prospek dan tanlangan international criminal court 91

19
Prospek dan Tanlangan Internationa l Criminal Court PROSPEK DAN TANTANGAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT Kartini Sekartadji 91 Pembentukan International Criminal Court (ICC) memberikan sumbangan besar bagi Hukum lnlernasional dan Hukum Pidana lnternasional. Tujuan utama pembentukan ICC adalah untuk memutus praktik impunity terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan, difasilitasi atau didiamkan oleh pemerintah yang dilakukan secara sistematis atau dengan akibat yang meluas. Dalam p roses pembentukannya maupun dalam praktik nantinya, banyak unsur politis di dalamnya, yang menyangkut negara "kuat " vs negara "lemah ", mengingat banyak negara yang seca ra politis berpenga ruh tidak mengikatkan diri pada ICC. Di samping itu adanya peran penting Dewan Keamanan PBB, yang di dalamnya terdapat kepentingan th e Big Five terutama Amerika, Cina dan Perancis yang nyata-nyata tidak menginginkan ICC berdiri sendiri di luar PBB, sebagai salah satu triggered mechanism berlakunya ICC semakin memp ertajam unsur politis pada pelaksanaan ICC nantinya. A. Pendahulnan International Criminal Court (ICC) adalah lembaga pengadilan internasional untuk mengadili pelaku the masts serious crimes concern to international community as a whole secara individual. ICC bukanlah lembaga penyelesai sengketa internasional semacam IC]. ICC juga berbeda dengan IC] dalam hal hubungannya dengan PBB, ICC bukan merupakan organ PBB seperti halnya IC]. The newly established ICC was created outside of the UN system. This permanent institution, established by international treaty, will complement national jurisdictions that are unable or unwilling to bring to justice the perpetrators of genOCide, war Nomor 2 Tahun XXXIV

Upload: others

Post on 12-Jan-2022

12 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tanlangan International Criminal Court

PROSPEK DAN TANTANGAN INTERNATIONAL CRIMINAL COURT

Kartini Sekartadji

91

Pembentukan International Criminal Court (ICC) memberikan sumbangan besar bagi Hukum lnlernasional dan Hukum Pidana lnternasional. Tujuan utama pembentukan ICC adalah untuk memutus praktik impunity terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan, difasilitasi atau didiamkan oleh pemerintah yang dilakukan secara sistematis atau dengan akibat yang meluas. Dalam proses pembentukannya maupun dalam praktik nantinya, banyak unsur politis di dalamnya, yang menyangkut negara "kuat " vs negara "lemah ", mengingat banyak negara yang secara politis berpengaruh tidak mengikatkan diri pada ICC. Di samping itu adanya peran penting Dewan Keamanan PBB, yang di dalamnya terdapat kepentingan the Big Five terutama Amerika, Cina dan Perancis yang nyata-nyata tidak menginginkan ICC berdiri sendiri di luar PBB, sebagai salah satu triggered mechanism berlakunya ICC semakin mempertajam unsur politis pada pelaksanaan ICC nantinya.

A. Pendahulnan

International Criminal Court (ICC) adalah lembaga pengadilan internasional untuk mengadili pelaku the masts serious crimes concern to international community as a whole secara individual. ICC bukanlah lembaga penyelesai sengketa internasional semacam IC]. ICC juga berbeda dengan IC] dalam hal hubungannya dengan PBB , ICC bukan merupakan organ PBB seperti halnya IC]. The newly established ICC was created outside of the UN system. This permanent institution, established by international treaty, will complement national jurisdictions that are unable or unwilling to bring to justice the perpetrators of genOCide, war

Nomor 2 Tahun XXXIV

Page 2: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

92 Hukllm dan Pembangullan

crimes alld crimes against hllmanityl ICC dibentuk melalui suatu proses perjanjian multilateral, sekalipun tidak dibentuk oleh PBB namun persidangan-persidangan pembentukan ICC difasilitasi oleh PBB. Oikatakan oleh Stojanka Mirceva bahwa the adoption of the ICC Statute and future establishment of the court constitutes significant progress in international criminal law. Jadi pembentukan ICC melalui perjanjian multilateral, dengan 166 negara peserta perundingan tersebut merupakan perkembangan yang sangat signifikan dalam hukurn pidana internasional, sebagai cabang hukum internasional yang relatif masih baru. Pada bag ian lain ditegaskan bahwa ICC itu adalah lembaga peradilan dengan status yang independen dan terpisah dari PBB, sekalipun tetap mempunyai hubungan dengan OK PBB, yakni sehubungan dengan sifat komplementer ICC terhadap pengadilan nasional, jadi bukan bersifat sub-ordinase.

Untuk membedakan dengan tiga pengadilan serupa dalam hukum internasional yang sudah ada sebelumnya, yakni Nurenberg Trial dan Tokyo Tribunal, ICTY, serra ICTR, maka Statuta Roma 1998 menggunakan istilah established. Baik Nurenberg Trial maupun Tokyo Tribunal dibentuk oleh negara pemenang PO II, oleh sebab itu kedua pengadilan tersebut biasa disebut victor's justice. ICTY dan ICTR adalah bentukan OK PBB, karena akibat dari konfJik yang terjadi di Yugoslavia maupun Rwanda dipandang telah mengganggu perdamaian dan keamanan dunia.

Melalui perumusan is hereby establish pada Pasal 1 Statuta Roma 1998, ingin ditegaskan bahwa tidak dengan sendirinya ICC itu terbentuk pada tanggal 19 Juli 1998 yang diputuskan oleh Konferensi Roma, tetapi ICC itu benar-benar established manakala telah tercapai jumlah ratifikasi sebagaimana disyaratkan oleh Pasal 126 Statuta 1998 tentang entry into enforce. Adapun entry in to enforce itu terhitung mulai tanggal I Juli 2002, yakni telah tercapai 60 ratifikasi sebagaimana disyaratkan oleh Statuta 1998 itu sendiri . Seka1ipun eksistensi ICC sudah diakui sejak tanggal tersebut, tetapi ICC belum bisa melakukan tindakan apapun, sebelum "the Assembly of States Pany". yang bukan merupakan organ

International criminal jurisdiction Prosecuting Alleged War Criminals. http://www . iere. org/web/eng/siteengO. nsf\iwpLis(2/Humanitrian law: International crim inal jurisdiction.

2 Stojanka Mirceva Why the International Criminal Court is Different, Peace and Conflict Monitor, 26 Januari 2004, http://www.globalpolicy.org/intljustice/icc/index.htm.

April - Juni 2004

Page 3: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan Internalional Criminal Court 93

ICC, bekerja. "The Assembly of States Party" akan diundang oleh Sekjen PBB setelah deposit 60 instrumen ratification, acceptance, approval atau accession diterima oleh Sekjen PBB. Setelah itu "the Assembly of States Party" akan memutuskan permulaan operasional ICC dengan mengisi fungsi-fungsi operasionaI ICC, khususnya memilih hakim sesuai dengan Pasal 36 ayat 6 a, mengadopsi "its own rules of Procedure" (Pasal 112 ayat 9) dan Rules of Procedure and Evidence of the Court (Pasal 51 ayat 1). ICC hanya dapat berfungsi hanyalah ketika suatu situasi atau kejahatan terjadi pada hari setelah ICC itu berlaku efektif.

Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian internasional yang paling kompleks , dengan penggunaan jaringan teknologi yang sangat canggih dan mengambil berbagai ketentuan hukum pidana negara-negara di dunia sebagai perbandingan yang dikombinasikan dengan serangkaian pendekatan politik yang sangat menekan kedaulatan negara sebagai hearth of State'. Tujuan utama pembentukan ICC adalah untuk memutus praktik impunity terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan, difasilitasi atau didiamkan oleh pemerintah yang dilakukan secara sistematis atau dengan akibat yang meluas. Adapun yurisdiksi ICC meliputi empat jenis kejahatan : genocide, crimes against human rights, war crimes dan aggression. Baik di dalam preambule Statuta Roma 1998 tentang Pembentukan ICC maupun di dalam Pasal 5, keempat kejahatan terse but digambarkan sebagai 'the most serious crimes of concern to imernational community as a whole'. Masih dalam preambule Statuta Roma 1998, keempat kejahatan itu juga dideskripsikan sebagai 'unimaginable atrocities that deeply shock the consience of humanity".

3 William A Scabas An Introduction to the International Criminal Court, Chamhridges University Press, Cambridge~UK, 2001, Halaman : 20.

4 Bandingkan dengan penggunaan istilah exIra ordinary crimes yang secara normati f terdapat dalam UU No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yakni dalam Penjelasan khususnya pacta bag ian Umum, namun demikian tidak dijelaskan lebih lanjut arti dad istilah tersebUL Sementara itu di dalam Statuta Roma 1998 tentang pembenrukan ICC tidak ditemukan istilah tersebut. Statur3 Roma 1998 rnenyebut istilah most serious crimes of international concern untuk menjelaskan sifat pelanggaran HAM berat yang menjadi yurisdiksi dari ICC. Sementara itu Statuta ICTY mempergunakan istilah serious violations of international humanitarian law untuk menjeiaskan sifat dari pelanggaran hukum humaniter di wiiayah bekas Yugoslavia yang meliputi Grave breaches of the Geneva Conventions of 1949; Violations of the laws or customs of war; Genocide; Crimes against humanity. Statuta ICTR mempergunakan istilah serious violations of international

Nomor 2 Tahun XXXIV

Page 4: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

94 Hukum dan Pembangunan

Gambaran semacam itu tidak dapat dilepaskan dari sejarah yang melatarbelakangi pembentukan ICC, yakni jatuhnya korban berjuta-juta manusia dalam berbagai konflik bersenjata pada Perang Dunia II, pada konflik etnis di Yugoslavia maupun Rwanda. Abad 21 menunjukkan kepada kita kejahatan yang terburuk dalam sejarah umat manusia. Dalam 50 tahun terakhir terjadi kurang lebih 250 konflik yang rerjadi di dunia, dengan memakan korban jiwa. Lebih dari 170 juta manusia yang telah kehilangan hak-hak mereka, dan lebih dari itu adalah kehilangan martabat mereka sebagai manusia. Lebih dari dua juta penduduk di Kamboja menjadi korban dari kekejaman perang yang tersebar luas dan brutal di Ladang Pembantaian (Killing's Field) yang terjadi dari tahun 1975-1978; ethnic cleansing yang telah mengkoyak-koyak Yugoslavia dan menyebabkan matinya setengah juta manusia dan diperkirakan sedikitnya ada 800.000 orang-orang Tutsi dan Hutu yang moderat dibunuh secara massaJ dalam aksi genosida oleh kaum ekstrimis Hutu di Rwanda'-

Adapun pemicu berlakunya yurisdiksi ICC didasarkan pada tiga institusi sebagai triggered jurisdiciton, yakni Complaint by a State Party; Refferal by the Security Council dan Trigger by the Prosecutor. Berkenaan dengan trigger mechanism oleh DK PBB, maka dapat dikemukakan bahwa kewenangan tersebut didasarkan pad a Pasa! 39 Piagam PBB yang menyatakan bahwa :

"Dewan Keamallan akall menentukan ada tidaknya sootu ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi dan akall menganjurkan atau memutuskan tindakan apa yang harus diambil sesuai dengan Pasol 41 dan 42. untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional" .

humanitarian Law. Secara tegas dinyatakan bahwa pembentukan Tribunal (TCTR) dimaksudkan ullluk menuntut "persons of responsible for genocide and other serious violations of international humanitarian law commited in the territory of Rawnda dan RlVandan citizens rejponsible for genocide wuJ other violations committed in the terrilOry of neighbouring States, between I january 1994 and 31 December 1994 ... "'Dari penjelasan in i dapat dikemukakan Ichih lanjut bahwa pada ICC. ICTY dan ICTR unsur internasionalnya lebih mengedepan dibanding pada UU No. 26 talmn 2(x)(} tentang Pengadi lan HAM yang mempergunakan istilah extra ordinary.

5 United Nations : UN Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the Establishment of ICC, Roma, 15 June-17 July 1998.

April - Juni 2004

Page 5: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan IlIIernarional Criminal Court 95

Berdasar atas Pasal 39 Pia gam PBB maupun Pasal 13 Statuta Roma 1998, maka dapat dilihat bahwa hubungan antara DK PBB dengan ICC merupakan dua lembaga yang sarna-sarna bekerja untuk memelihara perdamaian dan keamanan, namun dengan penyelesaian yang berbeda. ICC adalah lembaga penjaga ketertiban dan keamanan dunia melalui mekanisme pengadilan. Sementara itu Piagam PBB memberikan mandat pada Dewan Keamanan untuk memelihara perdamaian dan keamanan dunia dengan fungsi- fungsi dan kekuatan sebagai berikut6

:

• to maintain international peace and security in accordance with the principles and purposes of the United Nations;

• to investigate any dispute or situation which mightlead to international friction;

• to recommend methods of adjusting such disputes or the terms of settlement;

• to formulate plans for the establishment of a system to regulate armaments;

• to determine the existence of a threat to the peace or act of agression and to recommend what action should be taken;

• to call on Members to apply economic sanctions and other measures not involving the use of force to prevent or stop aggressor;

• to recommend the admission of new Members; • toexercise the trusteeship functions of the United nations in 'strategic

areas";

• to recommend to the General Assembly the appointment of the Secretary general and together with the Assembly, to elect the Judges of the International Court of Justice.

Preambul Statuta Roma 1998 mengakui bahwa kejahatan-kejahatan yang masuk dalam yurisdiksi ICC dapat mengancam perdamaian dan keamanan. Dalam dua ad-hoc tribunal (untuk bekas Yugoslavia dan Rwanda), Dewan Keamanan bertindak berdasarkan Bab VII Piagam PBB -yang kemudian diakui bahwa kekejaman-kekejaman sebagaimana diadili

6 Under the Charter, the Functions and Powers of the Security Council, http://www.un.org.id . security

Nomor 2 Tahun XXXIV

Page 6: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

96 Hukum dan Pemballgunan

oleh dua ad-hoc tribunal tesebut juga menjadi perhatian ICC dan juga DK PBB'.

Berkaitan dengan soal yurisdiksi ICC, maka dapat dikemukakan bahwa ICC menganut dua regim yurisdiksi, yakni jurisdiction sword is so sharp and long dan regim jurisdiction sword, which is cumbersome and short. Yurisdiksi kriminal ICC secara alamiah (the normal ICC jurisdiction) hanya berlaku terhadap negara peserta Statuta Roma 1998 tentang pembentukan ICC. NanlUn sehubungan dengan adanya peranan DK PBB sebagai trigger mechanisme berlakunya yurisdiksi ICC, maka sebenarnya yurisdiksi ICC berlaku juga kepada negara yang bukan peserta Statuta Roma 1998. Hal ini dapat dijelaskan lebih lanjut dengan mengemukakan pandangan Hans-Peter Kaul berkenaan dengan jurisdictional regime of the Statute yang menyatakan bahwa One court is potentially very strong and universal and has a sharp jurisdictional sword with a long outreach. The other court is quite weak and has only a jurisdiction sword, which is cumbersome and short. Lebih Ian jut dinyatakan bahwa pada satu sisi ICC mendasarkan pada DK PBB sebagai salah satu triggered jurisdiction berdasar Pasal 13b Statuta Roma 1998, di mana di dalam Statuta Roma 1998 terkandung the jurisdiction regime of a permanent ad hoc tribunat' yang hanya dapat dijalankan oleh DK PBB, khususnya oleh anggota tetap. Dalam hal ini yang diperlukan adalah penyerahan resolusi olell Dewan Kemanan PBB berdasar Bab VII Piagam PBB dan berdasarkan resolusi tersebut DK PBB menyerahkan kasus (pelanggaran HAM be rat) pada ICC. Pada kasus serupa itu maka tidak

7 Elizabeth Wilmshurst : The International Criminal Court: The Role of the Security Council , dalam Mauro Politi&Giuseppe Nesi (eds .) The Rome Statute of InrerllatiolUli Criminal Court, a ChaLLenge 10 Impunity, Ashgale Publishing Limited, England. 2001 , Halaman : 39-40.

8 Hans-Peter Kau l : The Imernalionai Criminal Court : Jurisdiction , Trigger Mechanism and Relationship to NationatJurisdiction, dalam : I bid, Halaman : 60-62.

9 Jurisdiction regim of permanent ad-hoc tribunal yang terkandung dalam ICC sebagaimana dikemukakan oleh Hans-Pelerr Kaul di alas dapat dijelaskan sebagai berikut : hahwa keberadaan DK PBB sebagai triggered jurisdcition oj ICC sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 tidak dapat dilepaskan dari keberhasilan lembaga tersebut dalam pembentukan ICTY dan ICTR, jadi dengan pernyataan tersebul ingin ditegaskan bahwa OK PBS mempunyai kewenangan khusus untuk memicu pelaksanaan yurisdiksi ICC terhadap jellis-jenis pdanggaran HAM beral yang mengancam perdamaian dan keamanan dunia sebagaimana telah dilerapkan dalam pengadilan ad hoc ICTY maupun ICTR.

ApriL - iuni 2004

Page 7: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Talllallgan International Criminal Court 97

diperlukan kondisi penerapan lebih lanjut, tidak ada syarat lebih lal1iut yang diperlukan. Dalam situasi yang demikian inilah yurisdiksi ICC itu dikatakan sebagai jurisdiction sword is so sharp and long, terlepas itu menyangkut negara peserta atau di luar negara peserta Statum Roma 1998. Pada sisi lain ICC memiliki yurisdiksi normal , yakni yang dimiliki oleh negara peserta Statuta Roma 1998, sehingga pelaksanaan yurisdiksi ICC dalam hal ini hanya dapat diajukan oleh negara peserta atau oleh jaksa penuntut secara propiu motu.

Ada perbedaan mendasar antara pelaksanaan yurisdiksi ICC oleh DK PBB dengan negara peserta atau laksa Penuntul ICC, yang membuat yurisdiksi ICC menjadi tidak praklis dan jangkauannya lerbatas. Ini disebabkan oleh adanya pembalasan pre kondisi berlakunya yuriSdiksi ICC sebagaimana diatur dalam Pasal 12, di mana baik negara lerilorial (territorial State) tempat terjadinya pelanggaran HAM bera! atau nationality State harns menjadi negara peserta Statuta Roma 1998. Apabila suatu negara menjadi peserta Statuta Roma 1998 setelah Statuta berlaku, maka ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya hanya berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan setelah ratifikasi atau aksesi oleh negara yang bersangkutan, kecuali kalau negara lersebut telah membuat deklarasi.

Dari penjelasan mengenai jurisdictional regime of the Statute tersebut dapat ditegaskan bahwa dalam hal triggered jurisdcition oleh DK PBB maka yurisdiksi ICC akan berlaku baik pada negara peserta maupun terhadap negara yang tidak menjadi peserta Statuta Roma 1998. Semen tara itu dalam hal triggered jurisdiction oleh negara peserta atau jaksa Penuntut, maka yurisdiksi ICC hanya berlaku terhadap negara peserta.

B. Masa depan ICC

Sebagai suatu lembaga pengadilan permanen bagi pelaku pelanggaran HAM berat, secara normatif ICC mempunyai prospek yang baik, yakni diberi mandat oleh negara-negara di dunia untuk mengakhiri humanitarian catastrophe sebagai hasil dari pelanggaran HAM yang dilakukan secara sistematis atau meluas, di mana pelanggaran HAM berat semacam itu melibatkan amu setidaknya didiamkan oleh pemerintah. Sekalipun kejahatan itu dalam konteks pemerintah tetapi ICC tidak dapat menjatuhkan hukuman terhadap suatu negara. Pertanggungjawaban

Namar 2 Tahun XXXIV

Page 8: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

98 Hukum dan Pembangunan

dilakukan secara individu , tujuannya adalah untuk mencegah primitive and archaic concept of collective responsibility. Sampai September 2003 setidaknya sudah ada 91 negara meratifikasi atau melakukan akses terhadap Statuta Roma 1998 dan 139 negara yang menandatangani. Ini menunjukkan sekali lagi secara normatif adanya prospek yang cukup baik bagi eksistensi ICC.

Di masa depan ICC diharapkan akan menjadi instrumen yang sangat efektif bagi bangsa-bangsa di dunia untuk memelihara "peace, security and well being of the world' dengan mencegah adanya impuniti terhadap the most serious violations or the highest values of international 's community'"' ICC tidak hanya memberikan kesempatan kepada dunia untuk memberikan makna dan pengaruh pada lebih dari satu abad tujuan pembentukan perjanjian dan hukum kebiasaan internasional, tetapi juga akan membantu perkembangan kelompok profesional dengan kemampuan yang tinggi dan legal profesional, tennasuk penuntut umum, lawyer dan hakim, yang akan memulai membentuk coherent legal sense of the wrost humanitarian disasters dan membantu menciptakan intensitas untuk mencegah timbulnya wrost humanitarian disasters ll

Prospek ICC sedikit banyak diletakkan pada adanya kemauan kerjasama antar negara-negara di dunia, mengingat penegakan hukum pidana internasional terhadap pelaku-pelaku most serious crimes concern to the international community as a whole itu diutamakan melalui yurisdiksi pengadilan nasional suatu negara. Kerjasama antara negara 1m sangat penting artinya, sebagaimana dikatakan oleh Mirceva sebagai berikut12

:

While cooperative States will be able and willing to carry out a prosecution for international crimes ill domestic courts, the nOIl-

10 Ouo Triffterer (ed.) : Commentary on the Rome Statute of International Criminal Court, Obsever's Notes, Article by Article, Nomos Vertagsgesellschaft, Baden-Baden 1999. Halaman : 48-49.

II Guy Lesser : War Crime and Punishment , What the United States Could Learn from the Milosevic Trial , anikel dalam. Harper's Magazine, Volume 308 No. 1844, lanuari 2004, New York, Halaman : 52.

12 Stojanka Mirceva: Why the International Criminal Court is Different. Peace and Conflict Monitor, 26 lanuari 2004 , http://www.globalpolicy.org/ intljustice/icc/ index.htm.

April - Juni 2004

j

Page 9: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan International Criminal Court 99

cooperative Stales will refuse to extradiate, prosecute or provide evidence. An essential element in the Court's efficient operation will be the cooperation of the states, since, orders and requests of the ICC are to be enforced through national jurisdicition.

Sebagaimana halnya dengan perjanjian-perjanjian internasional lainnya, maka penegakan perlindungan HAM bagi warga sipil melalui ICC akan sangat tergantung pada political will negara untuk mengimplementasikan Statuta Roma 1998. Padahal dilihat dari latar belakang pembentukan ICC, maka dapat dikemukakan bahwa sebenarnya ICC itu sendiri tidak sepenuhnya dikehendaki oleh negara-negara di dunia , atau kalaupun dikehendaki maka perlu ada berbagai modifikasi di sana SII11.

Statuta Roma 1998 dimaksudkan menjadi momentum di milenium baru pergerakan HAM yang menjadi tren sejak Perang Teluk. Pergulatan pemikiran dalam pembentukan ICC demikian panjang, karena di dalamnya terkandung perjuangan kepentingan nasional l11asing-masing negara. Schabas menggambarkan terdapat dinamika negara-negara peserta perundingan yang terbagi dalam beberapa kelompok, pertama, a geographically heteregeneous caucus negara-negara yang dikenal dengan sebutan like minded (42 negara) yang dipimpin oleh Kanada dan Jerman juga kemudian diikuti Inggris yang menginginkan beberapa hal untuk diatur dalam Statuta Roma 1998, yakni : (I) inherent jurisdiction of the Court over 'he core crimes' of genocide, crimes against humaniry and war crimes (and, perhaps : aggression); (2) elimination of a Securiry Council veto on prosecutions; (3) an independent prosecutor with the power to initiate proceedings proprio motu, dan (4) the prohibition of reservations to the statute. Kedua adalah Amerika, Cina dan Perancis yang lebih menghendaki adanya pengadilan internasional yang dikendalikan oleh OK PBB, di mana mereka dapat mempergunakan hak vetonya untuk melawan setiap tuntutan yang akan memalukan negaranya. Ketiga Non-Aligned Movement (NAM) yang memperjuangkan agar agresi menjadi salah satu yurisdiksi ICC, Keempat, caucus Southern African Development (SADC) yang dipengaruhi semangat post-apartheid Afrika Selatan, ikut ambil peran dalam pembahasan masalah HAM, dengan mengajukan valuable-counter terhadap bangsa-bangsa Eropa. Kelompok kelima adalah caucus Arab dan negara-negara Islam (termasuk Iran, Iraq, Lybia dan Indonesia) yang sama sekali tidak menginginkan adanya

Nomor 2 Tahltn XXXIV

Page 10: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

lao Hukum dan Pembangunan

pengadilan internasional, segala bentuk pelanggaran HAM berat cukup diselesaikan melalui pengadilan nasional. Di samping itu meminta agar penggunaan senjata nuklir dilarang, serta mendorong dimasukkannya hukum mati ke dalam Statuta Roma 1998.13

Dari gambaran situasi pembentukan ICC di atas, ke depan ICC akan mengalami banyak hambatan dalam kaitannya dengan kehendak negara baik yang telah melakukan ratifikasi, apalagi yang belum atau tidak mau mengikatkan diri pada ICC seperti AS, Cina, Israel dan India. Di samping itu tantangan juga akan muncul sehubungan dengan penerapan yurisdiksi ICC melalui asas komplementer yang secara hakiki merupakan benruk 'halus' dari reduksi kedaulatan negara. Tantangan lain datang dari peran DK PBB sebagai triggered jurisdiciton . Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tantangan yang akan dihadapi ICC di masa mendatang ditimbulkan oleh implikasi pengaturan ICC secara politis maupun adanya kepentingan-kepentingan pOlitik negara-negara tertentu yang tidak terwadahi di dalam ICC, yang pad a akhirnya mengancam eksistensi ICC . Tantangan terhadap ICC juga akan timbul sehubungan dengan pelaksanaan kedaulatan negara, yang tidak dengan mudah akan menyerahkan warga negaranya untuk diadili oleh ICC.

Salah saru prinsip mendasar dan strategis dalam ICC adalah Complementary Principle yang menyatakan bahwa ICC merupakan komplementer terhadap yurisd iksi pengadilan nasional. Dalam hal ini ICC dapat mengadili (admissible) apabila negara yang bersangkutan tidak mau (unwilling) atau tidak mampu (genuinely unable) untuk melakukan penyidikan dan penuntutan dan pad a akhirnya memutuskan untuk tidak menuntut (decided not to prosecute). Unwillingness merupakan refleksi dari kesan bahwa langkah-langkah yang dilakukan di tingkat nasional di tujukan sebagai pensal (shielding) terhadap yurisdiksi ICC, dan penundaan yang tidak beralasan (unjustified delay) serta tidak independen atau bersifat memihak. Ketidakmampuan dikaitkan dengan kesan bahwa sistem peradilan nasional collapse or unavailability baik total atau substansial.

Sulit dibayangkan apabila ada suatu negara yang sedang melakukan pengadilan bagi pelaku pelanggaran HAM berat di negaranya,

13 Supra footnote~no.2, halaman : 15-16, dan Geoffrey Robertson QC, : Crimes Against Humanity: The Struggle For Global Justice , Penguins Books, Australian Print Group, Victoria, 2000. halaman : 325.

April - Juni 2004

Page 11: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tanlangan Inrernalional Criminal Court 101

kemudian pengadilan itu dinilai unjustified delay atau inability oleh ICC, negara tersebut dengan suka rela menyerahkan warga negara yang bersangkutan untuk diadili oleh ICC, sekalipun negara terse but peserta ICC. Negara di manapun cenderung melindungi warga negaranya untuk tidak diadili oleh pengadilan asing mau internasional, kecuali kalau yang diadili oleh negara tersebut adalah warga negara asing yang melakukan pelanggaran HAM berat di wilayahnya. Penilaian unwilling, unjustified atau inability terhadap pengadilan suatu negara oleh lembaga internasional, pad a dasarnya mereduksi kedaulatan negara. Sekalipun hal itu merupakan implikasi dari universalisasi HAM".

14 Ada kecenderungan negara untuk " melindungi " warganegaranya yang telah melakukan pelanggaran HAM herat , dan melibatkan kepentingan negara lain, degan ca ra tidak menangkap. memeriksa dan mengadili sendiri warga negaranya tersebut atau membebaskannya sarna sekali dari ancaman hukum. Sudah barang lentu perbu:uan negara yang demikian ini merugikan kepentingan negara lain, dan lebih luas lagi merugikan kepemingan masyarakat internas ional dan meng ingkari keadi lan. Sekalipull demikian hal sernacam itu banyak ditemukan dalam praktik berbagai negara yang didasarkan atas kepentingan nasional negara ybs. atau kepentingan nasional negara la in tidak mengadili atau mengadili setengah hati. Hal ini apat dilihat pada bebefapa kasus sebagai berikut Penyelesaian kasus pelanggaran HAM terhadap para penjahat PD II ridak seutuhnya dituntaskan, karena Kaisar Hirohito selaku penanggungjawab mesin PD 11 di Asia dan Pasifik tidak pernah diruntut untuk diadili. Demikian juga dengan beberapa ahli atom berkebangsaan Jerman yang kini menikmati hidup mewah di bawah perlindungan negara­negara maju sel1eni Amerika Serikat, Inggris dan Perancis. Khieu Samphan, salah sa tu tokoh Khmer Merah yang telah membantai ratusan ribu penduduk Kamboja setelah ia turun dari persembunyiannnya tidak pernah diadili. Bahkan negafa AS dan China memveto setiap langkah negara anggOla PBB untuk menerapkan Konvensi Genocide dan menolak membemuk pengadi lan internasiDnal untuk Khmer Mefah. Dalam hal ini AS dan China (juga Thailand) mempunyai kepelllingan untuk melindungi negaranya sendiri dari kemungkinanan diserernya pelaku-pclaku pelanggaran HAM ke pengadilan. Karena Hun Sen menuntut perluasan pe riDde pemerimahan yakni antara tallUn 1970-1998, bukan periode pemerintahan 1975-1979 sebagaimana yang diinginkan oleh PBB. Dengan perluasan periode itu, maka yang akan diadili bukan saja Khieu Samphan dan Noun Chea, telapi juga pelaku-pelaku pelanggaran HAM dari AS (menewaskan ralUsan ribu penduduk ak ibat serangan born yang dilakukan tahun 1970-an), China dan Thailand yang membantu Khmer Merah setelah digusur pasukan Vietnam awal rahun 1979. Terakhir adalah pembebasan bekas Presiden Chil i: Pinochet oleh Pengadilan Tinggi Chi li alas dakwaan penculikan dan pembunuhan hanya karena ia adalah bekas seD rang Presiden dan {elah membasmi para pejuang komunis di negerinya.

Nomor 2 Tahun XXXIV

Page 12: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

102 Hukum dan Pembangunan

C. Asas Komplementer vs Kedaulatan Negara

Unwillingness merupakan refleksi dari kesan bahwa langkah­langkah yang dilakukan di tingkat nasional ditujukan sebagai perisai (shielding) terhadap yurisdiksi ICC, dan penundaan yang tidak beralasan (unjustified delay) serta tidak independen atau bersifat memihak. Ketidakmampuan dikaitkan dengan kesan bahwa sistem peradilan nasional collapse or unavailability baik total atau substansial. Adapun ukuran untuk menentukan ketidakmampuan adalah : (a). Proses peradilan yang telah atau sedang dilakukan atau diputuskan ditujukan untuk melindungi si pelaku dari pertanggungjawaban pidana; (b). Terjadi keterlambatan proses peradilan yang alasannya tidak dapat dibenarkan (unjustified delay); dan (e). Proses peradilan tidak dilaksanakan seeara merdeka dan tidak memihak. Selanjutnya ukuran untuk menentukan ketidakmampuan (inability) dalam kasus-kasus tertentu, yakni apabila pengadilan (ICC) mempertimbangkan bahwa telah terjadi kegagalan substansial seeara menyeluruh , atau ketiadaanlketidaktersediaannya sistem pengadilan nasional untuk menemukan bukti-bukti dan kesaksian atau tidak mampu untuk menyelenggarakan proses peradilan 15

• Penilaian unwilling , unjustified atau inability terhadap pengadilan suatu negara oleh lembaga internasional , pada dasarnya mereduksi kedaulatan negara. Sekalipun hal itu merupakan implikasi dari universalisasi HAM .

Dari penjelasan tentang asas komplementer maka dapat disimpulkan bahwa ICC sejak mula diraneang hanya sebagai pelengkap peradilan nasional, bukan sebagai pengganti peradilan tersebut. ICC hanya akan bertindak sebagai jaring pengaman (safety net), ketika sistem peradilan nasional collaps atau telah berkompromi dengan kejahatan­kejahatan tersebut. Seeara apriori dari gambaran mengenai kedudukan ICC dapat dilihat pula bahwa pad a hakikatnya ICC diraneang untuk menjadi suatu badan peradilan supranasional yang independen, karena diberikan kewenangan menilai dan menentukan apakah peradilan nasional dari suatu negara itu unwillingness dan inability . Ketentuan mengenai prinsip ini bersifat unik dan mengandung standar ganda karena di satu sisi kedaulatan hukum negara anggota PBB diakui dalam melaksanakan proses peradilan pelanggaran HAM berat, tetapi di sisi lain dapat di

15 Supra, Footnote No.2, halaman : 56-70.

April - funi 2004

Page 13: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan Inrernational Criminal Court 103

kesampingkan jika prakondisi yang ditetapkan dilanggar. Dengan ketentuan ini secara tidak langsung, status hukum dan yurisdiksi ICC berada di atas seluruh sistem peradilan nasional sehingga dapat dikatakan ICC merupakan supra pengadilan nasional. Namun dari sudut pandang lain, dapat dikatakan bahwa dengan status ICC semacam itu, maka menunjukkan bahwa masyarakat internasional benar-benar berkehendak untuk mengakhiri impuniti. sehingga tidak ada ruang gerak lagi bagi pelaku pelanggaran HAM bera!. Karena apabila suatu negara secara senga ja atau tidak bersungguh-sungguh mengadili pelaku pelanggaran HAM berat, maka masih terbuka peluang untuk mengadili pelaku tersebut, yakni melalui ICC.

Persoalannya pembentukan ICC ini sarat dengan kepentingan politik, di mana dalam perumusan ICC ini kepentingan polilik negara­negara sangat dikedepankan. Amerika Serikat, misalnya merasa tidak perlu untuk mengikatkan diri pada Statuta Roma 1998 tentang Pembentukan ICC. Ini disebabkan keberadaan ICC yang tidak di bawah kontrol PBB. Hal ini dapat dilihat dari analisis Sarah Sewall dan Carl Kaysen sebagai berikut 16

:

'. .. the government fears that the Court could become poUtized, not by states that might block the Court's freedom action, but by activist ICC judges and prosecutors who might overreach the Court's mandate. The underlying issue is wheter the Court would, in every case, respect us handling of an allegation, even if the United States decided not to prosecute a case. The Statute (Statuta Roma I 998-pen.) specifies that the Court is intended only to "complement" national judicial systems. That is, the ICC is to act only when national judicial systems can't or won't the failed state, the state still controlled by criminals, the post-conjlict state without a functioning legal system. The ICC is not to assume the judicial functions of states with working courts".

Dari analisis Sewall dan Kaysen dapat disimpulkan bahwa AS merasa tidak nyaman dan aman sehubungan dengan status ICC yang tidak

16 Sarah Sewall &Carl Kaysen The United States and The International Criminal Court The Choices Ahead, American Academy of Arts & Sciences, hUpll: www:amacad.org/project/ icc3rticle .htm.

Nomar 2 Tahun XXXIV

Page 14: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

104 Hukum dan Pemballgunan

di bawah kontrol PBB, yang berarti juga tidak di bawah kontrol AS sebagai negara "yang berpcngaruh" atau paling dominan pada PBB , yang memungkinkan ICC dipolitisir. Di samping itu AS tidak yakin dapat ber ko-eksistensi dengan ICC mengingat adanya asas komplementer tanpa adanya fungsi sebagai legal sistem.

Klausula complementary yang sebenarnya untuk menjembatani antara kepentingan nasional dan internasional untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM be rat memunculkan pertanyaan mengapa ICC masih memberi kewenangan Dewan Keamanan PBB untuk dapat mengajukan perkara pelanggaran HAM bera!. Dewan Keamanan PBB itu sendiri lebih bersifat politis daripada hukum, sehingga unsur subyektifnya lebih besar daripada unsur obyektif. Sementara itu dengan asas complementary saja sudah membuka peluang adanya konflik kepentingan antara negara yang sedang melakukan pengadilan terhadap pelaku pelanggaran HAM berat dengan ICC. mengingat ukuran secara materiil untuk menentukan apakah benar-benar pengadilan nasonal itu collaps, un wiling ness , inability atau ada tidaknya impunity itu sendiri sifatnya sangat subyektif. Sehingga berpotensi menimbulkan konflik dalam penafsiran ada tidaknya hal-hal tersebut, yang pada akhirnya akan menimbulkan konflik yurisdiksi kriminal.

D. Dewan Keamanan PBB sebagai Triggered Jurisdiction of ICC

Ada persoalan mendasar dari dimasukkannya OK PBB sebagai salah satu triggered jurisdiction ICC, yakni masalah veto. Dalam kaitannya dengan OK PBB. ICC tidak akan mungkin melaksanakan jurisdiksinya tanpa didahului adanya resolusi yang dikeluarkan oleh OK PBB. Dalam hal kelambanan tindakan atau ketidaksepakatan dalam OK PBB. akan menyebabkan posisi ICC makin sUlit. terutama dalam kaitannya dengan adanya hak veto dari lima negara anggota Dewan Keamanan. yang salah satunya adalah AS (juga Cina). AS sebenarnya menginginkan adanya ICC yang sepenuhnya berada di bawah pengaruh PBB. di mana AS dapat mendikte ke arah mana ICC akan dibawa. AS menghendaki agar ICC menjamin bahwa tidak ada satu orang pun warga negara AS yang akan dikenakan yurisdiksi ICC. Dengan dilibatkannya OK PBB sebalai salah satu trigger mechanism yurisdiksi ICC. maka mudah dibayangkan bahwa perkara yang harus dipicu oleh OK PBB

April - JU!!; 2004

Page 15: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan International Criminal Court 105

cenderung akan dipolitisir sedernikian rupa, terutarna rnanakala rnenyangkut kepentingan negara-negara veto atau sekutunya. Kekhawatiran ini akan sernakin besar, rnengingat bahwa berdasar Pasal 16 (yang sangat dipengaruhi oleh AS, Cina dan Perancis dengan tujuan agar pengadilan berada di bawah pengaruh DK PBB), DK PBB juga dapat rnencegah atau menghentikan investigasi atau penuntutan. Ketentuan mi serna kin menarnbah posisi tawar DK PBB, khususnya the Big Five dalam prosedur pengadilan internasional. Dalarn hal ini ada dua kepentingan yang berbeda dalam ICC, yakni kepentingan judicial dan kepentingan poJitik yang diwujudkan rnelalui kewenangan DK PBB berdasar Pasal 16 tersebut. Efek dari Pasal 16 ini adalah untuk mernberikan komrol terbesar kepada DK PBB terhadap pengadilan, yang bekerja baik dengan referensi dari DK PBB atau referensi oleh negara pihak atau dalarn kasus penyelidikan propio motu.

DKK PBB merniliki kekuasaan yang tidak terbatas untuk memaksa negara-negara dalam rnenegakkan kekuatannya tersebut. Nabil Elaraby mengemukakan rasa pesimisnya atas peran DK PBB ini dalarn ICC, dengan rnengernukakan fakta bahwa pengalaman lebih dari setengah abad (berdirinya PBB) menunjukkan bahwa DK PBB tidak bertindak dalam koridor norma-norma hukum. DK PBB jarang sekali mendasarkan putusannya pada asepk legal, atau kalaupun itu dilakukan maka sering kali tidak konsisten. Itu sebabnya menjadi sang at ironis bahwa IC] sebagai organ PBB sementara ICC tidak, tidak rnernperoleh pembatasan­pembatasan layaknya ICC. Di sarnping itu juga adanya praktik-praktik DK PBB dengan penyalahgunaan veto yang menirnbulkan trauma bagi negara­negara, sehingga menirnbulkan frustasi atas segal a harapan pada DK PBB sebagai penjaga perdamaian dan kearnanan dunia sekaJigus penegak rule of law 17

Di rnuka telah dikemukakan bahwa antara ICC dan DK PBB mempunyai fungsi yang sarna yakni rnenjaga perdamaian dan kernaanan dunia, namun dengan cara rnasing-masing yang berbeda. Sehubungan dengan fungsi dan kekuatan DK PBB tersebut maka dapat dijelaskan lebih lanjut bahwa keterlibatan DK PBB dalam ICC itu lebih tepat dikaitkan

17 Nabil Elaraby The Role of the Security Council and the Independence of the International Criminal Court; Some Reflections, dalam, Mauro Politi dan Giuseppe Nesi (eds. ): The Rome Statute of the International Criminal Court, A Challenge to impunity. Asghate Publishing Limited, England, 200 1, halaman : 43-44.

Nomor 2 Tahun XXXIV

Page 16: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

106 Hukum dan Pembangunan

dengan kejahatan agresi, yang baru akan dibicarakan kembali pada tahun 2007. Hal ini sebagaimana juga ditegaskan oleh Wilmshurts bahwa penting ditekankan bahwa peranan OK PBB iru hanya relevan untuk agresi, suaru peran yang unik bagi OK PBB yang diberi oleh Piagam PBB. Peran OK PBB tersebut tidak relevan unruk kejahatan-kejahatan lain (genocide, crime againts humanity dan war crimes). Oengan demikian ketentuan tersebut diharapkan akan menjauhkan ICC dari kepentingan pol itik" .

E. Article 98 Agreements: Amerika Serikat vs ICC

AS sebagai super power sekaligus salah saru pemegang hak veto pad a dasarnya menentang keberadaan ICC karena keinginan AS unruk menempatkan ICC di bawah pengaruh OK PBB atau PBB secara umum tidak terpenuhi. AS telah melakukan berbagai kampanye anti ICC, yang salah satunya dikenal dengan Articel 98 Agreement atau Bilateral Impunity Agreements (BIAs)'" AS pada awalnya ikut menandatangani Staruta Roma 1998 di bawah pemerintahan Clinton, tetapi ketika pemerintahan Bush Sr., AS memuruskan menarik diri dari ICC. Kemudian Bush melakukan kampanye untuk mengeluarkan warga negaranya (termasuk personil militer, pejabat pemerintah, kontraktor, dan pegawai AS) dari yurisdiksi ICC. Perjanjian ini dibuat berdasar Pasal 98.2 Staruta Roma 1998, dan dimaksudkan oleh AS untuk ditandatangani negara-negara yang mau bersepakat dengan AS. Setidaknya ada 50 negara yang telah menandatangani BIAs, yang banyak diantaranya dilakukan di

18 Elizabeth Wilmshurst : The International Criminal Court: The Role of the Security Council, dalam Mauro Politi dan Giuseppe Nesi (eds.): The Rome Statute of the In/ernational Criminal Court, A Challenge to impunity, Asghate Publishing Limiled , England, 200 I. halaman : 4 L

19 Irune Aguirrezahal Quijera : The United States'lsolated Struggle Against the ICC, arlikel dalam The International Criminal Court MONlTOR, The Newspaper of the NGO Coalition for the ICC. Issue 25 , September 2003, halaman : 3.

Pasal 98.2 Slatu[a Roma 1998 : the Court may not pro(:eed with a request for surrender which would require the requested State to ocr inconsistently with its Obligations under internatiollal agreemems pursuant to which the consent of a sending State is requirel/ La surrender a persoll of that State to the Court, unless dIe Court can first obtain the cooperation of the sending State for the giving of COllsellt for the surrender.

April - Juni 2004

Page 17: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan International Criminal Court 107

bawah tekanan AS. Nigeria, misalnya diancam untuk dihentikan bantuan pembangunan nasional Nigeria apabila tidak menandatangani BIAs. Atau Bahamas yang diancam dihentikan bantuan pembangunan airport Bahamas dan Croatia diancam kehilangan bantuan sebesar $19 milyard. Namun demikian beberapa negara menolak BIAs, yakni Brazil, Canada, Estonia, Peru, South Africa dan Trinidad dan Tobago. Indonesia saat ini juga sedang dalam proses untuk menolak menandatangani BIAs tersebut. AS dipandang disrespectful and unfair campaign aimed at undermining the authority and effectivenes of the ICC. Apa yang dilakukan oleh AS ini semakin menunjukkan hegemoni super power AS terhadap dunia, bahkan AS telah dengan sengaja menciptakan two-tier justice system, yang pertama untuk negara-negara di dunia secara umum, sedang satunya lagi khusus untuk AS. AS meminta negara-negara penandatangan BIAs untuk melindungi warganegaranya dari yurisdiksi ICC, tetapi AS tidak dengan sendirinya melakukan hal yang sarna pada negara yang bersangkutan.

Tindakan AS semacam itu didasarkan atas doctrine of preemption. Doktrin preemption ini dikembangan setelah terjadinya persitiwa 11 September 2001 di AS oleh pemerintahan Bush Jr. Dokrrin ini membenarkan tindakam agresi (sepihak-pen.) terhadap negara lain hanya berdasarkan kecurigaan AS terhadap niat atau kemampuan yang dimiliki oleh negara tersebut20

. Atas tindakan Amerika Serikat tersebut, EU mengingatkan negara-negara yang hendak bergabung masuk EU, misalnya Turki dan Turkmenistan, untuk tidak menandatangai perjanjian tersebut apabila mereka tetap ingin diterima di dalam EU.

F. Penutup

Prospek ICC di mas a mendatang secara normatif bisa dikatakan cukup baik. Namun dalam praktiknya, ICC belum tentu dapat berperan secara efektif, banyak tantangan yang menghadang di depan ICC. Tantangan itu bisa berasal dari dalam pengaturan ICC itu sendiri, dari negara peserta maupun dari aspek politik. AS sebagai negara super power telah nyata-nyata melakukan kampanye "anti ICC" yang diwujudkan

20 Dewi Fortuna Anwar: Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni Amerika Serikat, artikel dalam Jurnal Demokrasi & HAM, Vo!.3. No.2, Mei-September 2003, Penerbit The Habibie Center, halaman : 22.

Nomor 2 Tahun XXXIV

Page 18: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

108 Hukum dall Pemballgunun

dalam perjanjian bilateral, yang dalam pelaksanaannya dilakukan secara sepihak. Di samping itu tantangan terjadinya impuniry di dalam tubuh ICC sendiri juga cukup tinggi, mengingat adanya keterlibatan DK PBB sebagai salah triggered jurisdcirion of ICC, yang di dalamnya terdapat kepentingan the Big Five, terutama Amerika, Cina dan Perancis yang nyata-nyata tidak menginginkan ICC berdiri sendiri di luar PBB seperti saat ini. Namun demikian keberadaan ICC sebagai sebuah pengadilan internasional khusus untuk mengadili pelaku pelanggaran HAM berat menunjukkan adanya sualu political will bangsa-bangsa di dunia untuk menghormati HAM secara nyata.

Daftar Bacaan

Aguirrezabal, Quijera lrune 2003: The United States'Isolated Struggle Against the ICC, artikel dalam The International Criminal Court MONITOR, The Newspaper of the NGO Coalition for the ICC, Issue 25, September 2003.

Guy, Lesser 2004: War Crime and Punishment , What the United States Could Learn from the Milosevic Trial, artikel dalam, Harper's Magazine, Volume 308 No. 1844, Januari 2004, New York.

Fortuna Anwar, Dew i: Tatanan Dunia Baru di bawah Hegemoni Amerika Serikat, artikel dalam Jurnal Demokrasi&HAM, Vol.3. No.2, Mei-September 2003, Penerbit The Habibie Center

Robertson QC, Geffrey, 2000: Crimes Against Humanity, The Struggle for Global Justice, Penguin Books, Australia.

International Cinlinal jurisdiction Prosecuting Aleged War CrinlinaIs http: //www . icrc.org/web/eng/siteengO. nst\iwpList2/Humanitrian

law:lnternational criminal jurisdiction.

Mirceva, Stojanka: Why the International Crinlinal Court is Different, Peace and Conflict Monitor, 26 Ianuari 2004, http://www.globalpolicy.org/intljustice/icc/index.htm .

April - Juni 2004

Page 19: Prospek dan Tanlangan International Criminal Court 91

Prospek dan Tantangan International Criminal Court J09

Politi, Mauro & Giuseppe Nesi (eds.), 2001: The Rome Statute of International Criminal Court, a Challenge to Impunity , Ashgate Publishing Limited, England.

Scabas, William A 2001: An Introduction to the International Criminal Court, Chambridges University Press, Cambridge-UK.

Sarah, Sewall &Carl Kaysen : The United States and The International Criminal Court : The Choices Ahead, American Academy of Arts&Sciences, www.amacad.org/project/iccarticle.htm.

Triffterer, Otto (ed.), 1999: Commentary on the Rome Statute of International Criminal Court, Obsever's Notes, Article by Article, Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden.

United Nations : UN Diplomatic Conference of Plenipotentiaries on the Establishment of ICC, Roma, 15 June-17 July 1998.

Nomor 2 Tahun XXXIV