politik pembebasan teori-teori negara pasca kolonial

Upload: filoza

Post on 09-Oct-2015

133 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Untuk kelengkapan bahan referensi Teori Hubungan Internasional

TRANSCRIPT

POLITIK PEMBEBASANTEORI-TEORI NEGARA PASCA KOLONIALBAB I1. PendahuluanRingkasan dari buku mengenai teori, pokok perhatian buku ini adalah tentang teori Negara pada masyarakat pasca kolonial. Perlu dikemukakan bahwa sejak awal yang akan menjadi pokok perhatian adalah mengenai teori masyarakat kolonial kontenporer, yang inspirasi analisis-analisinya berasal dari Marxis, atau menerapkan analisis Struktural terhadap situasi pasca Struktural Kontenporer. Namun yang menjadi perhatian buku ini adalah persoalan Negara dan masyarakat. Suatu analisis kepustakaan Marxis-Struktural yang menangani persoalan kedudukan atau hubungan antara Negara dan kelas-kelas yang dominan dalam masyarakat peripheral, seperti hubungan antara Negara dengan kelas borjuasi internasional atau kelas local. Sehingga timbul pertanyaan bagaimana kedudukan Negara pasca-kolonial dalam system kapitalisme internasional? Dan, seperti dapat diperkirakan, dalam suatu evaluasi terhadap teori Marxis, bagaimanakah peran pasca kolonial dalam konteks perkembangan mode produksi kapitalis pada masyarakat peripheral?Sehingga timbul lagi pokok perhatian yaitu hubungan antara Negara pasca kolonial dan kelas-kelas social dalam teori Marxis-Struktural kontenporer. Persoalan-persoalan teoritis yang menyangkut komposisi internal dari aparat-aparat dan hubungan-hubungan antara apart militer, administrasi, akan kurang ditekankan. Dengan situasi masyarakat Dunia Ketiga yang ditandai oleh munculnya Negara yang kuat, cendrung intervensionis dan otoriter.Perkembangan formulasi-formulasi teoritis mengenai peranan dan sifat Negara pasca kolonial itu tidak sekedar mengacu kepada kategori politik yang bersifat formal saja, seperti kemerdekaan politik. Cirri-ciri historis yang menandakan struktur social masyarakat sebagai akibat dari pengalaman kolonial. Dalam setiap masyarakat pasca kolonial, terjadi artikulasi yang spesifik antara mode produksi kapitalis yang dicangkokkan secara eksternal. Kondisi-kondisi historis spesifik yang menandai proses artikulasi, member kekhasan pada struktur social pra kolonial, dan menjadi konteks bagi formasi dan perkembangan Negara pasca kolonial.Yang dipermasalahkan lebih lanjut lagi berkenaan sengan masyarakat-masyarakat Dunia Ketiga yang hingga kini tidak mengalami suatu revolusi social yang mentransformasi secara pusat radikal struktur social masyarakat itu. Sehingga tidak ditangani kasus-kasus di mama terjadi kontradiksi social tajam akan perubahan mendasar.Terdapat stidaknya dua pendorong utama bagi perkembangan studi tentang Negara pasca kolonial, pertama adalah perdebatan sengit yang terjadi sekitar akhir tahun 60-an dan awal tahun 70-an dikalangan teoritis Eropa si sekitar peranan dan sifat Negara masyarakat industry kontenporer. Relefansi paling banyak adalah perdebatan antara dua teoritis Marxis, Ralph Millibans dan Nicos Poulantzas. Perdebatan ini selanjutnya sangat berpengaruh dalam pengembangan teori Negara pada masyarakat industry maju. Tema otonomi relative negara misalnya, yang sejak diterpkan oleh Hamza Alavi untuk kasus Dunia Ketiga, menjadi bagian integral Marxis-Struktural kontenporer mengenai Negara pasca kolonial.Factor kedua adalah arah perkembangan studi-studi pembanguna di masyarakat Dunia Ketiga selama setidak-tidaknya dua decade terakhir ini. Hal ini jelas tampak sejak timbulnya kritik teori dependensi terhadap modernisasi yang dalam decade terakhir ini diikuti oleh timbulnya kritik productionist atau Marxis ortodoks terhadap teori dependensi. Pada masa dominasi teori mordenisasi dalam studi-studi pembangunan pada decade 50-an dan awal 60-an misalnya, perspektif-perspektif yang muncul mengenai peranan Negara dalam masyarakat Dunia Ketiga berkaitan erat dengan asumsi-asumsi dasar yang akan melandasi teori mordenisasi oleh karena itu peran dan sifat Negara diidealisasikan sebagai pendorong proses transisi yang sedang dijalankan masyarakat secara keseluruhan dari masyarakat tradisional menjadi masyarakat modern. Sehingga dalam salah satu varian teori mordenisai Negara di Dunia Ketiga diukur menurut kemampuannya untuk mendorong difusi pola-pola dan nilai-nilai demokrasi liberal barat, atau menurut kemampuannya untuk menciptakan dan melestarikan stabilitas social.Berbeda dengan itu, tesis Negara dependen yang berakar dari teori dependensi yang timbul sebagai reaksi atau kritik terhadap teori mordenisasi yang mendahuluinya, memandang Negara di dunia ketiga dalam kaitan proses-proses akumulasi modal dalam pertukaran tak seimbang (unequal ex-change) di tingkat global. Pada dasarnya teori dependensi menggambarkann suatu system kapitalisme internasional yang ditandai oleh proses penyerapan atau mungkin lebih tepat penyedotan surplus ekonomi dari masyarakat periferi ke pusat, yang ber akar dari zaman ekspansi kapitalisme melalui kolonialisme, dan berlanjut hingga sekarang.Negara pasca kolonial dipandang sekedar sebagai kelanjutan dari Negara kolonial, dalam arti sekedar berfungsi sebagai penjamin kelancaran terjadinya proses penyerapan atau penyedotan surplus itu, untuk kepentingan burjuasi internasional. Seperti dirangkum oleh Carnoy, misalnya apakah sifat Negara periferi dalam pandangan dependensi ini? Negara dalam dunia ketiga merupakan alat yang esensial bagi pengelolaan peran tergantung dari system perekonomian Negara tersebut dalam pembagian kerja Internasional, dan proses akumulasi modal kapitalis. Dalam penegasan Frank, bagi teori dependensi memang sifat tergantung, dan dalam artian ini, lemah dari Negara di dunia ketiga, tergantung secara keuangan, teknologis, institusional, ideology militer.Baik teori mordenisasi maupun dependensi mempunyai kesamaan dalam hal terpaku pada generalisasi menyeluruh, yang dalam analisis seksama, mengundang banyak keraguan. Generalisasi tersebut pada teori modernisasi, seperti dijelaskan sebelumnya menyangkut suatu peranan ideal bagi Negara pasca kolonial yang kriterianya di dasarkan pada ukuran-ukuran mordenitas.Dalam teori yang pertama mordenisasi Negara merupakan bagian dari mordenisasi masyarakat secara keseluryhan. Dalam teori dependensi Negara pasca kolonial sekedar menjadi bagian dari proses-proses akumulasi modal dan pertukaran tak seimbang di tingakat global.Oleh karena itu hal-hal yang melandasi perkembangan Negara pasca kolonial yang tumbuh semakin intervensionis dan otoriter cendrung tidak ditangani secara komperhensif. Sehingga, dapat dikatakam bahwa penjelasan teoritis yang diajukan mengenai peran dan sifat dasar Negara pasca kolonial ini belum memadai untuk menangani persoalan kontenporer.Hanya di awal tahun 70 an dipelopori oleh Hmaza Alavi secara jelas karena didorong oleh perkembangan teoritis yang semakin canggih mengenai peran dan sifat Negara di masyarakat industry maju, usaha-usaha untuk mengkaji Negara sebagi objek teoritis yang lebih sentral mulai dilakukan.Teori Marxis mengenai negara pasca-kolonial kemudian mengalami kemajuan yang berarti berbarengan dengan timbul dan berkembangnya kritik-kritik terhadap teori defedensi yang berlandaskan prinsip-prinsip Marxis yang lebih ortodoks. Perspektif ini mengembalikan penekanan pada bidang produksi, atau mode produkdsi dalam pemikiran Marxis mengenai masyarakat-masyarakat periferal. Bab-bab selanjutnya tulisan ini akan menjelaskan bagaimana studi-studi Marxis Kontemporer mengenai sifat dan peranan negara pasca-colonial ini justru dapat menuju pada kesimpulan-kesimpulan yang berbeda dari yang dikemukakan dalam teori depedensi pada umumnya. Hubungan antar negara dan kelas-kelas sosial yang dominan dalam masyarakat, yaitu hubungan antara negara dan burjuasi internasional dan domestik, dijabarkan dalam suatu analisis productionist. Kegunaan pendekatan seperti ini untuk memahami peran dan sifat dasar negara pasca-colonial, yang terlihat misalnya dalam usaha untuk menjelaskan intervensionisme, otoriterisme, dan praktik-praktik represif yang cenderung melekat pada negara pasca-colonial itu. Lebih dari sekadar diasusmsikan sebagai fungsi dari ketergantungan terhadap modal internasional misalnya, mungkin akan lebih berguna untuk mengkaitkannya dengan kebutuhan-kebutuhan khusus dari proses akumulasi modal, dan sifat perkembangan kapitalisme yang spesifik. Metode penulisan skripsi adalah berdasarkan penelitian kepustakaan. Kepustakaan yang menjadi objek analisis terdiri dari buku, artikel dalam buku, maupun artikel dalam majalah ilmiah berkala. Tulisan ini terdiri dari 5 bab yang masing-masing bab akan terdiri dari beberapa anak bab. Bab pertama adalah pendahuluan, yang memuat secara garis besar latar belakang, dan persoalan-persoalan pokok yang akan dikaji dalam buku ini, maupun pengajuan hipotesa dan metode penelitian. Bab kedua, akan membahas negara pasca-colonial dalam teori modernisasi dan depedensi. Bab ketiga akan membahas sejumlah tema pokok, seperti otonomi relatif negara, tesis overdeveloped state, signifikansi dari latar belakang sosial atau kelas dari orang-orang yang menduduki posisi-posisi dalam aparat-aparat negra yang semuanya merupakan bagian integral dari teori negara pasca-colonial kontemporer, terutama seperti pertama kali diajukan oleh teoritisi-teoritisi seperti Alavi, Saul, dan Shivji. Bab keempat akan menangani persoalan-persoalan teoritis mengenai hubungan negara dan kelas-kelas sosial dalam konteks berkembangnya kritik Marxis ortodoks atau dari kalangan kaum productionist, terhadap teori depedensi. Bab Kelima dan terakhir mengenai persoalan-persoalan yang telah dijabarkan dalam bab-bab sebelumnya.

BAB IINEGARA PASCA-KOLONIAL DALAM TEORI-TEORI PEMBANGUNANPerkembangan teori negara pasca-kolonial sangat berkaitan erat dengan perkembangan-perkembangan dalam teori pembangunan. Secara langsung maupun tidak, negara pasca-kolonial apabila ditelaah mempunyai akar-akar dalam satu mahzab teoritisinya. Karenanya, latar belakang bagi pengkajian ini ialah dua mahzab teori pembangunan yang sebelumnya berkembang, yaitu teori modernisasi dan dependensi.A. Negara Pasca-Kolonial Dalam Teori ModernisasiSebagian besar kritik yang ditujukan pada teori modernisasi berkaitan dengan kecenderungan dasarnya untuk menarik suatu garis perkembangan masyarakat yang unilinier dan universal dengan pengalaman pembangunan dan industrilisasi di Barat sebagai model acuan, yang implikasinya adalah pembentukan sejumlah generalisasi yang dikaitkan dengan proses-proses transisi dari masyarakat yang tradisional ke yang modern. Demikian pula, kerangka-kerangka teoritis tentang negara yang bersumber dari teori modernisasi semuanya mempunyai kesamaan dalam hal menarik generalisasi-generalisasi tertentu mengenai sifat dan peranan negara pasca-kolonial yang pada dasarnya digali dari pengalaman-pengalaman di masyarakat Barat. Generalisasi-generalisasi tersebut kemudian dipakai untuk mengukur sejauh mana modernisasi suatu negara, dengan menggunakan keadaan kontemporer masyarakat Barat sebagai perbandingannya.Diantara varian teori modernisasi, salah satu yang terpenting, yang terutama dikaitkan dengan nama seperti Gabriel Almond, adalah yang mengukur modernisasi itu berdasarkan sejauh mana pola-pola dan nilai-nilai demokrasi Barat telah berkembang dan tertanam dalam masyarakat. Sesuai dengan premis ini, modernitas negara pasca-kolonial dilihat dari kemampuan aktor-aktor politik untuk mengembangkan pola-pola kehidupan politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, rasionalitas dan obyektivitas Barat.Dua hal yang dapat dicerna dari pendekatan seperti ini ialah yang pertama dari segi hubungan negara dan masyarakat, dilihat bahwa negara pasca-kolonial yang ideal harus berdiri diatas masyarakat. Kedua, ialah bahwa dimensi subyektif ditekankan secara kuat. B. Negara Pasca-Kolonial Dalam Teori DependensiTeori dependensi yang akan dibahas disini ialah sejauh ia mempunyai relevansi terhadap perkembangan teori negara pasca-kolonial. Sebagai bagian yang memang hanya ditujukan untuk memberikan latar belakang kesejahteraan terhadap perkembangan teori negara Marxis-Struktural kontemporer, maka hanya aspek-aspek yang paling prinsipal dari teori mengenai negara pasca-kolonial yang bersumber dari perspektif dependensi yang dapat diajukan disini.Seperti yang diketahui, teori dependensi muncul sebagai tandingan terhadap dominasi teori modernisasi dalam studi pembangunan masyarakat Dunia Ketiga. Walaupun banyak teoritisi dependensi memakai terminologi Marxis, namun argumentasi-argumentasi mereka pada umumnya secara substansil menyimpang dari pemikiran Marxis. Secara singkat, teori dependensi memandang perekonomian internasional ditandai oleh hubungan yang tak seimbang antara negara-negara kapitalis industri maju di satu pihak dan terbelakang di pihak lain. Implikasinya, masyarakat Dunia Ketiga berada dalam kondisi perkembangan yang terhambat (blocked development) yang kurang lebih bersifat permanen.Ada dua implikasi penting dari penjelasan watak dasar negara pasca-kolonial yang kebenarannya mengundang perdebatan lebih lanjut. Pertama, negara pasca-kolonial pada dasarnya hanya merupakan kelanjutan dari negara kolonial. Kedua, negara pasca-kolonial pada dasarnya hanya merupakan alat dari kelas borjuasi internasional, sehingga hanya mempunyai peranan untuk melestarikan dominasi kelas ini terhadap kelas-kelas domestik. Sedangkan sebagian besar teoretisi dependensi mengajukan suatu premis tentang kelemahan inhern borjuasi lokal (yang juga berakar pada masa kolonial) yang membuat mereka seperti juga negara, hanya mampu mengemban suatu peran komprador.Frank, yang tulisannya dapat dikatakan paling mewakili perspektif dependensi, menulis bahwa Negara di Dunia Ketiga mungkin bersifat kuat dan otonom terhadap burjuasi lokalnya, tetapi untuk sebagian besar ia merupakan hasil ciptaan) dari borjuasi imperialis di metropolis. Dalam kaitan ini, ia menambahkan, Dalam konflik intra-kelas antara burjuasi asing dan lokal, sektor-sektornya, atau anggota-anggotanya, Negara Dunia Ketiga jauh lebih merupakan alat dari modal asing dibandingkan modal lokal.Suatu keberatan pertama yang dapat diajukan terhadap perspektif ini adalah penekanannya yang berlebihan terhadap pengaruh dari kekuatan-kekuatan eksternal. Disini, bentuk negara, peranan dan sifatnya, sekedar merupakan fungsi dari faktor-faktor eksternal. Yaitu, fungsi dari proses-proses akumulasi modal dalam skala global, fungsi dari dominasi burjuasi internasional. Bahkan kecenderungan timbulnya pola-pola otoriter pada negara pasca-kolonial juga dijelaskan sebagai fungsi dari kebutuhan-kebutuhan sistem kapitalis dunia. Sebagian yang luput dari perhatian teori dependensi adalah dimensi dinamika kelas internal yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses perkembangan negara pasca-kolonial itu sendiri. Dalam hal ini mungkin akan sangat berguna untuk tidak selalu memandang negara sebagai sekedar alat dari kapitalisme internasional. C. Kritik Metodologis Terhadap Tesis Negara DependenSalah satu sumber kelemahan tesis negara dependen mungkin terletak pada inkonsistensi dalam menggunakan metode analisis Marxis. Esensi analisis Marxis yang berpijak di tingkat kelas hampir terabaikan yang berakibat dengan penarikan generalisasi-generalisasi mengenai sifat negara pasca-kolonial.Pertama, ciri inhern teori dependensi untuk menekankan proses-proses pertukaran tak seimbang yang menyebabkan pengabaian terhadap proses-proses formasi dan konflik kelas yang dalam analisis Marxis mempunyai kedudukan yang penting. Akibatnya peran dan sifat negara pada masyarakat pasca-kolonial kontemporer, yang pada analisis Marxis terkait pada proses-proses foemasi dan konflik kelas, dalam tesis negara modern diredusir menjadi persoalan menjaga kontinuitas aliran surplus ekonomi dari periferi ke pusat. inti dari argumentasi kaum Marxis non-dependensi adalah bahwa tingkat analisis harus dikembalikan pada bidang produksi dan bukan terpaku pada proses-proses pertukaran tak seimbang di bidang sirkulasi. Ini bersumber dari pandangan bahwa kelas-kelas dalam kapitalisme tidak terutama didefenisikan menurut hubungan-hubungan pasar dimana proses-proses pertukaran terjadi, tetapi berdasarkan fungsi-fungsi dalam proses produksi.Perkembangan tidak dapat dikatakan terhambat kalau terjadi pergeseran-pergeseran yang signifikan ke arah perluasan hubungan-hubungan produksi kapitalis, suatu pandangan yang dapat menangkap dinamika dari proses-proses pembentukan dan konflik kelas yang kompleks.perspektif ini bertentangan dengan teori dependensi yang mempostulasikan suatu keadaan perkembangan kelas yang cenderung bersifat statis.Banyak kaum Marxis non-dependensi menekankan studi-studi khusus yang mengkaji secara historis proses-proses formasi dan konflik kelas yang spesifik pada suatu formasi sosial, ketimbang mengembangkan analisis berdasarkan generalisasi-generalisasi menyeluruh di tingkat global yang menjadi pusat perhatian para teoretis dependensi. Asumsi yang integral bagi tesis negara dependen, bahwa negara pasca-kolonial secara instrumental hanya merupakan perpanjangan dari kepentingan-kepentingan kelas borjuis internasional atau metropolitan, dan berfungsi sekadar sebagai kelanjutan dari negara kolonial, perlu ditinjau kembali. Kemungkinan bahwa negara pasca-kolonial itu akan bertindak, pada kondisi-kondisi tertentu, untuk melawan kepentingan modal asing, dan untuk kepentingan kelas burjuasi domestik, yang tumbuh akibat ketertarikan dengan negara misalnya, merupakan suatu kemungkinan yang sangat riil dan tidak bisa diabaikan saja.Tujuan tulisan ini melainkan akan berusaha untuk menjabarkan beberapa aspek sentral dari suatu teori negara pasca-kolonial berdasarka kritik productionist. Tetapi kiranya perlu diketahui bahwa dalam memahami varian-varian argument productionist ini, penulis sendiri mengacu pada analisis yang dilakukan oleh Rucio dan simon. Tujuan utama dari bab ini adalah untuk mengusahakan pembentukan suatu argument mengenai peranan dan sifat negara-negara pasca kilonial yang lebih mempunyai koherensi logis berdasarkan penemuan-penemuan fragmentaris yang dihasilka oleh penelitian-penelitian terdahulu, yang juga didasarkan pada suatu argument yang secara umum dapat disebut sebagi productionist.A. Peranan Negara Pasca-Kolonial Dalam Konteks Mode Produksi Kapitalis.Productionist memberikan sumbangan yang penting bagi pembentukan suatu pemahaman terhadap peranan dan sifat negara pasca-kolonial. Teori negara seperti ini mempunyai relevansi cecara teiritis karena untuk sebagian besar mencerminkan sutau usaha untuk mengintegrasikan suatu teori mengenai negara pada masyarakat-masyarakat pasca-kolonial dengan kerangka teoritis yang lebih luas mengenai penetrasi dan perkembangan mode produksi kapitalis di masyarakat pasca colonial tersebut . Selanjutnya yang juga menjadi argument sentral dari tulisan ini, pengembangan teori dari peran dan sifat negara pasca-kolonial berdasarkan kritik productionist ini menunjukkan pentingnya usaha untuk menghindari generalisasi atau argument terlalu menyeluruh yang Nampak menandai teori negara pasca-kolonial sebelumnya, terutama yang diinspirasikan oleh teori depedensi. Hal ini juga dapat mendorong pengembangan usaha-usaha untuk mengkaji peranan dan sifat negara pada masyarakat-masyarakat pasca-kolonial ada suatu tingkatan generalisasi yang lebih rendah.Pengembangan suatu teori negara pasca-kolonial berdasarkan argument yang productionist merupakan kelanjutan logis dari pengembangan teoritis pada tahap yang ditandai oleh perdebatan mengenai The State ini Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh. Yang sudah dikaji pada bab sebelumnya. Dengan demikian negara pasca-klonial adalah sebuah negara kapitalis berfungsi untuk memproduksi hubungan-hubungan sosial (produksi) dengan mana proses akumulasi modal dapat berlangsung. Hal ini dilakukan melalui wewenagnya untuk membuat perundangan menggunakan kekerasan, menciptakan infrastruktur yang diperlukan untuk akumulasi modal (membangun jalanan dll). Mengenakan pajak, dan dalam negara pasca-kolonial yang semakin intervensuinis melalui campur tangan langsung dalam aktivitas-aktivitas perekonomian. Tetapi, cara-cara negara pasca-kolonial melakukan hal ini mempunyai kaitan langsung dengan tahap perkembangan dari proses akumulasi modal, dan cirri-ciri dari struktur kelas yang menandai suatu masyarakat. Seperti yang akan ditunjukkan nanti adalah sulit untuk mngamodsikan kenyataan dalam kasus-kasus dimana negara telah mendorong masuknya kegiatan modal domestik dalam bidang-bidang yang tadinya dikuasai oleh modal asing, dengan label suatu negara komprador. Penting untuk melihat perbedaan-perbedan yang ditemukan dalam situasi-situasi khusus ini sekalipun kita dapat menyetujui, sepeti diajukan Coparaso, bahwa intervensionisme semakin menjadi cirri dasar dari semua negara pasca-kolonial dan bahwa negara semakin memainkan peranan yang sentral dalm aktivitas aktivitas ekonomi dimanpun.Pada dasarnya Ziemann dan Landzendofer berkepentingan untuk mengajukan suatu kerangka teoritis untuk menjelaskan batasan-batasan struktural terhadap otonomi relative negara dalam rangka mengkritik gagasan-gagasan mengenai negara pasca kolonial yang diinspirasikan oleh kerangka teoritis yang diajukan oleh Alavi dan Saul. Beberapa gagasan prnting yang dilakukan oleh Ziemann dan Landzendorfer adalah:1. Menegaskan bahwa negara merupakan bagian yang integral dari reproduksi hubungan-hubungan sosial (produksi), dan reproduksi hubungan-hubungan politik. Dengan demikian, negara terlibat dan merupakan perwujudan dari hubungan dominasi kelas dalam masyarakat.2. Menegaskan bahwa pada analisis terakhir,hubungan negara dan masyarakat (negara dan kelas-kelas sosial) ditentukan oleh hukum-hukum dinamis dari produksi material, dalam hal ini dari produksi kapitalis.3. Menegaskan bahwa fungsi-fungsi yang dijalankan aparat birokrasi negara tidak terutama ditentukan menurut afiliasi kelas anggota-anggotanya.BAB IIIOtonomi Relatife Negara dan Signifikansi Peranan Aparat Birokrasi Negara Pasca-KolonialPasca-kolonial peranan aparat birokrasi mulai terlihat signifikansi perananya dalam tatanan di dunia ketiga, signifikansi ini hadir saat dimulainya teori yang dikembangkan oleh Hamza Alavi melalui karyanya The State in Post-Colonial Societies: Pakistan and Bangladesh. Dalam karyanya ini Alavi bercerita tentang posisi masyarakat dunia ketiga yang sudah diakui signifikansinya sebagai objek pengkajian Khusus. Teori yang dikemukakan Alavi menjadi salah satu yang diperdebatkan, Hal ini mempunyai arti penting bagi perkembangan suatu teori Negara Pasca-Kolonial yang memakai metode Marxis.Ada dua pokok pembahasan yang di sampaikan oleh Alavi yang mendapatkan banyak Perdebatan, Teori itu antara lain:a) Otonomi relatife Negara dan tesis Negara yang berkembang berlebihan (Overdeveloped State);b) Persoalan Signifikansi Latar belakang kelas atau social anggota-anggota aparat birokrasi Negara dalam menentukan Sifat kelas (Class Character) dari Negara pasca-kolonial.Otonomi relatife Negara dan tesis Negara yang berkembang berlebihan (Overdeveloped State)Salah satu hal yang dikemukakan oleh Alavi dalam karyanya ialah Bahwa Negara pada masyarakat pasca-kolonial mempunyai Otonomi Relatif terhadap kelas kelas social dalam masyarakat karena lemahnya serta kurang berkembangnya kelas kelas tersebut pada masa Pasca-kolonial. Dalam Karyanya yg berbicara mengenai Overdeveloped state berhasil mendapatkan banyak kritikan dan perhatian, hal itu dikarenakan hal yang disampaikan oleh Alavi banyak terjadi penyimpangan dengan teori yang di anut oleh Marxis Klasik.Suatu hal yang ditekankan Alavi dalam analisisnya adalah sifat khusus dari Negara Pasca-kolonial yang membedakanya dari Negara pada masyarakat Industri maju. Dalam teori ini negara pasca-kolonial dianggap memiliki otonomi relatif, dan keotonomian relatifnya ini diperoleh oleh negara pada saat negara masih dalam kondisi terjajah, dan dalam kondisi terjajah itulah negara mendapatkan dorongan untuk merangsang munculnya benih-benih kapitalisme domestik. Benih-benih kapitalisme domestik ini, nanti pada gilirannya akan tumbuh, ketika negara telah terlepas dari kondisinya yang terjajah. Pertumbuhan kapitalisme domestik ini akan memosisikan negara untuk semakin memasok power-nya untuk perkembangan dan pertumbuhan kapitalisme negara. Intervensi negara terhadap peranan kapitalisme domestik inilah yang merupakan rujukan dari model negara kesejahteraan yang dikumandangkan oleh John Maynard Keynes.negara dianggap memiliki kepentingan untuk mensejahterakan rakyatnya. Dan untuk merealisasikan kepentingannya inilah, maka negara selalu mendorong terbentuknya koperasi-koperasi dalam perekonomian masyarakat. Aneh benar teori ini, di satu sisi negara menempatkan diri untuk mendorong terbentuk dan terbangunnya kapitalisme domestik yang kuat, yang artinya mendorong kapitalisme untuk dapat melumat saingan-saingannya, sedangkan saingan yang dimaksud bukan hanya pesaing dari luar negeri (kapitalis luar negeri)tetapi pesaing di dalam negeri. Terus kalao negara mendorong berdirinya koperasi, sudah jelas koperasi yang yang didorongnya itu akan hancur (karena modalnya yang kecil) apabila didorong untuk bersaing dengan kapitalisme domestik yang modal atau kapitalnya jauh lebih kuat dan besar.Walaupun anggota aparat birokrasi negara pasca-colonial mempunyai derajat otonomi tertentu dalam bertindak, dan walaupun tindakan-tindakan tertentu negara itu dapat mencerminkan kepentingan-kepentingan mereka yang tertanam, semua ini tidak bisa tidak, harus dilihat dalam konteks batasan-batasan struktural yang ada, guna memiliki tingkatan daya penjelasan yang cukup berarti. Hal ini juga mengartikan bahwa sifat kelas (class character) dari negara pasca colonial tidak dapat di tentukan dengan sekedar melihat pad asal usul sosial anggota-anggota aparat birokasi negara itu. Sebaliknya, hal ini hanya dapat ditentukan dengan menelaah reaksi dari berbagai kekuatan-kekuatan kelas dalam masyarakat yang lebih komplesk. Alavi sendiri dalam sebuah karyanya mengenai negara yang lebih akhir memasukan gagasan impiratif struktural guna dapat lebih menangani faktor-faktor struktural yang membatasi otonomi aktor-aktor politik dalam tindakan-tindakan mereka. Disini Alavi tidak banyak berbicara lagi mengenai kesamaan latar belakang kelas dari anggota-anggota aparat birokrasi negara pasca colonial untuk menjelaskan afinitas meraka dengan kelas-kelas dalam masyarakat yang bermilik. Sebaliknya, walaupun dia berhati-hati untuk membedakan posisinya dari kaum marxis Fungsionalis yang ia anggap terlalu deterministis, pada dasarnya Alvi memberikan suatu penjelasan yang walaupun penuh dengan modifikasi, pada intinya tidak perlu bertentangan dan bahkan mungkin bersifat komplementer terhadap posisi yang ia ancam.Dalam perumusan kembali ini, Alavi nampak pada dasarnya memaksudkan imperatif struktural tersebut sebagai konsep yang dapat membantu kita untuk memahami derajat kebebasan potensial yang dimiki oleh subjek-subjek politik. Termasuk kemungkinan bagi mereka untuk secara sementara melakukan deviasi dari kebutuhan-kebutuhan modal, serta batasan-batasan terhadap kebebasan ini yang berupa dasar-dasar kalkulasi ekonomis dari masyarakat kapitalis dan kondisi-kondisi umum yang menentukan hasilnya, baik di tingkat usaha-usaha individu maupun tingkat negara. Sehingga dengan kata lain, Alavi mulai berbicara mengenai semacam logika ekonomi yang berlaku dalam konteks struktur kemasyarakatan tertentu. Walaupun karya Alavi the state in post-colonial societies: pakistan and bangladesh, seperti saya kemukakan sebelumnya mempunyai arti yang sangat penting sebagai usaha awal untuk menempatkan persoalan peranan negara pasca colonial sebagai suatu isu teorotis yang sentral, dengan menanggalkan premis-premis sederhana yang terkandung dalam teori negara yang berakar dari mazhab dependensi, signifikasinya ternyata lebih terletak pada sejumlah persoalan teoritis yang diangkat kepermukaan olehnya, ketimbang jawaban-jawaban teoritis yang diberikannya. Karena teryata kelemahan-kelemahan dalam tesis overdeveloped state serta pandangan yang terlalu subyektivis mengenai peranan anggota-anggota aparat birokrasi negara pasca colonial yang dikembangkan ditahap ini. Persoalan-persoalan yang ditimbulkan disini tampaknya lebih baik ditangani secara teoritis dengan mengikutsertakan faktor-faktor struktural dalam pertimbangan. Hal ini akan membawa pembahasan kita pada teori negara pasca-colonial seperti dikembangkan sehubungan dengan timbulnya kritik productionist terhadap teori depedensi. Disini persoalan-persoalan mendasar bergeser kepada bagaimana menentukan peranan dan kedudukan negara dalam proses perubahan sosial yang dilihat melalui pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam struktur kelas suatu formasi sosial dengan karakteristik-karakteristik histori yang spesifik. Barone menunjukkan bagaimana intervensi negara dalam perekonomian telah membantu perkembangan suatu kelas borjusi domestik yang pada giliran nya,tampak kurang berkepentingan untuk mengembangkan demokrasi.sebab peranan represif negara telah banyak membantunya,terutama dalam akumulasi primitif.Pengamatan ini sangat tidak sesuai dengan anggapan mengenai adanya semacam misi suci atau proyek kelas,suatu kelas borjusi untuk mengembangkan demokrasi.penekanan terhadap kelemahan dan subordinasi burjuasi demestik itu terhadop modal internasional,sebagai alasan berkembangnya negara yang represif dibantah oleh kenyataan bahwa perkembangan burjuasi domestik yang kuat di korea selatan telah di tunjang justru oleh suatu negara yang represif.bahkan oleh karena itu tidak ada alasan bagi borjuasi domestik tersebut untuk memajukan pola pola demokrasi.hal ini tidak sesuai dengan kepentingan kepentingan kelas mereka,dan bahkan sebaliknya,dapat dikatakan bahwa pelestarian negara yang represif adalah lebih sesuai dengan kepentingan kepentingan kelas itu.karena,demokrasi akan berarti setidak tidaknya,kebebasan yang lebih besar bagi buruh industri untuk berserikat,untuk mogok,untuk memaksakan tuntutan tuntutannya.sementara itu,salah satu aset yang besar yang menunjang daya saing industri2 berorientasi ekspor yang dikembangkan di korea,justru adalah kehadiran suatu angkatan kerja yang murah,melimpah,dan disiplin.Mungkin menarik pula untuk di catat bahwa robinson dalam karya karya terakhirnya(yang patut di pandang sebagai semacam otokritik terhadap disertasinya yang berorientasi pada teori dependensi)telah mencatat pula peran di indonesia untuk mengkonsilidasikan suatu burjuasi domestik melalui kebijaksanaan2 industri dan keuangan yang di tandai oleh kombinasi praktik praktik proteksi,patronage,dan subsidi,khususnya di masa bom minyak.pada saat yang sama negara telah membatasi akses modal internasional dalam sektor sektor tertentu dimana borjuasi demestik hendak berkembang.menurut robinson,dalam karya terakhirnya,praktek2 tersebut telah menyebabkan timbulnya suatu kelas borjuasi domestik baru yang kejayaan nya di sebabkan oleh keterkaitan dengan negara.Unsur unsur dari argumen productionist mengenai peranan dan sifat negara pasca colonialDari hal hal diatas beberapa unsur dasar dari suatu argumen productionist dapat di temukan:1.negara pasca kolonial seperti negara kapitalis pada umumnya berfungsi untuk menjamin pra-kondisi yang di perlukan bagi keberlangsungan mode produksi kapitalis.2.otonomi relatif negara pasca kolonial mempunyai batasan batasan struktural dan peranan mediatornya dalam konflik kelas mempunyai suatu basis material.oleh karena itu negara mempunyai peranan dan sifat negara pasca kolonial tidak bisa ditentukan dengan sekedar melihat latar belakang kelas anggota anggota aparat demokrasi.melainkan dari konstelasi keadaan dan konflik kelas.3.negara pasca kolonial tidak mempunyai peran yang tak terelakkan untuk menunjukkan kepentingan kepentingan borjuasi internasional negara pasca kolonial tidak harus merupakan negara kompredor.sebaliknya,negara pasca kolonial dapat mempunyai peranan yang penting untuk mengkonsilidasikan sebuah kelas borjuasi domestik,dan memajukan kepentingan kepentinganya dalam konflik potensil dengan borjuasi internasional.4.sifat represif negara pasca kolonial tidak perlu bertentangan dengan kepentingan kepentingan sebuah kelas borjuasi domestik.sebaliknya,represi ini mempunyai represi ini mempunyai andil yang penting dalam pengkonsulidasian kelas ini,khususnya di tahap tahap akumulasi modal awal.oleh karena itu,tidak ada peran historis sebuah kelas borjuasi domestik pada masayarakat masyarakat pasca kolonial untuk memperjuangkan demokrasi seperti pernah dilakukan oleh kelas borjuasi di eropa pada masa awal kapitalisme.BAB VKESIMPULANYang menjadi pokok utama dalam tulisan ini adalah konseptualisasi mengenai hubungan antar-negara dan masyarakat, atau antara negara dan kelas-kelas social dalam masyarakat-masyarakat pasca-kolonial yang terdapat dalam formulasi teoritis yang sudah dijelaskan. Teori-teori negara pasca-kolonial bersumber dari kritik productionist terhadap teori dependent, yang pada dasarnya merupakan usaha untuk mengitegrasikan suatu pemahaman mengenai sifat dan perannan negara pada masyarakat-masyarakat pasca-kolonial itu dengan suatu pemahaman yang lebih luas mengenai sifat dari penerasi dan perkembangan mode produksi kapitalis pada masyarakat-masyarakat tersebut.Tidak memadainya perumusan-perumusan teoritis yang berakar dari perspektif modernisasi yang pada analisis terakhir meredusir permasalahan kepada modernitas negara yang diukur berdasarkan kualitas elit yang memegang kendali terhadap aparat-aparat birokrasi, baik dalam mendorong perkembanagan nilai-nilai atau pola-pola demokrasi dalam masyarakat, maupun dalam hal menjaga stabilitas social mendapat tantangan dari tesis negara dependen yang berakar dari teori dependensi. Tesis negara dependen ini dapat dipandang sebagai usaha awal oleh teoritisi Marxis-Struktural untuk menangani persoalan dunia ketiga dengan memandangnya dalam konteks proses-proses pertukaran tak seimbang dan keadaan peryukaran :tak seimbang.Sekalipun disini kita dapat menemukan penggunaan konsep-konsep yang masih sangat berguna bagi usaha untuk memahami sifat dan peranan negara-negara pasca-kolonial. Paparan yang sama j uga dikemukakan oleh Edward Said, yakni konstruk Barat (colonial) terhadap budaya dan identitas orang dan budaya Timur tidak terlepas dari kepentingan, ideology dan etnosentrisme Barat. Oleh karena itu focus kajian poskolonial adalah masalah ketikadilan dalam bidang social budaya dan ilmu pengetahuan yang diakibatkan oleh hegemoni, kolonialisme serta narsisme dan kekerasan epistemology Barat yang sudah berkembang sejak awal abad modern. Dengan perkataan lain, kaj ian poskolonial menawarkan sebuah pemahaman kritis dan berupaya untuk mengungkap berbagai dimensi ideologis, hegemonis dan imprealis yang terdapat dalam ilmu social-budaya. Untuk itu wacana poskolonial yang disebut j uga wacana yang berada di luar Orientalisme karena berupaya untuk mengubah konstruksi realitas kontemporer model berpikir Barat modern.

Jika teori colonial menggunakan paradigma positivisme sebagai dasar epistemologinya, maka teori poskolonial menggunakan teori kritis dan posmodernisme terutama melalui postrukturalisme sebagai dasarnya. Berdasarkan paparan-paparan di atas dapat disimpulkan bahwa teori poskolonial merupakan suatu teori yang mempelaj ari kondisi dari keadaan sesudahnya. Teori poskolonial terutama berkenaan dengan keadaan abad ke-18 sampai abad ke-19. Teori ini memberikan perhatian kepada apa yang disebut budaya pribumi yang merupakan budaya tertindas dari kekuasaan kolonialisme, juga teori ini berkaitan dengan representasi ras, etnisitas dan pembentukan negarabangsa. Untuk itu, kaj ian poskolonial bertuj uan untuk, Pertama, mengangkat kembali sejarah ilmu, teknologi dan pengobatan barat, seperti ilmu pengetahuan dalam perspektif Islam, India, Cina maupun pengetahuan pribumi dan pengetahuan dari budaya lain melalui kaj ian empiris dan histories. Kedua, mengembangkan wacana kontemporer tentang sifat, gaya dan lingkup ilmu pengetahuan, teknologi dan pengobatan non-Barat. Ketiga, mengembangkan kebijakan ilmu pengetahuan yang mengakui dan menghargai praktek-praktek ilmiah, teknologi dan pengobatan pribumi atau asli.

1