prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta …tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak...

41
i ABSTRAK PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS DALAM MEMBUAT AKTA AUTENTIK Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sangat penting untuk melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik, mengingat seringnya terjadi permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuat notaris karena terdapat pihak-pihak yang melakukan kejahatan seperti memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat notaris. Sehingga untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat menjerumuskan notaris terlibat dalam permasalahan hukum, perlu diatur kembali dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tentang pedoman dan tuntunan notaris untuk bertindak lebih cermat, teliti dan hati-hati dalam proses pembuatan akta autentik. Ada dua isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini, yakni (1) bentuk- bentuk prinsip kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta autentik dan (2) akibat hukum terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang beranjak dari adanya kekaburan norma dalam pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris yang belum jelas mengatur tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama. Pendekatan penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan kasus. Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk prinsip kehati- hatian (prudential principle) yang seharusnya dilakukan notaris dalam proses pembuatan akta yaitu, melakukan pengenalan terhadap identitas penghadap, memverifikasi secara cermat data subyek dan obyek penghadap, memberi tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak hati-hati, cermat dan teliti dalam proses pengerjaan akta, memenuhi segala teknik syarat pembuatan akta dan melaporkan apabila terjadi indikasi pencucian uang (money laundering) dalam transaksi di notaris, bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian seperti ini sudah seharusnya wajib dilaksanakan notaris agar nantinya notaris dapat mencegah timbulnya permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya dikemudian hari. Akibat hukum perjanjian dalam isi akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu sesuai Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal 1335 KUHPerdata yaitu suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu adalah batal demi hukum (nitiegbaarheid) dan akta yang dibuat kekuatan pembuktiannya terdegradasi dari akta autentik menjadi akta dibawah tangan, akan tetapi tentang kebenaran formal yang terdapat dalam kepala dan penutup akta tersebut tetap mengikat para pihak yang membuatnya. Kata kunci : Prinsip Kehati-hatian Notaris, Akibat Hukum, Surat Palsu.

Upload: others

Post on 25-Dec-2019

29 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

i

ABSTRAK

PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS DALAM

MEMBUAT AKTA AUTENTIK

Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya sangat penting untuk

melaksanakan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik,

mengingat seringnya terjadi permasalahan hukum terhadap akta autentik yang

dibuat notaris karena terdapat pihak-pihak yang melakukan kejahatan seperti

memberikan surat palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat notaris.

Sehingga untuk mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan yang dapat

menjerumuskan notaris terlibat dalam permasalahan hukum, perlu diatur kembali

dalam Undang-Undang Jabatan Notaris tentang pedoman dan tuntunan notaris

untuk bertindak lebih cermat, teliti dan hati-hati dalam proses pembuatan akta

autentik.

Ada dua isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini, yakni (1) bentuk-

bentuk prinsip kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta autentik dan (2)

akibat hukum terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan

keterangan palsu. Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah

penelitian hukum normatif yang beranjak dari adanya kekaburan norma dalam

pasal 16 ayat (1) huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris yang belum jelas

mengatur tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama. Pendekatan

penelitian terdiri dari pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan

pendekatan kasus.

Dari hasil penelitian ini disimpulkan, bahwa bentuk-bentuk prinsip kehati-

hatian (prudential principle) yang seharusnya dilakukan notaris dalam proses

pembuatan akta yaitu, melakukan pengenalan terhadap identitas penghadap,

memverifikasi secara cermat data subyek dan obyek penghadap, memberi

tenggang waktu dalam pengerjaan akta, bertindak hati-hati, cermat dan teliti

dalam proses pengerjaan akta, memenuhi segala teknik syarat pembuatan akta dan

melaporkan apabila terjadi indikasi pencucian uang (money laundering) dalam

transaksi di notaris, bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian seperti ini sudah

seharusnya wajib dilaksanakan notaris agar nantinya notaris dapat mencegah

timbulnya permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya

dikemudian hari.

Akibat hukum perjanjian dalam isi akta notaris yang dibuat berdasarkan

surat palsu dan keterangan palsu sesuai Pasal 1320 ayat (4) dan Pasal 1335

KUHPerdata yaitu suatu perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang palsu

adalah batal demi hukum (nitiegbaarheid) dan akta yang dibuat kekuatan

pembuktiannya terdegradasi dari akta autentik menjadi akta dibawah tangan, akan

tetapi tentang kebenaran formal yang terdapat dalam kepala dan penutup akta

tersebut tetap mengikat para pihak yang membuatnya.

Kata kunci : Prinsip Kehati-hatian Notaris, Akibat Hukum, Surat Palsu.

ABSTRACT

PRUDENT PRINCIPLES OF NOTARY IN MAKING AUTHENTIC DEED

In carrying out duties and positions, notaries are very important to

implement the principle of prudence in the process of making authentic deed. It is

due to the frequent legal problems to the authentic deed made by notary; some

parties commit crimes through giving a letter and false information into the deed

made by notarial. Thus, to prevent the occurrence of crimes which can bring the

notary into legal matters, it is necessary to be re-regulated in the Notary Law of

guidance about guidance of a notary to act more scrutinize and careful in the

process of making authentic deeds.

There are two legal issues studied in this research, namely (1) notary

precautionary forms in the process of authentic deed making and (2) legal

consequences of notarial deeds made on the basis of false letters and false

statements. The type of research used in this thesis is normative legal research

existed based on the vague of the norm in article 16 paragraph 1 letter a of

Notary Office Law which is not clear to set about notary obligations to act

thoroughly. In addition, the approach used in this research consists of approaches

to legislation, conceptual approaches, and case approaches.

Based on the results of this research, it is concluded that the forms of

prudential principles that should be done by notary in the process of making the

deed is recognizing the identity of the tap, verifying the data subject and object

confront scrutinizely, giving grace period for making the deed, acting careffully

and scrutinizely the process of creating deed, fulfilling all technical requirements

of the deed making and reporting if there is any indication of money laundering in

a notary transaction. These prudential principles should be obliged to be executed

by a notary in order to prevent the occurrence of legal notary upon the authentic

deed made in the future.

Consequences in the contents of notarial deeds made on the basis of

false letters and false statements in accordance with Article 1320 paragraph (4)

and Article 1335 Civil Code are agreements made on the basis of the false cause

is null and void (nitiegbaarheid) and the power of proof is degraded from the

authentic deed Becomes a deed under the hands, but the formal truth contained in

the head and cover of the deed remains binding on the parties that make it.

Keywords : Prudent Principle of Notary, Legal Consequences, Counterfeit

Letter.

RINGKASAN

Tesis ini menganalisis mengenai prinsip kehati-hatian notaris dalam

membat akta autentik. Adapun dalam tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab, yang

diuraikan sebagai berikut :

Bab I memaparkan latar belakang masalah yang memuat isu hukum

kekaburan norma dalam Pasal 16 ayat 1 huruf a Undang-Undang Jabatan Notaris

terkait masih belum jelasnya kewajiban notaris untuk bertindak saksama dalam

proses pembuatan akta autentik. Dari latar belakang tersebut dapat diuraikaan

mengenai rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penulisan, landasan

teoritis, dan metode penelitian.

Bab II merupakan penjabaran dari tinjauan umum, sub bab pertama

membahas mengenai keberadaan, pengertian notaris, kewajiban, larangan dan

kode etik notaris serta prinsip kehati-hatian. Sub bab kedua membahas pengertian

akta notaris, macam akta notaris dan syarat sahnya akta notaris sebagai akta

autentik.

Bab III memaparkan hasil penelitian dan pembahasan dari rumusan

masalah yang pertama, sub bab pertama menguraikan bentuk-bentuk prinsip

kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik dan sub bab kedua membahasa

tentang Tugas dan Peran Notaris dalam Proses pembuatan akta agar mencegah

notaris dari permasalahan hukum.

Bab IV merupakan hasil penelitian dan pembahasan dari rumusan masalah

kedua. Dalam sub bab pertama diuraikan tentang Pembuktian akta autentik yang

dibuat oleh notaris berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu, sub bab kedua

membahas Akibat hukum akta notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan

keterangan palsu.

BAB V sebagai bab penutup menguraikan mengenai simpulan dan saran

terhadap hasil dari penelitian tesis. Adapun simpulan pembahasan ini bahwa

dalam prakteknya notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik sering

dihadapkan oleh permasalahan hukum sehingga prinsip kehati-hatian sudah

seharusnya dilaksanakan notaris. Bahwa Akibat hukum perjanjian dalam isi akta

notaris yang dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu berdasarkan

Pasal 1320 ayat 4 KUHPerdata yaitu batal demi hukum atau batal sejak peranjian

tersebut dibuat (nitiegbaarheid) dan aktanya terdegradasi menjadi akta dibawah

tangan. Adapun saran yang dapat diberikan dalam penulisan tesis ini adalah

Pemerintah mengajukan kepada lembaga legislatif untuk memperjelas kembali

Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P agar notaris memiliki pedoman dan tuntunan

untuk bertindak hati-hati dalam membuat akta autentik dan diharapkan notaris

dalam proses dan menerima pembuatan akta agar lebih berhati-hati, cermat dan

teliti dalam menerapkan aturan hukum terhadap akta yang dibuatnya.

DAFTAR ISI

SAMPUL DALAM ......................................................................................... i

PERSYARATAN GELAR ............................................................................ ii

LEMBAR PENGESAHAN ........................................................................... iii

LEMBAR PENETAPAN PANITIA PENGUJI TESIS .............................. iv

PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ............................................................ v

UCAPAN TERIMA KASIH ......................................................................... vi

ABSTRAK ...................................................................................................... viii

ABSTRACT ..................................................................................................... ix

RINGKASAN ................................................................................................. x

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

1.1. Latar Belakang.......................................................................... 1

1.2. Rumusan Masalah .................................................................... 15

1.3. Tujuan Penelitian ...................................................................... 16

1.3.1 Tujuan Umum ............................................................... 16

1.3.2 Tujuan Khusus .............................................................. 16

1.4. Manfaat Penelitian .................................................................... 16

1.4.1 Manfaat Teoritis ............................................................ 17

1.4.2 Manfaat Praktis ............................................................. 17

1.5. Landasan Teoritis ..................................................................... 17

1.5.1 Prinsip Kehati-hatian ..................................................... 18

1.5.2 Teori Perlindungan Hukum ........................................... 20

1.5.3 Asas Kepastian Hukum ................................................. 22

1.5.4 Teori Kekuatan Pembuktian Akta Autentik .................. 26

1.6. Metode Penelitian ..................................................................... 28

1.6.1 Jenis Penelitian .............................................................. 29

1.6.2 Jenis Pendekatan ........................................................... 29

1.6.3 Sumber Bahan Hukum .................................................. 31

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ............................ 32

1.6.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ..................................... 33

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG NOTARIS, PRINSIP

KEHATI-HATIAN DAN AKTA NOTARIS .............................. 34

2.1 Tinjauan Umum Tentang Notaris dan Prinsip Kehati-hatian ... 34

2.1.1 Keberadaan dan Pengertian Notaris ............................. 34

2.1.2 Kewajiban, Larangan dan Kode Etik Notaris .............. 44

2.1.3 Prinsip Kehati-hatian ..................................................... 55

2.2 Tinjauan Umum Tentang Akta Notaris .................................... 58

2.2.1 Pengertian Akta Notaris ................................................ 58

2.2.2 Macam Akta Notaris ..................................................... 61

2.2.3 Syarat Sahnya Akta Notaris Sebagai Akta Autentik ..... 68

BAB III BENTUK-BENTUK PRINSIP KEHATI-HATIAN NOTARIS

DALAM PROSES PEMBUATAN AKTA AUTENTIK ............ 75

3.1 Bentuk-Bentuk Prinsip Kehati-hatian Notaris Dalam Proses

Pembuatan Akta Autentik ........................................................ 75

3.2 Tugas dan Peran Notaris Dalam Proses Pembuatan Akta

Agar Mencegah Notaris Dari Permasalahan Hukum ............. 100

BAB IV AKIBAT HUKUM AKTA NOTARIS YANG DIBUAT

BERDASARKAN SURAT PALSU DAN KETERANGAN

PALSU ............................................................................................ 107

4.1. Pembuktian Akta Autentik Yang Dibuat Oleh Notaris

Berdasarkan Surat Palsu dan Keterangan Palsu ...................... 107

4.2. Akibat Hukum Akta Notaris Yang Dibuat Berdasarkan Surat

Palsu dan Keterangan Palsu ..................................................... 131

BAB V KESIMPULAN .............................................................................. 151

5.1 Kesimpulan .............................................................................. 151

5.2 Saran ......................................................................................... 152

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 153

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Di era modern pada saat ini perkembangan kejahatan didalam dunia hukum

semakin berkembang karena adanya suatu tujuan dan niat yang tidak baik diinginkan

oleh pihak-pihak tertentu. Kejahatan yang sering terjadi dalam profesi hukum adalah

salah satunya profesi notaris. Notaris akhir-akhir ini sering dipermasalahkan karena

akta autentik yang dibuatnya terindikasi mengandung unsur-unsur tindak pidana, hal

ini disebabkan karena kurang kehati-hatian notaris terhadap para pihak yang

menghadap membuat akta autentik yang sering mengambil kesempatan demi

keuntungannya sendiri dengan cara melakukan kejahatan seperti memberikan surat

palsu dan keterangan palsu kedalam akta yang dibuat oleh notaris.

Keberadaan notaris di Indonesia sangatlah penting bagi kehidupan

masyarakat, karena notaris merupakan pejabat umum yang diangkat oleh pemerintah

untuk membuat akta autentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan

yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta autentik. 1 Akta autentik yang dibuat

oleh notaris mempunyai peranan penting dalam menciptakan kepastian hukum

didalam setiap perbuatan dan peristiwa hukum, sebab akta notaris bersifat autentik

1 Habib Adjie, 2007, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris), PT. Refika Aditama, Surabaya, (Selanjutnya disebut

Habib Adjie I), hal. 13.

dan merupakan alat bukti terkuat dan terpenuh dalam setiap perkara yang terkait

dengan akta notaris tersebut. Kebutuhan akan pembuktian tertulis berupa akta

autentik makin meningkat sejalan dengan berkembangnya tuntutan akan kepastian

hukum dalam berbagai hubungan ekonomi dan sosial, baik pada tingkat nasional,

regional, maupun global. Sehingga melalui akta autentik dapat menentukan secara

jelas hak dan kewajiban, menjamin kepastian hukum, dan sekaligus diharapkan pula

dapat dihindari terjadinya sengketa.

Disamping itu, pentingnya peran notaris juga dapat dilihat dari kapasitasnya

memberikan legal adivice dan melakukan verifikasi terhadap sebuah perjanjian,

apakah sebuah perjanjian, telah dibuat sesuai dengan kaidah pembuatan perjanjian

yang benar dan tidak merugikan salah satu pihak atau perjanjian tersebut dibuat

dengan memenuhi syarat. Sebaliknya apabila tugas dan wewenang yang diberikan

oleh Negara kepada notaris tidak dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan setepat-

tepatnya, maka kekeliruan dan penyalahgunaan yang dilakukan oleh notaris dapat

menimbulkan terganggunya kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat.2

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2

Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

Jabatan Notaris (Selanjutnya disebut UUJN-P) menyebutkan pengertian notaris yaitu:

“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik dan

memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini atau

2 Sjaifurrahchman dan Habib Adjie, 2011, Aspek Pertanggungjawaban Notaris Dalam

Pembuatan Akta, Cetakan ke-I, CV. Mandar Maju, Surabaya, hal.7.

berdasarkan undang-undang lainnya”. Bahwa berdasarkan bunyi pasal tersebut

notaris berperan melaksanakan sebagian tugas Negara dalam bidang hukum

keperdataan dan notaris dikualifikasikan sebagai pejabat umum yang berwenang

untuk membuat perjanjian dalam akta autentik yang merupakan formulasi keinginan

atau kehendak (wilsvorming) dari para pihak yang dituangkan dalam akta notaris dan

dibuat dihadapan notaris berdasarkan Undang-Undang Jabatan Notaris.

Jabatan Notaris diadakan atau kehadirannya dikehendaki oleh aturan hukum

dengan maksud untuk membantu dan melayani masyarakat yang membutuhkan alat

bukti tertulis yang bersifat autentik mengenai keadaan, peristiwa atau perbuatan

hukum. Namun pada saat ini akta autentik yang dibuat notaris sering terindikasi

tindak pidana karena dalam proses pembuatannya notaris tidak melakukan prinsip

kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik yang dibuatnya apakah

mengandung unsur-unsur kejahatan atau tidak. Hal ini menyebabkan notaris sering

terlibat dalam tindak pidana yang dilakukan oleh kliennya karena notaris tidak

menerapkan prinsip kehati-hatian dalam memeriksa lebih jauh dokumen-dokumen

subyek maupun obyek yang dibawa oleh para pihak dalam proses pembuatan akta.

Terdapatnya permasalahan yang terjadi dalam proses pembuatan akta autentik

disebabkan karena dalam UUJN-P tidak mengatur secara jelas prinsip-prinsip atau

langkah-langkah notaris untuk bekerja lebih berhati-hati dalam proses pembuatan

akta, sehingga notaris tidak memiliki pedoman dan tuntunan yang berguna untuk

mencegah terjadinya kejahatan dalam akta autentik yang dibuat oleh notaris.

Kekaburan norma dalam UUJN-P tersebut dapat dilihat dalam Pasal 16 ayat (1) huruf

a disebutkan mengenai kewajiban notaris yaitu dalam menjalankan jabatannya,

Notaris wajib bertindak amanah, jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak, dan

menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum.3

Penjelasan kewajiban notaris diatas menyebutkan bahwa, notaris dalam

menjalankan kewajibannya membuat akta autentik berkewajiban untuk bertindak

secara saksama, namun dalam penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P tidak

dijelaskan pengertian dan contoh kewajiban notaris harus bertindak saksama dari

pasal tersebut. Kondisi norma yang demikian disebut sebagai kekaburan norma atau

“vague van normen”.4 Aarnio mengatakan bahwa “interpretation in turn has been

understood as a linguistic matter” atau penafsiran disebabkan karena faktor bahasa.

Oleh karena itu, penting pula dicatat bahwa dalam ilmu hukum dikenal adagium yang

berbunyi “in claris non fit interpretation” yang artinya kalau undang-undang sudah

jelas tidak perlu dilakukan interpretasi. Jika berpikir secara acontrario, maka justru

adagium inilah yang sesungguhnya merupakan landasan pokok bagi relevansi

interpretasi bila undang-undang tidak jelas.5

Sebagaimana dikemukakan bahwa apabila dalam bahasa atau kata-kata dalam

suatu peraturan perundang-undangan tersebut tidak jelas maka digunakan metode

3 Habib Adjie, 2015, Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU Nomor 2 Tahun

2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris), PT.

Refika Aditama, Surabaya, ( Selanjutnya disebut Habib Adjie II ), hal. 1. 4 I Made Pasek Diantha, 2015, Metodelogi Penelitian Hukum Normatif (Dalam Justifikasi Teori

Hukum), Cetakan ke-1, Prenada Media Group, Denpasar, hal. 118. 5 Ibid, hal. 119-120.

interpretasi gramatikal. Menurut Pitlo, interpretasi gramatikal berarti menangkap arti

atau teks bahasa dalam undang-undang tersebut.6 Oleh karena itu apabila melihat

bunyi Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJNP-P yang menyebutkan notaris harus bertindak

“saksama” dalam membuat akta autentik tersebut masih belum jelas dan perlu

dipertegas kembali dengan menggunakan metode interpretasi gramatikal yaitu

menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum

tata bahasa. Sehingga dalam penjelasan kewajiban notaris untuk bertindak saksama

tersebut, perlu diatur kembali secara tegas dan eksplisit penjelasan kewajiban notaris

harus bertindak saksama, agar tidak menimbulkan keadaan suatu norma yang bersifat

kabur dan multitafsir dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P tentang

kewajiban notaris harus bertindak saksama tersebut.

Notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dalam membuat akta tidak

luput dari kesalahan atau kekeliruan baik yang disebabkan karena perilaku yang tidak

profesional atau memihak salah satu pihak sehingga terjadi permasalahan dalam akta

yang dibuatnya. Sebagai pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta autentik

Notaris seringkali bertindak tidak hati-hati yang berakibat menimbulkan

permasalahan hukum, baik dalam ranah hukum pidana maupun ranah hukum perdata,

ini disebabkan karena para pihak yang membuat akta autentik memberikan dokumen

palsu ataupun memberikan keterangan palsu kepada notaris sehingga menimbulkan

permasalahan hukum terhadap akta autentik yang dibuatnya.

6 Ahmad Rifai, 2010, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Persefektif Hukum Progresif,

Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Malang, hal. 64.

Contohnya terjadi kasus pemalsuan surat kuasa menjual palsu yang dilakukan

oleh satu pihak dalam transaksi jual beli tanah yang melibatkan Notaris/PPAT di

Kota Bandung yang aktanya dinyatakan batal dan tidak memiliki kekuatan hukum

berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1137/Pdt/2005.

Kasus seperti ini terjadi dikarenakan kurangnya kehati-hatian Notaris dalam proses

pembuatan akta autentik sehingga dalam prakteknya sering terjadi kejahatan oleh

para pihak seperti pemalsuan identitas, tanda tangan palsu, kwitansi palsu atau

sertipikat palsu yang mengakibatkan cacat hukum pada akta yang dibuat oleh notaris.

Pemalsuan Surat dan Keterangan Palsu oleh para pihak tersebut dapat merugikan

notaris yang sudah menjalankan tugasnya dengan etikad baik malah dianggap turut

serta karena para pihak memberikan keterangan palsu kedalam akta autentik yang

dibuatnya. Bahkan dalam prakteknya sering terjadi notaris ikut dipanggil baik

sebagai saksi bahkan sebagai tersangka karena aktanya yang bermasalah.

Permasalahan hukum yang timbul disebabkan karena didalam Pasal 16 ayat

(1) huruf a UUJN-P yang menyebutkan Notaris dalam menjalankan Jabatannya

berkewajiban bertindak saksama dalam proses pembuatan akta autentik masih belum

jelas dan menimbulkan multitafsir dalam pasal tersebut. Penulis dapat memberikan

masukan bahwa notaris dalam menjalankan jabatannya berkewajiban untuk

melakukan prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik terkait

identitas para pihak yang membuat akta autentik merupakan pihak yang memiliki

tujuan baik atau memiliki niat jahat, sehingga notaris sebagai pejabat umum pembuat

akta autentik dapat mencegah timbulnya kejahatan yang terjadi terhadap pihak-pihak

yang menghadap notaris agar nantinya akta autentik yang dibuat tidak berimplikasi

terhadap tindak pidana.

Prinsip kehati-hatian adalah suatu prinsip yang menyatakan bahwa bank

dalam menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib menerapkan prinsip kehati-

hatian dalam rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan kepadanya. Hal

tersebut sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

menyebutkan bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya wajib

melakukan usahanya berasaskan Demokrasi Ekonomi dengan menggunakan Prinsip

kehati-hatian.7

Apabila dilihat dari UUJN-P yang berlaku sekarang belum mengatur adanya

kewajiban Notaris untuk melakukan prinsip kehati-hatian seperti yang diatur dalam

Undang-Undang Perbankan sehingga sering terjadi dalam proses pembuatan akta

autentik, notaris mendapatkan permasalahan hukum dikarenakan notaris kurang

berhati-hati dan teliti dalam memeriksa setiap dokumen subyek dan obyek yang akan

dimasukan dalam akta autentik sehingga dalam melakukan tugasnya notaris sering

terlibat tindak pidana keterangan palsu dan surat palsu yang dilakukan kliennya.

Notaris yang terlibat dalam permasalahan hukum yang dilakukan oleh kliennya

mengakibatkan kerugian baik materil maupun inmateril karena sudah banyak waktu

yang terbuang dalam permasalahan hukum yang melibatkan akta yang dibuatnya

7 Hermansyah, 2013, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana Prena Media Group,

Cetakan ke-7, Jakarta, (Selanjutnya disebut Hermansyah I), hal. 7.

karena salah satu pihak melakukan tindak pidana surat palsu dan mencantumkan

keterangan palsu kedalam akta yang dibuatnya.

Adapun prinsip kehati-hatian yang seharusnya diterapkan dalam UUJN-P

sehingga mencegah notaris berimplikasi menjadi korban kejahatan, seperti :

1. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitas yang

diperlihatkan ke notaris.

2. Memeriksa secara cermat dan teliti dokumen-dokumen baik subyek

maupun obyek yang nantinya akan dimasukan dalam akta autentik yang

dibuat oleh notaris.

3. Notaris berhak melaporkan apabila terjadi transaksi mencurigakan dari

para pihak apabila dana yang akan ditransaksikan dari kejahatan korupsi.

4. Bertindak berhati-hati, cermat dan teliti dalam proses pengerjaan akta

autentik yang dibuat notaris sehingga tidak menimbulkan penafsiran

terhadap kata-kata yang dituangkan dalam akta autentik

5. Memberikan tenggang waktu dalam pembuatan akta sehingga dalam

proses pembuatan akta tidak terburu-buru agar dapat bekerja secara teliti

dalam proses pembuatan akta autentik.

6. Memenuhi segala teknik administrasi pembuatan akta notaris, seperti

pembacaan akta, penandatanganan, cap jempol dan memberikan salinan

minuta akta.

Bentuk prinsip kehati-hatian yang dimaksud diatas merupakan suatu prinsip

yang tidak diatur dan diperkuat dalam UUJN-P, yang menyebabkan notaris dalam

melaksanakan tugasnya sebagai pejabat umum pembuat akta autentik sering

mendapatkan permasalahan hukum, seperti pemalsuan surat identitas penghadap,

sertipikat dan keterangan palsu dari para pihak. Oleh karena itu perlu diatur kembali

dalam UUJN-P tentang pedoman dan tuntunan notaris untuk bertindak hati-hati agar

melindungi dan mencegah notaris turut serta dalam kejahatan yang dilakukan pihak-

pihak dalam akta yang dibuat oleh notaris.

Notaris dan produk aktanya dapat dimaknai sebagai upaya Negara untuk

menciptakan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi anggota masyarakat.

Mengingat dalam bidang hukum perdata, Negara menempatkan notaris sebagai

pejabat umum yang berwenang dalam hal pembuktian akta autentik, untuk

kepentingan pembuktian alat bukti. Akta autentik yang dibuat oleh notaris memiliki

kekuatan hukum yang sangat kuat mengingat akta autentik merupakan alat bukti yang

sempurna. Maka tidak jarang berbagai peraturan perundang-undangan mewajibkan

perbuatan hukum tertentu dibuat dalam akta autentik, seperti pendirian perseroan

terbatas, koperasi, akta jaminan fidusia dan sebagainya disamping akta tersebut

dibuat atas permintaan para pihak.8

Dalam hal-hal pembuktian suatu peristiwa menurut system Herziene

Indonesisch Reglement (HIR), dalam hukum acara perdata hakim terikat pada alat-

alat bukti yang sah, yang berarti bahwa hakim hanya boleh mengambil keputusan

berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja. Alat-alat bukti

8 Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, 2003, Prinsip-Prinsip Dasar Profesi Notaris, Dunia

Cerdas, Cetakan ke-I, Jakarta, hal. 3.

dalam acara perdata yang disebutkan oleh undang-undang (pasal 164 HIR, 284 Rbg,

1866 BW) yaitu alat bukti tertulis, pembuktian dengan saksi, persangkaan-

persangkaan, pengakuan dan sumpah. Sedangkan dalam KUHAP alat-alat bukti yang

sah, sesuai dengan Pasal 184 ayat (1) adalah, keterangan saksi, keterangan ahli, surat,

petunjuk dan keterangan terdakwa.

Hukum pembuktian mengenal adanya alat bukti yang berupa surat sebagai

alat bukti tertulis. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi dua yaitu surat yang

merupakan akta dan surat yang bukan akta. Akta sendiri adalah surat sebagai alat

bukti yang diberi tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak

atau perikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian. Akta

dibagi lebih lanjut menjadi akta autentik dan akta di bawah tangan. Membuat akta

autentik inilah pekerjaan pokok sekaligus wewenang notaris.

Adapun pengertian dari akta autentik, adalah :

Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang

untuk itu oleh penguasa, menurut ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan,

baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang berkepentingan, yang mencatat

apa yang dimintakan untuk dimuatnya didalam oleh yang berkepentingan.

Akta autentik memuat keterangan seorang pejabat, yang menerangkan apa

yang dilakukannya dan dilihat dihadapannya.9

Dalam HIR akta autentik diatur dalam Pasal 165 yang bunyinya :

Akta autentik yaitu suatu akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang

diberi wewenang untuk itu, merupakan bukti yang lengkap antara para pihak

dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat hak dari padanya tentang

yang tercantum didalam dan bahkan yang tercantum didalamnya sebagai

9 Sudikno Mertokusomo, 1977, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Cetakan Pertama,

Yogyakarta, (Selanjutnya disebut Sudikno Mertokusumo I), hal. 119.

pemberitahuan belaka akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang

diberitahukan itu erat hubungannya dengan pokok dari pada akta.

Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyebutkan bahwa akta

autentik adalah suatu akta yang ditentukan oleh undang-undang. Dibuat oleh atau

pegawai-pegawai umum yang berkuasa untuk itu ditempat dimana akta dibuatnya.

Sedangkan dalam UUJN-P dalam Pasal 1 angka 7 menyebutkan Akta Notaris yang

selanjutnya disebut akta adalah akta autentik yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris

menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang.

Akta autentik yang dibuat notaris merupakan alat bukti tulisan atau surat yang

bersifat sempurna, karena akta autentik mempunyai tiga kekuatan pembuktian yaitu :

1. Kekuatan pembuktian lahirlah (uwitwendidge bewijskracht) yang

merupakan kemampuan akta itu sendiri untuk membuktikan keabsahannya

sebagai akta autentik. Sebagai asas berlaku acta publica probant sese ipsa,

yang berarti bahwa suatu akta yang lahirnya sebagai akta autentik serta

memenuhi syarat-syarat yang ditentukan, maka akta itu berlaku atau dapat

dianggap sebagai akta autentik, sampai terbukti sebaliknya, hal ini berarti

bahwa tanda tangan pejabat dianggap sebagai aslinya, sampai ada

pembuktian sebaliknya.

2. Kekuatan pembuktian formil (formele bewijskracht) yang memberikan

kepastian bahwa sesuatu kejadian dan fakta tersebut dalam akta betul-

betul diketahui, didengar dan dilakukan oleh Notaris dan diterangkan oleh

para pihak yang menghadap, yang tercantum dalam akta sesuai dengan

prosedur yang sudah ditentukan dalam akta notaris.

3. Kekuatan pembuktian materil (materiele bewijskracht) yang merupakan

kepastian tentang materi suatu akta, memberi kepastian tentang peristiwa

bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang

dimuat dalam akta.10

Notaris sering mendapatkan permasalahan hukum pidana karena dalam akta

autentik yang dibuatnya terdapat unsur-unsur surat palsu dan keterangan palsu yang

10

Salim HS., 2015, Teknik Pembuatan Akta Satu ( Konsep Teoritis, Kewenangan Notaris

Bentuk dan Minuta Akta, Cetakan ke-1, PT. Raja Grafindo Perasada, Mataram, hal. 30.

diberikan oleh para pihak, sehingga akta autentik yang dibuat notaris tersebut menjadi

cacat hukum. Adapun pasal yang sering menjerat notaris dalam permasalahan hukum

tersebut diatur dalam Pasal 263, 264 dan Pasal 266 Kitab Undang-Undang Hukum

Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), yaitu :

Pasal 263 KUHP Tentang Pemalsuan Surat :

1. Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat

menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang

diperuntukan sebagai bukti dari pada sesuatu hal dengan maksud untuk

memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya

benar dan tidak palsu, diancam dengan pemakaian tersebut dapat

menimbulkan kerugian, karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling

lama enam tahun.

2. Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai

surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu

dapat menimbulkan kerugian.

Pasal 264 KUHP :

1. Pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun,

jika dilakukan terhadap :

a. Akta-akta autentik.

b. Surat hutang atau sertifikat hutang dari sesuatu Negara atau bagiannya

ataupun dari suatu lembaga umum.

c. Surat sero atau hutang atau sertifikat sero atau hutang dari suatu

perkumpulan, yayasan, perseroan atau maskapai.

d. Talon, tanda bukti dividen atau bunga dari salah satu surat yang

diterangkan dalam 2 dan 3, atau tanda bukti yang dikeluarkan sebagai

surat-surat itu.

e. Surat kredit atau surat dagang yang diperuntukan untuk diedarkan.

2. Diancam dengan pidana yang sama barang siapa dengan sengaja memakai

surat tersebut dalam ayat pertama, yang isinya tidak sejati atau yang

dipalsukan seolah-olah benar dan tidak dipalsu, jika pemalsuan surat itu dapat

menimbulkan kerugian.

Pasal 266 KUHP tentang Keterangan palsu :

1) Barangsiapa menyuruh memasukkan keterangan palsu ke dalam suatu akta

otentik mengenai sesuatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta

itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta

itu seolah-olah keterangannya sesuai dengan kebenaran, dipidana, jika

pemakaian itu dapat menimbulkan kerugian, dengan pidana penjara paling

lama 7 tahun.

2) Dipidana dengan pidana yang sama, barangsiapa dengan sengaja memakai

akta tersebut seolah-olah isinya sesuai dengan kebenaran, jika karena

pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian.

Dari penjelasan diatas notaris sebagai pejabat umum pembuat akta autentik

dalam menjalankan tugasnya sering mendapatkan permasalahan hukum baik dalam

hukum perdata maupun hukum pidana, Permasalahan ini disebabkan Undang-Undang

Jabatan Notaris masih belum jelas mengatur notaris untuk melakukan prinsip kehati-

hatian terkait kebenaran data atau dokumen yang diberikan oleh penghadap dalam

pembuatan suatu akta, sehingga didalam prakteknya sering timbul persoalan terhadap

proses pembuatan akta autentik yang data dan informasinya dipalsukan oleh para

pihak, akibat adanya surat palsu tersebut akta autentik menjadi cacat hukum yang

menghilangkan kekuatan pembuktian akta autentik tersebut.

Berdasarkan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yang masih belum jelas

mengatur penjelasan kewajiban notaris bertindak saksma dalam pembuatan akta

autentik dan untuk menjaga serta melindungi jabatan notaris agar nantinya notaris

dapat bertindak lebih berhati-hati dalam membuat akta autentik, penulis dapat

memberikan masukan bahwa perlu diperjelas kembali tentang kewajiban notaris

untuk melakukan prinsip-prinsip kehati-hatian dalam proses pembuatan akta autentik

agar nantinya akta yang dibuat tidak menimbulkan permasalahan hukum. Oleh karena

itu maka penulis tertarik untuk menyusun Tesis dengan judul “Prinsip Kehati-hatian

Notaris Dalam Membuat Akta Autentik”.

Dalam penelitian ini, penulis telah membandingkan dengan beberapa

penelitian sebelumnya yang juga membahas tentang Prinsip Kehati-Hatian Notaris

Dalam Membuat Akta Autentik. Adapun penelitian yang pernah dilakukan, antara

lain :

a. Indri Srimenganti, Tesis Universitas Indonesia Tahun 2011, dengan judul “Peran

Notaris Dalam Menerapkan Asas Keseimbangan Serta Prinsip Kehati-Hatian

Pada Pembuatan Akta Perjanjian Kredit”. Dengan rumusan masalah sebagai

berikut :

1. Bagaimana peran notaris dalam menerapkan asas keseimbangan pada

pembuatan akta perjanjian kredit?

2. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian yang perlu dilakukan terhadap

permasalahan hukum dalam praktek berkenaan dengan perjanjian kredit

perbankan?

b. Selamet Sumardi, Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2011,

dengan judul “Prinsip Kehati-Hatian Notaris/PPAT Dalam Praktek Penerbitan

Covernote Pada Saat Realisasi Kredit”. Dengan Rumusan Masalah yaitu :

1. Bagaimana Notaris/PPAT menjalankan prinsip kehati-hatian dalam

menerbitkan covernote pada realisasi kredit?

2. Faktor-Faktor apasaja yang menghambat Notaris/PPAT dalam menerapkan

prinsip kehati-hatian dalam menerbitkan covernote pada realisasi kredit?

c. Ardiansyah Hendra, Tesis Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Tahun 2010,

dengan Judul “Peranan Notaris Dalam Mewujudkan Prinsip Kehati-Hatian Pada

Perjanjian Kredit Perbankan di Kota Makassar”, dengan rumusan masalah yaitu :

1. Bagaimana penerapan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking) dalam

penyaluran kredit perbankan di Kota Makassar?

2. Bagaimana peranan notaris dalam penerapan prinsip kehati-hatian bank

(prudential banking) penyaluran kredit perbankan di Kota Makassar?

Berdasarkan tesis diatas, sangat berbeda dengan penelitian yang dilakukan

oleh penulis, karena dalam tesis ini penulis lebih spesifik kepada akibat dari tidak

diterapkannya prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik, yang

berdampak pada timbulnya surat palsu dan keterangan palsu dalam proses pembuatan

akta yang dibuat notaris, sehingga penelusuran orisinalitas penelitian yang telah

dilakukan, tidak ditemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya

tulis yang telah dimuat sebelumnya. Oleh karena itu, tingkat orisinalitas penelitian ini

dapat dipertanggungjawabkan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka dapat ditarik

dua permasalahan yang perlu dikemukakan. Adapun perumusan masalah yang akan

dibahas dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimana bentuk-bentuk prinsip kehati-hatian notaris dalam proses

pembuatan akta autentik?

2. Bagaimana akibat hukum terhadap akta notaris yang dibuat berdasarkan

surat palsu dan keterangan palsu?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan atas tujuan yang bersifat umum

dan tujuan yang bersifat khusus yang akan dijelaskan sebagai berikut :

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum tujuan penelitian terhadap permasalahan diatas dalam kerangka

pengembangan ilmu hukum sehubungan dengan paradigma science as a process

(ilmu sebagai suatu proses), khususnya dibidang kenotariatan adalah untuk

menyumbangkan dan mengembangkan pemikiran tentang prinsip kehati-hatian

notaris dalam membuat akta autentik mengingat bahwa sering terlibatnya notaris

dalam permasalahan hukum, baik dalam ranah hukum pidana maupun ranah hukum

perdata terkait dengan akta yang dibuatnya.

1.3.2 Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian dalam penyusunan tesis ini adalah sebagai berikut :

a) Untuk mengkaji dan menganalisis secara jelas bentuk-bentuk prinsip

kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta autentik.

b) Untuk mengetahui dan memahami akibat hukum terhadap akta notaris yang

dibuat berdasarkan surat palsu dan keterangan palsu.

1.4 Manfaat Penelitian

Setiap penelitian yang dilakukan diharapkan agar dapat memberikan manfaat

baik secara teoritis maupun praktis bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

1.4.1 Manfaat Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan agar memberi manfaat positif

bagi perkembangan ilmu hukum, khususnya di bidang kenotariatan yang berkaitan

dengan prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik. Disamping itu

penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi notaris dalam menerapkan prinsip kehati-

hatian dalam proses pembuatan akta autentik sehingga nantinya akta autentik yang

dibuat tidak menimbulkan permasalahan hukum.

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan

berupa masukan bagi notaris agar lebih berhati-hati dalam membuat akta autentik

terkait dalam proses pembuatan akta autentik yang dibuat agar notaris lebih teliti

memeriksa setiap dokumen-dokumen dari para pihak dan akta yang dibuatnya

sehingga kedepannya tidak menimbulkan permasalahan hukum.

1.5 Landasan Teoritis

Landasan Teoritis merupakan pisau analisa dan landasan berfikir yang

bersumber dari suatu teori yang sering diperlukan sebagai tuntutan untuk

memecahkan berbagai permasalahan dalam sebuah penelitian. Begitu pula landasan

teori berfungsi sebagai kerangka acuan yang dapat mengarahkan suatu penelitian.

Setiap penelitian selalu harus disertai dengan pemikiran-pemikiran teoritis, oleh

karena ada hubungan timbal balik yang erat antara teori dengan kegiatan

pengumpulan dan pengolahan dan analisa bahan hukum di dalam penulisan karya

ilmiah dalam hal ini tesis. Untuk memperjelas dalam memberikan suatu gambaran

mengenai pembahasan permasalahan diatas, maka dalam penulisan tesis ini

digunakan Prinsip, Teori dan Asas yaitu : Prinsip Kehati-hatian, Teori Perlindungan

Hukum, Asas Kepastian Hukum dan Teori Kekuatan Pembuktian Akta Pembuktian.

1.5.1 Prinsip Kehati-hatian.

Seringnya terjadi permasalahan hukum pidana dalam praktik kenotariatan

disebabkan karena kurangnya kehati-hatian notaris dalam membuat akta autentik

terhadap data para pihak terkait subyek ataupun obyek yang dibawa oleh para pihak

untuk membuat akta autentik sehingga menyebabkan sering terjadinya tindak

kejahatan seperti dokumen palsu atau keterangan palsu yang dilakukan oleh para

pihak dalam akta autentik yang dibuat oleh notaris.

Kehati-hatian berasal dari kata hati-hati (prudent) yang erat kaitannya dengan

fungsi pengawasan bank dan manajemen bank. Prudent dapat juga diartikan

bijaksana. Apabila dilihat dari prinsip kehati-hatian perbankan (prudent banking

principle) sendiri merupakan suatu asas atau prinsip yang menyatakan bahwa dalam

menjalankan fungsi dan kegiatan usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam

rangka melindungi dana masyarakat yang dipercayakan padanya. Bank dalam

melakukan kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya

kepada masyarakat diwajibkan untuk bertindak secara hati-hati, cermat, teliti, dan

bijaksana atau tidak ceroboh dengan meminimalisir kemungkinan resiko yang akan

terjadi sebagai akibat dari kegiatan usaha menghimpun dana dari masyarakat dan

menyalurkannya kepada masyarakat.11

Penerapan Prinsip kehati-hatian ini wajib dilaksanakan dalam pembuatan akta

Notaris yaitu dengan :

a. Melakukan pengenalan terhadap penghadap berdasarkan identitasnya yang diperlihatkan kepada notaris.

b. Menanyakan, kemudian mendengarkan dan mencermati keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

c. Memeriksa bukti surat yang berkaitan dengan keinginan atau kehendak para pihak tersebut .

d. Memberikan saran dan membuat kerangka akta untuk memenuhi keinginan atau kehendak para pihak tersebut.

e. Memenuhi segala teknik adminisratif pembuatan akta notaris , seperti pembacaan, penandatanganan, memberikan salinan dan pemberkasan untuk minuta.

f. Melakukan kewajiban lain yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan

jabatan notaris.12

11

Djoni S. Gazali dan Rachmadi Usman, 2012, Hukum Perbankan, Sinar Grafika, Jakarta, hal.

27 12

Habib Adjie, 2009, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT Indonesia (Kumpulan Notaris

dan PPAT), P.T. Citra Aditya Bakti, Bandung, (Selanjutnya disebut Habib Adjie III ), hal. 86.

Notaris mempunyai peranan untuk menentukan suatu tindakan dapat

dituangkan dalam bentuk akta atau tidak. Sebelum sampai pada keputusan seperti

ini, notaris harus mempertimbangkan dan melihat semua dokumen yang diperlihatkan

kepada notaris, meneliti semua bukti yang diperlihatkan kepadanya, mendengarkan

keterangan atau pernyataan para pihak. Keputusan tersebut harus didasarkan pada

alasan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak. Pertimbangan tersebut harus

memperhatikan semua aspek hukum termasuk masalah hukum yang akan timbul

dikemudian hari. Selain itu setiap akta yang dibuat dihadapan atau oleh notaris harus

mempunyai alasan dan fakta yang mendukung untuk akta yang bersangkutan atau ada

pertimbangan hukum yang harus dijelaskan kepada para pihak/penghadap.13

Prinsip kehati-hatian digunakan untuk menjawab rumusan masalah pertama

karena dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P bunyi pasal tersebut belum

menjelaskan kewajiban dan contoh tindakan saksama notaris dalam membuat akta

autentik, sehingga kewajiban notaris untuk bertindak saksma yang dimaksud belum

jelas dan menimbulkan multitafsir. Oleh karena itu dalam menjalankan tugasnya

notaris harus bertindak hati-hati lebih cermat serta teliti dalam memeriksa dokumen

maupun keterangan para pihak yang ingin membuat akta autentik agar tidak

menimbulkan permasalahan hukum terhadap akta yang dibuatnya dikemudian hari.

13

Hartanti Sulihandari dan Nisya Rifiani, op.cit, hal. 87.

1.5.2 Teori Perlindungan Hukum

Perlindungan hukum dalam kepustakaan hukum berbahasa Belanda dikenal

dengan sebutan “rechtbescherming van de burgers”.14

Pendapat ini menunjukkan

kata perlindungan hukum merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, yakni

rechtbescherming. Pengertiannya dalam kata perlindungan hukum terdapat suatu

usaha untuk memberikan hak-hak yang dilindungi sesuai dengan kewajiban yang

harus dilakukan.

Menurut Satjipto Raharjo, Hukum melindungi kepentingan seseorang dengan

cara mengalokasikan suatu kekuasaan kepadanya untuk bertindak dalam rangka

kepentingannya tersebut. Pengalokasian kekuasaan ini dilakukan secara terukur,

dalam arti ditentukan kekuasaan dan kedalamnya. Kekuasaan yang demikianlah yang

disebut hak. Tetapi tidak disetiap kekuasaan dalam masyarakat bisa disebut sebagai

hak, melainkan hanya kekuasaan tertentu yang menjadi alasan melekatnya hak itu

pada seseorang. 15

Perlindungan Hukum merupakan suatu hal yang melindungi subyek-subyek

hukum melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dipaksakan

pelaksanaannya dengan suatu sanksi. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi

dua, yaitu :16

14

Philipus M hadjon,1998, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya,

hal. 1. 15

Satjipto Raharjo, 2000, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Cetakan ke-V, Bandung, hal 53. 16

Muchsin, 2003, Perlindungan dan Kepastian Hukum Bagi Investor Di Indonesia, Tesis,

Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 14.

a) Perlindungan Hukum Preventif adalah perlindungan hukum yang diberikan

oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya

pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan

dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan

rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan kewajiban.

b) Perlindungan hukum Represif adalah perlindungan akhir berupa sanksi

seperti denda, penjara dan hukuman tambahan yang diberikan apabila

sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan pelanggaran.

Sedangkan menurut Setiono, perlindungan hukum adalah tindakan atau upaya

untuk melindungi masyarakat dari perbuatan sewenang-wenang oleh penguasa yang

tidak sesuai dengan aturan hukum, untuk mewujudkan ketertiban dan ketentraman

sehingga memungkinkan manusia untuk menikmati martabatnya sebagai manusia.17

Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, oleh karena itu

hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu

diatur dan dilindungi”.18

Menurut Fitzgerald, menjelaskan teori perlindungan hukum bahwa hukum

bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan

dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan

terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi

berbagai kepentingan di lain pihak.19

17

Setiono, 2004, Rule of law (Supremasi Hukum), Tesis, Magister Ilmu Hukum Program

Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta, hal. 3. 18

Satjipto Raharjo, Op.cit, hal 69. 19

Ibid.

Langkah perlindungan hukum preventif perlu dilakukan oleh notaris dalam

membuat akta, mengingat seringnya notaris dihadapkan oleh permasalahan hukum

oleh pihak penghadap yang mempunyai niat tidak baik dalam proses pembuatan akta,

seperti membuat surat palsu dan mencantumkan keterangan palsu kedalam akta

autentik yang dibuat notaris, oleh karena itu perlu diatur kembali dalam UUJN-P

tentang prinsip kehati-hatian notaris dalam proses pembuatan akta, agar kedepannya

notaris dalam melaksanakan tugas dan jabatannya, dapat mencegah timbulnya

permasalahan hukum terhadap akta yang dibuatnya dikemudian hari.

1.5.3 Asas Kepastian Hukum

Negara Indonesia sebagaimana tersurat dalam UUD 1945 Pasal 1 ayat (3),

ditegaskan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum. Indonesia adalah negara

yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan tidak atas dasar kekuasaan belaka

(machtstaat), sehingga segala tindakan dan perbuatan harus didasarkan atas hukum.20

Negara hukum yang dianut Negara Indonesia tidaklah dalam artian formal, melainkan

dalam artian materiil yang juga diistilahkan dengan Negara Kesejahteraan (Welfare

State) atau “Negara Kemakmuran”.21

Tujuan yang hendak dicapai oleh Negara

Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan makmur baik spiritual maupun

20

I Dewa Gede Atmadja, dkk, 2015, Teori Konstitusi & Konsep Negara Hukum, Setara Press,

Malang, hal. 126. 21

I Made Arya Utama, 2007, Hukum Lingkungan : Sistem Hukum Perizinan Berwawasan

Lingkungan Untuk Pembangunan Berkelanjutan, Pustaka Sutra, Denpasar, hal. 14.

materiil berdasarkan Pancasila, sehingga “disebut juga sebagai negara hukum yang

memiliki karakteristik mandiri”.22

Di Indonesia kemandirian penerapan konsep dan pola negara hukum pada

umumnya, disesuaikan dengan kondisi bangsa Indonesia, yakni menggunakan tolak

ukur berupa Pancasila. Dengan demikian, Negara Indonesia ialah Negara Hukum

(rechtstaat) berdasarkan Pancasila.23

Indonesia sebagai negara hukum (rechtsaat)

diimplementasikan berdasarkan asas legalitas bahwa setiap perbuatan harus

didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagai manifestasi

dari hukum positif dalam rangka untuk memberikan kepastian hukum.

Kepastian kata dasarnya adalah pasti, yang memiliki arti : Suatu hal yang

sudah tentu, sudah tetap dan tidak boleh tidak.24

Gustaf Radbruch seperti yang dikutip

oleh Theo Huijber mengenai kepastian hukum mengemukakan :

Menurut Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan tiga aspek yang

ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang

memadai. Aspek yang pertama ialah keadilan dalam arti yang sempit.

Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan pengadilan.

Aspek yang kedua ialah tujuan keadilan atau finalitas. Aspek ini menentukan

isi hukum, sebab isi hukum memang sesuai dengan tujuan yang hendak

dicapai. Aspek yang ketiga ialah kepastian hukum atau legalitas. Aspek itu

menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus

ditaati.25

22

Ibid. 23

Ibid. 24

W.J.S. Poerwadarminta, 2006, Kamus Umum Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, Balai Pustaka,

Jakarta, hal. 847. 25

Theo Huijbers, 2007, Filsafat Hukum dalam Lintas Sejarah, Kanisius, Cetakan Keempat belas,

Yogyakarta, hal. 163.

Peter Mahmud Marzuki mengemukakan terkait dengan kepastian hukum

mengandung dua pengertian sebagai berikut :

Pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui

perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan. Kedua berupa keamanan

hukum bagi individu dari kesewenangan pemerintah karena dengan adanya

aturan yang bersifat umum itu individu dapat mengetahui apa saja yang boleh

dibebankan atau dilakukan oleh negara terhadap individu. Kepastian hukum

bukan hanya berupa pasal-pasal dalam undang-undang, melainkan juga

adanya konsistensi dalam putusan hakim antara putusan yang satu dengan

putusan hakim yang lainnya untuk kasus serupa yang telah diputus.26

Keberadaan hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagai pedoman di

dalam melakukan kontak sosial atau hubungan satu dengan yang lain. Kepastian

hukum itu sendiri oleh Soerjono Soekanto dikemukakan : “Wujud kepastian hukum

adalah peraturan-peraturan dari pemerintah pusat yang berlaku umum di seluruh

wilayah negara”.27

Menurut J.M. Otto yang dikutip oleh Sri Djatmiati, Kepastian Hukum

(rechtszekerheid) memiliki unsur-unsur sebagai berikut :

a) Adanya aturan yang konsisten dan dapat diterapkan yang ditetapkan

negara.

b) Aparat pemerintah menerapkan aturan hukum tersebut secara konsisten

dan berpegang pada aturan hukum tersebut.

c) Rakyat pada dasarnya tunduk pada hukum.

d) Hakim yang bebas dan tidak memihak secara konsisten menerapkan

aturan hukum tersebut.

e) Putusan hakim dilaksanakan secara nyata.28

26

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Pengantar Ilmu Hukum, Kencana Prenada Media Group,

Jakarta, (Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki I), hal. 158. 27

Ismaya Dwi agustina, 2012, Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,

http://ismayadwiagustina.wordpress.com, diakses tanggal 12 Oktober 2016. 28

Tatiek Sri Djatmiati, 2002, Prinsip Izin Usaha Industri Di Indonesia, Disertasi, Program Pasca

Sarjana, Unair, Surabaya, hal.18.

Kepastian hukum bagi subjek hukum dapat diwujudkan dalam bentuk yang

telah ditetapkan terhadap suatu perbuatan dan peristiwa hukum. Hukum yang berlaku

pada prinsipnya harus ditaati dan tidak boleh menyimpang atau disimpangkan oleh

subjek hukum. Ada tertulis istilah fiat justitia et pereat mundus yang diterjemahkan

secara bebas menjadi “meskipun dunia runtuh hukum harus ditegakkan” yang

menjadi dasar dari asas kepastian dianut oleh aliran positivisme.

Dengan adanya kepastian hukum maka seseorang tahu tentang apa yang harus

diperbuat serta memperoleh kejelasan akan hak dan kewajiban menurut hukum.

Kepastian hukum dapat diwujudkan melalui penormaan yang baik dan jelas dalam

suatu undang-undang sehingga kepastian hukum dapat menciptakan suatu ketertiban

Kepastian hukum tidak mampu menggambarkan kepastian perilaku terhadap hukum

secara benar-benar. Kepastian hukum secara normatif merupakan ketika peraturan

dibuat dan diundangkan secara pasti karena mengatur secara jelas dan logis. Jelas

dalam artian tidak terdapat kekaburan norma atau keragu-raguan (multitafsir),

kekosongan norma dan logis dalam artian menjadi suatu sistem norma dengan norma

lain sehingga tidak berbenturan atau menimbulkan konflik norma.

Asas kepastian Hukum digunakan untuk menjawab kepastian hukum dari

Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama

yang masih belum jelas dan menimbulkan multitafsir, sehingga perlu diatur lebih

lanjut agar nantinya notaris dapat bertindak berhati-hati dan mencegah permasalahan

hukum terhadap akta yang dibuatnya.

1.5.4 Teori Kekuatan Pembuktian Akta Autentik

Dalam hal ini ada tiga teori yang harus diperhatikan ketika akta dibuat, teori-

teori ini berkaitan dengan teori kekuatan pembuktian akta autentik, yaitu :29

1. Pembuktian Lahiriah (uitwendige bewijskracht)

Menurut Efendi Bachtiar daya bukti lahirnya suatu akta autentik yang

memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan maka akta itu berlaku atau dapat

dianggap sebagai akta autentik sampai terbukti sebaliknya sesuai dengan asas “acta

publica probat sese ipsa”. Daya bukti ini berlaku terhadap siapapun. Kekuatan

pembuktian keluar, maksudnya membuktikan tidak saja antara para pihak yang

bersangkutan tetapi juga terhadap pihak ketiga, pada tanggal tersebut dalam akta

kedua belah pihak tersebut sudah menghadap dimuka notaris dan menerangkan apa

yang dibuat dalam akta itu.

2. Pembuktian Formal (formale bewijskracht).

Berdasarkan pendapat Notodisoerjo “kepastian bahwa suatu kejadian dan

fakta yang tersebut dalam akta betul-betul dilakukan oleh notaris atau diterangkan

oleh penghadap. Hal yang pasti ialah tentang tanggal dan tempat akta tersebut dibuat

serta keaslian tanda tangan. Akta yang dibuat oleh pejabat yang berwenang (ambelijk

acte) tidak terdapat pernyataan atau keterangan dan para pejabatlah yang

menerangkan. Akta para pihak (partij akta), bagi siapapun yang telah pasti bahwa

pihak-pihak dan pejabat menyatakan seperti yang tercantum diatas tanda tangan

mereka. Sebagai contoh jika didalam akta tertulis A menerangkan menjual sebidang

29

R Soegondo Notodisoerjo, 1982, Hukum Nasional di Indonesia Suatu Penjelasan, Rajawali,

Jakarta, (Selanjutnya disebut R Soegondo Notodisoerjo II), hal. 55.

tanah kepada B seharga Rp. 100.000.000,- dan sebaliknya B menerangkan telah

membeli tanah dari A dengan harga yang sedemikian itu. Daya bukti formal ini

artinya, telah terbukti dengan sempurna bahwa si A dan si B, benar-benar telah

membebankan keterangan tersebut dimuka pejabat yang bersangkutan. Namun yang

terbukti terbatas hingga itu saja. Jadi tidak perlu terbukti perlu benar tidaknya telah

terjadi persetujuan jual beli antara mereka. Notaris atau pejabat yang berwenang tidak

wajib untuk menyelidiki kebenaran dari pada keterangan A dan B tersebut. Bukti

formal ini berlaku terhadap siapapun. Daya bukti formal dari akta dibawah tangan

sama dengan daya bukti formal dari akta autentik.

3. Pembuktian Materil (materiele bewijskracht).

Daya bukti materil ini membuktikan bahwa antara para pihak yang

bersangkutan telah menerangkan bahwa peristiwa itu benar-benar terjadi. Daya bukti

materil ini yang dibuktikan bukan saja peristiwa antara para pihak. Melainkan

dibuktikan kebenaran dari peristiwa tersebut. Contoh : pada suatu hari si A dan si B

menghadap dimuka notaris dan menerangkan bahwa mereka telah mengadakan jual

beli mengenai sebuah rumah dengan harga tertentu. Harus dianggap benar tidak saja

bahwa mereka telah menerangkan terjadinya jual beli mengenai sebuah rumah

dengan harga tertentu, dianggap benar tidak saja bahwa mereka telah menerangkan

bahwa mereka itu benar-benar sudah dijual kepada B.

Dalam penulisan ini, teori pembuktian digunakan untuk menjawab tentang

kekuatan pembuktian akta autentik, ketiga aspek pembuktian tersebut diatas

merupakan kesempurnaan akta notaris sebagai akta autentik dan siapapun terikat pada

akta tersebut. Jika dapat dibuktikan dalam suatu persidangan pengadilan, bahwa salah

satu aspek tersebut tidak benar, maka akta yang bersangkutan hanya mempunyai

kekuatan pembuktian sebagai akta dibawah tangan atau akta tersebut didegradasikan

kekuatan pembuktiannya sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai

akta dibawah tangan. Oleh karena itu teori pembuktian penting digunakan untuk

mengetahui bagaimana akibat hukum akta autentik yang mengandung unsur-unsur

surat palsu dan keterangan palsu karena untuk mengetahui akta yang mengandung

cacat hukum penegak hukum perlu melakukan pembuktian terlebih dahulu dalam

proses peradilan apakah akta yang dibuat notaris tersebut terdapat unsur-unsur surat

palsu atau keterangan palsu.

1.6 Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada

suatu metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan mempelajari suatu

gejala tertentu dengan jalan menganalisinya, karena penelitian dibidang ilmu-ilmu

sosial merupakan suatu proses yang dilakukan secara terencana dan sistematis untuk

memperoleh pemecahan masalah dan memberikan kesimpulan-kesimpulan yang tidak

meragukan.30

Penelitian adalah merupakan sarana pokok dalam mengembangkan

ilmu pengetahuan dan teknologi yang bertujuan untuk mengungkap kebenaran

sistematis, metodelogis dan konsisten, karena melalui proses penelitian tersebut

30

Ronny Hanitijo Soemitro, 1988, Metodelogi Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, hal.

13.

diadakan analisa dan kontruksi terhadap data yang telah dikumpulkan.31

Adapun

metode penelitian yang digunakan dalam tesis ini adalah sebagai berikut :

1.6.1 Jenis Penelitian.

Untuk menghimpun bahan yang diperoleh guna penyusunan dan pembahasan

permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum

normatif yakni beranjak dari adanya kekaburan norma hukum atau asas hukum.32

Dalam penelitian hukum ini, hukum dikonsepkan sebagai apa yang ditulis dalam

peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai

kaidah atau norma yang merupakan patokan berprilaku manusia yang dianggap

pantas. Karakteristik utama penelitian hukum normatif sumber utamanya adalah

bahan hukum yang berisi aturan-aturan yang bersifat normatif. Jenis penelitian

hukum normatif digunakan karena beranjak dari adanya kekaburan norma hukum

dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yang belum jelas mengatur

tentang kewajiban notaris untuk bertindak saksama dalam proses pembuatan akta

autentik.

1.6.2 Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam menjawab persoalan yang telah

dirumuskan dalam penelitian ini yaitu :

1. Pendekatan Undang-undang (statue approach) .

Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Bagi penelitian untuk

31

Suparmoko, 1991, Metode Penelitian Praktis, Yogyakarta, hal.1. 32

Jhony Ibrahim, 2005, Teori dan Metode Penelitian Hukum Normatif, Surabaya, hal. 284.

kegiatan praktis, pendekatan undang-undang ini akan membuka kesempatan bagi

peneliti untuk mengetahui karena penelitian ini berangkat dari adanya kekaburan

norma dalam Pasal 16 ayat (1) huruf a UUJN-P yang tidak jelas mengatur tentang

kewajiban notaris untuk bertindak saksama dalam proses pembuatan akta autentik.

Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argument untuk memecahkan suatu isu

yang dihadapi.33

2. Pendekatan konseptual (conceptual approach).

Pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang

berkembang di dalam ilmu hukum dengan mempelajari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin di dalam ilmu hukum, peneliti akan menemukan ide-ide yang

melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-konsep hukum, dan asas-asas

hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi. Pemahaman akan pandangan-

pandangan dan doktrin-doktrin tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam

membangun suatu argumentasi hukum dan memecahkan isu yang dihadapi.34

3. Pendekatan Kasus (case approach).

Pendekatan ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus

yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan yang

telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Kasus bisa berupa kasus yang terjadi

di Indonesia. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio

33

Peter Mahmud Marzuki, 2005, Penelitian Hukum Edisi Pertama, cet. Ke-2, Kencana, Jakarta,

(Selanjutnya disebut Peter Mahmud Marzuki II), hal. 93. 34

Ibid, hal. 95.

decendi atau reasoning, yaitu pertimbangan pengadilan untuk sampai kepada suatu

putusan. Baik untuk keperluan praktik maupun untuk kajian akademis, ratio

decidendi atau reasoning tersebut merupakan referensi bagi penyusunan argumentasi

dalam pemecahan isu hukum. Perlu dikemukan disini bahwa pendekatan kasus tidak

sama dengan studi kasus (case study). Studi kasus merupakan suatu studi terhadap

kasus tertentu dari berbagai aspek hukum. Didalam pendekatan kasus (case

approach), beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu hukum.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum.

Sebagai sumber bahan hukum pokok dari penelitian ini terdiri dari bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier (sebagai penunjang

bahan hukum primer dan sekunder).35

a) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer berupa peraturan perundang-undangan yaitu:

- Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang

Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014

Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

5491).

35

Soerjono Soekanto dan Sri Pamudji, 2006, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta Hal.38.

- Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas

Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 182 Tahun 1998, Tambahan

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790).

- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan

Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (Lembar Negara

Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 122).

- Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

- Kitab Undang-undang Hukum Acara Perdata.

- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

b) Bahan Hukum Sekunder.

Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang berasal dari literatur-literatur

yang berkaitan dengan prinsip kehati-hatian notaris dalam membuat akta

autentik serta sebagai penunjang didapat dari bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti hasil karya dari kalangan

hukum, hasil penelitian dan seminar.

c) Bahan Hukum Tersier.

Bahan hukum tersier ini diperoleh dari ensiklopedia, kamus hukum, serta

dokumen-dokumen penunjang lainnya yang dapat mendukung maupun

memperjelas bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum.

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan dalam penelitian tesis ini

diperoleh melalui teknik kepustakaan (study document) dengan sistem kartu (card

system) yakni dengan cara mencatat dan memahami isi dari masing-masing informasi

yang diperoleh dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier.

1.6.5 Teknik Analisa Bahan Hukum.

Pada teknik penulisan analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan

Teknik deskripsi dan Teknik Interpretasi (Penafsiran) yaitu :

a. Teknik Deskripsi

Teknik Deskripsi yaitu uraian apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi

dari proposisi hukum atau non hukum.36

Dengan teknik deskripsi ini

diharapkan dapat diperoleh jawaban atas permasalahan penelitian.

b. Teknik Interpretasi (Penafsiran)

Teknik interpretasi atau penafsiran menurut Sudikno Mertokusumo yang

dikutip oleh Ahmad Rifai merupakan “salah satu metode penemuan hukum

yang memberikan penjelasan gambling tentang teks undang-undang, agar

ruang lingkup kaidah dalam undang-undang tersebut dapat diterapkan pada

36

M. Iqbal Hasan, 2002, Pokok-Pokok Materi Metode Penelitian Dan Aplikasinya, Cet. 1, Ghalia

Indonesia, Jakarta, hal. 43.

peristiwa hukum tertentu.37

Bentuk interpretasi (penafsiran) yang digunakan

dalam penelitian ini adalah interpretasi gramatikal. Interpretasi Gramatikal

adalah menafsirkan kata-kata dalam undang-undang sesuai kaidah bahasa dan

kaidah hukum tata bahasa. Interpretasi ini merupakan upaya yang tepat untuk

mencoba memahami suatu teks suatu aturan perundang-undangan.

37

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Peneletian Hukum, Cetakan ke-6,

PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, hal. 163.