ramadhan di dalulolong_270809
TRANSCRIPT
8/9/2019 RAMADHAN DI DALULOLONG_270809
http://slidepdf.com/reader/full/ramadhan-di-dalulolong270809 1/1
Anak-anakbola bekel
waktu berbFoto: M. Ta
TAKJIL DI SURAU TERPENCIL
Ramadhan di Dalulolongirip laskap afrika yang
kering, berdebu, dan panas.Tumbuhan menguning,
tinggal ranting-ranting
yang kerontang. Dolulolong, desa di
Kecamatan Omesuri, Lembata, Nusa
Tenggara Timur itu, sedang dirajam
kemarau.
“Sedang kering kerontang di sini”,
pesan pendek, Imyan Making (48),
melalui ponsel, dua hari lalu. Untuk
sekadar kirim sms, ia berjalan dua
kilo meter, mencari dataran tinggi
untuk dapat sinyal.
Lelaki dengan wajah Flores itu,selalu meledak-ledak, acapkali
berbincang tentang desanya. Area
permukiman di atas bukit karang,
persis di pinggir pantai, menghadap
selat yang menghubungkan Pulau
Solor dan Pulau Adonara. Ia, seorang
dai yang merintis dakwah di Lemba-
ta, sejak 10 tahun lalu.
Semangatnya mendidih, tatkala
bicara masa depan masyarakatnya.
Menurut lelaki yang sehari-hari kerja
jadi tukang bangunan itu, memaham-kan aqidah dengan lisan, tak cukup
ampuh. Kemiskinan akut, keter-
belakangan, dan alam yang keras,
memerlukan jawaban yang dapat
mengenyangkan perut.
“Kehidupan disini sulit dan ma-
hal”, kata Imyan.
“Ceramah saja tak cukup, untuk
menjelaskan bagaimana Islam itu”,
tandasnya. Perbincangan itu, dua
tahun lalu. Tatkala saya mengujungi
Imam Making di Dolulolong.
Alam yang kering, dengan curah
hujan rendah, membuat musim tanam
tak lebih satu kali dalam setahun.
Pertanian yang mampu bertahan, ha-
nya jagung dan jambu mente. Mereka
mayoritas petani, tak lebih dari 10 persen nelayan tradisional yang me-
nangkap ikan, dengan sampan kecil.
Selingan aktivitas harian, memelihara
kambing yang digembalakan liar di
sabana kering.
Jagung, jadi salah satu makanan
utama warga Dalulolong. Tapi jagung
disana, diolah menjadi jagung titi.
Prosesnya, diolah seperti membuat
emping mlinjo. Jagung digoreng
tanpa minyak, kemudian digeprak di
atas batu hingga gepeng, mirip em- ping. Setelah itu, disiram kuah atau
air, disantap dengan pisang rebus dan
teri asin, jika ada. Rasanya, jika tak
biasa akan menyedak tenggorokan.
Muslim di desa itu, hidup amat
sederhana. Sebagian besar rumahmereka masih beratap ilalang kering.
Lantai rumahnya, tanah berdebu.
Jika menjamu tamu, tikar dari daun
lontar digelar, rasanya seperti sofa
empuk.
Ramadan kali ini, Imyan Making
dan masyarakat Dolulolong, menjala-
ni bulan suci dalam cuaca ekstrim. Di
atas jam 10 siang, matahari me-
nyengat tajam, hingga jelang Ashar.
Akhirnya, tak banyak aktivitas yang
dapat dilakukan. Mereka menunggu bedug magrib dengan persiapan ala
kadarnya. Lepas Magrib, mereka
sholat tarawih di Masjid Baitul A’la.
Kabarnya masjid itu kini sudah
berdinding tembok. Dulu masjidnya
sederhana dari papan.Ramadan di Dalulolong, tak ada
yang berubah dengan hari-hari biasa.
Sekilas yang beda, warga muslim
tidak makan minum di siang hari.
Tapi, makan tak lebih dari satu kali
sehari, juga sudah kondisi hari-hari.
Pastinya, tak ada sajian istimewa di
Dalulolong, seperti kolak sebagai
menu pembuka, misalnya.
“Kolak mas? Air putih saja sudah
beruntung”, Imyan menjawab ber-
candaan saya melalui sms.“Seperti waktu mas ke Lembata
dulu, tak adalah yang berubah”,
pesan Imyan menutup kabar. Ra-
M
sanya, j
Ramada
dan musYa A
ini selal
mereka
B
CIMB Nia
BCA
PermataB
Bank Sya
Bank ManBRI SyariaDanamon
Rekening an.
Telp. 02Fax. 021
MOHON BUKT