tentang lagu dan musik

Upload: amir

Post on 02-Mar-2016

55 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Subject:

TENTANG LAGU DAN MUSIKOleh: Ahmad Mudzoffar JufriAlhamdulillah, wash-shalaatu was-salaamu alaa Rasulillah, Amma badu:Masalah lagu, nyanyian dan musik termasuk masalah yang pelik dan dilematis. Dan kepelikan serta dilemanya terletak pada sulit dan tidak mudahnya mengambil sikap pertengahan yang proporsional antara pendapat jumhur ulama salaf dan ulama fiqih madzhab yang jenderung mengharamkan seluruh jenis lagu dan nyanyian, apalagi yang disertai iringan musik, dengan realita di lapangan kehidupan (khususnya sekarang) dimana fenomena lagu dan musik hampir tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat modern. Sementara itu ada sebagian ulama baik dari generasi salaf (seperti Imam Ibnu Hazm Adz-Dzahiri rahimahullah) maupun dari generasi ulama kontemporer (seperti Dr. Yusuf Al-Qardhawi hafidzahullah), yang menghalalkan lagu dan musik dengan syarat-syarat tertentu yang sulit diterapkan pada realita mayoritas lagu-lagu dan musik-musik yang ada saat ini. Sedangkan wilayah pengecualian (yang dihukumi boleh dan ditolerir) yang disebutkan oleh para ulama salaf dan ulama fiqih madzhab sangat sempit sekali, yakni hanya berupa nyanyian-nyanyian dan lagu-lagu dengan mendendangkan bait-bait syair dan puisi khusus pada momen-momen kegembiraan, seperti resepsi pernikahan dan hari raya. Dan itupun dengan syarat tanpa iringan musik apapun kecuali rebana saja, serta yang melakukannya pun hanya para budak wanita dan kaum perempuan (tentu juga untuk kalangan komunitas perempuan saja), sebagaimana yang ada dalam beberapa riwayat.Jumhur ulama salaf dan ulama fiqih madzhab yang mengharamkan lagu dan musik itu berdalil dengan beberapa dalil, antara lain sebagai berikut: Firman Allah (yang artinya): Dan diantara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang tidak berguna/kata-kata hiburan (lahwul hadiits) untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa ilmu pengetahuan, dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan (QS. Luqman [31]: 6). Dan sebagian sahabat (antara lain Ibnu Masud dan Ibnu Abbas radhiyallahu anhum) menafsirkan kata lahwul hadits (perkataan yang tidak berguna/kata-kata hiburan) di dalam ayat itu dengan arti lagu dan nyanyian. Jadi dijadikannya ayat tersebut sebagai dalil di dalam masalah ini adalah dengan tafsir dan pemahaman yang telah disebutkan tadi. Karena ada juga tafsir dan pemahaman selain itu. Fakta sejarah dan realita di lapangan kehidupan sejak dulu menunjukkan dan membuktikan bahwa, umumnya nyanyian, lagu dan musik diadakan dan dikonsumsi di kalangan komunitas orang-orang fasik dan di dalam acara-acara mereka saja. Ditambah lagi mayoritas lagu dan nyanyian mengandung kalimat-kalimat yang penuh penyimpangan, disamping suasana yang mengiringinya biasanya juga penuh dengan aroma kemaksiatan. Sementara itu lagu dan nyanyian, apalagi dengan iringan musik, tidak ada, tidak dikenal dan tidak dikonsumsi di kalangan orang-orang saleh di dalam majelis-majelis mereka. Fakta inilah yang menjadi salah satu faktor (dalil) yang melatarbelakangi kecenderungan para ulama salaf dan khalaf untuk mengharamkan lagu dan musik. Karena mayoritas lagu dan musik dengan demikian sudah identik dan lekat dengan kefasikan, penyimpangan dan orang-orang yang fasik serta menyimpang. Setidaknya menggunakan lagu, nyanyian dan musik dengan demikian bisa termasuk dalam kategori tasyabbuh (menyerupai dan meniru-niru) orang-orang kafir dan fasik. Padahal Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda (yang artinya): Barangsiapa yang meniru-niru dan menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka (HR. At-Tirmidzi). Oleh karena itu, kita dapati ungkapan dan atsar para ulama salaf sangatlah keras dan tegas. Imam Malik rahimahullah misalnya berkata tentang lagu dan nyanyian: Di tempat kami, (lagu dan nyanyian) itu hanya dilakukan oleh orang-orang fasik saja (Tafsir Al-Qurthubi: 14/55-56). Dan Imam Ahmad rahimahullah juga berkata (menjawab pertanyaan putra beliau Abdullah): Lagu dan nyanyian itu menumbuhkan kemunafikan di dalam hati, aku tidak menyukainya (Ighaatsatul-Lahfaan oleh Ibnul Qayyim: 1/245). Adapun tentang keharaman musik dan iringan musik, maka dalilnya adalah hadits (yang artinya): Sungguh akan ada diantara ummatku orang-orang yang menghalalkan zina, sutera (bagi laki-laki), minuman khamr (minuman keras) dan alat-alat musik... (HR. Al-Bukhari, yang meskipun merupakan hadits muallaq [tanpa sanad lengkap], namun dihukumi shahih oleh para ulama, karena Imam Al-Bukhari meriwayatkannya dengan menggunakan shighatul jazm (bentuk kata yang memberi makna keyakinan dan kepastian).Itulah antara lain dalil-dalil para ulama salaf dan khalaf yang mengharamkan nyanyian, lagu dan musik. Adapun beberapa ulama lain yang membolehkan, maka dalil dan dasar mereka antara lain sebagai berikut:

Menurut para ulama ini, tidak ada satu dalilpun yang shahih (benar dan diterima) dan sekaligus sharih (jelas dan tegas) tentang larangan dan keharaman lagu serta musik. Dalil-dalil yang ada antara yang shahih tapi tidak sharih, atau yang sharih tapi tidak shahih, atau tidak dua-duanya: tidak shahih dan sekaligus tidak sharih. Karenanya mereka mengembalikan masalah ini kepaada hukum asal, yakni boleh, berdasarkan kaidah: Asal hukum segala sesuatu adalah boleh. Tentu saja mereka menolak dalil-dalil yang disebutkan oleh jumhur ulama yang mengharamkan, seperti tentang tafsir QS. Luqman ayat 6 itu, juga hadits Al-Bukhari yang muallaq itu, dan lain-lain, semuanya mereka tolak. Imam Ibnu Hazm mengatakan: Semua riwayat tentang keharaman lagu dan musik adalah batil dan palsu. Dan Imam Abu Bakr ibnul Arabi juga mengatakan: Tidak ada satu dalil pun yang sahih tentang pengharaman lagu (dikutip oleh Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam kitab beliau Al-Halaal wal-Haraam [Halal dan Haram dalam Islam] hal.275, Faataawaa Muaashirah [Fatwa-Fatwa Kontemporer] jilid I hal. 690-691 juga jilid II hal. 485, dan Al-Islam Wal-Fann [Islam dan Seni] hal. 42-43). Hadits Aisyah radhiyallahu anha tentang dua budak wanita yang bernyanyi-nyanyi dan memukul rebana di rumah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pada hari-hari Mina (hari raya Iedul Adha), lalu dihardik oleh Abu Bakar radhiyallahu anhu seraya berkata: Apakah seruling syetan (maksudnya lagu dan nyanyian) ada di rumah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam? Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Biarkanlah keduanya wahai Abu Bakar, karena ini adalah hari raya (HR. Muttafaq alaih). Hadits Aisyah radhiyallahu anha, bahwa beliau mengantarkan seorang mempelai wanita kepada lelaki Anshar (yang menikahinya), lalu Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: Hai Aisyah apakah tidak ada suatu hiburanpun bersama mereka? Karena kaum Anshar itu menyukai hiburan (HR. Al-Bukhari). Dan dalam riwayat lain dari Ibnu Abbas radhiyallahu anhuma, disebutkan sabda Rasulullah sahallallahu alaihi wasallam: Apakah bersamanya (mempelai wanita) sudah kalian utus orang yang bernyanyi? Aisyah menjawab: Tidak. Lalu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya kaum Anshar adalah kaum yang menyukai hiburan, maka alangkah baiknya jika kalian utus bersamanya orang yang menyanyikan: Kami telah datang! Kami telah datang! ... Selamat untuk kami! Selamat untuk kalian! (HR. Ibnu Majah).

Itulah sebagian dalil dan hujjah para ulama yang membolehkan nyanyian, lagu dan musik. Namun disamping itu masih ada beberapa syarat dan rambu yang harus diperhatikan di dalam mempraktekkan hukum boleh tersebut, antara lain (seperti yang disebutkan Dr. Yusuf Al-Qardhawi dalam Al-Halaal wal-Haraam [Halal dan Haram dalam Islam] hal.276, Fataawaa Muaashirah [Fatwa-Fatwa Kontemporer] jilid I hal. 691-692 juga jilid II hal.492-494, dan Al-Islam Wal-Fann [Islam dan Seni] hal. 57-62), sebagai berikut: Syair, isi dan tema lagu haruslah benar, baik, sesuai dengan ajaran Islam dan tidak mengandung hal-hal dan makna-makna yang menyimpang dan terlarang (misalnya tema-tema kemaksiatan, pergaulan bebas, percintaan [seperti umumnya tema lagu-lagu sekarang], dan semacamnya).

Lalu cara pembawaan suatu lagu (oleh penyanyinya) dan siapa yang membawakannya, serta jenis musik yang mengiringinya juga mempunyai pengaruh dan peran yang besar. Mungkin saja tema lagu tidak bermasalah, tapi jika dibawakan oleh penyanyinya, dengan cara-cara (misalnya desahan suara, gerakan tubuh, tari-tarian dan lain-lain) yang mengundang syahwat, membangkitkan birahi, melahirkan hayalan-hayalan dan semacamnya, maka hukumnya menjadi haram, atau syubhat, atau minimal makruh! Dan dengan syarat dan rambu ini, otomatis setiap lagu yang dibawakan oleh penyanyi perempuan bisa termasuk dalam kategori yang terlarang, kecuali jika dipastikan hanya untuk pendengar perempuan saja! Begitu pula hukum larangan bisa disebabkan karena pertimbangan faktor sosok penyanyi, jenis atau aliran musik dan grup musik tertentu, yang memang tidak bisa atau tidak sepatutnya ditolerir. Pembawaan lagu tidak disertai oleh sesuatu yang haram, seperti minuman keras, tampilan tabarruj , ikhtilath (percampuran) yang bebas tanpa batas antara laki-laki dan perempuan, dan pelanggaran-pelanggaran semacam lainnya. Penggunaan dan pengonsumsian lagu juga harus dibatasi dengan satu syarat penting, yaitu tidak adanya unsur ghulu dan berlebih-lebihan. Karena segala sesuatu yang berlebih-lebihan, meskipun semula mubah, adalah terlarang.

Disamping yang telah disebutkan diatas, masih ada hal-hal dan faktor-faktor lain yang terkait dengan kondisi tiap-tiap orang. Yakni ada hal-hal dan faktor-faktor khusus pada lagu atau sebagian jenis lagu, atau sebagian jenis suara, atau sebagian penyanyi, atau faktor lainnya lagi, yang bisa memberikan pengaruh dan dampak negatif tertentu pada sebagian orang. Maka dalam kondisi seperti itu, wajiblah bagi yang bersangkutan untuk menjauhi segala yang bisa menimbulkan pengaruh negatif pada dirinya tersebut, meskipun pengaruh yang sama tidak terjadi pada semua orang.Nah, demikianlah gambaran umum tentang masalah nyanyian, lagu dan musik: tentang dalil-dalilnya, tentang khilafiyat-nya dan tentang realitanya. Cukup rumit, pelik dan dilematis! Namun, baiklah berikut ini kami coba memberikan kesimpulan tentang bagaimana sebaiknya kita bersikap dalam masalah ini. Pertama: Sebagai pilihan pribadi, khususnya bagi para aktivis dakwah yang dituntut untuk menjadi contoh dan teladan, sudah semestinya mengambil sikap ihtiyath (kehati-hatian) dan khuruj minal-khilaf (menghindari perselisihan) dalam masalah yang dilematis ini. Yakni dengan memilih dan mentarjih pendapat jumhur ulama salaf dan khalaf yang mengharamkan musik dan lagu khususnya yang diiringi musik, dengan tiga alasan utama. Pertama, karena itu merupakan pendapat jumhur ulama yang bahkan hampir menjadi ijma. Kedua, Realita di lapangan yang tidak terpungkiri bahwa, sejak dulu sampai sekarang mayoritas musik dan lagu tidak bisa dipisahkan dan dilepaskan dari nuansa kemaksiatan, kefasikan dan komunitas orang-orang fasik, dan Barangsiapa yang meniru-niru dan menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk dari golongan mereka (HR. At-Tirmidzi). Ketiga, mayoritas syarat dan rambu tentang kebolehan mengonsumsi lagu dan musik, seperti yang telah disebutkan diatas, tidak realistis dan sangat sulit untuk diterapkan pada realita lagu dan musik saat ini. Karena mayoritas lagu dan musik yang ada sejak awal sudah tidak sesuai dengan syarat-syarat dan rambu-rambu tersebut.

Kedua: Ditolerir dan dibenarkan penggunaan dan pengonsumsian lagu tanpa iringan musik kecuali rebana atau sejenisnya sebagai sebuah pengecualian pada momen-momen kegembiraan dan suasana-suasana yang membutuhkan hiburan, seperti resepsi pernikahan, hari raya dan lain-lain. Dan yang bisa direkomendasikan dalam konteks ini adalah jenis lagu nasyid misalnya dan semacamnya. Ketiga: Perlu dan bahkan harus diterapkan kaedah fiqhul ikhtilaf (fikih perbedaan pendapat) dan fikih dakwah yang sebijak dan sehikmah mungkin dalam menyikapi fenomena lagu dan musik ini, serta dalam menyampaikan kepada masyarakat umum tentang hukum lagu dan musik. Hal itu mengingat telah begitu kental dan lekatnya fenomena musik dan lagu dengan realita kehidupan masyarakat. Dimana dituntut adanya sikap toleransi tertentu terhadapnya. Apalagi dengan adanya sebagian ulama yang membolehkannya, seperti yang telah dipaparkan diatas. Dan ibrah (acuan) kita dalam hal ini antara lain adalah cara dan metode Islam di dalam menetapkan hukum tentang hal-hal yang sangat lekat di masyarakat, seperti hukum keharaman riba dan khamr (minuman keras) misalnya, dimana masing-masing harus melalui tiga tahap sebelum akhirnya ditetapkan hukum final tentang keharaman keduanya pada tahap keempat. Dan hal itu disebabkan karena lekatnya kedua jenis penyimpangan moral dan sosial tersebut dengan kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu. Dan salah satu bentuk pentahapan dakwah dan sikap hikmah serta konsekuensi kaedah fiqhul ikhtilaf dalam masalah musik dan lagu adalah dengan melakukan penyeleksian-penyeleksian dan peminimalan-peminimalan. Misalnya dengan membimbing dan mengarahkan masyarakat agar meninggalkan dan menjauhi jenis-jenis musik dan lagu yang jelas muatan penyimpangannya dan kental nuansa kemaksiatannya, seperti umumnya lagu-lagu saat ini yang bertemakan cinta, pacaran, perselingkuhan dan semacamnya. Dan di saat yang sama agar mereka mulai melakukan penyeleksian dengan berusaha membatasi diri hanya pada jenis-jenis musik dan lagu yang setidaknya memenuhi kriteria, syarat dan rambu para ulama (seperti DR. Yusuf Al-Qardhawi) yang membolehkannya, seperti misalnya umumnya lagu-lagu Bimbo, umumnya lagu-lagu Opick, sebagian lagu Ebiet G. Ade, dan lagu-lagu serupa lainnya yang bertema religi, sosial dan semacamnya. Wallahu alam. Jadi kesimpulannya: Pendapat DR. Yusuf Al-Qardhawi lengkap dengan kriteria, rambu dan syaratnya haruslah menjadi titik temu dan dasar kompromi antara madzhab yang mengharamkan musik dan pendapat yang membolehkannya. Sehingga jika kelompok pertama dituntut agar bertoleransi, maka di sisi lain kalangan keduapun wajib berkomitmen dengan kriteria, rambu dan syarat seperti yang disebutkan DR. Yusuf Al-Qardhawi tersebut! Demikianlah uraian singkat tentang masalah hukum lagu dan musik, semoga bermanfaat. Wallahul-Muwaffiq ilaa aqwamith-thariiq, wal-Haadii ilaa sawaa-issabiil.

PAGE 4