seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan...

64
SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TERHADAP UNDANG-UNDANG NO. 13 TAHUN 2003 TENTANG KETENAGAKERJAAN Muzni Tambusai DIREKTORAT JENDERAL PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI 2 0 0 5 SERI PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Upload: lamtram

Post on 05-Feb-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

SERI 4PELAKSANAAN KEPUTUSANMAHKAMAH KONSTITUSI

TERHADAPUNDANG-UNDANG NO. 13

TAHUN 2003 TENTANGKETENAGAKERJAAN

Muzni Tambusai

DIREKTORAT JENDERALPEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

DEPARTEMEN TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI2 0 0 5

SERI PEMBINAAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Page 2: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Hak Cipta © Kantor Perburuhan Internasional 2005Pertama terbit tahun 2005

Publikasi Kantor Perburuhan Internasional dilindungi oleh Protokol 2 dari Konvensi Hak CiptaDunia (Universal Copyright Convention). Walaupun begitu, kutipan singkat yang diambil dari publikasitersebut dapat diperbanyak tanpa otorisasi dengan syarat agar menyebutkan sumbernya. Untukmendapatkan hak perbanyakan dan penerjemahan, surat lamaran harus dialamatkan kepadaPublications Bureau (Rights and Permissions), International Labour Office, CH-1211 Geneva 22,Switzerland, atau melalui Kantor ILO di Jakarta. Kantor Perburuhan Internasional akan menyambutbaik lamaran tersebut.__________________________________________________________________________________________________________________________

ILOSeri Pembinaan Hubungan Industrial; Seri 4: Pelaksanaan keputusan Mahkamah Konstitusi terhadap

Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

Jakarta, Kantor Perburuhan Internasional, 2005

ISBN__________________________________________________________________________________________________________________________

Sesuai dengan tata cara Perserikatan Bangsa-bangsa, pencantuman informasi dalam publikasi-publikasi ILO beserta sajian bahan tulisan yang terdapat di dalamnya sama sekali tidak mencerminkanopini apapun dari Kantor Perburuhan Internasional mengenai informasi yang berkenaan denganstatus hukum suatu negara, daerah atau wilayah atau kekuasaan negara tersebut, atau status hukumpihak-pihak yang berwenang dari negara tersebut, atau yang berkenaan dengan penentuan batas-batas negara tersebut.

Dalam publikasi-publikasi ILO tersebut, setiap opini yang berupa artikel, kajian dan bentuk kontribusitertulis lainnya, yang telah diakui dan ditandatangani oleh masing-masing penulisnya, sepenuhnyamenjadi tanggung jawab masing-masing penulis tersebut. Pemuatan atau publikasi opini tersebuttidak kemudian dapat ditafsirkan bahwa Kantor Perburuhan Internasional menyetujui ataumenyarankan opini tersebut.

Penyebutan nama perusahaan, produk dan proses yang bersifat komersil juga tidak berarti bahwaKantor Perburuhan Internasional mengiklankan atau mendukung perusahaan, produk atau prosestersebut. Sebaliknya, tidak disebutnya suatu perusahaan, produk atau proses tertentu yang bersifatkomersil juga tidak kemudian dapat dianggap sebagai tanda tidak adanya dukungan atau persetujuandari Kantor Perburuhan Internasional.

Publikasi-punlikasi ILO dapat diperoleh melalui penyalur-penyalur buku utama atau melalui kantor-kantor perwakilan ILO di berbagai negara atau langsung melalui Kantor Pusat ILO dengan alamatILO Publications, International Labour Office, CH-1211 Geneva 22, Switzerland atau melaluiKantor ILO di Jakarta dengan alamat Menara Thamrin, Lantai 22, Jl. M.H. Thamrin Kav. 3, Jakarta10340. Katalog atau daftar publikasi terbaru dapat diminta secara cuma-cuma pada alamat tersebut,atau melalui e-mail: [email protected] ; [email protected]

Kunjungi website kami: www.ilo.org/publns ; www.un.or.id/ilo_________________________________________________________________________________________________________________________Dicetak di Jakarta, Indonesia

Page 3: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

KATA PENGANTAR

iii

Pembangunan ketenagakerjaan yang sedang kita lakukan saat ini adalahuntuk antara lain mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis,berkeadilan dan bermartabat di tempat kerja. Salah satu upaya untukmencapai tujuan dimaksud adalah tersedianya perangkat hukum yang dapatmemberikan kepastian hukum bagi stake holder yang terkait dalampelaksanaan hubungan industrial.

Untuk itu, Pemerintah telah mengundangkan Undang-undang Nomor13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam Lembaran Negara Tahun2003 Nomor 39. Namun, terhadap Undang-undang tersebut, sebanyak 37(tiga puluh tujuh) perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh melalui kuasahukumnya dan pengacara publik pada Lembaga Bantuan Hukum (LBH)Jakarta telah mengajukan permohonan pengujian terhadap Undang-undangDasar Republik Indonesia Tahun 1945 kepada Mahkamah Konstitusi R.I.Selanjutnya Mahkamah Konstitusi dengan putusan No: 012/PUU-I/2 003telah memutuskan bahwa pembuatan Undang-undang Nornor 13 Tahun2003 tentang Ketenagakerjaan secara formal dan prosedural tidakbertentangan dengan UU Dasar 1945, sementara mengenai materinya adabeberapa klausul dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi yang sifatnya telahmengikat, dipandang perlu untuk melakukan pengkajian dampak sertaimplementasinya terhadap Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan. Namun, kami akui bahwa tulisan ini masih jauh darisempurna, sehingga kami sangat rnengharapkan saran dan masukan untuklebih sempurnanya buku ini.

Akhirnya kepada ILO/USA Declaration Project yang telah membantupenerbitan dan penyebarluasan buku ini, kami mengucapkan penghargaan

Page 4: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

iv

dan terima kasih. Semoga kerjasama yang baik antara ILO (khususnya ILOJakarta) dengan Pemerintah Republik Indonesia (khususnya DepartemenTenaga Kerja dan Transmigrasi) untuk memajukan hubungan industrial diIndonesia terus berjalan.

Semoga Bermanfaat dalam rangka upaya pencapaian tujuan hubunganindustrial di Indonesia dan terima kasih.

Jakarta, Desember 2004

Muzni Tambusai

Page 5: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

DAFTAR ISI

halaman

Kata Pengantar ................................................................................. iii

Bab I Pendahuluan ....................................................................... 1

Bab II Materi Undang-undang Ketenagakerjaan ............................ 41. Mogok kerja ................................................................ 52. Pemutusan Hubungan Kerja ......................................... 103. Pekerja Ditahan Pihak yang Berwajib ............................ 24

Bab III Penutup ............................................................................. 29

Putusan Mahkamah Konstitusi ......................................................... 33

Daftar Riwayat Hidup ....................................................................... 56Daftar Pustaka .................................................................................. 58

v

Page 6: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
Page 7: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

BAB IPENDAHULUAN

Kontroversi tentang pemberlakuan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun2003 yang diundangkan tanggal 25 Maret 2003, dengan keluarnya keputusanMahkamah Konstitusi RI. No. 012/PUU-I/2003 yang dibacakan pada hariKamis tanggal 28 Oktober 2004, telah berakhir. Dimana bila dilihatkebelakang, adanya Kontroversi tersebut timbul sejak pembahasan Undang-Undang No. 25 tahun 1997 tentang ketenagakerjaan, hingga akhirnyaditunda masa berlakunya. Adanya penundaan pemberlakuan Undang-UndangNo. 25 tahun 1997 menunjukan tingginya perhatian pemerintah terhadappembangunan ketenagakerjaan.

Adanya kontroversi tersebut sebenarnya dapat dipahami, oleh karenaketentuan yang akan diatur dalam UU Ketenagakerjaan pada hakekatnyaadalah mengatur 2 (dua) keinginan yang selalu tidak selaras, yaitu keinginanpekerja disatu sisi dan keinginan pengusaha pada sisi lain. Perbedaan keinginantersebut tidak terlepas dari perkembangan industrialisasi yang mengakibatkantimbulnya revolusi sosial ekonomi. Industrialisasi disatu pihak telahmenimbulkan kemajuan ekonomi yang luar biasa, namun dilain pihak jugamenimbulkan berbagai masalah di bidang sosial maupun dibidang ekonomiitu sendiri. Hal ini ditandai dengan munculnya kelas buruh/pekerja sebagaipenjual tenaga dan atau pikiran yang berbeda sosial ekonominya dengankelas pengusaha sebagai pemilik modal dan alat-alat produksi. Persainganantara pengusaha untuk mendapatkan keuntungan yang besar, telahmenimbulkan kecenderungan bagi pengusaha untuk menekan upah pekerja.Sebaliknya pekerja sebagai pihak yang menggantungkan hidupnya pada upah,akan berjuang untuk mendapatkan upah yang tinggi. Sehingga meskipunsecara juridis kedudukan pekerja sama dengan pengusaha, namun secarasosiologis kedudukan pengusaha lebih kuat jika dibandingkan dengankedudukan pekerja, sebagai faktor produksi.

1

Page 8: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Dalam era globalisasi ekonomi yang ditandai dengan persaingan yangsemakin ketat, transparansi, dan demokratis, diperlukan perangkat peraturanperundang-undangan. Khususnya yang menyangkut ketenagakerjaan, yangdapat memberikan hubungan industrial yang harmonis, dinamis danberkeadilan, sehingga bagi pengusaha dapat mengembangkan usahanya danbagi pekerja dapat meningkatkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya,

Situasi atau kondisi demikian dapat terwujud bila hubungan kemitraanantara pengusaha dan pekerja yang berlandaskan pada demokratisasi ditempatkerja merupakan fenomena yang tidak dapat dihindarkan dalam suatukegiatan usaha. Dengan maksud untuk mengembangkan prinsip mitranisasiantara pengusaha dengan pekerja, perlu suatu institusi yang berfungsi sebagaimedia bagi pekerja dan pengusaha dalam memperjuangkan kemitraan.

Guna mencapai hubungan industrial yang harmonis, dinamis danberkeadilan, prinsip-prinsip tersebut dimasukan dalam Undang-Undang No.13 tahun 2003, namun terhadap undang-undang tersebut, ternyata masihada yang belum dapat menerima perubahannya, dengan alasan penyusunanUndang-undang Ketenagakerjaan tersebut disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah Undang-undangyang patut seperti; tidak melalui naskah akademis serta substansinya,bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal28, dan Pasal 33 serta bertentangan dengan standar perburuhan International,khususnya Konvensi ILO. Ketidaksetujuan terhadap UU KetenagakerjaanNo. 13 tahun 2003, diwujudkan dengan mengajukan permohonan pengujianterhadap UUD 1945 melalui Mahkamah Konstitusi RI.

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menanganiperkara tertentu, untuk menjaga konstitusi agar dilakukan secara bertanggungjawab sesuai dengan UUD 1945. Sehingga memiliki kekuasaan kehakimandisamping Mahkamah Agung, antara lain berwenang untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD RI tahun 1945 dengan kewenangan, memutuskanpada tingkat pertama dan terakhir.

Putusan Mahkamah Konstitusi sebagai tingkat pertama dan terakhir,yang berarti bahwa putusan tersebut bersifat final dan mengikat, sehinggaputusan Mahkamah Konstitusi tidak dapat dimohonkan pengujian kembali.Dengan diputuskannya perkara pengujian UU. No. 13 tahun 2003 tentangKetenagakerjaan dengan putusan perkara No. 012/PUU-1/2003 pada tanggal

2

Page 9: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

28 Oktober 2004 maka polemik terhadap keberadaan UU KetenagakerjaanNo. 13 tahun 2003 secara formal dan prosedural, pembuatan Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 tidak bertentangan denganUUD 1945. Sehingga pemberlakuan UU No. 13 tahun 2003 tentangKetenagakerjaan adalah mempunyai kekuatan hukum dan mengikat.Namun, terhadap materi Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun2003 ada beberapa materi yang dibatalkan.

Dengan adanya beberapa materi dari Undang-undang KetenagakerjaanNo. 13 Tahun 2003 yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukummengikat, hal tersebut menimbulkan implikasi terhadap Undang-Undangitu sendiri dan begitupula terhadap peraturan pelaksanaannya. Berdasarkanhal tersebut dirasa perlu untuk dilakukan kajian tehnis dari KeputusanMahkamah Konstitusi tersebut.

3

Page 10: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Mahkamah Konstitusi dalam melakukan pengujian UU Ketenagakerjaandengan UUD 1945 telah melakukan pengkajian secara komprehensif dantidak hanya melihat dari segi hukum saja. Sehingga dalam pertimbangannyamenggunakan penilaian dan penafsiran serta juga memperhatikan kondisi-kondisi dinamis yang berubah bersama lingkungan strategis yang berkembangdalam perkonomian global, regional dan nasional serta kecendrunganhubungan industrial secara internasional yang juga mempengaruhiperekonomian Indonesia, terutama setelah terjadinya krisis ekonomi yangbersifat multidimensi. Oleh karena itu, ketentuan-ketentuan dalam UUD1945 serta UU dan peraturan lainnya mau tidak mau mendapat pengaruh,karena adanya perubahan nilai dan sistem di dunia, tuntutan sistemperekonomian yang cenderung lebih didasarkan pada sistem ekonomi pasaryang menekankan prinsip efisien.

Menghadapi kompleksitas yang dihadapi Indonesia, meyebabkan kitatidak dapat bersikap hitam putih, melainkan harus menafsirkan hukum dankonstitusi di bidang lain secara lebih dinamis dan kontekstual. Berdasarkanhal tersebut, Mahkamah berpendapat bahwa dalam ekonomi pasar campurtangan pemerintah melalui kebijakan dan pengaturan ekonomi pasar harusdilakukan seproposional mungkin, sehingga cita-cita yang terkandung dalamPasal 33 UUD 1945 tetap menjadi filosofi dan sistem norma dalam UUDsebagai the supreme law of the land, sehingga dari sana akan mengalirserangkaian aturan dan kebijakan yang serasi bagi sebesar-besarnyakemakmuran rakyat. Hal tersebut diartikan bahwa hukum pasar akandipengaruhi secara proposional untuk menghilangkan distorsi maupunkelemahan-kelemahan pasar dan dapat ditiadakan dengan tetapmempertimbangkan resiko yang akan dialami investor melalui insentif yangseimbang dan wajar.

BAB IIMATERI UNDANG-UNDANG

KETENAGAKERJAAN

4

Page 11: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Sehingga aturan dan kebijakan yang ditempuh pemerintah harus tetapmemberikan perlindungan hukum yang cukup bagi pekerja dan melakukanusaha peningkatan kesejahteraan. Penafsiran konstruktif demikian yang dapatmengedepankan susunan dan menghilangkan hambatan, argumen hukumsecara seimbang hanya dapat dilakukan jika dapat mengidentifikasi danmembedakan beragam dimensi kepentingan dan nilai-nilai yang seringberbenturan, yang dijalin dalam penilaian yang kompleks yang diharapkanmembuat UU yang ditafsirkan menjadi lebih baik secara keseluruhan.

Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memutuskanbeberapa materi UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003, yang akan ditinjauberdasarkan substansinya:

1. MOGOK KERJA

Mogok kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 137 –144 Undang-undangKetenagakerjaan No. 13 tahun 2003 mengatur bahwa mogok kerja sebagaihak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secarasah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan.

Menurut penggugat ketentuan tersebut adalah melanggar standarperburuhan international, karena membatasi alasan mogok kerja akibat“gagalnya perundingan “ dan merupakan pembatasan terhadap hak mogokitu sendiri yang merupakan hak fundamental buruh/pekerja dan serikatpekerja/serikat buruh. Adanya pembatasan hak mogok tersebut, bukan hanyasekedar membatasi kebebasan buruh/pekerja untuk menggunakan hakmogok sebagai bagian dari hak kebebasan berserikat dan berorganisasi sertamenjalankan aktivitas Serikat Pekerja/Serikat Buruh tetapi juga merupakansebuah bentuk kontrol terhadap peran dan fungsi Serikat Pekerja/SerikatBuruh sebagai instrumen resmi buruh/pekerja untuk memperjuangkanpeningkatan kesejahteraannya. Demikian juga ketentuan pekerja/buruh atauSerikat Pekerja/Serikat Buruh yang bermaksud mengajak pekerja/buruh lainuntuk mogok kerja pada saat mogok kerja berlangsung dilakukan dengantidak melanggar hukum, merupakan melanggar standar perburuhaninternational, dengan membatasi hak pekerja atau Serikat Pekerja/SerikatBuruh yang bermaksud mengajak pekerja lain untuk mogok kerja pada saatmogok kerja berlangsung.

Begitupula apabila dilihat tahapan prosedur administratif dan birokrasi

5

Page 12: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

yang harus dilalui Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk melaksanakan hakmogok, sebagaimana diatur Pasal 140-141 UU Ketenagakerjaan, dilakukanmelalui pemberitahuan selambat-lambatnya 7 hari sebelum mogok,dilakukan dengan menyebut waktu mulai, tempat dan alasan mogok, yangjustru menyebabkan pekerja tidak dimungkinkan untuk melaksanakan hakmogok.

Dengan adanya ketentuan Pasal 186 UU Ketenagakerjaan, maka terhadapmogok kerja yang dilakukan secara tidak sah tertib dan damai sebagai akibatgagalnya perundingan serta bila pekerja atau Serikat Pekerja/Serikat Buruhmengajak pekerja lain untuk mogok kerja dengan melanggar hukum,merupakan tindak pidana pelanggaran dengan hukuman paling singkat 1(satu) bulan dan paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling sedikitRp. 10.000.000,- dan paling banyak Rp. 400.000.000,-

Pertimbangan Mahkamah Konstitusi terhadap pengaturan syarat-syaratyang ditetapkan untuk pelaksanaan hak buruh atau mogok, baik syarat bahwamogok dilakukan secara sah dan tertib serta damai sebagai akibat gagalnyaperundingan (Pasal 137), ajakan, mogok kerja berlangsung dengan tidakmelanggar hukum (Pasal 138) maupun syarat-syarat administratif tentangjangka waktu pemberitahuan dan lain-lain (Pasal 140-141) tidak terdapatketidaksesuainnya dengan standar perubahan internasional. Oleh karena haltersebut juga dikenal dalam praktek yang disetujui ILO. Sehingga standardan norma-norma yang demikian haruslah dilihat sebagai bagian dari standardan norma yang berlaku di Indonesia, melalui ukuran yang dikenal dalamUUD 1945. Hal itu disebabkan, hak asasi tidak dipandang sebagai sesuatuyang berlaku mutlak, sehingga sesuai dengan yang dianut dalam Pasal 28 Jayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa dalam menjalankan hak dankebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkandengan Undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjaminpengakuan serta pengaturan atas hak dan kebebasan orang lain dan untukmemenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilaiagama, dalam ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.

Namun, apabila pelanggaran terhadap Pasal 137 dan 138 UUKetenagakerjaan No. 13 tahun 2003 sebagaimana dimuat dalam Pasal 186,Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa saksi dalam Pasal 186 tersebuttidak proposional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasarpekerja/buruh yang dijamin oleh UUD 1945 dalam rangka kebebasan

6

Page 13: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

menyatakan sikap Pasal 28 E ayat (2) ayat (3) dan hak untuk mendapatkanimbalan yang adil dan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28 D atat (2).

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Mahkamah Konstitusimemutuskan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “Pasal 137 danPasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 tidak mempunyaikekuatan hukum yang mengikat, selanjutnya Mahkamah Konstitusiberpendapat dalam pelaksanaan hak mogok yang melanggar persyaratanpemberitahuan yang ditatapkan dalam Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1)Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 harus diatur secaraproposional.

Dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, telah terjadiperubahan konsep mogok kerja yang pada awalnya mogok sebagai tindakanmenghentikan pekerjaan sehubungan adanya perselisihan dengan menuntutpemenuhan upah dan syarat syarat kerja lainnya, dikategorikan sebagaitindakan persekongkolan jahat untuk menghambat kemajuan perusahaan.Oleh karena itu mogok dilarang dengan ancaman sanksi pidana

Konsep mogok kerja sebagai tindak pidana telah dikenal sejak jamanHindia Belanda yaitu melalui Pasal 161 bis dan Pasal 335 ayat (3) KUHPidana, bahwa pemogokan di Indonesia diancam dengan sanksi pidana,ketentuan Pasal 161 bis sebagai Pasal tambahan didalam KUH Pidana padatahun 1926 dengan maksud untuk menanggulangi pemogokan yangdilakukan oleh pekerja perkebunan tebu, pekerja pabrik gula dan pekerjakereta api. Namun, pada awal kemerdekaan ketentuan yang mengancampidana terhadap pekerja yang melakukan mogok dicabut oleh pemerintahmelalui UU. No. 1 tahun 1946. Akan tetapi, ketentuan yang mengaturancaman pidana terhadap pemogokan yang dilakukan pekerja, tidak lamakemudian oleh pemerintah NICA, membuat ayat (3) pada Pasal 335 KUHPidana, dengan maksud NICA memiliki landasan yuridis untukmenjatuhkan sanksi pidana terhadap para pejuang kemerdekaan yangmengadakan pemogokan.

Akan tetapi, Indonesia juga pada awal kemerdekaan, terhadappemogokan yang terjadi telah menimbulkan reaksi pemerintah denganmenetapkan Peraturan Dewan Pertahanan Negara No. 13 tahun 1948 sebagaibentuk larangan bagi buruh melakukan mogok di perusahaan yang dianggapvital dengan ancaman sanksi pidana. Melalui Peraturan Dewan Pertahanan

7

Page 14: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Negara tersebut, kemudian diikuti Gubernur Militer Jawa Barat danGubernur Militer Jakarta Raya untuk mengatur larangan bagi buruh untukmelakukan mogok kerja di daerah kewenangannya.

Tindakan mogok kerja yang dilakukan dalam rangka pelaksanaanhubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha di perusahaan akan dapatmengganggu perekonomian, sehingga untuk maksud mengatasi kesulitanekonomi yang dapat membahayakan negara. Terjadinya mogok kerja secaraterus menerus dapat mengakibatkan keamanan dan ketertiban terganggu.Sehingga dalam Undang-undang No. 22 tahun 1957 tentang PenyelesaianPerselisihan Perburuhan diatur persyaratan pelaksanaan hak pekerja untukmelakukan mogok kerja dalam Pasal 6 UU No. 22 tahun 1957, akan tetapibila pekerja melakukan mogok kerja tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 6UU No. 22 tahun 1957 dapat dikenakan sanksi pidana dengan hukumkurungan setinggi-tingginya 3 bulan atau denda sebanyak-banyaknya sepuluhribu rupiah. Hal tersebut juga diatur dalam UU No. 25 tahun 1997 tentangKetenagakerjaan, bagi pekerja yang melakukan mogok tidak sesuai denganprosedur yang ditetapkan dapat dikenakan sanksi pidana.

Konsep mogok kerja yang dikategorikan sebagai tindak pidanakejahatan, oleh karena tindakan bersama yang dilakukan oleh pekerja untukmenuntut haknya kepada pengusaha adalah bertentangan dengan hukum.Hal tersebut disebabkan pandangan sebagai berikut ; 1) persekongkolan padaumumnya diartikan sebagai gabungan dari dua orang atau lebih yang bersama-sama merugikan hak orang lain atau masyarakat. Sehingga tindakan mogokkerja, dianggap merugikan orang lain ataupun masyarakat karena menghambatekonomi dan perdagangan, dikategorikan sebagai tindakan persekongkolan; 2) persengkongkolan disini mempunyai ciri khas dimana suatu tindakanyang dilakukan oleh satu orang tidak bertentangan dengan hak, namun jikadilakukan bersama-sama menjadi bertentangan dengan hak ; 3) masih adanyapandangan yang belum berubah pada tingkat konsep tentang hubungan kerjaantara pekerja dengan pengusaha, meskipun dalam kenyataan hubungan kerjapaksa antara budak dengan pemilik budak telah berubah ; 4) Mogok dianggapsebagai salah satu faktor yang dapat menganggu pertumbuhan ekonomi.

Dengan menggunakan konsep mogok kerja yang dikategorikan sebagaitindak pidana yang dilakukan melalui peraturan perundang-undangan, akantetapi timbulnya mogok kerja tidak dapat ditekan. Bahkan dari data mogokkerja yang terjadi dapat dikatakan bahwa mogok kerja yang terjadi, dilakukan

8

Page 15: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

tidak sesuai dengan prosedur sehingga mogok kerja tersebut sebenarnya dapatdikenai sanksi pidana, akan tetapi kasus mogok kerja tersebut tidak pernahdi bawa ke Pengadilan Negeri untuk diproses,

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut diatas konsepsimogok kerja sebagai tindak pidana di Indonesia, telah ditinggalkan. Olehkarena pelanggaran persyaratan pelaksanaan mogok kerja sebagaimana diaturdalam Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan bukan termasuktindak pidana, sehingga tidak dapat dikenakan tindak pidana pelanggaransebagaimana diatur Pasal 186 UU Ketenagakerjan No. 13 tahun 2003.

Dengan adanya Keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut maka konsepmogok kerja harus dilihat dari sudut hubungan kerja, merupakan bagiandari ketentuan perdata, sebagai perbuatan melawan hukum atau cidera janjidalam Perjanjian Kerja. Oleh karena pekerja yang melakukan mogok kerjaadalah tidak melaksanakan pekerjaan sebagaimana disepakati dalam perjanjiankerja. Sehingga kerugian yang timbul sebagai akibat mogok kerja yangdilakukan, Pengusaha dapat menuntut ganti rugi atas kerugian tersebut.

Lebih lanjut, apabila kita lihat ketentuan yang mengatur mogok kerjadalam Kepmenakertrans No. Kep. 232/Men/2003 yang mengatur AkibatMogok Kerja yang Tidak Sah, adalah bahwa apabila mogok kerja dilakukantidak sah maka mogok kerja tersebut dikualifikasikan sebagai mangkir, dalamarti pekerja yang mogok kerja tidak berhak atas upah, hal tersebut sesuaidengan yang diatur Pasal 93 UU. No. 13 tahun 2003 bahwa upah tidakdibayar apabila tidak melakukan pekerjaan

Selanjutnya, apabila mogok kerja tersebut berlangsung terus, hinggapengusaha telah melakukan panggilan untuk bekerja kembali sebanyak 2kali berturut-turut dalam tenggang waktu 7 hari, pekerja tidak mengindahkanpanggilan, maka pekerja tersebut dianggap mengundurkan diri.

Pengaturan akibat mogok kerja yang tidak sah sebagaimana diaturKepmenakertrans Kep. No. 232/Men/2003 menurut hemat kami telahdilakukan pengaturannya secara proporsional bila dilihat dari segi keperdataanyaitu perjanjian kerja dan tidak melihat dari konsep pidana.

9

Page 16: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

2. PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA

Bekerja mempunyai makna banyak, luas dan dalam, didalam tiapkehidupan manusia. Oleh karena itulah mungkin pendiri bangsa ini dalammenyusun dan membuat UUD 1945 dalam Pasal 27 ayat (2) mengaturbahwa “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yanglayak bagi kemanusian. Disamping hal tersebut posisi pekerja bila dilihatdari segi sosial ekonomi, kedudukan pekerja adalah sangat lemah jikadibandingkan dengan pengusaha.

Sehingga untuk menjamin terlaksananya Pasal 27 ayat (2) UUD 1945dan memberikan perlindungan kepada pekerja diberlakukan UU No. 12tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja pada Perusahaan Swasta.Dimana menurut UU tersebut, bahwa pengusaha harus mengusahakan agarjangan terjadi pemutusan hubungan kerja, dan untuk lebih memastikanpelaksanaan Pasal 1 ayat (1) UU. No. 12 tahun 1964, ditentukan bahwapemutusan hubungan kerja tanpa ijin (Panitia Daerah/Pusat) adalah bataldemi hukum (Pasal 10 UU. No. 12 tahun 1964). Melalui ketentuan tersebutsehingga tiap pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha diperlukan ijin dariinstansi pemerintah sebagai pengawasan prepentif. Pelaksanaan pengawasanprepentif tersebut diserahkan kepada Panitia Daerah untuk pemutusanhubungan kerja yang kurang dari 10 orang atau Panitia Pusat apabila pengusahahendak melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap 10 orang atau lebih(massal).

Prinsip atau konsep pengaturan pemutusan hubungan kerja sebagaimanadiatur UU No. 12 tahun 1964, dalam menyusun UU. No. 13 tahun 2003tentang Ketenagakerjaan diakomodasi dalam Pasal 151. Namun, untukpembebaban tanggung jawab mencegah terjadinya pemutusan hubungankerja, dikembangkan dengan tidak hanya tanggung jawab pengusaha, akantetapi juga pekerja, serikat pekerja dan pemerintah, diminta untuk melakukansegala daya upaya agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Disampingitu, pelaksanaan pengawasan prepentif yang selama ini dilakukan PanitiaDaerah/Panitia Pusat, berdasarkan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003pelaksanaan pengawasan terhadap pemutusan hubungan kerja diberikankepada Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sesuai Undang-Undang No. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

10

Page 17: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Industrial berada pada Pengadilan Umum, dengan maksud dan tujuan yangdiharapkan dari pergeseran pelaksanaan pengawasan pelaksanaan pemutusanhubungan kerja pada lembaga Yudikatif (Pengadilan Umum) adalah untukterciptanya penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat,adil dan murah.

Lebih lanjut bila kita lihat UU. No. 12 tahun 1964 mengenaipemutusan hubungan kerja, hanya mengatur larangan pemutusan hubungankerja dan pemutusan hubungan kerja yang tidak memerlukan ijin. Pengaturanlarangan pemutusan hubungan kerja tersebut adalah dalam hal; a) selamaburuh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena keadaan sakit menurutketerangan Dokter selama waktu tidak melampaui waktu 12 bulan terusmenerus ; b) buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhikewajiban terhadap negara yang ditetapkan oleh Undang-undang ataupemerintah atau menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya dan yangdisetujui pemerintah. Sementara pemutusan hubungan kerja yang tidakmemerlukan ijin adalah pemutusan hubungan yang dilakukan terhadapburuh dalam masa percobaan.

Dari pengaturan tersebut dapat ditafsirkan, bahwa pengusaha dapatmengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja diluar ketentuanlarangan pemutusan hubungan sebagaimana disebutkan diatas. Adapunmengenai permohonan tersebut diberikan atau ditolak, itu diserahkan kepadaPanitia Daerah atau Panitia Pusat untuk memutusnya. Demikian jugamengenai berhak tidaknya uang pesangon, uang jasa/uang penghargaan masakerja dan ganti kerugian disesuaikan dengan pertimbangan Panitia Daerah/Pusat dalam memberikan ijin pemutusan hubungan kerja.

Namun, larangan pemutusan hubungan kerja dan alasan pemutusanhubungan kerja serta hak pekerja bila diberikan ijin pemutusan hubungankerja telah diatur lebih rinci melalui Surat Menteri Tenaga Kerja No. 362/67tanggal 8 Pebruari 1967 yang ditujukan kepada Departemen Tenaga Kerjadan Ketua P4 Daerah dan P4 Pusat di seluruh Indonesia, mengenai pelaksanaanUU tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta. Sesuai suratMenteri tersebut diatur bahwa ijin pemutusan hubungan kerja tidak bolehdiberikan bila pemutusan hubungan kerja didasarkan atas:

a. Hal-hal yang berhubungan dengan keanggotaan Serikat pekerja/buruhyang tidak sedang atau karena kegiatan dalam rangka buruh diluarjam kerja atau dengan ijin, majikan sewaktu jam kerja;

11

Page 18: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

b. Pengaduan buruh kepada yang berwajib mengenai tingkah lakupengusaha karena terbukti melanggar peraturan negara;

c. Faham, agama, suku, daerah, golongan atau kelamin.

Sehingga Pegawai tehnis Panitia Daerah/Pusat dalam menghadapipemutusan hubungan kerja, hendaknya diselidiki, apakah ada alasan-alasantersebut walaupun disembunyikan.

Selanjutnya alasan yang digunakan untuk mengajukan permohonan ijinpemutusan hubungan kerja adalah karena pekerja telah melanggar hukumatau merugikan perusahaan, ukuran atau penilaian apakah melanggar hukumatau merugikan perusahaan digunakan dasar sebagai berikut :

a. Kesalahan Yang Dianggap Besar

- Pencurian dan penggelapan;

- Penganiayaan pengusaha, keluarga pengusaha atau teman sekerja;

- Mengancam pengusaha, keluarga pengusaha atau teman sekerja;

- Merusak dengan sengaja atau karena kecerobohan milikperusahaan;

- Memberikan keterangan palsu;

- Mabuk ditempat kerja;

- Menghina, secara kasar atau mengancam pengusaha, keluargapengusaha atau teman sekerja;

- Membuka rahasia perusahaan atau rahasia rumah tanggaperusahaan.

b. Kesalahan-kesalahan untuk mana diberikan peringatan-peringatanterakhir :

- Menolak perintah yang layak, walaupun telah diperingatkan;

- Melakukan kewajibannya secara serampangan;

c. Kesalahan-kesalahan untuk mana diberikan peringatan-peringatan,tidak cakap dalam melakukan pekerjaan walaupun sudah dicobadimana-mana.

Disamping hal tersebut, diatur pula mengenai pensiun, dimana biladalam perusahaan ada peraturan pensiun, bila dalam perusahaan ada peraturanpensiun, ditentukan bahwa buruh sesudah masa kerja atau usia tertentu dapatdipensiun, maka dalam hal demikian, pemutusan hubungan kerja dapat

12

Page 19: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

dilakukan tanpa ijin dari Panitia Daerah/Pusat.

Berdasarkan surat Menteri No. 362/67 tanggal 8 Pebruari 1967 dapatdisimpulkan bahwa alasan pemutusan hubungan kerja yang dapat diberikanijin adalah dengan menggunakan alasan pekerja telah melanggar hukum ataumerugikan perusahaan kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu; Pertama, kesalahanyang dianggap besar tanpa melalui surat peringatan jika kesalahan tersebutdianggap benar oleh Panitia Daerah/Pusat, dapat diberikan hukumanpemutusan hubungan kerja tanpa pesangon dan uang jasa; Kedua, kesalahan-kesalahan yang dapat diberikan peringatan terakhir (menurut hemat penulisadalah tanpa melalui peringatan pertama, peringatan ketiga), dan bila yangbersangkutan masih melakukan kesalahan, kepada pekerja bersangkutan dapatdiberikan hukuman pemutusan hubungan kerja dengan pemberian pesangonsaja (tanpa uang jasa/uang penghargaan masa kerja); Ketiga, kesalahan untukmana diberikan peringatan dan yang bersangkutan tidak menghiraukannya(dalam praktek, hal tersebut dilakukan melalui peringatan pertama, keduadan ketiga) setelah melalui peringatan pertama, kedua, ketiga maka kepadapekerja yang bersangkutan dapat diberikan hukuman pemutusan hubungankerja biasa, dengan pemberian (mendapat) pesangon menurut pemberhentianbiasa. (Menurut penulis, pemutusan hubungan kerja biasa adalah pekerjaberhak atas uang pesangon, uang jasa/uang penghargaan masa kerja dan gantikerugian. Hal tersebut, dengan alasan untuk membedakan alasan pemutusanhubungan kerja dengan peringatan terakhir).

Setelah kurang lebih 22 (dua puluh dua) tahun sejak berlakunya UUNo. 12 tahun 1964 tentang pemutusan hubungan kerja di perusahaan swasta,peraturan pelaksanaan dan penetapan besarnya pesangon, uang jasa/uangpenghargaan masa kerja dan ganti kerugian sebagaimana diamatkan Pasal 7ayat (3) Pasal 13 UU No. 12 tahun 1964, telah ditetapkan Peraturan MenteriTenaga Kerja No. Per. 04/Men/1986. Peraturan tersebut, sebenarnya adalahmerupakan penyempurnaan dari Peraturan Menteri Perburuhan No. 9 tahun1964.

Penyempurnaannya adalah dengan mengatur lebih lanjut mengenaipemutusan hubungan kerja tanpa meminta ijin apabila; dalam hal pekerjadalam masa percobaan ; hubungan kerja yang atas kesepakatan kerja untukwaktu tertentu dan masa berlakunya kesepakatan kerja tersebut telah berakhir; pekerja mengundurkan diri secara tertulis dan; pekerja telah mencapai usiapensiun.

13

Page 20: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Sementara bila dilihat dari segi alasan pemutusan hubungan kerja.Pemutusan hubungan kerja dapat dikelompokkan pada 3 (tiga) kelompokyaitu ; pemutusan hubungan kerja diberikan karena kesalahan berat;pemutusan hubungan kerja karena kesalahan ringan dan; pemutusan hubungankerja disebabkan bukan karena kesalahan pekerja.

Khusus mengenai pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahanberat. Kriteria yang termasuk kesalahan berat adalah :

a. Pada saat perjanjian diadakan memberikan keterangan palsu;

b. Mabuk, madat, memakai obat bius atau narkoba di tempat kerja;

c. Melakukan perbuatan asusila di tempat kerja;

d. Melakukan tindakan kejahatan misalnya ; mencuri, menggelapkan,menipu, memperdagangkan obat bius baik dalam lingkunganperusahaan maupun diluar lingkungan perusahaan;

e. Penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancam pengusaha,keluarga pengusaha atau teman sekerja;

f. Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan sesuatuyang bertentangan dengan hukum atau kesusilaan;

g. Dengan sengaja atau ceroboh merusak merugikan ataumembiarkannya dalam keadaan bahaya milik perusahaan.

Kriteria kesalahan berat tersebut bila kita lihat adalah merupakan bagiandari tindak pidana, sehingga apabila pengusaha hendak melakukan pemutusanhubungan kerja harus mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungankerja kepada Panitia Daerah atau Pusat dan pemutusan hubungan kerja yangdisebabkan kesalahan berat dengan tanpa pesangon dan uang jasa.

Kemudian setelah kurang lebih 10 (sepuluh) tahun setelah berlakunyaPermenaker No. 04/Men/1986, sebagai pelaksanaan Undang-Undang No.12 tahun 1964, pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri Tenaga KerjaNo. 03/Men/96 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja danPenetapan Uang pesangon, Uang Jasa dan Ganti Kerugian di perusahaanswasta sebagai pengganti Permenaker No. 04/Men/1986.

Pengaturan penyelesaian pemutusan hubungan kerja berdasarkanPermenaker No. 03/Men/1996, mengatur mengenai dasar pemutusanhubungan kerja telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan bahwaalasan pemutusan hubungan kerja semakin berkembang sesuai dengan kondisi

14

Page 21: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

perekonomian yang dapat mempengaruhi Perusahaan yang dapatmenimbulkan adanya pemutusan hubungan kerja. Hal tersebut dapat kitalihat dari pengaturan dasar pemutusan hubungan kerja yang disebabkanantara lain :

a. Pemutusan hubungan kerja karena pekerja melakukan kesalahan berat.

b. Pemutusan hubungan kerja setelah melalui peringatan pertama, keduadan ketiga.

c. Pemutusan hubungan kerja setelah melalui peringatan tingkat terakhir(artinya tanpa melalui peringatan pertama, kedua).

d. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja ditahan oleh pihakyang berwajib, setelah pekerja ditahan sedikit-dikitnya setelah 60 haritakwin.

e. Pemutusan hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahan pekerja.

f. Pemutusan hubungan kerja massal karena perusahaan tutup

g. Pemutusan hubungan kerja massal karena efisiensi perusahaan.

h. Pemutusan hubungan kerja karena perubahan status, atau pemilikanperusahaan atau perusahaan pindah lokasi.

i. Pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun

Pengaturan pemutusan hubungan kerja ini lebih rinci jika dibandingkandengan pengaturan alasan pemutusan hubungan kerja sebelumnya, bahkandibolehkannya pemutusan hubungan kerja diluar yang telah ditentukan dalamPeraturan Menteri Tenaga Kerja No. 3/Men/1996, untuk diatur dalamperjanjian kerja, peraturan perusahaan atau Kesepakatan Kerja Bersama.

Lebih lanjut, tindak pidana ataupun perbuatan kesalahan berat yangdapat menimbulkan pemutusan hubungan kerja adalah ;

a. Penipuan, pencurian dan penggelapan barang/uang milik pengusahaatau milik teman sekerja atau milik teman pengusaha.

b. Memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehinggamerugikan perusahaan atau kepentingan negara.

c. Mabok, minum-minum keras yang memabokan, madat, memakaiobat bius atau menyalahgunakan obat-obatan terlarang atau obat-obatan perangsang lainnya di tempat kerja yang dilarang oleh peraturanperundang-undangan

15

Page 22: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

d. Melakukan perbuatan asusila atau melakukan perjudian di tempatkerja.

e. Melakukan tindak kejahatan misalnya mengintimidasi atau menipupengusaha atau teman sekerja dan memperdagangkan barang terlarangbaik dalam lingkungan perusahaan maupun diluar lingkunganperusahaan.

f. Menganiaya, mengancam secara phisik atau mental, menghina secarakasar pengusaha atau keluarga pengusaha atau teman sekerja.

g. Membujuk pengusaha atau teman sekerja untuk melakukan suatuperbuatan yang bertentangan dengan hukum atau kesusilaan sertaperaturan perundangan yang berlaku.

h. Dengan ceroboh atau sengaja atau membiarkan diri atau temansekerjanya dalam keadaan bahaya

i. Dengan ceroboh atau sengaja merugikan atau membiarkan dalamkeadaan bahaya barang milik perusahaan.

j. Membuka atau membocorkan rahasia perusahaan atau mencemarkannama baik perusahaan dan atau keluarga pengusaha yang seharusnyadirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara.

k. Melakukan kesalahan yang bobotnya sama setelah mendapatkanperingatan terakhir yang masih berlaku.

l. Hal-hal yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaanatau kesepakatan kerja bersama.

Begitu juga tindakan atau perbuatan yang dapat dikategorikan sebagaikesalahan berat pada umumnya adalah merupakan perbuatan tindak pidana,sehingga apabila pengusaha hendak mengadakan pemutusan hubungan kerjaharus mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja, dengandilengkapi bukti pelanggaran kesalahan tersebut, tanpa didukung bukti yangsah, Panitia Daerah/Pusat tidak memberikan ijin Pemutusan hubungan kerja.

Lebih cepat dari biasa, penyempurnaan peraturan pelaksanaan UU. No.12 tahun 1964 telah dilakukan tiga kali penyusunan sejak dari PMP No. 9tahun 1964 untuk selama kurun wakti 36 tahun. Cepatnya pembaharuanPMTK No. 03/Men/96 adalah diawali dengan terjadinya krisis perbankandimana nilai pesangon, uang jasa/uang penghargaan masa kerja dan gantikerugian dirasakan kurang dapat memenuhi keadilan bagi pekerja yang

16

Page 23: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

mengalami pemutusan hubungan kerja, disebabkan bukan atas kesalahanpekerja.

Berdasarkan kondisi tersebut, mendorong adanya keinginan untukmelakukan penyempurnaan PMTK No. 03/Men/96 khususnya mengenaibesarnya nilai pesangon maksimal sebesar 7 bulan upah, sebelumnya adalah5 bulan upah dan dilai uang jasa/uang penghargaan masa kerja diberikanberdasarkan masa kerja kelipatan 3 tahun yang sebelumnya masa kerja dengankelipatan 5 tahun, serta besarannya dimulai dengan 2 bulan upah sampaidengan 10 bulan upah yang sebelumnya hanya sampai 6 bulan upah.

Penyempurnaan yang dilakukan melalui Keputusan Menteri Tenaga KerjaNo. 150/Men/2000 tanggal 20 Juni 2000. Disamping penyempurnaan nilaipesangon, uang jasa/uang penghargaan masa kerja, juga mengenai alasanpemutusan hubungan kerja dengan memperhatikan prinsip keseimbanganantara pengusaha dan pekerja. Asas keseimbangan dalam pemutusan hubungankerja, bahwa pekerja dapat mengajukan pemutusan hubungan kerja kepadaPanitia Daerah/Pusat. Sebelumnya, selama ini pemutusan hubungan kerjadatangnya hanya dari pengusaha.

Timbulnya hak pekerja untuk mengajukan permohonan pengakhiranhubungan kerja, apabila pengusaha :

a. Melakukan penganiayaan, menghina secara kasar atau mengancampekerja.

b. Membujuk dan atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukanperbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan yangberlaku

c. 3 kali berturut-turut atau lebih tidak membayar upah tepat padawaktu yang ditentukan.

d. Tidak Melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja.

e. Tidak memberikan pekerjaan secukupnya kepada pekerja yangupahnya berdasarkan hasil pekerjaan.

f. Memerintahkan pekerja untuk melakukan pekerjaan diluar yangdiperjanjikan

g. Memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa keselamatan,kesehatan dan kesusilaan pekerja sedangkan pekerjaan tersebut tidakdiketahui pada waktu perjanjian kerja dibuat.

17

Page 24: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Dalam hal demikian bila pekerja dalam permohonannya dapatmembuktikan Panitia Daereah/Pusat, ijin pemutusan hubungan kerja dapatdiberikan dengan kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan/membayarkan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan ganti kerugianbagi pekerja.

Demikian juga bila kita lihat lebih lanjut mengenai alasan pemutusanhubungan kerja, Kepmenaker Nomor 150/Men/2000 telah mengaturnyalebih rinci alasan-alasannya, serta hak pekerja sebagai akibat pemutusanhubungan kerja tersebut.

Adapun alasan pemutusan hubungan kerja sebagai mana diaturKepmenaker Nomor 150/Men/2000 adalah sebagai berikut :

1. Pemutusan hubungan kerja setelah melalui peringatan lisan, kemudiantertulis pertama, kedua dan ketiga;

2. Pemutusan hubungan kerja setelah Surat Peringatan terakhir (tanpamelalui peringatan pertama dan kedua);

3. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan mangkir bekerja palingsedikit melalui 5 (lima) kali berturut-turut dan telah dipanggil olehpengusaha 2 (dua) kali secara tertulis;

4. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja melakukankesalahan berat;

5. Pemutusan hubungan kerja diluar alasan kesalahan berat;

6. Pemutusan hubungan kerja dengan alasan pekerja ditahan oleh pihakyang berwajib;

7. Pemutusan hubungan kerja atas permintaan pekerja;

8. Pemutusan hubungan kerja karena pekerja mengundurkan diri secarabaik-baik;

9. Pemutusan hubungan kerja perorangan bukan karena kesalahanpekerja;

10. Pemutusan hubungan kerja massal karena perusahaan tutup sebagaiakibat rugi terus-menerus atau keadaan memaksa;

11. Pemutusan hubungan kerja massal karena perusahaan tutup bukakarena perusahaan rugi atau karena efisiensi;

12. Pemutusan hubungan kerja karena perubahan status, perubahanpemilik perusahaan, perusahaan pindah lokasi;

18

Page 25: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

13. Pemutusan hubungan kerja karena usia pensiun;

14. Putusan hubungan kerja karena pekerja meninggal dunia.

Namun, apabila kita lihat khusus mengenai pemutusan hubungan kerjadengan alasan kesalahan berat, pengusaha dapat mengajukan permohonanijin pemutusan hubungan kerja dengan syarat harus menyertakan buktikesalahan berat kepada Panitia daerah/Pusat. Pengaturan kesalahan berat dalamKepmenaker Nomor 150/Men/2000 pada dasarnya adalah sama dengan apayang diatur dalam Permenaker Nomor 3/Men/1996. Adapun bedanya adalahbahwa alasan “Melakukan kesalahan berat yang bobotnya sama setelahmendapat peringatan terakhir yang masih berlaku” dalam Kepmenaker Nomor150/Men/2000, aturan tersebut dihilangkan atau tidak diatur lagi.

Pengaturan pemutusan hubungan kerja sebagai bagian pelaksanaanpembangunan ketenagakerjaan melalui sarana hukum, untuk meletakkandasar pelaksanaannya, maka dimasukkanlah materi pemutusan hubungankerja dalam Bab XII Pasal 150 sampai Pasal 172 Undang-undangKetenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003. Adapun materi pemutusanhubungan kerja yang diatur dalam Undang- Undang Ketenagakerjaan tersebut,pada dasarnya substansinya diambil dari Kepmenaker Nomor Kep.150/Men/2000. Oleh karena substansi pemutusan hubungan kerja yang diaturKepmenaker Nomor Kep. 150/Men/2000 adalah yang tumbuh danberkembang dalam praktek selama 36 (tiga puluh enam) tahun sejak Undang-Undang Nomor 12 tahun 1964.

Akan tetapi dalam pemberlakuannya, sebanyak 37 pengurus SerikatPekerja/Serikat Buruh melalui kuasa hukumnya Pengacara Publik padaLembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, telah mengajukan permohonanpengujian Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaanterhadap UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi sesuai dengan Pasal 10Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Salah satu dari sekian substansi yang dimohonkan pengujian terhadapUUD 1945 adalah ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja denganalasan kesalahan berat sebagaimana diatur dalam Pasal 158 Undang-UndangNomor 13 tahun 2003 mengenai Ketenagakerjaan, bertentangan denganPasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang mengatakan bahwa “semua warga negarabersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahaan dan wajibmenjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”,

19

Page 26: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

sehingga ketentuan Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan adalah bersifatDiskriminatif secara hukum, melakukan kesalahan berat masuk kualifikasitindak pidana, yang menurut Pasal 170 Undang-undang Ketenagakerjaanprosedurnya tidak perlu mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu dapatmelakukan pemutusan hubungan kerja langsung tanpa penetapan lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial. Sehingga ketentuan ini telahmelanggar prinsip pembuktian, terutama asas praduga tidak bersalah dankesamaan didepan hukum sebagaimana dijamin di dalam UUD 1945.Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat Pengadilan denganhukum pembuktian yang sudah ditentukan dalam Undang-undang Nomor8 tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana. Serta Undang-undangKetenagakerjaan melegalisasi tindak pidana di luar Pengadilan, lebih jauhlagi ketentuan Pasal 159 Undang-undang Ketenagakerjaan yang menyatakanbahwa “apabila pekerja/buruh tidak menerima PHK sebagaimana dimaksuddalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukangugatan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial”, sehinggadengan demikian mengalihkan/mencampur adukan wewenang peradilanpidana ke peradilan perdata, yang seharusnya diselesaikan melalui peradilanpidana.

Terhadap dalil yang disampaikan pemohon bahwa pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 khususnya pasal27 ayat (1), karena Pasal 158 memberikan kewenangan pada pengusaha untukmelakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahanberat tanpa due proces of law melalui putusan pengadilan yang independendan imparsial, melainkan cukup hanya dengan putusan pengusaha yangdidukung oleh alat bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menuruthukum acara yang berlaku. Dilain pihak Pasal 160 Undang-undangKetenagakerjaan menentukan secara berbeda bahwa pekerja/buruh yangdituntut oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana,tetapi bukan atas pengaduan pengusaha diberlakukan sama dengan asaspraduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sebagian dari hak-haknya sebagai buruh dan apabila pengadilan menyatakan pekerja/buruh yangbersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembalipekerja/buruh tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yangdiskriminatif yang bertentangan dengan UUD 1945, dalam ketentuan Pasal1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah Negara Hukum, sehinggaoleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai hukum yang

20

Page 27: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

mengikat.

Selanjutnya Mahkamah Konstitusi menimbang Pasal 159 menyatakanapabila pekerja/buruh yang telah diputus hubungan kerjanya karenamelakukan kesalahan berat menurut Pasal 158, tidak menerima pemutusanhubungan kerja tersebut, pekerja/buruh yang bersangkutan dapat mengajukangugatan ke Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, makadisamping ketentuan tersebut, melahirkan beban pembuktian yang tidakadil dan berat bagi pekerja/buruh untuk membuktikan ketidak-salahannya,sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yang seharusnya memperolehperlindungan hukum yang lebih dibandingkan pengusaha. Sehingga Pasal159 menimbulkan kerancuan berfikir dengan mencapuradukan proses perkarapidana dengan proses perkara perdata secara tidak pada tempatnya.

Mencermati perubahan pengaturan pemutusan hubungan kerja didalamUndang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, khususnyamengenai pemutusan hubungan kerja dengan kesalahan berat, telah terjadiperubahan prinsip dalam pemutusan hubungan kerja tersebut. Dimanapengaturan pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat,sebelumnya pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja setelahmendapat ijin atau penetapan dari Panitia Daerah/Pusat. Namun, hal tersebutdidalam Pasal 170 Undang-undang Ketenagakerjaan, pengusaha tidak perlumengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerja sepanjang kesalahanberat tersebut didukung bukti :

a. Pekerja/buruh tertangkap tangan;

b. Adanya pengakuan dari pekerja/buruh yang bersangkutan; atau

c. Bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yangberwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung olehsekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.

Dengan adanya ketentuan tersebut, telah terjadi pergeseran penilaianbersalah tidaknya pekerja, khususnya yang menyangkut perbuatan Pidana(kesalahan berat yang dituduhkan kepada pekerja pada dasarnya adalahmenyangkut perbuatan tindak pidana) adalah merupakan kewenanganpengadilan, tetapi apabila memenuhi salah satu alat bukti diatas, pengusahadapat mengadakan pemutusan hubungan kerja tanpa melalui ijin PanitiaDaerah/Pusat atau penetapan. Sehingga pengusaha dalam hal ini telahmenjalankan kewenangan pengadilan.

21

Page 28: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Sehingga apabila kita lihat pengaturan pemutusan hubungan kerja denganalasan pekerja telah melakukan kesalahan berat sebelumnya, pengusahasebelum melakukan pemutusan hubungan kerja harus mengajukanpermohonan untuk mendapatkan ijin pemutusan hubungan kerja kepadaPanitia Daerah/Pusat. Oleh karena, melihat hubungan kerja antara pekerjadengan pengusaha adalah hubungan keperdataan, yang didasari dengankesepakatan. Sehingga untuk mengakhiri hubungan kerja dan mengingatposisi pekerja secara sosial ekomomi lemah maka diperlukan hubunganperijinan yang dikeluarkan oleh Panitia Daerah/Pusat.

Panitia Daerah/Pusat dalam hal permintaan ijin pemutusan hubungankerja atas dasar kesalahan berat (yang nota bene adalah mengandung unsurtindak pidana) adalah tidak menilai apakah perbuatan tersebut telah sesuaidengan unsur-unsur tindak pidana atau tidak, akan tetapi melihat akanpemutusan hubungan kerja tersebut dari segi hubungan kerja yang didasaripada hukum keperdataan yaitu bahwa suatu perjanjian harus dilakukandengan etikad baik (Pasal 1338 KUH Perdata) sehingga bentuk alat buktiyang disampaikan pengusaha, Panitia Daerah/Pusat dapat menilai pekerjadalam melakukan hubungan kerja apakah pekerja beretikad baik atau tidak.Dan bukan menilai apakah alasan pengusaha memenuhi unsur-unsur tindakpidana atau tidak. Oleh karena hal tersebut diluar kewenangan Panitia Daerah/Pusat maupun pengusaha.

Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangannya telah melakukanpenilaian putusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat (padadasarnya adalah menyangkut tindak pidana) adalah dilakukan melaui dueprocess of law melalui putusan pengadilan yang independen dan bukankewenangan pengusaha untuk memutuskan bahwa pekerja telah melakukantindak pidana. Oleh karena itu, menurut hemat kami proses pemutusanhubungan kerja dengan alasan kesalahan berat masih dapat diberlakukan.Namun untuk menyatakan putusnya hubungan kerja tersebut, adalah PanitiaDaerah/Pusat atau Lembaga melalui permohonan pengusaha denganmelampirkan alat bukti. Panitia Daerah/Pusat ataupun Lembaga PenyelesaianPerselisihan Hubungan Industrial dalam penelitiannya adalah dalam rangkahubungan kerja yang bersifat keperdataan.

Apabila hubungan kerja dilihat dalam kerangka tindak pidana saranahukum yang dapat digunakan untuk itu adalah Pasal 160 Undang-undangKetenagakerjaan, dimana pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan

22

Page 29: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

kerja tanpa mengajukan ijin, setelah 6 (enam) bulan pekerja tidak dapatmelakukan pekerjaan sebagaimana mestinya atau sebelum 6 (enam) bulanberakhir, Pengadilan menyatakan pekerja bersalah. Namun, bila sebelum 6(enam) bulan berakhir, pekerja dinyatakan tidak bersalah, maka pengusahawajib mempekerjakan pekerja kembali.

Sehingga melalui sarana hukum Pasal 160 Undang-undangKetenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003, sebenarnya pengusaha tidak perlumenggunakan sarana Pasal 158 untuk mengadakan pemutusan hubungankerja, oleh karena alasan-alasan yang terdapat dalam pasal 158 Undang-undangKetenagakerjaan hanya dapat ditentukan sebagai tindak pidana.

Dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi, khususnya mengenaipemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat yang memutuskanbahwa Pasal 158, Pasal 159, Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat“kecuali Pasal 158 ayat (1)” dan Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat“Pasal 158 ayat (1)”, tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.Hal tersebut mengakibatkan bahwa Undang-undang Ketenagakerjaan,khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja tidak mengenal adanyapemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat. Atau dapat puladitafsirkan berdasarkan penafsiran historis bahwa, pemutusan hubungan kerjadengan alasan kesalahan berat sebagaimana diatur Pasal 158 tetap ada. Namun,untuk mengadakan pemutusan hubungan kerja pengusaha tetap perlumendapatkan ijin melalui permohonan kepada Panitia Daerah/Pusat atauPengadilan Hubungan Industrial dengan melampirkan bukti-bukti kesalahanberat tersebut. Sehingga dengan adanya ketentuan harus mendapatkan ijin ,maka sesuai Pasal 159 Undang-undang Ketenagakerjaan tidak diperlukanoleh karena, pekerja pada saat pengusaha mengajukan ijin dapat mengadakanupaya pembelaan di tingkat Panitia Daerah/Pusat. Begitu juga Pasal 170 danPasal 171 sepanjang menyangkut Pasal 158 ayat (1) Undang-undangKetenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 tidak mempunyai kekuatan hukummengikat.

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, juga berdampak pada Undang-undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan HubunganIndustrial khususnya terhadap Pasal 82, sepanjang mengenai …” Pasal 159”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat serta anak kalimat “ Pasal 171”tidak termasuk Pasal 158 ayat (1) Undang-undang Ketengakerjaan Nomor13 tahun 2003.

23

Page 30: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Namun, apabila menggunakan penafsiran bahwa Undang-undangKetenagakerjaan khususnya mengenai pemutusan hubungan kerja, tidakmengenal lagi adanya pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahanberat, maka Ketentuan tersebut akan berdampak pula terhadap pengaturansyarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam Perjanjian Kerja, PeraturanPerusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang mengatur alasan kesalahanberat, seperti sebagaimana diatur Pasal 158 Undang-undang Ketenagakerjaandengan sendirinya tidak mempunyai kekuatan hukum lagi, sesuai denganputusan Mahkamah Konstitusi.

3. PEKERJA DITAHAN PIHAK YANG BERWAJIB

Pengaturan mengenai pekerja ditahan pihak berwajib sehingga tidakdapat melaksanakan kewajibannya, pada awalnya diatur melalui Surat MenteriTenaga Kerja No. 362 tahun 1967 tanggal 8 Februari 1967 sebagai pelaksanaUndang-undang tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta,yang mengatur bahwa “bilamana disuatu perusahaan ada peraturan tentangskorsing atau tentang pembayaran selama ditahan, maka dengan kewajibanseperti tercantum pada Pasal 11 Undang-undang Nomor 12 tahun 1964diartikan kewajiban berdasarkan peraturan skorsing atau peraturanpembayaran upah selama dalam tahanan itu”. Selanjutnya bila kita lihat padaPasal 11 UU Nomor 12 tahun 1964 bahwa selama ijin pemutusan hubungankerja belum diberikan, dan dalam hal ada permintaan banding, Panitia Pusatbelum memberikan putusan, baik pengusaha maupun buruh harus tetapmemenuhi segala kewajibannya.

Dari ketentuan tersebut dapat ditarik kesimpulan, khususnya untukskorsing bahwa perusahaan dapat menyimpang dari ketentuan Pasal 11Undang-undang nomor 2 tahun 1964. Apabila mengatur skorsing dalamPerjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, makapengusaha dapat melakukan skorsing, sehingga pekerja tidak perlu bekerjaseperti biasa, sambil menunggu ijin pemutusan hubungan kerja. Disisi lainpengusaha tetap kerkewajiban untuk membayar upah kepada pekerja.Sehingga, apabila hal itu tidak diatur sebelumnya maka ketentuan Pasal 11Undang-undang Nomor 12 tahun 1964 yang diberlakukan, dalam arti apabilapekerja tidak bekerja maka pekerja tidak berhak atas upah.

Demikian juga halnya bagi pekerja yang ditahan (tidak dijelaskan

24

Page 31: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

ditahannya pekerja atas pengaduan pengusaha atau bukan) tentu tidak dapatmelaksanakan pekerjaannya, sehingga pekerja tersebut tidak berhak atas upah,kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atauPerjanjian Kerja bersama yaitu pembayaran selama pekerja ditahan.

Pengaturan mengenai pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib,kaitannya dengan pelaksanaan pekerjaan dan upah serta pelaksanaan kewajibanpekerja terhadap keluarga, bila pekerja yang bersangkutan telah memilik istri/suami atau anak. Berdasarkan praktek dan kebiasaan yang timbul, bahwaperusahaan dalam pengaturan syarat-syarat kerja yang dituangkan dalamPeraturan Perusahaan dan Perjanjian Kerja Bersama telah mengatur hak pekerjayang tidak dapat melaksanakan pekerjaannya, akibat pekerja ditahan pihakberwajib.

Berdasarkan praktek dan kebiasaan tersebut, pemerintah melaluiPeraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3/Men/1996 telah membakukankebiasaan atau praktek tersebut menjadi norma yang mengikat dan wajibuntuk dilaksanakan, sehingga dalam ketentuan tersebut diatur, bahwapengusaha dapat mengajukan permohonan ijin pemutusan hubungan kerjadengan alasan pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib karena pengaduanpengusaha maupun bukan. Permohonan ijin pemutusan hubungan kerjatersebut dapat diajukan setelah pekerja sedikit-dikitnya selama 60 (enampuluh) hari takwin ditahan pihak yang berwajib.

Mengenai kewajiban pengusaha terhadap pekerja yang ditahan oleh pihakyang berwajib, adalah dilihat dari sebab ditahannya pekerja yang bersangkuta,yaitu :

a. Bila pekerja ditahan pihak yang berwajib bukan atas pengaduanpengusaha, pengusaha tidak wajib membayar upah, tetapi wajibmembayar/memberikan bantuan kepada keluarga yang menjaditanggungan pekerja, paling lama 6 (enam) bulan takwin terhitungsejak hari pertama pekerja ditahan yang berwajib, dengan ketentuanbesarnya bantuan sebagai berikut :

- untuk 1 orang tanggungan : 25 % dari upah

- untuk 2 orang tanggungan : 35 % dari upah

- untuk 3 orang tanggungan : 45 % dari upah

- untuk 4 orang tanggungan atau lebih : 50 % dari upah

25

Page 32: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

b. Sementara bila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib sebagai akibatpengaduan pengusaha dan selama ijin pemutusan hubungan kerjabelum diberikan maka pengusaha wajib membayar upah kepadapekerja sekurang-kurangnya 50% dan berlaku paling lama 6 (enam)bulan takwin terhitung sejak pekerja ditahan pihak yang berwajib.

Namun, dalam hal pekerja tersebut dibebaskan dari tuntutan ataspengaduan pengusaha dan ternyata tidak terbukti melakukan kesalahan, makapengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja dengan membayar upahpenuh beserta hak-hak lainnya yang seharusnya diterima pekerja terhitungsejak pekerja ditahan,

Selanjutnya ketentuan pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib padasaat menyusun dan membuat Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP.150/Men/2000 tetap diakomodasi, namun terdapat perubahan nilai upahpekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib atas pengaduan pengusahayang sebelumnya berdasarkan Permenaker No. 3/Men/1996 adalah sebesar50% dan melalui Kepmenaker No. 150/Men/2000 upah tersebut menjadisebesar 75% dari upah sebulan.

Hal yang sama, dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13tahun 2003 mengatur mengenai pekerja ditahan pihak yang berwajib. Namunbila kita lihat terdapat perbedaan yang prinsip dengan ketentuan sebelumnya,yaitu :

1. Dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 padaPasal 160 hanya mengatur pekerja ditahan pihak yang berwajib karenadiduga melakukan tindak pidana bukan atas pengaduan pengusaha.Sementara ketentuan atas pengaduan pengusaha tidak diatur sehinggadengan tidak diaturnya atas pengaduan pengusaha timbul penafsiranbahwa ketentuan yang digunakan terhadap pekerja ditahan pihak yangberwajib, digunakan ketentuan dalam Pasal 19 Kepmenaker No. 15/Men/2000 dengan pertimbangan hukumnya, sesuai Pasal 191Ketentuan Peralihan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13tahun 2003 yang menyatakan bahwa “semua peraturan pelaksanaanyang mengatur ketenagakerjaan tetap berlaku sepanjang tidakbertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan yang baruberdasarkan Undang-undang ini”

26

Page 33: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

2. Sebagai akibat tidak diaturnya mengenai pekerja ditahan yang berwajibatas pengaduan pengusaha, sehingga upah pekerja selama ditahan tidakdiatur.

3. Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja tanpa melaluipenetepan lembaga penyelesaian perselisihan (ijin Panitia Daerah/Pusat)setelah 6 (enam) bulan pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan.sementara ketentuan sebelumnya, pengusaha dapat mengajukanpermohonan ijin pemutusan hubungan kerja setelah 60 (enam puluh)hari takwin, sejak pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib.

4. Diaturnya hak pekerja yang diputuskan hubungan kerjanya denganalasan pekerja ditahan pihak yang berwajib yaitu uang pengganti hanyaakan dibayar 1 (satu) kali ketentuan Ketenagakerjaan Pasal 156 ayat(3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat(4). Dalam ketentuan sebelumnya hak tersebut tidak diatur, sehinggaberhak tidaknya pekerja diberikan kepada Panitia Daerah/Pusat padasaat memberikan ijin Pemutusan Hubungan Kerja.

Mahkamah Konstitusi, dalam pertimbangannya terhadap ketentuanpekerja ditahan pihak yang berwajib (Pasal 160) mengkaitkannya denganPasal 158 tentang pemutusan hubungan kerja dengan alasan kesalahan berat.Apabila kita baca tuntutan pemohon, bahwa Pasal 160 tidak termasuk materiuntuk dilakukan uji materi terhadap UUD 1945. Hal tersebut menuruthemat kami, bahwa Mahkamah Konstitusi melihat bukan ketentuan-ketentuan yang termasuk alasan kesalahan berat sebagaimana diatur Pasal158 adalah termasuk tindak pidana. Sehingga membandingkan dengan Pasal160 yang mengatur pekerja ditahan pihak yang berwajib sebagai akibat tindakpidana.

Sementara ketentuan Pasal 160 diperlakukan sesuai dengan azas pradugatidak bersalah yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian darihak-haknya sebagai buruh, dan apa bila pengadilan menyatakan pekerja/buruhyang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembalipekerja/buruh tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yangdiskriminatif atau berbeda didalam hukum yang bertentangan dengan UUD1945.

Terlepas dari pertimbangan Mahkamah Konstitusi , tetapi MahkamahKonstitusi dalam pertimbangannya memutuskan bahwa Pasal 160 ayat (1)

27

Page 34: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

sepanjang mengenai anak kalimat “ ...bukan atas pengaduan pengusaha…”tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga dengan adanyaputusan Mahkamah Konstitusi tersebut, dapat disimpulkan bahwaditahannya pihak pekerja oleh pihak yang berwajib, baik atas pengaduanpengusaha maupun bukan atas pengaduan pengusaha, hak dan kewajibandalam hubungan kerja antara pengusaha dengan pekerja adalah sebagaimanadiatur dalam Pasal 160 dengan tanpa anak kalimat “bukan atas pengaduanpengusaha”

Sehingga berdasarkan adanya koreksi terhadap ketentuan Pasal 160,Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Pasal 158 dan pasal-pasal yangterkait dengan pasal tersebut dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukummengikat.

Hal tersebut berimplikasi, bahwa Undang-undang KetenagakerjaanNomor 13 tahun 2003 tidak mengenal lagi adanya pemutusan hubungankerja dengan alasan kesalahan berat, sehingga apabila pekerja melakukankesalahan seperti apa yang diatur dalam pasal 158 Undang-undangKetenagakerjaan Pengusaha dapat menggunakan Lembaga yang diatur dalamPasal 160 Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Sehingga bila dilihat dari sisi perlindungan hukum, pekerja yangdiputuskan hubungan kerja karena pekerja ditahan pihak yang berwajib adalahlebih berpihak kepada pekerja jika dibandingkan dengan ketentuan Pasal 158.Oleh karena dalam Pasal 160 pengusaha wajib membayar kepada pekerjayang mengalami pemutusan hubungan kerja, uang penghargaan masa kerja1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuaiketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Sementara apabila pekerja diberhentikanberdasarkan Pasal 158, pekerja hanya berhak uang pisah yang diatur dalamPerjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama sertauang penggantian hak sesuai ketentuan pasal 156 ayat (4).

28

Page 35: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakimanmempunyai peranan penting dalam usaha menegakkan konstitusi dan prinsipnegara hukum sesuai tugas dan fungsinya sebagaimana ditentukan dalamUndang-undang Nomor 24 tahun 2003.

Berkaitan dengan hal tersebut, khususnya Undang-undangKetenagakerjaan sejak mulai pembuatan dan hingga diundangkan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 terdapat perbedaan pendapatmengenai pemberlakuannya baik secara formal maupun secara materiil.

Secara formil , bahwa undang-undang ketenagakerjaan Nomor 13 tahun2003, pembuatannya telah melanggar prinsip-prinsip dalam proseduralpenyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang yang patut, dengan tidakadanya “ Naskah Akademis” yang memberi dasar pertimbangan perlunyaUndang-undang Ketenagakerjaan.

Dari segi materi (substansi) Undang-Undang Ketenagakerjaanbertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28 dan Pasal 33UUD 1945. Pasal-pasal dari Undang-Undang Ketenagakerjaan yangbertentangan tersebut adalah :

a) Mengenai pelaksanan hak Serikat Pekerja/Serikat Buruh untukmelakukan perundingan pembuatan PKB yang diatur dalam Pasal119, Pasal 120 dan Pasal 121.

b) Mengenai kewajiban perusahaan yang mempekerjakan 50 orangpekerja, wajib membentuk Lembaga Kerjasama Bipartit, sebagaimanadiatur Pasal 106 pada dasarnya adalah mengambil alih peran dantanggung-jawab SP/SB.

c) Mengenai pengaturan pemborongan pekerjaan sebagaimana diatur

BAB IIIPENUTUP

29

Page 36: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Pasal 64, Pasal 66 yang menempatkan buruh sebagai faktor produksisemata.

d) Mengenai Pemutusan Hubungan Kerja dengan alasan kesalahan berat,sebagaimana diatur Pasal 158 telah bersifat diskriminasi. Secara hukum,karena pasal tersebut membenarkan Pemutusan Hubungan Kerjadengan alasan melakukan kesalahan berat. Sehingga ketentuan ini telahmengganggu prinsip pembuktian, terutama asas praduga tidak bersalahdan kesamaan didepan hukum sebagaimana dijiwai di dalam UUD1945

e) Mengenai pengaturan mogok kerja, sebagaimana diatur oleh Pasal137 – Pasal 145 bertentangan dengan Konvensi ILO tentang HakFundamental buruh yang berkenaan dengan hak asasi serta kebebasanberserikat dan berorganisasi dan untuk melakukan perundingankolektif yang termaktub dalam Konvensi ILO No. 87 dan 98.

f ) Mengenai pekerja perempuan yang bekerja malam hari sebagaimanadiatur Pasal 76, tidak boleh sedang hamil dan berumur di bawah 18tahun, disediakan transportasi dan tambahan makan serta pengusahawajib menjaga kesusilaan dan keamanan ditempat kerja, bertentangandengan Konvensi ILO No. 111 karena pekerja perempuan tidakmemiliki kemampuan kerja yang sama seperti pekerja laki-laki, sertacenderung bias gender karena mengaitkan perempuan sebagai pihakutama pencetus tidak asusila yang harus dijaga oleh pengusaha agartidak terjadi.

Pendapat yang kontra tersebut diwujudkan melalui permohonanpengujian UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan terhadap UUD1945 kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi sesuai dengankewenangannya telah melakukan pengkajian secara mendalam terhadap UUD1945 yang dituangkan dalam pertimbangan hukumnya. Salah satupertimbangan Mahkamah Konstitusi melihat Undang-undangKetenagakerjaan kaitannya dengan UUD 1945 telah memperhitungkankesinambungan berbagai kepentingan, khususnya kepentingan pekerja dankepentingan pengusaha dalam mekanisme ekonomi pasar. Kepentinganpengusaha harus juga diakomodasi karena ketiadaan investasi justru akanmenyebabkan berkurangnya lapangan kerja dan bertambahnya pengangguranyang pada gilirannya justru akan merugikan pihak pekerja sendiri. SehinggaMahkamah Kosntitusi berpendapat bahwa pasal 33 UUD 1945 tidak dapat

30

Page 37: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadap sistem ekonomi pasar, yangberarti mengharuskan negara melakukan campur tangan tatkala mekanismeekonomi pasar mengalami distorsi.

Melalui pertimbangan tersebut Mahkamah konstitusi telahmemutuskan menolak sebagian dari tuntutan pemohon dan mengabulkansebagian tuntutan serta melakukan koreksi terhadap Pasal 160 sebagaimanatelah diuraikan diatas.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-1/2003 adalahmerupakan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final sesuaidengan Pasal 24 c ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 10 UU No. 24 tahun 2003.Sehingga putusan Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan menjadi satukesatuan dengan Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003sampai dengan dilakukannya penyempurnaan atau adendum terhadapUndang-undang Ketenagakerjaan tersebut. Begitu juga mengenai pro dankontra terhadap Undang-undang Ketenagakerjaan telah berakhir.

Sekarang bagaimana agar dapat lebih mengoptimalkan Undang-undangtersebut, sehingga maksud dan tujuan pembangunan ketenagakerjaan yangdiharapkan dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003yaitu hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan dapatdicapai.

Melihat substansi (materi) Undang-undang Ketenagakerjaan Nomor13 tahun 2003 yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,akan berimplikasi terhadap ketentuan-ketentuan lain seperti pada :

a). Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep. 232/Men/2003 tentang Akibat hukum mogok kerja yang tidak sah,khususnya pasal 7 ayat (2) mengenai kesalahan berat.

b). Pengaturan syarat kerja yang ditetapkan dalam bentuk Perjanjian Kerja,Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama, mengenaipemutusan hubungan kerja karena kesalahan berat.

c). Dan begitu pula mengenai pengertian pekerja ditahan pihak yangberwajib, yang tidak membedakan lagi atas pengaduan pengusaha ataubukan.

d). UU Nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian PerselisihanHubungan Industrial khususnya Pasal 82 yang berbunyi bahwa gugatan

31

Page 38: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

oleh pekerja/buruh atas pemutusan hubungan kerja sebagaimanadimaksud Pasal 159 dan Pasal 171 UU No. 13 Tahun 2003 dapatdiajukan hanya dalam tenggang waktu 1 (satu) tahun sejak diterimanyaatau diberitahukannya keputusan dari pengusaha.

Berdasarkan hal-hal tersebut perlu segera ditempuh langkah-langkahsebagai berikut :

1). Membuat Surat Edaran Petunjuk Tehnis, sebagai akibat terbitnyaputusan Mahkamah Konstitusi terhadap UU Ketenagakerjaan.

2). Mengadakan sosialisasi kepada Pegawai Tehnis, Serikat Pekerja/SerikatBuruh dan pengusaha.

3). Menerbitkan UU Ketenagakerjaan No. 13 tahun 2003 dengan disertaicatatan terhadap pasal-pasal yang dinyatakan tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat.

32

Page 39: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Menimbang bahwa maksud dan tujuan para pemohon dalampermohonan a quo adalah sebagaimana disebutkan di atas; ——————

Menimbang bahwa sebelum memasuki pokok perkara, Mahkamahharus terlebih dahulu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut ; ———

1. Apakah Mahkamah berwenang untuk mengadili dan memutuspermohonan pengujian UU Ketenagakerjaan; ————————

2. Apakah para Pemohon memiliki hak konstitusional yang dirugikanoleh berlakunya undang-undang dimaksud, sehingga para Pemohonmemiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk bertindak sebagaipara Pemohon di hadapan Mahkamah;———————————

Terhadap kedua hal dimaksud, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:

1. Kewenangan Mahkamah

Menimbang bahwa Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menyatakanMahkamah Konstitusi berwenang antara lain untuk mengadili pada tingkatpertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, hal tersebut ditegaskan kembalidalam Pasal 10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi yang antara lain juga menyatakan bahwa Mahkamah mengadilipada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untukmenguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar: ——————

33

PUTUSANMAHKAMAH KONSTITUSI R.I

PERKARA NOMOR : 012/PUU-I/2003

PERTIMBANGAN HUKUM

LAMPIRAN

Page 40: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Menimbang bahwa Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003tentang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyatakan bahwaundang-undang yang dapat diuji adalah undang-undang yang diundangkansetelah perubahan pertama UUD 1945 yaitu setelah tanggal 19 Oktober1999; ——————————————————————————

Menimbang bahwa UU Ketenagakerjaan yang dimohonkan untuk diujiadalah undang-undang yang telah diundangkan setelah perubahan pertamaUUD 1945, sehingga oleh karenanya Mahkamah berwenang untuk mengadilidan memutus permohonan pengujian UU Ketenagakerjaan tersebut terhadapUUD 1945.

2. Kedudukan Hukum (legal standing) Pemohon

Menimbang bahwa Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyatkan bahwa yang dapatmengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangankonstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya udang-undang, yang dapatberupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan masyarakat hukum adatsepenjang masih hidup sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsipNegara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang,badan hukum politik atau privat, atau lembaga negara;

Menimbang bahwa yang dimaksud dengan hak konstitusional menurutpenjelasan Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 adalahhak-hak yang diatur dalam UUD 1945.

Menimbang bahwa dengan demikian seseorang atau suatu pihak untukdapat diterima sebagai Pemohon yang memiliki legal standing dihadapanMahkamah dalam permohonan pengujian undang-undang harus terlebihdahulu menjelaskan : ————————————————————

Pertama, kedudukannya dalam permohonan yang diajukan sesuaidengan kualifikasi yang ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-undangNomor 24 Tahun 2003, ———————————————————

Kedua, kerugian konstitusional yang diderita dalam kualifikasidimaksud, akibat berlakunya undang-undang yang dimohonkan

34

Page 41: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

pengujiannya; ———————————————————————

Menimbang bahwa para Pemohon dalam permohonannya menyatakanbahwa para Pemohon sebanyak 37 orang adalah para pemimpin dan aktivisorganisasi serikat buruh/pekerja yang tumbuh dan berkembang secara swadayaatas kehendak dan keinginan sendiri di tengah masyarakat yang bergerak dandidirikan atas kepedulian untuk dapat memberikan perlindungan danpenegakan keadilan, hukum dan hak asasi manusia di Indonesia, khususnyabagi buruh/pekerja yang selama ini seringkali dipinggirkan nasibnya; ——

Menimbang bahwa dari alat-alat bukti yang diajukan berupa akta-aktapendirian asosiasi, federasi atau organisasi buruh/pekerja, tidak ternyata bahwaorganisasi-organisasi tersebut telah memperoleh kedudukan sebagai badanhukum menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sedang dilain pihak tidak ternyata pula bahwa UU Ketenagakerjaan secara khususmemberikan kedudukan atau standing bagi organisasi atau asosiasi-asosiasiserikat buruh untuk dapat mengajukan permohonan di hadapan Mahkamahuntuk membela kepentingan hukum dan hak asasi para buruh sebagaimanadikenal dalam Undang-undang Lingkungan Hidup, akan tetapi sebagaiperorangan atau kumpulan perorangan yang bertindak untuk diri sendirimaupun untuk para buruh yang tergabung dalam organisasi yang dipimpinpara Pemohon, maka para Pemohon memenuhi kualifikasi sebagaimanadimaksud Pasal 51 ayat (1) yaitu sebagai perorangan atau kelompok orangyang memiliki kepentingan yang sama; —————————————

Menimbang bahwa para Pemohon mendalilkan UU Ketenagakerjaanadalah Undang-undang Pokok Perburuhan yang mengatur segala sesuatumengenai perburuhan dan hubungan perburuhan di Indonesia, yang memilikidampak langsung dan tidak langsung melalui peraturan peraturan turunannyakepada semua buruh/pekerja yang ada di Indonesia karena mempunyaikepentingan langsung dari pelaksanaan UU Ketenagakerjaan, yang olehPemohon dipandang merugikan hak-hak konstitusional buruh atau pekerjayang diatur dalam UUD 1945 antara lain hak untuk berserikat, hak mogokdan hak untuk memperoleh perlindungan yang sama di depan hukum; —

Menimbang bahwa berdasar uraian tersebut di atas dan memperhatikanPasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MahkamahKonstitusi, Mahkamah berpendapat bahwa para pemohon memilikikedudukan hukum (legal standiing) untuk mengajukan permohonan ini,

35

Page 42: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

oleh karenanya Mahkamah harus mempertimbangkan pokok perkarasebagaimana diuraikan dibawah ini;———————————————

Pokok Perkara

Menimbang bahwa sebelum mempertimbangkan permohonan paraPemohon secara keseluruhan, terlebih dahulu harus menjadi perhatian bahwameskipun tidak secara tegas dinyatakan, sesungguhnya para Pemohon telahmengajukan permohonan pengujian formil maupun pengujian materiilsekaligus, dan kemudian setelah menguraikan pengujian materiil terhadapbeberapa pasal yang dimuat dalam UU Ketenagakerjaan dimaksud, padaakhirnya dalam petitum telah memohon agar Mahkamah menyatakanundang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karenanyaagar dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat; ————

Menimbang bahwa terhadap dalil-dalil para Pemohon yang diajukansecara umum tentang kecenderungan yang dilihat dalam pembentukanundang-undang a quo, yang lebih mengadopsi kepentingan pemilik modalnasional terutama internasional, serta tidak cukup mempertimbangkandampak negatifnya terhadap buruh/pekerja Indonesia, sangat dipengaruhiideologi neoliberalisme yang menekankan pasar bebas dan efesiensi. Efisiensidimaksud dicapai melalui strategi upah buruh murah dalam pasar tenagakerja yang fleksibel (flexible labour market), yang berakibat hilangnyakeamanan kerja (job security) bagi buruh/pekerja, yang menyebabkan buruh/pekerja tetap menjadi buruh/pekerja kontrak yang berlangsung seumur hidupyang oleh sebagian kalangan dikatakan sebagai satu bentuk perbudakanmodern (modern from of slavery atau modern slavery), dan adanya tekananinternational melalui IMF melahirkan UU Ketenagakerjaan a quo, meskipunmendapat tentangan dari kaum buruh, dan lain-lain pernyataan yang tidakperlu dikutip seluruhnya, harus pula dipertimbangkan Mahkamah secaraumum; —————————————————————————

Menimbang bahwa dalam menguji UU Ketenagakerjaan yang diajukanpara Pemohon terhadap UUD 1945 dengan melakukan penilaian danpenafsiran, harus juga yang serasi bagi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Haltersebut diartikan bahwa hukum pasar akan dipengaruhi secara proporsionaluntuk menghilangkan distorsi maupun kelemahan-kelemahan pasar dan dapatdiadakan dengan tetap mempertimbangkan risiko yang akan dialami investor

36

Page 43: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

melalui insentif yang seimbang dan wajar; ————————————

Menimbang bahwa di sisi lain, aturan dan kebijakan tersebut harus tetapmemberikan perlindungan hukum yang cukup bagi pekerja dan melakukanusaha peningkatan kesejahteraan. Penafsiran konstruktif demikian yang dapatmengedepankan susunan dan menghilangkan hambatan argumen hukumsecara seimbang hanya dapat dilakukan jika dapat mengidentifikasi danmembedakan beragam dimensi kepentingan dan nilai-nilai yang seringberbenturan, yang dijamin dalam penilaian yang kompleks yang diharapkanmembuat undang-undang yang ditafsirkan menjadi lebih baik secarakeseluruhan; ———————————————————————

Pengujian Formil

Menimbang bahwa sebagaimana telah diutarakan, para Pemohon jugatelah mengajukan permohonan pengujian formil dengan alasan-alasan yangpada pokoknya sebagai berikut ; ————————————————

1. UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsipdan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undangyang patut, yang terlihat dari fakta-fakta antara lain : ——————

a. Tidak adanya “naskah akademis” yang memberi dasarpertimbangan ilmiah perlunya undang-undang a quo; ————

b. Penyusunan UU Ketenagakerjaan diwarnai kebohongan publikoleh DPR; ————————————————————

2. UU Ketenagakerjaan, sebagai satu dari “Paket 3 UU Perburuhan”,dibuat semata-mata karena tekanan kepentingan modal asing daripadakebutuhan nyata buruh/pekerja Indonesia; —————————

Menimbang bahwa meskipun adanya naskah akademis penting untukmemberi dasar dan pertimbangan ilmiah bagi satu undang-undang yangdirancang agar tidak terjadi salah perhitungan dan kesalahan logika, keberadaannaskah akademis bukanlah merupakan keharusan konstitusional dalam prosespembentukan undang-undang. Oleh karena itu, ketiadaan naskah akademisRUU Ketenagakerjaan bukanlah merupakan cacat hukum yangmengakibatkan batalnya undang-undang a quo sebagaimana didalilkan paraPemohon; ————————————————————————

37

Page 44: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang mengatakan adakebohongan publik yang direkayasa oleh salah seorang anggota DPR, yaituadanya Tim kecil yang seolah-olah mewakili organisasi buruh yang turutserta melakukan konsultasi dalam penyusunan undang-undang a quo, jikapunbenar, hal itu hanyalah menunjukkan bahwa proses penyusunan undang-undang tersebut kurang aspiratif, namun tidak dengan sendirinya menjadikanhal dimaksud bertentangan dengan prosedur pembentukan undang-undangmenurut undang dasar. Lagi pula, keikutsertaan masyarakat (stake holder)dalam memberi masukan kepada DPR sebagai sarana penyerap aspirasimasyarakat sudah dianggap ada dalam wujud penyampaian pendapat melaluidemontrasi-demontrasi yang telah dilakukan buruh pada saat prosespenyusunan undang-undang a quo, yang dapat dipandang sebagai penyerapanaspirasi kaum buruh; ————————————————————

Menimbang bahwa keterpautan kepentingan asing dalam pembuatanhukum satu negara yang dimasukkan melalui persuasi untukmenyeimbangkan kepentingan ekonomi pihak yang terkena dampak satuundang-undang, tidak dapat dikatakan merupakan campur tangan dalamkedaulatan satu negara, sepanjang kewenangan untuk membentuk undang-undang itu tetap dilakukan secara bebas dan independen oleh pembuatundang-undang, tanpa paksaan, tipu daya dan intervensi kekuatan secaralangsung. Kepentingan modal asing wajar dipertimbangkan secara bebas danmandiri oleh pembuat undang-undang dengan memperhatikan kepentingannasional; —————————————————————————

Menimbang bahwa dengan uraian pertimbangan di atas, Mahkamahberpendapat bahwa tidak terdapat cacat hukum secara prosedural yangmenyebabkan UU Ketenagakerjaan batal dan tidak mempunyai kekuatanhukum mengikat, sehingga oleh karenanya, permohonan pengujian formilyang diajukan oleh para Pemohon harus ditolak; ——————————

Pengujian Materiil

Menimbang bahwa para Pemohon telah mendalilkan UUKetenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat(1), Pasal 28, dan Pasal 33, dan secara substansial lebih buruk dari undang-undang sebelumnya, dengan argumen-argumen yang pada pokoknya sebagaiberikut : —————————————————————————

38

Page 45: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

1. Inti pokok UU Ketenagakerjaan adalah membuat mekanisme pasarbekerja sebebas-bebasnya dalam konteks perburuhan, di mana buruhdilihat semata-mata sebagai komoditas atau barang dagangan di pasartenaga kerja yang dipakai ketika perlu dan dibuang jika tidakmenguntungkan lagi, nuansa protektif dan standar perlindungan buruhdalam hukum perburuhan semakin dikurangi dan buruh dibiarkansendirian menghadapi ganasnya kekuatan pasar dan modal, hal manabertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 yang menegaskanbahwa “setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupanyang layak bagi kemanusiaan”; ——————————————

2. UU Ketenagakerjaan dalam beberapa pasalnya memasung hakfundamental buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja, bertentangandengan Pasal 28 UUD 1945 yang menjamin kemerdekaan berserikatdan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan,yaitu:———————————————————————

a. Pasal 119 UU Ketenagakerjaan, yang mensyaratkan bahwa untukmelakukan perundingan pembuatan PKB serikat buruh ataupekerja harus dapat membuktikan bahwa serikat pekerja/buruhtersebut memiliki jumlah anggota lebih dari 50 % dari jumlahseluruh buruh/pekerja di perusahaan bersangkutan, kalau tidakserikat buruh/pekerja harus mendapat dukungan lebih dan 50 %dari jumlah seluruh buruh/pekerja harus mendapat dukungan lebihdari 50 % dari jumlah seluruh buruh/pekerja di perusahaantersebut. Hal ini diartikan bahwa Pasal 119 undang-undang a quomemberi peluang kepada pengusaha/majikan untuk berserikat danberkumpul di lingkungan perusahaan yang bersangkutan; ——

b. Pasal 120 UU Ketenagakerjaan, mensyaratkan bahwa apabiladalam satu perusahaan terdapat lebih dari satu serikat buruh/pekerja, maka yang berhak mewakili buruh dalam melakukanperundingan PKB adalah yang memiliki anggota lebih dari 50 %dari jumlah seluruh buruh/.pekerja di perusahaan tersebut, jikalautidak, dapat bergabung membentuk koalisi sehingga tercapaijumlah lebih dari 50 %. Dan jikalau tidak, seluruh serikat buruh/pekerja bergabung membentuk tim yang keanggotaannyaditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggotamasing-masing serikat buruh/pekerja; ——————————

39

Page 46: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

c. Pasal 21 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa keanggotanserikat buruh/pekerja dibuktikan dengan kartu tanda anggota, haltersebut amat merugikan serikat buruh/pekerja yang baru sajatumbuh dan berkembang, pembatasan cara pembuktian mana akanmembatasi keleluasaan serikat buruh/pekerja untuk mendapatkanhak beraktivitas termasuk untuk melakukan perundingan PKB;————————————————————————

d. Pasal 106 UU Ketenagakerjaan, mewajibkan setiap perusahan yangmempekerjakan 50 orang buruh/pekerja atau lebih untukmembentuk “Lembaga Kerja Sama Bipartit”, yang terdiri dari wakilpengusaha dan buruh/pekerja yang difungsikan sebagai “ForumKomunikasi dan Konsultasi” hal-hal ketenagakerjaan di lingkunganperusahaan, hal tersebut sesungguhnya merupakan pengambilaliran peran dan tanggung jawab serikat buruh/pekerja untukmelakukan hal-hal yang berkaitan dengan hak dan kepentinganburuh dan anggotanya di lingkungan perusahaan, hal tersebutbertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945, dan keberadaannyayang bersifat wajib (compulsory) akan mengurangi secara signifikanperan dan fungsi serikat buruh/pekerja yang berakibat padapenurunan secara besar-besaran keanggotaan serikat buruh/pekerja;————————————-————————————

e. Pasal 64 – 65 UU Ketenagakerjaan yang mengatur tentang sistemkerja “pemborongan pekerjaan”, yang dikenal dengan“outsourcing” telah menempatkan buruh sebagai faktor produksisemata, yang dengan mudah dipekerjakan bila dibutuhkan dandi-PHK ketika tidak dibutuhkan lagi, sehingga komponen upahsebagai salah satu biaya (costs) bias ditekan seminimal mungkin ,padahal Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 mengatakan “Perekonomiandisusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan,yang diartikan bahwa perekonomian kita didasarkan atas demokrasiekonomi dimana produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua,dengan mengutamakan kemakmuran rakyat”. Di sinilah“perbudakan modern” dan degradasi nilai manusia, buruh sebagaikomoditas atau barang dagangan, akan terjadi secara resmi dandiresmikan melalui undang-undang; ——————————

40

Page 47: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

3. Pasal 158 ayat (1), (2), Pasal 170 UU Ketenagakerjaan telahbertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum danpemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itudengan tidak ada kecualinya”, hal dimaksud bersifat diskriminatifsecara hukum, karena pasal-pasal tersebut membenarkan PHK denganalasan melakukan kesalahan berat yang masuk kualifikasi tindakpidana, yang menurut Pasal 170 prosedurnya tidak perlu mengikutiketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu bias tanpa penetapan lembagapenyelesaian perselisihan hubungan industrial. Ketentuan ini telahmelanggar prinsip pembuktian terutama asas praduga tidak bersalah(presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimanadijamin di dalam UUD 1945. Seharusnya bersalah tidaknya seseorangdiputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudahditentukan dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentangHukum Acara Pidana. Undang-undang a quo melegalisasi tindakpidana di luar pengadilan. Lebih jauh lagi ketentuan Pasal 159 yangmenentukan bahwa “apabila pekerja/buruh tidak menerima PHKsebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (1), pekerja/buruh yangbersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaianperselisihan hubungan industrial”, sehingga dengan demikianmengalihkan/mencampuradukan wewenang peradilan pidana ke keperadilan perdata, yang seharusnya diselesaikan melalui peradilanpidana; ———————————————————————

UU Ketenagakerjaan secara substansial juga bertentangan dengan standarperburuhan international (Konvensi dan Rekomendasi ILO), yang terlihatdalam beberapa hal berikut: ——————————————————

a. Pengaturan tentang mogok kerja dalam Pasal 137 – 145 UUKetenagakerjaan bertentangan dengan Konvensi ILO tentang hakfundamental buruh yang berkenaan dengan hak asasi atas kebebasanberserikat dan berorganisasi dan untuk melakukan perundingankolektif yang termaktub dalam Konvensi ILO No. 87 dan 98 yangtelah diratifikasi oleh Indonesia. ILO secara tegas menyatakan “hakmogok” adalah bagian yang tidak terpisahkan dan hak berorganisasiyang dilindungi Konvensi ILO, dan dengan diterimanya konvensitersebut berarti juga merupakan bagian yang tidak terpisahkan dan

41

Page 48: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

hak berorganisasi buruh/pekerja, dan pemerintah tidak bolehmenciptakan halangan apapun yang bersifat administratif maupunbirokratis yang bisa mengakibatkan buruh/pekerja tidak dapatmenikmati hak mogok. Hak Mogok adalah hak essensial bagi buruhdan organisasinya dalam memperjuangkan dan melindungikepentingan ekonomi dan kondisi kerja dan tuntutan kolektif dalamsuatu hubungan kerja; —————————————————

Pelanggaran terhadap hak mogok yang dijamin konvensi internasionalterlihat dalam pasal-pasal a quo berikut : —————————————

a. Pasal 137 undang-undang a quo menyatakan “mogok kerja sebagaihak dasar buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja dilakukan secarasah dan tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan”. Pasalini melanggar standar perburuhan internasional, karena membatasialasan mogok hanya akibat “gagalnya suatu perundingan”, danmerupakan pembatasan terhadap hal mogok itu sendiri yangmerupakan hak fundamental buruh/pekerja dan serikat buruh/pekerja.Pembatasan hak mogok dalam Pasal 137 UU Ketenagakerjaan tersebuttidak saja membatasi kebebasan buruh/pekerja dan/atau serikat buruh/pekerja untuk menggunakan hak mogok sebagai bagian dari hakkebebasan berserikat dan berorganisasi serta menjalankan aktivitasserikat buruh dan organisasinya tetapi juga merupakan sebuah bentukkontrol terhadap peran dan fungsi serikat buruh/serikat pekerja sebagaiinstrumen resmi buruh/pekerja untuk memperjuangkan peningkatankesejahteraannya; ———————————————————

b. Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, menetapkan bahwa “pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/buruh yang bermaksud mengajakpekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogok kerjaberlangsung dilakukan dengan tidak melanggar hukum”, pasal inimelanggar standar perburuhan internasional dengan membatasi hakburuh/pekerja dan/atau serikat buruh/pekerja yang bermaksudmengajak pekerja/buruh lain untuk mogok kerja pada saat mogokkerja berlangsung dilakukan tidak dengan melanggar hukum; ——

c. Pasal 186 UU Ketenagakerjaan, yang mengatur sanksi pidana terhadappelanggaran Pasal 138 ayat (1) dengan pidana maksimum 4 (empat)tahun penjara dan/atau denda Rp. 400 juta amat berat dan merupakanupaya untuk menghalangi dilaksanakannya hak asasi mogok kerja;

42

Page 49: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

d. Pasal 140 – 141 UU Ketenagakerjaan, juga melanggar standarperburuhan internasional karena pasal-pasal tersebut menetapkantahapan prosedur administratif dan birokratis yang harus dilaluiserikat buruh/pekerja untuk melaksanakan hak mogok,pemberitahuan selambat-lambatnya 7 hari sebelum mogokdilaksanakan dengan menyebut waktu mulai, tempat dan alas anmogok, yang justru menyebabkan buruh/pekerja tidakmemungkinkan untuk melaksanakan hak mogok; —————

e. Pasal 76 UU Ketenagakerjaan tentang buruh perempuan yangbekerja malam (antara pukul 23.00 – 05.00) tidak boleh sedanghamil dan berusia dibawah 18 tahun, disediakan, transportasi dantambahan makan serta pengusaha wajib menjaga kesusilaan dankeamanan di tempat kerja, bertentangan dengan ILO No. 111karena ini menyebabkan buruh perempuan tidak memilikikesempatan kerja yang sama seperti buruh laki-laki, serta cenderungtelah bias gender karena mengaitkan perempuan sebagai faktorutama pencetus tindakan asusila yang harus dijaga oleh pengusahaagar tidak terjadi; —————————————————

f. Pengaturan yang demikian memberikan kewenangan berlebihankepada kekuasaan eksekutif yang sedang berkuasa, yang diartikanmenyerahkan nasib buruh/pekerja pada kebijakan politik penguasaeksekutif, dengan peraturan pelaksanaan di bawah undang-undangyang dapat berubah-ubah sesuai kepentingan politik. Lagi pulaKeputusan Menteri tidaklah termasuk dalam tata urutanperundang-undangan menurut Ketetapan MPR RI Nomor IIITahun 2000, karenanya Keputusan Menteri tidak mempunyaikekuatan hukum mengikat yang bersifat umum; —————

g. UU Ketenagakerjaan dari segi sistemtika penyusunannya cenderungdibuat dengan banyak inkonsistensi dan saling bertolak belakangdi antara pasal-pasalnya satu sama lain sehingga cenderung menjadirancu; ——————————————————————

h. UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 yang diundangkantanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft Undang-undangKetenagakerjaan yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR RIpada tanggal 25 Februari 2003; ————————————

43

Page 50: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Menimbang bahwa setelah memperhatikan keterangan Pemerintah,DPR, Ahli, serta saksi dan alat bukti yang diajukan, Mahkamah akanmemberi pendapat sebagaimana diuraikan dalam pertimbangan di bawahini : ——————————————————————————-

Para pemohon telah mengutip Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 sebagaisalah satu norma penguji terhadap UU Ketenagakerjaan, yang didalilkanmemperlakukan buruh/pekerja semata-mata sebagai komoditas atau barangdagangan yang dapat dibuang apabila tidak menguntungkan lagi denganmenghapus nuansa protektif dan peran negara sebagai pelindung; ————

Menimbang bahwa sebagaimana diakui juga oleh para Pemohon bahwaUUD 1945 adalah juga merupakan cita-cita dan arah serta dasar kebijakanyang bersifat normatif, sehingga apabila menilai perlindungan dan peran negarasebagai pelindung dilihat tidak tegas tampak dalam UU Ketenagakerjaan,hal ini disebabkan bahwa UU a quo harus merujuk kepada UUD 1945 yangartinya memperhitungkan pula keseimbangan berbagai kepentingan,khususnya kepentingan buruh dan kepentingan pengusaha dalam mekanismeekonomi pasar. Kepentingan pengusaha harus juga diakomodasi karenaketiadaan investasi justru akan menyebabkan berkurangnya lapangan kerjadan bertambahnya pengangguran yang pada gilirannya justru akan merugikanpihak buruh sendiri. Dalam keadaan ini Mahkamah berpendapat bahwa Pasal33 UUD 1945 tidak dapat dipahami sepenuhnya sebagai penolakan terhadapsistem ekonomi pasar, yang berarti mengharuskan negara melakukan campurtangan tatkala mekanisme ekonomi pasar mengalami distorsi; —————

Menimbang bahwa anggapan para Pemohon bahwa UUKetenagakerjaan memandang buruh hanya sebagai komoditi, karenakecenderungan sistem outsourcing dalam pola pekerjaan yang juga dianggapsebagai modern slavery, Mahkamah berpendapat bahwa para Pemohon tidakdapat membuktikan dasar dari dalil tersebut, karena dalam keseluruhanketentuan undang-undang a quo tidak memuat aturan yang menunjuk padahal yang didalilkan, meskipun benar bahwa pola outsourcingtelah diatur secarakhusus dalam Pasal 64 – 66 a quo; ———————————————

Menimbang bahwa pengaturan outsourcing dalam Pasal 64 – 66 UUKetenagakerjaan menjelaskan keberadaan dan batasan dari outsourcingtersebut sebagai bagian dari pekerjaan yang terpisah dari kegiatan utama yangmerupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan yang tidak

44

Page 51: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

menghambat proses produksi secara langsung. Pelaksanaan pekerjaan tersebutdiserahkan oleh suatu perusahaan kepada perusahaan lainnya dengan perjanjianpemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh yang dibuat secaratertulis. Buruh/pekerja dimaksud tidak boleh digunakan oleh pemberi kerjauntuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubunganlangsung dengan proses produksi, sehingga hubungan kerja antara buruh/pekerja outsourcing adalah dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;————————————————————————————

Menimbang bahwa perlindungan yang diberikan terhadap buruhoutsourcing tampak dalam Pasal 66 ayat (1), (2) a, c dan ayat (4) yangberbunyi:—————————————————————————

(1) Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak bolehdigunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokokatau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi,kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidakberhubungan langsung dengan proses produksi;————————

(2) Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang ataukegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksiharus memenuhi syarat sebagai berikut: ——————————

a). Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dari perusahaanpenyedia jasa pekerja/buruh;——————————————

b). Perlindungan upah dan kesejahteraan syarat-syarat kerja, sertaperselisihan yang timbul menjadikan tanggung jawab perusahaanpenyedia jasa pekerja/buruh;dan;————————————

(3) Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dan ayat(2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta (3) tidak terpenuhi, makademi hukum status hubingan kerja antara pekerja/buruh danperusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, beralih menjadi hubungankerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan;——

Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, maka dalamhal buruh dimaksud ternyata dipekerjakan untuk melaksanakan kegiatanpokok, tidak ada hubungan kerja dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh, dan jika perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh bukan merupakanbentuk usaha yang berbadan hukum, maka demi hukum status hubungankerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih

45

Page 52: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan pemberipekerjaan. Oleh karena itu, dengan memperhatikan keseimbangan yang perludalam perlindungan terhadap pengusaha, buruh/pekerja dan masyarakat secaraselaras, dalil para Pemohon tidak cukup beralasan. Hubungan kerja antaraburuh dengan perusahaan penyedia jasa yang melaksanakan pekerjaan padaperusahaan lain sebagaimana diatur dalam Pasal 64 – 66 undang-undang aquo, mendapat perlindungan kerja dan syarat-syarat yang sama denganperlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaanatau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Olehkarenanya terlepas dari jangka waktu tertentu yang mungkin menjadi syaratperjanjian kerja demikian dalam kesempatan yang tersedia, makaperlindungan hak-hak buruh sesuai dengan aturan hukum dalam UUKetenagakerjaan, tidak terbukti bahwa hal ini menyebabkan sistemoutsourcing merupakan modern slavery dalam proses produksi; ————

Menimbang bahwa akan tetapi terlepas dari uraian di atas, berdasarkanketerangan 2 (dua) orang saksi yang diajukan para pemohon, telah nyatabagi Mahkamah bahwa praktek-praktek yang dilakukan pengusaha dalamhal terjadinya pengalihan usaha dan dalam keadaan lain ketika pengusahaingin melakukan penghematan dengan segala daya upaya untuk menekanburuh/pekerja mengundurkan diri melalui lock-out perusahaan dengankewajiban membayar pesangon yang minim, dan kemudian membukakesempatan kerja atas dasar perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang disebutsebagai saksi sebagai pekerja kontrak dengan syarat-syarat yang sangatmerugikan pekerja/buruh, tampaknya pengawasan dan penegakan hukumdari yang berwenang tidak mampu melindungi buruh/pekerja dari praktekyang berlawanan dengan UU Ketenagakerjaan, akan tetapi pelanggaranpengusaha terhadap Pasal 55, Pasal 59 ayat (1), Pasal 61 ayat (1) dan ayat (3),Pasal 62, Pasal 65 ayat (2) secara seimbang tidak diberikan sanksi pidanasebagai bentuk perlindungan hukum yang dapat memaksa pengusaha untukmemberikan hak-hak buruh yang menghilangkan kesempatanmemperlakukan buruh/pekerja sebagaimana mestinya. Di pihak lain dalamPasal 186 ditentukan sanksi bagi buruh yang melanggar Pasal 137 dan 138,diancam dengan pidana minimum 1 (satu) bulan dan maksimum 4 (empat)tahun penjara dan/atau denda minimum Rp. 10.000.000., maksimum Rp.400.000.000,- sehingga dengan demikian Mahkamah berpendapat bahwaPasal 186 UU Ketenagakerjaan a quo bertentangan dengan UUD 1945, oleh

46

Page 53: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

karena sanksi-sanksi pidana dalam UU a quo bagi buruh/pekerja dipadangtidak proporsional dan berlebihan; ———————————————

Menimbang bahwa Pasal 119, 120 dan Pasal 121 UU Ketenagakerjaanada di bawah Bab Ketujuh yang mengatur Perjanjian Kerja Bersama (PKB),yang dalam Pasal 118 secara logis ditentukan bahwa dalam satu perusahaanhanya dapat dibuat 1 (satu) Perjanjian Kerja Bersama yang berlaku bagi seluruhpekerja/buruh di perusahaan, sehingga oleh karenanya juga cukup wajar jikamitra-runding pengusaha dalam penyusunan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)dimaksud sedapat-dapatnya mewakili mayoritas buruh/pekerja yang hakdan kepentingannya diatur dalam Perjanjian Kerja Bersama tersebutMahkamah berpendapat aturan yang mensyaratkan satu serikat buruh/pekerjadi perusahaan memperoleh hak untuk memwakili pekerja/buruh dalamperundingan pembuatan Perjanjian Kerja Bersama apabila memiliki jumlahanggota lebih dari 50 % dari jumlah seluruh pekerja/buruh di perusahaanyang bersangkutan, dan jikalau jumlah 50 % tidak tercapai, untuk dapatberunding serikat buruh/pekerja yang bersagkutan memerlukan dukunganlebih dari 50 % dari seluruh jumlah buruh/pekerja, yang akan dicapai olehserikat buruh/pekerja melalui musyawarah dan mufakat di antara sesamaburuh/pekerja, sedang jika serikat buruh/pekerja lebih dari satu dan tidakmencapai jumlah lebih dari 50 %, dapat dilakukan koalisi di antara serikatburuh/pekerja di perusahaan tersebut untuk mewakili buruh dalamperundingan dengan pengusaha, dan jika hal inipun tidak dicapai timperunding ditentukan secara proporsional berdasarkan jumlah anggotamasing-masing serikat buruh/pekerja. Aturan tersebut dipandang cukup wajardan tidak bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 28E ayat (3).Demikian pula persyaratan kartu anggota sebagai alat bukti bagi tandakeanggotaan seseorang dalam satu serikat pekerja/buruh, adalah merupakanhal yang wajar dalam organisasi untuk dapat secara sah menyatakan klaimmewakili anggota, dan sama sekali tidak cukup mendasar untuk dipandangbertentangan dengan UUD;——————————————————

Menimbang bahwa ketentuan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan yangmengharuskan dibentuknya Lembaga Kerjasama Bipartit dalam perusahaanyang mempekerjakan 50 orang buruh atau lebih, yang berfungsi sebagai forumkomunikasi dan konsultasi mengenai hal ketenagakerjaan di perusahaan yangbersangkutan, tidak perlu ditafsirkan meniadakan hak organisasi buruh/pekerjauntuk memperjuangkan hak dan kepentingan buruh/pekerja, karena

47

Page 54: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

penunjukan unsur buruh/pekerja yang akan duduk dalam forum tersebutdilakukan secara demokratis, yang dapat ditarik setiap saat jika ternyata bukankepentingan buruh yang dipertahankan dalam forum konsultasi dimaksud.Oleh karenanya Mahkamah tidak melihat Pasal 106 tersebut bertentangandengan UUD 1945; —————————————————————

Menimbang bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohonbahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegarabersamaan kedudukannnya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajibmenjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya, karenaPasal 158 memberi kewenangan pada pengusaha untuk melakukan PHKdengan alasan buruh/pekerja telah melakukan kesalahan berat tanpa due processof law melalui putusan pengadilan yang independen dan imparsial, melainkancukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-buktiyang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Dilain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yangditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidanatetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asaspraduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenammasih memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabilapengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah,pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja yang bersangkutantidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerjatersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atauberbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, danketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negarahukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidakmempunyai kekuatan hukum mengikat;———————————-——

Menimbang bahwa meskipun Pasal 159 menentukan, apabila buruh/pekerja yang telah di-PHK karena melakukan kesalahan berat menurut Pasal158, tidak menerima pemutusan hubungan kerja, buruh/pekerja yangbersangkutan dapat mengajukan gugatan ke lembaga penyelesaian perselisihanhubungan industrial, maka di samping ketentuan tersebut melahirkan bebanpembuktian yang tidak adil dan berat bagi buruh/pekerja untuk membuktikanletidaksalahannya, sebagai pihak yang secara ekonomis lebih lemah yangseharusnya memperoleh perlindungan hukum yang lebih disbanding

48

Page 55: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

pengusaha, Pasal 159 tentang hal tersebut juga menimbulkan kerancuanberpikir dengan memcampuradukkan proses perkara pidana dengan prosesperkara perdata secara tidak pada tempatnya;—————————-——

Menimbang bahwa syarat-syarat yang ditetapkan untuk pelaksanaanhak buruh untuk mogok, baik syarat bahwa mogok dilakukan secara sahdan tertib dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan (Pasal 137), ajakanmogok terhadap buruh saat mogok kerja berlangsung dengan tidak melanggarhukum (Pasal 138) maupun syarat-syarat administratif tentang jangka waktupemberitahuan dan lain-lain (Pasal 140 – 141), yang oleh para Pemohondipandang bertentangan dengan standard perburuhan internasional (ILO).Mahkamah berpendapat, tidak terdapat ketidaksesuaiannya dengan standardperburuhan internasional. Hal tersebut disebabkan sejumlah pembatasan jugadikenal dengan praktek yang disetujui ILO. Seandainyapun hal itu benarbertentangan dengan standard ILO -quod non- maka standard dan norma-norma yang demikian haruslah dilihat sebagai bagian dari standard dan normayang berlaku di Indonesia melalui ukuran yang dikenal dalam UUD 1945.Hal itu disebabkan hak asasi tidak dipandang sebagai sesuatu yang berlakumutlak. Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 menetapkan bahwa dalammenjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepadapembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasanorang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai denganpertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umumdalam suatu msyarakat demokratis;———————————————

Menimbang bahwa walaupun demikian jika dikaitkan dengan sanksiatas pelanggaran terhadap Pasal 137 dan 138 sebagaimana termuat di dalamPasal 185 UU Ketenagakerjaan yang juga telah dipertimbangkan di atas,Mahkamah berpendapat bahwa sanksi dalam Pasal 186 tersebut tidakproporsional karena mereduksi hak mogok yang merupakan hak dasar buruhyang dijamin oleh UUD 1945 dalam rangka kebebasan menyatakan sikap(Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) dan hak untuk mendapat imbalan yang adildan layak dalam hubungan kerja (Pasal 28D ayat (2)). Pelaksanaan hak mogokyang melanggar persyaratan-persyaratan yang ditentukan dalam Pasal 137dan Pasal 138 ayat (1) UU Ketenagakerjaan harus diatur secara proporsional;—

Menimbang bahwa ketentuan Pasal 76 UU Ketenagakerjaan yangmemberi syarat-syarat tertentu bagi buruh perempuan yang bekerja malam,

49

Page 56: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

menurut Mahkamah justru memberi perlindungan yang perlu bagi buruhperempuan yang dipandang sesuai dengan nilai-nilai yang hidup dalammasyarakat di Indonesia, yang tidak harus dilihat dari adanya bias genderyang mengkaitkan perempuan sebagai faktor utama pencetus tindakan asusila,melainkan tindakan yang perlu dilakukan menurut nilai-nilai yang dianutdalam masyarakat, hal tersebut sama sekali tidak relevan dikaitkan dengansikap dan perlakuan yang bersifat diskriminatif terhadap buruh perempuan;—

Menimbang bahwa dalil para Pemohon yang menyatakan dari segisistematika dan prosedural terdapat kerancuan di antara pasal-pasal UUKetenagakerjaan, Mahkamah berpendapat bahwa hal demikian merupakantafsiran dari para pemohon, yang oleh Mahkahmah tidak dilihat secaraprinsipal mengandung inkonsistensi satu dengan yang lain dan tidakbertentangan dengan UUD 1945. Meskipun oleh Pemohon diakui bahwaundang-undang a quo memberi mandat kepada eksekutif untukmelaksanakan undang-undang a quo melalui Undang-undang, 12 PeraturanPemerintah, 5 Keputusan Presiden dan 30 Keputusan Menteri, yang dapatdiartikan tidak lengkapnya undang-undang dimaksud, keadaan tersebut tidakharus disimpulkan sebagai executive heavy, karena setiap peraturan dapat diujikeabsahannya terhadap aturan yang lebih tinggi. Meskipun Ketetapan MPRNomor III Tahun 2000 secara expresis verbiss tidak menyebut KeputusanMenteri dalam tata urutan perundang-undangan Indonesia, akan tetapi Pasal4 ayat (2) Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut dan praktekketatanegaraan di Indonesia, dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahanuntuk menjalankan undang-undang, Keputusan Menteri yang mempunyaikekuatan hukum mengikat yang bersifat umum telah diterima dan diakuikeberadaannya. Walaupun Tap MPR Nomor III Tahun 2000 tersebut tidakberlaku lagi dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan pada tanggal 22 Juni2004. Pasal 56 UU a quo, menyatakan, “semua Keputusan Presiden,Keputusan Menteri, Keputusan Gubernur, Keputusan Bupati/Walikota, atauKeputusan Pejabat lainnya sebagaimana dimaksud Pasal 54 yang sifatnyamengatur yang sudah ada sebelum undang-undang ini berlaku harus dibacaperaturan sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini;———

Menimbang bahwa adanya dalil yang menyatakan UU Ketenagakerjaanyang diundangkan tanggal 25 Maret 2003 berbeda dengan draft UUKetenagakerjaan yang disahkan oleh Sidang Paripurna DPR R.I tanggal 25

50

Page 57: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

Februari 2003, oleh Mahkamah dipandang tidak dapat dibuktikan secarasah oleh para Pemohon, sehingga harus dikesampingkan;———————

Menimbang bahwa dengan uraian pertimbangan tersebut di atas,Mahkamah berpendapat bahwa permohonan para Pemohon dapatdikabulkan untuk sebagian, yaitu sebagaimana akan disebut dalam amarputusan di bawah ini, dan akan menolak permohonan para Pemohon yangselebihnya, karena dipandang tidak cukup beralasan;————————-

Memperhatikan Pasal 56 ayat (2), ayat (3) dan ayat (5) Undang-undangNomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi:———————

M E N G A D I L I :

Mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian;—

Menyatakan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentangKetenagakerjaan: —————————————————————

� Pasal 158;————————————————————

� Pasal 159;————————————————————

� Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “….Bukan atas pengaduan pengusaha…”;—————————

� Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…kecuali Pasal158 ayat (1), ….”;—————————————————

� Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158ayat (1) ….”;———————————————————

� Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137dan Pasal 138 ayat (1)….”;——————————————

bertentangan dengan Undang-undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun 1945;———————————————————

Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjangmengenai anak kalimat “…. Bukan atas pengaduan pengusaha ….”; Pasal170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Kecuali Pasal 158 ayat (1)….”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat(10 ….”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal

51

Page 58: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

137 dan Pasal 138 ayat (1) ….” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukummengikat;————————-

Menolak permohonan para Pemohon untuk selebihnya; —-

Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebutdi atas tentang pokok perkara dalam Sidang Pleno Rapat PermusyawaratanHakim Konstitusi, telah mengambil putusan terhadap permohonan paraPemohon a quo dengan 2 (dua) orang Hakim Konstitusi mengajukanpendapat berbeda; —————————————————————

PENDAPAT BERBEDA (DISSENTING OPINION)

Hakim Konstitusi : Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S dan

Prof. Dr. H.M. Laica Marzuki, S.H.

1. Sesungguhnya, setelah perubahan UUD 1945 ( 1999 – 2002),Konstitusi NKRI benar-benar merupakan konsitusi yang berbasiskanHak Azasi Manusia (HAM) melalui 10 (sepuluh) pasal Ham yangtercantum dalam Pasal 28 A sampai dengan Pasal 28 J, sehingga lebihmemperkokoh paradigma bernegara, sebagaimana dikehendaki olehPembukaan UUD 1945;————————————————

2. Akan tetapi, sungguh disesalkan bahwa pembaharuan Undang-Undangdi bidang Ketenagakerjaan melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun2003 tentang Ketenagakerjaan (selanjutnya disebut UUKetenagakerjaan) justru kurang ramah kemanusiaan dan kurangmemberi pengayoman (proteksi). Khususnya terhadap buruh/tenagakerja, seperti ditunjukkan oleh berbagai kebijakan yang tercantumdalam Undang-undang a quo, antara lain :——————————

� Kebijakan “outsourcing” yang tercantum dalam Pasal 64 – 66 UUKetenagakerjaan telah mengganggu ketenangan bekerja bagi buruh/pekerja yang sewaktu-waktu dapat terancam pemutusan hubungan

52

Page 59: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

kerja (PHK) dan men-downgrading-kan mereka sekedar sebagaisebuah komoditas, sehingga berwatak kurang protektif terhadapburuh/pekerja. Artinya, UU Ketenagakerjaan tidak sesuai denganparadigma proteksi kemanusiaan yang tecantum dalam PembukaanUUD 1945 dan bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD1945;——————————————————————

� Kebijakan yang tercantum dalam Pasal 119, Pasal 120, Pasal 121dan Pasal 106 UU Ketenagakerjaan yang intinya memperberatpersyaratan untuk merundingkan Perjanjian Kerja Bersama (PKB)bagi serikat buruh/serikat pekerja, merupakan kebijakanterselubung guna mengurangi hak buruh/pekerja untukmemperjuangkan hak-haknya dan mereduksi hakikat kebebasanberserikat/berorganisasi bagi buruh/pekerja seperti yang dijaminoleh Pasal 28 UUD 1945;——-—-—-—-—-—-—-—-—-—--

� Kebijakan prosedural administratif mengenai mogok kerja yangcenderung mereduksi makna mogok kerja sebagai hak dasar buruh/pekerja seperti yang tercantum dalam Pasal 137 sampai 140 UUKetenagakerjaan. Sebagai contoh ketentuan tentang kewajibanpemberitahuan secara tertulis bagi buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja dalam tenggang waktu sekurang-kurangnya 7(tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, padahakikatnya merupakan pengekangan hak dasar universalperjuangan buruh/pekerja dan serikat buruh/serikat pekerja (videPasal 140 UU Ketenagakerjaan);————————————

3. Selain hal-hal yang bersifat substansial seperti tersebut di atas itu (ujimateriil UU Ketenagakerjaan), kiranya dari sudut pengujian formilperlu dipertimbangkan kemungkinan untuk dikabulkan. UUD 1945memang tidak memuat secara rinci prosedur (tata cara) pembentukansebuah undang-undang, karena akan diatur lebih lanjut dengan undang-undang (vide Pasal 22A UUD 1945). Undang-undang yang dimaksudadalah Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang PembentukanPeraturan Perundang-undangan yang baru diundangkan pada tanggal22 Juni 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor4389), sehingga belum dapat dijadikan dasar hukum prosedurpembentukan UU Ketenagakerjaan yang diundangkan pada tahun

53

Page 60: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

2003. Tetapi seyogyanya untuk menilai apakah prosedur pembentukanUU Ketenagakerjaan sesuai atau tidak dengan ketentuan UUD 1945,perlu menyimak berbagai ketentuan peraturan perundang-undanganyang ada pada waktu itu, seperti ketentuan dalam Algemene Bepalingenvan Wetgeving voor Indonesia (AB, Stb.1847:23). Undang-undangNomor 2 Tahun 1999 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD yanglahir atas perintah UUD 1945 yang kemudian juga memerintahkanpengaturan lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPR (yangmemuat ketentuan tentang naskah akademik), dan KeputusanPresiden Nomor 188 Tahun 1998 jo Keputusan Presiden Nomor 44Tahun 1999. Selain itu, juga harus memperhatikan asas-asas umumperaturan perundang-undang yang baik, yaitu asas tujuan yang jelas,asas lembaga yang tepat, asas perlunya pengaturan, dan asas dapatdilaksanakan, yang ternyata kemudian asas-asas tersebut diadopsi olehUndang-undang Nomor 10 Tahun 2004 dan bahkan ditambah antaralain dengan asas keadilan dan pengayoman (vide Pasal 5 dan Pasal6);—————————————————————————

4. Berdasarkan uraian diatas, maka seharusnya yang dikabulkan daripermohonan a quo lebih banyak dari pada sekedar yang disebutkandalam amar putusan Mahkamah;—————————————

Demikianlah diputuskan dalam Rapat Pleno Permusyawaratan HakimKonstitusi pada hari Selasa, tanggal 26 Oktober 2004, dan diucapkan dalamSidang Pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum pada hariini, Kamis tanggal 28 Oktober 2004, oleh kami Prof. Dr. JimlyAsshiddiqie, SH, selaku Ketua merangkap anggota dan didampingi olehProf. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM.,Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., H. Achmad Roestandi, S.H.,Dr. Harjono, S.H., MCL., I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H., MaruararSiahaan, S.H., Sordarsono, S.H., masing-masing sebagai anggota dandibantu oleh Triyono Edy Budhiarto, S.H, sebagai Perantara Pengganti,dengan dihadiri oleh para Pemohon/Kuasanya, beserta wakil dariPemerintah;————————————————————————

54

Page 61: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

K e t u a

ttd

Prof. Dr. Jimly Asshiddqie, S.H.

Anggota-anggota,

ttd ttd

Prof. Dr.H.M.Laica Marzuki, S,H Prof.H.A.S. Natabaya, S.H.,LLM

ttd ttd

Prof. H.A.Mukthie Fadjar, S,H.,MS. H. Achmad Roestandi, S.H

ttd ttd

Dr. Harjono, S.H., MCL I Dewa Gede Palguna, S.H.,M.H

ttd ttd

Maruarar Siahaan, S.H Soedarsono, S.H

Panitera Pengganti

ttd

Triyono Edy Budhiarto, S.H.

55

Page 62: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Dr. Muzni Tambusai, MSc

NIP : 140058574

Pangkat : Pembina Utama (IV/e)

Tempat/Tgl Lahir : Sedinginan (Prop Riau), 18 Desember 1946

Jabatan : Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan IndustrialDepartemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi

I. RIWAYAT HIDUP

1. Tahun 1967 s/d 1973 : Fakultas Kedokteran UGM di Yogyakarta

2. Tahun 1974 : Fakultas kesehatan Masyarakat UI JurusanHygiene

3. Tahun 1998 : Master of Science on Management CurtinUniversity

II. RIWAYAT JABATAN

1. Tahun 1973 : Pengawasan Kesehatan Kerja/Hiperkes padaKantor Daerah Tenaga Kerja Prop. Riau

2. Tahun 1982-1987 : Anggota DPR RI di Jakarta

3. Tahun 1994-1997 : Kepala Kantor Wilayah Depnaker Propinsi Riau

4. Tahun 1997-2001 : Kepala Kantor Wilayah Depnaker Propinsi Riau

5. Tahun 2001-2003 : Direktur Jenderal Binawas, Depnakertrans RI.

6. Tahun 2003-sekarang : Direktur jenderal Pembinaan HubunganIndustrial Depnakertrans RI.

56

Page 63: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

II. LATIHAN JABATAN/KURSUS

1. Tahun 1986 : Kursus Perencanaan Tingkat Nasional

2. Tahun 1989 : 1) Course on Chemical Safety and MajorHazard Inspection in School of CommunityHealth, Curtin University of Technology,Perth, Australia

2) Symposium on Goverment Controls inOccupational Health and Safety and Welfareof Western Australia in Perth

3. Tahun 1995 : 1) Symposium on Tripartism by ILO di Penang,Malaysia

2) Studi banding tentang Dual System onVocational Training di Austria dan Jerman

4. Tahun 2001 : 1) Studi Banding Pelaksanaan HubunganIndustrial di Jepang

2) Beberap Seminar Internasional di berbagainegara

III. PENGALAMAN ORGANISASI

Pernah menjadi :1. Ketua IPR Yogyakarta2. Ketua KODEMA Fakultas kedokteran UGM3. Ketua KNPI Propinsi Riau4. Wakil Ketua IDI Cabang Riau5. Anggota Dewan Pertimbangan Golkar Dati I Riau

57

Page 64: SERI 4 PELAKSANAAN KEPUTUSAN MAHKAMAH …asia/@ro-bangkok/@ilo-jakarta/... · seri 4 pelaksanaan keputusan mahkamah konstitusi terhadap undang-undang no. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan

DAFTAR PUSTAKA1. Abdul Kadir Muhamamd, 2000. Hukum Acara Perdata Indonesia,

Bandung, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.2. Batubara Cosmos, 2000. “Hubungan Industrial di Indonesia Aspek Politik

dari Perubahan di Tempat Kerja Dekade Sembilan Puluhan dan AwalDua Ribu,” Dis Depok, niversitas Indonesia.

3. Djunaedi, 1992. Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja. Jakarta, RajawaliPers.

4. F.J.H.M. Vannden Van 1969. Persyaratan Hukum kerja. TerjemahanSridadi, Yogyakarta. Penerbit Yayasan Kanisius.

5. Rajagukguk Erman, 1997. “Peranan Hukum dalam Pembangunan PadaEra Globalisasi Implikasinya Bagi Pendidikan ukum di Indonesia.”Pidato pengukuhan diucapkan pada Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, Jakarta 4 Juni 1947.

6. Rajagukguk Humal Pandamean, 1993. “Perlindungan TerhadapPemutusan Hubungan Kerja ditinjau dari sudut Sejarah Hukum.”Dis Jakarta Universitas Indonesia.

7. Soepomo Imam, 1985. Pengaturan Hukum Perburuhan. jakarta. PenerbitJakarta.

8. ____1982. Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta. PenerbitJakarta.

9. ____1978. Hukum Perburuhan Bidang Aneka utusan (P4), Jakarta PradyaParamita.

10. Suwarto, 2003. Hubungan Industrial dalam Praktek, Jakarta. penerbitAsosiasi Hubungan Industrial Indonesia.

11. Tambusai Muzni, 2004. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrialdi Indonesia, Jakarta. DPP IPHII kerjasama dengan Karya UnggulPersada.

12. Uwiyono Aloysius, 2001. Hak Mogok di Indonesia, Jakarta, UniversitasIndonesia Fakultas Hukum Program Pasca Sarjana.

13. ____2003. “Peranan Hukum Perburuhan Dalam pemulihan Ekonomidan Peningkatan Kesejahteraan Buruh.” Orasi pada UpacaraPengukuhan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu ukum PerburuhanFakultas Hukum Universitas Indonesia di Balai Sidang UI Depok 11Juni 2003.

14. Warr Peter, 1984. Psikologi Perburuhan dan Perundingan Kolektif, Jakarta.PT. Pustaka Binaman Pressindo.

58