tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

40
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Teori 1. Hakekat Matematika Kata ‘matematika’ berasal dari bahasa Latin manthanein atau mathema yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran (Depdiknas 2003: 5). Sedangkan definisi atau ungkapan pengertian matematika sangat banyak dijumpai, bahkan mungkin sebanyak tokoh yang mendefinisikan matematika tersebut. Ada tokoh yang tertarik dengan perilaku bilangan, maka ia melihat matematika dari sudut bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan perhatian pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur itu. Dengan kata lain tidak terdapat satu definisi tentang matematika yang tunggal dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika. Namun demikian, menurut Sumardyono (2004: 30) di dalam setiap pandangan terhadap matematika terdapat beberapa ciri matematika yang umum disepakati bersama. 7

Upload: anon286365754

Post on 03-Jul-2015

589 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

bab 2 dari tesis mengenai pengembangan pendekatan pembelajaran matematika realistik pada konteks sekolah islam

TRANSCRIPT

Page 1: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Hakekat Matematika

Kata ‘matematika’ berasal dari bahasa Latin manthanein atau mathema

yang berarti belajar atau hal yang dipelajari. Matematika dalam bahasa Belanda

disebut wiskunde atau ilmu pasti, yang kesemuanya berkaitan dengan penalaran

(Depdiknas 2003: 5). Sedangkan definisi atau ungkapan pengertian matematika

sangat banyak dijumpai, bahkan mungkin sebanyak tokoh yang mendefinisikan

matematika tersebut. Ada tokoh yang tertarik dengan perilaku bilangan, maka ia

melihat matematika dari sudut bilangan. Tokoh lain lebih mencurahkan perhatian

pada struktur-struktur, ia melihat matematika dari sudut pandang struktur-struktur

itu. Dengan kata lain tidak terdapat satu definisi tentang matematika yang tunggal

dan disepakati oleh semua tokoh atau pakar matematika.

Namun demikian, menurut Sumardyono (2004: 30) di dalam setiap

pandangan terhadap matematika terdapat beberapa ciri matematika yang umum

disepakati bersama. Di antaranya adalah: memiliki objek kajian yang abstrak

(yaitu fakta, operasi atau relasi, konsep, dan prinsip), bertumpu pada kesepakatan,

berpola pikir deduktif, konsisten dalam sistemnya, memiliki simbol yang kosong

dari arti (sehingga bersifat universal), dan memperhatikan semesta pembicaraan.

Sedangkan proses terjadinya matematisasi pada diri para matematikawan

disimpulkan oleh Fadjar Shadiq (2004: 10) berikut ini.

1. Pada awalnya, proses matematisasi yang dilakukan dan dihasilkan para matematikawan adalah proses induksi atau penalaran induktif. Dimulai dari kasus-kasus khusus yang lalu digeneralisasi menjadi pernyataan umum (general).

2. Proses berikutnya adalah proses formalisasi pengetahuan matematika dengan terlebih dahulu menetapkan sifat pangkal (aksioma) dan

7

Page 2: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

8

pengertian pangkal, yang akan menjadi pondasi pengetahuan matematika berikutnya yang harus dibuktikan secara deduktif.

Berkaitan dengan penalaran induktif dan deduktif, Polya dalam Fadjar

Shadiq (2004: 10) berpendapat sebagai berikut.

Ya, matematika mempunyai dua wajah; matematika adalah sains eksak Euclid, tapi juga sekaligus yang lain. Matematika yang ditampilkan dengan cara Euclid adalah sains yang sistemik dan deduktif; akan tetapi matematika adalah sains yang induktif jika ditampilkan sebagai suatu eksperimen.

Pendapat Polya di atas menghapus anggapan bahwa matematika semata-mata

dibangun oleh penalaran deduktif.

Matematika juga tak lepas dari filsafat ilmu, yaitu kelompok ontologi,

epistemologi, dan aksiologi. Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal

(dalam hal ini matematika) perlu dipelajari atau diteliti. Epistemologi menyangkut

metode suatu ilmu dipelajari, sedangkan aksiologi menyangkut bagaimana suatu

ilmu diterapkan.

Dari ketiga kelompok tersebut, muncullah 3 bagian besar matematika

yang dinyatakan dalam The New Encyclopedia Britannica, yakni: 1) Sejarah dan

Landasan Matematika, 2) Cabang-cabang Matematika yang terdiri dari 6 cabang

besar, 3) Terapan-terapan Matematika yang terdiri dari 7 cabang besar (The Liang

Gie dalam Sumardyono, 2004: 7).

Pembagian di atas salah satunya adalah sebagai akibat bahwa meskipun

bersifat universal dalam semesta pembicaraannya, matematika tidak serta merta

bebas nilai. Sebagai contoh, Sejarah Matematika sebagai sebuah disiplin ilmu

terbagi menjadi dua kubu utama. Yang pertama, kubu eurocentric yang

berpendapat bahwa yang pertama kali menemukan matematika adalah orang

Yunani. Kubu kedua adalah humanocentric dan ethnomathematic yang

beranggapan bahwa matematika ditemukan oleh manusia jauh sebelum zaman

Yunani Kuno. Humanocentric adalah yang dianut oleh para matematikawan

Page 3: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

9

Muslim pada masa kejayaan Islam sesuai dengan keyakinan mereka (Adi Setia,

2008: 5).

Pernyataan matematika tidak bebas nilai di atas sesuai dengan pendapat

Kirby dalam Adi Setia (2008: 6) berikut ini.

Matematika di masa mendatang, sebagaimana di masa lalu, tidak dapat bebas nilai. Matematika selalu menjadi sebuah aktivitas manusia. Matematika memenuhi kebutuhan manusia. Matematika bisa jadi akurat, akan tetapi keobjektifannya adalah subjek dari nilai-nilai manusia, termasuk penafsiran ‘objektivitas’ suatu ideologi. Matematika juga merupakan area yang bebas dari kreativitas manusia, sebagaimana yang terlihat dalam cabang matematika seperti analisis vektor, topologi, kalkulus, teori himpunan, dan cabang-cabang yang lain.  

 Pendapat lain yang sesuai yaitu pendapat Martin dalam Adi Setia (2008:

7) berikut ini. “Konsep Platonik bahwa matematika adalah bebas nilai

sesungguhnya merupakan konsep yang di dalam dirinya sendiri sarat nilai karena

bertujuan untuk menyembunyikan dari sebagian besar orang hubungan yang

sangat erat antara matematika dan sistem kepercayaan yang dianut oleh

praktisinya.”

Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika

secara epistemologi berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang

tersusun secara hierarkis dan penalarannya menggunakan sistem deduktif serta

konsisten dalam sistemnya. Akan tetapi dalam proses terjadinya matematika pada

diri seseorang, penalaran induktif tetap diperlukan.

Anggapan lain yang keliru adalah bahwa matematika bebas nilai. Padahal

secara filsafat ilmu ontologi dan aksiologi, matematika tidaklah bebas nilai karena

tergantung pada ideologi praktisinya.

2. Pembelajaran Matematika Sekolah

Satu-satunya wadah kegiatan yang dipandang dan sebaiknya berfungsi

untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah pendidikan, melalui

pendidikan jalur sekolah maupun jalur luar sekolah. Matematika sebagai salah

Page 4: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

10

satu ilmu dasar, baik aspek terapan maupun aspek penalarannya, mempunyai

peranan yang penting dalam upaya penguasaan ilmu dan teknologi. Matematika

perlu dikuasai dalam penerapan dan pola pikirnya.

Oleh sebab itu matematika dipelajari di sekolah-sekolah baik dari mulai

tingkat sekolah dasar sampai tingkat perguruan tinggi. Selama ini matematika

sudah berkembang sedemikian pesatnya, sehingga terlalu sulit untuk dipelajari

seluruhnya oleh peserta didik-peserta didik di sekolah. Matematika yang dipelajari

di jenjang Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama dan Sekolah Menengah

Atas disebut matematika sekolah. Matematika sekolah menurut Soedjadi dalam

Endang Sriningsih (2009: 14) adalah unsur-unsur atau bagian-bagian dari

matematika yang dipilih berdasarkan atau berorientasi kepada kepentingan

kependidikan dan perkembangan IPTEK.

Dari pengertian matematika sekolah di atas dapat disimpulkan bahwa

matematika sekolah tidak sama dengan matematika sebagai ‘ilmu’. Menurut

Sumardyono (2004: 43), yang membedakan matematika sekolah dan matematika

sebagai ‘ilmu’ adalah dalam hal penyajian, pola pikir, keterbatasan semesta, dan

tingkat keabstrakan.

Dalam hal penyajian, matematika sekolah perlu diusahakan sesuai

dengan perkembangan kognitif peserta didik, sehingga tidak harus diawali dengan

teorema atau definisi. Sebagai akibat dipilihnya unsur atau elemen matematika

untuk matematika sekolah dengan memperhatikan aspek pendidikan,

maka terjadi penyederhanaan dari konsep matematika yang kompleks.

Pembelajaran matematika sekolah dapat menggunakan pola pikir induktif

maupun deduktif. Hal ini disesuaikan dengan topik bahasan dan tingkat

pemahaman peserta didik. Secara umum, pada tingkat SD, matematika didekati

secara induktif terlebih dahulu karena hal ini lebih memungkinkan peserta didik

menangkap pengertian yang dimaksud. Sementara untuk SMP dan SMA, pola

pikir deduktif harus semakin ditekankan.

Pengertian semesta pembicaraan tetap diperlukan, namun mungkin sekali

dipersempit. Selanjutnya semakin meningkat usia peserta didik, yang berarti

Page 5: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

11

meningkat pula tahap perkembangannya, maka semesta itu berangsur-angsur

diperluas.

Sesuai dengan pola pikir yang dipakai, tingkat keabstrakan matematika

sekolah juga harus bertahap. Di SD, penjumlahan bilangan dapat ‘dikongkretkan’

dengan menghadirkan benda nyata, seperti lidi, untuk dijumlahkan. Namun

semakin tinggi jenjang sekolah, tingkat keabstrakan bilangan sebagai objek

matematika semakin diperjelas.

Pelajaran matematika bertujuan agar peserta didik memiliki pengetahuan

dan pengertian tentang matematika, baik dalam kehidupan sehari-hari, untuk

bekal melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi dan sebagai penunjang

mempelajari pelajaran-pelajaran yang lain.

Matematika sebagai bidang ilmu atau sebagai mata pelajaran yang

dipelajari di setiap jenjang pendidikan, bahkan tanpa disadari matematika

diperlukan orang dalam kehidupan sehari-hari. Di tingkat pendidikan dasar, mata

pelajaran matematika bertujuan untuk mengembangkan kemampuan

berkomunikasi dengan menggunakan bilangan dan simbol-simbol serta ketajaman

penalaran sehingga dapat membantu memecahkan masalah matematika maupun

permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya di SD ditekankan agar

peserta didik mengenal, memahami serta mahir menggunakan bilangan dalam

kaitannya dengan kebutuhan praktis dalam kehidupan sehari-hari. Di SMP, pada

peserta didik ditekankan proses abstraksi kuantitatif dalam bentuk aljabar dan

geometri sederhana. Sedangkan di SMA ditekankan menggunakan perbandingan,

fungsi, persamaan dan identitas trigonometri dalam pemecahan masalah sehari-

hari (Depdiknas, 2003: 9).

Oleh karena itu pembelajaran matematika sekolah haruslah dapat

membuat peserta didik dapat menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-

hari. Jadi matematika sekolah haruslah aplikatif. Mengikut pendapat Polya pada

sub bab sebelumnya, pengembangan matematika dengan penalaran induktif atau

dimulai dengan hal konkrit adalah diperlukan. Pembelajaran matematika yang

dimulai dengan deduktif aksiomatis menurut Fadjar Shadiq (2004: 10)

sesungguhnya telah mengingkari proses bertumbuh dan berkembangnya

Page 6: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

12

matematika. Matematika sekolah seharusnya mengikuti proses didapatkannya

matematika oleh para matematikawan. Peserta didik dituntun atau difasilitasi

untuk belajar sehingga dapat menemukan kembali (reinvent) atau mengkonstruksi

kembali (reconstruct) pengetahuannya. Selain itu, menurut Shultz dalam Lisa

(2007: 5), pembelajaran ide dan konsep matematika berdasarkan kehidupan

sehari-hari dapat merangsang keingintahuan intelektual peserta didik.

Akan tetapi perlu diingat bahwa tidak berarti pembelajaran matematika

direduksi hanya sebatas soal cerita, menafsirkan soal cerita tersebut, kemudian

memodelkannya, sehingga dapat disebut ‘matematika konteks nyata’. Haruslah

tetap ada keseimbangan antar ‘ide’ matematika sebagai pemecah masalah

(masalah di luar matematika) dan sebagai ilmu deduktif yang mempunyai hukum

dan aturannya sendiri (Humenberger, 2000: 1-2).

3. Sekolah Islam

Sekolah Islam merupakan salah satu dari tiga jenis lembaga pendidikan

Islam di Indonesia. Dua yang lain yaitu pesantren dan madrasah adalah jenis

lembaga pendidikan Islam yang berkembang lebih awal.

Pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan tertua di Indonesia

dan sejarahnya telah mengakar secara berabad-abad. Kata ‘pesantren’

mengandung pengertian sebagai tempat para santri atau murid pesantren,

sedangkan kata ‘santri’ diduga berasal dari istilah sansekerta “sastri” yang berarti

“melek huruf”, atau dari bahasa Jawa “cantrik” yang berarti orang yang mengikuti

gurunya kemanapun pergi. Dari sini dapat dipahami bahwa pesantren setidaknya

memiliki tiga unsur, yakni; Santri, Kyai dan Asrama (pondok) (Hamidah dalam

Arief Efendi, 2008: 3).

Madrasah adalah perkembangan dari pesantren. Madrasah mengalami

perubahan tidak menggunakan sistem pendidikan yang sama dengan pendidikan

Islam pesantren. Karena madrasah mulai memasukkan pelajaran-pelajaran umum

dan metode yang digunakan tidak lagi dengan metode sorogan atau bandongan,

melainkan mengikuti sistem pendidikan modern dengan model klasikal. Dengan

Page 7: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

13

demikian, madrasah merupakan sub sistem pendidikan pesantren, semisal yang

dilakukan di Tebu Ireng. Pembaharuan sistem tersebut menyebar ke beberapa

pesantren semisal di Kediri, Demak, Kudus, Cirebon dan Banten. (Muhaimin

dalam Arief Efendi, 2008: 6).

Perkembangan pendidikan Islam yang mencolok terjadi pada tahun 1990-

an. Yaitu dengan munculnya sekolah-sekolah Islam. Sekolah-sekolah itu mulai

menyatakan diri secara formal dan diakui oleh kalangan Muslim sebagai “sekolah

unggulan” atau sekolah Islam unggulan. Sekolah Islam unggulan tersebut seakan

menjawab tuntutan modernisasi sistem pendidikan Islam (Zoher dalam Arief

Efendi. 2008: 8).

Sedangkan pengertian sekolah Islam, termasuk sekolah Islam terpadu, itu

sendiri menurut Alaydroes dalam Arief Efendi (2008: 8) yaitu sekolah yang

memasukkan nilai-nilai Islam dari berbagai saluran. Baik saluran formal dalam

arti pembelajaran agama, dan semua mata pelajaran bernuansa Islami, apakah itu

IPA, Matematika, Geografi, PMP, itu semua harus dikaitkan dengan nilai-nilai

spritual, nilai-nilai Illahiah. Kemudian yang kedua, merekrut guru-guru yang

punya visi dan ideologi yang sama, mereka tidak diperkenankan merokok,

berakhlak karimah, dan bisa menjadi teladan. Selain itu, perilaku ibadah anak-

anak juga dibentuk, lewat sholatnya atau doa-doanya dan diupayakan untuk

mengikuti sunnah.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa matematika tidak dipelajari

di pesantren, akan tetapi dipelajari di madrasah dan sekolah Islam sebagaimana di

sekolah umum. Bedanya bahwa pembelajaran matematika di sekolah umum tidak

memperhatikan nilai-nilai Islam. Sedangkan pembelajaran matematika di

madrasah hanya sedikit diintegrasikan dengan nilai-nilai Islam dan sistem

pembelajarannya lebih konvensional dibandingkan dengan pembelajaran

matematika di sekolah Islam. Jadi pembelajaran matematika di sekolah Islam

harus mengikuti prinsip-prinsip pembelajaran matematika sekolah, ditambah

mengikuti prinsip-prinsip Islam, serta mengacu pada teori pembelajaran terkini.

Page 8: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

14

4. Islamisasi Pembelajaran Matematika Sekolah di Sekolah Islam

Islam sebagai mabda (prinsip ideologis) yang mengatur seluruh aspek

kehidupan (Taqiyyuddin an-Nabhani, 2006: 106) tidak hanya mengatur masalah

ibadah spiritual, tetapi juga mengatur hubungan-hubungan yang terjadi dalam

masyarakat, termasuk pendidikan dan sains.

Karena nilai-nilai Islam yang menyeluruh tersebut sudah tertanam pada

seluruh aspek kehidupan kaum Muslim sejak lama dan semuanya sama di hadapan

agama, maka Taqiyyuddin an-Nabhani (2006: 106) berpendapat bahwa Islam

tidak membedakan istilah rohaniawan ataupun teknokrat. Islam juga tidak

membedakan istilah-istilah keilmuan dengan embel-embel Islam karena ilmu yang

bersifat netral otomatis diislamisasi dalam diri individu kaum Muslimin sendiri.

Karenanya, istilah-istilah seperti sains Islam, islamisasi matematika, dan

matematika Islam baru muncul dewasa ini untuk membedakannya dengan sains

dan matematika yang tidak berdasarkan Islam dan atau sains dan matematika yang

tidak hidup di masa kejayaan Islam.

Istilah sains Islam menurut Osman Bakar (2008) pertama kali

dikemukakan oleh Seyyed Hossein Nasr, dalam tesis doktoralnya dalam bidang

kosmologi Islam Departemen Sejarah Sains, Universitas Harvard, pada tahun

1958. Tesis tersebut dipublikasikan oleh Harvard University Press pada tahun

1960. Nasr menggunakan istilah “Islamic science” (sains Islam) untuk merujuk

pada sains pada masa peradaban Islam. Akan tetapi dia tidak memahaminya hanya

sebagai salah satu sains di masa lalu, suatu realitas dalam sejarah Islam.

Sains Islam menurut Nasr adalah sebuah tradisi yang hidup dan bertahan

dari gempuran sains dan teknologi modern dalam hal pembelajaran dan

praktiknya. Sains Islam ini memiliki aspek sejarah, meliputi pengaruhnya yang

kuat bagi Islam dan Barat. Akan tetapi tidak hanya itu, Sains Islam juga

mempunyai prinsip yang langgeng yang dapat digunakan dalam perkembangan

sains di setiap masa. Dengan kata lain, pada prinsipnya, sangatlah mungkin untuk

menciptakan sains Islam yang baru baik sekarang atau di masa depan (Osman

Bakar: 2008).

Page 9: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

15

Dengan semangat serupa, Adi Setia (2008: 8) mendefinisikan istilah

Islamisasi matematika seperti berikut ini.

Islamisasi matematika adalah sebuah “simbiosis” antara matematika dan sistem peraturan dalam Islam. Matematika sebagai suatu hasil yang objektif dan kuantitatif membentuk nilai-nilai kognitif dan etik matematikawan Muslim yang sangat peduli untuk memahamkan dan menghidupkan visi Islam tentang kebenaran dan realitas baik dalam kehidupan pribadi maupun professional mereka.

Sedangkan istilah matematika Islam sendiri telah banyak diartikan

berbeda, akan tetapi sebagian besar merujuk pada matematika yang berkembang

di masa kejayaan Islam. Di dalam artikel yang dikeluarkan oleh Center for South

Asian and Middle Eastern Studies, University of Illinois at Urbana-Champaign

disebutkan bahwa matematika Islam adalah istilah yang digunakan untuk merujuk

pada matematika yang ada di dunia Islam pada abad 8 hingga abad 13

(http://www.csames.illinois.edu/documents/outreach/Islamic_Mathematics.pdf).

Di dalam Wikipedia, The Free Encyclopedia, matematika Islam adalah

matematika yang berkembang dan tersebar pada masa peradaban Islam.

Agar tidak rancu, pada penelitian ini, yang dimaksud dengan Islamisasi

pembelajaran matematika sekolah adalah integrasi antara nilai-nilai Islam, sebagai

landasan berpikir dan beraktivitas, dengan pembelajaran matematika sekolah,

sedemikian sehingga di dalam proses pembelajaran tersebut tidak ada lagi nilai-

nilai yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Matematika Islam di sini diambil

sebagai bagian dari sejarah matematika dan merupakan salah satu dari banyak

cara dalam rangka Islamisasi pembelajaran matematika sekolah.

Nilai-nilai Islam yang dimaksud dalam rangka Islamisasi pembelajaran

matematika sekolah salah satunya adalah pemberian sejumlah motivasi dan

guideline oleh Islam dalam pencarian ilmu. Islam memberikan motivasi pencarian

ilmu yakni dengan hadits-hadits seperti “Mencari ilmu itu hukumnya fardhu atas

muslim laki-laki dan muslim perempuan”, “Carilah ilmu dari buaian sampai liang

lahad”, “Carilah ilmu, walaupun sampai ke negeri Cina”, dan sebagainya.

Page 10: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

16

Sesuai dengan pembagian dalam filsafat ilmu secara umum (ontologi,

epistemologi, aksiologi) menurut Fahmi Amhar (2006), guideline Islam meliputi

yang dijelaskan berikut ini.

Ontologi menyangkut masalah mengapa suatu hal perlu dipelajari atau

diteliti. Qur’an memuat cukup banyak ayat-ayat yang merangsang pembacanya

untuk menyelidiki alam, seperti “Apakah tidak kalian perhatikan, bagaimana unta

diciptakan, atau langit ditinggikan, …” (TQS. al-Ghasiyah 17-18). Maka tidak

heran ilmuwan Muslim menemukan teori-teori trigonometri bidang datar, sferis,

dan analitis yang dapat diaplikasikan ke bidang astronomi.

Kaidah “Ma laa yatiimul waajib illaa bihi, fahuwa wajib” (Apa yang

mutlak diperlukan untuk menyempurnakan sesuatu kewajiban, hukumnya wajib

pula) juga memiliki peran yang besar. Maka ketika kaum Muslimin melihat

bahwa untuk menyempurnakan jihad melawan adikuasa Romawi memerlukan

angkatan laut yang kuat, maka mereka – berpacu dengan waktu – mempelajari

teknik perkapalan, navigasi dengan astronomi maupun kompas, mesiu, dan

sebagainya.

Dengan ontologi syariah ini, kaum Muslim di masa lalu berhasil

mendudukkan skala prioritas pembelajaran dan penelitian secara tepat, sesuai

dengan ahkamul khomsah (hukum yang lima: wajib-sunnah-mubah-makruh-

haram) dari perbuatannya.

Epistemologi menyangkut metode suatu ilmu dipelajari. Epistemologi

Islam menekankan bahwa suatu ilmu harus dipelajari tanpa melanggar satu hukum

Islam pun. Maka beberapa eksperimen dilarang, karena bertentangan dengan

Islam, misalnya kloning manusia.

Di sisi lain, ilmu dipelajari dengan mempraktekkannya. Karena itu, ilmu

seperti sihir menjadi haram dipelajari, karena konteks epistemologinya adalah

dipelajari sambil dipraktekkan. Namun di sisi lain, ilmu-ilmu seperti kedokteran,

fisika, namun juga ilmu sosiologi atau hukum (fiqh) menjadi tumbuh pesat karena

setiap yang mempelajarinya punya gambaran yang jelas bagaimana nanti ilmu itu

digunakan.

Page 11: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

17

Sedang aksiologi menyangkut bagaimana suatu ilmu diterapkan. Ilmu

atau teknologi adalah netral, sedang akibat penggunaannya tergantung pada

peradaban manusia / masyarakat yang menggunakannya. Pada masyarakat muslim

penggunaan teknologi dibatasi hukum Islam. Teknologi hanya akan digunakan

untuk memanusiakan manusia, bukan memperbudaknya.

Nilai-nilai Islam yang lain yaitu pengaturan tentang perkembangan sains

dan matematika serta pendidikan dan pembelajarannya.

Perkembangan sains dan matematika pada umat Islam tak lepas dari

dorongan Islam agar manusia berpikir secara rasional tentang manusia, alam

semesta, dan kehidupan, sehingga tidak menjadi penganut buta dari generasi-

generasi sebelumnya (Al-Khilafah Publications, 2002: 14). Metode berpikir

rasional sangat berpotensi untuk menumbuhkan pemikiran-pemikiran orisinal

karena identik dengan fakta akal itu sendiri, dan tidak akan keluar dari fakta ini

sedikitpun. Karenanya berpikir dengan metode rasional telah menjadi landasan

berpikir menurut Islam, dan bukan metode ilmiah yang tidak dapat menumbuhkan

pemikiran-pemikiran yang tercipta baru (orisinal) (Taqiyyuddin an-Nabhani,

2003: 37).

Sedangkan akal itu sendiri adalah penafsiran fakta dengan sudut pandang

tertentu. Caranya adalah dengan memindahkan penginderaan terhadap fakta

melalui panca indera ke dalam otak yang diserta dengan adanya informasi-

informasi terdahulu yang akan digunakan untuk menafsirkan fakta tersebut

(Taqiyyuddin an-Nabhani, 2003: 25).

Artinya, unsur-unsur yang harus ada dalam aktivitas berpikir adalah

fakta, indera, informasi awal, serta otak. Sedangkan fakta yang dihukumi itu

sendiri ada dua. Pertama: fakta yang bersifat inderawi, dengan wujud dan materi

yang bisa diindera. Kedua: fakta non-inderawi; wujudnya ada, tetapi secara

materi tidak bisa diindera. Terhadap fakta yang pertama, akal manusia memang

bisa langsung menghukuminya, karena keempat komponen akal yang dibutuhkan

dalam berpikir secara simultan bisa dihadirkan (Mohammad Maghfur Wachid

dalam Majalah al-Wa’ie, Februari 2004).

Page 12: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

18

Sedangkan untuk pengaturan pendidikan, pendidikan Islam menurut

Taqiyyuddin an-Nabhani (2006: 189) harus memenuhi prinsip:

a. Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan Islam. Mata pelajaran serta

metodologi penyampaian pelajaran seluruhnya disusun tanpa adanya

penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut.

b. Pengaturan pendidikan adalah untuk membentuk pola pikir dan pola jiwa

Islami. Seluruh mata pelajaran disusun berdasarkan dasar strategi tersebut.

c. Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam serta

membekalinya dengan berbagai ilmu dan pengetahuan yang berhubungan

dengan kehidupan. Metode penyampaian pelajaran dirancang untuk

menunjang tercapainya tujuan tersebut. Setiap metodologi yang tidak

berorientasi pada tujuan tersebut dilarang.

Dari uraian di atas, dengan semakin berkembangnya teori pendidikan,

maka guru pada sekolah Islam perlu memilih metode dan atau pendekatan

pembelajaran matematika yang sesuai dengan karakteristik pembelajaran

matematika sekolah, Islam, dan pendidikan Islam. Yaitu pertama, bahwa metode

dan atau pendekatan pembelajaran matematika haruslah menitikberatkan pada

metode berpikir rasional (penggabungan antara metode deduktif dan induktif)

yang dibutuhkan untuk menciptakan pemikiran orisinal matematika. Metode dan

atau pendekatan pembelajaran tersebut haruslah mengoptimalisasi proses berpikir

peserta didik melalui pengoptimalan penggunaan unsur-unsur dalam berpikir.

Artinya, metode atau pendekatan tersebut dapat mengoptimalkan fungsi otak

(dengan memberi asupan otak yang cukup, baik materiil maupun non-materiil),

merangsang semua panca indera, cukup informasi awal, dan menghadirkan fakta

yang benar-benar dirasakan oleh peserta didik, baik inderawi maupun non-

inderawi. Selain itu, metode atau pendekatan tersebut dapat meningkatkan

kemampuan siswa dalam mengkaitkan informasi awal dengan fakta.

Kedua, metode atau pendekatan tersebut tidak hanya mengembangkan

kemampuan kognitif peserta didik, tetapi juga afektif (jika memungkinkan

psikomotorik) sehingga memungkinkan guru untuk membentuk pola pikir dan

pola sikap Islami mereka. Transfer kepribadian (pola pikir dan pola sikap) Islami

Page 13: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

19

dari guru ke peserta didik hanya terjadi jika ada interaksi yang intens pada saat

pembelajaran berlangsung maupun di luar itu. Khususnya pada saat pembelajaran

berlangsung, guru tidak sekedar memberi contoh penerapan matematika pada

permasalahan matematis. Akan tetapi juga memberi contoh penerapan matematika

dalam kehidupan sehari-hari yang sesuai dengan Islam.

Sejarah matematika Islam menjadi contoh yang bagus bagi guru untuk

diterapkan dalam metode dan atau pendekatan pembelajaran tersebut. Sejarah

matematika tidak saja ada karena suatu keniscayaan, tetapi ia juga penting karena

dapat memberi pengaruh pada perkembangan matematika dan pembelajaran

matematika (Sumardyono, 2004: 9). Melihat bagaimana matematika diciptakan

oleh matematikawan Muslim dahulu dapat memberi motivasi spiritual kepada

peserta didik serta memberi penggambaran bagaimana matematika diterapkan

untuk memecahkan dalam keseharian. Selain itu, sejarah matematika menekankan

pada pola pikir rasional. Peserta didik dibolehkan menggunakan bahasa dan

lambang matematikanya sendiri. Menurut Sumardyono (2004: 10), paradigma

semacam ini kini menjadi tren dalam pembelajaran matematika realistik atau

konstruktivis. Perkembangan matematika dalam diri individu (ontogeny) mungkin

saja mengikuti cara yang sama dengan perkembangan matematika itu sendiri

(phylogeny).

5. Pendekatan Pembelajaran Matematika

Ruseffendi dalam Joko Bekti Haryono (2005: 19) mendefinisikan bahwa

pendekatan pembelajaran adalah suatu jalan atau cara yang ditempuh oleh guru

atau peserta didik dalam pencapaian tujuan pembelajaran itu dikelola. Sama

dengan definisi sebelumnya, definisi pendekatan pembelajaran menurut Suherman

dalam Endang Sriningsih (2009: 20) adalah cara yang ditempuh guru dalam

pelaksanaan pembelajaran agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan

peserta didik.

Berdasarkan definisi di atas, pendekatan pembelajaran matematika boleh

jadi bermacam-macam. Yenni B. Widjaja dan Heck (2003: 5) serta Treffers dalam

Page 14: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

20

Üzel dan Mert Uyangör (2006: 1954) membedakan jenis pendekatan

pembelajaran matematika berdasarkan hadir atau tidaknya komponen

matematisasi horizontal dan vertikal, sebagaimana digambarkan pada Tabel 2.1

yang bersumber dari Freudenthal dalam Yenni B. Widjaja dan Heck (2003: 5)

serta Treffers dalam Üzel dan Mert Uyangör (2006: 1954) dan penjelasannya

sebagai berikut.

Tabel 2.1 Empat Tipe Pendekatan Pembelajaran Matematika

Keterangan: tanda – berarti bahwa tipe pendekatan tersebut tidak memperhatikan

matematisasi yang dimaksud, sedangkan tanda berarti bahwa tipe

pendekatan tersebut memperhatikan matematisasi yang dimaksud.

a. Pendekatan mekanistik yaitu pendekatan tradisional yang didasarkan pada

apa yang diketahui dari pengalaman sendiri (diawali dari yang sederhana ke

yang lebih kompleks). Pendekatan ini lebih menekankan hafalan

pengetahuan. Pendekatan ini tidak memberi perhatian pada proses tetapi

pada produk. Peserta didik dalam pendekatan ini dianggap sebagai mesin

sehingga dapat diprogramkan untuk mengerjakan hitungan atau algoritma

tertentu dalam menampilkan aljabar, membedakan dengan mengenali pola-

pola dan proses yang berulang-ulang. Akibatnya peserta didik cenderung

menghafalkan pengetahuan dan menggunakan rumus tanpa mengerti

bagaimana rumus itu diperoleh, mengapa rumus itu dapat dipakai untuk

memperoleh solusi suatu masalah. Pada pendekatan ini baik matematisasi

horizontal maupun vertikal tidak diperhatikan.

b. Pendekatan empiris yaitu suatu pendekatan dimana pada saat pembelajaran

peserta didik tidak diberikan konsep-konsep matematika. Mereka disediakan

berbagai material yang sesuai dengan kehidupan nyata, sehingga

Page 15: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

21

memperoleh kesempatan untuk mendapatkan pengalaman yang berguna.

Peserta didik diberi kesempatan melakukan perhitungan dengan

menggunakan benda seperti lidi atau biji-bijian atau membuat diagram atau

skema. Peserta didik diberi suatu soal cerita dan dilatih mengubahnya

menjadi suatu soal matematis dan peserta didik mengerjakan secara empiris.

Pada pendekatan ini matematisasi horizontal dominan digunakan, tetapi

matematisasi vertikal (yaitu dengan mensistemasikan dan merasionalkan

pengalaman yang telah didapat) tidak atau kurang diperhatikan.

c. Pendekatan strukturalistik yaitu pendekatan yang mulai dengan

mengenalkan keteraturan dan membuat struktur. Peserta didik tidak diberi

ruang untuk mulai dengan pendekatan informal dan umumnya pembelajaran

dirancang sedemikian rupa sehingga peserta didik sesegera mungkin

menggunakan struktur. Pada pendekatan ini matematisasi vertikal dominan

digunakan, tetapi matematisasi horizontal tidak diperhatikan.

d. Pendekatan realistik yaitu pendekatan yang dimulai dengan memberikan

kepada peserta didik masalah kontekstual atau realistik ( masalah dari dunia

nyata peserta didik atau yang dialami peserta didik atau dapat dibayangkan

peserta didik) yang disajikan dalam bentuk soal cerita atau gambar atau

dalam bahasa matematika. Peserta didik diberi kebebasan untuk menemukan

strategi sendiri dalam menyelesaikan masalah. Pada pendekatan ini peserta

didik dibimbing mengkonstruksi (menemukan) atau merekonstruksi

(menemukan kembali) pengetahuan matematika. Pada pendekatan ini baik

matematisasi horizontal maupun vertikal diperhatikan dan diterapkan.

Dari paparan di atas tampak bahwa pada matematisasi horizontal peserta

didik diberi perangkat pembelajaran matematika yang dapat menolongnya

menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Contoh

matematisasi horisontal adalah pengidentifikasian, perumusan, dan penvisualisasi

masalah dalam cara-cara yang berbeda, dan pentransformasian masalah dunia real

ke masalah matematika. 

Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam

sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar

Page 16: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

22

konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut.

Contoh matematisasi vertikal adalah representasi hubungan-hubungan dalam

rumus, perbaikan dan penyesuaian model matematik, penggunaan model-model

yang berbeda, dan penggeneralisasian. 

Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah

simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Meskipun

pengertian kedua jenis matematisasi tersebut tidak ambigu, akan tetapi

Freudenthal dalam Van den Heuvel-Panhuizen (2000: 4) menyatakan bahwa

perbedaan keduanya tidaklah begitu jelas dan dapat terjadi di semua tingkat

pemahaman yang berbeda-beda.

Kedua bentuk matematisasi ini seharusnya mendapat perhatian seimbang,

karena keduanya sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya

(Freudenthal dalam Van den Heuvel-Panhuizen, 2000: 4). Hal ini disebabkan oleh

pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang

artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan

“membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari

dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu (Van den Heuvel-

Panhuizen, 2000: 4, 2005: 2).

Dengan demikian, dalam tulisan ini, pendekatan pembelajaran

matematika adalah suatu cara yang ditempuh oleh guru dalam pelaksanaan

pembelajaran matematika agar konsep yang disajikan bisa beradaptasi dengan

peserta didik, dengan menggunakan pendekatan realistik.

6. Pembelajaran Matematika Realistik

Pendidikan matematika realistik atau realistic mathematics education

(RME) merupakan suatu pendekatan yang jarang diterapkan dalam bidang

pendidikan matematika khususnya di Indonesia. Secara operasional pendidikan

matematika realistik ditekankan pada pembelajarannya, sehingga RME tersebut

lebih dikenal sebagai pembelajaran matematika realistik (PMR) (Endang

Sriningsih, 2009: 24). Bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar

Page 17: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

23

ditentukan oleh pandangan Freudenthal tentang matematika. Menurutnya

matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak

dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai

kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer,

Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan.

Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk

“dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya.

Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai

kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus

pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Van den Heuvel-Panhuizen,

2000: 3).

Proses pembelajaran matematika realistik menggunakan masalah

kontekstual (contextual problems) sebagai titik awal dalam belajar matematika,

sebagai ganti dari pengenalan konsep dengan cara abstrak. Dengan demikian

proses pengembangan konsep-konsep dan gagasan-gagasan matematika bermula

dari dunia nyata. Dunia nyata ini tidak berarti konkret secara fisik dan kasat mata,

namun juga termasuk yang dapat dibayangkan oleh pikiran anak.

Dalam pembelajaran matematika realistik, peserta didik belajar membuat

model matematika dari masalah-masalah kontekstual. Proses ini disebut

matematisasi horizontal. Pada mulanya peserta didik memecahkan masalah secara

informal (menggunakan bahasa mereka sendiri). Tetapi setelah beberapa waktu,

setelah peserta didik akrab dengan proses-proses pemecahan yang serupa (melalui

simplifikasi dan formalisasi), mereka akan menggunakan bahasa yang lebih

formal dan diakhir proses peserta didik akan menemukan suatu algoritma disebut

matematisasi vertikal.

Berdasarkan proses matematisasi, proses pengembangan konsep-konsep

dan ide-ide matematika berawal dari dunia nyata, dan pada akhirnya kita juga

perlu untuk merefleksikan hasil-hasil yang diperoleh dalam matematika kembali

ke alam nyata.

Page 18: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

24

Gambar 2.1 Penemuan dan Pengkonstruksian Konsep

(IGP Suharta, 2005: 5)

Dari uraian di atas, karakteristik RME dapat dijabarkan dalam enam

prinsip yang dikemukakan oleh Van den Heuvel-Panhuizen (2000: 5-9) yaitu

sebagai berikut.

a. Prinsip Kegiatan

Peserta didik harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam

proses pengembangan seluruh perangkat pembelajaran yang diberikan dan

wawasan matematika sendiri. Dalam hal ini peserta didik dihadapkan situasi

masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut

dan mengembangkan secara bertahap algoritma, misalnya cara mengalikan dan

membagi berdasarkan cara kerja nonformal.

b. Prinsip Nyata

Matematika realistik harus memungkinkan peserta didik dapat

menerapkan pemahaman matematika dan perangkat pembelajaran

matematikanya untuk memecahkan masalah. Peserta didik harus mempelajari

Page 19: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

25

matematika sedemikian hingga bermanfaat dan dapat diterapkan untuk

memecahkan masalah sesungguhnya dalam kehidupan. Hanya dalam konteks

pemecahan masalah peserta didik dapat mengembangkan perangkat

pembelajaran matematika dan pemahaman matematika.

Gambar 2.2 berikut menunjukkan dua proses matematisasi yang

berupa siklus di mana “dunia nyata” tidak hanya sebagai sumber matematisasi,

tetapi juga sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali matematika. 

Gambar 2.2   Konsep Matematisasi

(De Lange dalam IGP Suharta, 2005: 2)

Dalam RME, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual

(“dunia nyata”), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman

sebelumnya secara langsung.  Proses penyarian (inti) dari konsep yang sesuai

dari situasi nyata dinyatakan oleh de Lange dalam IGP Suharta (2005) sebagai

matematisasi konseptual.  Melalui abstraksi dan formalisasi peserta didik akan

mengembangkan konsep yang lebih komplit.  Kemudian, peserta didik dapat

mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata

(applied mathematization). 

Perlu dicatat bahwa meski secara umum istilah “konteks” berkenaan

dengan masalah dalam kehidupan sehari-hari, akan tetapi ini tidak berlaku

untuk RME. Dalam RME, “realistik” berarti bahwa konteks dalam masalah

yang diajukan adalah dapat dibayangkan oleh peserta didik (Van den Heuvel-

Panhuizen, 2005: 2). Hal ini karena, sebagaimana telah disebutkan di atas,

Page 20: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

26

istilah realistik yang berasal dari bahasa Belanda “zich REALISEren” yang

berarti “membayangkan”.

c. Prinsip Bertahap

Belajar matematika artinya peserta didik harus melalui berbagai tahap

pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang

berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan

langsung dan pembuatan bagan; yang selanjutnya pada perolehan wawasan

tentang prinsip-prinsip yang mendasari dan kearifan untuk memperluas

hubungan tersebut.

Hal diatas berkaitan dengan penggunaan model-model (matematisasi).

Istilah model itu sendiri berarti model situasi dan model matematik yang

dikembangkan oleh peserta didik sendiri (self developed models).  Peran self

developed models merupakan jembatan bagi peserta didik dari situasi real ke

situasi abstrak atau dari matematika informal ke matematika formal.  Artinya

peserta didik membuat model sendiri dalam menyelesaikan masalah.  Pertama

adalah model  situasi yang dekat dengan dunia nyata peserta didik. 

Generalisasi dan formalisasi model tersebut akan  berubah menjadi model-of

masalah tersebut.  Melalui penalaran matematik model-of akan bergeser

menjadi model-for masalah yang sejenis.  Pada akhirnya, akan menjadi model 

matematika formal. Kondisi untuk sampai tahap berikutnya tercermin pada

kemampuan yang ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Refleksi ini dapat

ditunjukkan melalui interaksi.

Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat membimbing pertumbuhan

pemahaman matematika peserta didik dan mengarahkan hubungan longitudinal

dalam kurikulum matematika.

d. Prinsip Interaksi

Dalam matematika realistik belajar matematik dipandang sebagai

kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para

peserta didik untuk saling berbagi strategi dan penemuan mereka. Dengan

Page 21: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

27

mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini,

peserta didik mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya. Lagi pula

interaksi dapat menghasilkan refleksi yang memungkinkan peserta didik

meraih tahap pemahaman yang lebih tinggi.

e. Prinsip Saling Menjalin

Dalam RME pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial.

Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang yang

lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah.  Prinsip saling

menjalin ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik-

topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmatika, perkiraan (estimasi),

dan algoritma. Lebih jauh, dalam mengaplikasikan matematika, biasanya

diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika,

aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain (hingga di luar matematika).    

  

f. Prinsip Bimbingan

Guru maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting

dalam mengarahkan peserta didik untuk memperoleh pengetahuan. Mereka

mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang

harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui proses

hafalan. Peserta didik memerlukan kesempatan untuk membentuk wawasan

dan perangkat pembelajaran matematikanya sendiri, karena itu guru harus

memberikan lingkungan pembelajaran yang mendukung berlangsungnya

proses tersebut. Artinya mereka harus dapat meramalkan bila dan bagaimana

mereka dapat mengantisipasi pemahaman dan keterampilan peserta didik

untuk mengarahkannya mencapai tujuan pembelajaran.

Dalam hal ini perbedaan kemampuan peserta didik harus diperhatikan,

sehingga setiap peserta didik mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan

pengetahuannya dengan cara yang paling cocok untuk mereka masing-masing.

Page 22: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

28

Dari enam prinsip di atas, terlihat bahwa kompetensi yang dimiliki

peserta didik melalui matematika realistik, selain dari kompetensi disiplin ilmu,

juga kompetensi memproduksi, merefleksikan dan berinteraksi. Hal ini sesuai

dengan tiga pilar pendidikan matematika yaitu refleksi, konstruksi dan narasi.

Melalui bidang ilmunya kompetensi yang dibangun peserta didik matematika

realistik adalah berpikir formal, sedangkan melalui proses belajarnya kompetensi

yang dicapai adalah memproduksi, merefleksi dan berinteraksi. Melalui

pemecahan masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari peserta didik diberi

kesempatan untuk memproduksi sendiri pemahaman dan perangkat pembelajaran

matematikanya. Selanjutnya melalui presentasi temuannya di antara peserta didik

dalam dan antar kelompok, semua peserta didik dapat berbagi pengalaman. Setiap

orang yang berdiskusi dalam kelompok tersebut dapat merefleksikan temuannya

sendiri. Sekaligus dalam diskusi juga dikembangkan kemampuan berinteraksi di

antara sesama peserta didik, sehingga kemampuan-kemampuan sosial dapat

dikembangkan.

B. Penelitian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan dengan penelitian yang akan

dilaksanakan adalah:

1. Penelitian Agus Budi Hartono (2009) berjudul: “Pengembangan Skenario

Pembelajaran Matematika yang Menumbuhkan Kecerdasan Emosional dan

Kecerdasan Spiritual Peserta Didik”. Penelitian kualitatif ini telah berhasil

merancang skenario pembelajaran matematika yang menumbuhkan kecerdasan

emosional dan spiritual yang feasible, berjalan dengan baik, dan diterima baik

oleh peserta didik. Persamaan penelitian ini dengan penelitian yang akan

dilaksanakan adalah sama-sama mengembangkan pembelajaran yang dapat

menumbuhkan kecerdasan spiritual. Perbedaannya yaitu metode pembelajaran

yang digunakan pada penelitian tersebut adalah kombinasi pembelajaran

kooperatif tipe TPS, model PQ4R, metode Quantum Teaching, dan flow.

Page 23: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

29

Sedangkan penelitian yang akan dilakukan menggunakan pendekatan

pembelajaran matematika realistik.

2. Penelitian Dian Armanto (2002) yang berjudul: “Teaching Multiplication and

Division Realistically in Indonesian Primary Schools: A Prototype of Local

Instructional Theory”. Penelitian ini menghasilkan perangkat pembelajaran

yang valid, praktis, dapat diterapkan, dan efektif. Persamaan penelitian ini

dengan penelitian yang akan dilaksanakan adalah sama-sama mengembangan

pembelajaran matematika realistik. Sedangkan perbedaannya adalah

pengembangan pembelajarannya tidak berbasis SQ.

C. Kerangka Berpikir

Dari kajian teori dan penelitian yang relevan didapatkan bahwa

matematika merupakan buah pikir rasional manusia, sehingga mempunyai segi

ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Artinya, meski secara epistemologi

matematika berkenaan dengan ide-ide atau konsep-konsep abstrak yang tersusun

secara hierarkis dan penalarannya menggunakan sistem deduktif serta konsisten

dalam sistemnya, akan tetapi dalam proses terjadinya matematika pada diri

seseorang, penalaran induktif tetap diperlukan. Selain itu, matematika secara

epistemologi adalah bebas nilai karena simbol-simbolnya yang kosong dari arti.

Akan tetapi, secara filsafat ilmu ontologi dan aksiologi, matematika tidaklah

bebas nilai karena tergantung pada ideologi praktisinya.

Di sisi lain, dalam pendidikan, guru dituntut untuk mengembangkan

pembelajaran yang sesuai dengan tingkat perkembangan fisik, intelektual,

emosional, sosial, dan spritual peserta didik. Artinya, guru harus mengoptimalkan

potensi peserta didik yang dibawa sejak lahir, yakni EQ, IQ, dan SQ.

Karenanya, matematika sekolah seharusnya dipelajari tidak hanya dari

segi epistemologinya (yang notabene mengasah fisik dan intelektual), akan tetapi

juga dari segi ontologi dan aksiologi (yang notabene mengasah perkembangan

emosi, sosial, dan spiritual). Yaitu bahwa pembelajaran matematika sekolah

haruslah dapat mengungkap mengapa suatu materi harus dipelajari agar dapat

Page 24: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

30

memotivasi peserta didik untuk menyelesaikan suatu permasalahan dengan materi

tersebut. Akibatnya, peserta didik tahu bagaimana menerapkan materi yang telah

dipelajarinya dalam kehidupan sehari-hari. Inilah yang disadari ada pada

pendekatan pembelajaran matematika realistik.

Pendekatan pembelajaran matematika realistik (PMR) dengan prinsip

nyata, bertahap, dan saling menjalin disadari merupakan usaha untuk mengasah

perkembangan intelektual peserta didik. Sedangkan prinsip kegiatan, interaksi,

dan bimbingan yang ada pada PMR diharapkan dapat mengasah perkembangan

emosi dan sosial peserta didik. Akan tetapi PMR belum dapat mengasah

perkembangan spiritual (SQ) peserta didik. Padahal SQ sangat penting untuk

landasan pencapaian IQ dan EQ yang lebih baik.

Pendidikan dan pembelajaran berbasis SQ (dalam hal ini Islam), yang

diterapkan oleh sekolah Islam, menyediakan panduan sesuai dengan filsafat ilmu.

Secara ontologi, Islam memberi motivasi untuk menuntut ilmu, termasuk

matematika. Islam juga memberi motivasi untuk mengembangkan matematika

dengan menjadikan metode rasional sebagai landasan berpikir. Hal ini sesuai

dengan proses terjadinya matematika dan menjadi paradigma pembelajaran

realistik. Secara epistemologi, Islam menekankan pembelajaran matematika untuk

diterapkan, sehingga bagaimana penerapan matematika (aksiologi) juga telah

diberikan panduan. Penerapan matematika ini juga menjadi dasar paradigma

PMR.

Dari uraian di atas, disadari bahwa menjadikan SQ sebagai landasan

dalam pelaksanaan PMR tidak akan menjadikan penghalang bagi pelaksanaan

PMR itu sendiri. Sebaliknya, potensi SQ peserta didik yang semula tidak dicakup

dalam PMR akan semakin terasah.

PMR berkonteks sekolah Islam (yang selanjutnya disebut PMR berbasis

SQ atau disingkat PMRS) ini kemudian diuji coba untuk dianalisis apakah

pengembangan PMR tersebut valid, praktis, dan efektif. Model yang digunakan

dalam mengembangkan PMR, mengujicoba, serta menganalisisnya adalah model

Plomp.

Kerangka berpikir di atas digambarkan seperti Gambar 2.3 di bawah ini.

Page 25: tinjauan pustaka penelitian pengembangan pendidikan matematika

Ontologi

Epistemologi

Aksiologi

Matematika

Peserta Didik

IQ

EQ

SQ

PMR

PMR Berbasis SQ

(PMRS)

Uji Coba

Valid

Praktis

Efektif

Optimalisasi IQ, EQ, dan SQ Peserta Didik

Metode Rasional

31

Gambar 2.3 Kerangka Berpikir Pengembangan PMRS