pendidikan Islam.

    Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang

    telah membantu terselesaikannya penulisan skripsi ini, serta penghargaan

    setinggi-tingginya penulis sampaikan kepada :

    1. Bapak Prof.Dr. Zakiyyudin M.Ag selaku rektor IAIN Salatiga.

    2. Bapak Prof. Dr. Mansur, M.Ag selaku Dekan FTIK IAIN Salatiga.

    3. Ibu Dra.Siti Asdiqoh, M. Si selaku Ketua Prodi PAI IAIN Salatiga.

    4. Ibu Dra. Ulfah Susilawati, M.SI selaku dosen pembimbing skripsi.

    5. Bapak Alm. Prof. Dr. H. M. Zulfa, M.Ag Selaku Pembimbing

    Akademik.

    6. Bapak ibu dosen IAIN Salatiga yang telah membagikan ilmunya

    kepada penulis.

  • x

    Dalam penulisan ini apabila banyak kekurangan dan kesalahan, itu semua

    karena keterbatasan kemampuan penulis, untuk itu kritik dan saran yang

    membangun akan penulis terima dengan senang hati.

    Akhirnya penulis berharap dan berdoa semoga skripsi ini memberikan

    manfaat khususnya kepada diri saya pribadi dan kepada semua pembaca pada

    umumnya.

    Salatiga, 02 Maret 2020

    Penulis

    Muhammad Syahril Mukib

    NIM.111-14-056

  • xi

    ABSTRAK

    Mukib, Muhammad Syahril.2020. Adab Guru terhadap Murid menurut

    KH Hasyim Asy‟ari dalam Kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim. Skripsi.

    Program Studi Pendidikan Agama Islam. Fakultas Tarbiyah dan Ilmu

    Keguruan. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Pembimbing: Dra. Ulfah

    Susilawati,M.SI.

    .

    Kata kunci: Adab Guru terhadap Murid dan Kitab Adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim

    Penelitian ini tentang Adab Guru terhadap Murid menurut KH Hasyim

    Asy‘ari dalam Kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim. Tujuan yang hendak dicapai

    dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji adab guru terhadap

    murid menurut KH. Hasyim Asy‘ari dalam kitab beliau (Adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim). Pertanyaan yang ingin di jawab melalui penelitian ini adalah: 1.

    Bagaimana adab guru terhadap murid menurut KH. Hasyim Asy‘ari dalam kitab

    Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim? 2. Bagaimana relevansi kitab Adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim dengan adab guru terhadap murid di Indonesia.

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut peneliti menggunakan jenis

    penelitian Library Reseach/ study pustaka yang dilakukan dengan mencari dan

    menganalisis data yang bersumber dari perpustakaan. Dengan metode library

    reseach dan literatur lain dari sumber data primer berupa kitab Adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim karya KH. Hasyim Asy‘ari dan analisis data yang dilakukan yaitu:

    metode deduktif yang dilakukan dengan menganalisis bab III deskripsi anatomi

    naskah, kemudian menganalisis bab IV tentang adab guru terhadap murid menurut

    KH. Hasyim Asy‘ari dalam kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim dan digunakan

    relevansi adab guru terhadap murid dengan pendidikan yang ada di Indonesia.

    Hasil penelitian bahwa 1.) adab guru terhadap murid menurut KH. Hasyim

    Asy‘ari dalam kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim yaitu, (a) mencari ridho

    Allah SWT (b) sabar (c) mendekatkan murid pada hal terpuji (d) menggunakan

    bahasa yang mudah di mengerti (e) semangat mengajar (f) meminta murid taqrar

    (g) menasihati murid agar tidak terlalu keras belajar (h) tidak diskriminasi (i)

    ramah (j) mengajarkan interaksi sosial (k) mewujudkan kebaikan murid (l)

    perhatian murid yang absen (m) menggunakan bahasa yang baik (n) tawadhuk /

    rendah hati . 2.) paparan pendidikan etika atau adab dalam kitab Adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim sangat relevan dengan pendidikan yang ada di Indonesia yaitu

    untuk mengembangkan kemampuan dan membentuk karakter.

  • xii

    DAFTAR ISI

    HALAMAN SAMPUL ................................................................................ i

    HALAMAN BERLOGO ............................................................................. ii

    HALAMAN JUDUL .................................................................................... iii

    PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................................ iv

    PENGESAHAN KELULUSAN ................................................................ v

    DEKLARASI ............................................................................................... vi

    MOTTO ....................................................................................................... vii

    PERSEMBAHAN ........................................................................................ viii

    KATA PENGANTAR ................................................................................. ix

    ABSTRAKS ................................................................................................. xi

    DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

    BAB I : PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

    B. Rumusan Masalah ............................................................................ 6

    C. Tujuan Penelitian ............................................................................. 6

  • xiii

    D. Manfaat Penelitian ........................................................................... 7

    E. Kajian Pustaka .................................................................................. 8

    F. Metode Penelitian ............................................................................. 10

    G. Sistematika Penulisan ...................................................................... 13

    BAB II : BIOGRAFI NASKAH

    A. Riwayat Hidup ................................................................................... 14

    B. Nasab .................................................................................................. 15

    C. Sistematika Penulisan Kitab ............................................................... 16

    D. Pendidikan ........................................................................................ 17

    E. Karomah ........................................................................................... 19

    F. Karya-karya ...................................................................................... 20

    G. Nasionalisme .................................................................................... 21

    H. Silsilah Guru .................................................................................... 23

    I. Murid ................................................................................................ 24

    J. Wafat .............................................................................................. 25

    BAB III : DESKRIPSI ANATOMI KITAB ADAB AL-„ALIM WA

    AL-MUTA‟ALLIM

    A. Adab ................................................................................................. 30

    B. Guru ................................................................................................... 35

    C. Gambaran kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim ............................ 36

    BAB IV : PEMBAHASAN

  • xiv

    A. Analisis Adab guru terhadap murid menurut KH. Hasyim Asy‘ari

    dalam Kitab Adab al-„Alim wa al-Mita‟allim .................................. 61

    B. Relevansi Adab guru terhadap murid menurut KH. Hasyim Asy‘ari

    dalam Kitab Adab al-„Alim wa al-Mita‟allim dengan Pendidikan di

    Indonesia .......................................................................................... 78

    BAB V : PENUTUP

    A. Kesimpulan ...................................................................................... 82

    B. Saran ................................................................................................. 83

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN

    DAFTAR RIWAYAT HIDUP

  • BAB I

    PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang Masalah

    Dengan perkembangan zaman di dunia pendidikan yang terus

    berubah, berbicara pendidikan di negeri ini memang tidak ada habisnya.

    Ada banyak hal yang masih harus di benahi dari kondisi pendidikan yang

    ada saat ini, mulai dari masalah birokrasi pendidikan yang masih

    tumpang tindih, sampai dengan masalah internal pendidikan itu sendiri,

    yakni pada proses belajar mengajar yang masih harus di perbaiki metode

    dan sistemnya.

    Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan

    pembentukan diri secara utuh. Yaitu pengembangan segenap potensi

    dalam rangka penentuan semua komitmen manusia sebagai individu,

    sekaligus sebagai makhluk sosial dan makhluk Tuhan. Di dalam

    pendidikan terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik. Di

    dalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan perasaan yang

    berbeda. Komponen-komponen pendidikan yaitu meliputi tujuan, murid,

    guru atau pendidik, alat, dan lingkungan. Yang paling berperan penting

    dalam pendidikan guru atau pendidik.

    Dan guru harus memiliki adab atau perilaku yang baik sebagaimana

    pepatah jawa “guru kencing berdiri murid kencing berlari‟‟ makna

  • 2

    umum dari pepatah jawa ini adalah bahwa anakbelajar dan mencontoh

    perilaku gurunya, kemudian dengan kreatifitasnya sendiri, anak akan

    mengembangkan apa yang dicontohkan oleh gurunya, pepatah ini

    menyadarkan guru, bahwa seluruh kepribadiannya, baik perkataan, sikap,

    atau tindakan, senantiasa menjadi perhatian murid. Artinya kegiatan

    belajar mengajar bukan hanya di dalam kelas saat anak menghabiskan

    materi yang ada di dalam buku pelajaran, melainkan di semua tempat.

    Pendidik di dalam Al-Qur‘an dan al-Sunah yang merupakan

    landasan utama dalam pendekatan normatif dan perenealis dapat diketahui

    tentang adanya sejumlah istilah yang mengacu pada guru atau pendidik.

    Istilah tersebut antara lain al-Murabbi, al-muallim, al-muaddib, dan

    sebagainya.

    Selanjutnya yang di sampaikan oleh (Abuddin Nata, 2010:69-70)

    istilah al-murabbi mulai digunakan para ahli pendidikan pada awal abad

    ke-20 dan mengacu pada suatu kegiatan menumbuhkan, mengarahkan,

    membimbing, dan mengayomi. Istilah ini digunakan dalam pendidikan

    dengan arti menumbuhkan bakat, minat, motivasi, dan kecenderungan

    peserta didik untuk selanjutnya diarahkan pada tujuan yang ingin dicapai,

    kemudian dibimbing dengan penuh kasih sayang dan bijaksana, serta

    dinaungi dan dijaga dari kemungkinan datangnya berbagai gangguan yang

    menghambat terlaksananya proses arahan dan bimbingan tersebut. Sebagai

    al-murabbi pendidik bertindak dengan prinsip ing ngarso tung tulodo,

    yakni terkadang berada di depan siswa dengan memberi contoh, ing madya

  • 3

    mangun karso, yakni terkadang berada di tengah sambil bergaul dan

    memberi motivasi dan doronganyang baik,dan tut wuri handayani, yakni

    terkadang berada di belakang, yakni melakukan pengamatan dan supervise

    atas berbagai aktivitas belajar yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian,

    istilah al-murabbi ini telah menggambarkan sebuah model guru yang

    mencoba memadukan antara aktivitas para siswa dan para guru secara

    proporsional.

    Istilah al-muallim digunakan untuk kegiatan memberikan

    pengajaran, pengayaan dan wawasan yang diarahkan kepada mengubah

    sikap dan mindset (pola pikir), menujupada perubahan perbuatan dan cara

    kerja. Istilah ini terkait erat dengan aspek pengajaran yang bertumpu pada

    pengembangan aspek kognitif manusia, yaitu dari mulai mengetahui,

    memahami, membedakan, membandingkan, menganalisis dan

    menyimpulkan. Istilah ini dalam Al-qur‘an dapat dijumpai pada ayat yang

    artinya: ―Sebagaimana kami mengutus kepadamu Rasul diantara kamu

    yang membcakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan

    mengajarkan kepada mu al-Kitab dan hikmah, serta mengajarkan kepada

    kamu apa yang belum kamu ketahui.” (Q.s 02:15). Istilah al-muallim

    termasuk yang banyak digunakan di Indonesia dengan titik tekan pada

    seorang guru agama Islam atau seorang yang menjadi pemimipin

    keagamaan spiritual di masyarakat.

    Istilah al-mu‟addib secara harfiah adalah orang yang memiliki akhlak

    dan sopan santun, dan secara lebih luas adalah orang yang terdidik dan

  • 4

    perbudaya sehingga ia memiliki hak moral dan daya dorong untuk

    memperbaiki masyarakat. Sebagai al-muaddib seorang guru adalah

    mereka yang menampilkan citra diri yang ideal, contoh dan teladan yang

    baik bagi para muridnya. Istilah ini dijumpai dalam hadits Rasulullah

    SAW. Yang artinya “Tuhanku telah mendidikku (memperbaiki akhlakku),

    maka perbaguslah didikan (akhlak)ku ini.” Dalam sejarah istilah

    al-muaddib digunakan untuk jabatan guru yang mengajar para calon raja

    atau putra mahkota di istana. Al-muaddib adalah guru istana dengan tugas

    menyiapkan calon pemimpin bangsa. Pendidikan yang diberikan antara

    lain tentang sastra, cara berpidato, sejarah orang-orang sukses dan teladan,

    serta berbagai ketrampilan fisik seperti memanah dan menunggang kuda.

    Di Indonesia untuk menjadi guru diatur dengan beberapa persyaratan,

    berijazah, profesional, sehat jasmani dan rohani, takwa kepada Tuhan

    Yang Maha Esa dan kepribadian luhur, bertanggung jawab dan berjiwa

    sosial (Jamal makmur Asmani, 2015: 32).

    Guru merupakan spiritual father (bapak ruhani) bagi muridnya yang

    senantiasa memberi santapan jiwa dengan ilmunya (Suharto, 2006: 120)

    untuk itu guru dan murid seyogyanya beretika yang baik dan dan

    berakhlak mulya, baik kepada dirinya sendiri, teman sejawat, dan

    murid-muridnya.

    Hubungan guru dengan murid di dalam proses belajar mengajar

    merupakan faktor yang sangat menentukan. Bagaimana baiknya bahan

  • 5

    pelajaran yang diberikan, bagaimana sempurnanya metode yang

    dipergunakan, namun jika hubungan guru dengan murid merupakan

    hubungan yang tidak harmonis, maka dapat menciptakan keluaran yang

    tidak diinginkan. Guru dan anak didik adalah ―Dwi Tunggal‖. oleh

    karena itu dalam benak guru hanya ada satu kiat bagaimana mendidik

    anak agar menjadi manusia dewasa susila yang cakap. Posisi guru dan

    anak didik boleh berbeda, akan tetapi keduanya tetap seiring dan

    setujuan.

    Guru harus memilih dan memilah kapan saatnya berempati kepada

    anak didik, kapan saatnya kritis, kapan saatnya menerima,dan kapan

    saatnya menolak. Menurut pepatah jawa guru (di gugu lan di tiru), guru

    tidak hanya sebagai pentransfer ilmu, akan tetapi juga sebagai pengajar

    etika yang berperan sebagai suri tauladan. Konsep orang jawa bahwa

    guru adalah orang yang di gugu dan ditiru, artinya guru adalah orang

    yang dihormati dan menjadi tauladan bagi muridnya. Maka guru harus

    mengisi kepribadiannya dengan akhlakul karimah.Yang Maha Esa dan

    kepribadian luhur, bertanggung jawab dan berjiwa sosial.

    K.H Hasyim Asy‘ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871 di Jombang

    Jawa Timur. Beliau berjasa besar dalam mendirikan organisasi terbesar di

    Indonesia yaitu Nahdhotul Ulama (NU) yang didirikan pada tanggal 31

    Januari 1926 (Hasbullah, 2009: 272). K.H Hasyim Asy‘ari adalah sosok

    ilmuan pendidikan yang tidak hanya berjuang melalui pendidikan, tetapi

    juga mengembangkan pendidikan sebagai unsur penting dalam melawan

  • 6

    kolonilisme. Tidak sekedar mengajar para murid di lembaga formal,

    namun juga menghasilkan puluhan karya bagi pengembangan dunia

    pendidikan Islam.

    Beranjak dari pemaparan di atas, maka penulis tertarik

    mengangkatnya dalam penelitian kepustakaan dengan judul tentang

    “ADAB GURU TERHADAP MURID MENURUT KH HASYIM

    ASY‟ARI DALAM KITAB ADAB AL-ALIM WA

    AL-MUTA‟ALLIM”.

    B. Rumusan Masalah

    Berdasarkan gambaran masalah di atas, maka rumusan masalah

    adalah sebagai berikut:

    1. Bagaimana adab guru terhadap murid menurut K.H Hasyim Asy‘ari

    dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim?

    2. Bagaimana relevansi adab guru terhadap murid dalam pendidikan di

    Indonesia dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim?

    C. Tujuan Penelitian

    Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam skripsi ini adalah sebagai

    berikut :

    1. Untuk menjelaskan adab guru terhadap murid menurut K.H hasyim

    Asy‘ari dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim

  • 7

    2. Untuk mengetahui relevansi adab guru terhadap murid dalam

    pendidikan di Indonesia dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim

    D. Manfaat Hasil Penelitian

    Adapun manfaat penelitian yang ingi dicapai oleh penulis dalam

    penulisan skripsi ini yaitu:

    1. Manfaat Teoritis

    a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif

    bagi para akademis khususnya penulis untuk mengetahui lebih

    lanjut tentang adab guru terhadap murid dalam pendidikan di

    kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟alim. Dengan ini dapat

    memperluas kepustakaan yang dapat menjadi referensi

    penelitian selanjutnya.

    b. Untuk memberikan wawasan bagi penulis dan bagi pembaca

    pada umumnya.

    2. Manfaat Praktis

    a. Agar dapat memberikan gambaran pada guru betapa sangat

    pentingnya adab terhadap murid.

    b. Memberikan pengetahuan tentang adab guru terhadap murid di

    dalam pendidikan.

    c. Bahan acuan bagi guru agar memiliki adab dalam pendidikan.

  • 8

    E. Kajian Pustaka

    Dengan adanya kajian pustaka, diharapkan bisa dijadikan sebagai

    perbandingan terhadap penelitian yang telah ada baik mengenai

    kekurangan atau kelebihan dalam penelitian sebelumnya. Di samping itu,

    kajian pustaka juga mempunyai andil besar dalam rangka mendapat suatu

    informasi yang ada kaitan dengan teori-teori yang digunakan sebagai

    landasan karya ilmiah.

    Sebelum peneliti memperlebar pembahasan tentang adab guru

    terhadap murid menurut K.H Hasyim Asy‘ari dalam kitab adab al-„Alim

    wa al-Muta‟allim, maka peneliti mencoba mengkaji literatur yang

    berkaitan dengan tema pembahasan untuk dijadikan sebagai

    perbandingan dan acuan dalam penulisan.

    Pertama, buku karya Drs.Lathifull khuluq, M.A. yang berjudul

    ―Fajar Kebangunan Ulama; Biografi K.H. Hasyim Asy‘ari ‖. buku

    tersebut mengkaji pemikiran agama dan aktivitas politik K.H Hasyim

    Asy‘ari, mengingat usaha-usaha besar beliau, membahas kehidupan, latar

    belakang pendidikan dan lingkungan pesantren beliau untuk memahami

    karir dan kejadian-kejadian yang mengilhami beliau. Sedangkan

    penelitian ini hanya khusus pada adab guru terhadap murid dalam kitab

    adab al-„Alim wa al- Muta‟allim.

    Kedua, Skripsi dengan judul ―Konsep Pendidikan Akhlak Ustadz dan

    Santri Menurut K.H Hasyim Asy‘ari dalam kitab adab al-„Alim wa al-

  • 9

    Muta‟allim ‖ karya Abdul Shomad. Skripsi yang diajukan untuk

    memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana

    Strata Satu (S1) progam studi PAI pada Sekolah Tinggi Agama Islam

    Walisembilan (SETIA WS) Semarang pada tahun 2012 tersebut khusus

    membahas pendidikan akhlak pendidik dan peserta didik yang tertuang

    dalam kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟allim serta memberikan beberapa

    simpulan tentang tugas dan tanggung jawab ustadz sebagai pendidik serta

    tugas dan tanggung jawab santri sebagai peserta didik.

    Ketiga, Skripsi karya Muhammad Ilzam Syah Almutaqi yang

    berjudul ―Konsep Pendidikan Akhlak menurut K.H. Hasyim Asy‘ari

    dalam kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim ‖ yang diajukan di Sekolah

    Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tahun 2013. Dalam

    skripsi tersebut, membahas tentang sistematika penulisan kitab Adab

    al-„Alim wa al-Muta‟allim, konsep pendidikan akhlak menurut K.H.

    Hasyim Asy‘ari dan implikasi pendidikan akhlak menurut K.H. Hasyim

    Asy‘ari dalam kehidupan sehari-hari.

    Keempat, Skripsi karya Ani Hayatul Mukhlisoh dengan judul

    ―Akhlak guru menurut KH Hasyim Asy‘ari (Kajian Terhadap Kitab Adab

    „Alim wa Muta‟allim)‖ dalam skripsi penelitian ini KH Hasyim ‗Asy‘ari

    menyebutkan ada tiga macam akhlak yang harus dipedomani oleh guru

    yakni akhlak guru terhadap dirinya sendiri, akhlak guru saat mengajar,

    dan akhlak guru bersama murid.

  • 10

    Kelima, Skripsi dengan judul ―Studi Komparasi Pemikiran KH

    Hasyim Asy‘ari dan Hamka tentang pendidikan karakter‖, karya Nuriah

    Miftahul Jannah Skripsi yang diajukan untuk memenuhi tugas dan

    melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) pada

    UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2016 khusus membahas

    pendidikan karakter perspektif KH Hasyim Asy‘ari adanya usaha yang

    mendorong terbentuknya karakter yang positif dalam berperilaku

    dengan menghayati nilai-nilai luhur dan berpegang teguh pada

    ketauhidan.

    F. Metode Penelitian

    1. Jenis Penelitian

    Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan

    (Library Reseach), yaitu suatu bentuk penelitian terhadap literatur

    dengan pengumpulan data atau informasi dengan bantuan buku-buku

    tentang K.H Hasyim Asy‘ari dan kitab-kitab karangan K.H Hasyim

    Asy‘ari yang berkaitan dengan pemikiran mengenai adab guru

    bersama murid, yang ada di perpustakaan dan materi pustaka

    lainnya.

    Dalam hal ini Arif Furchan,(1982:98), menegaskan bahwa

    penelitian kepustakaan yang dimaksud adalah studi yang sebenarnya

    digali dari buku-buku, disertai dengan indeks penerbitan berkala

  • 11

    (majalah atau surat kabar), sistem penyimpanan dan pencarian

    informasi.

    2. Sumber Data

    Jenis penelitian ini adalah kepustakaan (library reseach), data

    yang diperoleh bersumber dari literatur. Adapun yang menjadi

    sumber yaitu:

    a. Data primer yaitu kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim

    karya K.H Hasyim Asy‘ari.

    b. Data sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan adab

    guru bersama murid sebagai pendukung dalam pembahasan

    skripsi ini yang ada di dalamnya terjemahan kitab Adab

    al-Alim wa al-Muta‟allim, kitab Ta‘lim Muta‘alim, dan

    buku-buku pendukung lainnya.

    3. Teknik Pengumpulan Data

    Untuk memperoleh data-data dalam penyusunan skripsi ini,

    penulis menggunakan penelitian kepustakaan (Library Reseach),

    dengan langkah-langkah sebagai berikut:

    a. Membaca buku-buku sumber, baik itu buku primer maupun

    buku-buku sekunder

  • 12

    b. Mempelajari dan mengkaji serta memahami isi yang ada

    dalam dalam buku-buku sumber

    c. Menganalisis sekaligus mengidentifikasi serta

    mengelompokan sesuai dengan masing-masing bab.

    4. Teknik Analisis Data

    Penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan

    memilih-memilah antara pengertian yang satu dengan pengertian

    yang lain untuk memperoreh kejelasan mengenai halnya.

    Macam-macam metode yang digunakan dalam menganalisis

    masalah sebagai berikut:

    a. Metode Deduktif

    Hal-hal atau teori yang bersifat umum untuk menarik

    kesimpulan yang bersifat khusus (Hadi, 1981: 42).

    b. Metode Induktif

    Penulisan kritik dan esai dimana penulis dapat langsung

    mengamati karya sastra dan langsung membuat kesimpulan

    berdasarkan penilaian dari sudut pandangnya (Haryanta,

    2012:200-201).

  • 13

    G. Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan untuk memberikan kasan runtutnya

    pembahasan yang penulis jabarkan dalam skripsi ini adalah penyusunan

    skripsi dari bab ke bab selanjutnya. Sehingga skripsi ini menjadi satu

    kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipisah-pisahkan. Bertujuan agar

    tidak ada pemahaman yang menyimpang dari maksud penulisan skripsi

    ini. Adapun sistematika penulisan skripsi ini antara:

    BAB I PENDAHULUAN, berisi tentang: Latar Belakang Masalah,

    Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Hasil penelitian, defini

    Operasional, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan sebagai

    gambaran awal untuk memahami skripsi ini.

    BAB II BIOGRAFI NASKAH, meliputi biografi pengarang kitab

    Adab al-Alim wa al-Muta‟allim, setting sosial, dan karya-karya

    pengarang kitab.

    BAB III Deskripsi Anatomi kitab Adab al-Alim wa al-Muta‟allim

    mengenai adab guru terhadap murid.

    BAB IV, meliputi analisis adab guru terhadap murid dalam kitab

    Adab al-Alim wa al-Muta‟allim.

    BAB V PENUTUP, Kesimpulan, dan Saran.

  • 14

    BAB II

    BIOGRAIFI K.H HASYIM ASY‟ARI

    A. Riwayat Hidup K.H Hasyim Asy‟ari

    K.H Hasyim Asy‘ari lahir pada tanggal 14 Februari 1871 di

    Jombang Jawa Timur. Beliau berjasa besar dalam mendirikan organisasi

    terbesar di Indonesia yaitu Nahdhotul Ulama (NU) yang didirikan pada

    tanggal 31 Januari 1926 (Hasbullah, 2009: 272)

    Dari jalur ayah, nasab Kiai Hasyim bersambung kepada Maulana

    Ishak hingga Imam Ja‘far Shadiq bin Muhammad Al-Baqir. Sedangkan dari

    jalur ibu, nasabnya bersambung kepada Raja Brawijaya VI (Lembu

    Peteng), yang berputra Karebet atau Jaka Tingkir. Jaka tingkir adalah raja

    Pajang pertama (tahun 1568 M) dengan gelar Sultan Pajang atau Pangeran

    Adiwijaya.

    Bakat kepemimpinan Kiai Hasyim sudah tampak sejak masa

    kanak-kanak. Ketika bermain dengan teman-teman sebayanya, Hasyim

    kecil selalu menjadi penengah. Jika melihat temannya melanggar aturan

    permainan, ia akan menegurnya. Dia membuat temannya senang bermain,

    karena sifatnya yang suka menolong dan melindungi sesama.

    Pada tahun 1293 H/1876 M., tepatnya ketika berusia 6 tahun,

    Hasyim kecil bersama kedua orang tuanya pindah ke Desa Keras, sekitar 8

  • 15

    km. ke selatan Kota Jombang. Kepindahan mereka adalah untuk membina

    masyarakat di sana.

    Di Desa Keras, Kiai Asy‘ari diberi tanah oleh sang Kepala Desa,

    yang kemudian digunakan untuk membangun rumah, masjid, dan

    pesantren. Di sinilah Hasyim kecil dididik dasar-dasar ilmu agama oleh

    orang tuanya. Hasyim juga dapat melihat secara langsung bagaimana

    ayahnya membina dan mendidik para santri. Hasyim hidup menyatu

    bersama santri. Ia mampu menyelami kehidupan santri yang penuh

    kesederhanaan dan kebersamaan. Semua itu memberikan pengaruh yang

    sangat besar pada pertumbuhan jiwa dan pembentukan wataknya di

    kemudian hari. Hal ini ditunjang oleh kecerdasannya yang memang brilian.

    Dalam usia 13 tahun, Hasyim sudah bisa membantu ayahnya mengajar

    santri-santri yang lebih besar daripada dirinya.

    Disamping cerdas, Hasyim juga dikenal rajin bekerja. Watak

    kemandirian yang ditanamkan sang kakek, mendorongnya untuk berusaha

    memenuhi kebutuhan diri sendiri tanpa bergantung kepada orang lain. Itu

    sebabnya, Hasyim selalu memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar

    mencari nafkah dengan bertani dan berdagang. Hasilnya kemudian

    dibelikan kitab dan digunakan untuk bekal menuntut ilmu.

    B. Nasab K.H Hasyim Asy‟ari

    ` KH Hasyim Asy‘ari lahir dari pasangan kyai Ay‘ari dan Nyai Halimah.

    Kyai Asy‘ari adalah menantu kyai Utsman, pengasuh pondok pesantren

  • 16

    Gedang. Nama lengkap yaitu Muhammad Hasyim bin Asy‘ari bin Abdul

    Halim (Pangeran Benawa) bin Abdurrohman (jaka Tingkir atau Mas

    karebet atau Sultan Hadiwijaya Sultan Pajang) bin Abdullah bin Abdul

    Aziz bin Abdul Fattah bin Maulana lshaq bin Ainul Yaqin yang lebih

    popular dengan sebutan Sunan Giri. (Mukani,2016:45)

    C. Sistematika Penulisan Kitab Adabu Alim wa Muta‟alim

    Latar belakang kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟alim dipengaruhi

    oleh perubahan yang cepat dan perubahan dari pendidikan klasik menuju

    pendidikan modern, di mana hal tersebut dipengaruhi oleh Belanda di

    Indonesia. Kitab tersebut untuk memasukkan nilai etis, moral, seperti

    menjaga nilai tradisi yang baik dan perilaku santun dalam masyarakat.

    Tapi bukan berati menolak kemajuan atau menolak perubahan zaman.

    Beliau menerimanya dengan syarat tidak mengubah nilai subtantinya atau

    bahasa populernya di kalangan NU: ― al-muhafazhatu „ala al-qodimi

    al-shalih,wa al-akhdzu bi al-jadidi al-ashlah” ( melestarikan nilai-nilai

    lama yang positif, dan mengambil nilai-nilai baru yang positif).

    Kitab Adab al-„Alim wa al-Muta‟alim terdiri dari beberapa bab,

    yaitu:

    1. Adab al-Alim wa al-Muta‟allim ( Etika dan murid )

    2. Al-Duraar al-Muntatsirah fi al-Masaa‟il al-Tis‟a Asyarah ( Taburan

    Permata dalam Sembilan Belas Persoalan)

  • 17

    3. Al-Tanbihaat al-Waajibaat Liman Yasna‟u al-Mawlid bi al-Munkarat (

    Peringatan Penting bagi Orang yang Merayakan Acara Kelahiran Nabi

    Muhammad dengan Melakukan Kemungkaran)

    4. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah

    5. Al-Nur al-Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin ( Cahaya Terang

    dalam Mencintai Rosul )

    6. Al-Tibyan fi al-Nahy an Muqaata‟at al-Arhaam wa al-Aqaarib wa

    al-Ikhwaan ( Penjelasan tentang Larangan Memutus Hubungan

    Kerabat, Teman Dekat dan Saudaran )

    7. Al-Risalah al-Tauhidiyah

    8. Al-Qalaaid fi maa Yajibu min al-„Aqaaid ( Syair-syair Menjelaskan

    Kewajiban Aqidah )

    9. Arba‟in Haditsan

    10. Al-Risalah fil „Aqa‟i‟d

    11. Tamziyul haq min al-Bathin

    12. Risalah fi Ta‟akud al-akhdz bi madzahib al-A‟immah al-Arba‟ah

    13. Al-Risalah jama‟ah al-Maqashid

    D. Pendidikan K.H Hasyim Asy‟ari

    K.H Hasyim Asy‘ari merupakan sosok yang tidak mengenal kata

    menyerah dalam hal mencari ilmu. Semangat ini ada dalam diri beliau

    yang didukung dengan kondisi ketika itu yang memang tidak kondusif

    untuk merealisasikan cita-cita, menjadikan kesempatan belajar bagi K.H

    Hasyam Asy‘ari semakin terbuka lebar. Maka tidak mengherankan jika

  • 18

    K.H Hasyim Asy‘ari memiliki kesempatan untuk melanjutkan belajar ke

    berbagai pondok pesantren di pulau Jawa, bahkan hingga sampai menimba

    ilmu ke Arab Saudi.

    Setelah lima tahun berada dalam pendidikan dan lingkungan

    kakeknya di pondok pesantren Gedang, dilanjutkan dengan sepuluh tahun

    dalam pola pendidikan ayahnya di pondok pesantren Keras, maka K.H

    Hasyim Asy‘ari memberanikan diri pamit kepada orang tua untuk mencari

    ilmu di luar kampung halaman sendiri. Saat masih dalam masa pendidikan

    kakek dan ayahnya, K.H Hasyim Asy‘ari banyak belajar tentang

    dasar-dasar aqidah Islam, fiqih, tafsir, hadits, bahasa Arab dan sebagainya.

    Bahkan pada usia 13 tahun, K.H Hasyim Asy‘ari sudah dipercaya ayahnya

    untuk mengajar santri yang usianya lebih senior di pondok pesantren

    Keras.

    Pondok pesantren yang pertama kali di tuju K.H Hasyim Asy‘ari

    setelah menimba ilmu dari keluarga ialah pondok pesantren Wonorejo, di

    daerah Trowulan Mojokerto.di pondok pesantren ini K.H Hasyim Asy‘ari

    tidak lama menetap. Kemudian K.H Hasyim Asy‘ari pindah ke pondok

    pesantren Wonokoyo di Probolinggo selama tiga tahun. Lalu meneruskan

    pengembaraan intelektual ke pondok pesantren Langitan di Tuban.

    Kemudian pindah lagi ke pondok pesantren Tenggilis di Surabaya, yang

    menjadi perantara K.H Hasyim Asy‘ari ke Madura, tepatnya di pondok

    pesantren Kademangan Bangkalan, yang ketika itu diasuh oleh syaikhona

    kholil bin Abdul Lathif (Mukani : 2016:56).

  • 19

    K.H Hasyim Asy‘ari lalu melanjutkan pendidikannya ke Makkah,

    beliau di Makkah di samping mencari ilmu juga mengajar di sana.

    E. Karomah K.H Hasyim Asy‟ari

    K.H Hasyim Asy‘ari ketika masih muda berangkat nyantri ke

    pondok pesantren yang diasuh K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif

    Bangkalan Madura. K.H Hasyim Asy‘ari langsung di uji oleh K.H

    Muhammad Kholil bin Abdul Lathif.

    K.H Hasyim Asy‘ari muda disuruh naik ke atas pohon bambu,

    sementara K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif terus mengawasi

    dari bawah sembari memberi isyarat agar terus naik ke pucuk pohon

    bambu tersebut. K.H Hasyim Asy‘ari terus naik sesuai perintah gurunya.

    Ia tidak peduli apakah pohon bambu itu roboh/patah yang jelas beliau

    hanya patuh pada perintah gurunya.

    Anehnya, begitu sampai di pucuk K.H Muhammad Kholil bin

    Abdul Lathif mengisyaratkan agar K.H Hasyim Asy‘ari langsung

    meloncat. Ternyata beliau selamat.

    Ada cerita menarik tatkala K.H Hasyim Asy‘ari belajar dengan

    K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif suatu hari K.H Hasyim Asy‘ari

    melihat K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif lagi bersedih, beliau

    memberanikan diri untuk bertanya. K.H Muhammad Kholil bin Abdul

    Lathif menjawab bahwa cincin istrinya jatuh di WC, K.H Hasyim Asy‘ari

    lantas usul agar untuk K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif membeli

  • 20

    cincin lagi. Namun K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif mengatakan

    bahwa cincin itu milik istrinya.

    Setelah melihat kesedihan guru besarnya, K.H Hasyim Asy‘ari

    menawarkan diri untuk mencari cincin yang jatuh di dalam WC. Akhirnya,

    K.H Hasyim Asy‘ari benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan

    penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya K.H Hasyim

    Asy‘ari menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya hati K.H

    Muhammad Kholil bin Abdul Lathif atas keberhasilan K.H Hasyim

    Asy‘ari itu. Yang menarik dua kyai besar ini sama-sama rendah hati atau

    tawadhu‘. Mereka sama-sama saling berguru. K.H Hasyim Asy‘ari

    terkenal sebagai ahli hadits. Biasanya K.H Hasyim Asy‘ari mengajarkan

    hadits pada santri sebulan penuh pada bulan Ramadhan. Ternyata K.H

    Muhammad Kholil bin Abdul Lathif, meski dikenal sebagai guru K.H

    Hasyim Asy‘ari, ikut juga jadi santri ngaji kepada K.H Hasyim Asy‘ari.

    K.H Muhammad Kholil bin Abdul Lathif tidak merasa gengsi

    memperdalam ilmu meski kepada muridnya sendiri. Sebaliknya, beliau

    sangat menghormati K.H Hasyim Asy‘ari sebagai gurunya.

    F. Karya-karya K.H Hasyim Asy‟ari

    Berdasarkan penelusuran KHM. Ishom hadzik diperoleh catatan

    tentang kitab-itab karya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari, yaitu

    (Salahuddin wahid 4:2018):

    1. Adab al-Alim wa al-Muta‟allim ( Etika dan murid )

  • 21

    2. Al-Duraar al-Muntatsirah fi al-Masaa‟il al-Tis‟a Asyarah ( Taburan

    Permata dalam Sembilan Belas Persoalan)

    3. Al-Tanbihaat al-Waajibaat Liman Yasna‟u al-Mawlid bi al-Munkarat (

    Peringatan Penting bagi Orang yang Merayakan Acara Kelahiran Nabi

    Muhammad dengan Melakukan Kemungkaran)

    4. Risalah Ahl al-Sunnah wa al-Jama‟ah

    5. Al-Nur al-Mubiin fi Mahabbati Sayyid al-Mursalin ( Cahaya Terang

    dalam Mencintai Rosul )

    6. Al-Tibyan fi al-Nahy an Muqaata‟at al-Arhaam wa al-Aqaarib wa

    al-Ikhwaan ( Penjelasan tentang Larangan Memutus Hubungan

    Kerabat, Teman Dekat dan Saudaran )

    7. Al-Risalah al-Tauhidiyah

    8. Al-Qalaaid fi maa Yajibu min al-„Aqaaid ( Syair-syair Menjelaskan

    Kewajiban Aqidah )

    9. Arba‟in Haditsan

    10. Al-Risalah fil „Aqa‟i‟d

    11. Tamziyul haq min al-Bathin

    12. Risalah fi Ta‟akud al-akhdz bi madzahib al-A‟immah al-Arba‟ah

    13. Al-Risalah jama‟ah al-Maqashid

    G. Nasionalisme

    Ada empat tokoh besar Islam Indonesia yang hidup dalam generasi

    yang sama. Pertama adalah KH Ahmad Dahlan (1868-1923), pendiri

    organisasi Muhammadiyah. Kedua adalah KH Hasyim Asy‘ari

  • 22

    (1871-1947). Ketiga adalah HOS Tjokroaminoto (1882-1954). Keempat

    tokoh ini mempunyai peran masing-masing di dalam kelompok

    masyarakat yang berbeda. Tanggal 22 Oktober 1945, ketika tentara NICA

    (Netherland Indian Civil Administration) yang dibentuk oleh pemerintah

    Belanda membonceng pasukan sekutu yang dipimpin Inggris, berusaha

    melakukan agresi ke tanah Jawa (Surabaya) dengan alasan mengurus

    tawanan Jepang, Kiai Hasyim bersama para ulama menyerukan Resolusi

    Jihad melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris tersebut. Resolusi

    Jihad ditandatangani di kantor NU Bubutan, Surabaya. Akibatnya,

    meletuslah perang rakyat semesta dalam pertempuran 10 November 1945

    yang bersejarah itu. Umat Islam yang mendengar Resolusi Jihad itu keluar

    dari kampung-kampung dengan membawa senjata apa adanya untuk

    melawan pasukan gabungan NICA dan Inggris. Peristiwa 10 Nopember

    kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan Nasional.

    Pada tanggal 7 Nopember 1945—tiga hari sebelum meletusnya

    perang 10 Nopember 1945 di Surabaya—umat Islam membentuk partai

    politik bernama Majelis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi). Pembentukan

    Masyumi merupakan salah satu langkah konsolidasi umat Islam dari

    berbagai faham. Kiai Hasyim diangkat sebagai Ro‘is ‗Am (Ketua Umum)

    pertama periode tahun 1945-1947 (Gugun El-Guyanie, 2010: 68).

    Selama masa perjuangan mengusir penjajah, Kiai Hasyim dikenal

    sebagai penganjur, penasehat, sekaligus jenderal dalam gerakan laskar-laskar

  • 23

    perjuangan seperti GPII, Hizbullah, Sabilillah, dan gerakan Mujahidin. Bahkan

    Jenderal Sudirman dan Bung Tomo senantiasa meminta petunjuk kepada Kiai

    Hasyim.

    H. Silsilah guru KH Hasyim Asy‟ari

    Menurut nuonline..com sanad keilmuan K.H Hasyim Asy‘ari sendiri

    terhubung langsung dengan Nabi Muhammad SAW melalui silsilah

    berikut:

    1. K.H Hasyim Asy‘ari

    2. Syaikh mahfudz at-Termasi

    3. Syaikh Nawawi al-Bantani

    4. Sayyid Ahmad Zaini Dahlan

    5. Imam Ahmad ad-Dasuqi

    6. Imam Ibrahim al-Bajuri

    7. Imam Abdullah as-Sanusi

    8. Imam ‗Abduddin a-‗Iji

    9. Imam Muhammad bin Umar fakhrurrazi

    10. Imam Abdul Karim asy-syahrastani

    11. Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad al-Ghozali

    12. Imam Abdul Malik al-Haramain al-Juwaini

    13. Imam Abubakar al-Baqilani

    14. Imam Abdullah a-Bahili

    15. Imam Abu al-Hasan Ali al-Asy‘ari

    16. Abu Ali al-Juba‘i

  • 24

    17. Abu Hasyim al-Juba‘i

    18. Abu al-Hudzali al-‗Allaf

    19. Ibrahim an-Nadzdzam

    20. Amr bin Ubaid

    21. Washil bin Atha‘

    22. Sayyidina Muhammad bin Ali bin Abi Thalib

    23. Sayyidina Ali bin Abi Thalib KW

    24. Sayyidina Rasullah Muhammad SAW

    I. Murid-murid KH Hasyim Asy‟ari

    Ribuan santri menimba ilmu kepada K.H Hasyim Asy‘ari dan setelah

    lulus dari pondok pesantren Tebuireng Jombang banyak sekali diantara

    santri-santri K.H Hasyim Asy‘ari kemudian tampil sebagai tokoh dan

    ulama kondang dan berpengaruh luas, antara lain:

    1. K.H Abdul Wahab Hasbullah, Pesantren Tambak Beras, Jombang

    2. K.H Bisri Syansuri, Pesantren Denanyar, Jombang

    3. K.H R As‘ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo)

    4. K.H Wahid Hasyim (putra beliau)

    5. K.H Achmad Shiddiq

    6. Syekh Sa‘dullah al-Maimani (mufti di Bombay, India)

    7. Syekh Umar Hamdan ( ahli hadits di Makkah)

    8. Al-Syihab Ahmad ibn Abdullah (syiria)

    9. K.H R Asnawi (Kudus)

    10. K.H Dahlan (Kudus)

  • 25

    11. K.H Shaleh (Tayu)

    12. Bung Tomo (Surabaya)

    13. K.H Chudlori (Magelang)

    14. K.H Manaf Abdul Karim (Lirboyo, Kediri)

    15. K.H Abbas (Buntet, Cirebon)

    16. K.H Zaini Mun‘in (Paiton, Probolinggo)

    17. K.H Bisri Musthofa (Rembang)

    18. K.H Ma‘shum Ali (Seblak, Jombang)

    19. K.H‘Adlan Ali (Cukir, Jombang)

    20. Prof. K.H Saefudin Zuhri (mantan mentri agama)

    21. K.H Maskur (Singosari, Malang) dan sebagainya.

    J. Wafat

    Muslimedianews ~ Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari

    terlahir pada Selasa Kliwon 24 Dzul Qa‘dah 1287 H (14 Februari 1871 M)

    di Pesantren Gedang Tambakrejo Jombang, Jawa Timur. Beliau

    merupakan putra ketiga dari 11 bersaudara dari pasangan Kyai Asy‘ari dan

    Nyai Halimah.

    Dalam buku ‗Profil Pesantren Tebuireng‘ dan NU-Online, tertulis

    bahwa tanggal 3 Ramadhan 1366 H (21 Juli 1947 M) jam 9 malam

    Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari selesai mengimami shalat

    Tarawih. Sebagaimana biasanya beliau duduk di kursi untuk memberikan

    pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian datanglah tamu

    utusan Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Mbah Hasyim menemui

  • 26

    utusan tersebut dengan didampingi Kyai Ghufron yang juga pimpinan

    Laskar Sabilillah Surabaya.

    Sang tamu menyampaikan surat dari Jendral Sudirman yang berisi

    3 pesan pokok. Kepada utusan kepercayaan dua tokoh penting tersebut

    Kyai Hasyim meminta waktu semalam untuk berpikir dan selanjutnya

    memberikan jawaban. Isi pesan tersebut adalah:

    1. Di wilayah Jawa Timur, Belanda melakukan serangan militer

    besar-besaran untuk merebut kota-kota di wilayah karesidenan

    Malang, Besuki, Surabaya, Madura, Bojonegoro, dan Madiun.

    2. KH Hasyim Asy‘ari dimohon berkenan untuk mengungsi ke Sarangan,

    Magetan, agar tidak tertangkap oleh Belanda. Jika hal itu terjadi, maka

    moral para pejuang akan runtuh.

    3. Jajaran TNI di sekitar Jombang diperintahkan untuk membantu

    pengungsian KH Hasyim Asy‘ari.

    Keesokan harinya Mbah Hasyim memberikan jawaban bahwa

    beliau tidak berkenan menerima tawaran yang disampaikan. Empat hari

    kemudian, tepatnya pada tanggal 7 Ramadhan 1366 M, sekitar pukul 21.00

    WIB datang lagi utusan Jendral Soedirman dan Bung Tomo. Kedatangan

    utusan tersebut dengan membawa surat untuk disampaikan kepada

    Hadhratus Syaikh Kyai Hasyim. Secara khusus Bung Tomo memohon

    kepada Kyai Hasyim mengeluarkan komando ‗jihad fi sabilillah‘ bagi

    umat Islam Indonesia. Karena saat itu Belanda telah menguasai wilayah

    Karesidenan Malang dan banyak anggota Laskar Hizbullah dan Sabilillah

  • 27

    yang menjadi korban. Hadhratus Syaikh kembali meminta waktu semalam

    untuk memberi jawaban.

    Tidak lama berselang, Mbah Hasyim mendapat laporan dari Kyai

    Ghufron selaku pimpinan Sabilillah Surabaya bersama dua orang utusan

    Bung Tomo, bahwa Kota Singosari Malang yang juga merupakan basis

    pertahanan Hizbullah dan Sabilillah telah jatuh ke tangan Belanda.

    Kondisi para pejuang semakin tersudut, dan korban rakyat sipil kian

    meningkat. Mendengar laporan itu Mbah Hasyim berujar: ―Masya Allah,

    masya Allah…‖ sambil memegang kepalanya, tapi hal ini ditafsirkan oleh

    Kyai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk.

    Akhirnya para tamu pun pamit keluar, tetapi Mbah Hasyim tetap

    diam tidak menjawab. Sehingga Kyai Ghufron mendekat ke Mbah

    Hasyim, dan meminta kedua tamu tersebut meninggalkan tempat. Tak

    lama kemudian Kyai Ghufron baru menyadari bahwa Mbah Hasyim tidak

    sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh ia memanggil keluarga

    dan membujurkan tubuh Mbah Hasyim.

    Kala itu putra-putri Mbah Hasyim sedang tidak berada di

    Tebuireng. Tapi tidak lama kemudian mereka mulai berdatangan setelah

    mendengar sang ayahanda tidak sadarkan diri. Semisal Kyai Yusuf

    Hasyim yang waktu itu sedang berada di markas tentara pejuang,

    kemudian dapat hadir dan mendatangkan seorang dokter, yakni dr. Angka

    Nitisastro.

  • 28

    Setelah diperiksa, barulah diketahui bahwa Mbah Hasyim mengalami

    pendarahan otak (asemblonding) yang sangat serius. Walaupun dokter telah

    berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain. Hadhratus

    Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari akhirnya wafat pada waktu sahur (pukul 03.00

    dini hari) tanggal 07 Ramadhan 1366 H (25 Juli 1947).

    Atas jasa-jasa beliau selama perang kemerdekaan melawan Belanda

    (1945-1947), terutama yang berkaitan dengan 3 fatwanya yang sangat

    penting, yakni:

    1. Perang melawan Belanda adalah jihad yang wajib dilaksanakan oleh

    semua umat Islam Indonesia.

    2. Kaum Muslimin diharamkan melakukan perjalanan haji dengan kapal

    Belanda.

    3. Kaum Muslimin diharamkan memakai dasi dan atribut-atribut lain

    yang menjadi ciri khas penjajah Belanda.

    Maka Presiden Soekarno lewat Keputusan Presiden (Kepres) No.

    249/1964 menetapkan bahwa KH. Muhammad Hasyim Asy‘ari sebagai

    pahlawan nasional.

    Sedikit berbeda dengan kutipan di atas, Kyai Sanusi Lebaksiu

    Tegal yang merupakan santri Mbah Hasyim Asy‘ari menuturkan bahwa

    menjelang wafat sang gurunya itu dirinya sedang turut mengaji. Seperti

    tidak terjadi apa-apa, sebagaimana laiknya orang yang sehat, Mbah

    Hasyim mengajar sebuah kitab di hadapan para santrinya. Hal tersebut

    merupakan rutinitas Mbah Hasyim setiap ba‘da Shubuh.

  • 29

    Sebagai salah satu saksi mata, Kyai Sanusi menyaksikan tatkala

    Mbah Hasyim sedang membacakan kitab tiba-tiba terdiam menundukkan

    kepalanya. Para santri mengira beliau hanya sedang mengantuk. Tapi

    setelah salah seorang santrinya mendekat (mungkin Kyai Ghufron,

    sebagaimana kutipan di atas) dan memastikan keadaan Mbah Hasyim,

    ternyata nyawa gurunya itu telah tiada. Sontak saja para santri yang saat

    itu sedang mengaji geger bercampur duka yang mendalam. Guru yang

    sangat dicintainya itu telah kembali ke haribaan Ilahi Rabbi. Inna lillahi

    wainna ilaihi raji‘un, kabar kewafatan Pendiri NU dan Ponpes. Tebuireng

    itu pun dengan cepat tersiar ke berbagai penjuru tanah air.

    Rasa bela sungkawa yang amat dalam datang dari hampir seluruh

    lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan

    seperjuangan, para ulama, warga NU dan terlebih para santri Tebuireng.

    Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini terbaring di

    pusara beliau di tengah Pondok Pesantren Tebuireng Jombang.

    Pada saat mengantar kepergiannya, sahabat sekaligus saudara

    beliau, KH. A. Wahab Hasbullah, sempat mengemukakan kata sambutan.

    Inti dari sambutan Mbah Wahab adalah menjelaskan tentang prinsip hidup

    Hadhratus Syaikh KH. M. Hasyim Asy‘ari, diantaranya: ―Berjuang terus

    dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat.‖

  • 30

    BAB III

    DESKRIPSI ANATOMI TENTANG ADAB GURU TERHADAP MURID

    DALAM KITAB ADAB AL-„ALIM WA AL-MUTA‟ALIM

    A. Pengertian Adab

    Secara literal –etimologis, term al-adab (adab) dengan bentuk

    plural (jamak)nya al-adab memeliki arti al-du‟a (Muhammad ibn

    makarim, 2009:245), yang artinya undangan, seruan atau panggilan, dan

    juga berarti al-zaraf wa husn al-tanawul (Muhammad ibn Ya‘kub,

    2009:8), yaitu suatu bentuk kesopanan dan etika berinteraksi yang baik

    dengan orang atau pihak lain.

    Bentuk derivasi (isytiqaq) dari al-adab adalah al-udbah,

    al-ma‘dubah dan al-ma‘dabah yang berarti al-ta‟am alladzi yashna‟uhu

    al-rajul yad‟u ilaihi al-nas (Ibn Mubarak, 2009:30-31), yaitu makanan

    atau jamuan makan yang secara khusus dihidangkan dalam rangka

    mengundang orang lain untuk menikmatinya. Atau dapat juga berarti kullu

    ta‟am shuni‟a li da‟wah au „urs(Al-Mishri, 2009:03), yaitu hidangan yang

    dipersiapkan untuk jamuan.

    Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa dalam tataran

    etimologis adab belum terkait secara eksplisit dengan pendidikan, suatu

    ketrampilan atau disiplin ilmu tertentu, kecuali secara praktis terkait

    dengan etika kesopanan dan itupun dalam ruang lingkup yang masih

    sempit, yaitu etika di meja makan atau kesopanan dalam memenuhi

    undangan dan jamuan makan.

  • 31

    Dalam tataran terminologis-praktis, term al-adab secara general

    diartikulasikan sebagai kecakapan (pengetahuan) atau seni (keahlian)

    dalam suatu bidang atau aktifitas tertentu yang definitif, seperti karakter

    atau adab hakim (adab al-qadi) dan sekretaris /notaris pembuat dokumen

    resmi (adab al-katib). Kemudian secara terminologis-partikulatif

    didefinasikan sebagai ilmu yang secara spesifik berkaitan dengan

    keindahan bahasa atau sastra menurut perspektif para ulama klasik, seperti

    morfologi (sharf), derivasi (isytiqaq), sintaksis (nahw), semiotic (ma‟ani),

    stilistika (bayan), elokuensi (badi‟), sajak dan sanjak („arudhwaqafiyah),

    ragam tulisan (khatt), komposisi (insya‟) dan retorika (khitabah).

    Sedangkan di masa kontemporer, al-adab yang umumnya disebut ‗ilm

    al-adab merupakan disiplin ilmu yang memiliki ruang lingkup atau

    objektifitas yang spesifik, yaitu ilmu tentang adab itu sendiri, sejarah

    (tarikh), geografi (jugrafiyah), ilmu linguistic verbal („ilm al-lisan), dan

    filsafat (falsafah), serta bisa saja mencakup bidang ilmu lain, seperti

    pendidikan dan ilmu pendidikan misalnya (Ibrahim Madkur, 1972:9-10).

    Sementara dalam perspektif lain dinyatakan, dalam bidang

    pendidikan kata adab secara spesifik setidaknya digunakan dalam dua

    makna. Pertama, adab dimaknai sebagai pendidikan anak-anak sehingga

    memiliki etika dan tingkah laku yang baik. Itu sebab, pada masa klasik dan

    pertengahan Islam, kata yang paling sering digunakan untuk orang yang

    mengajar anak-anak adalah mu‟addib, di samping mu‟allim (shibyan).

  • 32

    Materi yang dididikkan, metode dan teknik guru dalam mengajar, hingga

    tujuan dan sasaran pendidikan tercakup dalam konsep adab.

    Makna kedua, dipahami dalam lingkup pendidikan orang dewasa.

    Dalam lingkup ini adab bermakna aturan tingkah laku praktis yang

    dipandang menentukan kesempurnaan proses pendidikan. Adab adalah

    aturan interaksi antar aspek yang terlibat dalam kegiatan pendidikan (Asari

    2011:2).

    Ada pula yang menyimpulkan bahwa adab merujuk pada dua

    makna yang walaupun secara material berbeda namun mempunyai

    semangat yang sama, yaitu keinginan untuk memelihara kesempurnaan.

    Pertama, merujuk pada tingkah laku praktis terkait moralitas

    profesi tertentu (guru, murid, penguasa, sekretaris, hakim dan sebagainya).

    Sedangkan yang kedua, merujuk kepada dimensi intelektual, khususnya

    kemampuan komunikasi yang baik dan elegan. Jadi adab digunakan untuk

    merujuk keseluruhan ilmu dan pengalaman yang dengan sungguh-sungguh

    diupayakan dalam rangka menuntun kehidupan yang benar. Adab juga

    berarti konsep yang tidak cukup hanya diketahui, tetapi lebih penting lagi

    harus dihayati dan dipraktikkan seseorang guna menyempurnakan

    kehidupannya, sebagai nilai diri, sifat, kepribadian, dan karakter yang

    mesti ada pada seseorang jika ia ingin mengurus dirinya dengan baik dan

    dalam mendapatkan kesuksesan dalam kehidupan dunia dan akhirat.

    Dari paparan tentang definisi adab secara terminologis dapat

    diidentifikasi bahwa adab dapat dimaknai sebagai budi pekerti yang baik,

  • 33

    perilaku yang terpuji, jiwa dan akhlak yang terdidik, kedisiplinan untuk

    menjadi orang yang beradab, moral atau moralitas, afeksi, susila, tabiat,

    watak, nilai, etika, dan karakter secara teknis-praktis dapat pula dimaknai

    sebagai tata krama dan sopan santun. Karena adab merujuk pada

    pengenalan dan pengakuan atas tempat, kedudukan dan keadaan yang

    tepat dan benar dalam kehidupan, dan untuk disiplin pribadi agar ikut serta

    secara positif dan rela memainkan peranan seseorang sesuai dengan

    pengenalan dan pengakuan.

    Karena itu, proses beradab (ta‟addub) berarti proses beraktifitas

    yang sesuai dengan keperwiraan diri (muru‟ah). Maka pendidikan adab

    (ta‟dib) sendiri dapat diartikulasikan sebagai pengajaran akhlak-akhlak

    mulia dan pendidikan melalui hukuman (punishment) bagi yang

    menyelisihi dan tidak mengindahkan norma-normanya, dengan

    menjadikan hukuman sebagai latihan (drill) bagi seseorang untuk berlaku

    mulia serta agar dapat menginternalisasikan adab tersebut (beradab).

    Dari deskripsi dan uraian tentang adab secara etimologis dan

    terminologis tersebut, tidak salah bila term adab dianggap ekuivalen dan

    sinonim dengan term karakter. Dalam kamus Inggris-Arab karya Munir

    Ba‘albaki secara etimologis dinyatakan bahwa karakter (character)

    ekuivalen dengan berbagai term berikut, (a) rumus (ramz); (b) huruf

    (harf); (c) karakteristik, kekhususan dan sifat spesifik (khashishah, mizah,

    shifah); (d) akhlak (khuluq); (e) sifat (washf, shifah); (f) kepribadian atau

  • 34

    personalitas (syakhshiyyah); (g) popularitas (sum‟ah, shit); dan (h)

    integritas akhlak (matanah fi al-khuluq) (Munir Ba‘albaki, 1983:104).

    Sementara menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan

    Nasional, karakter sendiri didefinisikan sebagai ―sifat-sifat kejiwaan,

    akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain,

    tabiat, watak‖. Sehingga yang dimaksud ―berkarakter‖ adalah ―memiliki

    karakter, mempunyai kepribadian, berwatak‖, karena karakter tiada lain

    merupakan identitas seseorang yang bersifat permanen yang

    membedakannya dengan orang atau pihak lain. Sedangkan adab dalam

    kamus tersebut diartikulasikan sebagai ―kehalusan dan kebaikan budi

    pekerti ; kesopanan, akhlak‖, maka yang dimaksud beradab adalah (a)

    mempunyai adab, mempunyai budi bahasa yang baik, berlaku sopan; dan

    (b) telah maju tingkat kehidupan lahir batin.

    Dari penelusuran literal-linguistik secara general dan kajian para

    pakar juga dapat dinyatakan bahwa term karakter selain sinonim dengan

    term adab, juga sinonim dengan term akhlaq. Akhlaq (akhlak, moral, tabiat

    atau pekerti) bahkan adalah term penting yang lebih dahulu popular dan

    banyak dijadikan sebagai paradigm dan model pendidikan Islam atau

    karakter Islami.

    Karena itu, menurut Abdul Majid dan Andayani, terkait dengan

    karakter dan pendidikan karakter, dalam Islam sendiri terdapat tiga nilai

    utama, yaitu akhlak, adab, dan keteladanan. Akhlak merujuk kepada tugas

    dan tanggung jawab selain syari‘ah dan ajaran Islam secara umum.

  • 35

    Sedangkan term adab merujuk kepada sikap yang dihubungkan dengan

    tingkah laku yang baik. Dan keteladanan merujuk kepada kualitas karakter

    yang ditampilkan oleh seorang Muslim yang baik yang mengikuti

    keteladanan Nabi Muhammad SAW., yang merupakan teladan dan guru

    yang agung (Abd. Majid 2011:58).

    B. Pengertian Guru

    Kata guru dalam bahasa Indonesia dari bahasa sansekerta, yang

    berarti orang yang digugu atau orang yang dituturi fatwa dan perkataannya.

    Dalam bahasa Arab guru disebut dengan mu‟allim, murabbi, dan muaddib.

    Mu‟allim berasal dari kata „allama kata dasarnya„alima yang artinya

    mengetahui. Istilah mu‟allim diartikan guru yang memiliki kompetensi

    keilmuan yang sangat luas professional menguasai ilmu pengetahuan yang

    akan diajarkan kepada peserta didik.

    Kata murabbi, yang sering diartikan kepada pendidik, berasal dari

    kata rabbya. Kata dasarnya raba, yarbu, yang berarti bertambah atau

    tumbuh. Maka guru sebagai murabbi berarti memiliki peranan dan fungsi

    pertumbuhan, perkembangan, serta menyuburkan intelektual dan jiwa

    peserta didik.

    Guru juga disebut dengan al-mu‟addib. Kata ini merupakan isim

    fail dari kata addaba yang berarti sopan santun. Maka guru sebagai

    mu‟addib memunyai tugas membuat anak didiknya menjadi insan yang

  • 36

    mulia seingga peserta didik memiliki sifat terpuji (Kadar M Yusuf :

    2015:62-64). guru adalah seorang tenaga professional dengan standar

    kompetensi akademik, intelektual, spiritual, keguruan, moral dan sosial

    yang tinggi.

    C. Adab guru terhadap murid dalam kitab adab Al-‘alim wa Muta’allim

    فٝ آدحرخٌؼخٌُ ِغ طالِزحطٗ ٚفيٗ حسرؼش ػشش ٔٛػخِٓ حآلدحد

    حالٚي حْ يمظذ رظؼٍيُّٙ ٚطٙزيُٙ ٚجٗ هللا طؼخٌٝ ٚٔششحٌؼٍُ ٚاديخءحٌششع ٚدٚحَ ظٙٛسحٌذك

    ش رىؼشس ػٍّخثٙخ ٚحغظ ِّ ٕخَ ػٛحرُٙ ٚطذظيً ػٛحد ِٓ يٕظٙٝ حٌيٗ ػٍُّٙ ِٓ ٚخّٛي حٌزخؽً ٚدٚحَ خيشحال

    رؼذُ٘ ٚرشوش دػخءُ٘ ٌٗ ٚطشدُّٙ ػٍيٗ ٚدخٌٛٗ فٝ عخٍ٘ش حٌؼٍُ ريٓ سعٛي هللا ملسو هيلع هللا ىلص ٚريُٕٙ ٚػذٖ فٝ جٍّش

    ِزٍغٝ ٚدٝ هللا طؼخٌٝ ٚحدىخِٗ حٌٝ خٍمٗ فخْ طؼٍيُ حٌؼٍُ ِٓ حُ٘ حِٛسحٌذيٓ ٚحػٍٝ دسجخص حٌّئِٕيٓ لخي ملسو هيلع هللا ىلص

    حْ هللا طؼخٌٝ ِٚالثىظٗ ٚحً٘ حٌغّخٚحص ٚحالسع دظٝ حٌٍّٕش فٝ دجش٘خ يظٍْٛ ػٍٝ ِؼٍُ حٌٕخط

    ُّ الطّٕؼٕخ ػٓ حٌؼٍُ رّخٔغ ٚالطؼمٕخػٕٗ رؼخثك حٌخيشٌٚؼّشن ِخ٘زح حالٔظيذ جغيُ ٚحْ ٔيٍٗ ٌفٛصٖ ػظيُ حٌٍّٙ

    ٚٔؼٛرره ِٓ لٛحؽؼٗ ِٚىذسحطٗ ِٚٛجذ دشِخٔٗ ٚفٛحطٗ.

    Terdapat empat belas akhlak seorang guru terhadap murid-muridnya, yaitu:

    Pertama, hendaknya mengajar dan mendidik murid dengan tujuan

    mendapatkan ridho Allah SWT, menyebarkan ilmu, menghidupkan syariat Islam,

    melanggengkan munculnya kebenaran dan terpendamnya kebatilan, mengharap

    lestarinya kebaikan bagi umat dengan memperbanyak ulama, meraih pahala,

    memperoleh pahala dari orang yang ilmunya akan berpangkal kepadanya, juga

    berharap keberkahan doa dan kasih sayang mereka, menginginkan agar tergolong

    dalam mata rantai para pembawa ilmu dari Rasulullah SAW dan termasuk

  • 37

    golongan para penyampai wahyu Alla SWT dan hukum-hukumNya kepada

    makhlukNya.

    Sedemikian itu karena mengajar ilmu merupakan salah satu urusan

    terpenting dalam agama dan merupakan kedudukan tertinggi bagi orang mukmin.

    Rasulullah bersabda :

    حْ هللا طؼخٌٝ ِٚالثىظٗ ٚحً٘ حٌغّخٚحص ٚحالسع دظٝ حٌٍّٕش فٝ دجش٘خ يظٍْٛ ػٍٝ ِؼٍُ حٌٕخط

    حٌخيش

    “sesungguhnya Allah SWT, malaikat, penghuni langit dan bumi, bahkan

    semut di liangnya bershalawat untuk para pengajar kebaikan kepada umat

    manusia.”

    Sungguh ini adalah ganjaran yang besar dan memperolehnya merupakan

    keuntungan yang tak terhingga. Ya Allah, jangan Engkau halangi kami dari ilmu

    dengan penghalang apapun dan jangan Engkau cegah kami darinya dengan segala

    pencegah. Kami berlindung kepadaMu dari pelbagai pemutus ilmu, pengeruh,

    penyebab terhalang dan terhindar darinya.

    Hendaknya seorang pendidik mengajar dengan mendidik murid dengan

    tujuan mendapatkan ridho dari Allah, menyebarkan ilmu, menghidupkan syariat

    Islam, melanggengkan munculnya kebenaran dan terpendamnya kebatilan,

    mengharap lestarinya kebaikan dengan memperbanyak ilmuwan dan meraih

    pahala dari ilmunya yang ilmunya berpangkal padanya, di mana terdapat dalam

    kitab adab al-„Alim wa al-Muta‟allim (Hasyim Asyari, 1925:81) .

  • 38

    حٌطخٌذ ٌؼذَ خٍٛص ٔيظٗ، فخْ دغٓ حٌٕيش ِشجٛ رزشوش حٌؼٍُ لخي ٚحٌؼخٔٝ حْ اليّظٕغ ػٓ طؼٍيُ

    رؼغ حٌغٍف ؽٍزٕخ حٌؼٍُ ٌغيش هللا فخرٝ حٌؼٍُ حْ يىْٛ حالهللا، ليً ِؼٕخٖ فىخْ ػخلزظٗ حْ طخسهلل، ٚالْ

    حخالص حٌٕيّش ٌٛششؽ فٝ طؼٍيُ حٌّزظذثيٓ ِغ ػغشٖ ػٍٝ وؼيش ُِٕٙ ألرٜ رٌه حٌٝ طفٛيض حٌؼٍُ ػٍٝ وؼيش ِٓ

    خط، ٌٚىٓ حٌؼخٌُ يذشع حٌّزظذة ػٍٝ دغٓ حٌٕيّش رظذسيج لٛال ٚفؼال، ٚيؼشفٗ حٔٗ رزشوض دغٓ حٌٕيّشً يٕخي حٌٕ

    حٌشطزش حٌؼٍّيش ِٓ حٌؼٍُ ٚحٌؼًّ ٚفيغ حٌٍطخثف ٚحٔٛحع حٌذىُ ٚطٕٛيش حٌمٍذ، ٚحٔششحح حٌظذس ٚاطخرش حٌذك

    فٝ حٌؼٍُ ٚؽٍزٗ فٝ حوؼشحالٚلخص ٚدغٓ حٌذخي ٚحٌظغذيذ فٝ حٌّمخي ٚػٍٛحٌذسجخص يَٛ حٌميخِش، ٚيشغزٗ

    رذوشِخحػذ هللا طؼخٌٝ ٌٍؼٍّخء ِٓ ِٕخصي حٌىشحِخص، فخُٔٙ ٚسػش حالٔزيخء ٚػٍٝ ِٕخرش ِٓ ٔٛسيغزطُٙ حالٔزيخء

    خ ٚسدفٝ فؼً حٌؼٍُ ٚحٌؼٍّخء ِٓ حاليخص ٚحالخزخس ٚحالػش ٚحالشؼخس، ٚلذ روشص ّّ ٚحٌشٙذحء ٚٔذٛ رٌه ِ

    ِغ رٌه رظذسيج ػٍٝ ِخ يؼيٓ ػٍٝ طذظيٍٗ ِٓ حاللظظخس ػٍٝ حٌّيغٛس، رؼغ رٌه فٝ حٌزخد حالٚي، ٚيشغزٗ

    ُّ رغززٙخ، فخْ حٔظشحف حٌمٍذ ػٓ ٜشىٚلذسحٌىفخيش ِٓ حٌذٔيخ ػٓ شغً حٌمٍذ رخٌظؼٍك رٙخ ٚغٍزشحٌف ٚطفشيك حٌٙ

    ٝ رخٌذٔيخ ٚحإلوؼخس ِٕٙخ ٚحٌظؤعف ػٍٝ فخثظٙخ حجّغ ٌمٍزٗ ٚحسٚح ٌذيٕٗ ٚحششف ٌٕفغٗ ٚ حػٍ عطؼٍك حألؽّخ

    ٌّىخٔظٗ ٚحلً ٌذّغخدٖ ٚحجذس ٌذفع حٌؼٍُ ٚحصديخدٖ، ٌٚزح لً ِٓ ٔخي ِٓ حٌؼٍُ ٔظيزخ ٚحفًش حالِٓ وخْ فٝ ِزخدٜ

    طذظيٍٗ ػٍٝ ِخ روشص ِٓ حٌفمش ٚحٌمٕخػش ٚحإلػشحع ػٓ ؽٍذ حٌذٔيخ ٚػشػٙخ حٌفخٔٝ.

    Kedua, menghindari sikap tidak mau mengajar murid yang tidak tulus

    niatnya, karena sesungguhnya ketulusan niat masih ada harapan terwujud sebab

    berkah dari ilmu itu sendiri. Sebagian ulama salaf berkata, ―Aku mencari ilmu

    bukan karena Allah. Namun, ilmu itu akhirnya menolak didekati jika tidak

    diniatkan untuk Allah.‖ Artinya, pada akhirnya ilmu itu yang akan membimbing

    kepada Allah. Dan karena niat yang tulus jika disyaratkan dalam mengajar para

    pemula yang kebanyakan dari mereka kesulitan dalam menata niat, maka akan

  • 39

    berdampak pada terputusnya kesempatan banyak orang untuk memperoleh ilmu.

    Meskipun demikian, seorang guru secara bertahap memotivasi murid pemula agar

    memiliki tujuan belajar yang luhur, baik bentuk kata-kata maupun perbuatan

    nyata. Dan mengingatkan mereka bahwa dengan berkah ilmu akan dicapai derajat

    yang tinggi dalam hal ilmu dan amal, juga kedalaman berfikir yang melimpah,

    hikmah yang beraneka ragam, hati yang bersih lagi lapang, kemampuan

    mengenali yang benar, tingkah yang baik, perkataan yang jujur, dan pangkat yang

    luhur pada hari kiamat.

    Guru hendaknya sering mendorong murid pemula untuk mencintai ilmu

    dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya dengan menyebutkan apa yang telah

    disiapkan Allah untuk orang-orang yang berilmu, yakni kedudukan yang mulia,

    dan bahwa mereka adalah pewaris para nabi, bahwa di akhirat akan ditempatkan

    di atas panggung-panggung dari cahaya, dan berbagai hal lain yang terkait dengan

    keutamaan ilmu dan ulama yang dijelaskan dalam ayat Al-Qur‘an, hadis, berita

    tentang orang terdahulu, dan juga syair-syair. Dan aku telah menyebutkan

    sebagian keutamaan ilmu dan ulama tersebut dalam bab satu.

    Guru membimbing murid secara perlahan dengan memberikan tips sukses

    dalam belajar seperti memulai dari perkara yang mudah, mencukupkan diri dari

    dunia sekadar yang diperlukan saja, dan tidak menyibukkan diri dengan

    menggantungkan hidup padanya, tidak menjejali pikiran dengan urusan duniawi

    dan dibuat bingung olehnya. Sebab hati yang terjauhkan dari ketergantungan sifat

    tamak terhadap dunia, menumpuk-numpuk harta, dan merasa sedih ketika harus

    kehilangannya bisa menghasilkan konsentrasi bagi hati, ketenangan dalam agama,

  • 40

    kemuliaan jiwa, keluhuran martabat, dan menjauhkan diri dari memiliki banyak

    penghasut, juga begitu cocok untuk menghafal ilmu dan mengembangkannya.

    Oleh karena itu, sedikit orang yang mendapatkan jatah ilmu yang

    melimpah kecuali mereka yang sejak awal mencari ilmu telah terbiasa

    menerapkan apa yang telah aku sebutkan di muka,yakni kefakiran, qona‘ah,

    berpaling dari ambisi memburu dunia beserta harta bendanya yang fana.

    Seorang pendidik hendaknya menghindari sikap tidak mau mengajar

    murid yang tidak tulus niatnya, karena sesungguhnya ketulusan niat masih ada

    harapan terwujud sebab berkah dari ilmu itu sendiri hal ini ada dalam kitab adab

    al-„Alim wa al-Muta‟allim (Hasyim Asy‘ari, 1925:81-83 ) .

    ٚحٌؼخٌغ حْ يذذ ٌطخ ٌزٗ ِخ يذذ ٌٕفغٗ وّخ ٚسد فٝ حٌذذيغ ٚيىشٖ ٌٕفغٗ، ٚيؼظٕٝ رّظخٌخ

    حٌطخٌذ، ٚيؼخٍِٗ رّخ يؼخًِ حػضحٚالدٖ ِٓ حٌذٕٛ ٚحٌشفمش ػٍيٗ ٚحإلدغخْ حٌيٗ ٚحٌظزش ػٍٝ جفخٖ ٚػٍٝ ِخ

    ذ حإلِىخْ، ٚلغ ِٕٗ ِٓ ٔمض ال يىخد يخٍٛ حالٔغخْ ػٕٗ ٚعٛء حدد فٝ رؼغ حالديخْ، ٚيزغؾ ػزسٖ رذغ

    ٚطذغيٓ خٍمٗ ظِٗغ رٌه ػٍٝ ِخ طذس ِٕٗ رٕظخ ٚطٍطف الرظؼٕيف ٚطؼّغك، ٚيمظذ رزٌه دغٓ طشري ٗٚيٛلف

    ٚاطالح شؤٔٗ، فخْ ػشف رٌه ٌزوخثٗ رخإلشخسس فال دخجش حٌٝ طشيخ حٌؼزخسس، ٚحْ ٌُ يفُٙ رٌه حالرظشيذٙخ

    ػٍٝ حالخالق حٌّشػيش، ٚيٛطيٗ حطٝ رٗ، ٚسحػٝ حٌظذسيج ٚحٌظٍطف ٚيئدرٗ رخآلدحد حٌغٕيش، ٚيذشػٗ

    رخالِٛس حٌؼشفيش، ٚػٍٝ حالٚػخع حٌششػيش .

    Ketiga, mendekatkan murid dengan sesuatu yang menurut guru terpuji,

    seperti anjuran hadis, dan menjauhkan murid dari apa yang menurut guru tercela.

    Memperhatikan kemaslahatan murid, memperlakukannya sebagaimana guru

  • 41

    tersebut memperlakukan anak kesayangannya, yakni dengan penuh kasih sayang

    dan kelembutan, berlaku baik padanya, bersabar atas kekasaran dan segala

    kekurangannya karena pada suatu waktu manusia tidak lepas dari kekurangan dan

    ketidaksopanan, menerima dengan lapang dada alasan-alasanya yang dipandang

    masih mungkin dapat ditoleransi, disertai upaya untuk meredam perilaku kasarnya

    dengan nasihat dan kelembutan bukan dengan cara yang keras dan kasar. Dalam

    tindakannya itu, guru brtujuan untuk mendidik murid dengan baik, mempercantik

    akhlaknya, dan memperbaiki tingkah lakunya. Bila murid memiliki kecerdasan

    untuk memahami isyarat, maka teguran tidak perlu diekspresikan dengan kalimat

    tegas.

    Tapi bila murid hanya bias mengerti teguran dengan bahasa yang lugas,

    maka guru boleh menggunakannya. Tapi dalam hal ini, guru juga harus

    memperhatikan pentingnya metode penahapan dan kelembutan. Guru harus

    mendidik murid dengan etika yang baik, mendorongnya untuk berperangai dengan

    akhlak yang diridhai, menghimbaunya agar melakukan kebajikan, dan senantiasa

    berada dalam koridor-koridor syarat.

    Pendidik harus mendekatkan murid dengan sesuatu yang menurut guru

    terpuji, seperti anjuran hadis, dan menjauhkan murid dari apa yang menurut guru

    tercela. Guru harus mendidik murid dengan etika yang baik, mendorongnya untuk

    berperangai yang diridoi, menghimbau agar melakukan kebajikan dan senantiasa

    dalam koridor-koridor syariat menurut pengarang kitab adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim (Hasyim Asy‘ari, 1925:83-84) .

  • 42

    ٚحٌشحرغ حْ يغّخ ٌٗ رغٌٙٛش حإلٌمخء فٝ طؼٍيّٗ ٚدغٓ حٌظٍفع فٝ طفٙيّٗ، العيّخ حرح وخْ ح٘ال ٌزٌه

    ِٗ ٚدشطٗ ػٍٝ ػزؾ حٌفٛحثذ ٚدفع حٌٕٛحدس، ٚاليذخشػٕٗ ِٓ حٔٛحع حٌؼٍَٛ ِخ يغؤٌٗ ٌذغٓ حدرٗ ٚجٛدس ؽٍز

    ًّ٘ ٌٗ ٚ٘ٛ حً٘ ٌٗ، الْ رٌه سرّخ يٛدش حٌظذس ٚيٕفش حٌمٍذ ٚيٛسع حٌٛدشش، ٚوزٌ ه اليٍمٝ حٌيٗ ِخ ٌُ يظؤ

    الْ رٌه يزشد رٕ٘ٗ ٚيفمشق فّٙٗ ، ٚحْ عؤٌٗ حٌطخٌذ شيؤ ِٓ رٌه ٌُ طجزٗ ٚيؼشفٗ حْ رٌه يؼشٖ ٚاليٕفؼٗ

    ًّ٘ ٚحْ ِٕؼٗ حيّخٖ ِٕٗ ٌٍشفؼش ػٍيٗ ٚحٌٍطف رٗ ال ٌزخً ػٍيٗ ، ػُ يشغزٗ ػٕذ رٌه فٝ حالجظٙخد ٚحٌظذظيً ٌيظؤ

    ٌزخخسٜ فٝ طفغيش حٌشرّخ ٔٝ حٔٗ حٌزٜ يشرٝ حٌٕخط رظغخس حٌؼٍُ لزً وزخسٖ.ٌزٌه ٚغيشٖ ، ٚلذ لخي حالِخَ ح

    Keempat, mempermudah murid dengan bahasa penyampaian yang mudah

    dicerna ketika mengajar dan dengan bahasa tutur yang baik tatkala memberikan

    pemahaman. Terlebih lagi jika murid memang layak diperlakukan seperti itu .

    demikian itu tidak lain demi terbentuknya etika murid yang baik, proses pencarian

    ilmu yang efektif, serta antusiasme belajar tentang informasi-informasi yang

    berguna dan mengingat hal-hal yang unik dan langka. Jangan sampai

    menyembunyikan ilmu yang kebetulan ditanyakan murid, padahal guru

    menguasai ilmu tersebut. Sebab bisa jadi hal itu menimbulkan perasaan tidak enak

    di dada, membuat hati muak, dan mendatangkan kegelisahan. Begitu pula jangan

    sekali-kali menyampaikan sesuatu hal yang belum guru kuasai dengan baik, sebab

    itu hanya akan membekukan pikiran dan membuyarkan pemahaman murrid. Jika

    murid menanyakan sesuatu materi yang tidak guru kuasai, maka tidak perlu

    menjawabnya dan mengingatkan bahwa hal itu hanya akan merugikan dan sama

    sekali tidak berguna. Pelarangan guru terhadap murid terhadap dari hal tersebut

    didasari rasa kasih sayang guru pada murid, bukan karena guru pelit bagi-bagi

    ilmu. Bersamaan itu pula, guru mengajak murid agar bersungguh-sungguh dalam

  • 43

    belajar dan menuntut ilmu supaya menguasai materi tersebut dan yang lainnya.

    Imam Bukhori berkata dalam Tafsir Rabbani, bahwa beliau mendidik orang

    banyak dengan ilmu yang ringan sebelum mengajarkan ilmu yang berat.

    Ketika mengajar pendidik hendaknya mempermudah murid dengan bahasa

    penyampaian yang mudah di cerna dan bahasa tutur yang baik. Terlebih lagi jika

    murid memang layak diperlakukan seperti itu dalam kitab adab al-„Alim wa

    al-Muta‟allim (Hasyim Asy‘ari, 1925:84-85).

    ٚحٌخخِظ حْ يذشص ػٍٝ طؼٍيّٗ ٚطفٙيّٗ رززي جٙذٖ ٚطمشيذ حٌّؼٕٝ ِٓ غيش اوؼخس اليذظٍّٗ رٕ٘ٗ

    حٌز٘ٓ حٌؼزخسس فيٗ ٚيذظغذ اػخدس حٌششح ٌٗ ٚطىشحسٖ ، ٚيزذأٖ فحٚ رغؾ ال يؼزطٗ دفظٗ، ٚيٛػخ ٌّظٛل

    ًّ٘ ٌفُٙ رظظٛيش حٌّغخثً ٚيٛػذٙخ رخالِؼٍش ٚروش حٌذالثً، ٚيمظظش ػٍٝ طظٛيش حٌّغجٍش ٚطّؼيٍٙ خ ٌّٓ ٌُ يظؤ

    ٍّٙخ، ٚيزيٓ ٌٗ ِؼخٔٝ حعشحس دىّٙخ ٚػٍٍٙخ ِٚخ يظؼٍك رظٍه ّّ ِؤخز٘خ ٚدٌيٍٙخ، ٚيزوش حالدٌش ٚحٌّؤخز ٌّذ

    حٌّغجٍش ِٓ فشع ٚحطً، ِٚٓ ُٚ٘ فيٙخ فٝ دىُ ٚطخشيج ٚٔمً رؼزخسس دغٕش حالدحء رؼيذس ػٓ طٕميض حدذ ِٓ

    ف حٌٕمٛي حٌظذيذش، ٚيزوش ِخ يشخ رٗ طٍه حٌّغؤٌش ٚيٍظزظ حٌؼٍّخء، ٚيمظذ رزيخْ رٌه حٌُٛ٘ حٌٕظيذش ٚطؼشي

    رٙخ ِٚخ يفخسلٙخ ِٚخ يمخسرٙخ، ٚيزيٓ ِؤخز حٌذىّيٓ ٚحٌفشق ريٓ حٌّغؤٌظيٓ، ٚال يّظٕغ ِٓ روش ٌفظش يُغظذيخ ِٓ

    ٘خ فخْ وخٔض حٌىٕخيش طفيذ ِؼٕخ٘خ ٚطذّظً ِمظؼخ٘خ شروش٘خ ػخدس حْ حدظيج حٌيٙخ ٌُٚ يظُ حٌظٛػيخ حال يزو

    يال رّيٕخ ٌُ يظشح رزوش٘خ رً يىظفٝ رخٌىٕخيش ػٕٙخ، ٚوزٌه حرحوخْ فٝ حٌّجٍظ ِٓ اليٍيك روش٘خ طذظ

    رذؼٛسٖ ٌذيخء حٌٚخفخء فيىٕٝ ػٓ طٍه حٌٍفظش رغيش٘خ، ٌٚٙزٖ حٌّؼخٔٝ ٚحخظالف حٌذخي ٚسد فٝ حٌذذيغ

    ٍك رٗ ػٍٝ حٌطٍزش حٌظظشيخ طخسس ٚحٌىٕخيش حخشٜ، ٚحرح فشؽ حٌشيخ ِٓ ششح دسط فال رؤط رطشح ِغؤثً طظؼ

    ُٙ ٚظزطُٙ ٌّخ ششح ٌُٙ، فّٓ ظٙش ٌٗ حعظذىخَ فّٙٗ رظىشحس حإلطخرش فٝ جٛحد شىشٖ، ِٚٓ َّ يّظذٓ رٙخ فَٙ

    ٌُ يفّٙٗ طٍطف فٝ اػخدطٗ ٌٗ، ٚحٌّمظٛد رطشح حٌّغخثً حْ حٌطخٌذ سرّخ حعظذيخ ِٓ لٌٛٗ ٌُ حفُٙ اِخ ٌشفغ

    حٌذخػشيٓ حٚ ٌجال طظؤخش لشحءطُٙ رغززٗ، ٌٚزٌه ليً دس ػٍٝ حٌشيخ حٌٚؼيك حٌٛلض حٚ ٌذيخء ِٓػخوٍفش حإل

    اليٕزغٝ ٌٍشيخ حْ يمٛي ٌٍطخٌذ ً٘ فَّٙض حال حرح حِٓ ِٓ لٌٛٗ ٔؼُ لزً حْ يفُٙ، فخْ ٌُ يَؤِٓ ِٓ رٌه ٌذيخء

  • 44

    سرّخ يٛلؼٗ فٝ حٌىزد رمٌٛٗ ٔؼُ ٌّخ لذِٕخ ٖ ِٓ حالعزخد، رً يطشح ػٍيٗ ّٔٗحٚغيشٖ فال يغؤٌٗ ػٓ فّٙٗ، ال

    وّخ روشٔخٖ، فخْ عؤٌٗ حٌشيخ ػٓ فّٙٗ فمخي ٔؼُ فال يطشح ػٍيٗ حٌّغخثً رؼذ رٌه حالحْ يغظذػَي حٌّغخثً

    حٌطخٌذ رٌه الدظّخي خجٍٗ رظٙٛس خالف ِخ أجخد رٗ، ٚيٕزغٝ ٌٍشيخ حْ يؤِشحٌطٍزش رخٌّٛحفمش فٝ حٌذسط وّخ

    حر٘خُٔٙ ٚيشعخ فٝ حفٙخُِٙ ٚالٔٗ عيؤطٝ حْ شخء هللا طؼخٌىٝ، ٚربػخدس حٌششح رؼذ فشحغٗ فيّخ ريُٕٙ ٌيؼزض فٝ

    .يذؼزُٙ ػٍٝ حشغخي حٌفىش ِٚئخزس حٌٕفظ رطٍذ حٌظذميك

    Kelima, bersemangat dalam mengajar dan menyampaikan pemahaman

    kepada murid dengan mengerahkan segenap kemampuan. Berusaha meringkas

    penjelasan tanpa panjang lebar dan terlalu dalam yang mengakibatkan pikiran

    murid tidak mampu menampung dan merekamnya. Menerangkan pada murid

    yang lambat pemikirannya dengan bahasa yang segamblang-gamblangnya dan

    bermurah hati untuk mengulangi keterangan. Mulailah menjelaskan gambaran

    masalah disertai contoh berikut dalil argumentasinya. Cukupkan dengan

    gambaran masalah dan contoh (tanpa dalil), bila murid belum bias memahami

    dasar pengambilan dan dalil suatu masalah. Guru menjelaskan makna

    rahasia-rahasi di balik hukum suatu masalah, ‗illat (sebab timbulnya hukum), dan

    hal-hal lain yang berhubungan dengan masalah tersebut, baik merupakan cabang

    (furu‟), maupun pokok (usul) persoalan. Juga uraikan kerancuan yang mungkin

    timbul dalam hukumnya, takhrij dalilnya, atau penukilan riwayatnya, yang

    disebabkan oleh munculnya redaksi yang cukup informative serta tidak ada

    komentar miring dari seorang ulama pun. Tujuan guru dalam mengemukakan

    kerancuan tersebut adalah sebagai upaya memberikan nasihat dan pengenalan

    riwayat yang valid. Sebutkan juga masalah lain yang memiliki kesamaan,

  • 45

    keserupaan, perbedaan, dan yang berdekatan dengan masalah tersebut, disertai

    penyebutan dasar pengambilan kedua hukum dan perbedaan kedua masalah.

    Jangan enggan menyebutkan kata yang tidak pantas diucapkan menurut

    kebiasaan, bila hal itu memang diperlukan, dan bila penjelasan yang diberikan

    guru kurang sempurna bila tidak memakai kata tersebut. Tapi bila kata itu dapat

    dimengerti makna dan pengertiannya karena diungkapkan secara jelas lewat

    kiasan, maka cukup menggunakan kiasan dan tidak usah menyebutkan kata

    aslinya langsung. Tatkala dalam majlis ada sebuah nama yang tidak pantas

    disebutkan, karena orang yang bersangkutan hadir sehingga bisa membuatnya

    malu, atau karena masalah yang dibicarakan sangat tersembunyi sifatnya, maka

    kata-kata yang dimaksud sebaiknya diungkapkan dengan kiasan saja. Karena

    banyaknya kata untuk mengungkapkan maksud dan tuntutan kondisi yang

    berbeda-beda, maka wajar bila dalam hadis terkadang memuat kata asli dan

    terkadang pula memakai kata kiasan.

    Bila guru selesai menerangkan pelajaran, boleh mengajukan beberapa

    pertanyaan kepada murid-murid untuk menguji pemahaman dan daya tangkap

    mereka terhadap apa yang telah disampaikan guru. Ucapkan terima kasih kepada

    murid yang tampak kuat pemahamannya sebab sering menjawab dengan benar.

    Sedangkan bagi murid yang belum paham, guru harus bersikap lembut dengan

    kesediannya mengulangi penjelasan. Maksud pelemparan soal-soal kepada murid

    terkait dengan kebiasaan murid yang sering merasa malu untuk mengatakan,

    ―tidak mengerti‖ mungkin karena takut membebani guru dalam mengulang

  • 46

    keterangan, atau karena waktu yang terbatas, atau karena malu dengan

    teman-temannya, atau karena bisa jadi karena murid takut menghambat proses

    pembelajaran yang diakibatkan oleh ketidakpahamannya.

    Oleh sebab itulah, dikatakan bahwa tidak sepatutnya guru bertanya pada

    murid, ―apakah kamu paham?‖ pertanyaan ini boleh dikemukakan kalau guru

    yakin akan terhindar dari jawaban murid, ―ya, paham‖ padahal murid tidak

    mengerti. Tapi bila ada kekhawatiran aka nada jawaban, ―paham‖ padahal tidak

    paham, entah karena malu atau lainnya, maka guru tidak usah menanyakan paham

    tidaknya kepada murid. Karena mungkin murid akan berbohong dengan

    mengatakan, ―ya, paham‖ dengan beberapa alasan yang telah dijelaskan di atas.

    Tapi langsung saja ajukan soal-soal kepada murid.

    Jika murid ditanya guru paham tidaknya suatu materi, lalu dia menjawab

    paham, maka guru tidak boleh melontarkan soal-soal lagi, kecuali bila murid

    memintanya, sebab mungkin murid akan malu bila ternyata setelah diberi

    soal-soal oleh guru, murid tidak bias menjawabnya.

    Seyogyanya guru menyuruh murid untuk melakukan kegiatan belajar

    bersama sebagaimana keterangan yang akan datang nanti, insyaallah.

    Menganjurkan untuk mengulang-ulang penjelasan setelah materi selesai secara

    berkelompok, dengan tujuan agar ingatan mereka semakin kuat dan pemahaman

    mereka semakin kokoh. Dan karena guru juga diminta untuk selalu mendorong

    murid-muridnya agar senantiasa berpikir dan menekan hawa nafsu dengan cara

    meminta mereka mematangkan ilmu.

  • 47

    Guru hendaknya bersemangat dalam mengajar dan menyampaikan

    pemahaman kepada murid dengan mengerahkan segenap kemampuan. Berusaha

    meringkas penjelasan tanpa panjang lebar dan terlalu dalam yang mengakibatkan

    pikiran murid tidak mampu menampung dan merekamnya. Menerangkan pada

    murid yang lambat pemikirannya dengan bahasa yang segamblang-gamblangnya

    dan bermurah hati untuk mengulangi keterangan yang termaktub dalam kitab

    adab al-„Alim wa al-Muta‟allim (Hasyim Asy‘ari, 1925:85-88).

    ٚحٌغخدط حْ يطٍذ ِٓ حٌطٍزش فٝ رؼغ حالٚلخص اػخدس حٌّذفٛظخص، ٚيّظذٓ ػزطُٙ ٌّخ لذَ ٌُٙ

    ِٓ حٌمٛحػذ حٌّزّٙش ٚحٌّغخثً حٌغشريش، ٚيخظزشُ٘ رّغخثً طٕزٕٝ ػٍٝ حطً لشسٖ حٚدٌيً روشٖ، فّٓ سآٖ

    خُ٘ ػٍٝ ِظيزخ فٝ حٌجٛحد ٌُٚ يخف ػٍيٗ ِفغذس حالػجخد شىشٖ ٚأػٕٝ ػٍيٗ ريٓ حطذخرٗ ٌيزؼؼٗ ٚحيّ

    ش ّّ ّٕفٗ ػٍٝ لظٛسٖ ٚدشػٗ ػٍٝ ػٍٛحٌٙ حالجظٙخد فٝ ؽٍذ حالصديخد، ِٚٓ سآٖ ِمظشح ٌُٚ يخف ٔفٛسٖ ػ

    ٚٔيً حٌّٕضٌش فٝ ؽٍذ حٌؼٍُ، العيّّخ حْ وخْ ِّٓ يضيذٖ حٌظؼٕيف ٔشخؽخ ٚحٌشىشحٔغخؽخ، ٚيؼيذ ِخ يمظؼٝ

    حٌذخي حػخدطٗ ٌيفّٙٗ حٌطخٌذ.

    Keenam, meminta murid-muridnya menyediakan waktu untuk

    mengulang-ulang hafalan. Menguji kecermatan mereka dalam mengingat

    kaidah-kaidah yang rumit masalah-masalah langka yang telah dijelaskan.

    Mengetes mereka dengan berbagai masalah yang berpangkal pada satu hokum

    pokok yang telah ditetapkan atau bersandar pada satu dalil yang telah disebutkan

    sebelumnya.

  • 48

    Ucapkan terima kasih pada murid yang mampu menjawab dengan benar,

    bila hal itu tidak menimbulkan rasa sombong padanya. Serta memuji murid

    tersebut di depan teman-temannya agar menjadi motivasi bagi dia dan yang lain

    untuk bersungguh-sungguh dalam menambah pengetahuan.

    Kasih teguran tegas dan arahan keras kepada murid yang dianggap

    pemalas, jika guru tidak khawatir murid tersebut lari darinya, betapa pentingnya

    motivasi yang tinggi dan kedudukan yang mulya dalam mencari ilmu. Lebih-lebih

    jika murid tersebut tipikal orang yang semakin bersemangat jika dikerasi dan

    semakin bertenaga jika diapresiasi. Menjelaskan ulang hal-hal yang menuntut

    diulang kembali penjelasannya, agar pemahaman murid tambah kuat.

    Di sebagian waktu, guru harus meminta murid untuk mengulangi hafalan

    ilmu dan menguji pemahaman atas materi yang telah disampaikan terdiri dari

    kaidah-kaidah samar yang belum jelas dan masalah- masalah langka sebagaimana

    dalam kitab adab al-„Alim wa al-Muta‟allim (Hasyim Asy‘ari, 1925:88).

    ٚحٌغخرغ حٔٗ حرحعٍه حٌطخٌذ فٝ حٌظذظيً فٛق ِخ يمؼيٗ دخٌٗ حِٚخ يذظٍّٗ ؽخلظٗ ٚخخف حٌشيخ

    ػجشٖ حٚطخٖ رخٌشفك رٕفغٗ ٚروشٖ رمٌٛٗ ملسو هيلع هللا ىلص حْ حٌّٕزض الحسػخ لطغ ٚالظٙشحأرمٝ، ٚيذٍّٗ ػٍٝ حالَٔخس

    حِشٖ رخٌشحدش ٚطخفيف حالشظغخي، ٚاللظظخد فٝ حالجظٙخد، ٚحرح ظٙش ِٕٗ ٔٛع عجآِش حٚ ػجشحٚ ِزخدٜ رٌه

    ٚال يشيش ػٍٝ حٌطخٌذ رظؼٍُ ِخ اليذظٍّٗ فّٙٗ حِٚعٕٗ ٚالرىظخرش ِخ يٕفشرٕ٘ٗ ػٓ فّٙٗ، ٚحْ عظشخسٖ ِٓ ال

    يؼشف دخٌٗ فٝ حٌفُٙ ٚحٌذفع فٝ لشحءس فٓ حٚوظخد ٌُ يشش ػٍيٗ رشٝء دظٝ يجشد رٕ٘ٗ ٚيؼٍُ دخٌٗ، فخْ ٌُ

    ٗ جيّذح ٔمٍٗ حٌٝ يذظًّ حٌذخي حٌظؤخيش أشخس ػٍيٗ رى َّ ظخد عًٙ ِٓ حٌفٓ حٌّطٍٛد، فخْ سأٜ رٕ٘ٗ لخرال ٚفٙ

    وظخد يٍيك رزٕ٘ٗ، ٚحالطشوٗ، ٚرٌه الْ ٔمً حٌطخٌذ حٌٝ ِخ يذي ٔمٍٗ حٌيٗ ػٍٝ جٛدس رٕ٘ٗ يضيذ حٔزغخؽٗ،ٚحٌٝ

    رً يمذَّ ِخ يذي ػٍٝ لظٛسٖ يمًٍّ ٔشخؽٗ، ٚال يّىٓ حٌطخٌذ ِٓ حالشظغخي فٝ فٕيٓ حٚ حوؼش حرح ٌُ يؼزطّٙخ،

  • 49

    ّٓ أشخس ػٍيٗ رظشوٗ ٚحالٔظمخي حٌٝ غيشٖ ِّخ يشجٝ َُّ، ٚحرحػٍُ حٚ غٍذ ػٍٝ ظٕٗ حّٔٗ اليفٍخ فٝ ف حالُ٘ فخال٘

    فيٗ فال دٗ.

    Ketuju