101530356 diskusi cedera membran timpani tht kl unsri
TRANSCRIPT
Laporan Diskusi Kelompok
Cedera Membran Timpani
Mariam Binti Abd Rashid 54081001114
Abdullah Fikri 54081001092
Petricia Yunita 54081001104
Rima Zanaria 54081001070
Cynthia Lina 54081001076
Sugianto Mukmin 54081001067
Aditya Rafrendra 54081001025
Nur Anisa Aulia 54081001031
Febby Hazur Fajri 54081001019
Dewi Zartika 54081001035
Ressei Amanda P 54081001038
Nina Novaliana 54081001045
Pembimbing:
Dr. Dwi Prawitasari Radhiatni, Sp.THT-KL
Dr. Denny Satria Utama, Sp.THT-KL, M.Si.Med
BAGIAN/DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK-BEDAH KEPALA LEHER
1
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA/ RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2012BAB I
PENDAHULUAN
Telinga merupakan organ yang paling sensitif mengalami kerusakan akibat
trauma. Trauma dapat menyebabkan kerusakan multisystem dan cedera yang
mengancam hidup. Pada telinga, tekanan yang mengenai membran timpani
berperan penting dan dipengaruhi oleh orientasi kepala terhadap gelombang
tekanan sehingga jika terjadi trauma pada telinga dapat menyebabkan cedera
membran timpani. Trauma pada membran timpani dapat disebabkan oleh
tamparan, ledakan (barotrauma), menyelam yang terlalu dalam, luka bakar
ataupun tertusuk. Akibatnya timbul gangguan pendengaran berupa tuli konduktif
karena robeknya membran timpani atau terganggunya rangkaian tulang
pendengaran, yang terkadang disertai tinitus.1-3
Tingkat dan pola cedera membran timpani yang dihasilkan oleh trauma
sangat bervariasi sehingga tatalaksananya juga bervariasi. Hal ini berhubungan
dengan letak, luas, dan kronisitas dari cedera tersebut. Tatalaksana yang dilakukan
harus cepat dan tepat. Setelah itu, observasi dan evaluasi lebih lanjut tentang
penyebab dari cedera tersebut perlu dilakukan untuk mengetahui tatalaksana
selanjutnya. Selain itu, usaha preventif juga dapat dilakukan sehingga tidak
menyebabkan komplikasi lebih lanjut.4,5
Komplikasi yang biasanya terjadi adalah perforasi membran timpani.
Semua perforasi kecil dan terbatas secara eksklusif pada pars tensa. Pada 85%
pasien, perforasi terletak di kuadran anterior-inferior. Margin halus perforasi
memungkinkan drainase bebas dari nanah. Dalam sisa 15% dari kasus, perforasi
terletak di kuadran posterior-superior. Perforasi ini memiliki bentuk seperti puting
dengan lubang kecil yang tidak memungkinkan untuk mengalirkan cukup nanah
dari telinga bagian tengah. Perforasi menutup di 94% dari pasien dalam waktu
satu bulan. Mayoritas perforasi spontan akhirnya sembuh, tapi beberapa persisten.
2
Pembentukan kolesteatoma dengan penghancuran osikula merupakan komplikasi
serius.4,6
BAB II
PERTANYAAN
1. Apa penyebab cedera membran timpani ?
2. Bagaimana cara penanggulangan cedera membran timpani ?
3. Apa ramalan komplikasi yang akan terjadi ?
3
BAB III
PEMBAHASAN
Anatomi dan Fisiologi Membran Timpani
Gambar 1. Anatomi Membran Timpani
Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang
telinga dan berbentuk oblik terhadap sumbu liang telinga. Bagian atas disebut pars
flaksida (membran Shrapnell), sedangkan bagian bawah disebut pars tensa
(membran propria). Pars flaksida hanya berlapis dua, yaitu bagian luar adalah
lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia,
seperti epitel mukosa saluran nafas. Pars tensa mempunyai satu lapis di tengah,
yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan
secara radier di bagian luar dan sirkuler di bagian dalam.4,6
Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut
sebagai umbo. Suatu refleks cahaya (cone of light) ke arah bawah bermula dari
umbo yaitu pada pukul 7 untuk membran timpani kiri dan pukul 5 untuk membran
4
timpani kanan. Refleks cahaya adalah yang dari luar yang dipantulkan membran
timpani. Membran timpani mempunyai 2 macam serabut, yaitu sirkuler dan radier.
Serabut inilah yang menyebabkan timbulnya refleks cahaya yang berupa kerucut.
Secara klinis refleks cahaya ini dinilai, misalnya bila letak refleks cahaya
mendatar, berarti terdapat gangguan pada tuba eustachius.4,6
Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah
dengan prosesus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo,
sehingga didapatkan bagian atas depan, atas belakang, bawah depan, dan bawah
belakang, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.4,6
Bila melakukan miringotomi atau parasintesis, dibuat insisi di bagian bawah
belakang membran timpani, sesuai dengan arah serabut membran timpani. Di
daerah ini tidak terdapat tulang pendengaran.Pada pars flaksida terdapat daerah
yang disebut atik. Di tempat ini terdapat aditus ad antrum, yaitu lubang yang
menghubungkan telinga tengah dengan antrum mastoid. Perforasi daerah pars
flaksida sering digambarkan sebagai komplikasi. Perforasi membran timpani
termasuk depresi membran timpani ke telinga tengah, membentuk kantong
retraksi. Kantong yang terbentuk lebih sering berkaitan dengan pembentukan
kolesteatom.4,6
Fungsi fisiologis membran timpani temasuk konduksi suara dari telinga
tengah melalui sistem tulang-tulang kecil, ostikula.Permukaan membran timpani
kira-kira 25 kali lebih besar dari lempengan bawah stapes, yang menghasilkan
amplifikasi bunyi 45 dB. Pada waktu yang sama, membran timpani membentuk
lapisan dengan jumlah jendela berbentuk bundar yaitu labirin untuk melawan
gelombang suara langsung. Jendela ini penting untuk pergerakan liquid dalam
koklea, menyediakan transmisi suara ke reseptor akustik dalam organ
korti.Membran timpani juga melindungi mukosa telinga tengah dari lingkungan
luar.4,6
5
A. Apa Penyebab Cedera Membran Timpani?
Cedera membran timpani disebabkan oleh trauma, yang terdiri dari:
1. Trauma tumpul dan trauma tajam
Trauma tumpul dapat disebabkan oleh kecelakaan atau pukulan
langsung sedangkan trauma tajam disebabkan oleh tusukan. Kedua hal ini
menyebabkan perubahan tekanan mendadak di membran timpani sehingga
membran timpani pecah.
Trauma tumpul yang dihubungkan dengan kecelakaan, biasanya
menyebabkan benturan pada daerah tulang terutama tulang temporal.
Trauma tulang temporal dan fraktur basis kranium adalah trauma yang
dapat menyebabkan cedera membran timpani. Gejala klinis yang tampak
adalah edema, hematoma, dan laserasi. Adapun jenis-jenis fraktur
temporal tersebut adalah:2,3,5
- Fraktur longitudinal
Fraktur longitudinal merupakan 70-90% merupakan fraktur tulang
temporal, trauma meluas ke liang telinga, telinga tengah, tuba
eustachius, dan foramen laserum. Sering menyebabkan kerusakan
pada membran timpani, tulang-tulang pendengaran, dan bahkan
melibatkan ganglion genikulatum. Gejala dan tanda berupa perdarahan
dari liang telinga, gangguan pendengaran konduktif karena merusak
struktur telinga tengah akibat dislokasi tulang pendengaran, otore
LCS, paresis fasial.
- Fraktur transversal
Fraktur transversal merupakan 20-30% dari fraktur tulang
temporal, lebih berat. Fraktur ini mengenai os petrosum dan telinga
dalam. Gejala dan tanda berupa hemotimpanum, rinore LCS,
gangguan pendengaran sensorineural, vertigo, dan parese fasial pada
50% kasus.
6
2. Trauma Kompresi (Barotrauma)
Barotrauma adalah keadaan dengan terjadinya perubahan tekanan
yang tiba-tiba di luar telinga tengah sewaktu di pesawat terbang atau
menyelam, yang menyebabkan tuba gagal untuk membuka. Hukum Boyle
menyatakan bahwa suatu penurunan atau peningkatan pada tekanan
lingkungan akan memperbesar atau menekan (secara berurutan) suatu
volume gas dalam ruang tertutup. Bila gas terdapat dalam struktur yang
lentur, maka struktur tersebut dapat rusak karena ekspansi ataupun
kompresi. Barotrauma dapat terjadi bilamana ruang-ruang berisi gas dalam
tubuh (telinga tengah, paru-paru) menjadi ruang tertutup dengan menjadi
buntunya jaras-jaras ventilasi normal.4,6
Barotrauma paling sering terjadi pada telinga tengah, hal ini terutama
karena rumitnya fungsi tuba Eustachius. Tuba Eustachius secara normal
selalu tertutup namun dapat terbuka pada gerakan menelan, mengunyah,
menguap, dan dengan manuver Valsava. Rinitis alergika serta berbagai
variasi anatomis individual, semuanya merupakan predisposisi terhadap
disfungsi tuba Eustachius. Seperti yang dijelaskan di atas, tekanan yang
meningkat perlu diatasi untuk menyeimbangkan tekanan, sedangkan
tekanan yang menurun biasanya dapat diseimbangkan secara pasif.
Penurunan tekanan lingkungan akan membuat udara dalam telinga tengah
mengembang dan secara pasif akan keluar melalui tuba Eustachius,
sedangkan peningkatan tekanan lingkungan membuat udara dalam telinga
tengah dan dalam tuba Eustachius menjadi tertekan. Hal ini cenderung
menyebabkan penciutan tuba Eustachius.4,6
Jika perbedaan tekanan antara rongga telinga tengah dan lingkungan
sekitar menjadi terlalu besar (sekitar 90 sampai 100 mmHg), maka bagian
kartilaginosa dari tuba Eustachius akan sangat menciut. Hal ini disebabkan
otot yang normal aktivitasnya tidak mampu membuka tuba.Pada keadaan
ini terjadi tekanan negatif di rongga telinga tengah, sehingga cairan keluar
7
dari pembuluh darah kapiler mukosa dan kadang-kadang disertai dengan
ruptur pembuluh darah sehingga cairan di telinga tengah dan rongga
mastoid tercampur darah. Jika tidak ditambahkan udara melalui tuba
Eustachius untuk memulihkan volume telinga tengah, maka struktur-
struktur dalam telinga tengah dan jaringan di dekatnya akan rusak dengan
makin bertambahnya perbedaan tekanan. Terjadi rangkaian kerusakan
yang dapat diperkirakan dengan berlanjutnya keadaan vakum relatif dalam
rongga telinga tengah. Mula-mula membran timpani tertarik ke dalam.
Retraksi menyebabkan membran teregang dan pecahnya pembuluh-
pembuluh darah kecil sehingga tampak gambaran injeksi dan bula
hemoragik pada gendang telinga. Dengan makin meningkatnya tekanan,
pembuluh-pembuluh darah kecil pada mukosa telinga tengah juga akan
berdilatasi dan pecah, menimbulkan hemotimpanum. Kadang-kadang
tekanan dapat menyebabkan ruptur membran timpani.4,6,7
Gejala-gejala barotrauma telinga tengah termasuk nyeri, rasa penuh
dan berkurangnya pendengaran. Diagnosis dipastikan dengan otoskop.
Gendang telinga tampak mengalami injeksi dengan pembentukan darah di
belakang gendang telinga. Kadang-kadang membran timpani akan
mengalami perforasi. Dapat disertai gangguan penengaran konduktif
ringan. Hidung tersumbat karena alergi, pilek, atau infeksi saluran
pernafasan atas juga lebih mungkin untuk terkena barotrauma. Komplikasi
barotrauma telinga antara lain infeksi telinga akut, tuli, ruptur atau
perforasi membran timpani.4,6,7
Pada tinitus yang menetap, vertigo, dan tuli sensorineural adalah
gejala-gejala kerusakan telinga dalam. Barotrauma telinga tengah tidak
jarang menimbulkan kerusakan telinga dalam. Kerusakan telinga dalam
merupakan masalah yang serius dan mungkin memerlukan pembedahan
untuk mencegah kehilangan pendengaran yang menetap. Semua orang
yang mengeluh kehilangan pendengaran dengan barotrauma harus
menjalani uji pendengaran dengan rangkaian penala untuk memastikan
bahwa gangguan pendengaran bersifat konduktif dan bukannya
8
sensorineural. Episode-episode vertigo yang singkat yang terjadi saat naik
atau turun disebut vertigo alternobarik. Hal ini sering dikeluhkan dan
lazim menyertai barotrauma telinga tengah. Selama vertigo dapat mereda
dalam beberapa detik, tidak diperlukan pengobatan ataupun evaluasi lebih
lanjut.4,6,7
B. Bagaimana cara penanggulangan cedera membran timpani?
Pada keadaan cedera membran timpani akut akibat trauma, dilakukan
pencegahan infeksi sekunder dengan menutup liang telinga yang trauma
dengan kasa steril. Jika terjadi perforasi, biasanya perforasi akan sembuh
secara spontan. Operasi emergensi dilakukan pada trauma tembus dengan
gangguan pendengaran sensorineural dan vertigo, dengan kecurigaan fraktur
dan impaksi kaki stapes ke vertbuler atau fistua perilimfa. Jika perforasi
menetap setelah 4 bulan, dan terdapat gangguan pendengaran konduktif > 20
dB, merupakan indikasi timpanoplasti.2,3
Selain itu, dapat dilakukan pengobatan dari kausa trauma, yaitu:
1. Cedera Membran Timpani karena Fraktur temporal
Langkah pertama yang dilakukan adalah menstabilkan keadaan
neurologis dan keadaan yang mengancam jiwa, observasi, dan pemberian
tampon yang dibasahi antibiotika karena belum diketahui apakah trauma
terbatas hanya di telinga tengah atau sudah ke telinga dalam. Operasi
diindikasikan pada keadaan perforasi membran timpani yang menetap,
pendengaran konduktif, parese fasialis dan kebocoran LCS yang
menetap.4,6,7
2. Cedera Membran Timpani karena Barotrauma
Pengobatan biasanya cukup dengan cara konservatif saja, yaitu
dengan memberikan dekongestan lokal atau dengan melakukan perasat
Valsava selama tidak terdapat infeksi di jalan nafas atas. Apabila cairan
atau cairan yang bercampur darah menetap di telinga tengah selama
beberapa minggu, maka dianjurkan untuk tindakan miringotomi dan bila
9
perlu memasang pipa ventilasi (Grommet). Selain itu, hindari menyelam
ataupun terbang sampai pasien kembali dapat menyeimbangkan tekanan
telinga tengah. Kasus-kasus berat memerlukan waktu hingga 4-6 minggu
untuk menyembuh, tapi umumnya dapat sembuh dalam dua atau tiga hari.
Antibiotik tidak diindikasikan kecuali bila terjadi pula perforasi.
Barotrauma dapat dicegah dengan menghindari terbang ataupun
menyelam pada waktu pilek dan menggunakan teknik pembersihan yang
tepat. Jika terasa nyeri, agaknya tuba Eustachius telah menciut. Yang harus
dikerjakan jika ini terjadi pada saat menyelam adalah hentikan menyelam
atau naiklah beberapa kaki dan mencoba menyeimbangkan tekanan
kembali tetapi hal ini tidak dapat dilakukan jika sedang terbang dalam
pesawat komersial. Metode terbaik yang dapat dilakukan adalah dengan
mulai melakukan manuver-manuver pembersihan dengan hati-hati
beberapa menit sebelum pesawat mendarat. Pasien yang harus terbang
dalam keadaan pilek dapat menggunakan dekongestan semprot hidung
atau oral. Usaha preventif lain dengan selalu mengunyah permen karet
terutama sewaktu pesawat terbang mulai turun untuk mendarat. 4,6,7
C. Apa ramalan komplikasi yang akan terjadi?
Ramalan komplikasi yang terjadi, yaitu perforasi membran timpani, tuli
konduktif, disfungsi tuba eustachius persisten, gangguan osikula, dan
pembentukan kolesteatoma. Risiko pembentukan kolesteatoma, dapat melalui
proses perjalanan penyakit atau dari epithelium skuamousa yang terperangkap
selama terapi, membutuhkan kontrol teratur post-operasi. Konsultasi ulang jika
pendengaran berkurang atau terdapat drainase persisten telinga.Lokasi
perforasi menentukan waktu dan frekuensi follow up. Perforasi pars tensa
(bagian keras dari membran timpani) jarang menimbulkan komplikasi.
Pengecualian adalah perforasi pars tensa berlokasi di annulus atau membran
timpani. Perforasi di lokasi ini merupakan risiko berkembangnya kolesteatoma
di telinga tengah. Perforasi dalam pars flasida (bagian tanpa lapisan tengah
10
fibrosa) lebih sering berkaitan dengan komplikasi dan butuh perawatan follow
up lebih.4,6,7
DAFTAR PUSTAKA
1. Centers for Disease Control and Prevention. Explosions and Blast Injuries: A
Primer for Clinicians. Updates June 14, 2006. Available on:
http://www.bt.cdc.gov/masscasualties/explosions.asp
2. Bailey BJ, Johnson JT, Newlands SD. Middle ear and temporal bone trauma.
Head & neck surgery-otolaryngology. 4th Ed. Lippincott Willia & Wilkins
Publisher; 2006.p.2057-79
3. Toner JG, Ker AG. Ear trauma. In: Booth JB, editor. Otology, Scott-
Browns’s otolaryngology. 6th Ed. Butterworth Heinemann; 1997.p.31-40.
4. Iskandar, Nurbaiti. Trauma kepala dan leher. Buku ajar ilmu kesehatan
telinga, hidung, tenggorok, kepala, dan leher. Jakarta: Balai Penerbit FK UI;
2008.p.64-77
5. Lee KJ. Noninfectious disorders of the ear. In: Lee KJ, editor. Essential
otolarngology head & neck surgery. 8th Ed. McGraw-Hill;2003.p.512-34
6. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Buku ajar penyakit THT. Translation and
adaptation of Boeis fundamentals of otolaryngology. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC; 1997.p.195-215
7. Lipkin, Alan.2008. Ear barotrauma. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/
ency/article/008903.htm. Diakses 21 Juni 2010
8. Becker W, Naumann HH, Pfaltz CR. Ear, nose and throat diseases. In:
Buckingham RA, editors. Sturttgart: Georg Thieme Verlag; 1989.p.82-105
9. Valvassori GE. Imaging of temporal bone. In: Glasscock & Shambough.
Surgery of the ear. 4th Ed. Philadelphia: WB Saunders Company; 1990.p.
100-42
10. Ballenger J, Groves. Scott-Brown’s diseases of the ear, nose and throat. 5th
Ed. London: Butterworths; 1991.p.1139-58
11