02_aplikasi penginderaan jauh untuk bencana geologi_draft_final

11
LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI M. Rokhis Khomarudin, Parwati, dan Suwarsono Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh Pendahuluan Indonesia adalah suatu negara yang terletak di ring of fire, kawasan yang sering terjadi bencana, dan sering juga disebut sebagai supermarket bencana. Suatu bencana jika dilihat dari sisi negatif, maka persepsi yang kita lihat adalah sebagai sesuatu yang merugikan, merusak, dan mengakibatkan korban jiwa yang sangat besar. Namun, jika kita lihat sebagai sumberdaya, maka bencana adalah sumberdaya riset yang tidak dimiliki oleh negara lain. Bencana akan menjadi suatu bagian yang menjadikan Indonesia unggul dalam bidang penelitian dan pengembangan kebencanaan. Tentunya, penelitian dan pengembangan ini ditujukan untuk mengurangi dampak dan resiko bencana yang ditimbulkan. Hal ini akan menjadikan Indonesia lebih kuat dan masyarakatnya sudah akrab dengan bencana. Resiko bencana akan menurun seriring dengan meningkatnya kapasitas masyarakat dalam menanggulangi bencana. Bencana alam merupakan suatu peristiwa alami yang menimbulkan dampak serius bagi manusia, seperti luka-luka atau hilangnya nyawa manusia, rusaknya properti (seperti rumah dan bangunan), rusaknya infrastruktur (seperti jalan, jembatan dan saluran irigasi), musnahnya lahan budidaya (seperti lahan pertanian). Bencana alam dikelompokkan menjadi bencana alam meteorologi, bencana alam geologi, dan bencana alam dari ruang angkasa. Bencana alam meteorologi berhubungan dengan cuaca dan iklim. Bencana geologi berhubungan dengan proses geologi, yaitu proses-proses yang berasal dari permukaan bumi (eksogen) atau di bawah permukaan bumi (endogen) yang melibatkan material batuan penyusunnya. Proses geologi bekerja membangun dan membentuk permukaan bumi. Bencana dari ruang angkasa (ekstra teritorial) adalah bencana akibat jatuhan benda dari langit (asteroid) yang sampai ke permukaan bumi atau bencana akibat gangguan badai matahari. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2014), tercatat bahwa bencana yang sering terjadi adalah bencana meteorologi seperti banjir dan kekeringan, karena hampir setiap tahun di beberapa wilayah Indonesia dilanda bencana ini. Namun, dari catatan yang ada, bencana yang paling mematikan dan menimbulkan korban Jiwa adalah bencana geologi. BNPB mencatat bahwa dampak bencana geologi terbesar yang menyebabkan lebih dari 200.000 jiwa meninggal adalah akibat bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004. Selain itu, bencana tsunami Pangandaran tahun 2006, letusan Gunung Merapi 2010, dan tsunami Mentawai 2010 juga merupakan akibat bencana geologi yang menyebabkan korban jiwa yang besar. Tidak seperti bencana meteorologi, bencana geologi lebih sulit untuk diprediksikan. Namun penentuan daerah bahaya dan beresiko dapat dilakukan dengan baik jika data spasialnya memadai. Demikian juga kerusakan dan dampak akibat kejadian bencana geologi dapat dipetakan dengan baik. Data yang dapat digunakan baik untuk penentuan daerah bahaya dan beresiko, dan juga kerusakan akibat bencana adalah penginderaan jauh. Tulisan ini akan menampilkan contoh-contoh

Upload: brianbagusa

Post on 25-Dec-2015

35 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

TRANSCRIPT

Page 1: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

APLIKASI PENGINDERAAN JAUH UNTUK BENCANA GEOLOGI

M. Rokhis Khomarudin, Parwati, dan Suwarsono

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Pendahuluan

Indonesia adalah suatu negara yang terletak di ring of fire, kawasan yang sering terjadi bencana, dan

sering juga disebut sebagai supermarket bencana. Suatu bencana jika dilihat dari sisi negatif, maka

persepsi yang kita lihat adalah sebagai sesuatu yang merugikan, merusak, dan mengakibatkan korban

jiwa yang sangat besar. Namun, jika kita lihat sebagai sumberdaya, maka bencana adalah

sumberdaya riset yang tidak dimiliki oleh negara lain. Bencana akan menjadi suatu bagian yang

menjadikan Indonesia unggul dalam bidang penelitian dan pengembangan kebencanaan. Tentunya,

penelitian dan pengembangan ini ditujukan untuk mengurangi dampak dan resiko bencana yang

ditimbulkan. Hal ini akan menjadikan Indonesia lebih kuat dan masyarakatnya sudah akrab dengan

bencana. Resiko bencana akan menurun seriring dengan meningkatnya kapasitas masyarakat dalam

menanggulangi bencana.

Bencana alam merupakan suatu peristiwa alami yang menimbulkan dampak serius bagi manusia,

seperti luka-luka atau hilangnya nyawa manusia, rusaknya properti (seperti rumah dan bangunan),

rusaknya infrastruktur (seperti jalan, jembatan dan saluran irigasi), musnahnya lahan budidaya

(seperti lahan pertanian). Bencana alam dikelompokkan menjadi bencana alam meteorologi,

bencana alam geologi, dan bencana alam dari ruang angkasa. Bencana alam meteorologi

berhubungan dengan cuaca dan iklim. Bencana geologi berhubungan dengan proses geologi, yaitu

proses-proses yang berasal dari permukaan bumi (eksogen) atau di bawah permukaan bumi

(endogen) yang melibatkan material batuan penyusunnya. Proses geologi bekerja membangun dan

membentuk permukaan bumi. Bencana dari ruang angkasa (ekstra teritorial) adalah bencana akibat

jatuhan benda dari langit (asteroid) yang sampai ke permukaan bumi atau bencana akibat gangguan

badai matahari.

Menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (2014), tercatat bahwa bencana yang sering

terjadi adalah bencana meteorologi seperti banjir dan kekeringan, karena hampir setiap tahun di

beberapa wilayah Indonesia dilanda bencana ini. Namun, dari catatan yang ada, bencana yang paling

mematikan dan menimbulkan korban Jiwa adalah bencana geologi. BNPB mencatat bahwa dampak

bencana geologi terbesar yang menyebabkan lebih dari 200.000 jiwa meninggal adalah akibat

bencana gempa dan tsunami di Aceh tahun 2004. Selain itu, bencana tsunami Pangandaran tahun

2006, letusan Gunung Merapi 2010, dan tsunami Mentawai 2010 juga merupakan akibat bencana

geologi yang menyebabkan korban jiwa yang besar.

Tidak seperti bencana meteorologi, bencana geologi lebih sulit untuk diprediksikan. Namun

penentuan daerah bahaya dan beresiko dapat dilakukan dengan baik jika data spasialnya memadai.

Demikian juga kerusakan dan dampak akibat kejadian bencana geologi dapat dipetakan dengan baik.

Data yang dapat digunakan baik untuk penentuan daerah bahaya dan beresiko, dan juga kerusakan

akibat bencana adalah penginderaan jauh. Tulisan ini akan menampilkan contoh-contoh

Page 2: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

pemanfaatan penginderaan jauh untuk deteksi daerah bahaya, beresiko dan kerusakan akibat

bencana geologi.

Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek,

daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung

dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1979). Terdapat empat

komponen dasar dari sistem penginderaan jauh, yaitu target, sumber energi, alur transmisi, dan

sensor. Komponen dalam sistem ini bekerja bersama untuk mengukur dan mencatat informasi

mengenai target tanpa menyentuh obyek tersebut. Sumber energi yang menyinari atau

memancarkan energi elektromagnetik pada target mutlak diperlukan. Energi berinteraksi dengan

target dan sekaligus berfungsi sebagai media untuk meneruskan informasi dari target kepada sensor.

Sensor merupakan sebuah alat yang mengumpulkan dan mencatat radiasi elektromagnetik.

Data yang terekam oleh sensor kemudian dikirimkan ke stasiun penerima dan diproses menjadi

format yang siap pakai, diantaranya berupa citra. Citra ini kemudian diinterpretasi untuk menyarikan

informasi mengenai target. Proses interpretasi dapat dilakukan secara visual maupun dijital

/automatic dengan bantuan komputer dan perangkat lunak pengolah citra. Menurut Sutanto (1992),

dengan bantuan citra penginderaan jauh, obyek suatu daerah dan gejala di permukaan bumi dapat

digambarkan dengan wujud dan letak obyek yang mirip dengan wujud dan letaknya di permukaan

bumi, relatif lengkap, meliputi daerah yang luas, dan permanen.

Satelit penginderaan jauh memiliki beberapa karakteristik, yang meliputi sistem sensor, resolusi,

lebar sapuan, dan sistem orbit. Terdapat dua sistem sensor dalam penginderaan yaitu sensor optis

dan sensor radar. Hal yang membedakan kedua sensor adalah pada sistem energi yang direkam oleh

sensor satelit. Jikalau sensor optis (pasif) merekam hasil pemantulan objek oleh sinar matahari,

sensor radar (aktif) menerima hamburan balik (backscatter) dari obyek yang asal energinya berasal

dari satelit radar. Terdapat empat resolusi yang sering digunakan dalam menerangkan data

penginderaan jauh. Resolusi spasial, temporal, radiometrik, dan spektral. Resolusi spatial adalah

ukuran permukaan bumi yang digambarkan dalam satu pixel citra satelit, resolusi temporal adalah

frekuensi satelit untuk memotret suatu wilayah yang sama, dan resolusi radiometrik menentukan

seberapa bagus suatu sistem untuk dapat membedakan intensity-nya. Biasanya ditunjukkan dengan

satuan ‘bit’, seperti 8 bit, 10 bit, dan lain-lain. Resolusi spektral menunjukkan jumlah kanal atau

saluran yang dimiliki oleh satelit, yang menunjukkan kisaran spektral tertentu pada setiap kanalnya.

Lebar permukaan bumi yang dapat direkam oleh satelit, biasanya tergantung dari ketinggian orbit

satelit dari permukaan bumi, semakin tinggi letak satelit, semakin lebar permukaan bumi yang dapat

direkam. Terdapat beberapa sistem orbit yang dikenal di penginderaan jauh, yaitu orbit polar, orbit

ekuatorial, dan orbit tetap (geostationer). Orbit polar adalah suatu lintasan satelit dari kutub ke

kutub yang ada di bumi dan orbit ekuatorial adalah suatu lintasan satelit yang sejajar dengan garis

equator. Orbit geostationer adalah berorbit tetap, biasanya memiliki ketinggian 35.800 km.

Page 3: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Seiring dengan perkembangan teknologi, citra satelit berkembang dengan sangat pesat dari resolusi

spasial yang sangat rendah sampai dengan sangat tinggi. Aplikasinya juga berkembang dari aplikasi

cuaca, pemetaan sumberdaya alam, hingga perencanaan tata ruang perkotaan. Teknik/metode-pun

berkembang dengan cepat dari teknik klasifikasi berbasiskan pixel, subpixel hingga berbasiskan objek.

Perkembangan ini juga ditunjang dengan perkembangan teknologi pengolah data yang semakin

memudahkan pengguna untuk menganalisa citra satelit yang diperoleh. Sampai saat ini, terdapat

citra yang mampu merekam dengan resolusi spasial hingga mencapai 0.3 meter (citra World View 3).

Dengan menggunakan citra ini, obyek manusia yang sedang berjalan kaki dapat diamati dengan

mudah.

Pemanfaatan Data Penginderaan Jauh untuk Deteksi Bencana Alam

Secara prinsip, setiap obyek dan fenomena alam yang berada di ruang permukaan bumi

dapat dideteksi dari citra satelit. Jadi, bencana alam, baik obyek yang dikenainya dan

fenomena yang menyertainya dapat terekam oleh satelit yang melintas di atasnya.

Kemampuan citra satelit dalam mendeteksinya sangat tergantung dari resolusinya, baik

spasial, spektral, radiometrik, dan temporal.

Seperti telah dijelaskan di depan, bencana geologi berhubungan dengan proses geologi, yaitu proses-

proses yang berasal dari permukaan bumi (eksogen) atau di bawah permukaan bumi (endogen) yang

melibatkan material batuan penyusunnya. Letak Indonesia yang berada pada pertemuan antar

lempeng tektonik menjadi penyebab utama Indonesia rawan terjadi bencana geologi. Bencana

geologi yang sering melanda wilayah Indonesia meliputi erupsi gunungapi, gerakan tanah (tanah

longsor), gempa bumi dan tsunami.

a) Erupsi Gunungapi

Gunungapi merupakan suatu entitas di permukaan bumi yang terbentuk secara alami, menempati

suatu wilayah dan menunjukkan gejala-gejala yang unik & spesifik (vulkanisme). Erupsi adalah

peristiwa keluarnya magma dari dalam bumi. Erupsi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu Erupsi

Letusan (Explosive Eruption) dan Erupsi Non-letusan (Non-explosive Eruption). Jenis erupsi yang

terjadi dipengaruhi oleh banyak faktor seperti kekentalan magma, kandungan gas di dalam magma,

pengaruh air tanah serta kedalaman dapur magma (magma chamber). Produk-produk ekstrusif

akibat erupsi vulkanik, yang seringkali menimbulkan bencana, akan terekam oleh sensor satelit, baik

optis maupun radar. Terkait dengan erupsi gunungapi, citra penginderaan jauh dapat dimanfaatkan

untuk mendeteksi:

Sebaran asap letusan yang menyebar di atmosfer,

Endapan piroklastik,

Sebaran lava pijar,

Sebaran lahar dingin,

Deformasi kepundan.

Page 4: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Informasi tersebut di atas sangat diperlukan khususnya pada fase tanggap darurat bencana. Selain

itu, dari citra penginderaan jauh dapat diperoleh juga informasi kondisi penutup lahan, bentuklahan,

pola aliran, jenis batuan penyusun (litologi) dan struktur geologi. Informasi ini merupakan data

masukan untuk analisis daerah rawan bahaya, kerentanan bencana dan untuk analisis resiko

bencana.

Gambar 1. Kejadian erupsi G.Sangeangapi di Nusa Tenggara Timur pada tanggal 31 Mei 2014 yang

terekam oleh satelit Terra dan Aqua MODIS. (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id)

Kejadian erupsi G.Sangeangapi di Nusa Tenggara Timur pada tanggal 31 Mei 2014 yang terekam oleh

satelit Terra dan Aqua MODIS diperlihatkan pada Gambar 1. Dari citra tersebut, dapat dideteksi arah

dan sebaran asap yang dihasilkan (tampak berwarna kecoklatan). Bencana ini telah menganggu

transportasi udara (pesawat) yang menuju dan berasal dari Bima, Kupang serta Darwin. Gambar 2

memperlihatkan peristiwa erupsi yang sama yang direkam secara lebih detil dari citra Landsat-8.

Page 5: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Gambar 2. Kejadian erupsi G.Sangeangapi di Nusa Tenggara Timur yang terekam oleh satelit Landsat-8 tanggal 1 Juni 2014. (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id)

Pada fase kesiapsiagaan, sangat diperlukan informasi daerah rawan bahaya, kerentanan bencana dan

analisis resiko bencana. Dalam untuk memenuhi kebutuhan informasi ini, data citra penginderaan

jauh memainkan peranan penting. Gambar 3 memperlihatkan citra Landsat-7 ETM+ dan DEM - SRTM

(Digital Elevation Model – Shuttle Radar Topography Mission) yang dapat dipergunakan untuk

mengetahui sebelum erupsi seperti penutup lahan, morfologi, serta daerah rawan bencana.

Memahami karakter letusan G. Sangeangapi yang bersifat eksplosif, morfologi stratovolcanic yang

menempati satu kesatuan pulau, serta bekas-bekas erupsi sebelumnya, maka dapat diperoleh

pemahaman bahwa apabila terjadi erupsi, proses evakuasi penduduk keluar dari pulau perlu

dilakukan apabila terjadi tanda-tanda peningkatan aktivitas vulkanisme.

Page 6: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Gambar 3. Citra Landsat-7 ETM+ dan DEM - SRTM (Digital Elevation Model – Shuttle Radar

Topography Mission) menggambarkan kondisi wilayah sebelum kejadian erupsi. (Gambar diambil dari

website: www.lapan.go.id).

Informasi deformasi kubah lava dan kawah sangat penting diketahui untuk mengetahui perubahan

bentuk kubah serta kawah akibat erupsi. Pemahaman tersebut diperlukan untuk mengetahui pola

dan karakter erupsi serta penting untuk memprediksi erupsi berikutnya. Citra SAR (Synthetic Aperture

Radar) sangat handal diperlukan untuk analisis ini. Gambar 4 memperlihatkan citra TerraSAR-X

Gunungapi Kelud yang menunjukkan hancurnya kubah lava akibat letusan yang eksplosif.

Gambar 4. Hancurnya kubah lava G. Kelud akibat letusan eksplosif yang teramati dari citra Terra-SAR-X. . (Gambar diambil dari website: www.lapan.go.id).

b) Tanah Longsor

Tanah longsor merupakan salahsatu jenis gerakan massa tanah atau batuan, atau percampuran

keduanya, menuruni atau keluar lereng akibat dari terganggunya kestabilan tanah atau batuan

penyusun lereng tersebut (BAKORNAS PB, 2007). Pada dasarnya, penyebab terjadinya longsor adalah

adanya gaya gravitasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya longsor adalah geologi, tata guna

lahan, topografi dan kegempaan. Terdapat enam tipe tanah longsor, yaitu: longsoran transisi,

longsoran rotasi, pergerakan blok, runtuhan batuan, rayapan tanah, dan aliran bahan rombakan. Tipe

tanah longsor aliran bahan rombakan identik dengan istilah “banjir bandang”, yaitu banjir yang

disertai dengan longsoran.

Analisis daerah rawan longsor, kajian kerentanan longsor serta analisis resiko bencana tanah longsor

dapat dilakukan dengan dukungan data penginderaan jauh. Dalam hal ini, informasi masukan dapat

diperoleh dari analisis citra. Informasi tersebut meliputi: penutup lahan, morfologi, tanah, geologi,

serta curah hujan. Pada proses tanggap darurat bencana, pada banyak kasus, endapan hasil

longsoran dan dampak kerusakan yang ditimbulkannya dapat diamati dengan jelas dari citra satelit.

Gambar 5 memperlihatkan hasil pengamatan tanah longsor di Desa Cikangkareng Kecamatan

Cibinong Kabupaten Cianjur. Citra yang dipergunakan adalah IKONOS yang memiliki resolusi spasial

hingga 1 meter. Pada gambar diperlihatkan kondisi sebelum longsor dan setelah longsor. Pada

resolusi tersebut dapat diketahui luas wilayah terkena longsoran, berapa jumlah rumah yang hancur

tertimpa material longsoran, berapa panjang jalan yang terputus, serta luas lahan tanaman yang

hancur. Dari informasi ini dapat juga diperkirakan jumlah korban manusia yang mungkin tertimpa

longsoran, yaitu diprediksi dari jumlah rumah yang hancur. Satu informasi penting lainnya adalah

dapat diketahui potensi longsoran yang akan terjadi, yaitu diindikasikan oleh adanya bukaan “calon”

Page 7: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

longsoran (pada gambar disimbolkan dengan arah panah). Jadi, informasi dari citra ini sangat

bermanfaat selain untuk mendukung upaya mitigasi bencana, juga untuk penyusunan program

rehabilitasi rekonstruksi serta untuk kesiapsiagaan terhadap potensi bencana berikutnya.

Gambar 5. Tanah longsor di Ds. Cikangkareng Cianjur yang teramati dari citra IKONOS.

c) Gempa Bumi dan Tsunami

Gempa bumi adalah berguncangnya bumi yang disebabkan oleh tumbukan antar lempeng bumi,

patahan aktif, aktivitas gunungapi atau runtuhan batuan. Gempa bumi merupakan peristiwa

pelepasan energi yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam bumi secara tiba-tiba

Penyebab gempa bumi dapat berasal dari proses tektonik-pergerakan kulit/lempeng bumi, aktivitas

sesar di permukaan bumi, pergerakan geomorfologi secara lokal, aktivitas gunungapi, atau ledakan

nuklir. Tsunami diartikan sebagai gelombang laut dengan periode panjang yang ditimbulkan oleh

gangguan impulsif dari dasar laut. Gangguan impulsif tersebut bisa berupa gempabumi tektonik,

erupsi vulkanik atau longsoran (BAKORNAS PB, 2007). Peristiwa gempa bumi dan tsunami ini mulai

menghebohkan sejak peristiwa di Aceh, 26 Desember 2004 yang menimbulkan bencana maha

dahsyat.

Sampai ini, data penginderaan jauh belum mampu dipergunakan untuk mendeteksi parameter

gempa bumi maupun tsunami seperti waktu kejadian, lokasi pusat gempa bumi di permukaan

(episentrum), kedalaman sumber gempa, kekuatan/magnitudo gempa bumi, serta intensitas gempa

bumi. Namun, citra penginderaan jauh sangat bermanfaat untuk mengetahui dampak dari gempa

bumi dan tsunami, yaitu kerusakan yang ditimbulkannya. Selain itu, data penginderaan jauh sangat

mendukung analisis bahaya, kerentanan dan resiko tsunami.

Page 8: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Gambar 6. Dampak gempa bumi dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 diamati dari citra IKONOS.

Gambar kiri adalah kondisi sebelum bencana dan kanan adalah setelah bencana.

Gambar 7. Dampak gempa bumi dan tsunami di Aceh, 26 Desember 2004 diamati dari citra

Quickbird. Gambar kiri adalah kondisi sebelum bencana (perekaman 3 Juni 2004) dan kanan adalah

setelah bencana (perekaman 28 Desember 2004).

Penentuan Daerah Bahaya dan Resiko Bencana

Bahaya gunung api di Indonesia umumnya berupa bahaya primer (misalnya: aliran lava, piroklastik)

dan bahaya sekunder (aliran lahar dingin). Lava adalah materi erupsi gunung api yang berupa zat cair

yang umumnya keluar secara meleleh (effusif). Aliran piroklastik yang dikenal ilmiah sebagai

kepadatan arus piroklastik (PDC) adalah aliran yang bergerak sangat cepat berupa gas panas (yang

dapat mencapai suhu sekitar 1000 ° C (1830 ° F)) dan batuan (secara kolektif dikenal sebagai tephra),

dengan kecepatan umumnya mencapai 700 km / h (450 mph). Lahar dingin dihasilkan dari interaksi

antara penumpukan material letusan dengan curah hujan yang jatuh. Lahar dingin merupakan aliran

sedimen pekat yang terdiri atas batu, kerikil, pasir serta abu vulkanik yang tercampur air.

Bahaya gunungapi ini memiliki resiko yang sangat tinggi, jika terjadi di wilayah yang padat penduduk

dan banyak infrastruktur yang penting di daerah tersebut. Oleh karena itu, dipandang sangat penting

untuk dapat memetakan zona bahaya akibat letusan gunung api tersebut. Setelah itu, pada daerah

bahaya dapat dilihat berapa jumlah penduduk sebagai objek yang rentan terhadap bahaya, dan juga

infrastuktur apa sajakah yang ada di zona bahaya. Hingga akhirnya peta dan analisa resiko dapat

dilakukan dengan mengintegrasikan zona bahaya dan kerentanan gunung api.

Salah satu metode pendekatan untuk zonasi bahaya gunung api berdasarkan data penginderaan jauh adalah metode probabilistik yang dikembangkan oleh Felpeto et al (2007) melalui framework Sistem

Page 9: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Informasi Geografis (SIG) yang dinamakan Volcano Risk Information System (VORIS). Melalui VORIS dapat dilakukan skenario pemetaan zona bahaya gunung api berdasarkan model probabilistic simulasi numerik aliran lava, Pyroclastic Density Current (PDC), dan sebaran debu volkanik..Pada prinsipnya model probabilistik aliran material erupsi mengasumsikan topografi sebagai faktor utama yang menentukan jalannya aliran (Felpeto et al 2007). Model probabilistik yang digunakan adalah algoritma Monte Carlo dimana aliran hanya dapat menyebar dari sel satu ke sel lain pada 8 sel tetangga, jika selisih tinggi topografinya positif. Peluang untuk aliran berpindah dari satu sel ke sel tetangga yang lain sebanding dengan selisih topografi tersebut. Selain itu, ada model simulasi aliran pyroclastic yaitu model Energy Cone yang merupakan model simulasi potensi maksimum suatu wilayah terpengaruh oleh PDC. Model Energy Cone menggunakan konsep 'energi garis/energy line' yang menghubungkan lokasi sumber fenomena tersebut dengan jarak batas deposit aliran. Model ini sangat praktis untuk digunakan dalam memberikan peringatan zonasi bahaya secara cepat dalam kondisi darurat Malin and Sheridan (1982).

Gambar 1a merupakan citra satelit SPOT-4 di sekitar wilayah Gunung Merapi tanggal 26 Juni 2009

sebelum kejadian letusan besar yaitu tahun 2010. Berdasarkan analisis geomorfologi dan interpretasi

citra dari rona, tekstur, pola, dan topografi yang terbentuk dari visualisasi citra, maka dapat

diidentifikasi daerah yang berpotensi sebagai aliran lava serta penutup lahan berupa vegetasi, lahan

pertanian, dan permukiman. Aplikasi metode probabilistik dengan data penginderaan jauh dalam

penentuan wilayah yang berpotensi terkena aliran erupsi ditunjukkan oleh Gambar 1b dan 1c.

Gambar 1b merupakan hasil simulasi peluang aliran material erupsi dari data DEM-SRTM, sedangkan

Gambar 1c dari data DEM PALSAR. Aplikasi model Energy Cone dapat ditunjukkan oleh Gambar 1d

yang dibandingkan dengan peta referensi, dimana akurasinya mencapai sekitar 77 % (Yulianto et al,

2014)

Gambar 1a. Peta Citra satelit SPOT-4 Gunung Merapi tahun 2009 dan interpretasinya.

Gambar 1b. Tingkat peluang aliran material erupsi Gunung Merapi dari data DEM-SRTM (Parwati et al, 2012)

Page 10: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Gambar 1c. Tingkat peluang aliran material erupsi Gunung Merapi dari data DEM-PALSAR (Yulianto et al, 2014)

Gambar 1d. Tingkat peluang aliran material erupsi (lava dan pyroklastik) Gunung Merapi data DEM-PALSAR dibandingkan dengan data referensi (Yulianto et al, 2014)

Selain kegiatan penelitian dan pengembangan, LAPAN juga menghasilkan informasi yang berkaitan

dengan aktifitas erupsi gunung api sebagai suatu informasi tanggap darurat bencana yang diberikan

ke Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB) dalam upaya penanganan bencana alam.

Beberapa produk informasi tanggap darurat bencana erupsi gunung api diantaranya adalah

pemantauan sebaran abu vulkanik, dan daerah terdampak erupsi.

Referensi

Malin MC, and Sheridan MF. 1982. Computer-Assisted mapping of pyroclastic surges. Science.

217:637–640

Felpeto, A., Matri, J., Ortiz, R., 2007. Automatic GIS-based system for volcanic hazard assessment.

Journal of Volcanology and Geothermal Research 166 : 106–116.

Yulianto, F, B. Tjahjono, S. Anwar, 2014. The applications of Monte Carlo algorithm and energy cone

model to produce the probability of block-and-ash flows of the 2010 eruption of Merapi volcano in

Central Java, Indonesia. Arabian Journal of Geosciences. DOI 10.1007/s12517-014-1525-5.

Page 11: 02_aplikasi Penginderaan Jauh Untuk Bencana Geologi_draft_final

LAPAN| Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Parwati, F. Yulianto, M.R. Khomarudin, 2012. Aplikasi Model Probabilistik Dan Energy Cone Dalam

Simulasi Zona Bahaya Gunung Api. Jurnal Geologi Indonesia. Vol VI no.1. Badan Geologi . ESDM.

BAKORNAS PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia Edisi II.

Jakarta.

Lillesand, T.M., and Kiefer, R.W. 1979. Remote Sensing and Image Interpretation. John. Wiley and

Sons, Inc. New York

Khomarudin, Munawar, Parwati, Priyatna M (ed). 2013. Pemanfaatan Penginderaan Jauh untuk

Pemantauan Lingkungan dan Mitigasi Bencana. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta

Sutanto. 1992. Penginderaan Jauh Jilid 1. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Trisakti B., Budhiman S., Parwati, Winanto, Noersyamsu, Khomarudin M (ed). 2014. Sistem

Pemantauan Bumi Nasional, Wahana Untuk Memantau Kondisi Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Menggunakan Data Penginderaan Jauh. Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh, Lembaga

Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta