wilayatul hisbah sebagai lembaga pelaksana...

31
1 WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA AMAR MARUF NAHI MUNKAR; STUDI HISTORIKEL WILAYATUL HISBAH DALAM ISLAM Oleh: Hasbullah, S.Sos.I., MA NIDN: 2101077601 DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA ABSTRAK Hisbah merupakan suatu tindakan secara sukarela mengajak manusia untuk bebuat ma’ruf dan menjahui mukar. Kebiasaannya tindakan ini muncul dari sosok pribadi yang memiliki tanggungjawab moral terhadap kebaikan umat Islam lainnya. Tugas ini telah mulai muncul sejak di zaman Nabi SAW. Biarpun di zaman Nabi SAW tugas hisbah ini masih sangat terbatas sekali; hanya pada pengawasan pasar terhadap pedagang-pedagang yang melakukan kecurangan dalam perdangannya. Tugas hisbah ini terus mengalami kemajuannya pada masa- masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan setelah Nabi SAW, hisbah ini mencapai kemajuan yang sangat pesat. Pada periode ini hisbah sudah mencakup di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Di samping itu juga, pada periode kekhalifahan inilah hisbah ini sudah menjadi lembaga resmi negara yang bergerak di bidang amar ma’ruf nahi mukar. Pada periode selanjutnya; yaitu periode tabiin tugas hisbah ini semakin menjadi pusat perhatian oleh setiap pemimpin-pemimpin negara Islam. Namun demikian, mekipun tugas hisbah di awal-awal Islam menjadi perioritas utama bagi setiap kepala negara Islam, tetapi pada akhirya tugas yang mulia ini semakin tidak begitu populer seperti di masa-masa kejayaan Islam. Disebabkan oleh kejayaan dan kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam sehingga membuat mereka terlena dengan kehidupan keduniawian, pada gilirannya tugas amar ma’ruf nahi munkar tidak lagi menjadi tugas utama umat Islam. A. Pendahulan Persoalan Wilayatul Hisbah adalah merupakan masalah lama dalam dunia Islam. Namun, masalah Wilayatul Hisbah merupakan hal yang baru di Aceh. Pertama, dikatakan lama karena aktivitas hisbah atau pengawasan dari pihak pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tidak sesuai dengan Syari‘at Islam sudah mulai diterapkan semenjak masa kepemimpinannya Nabi Muhammad saw ketika mendirikan kota Madinah, walaupun hisbah pada masa itu hanya pada pengawasan pasal.

Upload: buimien

Post on 07-Feb-2018

228 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

1

WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA AMAR

MA‘RUF NAHI MUNKAR; STUDI HISTORIKEL WILAYATUL HISBAH

DALAM ISLAM

Oleh: Hasbullah, S.Sos.I., MA

NIDN: 2101077601 DOSEN INSTITUT AGAMA ISLAM AL-AZIZIYAH SAMALANGA

ABSTRAK

Hisbah merupakan suatu tindakan secara sukarela mengajak manusia untuk

bebuat ma’ruf dan menjahui mukar. Kebiasaannya tindakan ini muncul dari sosok

pribadi yang memiliki tanggungjawab moral terhadap kebaikan umat Islam

lainnya. Tugas ini telah mulai muncul sejak di zaman Nabi SAW. Biarpun di

zaman Nabi SAW tugas hisbah ini masih sangat terbatas sekali; hanya pada

pengawasan pasar terhadap pedagang-pedagang yang melakukan kecurangan

dalam perdangannya. Tugas hisbah ini terus mengalami kemajuannya pada masa-

masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

setelah Nabi SAW, hisbah ini mencapai kemajuan yang sangat pesat. Pada

periode ini hisbah sudah mencakup di seluruh sendi-sendi kehidupan manusia. Di

samping itu juga, pada periode kekhalifahan inilah hisbah ini sudah menjadi

lembaga resmi negara yang bergerak di bidang amar ma’ruf nahi mukar. Pada

periode selanjutnya; yaitu periode tabiin tugas hisbah ini semakin menjadi pusat

perhatian oleh setiap pemimpin-pemimpin negara Islam. Namun demikian,

mekipun tugas hisbah di awal-awal Islam menjadi perioritas utama bagi setiap

kepala negara Islam, tetapi pada akhirya tugas yang mulia ini semakin tidak

begitu populer seperti di masa-masa kejayaan Islam. Disebabkan oleh kejayaan

dan kemakmuran yang dicapai oleh umat Islam sehingga membuat mereka terlena

dengan kehidupan keduniawian, pada gilirannya tugas amar ma’ruf nahi munkar

tidak lagi menjadi tugas utama umat Islam.

A. Pendahulan

Persoalan Wilayatul Hisbah adalah merupakan masalah lama dalam dunia

Islam. Namun, masalah Wilayatul Hisbah merupakan hal yang baru di Aceh.

Pertama, dikatakan lama karena aktivitas hisbah atau pengawasan dari pihak

pemerintah terhadap pelanggaran yang dilakukan masyarakat yang tidak sesuai

dengan Syari‘at Islam sudah mulai diterapkan semenjak masa kepemimpinannya

Nabi Muhammad saw ketika mendirikan kota Madinah, walaupun hisbah pada

masa itu hanya pada pengawasan pasal.

Page 2: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

1

Ketika itu, kasus-kasus hisbah langsung diselesaikan oleh Nabi

Muhammad saw, meskipun pelaksanaan eksekusi hukumannya kadang-kadang

didelegasikan oleh para sahabat.1 Rasulullah saw bersabda:2

رضي اهلل عنه آن رسول اهلل صلي اهلل عليه وسلم مرعلي صربة من طعام فآدخل يده يةهروعن آيب

فيها فنالت آصابعه بلال, فقال: ما هذا يا صاحب الطعام؟ قال آصابته السماء يا رسول اهلل, قال:

رواه مسلم((آفال جعلته فوق الطعام كي يره الناس؟ من غش فليس مين

Artinya: Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw memeriksa satu tumpukan

beras, lalu Rasulullah saw memasukkan tangannya ke dalam tumpukan beras

tersebut, maka Rasulullah saw menemukan beras itu pada bagian bawah dalam

keadaan basah, lalu Rasulullah saw menanyakan pada pemiliknya, kenapa engkau

lakukan ini wahai pulan, maka ia menjawab beras ini telah tertimpa hujan,

kemudian Rasulullah saw menanyakan lagi, kenapa tidak engkau taruhkan yang

basah itu di bagian atas saja supaya terlihat oleh manusia? Siapa saja yang

melakukan kecurangan dalam perdangannya, maka ia bukan dari golonganku.

(HR. Muslim ra).

Mengingat orientasi pelaksanaan hisbah pada masa itu hanya terpusatkan

kepada pengawasan pasar, penertiban harga barang, sehingga istilah hisbah pada

waktu itu lebih dikenal dengan panggilan ShÉhib al-sËq (pengawas pasar) atau al-

‘Ómil fi al-sËq (petugas pengawasan di pasar).3

Al-Hisbah adalah suatu tugas keagamaan, dengan misi untuk menjalankan

amar ma‘ruf nahi munkar, mengajak, memerintahkan manusia untuk mengerjakan

1Hasnul Arifin Melayu, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam” dalam Soraya Devy,

dkk, Politik dan Pencerahan Peradaban, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 53.

2Ibnu Hajar al ‘Asqalany, Bulughu al maram min adillati al ahkam, (Jakarta: DÉr al-

Kutub al- islÉmiyyat, tt, ttp), h. 150.

3Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, (Semarang: Pustaka Rizki Putra,

1998), h. 349.

Page 3: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

2

perbuatan yang baik dan melarang manusia dari berbuat jahat atau munkar. Tugas

ini merupakan tanggung jawab pemerintah yang wajib untuk dilaksanakan. Dalam

hal ini pemerintah, untuk terlaksananya misi ini serta terbebas atas tanggung

jawabnya, maka harus mengangkat dan memilih pejabat yang bertugas dalam

bidang ini orang-orang yang mempunyai suatu komitmen penuh untuk

membumikan Syari‘at Islam dalam setiap sendi-sendi kehidupan masyarakat.

Pejabat-pejabat hisbah ini bukan dari unsur-unsur manusia yang mudah ternodai

dengan politik suap-menyuap, dan tidak ada pilih kasih dalam menjalankan

tugasnya, semua masyarakat dipandang sama di mata hukum. Kehadiran pejabat

hisbah dalam masyarakat adalah untuk memberi bantuan kepada orang-orang

yang merasa telah terzalimi atau tertindas dari pihak-pihak lain.4

Kedua, pengawasan dari pihak pemerintah atau penguasa seperti demikian

dikatakan baru untuk Provinsi Aceh, karena munculnya lembaga Wilayatul

Hisbah adalah sebuah konsekuensi dari keinginan penerapan Syari‘at Islam di

Provinsi Aceh, serta lembaga Wilayatul Hisbah merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari pemberlakuan Syari‘at Islam di Aceh.5

Wilayatul Hisbah berfungsi sebagai badan yang diberikan hak dan

kewenangannya oleh Pemerintah Provinsi Aceh untuk mengontrol dan mengawasi

pelaksanaan Syari‘at Islam di tengah-tengah kehidupan masyarakat Aceh. Dalam

hal ini Wilayatul Hisbah memiliki kewenangan untuk menegur/menasehati setiap

pelanggar terhadap qanun-qanun Syari‘at Islam. Di samping itu, Wilayatul Hisbah

mempunyai kewenangan pula untuk menyerahkan perkara pelanggaran qanun

Syari‘at Islam tersebut kepada aparat penyidik apabila upaya peneguran/nasehat

yang dilakukan tidak bermanfaat.6 Dari satu sisi kehadiran Wilayatul Hisbah

4A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syari‘at Islam Dalam Perspektif Tata

Hukum Indonesia, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 61.

5Muhibbuththabary, Wilayat al-Hisbah di Aceh …, h. 80-81.

6Dinas Syari‘at Islam Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan

Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur Berkaitan Pelaksanaan Syari‘at Islam,

Page 4: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

3

sudah sangat tepat, namun di sisi lain masih memunculkan berbagai persoalan.

Persoalan itu meliputi masalah konsepsional dan teori hukum yang dianut dan

masalah aplikasinya,7 yaitu sampai sekarang belum ada sebuah rencana kongkrit

yang telah diambil pemerintah Provinsi Aceh mengenai badan Wilayatul Hisbah

ini.8

Secara teoritis kehadiran institusi Wilayatul Hisbah sudah sangat tepat

dalam rangka menegakkan amar ma‘ruf nahi munkar, namun secara praktis,

kenyataan-kenyataan riil di lapangan menunjukkan bahwa institusi Wilayatul

Hisbah belum mampu meminimalisir terhadap bermacam-macam praktek

pelanggaran qanun-qanun Syari‘at Islam.9

Kalangan ulama juga menilai pengawas Syari‘at Islam dalam hal ini

Wilayatul Hisbah belum berfungsi secara maksimal. Dengan kata lain penerapan

Syari‘at Islam masih terkesan lamban. Hal ini dapat diketahui dari hasil Rumusan

Muzakarah Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) se Aceh di Banda Aceh.

Dalam hal ini MPU Aceh menyatakan di bidang akhlak bangsa telah terjadi

kemerosotan yang ditandai dengan korupsi, pergaulan bebas, zina, perampokan,

dan perjudian. Kondisi ini terjadi akibat menurunnya keteladanan pemimpin

masyarakat, lemahnya penegakan hukum, tidak berfungsinya lembaga-lembaga

sosial seperti lembaga adat, lembaga Wilayatul Hisbah. Peran orang tua dalam

rumah tangga juga membawa akibat makin cepatnya kemerosotan akhlak

bangsa.10

Edisi ke Tujuh, (Banda Aceh: LITBANG dan Program Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), h. 497-

498.

7Muhibbuththabary, Wilayat Al-Hisbah …, h. 4.

8Al Yasa‘ Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari‘at Islam, Pendukung Qanun

Pelaksanaan Syari‘at Islam, (Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), hlm, 80-81.

9Juhari, “Peran Wilayatul Hisbah Dalam Menegakkan Dakwah Struktural di Kota Banda

Aceh” dalam Muslim Zainuddin, dkk, Agama dan Perubahan Sosial Dalam Era Reformasi di

Aceh, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004), h. 120-121.

10Dokumentasi: Kantor Majelis Ulama Kota Banda Aceh (MPU).

Page 5: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

4

Idealnya ketika masyarakat Provinsi Aceh memiliki wewenang untuk

menerapkan Syari‘at Islam dengan disahkan Undang-Undang Nomor 44 Tahun

1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh,

sebagai payung hukum untuk memberlakukan Syari‘at Islam11 di Aceh, bagi

pihak-pihak atau lembaga-lembaga yang mempunyai otoritas dalam penerapan

Syari‘at Islam di Aceh terutama sekali lembaga Wilayatul Hisbah, tidak

mendapat kendala apapun dalam mengimplementasikan butir-butir dari undang-

undang tersebut. Tetapi kenyataannya, Syari‘at Islam yang usianya sudah

mencapai sembilan tahun semenjak diberikan oleh Pemerintah Pusat kepada

Provinsi Aceh ini pada tanggal 1 Muharram 1423 Hijriyah atau bertepatan dengan

Tanggal 14 Maret 2002, sampai saat ini belum nampak wujudnya secara

sempurna dalam tatanan kehidupan masyarakat Aceh.

Berangkat dari permasalahan-permasalahan itulah penulis tertarik untuk

meneliti suatu masalah tentang amar ma‘ruf dan nahi munkar ditinjau dari aspek

hak dan kewenangan yang dilimpahkan kepada Wilayatul Hisbah di Provinsi

Aceh.

B. Sejarah Wilayatul Hisbah Dalam Islam

11Syari‘at Islam secara etimologi bermakna jalan menuju mata air. Secara terminologi

Syari‘at Islam dipahami sebagai aturan Tuhan yang bersifat sakral yang termuat dalam al-Qur’Én

dan al-HadÊts. Syari‘at mengandung seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan

Tuhan, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan manusia dengan alam dan

lingkungannya. Fazlurrahman memahami syari‘at dalam arti jalan kehidupan yang baik, berupa

nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dalam makna yang kongkrit. Lihat Syahrizal

Abbas, Syari‘at Islam di Aceh, Ancangan Metologis dan Penerapannya, (Banda Aceh: Dinas

Syari‘at Islam Provinsi Aceh, 2009), h. 9.

Selain dari pengertian syari‘at yang telah dijelaskan di atas, ada tiga pengertian lainnya

yang terdapat dalam literatur hukum Islam. Pertama, syari‘at dalam artian sesuatu yang telah abadi

tidak berubah sepanjang masa. Kedua, syari‘at dengan maksud sumber hukum Islam baik yang

tidak berubah sepanjang masa maupun sumber hukum yang berubah. Ketiga, syari‘at dengan

makna hukum-hukum yang digali dari al-Qur’Én dan al-Sunnah yaitu hasil interprestasi manusia

dari nass. Lihat Hasan Basri Elbi, Metode Dakwah Islam, Kontribusi Terhadap Pelaksanaan

Syari‘at Islam di Provinsi NAD, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006), h. 66.

Page 6: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

5

Sebelum dijelaskan tentang sejarah Wilayatul Hisbah dalam Islam, maka

perlu digambarkan sedikit tentang sistem pemerintahan di fase-fase awal Islam,

karena tugas hisbah ini merupakan bahagian yang tidak terpisahkan dari sistem

pemerintahan Islam. Sistem pemerintahan yang terjadi fase-fase awal Islam

terbagi ke dalam beberapa periode, di antaranya sebagai berikut:

1. Periode Rasulullah saw

Sejarawan pada umumnya menyatakan bahwa Rasulullah saw mendirikan

pemerintahan ditandai dengan penerbitan piagam Madinah. Piagam Madinah ini

menurut para pakar Islam merupakan konstitusi modern tertua sepanjang

sejarah.12 Dari Komunitas keagamaan di Madinah inilah kemudian lahir sebuah

negara Islam yang lebih besar.13 Lahirnya Piagam Madinah yang diperkirakan

kurang dari dua tahun setelah Nabi tinggal di Madinah menurut Philip K. Hitti

seperti dikutip oleh Muh. Zuhri, membuktikan bahwa Nabi selain telah berhasil

mengadakan konsolidasi dan negosiasi dengan berbagai suku dan kelompok-

kelompok di Madinah, Ia juga sebagai pemimpin tunggal yang mengatur

kehidupan sosial politik mereka. Sejalan dengan itu Pickthal seperti dikutip Muh.

Zuhri menyatakan; Nabi Muhammad saw selain menjalankan fungsinya sebagai

nabi, ia juga seorang pemimpin, serta telah menetapkan dan mengatur

kepentingan umum sebagai undang-undang negara (the constitution of the state).14

Dari masyarakat inilah Nabi Muhammad saw menciptakan suatu kekuatan

sosial-politik dalam sebuah Negara Madinah. Hal yang pertama dilakukan oleh

Nabi saw di Madinah dalam rangka pembentukan sebuah negara adalah membuat

Piagam Madinah tersebut. Piagam yang berisi 47 pasal ini memuat peraturan-

12Muh. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah, (Yogyakarta:

LESFI, 2004), h. 69.

13Philip K. Hitti, History Of The Arabbs; From The Earliest Times To The Present, trj R.

Cecep Lukman & Dedi Slamet Riyandi, History Of The Arabs, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta,

2008), h. 151.

14Muh. Zuhri, Potret Keteladanan …, h. 43.

Page 7: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

6

peraturan dan hubungan antara komunitas dalam masyarakat Madinah yang

majemuk.15

Pada masa ini, sistem administrasi pemerintahan yang diterapkan oleh

Nabi Muhammad saw sangat sederhana; tidak ada pemilihan atau pembagian

kekuasaan sebagaimana yang tergambar dalam lembaga yudikatif, eksekutif,

legislatif, dewan pertimbangan, dan lembaga pemeriksa keuangan negara seperti

yang terjadi di masa sekarang ini. Nabi Muhammad saw adalah penguasa tunggal,

di zaman Nabi Muhammad saw kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif

berada satu atap yaitu di bawah kekuasaan Nabi Muhammad saw secara mutlak.

Di masa itu pula belum pernah ada pembicaraan tentang batas masa jabatan

kepemimpinannya seseorang. Nabi Muhammad saw juga tidak pernah

mengangkat menteri untuk kabinet kekuasaannya.16

Dalam kaitannya dengan masalah Wilayatul Hisbah, pada masa Nabi

Muhammad saw pernah diangkat petugas yang secara khusus menjadi pengawas

bagi pasar Makkah untuk mencegah kecurangan-kecurangan yang dilakukan.17 Di

antara para sahabat yang pernah mendapatkan perintah tugas hisbah ini adalah

seperti Said al-‘As ibn ‘Umayyah untuk mengawasi kegiatan perniagaan di kota

Makkah setelah yawm al-futh (hari penaklukan Makkah), ‘Usman ibn al-‘As

untuk wilayah Thaif dan ‘Umar bin Khattab diberi kewenangan untuk memantau

dan mengawasi perniagaan di Madinah. ‘Ali bin Abi Thalib ditugaskan

menghancurkan seluruh berhala serta bangunan kuburan di Madinah. Rasulullah

saw juga pernah melantik seorang perempuan yang bernama Samra’ binti Nahik

al-Asadiyah untuk menjalankan aktivitasnya tentang hisbah ini.18

15Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, (Jakarta: Gaya

Media Pratama, 2007). h, 33.

16Muh. Zuhri, Potret Keteladanan …, h. 61.

17Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari‘at Dalam Wacana

dan Agenda, (Jakarta: Gema Insani Press, 2003), h. 57.

18Imam Muslim, Sahih Muslim, Bab al-Iaman, (Riyad: Dar al-Salam, 1998). h. 52.

Page 8: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

7

Dari uraian di atas dapat dipahami tugas-tugas hisbah sudah di mulai sejak

kepemimpinan Rasulullah saw di Madinah. Hal ini dapat diketahui dengan adanya

penugasan-penugasan beberapa orang sahabat Nabi Muhammad saw untuk

mengawasi kecurangan-kecurangan yang terjadi di dalam perniagaan ke beberapa

daerah-daerah tertentu.

2. Periode Khulafa’h al-Rasyidin

Pada periode ini yang menjadi khalifah pertama setelah Nabi adalah Abu

Bakar. Sistem kepemerintahan Abu Bakar tidak jauh perbedaannya dengan sistem

pemerintahan di masa Nabi Muhammad saw.19 Dalam masa enam bulan pertama

pemerintahannya Abu Bakar melakukan perjalanan bolak-balik dari tempat ia

tinggal (al-Sunh) yang sederhana dengan isterinya, Habibah ke kota Madinah.

Abu Bakar walaupun sebagai pejabat tinggi negara tetapi tidak menerima gaji

sedikit pun dari negara. Semua urusan negara ia kerjakan di Serambi Masjid Nabi

saw dengan tanpa mengharap apa pun dari negara karena negara saat itu dalam

kondisi kosong dari pemasukan.20 Dengan demikian dapat dipahami sistem

pemerintahan pada masa Abu Bakar tidak jauh bedanya dengan sistem pemerintah

di masa Nabi Muhammad saw. Dengan kata lain, Abu Bakar di samping sebagai

kepala pemerintahan ia juga sebagai kepala urusan keagamaan.

Sistem ketatanegaraan seperti di atas mulai mempunyai banyak perubahan

ketika ‘Umar bin Khattab menjabat sebagai khalifah. Walaupun pada awal-awal

kekhalifahan ‘Umar bin Khattab masih juga mengikuti sistem kepemimpinan

yang telah diterapkan oleh Khalifah Abu Bakar. Namun, ketika ‘Umar bin

Khattab merasakan kondisi politik negara telah stabil, jumlah masyarakatnya pun

bertambah meningkat, maka pada saat itulah ‘Umar bin Khattab mulai merintis

19M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar bin Khattab, (Yogyakarta: Total Media, 2010), h.

50.

20Philip K. Hitti, History Of The …, h. 218.

Page 9: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

8

kebijakan-kebijakan baru dalam pemerintahannya. Kebijakan-kebijakan ‘Umar ini

yang kemudiannya dikenal dengan sistem kenegaraan yang cenderung bersifat

republik.21

Di antara kebijakan-kebijakan ‘Umar adalah membuat pemisahan

kekuasaannya kepada tiga institusi; yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Ketiga-ketiga lembaga yang punya kekuasaan ini dalam teori politik modern

diistilahkan dengan Trias politica, yaitu kekuasan eksekutif; kekuasaan

menjalankan undang-undang; kekuasaan legislatif; kekuasaan untuk membuat

undang-undang; yang terakhir kekuasaan yudikatif; kekuasaan untuk mengadili

atas pelanggaran undang-undang.22 Salah satu bukti kongkrit keseriusan ‘Umar

bin Khattab dalam memunculkan lembaga peradilan ‘Umar telah mengangkat

Abu al- Darda’ sebagai qazdi (hakim) untuk kota Madinah, Syuraih sebagai hakim

Kufah, dan Abu Musa al-‘Asy‘ari hakim Basrah. Sedangkan untuk Mesir, setelah

negeri ini dibebaskan untuk kaum muslimin, ‘Umar mengangkat sebagai qazdi-

nya Qais bin al-‘As al-Sahmi. Tugas dari qazdi ini adalah memutuskan segala

perkara yang diajukan masyarakat kepadanya. Para hakim ini diberikan kebebesan

seluas-luasnya untuk memutuskan semua perkara menurut pertimbangan

pemikirannya masing-masing asalkan tidak keluar dari batas-batas Kitabullah dan

Sunnah RasulNya.23

Hal yang serupa pernah disebutkan oleh al-Imam Abu Yusuf dalam

kitabnya al-Kharraj, seperti dikutip oleh Yusuf al-Qardhawy; ‘Umar bin Khattab

ra pernah mengangkat Ammar bin Yasir sebagai imam salat dan sekaligus

komandan perang, kemudian mengangkat Abdullah bin Mas‘ud menjadi hakim

dan mengurus Baitul-mal, dan mengangkat ‘Utsman bin Hunaif menangani

pembagian tanah. Pada periode pemerintahan di bawah ‘Umar bin Khattab para

21M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 50.

22M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 49.

23Muhammad Husain Haekal, Al-Faruq ‘Umar, trj Ali Audah, ‘Umar bin Khattab,

(Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2000), h. 667-668.

Page 10: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

9

pegawai telah diberi gaji termasuk ketiga-ketiga pegawai pemerintahan ini

diberikan gaji atau honorium harian dalam bentuk seekor kambing yang diambil

dari Baitul-mal dengan pembagian sama rata ketiga-ketiganya.24

Di antara kebijakan ‘Umar yang sangat penting dalam sejarah perjalanan

fiqih politik ialah kebijakan terhadap orang-orang Nasrani Bani Taglib, suatu

kabilah yang jumlahnya sangat banyak dan sangat kuat di kalangan Bangsa Arab

waktu itu, dan mereka menolak untuk membayar jizyah,25 tetapi mau membayar

zakat. Sedangkan menurut ‘Umar mereka wajib membayar jizyah, kemudian

‘Umar mengajak mereka untuk bermusyawarah, lalu terjadilah kesepakatan

bersama antara ‘Umar dengan Bani Taglib, bahwa mereka harus membayar zakat

dengan nilai dua kali lipat.26

Dalam kebijaksanaan administrasi pemerintahan daerah, ‘Umar

menerapkan sistem desentralisasi yakni memberikan otonomi seluas-luasnya bagi

24Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat al-Syar‘iyyah trj Kathur Suhardi, Pedoman Bernegara

Menurut Perspektif Islam, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999), h. 110.

25Jizyah adalah pungutan harta yang dikeluarkan atas setiap kepala. Kata jizyah itu

diambil dari kata al-jaza;balasan, yaitu dapat bermakna balasan atas kekafiran mereka dengan

mewajibkan jizyah itu bagi mereka sebagai penghinaan atas kekafiran mereka. Atau, sebagai

balasan atas keamanan yang kita berikan kepada mereka dengan mengambil jizyah tersebut dari

mereka secara senang hati. Lihat Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat …, h. 110.

Dasarnya adalah firman Allah swt,

وا آجلزية عن يد و هم قاتلوا الذين ال يؤمنون باهلل و الباليوم اآلخر و الحيرمون ما حرم اهلل ورسوله و ال يدينون دين احلق من الذين آتوا آلكتاب حيت يعط .صاغرون

Artinya,

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak pula kepada hari

kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya,

dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan

al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam

keadaan tunduk. (QS, al-Taubah, 29). Lihat Imam al-Mawardi, al-Ahkam al-Sultaniyyah wa al-

Wilayat al-Diniyyah, (Mesir: Mustafa al-Babi al-Halabi, 1996), h. 251.

26Yusuf al-Qardhawy, al-Siyasat …, h. 136-137.

Page 11: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

10

pemerintahan daerah untuk mengatur, mengelola daerahnya masing-masing tanpa

interpensi pemerintah daerah, menetapkan dasar-dasar sistem pengelolaan negara

atau mengatur manajemen kenegaraan, sangat memperhatikan kemaslahatan

rakyat dan melindungi segala haknya. ‘Umar juga menanamkan semangat

demokrasi, baik dikalangan rakyat maupun para pejabat negara. Dari

kebijaksanaan politik yang dirintis ‘Umar ini dapat dikatakan bahwa masa

pemerintahan Umar adalah suatu masa di puncak kejayaan negara Madinah.27

Pada masa kekhalifahan ‘Umar banyak melakukan perubahan-perubahan

struktur pemerintahan, di antaranya adalah mendirikan lembaga-lembaga

pemerintahan yang mengurus kepentingan masyarakat. Lembaga-lembaga

tersebut dinamakan dengan diwan-diwan (departemen-departemen), salah satu

diwan yang dibentuk oleh ‘Umar adalah Diwan al-Hisbah. Untuk menjalan tugas

ini, ‘Umar mengangkat Sa’ib Ibn Yazid dan ‘Abdullah Ibn ‘Utbah sebagai

muhtasib di Madinah. Dalam menjalankan tugasnya, sÉhib al-suq (muhtasib)

diperbantukan oleh Diwan al-Ahdath (Departemen Kepolisian) yang tugas

utamanya adalah menjaga stabilitas keamanan. Ini menunjukkan bahwa

terbentuknya lembaga al-hisbah secara sistematis adalah di masa kekhalifahan

‘Umar.28 Karena perhatiannya yang besar terhadap masalah hisbah, ‘Umar ra

lebih terkenal dalam hal ini dibandingkan dengan khalifah lain, sehingga sebagian

orang mengira bahwa beliau orang yang pertama yang membahas tentang hisbah

ini.29 Memang benar tersistematika lembaga hisbah ini di masa kekhalifahan

‘Umar. Akan tetapi, badan ini baru terkenal di masa al-Mahdi (158-169 H).30

27Sirajuddin, Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007), h. 43.

28Muhibbuththabary, Wilayat al-Hisbah …, h. 58-59.

29Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi, al-Fiqh al-Iqtishadi li Amar al-Mukminin ‘Umar Ibn al-

Khatthab, trj Asmuni Solihan Zamakhsyari, Fikih Ekonomi ‘Umar bin al-Khathab, (Jakarta:

Khalifa, 2006), h. 587-588.

30Topo Santoso, Membumikan …, h. 57.

Page 12: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

11

Masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab selain banyak melakukan inovasi-

inovasi diinternal pemerintahannya, Ia juga banyak mengambil kebijakan-

kebijakan yang bersifat eksternal, berupa penaklukan untuk menjalankan Syari‘at

Islam. Pada masa pemerintahan ‘Umar bin Khattab banyak daerah-daerah yang

dapat ditaklukkan oleh umat Islam, misalnya: (1) penaklukan Suriah (637 M). (2)

penaklukan Palestina (637 M), kedua kota tersebut masih dalam kekuasaan

kekaisaran Bizantium pada ketika itu, Kemudian serangan demi serangan terus

dilanjutkan sehingga dalam peperangan Yarmuk pasukan Arab dapat menguasai

Bizantium secara total. (3) penaklukan Damaskus (637 M), kota Damaskus ini

juga dalam tahun yang sama mengalami keruntuhan. (4) penaklukan Turki (637

M). (5) penaklukan Irak (637 M). Walaupun Irak telah mulai ditaklukkan sebelum

‘Umar bin Khattab, namun puncak kemenangan umat Islam diraih dalam masa

pemerintahan ‘Umar bin Khattab yaitu dalam petempuran Qadisiya yang

bertepatan dengan tahun 637 M. (6) penaklukan Iskandariah (639 M), Iskandariah

ini menyerah di bawah kepemimpinan ‘Umar bin Khattab dua tahun setelah

penaklukan Damaskus. (7) penaklukan Mesir (642 M). Pasukan Arab kian hari

semakin bertambah solid dan tangguh, sehingga bertepatan dengan tahun 639 M,

pasukan ini telah memasuki Mesir yang pada saat itu masih di bawah kekuasaan

Bizantium juga. Dengan kegigihan pasukan-pasukan Arab ini sehingga tiga tahun

kemudian Mesir (642 M) sudah berada dalam kekuasaan umat Islam.31

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, terdapat dua keunggulan

kebijakan politik kekhalifahan ‘Umar bin Khattab. Pertama, keunggulan kebijakan

politik dalam negeri. Keunggulan di bidang ini dapat diketahui dengan

terbentuknya badan pengawasan atau badan hisbah (badan pengontrol) terhadap

masyarakat dengan sistematis atau terorganisir. Kedua, keunggulan politik luar

negeri, dapat diketahui dengan banyaknya daerah-daerah yang dapat ditaklukkan

oleh pasukan Islam di masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab.

31M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar …, h. 29-30.

Page 13: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

12

Sistem kepemimpinan ‘Umar ini kemudian dilanjutkan oleh Khalifah

‘Utsman bin ‘Affan. Dalam hal hisbah ‘Utsman juga melimpahkan tugas ini

kepada orang lain. Khusus di bidang pengawsan pasar ‘Utsman mengangkat al-

Harits Ibn al-‘Ash sebagai muhtasibnya. Demikian juga pada masa kekhalifahan

‘Ali bin Abi Thalib, wewenang hisbah ini dilimpahkan kepada pegawai-

pegawainya untuk pengawasan dalam traksaksi jual-beli di pasar-pasar Kota

Madinah ‘Ali bin Abi Thalib melantik Awrad Ibn Sa‘ad sebagai pengawasnya.32

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam periode Khulafa’h al-

Rasyidin paling banyak perubahan-perubahan atau kebijakan pemerintahan

tentang hisbah adalah pada masa khilafah ‘Umar bin Khattab. Karena dalam

struktur kepemerintahan Umar bin Khattab telah terjadi pemisahan antara

kekuasan eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

3. Periode Dinasti Umaiyah dan Dinasti Bani ‘Abbasiyah

Pada periode Dinasti Umaiyah tugas hisbah ini semakin mendapat

perhatian di hati khalifah, sehingga ketika Dinasti Bani Umaiyah ini dipimpin

oleh Khalifah Walid Ibn Abdul Malik sering ia sendiri yang melakukan inspeksi

ke pasar-pasar untuk memeriksa harga-harga barang. Tugas inspeksi pada masa

Dinasti Umaiyah ini terus dikembangkan dan ditingkatkan sehingga ketika Dinasti

Umaiyah dipimpin oleh Hisyam Ibn Abdul Malik sistem pengawasan pasar ini

semakin terorganisir dan terstruktur dengan rapi. Artinya tugas pengawasan pasar

di masa ini dilimpahkan kepada pihak lain, disamping dilaksanakan oleh khalifah

itu sendiri. Dalam hal ini Hisyam Ibn Abdul Malik mengangkat Daud Ibn ‘Ali Ibn

Abdullah sebagai pejabat pengawasan pasar di Iraq. Sejak masa inilah, istilah

shahib al-suq atau ‘amil fi al-suq berganti nama dengan al-hisbah (pengawasan)

dan muhtasib artinya petugas atau pengawas.33

32Muhammad Husain Haiekal, al-Faraq …, h. 668.

33Muhammad Abdul Qadir Abu Fariz, Sistem Politik Islam, (Jakrta: Rabbani Press, 2000),

h. 221-222.

Page 14: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

13

Pengawasan dari pihak pemerintahan seperti ini terus dipertahankan

hingga kemasa kejayaan Bani ‘Abbasiyah; Khalifah Abu Ja‘far al-Mansur untuk

menjaga kelanggengan tugas hisbah ini melantik Abu Zakaria Yahya Ibn Adullah

Sulaiman al-Ahwal menjadi petugas hisbah kota Kufah.34

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa, tugas hisbah atau pengawasan

dari pihak pemerintah terhadap anggota masyarakat yang melakukan kecurangan-

kecurangan sudah mulai terlihat di masa Nabi Muhammad saw, namun

pengawasan pada masa itu hanya terfokus pada pengawasan pasar. Tugas

pengawasan ini terus dilanjutkan dan dikembangkan oleh pemimpin-pemimpin

setelah Nabi Muhammad saw.

C. Dalil-Dalil Amar Ma‘ruf Nahi Munkar

Pelaksanaan amar ma‘ruf dan nahi munkar memiliki landasan yang sangat

kuat baik dalam Al-Qur`an maupun dalam al- Sunnah.

Allah swt berfirman: 35

و لتكن منكم آمة يدعون اىل اخلري ويآمرون باملعروف و ينهون عن املنكر وآوالئك هم املفلحون

Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru

kepada kebaikan, menyuruh kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar,

mereka itulah orang-orang yang beruntung. (QS. 3: 104).

Kata-kata min dari lafad minkum dalam ayat di atas mempunyai dua

makna, Pertama min li tajrid; artinya min yang tidak mempunyai makna apa-apa

(kosong dari mana). Berdasarkan makna min seperti demikian, maka jadilah

makna ayat di atas adalah: supaya kamu semua menjadi suatu umat yang menyeru

kepada kebaikan. Adapun makna min yang kedua li tab‘id; artinya sebagian, maka

ayat di atas mempunyai maknanya adalah: hendak adalah sebagian kamu satu

34Muhammad Ikbal, Fiqh SiyÉsah …, h. 60.

35Al-Ghazali, Ihya’ ‘Ulum …, h. 265.

Page 15: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

14

kelompok atau satu barisan yang kuat, berani, dan solid yang menyeru kepada

kebaikan, memerintahkan yang ma‘ruf dan mencegah dari yang munkar.36

Adapun menurut peneliti, makna min dalam ayat di atas lebih cenderung

kepada makna yang kedua (tab‘id), dikarenakan makna min yang kedua ini

makna dasar bagi kata-kata min.

Allah swt berfirman: 37

كنتم خري آمة آخرجت لناس تآمرون باملعروف وتنهون عن املنكر وتؤمنون بلله

Artinya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma‘ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman

kepada Allah swt. (QS. 3: 110).

Ungkapan Al-Qur`an di atas menunjukkan bahwa umat Islam tidak

dilahirkan ke alam ini untuk dirinya sendiri, melainkan ia dilahirkan untuk umat

manusia lainnya; untuk menunjuki manusia setelah ia mendapat petunjuk Allah

swt; memberi manfaat kepada manusia; memperbaiki manusia setelah ia baik

dengan iman dan amal salih dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada

cahaya.38 Oleh karena itu, umat terbaik dalam konteks pembahasan ini adalah

setiap umat Islam yang mempunyai kepedulian terhadap kebaikan manusia

lainnya.

Adapun Sunnah-Sunnah yang menyatakan tentang amar ma‘ruf nahi

munkar juga amat banyak, di antaranya hadis-hadis yang terdapat dalam al- Kutub

36Yusuf al-Qardhawy, Madkhal Lima’rifati al-Islam, Muqawwimatuhu, Khasaisuhu,

Ahdafhuhu, Mashadiruhu, trj Setiawan Budi Utomo, Pengantar Kajian Islam, Studi Analistik

Komprehensif Tentang Pilar-Pilar Subtansi, Karakteristik, Tujuan dan Sumber Acuan Islam,

(Jakarta: Pustaka al-Kausar, 2000), h. 341.

37Ibn Taimiyyah, al-Amr wa Nahy ‘an al- Munkar, trj Abu Ihsan Al-Atsari, Amar Ma‘ruf

Nahi Munkar, (Solo: At-Tibyan, 2002), h. 15.

38Yusuf Al-Qardhawi, Madkhal Lima’rifati al-Islam …, h. 340.

Page 16: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

15

al- Sittah seperti dikutip oleh Sayyid Muhammad bin Muhammad al-ZabÊdiyyi,

pertama;39

؟ قال صلي اهلل عليه وسلم غا الر ر وكا اآل و ورد السالم قالوا و ما حق الطريق يا رسول اهلل

واآلمر باملعروف و النهي عن املنكر

Artinya: Mereka (para sahabat) bertanya; Apa sajakah hak jalan itu wahai

Rasulullah? Nabi menjawab; menahan pandangan, meniadakan gangguan,

menjawab salam, menyerukan yang ma‘ruf dan mencegah yang munkar. (HR.

Abu Sa‘id al- Khudri ra.

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa setiap umat Islam memiliki

tanggung jawab untuk mengajak umat Islam lainnya untuk mengerjakan

perbuatan ma‘ruf, dan mempunyai wewenang untuk mencegah munkar bila ia

mengetahuinya.

Kedua;40

و ال ينكرون منكرا و يرقي شرار الناس يف خفة الطري وآحالم السراع ال يعرفون معروفا

Artinya: Maka manusia-manusia jahat berada dalam keringanan burung

(kelicikan) dan impian binatang buas (kerakusan), mereka tidak mengenal yang

ma‘ruf dan tidak mengingkari yang munkar.

Dari hadis di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang yang menyia-

nyiakan tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar adalah termasuk orang-orang yang

berada dalam kerugian.

Ketiga;41

ن املنكرليس منا من ال يرحم صغرينا و مل يوقر كررينا و يآمر باملعروف وينه ع

39Muhammad bin Muhammad al- ZabÊdiyyi, ’IttihÉf al-SÉdat al-MuttaqÊn, juz delapan,

(Beirut: DÉr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2005), h. 11.

40Sayyid Muham bin Muhammad al- ZabÊdiyyi, ’IttihÉf al-SÉdat …, h. 11

. 41Sayyid Muham bin Muhammad al- ZabÊdiyyi, ’IttihÉf al-SÉdat …, h. 15.

Page 17: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

16

Artinya: Bukan dari golongan kami mereka yang tidak menyayangi anak-anak

kami dan tidak menghargai orang tua kami, serta tidak menyerukan kema‘rufan

dan tidak pula mencegah kemungkaran. (HR. ‘Abdullah Ibnu ‘AbbÉs) ra.

Dari hadis di atas dapat dipahami, agama Islam merupakan agama yang

sangat peduli terhadap orang lain. Oleh karena demikian, umat Islam mempunyai

tanggung jawab untuk memperbaiki saudaranya dari kesalahan yang mereka

lakukan, juga mempunyai tanggung jawab terhadap kemungkaran yang mereka

kerjakan. Umat Islam mempunyai wewenang untuk menegur, menasehati, dan

memerintahkan sesuatu perbuatan yang baik, juga memiliki kewenangan untuk

malarang perbuatan munkar yang dilakukan oleh umat Islam lainnya.

Allah swt menjadikan amar ma‘ruf dan nahi munkar sebagai pembeda

antara orang-orang beriman dan munafiq. Ini menunjukkan bahwa melakukan

amar ma‘ruf nahi munkar merupakan salah satu ciri-ciri khusus orang-orang yang

beriman. Inti dari amar ma‘ruf nahi munkar itu adalah mengajak orang lain untuk

memeluk agama Islam.42 Justeru karena misi inilah Allah mengutuskan para nabi.

Jika aktivitas amar ma‘ruf nahi munkar tidak ada orang yang memperdulikannya,

maka syiar kenabian akan hilang, agama pun akan hilang, kemaksiatan di mana-

mana, kesesatan membudaya, kebodohan akan merajalela, negeri akan rusak, yang

akhirnya masyarakat pun akan rusak secara keseluruhannya.43

Amar ma‘ruf nahi munkar selain dari salah satu bentuk misi kenabian,

konsep amar ma‘ruf nahi munkar ini juga sebagai salah satu tonggak penting

ajaran Islam. Sehingga oleh kelompok Mu‘tazilah memasukkan konsep ini dalam

salah satu pokok-pokok yang lima (al- Usul al-Khamsah). Sedangkan kelompok

Syi‘ah menggolongkannya sebagai bagian dari rukun Islam. Bagi mereka amar

ma‘ruf nahi munkar merupakan salah satu pembahasan pokok dalam kitab-kitab

fiqihnya. Adapun Ahlu al-Sunnah wa al-Jama‘ah walaupun tidak menjadikan

42Muhammad Ahmad ar-Rasyid, al-Muntalaq, trj Abu Sa‘id al- Falahi, Titik Tolak:

Landasan Gerak Para Aktivis Dakwah, (Jakarta: Robbani Press, 2005), h. 104-105.

43Al-Ghazali, IhyÉ’ ‘UlËm …, h. 265.

Page 18: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

17

salah satu bahan pokok dalam kitab-kitab fiqihnya, namun kitab-kitab hadits

mereka mempunyai pembahasan khusus tentang masalah ini.44

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa, salah satu dari cabang iman

adalah melaksanakan amar ma‘ruf dan nahi munkar. Dapat dikatakan umat Islam

yang mengabaikan tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar adalah orang-orang yang

belum sempurna keimanannya. Selain itu, akan terjadi kerusakan di dalam dunia

Islam jika tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar telah ditinggalkan oleh seluruh

umat Islam itu sendiri. Islam sangat memusuhi kepada penganut-penganutnya

yang tidak mementingkan kebaikan-kebaikan atau kepentingan orang lain. Islam

sangat membeci orang-orang yang hanya memikirkan kepentingan atau kebaikan

pribadinya sendiri.

Dengan demikian, Wilayatul Hisbah dalam konteks pelaksanaan Syari‘at

Islam di Aceh memiliki tanggung jawab untuk melaksanakan amar ma‘ruf yaitu

menerapkan qanun Syari‘at Islam di bidang aqidah, ibadah, dan syi‘ar Islam.

Selain itu, Wilayatul Hisbah mempunyai kewenangan dalam aspek pada nahi

munkar yaitu untuk mencegah terjadinya pelanggaran-pelanggaran qanun Syari‘at

Islam di bidang khamar (minuman keras), maisir (perjudian), dan khalwat

(mesum).

D. Hukum dan Syarat-Syarat Amar Ma‘ruf Nahi Munkar

Amar ma‘ruf nahi munkar merupakan kewajiban yang harus dijalankan

oleh setiap umat Islam. Kewajiban disini maksudnya, setiap umat Islam

mempunyai tanggung jawab moral dan memiliki nilai amanah yang akan diminta

pertanggungjawaban kelak terhadap apa yang diperintahkan Allah, yaitu

44Muhammad Wahyuni Nafis (ed), Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam, (Jakarta,

Paramadina: 1996), h. 170-171.

Page 19: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

18

tersebarnya ajaran Islam dan berkembangnya perbuatan ma‘ruf serta hilangnya

segala bentuk kemungkaran di tengah kehidupan manusia.45

1. Hukum amar ma‘ruf nahi munkar

Amar ma‘ruf nahi munkar diwajibkan bukan hanya kepada kaum laki-laki

saja, tetapi kaum perempuan pun tanpa terkecuali; mereka juga akan mendapat

celaan, ancaman orang-orang yang menyepelekan tugas amar ma‘ruf nahi munkar

ini. Namun syarat melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar bagi aktivis muslimah

adalah mereka yang mampu melaksanakannya. Adapun kemapuan ini mencakup:

a) Mereka paham dan mengerti terhadap apa saja yang mereka

perintahkan dan yang mereka larang, walaupun kepada mereka tidak

dituntut memahami syari‘at secara keseluruhan.

b) Mereka secara pasti sanggup melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar.

Artinya, mereka mampu memberi penerangan dan penerangannya

dapat mempengaruhi orang lain, serta di dukung oleh kondisi, dan

situasi terhadap aktivitas mereka.

c) Mereka melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar bagi kalangan mereka

sendiri. Karena terkesan kurang baik keberadaan kaum perempuan

sendirian dalam majelis laki-laki untuk menyuruh dan melarang

mereka. Kecuali dalam keadaan darurat yang membolehkannya.

d) Dalam melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar tersebut tanpa tujuan

apa-apa selain mengharap ridha Allah swt. Artinya, mereka harus

melapangkan dadanya ketika menghadapi bermacam-macam tantangan

dan cobaan daripada perjuangan mereka dalam menegakkan kebenaran.

e) Mereka agar mengetahui bahwa jika dalam melaksankan amar ma‘ruf

nahi munkar mendapat ancaman atau gangguan, maka dalam hal ini

sebahagian besar ulama berpendapat; bagi mereka diperbolehkan untuk

tidak melanjutkan tugasnya melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar.

45Alwahidi Ilyas, Manajemen Dakwah, Kajian Menurut Perspektif Al-Qur’Én, (Banda

Aceh: Pustaka Pelajar, 2001), h. 89-90.

Page 20: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

19

Bagi mereka dalam kondisi seperti ini cukup hanya mencegah munkar

dalam hatinya saja, dan mereka ini tidak termasuk dalam golongan

orang-orang yang melalaikan tugas amar ma‘ruf nahi munkar, sebab

mereka selalu mencita-citakan kapan saja situasi dalam keadaan

normal, artinya mendukung untuk tugas yang mulia ini, mereka tetap

akan melanjutkannya.46

Sebahagian syarat-syarat yang harus dipahami dan tidak boleh dilanggar

oleh orang-orang yang mengingkari suatu perbuatan munkar adalah:

a) Seseorang tidak boleh mengingkari sesuatu perbuatan munkar yang

oleh para ulama belum sepakat perbuatan itu dinamakan munkar.

Maka seseorang tidak boleh dengan gegabah melakukan amar ma‘ruf

nahi munkar sebelum ia mempelajari benar hal itu perbuatan munkar.

b) Meyakini orang yang melakukan perbuatan munkar tersebut tidak akan

semakin bertambah suka atas kejahatannya yang ia lakukkan.

c) Tidak akan menimbulkan fitnah yang lebih besar dengan sebab peritah

dan larangan tersebut.

d) Tidak akan menimbulkan kemungkaran lain yang lebih besar dari

kemungkaran yang telah terjadi.

e) Seseorang yang melakukan amar ma‘ruf nahi munkar; menemukan

kemungkaran itu bukan dengan mencari-carikannya.47

2. Syarat-syarat amar ma‘ruf nahi munkar.

Sesungguhnya syarat pelaksanaan amar ma‘ruf nahi munkar mempunyai

empat syarat; pertama muhtasib (orang yang menjalankan tugas amar ma‘ruf nahi

munkar); kedua muhtasab ‘alayh (orang yang menjadi sasaran amar ma‘ruf nahi

46Ali Abdul Halim Mahmud, al-Mar’at al-Muslimah wa Fiqh al-Dakwah Ilallah, trj Ulis

Tofa, dan Hidayatullah, Fiqih Dakwah Muslimah, Buku Pintar Aktivis Muslimah, (Jakarta:

Robbani Press, 2003), h. 274.

47Sayyid Muhammad, al-Wahdat al-Islamiyyah, trj Ali Yahya, Persatuan Islam, (Jakarta:

Lentera Baristama, 1997), h. 51-52.

Page 21: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

20

munkar); ketiga muhtasab fih (objek amar ma‘ruf nahi munkar); ke empat nafs al-

Ihtisab (kegiatan amar ma‘ruf nahi munkar).48

a) Muhtasib

Muhtasib adalah orang yang melakukan amar ma‘ruf nahi munkar, untuk

menjadikan seseorang muhtasib disyaratkan padanya orang mukallaf, muslim, dan

sanggup melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar.49

b) Muhtasab ‘alayhi

Muhtasab ‘alayhi yaitu sasaran tujuan amar ma‘ruf nahi munkar, yang

menjadi syarat utamanya adalah dia seorang manusia, dan tidak disyaratkan

mukallaf.50

c) Muhtasab fih

Muhtasab fih atau objek hisbah adalah perbuatan munkar yang sedang

terjadi; diketahuinya tanpa melalui pengintaian, dan perbuatan tersebut jelas

munkar tanpa memerlukan ijtihad untuk menjelaskan sisi kemungkarannya.51

d) Nafs al-Ihtisab

Maksud dengan nafs al-ihtisab adalah kegiatan amar ma‘ruf nahi munkar

itu sendiri.52 Ihtisab ini mempunyai tingkatan dan adab-adabnya tersediri.

Tingkatan ihtisab ini yang pertama sekali ta‘arruf artinya mencari tahu

kemungkaran, walaupun ta‘arruf ini dilarang, namun dibolehkan ta‘arruf kepada

orang yang adil untuk memberikan informasi tempat-tempat terjadi kemungkaran.

Kedua mengingatkan, karena terkadang orang yang mengerjakan munkar itu

48Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya ‘Ulum al-Din, trj Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya’ ‘UlËm

al-DÊn, (Bandung: Mizan, 1998), h. 176.

49Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya …, hal. 270.

50Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya…, h. 283.

51Muhammad bin Muhammad al-Zabidyyi, Ittihaf al-Sadat …, h. 69.

52Muhammad bin Muhammad al-Zabidyyi, Ittihaf al-Sadat …, h. 85.

Page 22: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

21

dalam keadaan lupa. Ketiga melarangnya dengan cara menasehati, dan menimbul

rasa takut kepada kemarahan Allah. Keempat memaki dengan kata-kata yang

kasar, namun dalam hal ini dibolehkan tetapi apabila tidak ada cara lain kecuali

dengan cara tersebut, dan tidak boleh mengucapkan kata-kata dusta. Kelima,

merubah kemungkaran itu dengan tangannya, seperti memecahkan alat-alat

permainan, menumpahkan arak, dan lain-lain. Tingkat ini di benarkan apabila

tidak ada jalan lain untuk memaksakan pelaku munkar tersebut, dan jangan

melampaui batas kewajaran.53

3. Amar ma‘ruf nahi munkar oleh pemerintah atau penguasa

Pemerintah merupakan lembaga yang memiliki wewenang penuh untuk

melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar dengan tangannya, artinya dengan

kekuasaannya. Ia sebagai aparatur penegak hukum; penentu kebijakan, dan berhak

menindak dan memaksakan masyarakatnya untuk tegaknya amar ma‘ruf nahi

munkar di lingkungannya.

E. Metode Amar Ma‘ruf Nahi Munkar

Kemungkaran harus dilenyapkan di atas bumi ini, namun dalam

mengaplikasikannya tidak boleh dengan sikap-sikap arogan atau secara sekaligus,

tetapi sesuai dengan ketentuan-ketentuan ajaran Islam. Ada tiga cara menolak

kemungkaran. Hadis Rasulullah saw:54

من رآو منكم منكرا فليغريه بيده فان مل يستطع فرلسنه فان مل يستطع فرقلره و لك آضعا االميان

Artinya: Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran hendaknyalah ia

mengubah dengan tangannya. Jika ia tidak mampu hendaklah dengan lisannya.

Dan jika tidak mampu juga hendaklah dengan hatinya, dan demikian itu adalah

selemah-selemah iman. (HR. Muslim).

53Al-Ghazali, Ihya ‘Ulum …, h. 284-286.

54Al-MundhirÊ, Al-Targhib wa al-Tarhib, (Makkah: DÉr al-Baz, 1986), h. 223.

Page 23: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

22

Mencegah munkar dengan tangan maksudnya dengan kekuatan hanya

dipundakkan atas orang-orang yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk

melarang atau menyuruh sesuatu, dan mempunyai kewenangan untuk menindak

bila tidak mengindahkan perintah atau larangannya. Cara kedua mencegah

munkar dengan lisan; cara ini dikhususkan kepada ulama-ulama syari‘at; orang

yang mengetahui; memiliki pendapat yang kuat, dan kokoh pendiriannya serta

merasa aman atas dirinya, hartanya, dan keluarganya ketika melaksanakan tugas

mulia ini. Mencegah munkar dengan hati adalah kepada orang-orang yang tidak

berkemampuan seperti itu. Mereka harus menanamkan rasa benci dalam hatinya

terhadap kemungkaran yang ia ketahui ataupun ia lihat, meskipun cara ini

termasuk dalam selemah-lemah iman.55 Imam al-Ghazali menjelaskan beberapa

metode amar ma‘ruf dan nahi munkar, sebagai berikut:

a) Menjelaskan kebaikan dan kemungkaran. Tahap ini tidak perlu minta

izin kepada imam/pemimpin dan wakilnya.

b) Nasehat dengan tutur kata yang lembut. Tahap ini juga tidak butuh

minta izin kepada imam atau wakilnya.

c) Bersikap tegas. Artinya, berani menyalahkan orang yang berbuat

kemungkaran dan menganggap mereka sebagai orang yang sedikit

takutnya kepada Allah atau termasuk orang fÉsiq. Hal ini juga tidak

dibutuhkan izin kepada imam atau wakilnya, karena ini adalah

perkataan yang benar, dan kebenaran berhak untuk diutarakan. Perihal

boleh bersikap tegas kepada pelaku kemungkaran dengan tanpa harus

minta izin dulu kepada imam atau wakilnya ini, Imam al-Ghazali

beralasan; kebiasaan generasi salaf dalam melaksanakan amar ma‘ruf

nahi munkar kepada pemimpin mereka sendiri, membuktikan

kesepakatan mereka perihal tidak butuhnya meminta izin kepada

imamnya, bahkan bagi setiap penyeru kebaikan. Jika pemimpin rela

menerima usaha perbaikan, itu lebih baik; namun jika mereka menolak

55Sayyid Muhammad, Al-Wahdat …, h. 51.

Page 24: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

23

perbaikan, maka penolakan tersebut adalah kemungkinan itu tersendiri

yang harus diingkari.

d) Mencegah dengan kekuatan. Artinya, mencegah pelaku kemungkaran

dari imam atau wakilnya, seperti orang yang mengambil baju curian

dari tangan perampas dan mengembalikan kepada pemiliknya.

e) Memukul pelaku kemungkaran sehingga dapat mencegah dirinya

dalam melakukan tindakan kemungkaran. Hal ini kadang biasa

menyulut peperangan dari kedua belah pihak, dan karena itu wajib

minta izin dahulu kepada imam atau wakilnya, sehingga tidak

terjerumus ke dalam fitnah permusuhan di antara manusia.56

Dalam menentukan batasan kemungkaran sebagian ulama syari‘at berkata;

kemungkaran yang harus dicegah adalah setiap kemungkaran yang jelas-jelas itu

kemungkaran tanpa perlu diteliti kembali, juga kemungkaran yang sedang terjadi

sekarang ini bukan kemungkaran-kemungkaran di masa yang lalu. Ungkapan

tersebut kalau kita pahami dengan cermat, mengandung empat syarat sehingga

perilaku munkar bisa dikatakan kemungkaran:

a) Kemungkarannya disebutkan atau dijelaskan oleh syari‘at;

b) Terjadi pada waktu sekarang. Artinya, tidak boleh mengingkari

kemungkaran yang telah lewat, atau kemungkinan belum terjadi;

c) Kemungkaran tersebut diketahui dengan jelas oleh orang yang

mengingkari, tanpa harus diselidiki. Oleh karena demikian

kemungkaran di dalam rumahnya yang tertutup misalnya, maka tidak

boleh diselidiki;

d) Kemungkaran itu jelas dan gamblang tanpa harus ijtihad dulu. Jika

masih ada peluang ijtihad para ulama, maka tidak boleh

mengingkarinya.57

56Al-Ghazali, Ihya al-Ulum …, h. 273.

57Ali Abdul Halim Mahmud, al-Mar’at al-Muslimah …, h. 278-279.

Page 25: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

24

E. Wilayatul Hisbah Sebagai Lembaga Penegak Hukum

Al Yasa‘ Abu Bakar menjelaskan, ada tiga otoritas aparat penegak hukum,

yaitu:

Pertama, Wilayat al-qada’

Wilayat al-qada’ adalah lembaga resmi pemerintahan yang mempunyai

wewenang untuk menyelesaikan perselisihan antar sesama rakyat, untuk sekarang

ini dinamakan pengadilan atau lembaga arbitrase (usaha perantara dalam

meleraikan perkara.58

Kedua, Wilayat al-Mazalim

Wilayat al-Mazalim merupakan satu lembaga atau badan yang memiliki

wewenang menyelesaikan masalah-masalah perselisihan ketatausahaan negara

serta perselisihan antara pemerintah dengan rakyat dalam hal penyelewangan

kekuasaan atau jabatan yang dilakukan oleh pihak pemerintah, atau perdakwaan

antara kelompok bangsawan dengan rakyat biasa. Pada masa kekhalifahan

kewenangan ini berlaku dengan dua cara, pertama, kewenangan ini dipegang

langsung oleh khalifah sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara. Kedua,

diserahkan wewenang ini kepada gubernur, kepala suku dsb.59

Ketiga, Wilayat al-Hisbah

Sedangkan Wilayat al-Hisbah adalah lembaga atau badan yang

berwewenang memberitahukan kepada masyarakat tentang peraturan-peraturan

yang sudah berlaku dan menyadarkan anggota masyarakat tersebut agar mematuhi

aturan-aturan tersebut supaya tidak dikenakan sangsi atau denda peraturan-

peraturan itu.60

58Al Yasa‘ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah, Polisi Pamong Praja Dengan Kewenangan

Khusus di Aceh, (Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009), h. 22-23.

59 Al Yasa‘ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah …, h. 22.

60Al Yasa‘ Abu Bakar, Wilayatul Hisbah …, h. 22.

Page 26: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

25

Adapun tugas-tugas lembaga Wilayat al-Hisbah ini sangat banyak, di

antaranya seperti yang telah dipraktekkan oleh lembaga ini di masa yang lalu

adalah mengawasi, memeriksa, dan mengingatkan kepada pedagang-pedagang

dalam penggunaan alat-alat ukur atau alat timbang-menimbang.

Untuk ini mereka berhak menegur, mencegah dan melarang orang-orang

yang berbuat menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini, supaya mereka terhindar

dari hukuman atau ganjaran. Selain bertugas menjalankan peraturan-peraturan

yang telah ada ketentuan-ketentuannya dalam hukum, lembaga ini juga bertugas

harus mengawasi, mengingatkan, dan menegur sejumlah masyarakat agar

berperilaku baik, berakhlak mulia, dan menghindari dari perbuatan tercela atau

perbuatan haram. Namun demikian lembaga ini tidak memiliki kewenangan untuk

memberikan hukuman kepada anggota masyaraktnya bila ada yang terbukti

melanggar dari norma-norma yang telah ada.

Hisbah merupakan sebuah institusi keagamaan di dalam pemerintahan

Islam yang menuntut manusia untuk bertanggung jawab dalam amar ma‘ruf nahi

munkar. Tujuan dari institusi ini hanya untuk mengawasi masyarakat dari

kesesatan, melindungi dan menjaga dari ha-hal yang dapat merusakkan aqidah

atau keimanan masyarakat, dan menjamin kesejahteraan kehidupan masyarakat.

Dengan kata lain, Institusi hisbah ini tugasnya sebagai lembaga pengawas

jalannya roda kehidupan baik masyarakat maupun pemerintahan dengan berpijak

pada semboyan amar ma‘ruf nahi munkar.61

Sistem pengawasan yang dijalankan lembaga ini pada dasarnya mencakup

empat bentuk, hal seperti itu disebutkan Auni bin Abdullah yang dikutip oleh

Hasnul Arifin Melayu. Pertama, pengawasan pribadi yaitu seseorang dituntut

untuk selalu mengontrol dan mengawasi diri sendiri dalam upaya menjalankan

perintah Allah dan menjauhkan segala larangannya, serta menciptakan rasa cinta

dan setia serta rasa tanggung jawab terhadap agamanya. Kedua, pengawasan Ilahi

yaitu pengawasan Tuhan; dimana segala sesuatu yang diperbuat oleh makhluknya

61Husnul Arifin, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah Dalam Islam …, h. 41.

Page 27: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

26

tidak luput dari pantauan Allah swt. Dengan demikian, akan muncul kesadaran

dari diri manusia untuk selalu taat terhadap perintah dan larangan Tuhannya.

Ketiga, pengawasan masyarakat yaitu diberikan kebebasan kepada seluruh

anggota masyarakat untuk memantau atau mengawasi pemimpin-pemimpin

mereka agar dalam segala kegiatannya harus berpijak kepada amar ma‘ruf nahi

munkar. Keempat pengawasan pemerintah, pengawasan ini merupakan tanggung

jawab pemerintah untuk selalu mengontrol jalannya roda pemerintahan harus

bertumpu pada kesejahteraan rakyat dan kemaslahatan masyarakat banyak.62

F. Kesimpulan

Pada bab ini penulis akan mengambil beberapa kesimpulan berdasarkan

uraian pada bab-bab sebelumnya. Salah satu dari ajaran Islam adalah saling

mengajak kepada jalan kebaikan dan mencegah dari perbuatan munkar, dengan

kata lain mereka saling memerintahkan kepada yang ma‘ruf dan mencegah dari

yang munkar, menghalalkan bagi mereka yang baik-baik dan mengharamkan atas

mereka yang tidak baik dan merusakkan.

Maksud Islam ini tidak akan tercapai bila tidak mempunyai kekuatan yang

didukung oleh semua pihak terlebih aparatur pemerintahan. Karena segala

kebijakan atau program dan kegiatan sangat tergantung erat di tangan pemerintah.

Bila dalam hal apa pun pemeritah mempunyai komitmen penuh maka sudah

barang tentu akan mencapai hasil yang memuaskan, sebaliknya bila pemerintah

tidak memiliki rasa tanggung jawab penuh terhadap amanah yang diembannya itu

maka kegiatan yang sedang dicanangkan itu tidak akan mencapai hasilnya secara

maksimal atau sempurna.

Khusus dalam hal pelaksanaan tugas amar ma‘ruf dan nahi munkar, bila di

kaji dalam berbagai literatur-literatur Islam maka akan di temukan apa yang

diistilahkan dengan hisbah dengan pengertian pengawas atau petugas penertiban

di dalam masyarakat. Istilah hisbah ini sudah mulai muncul sejak di zaman Nabi

62Husnul Arifin, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah Dalam Islam …, h. 42.

Page 28: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

27

saw, walaupun hisbah pada masa itu masih sangat terbatas pada penertiban pasar;

mengawasi pedagang-pedagang yang melakukan perbuatan keji dalam

perdangannya sekaligus menentukan harga mata barang. Tugas hisbah ini terus

dibudidayakan hingga ke masa-masa kepemimpinan setelah Nabi saw. Dari masa

ke masa tugas hisbah ini semakin menjadi pusat perhatian setiap kepala

pemerintahan, sekaligus terjadi pengembangan dan perluasan tugas-tugas hisbah

ini. Sehingga pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khattab kelembagaan hisbah ini

terformulasi dan tersistematisasi dengan sempurna.

Sebenarnya dengan izin penerapan Syari‘at Islam di Provinsi Aceh sangat

berpeluang untuk mengulangi kembali fungsi-fungsi hisbah ini seperti yang telah

terjadi pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, maksudnya penerapan Syari‘at

Islam akan menggema di seluruh Tanah Aceh. Akan tetapi cita-cita ini agaknya

belum memenuhi harapan. Gema Syari‘at Islam di Aceh semakin pudar dalam

masyarakatnya. Pudarnya Syari‘at Islam di Aceh bukan hanya disebabkan karena

pengawal Syari‘at atau Wilayatul Hisbah ini lemah, tetapi juga dipengaruhi oleh

beberapa hal lain. Salah satu di antaranya adalah pemerintah pusat tidak ikhlas

memberikan status istimewa untuk Aceh. Faktor lain adalah aparatur-aparatur

pemerintahan di Aceh sendiri pun belum serius untuk menjalankan Syari‘at Islam

di Bumi Serambi Makkah ini.

Tugas yang diberikan kepada pengawal Syari‘at Islam atau kepada

Wilayatul Hisbah sangat besar sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-

Undang No 44 Tahun 1999 Tentang penyelenggaraan keistimewaan yang meliputi

beberapa bidang, di antaranya bidang agama, budaya, pendidikan, dan peranan

ulama. Sementara wewenang yang dimiliki oleh lembaga atau organisasi

Wilayatul Hisbah sangat kecil atau sangat lemah. Petugas Wilayatul Hisbah hanya

memiliki wewenang untuk mengawasi, menasehati, dan mengingatkan anggota

masyarakat terhadap peraturan-peraturan yang harus diikuti, serta

memberitahukan masyarakat perbuatan-perbuatan yang semestinya tidak

dikerjakan atau dihindari.

Page 29: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

28

Ditambah lagi Wilayatul Hisbah ini selain jumlah personilnya sangat

sedikit, dan anggota Wilayatul Hisbah pula tidak dilengkapi dengan alat

pengamanan diri. Di samping itu, penggabungan Wilayatul Hisbah dengan Satpol

PP pun menjadi kendala penerapan Syari‘at Islam di Aceh.

Daftar Pustaka

A. Rahmat Rosyadi, M. Rais Ahmad, Formalisasi Syari‘at Islam Dalam

Perspektif Tata Hukum Indonesia, Bogor: Ghalia Indonesia, 2006.

Al Yasa‘ Abubakar, Bunga Rampai Pelaksanaan Syari‘at Islam, Pendukung

Qanun Pelaksanaan Syari‘at Islam, Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam

Aceh, 2009.

Dinas Syari‘at Islam Aceh, Himpunan Undang-Undang, Keputusan Presiden,

Peraturan Daerah/Qanun, Instruksi Gubernur, Edaran Gubernur

Berkaitan Pelaksanaan Syari‘at Islam, Edisi ke Tujuh, Banda Aceh:

LITBANG dan Program Dinas Syari‘at Islam Aceh, 2009.

Page 30: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

29

Hasan Basri Elbi, Metode Dakwah Islam, Kontribusi Terhadap Pelaksanaan

Syari‘at Islam di Provinsi NAD, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2006.

Hasnul Arifin Melayu, “Eksistensi Wilayat al-Hisbah dalam Islam” dalam Soraya

Devy, dkk, Politik dan Pencerahan Peradaban, Banda Aceh: Ar-Raniry

Press, 2004.

Ibnu Hajar al ‘AsqÉlany, BulËghu al marami min adillati al ahkami, Jakarta: DÉr

al- Kutub al- islÉmiyyat, tt, ttp.

Imam Muslim, Sahih Muslim, Bab al-IÊmÉn, Riyad: Dar al-Salim, 1998.

Juhari, “Peran Wilayatul Hisbah Dalam Menegakkan Dakwah Struktural di Kota

Banda Aceh” dalam Muslim Zainuddin, dkk, Agama dan Perubahan

Sosial Dalam Era Reformasi di Aceh, Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2004.

M. Hasbi Amiruddin, Republik ‘Umar bin Khattab, Yogyakarta: Total Media,

2010.

Muh. Zuhri, Potret Keteladanan Kiprah Politik Muhammad Rasulullah,

Yogyakarta: LESFI, 2004.

Muhammad Husain Haekal, Al-Faruq ‘Umar, trj Ali Audah, ‘Umar bin Khattab,

Bogor: Pustaka Lintera Antar Nusa, 2000.

Muhammad Iqbal, Fiqh Siyasah, Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2007.

Philip K. Hitti, History Of The Arabbs; From The Earliest Times To The Present,

trj R. Cecep Lukman & Dedi Slamet Riyandi, History Of The Arabs,

Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Syahrizal Abbas, Syari‘at Islam di Aceh, Ancangan Metologis dan Penerapannya,

Banda Aceh: Dinas Syari‘at Islam Provinsi Aceh, 2009.

Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Al-Islam 2, Semarang: Pustaka Rizki

Putra, 1998), h. 349.

Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Penegakan Syari‘at Dalam

Wacana dan Agenda, Jakarta: Gema Insani Press, 2003.

Page 31: WILAYATUL HISBAH SEBAGAI LEMBAGA PELAKSANA …iaia.ac.id/assets/uploads/Jurnal-Tgk-Hasbullah-SEJARAH-WILAYATUL... · masa pemimpin Islam setelah Nabi SAW. Khususnya pada periode kekhalifihan

30

Yusuf al-Qardhawy, al-SiyÉsat al-Syar‘iyyah trj Kathur Suhardi, Pedoman

Bernegara Menurut Perspektif Islam, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 1999.

al-Mawardi, al-AhkÉm al-Sultaniyyah wa al-Wilayat al-Diniyyah, Mesir: Mustafa

al-Babi al-Halabi, 1996.

Sirajuddin, Politik Kenegaraan Islam, Studi Pemikiran A. Hasjmy, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2007.