sphatikasim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-201912101521...sphatika volume x no. 1 2019 47...

12

Upload: others

Post on 14-Feb-2020

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SPHATIKA J U R N A L T E O L O G I VOLUME X NO.1 MARET 2019

INSTITUT HINDU DHARMA NEGERI DENPASAR

ISSN: 1978-7014

iv SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

JURNAL SPHATIKA

JURNAL TEOLOGI

PenanggungjawabDr. Drs. I Made Girinata, M.Ag

RedakturDr. I Nyoman Subrata, S.Ag.,SH.,M.Ag

Penyunting/EditorI Made Pasek Subawa, S. Ag., M. Ag

Mitra Bestari (Peer Reviewer)

Prof.Dr. K.T.S. Sarao (Delhi University, India)Prof. Dr. Bhachchan Umar, Ph.D, D.Litt (Indira Gandhi National Centre for Art,

New Delhi. India)Prof. Dr. I Gede Parimartha (Univ. Udayana, Denpasar)

Prof. Dr. I Made Suastika, S.U. (Univ. Udayana. Denpasar)Prof.Dr. I.N.Bawa Atmaja, M.A (Undiksha Singaraja)

Prof. Dr. I Wayan Dibia,M.A. (ISI Denpasar)Prof. Dr. I Made Titib, Ph.D (IHDN Denpasar)

Drs. I Ketut Widnya, M.A.,M. Phil.Ph.D (IHDN Denpasar)

Desain Grafis dan FotograferDrs. I Wayan Redi, M.Ag

SekretariatI Made Dwitayasa, S.Ag.,M.Fil.H

vSPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

PENGANTAR REDAKSI

Om Swastyastu

Jurnal Sphatika, merupakan Jurnal Teologi Agama Hindu Fakultas Brahma Widya, Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar. Jurnal Sphatika hadir dengan memberi ruang dan gerak bagi para penulis yang ingin mengembangkan dan menyebarkan nilai-nilai filsafat dan teologi Agama Hindu. Implementasi ajaran filsafat dan teologi ini hampir setiap saat kita jumpai dalam setiap aspek kehidupan umat beragama, baik itu: aspek tattwa, etika dan acara, yang dibungkus dengan harmonisnya hubungan Tri Hita Karana (antara manusia dengan Tuhan, antara manusia dengan sesama dan antara manusia dengan lingkungannya). Jurnal Sphatika sebagai Jurnal Teologi yang berusaha melakukan pencerahan melalui penyebarluasan hakikat dan makna teologis dan filosofis terhadap berbagai macam pengetahuan, oleh sebab itu semua artikel dalam Jurnal Sphatika ini mengacu pada perspektif teologi dan filsafat.

Jurnal Sphatika Volume X Nomor.1 ini mengetengahkan tulisan mengenai hakikat teologi dan filosofi dari beberapa penulis antara lain: (1) Poniman yang mengetengahkan Teologi Hindu dalam Teks Nìlacandra, (2) I Gusti Made Widya Sena yang mengetengahkan Yoga Sebagai Jalan Realisasi Kesadaran Diri dalam Teks Tattwa Jnana, (3) I Made Pasek Subawa yang mengetengahkan Ajaran Tattwa dan Etika dalam Lontar Parakriya, (4) I Nyoman Kardika yang mengetengahkan Tattwa Siwa Siddhanta Indonesia in Theology of Hindu, (5) I Made Girinata yang mengetengahkan Tata Letak Bangunan Tempat Tinggal Sesuai Teks dan Konteks Menuju Kehidupan yang Bahagia dan Harmonis, (6) I Made Adi Brahman yang mengetengahkan Monisme: Pengetahuan yang membawa Kebijaksanaan, (7) I Made Surada yang mengetengahkan Teknik Pembacaan dan Menghapal Úloka,Mantra Veda, (8) I Nyoman Subrata yang mengetengahkan Ajaran Catur Asrama Persepektif Konsepsi Hidup untuk Mencapai Tujuan Hidup, (9) Ngakan Ketut Juni yang mengetengahkan Taksu dalam Kehidupan Berkesenian Masyarakat Bali, (10) I Nyoman Suamba yang mengetengahkan Yadnya dalam Bingkai Ritual dan Politik, (11) Putu Sri Junianti, I Made Wirahadi Kusuma yang mengetengahkan Perempuan Hindu di Era Globalisasi.

Semua hakikat pengetahuan yang dipaparkan oleh beberapa penulis dalam jurnal ini tentu akan lebih dalam maknanya ketika para pembaca juga turut memberikan esensi pemaknaannya, sebab proses pemaknaan tidak pernah berhenti pada satu makna. Segala sesuatu yang ada di dunia ini tidak ada yang memiliki makna tunggal, dengan memberi makna baru disertai wawasan yang lebih luas merupakan tujuan dari pengembangan semua jenis ilmu pengetahuan. Semoga makna-makna yang diuraikan dalam jurnal ini dapat memperkaya pengetahuan pembaca tentang berbagai makna.

Selamat membaca Jurnal Sphatika ini, semoga dapat menambah wawasan pengetahuan kita dan bermanfaat pula bagi proses pencerahan.

Om Santih, Santih, Santih Om

viiSPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Redaksi .................................................................................................... iii

Daftar Isi ............................................................................................................................. v

TEOLOGI HINDU DALAM TEKS NĪLACANDRA Oleh : Poniman ...................................................................................................... 1

YOGA SEBAGAI JALAN REALISASI KESADARAN DIRI DALAM TEKS TATTWA JNANAOleh : I Gusti Made Widya Sena ......................................................................................... 14

AJARAN TATTWA DAN ETIKA DALAM LONTAR TUTUR PARAKRIYAOleh : I Made Pasek Subawa ............................................................................................... 26

TATTWA SIWA SIDDHANTA INDONESIA IN THEOLOGY OF HINDUBy : I Nyoman Kardika ........................................................................................................ 37

TATA LETAK BANGUNAN TEMPAT TINGGAL SESUAI TEKS DAN KONTEKS MENUJU KEHIDUPAN YANG BAHAGIA DAN HARMONIS Oleh : I Made Girinata ......................................................................................................... 46

MONISME : PENGETAHUAN YANG MEMBAWA KEBIJAKSANAAN Oleh : I Made Adi Brahman ................................................................................................. 55

TEKNIK PEMBACAAN DAN MENGHAFAL ŚLOKA, MANTRA VEDAOleh : I Made Surada ........................................................................................................... 63

AJARAN CATUR ASRAMA PERSEPEKTIF KONSEPSI HIDUP UNTUK MENCAPAI TUJUAN HIDUPOleh : I Nyoman Subrata ..................................................................................................... 72

TAKSU DALAM KEHIDUPAN BERKESENIAN MASYARAKAT BALIOleh : Ngakan Ketut Juni ..................................................................................................... 82

YADNYA DALAM BINGKAI RITUAL DAN POLITIKOleh : I Nyoman Suamba ..................................................................................................... 90

PEREMPUAN HINDU DI ERA GLOBALISASIOleh : Putu Sri Junianti, I Made Wirahadi Kusuma ............................................................. 99

46 SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

TATA LETAK BANGUNAN TEMPAT TINGGAL SESUAI TEKS DAN KONTEKS MENUJU KEHIDUPAN

YANG BAHAGIA DAN HARMONIS Oleh : I Made Girinata

ABSTRAK

Tujuan Agama Hindu adalah Moksartham Jagathita ya ca iti dharma, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Salah satu cara mencapai tujuan itu dapat ditentukan dari tata aturan atau struktur bangunan tempat tinggal yang kita buat. Untuk menciptakan suatu keserasian, keharmonisan dan keselarasan dalam keluarga, hendaknya dalam membangun suatu bangunan selalu mengacu pada konsep Tri Angga, Tri Mandara, dan Tri Hita Karana sebagai dasar dalam menata tata ruang dalam satu keluarga, sesuai dengan konsep Asta Bhumi dan Asta Kosala Kosali.

Kata Kunci: Petunjuk, tata letak bangunan, dan kehidupan bahagia.

I. PENDAHULUAN

Kebo Iwa dan Mpu Kuturan pada abad ke 11 adalah seorang arsitektur besar pada masa Bali Aga telah menginspirasi masyarakat Bali dalam bidang budaya pembangunan. Kebo Iwa dan Mpu Kuturan sebagai pendamping Anak Wungsu yang memerintah Bali pada abad ke-11, telah banyak mewarisikan teori-teori arsitektur, adat dan agama. Selanjutnya setelah para Arya dari Majapahit berkuasa di Bali pada jaman pemerintahan Dalem Waturenggong sekitar abad ke-14, Danghyang Nirartha juga berperan sebagai arsitektur besar yang mewarnai adat, agama dan tipologi pembangunan di Bali.

Sinkronisasi arsitektur Kebo Iwa, Mpu Kuturan, Danghyang Nirartha, menjadi inspirasi para undagi sebagai arsitektur

secara lengkap mulai dari mempersipkan pembangunan, proses pelaksanaan, sampai selesai mmbangun dan lengkp dengan puja mantranya. Para pelanjutnya undagi (tukang) menyebut Bhagawan Wiswakarma sebagai dewanya undagi (tukang). Pedoman tentang tatacara atau teori pembangunan bercorak Hindu tertera dalam Asta Bhumi dan Asta Kosala-Kosali.

Nilai dasar keseimbangan yang dituangkan oleh umat Hindu dalam konsep Tri Hita Karana (jiwa, fisik dan tenaga ) masing-masing disediakan ruangan. Tempat suci, tempat aktivitas kehidupan dan tempat pelayanan umum, tata nilai ruang didasarkan pada Tri Angga : Kepala, Badan dan Kaki dan juga disebut Tri Mandala : Utama Mandala sebagai

47SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

tempat sembahyang (parhyangan), Madya Mandala sebagai tempat beraktivitas dalam kehidupan, Nistha Mandala sebagai tempat peternakan atau perkebunan (bhutahita).

Palemahan sebagai tempat pelayanan umum masing-masing di nilai sebagai kepala / utama, badan /madhya dan kaki / nistha mandala.

Konsep Tri Hita Karana, Tri - Angga dan Tri - Mandala merupakan syarat yang tidak bisa dipungkiri karena merupakan bagian yang tidak terpisahkan di dalam kehidupan ini, sehingga keberadaan suatu bangunan dapat bermakna sebagai jiwa kehidupan menuju tata peradaban yang harmonis dan bagi penghuninya dapat mencapai kebahagiaan. Namun fenomena yang terjadi di era globalisasi ini beberapa tata aturan yang mengikat dalam menata bangunan dalam suatu pekarangan rumah tempat tinggal, masyarakat tidak lagi secara ketat mengikuti ketentuan-ketentuan sesuai petunjuk sastra tentang berapa jarak antara bangunan yang satu dengan yang lainnya, demikian halnya dengan posisi bangunan antara satu dengan lainnya. Kini masyarakat cendrung memanfaatkan seefisien mungkin lahan yang dimiliki untuk membangun sesuai dengan kebutuhan (tempat suci, tempat tidur, dapur, dan lain-lain) dengan struktur yang tidak jelas.

II. PEMBAHASAN

2.1 Makna Tata Letak Tanah / Pekarangan

Sebelum kita membicarakan tentang bentuk atau tata letak tanah/ pekarangan untuk dijadikan tempat tinggal atau perumahan, terlebih dahulu hendaknya diperhatikan

tentang persiapan atau tahapan-tahapan yang harus dilakukan sebelum memulai suatu proses pembangunan. Setelah mendapatkan tanah sesuai dengan yang dikehendaki, terlebih dahulu dilaksanakan upacara “Ngeruak dan Nyapuh Tanah” (ritual sebagai simbol mengalih fungsikan tanah).

Upacara ngeruwak dan nyapuh tanah yang juga sering disebut nyakap atau ngingkup tanah mempunyai makna sebagai pembersih atau penyucian tanah / pekarangan yang bermakna sebagai pengalih fungsian tanah, dari statusnya sebagai tanah sawah atau tegalan (perkebunan) menjadi tanah untuk tempat tinggal dan lain sebagainya.

Tujuan dari upacara ngeruwak, nyapuh dan nyakap atau ngingkup tanah, bertujuan untuk menetralisir hal-hal yang tidak baik yang mungkin pernah ada sebelumnya pada tanah tersebut, agar ketika akan ditempati dapat memberikan kesejukan dan keharmonisan terhadap penghuninya dan terhindar dari gangguan -gangguan yang tidak dikehendaki terutama secara niskala sehingga dapat terwujud hakekat dari falsafah Tri Hita Karana bagi yang menempatinya.

Di dalam pemilihan suatu tanah / pekarangan yang akan di pakai sebagai tempat tinggal / perumahan, bahwa bentuk dan tata letak tanah pekarangan sangat berpengaruh bagi penghuninya.

Ada beberapa petunjuk yang tersurat pada Rontal Tutur Bhagawan Wiswakarma, Bhamakretti, Japakala dan Rontal Asta Bumi, bahwa dalam pemilihan tanah/ pekarangan untuk dijadikan sebagai tempat tinggal hendaknya diperhatikan beberapa hal yaitu :

48 SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

1. Kalau tanah pekarangannya pada sisi baratnya agak tinggi, baik untuk tempat tinggal, yang menempatinya menemukan kebahagiaan.

2. Kalau tanah pekarangannya pada sisi sebelah selatan agak tinggi, baik untuk tempat tinggal, orang yang menempatinya tidak kekurangan suatu apapun atau berkecukupan.

3. Kalau tanah pekarangannya pada sisi sebelah utaranya agak tinggi, tidak baik untuk tempat tinggal orang yang menempatinya sering terkena musibah

4. Kalau tanah pekarangannya datar, baik untuk tempat tinggal, orang yang menempatinya murah rejeki.

2.2 Tanah Atau Pekarangan Yang Disebut Tanah Angker (Kurang Baik Untuk Tempat Tinggal )

Kretiria tanah atau pekarangan yang tidak baik untuk tempat tinggal atau

yang disebut karang angker yaitu:1. Pekarangan yang pintu masuknya tepat

berhadap-hadapan dengan pintu masuk pekarangan orang lain yang berada di depannya. Karang Nyeleking namanya. Tidak Baik.

2. Pekarangan yang letaknya ditusuk (katumbak) jalan, gang (rurung ), Sungai (tukad), got (jelinjingan), batas tembok orang lain (tetangga), disebut karang-karubuhan jalan atau karang suduk angga. Tidak Baik. hendaknya dibuatkan upacara pamahayu karang / tanah.

3. Pekarangan atau tanah yang letak kedua sisinya bersebelahan dengan jalan atau

gang (kalingkuhin jalan) disebut Karang Sulanupi, Tidak Baik, kalau akin dipakai untuk tempat tinggal, hendaknya dibuatkan upacara pamahayu karang dan di bangun pelinggih padma capah.

4. Pekarangan yang letaknya dibelah oleh jalan atau gang, dan letaknya tepat berhadap-hadapan atau sudutnya berhadapan, dan dimiliki oleh satu orang atau satu keluarga purusa (garis lurus ke atas), disebut Pekarangan Sandang Lawe, Tidak Baik.

5. Pekarangan yang letaknya berada pada sudut perempatan atau pertigaan jalan atau gang, disebut Karang Angker atau Karang Nyakitin, karena perempatan Jalan adalah sebagai sthana Bhatari Panca Durga, hendaknya pekarangannya dibuatkan upacara pamahayu karang, dan di luar tembok pekarangan yang menghadap ke sudut perempatan atau pertigaan jalan atau gang dibangun sebuah Pelinggih Padmacapa.

6. Suatu pekarangan yang memiliki pintu masuk lebih dari satu, disebut Karang Boros, Tidak Baik.

7. Pekarangan atau perumahan yang letaknya di hulu (ngulonin) atau berseberahan dengan Bare Banjar, Pura, setra, Tidak Baik untuk tempat tinggal hendaknya dibuatkan gang kecil sebagai pembatas antara tembok banjar, pura, setra dengan tembok pekarangan kita dan dibuatkan upacara pamahayu pekarangan dan di luar tembok pekarangannya agar dibangun pelinggih Padmacapa.

8. Pekarangan atau tanah yang tidak boleh di pakai sebagai tempat tinggal atau

49SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

perumahan, yaitu: Karang bekas pura, karang bekas Paibon atau Mrajan, karang bekas peyadnyan sulinggih/ pandita, karang bekas orang mati gantung diri.

9. Pekarangan yang letaknya diapit oleh pekarangan yang dimiliki oleh satu orang yang mendiaminya sering terkena musibah, sering sakit-sakitan.

Pekarangan atau tanah yang seperti tersebut diatas disebut karang angker (tenget), atau karang panes atau nyakitin. Tidak baik untuk dipakai sebagai tempat tinggal atau perumahan, seandainya harus dipakai untuk tempat tinggal atau perumahan, hendaknya dibuatkan upacara pemahayu pekarangan, atau diluar tembok pekarangannya dibangun pelinggih Padma Alit (padmacapa), sebagai Stana Ida Sang Hyang Indra Blaka. Apabila tidak dibuatkan maka Sang Hyang Indra Blaka menjelma menjadi Sang Hyang Durgamaya, menjadi sang Kala Desti. Beliau akan memasuki pekarangan tersebut dan mengganggu setiap penghuninya, membuat penghuninya sering terkena bencana, sering sakit-sakitan, sering menjadi pertengkaran atau kesalah pahaman, sering mendapat fitnahan atau sering terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Untuk menetralisir atau pemarisudha pekarangan atau tanah seperti yang tersebut di atas, hendaknya dibuatkan upacara pecaruan pemahayu pekarangan (pecaruan tanah angker / tenget atau karang nyakitin ). Menurut Lontar Bhamakretthi disebutkan karang / tanah jika tidak tepat bentukupacaranya, walaupun dibuatkan upacara pecaruan sepuluh atau lima belas kali, maka tidak akan ada gunanya.

2.3 Ketentuan Tata Letak Pintu Masuk Pekarangan

Letak atau posisi pintu masuk suatu rumah tempat tinggal juga mempengaruhi terhadap kehidupan penghuninya. Karena pintu masuk juga dipercaya sebagai stana Sang Hyang Dorakala, Dora artinya pintu / lawang, kala artinya /waktu/ hari. Dora Kala artinya pintu keluar masuk sehari-hari. Dalam membuat pintu masuk ke pekarangan sesuai dengan petunjuk Lontar Asta Bumi yaitu luas pekarangan dibagi sembilan sesuai dengan arah pintu masuk yang akan di bangun. Adapun ketentuannya adalah :

1. Kalau, Pintu Masuknya menghadap ke Selatan, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah selatan di bagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari timur ke barat dengan perhitungan:1) Baya Agung (Tidak baik)2) Tanpa Anak (Tidak baik)3) Sukha Mageng (Baik)4) Brahma Stana (Baik)5) Dewa werddhi (Baik)6) Sugih Rendah (Baik)7) Teke wreddhi (Baik)8) Kepaten (Tidak baik)9) Keperingan (Tidak baik)

2. Kalau pintu masuknya menghadap ke Barat, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah Barat di bagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari Utara ke Selatan dengan perhitungan:1) Baya Agung (Tidak baik)2) Musuh makweh (Tidak baik)3) Wreddhi Guna (Baik)4) Wreddhi Guna (Baik)5) Danawan (Baik)6) Brahma Stana (Baik)

50 SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

7) Kinabhakten (Baik)8) Kapiutangan (Tidak baik)9) Karogha Kala (Tidak baik)

3. Kalau pintu masuknya menghadap ke Timur, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah Timur di bagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari Utara ke Selatan dengan perhitungan:1) Perih (Buruk)2) Kinabhakten (baik)3) Wreddhi Guna (Baik)4) Dhana Teka (Baik)5) Kabrahmanan (Baik)6) Dhana Wreddhi (Baik)7) Ohan (Tidak Baik)8) Setri Jahat (Tidak Baik)9) Cendek Tuwuh/ Yusa (Tidak Baik)

4. Kalau pintu masuknya menghadap ke Utara, cara menghitung luas pekarangan atau tembok di sebelah utara dibagi sembilan. Cara menghitungnya mulai dari timur ke barat dengan perhitungan:1) Tanpa Anak (Buruk)2) Wikara (Buruk)3) Nohan (Buruk)4) Kedalih (Buruk)5) Brahma Stana (Baik)6) Piutangan (Buruk)7) Shuka Mageng (Baik)8) Kawisesan9) Kawighnan (Buruk)

2.4 Makna Tata Letak Dapur

Tata letak keberadaan dapur dalam kehidupan umat Hindu sangatlah penting, di samping sebagai tempat untuk memasak, dapur juga di anggap sebagai tempat suci, untuk memohon tirtha panglukatan dalam

beberapa aktivitas adat dan agama seperti saat bayi berusia satu bulan tujuh hari, memohon tirtha panglukatan sehabis datang dari melayat, dan beberapa aktivitas lainnya. Dapur juga dilambangkan sebagai sthana Dewa Brahma dalam manifestasi beliau sebagai Sang Hyang Uttasana. Di bawah ini disajikan tentang tata letak bangunan dapur yang patut dijadikan pertimbangan.

1. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah timur, pengaruh terhadap penghuninya sangat tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering kebingungan dan sering-tertimpa marabahaya.

2. Kalau tempat dapurnya berada pada posisi arah tenggara, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering terkena musibah, sering sakit-sakitan.

3. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah selatan menghadap ke utara, pengaruh terhadap penghuninya sangat baik, orang yang menempatinya atau penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, hidupnya selalu berkecukupan.

4. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi barat daya, pengaruh terhadap penghuninya baik, orang yang menempatinya atau penghuninya selalu dalam kecukupan pangan (Kweh Boga).

5. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah barat, dan pintunya menghadap ke timur, pengaruh terhadap penghuninya baik, orang yang menempatinya atau penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, tetapi sering kena musibah, sering sakit-sakitan dan boros.

51SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

6. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi sebelah barat daya, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering menemukan kendala-kendala yang tidak baik, sering kena musibah, sandang pangan sulit.

7. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi utara, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering kena musibah, sering sakit-sakitan, berumur pendek (cendek yusa)

8. Kalau tempat dapurnya berada pada sisi timur laut, pengaruh terhadap penghuninya tidak baik, orang yang menempatinya atau penghuninya sering terjadi kesalah pahaman di antara sesama penghuninya, sering terjadi pertengkaran dan terjadi pembunuhan, kehidupan penghuninya tidak tentram.

2.5 Makna Tata Letak Sumur

Keberadaan sebuah sumur dalam kehidupan masyarakat Hindu sangatlah penting, dimaknai sebagai sthana Bhatara Wisnu, yaitu sumber kehidupan (stithi) dan Sang Hyang Apsudewa yang juga sebagai salah satu manifestasi Beliau, sebagai penguasa air. Karena tanpa air kita tidak akan bisa hidup, maka dari itu tata letak sumur bagi masyarakat Hindu, sangat mendapat perhatian, karena diyakini akan dapat membawa pengaruh terhadap kelangsungan kehidupan bagi penghuninya. Adapun arti dan makna tata letak sumur berdasarkan tempat di pekarangan sebagai berikut.

1. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi timur, pengaruhnya terhadap penghuni

pekarangan tidak baik, penghuninya sering mendapat halangan, cita - citanya sering mandeg di tengah jalan atau tidak kecapaian.

2. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi tenggara, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan tidak baik, penghuninya hidupnya serba kekurangan, usahanya selalu gagal.

3. Kalau tata letak sumurnya berada pada posisi selatan, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan tidak baik, penghuninya sering terjadi kesalahpahaman di antara penghuninya dan sering terjadi pertengkaran.

4. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi barat daya, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, kehidupan penghuninya selalu dalam kecukupan, tentram dan sejahtera.

5. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi barat, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, hidup dalam kecukupan, saling mengasihi.

6. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi barat laut, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, kehidupan penghuninya tidak kekurangan sandang pangan, hidup dalam kecukupan.

7. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi Utara, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan baik, murah rezeki, penghuninya hidup dalam kecukupan, keluarganya hidup rukun.

8. Kalau tata letak sumurnya berada pada sisi timur laut, pengaruhnya terhadap penghuni pekarangan tidak baik, kehidupan penghuninya sering dalam kesusahan, rezeki sulit dan sering sakit-sakitan

52 SPHATIKA VOLUME X No. 1 2019

Untuk menentuk3an letak suatu bangunan, biasanya diukur dengan perhitungan Astawara (Sri, lndra, Guru,Yama, Ludra, Brahma, Kala, Uma) dan juga disesuaikan dengan letak dan fungsi bangunan yang akan didirikan, misalnya untuk bangunan dapur, perhitungannya jatuh pada hitungan Astawara Sri, untuk bangunan gedong / bale daja jatuh pada hitungan GURU, untuk tugu pekarangan perhitungan Astawaranya jatuh pada hitungan KALA, dan begitu seterusnya. untuk melakukan pengukuran biasanya memakai telapak kaki dan di tambah dengan tapak miring (tapak ngandang)., biasanya di dalam menentukan ukurannya di pakai telapak kaki orang yang dituakan (penglingsir) dari keluarga yang bersangkutan utamanya bagi orang yang menempati.

2.6 Arti Dan Makna Ukuran Halaman (Natah) Rumah

Untuk menentukan ukuran (sukat) halaman (natah) rumah, caranya dengan memakai ukuran telapak kaki (tampak) ditambah dengan pengurip-urip- tampak ngandang (telapak miring), ukuran (sukat) halaman / natah rumah dari arah Timur ke Barat dan dari Utara ke Selatan, yaitu:

2 Tampak kaki pengaruhnya dihormati oleh orang banyak

3 Tampak kaki disegani oleh orang banyak 4 Tampak kaki pengaruhnya murah rejeki5 Tampak kaki pengaruhnya selalu

berkecukupan6 Tampak kaki pengaruhnya hidup rukun

dan berkecukupan12 Tampak kaki pengaruhnya murah rejeki,

hidupnya berkecukupan

13 Tampak kaki pengaruhnya disegani dan dihormati oleh orang banyak

14 Tampak kaki pengaruhnya baik, dermawan, Sosial, murah hati

16 Tampak kaki pengaruhnya baik, disegani orang banyak

20 Tampak kaki pengaruhnya baik, sangat berguna bagi orang banyak

22 Tampak kaki pengaruhnya baik, dihormati orang banyak

23 Tampak kaki pengaruhnya baik, dermawan, sosial

24 Tampak kaki pengaruhnya baik, hidup rukun damai

26 Tampak kaki pengaruhnya baik, sangat sosial, menjadi tumpuan orang banyak

32 Tampak kaki Pengaruhnya baik, hidupnya berkecukupan

33 Tampak kaki Pengaruhnya baik, disayang orang banyak

34 Tampak kaki Pengaruhnya baik, hidupnya berkecukupan

36 Tampak kaki Pengaruhnya baik, dihormati orang banyak

40 Tampak kaki Pengaruhnya baik, murah rejeki, hidup rukun

III. SIMPULAN

Tujuan Agama Hindu adalah Moksartham Jagathita ya ca iti dharma, yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan yang kekal abadi. Salah satu cara mencapai tujuan itu dapat ditentukan dari tata aturan atau struktur bangunan tempat tinggal yang kita buat. Untuk menciptakan suatu keserasian, keharmonisan dan keselarasan dalam keluarga, hendaknya dalam membangun suatu bangunan selalu mengacu pada konsep