uin alauddin makassar 2018repositori.uin-alauddin.ac.id/9163/1/anugra mandala putra.pdftinjauan...
TRANSCRIPT
TINJAUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA TERHADAP
KEDUDUKAN TANA TELLENG DI DANAU TEMPE
KABUPATEN WAJO
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Meraih Gelar
Sarjana Hukum Jurusan Peradilan Agama
pada Fakultas Syariah dan Hukum
UIN Alauddin Makassar
Oleh:
ANUGRA MANDALA PUTRA
NIM: 10100114104
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2018
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................ iii
KATA PENGANTAR ......................................................................................... iv-v
DAFTAR ISI ........................................................................................................ vi-vii
DAFTAR TABEL................................................................................................ viii
PEDOMAN TRANSLITERASI ........................................................................ ix-xiii
ABSTRAK ........................................................................................................... xiv
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1-13
A. Latar Belakang Masalah ............................................................................ 1
B. Fokus Penelitian ........................................................................................ 10
C. Rumusan Masalah ..................................................................................... 10
D. Kajian Pustaka ........................................................................................... 11
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .............................................................. 13
BAB II TINJAUAN TEORITIS ........................................................................ 14-39
A. Tinjauan Umum Tentang Tanah ............................................................... 14
B. Pertanahan dalam Undang-Undang Pokok Agraria .................................. 24
C. Hak Persekutuan Hukum Masyarakat Atas Tanah.................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN .................................................................... 40-46
A. Jenis dan Lokasi Penelitian ....................................................................... 40
B. Pendekatan Penelitian ............................................................................... 41
C. Sumber Data .............................................................................................. 42
vii
D. Metode Pengumpulan Data ....................................................................... 43
E. Instrumen Penelitian.................................................................................. 44
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data ...................................................... 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 47-63
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitan .......................................................... 47
B. Pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo ................ 52
C. Kedudukan dan Hak Pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe
Kabupaten Wajo ........................................................................................ 56
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 64-65
A. Kesimpulan ............................................................................................... 64
B. Saran .......................................................................................................... 64
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR TABEL
Tabel: I Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk Kabupaten
Wajo, 2016 ................................................................................................ 48
Tabel: II Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
di Kabupaten Wajo, 2016 .......................................................................... 50
ix
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Daftar huruf bahasa Arab dan transliterasinya ke dalam huruf Latin dapat
dilihat pada tabel berikut:
1. Konsonan
Huruf Arab Nama Huruf Latin Nama
Alif A tidak dilambangkan ا
Ba B Bc ب
Ta T Tc ت
ṡa ṡ es (dengan titik di atas ث
Jim J Je ج
ḥa ḥ ha (dengan titik di bawah) ح
Kha K ka dan ha خ
Dal D De د
Zal Z zet (dengan titik di atas) ذ
Ra R Er ر
Zai Z Zet ز
Sin S Es س
Syin S es dan ye ش
ṣad ṣ es (dengan titik di bawah) ص
ḍad ḍ de (dengan titik di bawah) ض
ṭa ṭ te (dengan titik di bawah) ط
ẓa ẓ zet (dengan titik di bawah) ظ
ain „ apostrof terbalik„ ع
Gain G Ge غ
Fa F Ef ف
Qaf Q Qi ق
Kaf K Ka ك
Lam L El ل
Mim M Em و
Nun N En
Wau W We و
Ha Y Ha ھ
Hamzah „ Apostrof ء
Ya Y Ye ي
Hamzah (ء) yang terletak diawal kata mengikuti vokalnya tanpa diberi
tanda apa pun. Jika ia terletak di tengah atau di akhir, maka ditulis dengan tanda
(„).
x
2. Vokal
Vokal bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri atas vokal
tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
Vokal tunggal bahasa Arab yang lambangnya berupa tanda atau harakat,
transliterasinya sebagai berikut:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
Fathah A A ا
Kasrah I I ا
ḍammah U U ا
Vokal rangkap bahasa Arab yang lambangnya berupa gabungan antara
harakat dan huruf, transliterasinya berupa gambar huruf, yaitu:
Tanda Nama Huruf Latin Nama
fatḥah dan yā’ Ai a dan i ي
fatḥah dan wau Au a dan u و
Contoh:
kaifa : ك يف
haula : ھ ىل
3. Maddah
Maddah atau vokal panjang yang lambangnya berupa harakat dan huruf,
transliterasinya berupa huruf dan tanda, yaitu:
Harakat dan
Huruf
Nama Huruf dan
Tanda
Nama
ي... ... ا|Fathah dan alif atau ya’ A a dan garis di atas
يKasrah dan ya’ I i dan garis di atas
و Dammah dan wau u u dan garis di atas
Contoh
ات mata :ي
ي ر : rama
xi
ق يم : qila
ىت ي : yamutu
4. Tā’marbūṫah
Transliterasi untuk tā‟ marbūṫah ada dua, yaitu: tā‟ marbūṫah yang hidup
Ta‟marbutah yang hidup (berharakat fathah, kasrah atau dammah)
dilambangkan dengan huruf "t". ta‟marbutah yang mati (tidak berharakat)
dilambangkan dengan "h".
Contoh:
ل األ طف ة ض و ر : raudal al-at fal
ه ة انف اض ي ة د ا ن : al-madinah al-fadilah
ة ك al-hikmah : ا نح
5. Syaddah (Tasydid)
Tanda Syaddah atau tasydid dalam bahasa Arab, dalam
transliterasinya dilambangkan menjadi huruf ganda, yaitu huruf yang sama
dengan huruf yang diberi tanda syaddah tersebut.
Contoh:
ب ا rabbana :ر
ي ا najjainah : ج
6. Kata Sandang
Kata sandang yang diikuti oleh huruf syamsiah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyi huruf yang ada setelah kata sandang. Huruf "l" (ل)
diganti dengan huruf yang sama dengan huruf yang langsung mengikuti kata
sandang tersebut.
Kata sandang yang diikuti oleh huruf qamariyah ditransliterasikan
sesuai dengan bunyinya.
xii
Contoh:
al-falsafah :ا نف هس ف ة
al-biladu :ا نب ال د
7. Hamzah
Dinyatakan di depan pada Daftar Transliterasi Arab-Latin bahwa hamzah
ditransliterasikan dengan apostrop. Namun, itu apabila hamzah terletak di
tengah dan akhir kata. Apabila hamzah terletak di awal kata, ia tidak
dilambangkan karena dalam tulisan Arab ia berupa alif.
Contoh:
1. Hamzah di awal
رت أ ي : umirtu
2. Hamzah tengah
و ر ta’ muruna :ت أي
3. Hamzah akhir
syai’un :ش يء
8. Penulisan Kata
Pada dasarnya setiap kata, baik fi„il, isim maupun huruf, ditulis
terpisah.Bagi kata-kata tertentu yang penulisannya dengan huruf Arab yang
sudah lazim dirangkaikan dengan kata lain karena ada huruf atau harakat
yang dihilangkan, maka dalam transliterasinya penulisan kata tersebut bisa
dilakukan dengan dua cara; bisa terpisah per kata dan bisa pula dirangkaikan.
Contoh:
Fil Zilal al-Qur’an
Al-Sunnah qabl al-tadwin
xiii
9. Lafz al-Jalalah (ه ( لال
Kata “Allah” yang didahului partikel seperti huruf jarr dan huruf lainnya
atau berkedudukan sebagai mudaf ilahi (frasa nominal), ditransliterasi tanpa huruf
hamzah.
Contoh:
لا ي د Dinullahانههب ا billah
Adapun ta‟ marbutah di akhir kata yang di sandarkan kepada lafz al-jalalah,
ditransliterasi dengan huruf [t].
Contoh:
ھ ى لا ة ح Hum fi rahmatillahف ير
10. Huruf Kapital
Meskipun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal, dalam
transliterasi ini huruf kapital dipakai. Penggunaan huruf kapital seperti yang
berlaku dalam EYD. Di antaranya, huruf kapital digunakan untuk menuliskan
huruf awal dan nama diri. Apabila nama diri didahului oleh kata sandang, maka
yang ditulis dengan huruf kapital tetap huruf awal dari nama diri tersebut,
bukan huruf awal dari kata sandang.
Contoh:
Syahru ramadan al-lazi unzila fih al-Qur’an
Wa ma Muhammadun illa rasul
xiv
ABSTRAK
NAMA : ANUGRA MANDALA PUTRA
NIM : 10100114104
JUDUL : TINJAUAN UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA
TERHADAP KEDUDUKAN TANA TELLENG DI DANAU
TEMPE KABUPATEN WAJO
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengetahui dan mengkaji
pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Dan juga untuk
mengetahui dan menjelaskan kedudukan Tana Telleng dan hak pengelolaannya
menurut Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan normatif-terapan yaitu
pendekatan masalah yang berpedoman pada aturan-aturan dalam hukum Islam
baik berupa Al-qur‟an, hadis, peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maupun hukum adat dan pendapat/ pemikiran para tokoh yang berkaitan dengan
pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo serta kedudukan
Tana Telleng dan hak pengelolaannya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria Tana Telleng.
Jenis penelitian digunakan adalah Penelitian ini termasuk penelitian
normative-empirisyaitu penelitian untuk mengkaji hukum positif tertulis yang
bersumber dari Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Menteri Agraria (PMA) No. 5 Tahun 1999
tentang tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum
Adat, serta penelitian lapangan/ masyarakat/ sosialis/ empiris terkait dengan
pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo serta kedudukan
Tana Telleng dan hak pengelolaannya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria.
Berdasarkan penelitian ini diperoleh hasil bahwa Cara penglolaan tanah
telling di danau tempe adalah dengan cara mengundi (makkoti‟), cara ini telah
dilakukan oleh masyarakat di danau tempe sejak dahulu sampai sekarang. Pada
masa lampau, mengundi dilakukan 1 tahun sekali, namun untuk masa sekarang
dilakukan 1 kali masa jabatan kepala desa. Kedudukan tanah telling di danau
tempe kabupaten wajo berstatus sebagai tanah Negara yang dikelola masyarakat
secara adat (mengundi) dan menurut analisa penyusun bahwa jenis hak yang dapat
diperoleh/ diberikan kepada masyarakat atas tanah telling adalah hak pakai yang
sifatnya sementara.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Tanah sebagai bagian dari alam mempunyai fungsi yang sangat penting
bagi manusia, hewan maupun alam itu sendiri. Fungsi tanah dari waktu ke waktu
mengalami pergeseran, pada awalnya hanya sebagai tempat manusia dan isi alam
lainnya berpijak untuk mengembangkan habitatnya, sambil beradaptasi dengan
alam.
Setelah cara hidup manusia berubah, dari kehidupan nomaden menjadi
menetap di suatu tempat, maka fungsi tanah bergeser menjadi sumber mata
pencaharian mereka, lalu lambat laun tanah difungsikan sebagai tempat
menyimpan modal, menyebabkan tanah menjadi benda bernilai magic-religius
dan ekonomis.
Di dalam Islam, setiap individu mempunyai hak untuk memiliki harta/ aset
termasuk tanah dan berhak pula untuk mentasarufkanya (memberikan) sesuai
dengan keinginan pemilik, namun pemilik hakiki dari tanah tersebut adalah Allah
swt, sebagaimana firman-nya dalam Al-Quran Surah al-A’raf/ 7: 128, yang
menegaskan:
1
2
Terjemahnya:
Musa berkata kepada kaumnya: "Mohonlah pertolongan kepada Allah dan
bersabarlah; Sesungguhnya bumi (ini) kepunyaan Allah; dipusakakan-Nya
kepada siapa yang dihendaki-Nya dari hamba-hamba-Nya. Dan kesudahan
yang baik adalah bagi orang-orang yang bertakwa.1
Allah swt juga berfirman dalam Al-quran Surah an-Nur/ 24: 42, yang
menyatakan:
Terjemahnya:
Dan kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, dan kepada Allah-lah
tempat kembali (semua makhluk).2
Hak milik secara individual memang diakui keberadaannya sebagai hak
yang melekat pada setiap individu yang didasarkan pada prinsip hifz al-mal
(menjaga harta). Namun demikian, kebebasan individu atas hak miliknya dalam
penggunaannya dibatasi oleh hak-hak orang lain.
Dalam teori kepemilikan, Islam memandang negara sebagai institusi yang
mengelola masyarakat suatu negara. Atas dasar inilah maka Islam memberikan
hak sekaligus kewajiban kepada negara untuk mengatur hubungan antara individu
dengan individu, individu dengan masyarakat bahkan hubungan antara individu,
masyarakat dengan negara, dalam hal ini berkaitan dengan permasalahan tanah.
1 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta:
Magfirah Pustaka, 2006) h. 165.
2 Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Quran dan Terjemahnya (Jakarta:
Magfirah Pustaka, 2006) h. 355.
3
Dalam hal kepemilikan tanah, Islam mengenal istilah Ihyaul Mawaat
(menghidupkan tanah mati), Tahjir (membuat batas pada tanah) dan Iqtha
(pemberian Negara kepada masyarakat). Ihya’ul mawat yaitu hak memiliki tanah
melalui aktivitas menghidupkan tanah mati. Tanah mati (ardun mawat) menurut
hukum Islam adalah tanah yang tidak ada pemiliknya atau nampak tidak pernah
dimiliki oleh seseorang, serta tidak nampak ada bekas apapun yang menunjukkan
bahwa tanah tersebut pernah dikelola baik berupa pagar, tanaman bekas bangunan
atau bentuk pengelolaan lainnya.
Rasulullah saw bersabda:
ر أرضا ليست لحد فهو أحق بها من عم
Artinya:
Barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang,
maka dialah yang berhak atas tanah itu. (HR Riwayat Imam Al-Bukhari).3
Dalam hadits lain, Rasulullah saw juga bersabda:
من احيا ارض ميتة فهي له
Artinya:
Barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu menjadi
miliknya. (HR. Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).4
Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah atau sekedar meletakkan
batu atau tonggak. Pada masa Rasulullah saw tahjir sudah merupakan tindakan
hukum yang mengakibatkan kepemilikan pada tanah sekalipun tidak
3 Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram Min Adillati al-Ahkam, (Libanon:
Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah), h. 189.
4 Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-
Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah), h. 302.
4
dipergunakan secara produktif atau untuk tempat tinggal. 5
Adapun status tahjir (pemagaran) lahan mati statusnya disamakan dengan
menghidupkan tanah mati. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah saw yang
menegaskan:
على فهي له حائطا أرض من حاطأ
Artinya:
Barangsiapa yang memberi pagar tanah (yang mati), maka tanah itu
menjadi miliknya.6
Iqtha adalah kepemilikan tanah melalui penyerahan sebidang tanah yang
tidak bertuan kepada perseorangan atau kelompok yang dianggap cakap memiliki
dan menfungsikan tanah yang bersangkutan.
Dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
pada Pasal 33 ayat (3) ditentukan bahwa:
Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai
oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat.7
Hak menguasai Negara merupakan suatu konsep yang mendasarkan pada
pemahaman bahwa Negara adalah suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat
sehingga bagi pemilik kekuasaan, upaya mempengaruhi pihak lain menjadi sentral
yang dalam hal ini dipegang oleh Negara. Pengelolaan sumber daya alam yang
dilakukan dan diusahakan oleh Negara bermuara pada suatu tujuan yaitu sebesar-
5 Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 146
6 Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud,
(Kairo: Tijarriyah Kubra, 1935), h. 430.
7 Indra Nolind, UUD RI 1945 & Amandemen, (Bandung: Pustaka Tanah Air, 2011), h. 41.
5
besarnya kemakmuran rakyat. Tujuan tersebut menjadi tanggungjawab Negara
sebagai konsekuensi dari hak menguasai Negara terhadap bumi, air dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Selain itu, juga merupakan jaminan dan
bentuk perlindungan terhadap sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan
kesejahteraan umum atas dasar keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.8
Hak menguasai negara termaksud memberi wewenang untuk:
1. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan,
dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa.
2. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dengan bumi, air dan ruang angkasa.
3. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hukum mengenai bumi, air dan ruang angkasa.9
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, di Indonesia laju pembangunan
menuntut adanya upaya penyediaan tanah yang merujuk pada ketentuan hukum
pertanahan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksananya. Upaya
tersebut dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum atas tanah.
Penyusun menegaskan disini bahwa salah satu tujuan diundangkannya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yaitu, untuk menciptakan univikasi
hukum pertanahan di Indonesia yang berdasar atas hukum adat tentang tanah yang
sederhana dan menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia, dengan
tidak mengabaikan unsur-unsur yang berdasar pada hukum agama. Di samping itu
diharapkan akan memberikan andil terhadap tercapainya fungsi tanah, air dan
8 Winahyu Erwiningsih, Hak Menguasai Negara Atas Tanah, (Yogyakarta: UII, 2009), h.
82.
9 Maria S.W Sumardjono, Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan, (Jakarta:
Kompas, 2007), h. 38.
6
ruang angkasa sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, untuk mewujudkan
kehidupan masyarakat yang adil dan makmur.
Meskipun demikian, UUPA dimaksudkan untuk menciptakan univikasi
hukum dibidang pertanahan tidak berarti menolak keberadaan hukum adat tentang
tanah, tetapi justru menjadikan hukum adat tentang tanah sebagai dasarnya.
Masalah tersebut sesuai dengan ketentuan pasal 3 dan pasal 5 UUPA Nomor 5
Tahun 1960, masing-masing berbunyi sebagai berikut:
Pasal 3:
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan pasal 2 pelaksanaan hak
ulayat dan hak-hak serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar
atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-
Undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.10
Pasal 5:
hukum agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa adalah
hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional
dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa, dengan sosialisme
Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam
Undang-Undang ini dan dengan perundang-undangan lainnya, segala
sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang berdasar pada hukum
agararia.11
Pasal 1 dan 2 seperti yang dimaksud pada pasal 3 UUPA di atas pada
dasarnya bermaksud bahwa seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air
dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai bangsa Indonesia.
10Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Pasal 3.
11Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 5.
7
Lebih lanjut lagi, di dalam dimensi HAM, utamanya Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, diterangkan beberapa provisi
yang menjelaskan perihal tanggungjawab Negara untuk menjamin perlindungan
hak-hak asasi warga Indonesia, terutama yang terkait dengan isu ha katas tanah.
Bagian kedua dari asas-asas, khususnya pasal 6 ayat (2) dari Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 menerangkan:
Identitas budaya masyarakat hukum adat, termasuk hak atas tanah ulayat
dilindungi selaras dengan perkembangan zaman.12
Pasal ini secara terang dan tegas memberi ruang pengakuan kepada
masyarakat hukum adat untuk mendapatkan perlindungan atas tanah ulayat
yang melekat pada identitas sosial, politik dan ekonomi mereka.
Seluruh bumi, air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya adalah wilayah Republik Indonesia sebagai karunia
Tuhan yang maha Esa, merupakan kekayaan nasional dimana pada tingkatan
tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.
Dengan demikian UUPA mengakui keberadaan hak ulayat sepanjang hak
ulayat itu masih ada serta tidak bertentangan dengan persatuan bangsa dan
sosialisme Indonesia serta peraturan yang tercantum dalam ketentuan UUPA dan
peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku.
12 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Pasal 6 (2).
8
Begitu pula dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999
tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Pasal 2 ayat (2) bahwa:
Hak ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila:
1. terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari,
2. terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari, dan terdapat tatanan hukum adat mengenai
pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan
ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.13
Di Indonesia, masih ada daerah yang dalam kenyataannya masih mengakui
keberadaan tanah-tanah adat seperti halnya masyarakat yang bermukim di sekitar
pesisir Danau Tempe, Kabupaten Wajo. Jenis tanah adat ini, oleh masyarakat
yang bermukim di sekitar Danau Tempe memberi nama Tana Telleng atau Tanah
Koti (bahasa sehari-hari).
Tanah adat ini awalnya disebut tanah tawa sure’ artinya tanah yang
diberikan izin pengelolaan oleh raja untuk rakyat yang bertempat tinggal di sekitar
Danau Tempe dengan mendaftarkan diri sebagai penduduk asli kawasan tersebut.
Tanah tawa sure’ ini dikelola secara turun temurun oleh masyarakat tanpa ada
retribusi yang dikenakan saat itu. Namun sekitar tahun 1960-an, setiap orang
dikenakan pembayaran Rp. 2.000,- (dua ribu rupiah) untuk setiap bagian dari
tanah tawa sure’/ Tana Telleng yang dikelola.
13 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 2 (2).
9
Adapun cara pembagiannya ialah apabila tanah itu sudah kering, maka
tibalah saatnya masyarakat menggarap tanah itu dengan dibagi-bagi dengan
ukuran tertentu, biasanya satu bagian ukuran panjang 100 depa dengan lebarnya
kira-kira 10 depa. Setelah ditetapkan ukuran tanahnya, maka tanah itu diundi
untuk menetapkan lokasi yang didapatkan masing-masing penggarap.
Menurut adat setempat, penguasaan dan penggunaan Tana Telleng hanya
diperkenankan untuk dikelola satu kali panen saja, namun pada kenyataannya,
berdasarkan hasil observasi penyusun bahwa penguasaan dan penggunaan Tana
Telleng ada yang dikelola melebihi satu kali panen, bahkan ada yang menguasai
secara turun temurun.
Permasalahan lain yang timbul yaitu, adanya masyarakat yang memiliki
Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB)
atas Tana Telleng dan ada pula masyarakat yang tidak memiliki. Inilah yang
menyebabkan kecemburuan sosial antara masyarakat yang memiliki Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) dengan
masyarakat yang tidak memiliki Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak
Bumi dan Bangunan. Masyarakat yang memiliki Surat Pemberitahuan Pajak
Terhutang Bumi dan Bangunan inilah yang tidak mau lagi lokasi tanahnya untuk
diundi lagi, karena mereka menganggap bahwa apabila sudah memiliki Surat
Pemberitahuan Pajak Terhutang Pajak Bumi dan Bangunan, Tana Telleng tersebut
sudah menjadi haknya dan lokasi tanahnya tidak perlu lagi untuk diundi hanya
perlu untuk membayar pajak ke Pemerintah Daerah. Padahal aturan adat setempat
10
mengharuskan adanya pengundian setiap tahunnya terhadap Tana Telleng, untuk
menentukan posisi Tana Telleng yang dapat dimiliki pada setiap tahunnya.
Berdasarkan dari uraian di atas, penyusun melihat bahwa kedudukan Tana
Telleng sebagai tanah milik persekutuan hukum perlu dikaji secara ilmiah yang
kemudian penyusun tuangkan dalam bentuk skripsi yang berjudul “Tinjauan
Undang-Undang Pokok Agraria terhadap Kedudukan Tana Telleng di Danau
Tempe Kabupaten Wajo”.
B. Fokus Penelitian
Penelitian ini difokuskan pada pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe
Kabupaten Wajo serta kedudukan dan hak pengelolaan Tana Telleng menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
C. Rumusan Masalah
Mengingat banyaknya permasalahan hukum yang dapat timbul berkenaan
dengan kedudukan hukum Tana Telleng di Danau Tempe, maka dalam skripsi ini
diangkat beberapa masalah seperti yang dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten
Wajo?
2. Bagaimanakah kedudukan Tana Telleng dan hak pengelolaannya menurut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar
Pokok Agraria?
11
D. Kajian Pustaka
Dalam kajian pustaka ini, permasalahan tentang Tana Telleng belum
pernah diangkat dalam sebuah penelitian ilmiah, namun permasalahan tentang
tanah sesungguhnya telah banyak diteliti dan dituangkan dalam bentuk buku,
makalah, jurnal, maupun dituangkan dalam bentuk penelitian lainnya. Maka dari
itu untuk menghindari kesamaan dengan penelitian yang penyusun lakukan,
berikut akan dipaparkan beberapa karya ilmiah yang relevan dengan judul
penelitian ini yaitu:
1. Prof. Boedi Harsono dalam bukunya yang berjudul (Hukum Agraria
Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan
Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional) menguraikan bahwa hak-
hak penguasaan atas tanah berisikan serangkaian wewenang, kewajiban
dan/ atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu dengan
tanah yang di haki.14
2. A. R. Mustara S. H dalam S. R. Nur pada bukunya yang berjudul
(Beberapa Masalah Agraria) membahas tentang berbagai jenis tanah adat
di Sulawesi Selatan, disertai masa berlakunya penguasaan terhadap tanah
adat tersebut dan dijelaskan pula waktu berakhirnya penguasaan terhadap
tanah adat tersebut.15
14 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah Nasional. (cet. 12; Jakarta:
Djambatan, 2008), h. 262.
15 A. R. Mustara S. H dalam S. R. Nur, Beberapa Masalah Agraria.
12
3. Mulyadi, skripsi dengan judul Tinjauan Status Kepemilikan Tanah Balete
di Daerah Pesisir Danau Lapompakka Kabupaten Wajo. Dalam penelitian
ini mengemukakan tentang hak-hak atas tanah, proses terjadinya hak atas
tanah, bagaimana bentuk pengaturan tanah balete di daerah pesisir danau
Lapompakka Kabupaten Wajo, bagaimana proses terjadinya tanah balete,
lamanya penguasaan terhadap tanah balete, dan bagaimana status
penguasaan tanah balete yang juga merupakan tanah adat di Kabupaten
Wajo.16
4. Clara Saraswati, skripsi dengan judul Penyelesaian Sengketa Tanah yang
Terletak di Perbatasan Desa Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.
Dalam penelitian ini menguraikan tentang dasar-dasar hukum tentang
tanah, cara memperoleh kepemilikan atas tanah, sebab-sebab terjadinya
sengketa tanah, menjelaskan pula bagaimana cara menyelesaikan sengketa
tanah menurut hukum positif dan bagaimana cara menyelesaikan sengketa
tanah menurut hukum islam.17
Pembahasan-pembahasan tersebut di atas berbeda dengan penelitian yang
dilakukan oleh penyusun, karena yang penyusun teliti adalah pengelolaan Tana
Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo, serta kedudukan Tana Telleng dan
16 Mulyadi, “Tinjauan Status Kepemilikan Tanah Balete di Daerah Pesisir Danau
Lapompakka Kabupaten Wajo” (Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin,
Makassar, 2013), h. 6.
17 Clara Saraswati, “Penyelesaian Sengketa Tanah yang Terletak di Perbatasan Desa
Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif” (Skripsi Sarjana, Fakultas Syariah IAIN Raden Intan,
Lampung, 2016), h. 18.
13
hak pengelolaannya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria.
E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
a. Untuk mengetahui dan mengkaji pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe,
Kabupaten Wajo.
b. Untuk mengetahui dan menjelaskan kedudukan Tana Telleng dan hak
pengelolaannya menurut Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini adalah:
a. Kegunaan Secara Teoritis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat secara
teoritis bagi pengembangan Ilmu Hukum pada umumnya, dan pengetahuan yang
berhubungan dengan Hukum Agraria/ Pertanahan pada khususnya.
b. Kegunaan Secara Praktis
Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam
membangun masyarakat, bangsa, negara dan agama dalam menangani masalah
pertanahan.
14
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Tinjauan Umum Tentang Tanah
1. Terjadinya Hak Milik
a. Menurut Hukum Adat
Ter Haar mengemukakan bahwa:
Menurut hukum adat setiap warga masyarakat mempunyai hak untuk
membuka tanah (ontginningsrecht), yaitu ia dapat menyeleggarakan
hubungan sendiri terhadap sebidang tanah sebagai bagian dari lingkungan
hak pertuanan (beschikkingskring).1
Apabila hubungannya dengan tanah itu berlangsung tidak lebih dari satu
tahun panenan, maka mempunyai “hak menikmati” (genotrecht).
Dalam hal warga masyarakat yang membuka tanah, mengerjakannya
terus-menerus, yaitu membuat kebun yang ditanaminya tanaman jangka panjang
(kelapa, karet dan lain-lain) atau membuat sawah yang dikerjakannya terus-
menerus, maka terjadilah hak milik antara dia dengan tanah itu.
b. Menurut UUPA
Pasal 22 UUPA menegaskan bahwa Hak Milik atas tanah dapat terjadi
dengan cara-cara sebagai berikut:
1) Terjadinya hak milik menurut hokum adat diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
2) Selain menurut cara sebagaimana diatur dalam ayat (1) pasal ini hak milik
terjadi karena:
1 A. R. Mustara dalam S. R. Nur, Beberapa Masalah Agraria, h-49.
14
15
a) Penetapan pemerintah, menurut cara dan syarat-syarat yang ditetapkan dengan
peraturan pemerintah;
b) Ketentuan Undang-Undang.2
Berikut adalah penjelasan singkatnya:
1) Hak Milik atas tanah yang terjadi menurut Hukum Adat.
Hak Milik atas tanah terjadi dengan jalan pembukaan tanah atau
pembukaan hutan.
2) Hak Milik atas tanah yang terjadi karena Penetapan Pemerintah.
Hak Milik yang terjadi karena adanya Penetapan Pemerintah terhadap
tanah yang pada awalnya dikuasai oleh Pemerintah dengan sebelumnya
mengajukan permohonan dan memenuhi prosedur dan persyaratan yang telah
ditentukan oleh Badan Pertanahan Nasional.
3) Hak Milik atas tanah yang terjadi karena ketentuan Undang-undang.
Hak Milik atas tanah ini terjadi karena adanya ketentuan yang mengatur
mengenai pertanahan, setelah berlakunya Undang-undang Pokok Agraria Nomor
5 Tahun 1960, semua hak atas tanah harus diubah menjadi salah satu hak atas
tanah yang diatur oleh Undang-undang Pokok Agraria termasuk dalam hal ini
mengenai Hak Milik.
2 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 22.
16
c. Menurut Hukum Islam
Abdurrahman al-Maliki mengatakan bahwa dalam Islam tanah dapat
dimiliki dengan 6 (enam) cara, yaitu melalui:
1. Jual beli
2. Waris
3. Hibah
4. Ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati),
5. Tahjir (membuat batas pada tanah mati),
6. Iqtha’ (pemberian Negara kepada rakyat).3
Mengenai jual-beli, waris, dan hibah tidak perlu adanya penjelasan,
sehingga pada bagian ini akan dijelaskan tentang ihya’ul mawat, tahjir (membuat
batas pada tanah mati), dan iqtha’ (pemberian Negara kepada rakyat).
1. Ihya’ul mawat ( ثالموا (إحياء
Ihya’ul mawat yaitu hak memiliki tanah melalui aktivitas menghidupkan
tanah mati. Tanah mati (ardun mawat) menurut hukum Islam adalah tanah yang
tidak ada pemiliknya atau nampak tidak pernah dimiliki oleh seseorang, serta
tidak nampak ada bekas apapun yang menunjukkan bahwa tanah tersebut pernah
dikelola baik berupa pagar, tanaman bekas bangunan atau bentuk pengelolaan
lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan menghidupkan tanah mati artinya
adalah mengelola tanah tersebut atau menjadikan tanah tersebut menjadi
bermanfaat untuk berbagai keperluan atau menjadikan tanah tersebut siap untuk
langsung ditanami atau dimanfaatkan. Upaya menghidupkan tanah tersebut dapat
dilakukan dengan memagari, mematok (memberi batas), mendirikan bangunan di
3 Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Musla, (Bogor: Cahaya, 1963),
h. 51.
17
atas tanah, menanami dengan tanaman tertentu atau dengan cara apapun yang
yang menjadikan tanah tersebut menjadi “hidup”.
Dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha/
kerja yang dilakukan orang tadi telah menjadikan tanah tersebut menjadi
miliknya.
Rasulullah Saw bersabda:
ر أرضا ليست لحد فهو أحق بها من عم
Artinya:
Barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang,
maka dialah yang berhak atas tanah itu”. (HR Riwayat Imam Al-
Bukhari).4
Dalam hadits lain, Rasulullah Saw juga bersabda:
من احيا ارض ميتة فهي له
Artinya:
Barang siapa yang membuka tanah yang kosong, maka tanah itu menjadi
miliknya”. (HR. Ahmad dan Imam at-Tirmidzi).5
2. Tahjir ( رتحجي )
Tahjir artinya membuat batas pada suatu tanah. Menurut al-Mawardi
sebagaimana dikutip oleh Ija Suntana, bahwa:
tahjir atau sekedar meletakkan batu atau tonggak pada masa Rasulullah
Saw sudah merupakan tindakan hukum yang mengakibatkan kepemilikan
pada tanah sekalipun tidak dipergunakan secara produktif atau untuk
4Al-Hafidz ibn Hajar al-Asqalani, Bulug al-Marram Min Adillati al-Ahkam, (Libanon:
Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah, Bairut, Libanon: Daar al-Kutub al-Ijtimaiyah), h. 189.
5 Al-Imam Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah bin Musa ibn ad-Dahak as-Salmi at-
Turmuzi, Sunan at-Turmuzi, (Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah), h. 302.
18
tempat tinggal. 6
Adapun status tahjir (pemagaran) lahan mati statusnya disamakan dengan
menghidupkan tanah mati. Hal ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw:
على فهي له حائطا أرض من حاطأ
Artinya:
Barangsiapa yang memberi pagar tanah (yang mati), maka tanah itu
menjadi miliknya.7
Berdasarkan hadis di atas dapat dipahami bahwa dengan memagari tanah
mati, maka orang yang memagarinya memiliki hak untuk mengelola tanah
tersebut. begitu pula orang yang memagarinya berhak melarang orang lain yang
ingin menghidupkan tanah yang sudah di pagarinya. Apabila orang lain tersebut
memaksa maka dia tetap tidak berhak memilikinya dan tanah tersebut harus
dikembalikan kepada orang yang memagari sebelumnya. Sebab memagari itu
statusnya sama dengan menghidupkan sehingga berhak mengelola dan menguasai
tanah tersebut.
3. Iqtha’ ( قطاءا )
Iqtha adalah kepemilikan tanah melalui penyerahan sebidang tanah yang
tidak bertuan kepada perseorangan atau kelompok yang dianggap cakap memiliki
dan menfungsikan tanah yang bersangkutan. Dalam sejarah tercatat, bahwa Nabi
Muhammad Saw menyerahkan beberapa lahan kepada masyarakat di antaranya
kepada Zubair bin Awwam dan Mu’awiyah. Nabi Muhammad Saw menyerahkan
6 Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 146.
7 Al-Imam Abu Daud Sulaiman ibn al-Asy’as al-Azdi as-Sijistani, Sunan Abi Daud,
(Kairo: Tijarriyah Kubra, 1935), h. 430.
19
sebidang tanah di kawasan Naqi’ kepada Zubeir bin Awwam untuk difungsikan
sebagai lahan pertanian, sedangkan Muawiyah menerima tanah di kawasan
Hadramaut.8
Iqtha pada masa Rasulullah terbagi menjadi dua bentuk yaitu penyerahan
tanah sebagai hak milik (Iqtha’ tamlik) dan penyerahan tanah sebagai hak guna
usaha (iqtha’ istiglal). Penyerahan tanah sebagai hak milik berlaku untuk lahan
yaitu lahan yang sejak awal tidak ada yang memilikinya (mawat) dan lahan yang
pernah difungsikan oleh masyarakat kemudian ditinggalkan sehingga menjadi
lahan mati (mawat atilsa).
Lahan tambang pada zaman Rasulullah terbagi menjadi dua jenis.
Pertama lahan yang tambangnya tampak dipermukaan lahan tersebut seperti
tambak garam dan tambak bahan cetak. Kedua, lahan yang benda tambangnya
berada di bagian dalam tanah seperti tambang emas, perak dan besi. Nabi
Muhammad Saw pernah menyerahkan beberapa lahan tambang kepada orang-
orang tertentu yang dianggap layak untuk mengelolanya. Contohnya, Nabi
Muhammad Saw pernah menyerahkan area tambak garam Ma’arab kepada Al-
Abyad bin Hamal. Berdasarkan pengajuan darinya kemudian dibagi dua hak
pengelolaannya dengan al-Aqra bin Habis at-Tamimi. Rasulullah Saw
memberlakukan ketentuan bagi keduanya untuk menyerahkan sebagian hasil
penambakan kepada Pemerintah Madinah yang kemudian didistribusikan kepada
masyarakat.
8 Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010) h. 146-147.
20
Ketika Nabi Saw menyerahkan area tambak garam Ma’arab kepada al-
Abyad, sebagian sahabat protes atas kebijakan tersebut. Mereka beralasan bahwa
tambak garam setara dengan sumber air yang penguasaannya tidak bisa
diserahkan kepada perseorangan. Akan tetapi Nabi Muhammad Saw menolak
keberatan tersebut dan tetap menyerahkannya kepada Al-Abyadh untuk
melakukan produksi dan distribusi garam. Rasulullah Saw pun memberlakukan
kewajiban membayar zakat pendapatan sebesar 1/10 dari total pendapatan.9
Kalaupun Pemerintah (imam) akan melakukan pembebasan tanah
dengan otoritas Iqtha’ yang melekat padanya, maka rakyat atau pihak-pihak yang
tanahnya terambil mempunyai hak untuk memperoleh ganti rugi/imbalan (al-
ujrah) yang diambil dari uang baitul maal (kas Negara).10
Kalau tidak ada ganti
rugi maka Pemerintah melakukan kedholiman kepada rakyatnya.
2. Hapusnya Hak Milik
a. Menurut Hukum Adat
Secara ringkas A. R. Mustara dalam S. R. Nur mengatakan bahwa
hapusnya hak milik menurut hukum adat adat 2 hal, yaitu:
1) Hak milik hapus apabila rumput dan pohon-pohonan liar yang tumbuh mencapai besar batang tertentu.
2) Dalam hal ada tanaman jangka panjang tetapi tidak banyak, tidak meliputi
semua tanah, maka pembuka tanah hanya mempunyai hak atas tanaman-
tanamannya, tidak atas tanahnya.11
9 Ija Suntana, Politik Ekonomi Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 146-147.
10 Syihabuddin Ar-Ramli, Nihayat Al-Muhtaj, (Beirut: Daar al-Fikr, 1984 juz 5, h. 339.
11 S. R. Nur, Beberapa Masalah Agraria, h. 55.
21
b. Menurut UUPA
Berdasarkan Pasal 27 UUPA hapusnya hak milik adalah sebagai berikut:
1) Tanahnya jatuh kepada negara,
a) Karena pencabutan hak berdasarkan Pasal 18 yang menentukan:
Untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta
kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan
memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
Undang-Undang.12
Pasal ini merupakan jaminan bagi rakyat mengenai hak-haknya atas tanah.
Pencabutan hak dimungkinkan, tetapi dengan syarat-syarat, demi kepentingan
umum, termasuk kepentingan Bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari
rakyat hak-hak atas tanah dapat dicabut dengan pemberian ganti kerugian yang
layak. Pencabutan hak milik atas tanah baru dapat dilaksanakan apabila
pelaksanaannya dilakukan menurut cara yang diatur dalam UU No. 20 Tahun
1961 Tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya,
sehingga tanah hak milik tersebut menjadi tanah negara.
b) Karena penyerahan dengan sukarela oleh pemiliknya.
Suatu hak atas tanah hapus apabila dilepaskan secara sukarela oleh
pemegang hak atas tanah tersebut. Pelepasan ini menyebabkan tanah tersebut
menjadi tanah Negara.
c) Karena diterlantarkan
Penelantaran tanah dapat menyebabkan hapusnya suatu hak atas tanah
12 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 18.
22
karena tidak digunakan sesuai dengan sifat dan tujuan hak atas tanah tersebut.
Adapun mekanisme penghapusan tanah yang diterlantarkan diatur lebih lanjut
dalam PP No. 36 Tahun 1998 Tentang Penertiban Dan Pendayagunaan Tanah
Terlantar. Oleh karena itu, hak milik atas tanah tersebut menjadi tanah negara.
d) Karena ketentuan Pasal 21 ayat (3) dan 26 ayat (2).
Pasal 21 ayat (3) menentukan bahwa:
Orang asing yang sesudah berlakunya Undang-undang ini memperoleh
hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau pencampuran harta karena
perkawinan, demikian pula warga negara Indonesia yang mempunyai hak
milik dan setelah berlakunya Undang-undang ini kehilangan
kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu didalam jangka waktu satu
tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan
itu. Jika sesudah jangka waktu tersebut lampau hak milik itu dilepaskan,
maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh kepada
Negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya
tetap berlangsung.13
Pasal 21 ayat (3) UUPA mengatur mengenai hapusnya hak milik yang
disebabkan karena pemegang hak milik tidak memenuhi syarat sebagai subyek
hak yang bersangkutan, misalnya jika terjadi perkawinan campur pemegang hak
milik lalai untuk melepaskan atau memindahkannya dalam waktu yang
ditentukan, maka tanah tersebut akan menjadi tanah negara.
Berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA menentukan bahwa:
Setiap jual-beli, penukaran, penghibahan pemberian dengan wasiat, dan
perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk langsung dan tidak
langsung memindahkan hak milik kepada orang asing, kepada seorang
warga negara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing atau kepada suatu badan hukum kecuali yang
ditetapkan oleh Pemerintah termasuk dalam Pasal 21 ayat (2), adalah batal
karena hukum dan tanahnya jatuh kepada negara, dengan ketentuan bahwa
13 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 21 ayat (3).
23
hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.14
Pemindahan hak milik atas tanah kepada pihak lain yang tidak memenuhi
syarat sebagai subyeknya, dilarang oleh Pasal 26 ayat (2) UUPA. Apabila
larangan ini dilanggar, hak milik yang bersangkutan menjadi hapus dan tanah
yang bersangkutan karena hukum jatuh kepada negara.Tanahnya musnah
Istilah musnah dalam hal ini dipahami dalam pengertian yuridis, yaitu
secara fisik tanah tersebut tidak dapat dipergunakan secara layak sesuai dengan
isi/ kewenangan haknya. Contohnya tanah yang hilang terkikis erosi sungai
maupun pantai. Meskipun secara fisik bidang tanah tersebut masih dapat
ditemukan, akan tetapi karena sudah tidak dapat mendukung penggunaannya
secara layak, maka haknya hapus menjadi tanah negara.
c. Menurut Hukum Islam
Syariat Islam menetapkan bahwa hak kepemilikan pertanian akan hilang
jika tanah itu ditelantarkan tiga tahun berturut-turut. Negara akan menarik tanah
itu dan memberikan kepada orang lain yang mampu mengolahnya.
Umar bin Khaththab pernah berkata, "Orang yang membuat batas pada
tanah (muhtajir) tak berhak lagi atas tanah itu setelah tiga tahun ditelantarkan."
Umar pun melaksanakan ketentuan ini dengan menarik tanah pertanian milik
Bilal bin Al-Harits Al-Muzni yang ditelantarkan tiga tahun. Para sahabat
menyetujuinya sehingga menjadi Ijma' Sahabat (kesepakatan para sahabat Nabi
SAW) dalam masalah ini.
14 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 26 ayat (2).
24
Pencabutan hak milik ini tidak terbatas pada tanah mati (mawat) yang
dimiliki dengan cara tahjir (pembuatan batas) saja, namun juga meliputi tanah
pertanian yang dimiliki dengan cara-cara lain tas dasar Qiyas. Misalnya, yang
dimiliki melalui jual beli, waris, hibah, dan lain-lain. Sebab yang menjadi alasan
hukum (illat, ratio legis) dari pencabutan hak milik bukanlah cara-cara
memilikinya, melainkan penelantaran selama tiga tahun (ta'thil al-ardh).
B. Pertanahan dalam Undang-Undang Pokok Agraria
1. Pengertian Tanah
Tanah sebagai bagian dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 Ayat (1) UUPA
yaitu:
Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam
Pasal 2 ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah, yang dapat diberikan dan dapat pula dimiliki oleh orang
baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum.15
Pengertian tanah dengan permukaan bumi seperti itu juga diatur dalam
penjelasan pasal UUPA sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Angka 1 bahwa
yang dimaksud dengan tanah ialah permukaan bumi. Pengertian tanah dalam
Undang-undang Nomor 51 Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah
Tanpa Izin yang Berhak atas Kuasanya dirumuskan:
a. Tanah yang langsung dikuasai oleh Negara.
b. Tanah yang tidak dikuasai oleh negara yang dipunyai dengan sesuatu hak oleh
perorangan atau badan hukum.
15 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 4 ayat (1).
25
2. Pengertian Hak Atas Tanah
Dalam Pasal 4 ayat (1) dan (2) UUPA tertulis bahwa:
Atas dasar menguasai dari negara ditentukan adanya macam-macam hak
atas tanah yang dapat diberikan kepada dan dipunyai baik secara sendirian
maupun secara bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan
hukum, di mana hak atas tanah ini memberi wewenang untuk
mempergunakan tanah-tanah yang bersangkutan sedemikian rupa, begitu
pula bumi dan air serta ruang udara di atasnya sekedar diperlukan untuk
kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah itu,
dalam batas-batas menurut UUPA dan peraturan-peraturan hukum lain
yang lebih tinggi.16
Dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA, dengan jelas tertulis macam-macam hak
atas tanah yang dapat dimiliki baik secara sendiri maupun bersama-sama dengan
orang lain. Hak-hak atas tanah tersebut antara lain:
a. Hak milik
Pengertian hak milik berdasarkan ketentuan UUPA khususnya dalam
Pasal 20 tertulis bahwa:
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.17
Hak milik itu sendiri berdasarkan ayat (2) dari pasal ini menyatakan
bahwa “hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.18
Hal ini
berbeda dengan hak milik menurut Islam yang tidak mengakui hak milik atas
sesuatu benda secara mutlak, karena hak mutlak pemilikan atas sesuatu benda
hanya pada Allah.
16 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 4 (1) dan (2).
17 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 20 (1).
18 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 20 (2).
26
b. Hak guna usaha
Hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 mengatakan
bahwa:
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal
29 guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.19
Jadi hak guna usaha dalam hal ini hanya semata-mata diperuntukkan bagi
suatu kegiatan produksi tertentu serta mempunyai batas waktu tertentu dalam
pengelolaannya.
c. Hak guna bangunan
Dalam Pasal 35 UUPA mengatur tentang hak guna bangunan yang
dinyatakan bahwa:
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memperoleh
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun.20
Hak guna bangunan berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa
hanya diperuntukkan dalam hal mendirikan dan mempunyai bangunan.
Mendirikan berarti membuat bangunan baru atau membeli bangunan yang berdiri
di atas hak guna bangunan.
d. Hak pakai
Pengertian hak pakai menurut Pasal 41 UUPA adalah sebagai berikut:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 28 (1).
20 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 35 (1).
27
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian pengotanah tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.21
Ketentuan pasal tersebut di atas menjelaskan bahwa setiap orang diberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan baik secara cuma-
cuma dengan pembayaran ataupun dengan pemberian berupa jasa akan tetapi
tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
e. Hak sewa
Hak sewa dalam UUPA secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 44 Ayat
(1) yang menyatakan bahwa “Seseorang atau badan hukum yang mempunyai hak
sewa atas tanah.”22
Apabila ia berhak mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan
bangunan dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sewa.
Pembayaran sewa dapat dilakukan:
1) Satu kali atau pada tiap waktu-waktu tertentu.
2) Sebelum atau sesudah tanahnya dipergunakan.
Perjanjian sewa tanah yang dimaksudkan dalam pasal ini tidak boleh
disertai syarat-syarat yang mengandung unsur-unsur pemerasan. Mengenai
prosedur untuk memperoleh hak sewa tersebut harus melalui suatu perjanjian
21 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 40 (1).
22 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 41 (1).
28
yang dibuat di hadapkan notaris atau camat setempat sehingga memiliki dasar
hukum.
1) Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan
Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dapat dimiliki oleh
warga negara Indonesia dan diatur dalam peraturan Pemerintah. Dengan
mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah tidak dengan sendirinya
diperoleh hak milik atas tanah itu. Ketentuan tersebut ditegaskan dalam UUPA
khususnya Pasal 46 Ayat (1) dan (2).
2) Hak-hak yang sifatnya sementara
Adapun mengenai hak-hak yang diberi sifat sementara oleh UUPA
dimaksudkan bahwa suatu ketika hak-hak tersebut akan ditiadakan sebagai
lembaga-lembaga hukum karena UUPA menganggapnya tidak sesuai dengan
asas-asas hukum agraria terutama mengenai dicegahnya tindak pemerasan. Hak
gadai, hak usaha bagi hasil dan hak sewa tanah pertanian adalah hak-hak yang
memberi wewenang kepada yang mempunyai tanah untuk menguasai dan
mengusahakan tanah kepunyaan orang lain.
3. Pendaftaran Tanah
Dalam hal pendaftaran tanah, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dan menentukan, bukan hanya
sekedar sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 19 UUPA, tetapi lebih dari itu
Peraturan Pemerintah tersebut menjadi tulang punggung yang mendukung
berjalannya administrasi pertanahan sebagai salah satu program catur tertib
29
pertanahan dan hukum pertanahan di Indonesia.23
a. Pengertian
Pendaftaran tanah adalah:
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus-menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengolahan,
pembukuan dan penyajian, serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis,
dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-
satuan rumah susun, termasuk pemberian sertifikat sebagai surat tanda
bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang
membebaninya.24
Definisi pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997 merupakan penyempurnaan dari ruang lingkup kegiatan pendaftaran tanah
berdasarkan Pasal 19 ayat (2) PP No. 10 Tahun 1961 yang hanya meliputi:
pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah, pendaftaran dan peralihan hak atas
tanah serta pemberian tanda bukti hak sebagai alat pembuktian yang kuat.25
b. Prinsip/ Asas Pendaftaran Tanah
Sebagaimana disebutkan pada Pasal 2 PP Nomor 24 Tahun 1997 bahwa
“pendaftaran tanah dilaksanakan berdasarkan asas sederhana, aman, terjangkau,
mutakhir, dan terbuka”.26
23
Urip Santoso, Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010), h. 5.
24Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 1 ayat (1).
25Mhd. Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis. Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung:
Mandar Maju, 2008), h. 138.
26 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 21 ayat (3).
30
Penjelasan mengenai asas-asas tersebut adalah sebagai berikut:
1) Asas Sederhana
Dimaksudkan agar ketentuan-ketentuan pokok maupun prosedurnya
dengan mudah dapat dipahami oleh pihak-pihak yang berkepentingan, terutama
para pemegang hak atas tanah.
2) Asas Aman
Dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa pendaftaran tanah perlu
diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan
jaminan kepastian hukum sesuai tujuan pendaftaran tanah itu sendiri.
3) Asas Terjangkau
Dimaksudkan keterjangkauan bagi pihak-pihak yang memerlukan,
khususnya dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi
lemah. Pelayanan yang diberikan dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran
tanah harus bisa terjangkau oleh para pihak yang memerlukan.
4) Asas Mutakhir
Dimaksudkan kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan
berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia harus
menunjukkan keadaan yang mutakhir. Untuk itu perlu diikuti kewajiban
mendaftar dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi dikemudian hari.
5) Asas Terbuka
Dimaksudkan data yang tersimpan di Kantor Pertanahan selalu sesuai
dengan keadaan nyata di lapangan, dan masyarakat dapat memperoleh keterangan
mengenai data yang benar setiap saat.
31
c. Objek dan Tujuan Pendaftaran Tanah
Obyek pendaftaran tanah menurut Pasal 9 PP Nomor 24 Tahun 1997
meliputi:
1) Bidang-bidang tanah yang dipunyai dengan hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, dan hak pakai;
2) Tanah hak pengelolaan;
3) Tanah wakaf;
4) Hak milik atas satuan rumah susun;
5) Hak tanggungan;
6) Tanah negara.27
Tujuan pendaftaran tanah dinyatakan dalam Pasal 3 PP Nomor 24 Tahun
1997 yaitu:
1) Memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang
hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun, dan hak-hak lain yang
terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak yang bersangkutan;
2) Menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang
diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang
tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar;
3) Terselenggaranya tertib administrasi pertanahan.28
d. Sistem Pendaftaran Tanah
Pendaftaran tanah ditujukan kepada Pemerintah sebagai penguasa
tertinggi terhadap tanah.29
Sistem pendaftaran tanah yang dipakai di suatu negara
tergantung pada asas hukum pendaftaran tanah dan sistem publikasi yang
27Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 9.
28 Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah, Pasal 3.
29 R. Soehadi, Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang Pokok
Agraria, (Surabaya: Usana Offest Printing), h. 53.
32
digunakan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah oleh negara yang
bersangkutan.
Terdapat dua macam sistem pendaftaran tanah yaitu:
1) Sistem pendaftaran akta (registration of deeds);
Pada sistem pendaftaran akta, pendaftaran berarti mendaftarkan peristiwa
hukumnya yaitu peralihan haknya dengan cara mendaftarkan akta. Akta itulah
yang didaftar oleh pejabat pendaftaran tanah yang bersifat pasif. Ia tidak
melakukan pengujian kebenaran data yang disebut dalam akta yang didaftar.
2) Sistem pendaftaran hak (registration of title).
Pada sistem pendaftaran hak, pemegang hak yang terdaftar adalah
pemegang hak yang sah menurut hukum sehingga pendaftaran berarti
mendaftarkan status seseorang sebagai pemegang hak atas tanah. Setiap
penciptaan hak baru dan perbuatan-perbuatan hukum yang menimbulkan
perubahan kemudian juga harus dibuktikan dengan suatu akta, tetapi dalam
penyelenggaraan pendaftarannya bukan akta yang didaftar melainkan haknya
yang diciptakan dan perubahan-perubahannya kemudian.
C. Hak Persekutuan Hukum Masyarakat Atas Tanah
Sebelum menguraikan tentang bagaimana pengertian dan kedudukan Tana
Telleng sebagai tanah milk persekutuan hukum masyarakat menurut adat Wajo,
ada baiknya jika terlebih dahulu penyusun menguraikan tentang apa yang
dimaksud dengan Hak Persekutuan Hukum Masyarakat Atas Tanah.
33
Hak persekutuan hukum masyarakat atas tanah oleh Van Vallenhoven
disebut “Beschikkingsrecht”. Istilah yang dipakai oleh Van Vallenhoven ini jika
diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, menggambarkan tentang hubungan antara
persekutuan dan tanah itu sendiri, sedangkan yang dimaksud warga persekutuan
hukum adalah lingkungan kekuasaan atau wilayah kekuasaan.
1. Pengertian Hak Persekutuan Hukum Masyarakat atas Tanah
Hak persekutuan hukum masyarakat atas tanah yang umurnnya disebut
hak ulayat, banyak sarjana yang telah rnemberikan pengertian diantaranya:
Maasen dan Hens yang dikemukakan oleh Ruchiyat menyatakan sebagai
berikut:
Yang dinamakan hak ulayat (beschikkingsrecht) adalah hak desa menurut
adat dan kemauannya untuk menguasai tanah dalam lingkungan
daerahnya, buat kepentingan anggota-anggotanya atau untuk kepentingan
orang lain dalam hal mana desa itu sedikit banyak turut campur tangan
dalam pembukaan tanah itu dan turut bertanggung jawab terhadap
perkara-perkara yang terjadi yang belum diselesaikan.30
Hak ulayat dalam bentuk dasarnya adalah suatu hak dan persekutuan atas
tanah yang didiami, sedangkan pelaksanaannya dilakukan oleh persekutuan itu
sendiri atau oleh kepala persekutuan atas nama persekutuan. Antara persekutuan
hukum masyarakat dengan tanah yang didudukinya itu terdapat hubungan yang
erat sekali; hubungan yang mempunyai sumber serta bersifat religio-magis.
Hubungan yang erat dan bersifat religio-magis ini menyebabkan
persekutuan hukum masyarakat rnemperoleh hak untuk menguasai tanah
dimaksud, memanfaatkan tanah itu, memungut hasil dari tumbuh-tumbuhan yang
30 Edi, Rukhiyat, Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA, (Bandung:
Alumni, 1984) h. 31.
34
hidup di tanah itu, juga dapat berburu terhadap hewan-hewan yang hidup di tanah
itu.
Antara hak ulayat dan hak para warganya masing-masing (individu) ada
hubungan timbal balik yang saling mengisi. Artinya lebih intensif antara
hubungan individu, warga persekutuan dengan tanah yang bersangkutan, maka
lebih teranglah, lebih kuranglah kekuatan daya berlakunya hak ulayat persekutuan
terhadap tanah dimaksud. Tetapi sebaliknya apabila hubungan individu dengan
tanah tersebut menjadi semakin lama semakin kabur, karena misalnya tanah itu
kemudian tidak/ kurang dipelihara, maka tanah tersebut kembali masuk dalam
kekuasaan hak ulayat persekutuan.
Bushar Muhammad Iebih lanjut menyebutkan obyek hak ulayat sebagai
berikut:
a. Tanah (daratan)
b. Air (perairan seperti misalnya: kali, danau, pantai beserta perairannya).
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon, buah-buahan, pohon-pohon
untuk kayu pertukangan atau kayu bakar dan lain sebagainya).
d. Binatang yang hidup liar.31
Wilayah kekuasaan persekutuan hukum atas tanah itu adalah merupakan
milik persekutuan yang pada asasnya bersifat tetap, artinya perpindahan hak milik
atas wilayah itu tidak diperbolehkan.
Berdasarkan dari uraian tersebut di atas, maka penyusun berkesimpulan
bahwa, yang dimaksud dengan hak ulayat adalah, bentuk hak milik secara
komunal (milik bersama-sama) menurut hukum adat, yang berlaku baik ke dalam
31 Bushar Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1983) h,
109.
35
maupun ke luar wilayah kekuasaan suatu kelompok masyarakat yang tidak dapat
dimiliki secara perseorangan, dialihkan, dan diwariskan secara perdata.
2. Ciri-Ciri Hak Persekutuan Hukum Masyarakat atas Tanah
Ciri-ciri hak persekutuan hukum masyarakat atas tanah menurut Van
Vallenhoven yang dikutip dari buku karangan Ter Haar menyebutkan:
a. Berlakunya ke dalam. Masyarakat itu, dalam arti kata anggota-anggotanya
bersama, mempergunakan hak pertuanan (beschikkingrecht)-nya berupa dan
dengan jalan memungut keuntungan dari tanah itu dan dari binatang-binatang
dan tanaman-tanaman yang terdapat dengan tanpa terpelihara disitu.
b. Berlakunya ke luar. Hak pertuanan atau “beschikkingrecht” itu ternyata
berlaku ke luar karena orang-orang luaran masyarakat, orang-orang dari lain-
lain tempat termasuk juga orang-orang dan masyarakat-tetangga hanya
memungut hasil dari tanah selingkungan “beschikkingsrecht” sesudah
mendapat izin untuk itu dari pihak masyarakat, pula sesudah membayar wang-
pengakuan dimuka beserta wang-penggantian dibelakang, di situ si-asing tadi
pada pokoknya tak dapat memperoleh hak orang-seorang atas tanah lebih
lama dari pada tempo untuk menikmatinya, ialah satu panen (genotrecht);
juga ternyata berlakunya hak pertuanan itu ialah bahwa orang-orang luaran
tak boleh mewarisi, membeli atau membeli gadai tanah-tanah pertanian; juga
bahwa mereka malahan menurut hukum-adat dapat dilarang atau dibatasi
dengan perjanjian-perjanjian untuk menginjak daerah lingkungan
“beschikkingsrecht” itu (ini terlepas dari soal mungkin atau tidaknya demikian
itu menurut ketatanegaraan pada sekarang ini).
c. Tugas penghulu-penghulu rakyat. Oleh karena itu maka penghulu-penghulu
rakyat mempunyai tugas rangkap sesuai dengan berlakunya
“beschikkingsrecht”. Yang rangkap pula, ialah ke luar sebagai wakil-wakil
masyarakat menghadapi orang-orang luaran masyarakat, dan ke dalam sebagai
pengatur bagaimana anggota-anggota sebagai sesama pendukung
“beschikkingsrecht”.
d. Benda (obyek) dari pada “beschikkingsrecht”. Hak pertuanan berlaku baik
atas tanah, maupun atas perairan (Sungai-sungai, perairan pantai laul) dan
juga atas tanaman yang turnbuh sendiri (pohon-pohon, pohon buah-buahan,
pohon-pohon untuk pertukangan) beserta atas binatang-binatang yang tumbuh
liar.
e. Lingkungan “beschikkingsrecht” yang rangkap. Dengan dua jalan orang dapat
menjumpai lingkungan “beschikkingsrecht” dari pada sebuah dusun di
pedalaman, yaitu daerah sesungguhnya yang didiami dan dipungut hasilnya
untuk hidup dan dilingkungan itu kadang-kadang jauh jaraknya dari satu
lingkungan “beschikkingsrecht” sepanjang laut dari mana dusun itu
mengambil hasil-hasil laut dan gararn yang sangat dibutuhkanya. Selanjutnya
36
yang lebih sering terdapat, yaitu lingkungan “beschikkingsrech” baik dari
pada dusun maupun dari pada masyarakat-wilayah, dirnana dusun itu terletak.
f. Pembatasan daerah “beschikkingsrecht”. Pembatasan yang tegas dari pada
lingkungan “ beschikkingsrecht” di semua lingkungan-lingkungan hukum
adalah akibat dari pada gerombolan-gerombolan lain dan pemagaran dari
gerombolan-gerombolan itu, gerombolan mana sudah menetap di atas tanah
itu sebagai kesatuan yang berdiri sendiri atau sebagai demikian sudah
memisahkan diri dari induk dusun; pembatasan yang samar-samar dapat
berlangsung terus bila tanah-tanah kosong itu sangat luasnya.
Ciri-ciri hak persekutuan hukum masyarakat sebagaimana yang
dikemukakan oleh Van Vallenhoven di atas memberi gambaran bahwa, hak
persekutan hukum masyarakat rnempunyai daya berlaku ke luar dan ke dalam.
Tiap anggota warga persekutuan hukum mempunyai hak yang sama untuk
mempergunakan tanah yang berada dalam wilayah persekutuan. Penggunaan
tanah persekutuan, khususnya bagi orang yang berasal dari luar wilayah
persekutuan hanya mungkin digunakan oleh yang bersangkutan atas dasar hak
memungut hasil yang bersifat sementara/ musiman. Dengan demikian, hanya pada
saat tertentu dimana kepala persekutuan sebagai penguasa tanah memberi izin
untuk mengelola tanah itu dengan ketentuan bahwa si pemohon sanggup
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan. Misalnya. si pemohon memberi
uang kepada kepala persekutuan sebagai tanda pengakuan.
Hampir sama dengan di atas, berlakunya hak ulayat ini menurut
sistematika Ter Haar adalah sebagai berikut:
a. Anggota masyarakat hukum bersama-sama dapat mengambil manfaat atas
tanah serta tumbuh-tumbuhan maupun hewan liar yang hidup di atasnya.
b. Anggota masyarakat hukum untuk keperluan sendiri berhak berburu,
mengumpulkan hasil hutan yang kemudian dimiliki deng an hak milik
bahkan berhak memiliki beberapa pohon yang tumbuh liar apabila pohon itu
dipelihara olehnya.
37
c. Mereka mempunyai hak untuk membuka hutan dengan sepengetahuan
kepala suku atau kepala masyarakat hukum. Hubungan hukum antara
orang yang membuka tanah dengan tanah tersebut makin lama makin kuat,
apabila tanah tersebut terus menerus dipelihara/digarap dan akhirnya dapat
menjadi hak milik si pembuka. Sekalipun demikian, hak ulayat
masyarakat hukum tetap ada walaupun melemah. Sebaliknya, apabila tanah
yang dibuka itu tidak diurus atau diterlantarkan, maka tanah akan kembali
menjadi tanah masyarakat hukum. Selain itu, transaksi-transaksi penting
mengenai tanah harus dengan persetujuan kepala suku.
d. Berdasarkan kesepakatan masyarakat hukum setempat, dapat ditetapkan
bagian-bagian wilayah yang dapat digunakan untuk tempat permukiman,
makam, pengembalaan umum, dan lain-lain.
e. Anggota suku lain tidak boleh mengambil manfaat daerah hak ulayat,
kecuali dengan seizin pimpinan suku atau masyarakat hukum, dan dengan
memberi semacam hadiah kecil (uang pemasukan) terlebih dahulu. Izin
tersebut bersifat sementara, misalnya untuk selama musim panen, namun suku
lain tidak dapat mempunyai hak milik atas tanah tersebut. Sifat istimewa
hak ulayat terletak pada daya berlakunya secara timbal balik hak-hak itu
terhadap orang lain. Karena pengelolaan tanah makin memperkuat
hubungan perseorangan dengan sebidang tanah. Bila hubungan
perorangan atas tanah itu berkurang atau bila hubungan itu diabaikan terus
menerus, maka pulihlah hak masyarakat hukum atas tanah itu dan tanah
tersebut kembali menjadi hak ulayat.
f. Apabila ada anggota suku bangsa lain ditemukan meninggal dunia atau
dibunuh di suatu wilayah yang dikuasai satu suku bangsa, maka suku atau
masyarakat hukum di wilayah bersangkutan bertanggung jawab untuk
mencari siapa pembunuhnya atau membayar denda.32
Di berbagai lingkungan hukum adat di Indonesia terdapat lingkungan
persekutuan hukum yang satu sama lain dipisahkan oleh wilayah-wilayah tak
bertuan yang luas. Pada bagian-bagian lain terdapat wilayah-wilayah yang disitu
hampir tak ada sebidang tanahpun termasuk hak persekutuan. Hak persekutuan
pada suatu tempat tertentu masih kuat sedangkan di tempat lain sudah menjadi
lemah.
32 Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, (Bandung: Sumur Batu, 1985). h. 45
38
Persekutuan hukum yang berlaku keluar persekutuannya itu terjadi dan
adanya rasa tanggung segala sesuatu yang terjadi dalam lingkungan tanah
persekutuan tersebut, seperti pencurian dan pembunuhan. Tentu saja orang
berusaha sampai terjadi hal-hal seperti itu.
Lamanya hak persekutuan hukum, misalnya nampak pada transaksi tanah
pertanian (jual, gadai dan sebagainya) yang memerlukan bantuan dari kepala
persekutuan yang bersangkutan. Hak persekutuan hukum yang kuat misalnya
dalam hal pencabutan hak tanpa ganti rugi seperti:
a. Pada tanah yang ditinggalkan.
b. Pada tanah warga desa berpindah ke tempat lain.
c. Pada tanah yang pemiliknya meninggal dunia dengan tidak ada ahli waris
meninggalkan tempat kediamannya, maka kembalilah sikap persekutuan
hukum itu terhadap sikap semula. Yaitu orang tersebut kembali menjadi orang
asing.
3. Tana Telleng
Tana Telleng berasal dari bahasa daerah Bugis yang jika diartikan ke
dalam Bahasa Indonesia berarti tanah tenggelam. Selain istilah Tana Telleng yang
dipakai oleh warga masyarakat di Kabupaten Wajo, masih ada istilah lain (bahasa
sehari-hari) yang dipakai oleh warga masyarakat yang pengertiannya disamakan
dengan Tana Telleng. Istilah-istilah yang penyusun maksud tersebut adalah
“Tanah Tappareng” (tanah yang berasal dari danau), “Tanah Bungka” (tanah
sekeliling danau-danau yang pada tiap-tiap tahun waktu air naik, digenangi air,
39
sehingga tidak nyata lagi), dan “Tanah Koti” (tanah danau/ Tana Telleng yang
diperoleh oleh masyarakat melalui undian).
A.R. Mustara memberikan pengertian Tana Telleng sebagai
berikut:
Tana Telleng adalah tanah pada waktu musim hujan air danau itu
melimpah dan menggenangi daratan di sekitarnya sehingga tanah itu
tenggelam. Apabila musim kemarau tiba maka airnya berangsur-angsur
turun sehingga daratan yang tadinya tenggelam, muncul dan menjadi
kering kembali. Tanah bekas tenggelam itu disebut Tana Telleng atau
Tanah Labu.33
Berdasarkan dan uraian tersebut di atas, maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa yang dimaksud dengan Tana Telleng adalah tanah daerah danau yang pada
musim hujan digenangi air dan pada musim kemarau tanah itu muncul dan
menjadi kering kembali. Atau dengan kata lain, Tana Telleng adalah daerah danau
yang pada musim hujan, air danau itu melimpah dan menggenangi daratan di
sekitarnya sehingga tanah itu tenggelam, apabila musim kemarau tiba, maka air
berangsur-angsur turun sehingga daratan yang tadinya tenggelam muncul dan
menjadi kering kembali.
33 S. R Nur, Tanah-Tanah Adat di Sulawesi Selatan, h. 110.
40
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Jenis dan Lokasi Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini termasuk penelitian normative-empiris yaitu penelitian untuk
mengkaji hukum positif tertulis yang bersumber dari Undang-Undang No. 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Peraturan Menteri
Agraria (PMA) No. 5 Tahun 1999 tentang tentang Pedoman Penyelesaian
Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, serta penelitian lapangan/
masyarakat/ sosialis/ empiris terkait dengan pengelolaan Tana Telleng di Danau
Tempe, Kabupaten Wajo serta kedudukan Tana Telleng dan hak pengelolaannya
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar
Pokok Agraria.
2. Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian dalam skripsi ini adalah di Desa Bentenglompoe
Kecamatan Sabbangparu, Kebupaten Wajo, tempat Tana Telleng terletak.
Penyusun memilih lokasi penelitian di Danau Tempe Kabupaten Wajo karena di
tempat itulah Tana Telleng berada. Alasan lain penyusun memilih lokasi tersebut
karena penyusun berasal dari Kota Sengkang, Kabupaten Wajo yang jarak tempat
tinggal penyusun dengan Tana Telleng tersebut tidak terlalu jauh sehingga akan
lebih efisien dari segi biaya, waktu dan tenaga.
40
41
B. Pendekatan Penelitian
Dalam konteks ini, jenis penelitiannya adalah penelitian hukum normative-
empiris sedangkan strategi penelitiannya adalah pendekatan normative-terapan.
Dalam kaitannya dengan penelitian hukum normative ada tiga pendekatan
normative-terapan yaitu:
1. Non Judicial Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum tanpa
konflik. Kalaupun ada konflik, diselesaikan oleh pihak-pihak sendiri
secara damai, tanpa campur tangan pengadilan.
2. Judicial Case Study, yaitu pendekatan studi kasus hukum karena konflik
yang diselesaikan melalui putusan pengadilan (yurisprudensi).
3. Live-Case Study, yaitu pendekatan studi kasus peristiwa hukum yang
dalam keadaan berlangsung atau belum berakhir.
Namun penyusun menggunakan pendekatan Non Judicial Case Study yaitu
pendekatan studi kasus hukum tanpa konflik. Kalaupun ada konflik, diselesaikan
oleh pihak-pihak sendiri secara damai, tanpa campur tangan pengadilan.
Pendekatan normatif-terapan yaitu pendekatan masalah yang berpedoman
pada aturan-aturan dalam hukum, peraturan perundang-undangan yang berlaku,
maupun hukum adat dan pendapat/ pemikiran para tokoh yang berkaitan dengan
pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo serta kedudukan
Tana Telleng dan hak pengelolaannya menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria Tana Telleng.
42
C. Sumber Data
1. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari sumber di lapangan
atau data yang diperoleh dari hasil observasi atas penerapan tolok ukur normative
terhadap peristiwa hukum in concreto dan hasil wawancara dengan responden
yang terlibat dengan peristiwa hukum, yaitu wawancara ini dilakukan dengan
menggunakan daftar pertanyaan terlebih dahulu yang dipakai sebagai pedoman,
tetapi variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi pada saat wawancara
dilakukan. Tujuannya adalah untuk mencapai kewajaran secara maksimal
sehingga memudahkan memperoleh data secara mendalam.
2. Data sekunder
Data sekunder dalam penelitian hukum disebut bahan hukum primer,
sekunder dan tersier.
a. Bahan hukum primer yaitu terdiri atas peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi atau keputusan pengadilan dan perjanjian internasional
(traktat).1
b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang dapat memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang dapat berupa rancangan
perundang-undangan, hasil penelitian, buku-buku teks, jurnal ilmiah, surat
kabar (koran), pamphlet, lefleat, brosur, dan berita internet.2
1 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 157.
2 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 157.
43
c. Bahan hukum tersier juga merupakan bahan hukum yang dapat menjelaskan
baik bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, yang berupa
kamus, ensiklopedia, leksikon dan lain-lain.3
Akan tetapi bahan hukum yang digunakan oleh penyusun dalam penelitian
ini adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria, Peraturan Menteri Agraria (PMA) No. 5 Tahun 1999 tentang tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, hasil
penelitian hukum dan buku-buku teks hukum yang berkaitan langsung dengan
penelitian yang dilakukan oleh penyusun.
D. Metode Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data sebagai bahan penelitian, penyusun menggunakan
beberapa metode pengumpulan data, yaitu:
1. Observasi adalah aktivitas terhadap suatu proses atau objek dengan
maksud merasakan dan kemudian memahami pengetahuan dari sebuah
fenomena berdasarkan pengetahuan dan gagasan yang sudah diketahui
sebelumnya, untuk mendapatkan informasi-informasi yang dibutuhkan
untuk melanjutkan suatu penelitian.
2. Wawancara (interview) adalah usaha mengumpulkan informasi dengan
menggunakan sejumlah pertanyaan dengan tulisan yang terstruktur, untuk
3 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 158.
44
dijawab. Interview ini untuk memperoleh data dan informasi yang tidak
dapat diperoleh melalui pengamatan.
3. Dokumentasi yaitu untuk lebih menyempurnakan penelitian ini, penyusun
juga melakukan telaah dokumen hukum melalui teknik pengumpulan data
dokumentasi yaitu dengan cara memperoleh data dengan membaca dan
mempelajari dokumen yang ada hubungannya dengan pokok
permasalahan, antara lain catatan, buku, dan peraturan perundang-
undangan yang berkaitan secara langsung.
E. Instrumen Penelitian
Instrument penelitian menjelaskan tentang alat pengumpul data yang
sesuai dengan jenis penelitian hukum normative-empiris seperti, wawancara
dengan menggunakan daftar pertanyaan, observasi dengan menggunakan kamera
dan dokumentasi dengan menggunakan catatan, buku-buku teks hukum serta
peraturan perundang-undangan.
F. Teknik Pengolahan dan Analisis Data
1. Teknik pengolahan data
Dalam penelitan hukum normative-empiris pengolahan bahan berujud
kegiatan untuk mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis.
Dalam hal ini pengolahan bahan dilakukan dengan cara, melakukan seleksi data
sekunder atau bahan hukum, kemudian melakukan klasifikasi menurut
penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitan tersebut secara
sistematis.
45
Penyusun juga harus memeriksa kembali informasi yang diperoleh dari
responden, atau informan dan narasumber, terutama kelengkapan jawaban yang
diterima apabila penyusun menggunakan banyak tenaga dalam pengambilan data
karena harus ada kejelasan, konsistensi jawaban atau informasi dan relevansinya
bagi penelitian. Di samping itu harus pula diperhatikan adanya keterhubungan
antara data primer dan data sekunder dan diantara bahan-bahan hukum yang
dikumpulkan.
2. Analisis data
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa
melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan
teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini
disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang,
mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian
membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan
bantuan teori yang dikuasainya.
Analisis data dalam penelitan hukum memiliki sifat-sifat seperti
deskripsif, evaluative dan preskriptif.
a. Deskripsif yaitu penyusun dalam menganalis berkeinginan untuk memberikan
gambaran atau pemaparan atas subjek dan objek penelitan sebagaimana hasil
penelitan yang dilakukan.4
b. Evaluative yaitu analisis yang bersifat memberikan justifikasi atas hasil
penelitian.5
4 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 183.
46
c. Preskriptif yaitu untuk memberikan argumentasi atas hasil penelitian yang
telah dilakukannya. Argumentasi di sini dilakukan oleh penyusun untuk
memberikan preskripsi atau penilaian mengenai benar atau salah atau apa
yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa hukum dari
hasil penelitian.6
Analisis data dalam penelitian hukum yang penyusun lakukan ini bersifat
evaluative dan preskriptif. Dalam analisis yang bersifat evaluative dan preskriptif
ini penyusun memberikan justifikasi atas hasil penelitian. Penyusun akan
memberikan penilaian dari hasil penelitian, apakah hipotesis dari teori hukum
yang diajukan diterima atau ditolak dan memberikan penilaian mengenai benar
atau salah atau apa yang seharusnya menurut hukum terhadap fakta atau peristiwa
hukum dari hasil penelitian terkait dengan pengelolaan Tana Telleng di Danau
Tempe, Kabupaten Wajo serta kedudukan Tana Telleng dan hak pengelolaannya
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-Dasar
Pokok Agraria.
5 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 183.
6 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif Empiris
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010) h. 184.
47
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Kondisi Geografis
Kabupaten Wajo merupakan salah satu Kabupaten/ Kota di Provinsi
Sulawesi Selatan yang beribukota di Sengkang. Jarak Sengkang dan Makassar
(ibukota Provinsi Sulawesi Selatan) adalah 242 km. Wilayah Kabupaten Wajo
berbatasan dengan Kabupaten Luwu dan Sidenreng Rappang di sebelah utara,
Kabupaten Bone dan Soppeng di sebelah selatan, Teluk Bone di sebelah timur,
serta Kabupaten Soppeng dan Sidenreng Rappang di sebelah barat. Posisi
geografisnya terletak antara 3º 39º - 4º 16º LS dan 119º 53º-120º 27 BT.
Wilayah Kabupaten Wajo terbentang seluas 2.506,19 km2 yang terbagi
atas 14 kecamatan. Kecamatan Keera merupakan wilayah terluas yakni 368,36
km2 atau 14,70 persen dari luas wilayah Kabupaten Wajo. Sementara itu,
Kecamatan Tempe merupakan wilayah terkecil dengan luas wilayahnya hanya
38,27 km2 atau hanya 1,53 persen. Menurut ketinggian dari permukaan laut,
Kecamatan Bola merupakan wilayah terendah (2 mdpl), sedangkan Majauleng
merupakan kecamatan tertinggi (78 mdpl).
2. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk Kabupaten Wajo menurut proyeksi penduduk adalah
sebanyak 394.495 jiwa. Jumlah tersebut terdiri atas 188.727 jiwa penduduk laki-
laki dan 205.768 jiwa penduduk perempuan. Dengan demikian rasio jenis
47
48
kelamin/ sex ratio sebesar 91, yang berarti bahwa untuk setiap 100 penduduk
perempuan terdapat 91 penduduk laki-laki.
Dibandingkan dengan tahun 2015, jumlah penduduk Kabupaten Wajo
mengalami pertumbuhan positif sebesar 0,32 persen. Hal tersebut menunjukkan
bahwa jumlah penduduk mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Tabel I
Jumlah Penduduk dan Laju Pertumbuhan Penduduk
Kabupaten Wajo, 2016.
Kecamatan
Jumlah penduduk Laju Pertumbuhan
Penduduk
2010 2015 2016 2010-
2016
2015-
2016
No (1) (2) (3) (4) (5) (6)
1 Sabbangparu 25 864 26 158 26 209 1,33 0,19
2 Tempe 61 275 64 200 64 780 5,72 0,90
3 Pammana 31 300 31 656 31 718 1,34 0,20
4 Bola 19 444 19 665 19 704 1,34 0,20
5 Takkalalla 20 675 20 910 20 951 1,33 0,20
6 Sajoanging 18 735 18 948 18 985 1,33 0,20
7 Penrang 15 577 15 755 15 785 1,34 0,19
8 Majauleng 31 302 31 658 31 720 1,34 0,20
9 Tanasitolo 39 400 39 835 39 911 1,30 0,19
10 Belawa 32 021 32 386 32 449 1,34 0,19
11 Maniangpajo 16 061 16 244 16 275 1,33 0,19
12 Gilireng 11 067 11 291 11 333 2,40 0,37
13 Keera 21 803 22 236 22 317 2,36 0,36
14 Pitumpanua 41 800 42 276 42 358 1,33 0,19
Wajo 386 324 393 218 394 495 2,12 0,32
Sumber: Badan Pusat Statistik Kabupaten Wajo.
49
Kecamatan Tempe sebagai ibukota Kabupaten Wajo memiliki penduduk
sebanyak 64.780 jiwa. Sebanyak 16,42 persen penduduk Kabupaten Wajo tinggal
di Kecamatan ini. Dengan luas wilayahnnya yang hanya 38,27 km2, kepadatan
penduduknya mencapai 1.693 jiwa/km2 dan merupakan kecamatan terpadat
dibandingkan kecamatan lain.
Kecamatan Tanasitolo dan Pitumpanua merupakan kecamatan terpadat
setelah Kecamatan Tempe, dengan kepadatan lebih dari 200 jiwa/km2. Kedua
kecamatan ini memang merupakan pusat perekonomian selain Kota Sengkang.
Jumlah penduduk Kecamatan Tanasitolo sebanyak 39.911 jiwa (10,12 persen),
sedangkan Kecamatan Pitumpanua sebanyak 42.358 (10,74 persen).
Apabila dilihat dari laju pertumbuhannya, sejak Sensus Penduduk 2010
hingga tahun 2016 jumlah penduduk Kabupaten Wajo mengalami pertumbuhan
2,12 persen. Tiga kecamatan dengan pertumbuhan penduduk tertinggi adalah
Kecamatan Tempe, Gilireng, dan Keera. Setahun terakhir, jumlah penduduk
Kecamatan Tempe telah tumbuh sebesar 0,90 persen, sedangkan tahun 2010-2016
mengalami pertumbuhan 5,72 persen. Kecamatan Gilireng meskipun jumlah
penduduknya paling sedikit dibandingkan kecamatan lain, namun enam tahun
terakhir pertumbuhan jumlah penduduknya mencapai 2,40 persen.
50
Tabel II
Jumlah Penduduk Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin
di Kabupaten Wajo, 2016
Kelompok
Umur
Jenis Kelamin
Total Rasio Jenis
Kelamin/ Sex
Ratio Laki-laki Perempuan
0-4 16 739 16 071 32 810 104,16
5-9 16 119 15 221 31 340 105,90
10-14 16 213 15 106 31 319 107,33
15-19 17 391 16 931 34 322 102,72
20-24 16 774 17 266 34 040 97,15
25-29 15 785 16 470 32 255 95,84
30-34 13 025 15 018 28 043 86,73
35-39 12 960 15 495 28 455 83,64
40-44 13 248 15 912 29 160 83,26
45-49 12 967 15 663 28 630 82,79
50-54 10 797 12 697 23 494 85,04
55-59 8 040 9 780 17 820 82,21
60-64 6 793 7 985 14 778 85,07
65-69 5 119 6 734 11 853 76,02
70-74 3 489 4 579 8 068 76,20
75+ 3 268 4 840 8 108 67,52
Jumlah/Total 188 727 205 768 394 495 91,72
Sumber: Badan Pusat Statistik
Berdasarkan tabel penduduk di atas, dapat terlihat bahwa komposisi
penduduk Kabupaten Wajo masih didominasi oleh penduduk usia muda. Jumlah
penduduk terbanyak yakni pada kelompok umur 15-19 tahun dan 20-24 tahun
yang masing-masing berjumlah 34.322 jiwa dan 34.040 jiwa.
Pada kelompok umur 0-4 sampai dengan 15-19 tahun, jumlah penduduk
laki-laki lebih besar dibandingkan perempuan. Sebaliknya, jumlah penduduk
perempuan lebih besar dibandingkan laki-laki pada kelompok umur 20-24 sampai
dengan 75 tahun ke atas.
51
3. Pertanian
Sektor pertanian masih menjadi sektor dominan yang menopang
perekonomian Kabupaten Wajo. Pada tahun 2016, kontribusinya terhadap PDRB
sebesar 34,55 persen dan mengalami peningkatan dibandingkan tahun
sebelumnya.
Sebagian besar lahan pertanian digunakan untuk tanaman padi, baik padi
sawah maupun padi ladang. Pada tahun 2016, luas panen padi mencapai 161.340
hektar dengan produksi 788.953 ton, meningkat 3,5 persen dibandingkan tahun
2015.
Sementara itu, luas panen dan produksi tanaman palawija secara umum
mengalami penurunan kecuali kacang tanah dan kacang hijau. Tahun 2016, luas
panen kacang tanah 1.741 hektar dengan produksi 2.857 ton, meningkat lebih dari
tiga kali lipat dari yang sebelumnya hanya 657 ton. Pada komoditas kacang hijau
luas panennya mengalami sedikit peningkatan tetapi produksinya mengalami
penurunan sekitar 20 persen.
Lebih dari 70 persen lahan sawah merupakan sawah non irigasi atau sawah
tadah hujan. Hal tersebut mengakibatkan produksi dan kualitas tanaman yang
dihasilkan sangat bergantung pada kondisi cuaca dan curah hujan. Apabila
mengalami kekeringan pada musim kemarau atau sebaliknya mengalami banjir
pada musim hujan, maka dapat mengakibatkan gagal panen.
52
B. Pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo
Tanah yang berada di kawasan Danau Tempe dikenal dengan sebutan
Tana Telleng/ Tanah Tawa Sure’ tetapi nama yang lebih dikenal sering digunakan
masyarakat yaitu Tana Telleng.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Muhammad Nasir, Kepala
Desa Bentenglompoe, mengatakan:
Tanah ini pada musim penghujan akan tenggelam/ telleng dan
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menangkap ikan, semantara pada
musim kemarau airnya surut maka digunakan oleh masyarakat untuk
menanam palawija.1
Dari hasil wawancara tersebut dapat diketahui bahwa, tanah yang ada
sekitar danau tempe ini diberi nama Tana Telleng, karena memang ada waktunya
tanah tersebut tenggelam dan pada waktu tanah tersebut tenggelam, maka
digunakan oleh masyarakat untuk mencari ikan sementara pada saat surut, maka
beralih fungsilah tanah tersebut menjadi lahan yang subur dan cocok untuk
menanam palawija.
Adapun cara pengelolaan Tana Telleng tersebut sebagaimana diungkapkan
oleh bapak Muh. Tahir bahwa:
sebelum Tana Telleng dikelola, data-data dari warga dikumpulkan terlebih
dahulu oleh kepala desa atau kepala dusun. Setelah data-data dari warga
dikumpulkan, maka turunlah masyarakat untuk mengukur tanah tersebut,
kemudian dibuat berpetak-petak dengan ukuran panjang 10 meter, lebar 10
meter dan diberi angka tiap-tiap petaknya, dengan urutan angka 1 berada
pada area yang lebih tinggi, disusul urutan angka 2 dan angka terbesar
1 Muhammad Nasir, Kepala Desa Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo, Sulsel,
wawancara oleh penulis di Desa Bentenglompoe, 25 Oktober 2017.
53
berada pada area yang peling rendah. Kemudian diundilah nomor tersebut
untuk menentukan lokasi tanah yang di dapatkan oleh warga.2
Dari hasil wawancara tersebut, penulis dapat menjelaskan terkait dengan
cara pengelolaan Tana Telleng, bahwa Tana Telleng tidak serta merta dikelola
begitu saja, melainkan ada tahap-tahap yang dilalui untuk sampai kepada
pengelolaannya yaitu:
1. Pendataan
Data dari masyarakat dikumpulkan untuk melihat kondisi ekonomi dari
setiap warga, dan untuk melihat ada atau tidaknya penambahan warga di desa
bentanglompoe. Warga dengan keadaan ekonomi menengah ke bawah lebih
diprioritaskan untuk mendapat bagian dari Tana Telleng untuk dikelola.
Hal ini diungkapkan oleh bapak Abd. Malik selaku kepala dusun Tobaku,
Desa Bentenglompoe bahwa:
Tana Telleng diberikan dan diutamakan untuk warga yang mempunyai
ekonomi menengah ke bawah, hal ini tidak menutup kemungkinan warga
yang mempunyai ekonomi menengah ke atas, juga mendapatkan bagian
tanah untuk dikelola, asal lokasi tanah masih mencukupi.3
Bapak Abdul Malik juga mengatakan bahwa:
Tana Telleng terakhir kali dikoti pada tahun 2000 yang lalu, dengan
jumlah penduduk yang di data pada waktu itu berjumlah 701 kepala
keluarga, yang terdiri dari penduduk menengah ke atas berjumlah 170
kelapa keluarga dan penduduk menengah ke bawah yang berjumlah 531
2 Muh. Tahir, Warga Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo, Sulsel, wawancara
oleh penulis di Bentenglompoe, 1 November 2017
3 Abd. Malik, Kepala Dusun Tobaku, Desa Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab.
Wajo, Sulsel, wawancara oleh penulis di Bentenglompoe, 1 November 2017.
54
kepala keluarga. 531 kepala keluarga inilah yang mendapatkan
kesempatan untuk mengelola Tana Telleng.4
2. Pengukuran, pemetakan dan pemberian nomor
Luas kawasan Danau Tempe sekitar 48.000 hektar, namun disaat musim
kering, luas Danau Tempe hanya sekitar 3.000 hektar. Jadi ada sekitar 45.000
hektar yang dijadikan lahan pertanian yang meliputi 4 kecamatan, yaitu:
Kecamatan Tempe, Kecamatan Sabbangparu, Kecamatan Tanasitolo dan
Kecamatan Belawa.
Pengukuran dilakukan untuk mengetahui berapa luas keseluruhan tanah
setelah Danau Tempe surut yang tidak tetap dan untuk mengetahui sampai dimana
tanah tersebut akan dipetak.
Bapak Abd. Malik mengatakan:
luas keseluruhan dari Tana Telleng di Desa Bentenglompoe, Kecamatan
Sabbangparu yaitu sekitar 130 hektar. Tanah diukur dengan menyisakan 5-
10 meter pada setiap sisinya, yang didasarkan kesepakatan dari
masyarakat.5
Setelah dilakukan pengukuran tanah, kemudian dipetak-petaklah tanah
yang luasnya 130 hektar tersebut dengan ukuran panjang 10 meter dan lebar 10
meter, dengan menyisakan 5-10 meter pada setiap sisinya. Jadi, luas keseluruhan
Tana Telleng yang dikelola oleh masyarakat ada sekitar 129 hektar lebih.
4 Abd. Malik, Kepala Dusun Tobaku, Desa Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab.
Wajo, Sulsel, wawancara oleh penulis di Bentenglompoe, 27 Maret 2018.
5 Abd. Malik, Kepala Dusun Tobaku, Desa Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab.
Wajo, Sulsel, wawancara oleh penulis di Bentenglompoe, 27 Maret 2018.
55
Tanah yang telah diukur dan dipetak kemudian diberi nomor pada tiap-tiap
patoknya. Nomor itulah yang nantinya akan menentukan lokasi tanah yang akan
dikelola.
3. Pengundian
Pengundian dilakukan dengan cara menuliskan angka pada potongan
kertas sesuai dengan angka-angka yang sudah di tuliskan pada patok-patok Tana
Telleng, kemudian potongan kertas tersebut dimasukkan dalam sebuah wadah
bambu. Setelah dimasukkan ke dalam wadah bambu maka bergiliranlah warga
untuk memasukkan tangannya dalam wadah tersebut untuk mengambil potongan
kertas yang bertuliskan angka. Angka itulah yang menentukan lokasi tanah yang
akan dikelola. Cara ini dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah makkoti.
Selelah semua tahapan dilalui, tibalah waktunya warga untuk mengelola
Tana Telleng tersebut untuk ditanami palawija. cara ini sudah menjadi kebiasaan
(adat) warga setempat sejak zaman dahulu, sejak zaman kerajaan masih ada. letak
perbedaannya hanya terletak pada waktu dilakukannya pengundian.
Sebagaimana diungkapkan oleh bapak Muh. Tahir bahwa: “Dahulu Tana
Telleng diundi 1 kali dalam setahun namun untuk masa sekarang, Tana Telleng
diundi 1 kali masa jabatan kepala desa”.6
Dari hasil wawancara tersebut, dapat dijelaskan secara singkat bahwa
adanya perbedaan waktu pengundian Tana Telleng. Dimana dahulu Tana Telleng
diundi 1 kali setiap tahunnya, namun untuk masa sekarang, pengundian dilakukan
6 Muh. Tahir, Warga Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo, Sulsel, wawancara
oleh penulis di Bentenglompoe, 1 November 2017.
56
1 kali masa jabatan kepala desa. Hal ini terkait dengan kebijakan dari masing-
masing Kepala Desa yang memimpin di Desa Bentenglompoe.
C. Kedudukan dan Hak Pengelolaan Tana Telleng di Danau Tempe
Kabupaten Wajo
1. Kedudukan Tana Telleng
Untuk menjelaskan kedudukan Tana Telleng, maka penyusun melakukan
wawancara dengan Bapak Abd. Malik, yang merupakan kepala dusun tobaku desa
Benteng Lompe, Kecamatan Sabbangparu. Dan pada saat wawanara Bapak Abd.
Malik mengatakan bahwa “Tana Telleng adalah tanah Negara yang dikelola
dengan cara adat”.7
Cara adat yang dimaksud adalah dengan cara mengundi yang dilakukan
oleh masyarakat secara berulang-ulang dan terus menerus sampai sekarang. Dari
kebiasaan itulah muncul persepsi dari masyarakat yang mengatakan bahwa Tana
Telleng itu adalah tanah adat/ tanah milik persekutuan hukum.
Di dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria (UUPA) pada pasal 3 menyebutkan bahwa:
dengan mengingat ketentuan dalam pasal 1 dan 2 pelaksanaan hak ulayat
dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hokum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa
sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan
undang-undang dan peraturan-perturan lain yang lebih tinggi.8
7 Abd. Malik, Kepala Dusun Tobaku, Kec. Sabbangparu, Kab. Wajo, Sulsel, wawancara
oleh penulis di Bentenglompoe, 1 November 2017.
8 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 3.
57
Lebih jelas disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria (PMA) nomor 5
tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat, pasal 2 ayat (1) dan (2) menyebutkan bahwa:
1. Pelaksanaan hak ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan
oleh masyarakat hokum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hokum
adat setempat.
2. Hak ulayat masyarakat hokum adat dianggap masih ada apabila:
a. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hokum
adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hokum tertentu, yang
mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam
kehidupannya sehari-hari.
b. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hokum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya
sehari-hari dan
c. Terdapat tatanan hokum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh warga persekutuan
hokum tersebut.9
Secara singkat dapat penyusun jelaskan bahwa mengenai kedudukan suatu
tanah itu dapat dikatakan sebagai tanah adat/ tanah ulayat apabila tanah tersebut
memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Agraria
Nomor 5 tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat, yang disebutkan pada pasal 2 ayat (2) yaitu:
1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hokum
adatnya.
2. Terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga
persekutuan hokum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan
hidupnya sehari-hari.
9 Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman
Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, Pasal 2 (1) dan (2).
58
3. Terdapat tatanan hokum adat mengenai pengurusan, penguasaan dan
penggunaan tanah ulayat.
Berdasarkan pengamatan yang penyusun lakukan di lokasi penelitian,
penyusun mendapati bahwa di Desa Bentenglompoe, Kecamatan Sabbangparu,
Kabupaten Wajo, tempat dimana Tana Telleng berada, masyarakat masih sangat
memegang erat adatnya dalam mengelola Tana Telleng yaitu dengan cara
mengundi. Namun demikian, adat tersebut tidaklah sama dengan hokum adat.
Adat adalah kebiasaan yang dilakukan seseorang/ sekelompok orang secara
berulang-ulang dan terus menerus, sementara hokum adat adalah kebiasaan yang
telah disepakati yang dilakukan seseorang/ sekelompok orang secara berulang-
ulang, dan bagi mereka yang melanggar akan diberikan sanksi.
Lebih lanjut penyusun dapat menjelaskan bahwa masyarakat di Desa
Bentenglompoe, Kecamatan Sabbangparu, Kabupaten Wajo, dalam memenuhi
kebutuhan sehari-harinya tidak selalu bergantung kepada Tana Telleng yang
mereka kelola. Tana Telleng hanya berperan memenuhi kebutuhan hidup
masyarakat pada saat masa panen tiba, sementara sebelum masa panen tiba,
masyarakat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara bertransaksi jual beli baik
di dalam maupun di luar wilayah mereka.
Dari hasil pengamatan tersebut, maka menurut pendapat penyusun bahwa
Tana Telleng yang dianggap oleh masyarakat sebagai tanah adat, tidak memenuhi
syarat-syarat yang telah disebutkan dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 5
Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat. Sehingga penyusun dapat menyimpulkan bahwa kedudukan Tana
59
Telleng bukanlah merupakan tanah adat, melainkan tanah Negara yang dikelola
oleh masyarakat dengan cara adat (mengundi).
Dalam peraturan pemerintah republik Indonesia Nomor 16 tahun 2004
tentang penatagunaan tanah, pasal 12 menyebutkan bahwa:
Tanah yang berasal dari tanah timbul atau hasil reklamasi di wilayah
perairan pantai, pasang surut, rawa, danau, dan bekas sungai dikuasai
langsung oleh Negara.10
Menurut G.Kartasapoetro, tanah timbul atau aanslibbing adalah:
tanah yang terjadi akibat erosi berton-ton tanah yang dihanyutkan oleh air
hujan yang menuju ke sungai-sungai besar dimana tanah hanyutan tersebut
sebagian akan mengendap disepanjang sungai dan sebagian terus ke muara
sungai yang bersangkutan. Akibat berkali-kali terjadi erosi maka terjadilah
aanslibbing atau tanah timbul.11
Menurut A.P. Perlindungan tanah timbul merupakan:
tanah yang terjadi karena penimbunan tanah di tepi pantai laut, tanah
timbul tersebut baik secara alami atau disengaja, tidak menimbulkan hak
atas tanah tetapi harus mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak
atas tanahnya kepada pemerintah.12
Dari kedua pendapat tersebut, penyusun dapat menyimpulkan bahwa tanah
timbul adalah tanah yang terjadi karena adanya endapan (sedimentasi) di
sepanjang sungai/ terjadi karena adanya penimbunan di tepi pantai laut baik secara
alami maupun disengaja.
10Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah, Pasal 12.
11 G. Kartasapoetra, Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendapatan
Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1998), h. 49.
12 A. P Parlindungan, Menjawab Masalah Pertanahan Secara Tepat Dan Tuntas,
(Bandung: Mandar Maju, 1992), h. 67.
60
Jika dikaitkan dengan hasil wawancara yang dilakukan oleh penyusun
dengan Bapak Muhammad Nasir, Kepala Desa Bentenglompoe, yang mengatakan
bahwa:
Tanah ini (Tana Telleng) pada musim penghujan akan tenggelam/ telleng
dan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk menangkap ikan, sementara pada
musim kemarau airnya surut maka digunakan oleh masyarakat untuk
menanam palawija.13
Maka penyusun berpendapat bahwa Tana Telleng dikategorikan sebagai
tanah timbul yang dikuasai langsung oleh negara, dalam arti bahwa negara
mempunyai wewenang untuk:
a. Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan
pemeliharaan tanah tersebut.
b. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang
dengan tanah tersebut.
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hokum antara orang-orang
dan perbuatan-perbuatan hokum mengenai tanah tersebut.14
Kewenangan tersebut semata-mata bertujuan untuk:
a. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria nasional, yang
merupakan alat untuk membawa kemakmuran, kebahagiaan dan keadilan bagi
negara dan rakyat dalam rangka masyarakat adil dan makmur;
b. Meletakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan
dalam hukum pertanahan;
c. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-
hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya.15
13 Muh. Nasir, Kepala Desa Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu, Kab, Wajo, Sulsel,
wawancara oleh penulis di Bentenglompoe, 25 Oktober 2017.
14 Suhanan Yosua, Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia, (Jakarta: Restu Agung, 2010) h. 38.
15 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Peraturan-peraturan Hukum Tanah,
(Klaten: Intan Sejati, 2007), h. 219.
61
2. Hak Pengelolaan Tana Telleng
Setelah mengetahui kedudukan Tana Telleng, hal berikutnya yang akan
dijawab oleh penyusun adalah bentuk hak apa yang dapat diperoleh oleh warga
masyarakat atas Tana Telleng menurut Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5
tahun 1960.
Hak-hak atas tanah yang disebutkan di dalam UUPA antara lain:
a. Hak milik
Pengertian hak milik berdasarkan ketentuan UUPA khususnya dalam
Pasal 20 tertulis bahwa:
Hak milik adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat
dipunyai orang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6.16
Hak milik itu sendiri berdasarkan ayat (2) dari pasal ini menyatakan
bahwa “hak milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain”.17
Hak milik yang diatur dalam bidang keagrariaan merupakan hak milik
yang tidak berinduk kepada hak atas tanah lain, karena hak milik adalah hak yang
paling penuh. Hak milik bisa merupakan induk dari hak-hak lainnya, selama tidak
ada pembatasan-pembatasan dari pihak penguasa, maka wewenang dari pemilik
tidak terbatas. Seorang pemilik bebas dalam mempergunakan tanahnya.18
16 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 20 (1).
17 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 20 (2).
18 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta: Sinar Grafik,
2006), h. 61.
62
b. Hak guna usaha
Hak guna usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 mengatakan
bahwa:
Hak guna usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai
langsung oleh negara dalam jangka waktu sebagaimana diatur dalam Pasal
29 guna perusahaan pertanian, perikanan dan peternakan.19
Jadi hak guna usaha dalam hal ini hanya semata-mata diperuntukkan bagi
suatu kegiatan produksi tertentu serta mempunyai batas waktu tertentu dalam
pengelolaannya.
c. Hak guna bangunan
Dalam Pasal 35 UUPA mengatur tentang hak guna bangunan yang
dinyatakan bahwa:
Hak guna bangunan adalah hak untuk mendirikan dan memperoleh
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan
jangka waktu paling lama 30 tahun.20
Hak guna bangunan berdasarkan pengertian di atas dapat diketahui bahwa
hanya diperuntukkan dalam hal mendirikan dan mempunyai bangunan.
Mendirikan berarti membuat bangunan baru atau membeli bangunan yang berdiri
di atas hak guna bangunan.
d. Hak pakai
Pengertian hak pakai menurut Pasal 41 UUPA adalah sebagai berikut:
Hak pakai adalah hak untuk menggunakan dan memungut hasil dari tanah
yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
19 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 28 (1).
20 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 35 (1).
63
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian pengotanah tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan
dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan undang-undang ini.21
Ketentuan pasal tersebut di atas menjelaskan bahwa setiap orang diberikan
wewenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan baik secara cuma-
cuma dengan pembayaran ataupun dengan pemberian berupa jasa akan tetapi
tidak bertentangan dengan ketentuan sebagaimana yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
e. Hak sewa
Hak sewa dalam UUPA secara tegas diatur dalam ketentuan Pasal 44 Ayat
(1) yang menyatakan bahwa “Seseorang atau badan hukum yang mempunyai hak
sewa atas tanah.”22
Dari sekian banyaknya hak atas tanah yang disebutkan dalam UUPA,
menurut analisa penyusun, hak yang paling tepat diperolah/ diberikan kepada
warga adalah hak pakai yang bersifat sementara dan tidak untuk dimiliki oleh
perseorangan selamanya. Hal ini mengingat bahwa Tana Telleng adalah tanah
yang subur, tanah dimana masyarakat bisa memperoleh manfaat dengan
mengelolanya. Dengan ditetapkannya hak pakai yang sifatnya sementara atas
Tana Telleng, maka pengelolaan Tana Telleng yang dilakukan dengan cara adat
(mengundi) dapat terus berlanjut/ dipertahankan, serta manfaat dari pengelolaan
Tana Telleng dapat dirasakan oleh masyarakat yang berada di Danau Tempe.
21 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 40 (1).
22 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar-
Dasar Pokok Agraria, Pasal 41 (1).
64
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat penyusun kemukakan adalah sebagai
berikut:
1. Cara penglolaan Tana Telleng di Danau Tempe adalah dengan cara
mengundi (makkoti’), cara ini telah dilakukan oleh masyarakat di danau
tempe sejak dahulu sampai sekarang. Pada masa lampau, mengundi
dilakukan 1 tahun sekali, namun untuk masa sekarang dilakukan 1 kali
masa jabatan kepala desa.
2. Kedudukan Tana Telleng di Danau Tempe, Kabupaten Wajo berstatus
sebagai tanah Negara yang dikelola masyarakat secara adat (mengundi)
dan menurut analisa penyusun bahwa jenis hak yang dapat diperoleh/
diberikan kepada masyarakat atas Tana Telleng adalah hak pakai yang
sifatnya sementara.
B. Saran
Dari hasil peneliltian yang telah dilakukan oleh penyusun, maka penyusun
dapat memberikan saran yaitu:
1. Terkait dengan cara pengelolaan Tana Telleng yang dilakukan dengan cara
adat (mengundi), menurut penyusun alangkah baiknya dilakukan 1 tahun
sekali, hal ini untuk mencegah adanya penguasaan yang terlalu lama oleh
64
65
pihak-pihak tertentu dan menjadikan alasan penguasaan terlalu lama
tersebut sebagai alasan kepemilikan terhadap Tana Telleng.
2. Terkait dengan kedudukan Tana Telleng di Danau Tempe Kabupaten
Wajo, perlu adanya penyuluhan hukum kepada warga masyarakat di
Kabupaten Wajo mengenai kedudukan hukum Tana Telleng di Danau
Tempe, agar munculnya kesepahaman terkait kedudukannya tersebut.
Sementara berkaitan dengan hak pengelolaan atas Tana Telleng, meneurut
penyusun perlu dibuat aturan baru tingkat desa terkait dengan dengan hak
pengelolaan Tana Telleng.
2
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Al-Asqalani, Ibn Hajar. Bulug al-Marram Min Adillati al-Ahkam. Libanon: Daar
al-Kutub al-Ijtimaiyah.
Al-Maliki, Abdurrahman. As-Siyasah Al-Iqtishadiyah Al-Musla. Bogor: Cahaya,
1963.
Ar-Ramli, Syihabuddin. Nihayat Al-Muhtaj. Beirut: Daar Al-fikr, 1984.
Bushar, Muhammad, Pokok-Pokok Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita,
1983.
Erwiningsih, Winahyu. Hak Menguasai Negara Atas Tanah. Yogyakarta: UII,
2009.
Fajar, Mukti dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif
Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Haar, Ter. Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat. Bandung: Sumur Batu, 1985.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Peraturan-peraturan Hukum Tanah.
Klaten: intan sejati, 2007.
Harsono, Boedi. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-
Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid 1 Hukum Tanah
Nasional. Jakarta: Djambatan, 2008.
Kartasapoetra, G. Hukum Tanah Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendapatan
Tanah. Jakarta: Bina Aksara, 1998.
Lubis, Mhd. Yamin. Hukum Pendaftaran Tanah. Bandung: Mandar Maju, 2008.
Muhammad, Abu Isa. Sunan at-Turmuzi, Kairo: Dar al-Kutub al-Misriyyah.
Mulyadi. “Tinjauan Status Kepemilikan Tanah Balete di Daerah Pesisir Danau
Lapompakka Kabupaten Wajo.” Skripsi Sarjana, Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013.
Nolind, Indra. UUD RI 1945 & Amandemen. Bandung: Pustaka Tanah Air, 2011.
Nur, S. R. Beberapa Masalah Agraria.
Parlindungan, A. P, Menjawab Masalah Pertanahan Secara Tepat Dan Tuntas.
Bandung: Mandar Maju, 1992.
Rukhiyat, Edi. Politik Pertanahan Sebelum dan Sesudah Berlakunya UUPA.
Bandung: Alumni, 1984.
Santoso, Urip. Pendaftaran dan Peralihan Hak atas Tanah. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2010.
Saraswati, Clara. “Penyelesaian Sengketa Tanah yang Terletak di Perbatasan
Desa Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif.” Skripsi Sarjana,
Fakultas Syariah, IAIN Raden Intan, Lampung, 2016.
3
Soehadi, R. Penyelesaian Sengketa Tanah Sesudah Berlakunya Undang-Undang
Pokok Agraria. Surabaya: Usana Offest Printing.
Sulaiman, Abu Daud. Sunan Abi Daud. Kairo: Tijarriyah Kubra, 1935.
Suntana, Ija. Politik Ekonomi Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2010.
Sumardjono, Maria S.W. Pengaturan Hak Atas Tanah Beserta Bangunan.
Jakarta: Kompas, 2007.
Sutedi, Adrian. Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya. Jakarta: Sinar
Grafik, 2006.
Yosua, Suhanan. Hak Atas Tanah Timbul (Aanslibbing) Dalam Sistem Hukum
Pertanahan Indonesia. Jakarta: Restu Agung, 2010.
Perundang-undangan
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar-Dasar Pokok Agraria.
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.
Republik Indonesia, Peraturan Menteri Agraria Nomor 5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat,
Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang
Penatagunaan Tanah.
DOKUMENTASI WAWANCARA
Wawancara dengan Bapak Abd. Malik (Kepala Dusun Tobaku, Desa
Bentenglompoe, Kec. Sabbangparu)