2 tinjauan pustaka - repository.ipb.ac.id · berikut merupakan beberapa alat tangkap yang biasa...

28
2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sumberdaya Ikan Ikan didefinisikan sebagai jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan termasuk ke dalam sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat memperbaharui diri sendiri (Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 4). Menurut Nikijuluw (2001) vide Randika (2008), sumberdaya ikan bersifat open access dimana siapa saja dapat berpartisipasi memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa harus memilikinya. Selain itu, Nikijuluw (2001) vide Randika (2008) juga menyatakan bahwa terdapat tiga sifat khusus yang dimiliki sumberdaya ikan, yaitu: 1) Eksludabitas Sifat fisik ikan yang bergerak ditambah lautan yang cukup luas membuat upaya pengendalian dan pengawasan terhadap sumberdaya ikan bagi stakeholder tertentu menjadi sulit. 2) Subtraktabilitas Suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain dalam pemanfaatan sumberdaya, akan tetapi berdampak negatif pada kemampuan orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama. 3) Indivisibilitas Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik bersama sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara administratif pembagian ataupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas manajemen. Sumberdaya ikan dapat dikelompokkan berdasarkan habitat hidupnya, dimana pengelompokkan tersebut terdiri dari sumberdaya ikan pelagis dan sumberdaya ikan demersal. 2.1.1 Sumberdaya ikan pelagis Ikan pelagis adalah ikan yang hidupnya berada pada lapisan permukaan perairan sampai tengah perairan dan hidupnya secara bergerombol baik dengan

Upload: ngodiep

Post on 10-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

7

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Sumberdaya Ikan

Ikan didefinisikan sebagai jenis organisme yang seluruh atau sebagian dari

siklus hidupnya berada di dalam lingkungan perairan. Ikan termasuk ke dalam

sumberdaya yang dapat diperbaharui atau dapat memperbaharui diri sendiri

(Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pasal 1 ayat 4). Menurut

Nikijuluw (2001) vide Randika (2008), sumberdaya ikan bersifat open access

dimana siapa saja dapat berpartisipasi memanfaatkan sumberdaya tersebut tanpa

harus memilikinya. Selain itu, Nikijuluw (2001) vide Randika (2008) juga

menyatakan bahwa terdapat tiga sifat khusus yang dimiliki sumberdaya ikan,

yaitu:

1) Eksludabitas

Sifat fisik ikan yang bergerak ditambah lautan yang cukup luas

membuat upaya pengendalian dan pengawasan terhadap sumberdaya ikan bagi

stakeholder tertentu menjadi sulit.

2) Subtraktabilitas

Suatu situasi dimana seseorang mampu dan dapat menarik sebagian

atau seluruh manfaat dan keuntungan yang dimiliki oleh orang lain dalam

pemanfaatan sumberdaya, akan tetapi berdampak negatif pada kemampuan

orang lain dalam memanfaatkan sumberdaya yang sama.

3) Indivisibilitas

Sifat ini pada hakekatnya menunjukkan fakta bahwa sumberdaya milik

bersama sangat sulit untuk dibagi atau dipisahkan, walaupun secara

administratif pembagian ataupun pemisahan ini dapat dilakukan oleh otoritas

manajemen.

Sumberdaya ikan dapat dikelompokkan berdasarkan habitat hidupnya,

dimana pengelompokkan tersebut terdiri dari sumberdaya ikan pelagis dan

sumberdaya ikan demersal.

2.1.1 Sumberdaya ikan pelagis

Ikan pelagis adalah ikan yang hidupnya berada pada lapisan permukaan

perairan sampai tengah perairan dan hidupnya secara bergerombol baik dengan

8

kelompoknya maupun dengan jenis ikan lainnya. Ikan pelagis memiliki sifat

fototaxis positif dan tertarik pada benda-benda terapung. Adapun ikan pelagis

merupakan ikan yang termasuk ke dalam kelompok perenang cepat (Mukhsin

2002).

Ikan pelagis dikelompokkan menjadi dua oleh Direktorat Jenderal

Perikanan (1998) vide Randika (2008) dimana pengelompokkan tersebut

didasarkan pada ukuran ikan pelagis. Pengelompokkan tersebut yaitu:

1) Pelagis besar

Mempunyai ukuran 100 – 250 cm (ukuran dewasa), umumnya ikan pelagis

besar adalah ikan peruaya dan perenang cepat. Contoh dari ikan pelagis besar

antara lain ikan tuna, cakalang, dan tongkol.

2) Pelagis kecil

Mempunyai ukuran 5 – 50 cm, didominasi oleh enam kelompok besar yaitu

kembung, layang, jenis selar, lemuru dan teri. Ikan pelagis kecil hidup

dilapisan permukaan perairan sampai kedalaman 30 – 60 cm, tergantung pada

kedalaman laut.

2.1.2 Sumberdaya ikan demersal

Ikan demersal adalah ikan yang habitatnya berada pada lapisan dasar

perairan. Widodo (1980) menyatakan bahwa perubahan ikan demersal

berdasarkan sifat ekologinya, yaitu reproduksi yang stabil, hal ini disebabkan

oleh:

1) Habitat di lapisan dasar laut yang relatif stabil, sehingga mengakibatkan daur

hidup ikan demersal juga stabil.

2) Daerah ruayanya yang sempit dan ikan demersal cenderung menempati suatu

daerah dengan tidak membentuk kelompok besar, oleh karena itu besar

sediaannya sangat dipengaruhi oleh luas daerah yang ditempatinya.

Apabila kondisi lingkungan memburuk, ikan demersal tidak mampu untuk

menghindar sehingga dapat mengakibatkan penurunan stok sumberdaya ikan

demersal. Ikan demersal berbeda dengan ikan pelagis yang masih mampu beruaya

ke daerah perairan baru yang lebih baik kondisinya. Ikan demersal pada umumnya

dapat hidup dengan baik pada perairan yang bersubtrat lumpur, lumpur berpasir,

karang dan karang berpasir (Fischer dan Whiteahead 1974 vide Randika 2008).

9

2.2 Ikan Cakalang

Ikan cakalang memiliki nama internasional skipjack tuna dan nama

lokalnya adalah cakalang. Menurut Saanin (1984), ikan cakalang memiliki

klasifikasi ilmiah sebagai berikut:

Kingdom: Animalia

Sub. Kingdom: Metazoa

Filum: Chordata

Sub. Filum: Vertebrata

Kelas: Osteichthyes

Sub. Kelas: Actinopterygii

Ordo: Perciformes

Sub. Ordo: Scombridae

Famili: Scombridae

Genus: Katsuwonus

Spesies: Katsuwonus pelamis

Sumber: www.fishbase.org

Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis)

Ikan cakalang merupakan ikan pelagis besar yang hidup pada kisaran

kedalaman 0 – 260 meter. Panjang maksimum yang dapat dicapai oleh ikan

cakalang adalah 110 cm dan berat maksimum 34,5 kg dengan umur maksimum 12

tahun. Ikan cakalang mengalami matang gonad pada panjang (length at first

maturity) 40 cm (Fishbase 2010). Barkley et al. (FAO 1994) vide Tadjuddah

(2005) menambahkan bahwa ikan cakalang yang berada pada permukaan perairan

tropis merupakan ikan cakalang yang berukuran kecil (kurang dari 4 kg)

10

sedangkan ikan cakalang yang berukuran besar (lebih dari 6,5 kg) berhabitat di

perbatasan termoklin dan beradaptasi dengan perairan sejuk.

Menurut Collette and Nauen (1983), ciri-ciri morfologi untuk ikan

cakalang adalah:

1. bentuk tubuhnya yang fusiform, memanjang, dan agak bulat;

2. taping insang (gill raker) berjumlah 53 – 63 pada helai pertama;

3. mempunyai sirip punggung yang terpisah, dimana pada sirip punggung yang

pertama terdapat 14 – 16 jari-jari keras, sedangkan jari-jari lemah terdapat

pada sirip punggung kedua yang diikuti oleh 7 – 9 finlet;

4. sirip dada pendek;

5. terdapat dua flops diantara sirip perutnya;

6. sirip anal diikuti dengan 7 – 8 finlet;

7. badan tidak bersisik kecuali pada barut badan (corselets) dan lateral line

terdapat titik-titik kecil;

8. bagian punggung berwarna biru kehitaman (gelap) dan disisi bawah berwarna

keperakan, dengan 4 – 6 buah garis-garis berwarna hitam yang memanjang

pada bagian samping badan.

Ayodhyoa (1981) menjelaskan bahwa ikan cakalang termasuk ikan

perenang cepat dan termasuk ikan yang memiliki sifat makan rakus. Ikan cakalang

merupakan jenis ikan bergerombol yang bersamaan melakukan ruaya dengan cara

bergerombol disekitar pulau maupun jarak jauh.

2.3 Alat Tangkap Ikan Cakalang

Ikan cakalang dapat ditangkap dengan menggunakan berbagai alat tangkap

yang dapat menangkap ikan pelagis. Namun, ikan cakalang dapat pula tertangkap

secara sengaja maupun tidak sengaja oleh alat tangkap yang khusus untuk

menangkap ikan demersal. Berikut merupakan beberapa alat tangkap yang biasa

digunakan untuk menangkap ikan cakalang di Provinsi Nusa Tenggara Barat:

2.3.1 Purse seine

Baskoro (2002) menjelaskan bahwa purse seine (pukat cincin) adalah

jaring yang umumnya berbentuk empat persegi panjang yang dilengkapi dengan

tali kerut yang dilewatkan melalui cincin yang diikatkan pada bagian bawah jaring

11

(tali ris bawah), sehingga dengan menarik tali kerut bagian bawah jaring dapat

dikucupkan dan jaring akan berbentuk seperti mangkok. Subani dan Barus (1989)

menambahkan bahwa dengan adanya tali kerut pada purse seine, maka jaring

yang semula tidak berkantong akan berbentuk kantong pada tiap akhir

penangkapan ikan.

Menurut Ayodhyoa (1981), purse seine merupakan alat tangkap yang

efektif untuk menangkap jenis ikan pelagis. Adapun purse seine dioperasikan

dengan cara melingkarkan jaring pada gerombolan ikan, kemudian jaring pada

bagian bawah dikerucutkan. Hal tersebut dilakukan untuk memperkecil ruang

lingkup dari gerak ikan sehingga ikan tidak dapat melarikan diri dan akhirnya

tertangkap.

Purse seine merupakan alat tangkap yang efektif untuk menangkap ikan-

ikan pelagis di sekitar permukaan air. Purse seine dibuat dengan dinding jaring

yang lebih panjang, terkadang mendekati hingga kiloan meter dengan panjang

jaring bagian bawah sama atau lebih panjang dari bagian atas. Dengan bentuk

konstruksi jaring seperti ini, tidak ada kantong yang berbentuk permanen pada

jaring purse seine (Brandt 1984).

Sumber: www.iftfishing.com

Gambar 3 Ilustrasi pengoperasian alat tangkap purse seine

Menurut Subani dan Barus (1989), konstruksi purse seine terdiri dari:

1. Bagian jaring, terdiri dari jaring utama, jaring sayap, dan jaring kantong;

2. Srampatan (selvedge), dipasang pada bagian pinggiran jaring yang berfungsi

memperkuat jaring sewaktu dioperasikan, terutama saat penarikan jaring;

12

3. Tali temali, terdiri atas tali pelampung, tali ris atas, tali ris bawah, tali

pemberat, tali kolor, dan tali selambar;

4. Pelampung;

5. Pemberat;

6. Cincin.

Menurut Potier dan Sadhotomo (1995) vide Chodriyah (2009),

berdasarkan sumberdaya pelagis yang dieksploitasi, bentuk geografi fisik (letak

sungai dan pantai) dan geografi manusia (permodalan, tempat pendaratan dan

pasar yang potensial), maka bentuk perikanan purse seine dapat dibedakan

menjadi tiga jenis yaitu:

1. Perikanan purse seine mini:

Tersebar sepanjang pantai Utara Jawa (terutama Provinsi Jawa Timur) dan

Provinsi Kaimantan Selatan (sekitar Pulau laut). Dengan waktu penangkapan

yang relatif pendek, nelayan pada perikanan purse seine mini mencari jenis-

jenis ikan yang mempunyai nilai komersial tinggi dan dipasarkan secara lokal.

2. Perikanan purse seine sedang:

Terdapat hanya di pelabuhan Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah. Waktu

penangkapan berlangsung antara 6 sampai 15 hari. Hasil tangkapan dijual

secara segar di pelelangan untuk dipasarkan di dalam Provinsi Jawa Tengah

atau provinsi lainnya di Jawa.

3. Perikanan purse seine besar:

Terpusat di Provinsi Jawa Tengah, yaitu Tegal, Pekalongan, Batang, dan

Juwana serta Rembang. Waktu penangkapan dapat mencapai 40 hari. Hasil

tangkapan dijual segar atau asin dan dipasarkan sampai keluar Jawa.

2.3.2 Gillnet

Menurut Ayodhyoa (1981), istilah gillnet berasal dari pemikiran bahwa

ikan-ikan yang tertangkap pada alat tangkap gillnet terjerat pada bagian sekitar

operculum pada mata jaring. Di Indonesia, gillnet sering disebut dengan jaring

insang, jaring rahang, jaring dan lain sebagainya. Selain itu, penamaan gillnet

pada daerah-daerah tertentu beraneka ragam, ada yang menyebutnya berdasarkan

jenis ikan yang tertangkap seperti jaring koro, jaring udang, dan sebagainya. Ada

13

pula yang menyebut gillnet disertai dengan nama tempat seperti jaring udang

bayeman.

Martasuganda (2008) menyatakan bahwa jaring insang (gillnet) adalah

salah satu alat penangkap ikan dari bahan jaring monofilament atau multifilament

yang dibentuk menjadi empat persegi panjang, pada bagian atasnya dilengkapi

dengan beberapa pelampung dan pada bagian bawahnya dilengkapi dengan

beberapa pemberat sehingga dengan adanya dua gaya yang berlawanan

memungkinkan gillnet dapat dipasang di daerah penangkapan dalam keadaan

tegak menghadang biota perairan. Martasuganda (2008) menambahkan bahwa

jumlah mata jaring gillnet ke arah horizontal jauh lebih banyak dibandingkan

dengan mata jaring gillnet ke arah vertikal.

Sumber: http://bcheritage.ca/pacificfisheries/techno/img_tech/draw5m2.jpg

Gambar 4 Alat tangkap gillnet

Metode pengoperasian gillnet umumnya dilakukan secara pasif, tetapi ada

juga yang dioperasikan secara semi aktif atau dioperasikan secara aktif. Gillnet

yang dioperasikan secara pasif umumnya dilakukan pada malam hari dengan atau

tanpa alat bantu cahaya. Sedangkan gillnet yang dioperasikan secara aktif atau

semi aktif, pemasangan jaring insang pada daerah penangkapan umumnya

dilakukan pada siang hari atau dengan cara mengaktifkan jaring supaya ikan

tertangkap atau dengan kata lain tidak menunggu agar ikan memasuki jaring

(Baskoro dan Effendy 2005). Hasil tangkapan gillnet bermacam-macam, namun

alat tangkap ini pada umumnya menangkap ikan-ikan yang termasuk ke dalam

14

ikan pelagis seperti ikan cakalang, lemuru, udang, kembung, tembang, layang, dan

belanak.

Baskoro dan Effendy (2005) menambahkan bahwa alat tangkap gillnet

dapat dikelompokkan menjadi beberapa jenis berdasarkan metode

pengoperasiannya, yaitu drift gillnet (jaring insang hanyut), set gillnet (jaring

insang menetap), encircling gillnet (jaring insanga lingkar), drive gillnet (jaring

insang giring) dan towed gillnet (jaring insang sapu). Selain itu, gillnet dapat pula

dibedakan berdasarkan lokasi pengoperasiannya, yaitu surface gillnet (jaring

insang permukaan), midwater gillnet (jaring insang kolong/pertengahan) dan

bottom gillnet (jaring insang dasar). Martasuganda (2008) menjelaskan pula

bahwa gillnet dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah lembar bahan jaring yang

digunakan, yaitu jaring insang satu lembar (gillnet), jaring insang dua lembar

(semi trammel net/double gillnet) dan jaring insang tiga lembar (trammel net).

2.3.3 Huhate

Nama internasional untuk alat tangkap huhate adalah pole and line. Alat

tangkap huhate merupakan alat tangkap yang termasuk ke dalam klasifikasi

pancing, dimana huhate terdiri dari joran (pole), tali pancing (line) dan mata

pancing tanpa kait (barbless hook). Pada umumnya joran terbuat dari bambu atau

fiberglass. Tali pancing pada huhate terdiri dari tiga bagian, yaitu tali kepala

(head line), tali utama (main line) dan tali pengikat. Tali kepala terletak pada

bagian ujung joran, dimana tali kepala tersebut disambungkan dengan tali utama

(Ilyas 2003).

Mata pancing pada alat tangkap pancing umumnya terbuat dari baja,

namun pada huhate mata pancing yang digunakan adalah mata pancing tanpa kait.

Pada saat kegiatan penangkapan, tangkai mata pancing dipasang umpan buatan

berupa bulu ayam agar mata pancing tidak terlalu mencolok. Namun, adapula

yang menggunakan umpan alami untuk kegiatan perikanan huhate ini. Ukuran

mata pancing yang digunakan untuk alat tangkap huhate sangat bervariasi,

bergantung pada ukuran ikan yang menjadi target penangkapan (Nugraha dan

Rahmat 2008).

15

Dalam kegiatan pengoperasian alat tangkap huhate, ketrampilan nelayan

dalam mengoperasikan alat tangkap huhate merupakan unsur yang sangat penting.

Hal ini dikarenakan kawanan ikan di permukaan sekitar kapal sangat singkat

waktunya sehingga keahlian melempar umpan untuk menarik gerombolan ikan

untuk dapat lama bertahan di sekitar kapal dan ketrampilan pemancing

mendaratkan ikan ke atas dek sangat diperlukan.

Posisi ABK pada saat melakukan kegiatan penangkapan ikan dengan alat

tangkap huhate ditentukan berdasarkan tingkat ketrampilan nelayan. Pemancing

utama, yang tingkat ketrampilannya telah tinggi, berada pada bagian haluan kapal

dimana tempat tersebut merupakan tempat konsentrasi ikan. Sedangkan

pemancing pemula, yang tingkat ketrampilannya masih rendah, berada pada

bagian buritan kapal dan atau pada sisi kapal yang bukan merupakan tempat

berkumpulnya ikan. Jumlah nelayan pada kapal huhate sangat bervariasi,

bergantung pada dimensi kapal huhate yang digunakan untuk kegiatan perikanan

huhate. Semakin besar ukuran kapal maka semakin banyak jumlah nelayan yang

digunakan untuk kegiatan perikanan huhate (Nugraha dan Rahmat 2008).

Kapal yang digunakan untuk kegiatan perikanan huhate memiliki keunikan

yaitu bagian haluan kapal dibuat lebih panjang dari kapal-kapal lainnya dengan

tujuan sebagai tempat untuk kegiatan memancing. Pada setiap sisi kapal

dilengkapi dengan sprayer yang berfungsi sebagai alat penyemprot air yang

ditujukan untuk mengaburkan pandangan ikan target tangkapan. Namun, adapula

yang mengatakan bahwa sprayer tersebut digunakan untuk mengelabui ikan target

tangkapan agar ikan-ikan tersebut mengira bahwa air yang jatuh adalah umpan

yang ditebar sehingga ikan-ikan tersebut mudah untuk dipancing (Ilyas 2003).

Sumber: http://2.bp.blogspot.com/

Gambar 5 Kegiatan penangkapan ikan dengan menggunakan alat tangkap huhate

16

Hasil tangkapan untuk kegiatan perikanan huhate pada umumnya

merupakan jenis ikan tuna. Adapun jenis ikan yang sering ditangkap dengan alat

tangkap huhate adalah ikan cakalang, albacore, tongkol, kakap, dan ikan-ikan

pelagis kecil.

2.3.4 Pancing ulur

Pancing adalah salah satu alat tangkap yang paling umum dikenal oleh

masyarakat, terutama di kalangan nelayan. Pada prinsipnya, pancing terdiri dari

dua komponen utama yaitu tali (line) dan mata pancing (hook). Tali pancing

biasanya terbuat dari benang katun, nylon, polyethylen, plastik (senar), dan lain-

lain. Mata pancing dibuat dari kawat baja, kuningan, atau bahan lain yang tahan

karat. Pada umumnya ujung mata pancing tersebut berkait balik, namun ada juga

yang tanpa berkait balik (Subani dan Barus 1989).

Berdasarkan konstruksinya, pancing ulur termasuk dalam kelompok

angling (Ayodhyoa 1981). Brandt (1984) mendeskripsikan pancing adalah alat

tangkap yang sederhana, dioperasikan oleh nelayan kecil, memerlukan modal

kecil dan tidak membutuhkan kapal yang khusus. Alat tangkap pancing ulur

digolongkan ke dalam fishing with line yang dilengkapi dengan mata pancing.

Sumber: www.zimbio.com

Gambar 6 Ilustrasi pengoperasian alat tangkap pancing ulur

17

Konstruksi pancing ulur di setiap daerah adalah sama. Perbedaannya

hanya pada ukuran tali, pancing dan pemberat yang digunakan. Nomura (1981)

menyebutkan bahwa pancing ulur tergolong alat tangkap yang sangat sederhana.

Hal ini dikarenakn pancing ulur hanya terdiri dari mata pancing, tali, gulungan

dan pemberat. Adapun ukuran mata pancing dan besarnya tali yang digunakan

disesuaikan dengan ukuran ikan yang menjadi sasaran penangkapan (Farid et al.

1989).

Perikanan pancing ulur adalah sistem penangkapan yang mempergunakan

mata pancing dengan atau tanpa umpan yang diikatkan pada tali pancing dan

secara langsung dioperasikan dengan tangan manusia. Ciri khas dari penangkapan

ini adalah konstruksinya yang sangat sederhana, skalanya kecil dan tidak

memerlukan modal yang besar. Jadi, meskipun hasil tangkapannya sedikit,

keuntungan masih dapat diandalkan. Selain itu, alat tangkap pancing ulur dapat

dioperasikan pada tempat-tempat dimana alat tangkap lain sukar untuk

dioperasikan, misalnya di tempat-tempat dalam, berarus cepat atau dasar perairan

berkarang (Monintja dan Martasuganda 1991 vide Zainuddin 2002).

2.3.5 Pancing tonda

Menurut Subani dan Barus (1989), pancing tonda disebut juga dengan

pancing tarik. Adapun bahasa internasional untuk pancing tonda adalah troll line.

Gunarso (1998) menambahkan bahwa pancing tonda atau pancing tarik

merupakan alat penangkap ikan tradisional. Alat ini digunakan untuk menangkap

jenis-jenis ikan pelagis, seperti tuna, cakalang, dan tongkol, yang biasa hidup

dekat permukaan, mempunyai nilai ekonomis tinggi dan mempunyai kualitas

daging dengan mutu tinggi.

Pancing tonda adalah alat penangkap ikan yang terdiri dari seutas tali

panjang, mata pancing dan umpan. Pancing ditarik di belakang perahu motor atau

kapal yang sedang bergerak. Pada saat pengoperasiannya, sejumlah pancing

dioperasikan secara bersamaan. Umpan yang digunakan untuk pancing tonda

adalah umpan buatan (Ayodhyoa 1981).

18

Sumber: www.zimbio.com

Gambar 7 Ilustrasi pengoperasian alat tangkap pancing tonda

Menurut Ayodhyoa (1981), pancing tonda dikelompokkan pada alat

tangkap pancing dengan beberapa kelebihan,diantaranya adalah:

1. Metode pengoperasian relatif sederhana;

2. Modal yang diperlukan lebih sedikit;

3. Dapat menggunakan umpan buatan;

4. Syarat-syarat fishing ground relatif lebih sedikit dan dapat bebas memilih;

5. Ikan yang tertangkap seekor demi seekor, sehingga kesegarannya dapat

terjamin.

Adapun kekurangan yang dimiliki oleh pancing tonda yaitu:

1. Jumlah hasil tangkapan lebih sedikit dibandingkan alat tangkap yang lain

2. Keahlian perseorangan sangatlah berpengaruh pada penentuan tempat, waktu,

dan syarat-syarat lain.

Banyak bentuk dan macam dari pancing tonda, namun pada prinsipnya

adalah sama. Pancing tonda terdiri dari beberapa komponen,yaitu:

1. Tali utama

2. Kili-kili (swivel)

3. Tali kawat (wire rope)

4. Mata pancing (hook)

5. Pemberat (sinker)

6. Umpan (bait)

7. Penggulung tali utama (roller)

19

Sumber: www.zimbio.com

Gambar 8 Komponen-komponen pancing tonda

2.4 Model Surplus Produksi

Menurut Sparre and Venema (1999), tujuan penggunaan model surplus

produksi adalah untuk menentukan tingkat upaya optimum (biasa disebut effort

MSY), yaitu suatu upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan

maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang,

yang biasa disebut hasil tangkapan maksimum lestari (maximum sustainable

yield/MSY). Model surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan baik

tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per

unit upaya (catch per unit effort/CPUE) per spesies dan/atau CPUE berdasarkan

spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun. Upaya penangkapan

harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup.

Gulland (1988) vide Kurniawati (2005) menguraikan bahwa maximum

sustainable yield (MSY) adalah hasil tangkapan terbanyak berimbang yang dapat

dipertahankan sepanjang masa pada suatu intensitas penangkapan tertentu yang

mengakibatkan biomassa sediaan ikan pada akhir suatu periode tertentu sama

dengan sediaan biomassa pada permulaan periode tertentu tersebut. Maximum

sustainable yield mencakup 3 hal penting yaitu:

1. Memaksimalkan kuantitas beberapa komponen perikanan

2. Memastikan bahwa kuantitas-kuantitas tersebut dapat dipertahankan dari

waktu ke waktu

3. Besarnya hasil penangkapan adalah alat ukur yang layak untuk menunjukkan

keadaan perikanan

roller

swivel

swivel

hook hook

wire rope

tali utama

20

Model surplus produksi yang digunakan untuk menentukan MSY dan

upaya penangkapan optimum ini menyangkut hubungan antara kelimpahan dari

sediaan ikan sebagai massa yang uniform dan tidak berhubungan dengan

komposisi dari sediaan seperti proporsi ikan tua atau besar. Kelebihan model

surplus produksi ini adalah tidak banyak memerlukan data, yaitu hanya data hasil

tangkapan dan upaya penangkapan atau hasil tangkapan per satuan upaya

(Kurniawati 2005).

Menurut Sparre dan Venema (1999), terdapat beberapa persyaratan untuk

analisis model surplus produksi,antara lain:

1. Ketersediaan ikan pada tiap-tiap periode tidak mempengaruhi daya tangkap

relatif

2. Distribusi ikan menyebar merata

3. Masing-masing alat tangkap menurut jenisnya mempunyai kemampuan

tangkap yang seragam

Model surplus produksi memiliki beberapa asumsi. Adapun asumsi-asumsi

tersebut menurut Sparre dan Venema (1999) yaitu:

1. Asumsi dalam keadaan ekuilibrium

Pada keadaan ekuilibrium, produksi biomassa per satuan waktu adalah

sama dengan jumlah ikan yang tertangkap (hasil tangkapan per satuan waktu)

ditambah dengan ikan yang mati karena keadaan alam.

2. Asumsi biologi

Menurut Ricker (1975) vide Kurniawati (2005), alasan biologi yang

mendukung model surplus produksi yaitu:

a. Menjelang densitas stok maksimum, efisiensi reproduksi berkurang dan

sering terjadi jumlah rekrutmen lebih sedikit daripada densitas yang lebih

kecil. Pada kesempatan berikutnya, pengurangan dari stok akan

meningkatkan rekrutmen.

b. Bila pasokan makanan terbatas, makanan kurang efisien dikonversikan

menjadi daging oleh stok yang besar daripada oleh stok yang lebih kecil.

Setiap ikan pada suatu stok yang besar masing-masing memperoleh

makanan lebih sedikit; dengan demikian dalam fraksi yang lebih besar

21

makanan hanya digunakan untuk mempertahankan hidup, dan dalam fraksi

yang lebih kecil digunakan untuk pertumbuhan.

c. Pada suatu stok yang tidak pernah dilakukan penangkapan terdapat

kecenderungan lebih banyak individu yang tua dibandingkan dengan stok

yang telah dieksploitasi.

3. Asumsi terhadap koefisien kemampuan menangkap

Pada model surplus produksi diasumsikan bahwa mortalitas

penangkapan proporsional terhadap upaya. Namun demikian upaya ini tidak

selamanya benar, sehingga kita harus memilih dengan benar upaya

penangkapan yang benar-benar berhubungan langsung dengan mortalitas

penangkapan. Suatu alat tangkap (baik jenis maupun ukuran) yang dipilih

adalah yang mempunyai hubungan linear dengan laju tangkapan.

Menurut Fauzi (2004), secara biologis, pertumbuhan populasi ikan pada

periode tertentu di suatu daerah perbatasan merupakan fungsi dari jumlah awal

populasi tersebut. Hal ini berarti bahwa populasi pada awal periode menentukan

perubahan stok ikan pada periode waktu tertentu. Analisis ini didasarkan pada

konsep produksi biologi kuadratik yang dikembangkan oleh Verhulst pada tahun

1883 dan kemudian diterapkan untuk perikanan oleh seorang ahli biologi

perikanan yaitu Schaefer pada tahun 1957. Penerapan konsep produksi kuadratik

untuk perikanan tersebut menggambarkan antara produksi dengan effort yang

dikenal dengan Model Pertumbuhan Schaefer atau disebut juga kurva produksi

lestari (kurva Maximum Sustainable Yield/MSY).

Pada kurva MSY, sumbu X menunjukkan effort dari kegiatan perikanan

dan sumbu Y menunjukkan produksi dari kegiatan perikanan. Kurva MSY

menunjukkan bahwa pada kondisi tidak ada aktivitas penangkapan atau tidak ada

effort, maka produksi ikan akan sama dengan nol. Tetapi, apabila effort

ditingkatkan sampai pada batas effort optimal (EMSY) maka akan diperoleh

produksi lestari atau lebih dikenal dengan MSY. Perlu diingat bahwa kurva MSY

berbentuk kuadratik, sehingga peningkatan effort yang dilakukan secara terus

menerus setelah melampaui batas MSY tidak akan diikuti dengan peningkatan

produksi lestari. Dengan kata lain, produksi lestari akan mengalami penurunan

22

kembali pada saat effort telah melewati batas effort optimal (Suyasa 2007).

Gambar 9 menunjukkan kurva MSY untuk kegiatan perikanan tangkap.

Gambar 9 Kurva MSY untuk kegiatan perikanan tangkap

2.5 Over Fishing pada Sumberdaya Perikanan

Perikanan merupakan salah satu sumberdaya alam yang bersifat dapat

diperbaharui (renewable) namun perlu adanya pendekatan yang bersifat

menyeluruh dan hati-hati dalam pengelolaan sumberdaya perikanan tersebut. Jika

tidak, maka sumberdaya perikanan dipastikan akan berkurang atau bahkan, pada

spesise ikan tertentu, akan habis (Indra 2007). Hal ini disebabkan karena adanya

kelebihan tangkap (over fishing) pada suatu daerah penangkapan ikan. Over

fishing merupakan jumlah ikan yang tertangkap melebihi jumlah yang dibutuhkan

untuk mempertahankan stok ikan dalam daerah tertentu (Fauzi 2005).

Fauzi (2005) menjelaskan bahwa over fishing dapat dikategorikan menjadi

beberapa tipe, yaitu:

1. Recruitment over fishing adalah situasi dimana populasi ikan dewasa

ditangkap sedemikian rupa sehingga tidak mampu lagi untuk melakukan

reproduksi untuk memperbaharui spesiesnya lagi.

2. Growth over fishing terjadi manakala stok yang ditangkap rata-rata ukurannya

lebih kecil daripada ukuran yang seharusnya untuk berproduksi pada tingkat

yield per recruit yang maksimum.

23

3. Economic over fishing terjadi jika rasio biaya/harga terlalu besar atau jumlah

input yang dibutuhkan lebih besar daripada jumlah input yang diperlukan

untuk berproduksi pada tingkat rente ekonomi yang maksimum.

4. Malthusian over fishing terjadi ketika nelayan skala kecil yang umumnya

miskin dan tidak memiliki alternatif pekerjaan memasuki industri perikanan

namun menghadapi hasil tangkapan yang menurun.

Widodo dan Suadi (2006) menambahkan bahwa terdapat kategori dari over

fishing yang lainnya yaitu biological over fishing dan ecosystem over fishing.

Berikut merupakan penjelasan mengenai dua kategori over fishing tersebut:

5. Biological over fishing merupakan kombinasi dari growth over fishing dan

recruitment over fishing yang terjadi manakala tingkat upaya penangkapan

dalam suatu perikanan tertentu melampui tingkat upaya yang diperlukan untuk

menghasilkan MSY. Adapun pencegahan terhadap biological over fishing

meliputi pengaturan upaya penangkapan dan pola penangkapan.

6. Ecosystem over fishing terjadi sebagai hasil dari suatu perubahan komposisi

jenis dari suatu stok sebagai akibat dari upaya penangkapan yang berlebihan,

dimana spesies target menghilang dan tidak digantikan secara penuh oleh jenis

“pengganti”.

Nijikuluw (2002) vide Hiariey (2009) menjelaskan beberapa indikator

suatu wilayah perairan yang telah mengalami over fishing. Adapun indikator

tersebut antara lain:

1. Menurunnya produksi dan produktivitas penangkapan secara nyata;

2. Ukuran ikan yang menjadi target penangkapan semakin kecil;

3. Hilangnya spesies ikan yang menjadi target penangkapan ikan;

4. Munculnya spesies yang bukan target penangkapan dalam jumlah banyak.

Selanjutnya, Nijikuluw (2002) vide Hiariey (2009) menambahkan bahwa gejala

over fishing telah terjadi di beberapa wilayah perairan Indonesia berdasarkan

aspek potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya.

Persepsi yang keliru mengenai sumberdaya ikan sebagai sumberdaya yang

dapat pulih dan tidak adanya kepastian hak serta akses terhadap sumberdaya ikan

merupakan penyebab terjadinya over fishing (Fauzi 2005). Over fishing

memberikan dampak terhadap pergeseran armada untuk mencari daerah

24

penangkapan baru yang lebih produktif dan mungkin terjadi secara nasional

maupun antar negara secara legal maupun illegal. Pergeseran armada secara

illiegal menimbulkan illegal fishing dan memberikan kerugian yang besar bagi

stakeholder, khususnya masyarakat nelayan di daerah tersebut (Hiariey 2009).

Kondisi suatu perairan yang telah mengalami over fishing dapat diatasi

dengan beberapa kebijakan pengelolaan yang dapat diambil oleh pemerintah.

Kebijakan-kebijakan yang dapat digunakan untuk mengatasi over fishing antara

lain (Suyasa 2007):

1. Pembatasan alat tangkap, yaitu kebijakan yang ditujukan untuk melindungi

sumberdaya ikan dari penggunaan alat tangkap yang bersifat merusak. Selain

itu, kebijakan ini juga dapat digunakan untuk melindungi nelayan yang

menggunakan alat tangkap yang kurang atau tidak efisien (atau alasan sosial

politik lainnya).

2. Penutupan musim, merupakan kebijakan yang umumnya dilakukan oleh

negara yang telah memiliki penegakkan hukun yang maju. Kebijakan ini

didasarkan pada sifat sumberdaya ikan yang sangat tergantung pada musim

dan sering kali hanya ditujukan pada satu spesies ikan dalam kegiatan

perikanan yang multispesies.

3. Penutupan area, yaitu kebijakan yang menghentikan kegiatan penangkapan

ikan di suatu perairan. Kebijakan ini bersifat jangka panjang (permanent) atau

dapat juga berlaku dalam kurun waktu tertentu. Pada beberapa negara

menerapkan kebijakan ini untuk kapal ikan dengan ukuran tertentu dan atau

alat tangkap tertentu.

4. Kuota penangkapan, merupakan kebijakan yang memberikan hak kepada

industri atau perusahaan perikanan untuk menangkap atau mengambil

sejumlah ikan tertentu di perairan berdasarkan kuota yang telah ditetapkan

oleh instansi pemerintah. Kuota merupakan alokasi dari hasil tangkapan yang

diperbolehkan diantara unit individu dari effort yang ada. Hak kuota dapat

berupa jumlah ikan yang diperbolehkan untuk ditangkap (total allowable

catch/TAC) yang dapat dibagi per nelayan, per kapal atau per armada

perikanan.

25

5. Pembatasan ukuran ikan yang didaratkan, yaitu kebijakan yang lebih ditujukan

untuk mencapai atau mempertahankan struktur umur yang paling produktif

dari stok ikan. Hal ini dilakukan dalam rangka memberi kesempatan pada ikan

yang masih muda untuk tumbuh dan bertambah nilai ekonominya serta

kemungkinan bereproduksi sebelum ikan tersebut tertangkap.

2.6 Optimasi Sumberdaya Perikanan

Pemanfaatan optimal sumberdaya perikanan harus memperhatikan

beberapa aspek kajian, yaitu aspek biologi, sosial, teknis, dan ekonomi. Oleh

karena itu, optimasi sumberdaya perikanan sangat penting dilakukan untuk

mencapai pemanfaatan sumberdaya perikanan yang mengedepankan aspek

keberlanjutan. Seperti yang kita ketahui bahwa sumberdaya perikanan merupakan

sumberdaya yang relatif kompleks, berbeda dengan sumberdaya terrestrial

(seperti: pertanian dan perkebunan). Sumberdaya perikanan memiliki stok yang

bermigrasi dan bergerak dalam ruang tiga dimensi, sehingga kondisi ini

menambah kompleksitas dalam pengelolaannya. Selain itu, kompleksitas tersebut

ditandai dengan tingginya tingkat ketidakpastian dan risiko pengelolaan yang

ditimbulkan.

Menurut Kadarsan (1984) vide Kurniawati (2005), untuk mendapatkan

hasil yang memuaskan, suatu usaha perikanan laut harus memiliki faktor produksi

yang cukup dan kombinasi yang tepat. Adanya sumberdaya yang terbatas

menyebabkan perlunya pengaturan atau alokasi sumberdaya agar dapat mencapai

keseluruhan atau sebagian tujuan yang diinginkan. Teknik optimasi sering

digunakan untuk mengatasi masalah keterbatasan sumberdaya tersebut.

Optimasi adalah suatu proses pencarian hasil terbaik, dimana proses ini

dalam analisis sistem diterapkan terhadap alternatif yang dipertimbangkan,

kemudian dari hasil itu dipilih alternatif yang menghasilkan keadaan terbaik

(Gaspersz 1992). Persoalan optimasi dapat berbentuk maksimasi atau minimasi.

Rawung (1999) menambahkan bahwa secara normal orang akan mengharapkan

„baik‟ sebanyak-banyaknya, paling banyak atau maksimum dan „buruk‟ sedikit-

dikitnya, paling sedikit atau minimum. Keadaan tersebutlah yang disebut

optimum. Sehingga optimum disinonimkan dengan maksimum untuk hal yang

26

baik dan minimum untuk hal yang buruk. Karena optimasi mencakup usaha untuk

menemukan cara terbaik di dalam melakukan suatu pekerjaan, cara terbaik di

dalam memecahkan suatu persoalan, maka aplikasinya meluas pada hal-hal

praktis dalam dunia produksi, industri, perdagangan dan politik (Haluan 1985 vide

Rawung 1999).

Dalam melakukan proses optimasi, perlu terlebih dahulu melakukan

pemilihan ukuran kuantitatif dan efektifitas dari suatu persoalan. Oleh karena itu,

perlu adanya pengetahuan dan penguasaan sistem yang berlaku dalam persoalan

tersebut, baik dalam persoalan fisika maupun ekonomi.

2.7 Pengembangan Sumberdaya Perikanan

Alhidayat (2002) menyatakan bahwa pengembangan merupakan suatu

usaha perubahan dari suatu nilai kurang kepada sesuatu yang dinilai baik ataupun

dari suatu yang sudah baik menjadi lebih baik. Menurut Manurung (1998) vide

Widyaningsih (2004), pengembangan adalah proses yang membawa peningkatan

sosial yang disertai dengan meningkatkan taraf hidup. Dengan demikian,

pengembangan dapat diartikan sebagai proses yang menuju pada suatu kemajuan.

Pengembangan dalam bidang perikanan yaitu keberlanjutan melalui suatu

peningkatan produksi yang didasari suatu kebijakan yang baik akan meningkatkan

produksi berikutnya. Adapun inti dari pengembangan perikanan yaitu suatu

perubahan yang ingin dicapai berdasarkan tujuan atau perubahan yang kurang

baik menjadi lebih baik atau meningkat dari sebelumnya. Perlu diketahui bahwa

tujuan dari suatu pengembangan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan

kemakmuran (Priadi 2006).

Bahari (1989) vide Priadi (2006) menyampaikan bahwa pengembangan

perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia untuk meningkatkan

produksi di bidang perikanan sekaligus meningkatkan pendapatan nelayan melalui

penerapan teknologi yang lebih baik. Haluan dan Nurani (1988) vide Ihsan (200)

mengungkapkan bahwa perkembangan perikanan dapat dilakukan melalui kriteria

pengkajian aspek-aspek Bio-Technico-Sosio-Economic-Approach sebagai berikut:

1. Tidak merusak atau mengganggu kelestarian sumberdaya (aspek biologi)

2. Dapat efektif digunakan (aspek teknis)

27

3. Dapat diterima masyarakat nelayan (aspek sosial)

4. Teknologi bersifat menguntungkan (aspek ekonomi)

5. Izin pemerintah (kebijakan dan peraturan pemerintah)

Upaya pengembangan perikanan laut dan pengelolaan di masa mendatang

akan lebih mudah dirasakan jika pengembangan perikanan dan pengelolaannya

disesuaikan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek).

Dengan adanya pemanfaatan iptek tersebut, diharapkan stakeholder akan mampu

mengatasi keterbatasan sumberdaya pada suatu tempat dimana dia berada melalui

suatu langkah yang rasional untuk mendapatkan manfaat yang optimal

dan berkelanjutan melalui pengembangan dan pengelolaan dengan

mempertimbangkan aspek teknis, biologi, sosial, budaya dan ekonomi

(Barus et al. 1991).

Ditjen Perikanan (1999) vide Baruadi (2004) menyatakan bahwa untuk

pengembangan produksi atau pemanfaatan sumberdaya perikanan di masa

mendatang, maka terdapat beberapa langkah yang harus dikaji dan kemudian

diusahakan untuk dilaksanakan. Adapun langkah-langkah yang dimaksud tersebut

yaitu:

1. Pengembangan prasarana perikanan

2. Pengembangan agroindustri

3. Pengembangan kelembagaan dan penyelenggaraan penyuluhan perikanan

4. Pengembangan sistem informasi manajemen perikanan.

Perlu diperhatikan, bahwa dalam pengembangan perikanan sumberdaya dan daya

dukung lainnya perlu diperhatikan kebutuhan dan pengendalian dalam

menerapkan pembangunan perikanan yang berkelanjutan, sehingga kelestarian

sumberdaya dan kegiatan perikanan dapat dijamin keberadaannya (Naamin 1987

vide Monintja 1994).

Wahyono (1991) vide Mohammad (2006) menyatakan bahwa

pengembangan usaha perikanan dibagi dalam tiga daerah yaitu daerah potensial,

daerah padat tangkap dan daerah lepas pantai. Pengembangan untuk ketiga daerah

tersebut dilakukan dengan cara:

28

1. Daerah potensial: peningkatan unit penangkapan, intensifikasi usaha,

modernisasi alat tangkap dan mengganti alat yang tidak produktif serta

mendatangkan transmigrasi.

2. Daerah padat tangkap: memperluas daerah operasi penangkapan dengan

meningkatkan kemampuan kapal yang dioperasikan (modernisasi), mengatur

daerah dan atau musim penangkapan sesuai dengan alat tangkapnya,

mentransmigrasikan nelayan, pembatasan dan pengendalian jumlah alat

tangkapnya serta diversifikasi dan mengkonversi usaha penangkapan ke

budidaya laut.

3. Daerah lepas pantai: penambahan unit penangkapan ikan, modernisasi alat dan

kapal penangkapan ikan, mendatangkan transmigrasi, perluasan daerah

operasi penangkapan ikan serta penanaman modal.

2.8 Analisis Finansial

Menurut Gray et al. (2005) vide Herdiana (2012), analisis finansial adalah

suatu analisis yang memiliki tujuan diantaranya untuk mengetahui tingkat

keuntungan yang dapat dicapai melalui investasi suatu proyek usaha dan

mengadakan penilaian terhadap peluang investasi yang ada sehingga kita dapat

memilih alternatif yang paling menguntungkan. Analisis finansial terdiri dari dua

kelompok analisis, yaitu analisis usaha dan analisis investasi (Kadariah et al.

1999).

Analisis usaha adalah suatu analisis terhadap biaya dan manfaat didalam

suatu usaha yang dilihat dari sudut badan atau orang-orang yang menanam

modalnya atau yang berkepentingan langsung dalam usaha tersebut (Kadariah et

al. 1999). Analisis usaha yang dilakukan antara lain analisis pendapatan usaha,

analisis imbangan penerimaan dan biaya (revenue cost ratio), payback period

(PP), dan analisis return of investment (ROI). Gunaisah (2008) menuliskan dalam

tesisnya bahwa suatu usaha dikatakan sukses bila situasi pendapatannya

memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Cukup untuk membayar semua pembelian sarana produksi termasuk biaya

angkutan dan biaya administrasi;

29

2. Cukup untuk membayar bunga modal yang ditanamkan, termasuk pembayaran

sewa serta dana penyusutan modal;

3. Cukup untuk membayar upah tenaga kerja atau bentuk-bentuk lainnya untuk

tenaga kerja yang tidak diupah.

Komponen yang digunakan dalam analisis usaha perikanan yaitu biaya

produksi, penerimaan usaha dan pendapatan yang diperoleh. Pendapatan

merupakan pengurangan dari total penerimaan (total revenue/TR) dengan total

biaya (total cost/TC). Penerimaan merupakan hasil perkalian antara total produksi

dengan harga per satuan produk. Biaya total merupakan seluruh biaya yang

diperlukan untuk menghasilkan sejumlah input tertentu (Gunaisah 2008).

Analisis investasi digunakan untuk mencari suatu ukuran menyeluruh

tentang baik tidaknya suatu usaha. Analisis investasi tersebut menggunakan

present value yang telah di discount dari arus benefit dan biaya selama umur suatu

usaha dan setiap kriteria yang mempunyai kelemahan dan kelebihan, sehingga

dalam menilai kelayakkan suatu usaha sering digunakan lebih dari satu kriteria.

Suatu usaha dikatakan layak jika sesuai dengan ukuran kriteria investasi yang ada.

Beberapa pengukuran dalam analisis investasi yang dapat digunakan antara lain

net present value (NPV), net benefit-cost ratio (net B/C) dan internal rate of

return (IRR) (Kadariah et al. 1999).

2.9 Analisis SWOT

Analisis SWOT merupakan identifikasi berbagai faktor secara sistematis

untuk merumuskan atau pembangkit strategi pengembangan. Analisis ini

didasarkan pada logika dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan peluang

(Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan

(Weknesses) dan ancaman (Threats) (Rangkuti 2006). Menurut Marimin (2004),

analisis SWOT mempertimbangkan faktor internal (Internal Factor

Evaluation/IFE) yaitu strengths dan weaknesses serta faktor eksternal (External

Factor Evaluation/EFE) yaitu opportunities dan threats yang dihadapi dunia

usaha, sehingga dari analisis tersebut dapat diambil suatu keputusan strategi

pengembangan. Proses pengambilan keputusan selalu berkaitan dengan

pengembangan misi, tujuan, strategi, dan kebijakan perusahaan. Dengan demikian

30

perencanaan strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor

strategis perusahaan (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi

yang ada saat ini (Rangkuti 2006).

Pendekatan analisis SWOT merupakan penelitian tentang hubungan antara

unsur-unsur internal (kekuatan dan kelemahan) terhadap unsur-unsur eksternal

(peluang dan ancaman). Analisis SWOT digunakan dalam usaha penyusunan

suatu rencana yang matang untuk mencapai tujuan dalam jangka pendek maupun

jangka panjang. Menyusun suatu perencanaan yang baik memerlukan

dilakukannya penelaahan tentang kondisi dan kenyataan di lapangan untuk

mengetahui segala unsur kekuatan maupun kelemahan yang ada. Namun perlu

pula diperhatikan unsur peluang atau kesempatan yang ada atau diperkirakan akan

timbul kelak serta segala hambatan atau ancaman yang ada atau diperkirakan akan

timbul kelak dan mempengaruhi kestabilan kawasan (Amarullah 2007).

Ongge (2008) menuliskan bahwa analisis dengan matriks SWOT bertujuan

untuk mengidentifikasikan alternatif-alternatif strategi yang secara intuitif

dirasakan sesuai untuk dilaksanakan. Semua alternatif strategi dikaitkan dengan

sasaran yang telah disepakati dan tertulis di dalam matriks SWOT. Selanjutnya,

Ongge (2008) menyatakan bahwa berdasarkan Tripomo dan Udan (2005),

terdapat empat strategi yang dihasilkan dari analisis terhadap matriks SWOT,

yaitu:

1. Strategi memanfaatkan kekuatan

Pendekatan SO: Langkah pertama yaitu menetapkan terlebih dahulu

kekuatan yang diduga paling mungkin digunakan. Perhatian utama

pendekatan ini adalah bagaimana merumuskan strategi dengan

menggunakan kekuatan yang saat ini dimiliki. Peluang yang akan

dimanfaatkan dipilih dari yang paling sesuai dengan kekuatan yang akan

digunakan.

Pendekatan ST: Langkah pertama yang dilakukan yaitu menetapkan

terlebih dahulu kekuatan yang diduga paling mungkin digunakan.

Pendekatan ini berusaha merumuskan strategi dengan acuan awal kekuatan

yang dimiliki organisasi. Berdasarkan kekuatan ini kemudian dicari

31

bagaimana cara pemanfaatannya untuk menghindari atau mengurangi

ancaman eksternal.

2. Strategi menangani kelemahan

Pendekatan WO: Langkah pertama yaitu menetapkan kelemahan utama

yang perlu ditangani. Pendekatan ini bertujuan untuk merumuskan strategi

dengan fokus untuk perbaikan-perbaikan internal. Pendekatan ini berusaha

mempertanyakan peluang-peluang yang kemungkinan yang bisa lepas

karena kelemahan tersebut.

Pendekatan WT: Langkah pertama yaitu menetapkan terlebih dahulu

kelemahan utama yang perlu ditangani. Pendekatan ini berusaha untuk

merumuskan strategi yang berawal dari perasaan bahwa ada kelemahan

yang dirasakan oleh organisasi. Kemudian berpikir seandainya kelemahan

ini bisa diatasi, ancaman apa yang bisah dihilangkan.

3. Strategi menghadapi peluang

Pendekatan OS: Langkah pertama yaitu menetapkan terlebih dahulu

peluang yang ingin di raih. Perhatian utama pendekatan ini adalah

merumuskan strategi dengan menggunakan peluang sebagai acuan awal.

Kemudian dicari kekuatan yang paling sesuai untuk digunakan menangkap

peluang tersebut.

Pendekatan OW: Langkah pertama yaitu menetapkan peluang yang benar-

benar ingin diraih. Pendekatan ini berusaha merancang strategi dengan

acuan awal suatu peluang yang ingin dimanfatkan. Berdasarkan peluang-

peluang tersebut kemudian dicari kelemahan-kelemahan yang perlu

diperbaiki agar perusahaan mampu merebut peluang. Strategi ini dirasa

perlu karena seringkali suatu organisasi melihat peluang yang sedemikian

menarik dilingkungan eksternal, tetapi organisasi memiliki kendala serius

yaitu pada kelemahan internal yang menghambat kemampuan bersaing

untuk mengeksploitasi peluang tersebut.

4. Strategi menghadapi ancaman

Pendekatan TS: Langkah pertama yaitu menetapkan ancaman yang ingin

ditangani. Pendekatan ini berusaha merumuskan strategi dengan acuan

32

awal berupa ancaman yang dirasakan, kemudian mencari kekuatan yang

bisa diandalkan untuk mengatasi ancaman tersebut.

Pendekatan TW: Langkah pertama yaitu menentukan ancaman yang ingin

ditangani. Pendekatan ini berusaha merumuskan strategi yang berangkat

dari usaha untuk mengatasi ancaman. Selanjutnya berpikir kelemahan apa

yang dapat dihilangkan dan bagaimana mengatasi kelemahan tersebut agar

ancaman bisa diatasi.

2.10 Hasil Penelitian Terkait

Penelitian yang telah dilakukan mengenai optimalisasi sumberdaya ikan

maupun pengembangan perikanan akan menjadi bahan masukan untuk penelitian

yang akan dilakukan. Supeni (2010) meneliti mengenai optimasi pemanfaatan

sumberdaya perikanan pelagis kecil di perairan Kabupaten Mamuju Sulawesi

Barat. Hasil penelitian yang diperoleh oleh Supeni (2010) yaitu status

pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis di perairan Kabupaten Mamuju secara

umum tereksploitasi di bawah nilai MSY, namun ikan kembung dan ikan terbang

produksinya melewati nilai tangkapan lestari. Dan apabila dilihat dari tingkat

pengupayaan pada umumnya telah melampaui effort optimalnya kecuali untuk

ikan layang. Adapun alokasi optimum unit penangkapan untuk sumberdaya

perikanan pelagis kecil tersebut yaitu purse seine 71 unit, bagan 36 unit, jaring

insang hanyut 96 unit, jaring insang lingkar 91 unit, payang 115 unit dan jaring

ikan terbang 84 unit. Strategi implementasi program optimasi pemanfaatan

sumberdaya perikanan pelagis kecil perlu memprioritaskan beberapa elemen-

lemen kunci berikut ini untuk keberhasilan program:

1. pengusaha/pemilik kapal

2. ketersediaan sumberdaya ikan

3. kemampuan permodalan terbatas

4. optimalisasi pemanfaatan sumberdaya perikanan

5. adanya peraturan pengelolaan yang jelas

6. pembuatan peraturan-peraturan pengelolaan

7. lembaga dinas perikanan dan kelautan kabupaten

33

Arifin (2008) melakukan penelitian dengan judul “Optimasi Perikanan

Layang di Kabupaten Selayar Propinsi Sulawesi Selatan”. Kesimpulan yang

diberikan pada penelitian tersebut yaitu: 1) prioritas urutan teknologi

penangkapan ikan layang di Kabupaten Selayar berdasarkan aspek biologi, teknis,

sosial, ekonomi, dan keramahan lingkungan adalah purse seine pada urutan

pertama, jaring insang hanyut pada urutan kedua dan bagan perahu pada urutan

ketiga. 2) alokasi dari jumlah unit penangkapan ikan layang yang optimum

digunakan di perairan Kabupten Selayar adalah purse seine sebanyak 61 unit,

jaring insang hanyut sebanyak 300 unit dan alat tangkap bagan perahu sebanyak

100 unit. 3) strategi pengembangan perikanan layang di Kabupaten Selayar adalah

optimalisasi usaha perikanan layang, penggunaan unit penangkapan ikan yang

hemat bahan bakar minyak, penyediaan modal usaha dengan bunga rendah dan

peningkatan peranan stakeholders dan masyarakat untuk pengawasan

pengoperasian alat tangkap.

Wahyuni (2008) melakukan penelitian mengenai pengembangan teknologi

penangkapan ikan tepat guna untuk sumberdaya ikan pelagis di kota Sorong. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa Teknologi penangkapan sumberdaya ikan

pelagis yang terdapat di Kota Sorong adalah jaring insang (gillnet), bagan perahu

(boat liftnet), pancing tonda (trolling lines) dan pancing tuna (handlines).

Selanjutnya, berdasarkan pendekatan biologi, teknik, sosial dan ekonomi,

diperoleh teknologi penangkapan ikan pelagis tepat guna adalah bagan perahu

(boat liftnet) menempati prioritas pertama, selanjutnya pancing tonda (trolling

lines) dan pancing tuna (handlines). Dan strategi pengembangan teknologi

penangkapan ikan yang tepat untuk sumberdaya ikan pelagis di Kota Sorong lebih

diprioritaskan pada peningkatan kualitas penanganan hasil tangkapan,

pengembangan alat tangkap berkelanjutan, peningkatan kualitas sumberdaya

nelayan dan aparat, peningkatan kelembagaan dan permodalan, peningkatan

sarana dan prasarana penangkapan, serta peningkatan jumlah hasil tangkapan.

Muksin (2006) melakukan penelitian dengan judul “Optimalisasi Usaha

Perikanan Cakalang (Katsuwonus pelamis) di Kota Tidore Kepulauan Provinsi

Maluku Utara”. Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa potensi sumber daya

ikan cakalang di Kota Tidore telah mengalami over fishing pada tahun 2004

34

dengan tingkat pemanfaatan sebesar 128,59% dan kelebihan upaya penangkapan

sejak tahun 2000 hingga 2004 sebesar 126,81 % sampai 161,00%. Adapun nilai

MSY untuk ikan cakalang tersebut adalah 7.582,69 ton dan upaya optimum

sebesar 11.229 hari, pada kondisi optimal dan berkelanjutan diarahkan pada

perluasan daerah penangkapan lebih jauh dari kewenangan wilayah Kota Tidore

Kepulaun yaitu > 4 mil pada daerah Halmahera Selatan (Bacan) yang merupakan

daerah potensial untuk ikan cakalang, peningkatan kemampuan teknologi armada

penangkapan (kapasitas umpan, palkah, alat navigasi dan alat komunikasi),

peningkatan pengetahuan dan ketrampilan nelayan (pelatihan dan penyuluhan),

peningkatan jumlah rumpon minimal 12 unit. Kebijakan pemerintah daerah

setempat dalam menghadapi kondisi tingkat pemanfaatan dan pengupayaan

sumberdaya cakalang yang telah mengalami over exploited dengan cara

melakukan konservasi, pengawasan dan pengontrolan daerah penangkapan dan

musim penangkapan.

Ghaffar (2006) meneliti mengenai optimasi pengembangan usaha

perikanan mini purse seine di Kabupaten Jeneponto Provinsi Sulawesi Selatan.

Penelitian tersebut memberikan hasil bahwa tingkat optimum untuk pemanfaatan

ikan-ikan pelagis yang menjadi target penangkapan mini purse seine secara

bioekonomi diperoleh pada produksi sebesar 3.783.376,09 kg per tahun dengan

jumlah total effort optimum 8.723 trip per tahun. Khusus untuk mini purse seine,

effort optimum adalah 4.108 trip per tahun dari total effort optimum (47%) atau

setara dengan 26 unit armada penangkapan. Sedangkan untuk usaha perikanan

mini purse seine, diketahui bahwa usaha tersebut layak untuk dikembangkan di

Kabupaten Jeneponto dengan nilai NPV positif sebesar Rp 74.233.466, IRR 40%

dan BC ratio 1,72. Titik impas (BEP) dicapai pada hasil penjualan

Rp 188.378.333 atau hasil tangkapan 187.255,78 kg dengan masa pengembalian

investasi selama 3,66 tahun.