tafsir_ar_ruum_30

4
Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Ar Ruum 30 Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad saw meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat ini, maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah. Tuhan menyuruh agar Nabi saw mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" dinamakan "agama" karena manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat yang lain: Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku. (Q.S. Az Zariyat: 56) Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada yang lain. Dan "muka" dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya semua pancaindera kecuali alat perasa. Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat. Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu Hurairah yang berbunyi: Artinya: Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua orang ibu bapaknyalah yang akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan binatang dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya". Kemudian Abu Hurairah berkata: "Bacalah ayat ini yang artinya: "Fitrah Allah di mana manusia telah diciptakan atasnya. Tak ada perubahan pada fitrah Allah itu". Dalam riwayat lain, "sehingga kamu merusakkannya (binatang itu)". Para sahabat bertanya: "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di waktu kecil? Rasul menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat". (H.R. Bukhari dan Muslim) Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis Nabi saw. Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan ulama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar Al Mujassyi'i bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari: Artinya: Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku dalam Kitab-Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram. (H.R. Iyad bin Himar)

Upload: faiz

Post on 14-Feb-2016

215 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Tafsir Al Quran

TRANSCRIPT

Tafsir / Indonesia / DEPAG / Surah Ar Ruum 30

Ayat ini menyuruh Nabi Muhammad saw meneruskan tugasnya dalam memberikan dakwah, dengan

membiarkan kaum musyrikin yang keras kepala itu dalam kesesatannya. Dalam kalimat ini, maka

hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; fitrah Allah. Tuhan menyuruh agar Nabi

saw mengikuti agama yang lurus yaitu agama Islam, dan mengikuti fitrah Allah. Ada yang

berpendapat bahwa kalimat itu berarti bahwa Allah memerintahkan agar kaum Muslimin mengikuti

agama Allah yang telah di jadikan-Nya bagi manusia. Di sini "fitrah" dinamakan "agama" karena

manusia dijadikan untuk melaksanakan agama itu. Hal ini dikuatkan oleh firman Allah dalam surat

yang lain:

Artinya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku.

(Q.S. Az Zariyat: 56)

Menghadapkan muka artinya meluruskan tujuan dengan segala kesungguhan tanpa menoleh kepada

yang lain. Dan "muka" dikhususkan menyebutkan di sini, karena muka itu tempat berkumpulnya

semua pancaindera kecuali alat perasa. Dan muka itu adalah bagian tubuh yang paling terhormat.

Sehubungan dengan kata fitrah yang tersebut dalam ayat ini ada sebuah hadis sahih dari Abu

Hurairah yang berbunyi:

Artinya:

Tidak ada seorang anakpun kecuali ia dilahirkan menurut fitrah. Kedua orang ibu bapaknyalah yang

akan meyahudikan, menasranikan dan memajusikannya, sebagaimana binatang melahirkan binatang

dalam keadaan sempurna. Adakah kamu merasa kekurangan padanya". Kemudian Abu Hurairah

berkata: "Bacalah ayat ini yang artinya: "Fitrah Allah di mana manusia telah diciptakan atasnya. Tak

ada perubahan pada fitrah Allah itu". Dalam riwayat lain, "sehingga kamu merusakkannya (binatang

itu)". Para sahabat bertanya: "Hai Rasulullah, apakah engkau tahu keadaan orang yang meninggal di

waktu kecil? Rasul menjawab: "Allah lebih tahu dengan apa yang mereka perbuat". (H.R. Bukhari

dan Muslim)

Para ulama berbeda pendapat mengenai arti fitrah yang tersebut dalam kitab suci Alquran dan hadis

Nabi saw. Mereka ada yang berpendapat bahwa fitrah itu artinya "Islam". Hal ini dikatakan oleh Abu

Hurairah dan Ibnu Syihab dan lain-lain. Mereka mengatakan bahwa pendapat itu terkenal di kalangan

ulama salaf yang berpegang kepada takwil. Alasan mereka adalah ayat 30 tersebut di atas dan hadis

Abu Hurairah yang baru saja disalinkan di atas. Mereka juga berhujah dengan hadis Iyad bin Himar

Al Mujassyi'i bahwa Rasulullah saw bersabda kepada manusia pada suatu hari:

Artinya: Apakah kamu suka aku menceritakan kepadamu apa yang telah diceritakan Allah kepadaku

dalam Kitab-Nya. Sesungguhnya Allah telah menciptakan Adam dan anak cucunya cenderung kepada

kebenaran dan patuh kepada Allah. Allah memberi mereka harta yang halal tidak yang haram. Lalu

mereka menjadikan harta yang diberikan kepada mereka itu menjadi halal dan haram. (H.R. Iyad bin

Himar)

Sebagian ulama menafsirkan hadis ini bahwa anak kecil itu diciptakan tidak berdosa dan selamat dan

kekafiran sesuai dengan janji yang telah ditetapkan Allah bagi anak cucu Adam di kala mereka

dikeluarkan dari tulang sulbinya. Mereka apabila meninggal dunia masuk surga baik anak-anak kaum

Muslimin maupun anak-anak kaum kafir.

Sebagian ahli fikih dan ulama yang berpandangan luas mengartikan "fitrah" dengan "kejadian" yang

dengannya Allah menjadikan anak mengetahui Tuhannya. Seakan-akan dia berkata: "Tiap-tiap anak

dilahirkan atas kejadiannya". Dengan kejadian itu Si anak akan mengetahui Tuhannya apabila dia

telah berakal dan berpengetahuan. Kejadian di sini berbeda dengan kejadian binatang yang tak sampai

dengan kejadian itu kepada pengetahuan tentang Tuhannya. Mereka berhujah bahwa "fitrah" itu

berarti kejadian dan "fatir" berarti "yang menjadikan" dengan firman Allah:

Artinya: Katakanlah: "Ya Allah, Pencipta langit dan bumi". (Q.S. Az Zumar: 46)

Dan firman Allah SWT:

Artinya: Mengapa aku tidak menyembah (Tuhan) yang telah menciptakanku. (Q.S. Yasin: 22)

Dan firman Allah lagi:

Artinya: Ibrahim berkata: "Sebenarnya Tuhan kamu ialah Tuhan langit dan bumi yang telah

menciptakannya. (Q.S. Al anbiya: 56)

Dari ayat-ayat tersebut di atas mereka mengambil kesimpulan bahwa "fitrah" berarti kejadian dan

"fatir" berarti yang menjadikan. Mereka tak setuju bahwa anak itu dijadikan (difitrahkan) atas

kekafiran atau iman atau berpengetahuan atau durhaka. Mereka berpendapat bahwa anak itu

umumnya selamat, baik dari segi kehidupan dan kejadiannya, tabiatnya, maupun bentuk tubuhnya.

Baginya tidak ada iman, tak ada kafir, tak ada durhaka dan tak ada juga pengetahuan. Mereka

berkeyakinan bahwa kafir dan iman itu datang setelah anak itu berakal. Mereka juga berhujah dengan

hadis Nabi dari Abu Hurairah tersebut di atas.

Artinya: Binatang itu melahirkan binatang dalam keadaan utuh, apakah mereka merasa pada kejadian

itu kekurangan?.

Dalam hadis ini hati Bani Adam diumpamakan dengan binatang, sebab dia dilahirkan dalam kejadian

yang sempurna, tak ada kekurangan, sesudah itu telinganya terputus, begitu pula hidungnya. Lalu

dikatakan ini adalah unta yang dirusak hidungnya dan ini adalah unta yang digunakan untuk nazar

dan sebagainya.

Begitu pula keadaan hati anak-anak waktu dilahirkan. Mereka tidak kafir, tidak juga iman, tidak

berpengetahuan dan tidak durhaka, tak ubahnya seperti binatang ternak. Tatkala mereka sampai umur

setan memperdayakan mereka, maka kebanyakan mereka mengafirkan Tuhan, dan sedikit yang tidak

berdosa.

Mereka berpendapat, andaikata anak-anak itu difitrahkan sebagai kafir dan beriman pada

permulaannya, tentu mereka tak akan berpindah selama-lamanya dari hal itu. Anak-anak itu

adakalanya beriman, kemudian menjadi kafir. Selanjutnya para ahli itu berpendapat bahwa adalah

mustahil dan masuk akal seseorang anak di waktu dilahirkan telah tahu iman dan kafir, sebab Allah

telah mengeluarkan dari perut ibunya dalam keadaan tak mengetahui sedikitpun.

Allah SWT berfirman:

Artinya: Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui

sesuatupun. (Q.S. An Nahl: 78)

Siapa yang tak mengetahui sesuatu mustahillah dia akan menjadi kafir. beriman, berpengetahuan atau

durhaka.

Abu Umar bin Abdil Barr berkata bahwa pendapat ini adalah arti fitrah yang lebih tepat di mana

manusia dilahirkan atasnya. Hujah mereka yang lain ialah firman Allah:

Artinya: Kami diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. (Q.S. At Tur: 16)

Dan firman Allah SWT:

Artinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. (Q.S. Al Mudassir: 38)

Orang yang belum sampai masanya untuk bekerja tidak akan dihisab.

Dari hal tersebut di atas mustahillah fitrah itu berarti Islam. Seperti yang dikatakan Ibnu Syihab.

Sebab Islam dan iman itu ialah perkataan dengan lisan, iktikad dengan hati dan perbuatan dengan

anggota tubuh. Hal ini tak ada pada anak kecil. Dan orang yang berakal mengetahui keadaan ini.

Kebanyakan para penyelidik di antaranya Ibnu Atiyah dalam buku tafsirnya di waktu mengartikan

fitrah, dan begitu Syekh Abdul Abbas berpendapat sesuai dengan pendapat Umar di atas, lbnu Atiyah

dalam tafsirnya berkata bahwa yang dapat dipegangi pada kata "fitrah" ini ialah berarti "kejadian" dan

kesediaan untuk menerima sesuatu yang ada dalam jiwa anak itu. Dengan keadaan itu seseorang

dapat dibedakan dengan ciptaan-ciptaan Allah SWT yang lain. Dengan fitrah itu seorang anak akan

mendapat petunjuk dan percaya kepada Tuhannya. Seakan-akan Tuhan berfirman: "Hadapkanlah

mukamu kepada agama yang lurus yaitu fitrah Allah yang disediakan bagi kejadian manusia, tetapi

karena banyak hal yang menghalangi mereka, maka mereka tidak mencapai fitrah itu. Dalam sabda

Nabi yang artinya: "Tiap anak dilahirkan menurut fitrah. Bapaknya yang akan menjadikan ia seorang

Yahudi, Nasrani atau Majusi". Disebutkan dua orang ibu bapak sebagai contoh dari halangan-

halangan yang banyak itu.

Dalam ibadat lain Syekh Abdul Abbas berkata: "Sesungguhnya Allah SWT menjadikan hati anak

Adam bersedia menerima kebenaran, sebagaimana mata dan telinga mereka bersedia menerima

penglihatan dan pendengaran. Selama menerima itu tetap ada pada hati mereka, tentu mereka akan

memperoleh kebenaran dan agama Islam yakni agama yang benar.

Kebanyakan pendapat ini dikuatkan dengan sabda Nabi yang artinya: "Sebagaimana menghasilkan

binatang yang utuh. Adakah mereka menghasilkan yang lain? Adakah mereka merasakan kekurangan

pendapat padanya?". Maksudnya ialah, binatang itu melahirkan anaknya sempurna kejadiannya tak

ada kekurangan. Andaikata dia dibiarkan menurut dasar kejadiannya itu tentu dia akan tetap

sempurna, tak ada aibnya. Tetapi dia di atur menurut kehendak manusia, maka rusaklah telinga dan

hidungnya dilubangi tempat mengikatkan tali sehingga timbullah padanya keburukan dan

kekurangan, lalu tidak sesuai lagi dengan keasliannya. Demikian pulalah keadaannya dengan

manusia. Hal itu adalah perumpamaan dari fakta kehidupan.

Pendapat tersebut di atas dianut oleh kebanyakan ahli tafsir. Adapun maksud sabda Nabi saw tatkala

beliau ditanya tentang keadaan anak-anak kaum musyrik. beliau menjawab: "Allah lebih tahu dengan

apa yang mereka ketahui". yaitu apabila mereka berakal. Takwil ini dikuatkan oleh hadis Bukhari dan

Samurah bin Jundab dari Nabi saw. yaitu hadis yang panjang. Sebagian dari hadis itu berbunyi

sebagai berikut:

Artinya: Adapun orang yang tinggi itu yang ada di surga adalah Ibrahim as. Adapun anak-anak yang

ada di sekitarnya semuanya adalah anak yang dilahirkan menurut fitrah. Samurah berkata. "Maka

Rasulullah ditanya: Ya Rasulullah, tentang anak-anak musyrik? "Rasulullah menjawab: "Dan anak-

anak musyrik".

Diriwayatkan dari Anas, katanya: "Ditanya Rasulullah saw tentang anak-anak musyrik, beliau

bersabda:

Artinya: Mereka tak mempunyai kebaikan, untuk diberikan ganjaran, lalu akan menjadi raja-raja

surga. Mereka tak mempunyai kejelekan untuk dihisab (disiksa) lalu mereka akan berada di antara

penduduk neraka. Mereka adalah pelayan-pelayan bagi ahli surga.

Demikianlah beberapa pendapat mengenai kata fitrah dan hubungannya dengan anak kecil yang

belum sampai umur. Diduga bahwa pendapat yang agak kuat ialah pendapat terakhir ini, yaitu

pendapat Ibnu Atiyah yang disokong oleh Syekh Abdul Abbas.

Kemudian kalimat dalam ayat (30) ini dilanjutkan dengan ungkapan bahwa pada fitrah Allah itu tak

ada perubahannya. Allah tak akan merubah fitrah-Nya itu. Tak ada sesuatupun yang menyalahi

peraturan itu, maksudnya ialah tidak akan merana orang yang dijadikan Allah berbahagia, dan

sebaliknya tidak akan berbahagia orang-orang yang dijadikan-Nya sengsara. Menurut mujahid artinya

ialah: "tak ada perubahan bagi agama Allah". Pendapat ini disokong Qatadah, Ibnu Jubair, Dahhak,

Ibnu Zaid dan Nakha'i. Mereka berpendapat bahwa ungkapan tersebut di atas berkenaan dengan

keyakinan. Ikrimah berkata; diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa Umar bin Khatab berkata yang

artinya ialah tak ada perubahan bagi makhluk Allah dari binatang yang dimandulkan. Perkataan ini

maksudnya ialah larangan memandulkan binatang.

Itulah agama yang lurus, maksudnya Ibnu Abbas: "Itulah keputusan yang lurus". Muqatil mengatakan

itulah perhitungan yang nyata. Ada yang mengatakan bahwa "agama yang lurus" itu ialah agama

Islam.

Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. Mereka tak mau memikirkan bahwa agama Islam itu

adalah agama yang benar. Karena itu mereka tak mau menghambakan diri kepada Pencipta mereka,

dan Tuhan yang lebih terdahulu (qadim) memutuskan sesuatu dan melaksanakan keputusannya.