1 bab ii tinjauan pustaka - modul.mercubuana.ac.id industri/laporan...dalam bukunya...
TRANSCRIPT
7
7
1 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pemeliharaan
2.1.1 Definisi Pemeliharaan
Beberapa definisi pemeliharaan (maintenance) menurut para ahli:
Menurut Patrick (2001, p407), maintenance adalah suatu kegiatan untuk
memelihara dan menjaga fasilitas yang ada serta memperbaiki, melakukan
penyesuaian atau penggantian yang diperlukan untuk mendapatkan suatu
kondisi operasi produksi agar sesuai dengan perencanaan yang ada.
Menurut Corder (1988, p1), maintenance adalah suatu kombinasi dari
berbagai tindakan yang dilakukan untuk menjaga suatu barang atau
memperbaikinya, sampai pada suatu kondisi yang bisa diterima.
Menurut Assauri (2008, p134), maintenance merupakan kegiatan untuk
memelihara atau menjaga fasilitas atau peralatan pabrik dengan
mengadakan perbaikan atau penyesuaian atau penggantian yang
diperlukan supaya tercipta suatu keadaan operasional produksi yang
memuaskan sesuai dengan apa yang telah direncanakan.
8
2.1.2 Tujuan Pemeliharaan
Suatu kalimat yang perlu diketahui oleh orang pemeliharaan dan bagian
lainnya bagi suatu pabrik adalah pemeliharaan (maintenance) murah
sedangkan perbaikan (repair) mahal. (Setiawan F.D, 2008). Menurut
Daryus A, (2008) dalam bukunya manajemen pemeliharaan mesin Tujuan
pemeliharaan yang utama dapat didefenisikan sebagai berikut:
1. Untuk memperpanjang kegunaan asset,
2. Untuk menjamin ketersediaan optimum peralatan yang dipasang untuk
produksi dan mendapatkan laba investasi maksimum yang mungkin,
3. Untuk menjamin kesiapan operasional dari seluruh peralatan yang
diperlukan dalam keadaan darurat setiap waktu,
4. Untuk menjamin keselamatan orang yang menggunakan sarana tersebut.
Sedangkan Menurut Sofyan Assauri, 2004, tujuan pemeliharaan yaitu :
1. Kemampuan produksi dapat memenuhi kebutuhan sesuai dengan rencana
produksi.
2. Menjaga kualitas pada tingkat yang tepat untuk memenuhi apa yang
dibutuhkan oleh produk itu sendiri dan kegiatan produksi yang tidak
terganggu.
3. Untuk membantu mengurangi pemakaian dan penyimpangan yang di luar
batas dan menjaga modal yang di investasikan tersebut.
4. Untuk mencapai tingkat biaya pemeliharaan serendah mungkin, dengan
melaksanakan kegiatan pemeliharaan secara efektif dan efisien.
9
5. Menghindari kegiatan pemeliharaan yang dapat membahayakan
keselamatan para pekerja.
6. Mengadakan suatu kerja sama yang erat dengan fungsi-fungsi utama
lainnya dari suatu perusahaan dalam rangka untuk mencapai tujuan
utama perusahaan yaitu tingkat keuntungan (return on investment) yang
sebaik mungkin dan total biaya yang terendah.
2.1.3 Jenis Pemeliharan
Secara umum, ditinjau dari saat pelaksanaan Pekerjaan pemeliharaan
dikategorikan dalam tiga cara, yaitu :
1. Pemeliharaan terencana (planned maintenance)
Pemeliharaan terencana adalah pemeliharaan yang dilakukan secara
terorginisir untuk mengantisipasi kerusakan peralatan di waktu yang akan
datang, pengendalian dan pencatatan sesuai dengan rencana yang telah
ditentukan sebelumnya. Menurut Corder, Antony, K. Hadi, (1992)
Pemeliharaan terencana dibagi menjadi dua aktivitas utama yaitu:
a. Pemeliharaan pencegahan (Preventive Maintenance)
Pemeliharaan pencegahan (preventive maintenance) adalah inspeksi
periodik untuk mendeteksi kondisi yang mungkin menyebabkan
produksi terhenti atau berkurangnya fungsi mesin dikombinasikan
dengan pemeliharaan untuk menghilangkan, mengendalikan, kondisi
tersebut dan mengembalikan mesin ke kondisi semula atau dengan
kata lain deteksi dan penanganan diri kondisi abnormal mesin sebelum
kondisi tersebut menyebabkan cacat atau kerugian.
10
Menurut Jay Heizer dan Barry Render, (2001) dalam bukunya
“Operations Management” preventive maintenance adalah : “A plan
that involves routine inspections, servicing, and keeping facilities in
good repair to prevent failure”. Artinya preventive maintenance
adalah sebuah perencanaan yang memerlukan inspeksi rutin,
pemeliharaan dan menjaga agar fasilitas dalam keadaan baik sehingga
tidak terjadi kerusakan di masa yang akan datang. Ruang lingkup
pekerjaan preventive termasuk : inspeksi, perbaikan kecil, pelumasan
dan penyetelan, sehingga peralatan atau mesin-mesin selama
beroperasi terhindar dari kerusakan. Menurut Dhillon B.S, (2006)
dalam bukunya “maintainability, maintenance, and reliability for
engineers” ada 7 elemen dari pemeliharaan pencegahan (preventive
maintenance) yaitu:
a) Inspeksi
Memeriksa secara berkala (periodic) bagian-bagian tertentu untuk
dapat dipakai dengan membandingkan fisiknya, mesin, listrik, dan
karakteristik lain untuk standar yang pasti.
b) Kalibrasi
Mendeteksi dan menyesuaikan setiap perbedaan dalam akurasi
untuk material atau parameter perbandingan untuk standar yang
pasti.
11
c) Pengujian
Pengujian secara berkala (periodic) untuk dapat menentukan
pemakaian dan mendeteksi kerusakan mesin dan listrik.
d) Penyesuaian
Membuat penyesuaian secara periodik untuk unsur variabel tertentu
untuk mencapai kinerja yang optimal.
e) Servicing
Pelumasan secara periodik, pengisian, pembersihan, dan
seterusnya, bahan atau barang untuk mencegah terjadinya dari
kegagalan baru jadi.
f) Instalasi
Mengganti secara berkala batas pemakaian barang atau siklus
waktu pemakaian atau memakai untuk mempertahankan tingkat
toleransi yang ditentukan.
g) Alignment
Membuat perubahan salah satu barang yang ditentukan elemen
variabel untuk mencapai kinerja yang optimal.
b. Pemeliharaan korektif (Corrective Maintenance)
Pemeliharaan secara korektif (corrective maintenance) adalah
pemeliharaan yang dilakukan secara berulang atau pemeliharaan yang
dilakukan untuk memperbaiki suatu bagian (termasuk penyetelan dan
reparasi) yang telah terhenti untuk memenuhi suatu kondisi yang bisa
diterima. (Corder, Antony, K. Hadi, 1992). Pemeliharaan ini meliputi
12
reparasi minor, terutama untuk rencana jangka pendek, yang mungkin
timbul diantara pemeriksaan, juga overhaul terencana.
Menurut Jay Heizer dan Barry Reder, 2001 pemeliharaan
korektif (Corrective Maintenance) adalah : “Remedial maintenance
that occurs when equipment fails and must be repaired on an
emergency or priority basis”. Pemeliharaan ulang yang terjadi akibat
peralatan yang rusak dan harus segera diperbaiki karena keadaan
darurat atau karena merupakan sebuah prioritas utama.
Menurut Dhillon B.S, (2006) Biasanya, pemeliharaan korektif
(Corrective Maintenance) adalah pemeliharaan yang tidak
direncanakan, tindakan yang memerlukan perhatian lebih yang harus
ditambahkan, terintegrasi, atau menggantikan pekerjaan telah
dijadwalkan sebelumnya.
Dengan demikian, dalam pemeliharaan terencana yang harus
diperhatikan adalah jadwal operasi pabrik, perencanaan pemeliharaan,
sasaran perencanaan pemeliharaan, faktor-faktor yang diperhatikan
dalam perencanaan pekerjaan pemeliharaan, sistem organisasi untuk
perencanaan yang efektif, dan estimasi pekerjaan. ( Daryus A, 2007).
Jadi, pemeliharaan terencana merupakan pemakaian yang paling tepat
mengurangi keadaan darurat dan waktu nganggur mesin. Adapun
keuntungan lainya yaitu:
Pengurangan pemeliharaan darurat.
Pengurangan waktu nganggur.
Menaikkan ketersediaan (availability) untuk produksi.
13
Meningkatkan penggunaan tenaga kerja untuk pemeliharaan dan
produksi.
Memperpanjang waktu antara overhaul.
Pengurangan penggantian suku cadang, membantu pengendalian
sediaan.
Meningkatkan efisiensi mesin.
Memberikan pengendalian anggaran dan biaya yang bisa
diandalkan.
Memberikan informasi untuk pertimbangan penggantian mesin.
2. Pemeliharaan tak terencana (unplanned maintenance)
Pemeliharaan tak terencana adalah pemeliharaan darurat, yang
didefenisikan sebagai pemeliharaan dimana perlu segera dilaksanakan tindakan
untuk mencegah akibat yang serius, misalnya hilangnya produksi, kerusakan
besar pada peralatan, atau untuk keselamatan kerja. (Corder, Antony, K. Hadi,
1992).
Pada umumya sistem pemeliharaan merupakan metode tak terencana,
dimana peralatan yang digunakan dibiarkan atau tanpa disengaja rusak hingga
akhirnya, peralatan tersebut akan digunakan kembali maka diperlukannya
perbaikan atau pemeliharaan.
14
Menurut Daryus A, (2007) dalam bukunya Manajemen Pemeliharaan
Mesin membagi pemeliharaan menjadi:
1) Pemeliharaan pencegahan (Preventive Maintenance)
Pemeliharaan pencegahan adalah pemeliharaan yang dibertujuan untuk
mencegah terjadinya kerusakan, atau cara pemeliharaan yang
direncanakan untuk pencegahan.
2) Pemeliharaan korektif (Corrective Maintenance)
Pemeliharaan korektif adalah pekerjaan pemeliharaan yang dilakukan
untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi fasilitas/peralatan
sehingga mencapai standar yang dapat di terima. Dalam perbaikan dapat
dilakukan peningkatan-peningkatan sedemikian rupa, seperti melakukan
perubahan atau modifikasi rancangan agar peralatan menjadi lebih baik.
3) Pemeliharaan berjalan (Running Maintenance)
Pemeliharaan berjalan dilakukan ketika fasilitas atau peralatan dalam
keadaan bekerja. Pemeliharan berjalan diterapkan pada peralatan-
peralatan yang harus beroperasi terus dalam melayani proses produksi.
4) Pemeliharaan prediktif (Predictive Maintenance)
Pemeliharaan prediktif ini dilakukan untuk mengetahui terjadinya
perubahan atau kelainan dalam kondisi fisik maupun fungsi dari system
peralatan. Biasanya pemeliharaan prediktif dilakukan dengan bantuan
panca indra atau alat-alat monitor yang canggih.
5) Pemeliharaan setelah terjadi kerusakan (Breakdown Maintenance)
Pekerjaan pemeliharaan ini dilakukan ketika terjadinya kerusakan pada
15
peralatan, dan untuk memperbaikinya harus disiapkan suku cadang, alat-
alat dan tenaga kerjanya.
6) Pemeliharaan Darurat (Emergency Maintenance)
Pemeliharan darurat adalah pekerjaan pemeliharaan yang harus segera
dilakukan karena terjadi kemacetan atau kerusakan yang tidak terduga.
7) Pemeliharaan berhenti (shutdown maintenance)
Pemeliharaan berhenti adalah pemeliharaan yang hanya dilakukan selama
mesin tersebut berhenti beroperasi.
8) Pemeliharaan rutin (routine maintenance)
Pemeliharaan rutin adalah pemeliharaan yang dilaksanakan secara rutin
atau terus-menerus.
9) Design out maintenance
adalah merancang ulang peralatan untuk menghilangkan sumber
penyebab kegagalan dan menghasilkan model kegagalan yang tidak lagi
atau lebih sedikit membutuhkan maintenance.
3. Pemeliharaan Mandiri (Autonomous Maintenance)
Autonomous Maintenance atau pemeliharaan mandiri merupakan suatu
kegiatan untuk dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi
mesin/peralatan melalui kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh
operator untuk memelihara mesin/peralatan yang mereka tangani sendiri.
16
2.2 Total Productive Maintenance (TPM)
Total Productive Maintenance mula mula berasal dari pemikiran PM (
Preventive Maintenance dan Production Maintenance), dari Amerika masuk
ke Jepang dan berkembang menjadi suatu sistem baru khas Jepang yang
kemudian dikenal sebagai TPM (Total Productive Maintenance).
2.2.1 Definisi Total Productive Maintenance (TPM)
Total Productive Maintenance adalah konsep pemeliharaan yang
melibatkan seluruh pekerja yang bertujuan mencapai efektifitas pada
seluruh sistem produksi melalui partisipasi dan kegiatan pemeliharaan
yang produktif, proaktif, dan terencana. [Suzaki Kyoshi, 1999]
2.2.2 Karakteristik Total Productive Maintenance (TPM)
1. Motif Total Productive Maintenance :
Mengadopsi pendekatan lifecycle untuk meningkatkan performa
dan realibility mesin.
Meningkatkan produktivitas dengan memotivasi operator disertai
dengan perluasan tanggung jawab pekerjaan.
Menggunakan peran maintenance staff untuk fokus pada machine
failure dan bertanggung jawab terhadap kelancaran permesinan.
2. Keunikan Total Productive Maintenance :
Operator dan maintenance staff berkolaborasi untuk menjamin dan
membuat mesin dapat terus menerus berjalan dengan baik.
17
3. Tujuan Total Productive Maintenance :
Bertujuan untuk mencapai zero defect, zero breakdown dan zero
accident.
Mengkolaborasikan dan melibatkan seluruh operator, maintenance
staff, dan production engineering staff yang terkait dalam pertanggung
jawaban permesinan, serta seluruh karyawan pada umumnya.
Fokus pada pengurangan defect dan self maintenance.
Menuntut operator untuk dapat mengatasi kerusakan ringan yang
terjadi pada mesin sehingga tidak menjadi kerusakan mesin kronis.
4. Keuntungan Langsung Total Productive Maintenance :
Meningkatkan produktivitas dan efisiensi permesinan.
Mengurangi manufacturing cost.
Mengurangi kecelakaan kerja.
Memuaskan keinginan konsumen terhadap produk yang dihasilkan.
5. Keuntungan Tidak Langsung Total Productive Maintenance :
Meningkatkan kepuasan dan kepercayaan diri operator dan
karyawan pada umumnya.
Menjaga lingkungan kerja tetap bersih, rapih dan menarik.
Membawa kebiasaan baik bagi operator.
Saling berbagi pengetahuan dan pengalaman terkait.
2.2.3 Mentalitas Dasar
Mentalitas dasar dalam pelaksanaan total productive maintenance
adalah hal yang sangat esensial dan mendasar, karena merupakan dasar
kesuksesan penerapan total produtive maintenance itu sendiri. Setiap
18
pekerja harus dapat bekerja secara bersama-sama dan berpartisipasi
aktif dalam segala masalah yang timbul dalam lingkungan kerjanya.
Juga, pekerja harus sadar akan pentingnya pemeliharaan dari semua
peralatan demi kelancaran proses produksi. Adapun rumusan mentalitas
dasar adalah sebagai berikut :
1. Pengendalian pemeliharaan
Maksud dalam pengendalian pemeliharaan adalah harus membuat
rencana sebelum memulai pekerjaan, melaksanakan pekerjaan
tersebut sesuai rencana, memverifikasi hasil pekerjaan terhadap hasil
semula dan melakukan perbaikan yang perlu dilakukan.
2. Fokus kepada proses (bukan pada hasil)
Orientasi pengendalian yang dilakukan adalah selama masa proses
perbaikan berjalan bukan setelah proses perbaikan berakhir. Hal ini
dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas pemeliharaan dan
meningkatkan kuantitas serta mengurangi kerusakan.
3. Tidak menyalahkan orang lain
Maksudnya adalah saat seseorang membuat kesalahan, harus
diingatkan untuk tidak melakukannya dengan sengaja dan tidak
memusatkan perhatian pada kesalahan, akan tetapi kepada langkah
bagaimana mengatasi dan mencegah agar kesalahan yang sama tidak
terjadi lagi.
19
4. Fokus kepada hal vital
Maksudnya dalam mengambil tindakan harus berprinsip
memprioritaskan pada hal-hal penting walau jumlahnya sedikit, daripada
kepada hal yang tidak begitu penting walau jumlahnya banyak.
5. Fokus kepada data dan histori dengan satuan terukur
Maksudnya adalah menganalisis data dengan cermat, sehingga membuat
hal yang tidak tampak menjadi tampak, salah satunya melalui
penggunaan analisis statistika.
6. Fokus pada tindakan perbaikan dan pencegahan
Maksudnya melakukan tindakan perbaikan sesegera mungkin untuk
menghilangkan gejala kerusakan yang akan timbul, serta mencegah
terulangnya kerusakan yang sama.
7. Penetapan sasaran kuantitatif
Maksudnya dilakukan dengan pengendalian, pengecekan dan evaluasi
secara empiris dan terukur.
8. Berpegang pada konsep “ mencegah lebih baik daripada mengobati”
Memelihara mesin dengan baik sebelum mesin mengalami kerusakan
fatal.
9. Menggunakan prosedur tertulis terstandardisasi sebagai dasar
pemeliharaan
Setiap tindakan harus dicatat dalam form yang sudah disediakan,
hal ini dilakukan untuk menghindari penyimpangan, kesalahan,
kadaluarsa dan mencegah ketidaktaatan dalam pengambilan tindakan.
20
2.3 Overall Equipment Effectiveness
Overall Equipment Effectiveness (OEE) merupakan metode yang digunakan
sebagai alat ukur dalam penerapan program TPM guna menjaga peralatan pada
kondisi ideal dengan menghapuskan six big losses peralatan. Pengukuran OEE ini
didasarkan pada pengukuran tiga rasio utama, yaitu:
2.3.1. Availability Ratio
Availability ratio merupakan suatu rasio yang menggambarkan pemanfaatan
waktu yang tersedia untuk kegiatan operasi mesin atau peralatan. Dengan
demikian formula yang digunakan untuk mengukur availability ratio
adalah:
Availability = 𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑇𝑖𝑚𝑒
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100 %
Availability = 𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 −𝐷𝑜𝑤𝑛 𝑇𝑖𝑚𝑒
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100 %
Loading time adalah waktu yang tersedia (available time) perhari atau
perbulan dikurangi dengan waktu downtime mesin yang direncanakan
(planned downtime).
Loading Time = Total Available Time – Planned Downtime
Operation time merupakan hasil pengurangan loading time dengan waktu
downtime mesin (non-operation time). Dengan kata lain, operation time
adalah waktu operasi yang tersedia setelah waktu-waktu downtime mesin
dikeluarkan dari total available time yang direncanakan.
21
2.3.2. Performance Ratio
Performance ratio merupakan suatu ratio yang menggambarkan
kemampuan dari peralatan dalam menghasilkan barang. Tiga faktor penting
yang dibutuhkan untuk menghitun performance efficiency adalah:
a. Ideal cycle time (waktu siklus ideal)
b. Processed amount (jumlah produk yang diproses)
c. Operation time (waktu operasi mesin)
Formula pengukuran rasio ini adalah:
Performance Rate (P) = 𝐴𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 𝑥 𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙 𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑇𝑖𝑚𝑒
𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100 %
2.3.3. Quality Ratio atau Rate of Quality Product.
Quality ratio atau rate of quality product merupakan suatu rasio yang
menggambarkan kemampuan peralatan dalam menghasilkan produk yang
sesuai dengan standar. Formula yang digunakan untuk pengukuran rasio ini
adalah:
Rate of quality = 𝑝𝑟𝑜𝑐𝑒𝑠𝑠𝑒𝑑 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡 − 𝑑𝑒𝑓𝑒𝑐𝑡 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡
𝑝𝑟𝑜𝑐𝑒𝑠𝑠𝑒𝑑 𝑎𝑚𝑜𝑢𝑛𝑡 x 100 %
2.4 Enam Kerugian Utama ( Six Big Losses )
Tujuan dari perhitungan six big losses ini adalah untuk mengetahui nilai
efektivitas keseluruhan (Overall Equipment Effectiveness / OEE). Dari nilai OEE
ini dapat diambil langkah-langkah untuk memperbaiki atau mempertahankan nilai
tersebut. Keenam kerugian tersebut dapat digolongkan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Downtime Losses, terdiri dari :
a. Breakdown Losses/Equipment Failures adalah kerusakan mesin/peralatan
yang tiba-tiba atau kerusakan yang tidak diinginkan tentu saja akan
22
menyebabkan kerugian, karena kerusakan mesin akan menyebabkan
mesin tidak beroperasi menghasilkan output. Hal ini akan mengakibatkan
waktu yang terbuang sia-sia dan kerugian material serta produk cacat
yang dihasilkan semakin banyak.
Breakdown Losses = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐵𝑟𝑒𝑎𝑘𝑑𝑜𝑤𝑛 𝑇𝑖𝑚𝑒
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100%
b. Setup and Adjusment Losses/kerugian karena pemasangan dan
penyetelan, semua waktu set up termasuk waktu penyesuaian
(adjustment) dan juga waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan-kegiatan
pengganti satu jenis produk ke jenis produk berikutnya untuk proses
produksi selanjutnya.
Set up/Adjusment Losses = 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝑆𝑒𝑡𝑢𝑝 /𝐴𝑑𝑗𝑢𝑠𝑚𝑒𝑛𝑡 𝑇𝑖𝑚𝑒
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100%
2. Speed Loss, terdiri dari :
a. Idling and Minor Stoppage Losses disebabkan oleh kejadian-kejadian
seperti pemberhentian mesin sejenak, kemacetan mesin, dan idle time
dari mesin. Kenyataannya, kerugian ini tidak dapat dideteksi secara
langsung tanpa adanya alat pelacak. Ketika operator tidak dapat
memperbaiki pemberhentian yang bersifat minor stoppage dalam waktu
yang telah ditentukan, dapat dianggap sebagai suatu breakdown.
Idling and minor stoppages losses = 𝑁𝑜𝑛𝑝𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡𝑖𝑣𝑒 𝑇𝑖𝑚𝑒
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100%
b. Reduced Speed Losses adalah kerugian karena mesin tidak bekerja
optimal (penurunan kecepatan operasi) terjadi jika kecepatan aktual
operasi mesin/peralatan lebih kecil dari kecepatan optimal atau
kecepatan mesin yang dirancang.
23
Reduce speed losses =
𝑂𝑝𝑒𝑟𝑎𝑡𝑖𝑜𝑛 𝑇𝑖𝑚𝑒 −(𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙 𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑇𝑖𝑚𝑒 𝑥 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑐𝑡𝑢𝑎𝑙 𝑃𝑟𝑜𝑑𝑢𝑐𝑡 )
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100%
3. Defect Loss, terdiri dari :
a. Rework Losses adalah kerugian yang disebabkan karena adanya produk
cacat maupun karena kerja produk diproses ulang. Produk cacat yang
dihasilkan akan mengakibatkan kerugian material, mengurangi jumlah
produksi, biaya tambahan untuk pengerjaan ulang dan limbah produksi
meningkat. Kerugian akibat pengerjaan ulang termasuk biaya tenaga
kerja dan waktu yang dibutuhkan untuk mengolah dan mengerjakan
kembali ataupun untuk memperbaiki produk yang cacat. Walaupun
waktu yang dibutuhkan untuk memperbaiki produk cacat hanya sedikit,
kondisi ini dapat menimbulkan masalah yang lebih besar.
Rework Losses = 𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙 𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑇𝑖𝑚𝑒 𝑥 𝑅𝑒𝑤𝑜𝑟𝑘
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100%
b. Reduced Yield Losses adalah kerugian waktu dan material yang timbul
selama waktu yang dibutuhkan oleh mesin/peralatan untuk menghasilkan
produk baru dengan kualitas produk yang telah diharapkan. Kerugian
yang timbul tergantung pada faktor-faktor seperti keadaan operasi yang
tidak stabil, tidak tepatnya penanganan dan pemasangan mesin/peralatan
ataupun operator tidak mengerti dengan kegiatan proses produksi yang
dilakukan.
Reduced Yield Losses = 𝐼𝑑𝑒𝑎𝑙 𝐶𝑦𝑐𝑙𝑒 𝑇𝑖𝑚𝑒 𝑥 𝑆𝑐𝑟𝑎𝑝
𝐿𝑜𝑎𝑑𝑖𝑛𝑔 𝑇𝑖𝑚𝑒 x 100%
24
2.5 Fishbone (Ishikawa) Diagram / Diagram Sebab Akibat
Instrumen dasar dalam peningkatan kualitas yang lain adalah diagram
Ishikawa. Dinamakan Ishikawa sesuai dengan nama penemunya yang berasal dari
negara jepang yang bernama “Kaaru Ishikawa” pada tahun 1943. Diagram
Ishikawa juga dikenal sebagai diagram sebab akibat atau Fishbone. Fungsi
dasarnya adalah untuk mengidentifikasi dan mengorganisasi penyebab-penyebab
yang mungkin timbul dari suatu efek spesifik dan kemudian memisahkan akar
penyebabnya.
Diagram Fishbone terdiri dari 2 macam yaitu:
1. Standar Fishbone: mengidentifikasi penyebab-penyebab yang mungkin dari
suatu masalah yang tidak diinginkan dan bersifat spesifik.
2. Diagram fishbone terbalik: mengidentifikasi tindakan yang harus dilakukan
untuk menghasilkan efek atau hasil yang diinginkan.
Langkah-langkah dalam pembuatan diagram sebab akibat atau fishbone
adalah sebagai berikut:
1. Definisikan masalah yang ada, langkah ini dapat menggunakan dari hasil
diagram pareto.
2. Gambarkan kotak masalah (kepala ikan) dan panah utama serta garis-garis
samping (tulang ikan)
3. Tuliskan pernyataan masalah tersebut pada kepala ikan yang merupakan
akibat.
4. Spesifikasi kategori utama yang merupakan sumber-sumber penyebab
timbulnya masalah dan tuliskan pada tulang ikan.
25
5. Identifikasi penyebab-penyebeb sekunder yang mempengaruhi penyebab
utama dan tuliskan pada tulang ikan yang lebih kecil.
6. Analisis sebab-sebab timbulnya permasalahan dan kemudian diambil
tindakan korektifnya untuk perbaikan.
Gambar 1.1 Contoh Diagram Fishbone
Berikut ini manfaat fishbone diagram:
1. Merupakan alat yang luar biasa untuk mengumpulkan ide dan input-input
kelompok, merupakan metode dasar dari brainstorming terstruktur.
2. Dengan mengelompokan penyebab-penyebab yang mungkin, maka
kelompok dapat memikirkan banyak kemungkinan ketimbang hanya
memfokuskan pada beberapa area tipikal.
3. Membantu dimulainya fase analyze. Dengan menggunakan fishbone
diagram, maka dapat digunakan untuk mengidentifikasi beberapa penyebab
dengan lebih fokus untuk memulai analisis proses dan data. Fishbone
26
diagram juga membawa kita kembali ke isu variasi. Kita perhatikan bahwa
sebuah proses memiliki dua tipe variasi.
Upstream dari pelanggan (pada input atau proses) yang disebut faktor-faktor
variasi “X”. Tipe lainnya, down stream atau variasi output yang merupakan hasil
perubahan dalam X yang disebut “Y”. Kita dapat menerapkan prinsip X dan Y
tersebut ke dalam model fishbone diagram. Masalah adalah Y dan akar masalah
yang mungkin adalah X yang disimpan di tulang-tulang diagram tersebut (Pande,
P.S., 2002:281). Selanjutnya akar-akar penyebab masalah yang ditemukan
dimasukan ke dalam fishbone diagram yang telah mengkategorikan sumber-
sumber penyebab berdasarkan prinsip 7M, yaitu:
1. Manpower (tenaga kerja), yaitu berkaitan dengan kekurangan dalam
pengetahuan, kekurangan dalam keterampilan dasar yang berkaitan dengan
mental dan fisik, kelelahan, stress, ketidakpedulian dan lain-lain.
2. Machines (mesin-mesin) dan peralatan, yaitu berkaitan dengan tidak ada
sistem perawatan preventif terhadap mesin-mesin produksi, termasuk
fasilitas dan peralatan lain, tidak sesuai dengan spesifikasi tugas, tidak
dikalibrasi dan lain-lain.
3. Methods (Metode kerja), yaitu berkaitan dengan tidak ada prosedur dan
metode kerja yang benar, tidak jelas, tidak diketahui, tidak terstandarisasi,
tidak cocok dan lain-lain.
4. Materials (bahan baku dan bahan pendukung), yaitu berkaitan dengan
ketiadaan spesifikasi kualitas dari bahan baku dan bahan pendukung yang
digunakan, ketiadaan penanganan yang efektif terhadap bahan baku dan
bahan pendukung tersebut dan lain-lain.
27
5. Media, yaitu berkaitan dengan tempat dan waktu kerja yang tidak
memperhatikan aspek-aspek kebersihan, kesehatan, keselamatan kerja,
kekurangan lampu penerangan, ventilasi yang buruk dan lain-lain.
6. Motivation (motivasi), yaitu berkaitan dengan ketiadaan sikap kerja yang
benar dan professional, yang dalam hal ini disebabkan sistem balas jasa dan
penghargaan yang tidak adil kepada tenaga kerja.
7. Money (keuangan), yaitu berkaitan dengan ketiadaan dukungan financial
(keuangan) yang cukup guna memperlancar proses pembuatan produk yang
berkualitas (Gaspersz, 2002:241).