perilaku jama’ah haji dalam pelaksanaan sa’i di … · atas dasar pertimbangan tersebut maka...

80

Upload: trannhi

Post on 03-Mar-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai
Page 2: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai
Page 3: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina i

PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I

DI PERLUASAN MAS’A DAN

MABIT DI TAWASSU’UL MINA

KEMENTERIAN AGAMA RI BALITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN TAHUN 2016

Kementerian Agama RIBadan Litbang dan DiklatPuslitbang Kehidupan KeagamaanJakarta, 2016

Page 4: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaii

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina Ed. 1, Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xxiv + 52 hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-602-8739-71-9

Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2016 Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina Editor: H. Abdul Jamil, S.Ag., M.Si. & Drs. H. Moh. Muchtar Ilyas Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.co.id

Page 5: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina iii

KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN

Puji Syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan nikmat-Nya dapat terselesaikan penerbitan buku hasil penelitian tentang Perilaku Jama’ah Haji Dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina tahun anggaran 2016. Buku ini diterbitkan sebagai bentuk pertanggung jawaban akademis untuk mendesiminasikan hasil-hasil kajian Puslitbang Kehidupan Keagamaan ke masyarakat luas, sekaligus bahan refleksi bagi pihak terkait dalam upaya merumuskan kebijakan dan program peningkatan pelayanan haji bagi jamaah Indonesia.

Sebagaimana diketahui bahwa dalam Islam, melaksanakan ibadah haji merupakan salah satu rukun Islam. Untuk itu penelitian terkait pelaksanaan ibadah haji sangat penting dilakukan, setidaknya ada dua macam pertimbangan yaitu: pertama, ibadah haji diwajibkan seumur hidup satu kali saja, sehingga menuntut upaya maksimal bagi setiap individu untuk dapat melaksanakan ibadah ini dengan sebaik-baiknya. Kedua, ibadah haji dalam pelaksanaannya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Banyak umat Islam yang mempersiapkannya dengan menabung atau menjual asset berharga lainnya. Untuk itu umat Islam memiliki perhatian besar atas lancarnya pelaksanaan Ibadah ini.

Buku ini tersusun atas kerjasama berbagai pihak. Untuk itu kami mengucapkan terimakasih kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Prof. H. Abd. Rahman Masud, Ph.D yang telah memberikan ijin dan penerbitan buku ini. Kepada para

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina Ed. 1, Cet. 1.— Jakarta: Puslitbang Kehidupan Keagamaan 2016 xxiv + 52 hlm; 15 x 21 cm. ISBN : 978-602-8739-71-9

Hak cipta pada penulis Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotocopy tanpa izin sah dari penerbit Cetakan pertama, September 2016 Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina Editor: H. Abdul Jamil, S.Ag., M.Si. & Drs. H. Moh. Muchtar Ilyas Hak penerbit pada Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Jakarta Desain cover dan Layout oleh : Suka, SE

Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. M. H. Thamrin No. 6 Jakarta 10340 Telp./Fax. (021) 3920425 - 3920421 http://www.puslitbang1.kemenag.co.id

Page 6: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaiv

peneliti yang telah melaksanakan tugas penelitian ini, kami juga ucapkan terimakasih, atas kerja kerasnya.

Akhirnya kami berharap, semoga buku ini dapat memberi manfaat bagi semua, khususnya pihak-pihak yang membutuhkan informasi terkait pelaksanaan ibadah haji khususnya persoalan perluasan Mas’a dan Mabit di perluasan Mina.

Jakarta, September 2016 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan H. Muharam Marzuki, Ph.D.

Page 7: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina v

KATA SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah Yang Maha

Kuasa, atas segala nikmat dan anugrahnya buku ini dapat dicetak hingga kemudian dapat dibaca oleh masyarakat luas. Buku ini ditulis sebagai bentuk pertanggung jawaban administrasi, sekaligus informasi bagi pihak-pihak terkait dalam upaya peningkatkan pelayanan ibadah haji oleh pemerintah.

Meski kajian buku ini dilakukan pada tahun 2011, namun karena pelaksanaan ibadah haji dilaksanakan setiap tahun, maka tidak kehilangan relevansinya. Buku ini, menjelaskan tentang bagaimana dampak dari dua kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi yaitu, pertama, perluasan tempat sa’i (mas’a) yaitu area tempat berlari-lari kecil (sa’i) antara Sofa dan Marwa. Perluasan tersebut dilakukan sejak tahun 2007. Kedua, penempatan sebagian jamaah haji Indonesia dalam salah satu wajib haji yaitu mabit (bermalam) Mina di wilayah perluasan Mina (Tawasu’ul Mina).

Reaksi atas suatu kebijakan pastia ada pro dan kontra. Untuk itu kajian tentang perilaku jamaah haji terkait pelaksanaan sa’i di perluasan mas’a dan mabit di perluasan Mina ini sangat dibutuhkan, untuk melihat sejauhmana respon masyarakat khususnya jamaah haji serta bagaimana pelaksanaannya di lapangan. Adapun yang dimaksud dengan respon masyarakat adalah bagaimana pendapat dan perilaku jamaah haji Indoensia dalam menyikapi kebijakan tersebut, khususnya mereka yang pada tahun 2011 melaksanakan ibadah

Page 8: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minavi

haji dan mendapat tempat mabit di wilayah Tawassu’ul Mina tersebut.

Terimakasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu penerbitan buku ini, khususnya kepada Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) yang telah memberikan kepercayaan kepada Tim Peneliti untuk melakukan tugas penelitian, serta seluruh jajarannya yang telah membantu hingga memberikan bantuan dan kemudahan dalam pelaksanaan penelitian di lapangan. Tentu saja tidak lupa kepada seluruh anggota tim peneliti yang telah bekerja keras dan telah menunjukkan kekompakan di lapangan selama melaksanakan tugas penelitian.

Akhirnya kami berharap, semoga kajian ini dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Segala koreksi dan tanggapan atas terbitnya buku ini kami sangat harapkan, untuk perbaikan di masa yang akan datang,

Wassalam, Jakarta, September 2016 Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Prof. Abd. Rahman Masud, Ph.D

Page 9: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina vii

PROLOG Prof. Dr. Abdul Djamil, MA

Dirjen Penyelenggara Haji dan Umroh Kementerian Agama

Ibadah haji diwajibkan bagi kaum muslimin yang telah mencukupi syarat-syaratnya sekali seumur hidup. Meskipun kewajiban melaksanakan ibadah haji hanya satu kali, namun dalam prakteknya banyak umat Islam yang berulangkali melakukan ibadah haji. Hal ini menambah persoalan tersendiri bagi pelaksanaan ibadah haji karena jumlah jamaah haji setiap tahun semakin bertambah. Sementara itu jumlah penduduk muslim di dunia juga jumlahnya semakin bertambah.

Pada musim haji diperkirakan sebanyak 1,8 juta lebih kaum muslim menunaikan ibadah haji, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam pelaksanakan haji, pemerintah Arab Saudi telah membatasi kuota haji bagi masing-masing negara. Meski kuota haji telah dibatasi, dalam prakteknya tetap terjadi persoalan, karena dalam waktu bersamaan dan tempo terbatas, hanya dalam waktu sekitar 5 hari, para jamaah haji itu hadir bersamaan untuk wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melempar jumrah, melakukan tawaf ifadah, dan ber-sa’i.

Sebagai akibat semakin banyaknya jamaah haji yang datang, di sejumlah titik yang dilalui dari rangkaian ibadah tersebut terjadilah kehadiran jamaah haji dalam jumlah yang

Page 10: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaviii

sangat besar, karena hadir dalam waktu bersamaan, sementara lahan dan fasilitas terbatas. Sebagai akibatnya, pemerintah Arab Saudi membuat kebijakan-kebijakan antara lain memperluas tempat sa’i (Mas’a) dan untuk mabit Mina pendirian tenda jamaah sampai ke daerah Muzdalifah.

Dalam permasalahan sa’i, pemerintah Arab Saudi karena melihat berdesak-desakannya jamaah haji saat melakukan prosesi sa’i, bahkan telah menimbulkan korban meninggal dunia akibat tergencet oleh berdesak-desakannya jamaah haji saat melakukan sa’i kemudian melakukan perluasan terhadap Mas’a (tempat sa’i) dari lebar 20 meter menjadi 40 meter, proyek kegiatan ini telah dimulai sejak tahun 2007, hal ini ternyata menimbulkan keraguan di kalangan jamaah haji, apakah tempat perluasan itu masih tergolong area antara Shofa dan Marwah serta bagaimana keabsahannya, karena dalam al-Quran disebutkan dengan jelas bahwa tempat sa’i adalah di antara Bukit Shafa dan Marwah. Pemindahan ini tentunya memunculkan keresahan umat Islam, karena sa’i sebagai salah satu rukun haji tidak akan berada pada tempat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh aturan Islam. Banyak pertanyaan dari umat Islam, terutama mengenai sah dan tidaknya pelaksanaan ibadah haji yang akan mereka jalani. Berdasarkan pemahaman hukum fikih, apabila seseorang tidak dapat melaksanakan salah satu rukun haji, secara keseluruhan ibadah hajinya batal alias tidak sah.

Atas dasar hal-hal yang telah diungkapkan tersebut maka Kementerian Agama telah melakukan kajian terhadap

Page 11: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina ix

pelaksanaan sa’i di perluasan Mas’a. Untuk membantu menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka Menteri Agama RI, H. Muhammad Maftuh Basyuni, telah membentuk sebuah tim penelitian untuk mengkaji masalah-masalah tersebut yang dituangkan dalam Surat Keputusan Menteri Agama Nomor: 103 Tahun 2008 tanggal 12 Agustus 2008.

Dari hasil kajian tim tersebut, dinyatakan bahwa perluasan mas`â dari 20 m menjadi sekitar 40 m yang dilakukan oleh Kerajaan Arab Saudi pada tahun 1428 H/2007 M, dibolehkan menurut syara’, bahkan menurut sebagian ulama merupakan aturan ‘azimah (hukum asal) bukan rukhshah (hukum keringanan), berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

a. maqashidusy-syari’ah, termasuk pencegahan jatuhnya korban jiwa akibat berdesak-desakan dalam melaksanakan sa’i;

b. pernyataan kesaksian sekitar 30 orang yang dapat dipercaya yang mengetahui keadaan mas`â sebelum perluasan tahun 1955;

c. penelitian geologi yang menyebutkan lebar bukit Shafa dan Marwa dulunya lebih lebar;

d. tidak adanya nash yang sharih mengenai batas lebar mas`â pada zaman Nabi sehingga dinding mas`â sebenarnya bukanlah batas mas`â ;

e. konsep bukit shafa dan marwah yang pada awalnya membentang lebih luas dari bukit Shafa dan Marwah yang ada sekarang,

Page 12: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minax

f. dengan mengilhaqkan bolehnya memperluas tempat thawaf melebihi yang ada di zaman Nabi,

g. pendapat sejumlah ulama terkemuka baik dari Kerajaan Arab Saudi maupun dari negeri-negeri muslim di dunia;

h. sesuai dengan pernyataan sejumlah nash seperti: wa ma ja’ala ‘alaikum fi ad-din min haraj, yurid Allah bikum al-yusr wala yurid bikum al-‘usr; serta

i. sejumlah kaidah fiqhiyyah seperti hukm al-hakim ilzam wa yarfa’ al-khilaf, al-dharar yuzal, al-masyaqqah tajlib al-taysir, dan al-amr idza dhaqa ittasa’a

Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai atas, adalah sah menurut syara’. Pemerintah berharap, masyarakat tidak lagi resah, karena secara hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu adalah sah.

Sementara itu, Pemerintah Arab Saudi juga mengeluarkan kebjiakan, sebagian jamaah haji untuk mabit Mina ada yang ditempatkan di wilayah Muzdalifah. Jamaah yang ditempatkan di wilayah tersebut merasa tidak nyaman dan kebingungan dalam hal keabsahannya secara syara’. Beberapa alasan yang dikemukakan mereka antara lain yaitu (1) tidak mantap jika melaksanakan ibadah mabit Mina tapi di luar wilayah Mina, ada keragu-raguan sebagian jamaah atas syah dan tidaknya, (2) jarak antara mabit di luar wialayah Mina tersebut dengan Jamarat (tempat melempar jumrah) cukup jauh sekitar 5 km, sehingga jamaah merasa kesulitan saat melakukan ibadah melempar jumrah, (3) terkait dengan

Page 13: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xi

keragu-raguan mabit Mina di luar wilayah Mina di atas, banyak jamaah yang melakukan ibadah dua kali, pertama untuk melempar jumrah dan kedua untuk bermalam di Mina, hal ini dalam prakteknya banyak menguras tenaga dan akhirnya banyak jamaah yang kelelahan, (4) area mabit di luar Mina tersebut, relatif sepi sehingga mereka meragukan keamanannya, (5) setelah ibadah wukuf di Arafat biasanya jamaah ke Muzdalifah dan ditempatkan di tenda di lapangan sesuai Maktab masing-masing untuk mabit, lalu pada sekitar jam 12 malam dibawa ke Mina, bagi yang mendapat lokasi di luar Mina merasa kebingungan sebab berdasarkan papan petunjuk lokasi mereka masih berada di wilayah Muzdalifah atau di luar batas Mina .

Kebijakan penempatan jamaah haji untuk mabit di luar batas Mina ini merupakan keputusan pemerintah Arab Saudi dalam mengatasi jumlah jamaah haji yang setiap tahunnya terus meningkat. Jika kebijakan ini berhasil maka pemerintah Arab Saudi bersedia menambah kuota jamaah haji bagi Indonesia maupun negara lainnya, dengan syarat jamaah haji dari negara tersebut mau diletakkan untuk mabit-nya di luar Mina.

Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Tim peneliti bersamaan yang dibentuk pada tahun 2008 di atas, perkemahan untuk sebagian jamaah haji yang berada di luar Mina yang digunakan sebagai tempat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq adalah diperbolehkan berdasar-kan pertimbangan-pertimbangan:

Page 14: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxii

a. telah penuhnya tempat untuk kemah bagi mereka di Mina (dharurah);

b. riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada zaman Rasulullah jamaah haji diperbolehkan tidak mabit di Mina pada hari-hari tasyriq karena harus mengurus air minum jamaah haji, menjaga harta di Mekah, dan menjaga ternak gembalaan di luar Mina;

c. konsep ittishal al-mukhayyamat dalam mabit diilhaqkan dengan konsep ittishal al-shufuf dalam salat;

d. kaidah-kaidah fiqhiyyah seperti hukm al-hakim ilzam wa yarfa’ al-khilaf, al-dharar yuzal, al-masyaqqah tajlib al-taysir, dan al-amr idza dhaqa ittasa’a; dan

e. pendapat para ulama.

Karena itu mabit pada hari tasyriq di perkemahan di luar Mina tersebut adalah sah menurut syara’, baik sebagai `azimah dengan konsep/dalil ittishâl, maupun sebagai rukhshah karena tidak tersedianya tempat untuk mabit di Mina. Apabila nanti pemerintah Saudi Arabia telah rampung membangun gedung-gedung tinggi di Mina sehingga mampu menampung seluruh jamaah haji, maka seluruh jamaah haji yang mabit di luar Mina tersebut harus kembali mabit di Mina.

Namun demikian, meski hukum mabit di luar batas Mina itu dibolehkan, melihat jarak yang cukup jauh dengan Jamarat, serta kesulitan-kesulitan yang dialami jamaah, maka sesuai arahan Menteri Agama saat rapat koordinasi (rakor) di Kantor Urusan Haji Indonesia di Jeddah Arab Saudi pada 10 Maret 2016 lalu, ada tiga alternatif solusi yang bisa

Page 15: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xiii

diupayakan agar jamaah haji Indonesia tidak lagi ditempatkan di luar batas Mina yaitu, pertama, mengupayakan agar tenda di Mina bisa dibuat bertingkat, sehingga berdaya tampung lebih banyak. Terkait hal tersebut pemerintah Indonesia sudah berkirim surat ke pemerintah Arab Saudi. Saat ini Menag masih menunggu respon dari pemerintah Arab Saudi. Kedua, jamaah haji yang mendapatkan tempat di luar batas Mina, setidaknya ada tujuh maktab di sana yang ditempati jamaah Indonesia, mereka akan dipindah ke pemondokan di Makkah yang terdekat dengan Mina. Ketiga, jamaah haji yang ditempatkan di luar batas Mina, agar menempati tenda-tenda petugas haji di Mina, saat ini tenda tersebut berada di dekat pintu terowongan Mu’ashim yang mengarah ke Jamarat. Adapun tempat bagi para petugas nantinya akan dicarikan di tempat lain.

Jakarta, September 2016 Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Ttd. Prof. Dr. Abdul Djamil, MA.

Page 16: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxiv

Page 17: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xv

PENGANTAR EDITOR

Ibadah haji merupakan ibadat yang diwajibkan sekali seumur hidup bagi setiap muslim yang memiliki kemampuan. Namun demikian dalam pelaksanaannya, banyak muslim yang melaksanakan haji lebih dari satu kali. Di samping jumlah umat Islam yang terus meningkat, pokok pelaksanaan ibadah haji juga terbatas, yaitu hanya dalam waktu sekitar lima hari saja, dimana para jamaah dari seluruh dunia itu kumpul bersamaan di beberapa titik saja yaitu wukuf di Arofah, mabit di Muzdalifah, mabit dan melempar jamarat di Mina, thawaf di samping Ka’bah, dan Sa’i antara Safa dan Marwa.

Dampak dari hal di atas, maka terjadilah pemusatan kehadiran jamaah haji dalam jumlah yang sangat besar dalam waktu bersamaan. Sementara itu luas lahan tidak pernah berubah, akibatnya di banyak lokasi terjadi jamaah yang berdesak-desakan sehingga jatuh korban. Tidak heran jika permasalah terkait ibadat haji selalu terjadi setiap tahunnya.

Menyikapi hal tersebut, Pemerintah Arab Saudi berusaha mengambil sejumlah kebijakan antara lain perluasan Masjidil Haram, pelebaran jalan, pembuatan terowongan (nafaq), pelebaran jamarat (tempat melempar jumrah), perluasan mas’a (tempat sa’i), dan perluas tempat mabit Mina. Meski pembangunan tersebut ditujukan untuk menjaga keselamatan dan lebih memberikan kenyamanan pada jamaah haji. Namun sebagian umat Islam menganggap telah terjadi perubahan

Page 18: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxvi

mendasar pada lokasi-lokasi pelaksanaan proses ibadah haji. Sehingga muncullah sikap pro-kontra.

Di antara lokasi yang berubah yang kemudian dikaji oleh peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan dalam buku ini adalah dua area yaitu, pertama, perluasan mas’a (tempat sa’i). Sejauh penelusuran dari berbagai referensi yang ada, perluasan mas’a dilakukan beberapa kali. Perluasan yang dilakukan pada tahun 2007, bukanlah yang pertama. Sebelumnya pada tahun 1955 pemerintah Saudi Arabia juga pernah melakukan perluasan. Namun saat itu lebar mas’a baru mencapai sekitar 20 meter saja. Mengingat jumlah jamaah haji yang terus meningkat, maka kebutuhan untuk memperluas mas’a menjadi keharusan. Untuk itu Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada tahun 2007, kembali melebarkan mas’a dua kali lipat. Setelah dilakukan pelebaran maka saat ini untuk mas’a dari Sofa ke Marwa lebarnya sekitar 20 meter, dan untuk dari Marwa ke Sofa juga kurang lebih sama yaitu 20 meter.

Kedua, perluas tempat mabit Mina. Dari beberapa sumber, disebutkan bahwa Mina adalah nama tempat yang masih termasuk kawasan tanah haram di dekat Makkah. Panjang Mina adalah sekitar 2 atau 3 mil, berada di antara jumrah Aqabah sampai lembah Muhassir. Pada akhir wilayah Mina, pemerintah Arab Saudi memasang papan petunjuk bertuliskan “nihayah Mina” (batas akhir Mina) dan “nihayah Muzdalifah” (batas akhir Muzdalifah). Meski papan nama tersebut sangat jelas terbaca dan tegak berdiri, namun dibelakang petunjuk bertuliskan “nihayah Mina” tersebut, berdiri ratusan tenda para jamaah haji. Diantara tenda para jamaah haji tersebut, sebagian

Page 19: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xvii

besar adalah tenda jamaah haji asal Indonesia. Dengan kata lain, para jamaah haji tersebut menjalankan mabit di Mina namun sebenarnya berada di lokasi bukan Mina namun di Muzdalifah.

Kontoversi Mas’a dan Tawassu’ul Mina

Menurut Imam Syafi’i, Maliki, dan Ahmad bin Hambal, sa’i adalah salah satu rukun haji. Oleh sebab itu tidak sah haji tanpa sa’i. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah, sa’i adalah wajib haji (bukan rukun). Oleh sebab itu bagi yang tidak melakukannya, sah hajinya tapi diwajibkan bayar dam. Sa’i adalah berjalan yang dimulai dari bukit Safa ke bukit Marwa dan dari Marwa ke Safa. Dari Safa ke Marwa dihitung satu kali dan dari Marwa ke Safa dihitung sekali. Jumlah seluruhnya perjalanan sa’i adalah tujuh kali.

Lokasi untuk lintasan sa’i disebut Mas’a. Untuk menghindari jatuhnya korban akibat jumlah jamaah haji yang terus meningkat setiap tahunnya, serta dalam rangka memberikan kenyamanan, maka Pemerintah Arab Saudi telah memperluas Mas’a dan menambah lintasannya menjadi empat tingkat. Kebijakan Pemerintah Arab Saudi tersebut sudah tentu telah mendapat restu dari para ulama di sana. Namun demikian perluasan yang dilakukan pada tahun 2007 itu, mendapat reaksi penolakan yang cukup besar. Bahkan Hay’at Kibar al-Ulama Arab Saudi yang bersidang sejak 18 – 22 Safar 1427 H, akhirnya menyatakan menolak perluasan tersebut. Mayoritas anggota menyatakan bangunan yang ada saat ini (Mas’a) telah mencakup seluruh semua area Mas’a yang

Page 20: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxviii

banyak disebutkan dalam kitab-kitab para ulama, sehingga tidak boleh diperluas lagi.

Karena sa’i adalah amal ta’abbudi, maka tempat sa’i tidak boleh dipindah-pindah sehingga berbeda dengan tempat sa’i Rasulullah saw. Karena bagaimanapun kita harus melaksanakana sa’i sesuai dengan contoh dari Rasulullah saw, sesuai dengan pesan beliau, yaitu : ُذوا َعنِّي َمَناِسَكُكْم ُخ (Ambillah dariku tata cara pelaksanaan ibadah haji/ manâsik). Jadi adalah tidak sah melaksanakan sa’i pada mas’â yang baru yang tidak pernah dipergunakan Rasulullah saw.

Namun demikian, sebagian lainnya menyatakan perluasan itu tidak keluar dari batas-batas Safa dan Marwa, sehingga masih memungkinkan atau dibolehkan. Hal ini didasarkan pada kesaksian orang-orang tua (berkisar 70 tahun) di depan hakim pengadilan dan hasil penelitian Badan Geologi setempat yang menyatakan landasan bukit Safa dan Marwa yang asli (dahulunya), jauh lebih lebar dari yang ada saat ini. Saat ini puncak dan samping ke dua bukit itu sudah banyak yang dikikis atau diratakan.

Sementara untuk mabit (menginap) di Mina, maka terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama madzhab. Madzhab Hanafi menyatakan mabit di Mina hukumnya sunnah, jika tidak mabit tidak ada denda. Madzhab Maliki dan Madzhab Syafii menyatakan hukumnya wajib, jika tidak melakukannya harus membayar dam dengan menyembelih kambing. Namun ada pendapat Syafii yang menyatakan jika satu malam dikenai denda satu mud makanan saja, dan jika tiga malam wajib membayar dam. Sementara Madzhab Hambali

Page 21: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xix

menyatakan tidak wajib, namun jika meninggalkannya dikenai denda memberi makanan. Berdasarkan pendapat yang mewajibkan mabit di Mina, maka pelaksanaannya juga harus di tanah Mina, dan harus lebih dari 2/3 malam (mu’zham al-layali).

Terkait permasalahan perluasan area mabit yang sampai melebihi batas Mina, selama ini telah menimbulkan kontroversi. Sebagian ulama ada yang membolehkan dengan syarat perkemahannya bersambung dan merupakan kelanjutan dari kemah-kemah yang ada di Mina. Hal itu dikiaskan dengan sahnya shalat Jumat yang harus berada di masjid, namun ketika masjid tidak muat, maka boleh di luar masjid dengan syarat shaf (barisan) shalatnya masih bersambung.

Kajian Perluasan Mas’a dan Tawassu’ul Mina

Buku ini mendokumentasikan hasil kajian Tim Peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan terkait bagaimana perilaku para jamaah haji dalam menyikapi kebijakan pemerintah Arab Saudi dalam hal perluasan tempat sa’i (mas’a) dan lokasi bermalam (mabit) Mina. Meski kajian ini sebagaimana disebutkan dalam pembatasan masalah, hanya fokus pada aspek perilaku jamaah haji, bukan pada aspek fiqh atau hukum pelaksanaan sa’i di perluasan mas’a dan mabit di Mina. Namun aspek perilaku ini tetap memiliki hubungan erat dengan fiqh.

Dalam perspektif fiqh, pertimbangan hukum tidak hanya bersumber dari nash (al-Quran dan al-Hadits), tetapi juga didasari atas pertimbangan kemaslahatan manusia sebagai

Page 22: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxx

objek hukum. Dalam ushul fiqh banyak ditetapkan kaidah di antaranya:

الضرر يزال درء المفاسد مقدم على جلب المصالح

Artinya:

Segala kesulitan itu harus dihindari dan menolak kerusakan itu lebih diutamakan dari mendatangkan kebaikan.

Di samping itu, dalam pandangan banyak ulama fiqh, selain memiliki landasan nash-nash syariat (Al-Quran dan Sunnah), Islam juga memiliki acuan maqāṣīd al-syarīʻ ah (tujuan syariat). Maqāṣīd al-syarīʻ ah sendiri digali dari nash-nash syariah melalui sekian istiqrāꞌ (penelitian). Sejak zaman dahulu, para ulama sudah banyak melakukan penelitian dengan menjadikan nash-nash syariat, hukum-hukum yang digali dari padanya, ʻ illat-ʻ illat dan hikmah-hikmahnya sebagai obyek penelitian. Dibalik aturan-aturan syariat, ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu terwujudnya kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat. Kemaslahatan (maṣlaḥah) semakna dengan kebaikan dan kemanfaatan. Namun, yang dimaksud dengan maslahat dalam konteks ini adalah kebaikan dan kemanfaatan yang bernaung di bawah lima prinsip pokok (al-kulliyāt al-khams), yaitu hifẓ al-dīn (menjaga agama), hifẓ al-ʻ aql (menjaga akal), hifẓ al-nafs (menjaga jiwa), hifẓ al-māl (menjaga harta), dan hifẓ al-ʻ irḍ (menjaga keturunan).

Sebagaimana terungkap dalam hasil kajian ini, perluasan mas’a tidaklah semata-mata ditujukan untuk memberikan

Page 23: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xxi

kenyamanan, namun menjamin keselamatan diri jamaah akibat semakin tingginya jumlah jamaah dari tahun ke tahun, dimana akan sangat mungkin jika mas’a tidak diperluas, maka akan terjadi kumpulan jamaah yang menumpuk sehingga mereka yang melakukan sa’i akan berdesakan dan bisa menimbulkan jatuh kurban. Untuk itu perluasan mas’a adalah sebuah keniscayaan, sehingga bisa menghilangkan keraguan atas sah dan tidaknya. Pendekatan observasi yang dilakukan dalam kajian ini sangat tepat untuk bisa menggambarkan realitas mas’a dan keadaan para jamaah yang sa’i di lapangan.

Sementara itu, kajian ini juga berhasil memotret kondisi jamaah yang ada di tempat perluasan Mina. Dari kondisi yang digambarkan, kondisi jamaah khususnya yang sudah berumur (usia tua) atau menderita sakit tertentu, mereka relatif tidak dapat menjalankan proses ibadah haji, baik karena jauhnya jarak antara lokasi mabit dengan jamarat dan kesulitan-kesulitan lainnya, hal ini tentunya patut menjadi pertimbangan bagi pertimbangan fiqh penetapan kebijakan mabit di lokasi tersebut. Selama ini landasan fiqh yang diajukan atas sahnya tawasu’ul Mina karena diqiyash-kan dengan sahnya shalat jumat di luar masjid dengan shaf shalat yang saling bersambung. Bagaimanapun aspek mashlahah bagi jamaah perlu menjadi pertimbangan, sehingga dibutuhkan solusi yang serius dan tidak sekedar rasa empati atas kesulitan (mafsadat) yang dihadapi jamaah yang kebetulan ditempatkan disana.

Meski sejak dikuranginya kuota jumlah jamaah haji Indonesia karena perbaikan Masjidil Haram pada tahun 2013, yaitu dari kuota semula 200 ribuan menjadi 160 ribuan jamah,

Page 24: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxxii

sejak itu tidak ada jamaah yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina, namun jika kouta untuk jamaah haji Indonesia kembali seperti sebelumnya, sangat mungkin kebijakan penempatan jamaah haji di Tawassu’ul Mina kembali diberlakukan. Untuk itu pembahasan terkait Tawassu’ul Mina harus terus dilakukan, bergabai rekomendasi yang diajukan dalam kajian ini layak dipertimbangkan oleh pemerintah.

Sebagai catatan akhir, meski pendekatan dalam kajian ini bukanlah kajian teologis ataupun fiqh, namun bukankah dalam sejarah perkembangan hukum Islam, lahirnya dalil-dalil sekunder (selain Al-Quran dan Sunnah) merupakan konsekuensi logis dari posisi maslahat sebagai tujuan syariat. Hal ini telah lama menjadi pertimbangan hukum bagi para ahli fiqh, dalam memecahkan persoalan yang tidak memiliki acuan nash secara langsung.

Akhirnya, kami mengucapkan selamat membaca buku ini dan semoga bermanfaat.

Jakarta, September 2016 H. Abdul Jamil, S.Ag., M.Si. Drs. H. Moh. Muchtar Ilyas

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ............................................... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ............................... v PROLOG .................................................................................... vii PENGANTAR EDITOR .......................................................... xv DAFTAR ISI .............................................................................. xxiii BAB I. PENDAHULUAN .............................................. 1

A. Latar Belakang .............................................. 1 B. Perumusan Masalah .................................... 4 C. Pembatasan Masalah ................................... 5 D. Signifikansi Penelitian ................................. 5 E. Kajian Pustaka .............................................. 7 F. Metode Penelitian ........................................ 20

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN METODE

PENELITIAN ...................................................... 7 A. Kajian Pustaka .............................................. 7

1. Perilaku ................................................... 7 2. Sa’i di Perluasan Mas’a ......................... 8 3. Mabit di Tawassu’ul Mina ................... 11

B. Metode Penelitian ........................................ 12 1. Pendekatan, Waktu, Lokasi dan

Sasaran Penelitian.................................. 12 2. Data dan Sumbernya ............................ 13 3. Teknik Pengumpulan Data .................. 13 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 14

Page 25: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina xxiii

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR KEPALA PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN ............................................... iii SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG DAN DIKLAT KEMENTERIAN AGAMA RI ............................... v PROLOG .................................................................................... vii PENGANTAR EDITOR .......................................................... xv DAFTAR ISI .............................................................................. xxiii BAB I. PENDAHULUAN .............................................. 1

A. Latar Belakang .............................................. 1 B. Perumusan Masalah .................................... 4 C. Pembatasan Masalah ................................... 5 D. Signifikansi Penelitian ................................. 5 E. Kajian Pustaka .............................................. 7 F. Metode Penelitian ........................................ 20

BAB II. KAJIAN PUSTAKA DAN METODE

PENELITIAN ...................................................... 7 A. Kajian Pustaka .............................................. 7

1. Perilaku ................................................... 7 2. Sa’i di Perluasan Mas’a ......................... 8 3. Mabit di Tawassu’ul Mina ................... 11

B. Metode Penelitian ........................................ 12 1. Pendekatan, Waktu, Lokasi dan

Sasaran Penelitian.................................. 12 2. Data dan Sumbernya ............................ 13 3. Teknik Pengumpulan Data .................. 13 4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data 14

Page 26: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Minaxxiv

BAB III. TEMUAN DAN PEMBAHASAN .................... 15 A. Gambaran Umum Jamaah Haji Indonesia 15 B. Pandangan Jamaah dan Pelaksanaan Sa’i

di Perluasan Mas’a ....................................... 18 C. Pandangan Jamaah dan Pelaksanaan

Mabit di Tawassu’ul Mina .......................... 25 BAB III. PENUTUP ............................................................ 39

A. Kesimpulan ................................................... 39 B. Rekomendasi ................................................ 41

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 45 EPILOG ....................................................................................... 49 INDEKS ............................................................................... 51 LAMPIRAN ............................................................................... 53

Page 27: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 1

BAB III. TEMUAN DAN PEMBAHASAN .................... 15 A. Gambaran Umum Jamaah Haji Indonesia 15 B. Pandangan Jamaah dan Pelaksanaan Sa’i

di Perluasan Mas’a ....................................... 18 C. Pandangan Jamaah dan Pelaksanaan

Mabit di Tawassu’ul Mina .......................... 25 BAB III. PENUTUP ............................................................ 39

A. Kesimpulan ................................................... 39 B. Rekomendasi ................................................ 41

DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 45 EPILOG ....................................................................................... 49 INDEKS ............................................................................... 51 LAMPIRAN ............................................................................... 53

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Haji adalah berkunjung ke Baitullah (Ka’bah) untuk melakukan beberapa amalan antara lain: wukuf, mabit, thawaf, sa’i, dan amalan lainnya pada masa tertentu, demi memenuhi panggilan Allah SWT dan mengharapkan ridha-Nya. Dalam melaksanakan ibadah haji seorang muslim harus mematuhi ketentuan-ketentuan yang ada dalam ibadah haji. Ketentuan tersebut antara lain terkait syarat haji, rukun haji, wajib haji dan larangan haji. Syarat haji adalah: Islam, baligh, aqil (berakal sehat), merdeka (bukan hamba sahaya), dan istitha’ah (mampu). Sedangkan rukun haji adalah: niat Ihram, wukuf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i, tahalul, dan tertib. Adapun yang termasuk dalam wajib haji adalah: ihram, mabit di Muzdalifah, mabit di Mina, melontar Jumrah Aqabah, melontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah, serta thawaf wada’ (bagi yang akan meninggalkan Makkah).

Pelaksanaan Haji tidak terpisahkan dengan Umrah, dalam beberapa hal ada kesamaan antara haji dan umrah, namun terdapat pula perbedaan dalam rukun, wajib, dan miqot.1 Dalam umrah tidak ada wukuf di Arafah padahal dalam pelaksanaan haji wukuf adalah salah satu rukun haji. Adapun

1 Miqat zamani (ketentuan masa) bagi ibadah haji hanya pada bulan Syawal,

Dzulqa’dah, dan 10 hari bulan haji, sedangkan miqat zamani bagi umrah adalah sepanjang tahun. Sedangkan Miqat makani (ketentuan tempat) tidak ada perbedaan antara haji dan umrah.

Page 28: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina2

rukun umrah adalah ihram, tawaf, sa’i, dan tahallul. Sedangkan wajib umrah adalah ber-ihram dari miqat dan menjauhkan diri dari segala larangan. Dalam teknis pelaksanaan haji dan umrah ada 3 macam yaitu Qiran, Ifrad, dan Tamattu’.2 Jamaah haji Indonesia umumnya melaksanakan Tamattu’.

Seiring dengan kesadaran umat Islam tentang kewajiban menunaikan haji, ditunjang oleh kemudahan sarana transportasi, pertumbuhan ekonomi di berbagai negara yang di dalamnya terdapat umat Islam maka jumlah umat Islam yang menunaikan ibadah haji setiap tahunnya terus bertambah. Pada musim haji tahun 2011 ini diperkirakan sekitar 3 juta umat Islam yang datang ke kota suci Makkah. Hal ini tentu menyebabkan semakin padat dan berdesak-desakannya jamaah haji ketika harus melaksanakan rangkaian ibadah haji. Setidaknya ada 5 hari di mana jamaah secara bersamaan akan melakukan beberapa amalan penting dalam ibadah haji yaitu wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, dan melempar jamarat, yaitu sejak tanggal 8, 9, 10, 11, dan 12 Dzulhijjah yang tahun ini (2011) bertepatan dengan tanggal 4, 5, 6, 7, dan 8 Nopember. Sebelum adanya penataan terhadap tempat-tempat pelaksanaan ibadah haji, pernah terjadi kecelakaan yang menimbulkan korban karena berdesak-desakan di Mina dan Mas’a. 3

2 Qiran adalah melaksanakan haji dan umrah sekaligus, Tamattu’ ialah

melakukan umrah terlebih dahulu, kemudian baru haji, sedangkan Ifrad adalah mendahulukan ibadah haji baru kemudian umrah.

3 Pada tgl 2 Juli 1990, terjadi musibah yang merenggut 1.400 jiwa karena berdesakan dan jatuh terinjak-injak di terowongan Mu’ashim (sering disebut terowongan Mina) saat berangkat dan pulang melempar jumroh, dari jumlah yang meninggal tersebut 659 orang adalah jamaah Indonesia. Pada tgl 24 Mei 1994 musibah kembali terjadi 270 jamaah tewas di Mina akibat saling dorong dan terinjak-injak.

Page 29: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 3

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan maka pemerintah Arab Saudi melakukan pembangunan pada berbagai sarana infrastruktur haji, di antaranya adalah dengan melakukan perluasan pada daerah-daerah yang menjadi titik bertemu dan kumpulnya jamaah haji seperti Masjidil Haram, tempat sa’i (Mas’a), serta tempat melempar jamarat. Di tahun 1375 H pemerintah Arab Saudi melakukan perluasan untuk Masjidil Haram, ketika itu pula dilakukan penggabungan tempat sa’i dengan bangunan Masjidil Haram. Kemudian di tahun 1428 H, Raja Abdullah bin Abdul Aziz memerintahkan untuk memugar tempat sa’i serta memperluasnya dari arah timur serta menambahkan lantai ke tiga untuknya.4

Sementara itu pernah terjadi kebakaran pada tenda jamaah haji di Mina, pada tanggal 7 Mei 1995 dan 15 April 1997.5 Melihat adanya potensi bahaya kebakaran tersebut akhirnya pemerintah Arab Saudi membangun tenda-tenda permanen yang tahan api. Dampak dari dibangunnya tenda-tenda permanen tersebut maka luas Mina tidak lagi mampu menampung seluruh jamaah haji, untuk itu akhirnya ditetapkan kebijakan perluasan Mina bagi pelaksanaan mabit sampai ke wilayah Tawassu’ul Mina.

Kebijakan tersebut, baik terkait perluasan tempat sa’i (Mas’a) dan mabit di Tawassu’ul Mina (sering disebut Mina Jadid) ternyata disikapi secara beragam oleh masyarakat Indonesia. Sampai saat ini masih ada pihak-pihak yang mempersoalkan hukum mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i diperluas Mas’a tersebut. Untuk itu menarik dilakukan

4 Mahmud Muhammad Hamo. 2010. Makkah Al Mukarramah Sejarah dan

Monumen, hal 71 5 Pada tgl 7 Mei 1995 terjadi kebakaran di tenda Mina yang menewaskan 3

orang jamaah, sedang pada tgl 15 April 1997 jumlah korban mencapai 343 orang.

Page 30: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina4

penelitian sejauhmana pandangan, sikap, dan prilaku jamaah haji Indonesia dalam menyikapi mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i di perluasan Mas’a.

Penelitian ini penting dan menarik dilakukan karena pertimbangan bahwa ibadah haji termasuk rukun Islam yang ke lima, wajib dilakukan satu kali dalam seumur hidup, wajib dijalankan demi kesempurnaan rukun Islam. Demi kesempurna dalam menjalankan ibadah haji dan mendapatkan haji mabrur maka mereka rela berkorban harta, tenaga, waktu dan segenap kemampuan yang dimiliki. Untuk itu penting digali informasi secara mendalam pendapat dan pandangan, prilaku, serta apa harapan jamaah haji paska ditetapkannya kebijakan perluasan kedua tempat tersebut, apakah menerima, menolak, terpaksa atau lainnya. Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menjadi pertimbangan dalam merumuskan langkah-langkah yang lebih signifikan bagi pemerintah, sehingga jamaah haji dapat khusyu dan tenang dalam menunaikan ibadahnya sesuai ketentuan ajaran Islam.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan dalam latar belakang di atas, maka selanjutnya penelitian ini dapat dirumuskan dalam pertanyaan sebagaimana berikut:

1. Bagaimana pandangan dan keyakinan jamaah terhadap mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i di perluasan Mas’a?

2. Bagaimana perilaku jamaah ketika melaksanakan mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i di perluasan Mas’a?

3. Bagaimana jamaah yang mabit di Tawassu’ul Mina melaksanakan pelemparan Jamarat?

Page 31: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 5

4. Apa harapan jamaah yang mabit di Tawassu’ul Mina kepada pemerintah bagi perbaikan pelaksanaan kebijakan mabit di Tawassu’ul Mina?

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini dilakukan pembatasan yaitu hanya meneliti perilaku jamaah haji dalam melakukan salah satu wajib haji yaitu mabit di Mina dan salah satu rukun haji yaitu sa’i, kedua hal tersebut dalam penelitian ini juga dibatasi hanya pada pelaksananan mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i di perluasan Mas’a. Subjek penelitian adalah jamaah haji tahun 2011.

D. Signifikansi Penelitian

Penelitian ini dirasakan penting dan memiliki signifikansi baik dari perspektif kebijakan maupun perspektif akademis, yaitu:

1. Perspektif Kebijakan. Penelitian ini akan memberikan umpan balik dan redesain kebijakan bagi pemerintah, sehingga dapat merumuskan langkah-langkah yang lebih signifikan bagi penyempurnaan pelaksanaan ibadah haji .

2. Perspektif akademis. Penelitian ini akan menambah khasanah studi ilmiah tentang penyelenggaraan ibadah haji khususnya terkait mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i di perluasan Mas’a.

Page 32: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina6

Page 33: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 7

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA DAN METODE PENELITIAN

A. Kajian Pustaka

1. Perilaku

Perilaku dalam bahasa inggris disebut dengan “behaviour” yang artinya kelakuan tindak tanduk6. Perilaku terdiri dari dua kata peri dan laku, peri yang artinya sekeliling, dekat melingkupi.7 Dan laku artinya tingkah laku, perbuatan, tindak tanduk. Secara etimologi perilaku artinya apa yang dilakukan oleh seseorang.8 Perilaku (behavior) is “the activities of an organism, both overt, or observable (such as motor behavior), and covert, or hidden (such as thinking)”. Perilaku adalah kegiatan suatu makhluk hidup, baik yang nampak atau dapat dilihat (seperti perilaku gerakan) atau yang tidak nampak atau tersembunyi (seperti berfikir).9 Dengan demikian prilaku tidak terbatas pada pada kegiatan yang tampak yaitu tingkah laku lahir, tetapi meliputi kegiatan manusia di dalam dirinya sendiri.

6 John M.Echol, Kamus bahasa Inggris Indonesia (Jakarta: PT Gramdedia,

1996), cet, ke-3, h.80. 7 Pedoman Umum Ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan,

Bandung:CV Pustaka Setia, 1996, Cet, ke-5, h.91. 8 Mar’at, Sikap Manusia Terhadap Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta:

Ghalia Indonesia, 1982, h.274. 9 Ibid, hlm 551.

Page 34: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina8

Dimensi-dimensi yang terkait perilaku adalah:

a. Kognisi (knowledge dan awareness) yaitu pengetahuan jama’ah mengenai mabit di Tawassu’ul Mina dan sa’i di perluasan Mas’a serta berbagai aspeknya baik dalam tataran teoritik (hukum) maupun praktik.

b. Afeksi, terdiri dari attitude, perception and image.

1) Attitude yaitu sikap terhadap gagasan dan aplikasi atau penerapan kebijakan sa’i di perluasan Mas’a dan mabit di Tawassu’ul Mina.

2) Perception and Image yaitu persepsi dan image terhadap gagasan dan aplikasi penerapan kebijakan sa’i di perluasan Mas’a dan mabit di Tawassu’ul Mina.

c. Connation terdiri dari habit dan behavior dan Interest dan Intention

1) Habit dan behavior yaitu kebiasaan dalam perilaku.

2) Interest dan Intention yaitu terdiri dari:

Motif/alasan pelaksanaan perbuatan/tindakan jamaah haji

Harapan jamaah haji

Keterlibatan jamaah haji

Mengukur intensi dan loyalitas jamaah haji

2. Sa’i di Perluasan Mas’a

Sa’i adalah melakukan perjalanan bolak – balik 7 kali antara bukit Safa dan bukit Marwah, di awali dari Safa dan berakhir di Marwah. Kedua bukit itu satu sama lainnya berjarak sekitar 395 meter, ketika melintasi Bathnul Waadi yaitu kawasan yang terletak di antara bukit Shafa dan bukit

Page 35: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 9

Marwah (ditandai dengan lampu neon berwarna hijau) para jama’ah pria disunatkan untuk berlari-lari kecil sedangkan untuk jama’ah wanita berjalan cepat.

Dahulunya Mas’a (tempat sa’i) berada di luar bangunan Masjidil Haram, dan juga memiliki bangunan khusus, Mas’a dulunya merupakan tanah berliku, curam, dan naik turun (gambar terlampir). Mas’a sepanjang sejarah mengalami perubahan sedikit demi sedikit. Di antara Mas’a dan Masjidil Haram dulunya terdapat bangunan-bangunan, di kanan kiri Mas’a terdapat toko-toko dan warung, jadi saat itu orang sa’i di tengah pasar. Pada tahun 1339 H di masa Syarif Husain bin Ali area Mas’a dipayungi. Kemudian pada tahun 1375 H/1955 M demi memudahkan orang yang akan sa’i, pemerintah Arab Saudi menginstruksikan untuk memugar pasar tersebut dan memusnahkan bangunan-bangunan yang memisahkan Mas’a dengan Masjidil Haram dan menjadikan keduanya menjadi satu bangunan yang menyatu. Mas’a kemudian dibangun dengan dua tingkat, dan hamparan lantainya dibuat dari marmer. Panjang Mas’a adalah kira-kira 394,5 meter dan lebarnya kurang lebih 20 meter.10 Mengingat semakin bertambahnya jumlah jamaah haji maka luas Mas’a sebagaimana disebutkan di atas tidak lagi memadai untuk itu pada tahun 1428 H/ 2007 M lebar Mas’a kembali diperluas menjadi kurang lebih 40 meter dan ditambah lagi 1 lantai sehingga seluruhnya menjadi 3 lantai. Pelebaran Mas’a yang baru ini adalah dengan menambah 20 meter yang saat ini menjadi jalur sa’i dari Safa ke Marwah.11

10 Muhammad Ilyas Abdul Ghani. Sejarah Makkah. Hal 126-127 11 Berdasarkan gambar sejarah perluasan Masjidil Haram yang ditulis oleh

Mahmud Muhammad Hamo. 2010. Makkah Al Mukarramah Sejarah dan Monumen, hal 73

Page 36: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina10

Dengan diperlebarnya Mas’a di tahun 1428 H/2007 M itu, ternyata terjadi khilaf (perbedaan pendapat) di kalangan para ulama, ada yang membolehkan dan ada yang tidak. Hay’at Kibar al-Ulama Arab Saudi dalam surat keputusannya No 277 tanggal 22-2-1427 H menyatakan berdasarkan sidang putaran ke 64 yang dilaksanakan di Riyadh tanggal 18-2-1427 H yang khusus membahas perluasan Mas’a dari segi syari’ah menyimpulkan bahwa Mas’a panjangnya yaitu antara bukit Safa dan Marwah, dan lebarnya ialah sebagaimana telah diamalkan berabad-abad secara terus menerus sejak masa Nabi Muhammad saw. sampai hari ini. Maka mayoritas tokoh ulama ini berpendapat bahwa pembangunan Mas’a sekarang ini telah keluar dari batas-batas tersebut. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan. Jika memerlukan penambahan dapat dibangun di atas Mas’a yang telah ada, sebagaimana fatwa No 21 yang telah dikeluarkan tanggal 21-11-1393 H (1973) yang membolehkan melaksanakan sa’i di atas Mas’a di lantai atas. Pernyataan tersebut ditandatangani oleh Ketua Majelis dan 18 tokoh ulama.12

Namun demikian terdapat pula ulama yang membolehkan yang mendukung keputusan perluasan Mas’a, di antaranya adalah antara lain Syaikh ‘Abdul-Wahhâb bin Ibrâhîm Abu Sulaimân (salah satu angggota Hai’ah Kibâr Al-’Ulamâ’) dan Ma’had Abhâtsil-haramain (Badan untuk Penelitian Dua Tanah Haram) dan Hai’ah Al-Masâhah al-jiyûlûjiyah (Badan peneliti geologis), setelah melakukan penelitian para ulama tersebut membolehkan dan mendukung perluasan Mas’a. Pendapat ulama tersebut dijadikan acuan oleh Pemerintah Arab Saudi untuk melakukan perluasan Mas’a. Mereka yang mendukung kebijakan pemerintah Arab

12 Ibid, hal 41-42

Page 37: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 11

Saudi ini di samping ada yang berasal dari anggota Hay’at Kibar al-Ulama juga ada banyak ulama lainnya. Bahkan ada di antara ulama yang dulu menolak kini berbalik mendukung seperti Syekh al-Mani’.

3. Mabit di Tawassu’ul Mina

Menurut manasik haji Kementerian Agama, Ibadah mabit di Mina adalah termasuk wajib haji, jika jamaah meninggalkannya (mabit di Mina), maka ia harus membayar dam (denda) dalam bentuk menyembelih sekor kambing. Pada awalnya area di Mina mencukupi bagi pelaksanaan mabit para jamaah, namun kini dengan semakin bertambahnya jumlah jamaah haji setiap tahunnya maka areal di Mina yang hanya sekitar 600 hektar tidak lagi cukup untuk menampung seluruh jamaah haji yang hendak melakukan mabit. Terutama setelah dibangunnya tenda-tenda permanen yang anti api.

Dalam rangka kenyamanan jamaah dalam menjalankan ibadah haji maka Pemerintah Arab Saudi melakukan perluasan batas perkemahan jamaah haji yang semula hanya di Mina kini sampai ke wilayah Tawassu’ul Mina yang lokasinya berada di wilayah Muzdalifah. Penempatan sebagian jamaah haji di Tawassu’ul Mina ini menimbulkan pertanyaan bagi jamaah haji asal Indonesia karena lokasi perkemahan tersebut di luar Mina.

Penelitian pernah dilakukan oleh Badan Litbang dan Diklat Departemen Agama RI tahun 2008, hasil penelitian menyebutkan bahwa perkemahan untuk sebagian jamaah haji yang berada di luar Mina yang digunakan sebagai tempat mabit di Mina pada hari-hari tasyriq hukumnya adalah diperbolehkan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan telah penuhnya tempat-tempat untuk kemah bagi mereka di Mina

Page 38: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina12

(dharurat), riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa pada zaman Rasulallah jamaah haji diperbolehkan tidak mabit di Mina pada hari-hari tasyriq karena harus mengurus air minum jamaah haji, menjaga harta di Makkah dan menjaga ternak gembala di luar Mina, konsep ittishal al-mukhayyamat dalam mabit di-ilhaq-kan dengan konsep ittishal al-shufuf dalam salat, kaidah-kaidah fikhiyyah seperti hukm al-hakim ilzam yarfa’ al-khilaf, al-dharar yuzal, al-masyaqqah tajlib al-taysir, dan al-amr idza dhaqa ittasa’, dan pendapat para ulama. Karena itu mabit pada hari tasyriq di perkemahan di luar Mina tersebut adalah sah menurut syara’, baik sebagai azimah dengan konsep ittishal maupun sebagai rukhshah karena tidak tersedianya tempat mabit di Mina. Apabila pemerintah Saudi Arabia telah rampung membangun gedung-gedung tinggi di Mina sehingga mampu menampung seluruh jamaah haji, maka seluruh jamaah haji yang mabit di luar Mina tersebut harus kembali mabit di Mina.13

B. Metode Penelitian

1. Pendekatan, Waktu, Lokasi, dan Sasaran Penelitian.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Penelitian ini di lapangan dilakukan selama 25 hari di musim haji tahun 2011 oleh 4 orang peneliti dari Puslitbang Kehidupan Keagamaan. Adapun lokasi penelitian bertempat di Arab Saudi.

Untuk penelitian tentang Tawassu’ul Mina, pengamatan difokuskan pada dua maktab dari sembilan maktab yang ada di Tawassu’ul Mina yaitu maktab 1 dan

13 Badan Litbang dan Diklat Kemenag. (2008). Perluasan Mas’a, Jamarat dan

Mabit di Luar Mina, hal 86

Page 39: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 13

maktab 5. Pemilihan 2 maktab itu berdasarkan pertimbangan jumlah peneliti sebanyak 4 orang sehingga satu maktab dapat diamati oleh dua orang peneliti. Maktab 1 dan 5 dipilih dengan pertimbangan lokasinya yang paling jauh dengan tempat jumrah.

Sedangkan penelitian tentang Mas’a difokuskan pada Mas’a di lantai utama (lantai dasar), bukan lantai kedua atau lantai ketiga. Karena Mas’a di lantai utama adalah yang paling banyak dipakai sa’i oleh jamaah haji.

2. Data dan Sumbernya

Data Primer diperoleh melalui Pengamatan perilaku jamaah haji di Mas’a maupun di Tawassu’ul Mina, didukung oleh wawancara dengan beberapa informan dan tokoh kunci (key person) secara langsung dari lapangan yaitu para petugas kloter, pembimbing haji, dan jamaah yang mabit di luar Mina dan sa’i di perluasan Mas’a. Jumlah informan yang telah diwawancarai dalam penelitian ini sebanyak 30 orang.

Di samping data primer, juga digunakan data sekunder yaitu data yang dikumpulkan oleh peneliti dari sumber kedua dan seterusnya. Data diperolah melalui dokumen berbagai pihak terkait seperti laporan Kementerian Agama, laporan hasil penelitian, dan buku atau tulisan terkait lainnya.

3. Teknik Pengumpul Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah:

a) Pengamatan/observasi. Pengamatan dilakukan dengan terlibat langsung melaksanakan sa’i, mengamati

Page 40: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina14

suasana Mas’a, melihat prilaku jamaah haji yang melakukan sa’i, serta ikut mabit bersama jamaah di maktab 1 dan 5 yang di tempatkan di Tawassu’ul Mina (wilayah Muzdalifah), melihat prilaku mereka selama masa-masa mabit Mina, dan ikut melakukan lempar Jamarat dengan berjalan kaki dari Tawaassu’ul Mina.

b) Wawancara terhadap informan kunci yaitu orang-orang yang memiliki pengaruh bagi perilaku jamaah haji serta mereka yang memiliki peran penting bagi penentuan kebijakan penyelenggaraan ibadah haji. Mereka adalah: Tim Pembimbing Ibadah Haji Indonesia (TPIHI), ketua kloter, pimpinan KBIH, ulama atau kyai yang menjadi jamaah haji, pejabat yang memiliki peran penting dalam penentuan kebijakan haji antara lain Ketua Tim Pemantau Ibadah Haji, dan beberapa jamaah haji.

c) Studi kepustakaan terhadap buku, dokumen, atau naskah yang terkait dengan permasalahan penelitian.

4. Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan ialah menyiapkan dan menyusun data, memilih dan mengklasifikasikan data, seperti dalam bentuk tabel, matriks dan paragraph. Dalam penelitian ini secara umum pengolahan data meliputi klasifikasi data, menghubungkan satu data dengan data lainnya, penyajian data, dan pengambilan kesimpulan.

Page 41: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 15

BAB 3

TEMUAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Jamaah Haji Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah pada tahun 2011, jumlah jamaah haji Indonesia adalah 202.345 orang.14 Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya keberangkatan jamaah haji dibagi dalam 2 gelombang. Gelombang pertama yaitu tanggal 2 s.d. 19 Oktober 2011, jamaah gelombang pertama ini sebagian mendarat di Jeddah lalu berangkat ke Madinah, sebagian lagi mendarat di Madinah, mereka akan menetap di Madinah dahulu selama 9 hari untuk melakukan arbain (shalat fardlu 40 waktu berjamaah di Masjid Nabawi) dan berjiarah ke tempat-tempat bersejarah, kemudian berangkatkan umrah ke Makkah dan memulai ihram dari Bir Ali. Sedangkan gelombang kedua adalah tanggal 20 sd 31 Oktober 2011, seluruhnya akan mendarat di Jeddah kemudian menuju ke kota Makkah, mereka melakukan umrah dengan mengambil ihram dengan miqat dari bandara Jeddah . Para jamaah tersebut menjelang pelaksanaan ibadah haji (wukuf di Arafah) semuanya akan berada di Makkah dan ditempatkan di 11 sektor. Masing-masing sektor tersebut terdiri dari beberapa maktab, masing-masing maktab terdiri dari 7 atau 8 kloter, dan masing-masing akan menempati hotel/pemondokan yang telah ditetapkan.

14 Dengan perincian laki-laki 91.561 orang dan perempuan 110.782 orang.

Page 42: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina16

Para jamaah haji Indonesia umumnya memilih haji tamattu’ yaitu sebelum melaksanakan haji mereka melakukan umrah wajib yaitu dengan menjalankan ihram dari Miqot, tawaf, sa’i, dan tahallul. Di samping umrah wajib, ternyata beberapa jamaah ada yang melakukan umrah sunnah, bahkan ada yang melakukan umrah sunnah lebih dari satu kali, baik secara perorangan, kelompok regu, rombongan masing-masing.

Mendekati pelaksanaan haji, mereka menerima informasi baik dalam bentuk surat maupun pemberitahuan lisan tentang hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan haji selama di Armina (Arofah, Muzdalifah, dan Mina) baik jadwal keberangkatan, jadwal makan, tenda tempat menginap, jumlah bus, dan ketentuan teknis lainnya. Mereka juga menerima surat himbauan tentang pelaksanaan melempar jamarat bagi jamaah haji Indonesia. Jadwal dan ketentuan teknis tersebut disosialisasikan oleh pengurus maktab dan pengurus sektor, kepada ketua kloter, karom, dan karu kemudian diteruskan kepada para jamaah.

Tanggal 8 Dzulhijjah jamaah haji berangkat menuju Arafah dengan menggunakan bus yang sudah disiapkan. Sesampainya di Arafah mereka menempati tenda-tenda yang sudah ditetapkan. Mereka menginap selama satu malam. Besok harinya tanggal 9 Dzulhijjah, saat menjelang dzuhur mereka berkumpul di tenda masing-masing untuk pelaksanaan wukuf, diawali shalat dzuhur dan ashar dengan jama’ takdim dan qashar, secara berjamaah mereka kemudian melakukan wukuf sampai waktu magrib tiba. Setelah shalat magrib dan isya yang juga dilakukan dengan cara jama’ takdim dan qashar, mereka diberangkatkan secara bertahap

Page 43: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 17

menggunakan bus menuju Muzdalifah untuk mabit di sana, melalui jalur taraddudi.

Di Muzdalifah mereka akan berhenti di tempat khusus di Muzdalifah sampai pertengahan malam sesuai maktab masing-masing, yaitu di sebuah lapangan luas tanpa tenda dan sekelilingnya dipagar. Mereka di sini mabit dan mengambil batu untuk melontar jumroh. Setelah jam 12 malam jamaah melanjutkan perjalanan ke Mina menuju tenda-tenda yang sudah ditetapkan di Mina. Kecuali bagi mereka yang di tempatkan di Tawassu’ul Mina, dari Arafah mereka langsung menuju tenda di maktab yang sudah ditetapkan, yaitu maktab 1 sd 9.

Pada tanggal 10 Dzulhijjah jamaah haji melempar jumrah Aqabah. Kemudian di malam harinya mulai tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah melaksanakan mabit Mina. Selama itu, mereka setiap harinya akan melempar 3 jumrah, yaitu jumrah Ula, Wustho, dan Kubro (Aqabah). Berdasarkan surat edaran dari Ketua PPIH Arab Saudi, bagi jamaah haji Indonesia dihimbau untuk tidak melempar jamarat pada waktu sebagai berikut: 1) dihimbau untuk tidak melempar jumrah Aqabah tanggal 10 Dzulhijjah adalah pukul 08.00 sd 11.00, 2) dihimbau untuk tidak melempar 3 jamarat tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah adalah pukul 11.00 s.d 15.00. Dengan adanya ketentuan tersebut jamaah haji Indonesia umumnya melempar jumroh pada menjelang waktu magrib atau isya, malam hari, dan menjelang subuh.

Bagi jama’ah haji yang memilih nafar awal maka pada tanggal 12 Dzulhijjah setelah melempar jumrah Ula, Wustho, dan Aqabah, pagi harinya mereka kembali tenda selanjutnya diangkut bus menuju ke hotel/pemondokan, sedang yang memilih nafar tsani maka bermalam sekali lagi baru keesokan

Page 44: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina18

harinya tanggal 13 Dzulhijjah setelah melempar jumrah pulang ke tenda selanjutnya diberangkatkan menuju hotel/pemondokan.

Setelah pulang ke hotel/pemondokan para jamaah haji masih mempunyai dua rukun haji yaitu melakukan tawaf ifadah dan sa’i. Mereka akan melaksanakan tawaf ifadah dan sa’i sesuai situasi dan kondisi masing-masing. Selanjutnya sesuai jadwal yang telah ditetapkan jamaah haji gelombang pertama akan ke Jeddah untuk kemudian kembali ke tanah air, sedangkan bagi jamaah gelombang kedua terlebih dahulu menetap di Madinah untuk melaksanakan arbain sebelum kembali ke tanah air.

B. Pandangan Jamaah dan Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a

1. Pandangan Jamaah tentang Perluasan Mas’a

Mas’a atau tempat sa’i adalah tempat antara bukit kecil Safa dan Marwah. Letak Mas’a adalah di sebelah selatan (agak ke kiri) dari Masjidil Haram. Kondisi Mas’a saat ini sudah berubah dengan kondisi awalnya di zaman Nabi. Renovasi banyak dilakukan hingga keadaannya seperti sekarang ini.

Terkait pandangan jamaah haji terhadap perluasan Mas’a, maka ada beberapa pendapat yang dapat diklasifikasikan dalam tiga pandangan yaitu:

a) Pandangan yang menyatakan tidak ada masalah dengan perluasan Mas’a. Boleh sa’i di tempat bagian mana saja dari Mas’a yang sekarang sudah diperluas, baik di bagian tengah ataupun di bagian tepi (pinggir)

Page 45: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 19

arah Safa – Marwah atau Marwah – Safa, yang penting masih antara Safa dan Marwah.

b) Pandangan yang menyatakan bahwa untuk kehati-hatian, dalam melaksanakan sa’i dilakukan di lantai dasar dan dalam melaksanakan sa’i diupayakan lewat jalan tengah-tengah, adapun ketika di situ sudah penuh maka bisa menyesuaikan di mana saja jalan yang masih kosong di Mas’a.

c) Pandangan yang menyatakan tidak membolehkan sa’i di tempat yang diperluas, tetapi harus ber-sa’i pada Mas’a “yang lama/aslinya”, yaitu jika dari arah Safa ke Marwah maka harus berjalan di jalur kursi roda, sebab jika di bagian luar kursi roda adalah termasuk Mas’a perluasan. Sedangkan jika dari arah Marwah ke Sofa semua adalah termasuk Mas’a lama.

Pada umumnya jamaah lebih banyak yang mengikuti pandangan yang pertama. Dari pernyataan para informan, mayoritas menyatakan bahwa mereka tidak mempersoalkan perluasan Mas’a, karena tujuan perluasan adalah untuk kekhusu’an, kenyamanan, dan keselamatan dalam melaksanakan ibadah haji. Mereka bahkan merasa lebih nyaman dengan kondisi Mas’a saat ini yang dirasakan lebih baik dan dapat meningkatkan kekhusyu’an, ketenangan dan keselamatan jamaah dalam melakukan ibadah sa’i,

Beberapa alasan dikemukakan oleh mereka antara lain:

Perluasan Mas’a adalah untuk kebutuhan, sebab 7 x bolak-balik sa’i dengan jarak yang cukup jauh sekitar 400 meter dengan 7 kali (bolak-balik) akan membuat

Page 46: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina20

fisik lelah, padahal banyak yang berusia tua, jika dilakukan dengan berdesak-desakan akan mendatangkan bahaya. 15

Perluasan Mas’a memang sudah seharusnya, karena yang aslinya sudah tidak dapat menampung jumlah jamaah. Dengan semakin banyaknya jumlah jamaah yang melaksanakan sa’i antar Shafa- Marwah, maka sah-sah saja melakukan pelebaran Mas’a. Kalau masih seperti aslinya maka akan berjubel dan dapat membahayakan para jamaah serta tidak memenuhi kebutuhan orang banyak sesuai dengan tambahnya jumlah manusia yang akan melakukan sa’i.16

Perluasan Mas’a adalah boleh karena mengikuti apa yang telah ditetapkan/diputuskan oleh pemerintah Arab Saudi dan tentunya penetapan itu dilakukan setelah melalui pembahasan yang mendalam.17

Perluasan Mas’a sudah dibahas dan ditetapkan/disepakati bolehnya ber-sa’i di perluasan Mas’a oleh ulama-ulama di Jawa Timur.18

Perluasan Mas’a adalah telah mengikuti asas kemaslahatan yang menjadi tujuan hukum Islam.19

Perluasan Mas’a diibaratkan seperti perluasan masjid baik bangunan maupun fungsi masjid. Jika masjid terlalu kecil dan memungkinkan untuk diperluas, maka itu lebih baik. Jika fisik bangunan masjid belum

15 Wawancara dengan KH. Hasyim Muzadi, tanggal 30 -10- 2011 16 Wawancara dengan KH. Abdul Khafid, tanggal 1 -11 -2011 17 Wawancara dengan H. Suhaimi, tanggal 1 -11 -2011, dan KH. Abubakar

Adenan tanggal 2-11-2011. 18 Wawancara dengan KH. Sofwan, tanggal 1 -11 -2011 19 Wawancara dengan H. Sun’an, tanggal 1 -11- 2011

Page 47: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 21

dapat diperluas maka fungsi masjid ditingkatkan yaitu dengan menggunakan halaman masjid untuk sholat.20

Sa’i itu berjalan antara Safa dan Marwah, tidak ada ketentuan lebarnya. Dalam melakukan sa’i itu harus melihat hakikat sa’i yaitu napak tilas perjuangan seorang ibu, yaitu Hajar. Itu yang harus bisa dihayati. Jadi jangan lagi banyak mempersoalkan batas lebar yang nantinya melupakan hakikat melakukan sa’i.21

Tidak ada batas yang jelas antara Mas’a yang lama dengan yang baru. Untuk itu tidak dapat diketahui atau tidak dapat dibedakan apakah seseorang yang sa’i itu di tempat yang lama atau di perluasan Mas’a.22

Tidak ada informasi yang pasti apakah ketika itu Siti Hajar berlari-lari kecil antara bukit Sofa dan Marwah secara langsung, atau mungkin sempat jalan berbelok-belok. Karena itu boleh saja sa’i dilakukan tidak dengan jalan lurus tapi melalui jalan yang sekarang merupakan perluasan Mas’a.23

Bagi pendapat yang kedua, mereka beralasan bahwa untuk kehati-hatian dalam melaksanakan sa’i sebaiknya di lantai dasar dan berada di jalur lama (bukan di perluasan). Melakukan sa’i pada jalur lama itulah yang sesuai tuntunan Nabi Muhammad saw. Jadi alasan yang dikemukakan adalah untuk kehati-hatian sehingga ber-sa’i jika dari Safa ke Marwah mengambil jalan yang di tengah/yang sering dipakai pada kursi roda. Jika di tengah rapat maka bisa menyesuaikan di mana saja selagi masih

20 Wawancara dengan H. Ahmad Suhud Khoir, tanggal 1-11-2011. 21 Wawancara dengan Hasan Juwaini, tanggal 2 -11-2011 22 Wawancara dengan KH. Abubakar Adenan Siregar, tanggal 2-11-2011 23 Wawancara dengan KH. Syarif Hidayat, tanggal 1-11-2011

Page 48: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina22

di tempat sa’i bisa dilakukan di jalur yang di pinggir sekalipun. 24

Sedangkan pendapat yang ketiga, memiliki alasan bahwa sa’i sebagaimana thawaf adalah rukun haji, tidak sah haji tanpa melakukan keduanya dengan benar, untuk itu harus dijalankan sesuai dengan apa yang dicontohkan Rasulullah saw. Menurut pandangan ini Rasul dan sahabat ketika sa’i adalah di area Mas’a yang lama, bukan di perluasan. Namun demikian pandangan yang ketiga ini tidak berarti menyalahkan orang yang sa’i di perluasan Mas’a, karena ada dalil (argumentasi agama) yang dikemukakan banyak ulama yang menjelaskan bahwa pelebaran Mas’a yang saat ini ada adalah masih termasuk Sofa – Marwah. 25

2. Pelaksanaan Sa’i di Mas’a dan Perluasannya

Sa’i adalah ibadah yang harus dilakukan oleh jamaah haji karena merupakan rukun haji dan juga rukun umrah. Dalam pengamatan selama di lapangan, satu minggu sebelum memasuki pelaksanaan wukuf Arafah, area Mas’a relatif masih lengang (tidak padat) jamaah dapat sa’i dengan tidak berdesak-desakan sehingga bisa memilih apakah hendak mengambil jalur yang di tengah atau di samping, baik dari arah Sofa ke Marwah maupun dari Marwah ke Sofa. Keadaan demikian berlangsung sampai mendekati pelaksanaan wukuf yaitu kurang lebih sejak tanggal 6 Dzulhijjah, saat itu kota Makkah pada

24 Wawancara dengan KH. Mohammad Maulani dan KH Ahmadi, tanggal

1 -11-2011 25 Wawancara dengan KH. Rohmat An Nashih, tanggal 1 dan 10 -11-2011

Page 49: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 23

umumnya sudah mulai dipadati jamaah yang datang dari seluruh dunia untuk melaksanakan haji. Pada masa lengang ini, para jamaah haji Indonesia umumnya melakukan sa’i secara bebas, baik dari Sofa ke Marwah maupun sebaliknya, mereka tidak memaksa untuk sa’i pada jalur tengah (Mas’a lama), sehingga ada yang terlihat sa’i di jalur tengah dan ada juga yang di area pinggir Mas’a.

Pada mendekati pelaksanaan haji (tanggal tanggal 6, 7, 8 Dzulhijjah) maupun saat pelaksanaan haji (tanggal 9, 10, 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) area Mas’a sangat padat, karena banyak jamaah haji yang selesai melempar jumrah akan melaksanaklan tawaf ifadah dan sa’i. Dalam kondisi demikian jamaah yang melaksanakan sa’i umumnya hanya dapat berjalan pelan dan merayap, apalagi saat mendekati bukit Safa maka situasinya semakin padat dan berdesakan. Situasi yang sama juga terlihat saat menaiki Marwah. Namun demikian pada daerah yang bertanda neon hijau jamaah haji laki-laki tetap masih dapat berlari-lari kecil dan wanita dapat sedikit berjalan cepat.

Sejauh pengamatan di Mas’a selama masa padat/ramai juga tidak ada jamaah haji yang memaksakan diri secara khusus ingin mengambil posisi di tengah Mas’a. Daerah di bagian pinggir dan bagian tengah sama-sama dipadati jamaah haji yang melakukan sa’i, baik dari jamaah asal Indonesia maupun negara lain. Pada saat Mas’a padat ini jumlah jamaah Indonesia yang menggunakan area perluasan Mas’a dari Safa ke Marwah yaitu sekitar 25 orang/menit, sedangkan pada jalur tengah (jaur kursi roda) jumlahnya sekitar 3 orang/menit, perbedaan ini relatif seimbang karena memang lebar jalur

Page 50: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina24

tengah adalah lebih kecil yaitu hanya sekitar 3 meter, sedangkan lebar area perluasan adalah sekitar 20 meter.

Pada saat menjelang shalat fardu daerah bagian tengah Mas’a dipadati orang-orang yang ingin shalat berjamaah, kecuali jalur yang diperuntukkan bagi kereta dorong atau kursi roda yang dikhususkan bagi orang tua dan jamaah yang sakit. Dalam kondisi demikian maka sebagian jalur tengah dari Marwah ke Safa tidak bisa dipakai untuk sa’i. Bagi jamaah haji yang melakukan sa’i pada waktu-waktu tersebut (menjelang shalat fardlu) mereka hanya dapat ber-sa’i di jalur pinggir atau jalur perluasan. Saat shalat fardlu dimulai semua jamaah haji akan bersama-sama melakukan shalat fardhu berjamaah dan menghentikan sa’i untuk sementara. Selesai shalat barulah mereka meneruskan sa’i-nya kembali.

Dari pengamatan selama di lapangan tersebut, baik saat Mas’a masih lengang maupun saat padat jamaah Indonesia yang melaksanakan sa’i menyebar dan merata baik pada bagian tengah maupun pinggir Mas’a, tidak nampak adanya jamaah haji Indonesia yang melaksanakan sa’i umrah maupun sa’i haji yang memaksakan diri melakukan sa’i dari Safa ke Marwah tetap pada jalur tengah yang sementara diyakini sebagai Mas’a lama (sebelum perluasan). Para jamaah haji Indonesia umumnya tampak melakukan sa’i secara bebas, ada yang terlihat sa’i di jalur tengah dan ada juga yang di area pinggir Mas’a. Mereka cenderung lebih memilih jalur yang masih kosong sehingga mereka dapat melakukan sa’i dengan leluasa.

Page 51: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 25

C. Pandangan Jamaah dan Pelaksanaan Mabit di Tawassu’ul Mina

1. Pandangan tentang Mabit di Tawassu’ul Mina

Tawassu’ul Mina atau perluasan Mina adalah tempat mabit sebagian jamaah haji selama pelaksanaan mabit di Muzdalifah dan mabit di Mina setelah pelaksanaan wukuf di Arafah. Mereka ditempatkan di Tawassu’ul Mina karena luas Mina yang hanya kurang lebih 600 hektar tidak lagi cukup menampung seluruh jamaah haji dari berbagai negara yang selama 3 hari (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) harus mabit di Mina.

Jamaah haji Indonesia yang di tempatkan di Tawassu’ul Mina jumlahnya ada 26.130 (dua puluh enam ribu seratus tiga puluh) jamaah, mereka menempati 9 maktab yaitu maktab 1 sd 9, dan berasal dari sektor 1 dan 2 yang sebelumnya ditempatkan di sekitar daerah Mahbas Jin. Lokasi Tawassu’ul Mina adalah di daerah Muzdalifah tepatnya perbatasan antara Muzdalifah dan Mina, jika berjalan dari arah Mina dari Jalan Suq Arab maka akan melewati Rumah Sakit Wadi Mina. Di samping Rumah Sakit tersebut terdapat tiang besar dan tinggi dengan papan besar tertulis ‘Bidayatul Muzdalifah’ (atau batas awal Muzdalifah), jika ingin ke lokasi tenda (khaimah) jamaah haji maka dari Rumah Sakit Wadi Mina masih harus terus berjalan jaraknya kurang lebih 300 s.d. 500 meter untuk Maktab 7, 8, dan 9, sedangkan untuk maktab 1 sd 6 Jaraknya sekitar 1 km s.d. 1,5 km.

Sesuai informasi dari Muassasah dan Daker Makkah pada haji 2011 ini ada 9 maktab dari jamaah haji

Page 52: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina26

Indonesia yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina. Mereka berasal dari sektor 1 dan 2 yaitu:

Tabel 1: Jamaan yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina

No Klo- ter

Embar- Kasi

Provin- si Gel.

Mak- tab

Sek- tor

Jum- Lah

1 2 3 4 5 6 7 8

1 16 JKS Jabar I 1 I 450

2 73 JKG Banten I 1 I 455

3 107 BPN Sulteng I 1 I 325

4 160 MES Sumut II 1 I 455

5 195 JKS Jabar II 1 I 450

6 284 BTJ Aceh I 1 I 325

7 377 JKS Jabar I 1 I 450

8 32 JKG DKI I 2 I 455

9 40 SUB Jatim I 2 I 450

10 68 PDG Jambi II 2 I 360

11 145 PDG Sumbar I 2 I 360

12 279 SOC DIY I 2 I 375

13 355 PDG Jabar I 2 I 450

14 419 PDG Jabar II 2 I 450

15 30 SOC Jateng I 3 I 375

16 69 JKG Banten I 3 I 455

17 75 UPG Sulsel I 3 I 360

18 199 BPN Sulteng I 3 I 325

19 221 MES Sumut II 3 I 455

20 234 MES Sumut I 3 I 455

21 386 JKG Banten II 3 I 455

22 56 PLM Sumsel I 4 I 360

Page 53: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 27

23 79 SOC Jateng I 4 I 375

24 175 SOC Jateng II 4 I 375

25 181 BDJ Kalsel II 4 I 325

26 264 PDG Sumbar II 4 I 360

27 319 SOC DIY I 4 I 375

28 321 JKG Banten II 4 I 455

29 325 BPN Kaltim II 4 I 325

30 81 SOC Jateng II 5 I 375

31 303 JKGC Lampung I 5 I 455

32 330 PLM Sumsel II 5 I 360

33 340 SUB Jatim II 5 I 450

34 469 JKS Jabar II 5 I 450

35 470 UPG Maluku+S

ulbar II 5 I 360

36 475 SUB Jatim II 5 I 450

37 25 SUB Jatim I 6 II 450

38 27 SOC Jateng I 6 II 375

39 52 MES Sumut I 6 II 455

40 86 JKS Jabar I 6 II 450

41 306 SOC Jateng II 6 II 375

42 323 JKS Jabar II 6 II 450

43 324 SOC DIY I 6 II 375

44 94 SUB Jatim I 7 II 450

45 220 SOC Jateng II 7 II 375

46 245 JKS Jabar I 7 II 450

47 259 JKG DKI II 7 II 455

48 342 PLM Sumsel I 7 II 360

49 372 SUB Jatim II 7 II 450

Page 54: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina28

50 389 PLM Sumsel+B

abel II 7 II 360

51 21 SOC Jateng I 8 II 375

52 33 JKG DKI I 8 II 455

53 136 UPG Sulbar II 8 II 360

54 184 MES Sumut II 8 II 455

55 196 MES Sumut I 8 II 455

56 322 BDJ Kalteng I 8 II 325

57 339 JKG Banten I 8 II 455

58 2 JKS Jabar I 9 II 450

59 76 SOC Jateng II 9 II 375

60 84 BDJ Kalsel I 9 II 325

61 247 BTC Aceh I 9 II 325

62 258 UPG Sulsel I 9 II 360

63 310 UPG Papua I 9 II 360

64 405 BDJ Kalsel II 9 II 325

65 436 OPG Sulsel+Sul

bar II 9 II 360

Jumlah: 26.130

Penempatan jamaah haji di Tawassu’ul Mina telah disosialisasikan kepada jamaah haji tiga hari sebelum pelaksanaan wukuf di Arafah. Pada saat keputusan itu diumumkan oleh pengurus Maktab bersama ketua sektor, maka banyak pertanyaan dari KBIH dan jamaah haji tentang hukum mabit di tempat tersebut. Namun pada umumnya setelah menerima penjelasan bahwa masalah hukum mabit di Tawassu’ul Mina adalah telah dibahas oleh para ulama baik di Arab Saudi maupun ulama-ulama di Indonesia dan diputuskan bahwa hukumnya adalah

Page 55: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 29

sah, maka saat itu sebagian besar pengurus KBIH dan jamaah dapat menerima keputusan tersebut.

Namun demikian, pandangan jamaah haji terkait mabit di Tawassu’ul Mina dapat dikategorikan menjadi tiga yaitu:

a) Pandangan yang menganggap bahwa mabit Mina di Tawassu’ul Mina adalah sah, mereka menerima penempatan di Tawassu’ul Mina dan mau menjalankan mabit di tempat tersebut.

b) Pandangan yang meyakini bahwa mabit Mina di Tawassu’ul Mina adalah tidak sah, golongan ini walaupun tidak secara terang-terangan menolak, namun secara pribadi tetap berkeyakinan tidak menganggap sah mabit Mina di Tawassu’ul Mina.

c) Pandangan yang meyakini bahwa hukum mabit di muzdalifah dan mabit di Mina adalah sunnah. Bagi mereka yang berpandangan sunnah maka mereka tidak mempersoalkan penempatan di Tawassu’ul Mina.

Perbedaan pandangan ini didasari oleh beragam alasan atau argumentasi. Adapun bagi yang menganggap sah mabit Mina di Tawassu’ul Mina argumentasinya adalah antara lain sebagai berikut:

Luas Mina sudah tidak memungkinkan untuk menampung seluruh jamaah haji yang begitu banyak, sehingga perkemahan jamaah haji menjadi melebar sampai ke luar batas Mina, ini adalah sah karena dapat diqiyaskan (diibaratkan) dengan bersambungnya (ittishal) shaf shalat, ketika masjid sudah tidak muat maka selagi barisan shalat itu terus menyambung

Page 56: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina30

maka bisa sah shalat di luar masjid sampai batas jauh sekalipun.26

Mabit di Tawassu’ul Mina telah disepakati kebolehannya (sah) oleh para ulama baik ulama asal Indonesia maupun ulama asal Arab Saudi, yang tentunya sudah mempertimbangkan berbagai dalil yang ada.27

Keputusan sahnya mabit di Tawassu’ul Mina adalah dikeluarkan oleh lembaga resmi yang kompeten yang memahami hukum syari’ah, baik itu dari Indonesia (MUI) maupun dari pemerintah Arab Saudi sebagai pemerintah yang selama ini mengatur masalah urusan haji.

Sedangkan argumentasi pendapat golongan yang menganggap tidak sah adalah karena batasan wilayah Mina adalah jelas, pemerintah Arab Saudi sendiri yang telah membuat papan petunjuk batas untuk wilayah Mina maupun Muzdalifah, menurut mereka mabit di luar batasan Mina adalah menyalahi apa yang telah ditentukan oleh Nabi saw. Namun demikian bagi yang terpaksa karena situasi dan kondisi tertentu sehingga mabit di Tawassu’ul Mina maka dapat menggantinya dengan membayar dam.28

Sedangkan bagi yang berpendapat bahwa mabit Muzdalifah maupun Mina adalah sunnah adalah karena adanya penjelasan pengurus Maktab yang menyatakan bahwa mereka nanti di tempatkan di Tawassu’ul Mina,

26 Wawancara dengan KH. Ahmad Suhud Khoir, tanggal 1-11-2011 27 Wawancara dengan KH. Abu Bakar Adenan tanggal 2-11-2011, dan

wawancara dengan H.M. Sukarya tanggal 6 -11-2011 28 Wawancara dengan KH. Rohmat An Nashih, tanggal 10-11-2011

Page 57: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 31

bahwa hukum mabit di Tawassu’ul Mina adalah sah dengan dijelaskan berbagai alasannya. Dalam kesempatan itu dijelaskan pula bahwa ada ketentuan madzhab yang menyatakan bahwa hukum mabit adalah sunnah. Penjelasan bahwa ada hukum yang menyatakan hukum mabit itu sunnah inilah yang kemudian diikuti (dijadikan pedoman) oleh sebagian jamaah.29

2. Pelaksanaan Mabit di Tawassu’ul Mina

a. Pelaksanaan Mabit di Tawassu’ul Mina

Dalam penjelasan sebelumnya telah disebutkan bahwa ada tiga pandangan jamaah haji terkait mabit di Tawassu’ul Mina, ada yang menganggap sah, ada yang menganggap tidak sah, dan ada yang menganggap hukum mabit di Mina itu sunnah. Pada saat pelaksanaan di lapangan, terlihat jelas adanya perbedaan praktik dari para jamaah haji. Secara umum praktik pelaksanaan mabit dapat dikategorikan menjadi empat yaitu sebagai berikut:

1) Melaksanakan mabit Muzdalifah dan mabit Mina sama-sama di tenda yang ada di lokasi Tawassu’ul Mina. Setelah tiba dari Arafah, mereka langsung menuju tenda dan melaksanakan mabit Muzdalifah di tenda tersebut, besoknya untuk pelaksanaan mabit Mina (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) mereka juga melakukannya di tempat yang sama.

2) Melaksanakan mabit Muzdalifah di tenda Tawassu’ul Mina tapi untuk mabit Mina pindah ke wilayah Mina (tidak di Tawassu’ul Mina), mereka setelah tiba dari

29 Wawancara dengan H. Jawadi Abdul Azis, tanggal 7-11-2011

Page 58: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina32

Arafah, langsung ke tenda dan mabit Muzdalifah di tenda tersebut, dan malam berikutnya mereka keluar dari tenda dan masuk wilayah Mina untuk pelaksanaan mabit Mina, demikian pada hari berikutnya mereka ulangi kembali.

3) Melaksanakan mabit Mina di Tawassu’ul Mina karena Tawassu’ul Mina dianggap Mina. Setibanya dari Arafah mereka menaruh barang-barang bawaan di tenda, kemudian mundur dulu ke arah belakang dari tenda baik hanya untuk beberapa meter maupun mundur agak jauh dari tenda untuk mabit Muzdalifah, karena menganggap Tawassu’ul Mina bukan Muzdalifah. dan mengambil batu, setelah tengah malam masuk kembali ke tenda Tawassu’ul Mina.

4) Melaksanakan mabit Muzdalifah di Tawassu’ul Mina tapi esok harinya menjelang magrib mereka keluar dan masuk wilayah Mina melaksanakan lempar jumrah Aqabah dan mabit di wilayah Mina, setelah itu pulang ke hotel/pemondokan bukan ke tenda Tawassu’ul Mina dan tidak kembali lagi ke tenda, karena jarak antara hotel/pemondokan ke jamarat lebih dekat dari pada jarak antara Tawassu’ul Mina dengan jamarat. Meskipun mereka tahu bahwa mereka tidak mendapat makan dan minum sebagaimana jamaah haji yang di Tawassu’ul Mina.

Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan lapangan selama di Maktab 1 dan 5, secara umum jamaah haji Indonesia dalam praktiknya lebih banyak yang mengikuti cara yang pertama. Secara lebih jelas perbandingannya dapat dilihat dalam tebel berikut:

Page 59: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 33

Tabel 2: Praktik Mabit Muzdalifah dan Mina

Kelo- ter

Ketua Kloter (Informan)

Praktik Mabit Muzdalifah dan Mabit Mina Cara

Pertama Cara Kedua Cara Ketiga Cara Keempat

Maktab 1 5 JKS H.Mu’min Mayoritas Tidak ada Tidak ada 12 orang 4 BPN H.Zulkifli Semua Tidak ada Tidak ada Tidak ada

16 MES H.Zulkarnaen Harahap

Semua Tidak ada Tidak ada Tidak ada

38 JKS H.Jajang Mayoritas Tidak ada 5 KBIH Tidak ada

47 JKS H.Urip Maryono

Tidak ada Beberapa jamaah

6 rombongan (240 orang)

2 rombongan (90 orang)

3 JKS H.Mulyana Mayoritas Tidak ada 1 rombongan

3 rombongan (130 orang)

12 BTJ H.Mukzi Abdullah

Mayoritas 2 rombongan (90 orang)

Sekitar 10 orang

Sebagian dari yg cara kedua

Maktab 5 81 JKS H.Sambas

Fauzi Tidak ada Semua Tidak ada Tidak ada

19 JKG Syarif Husain Mayoritas Tidak ada 1 rombongan (45 orang)

156 orang

45 SOC H.Imam Thobroni

Sebagian Tidak ada Tidak ada 6 rombongan (289 orang)

18 JKG H. Mufid Mayoritas Tidak ada Tidak ada 4 rombongan (150 orang)

81 JKS H.Sambas Fauzi

Tidak ada Semua Tidak ada Tidak ada

84 SUB H.Sonhaji 150 orang Tidak ada Tidak ada 7 rombongan (300 orang)

66 SUB H.Sa’dun Mayoritas Tidak ada Tidak ada 5 orang

Page 60: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina34

3. Pelaksanaan Melempar Jumrah bagi Jamaah yang di Tawassu’ul Mina

Melempar jumrah adalah salah satu di antara wajib haji. Para jamaah haji yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina umumnya dapat melaksanakan ketentuan yang telah disampaikan oleh PPIH Arab Saudi. Dalam Surat Edaran No 0898/H/X/2011 tentang Himbauan dan Persiapan Armina yang ditandatangani oleh Ketua PPIH Arab Saudi selaku Penanggung Jawab Satops Armina tertanggal 30 Oktober 2011 disebutkan beberapa hal antara lain

Bahwa selama di Mina jamaah haji tidak melempar jumrah pada waktu-waktu yang dilarang bagi jamaah haji Indonesia, yaitu pada waktu sebagai berikut:

a. Tanggal 10 Zulhijjah : Pukul 08.00 – 11.00

b. Tanggal 11 Zulhijjah : Pukul 11.00 - 15.00

c. Tanggal 12 Zulhijjah : Pukul 11.00 - 15.00

d. Tanggal 13 Zulhijjah : Pukul 11.00 - 15.00

Para jemaah yang hendak melaksanakan lempar jumroh agar tidak pergi sendirian, tetapi secara berombongan dan sebaiknya menghindari waktu-waktu panas matahari.

Untuk pelaksanaan melempar jumrah Aqabah (Kubra) umumnya para jamaah melaksanakannya pada waktu sebelum fajar tanggal 10 Dzulhijjah dipimpin oleh ketua kloter dibantu karom dan karu masing-masing. Adapun untuk pelaksanaan melempar jumrah pada hari tasyrik (tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah) adalah bervariasi, pada umumnya dilakukan pada dini hari, menjelang tengah malam mereka sudah berangkat menuju tempat

Page 61: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 35

melempar jumrah, sebagian rombongan jamaah ada juga yang berangkat menjelang magrib dan melempar jumrah setelah magrib atau isya.

Hal yang telah disebutkan di atas, adalah pelaksanaan melempar jumrah bagi jamaah haji yang berkeyakinan bahwa mabit di Tawassu’ul Mina adalah sah, sedangkan bagi jamaah haji yang menganggap tidak sah maka dalam perakteknya adalah sebagai berikut :

a. Untuk pelaksanaan pada tanggal 10 Dzulhijjah, yaitu pelaksanaan melempar jumrah Aqabah. Ada dua macam, bagi jamaah yang tidak menganggap sah mabit di Tawassu’ul Mina maka menjelang magrib pergi dari Tawassu’ul Mina menuju Mina untuk mabit, setelah tengah malam baru melempar jumrah. Sedangkan jamaah yang akan pulang ke hotel, maka mereka melempar jumrah setelah magrib dan langsung mabit, sebelum akhirnya menuju ke hotel.

b. Untuk pelaksanaan pada tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah ada beberapa perbedaan yaitu:

Bagi yang menginap di Tawassu’ul Mina, mereka menjelang shalat magrib masuk ke Mina lalu mabit disana, mereka umumnya duduk-duduk dengan menggelar tikar di pinggir jalan, menjelang tengah malam mereka berangkat menuju tempat melempar jumrah dan melempar jumrah setelah lewat tengah malam, setelah itu mereka kembali ke tenda di Tawassu’ul Mina.

Bagi yang menginap di hotel/pemondokan, maka praktiknya hampir sama dengan di atas, yaitu menjelang shalat magrib mereka masuk ke wilayah

Page 62: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina36

Mina lalu mereka mabit disana, mereka duduk-duduk dengan menggelar tikar di pinggir jalan dekat tempat melempar jumrah, setelah lewat tengah malam barulah melempar jumrah, setelah itu mereka kembali ke hotel.

4. Harapan Jamaah Haji terkait penempatan di Tawassu’ul Mina

Sejauh pengamatan di lapangan terkait penempatan sebagian jamaah haji di Tawassu’ul Mina, maka ada dua hal yang perlu mendapat perhatian yaitu:

a. Jarak antara Khaimah dengan melempar Jumrah

Jarak tempat melempar jumrah dengan Tawassu’ul Mina adalah cukup jauh, yaitu antara 6 s.d 7 kilo meter, jika jamaah pulang pergi melempar jumrah maka berarti mereka berjalan menempuh jarak antara 12 s.d 14 kilo meter, padahal kondisi jamaah haji Indonesia umumnya lebih lemah dibanding bangsa-bangsa lain, apalagi sebagian adalah orang-orang lanjut usia maka hal tersebut menimbulkan banyak masalah antara lain, pertama, setelah pulang melempar jumrah banyak jamaah yang mengeluh karena lelah, kaki sakit atau lecet, dan lain-lain. Kedua, beberapa jamaah yang lanjut usia dan sakit yang tidak sanggup berjalan jauh terpaksa di-badalkan (digantikan) melempar jumrah. Ketiga, ada juga kasus beberapa jamaah yang tersesat dan hilang. Sementara itu disepanjang jalan antara Tawassu’ul Mina dan tempat melempar jumrah jumlah petugas sangat minim, petugas justru dijumpai di saat siang hari. Saat tengah malam atau dini hari tidak

Page 63: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 37

dijumpai adanya petugas padahal jamaah umumnya melempar jumrah di waktu tengah malam.

b. Kondisi tenda (khaimah)

Kondisi tenda di Tawassul Mina hampir dapat katakan sama dengan tenda umumnya yang ada di Mina, jumlah jamaah haji yang begitu banyak tapi ditempatkan dalam tenda yang terbatas sehingga padat dan berdesakan. Para jamaah haji merasa kesulitan ketika hendak tidur atau sekedar beristirahat karena luas tenda ternyata adalah sekitar 1 m2/orang, jika mereka memanjangkan kaki maka akan mengenai badan atau kaki orang lain. Kondisi demikian nampaknya merata pada semua tenda kecuali pada tenda yang sebagian jamaahnya ada yang pergi ke hotel/pemondokan maka situasinya bisa agak longgar.30

Banyak jamaah yang mengeluh dan tidak nyaman dengan kondisi ini, apalagi ketika pulang melempar jumrah dalam keadaan lelah tapi tenda demikian padat berdesakan padahal mereka butuh istirahat meluruskan kaki. Ketika menjelang shalat fardlu, di tempat wudlu atau toilet juga terlihat barisan jamaah mengantri, orang yang hendak ke toilet harus berdiri untuk antri antara 4 sd 5 orang, karena terbatasnya jumlah toilet.

30 Pada tenda yang ditempati jamaah dari kloter 84 Jawa Timur misalnya,

yang sebagian besar jamaahnya (300 orang) setelah melempar jumroh kemudian kembali ke hotel, maka tenda yang tersedia relatif leluasa untuk jamaah yang tidak pulang ke hotel. Malahan, atas kesepakatan antar ketua kloter, satu tenda ditempati jamaah dari kloter lain yaitu kloter 66 Jawa Timur.

Page 64: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina38

Untuk itu ada beberapa harapan atau usulan para jamaah haji terkait penempatan mereka di Tawassu’ul Mina yaitu antara lain:

a. Fisik jamaah Indonesia yang umumnya tidak sekuat bangsa-bangsa lain, sedangkan jarak ke melempar jumrah cukup jauh, untuk itu mereka mengusulkankan pemerintah Indonesia berupaya keras ke pemerintah Arab Saudi agar yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina adalah bukan dari bangsa Indonesia.

b. Jika memang tidak ada pilihan lain, mereka usul sebagai kompensasinya adalah luas tenda harus memadai, juga jumlah toilet harus mencukupi, sehingga tidak berdesakan dan harus antri seperti saat ini.

c. Mengingat jarak yang cukup jauh, mereka ingin agar dapat memperingan agar ada bus yang bisa menghantar dan menjemput mereka ke jarak yang memungkinkan lebih dekat ke tempat melempar jumrah, minimal sampai batas awal (bidayah) Mina atau sampai Rumah Sakit Wadi Mina.

d. Ketika perjalanan dari Arafah ke Muzdalifah, mereka langsung ke tenda Maktab di Tawassu’ul Mina, hal ini menimbulkan kebingungan sebab mereka melakukan dua mabit (Muzdalifah dan Mina) pada tempat yang sama, untuk itu mereka mengusulkan agar diperlakukan sama dengan jamaah lain, yaitu sebelum ke Tawassu’ul Mina mereka ditengah perjalanan mabit dahulu di lokasi mabit Muzdalifah yang biasa bagi jamaah Indonesia.

Page 65: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 39

BAB 4

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pandangan jamaah haji terkait masalah sa’i di perluasan Mas’a ada beberapa pandangan yaitu: pertama, mayoritas jama’ah Indonesia berkeyakinan bahwa lebar Mas’a yang ada saat ini masih antara Safa dan Marwah sehingga sah melakukan sa’i di manapun di bagian Mas’a yang ada. Kedua, sebagian jamaah berkeyakinan bahwa untuk kehati-hatian jika memungkinkan mereka sa’i di Mas’a yang lama. Ketiga, ada yang menyatakan sa’i harus di tempat sebelum perluasan, yaitu di lantai dasar dan di bagian Mas’a yang lama. Hampir dapat dikatakan mayoritas jamaah haji dapat menerima dan tidak mempersoalkan lebar Mas’a yang ada saat ini, sekalipun ada pendapat yang berbeda tapi pada dasarnya mereka juga bisa menerima apa yang menjadi pendapat para ulama umumnya yang menerima perluasan Mas’a.

Dalam praktik sa’i, baik saat keadaan Mas’a masih lengang maupun saat padat, jamaah Indonesia melaksanakan sa’i di Mas’a secara menyebar merata, baik pada bagian tengah maupun pinggir Mas’a, tidak nampak adanya kecenderungan jamaah haji Indonesia yang melaksanakan sa’i umrah maupun sa’i haji yang memaksakan diri melakukan sa’i dari Safa ke Marwah pada jalur tengah yang diyakini sebagai Mas’a lama (sebelum perluasan).

Page 66: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina40

2. Pandangan jamaah haji Indonesia yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina terhadap mabit adalah bervariasi. Pertama, Mayoritas jamaah menerima adanya Tawassu’ul Mina karena berbagai pertimbangan dan hal itu telah dibahas dan dinyatakan boleh oleh ulama baik dari Arab Saudi maupun Indonesia. Kedua, ada sebagian jamaah haji yang menolak dengan alasan bahwa mabit di luar batasan Mina adalah menyalahi apa yang telah ditentukan oleh Nabi saw. Ketiga, ada juga jamaah yang tidak mempermasalahkan (cenderung menerima) mabit di perluasan mina karena alasan mabit dianggap sunnah hukumnya sehingga jika tidak dilaksanakan tidak bermasalah.

3. Dalam praktik pelaksanaan mabit jamaah haji yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina masih terdapat variasi. Mayoritas jamaah haji melaksanakan mabit Muzdalifah dan mabit Mina di tempat yang sama yaitu di tenda Tawassu’ul Mina, ada juga sebagian yang saat sampai di tenda kemudian keluar dan mundur dahulu beberapa jarak untuk melaksanakan mabit Muzdalifah, sampai tengah malam baru masuk tenda Tawassu’ul Mina. Sedangkan bagi yang menolak mereka terbagi dua. Pertama, mabit di Muzdalifah-nya (10 Dzulhijjah) dilakukan di tenda Tawassu’ul Mina, sedang mabit Mina-nya (11, 12 dan 13, Dzulhijjah) di Mina. Kedua, mabit Muzdalifah-nya (tanggal 10 Dzulhijjah) di Tawassu’ul Mina tapi untuk mabit Mina-nya (11 Dzulhijjah) di Mina kemudian pulang ke hotel/ pemondokan.

4. Jamaah yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina, baik yang menginap di tenda maupun yang di hotel, mereka umumnya melakukan lempar jumrah setelah lewat tengah

Page 67: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 41

malam. Namun waktu dan teknik keberangkatannya berbeda. Bagi yang menganggap sah mabit di Tawassu’ul Mina maka menjelang tengah malam berangkat dari tenda menuju lempar Jumrah. Sedangkan yang menganggap mabitnya harus di Mina maka menjelang magrib keluar tenda atau hotel menuju Mina untuk mabit dan melempar jumrah. Mereka duduk-duduk dengan menggelar tikar di pinggir jalan sampai menjelang tengah malam, setelah itu mereka kembali ke tenda di Tawassu’ul Mina atau hotel/pemondokan.

5. Terdapat beberapa harapan jamaah haji yang di tempatkan di Tawassu’ul Mina yaitu:

a) Luas tenda agar memadai bagi jamaah,

b) toilet agar ditambah,

c) agar disediakan mobil bus yang bisa menghantar dan menjemput mereka ke jarak yang memungkinkan lebih dekat ke tempat melempar jumrah,

d) sebelum ke Tawassu’ul Mina (dari Arafah) saat di tengah perjalanan bus agar berhenti dahulu untuk mabit di lokasi mabit Muzdalifah seperti jamaah Indonesia yang lainnya.

Bagi yang menginap di hotel mereka berharap agar pihak maktab menyediakan konsumsi bagi mereka.

B. Rekomendasi

Dari berbagai alasan dan pertimbangan adanya kebijakan penempatan sebagian jamaah haji di Tawassu’ul Mina serta fakta-fakta umum yang ditemukan dilapangan

Page 68: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina42

selama penelitian maka kebijakan penempatan sebagian jamaah haji di Tawassu’ul Mina pada dasarnya dapat diteruskan namun dalam pelaksanaanya agar memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

1. Kementerian Agama melalui Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh perlu terus menyosialisasikan masalah Mas’a, bahwa perluasan Mas’a sudah diterima dan didukung mayoritas ulama, perluasan Mas’a semakin menambah kekhusyuan dan kenyamanan bagi jamaah dalam beribadah sa’i. Adapun masalah hukum Tawassu’ul Mina maka sosialisasi harus lebih intensif kepada semua ketua kloter dan TPIHI saat pelaksanaan pelatihan dan bimbingan, kemudian mereka agar mensosialisasikan kembali ke karom dan karu. Hal ini penting karena banyak jamaah yang menanyakan hal tersebut kepada ketua keloter, karom dan karu tapi mereka tidak memahami dan tidak dapat memberi jawaban yang memadai, sehingga jamaah haji menjadi kebingungan.

2. Kementerian Agama melalui Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh perlu bernegosiasi dengan pihak Maktab yang ada di Tawassu’ul Mina untuk memberikan kompensasi terhadap jamaah haji yang ditempatkan di Tawassu’ul Mina yaitu dengan:

a. Mengupayakan adanya tenda yang nyaman dan toilet yang memadai bagi jamaah, untuk tenda luasnya minimal antara 1 x 2 m/orang dan toilet minimal 1 toilet untuk 40 orang.31

31 Ukuran luas tenda dan kapasitas toilet didasarkan atas Sphere Project,

yaitu standar minimum yang disepakati internasional dalam pemenuhan hak dasar kemanusiaan bagi penanganan pengungsi, untuk luas tenda adalah 4 m2 /orang, dan jumlah toilet adalah 1 toilet/20 orang.

Page 69: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 43

b. Mengupayakan agar disediakan bus untuk menghantar jamaah dari tenda ke jarak yang memungkinkan lebih dekat ke tempat melempar jumrah, minimal sampai batas awal (bidayah) Mina atau sampai Rumah Sakit Wadi Mina.

3. PPIH hendaknya dapat menambah petugas haji di sepanjang jalan menuju tempat melempar jumrah, yaitu dengan menugaskan minimal setiap jarak 250 meter 1 orang petugas berseragam dan membawa bendera Indonesia, sehingga akan meminimalisir adanya jamaah yang tersesat. Hal ini berlaku 24 jam, karena bagi jamaah haji Indonesia khususnya yang di Tawassu’ul Mina pada umumnya berangkat ke tempat melempar jumrah pada malam hari.

4. Untuk memfasilitasi jamaah yang berkeyakinan harus mabit di Mina, Kementerian Agama agar bernegosiasi dengan pemerintah Saudi Arabia untuk menyediakan lokasi transit bagi jamaah di Mina, sehingga jamaah tidak sampai duduk-duduk atau tiduran di tepi jalan dan tidak diusir-usir oleh pihak keamanan. Lokasi transit tersebut berupa tempat duduk-duduk yang relatif bersih, ada fasilitas toilet, serta air minum.

5. Mengingat jumlah jamaah yang pulang ke hotel (tidak menetap di Tawassu’ul Mina) sudah bisa diproyeksikan, maka pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyediakan makan bagi mereka sebagaimana jamaah yang tinggal di tenda.

Makkah, 13 November 2011

Page 70: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina44

Page 71: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 45

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang dan Diklat Kemenag, Perluasan Mas’a, Jamarat dan Mabit di Luar Mina, 2008

Departemen Agama RI, Tuntunan Keselamatan Do’a dan Dzikir Ibadah Haji, 2008

John M. Echol, Kamus Bahasa Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1996

Ki Fudyartanta, Psikologi Umum, Jakarta: Pustaka Belajar, 2011

M. Ali Hasan, Tuntunan Haji, Suatu Pengalaman dan Kesan Menunaikan Ibadah Haji, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001

Mahmud Muhammad Hamo, Makkah Al Mukarramah Sejarah dan Monumen, 2010

Mar’at, Sikap Manusia Terhadap Perubahan serta Pengukurannya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982

Muhammad Ilyas Abdul Ghani, Sejarah Makkah, tt

Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, Bandung: CV Pustaka Setia, 1996

Informan Penelitian:

1. KH.Hasyim Muzadi dari Jawa Timur

2. H.Miftah Zarkasih dari Purworejo Jawa Tengah

3. KH.Abdul Khafid dari Magelang Jawa Tengah

Page 72: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina46

4. H.Suhaimi dari Kalimantan Selatan

5. KH.Sofwan dari Surabaya

6. H.Sun’an dari Lamongan Jawa Timur

7. H.Ahmad Suhud Khoir dari Kendal Jawa Tengah

8. H.Hasan Juwaini dari Palembang Sumatera Selatan

9. KH.Abubakar Adenan Siregar dari Medan Sumatera Utara

10. H.Syarif Hidayat dari Ciamis Jawa Barat

11. KH.Mohammad Maulani dari Kalimantan Selatan

12. KH.Ahmadi H. Syukan Nafis dari Kalimantan Selatan

13. KH.Rohmat An Nashih Pimpinan Pondok Pesantren Al Muhajirin Wal Anshar, Sidogede, Prembun

14. H.Jawadi Abdul Azis dari Mekkah Penghubung Maktab 5

15. H.Sukarya dari Krawang Jawa Barat

16. H.Jawadi Abdul Azis Pengurus Maktab

17. H.Mu’min Ketua Kloter 5 JKS

18. H.Zulkifli Ketua Kloter 4 BPN

19. H.Zulkarnaen Harahap Ketua Kloter 16 MES

20. H.Jajang Ketua Kloter 38 JKS

21. H.Urip Maryono Ketua Kloter 47 JKS

22. H.Mulyana Ketua Kloter 3 JKS

23. H.Mukzi Abdullah Ketua Kloter 12 BTJ

24. H.Sambas Fauzi Ketua Kloter 81 JKS

25. H.Syarif Husain Ketua Kloter 19 JKG

Page 73: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 47

26. H.Imam Thobroni Ketua Kloter 45 SOC

27. H.Mufid Ketua Kloter 18 JKG

28. H.Sambas Fauzi Ketua Kloter 81 JKS

29. H.Sonhaji Ketua Kloter 84 SUB

30. H.Sa’dun Ketua Kloter 66 SUB

Page 74: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina48

Page 75: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 49

INDEKS

A Afeksi, 8 Armina, 16, 34

C Connation, 8

J Jamarat, 4, 12, 14, 45

K Kementerian Agama, 11, 13, 42,

43 Khaimah, 36 Kognisi, 8

M Mabit, 11, 12, 25, 30, 31, 33, 45 Makkah, 1, 2, 3, 9, 12, 15, 22, 25,

43, 45 Maktab, 13, 25, 28, 30, 32, 33, 38,

42, 46

Muzdalifah, 1, 2, 11, 14, 16, 17, 25, 30, 31, 32, 33, 38, 40, 41

P Perilaku, 7 PPIH, 17, 34, 43 Praktik Mabit, 33

R Rumah Sakit Wadi Mina, 25, 38,

43

S Safa, 8, 9, 10, 18, 19, 21, 23, 24, 39

T TPIHI, 14, 42

W Wawancara, 14, 20, 21, 22, 30, 31

Page 76: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina50

Page 77: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina 51

Lampiran

Gambar 1: Prakiraan gambar Mas’a (sebelum perluasan tahun 1955)

Gambar 2: perluasan Mas’a (1) tahun 1955

Page 78: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai

Perilaku Jama’ah Haji dalam Pelaksanaan Sa’i di Perluasan Mas’a dan Mabit di Tawassu’ul Mina52

Gambar 3: Proyek perluasan Mas’a (tahun 2007)

Gambar 4: Perluasan Mas’a (Tahu 2007)

Page 79: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai
Page 80: PERILAKU JAMA’AH HAJI DALAM PELAKSANAAN SA’I DI … · Atas dasar pertimbangan tersebut maka hukum sa’i di mas`â yang telah diperluas itu, baik di lantai dasar maupun lantai