sipadan ligitan

4
Pihak- Pihak yang Terlibat dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan sengekta antara Indonesia dengan Malaysia. Sengketa ini mulai muncul pada tahun 1967, ketika ditengah kedua negara sedang merundingkan batas landas kontinen, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Malaysia menyatakan bahwa pulau Sipadan dan Ligitan termasuk dalam wilayah kedaulatannya. Padahal menurut Indonesia kedua pulau tersebut tercatat wilayah kedaulatannya. Sejak saat itu berlangsung berbagai pertemuan dan perundingan antara kedua negara bertetangga tersebut untuk menyelesaikan sengketa secara damai. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya. Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain

Upload: akemiyawamaki

Post on 19-Jan-2016

13 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SIPADAN LIGITAN

Pihak- Pihak yang Terlibat dalam Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan

Sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan sengekta antara Indonesia dengan

Malaysia. Sengketa ini mulai muncul pada tahun 1967, ketika ditengah kedua negara sedang

merundingkan batas landas kontinen, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan

dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Malaysia menyatakan bahwa pulau Sipadan dan

Ligitan termasuk dalam wilayah kedaulatannya. Padahal menurut Indonesia kedua pulau tersebut

tercatat wilayah kedaulatannya. Sejak saat itu berlangsung  berbagai pertemuan dan perundingan

antara kedua negara bertetangga tersebut untuk menyelesaikan sengketa secara damai.

Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status

quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru

yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di

bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam

status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas

kepemilikan dua pulau ini selesai.Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan

kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.

Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty

of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara

lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan

yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena

terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaim pulau Batu Puteh, sengketa

kepemilikanSabah dengan Filipina serta sengketa kepulauan Spratley di Laut Cina Selatan

dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991

lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga

negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.

Setelah hampir 30 tahun, perundingan tiba pada jalan buntu, karena baik Indonesia yang

bertahan pada posisi dan argumentasi bahwa kedua pulau tersebut telah menjadi bagian wilayahnya

sejak masa penjajahan Belanda, maupun Malaysia yang juga meyakini kedaulatannya atas pulau-

pulau tersebut sejak masa colonial Inggris, tetap bertahan pada posisi masing-masing. Pada 1997

kedua belah pihak sepakat menempuh jalan hukum yaitu dengan menyerahkan sengketa tersebut

kepada Mahkamah Internasional. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober

Page 2: SIPADAN LIGITAN

1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan

pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan “Final and

Binding,” pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia

meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula

Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997.

Pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke Mahkamah Internasional.

Kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 Mahkamah Internasional mengeluarkan keputusan

tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Dalam

persidangan Mahkamah Internasional yang melibatkan argumentasi kontra argumentasi, berbagai

dalil hukum, teori, bukti sejarah, dokumen dan fakta pendukung dari kedua belah pihak yang masing-

masing dilengkapi oleh tim pengacara handal, akhirnya Mahkamah Internasional memutuskan pulau

Sipadan dan pulau Ligitan milik Malaysia.

Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara

hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari

MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia.

Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada

pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah

Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi

perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan

operasi mercu suar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak

menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan

Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di

selat Makassar.