pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

172
PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI INDONESIA (Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006) Editor: M. Yusuf Asry KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN JAKARTA, 2011

Upload: vuongtram

Post on 27-Jan-2017

327 views

Category:

Documents


22 download

TRANSCRIPT

Page 1: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

i

PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI INDONESIA

(Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dam 8 Tahun 2006)

Editor: M. Yusuf Asry

KEMENTERIAN AGAMA RI BADAN LITBANG DAN DIKLAT

PUSLITBANG KEHIDUPAN KEAGAMAAN JAKARTA, 2011

Page 2: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

ii

Perpustakaan Nasional: katalog dalam terbitan (KDT)

pendirian rumah ibadat di indonesia (pelaksanaan peraturan bersama menteri agama dan menteri dalam negeri nomor 9 dan 8 tahun 2006)/ Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Ed. I. Cet. 1. ------- Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2011 xxviii + 144 hlm; 15 x 21 cm ISBN : 978-979-797-327-8 Hak Cipta pada Penerbit Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk dengan cara menggunakan mesin fotocopy, tanpa izin sah dari penerbit Cetakan Pertama, Nopember 2011

PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI INDONESIA (Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006)

Editor: M. Yusuf Asry Desain cover dan Lay out oleh: Suka Penerbit: Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI Jl. MH. Thamrin No. 6 Jakarta Telp/Fax. (021) 3920425, 3920421

Page 3: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

iii

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan

Puji syukur kepada Allah SWT., Tuhan Yang Maha

Esa, “Penerbitan Naskah Buku Kehidupan Keagamaan” ini akhirnya dapat diwujudkan. Penerbitan buku ini, merupakan hasil kegiatan penelitian dan pengembangan Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI pada tahun 2010. Kami menghaturkan ucapan terimakasih kepada para pakar dalam menulis prolog, juga kepada para editor buku ini yang secara tekun telah menyelaraskan laporan hasil penelitian menjadi sebuah buku yang telah diterbitkan, yang hasilnya dapat dibaca oleh masyarakat secara luas.

Pada tahun 2011 ini ditetapkan 9 (sembilan) naskah buku untuk diterbitkan, yang meliputi judul-judul buku sebagai berikut: 1. Dimensi-Dimensi Kehidupan Beragama: Studi tentang

Paham/Aliran Keagamaan, Dakwah dan Kerukunan, editor: Nuhrison M. Nuh.

2. Perkembangan Paham Keagamaan Lokal di Indonesia, editor: Achmad Rosidi.

3. Perkembangan Paham Keagamaan Transnasional di Indonesia, editor: Ahmad Syafi’i Mufid.

4. Keluarga Harmoni dalam Perspektif Berbagai Komunitas Agama, editor: Kustini.

5. Kepuasan Jamaah Haji terhadap Kualitas Penyeleng-garaan Ibadat Haji Tahun 1430 H/2009 M, editor: Imam Syaukani.

6. Bantuan Sosial Kementerian Agama RI bagi Rumah Ibadat dan Ormas Keagamaan, editor: Muchit A Karim.

Page 4: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

iv

7. Pendirian Rumah Ibadat di Indonesia (Pelaksanaan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006), editor: M. Yusuf Asry.

8. Potret Kerukunan Umat Beragama di Provinsi Jawa Timur, editor: Haidlor Ali Ahmad.

9. Islam In A Globalized World, penulis M. Atho Mudzhar.

Untuk itu, kami menyampaikan terimakasih setinggi-tingginya kepada para peneliti yang telah “merelakan” karyanya untuk kami terbitkan, serta kepada semua pihak yang telah memberikan kontribusi bagi terlaksananya program penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini. Semoga penerbitan karya-karya hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan khazanah sosial keagamaan, serta ikut memberikan pencerahan kepada masyarakat secara lebih luas tentang pelbagai perkembangan dan dinamika sosial kegamaan yang terjadi di Indonesia. Penerbitan buku ini dapat dilakukan secara simultan dan berkelanjutan setiap tahun, untuk memberikan cakrawala dan wawasan kita sebagai bangsa yang memiliki khasanah keagamaan yang amat kaya dan beragam.

Tentu saja tidak ada gading yang tak retak, sebagai usaha manusia, penerbitan ini pun masih menyimpan berbagai kekurangan baik tampilan dan pilihan huruf, dimana para pembaca mungkin menemukan kejanggalan dan kekurangserasian. Dalam pengetikan, boleh jadi juga ditemukan berbagai kesalahan dan kekeliruan yang mengganggu, dan berbagai kekeliruan dan kejanggalan lainnya.Untuk itu kami mohon maaf. Tetapi yakinlah, berbagai kekurangan dan kekhilafan itu bukan sesuatu yang disengaja. Itu sepenuhnya disebabkan kekurangtelitian para editor maupun tim pengetikan. Semoga berbagai kekurangan

Page 5: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

v

dan kelemahan teknis itu dapat dikurangi pada penerbitan berikutnya.

Akhirnya, ucapan terimakasih kami haturkan kepada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI yang telah memberikan arahan demi tercapainya tujuan dan sasaran penerbitan naskah buku kehidupan keagamaan ini.

Jakarta, November 2011 Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D NIP. 19600416 198903 1 005

Page 6: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

vi

Page 7: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

vii

Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI

Assalamu’alaikum wr. Wb. Salam sejahtera bagi kita semua

Suatu kebijakan dan instrumen pendoman penting dalam memelihara kerukunan uamt beragama ialah ditetapkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Selanjutnya disebut dengan PBM Tahun 2006.

PBM tahun 2006 merupakan kesepakatan majelis-majelis agama tingkat pusat yang terdiri dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI), Parisadha Hindu Dharma Indonesia (PHDI) dan Perwakilan Umat Budha Indonesia (WALUBI) bersama wakil dari Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri. Hasil kesepakatan tersebut disahkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri pada tanggal 21 Maret 2006.

Sejak disahkan PBM tersebut dan diikuti langkah sosialisasi kepada para pejabat terkait, pemuka agama dan tokoh masyarakat tingkat pusat hingga daerah untuk kemudian diimplementasikan. Hasilnya telah terbentuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) provinsi dan Kabupaten/Kota. Implementasi regulasi ini sebagaimana dipaparkan dalam hasil penelitian, sangat memberikan

Page 8: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

viii

pengaruh yang cukup signifikan bagi terpeliharanya kerukunan umat beragama.

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI terus mengawal implementasi PBM tersebut dengan melakukan penelitian dan mempublikasikannya kepada masyarakat luas melalui buku-buku. Pada tahun 200 telah diterbitkan hasil penelitian dengan judul: “Efektivitas Sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006”. Menyusul tahun 2010 juga telah diterbitkan hasil penelitian berjudul: “Peranan Forum Kerukunan Umat Beragama dalam Pelaksanaan Pasal 8, 9 dan 10 PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006”. Dan pada tahun 2011 ini, diterbitkan lagi hasil penelitian berjudul: “Pendirian Rumah Ibadat di Berbagai Daerah: Pelaksanaan PBM No 9&8 Tahun 2006”.

Rumah ibadat bagi tiap agama merupakan pusat kegiatan dan kebudayaan. Oleh karena itu, keberadaan rumah ibadat merupakan kebutuhan bagi tiap agama. Untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan beribadat, perlu dibuat peraturan yang menjadi landasan pokoknya. Masalah pemeliharaan kerukunan, keberadaan FKUB dan pendirian rumah ibadat merupakan substansi yang dimuat dalam PBM tahun 2006 tersebut.

Buku ini mengungkapkan beberapa kasus berikut faktor-faktor penyebab atau adanya penolakan. Kasus ini bukan hanya menimpa suatu agama tertentu, melainkan dialami oleh semua penganut agama. Inilah tantangan bagi kita sebagai bangsa yang cinta damai dan rukun dalam kebersamaan. Kita yakin, dengan berdisiplin diri mematuhi PBM tahun 2006 disertai dengan pengamalan kearifan lokal yang mendukung kerukunan dan semangat toleransi sosial yang positif, niscaya pendirian rumah ibadat akan dapat dilaksanakan dengan damai. Kasus-kasus salah paham akan dapat diminimalisasi dan mampu diatasi dengan baik.

Page 9: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

ix

Buku ini diharapkan menjadi buku yang informatif, menyajikan informasi seputar pendirian rumah ibadat yang ada pada tiap-tiap agama dengan harapan umat beragama makin memahami betapa pentingnya sosialisasi dan implementasi PBM Tahun 2006.

Saya menyambut baik penerbitan hasil penelitian ini sebagai bagian upaya sosialisasi PBM Tahun 2006, secara khusus mengenai pendirian rumah ibadat. Ucapan terima kasih khususnya disampaikan kepada Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan dan umumnya kepada para peneliti yang telah melaksanakan tugas dengan baik.

Semoga buku ini dapat menjadi referensi dalam rangka memelihara kerukunan umat beragama.

Jakarta, November 2011

Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA NIP. 19570414 198203 1 003

Page 10: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

x

Page 11: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xi

PROLOG

Prof. Dr. H.M. Ridwan Lubis

Dosen Jurusan Perbandingan Agama Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Salah satu kebijakan penting dalam bidang politik

keagamaan di Indonesia adalah keberhasilan pemerintah bersama para wakil-wakil majelis agama menapaki jalan terjal di tengah badai “kecurigaan” antara sesame umat beragama di Indonesia pasca kegagalan pertemuan wakil-wakil majelis agama pada tahun 1967 di awal era orde baru. Keberhasilan itu adalah melahirklan sebuah produk aturan yang menjadi pedoman dalam penataan kehidupan umat beragama di Indonesia yaitu Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006 disingkat PBM. Peraturan tersebut diputuskan secara final setelah melalui perdebatan panjang sejak tanggal 28 Oktober 2005 sampai akhirnya ditandatangani secara bersama pada tanggal 21 Maret 2006. Tentulah kritik masih banyak dialamatkan kepada peraturan bersama ini antara lain dipandang bahwa PBM belum menyelesaikan persoalan mengingat posisinya hanya sekedar peraturan menteri yang tidak ada ikatan sanksi hukum sementara kepatuhan hanya diharapkan berdasar pada komitmen moral dari semua kelompok agama. Akan tetapi dengan penetapan yang termuat di dalamnya seperti pengertian kerukunan, peranana Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, pengertian rumah ibadat, prinsip pendirian rumah ibadat, kedudukan pemuka agama, penggunaan bangunan bukan rumah ibadat sebagai tempat ibadat sementara, tata cara penyelesaian perselisihan adalah bagian-bagian penting yang berhasil diselesaikan oleh para wakil

Page 12: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xii

majelis agama yang terdiri dari MUI, PGI, KWI, Walubi, dan PHDI. Persoalan terberat di dalam mengelola manajemen keagamaan di Indonesia tertumpu pada penyiaran agama dan pendirian rumah ibadat. Penyiaran agama akan bersinggungan dengan peta budaya yang sudah tertanam di dalam benak masyarakat yaitu korelasi signifikan antara etnisitas dengan religiositas yang disebut dalam istilah ilmu social religious affinity. Religious affinity mengasumsikan bertemunya dua hal yang berbeda sifat dan karakternya yaitu etnisitas yang diperoleh melalui garis keturunan (ascribed status) dan religiositas yang diperoleh melalui usaha sendiri (achieved status). Persoalan kedua yang menyangkut hubungan antar umat beragama adalah pendirian rumah ibadat yang dipahami masyarakat memiliki muatan kepentingan politis yaitu berpeluang merubah peta regionalisasi agama di Indonesia. Sekalipun rumah ibadat adalah bangunan biasa sebagaimana bangunan lainnya akan tetapi di dalamnya memuat aspek lain yaitu asumsi politis yang menyatakan bahwa kehadiran sebuah rumah ibadat menjadi petunjuk adanya kelompok umat beragama yang menggunakan bangunan rumah ibadat tersebut.

Pertanyaannya adalah apakah dengan adanya PBM tersebut maka semua persoalan di antara umat beragama telah selesai secara substansial ? Jawabannya tentulah belum karena memang harus diakui terdapat persoalan yang amat besar di dalam format rumusan hubungan di antara umat beragama di Indonesia. Untuk memahami dua hal itu terutama faktor pendirian rumah ibadat maka dilakukan penelitian yang sifatnya adalah research and development yang disingkat dengan R & D dan kemudian diterjemahkan dengan penelitian dan pengembangan. Penelitian dan pengembangan menurut Prof. Dr. Sugiyono, bertujuan sebagai metode

Page 13: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xiii

penelitian yang digunakan untuk menghasilkan produk ter-tentu dan menguji keefektifan produk itu.

Dalam pandangan umum, kelitbangan adalah hanya berkenaan dengan aspek penelitian yang berkaitan dengan bidang studi ilmu alam, farmasi, kedokteran, teknik dan lain sebagainya. Akan tetapi tidak ada halangan untuk menggunakan teknik penelitian R & D ini dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Memang, R & D telah banyak dilakukan dengan tujuan sebagai ujung tombak suatu industri untuk menghasilkan produk-produk baru yang dibutuhkan oleh pasar (Prof. Dr. Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, 2009:333). Penelitian model R & D atau lebih jelasnya penelitian yang bersifat kebijakan dimulai dengan menetapkan potensi dan masalah. Dalam kaitan penelitian terhadap PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, maka potensi yang terdapat didalamnya adalah bahwa peraturan ini berangkat dari filosofi dasar bangsa Indonesia yang secara formulatif tertuang dalam Pancasila yang kesemua silanya mengarahkan semua warga bangsa untuk hidup rukun di dalam keimanan masing-masing sebagai suatu pengejawantahan sikap kemanusiaan yang adil dan beradab di dalam kerangka persatuan seluruh bangsa Indonesia. Aktualisasi dari filosofi kerukunan menuju persatuan bangsa tidak saja sebagai sebuah kebenaran normatif yang bersumber dari teks ajaran agama akan tetapi telah berkembang menjadi kebenaran praktis di dalam tata laku kehidupan social yang disebut dengan kearifan lokal. Di beberapa daerah, sebagaimana penulis melakukan pengamatan dan sekaligus memperoleh laporan bahwa terdapat beberapa rumah ibadat dari kelompok agama yang berbeda didirikan pada letak yang sangat berdekatan bahkan tidak jarang bertemunya atap dari dua rumah ibadah yang berbeda.

Page 14: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xiv

Hal itulah yang menjadi dasar argumentasi bahwa potensi kehidupan yang rukun itu bukan saja sebagai kebenaran normatif akan tetapi telah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat sehari-hari yang disebut dengan kebenaran praktis dalam tata laku kehidupan sosial. Akan tetapi tentunya, potensi kehidupan yang rukun itu tidaklah terwujud dengan begfitu saja. Hal itu dapat terjadi manakala terdapat beberapa faktor. Pertama, masyarakat memiliki kekuatan ikatan lain yang merelatifkan kekuatan emosi keberagamaan. Biasanya kekuatan lain yang dapat merekat keragaman menjadi persatuan adalah manakala terdapat kesadaran saling memiliki (sense of belonging), rasa saling mengawasi (sense of control) dan rasa saling bertanggungjawab (sense of responslibity).

Semangat keterikatan di dalam keragaman itu adalah situasi yang dialami oleh semua warga paling tidak di dalam tiga peristiwa kehidupan yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Semua warga mengambil peran masing-masing di dalam menyambut peristiwa kehidupan itu di dalam suatu ikatan kekerabatan sebagai perwujudan semangat gotong royong yang muaranya adalah kepercayaan berketuhanan yang Maha Esa. Pola kehidupan yang demikian pada umumnya terjadi pada masyarakat agraris-tradisional.

Akan tetapi begitu masyarakat mengalami proses transformasi menjadi mnasyarakat urban-moderen maka ikatan kekerabatan menjadi surut ke belakang karena yang menjadi acuan kemudian adalah kepentingan kelompok ataupun pribadi. Ketika itulah potensi yang demikian ideal itu menjadi kurang berfungsi akibat dari semakin kuatnya desakan kepentingan kelompok atau individu itu. Dalam kaitan itulah, potensi kemudian berubah menjadi masalah yaitu terdapat kesenjangan yang semakin lebar antara yang dihgarapkan dengan kenyataan di lapangan. Kedua, potensi

Page 15: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xv

yang mendorong terwujudnya kerukunan memerlukan suatu model kepemimpinan yang lahir dari kearifan masyarakat yang disebut dengan primus interpares yaitu pemuka masyarakat yang memperoleh pengakuan dari masyarakat akibat dari kemampuan mereka memberikan tafsiran terhadap berbagai kasus yang sedang dihadapi oleh masyarakat serta juga memberikan alas pikir terhadap hubungan kejadian di alam makro dengan alam mikro yang kesemuanya adalah sebagai bahan perbandingan dalam perjalanan kehidupan umat manusia. Ketokohan yang seperti itu lahir dari figur yang memiliki kearifan yang tinggi yang mempunyai kemampuan untuk tetap memelihara kesinambungan (continuity) nilai-nilai positif dari masa lalu serta menggali atau berimprovisasi dengan melakukan perubahan (change) untuk menemukan hal-hal yang lebih baru dan lebih positif untuk kehidupan umat manusia. Sesungguhnya dalam pandangan penulis, implementasi PBM tentulah tidak sepenuhnya harus mengacu kepada ketentuan tekstual yang terdapat dalam peraturan itu akan tetapi sangat tergantung dari kearifan pemimpin umat tingkat lokal untuk merumuskan kebijakan yang sifatnya memelihara kesinambungan masa lalu dan menggagas sesuatu yang lebih baru dan lebih positif mengingat kehidupan masyarakat yang terus menerus mengamali perubahan dari fase pra agrais, agraris, industri dan informasi. Dalam setiap masyarakat dimungkinkan adanya perilaku atau tindakan yang dipandang menyimpang dari norma-norma kesepakatan sosial. Oleh karena pemuka masyarakat lebih banyak berbicara dari sudut pergumulan dengan masa lalu yang disebut dengan pengalaman, maka diperlukan langkah antisipasi untuk mendorong masyarakat hidup dalam semangat kompetisi yang positif yang tidak dalam bentuk garis vertikal ke atas akan tetapi garis miring yang

Page 16: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xvi

kesemuanya menuju kepada puncak piramida. Sekalipun pada tahapan awal kelompok masyarakat berada pada bilik-bilik pengelompokan yang terpisah akibat dari adanya berbagai perbedaan simbol namun begitu semakin menanjak menuju puncak piramida maka perbedaan itu menjadi semakin relatif karena setiap orang berada pada proses pencarian nilai-nilai kebenaran. Pada tahap itulah keragaman agama ataupun aliran paham keagamaan tidak lagi dilihat sebagai faktor yang mempertentangkan masyarakat akan tetapi memperoleh pemaknaan baru yatitu keindahan dari keragaman. Ketiga, diperlukan peraturan yang memilih posisi netral yang berfungsi untuk meramu semua kepentingan umat yang beragam menjadi suatu tema besar yaitu kebersamaan melalui Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri No. 9 Tahun 2006. PBM ini dimaksudkan sebagai wadah yang mempertemukan semua umat beragama dalam kedudukan yang setara di dalam rumah besar yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. PBM menjadi peluang sebagai tempat umat beragama melakukan proses dialog dengan meminta kesediaan masing-masing untuk memberikan sesuatu guna kepentingan bersama guna menuju kepada kemenangan bersama (win-win solution). Sifat dari pemberian itu tentunya adalah yang tidak berkaitan dengan substansi ajaran agama karena hal itu sesuatu yang sudah selesai. Bahan negosiasi adalah semua hal yang sifatnya lebih mengacu kepada kepentingan manusiawi yang disebut dengan kesemarakan ajaran agama. Kesemarakan ajaran itu tentulah sesuatu yang bersifat kemanusiaan dan tidak bersinggungan dengan substansi ajaran agama itu sendiri. Sebagai contoh, nilai esensial dalam ajaran setiap agama adalah terletak pada hubungan manusia dengan Tuhannya yang teraktualisasi dalam sejumlah ritus ataupun ibadah dan sama sekali tidak terkait secara esensial dengan bangunan

Page 17: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xvii

yang bersifat fisik. Atas dasar itu, bangunan sebuah rumah ibadat agaknya dapat dipahami sebagai bagian yang tidak termasuk hal yang esensial akan tetapi adalah merupakan aspek manusiawi yang menjadi bagian dari upaya kesemarakan agama. Hal itu bukan berarti bahwa umat beragama tidak perlu mendirikan bangunan rumah ibadat. Intinya adalah gagasan mendirikan rumah ibadat dapat dipandang sebagai bagian dari tahapan-tahapan akhir di dalam proses pembakuan hubungan setelah melalui proses dialogis yang saling bersahabat di kalangan umat beragama.

Dalam kaitan itu, penulis berpandangan, langkah penelitian yang dilakukan Puslitbang Kehidupan Keagamaan hendaknya dapat menjawab latar belakang yang menjadi alas pikir dari semua kasus pendirian rumah ibadat dan selanjutnya dirumuskan suatu langkah kebijakan sebagai prinsip umum guna persiapan mendirikan rumah ibadat dengan membangun komunikasi, informasi dan edukasi yang berlangsung secara efektif di kalangan masyarakat aka rumput yang cenderung bersikap emosional apabila melihat adanya symbol social yang berbeda sehingga membuahkan prestasi berdirinya rumah ibadat yang bukan hanya diberi toleransi oleh umat agama yang berbeda tetapi justru melakukan iktibar dari kehadiran kelompok umat lain. Akan tetapi apabila memungkin lebih jauh lagi, setiap umat beragama dapat berkaca kepada umat lainnya tentang bagaimana memperoleh pemaknaan terhadap esensi kehidupan beragama. Ketika itulah umat mengalami proses pendewasaan dalam kehidupan beragama. Umat lain yang berbeda agama tidak dilihat sebagai saingan yang harus dimusuhi akan tetapi mereka itu adalah saudara-saudara sendiri juga yang ditempatkan sebagai rekan seperjalanan (fellow travel) masing-masing menuju kepada kebenaran yang hakiki.

Page 18: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xviii

Buku yang berada di tangan pembaca ini adalah beberapa laporan penelitian digabung menjadi satu sebagai bentuk pertanggungjawaban Badan Litbang KEmenterian Agama kepada masyarakat yang mengungkapkan berbagai temuan di lapangan tentang berbagai persoalan yang berkenaan dengan implementasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Fungsi laporan penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Menunjukkan adanya pertanggungjawaban para peneliti

kepada lembaga yang bertindak sebagai sponsor. Oleh karena kegiatan penelitian ini adalah merupakan bagian dari program kerja Badan Litbang Kementerian Agama maka tentunya pertanggungjawaban peneliti itu adalah tertuju kepada Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agama.

2. Memberikan informasi kepada peneliti lainnya tentang pendekatan proses dan metode yang dipergunakan

3. Memberikan kesempatan kepada peneliti lainnya apabila ingin melakukan penelitian sejenis atau untuk melakukan uji kesahihan dari temuan peneliti (Prof. Sukardi, Ph. D, Metodologi Penelitian Pendidikan, Kompetensi dan Praktiknya, Jakarta, PT Bumi Aksara, 2011: 117).

Sebuah pekerjaan penelitian sebagaimana yang telah dilakukan para peneliti dalam buku ini diharapkan akan diperoleh sebuah gambaran yang menyeluruh temntang pranata sosial yang ada dan berlaku di masyarakat yang bersumber dari peta budaya dari masyarakat yang menjadi obyek penelitian. Data yang diperoleh melalui observasi serta wawancara di lapangan diharapkan merupakan deskripsi penuh tentang keadaan sosial dari masyarakat yang diteliti. Demikian juga laporan sebuah penelitian diharapkan dapat memberikan gambaran atau abstraksi dari keadaan sosial yang sebenarnya sehingga dapat menjadi rujukan atau dilakukan uji kesahihan kembali (Bambang Rudito dan Melia

Page 19: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xix

Famiola, Social Mapping, Metode Pemetaan Sosial, Teknik Memahami Suatu Masyarakat Atau Komuniti, Bandung, Rekayasa Sains, 2008:166-167). Sebagai sebuah penelitian kebijakan, maka laporan penelitian yang dimuat dalam buku ini tentunya diharapkan akan menjadi semacam executive summary kepada para pengambil kebijakan mulai dari pemerintah pusat sampai ke pemerintahan di daerah yang menjadi penunjuk arah langkah kebijakan yang akan diambil. Berbagai persoalan yang mendesak untuk dilakukan langkah kebijakan oleh pemerintah adalah mendorong masyarakat agar semakin meningkatkan kesadaran mereka terhadap pemahaman kerukunan. Peran ddukatif dan persuasive ini diharapkan dilakukan oleh organisasi0organisasi keagamaan.

Bangsa Indonesia tidak mungkin diharapkan sebagai bangsa yang homogen oleh karena kemajemukan adalah suatu yang tidak bisa diabaikan dan sudah melekat di dalam diri mereka. Oleh karena itu, selayaknya dapat dibangun suatu wawasan baru tentang kehidupan masyarakat yang rukun. Semua kelompok umat beragama baik mondial, agama-agama timur maupun penganut agama lokal hendaklah melihat saudaranya yang lain sebagai rekan dialog bukan dilihat sebagai saingan apalagi dipandang sebagai musuh yang harus dihilangkan hak keberadaannya. Apabila cara pandang tersebut telah dapat dibangun dengan baik maka tentunya hal tersebut saangat menolong bagi implemenmtasi PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006. Betapapun harapan yang tinggi ditumpukan kepada Forum Kerukunan Umat Beragama akan tetapi hendaknya dipahami juga bahwa mereka adalah produk dari masyarakatnya.

Persoalan besar di dalam PBM itu memuat tiga komponen utama yaitu peran aktif Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah untuk menyadari bahwa tugas pemeliharaan kerukunan di daerah adalah tugas yang dipikulkan kepada

Page 20: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xx

mereka berdasar Undang-Undang No 32 Tahun 2004. Jadi tegasnya, tugas pemeliharaan kerukunan di daerah bukanlah tugas yang berkaitan dengan doktrin atau pelayanan urusan keagamaan akan tetapi adalah tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat.

Jadi alangkah ironisnya manakala para Bupati/ Walikota berlepas tangan terhadap urusan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu. Persoalan berikutnya adalah penguatan kinerja FKUB baik dalam aspek kelembagaan, jaringan, program, pendanaan dan pemberdayaan masyarakat. Sementara dalam pengamatan penulis di berbagai daerah masih begitu kurangnya perhatian sebagian besar Kepala Daerah terhadap keberadaan FKUB.

Sementara itu kita juga tidak bisa menafikan adanya perhatian yang optimal yang diberikan sebagian kecil kepala daerah tertentu untuk mendukung kinerja FKUB. Persoalan terakhir yang ingin dicakup oleh PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006 ini adalah berkenaan dengan pendirian rumah ibadat, penggunaan bangunan sementara menjadi rumah ibadat, tata cara penyelesaian perselisihan dan lain sebagainya.

Namun sekalipun disana sini masih terdapat kekurangan dalam buku laporan penelitian ini akan tetapi temuan data di lapangan yang tercakup dari laporan observasi dan wawancara yang dilakukan oleh para peneliti menyiratkan kepada pembaca betapa persoalan kerukunan umat beragama ini bukan sebagai persoalan yang sederhana akan tetapi berjalin berkelindan dengan berbagai persoalan lain yang mengitarinya. Oleh karena itu, diperlukan penanganan kebijakan yang komprehensif agar kesemarakan kehidupan beragama di Indonesia tidak menciderai Indonesia sebagai negara yang taat kepada nilai-nilai keberagamaan. Semoga. Jakarta, Nopember 2011

Page 21: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxi

PRAKATA EDITOR

Pada tahun 1960-an, muncul fenomena gangguan kerukunan umat beragama yang disebabkan oleh penyiaran agama yang berorientasi pada penambahan penganut untuk menampung eks-pemberontak PKI tahun 1965, dan pengrusakan rumah-rumah ibadat. Kondisi tersebut tidak kondusif bagi terpeliharanya kerukunan antarumat beragama, persatuan dan kesatuan bangsa. Pada tahun 1969 pemerintah menerbitkan Keputusan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 01/BER/Mdn-Mag/1969 tentang Pelak-sanaan Tugas Aparatur Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-pemeluknya. Selanjutnya disebut SKB 1969. Pada waktu itu SKB tersebut menjadi acuan pokok dalam memelihara kerukunan antarumat beragama. Selanjutnya pada tahun 1980 diikuti pembentukan institusi Wadah Musyawaran Antarumat Beragama (WMAUB) dengan Keputusan Menteri Agama No 35 tanggal 30 Juni 1980. Wadah ini merupakan forum konsultasi dan komunikasi antarpemimpin/pemuka agama untuk membantu kerjasama antarumat beragama dalam rangka pemeliharaan kerukunan antarumat beragama.

Namun seiring dengan perkembangan ketatanegaraan tentang pelaksanaan otonomi daerah dan peran WMAUB yang terbatas, serta regulasi SKB dinilai memiliki kelemahan dan multitafsir, maka diperlukan penyesuaian. Atas dasar itulah pada era reformasi –tepatnya tahun 2006- wakil-wakil majelis agama yang difasilitasi oleh pemerintah berhssil menyusun sebuah pedoman menggantikan SKB No 1/BER/Mdn-Mag/1969 pedoman dimaksud ialah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan

Page 22: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxii

8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumat Ibadat, selanjutnya disebut PBM.

Dengan PBM ini, FKUB telah dibentuk di semua provinsi dan hampir semua kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Salah satu tugas utamanya tentang pendirian rumah ibadat. Kajian dan penelitian ini berkaitan dengan pendirian rumah ibadat sebagai pelaksanaan PBM tahun 2006.

Pada dasarnya masalah pendirian rumah ibadat bermuara pada dua hal. Pertama, pendirian rumah ibadat yang diterima masyarakat dengan damai. Kedua, pendirian rumah ibadat yang mendapat penolakan dari masyarakat. Penolakan tersebut sering ditandai dengan aksi demonstrasi hingga kekerasan, seperti pengrusakan dan pembakaran. Bahkan ada yang bertahun-tahun masalahnya tidak dapat diselesaikan, seperti rencana penggunaan tanah pemberian pemerintah Sikka untuk Masjid Agung Maumere, Kabupaten Sikka Provinsi Nusa Tenggara Timur. Ada pula yang penyelesaiannya dengan mencabut kembali IMB yang telah diterbitkan seperti yang dialami Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Kota Depok dan Gereja Kristen Indonesia (GKI) Yasmin di Kota Bogor Propinsi Jawa Barat.

Kehadiran PBM diharapkan dapat menghindarkan perselisihan seputar pendirian rumah ibadat, yang lain: pembangunan rumah ibadat tanpa izin Mendirikan Bangunan (IMB), penggunaan gedung atau rumah tinggal sebagai tempat ibadat bersama secara rutin tanpa izin dan tanpa rekomendasi dari FKUB, pembangunan rumah ibadat tanpa izin sementara, kesulitan pendirian rumah ibadat bagi pemeluk agama minoritas, arogansi pembangunan rumah ibadat yang dipaksakan kalangan minoritas tanpa prosedur

Page 23: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxiii

sesuai PBM, manipulasi administrasi dan tanda tangan pengguna rumah ibadat dan dukungan warga. Masalah lain yaitu pembangunan rumah ibadat dipersoalkan oleh masyarakat sekitar dan pencabutan IMB oleh pemerintah daerah dan pertimbangan karena meresahkan, menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban.

Kerukunan umat beragama di Indonesia merupakan pilar kerukunan nasional. Demikian dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2010-2014 (Perpres No 5 Tahun 2010 Buku II, Bab II: 48).

Dalam rangka mewujudkan dan terpeliharanya kerukunan umat beragama yang diinginkan tersebut -sebagaimana dikemukakan- telah diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 9 dan 8 Tahun 2006, salah satu dari tiga isi pokoknya ialah pendirian rumah ibadat.

Pengaturan rumah ibadat bukanlah intervensi negara atau pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat pengadministrasian saja. Hal ini terlihat dalam PBM Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadat Pasal 14, sebagai berikut: 1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan

administrasi dan persyaratan teknis bangunan gedung. 2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada

ayat 1, bahwa pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi:

a. Daftar nama dan Kartu Tanda Tangan Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam pasal 13 ayat (3).

b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa.

Page 24: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxiv

c. Rekomendasi tertulis kepala Kantor Departemen Agama (Kantor Kementerian Agama, Pen) Agama Kabupaten/Kota dan;

d. Rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota. 3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) huruf a terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumahi badatan. (Sosialisasi PBM, 2011: 49).

Pendirian rumah ibadat berarti membangun rumah ibadat baru, termasuk yang diperbarui dalam arti lain renovasi. Sebagaimana ketentuan yang berlaku renovasi berarti perubahan sehingga diperlukan kembali IMB. Dengan demikian pendirian rumah ibadat di sini dilihat pada faktor: a) Penggunaan rumah ibadat, b) dukungan masyarakat setempat, c) rekomendasi tertulis Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, d) rekomendasi tertulis FKUB Kabupaten/Kota, e) IMB rumah ibadat dari bupati/walikota dan di luar yang lima tersebut; f) ialah masalah kepentingan.

Rumah ibadat yang dijadikan sasaran penelitian ini meliputi kawasan Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur. Rumah ibadat di sini ialah yang didirikan atau direnovasi menimbulkan persoalan setelah lahirnya PBM tahun 2006 berjumlah 27 buah, yang meliputi: 4 di DKI Jakarta, 4 di Jawa Barat, 2 di Banten, 3 di Bali, 3 di Papua Barat, 8 di Nusa Tenggara Timur dan 2 di Sulawesi Utara. Daeri segi agama, masing-masing 12 masjid/mushola, 10 gereja, 3 pura, dan 1 vihara.

Pendirian rumah ibadat atau renovasi sekalipun telah dilakukan sosialisasi PBM pada kenyataannya belum sepenuhnya menjadi acuan oleh panitia pembangunan rumah ibadat, terkecuali di sekitar ibukota Jakarta, dan itupun pada

Page 25: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxv

gereja-gereja yang didirikan di tengah-tengah mayoritas umat Islam.

Dalam penelitian ini ditemukan bahwa bukan hanya umat Kristiani yang mengalami kesulitan mendirikan gereja di tengah mayoritas umat Islam seperti di Sumatera dan Jawa. Ternyata umat Islam minoritas juga mengalami kesulitan mendirikan mushalla ataupun masjid di tengah umat mayoritas seperti di Nusa Tenggara (Katolik), Sulawesi Utara (Kristen), Papua Barat (Kristen) dan Bali (Hindu). Bahkan umat Kristen minoritas pun seperti Gereja Bethel Indonesia Rock di Kabupaten Sika juga mengalami kesulitan dalam mendirikan rumah ibadat di tengah mayoritas Katolik. Hal ini kiranya dapat melihat kasus di seputar pendirian rumah ibadat yang selama ini dipublikasikan oleh media massa, seakan hanya dialami oleh umat Kristen di tengah mayoritas Umat Islam. Namun, ternyata berlaku juga pada umat lain ketika pemeluknya minoritas. Inilah tantangan utama perlunya PBM dan mendesak disosialisasikan dan dilaksanakan dengan penuh ketulusan. Kata kuncinya “berpedoman pada PBM”, menjamin kerukunan umat beragama. PBM memberikan kepastian secara adil dan jelas terhadap permohonan pendirian rumah ibadat.

Penolakan pendirian rumah ibadat dapat dikelompok-kan dalam 3 faktor. Pertama, faktor aturan; kedua, faktor sentimen agama; ketiga, faktor sosial politik. Dari segi aturan, tidak mencukupi jumlah pengguna dan jumlah dukungan warga setempat serta tidak memperoleh rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota dan FKUB. Juga disebabkan tidak memiliki IMB. Dari segi sentimen keagamaan ialah ketidaksiapan atas perkembangan rumah rumah ibadat lain, kekhawatiran atas pemurtadan (konversi agama) dan takut persaingan antar aliran/paham keagamaan.

Page 26: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxvi

Sedangkan dari segi sosial ialah khawatir akan cepatnya pertumbuhan penganut agama lain yang dapat merubah peta komposisi pemeluk agama lain, persiangan peranan sosial dan penguasaan ekonomi. Solusi yang ditawarkan adalah pemerintah daerah menerbitkan Pergub/Perbub/Perwali, sosialisasi PBM dan pendekatan antar warga beda agama melalui komunikasi sosial-budaya.

Upaya penelitian hingga tersusunnya buku ini melibatkan peranserta berbagai pihak. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih pada Kepala Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama (Prof. Dr. H. Abdul Djamil, MA) dan Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan Prof. H. Abd. Rahman Mas’ud, Ph.D. yang mengawali kegiatan ini sejak dari proses penelitian hingga dapat diterbitkan tulisan ini. Demikian pula pada seluruh anggota Tim Peneliti dan Litkayasa.

Semoga dengan penerbitan hasil penelitian ini, para pembaca dapat mengetahui realita permasalahan seputar pendirian rumah ibadat. Selanjutnya diharapkan dapat melaksanakan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 secara konsisten.

Jakarta, November 2011 Editor, M. Yusuf Asry

Page 27: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxvii

DAFTAR ISI

Kata Pengantar Kepala Puslitbang Kehidupan Keagamaan ___ iii Sambutan Kepala Badan Litbang dan Diklat

Kementerian Agama RI ___ vii Prolog ___ xi Prakata Editor ___ xxi Daftar isi ___ xxvii I. PENDAHULUAN

Latar Belakang ___ 3 Permasalahan ___ 5 Tujuan dan Kegunaan ___ 5 Metode Penelitian ___ 5 Kerangka Pemikiran ___ 6 Sistematika Pembahasan ___ 8

II. PENDIRIAN RUMAH IBADAT DI BERBAGAI DAERAH

1. Pendirian Rumah Ibadat di Jakarta Timur Oleh: Reza Perwira ___ 11

2. Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi Oleh: Ibnu Hasan Muchtar ___ 35

3. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Tangerang Oleh: Titik Suwariyati ___ 67

4. Pendirian Rumah Ibadat di Kota Denpasar Oleh: Bashori A Hakim ___ 83

5. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Minahasa Utara Oleh: Mursyid Ali ___ 103

Page 28: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

xxviii

6. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur Oleh : Akmal Salim Ruhana & M.yusuf Asry ___ 111

7. Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Sorong Oleh: Haidlor Ali Ahmad ___ 119

III. PENUTUP 1. Kesimpulan ___ 137 2. Rekomendasi ____ 140

Page 29: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Page 30: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(2)

Page 31: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(3)

alah satu instrumen hukum yang memuat pedoman tentang pendirian rumah ibadat ialah Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 tentang Pedoman

Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pembedayaan Forum Kerukunan Umat Beragama dan Pendirian Rumah Ibadat (selanjutnya disingkat PBM).

Tiap agama memiliki rumah ibadat. Agama yang dipeluk oleh penduduk Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan UU No. 1 PNPS Tahun 1965, ialah: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Pemeluk agama mendirikan rumah ibadat. Fakta yang terjadi dalam prosesnya selain memunculkan resepsi (penerimaan) oleh masyarakat dengan damai, juga terdapat penolakan yang dapat menimbulkan konflik yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama, ketentraman dan ketertiban masyarakat.

Dalam rangka proses mewujdukan ketentraman dan ketertiban itu, proses pendirian rumah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Indonesia adalah bangsa yang multibudaya (multiculture) dan multiagama (multireligious). Oleh karena itu diperlukan pengeloaan kerukunan umat beragama secara baik agar terpelihara persatuan bangsa sehingga pembangunan nasional dapat mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), dinyatakan bahwa “Kerukunan umat beragama merupakan pilar bagi kerukunan nasional (Perpres No. 5 Tahun 2010 tentang RPJMN Tahun 2010-2014, Buku II, Bab II: 48).

Hasil yang ingin diwujudkan dengan diterbitkannya PBM tersebut ialah terpeliharanya kerukunan umat beragama. Hasil penelitian Puslitbang Kehidupan Keagamaan Tahun 2007 mengungkapkan bahwa sosialisasi PBM tentang rumah ibadat berpengaruh terhadap pemeliharaan kerukunan umat beragama

S

Page 32: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(4)

sebesar 17,4% dari 11 faktor keagamaan yang dapat menyebabkan ketidakrukunan (Puslitbang Kehidupan Keagamaan, 2009:71). Namun, bukan berarti tidak ada masalah di seputar pendirian rumah ibadat.

Masalah yang muncul di seputar rumah ibadat, antara lain: tidak ada izin dari Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, protes terhadap pemanfaatan rumah tinggal sebagai tempat ibadat secara rutin, penolakan pendirian rumah ibadat, pendirian rumah ibadat tanpa rekomendasi dari FKUB, keluhan kesulitan perdirian rumah ibadat bagi pemeluk agama minoritas, arogansi minoritas atas pendirian rumah ibadat, manipulasi data dan tanda tangan persyaratan pengguna dan dukungan pendirian rumah ibadat, administrasi pemerintah yang kurang akurat, penolakan pendirian rumah ibadat oleh masyarakat dan pencabutan IMB oleh pemerintah daerah tertentu dengan alasan dan pertimbangan keresahan, gangguan keagamaan dan ketertiban masyarakat.

Pada tahun 2009, The Wahid Institute mencatat 21 kasus penyerangan, perusakan, penggerebekan rumah, bangunan, atau tempat ibadat, dan penolakan pendirian rumah ibadat (2010: 5). Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) melaporkan hasil pemantauannya terjadi 18 kasus rumah ibadat (CRCS, 2009: 28-31). Hasil pemantauan Kepolisian dalam tiga tahun terakhir ini kasus yang menonjol terkait dengan masalah agama dan rumah ibadat dalam bentuk pengrusakan, penyerangan dan protes dari umat beragama lainnya sebanyak 196 kasus, dengan perincian: tempat ibadat Kristiani 142 kasus (Gereja 59 kasus, rumah tinggal yang dijadikan tempat ibadat 60 kasus, ruko dan gedung lainnya 23 kasus), tempat ibadat Islam 20 kasus, Hindu 6 kasus dan tempat ibadat lainnya 2 kasus (Saleh Saaf, 2010: 4).

Dari laporan kasus tersebut sebagian besar menimpa rumah ibadat umat Kristiani di lingkungan mayoritas umat Islam dan Hindu. Demikian pula yang dihadapi minoritas penganut agama tertentu di tengah-tengah mayoritas penganut agama lain, seperti umat Islam di Nusa Tenggara Timur (Katolik), di Sulawesi Utara

Page 33: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(5)

(Kristen), di Sorong (Kristen) di Papua Barat, serta umat Islam, Katolik dan Kristen di Bali (Hindu).

Keberadaan PBM diharapkan dapat mendorong terwujud dan terpeliharanya kerukunan umat beragama dalam masyarakat multibudaya dan multiagama ini. Dengan penelitian ini terungkapkan informasi tentang pendirian rumah ibadat di berbagai daerah di Indonesia sejak diberlakukannya PBM tahun 2006.

Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: pertama, bagaimana pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai; kedua, bagaimana pendirian rumah ibadat yang mendapat respon penolakan; dan ketiga, bagaimana penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat.

Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini ialah mendeskripsikan pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, yang mendapat penolakan, dan upaya penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat.

Hasil penelitian ini sangat berguna sebagai masukan bagi pimpinan Kementerian Agama dan instansi terkait dalam menyusun kebijakan terkait pendirian rumah ibadat di berbagai daerah. Demikian pula diharapkan berguna bagi FKUB dalam menangani dan merumuskan rekomendasi seputar rumah ibadat bagi Bupati/Walikota.

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu mendeskripsikan berbagai hal seputar pendirian rumah ibadat pada tujuh lokasi. Pemilihan lokasi dengan mempertimbangkan

Page 34: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(6)

kewilayahan (Indonesia Bagian Barat, Tengah, dan Timur), jumlah penganut agama yang relatif berimbang, mayoritas dominan salah satu agama, dan rumah ibadat yang didirikan atau setidak-tidaknya mengalami renovasi sejak tahun 2006.

Data penelitian ini bersumber dari data primer dan sekunder. Data primer diperoleh melalui wawancara dengan pejabat terkait (Kantor Kementerian Agama Kabupaten/Kota, Kantor Kesbangpol dan Linmas, Pemerintah Daerah) yang bertugas dalam urusan sertifikat dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), pengurus FKUB, Majelis Agama, dan pengurus rumah ibadat. Wawancara diikuti dengan pengamatan langsung pada rumah ibadat yang menjadi sasaran penelitian. Data sekunder bersumber dari dokumen dan buku, baik dari kantor pemerintahan dan rumah ibadat maupun pemuka masing-masing agama.

Tulisan ini merupakan hasil penelitian para peneliti Puslitbang Kehidupan Keagamaan yang dilaksanakan pada Tahun 2010. Hasil penelitian dengan mengambil rumah ibadat sebagai contoh kasus, dengan maksud memperoleh data dan informasi yang optimal. Pada bab pendahuluan dari buku ini, terdiri dari pembahasan, kesimpulan dan rekomendasi dikemukakan secara umum. Sedangkan hasil hasil penelitian tiap daerah oleh Tim Peneliti disajikan dalam bab tersendiri. Dengan demikian diperoleh pemahaman yang komprehensif dalam penyelesaian permasalahan yang terkait dengan pendirian rumah ibadat.

Analisis data dilakukan melalui proses seleksi, pengolahan dan pengelompokan data. Selanjutnya dilakukan pembahasan dan interpretasi data, serta diambil kesimpulan dan rekomendasi.

Kerangka Pemikiran Keragaman suku, budaya dan agama di Indonesia langsung maupun tidak langsung mempengaruhi kondisi kerukunan umat beragama. Idealnya, kehidupan beragama

Page 35: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(7)

tercermin dalam sikap, perilaku dan tindakan sesuai dengan nilai-nilai agama yang menekankan hidup yang toleran, penghargaan atas kemajemukan, dengan prinsip “setuju dalam perbedaan” (agree in disagreement). Namun akhir-akhir ini kerukunan antarumat beragama mengalami tantangan, dan cenderung dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk memenuhi kepentingan sesaat, seperti social, ekonomi dan politik. Kerukunan umat beragama merupakan pilar kerukunan nasional yang dimuat dalam RPJMN 2010 – 2014, yang sebelumnya dinyatakan “kerukunan umat beragama merupakan bagian dari kerukunan nasional”. Dalam upaya mewujudkan dan terpeliharanya kerukunan umat beragama yang diinginkan, maka diterbitkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006. Kerukunan umat beragama tidak dapat dilepaskan dari pendirian rumah ibadat yang menjadi pusat peribadatan dan kebudayaan dari tiap agama. Namun, dalam pembangunan rumah ibadat dapat berlangsung secara damai karena adanya saling pengertian. Namun bisa menimbulkan kekisruhan akibat penolakan atas dasar berbagai kepentingan. Untuk itulah perlu pengaturan pendirian rumah ibadat. Pengaturan pendirian rumah ibadat bukanlah intervensi negara atau pemerintah terhadap agama, melainkan bersifat penertiban administrasi belaka. Jadi tidak ada pembatasan dalam pendirian rumah ibadat. Pendirian rumah ibadat meliputi pembangunan yang sama sekali baru, maupun renovasi setelah berlakunya PBM Tahun 2006. Karena renovasi berarti perubahan bangunan yang juga memerlukan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

Sosialisasi PBM terus berlangsung sesuai rekomendasi pada evaluasi pelaksanaannya tahun pertama (2007) dan tahun kedua (2008), terus berlangsung. Namun, apakah sudah dipahami dan dilaksanakan dalam pendirian rumah ibadat merupakan pertanyaan yang memerlukan jawaban dari hasil penelitian ini. Secara sistematis kerangka pemikiran tersebut disusun sebagaimana gambar berikut:

Page 36: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(8)

Sistematika Pembahasan

Tulisan ini terdiri atas empat bab. Bab I Pendahuluan yang berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, kegunaan, metode penelitian, kerangka pemikiran, dan sistematika pembahasan. Bab II Hasil Penelitian berisi hasil-hasil penelitian tentang pendirian rumah ibadat di 7 kabupaten/kota yaitu Kota Jakarta Timur, Kota Bekasi, Kabupaten Tangerang, Kota Denpasar, dan Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Sikka, dan Kota Sorong.

Bab III Pembahasan berisi analisis terhadap hasil penelitian tentang pendirian rumah ibadat di 7 kabupaten/kota. Bab IV sebagai Penutup, meliputi kesimpulan dan rekomendasi.

Kerukunan Umat Beragama Merupakan Pilar Kerukunan Nasional (RPJMN 2010-2014)

Penolakan ? kepentingan ? IMB

Penerimaan ? pengguna ? dukungan warga ? rekomendasi ? IMB

PENDIRIAN RUMAH IBADAT (PBM NO 9 & 8 TAHUN 2006)

PEMBANGUNAN DAN RENOVASI

solusi pemecahan masalah

Page 37: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(9)

BAB II PENDIRIAN RUMAH IBADAT

DI BERBAGAI DAERAH

Page 38: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(10)

Page 39: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(11)

Kondisi Geografi dan Demografi

Sebagai sebuah wilayah metropolitan, Jakarta Timur tidak berbeda dengan kota-kota besar lain. Karakteristik yang dimiliki antara lain penduduk yang padat, tinggi angka pengangguran, kontradiksi pemukiman elit dengan pemukiman kumuh, dan tingginya angka kriminalitas. Luas wilayah Jakarta Timur yakni 187,75 km2, jika dibandingkan dengan luas wilayah Provinsi DKI Jakarta yaitu 661,62 km2, wilayah Jakarta Timur hanya 28,37% dari seluruh luas wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jakarta Timur terdiri atas 10 kecamatan dan 65 kelurahan. Kecamatan dimaksud adalah Kecamatan Pasar Rebo, Ciracas, Cipayung, Makasar, Kramat Jati, Jatinegara, Cakung, Duren Sawit, Pulogadung, dan Kecamatan Matraman.

Wilayah Jakarta Timur memiliki perbatasan dengan Jakarta Utara dan Jakarta Pusat (sebelah utara), dengan Kota Bekasi (sebelah timur), Kabupaten Bogor (sebelah selatan), dan Kotamadya Jakarta Selatan (sebelah barat). Sebagian wilayah Jakarta Timur berada di dataran rendah yang letaknya tidak jauh dari pantai.

Sesuai registrasi penduduk tahun 2006, jumlah penduduk Kotamadya Jakarta Timur sebanyak 2.141.228 jiwa dengan 585.984 rumah tangga. Jika dibandingkan dengan luas wilayah, maka Jakarta Timur memiliki angka kepadatan penduduk yang

Pendirian Rumah Ibadat di Jakarta Timur

Oleh: Reza Perwira

1

Page 40: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(12)

cukup tinggi, yaitu 11.405 per km2. Kepadatan penduduk paling tinggi adalah Kecamatan Matraman (39.938 km2) dan yang paling rendah adalah Kecamatan Cipayung (4.465 km2). Jumlah kelurahan dan penduduk pada tahun 2005 – 2006 adalah sebagai berikut:

TABEL1: JUMLAH KELURAHAN DAN PENDUDUK

MENURUT KECAMATAN DI KOTAMADYA JAKARTA TIMUR TAHUN 2005 - 2006

Kecamatan Keluraha

n

Pertengahan tahun 2005

Pertengahan tahun 2006

Jml % Jml % Pasar Rebo 5 153.536 7,24 158.147 7,38 Ciracas 5 199.482 9,41 200.806 9,38 Cipayung 8 119.342 5,63 122.151 5,70 Makasar 5 174.192 8,22 177.158 8,27 Kramat Jati 7 202.041 9,53 204.178 9,54 Jatinegara 8 263.246 12,42 263.706 12,32 Duren Sawit 7 315.463 14,89 317.862 14,84 Cakung 7 218.106 10,29 224.001 10,46 Pulogadung 7 279.704 13,20 279.519 13,06 Matraman 6 194.168 9,16 193.700 9,05 Jumlah 65 2.119.280 100 2.141.228 100

Sumber: Peta Wilayah Kotamadya Jakarta Timur 2006

Komposisi jumlah pemeluk agama dan rumah ibadat di Kota Administrasi Jakarta Timur dapat dilihat pada tabel 2 dan 3.

Page 41: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(13)

TABEL 2: JUMLAH PEMELUK AGAMA DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR

TAHUN 2008

No Agama Jumlah Pemeluk Prosentase 1 Islam 1907378 88,48 2 Kristen 125973 5,84 3 Katolik 93266 4,33 4 Hindu 12884 0,60 5 Buddha 16189 0,75 6 Khonghucu - 7 Lainnya -

Sumber: Data Kantor Kemenag Jakarta Timur, 2008.

Sarana tempat peribadatan untuk masing-masing agama, sebagaimana tabel berikut :

TABEL 3: JUMLAH RUMAH IBADAT DI KOTA ADMINISTRASI JAKARTA TIMUR PADA TAHUN 2008

No Rumah Ibadat – Agama Jumlah Rumah Ibadat Pasca PBM

1 Islam 1.068 2 Kristen 269 3 Katolik 10 4 Hindu 10 5 Buddha 9 6 Khonghucu - 7 Lainnya - Sumber: Data Kantor Kemenag Jakarta Timur, 2008.

Page 42: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(14)

Potensi Konflik

Heterogenitas penduduk dalam memeluk agama menjadi salah satu faktor yang mengkondisikan potensi konflik di wilayah Jakarta Timur. Menurut hasil kajian yang dilakukan FKUB Provinsi DKI Jakarta (2008), ada beberapa faktor yang menyebabkan timbulnya konflik sosial keagamaan.

a. Persoalan pemahaman dan implementasi ajaran agama. Dalam perspektif iman, pemeluk agama yang baik adalah sosok yang senantiasa berupaya meningkatkan kualitas keimanan dan ketaatannya dalam kehidupan sehari-hari. Bentuk ketaatan umat antara lain dapat dilakukan melalui penyampaian kabar gembira dan ajakan kepada umat lain untuk menerima iman dan kebenaran ajaran agamanya. Penyampaian kabar gembira ini dalam konsep Islam disebut ‘dakwah’ dan dalam konsep Kristen disebut dengan istilah “pekabaran Injil”. Dalam konteks penyampaian kabar gembira itu, keberadaan tempat ibadat dan aktivitas umatnya menjadi hal yang sangat urgen.

Fakta di lapangan, pemenuhan kebutuhan tempat ibadat seringkali harus berhadapan dengan realitas umat lain yang cenderung merasa terancam oleh kehadiran misi atau peribadatan. Persoalan ini hampir selalu menjadi sebab substantif dari seluruh konflik antar umat beragama di Indonesia khususnya, antara umat Kristen dan Katolik dengan Islam.

b. Persoalan sosio kultural yang jika ditelusuri lebih lanjut ada tiga penyebab utama. Pertama, munculnya budaya pragmatisme dalam memecahkan masalah menggantikan pendekatan dialogis dan musyawarah. Pada akhir konflik dapat menimbulkan kekerasan fisik yang melibatkan kelompok umat beragama yang berbeda. Kedua, lemahnya peran elit agama dalam membina dan mendialogkan persoalan kerukunan. Akibat yang muncul kemudian adalah kerukunan umat beragama seringkali lahir karena tuntutan yang berasal dari pihak luar dan bukan berasal dari

Page 43: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(15)

penghayatan dan pemahaman ajaran agamanya. Ketiga, semakin menjamurnya budaya verbalisme dalam dialog antarumat beragama. Dialog yang biasanya dilakukan oleh kelompok elit dan dimediasi oleh pemerintah tampaknya sudah kehilangan wibawa. Dialog tidak lagi menjadi kebutuhan dalam memahami perbedaan dan menyelesaikan konflik, melainkan lebih berfungsi sebagai pelipur lara yang terbungkus dalam formalistik dan terkesan birokratis. Akibatnya, kesepakatan yang diperoleh dalam dialog itu tidak berimbas pada kesepakatan masyarakat akar rumput.

c. Dalam hal regulasi, sebagian kelompok umat beragama memandang bahwa segala bentuk kebijakan pemerintah tentang kehidupan beragama dirasa hanya akan mengekang kebebasan beragama. Padahal regulasi itu muncul karena adanya konflik sosial yang diakibatkan oleh persepsi sepihak kalangan umat beragama terhadap makna kebebasan beragama. Regulasi menjadi kurang berwibawa manakala kelompok elit dan umat beragama menganggap hal itu sebagai bentuk pelanggaran dalam beragama. Regulasi juga kehilangan momentum jika pemerintah tidak serius memberikan pemahaman kepada seluruh umat beragama perihal substansi regulasi itu sendiri.

d. Lemahnya peran pemerintah dalam memetakan potensi konflik. Pemerintah baru bersikap dan bertindak setelah ada gejolak, dan tidak memiliki peta konflik. Tindakan yang diambilpun seringkali hanya bersifat reaksioner dan pragmatis, tidak substansial. Pemerintah, dengan dukungan birokrasi semestinya mampu memetakan kondisi masyarakat dari aspek politik, ekonomi, etnis, dan juga agama.

Dari lapangan diperoleh beberapa hambatan yang menjadi permasalahan dalam memberikan pelayanan kepada umat beragama di wilayah Provinsi DKI Jakarta, antara lain: a. Belum diterbitkannya Peraturan Gubernur sebagai tindak

lanjut PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 berkaitan dengan izin pendirian rumah ibadat.

Page 44: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(16)

b. Adanya keterkejutan budaya pada masyarakat lokal terhadap kehadiran budaya yang berbeda, termasuk kepemelukan agama dan pendirian rumah ibadat.

c. Adanya prasangka negatif di kalangan kelompok umat yang berbeda agama.

d. Adanya rumah ibadat baru dalam suatu wilayah pemukiman yang sebelumnya tidak ada, merupakan suatu akibat dari pesatnya suatu pembangunan yang menyebabkan mobilitas penduduk ke lokasi sekitar rumah ibadat yang baru.1

Penolakan dan Dukungan a. Masjid Nurul Jannah

Kebutuhan rumah ibadat berupa masjid diprakarsai oleh warga di komplek Perumahan Jatinegara Indah, Blok B-3 Jatinegara Cakung Jakarta Timur. Banyak kegiatan keagamaan warga setempat akan adanya kehadiran suatu rumah ibadat. Maka ia dipandang perlu sebagai kebutuhan peribadatan dan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya. Rencana jamaah komplek untuk membuat masjid dimulai dengan membuat badan hukum (yayasan). Nama yayasan itu adalah Nurul Jannah dengan Akta Nomor 06 Tanggal 27 April 2007 Notaris Zulafrinal Zen, SH, serta sudah mendapat Pengesahan Akta Pendirian Yayasan dari Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia dengan nomor: C-2920.HT.01.02.TH 2007 tanggal 11 September 2007 dan Nomor Pokok Wajib Pajak 02.312.981.0-004.000.2

Sebelum dibentuk yayasan, beberapa pengurus mengusulkan agar mendatangi pihak pengembang (developer)

1FKUB DKI Jakarta. Makalah “Prosedur Perizinan Pendirian Rumah Ibadat: Masalah dan Solusinya” yang disampaikan pada Lokakarya Nasional Penyusunan Pola Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama melalui Peran Kelembagaan FKUB, diselenggarakan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI di Hotel Mirah Bogor, pada tanggal 20 sampai dengan 22 Maret 2009.

2www.hidayatullah.com, Jelang Ramadhan, Masjid di Jatinegara Justru Digusur, http://www.wartaislam.com/2009/08/jelang-ramadhan-masjid-di-jatinegara.html, diunduh pada tanggal 25 Maret 2010.

Page 45: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(17)

untuk meminta keterangan kapan dapat merealisasikan masjid sebagai fasilitas umum di wilayah komplek tersebut.3 Namun pihak panitia pembangunan Masjid Nurul Jannah merasa tidak puas akan jawaban pihak pengembang. Akhirnya masyarakat mengambil tindakan dengan membuat patok di atas tanah kosong dengan harapan agar pihak pengembang dapat segera merealisasikan pendirian masjid. Namun pihak pengembang hanya menjanjikan kepada warga setempat akan segera dibangun masjid jika beberapa kavling di komplek tersebut sudah terjual.

Masyarakat kurang sabar menunggu janji pihak pengembang. Seiring dengan meningkatnya aktifitas keagamaan jamaah serta dorongan akan kebutuhan rumah ibadat, warga mendirikan masjid darurat. Panitia pembangunan masjid Nurul Jannah terbentuk dan dana terkumpul hingga mencapai kurang lebih 145 juta rupiah, masjid pun mulai dibangun 2 lantai. Bersamaan dengan itu, pihak pengembang beberapa kali memperingatkan kepada panitia agar tidak meneruskan pembangunannya. 4

Sejak bulan Juni 2009 masjid sudah dapat digunakan untuk shalat berjamaah. Namun baru beberapa bulan difungsikan dengan segala kekurangannya, pada tanggal 10 Agustus 2009 datang surat dari Walikota Jakarta Timur kepada Yayasan Nurul Jannah yang menyebutkan, bahwa berdasarkan PERDA 7/1991 diminta agar warga membongkar masjid sendiri atau dibongkar

3Dalam catatan pengurusan tanah Masjid Nurul Jannah, PT.Cakra Sarana Larasasri selaku developer telah mengeluarkan surat No. SP-019/Proyek JI/Tek&Opr/VIII/2006 tertanggal 10 Agustus 2006 tentang Persetujuan Desain Tempat Ibadah Proyek Perumahan Jatinegara Indah Pulo Jahe Jakarta Timur. Dalam surat tersebut developer menyetujui desain dan lahan untuk pembangunan tempat ibadah (sumber: www.hidayatullah.com, Jelang Ramadhan, Masjid di Jatinegara Justru Digusur, http://www.wartaislam.com/2009/08/jelang-ramadhan-masjid-di-jatinegara.html, diunduh pada tanggal 25 Maret 2010.

4Di olah dari hasil wawancara peneliti dengan salah satu mantan pengurus yayasan Nurul Jannah yaitu Abu Fadillah pada tanggal 22 Maret 2010 Musholla komplek Jatinegara Indah.

Page 46: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(18)

oleh tim penertiban terpadu dari Musyawarah Pimpinan Kota (MUSPIKO).

Peninjauan dan tatap muka terjadi antara pihak Yayasan Nurul Jannah dan panitia pembangunan mesjid. Setelah itu dilanjutkan peninjauan lapangan tanggal 14 Mei oleh Asisten Kesejahteraan Masyarakat didampingi Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jakarta Timur, Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta, Dewan Masjid Indonesia Jakarta Timur, dan instansi terkait lainnya.5

Akhirnya pembangunan di lahan fasom/fasum tersebut dihentikan dan sebagai konsekuensinya PD Pembangunan Sarana Jaya membangun masjid warga Perumahan di lahan fasos/fasum di blok tahap 4 yang memang peruntukannya sebagai suka sarana ibadah (SSI). Bangunan tersebut direncanakan dua lantai seluas 726 m2 yang diperkirakan selesai April 2010. Pada tanggal 12 Agustus 2009 pembongkaran masjid dilakukan oleh tim penertiban terpadu dari MUSPIKO.

Sesuai hasil wawancara dengan salah seorang pengurus Yayasan Nurul Jannah (Fadillah) menyatakan bahwa sebelum terjadinya kasus pembongkaran Masjid Nurul Jannah, disinyalir adanya perpecahan di dalam pengurus Yayasan dan panitia pembangunan masjid. Salah satu panitia pembangunan masjid bersikeras untuk tetap mendirikan masjid tanpa melihat kelengkapan administrasi pendirian masjid dan lahan yang sudah ditentukan oleh pihak pengembang tersebut, dengan memperhatikan di komplek tersebut mayoritas muslim. Di sisi lain keinginan memimpin Masjid Nurul Jannah dengan mengusung aliran/paham yang berbeda dari mainstream pada pelaksanaan ibadah. Sedangkan jamaah yang lain berusaha untuk membangun masjid sesuai prosedur yang ditetapkan oleh pemerintah kota dan ketentuan pengembang.

5 Pemkot Jaktim Bongkar Masjid, http://www.suarapembaruan.com,

di unduh pada tanggal 23 Maret 2010.

Page 47: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(19)

b. Gereja Katolik Paroki Kalvari

Gereja Katolik Paroki Kalvari yang terletak di kelurahan Lubang Buaya sebenarnya belum berbentuk sebuah bangunan gereja, tetapi masih merupakan tempat ibadat sementara berupa aula/bedeng. Hal ini dikarenakan pihak gereja belum selesai mengurus perizinannya sejak Paroki itu diresmikan tahun 19956. Kegiatan ibadah di wilayah Lubang Buaya dimulai pada tahun 1989 sejak didirikan sekolah Santo Markus di wilayah Lubang Buaya yang sedianya akan dijadikan Paroki Kalvari. Kegiatan peribadatan dilakukan di aula sekolah Santo Markus. Dalam radius sekitar 5 km dari lokasi, terdapat 3 (tiga) buah gereja Kristen.

Pendirian Gereja Paroki Kalvari ini dilakukan seiring dengan makin meningkatnya jumlah umat Katolik yang berada di daerah Pondok Gede, karena munculnya pemukiman baru dan banyaknya umat Katolik yang bermigrasi ke daerah Pondok Gede. Di sisi lain, umat Katolik di sekitar Pondok Gede merasa kesulitan jika harus menuju Paroki Pusat di Cililitan karena jaraknya yang cukup jauh. Menurut pihak gereja, jumlah umat yang tercatat di Paroki Kalvari Lubang Buaya tahun 2009 sebanyak kurang lebih 6000 orang.

Pengajuan perizinan Gereja Paroki Kalvari ini sudah dilakukan beberapa kali, dan telah melalui beberapa kali pergantian kepanitiaan pembangunan gereja. Yang terakhir, pengajuan IMB gereja Kalvari dilakukan panitia pembangunan gereja sejak bulan Februari 2009 kepada Kelurahan Lubang Buaya, dengan meminta pengesahan daftar pengguna dan surat dukungan warga. Warga sekitar gereja Paroki Kalvari menolak kehadiran gereja tersebut7, karena diindikasikan ada pemberian

6Sumber: www.kalvari.net, “Persiapan Akhir di Tengah Badai”,

http://www.kalvari.net/Sejarah%20Paroki%20 Kalvari/persiapan.htm, diunduh pada tanggal 13 April 2010.

7Diolah dari wawancara dengan Lurah Lubang Buaya, Drs. Maman Suryaman pada tanggal 8 April 2010

Page 48: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(20)

uang kepada “warga” agar bersedia memberikan tanda tangan dukungan untuk pengajuan IMB.

Panitia Pembangunan Gereja telah menyiapkan syarat-syarat administratif berupa surat permohonan, susunan kepanitaan pembangunan dalam bentuk proposal. Sedangkan untuk memenuhi persyaratan teknis, pihak gereja menyewa jasa konsultan, dengan alasan kurang memahami seluk beluk perizinan8. Sampai laporan ini ditulis, perizinan masih dalam proses menunggu keluarnya SIPPT (Surat Izin Penunjukan dan Penggunaan Tanah), yang diubah dari awalnya diperuntukkan untuk sarana Pendidikan menjadi Sarana Ibadah.

Untuk memenuhi persyaratan khusus yang disebutkan dalam PBM No.9 & 8 Tahun 2006, Panitia Pembangunan Gereja telah mengajukan daftar nama dan fotokopi KTP pengguna sebanyak 160 (seratus enam puluh) orang, yang telah disahkan oleh Lurah Lubang Buaya dan Camat Cipayung, setelah sebelumnya dilakukan verifikasi oleh tim dari Kelurahan. Sedangkan surat dukungan sebanyak 118 (seratus delapan belas) orang dari warga juga telah disahkan oleh Lurah Lubang Buaya dan Camat Cipayung, walaupun tanpa tanda tangan Ketua RT dan Ketua RW setempat, karena warga RW12 sendiri sebagian besar tidak setuju. Pihak kelurahan mengklaim bahwa mereka telah melakukan verifikasi atas dukungan sebanyak 118 (seratus delapan belas) warga, di antaranya sebanyak 60 (enam puluh) orang adalah warga RW12. Juga dinyatakan bahwa surat dukungan tersebut adalah benar walaupun pada saat dilakukan verifikasi dari 60 (enam puluh) orang warga RW 12 yang memberikan dukungan berkurang jumlahnya menjadi 57 (lima puluh tujuh) orang dikarenakan seorang (satu) orang dan 2 (dua) orang pindah alamat.

Menurut tokoh masyarakat RW 12, pihak gereja mencari dukungan warga secara bergerilya ke rumah warga yang setuju

8 Diolah dari wawancara dengan Ketua Panitia Pembangunan Gereja,

Agung Nugroho pada tanggal 9 April 2010

Page 49: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(21)

(dan relatif miskin) dengan membagi-bagikan uang,9 sehingga memunculkan konflik antara warga yang setuju dengan yang tidak. Warga setempat yang tidak setuju mengajukan surat keberatan/protes sebagai reaksi penolakan atas pengajuan dukungan tersebut berupa surat yang ditandatangani oleh tokoh masyarakat dan warga. Di antara isi surat itu adalah tandatangan warga berjumlah kurang lebih 600 (enam ratus) orang. Surat itu ditujukan kepada P2B Suku Dinas Tata Kota Jakarta Timur dan Walikota Jakarta Timur. Tembusan surat tersebut juga disampaikan kepada FKUB Jakarta Timur, Kanwil Kemenag Jakarta Timur dan pihak gereja Paroki Kalvari.

Pihak FKUB Kota Jakarta Timur telah melakukan peninjauan lokasi gereja sebanyak 2 (dua) kali, dan belum mengadakan diskusi dengan warga untuk menyelasai perselisihan, karena memang pihak gereja belum selesai mengurus perizinan SIPPT. Forum diskusi akan diselenggarakan oleh FKUB jika SIPPT gereja sudah dikeluarkan oleh Dinas P2B.

Sebelumnya, pihak kelurahan telah mengadakan pertemuan antara warga dengan pihak gereja, tetapi belum memperoleh titik temu. Alasan penolakan yang diajukan warga antara lain: 1) Warga setempat (dalam satu RW) mayoritas Muslim jadi tidak diperlukan gereja, 2) Sudah ada 3 (tiga) buah gereja lain di RW 12, dan 3) Pihak gereja menggunakan dana untuk mencari dukungan. Gereja mengklaim bahwa pemberian dana bukan dalam rangka mencari dukungan, tetapi hanya sebagai upaya toleransi kepada warga sekitar dalam penyelenggaraan event (peristiwa) tertentu.

c. Masjid Nurul Hidayah

Masjid Nurul Hidayah pada awalnya merupakan mushola yang kemudian diubah fungsinya menjadi masjid pada tahun 1996. Mengingat kapasitas masjid yang sudah tidak memadai untuk menampung seluruh jemaah, pengurus masjid

9 Diolah dari wawancara dengan tokoh masyarakat RW 12 pada

tanggal 8 April 2010.

Page 50: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(22)

mengajukan permohonan renovasi total masjid tersebut pada bulan November 2008. Rw. 04 Kelurahan Munjul terdiri dari 12 (dua belas) RT, dan mempunyai 2 (dua) buah masjid. Masjid Nurul Hidayah diperuntukkan untuk masyarakat Rt.06 s.d.12.

Rencana pembangunan masjid Nurul Hidayah telah dimusyawarahkan dengan masyarakat setempat, dan masyarakat setempat dapat menerima rencana tersebut, karena masjid yang ada dinilai kurang mampu menampung jemaah. Hal ini dapat dilihat jika shalat Jum’at, jemaah memenuhi jalan di sekeliling masjid. Dukungan pendirian masjid tersebut juga datang dari warga non-Muslim di lingkungan masjid. Ini terlihat dari surat persetujuan/dukungan masyarakat setempat yang juga memuat dukungan dari warga non Muslim, sebanyak 7 (tujuh) orang.

Panitia pembangunan Masjid Nurul Hidayah menyiapkan syarat-syarat administratif untuk mengajukan permohonan IMB renovasi total pengembangan Masjid, yaitu: surat permohonan kepada Walikota, susunan kepanitiaan pembangunan dan rencana anggaran. Sedangkan syarat-syarat teknis yang disiapkan adalah sertifikat tanah, gambar bangunan dan denah masjid. Selain itu, panitia juga menyiapkan izin persetujuan prinsip penyesuaian rencana peruntukan tanah dari wisma taman menjadi Sarana Ibadah untuk tanah seluas ± 725 m2 yang dijadikan lokasi pembangunan masjid. Tanah wakaf yang dijadikan lokasi masjid awalnya diperuntukkan sebagai wisma taman. Untuk persyaratan ini, dibutuhkan waktu agak lama karena keluarnya izin menunggu persetujuan Gubernur DKI Jakarta. Secara umum, panitia pembangunan masjid tidak mengalami kesulitan dalam memenuhi persyaratan, baik secara administratif maupun teknis.

Dalam memenuhi persyaratan khusus seperti yang disebutkan dalam Pasal 14 ayat (2) PBM No.9 & 8 Tahun 2006, panitia pembangunan masjid juga tidak mengalami kesulitan. Dokumen berisi daftar nama beserta fotokopi KTP jamaah pengguna masjid berjumlah 96 (sembilan puluh enam) orang, telah disahkan oleh Lurah Munjul dan Camat Cipayung.

Page 51: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(23)

Sedangkan surat dukungan warga setempat berjumlah 70 (tujuh puluh) orang juga telah disahkan oleh Lurah Munjul dan Camat Cipayung. Dalam surat dukungan tersebut juga memuat persetujuan dari warga non-Muslim setempat sebanyak 7 (tujuh) orang. Panitia Pembangunan mencari dukungan sebanyak 63 (enam puluh tiga) orang tersebut dengan cara mengumpulkan warga setempat dalam suatu forum musyawarah dalam lingkup RW. Masyarakat menyambut baik upaya pembangunan masjid tersebut dan tidak ada reaksi negatif (penolakan).

Pembangunan Masjid Nurul Hidayah juga telah mendapatkan rekomendasi dari Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta yaitu Nomor Kw.09.06/5/KU.005/6293/2009 tanggal 24 Juni 2009 dan Ketua FKUB DKI Jakarta Nomor 25/FKUB-DKI/VI/2009 tanggal 16 Juli 2009. Sebelum mengeluarkan rekomendasi, baik Kemenag Jakarta Timur maupun FKUB Kota Jakarta Timur telah melakukan peninjauan lapangan ke lokasi pembangunan Masjid Nurul Hidayah.

Alur proses pendirian Masjid Nurul Hidayah adalah sebagai berikut:

a. Pengajuan perubahan peruntukan tanah dari status WTM (wisma taman) menjadi SSI (suka sarana ibadah) ke Gubernur DKI Jakarta.

b. Pengajuan izin prinsip pembangunan ke Gubernur DKI Jakarta.

c. Pengajuan IMB (IMB) renovasi total pengembangan dan Pembangunan Masjid ke P2B Suku Dinas Tata Kota Jakarta Timur

d. Pengajuan rekomendasi kepada Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama DKI Jakarta

e. Pengajuan rekomendasi kepada Kepala FKUB DKI Jakarta

Waktu keseluruhan yang dibutuhkan untuk mengurus IMB hampir 1 (satu) tahun. Proses yang paling lama adalah pengajuan perubahan peruntukan tanah dari status WTM (wisma taman) menjadi SSI (suka sarana ibadah). Setelah izin tersebut keluar,

Page 52: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(24)

proses berlangsung lebih cepat yaitu sejak berkas IMB diterima di P2B Suku Dinas Tata Kota Jakarta Timur pada tanggal 30 Juli 2009 sampai keluarnya IMB dengan Nomor 7617/IMB/2009 pada tanggal 3 Agustus 2009.

Disebutkan di dalam IMB, bahwa IMB dikeluarkan setelah dilakukan penilaian terhadap Surat Permohonan Izin Mendirikan Bangunan (PIMB) – Penggunaan Bangunan atas nama Masjid Nurul Hidayah Nomor 01401/PIMB-PB/T/2009 tanggal 30 Juli 2009 dan dengan memperhatikan antara lain:

a. Rekomendasi Walikota Jakarta Timur Nomor 1953/1.856.11 tanggal 15 September 2008;

b. Surat Pernyataan Tidak Sengketa Nomor –tanggal 2 April 2008;

c. Surat Persetujuan Prinsip Gubernur KDKI Jakarta Nomor 1079/1.856.11 tanggal 17 Juni 2009;

d. Surat Persetujuan Prinsip Gubernur DKI Jakarta Nomor 2827/1.711.531 tanggal 25 November 2008;

e. Sertifikat Hak Milik – Wakaf Nomor 1/HM-WAKAF/MUNJUL tanggal 11 November 1998;

f. KRK/RTLB Nomor 0047/GSB/JT/1/2009 tanggal 6 Februari 2009;

g. Persetujuan Teknis Nomor 82/PT/CP/IV/2009 tanggal 7 April 2009;

h. Surat Perintah Gubernur KDKI Jakarta Nomor 2828/1.711.5 tanggal 26 November 2008

Tidak ada biaya yang diperlukan bagi panitia pembangunan masjid untuk menerbitkan IMB. Hanya inisiatif dari Panitia untuk memberi honor bagi pihak-pihak yang membantu perizinan.

Panitia Pembangunan Masjid masih merasakan kurang informasi mengenai alur permohonan IMB rumah ibadah kepada Pemerintah Daerah. Di instansi Kelurahan Munjul belum ada informasi yang lengkap tentang hal tersebut. Panitia diuntungkan dengan adanya anggota panitia pembangunan masjid yang cukup memiliki pengalaman tentang seluk beluk

Page 53: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(25)

pengurusan IMB. Panitia juga sempat melakukan kesalahan dalam pengajuan rekomendasi FKUB, yaitu mengajukan langsung ke FKUB DKI Jakarta tanpa melalui FKUB Kota Jakarta Timur.

Pendirian Masjid Nurul Hidayah berlangsung damai lebih banyak ditunjang karena faktor toleransi dan kerukunan yang baik di antara warga berbeda agama. Dilihat dari jumlah warga setempat, warga muslim sangat dominan di RW 04 Kelurahan Munjul. Penduduk pendatang kebanyakan muslim, karena ada “tradisi” di warga asli setempat supaya sedapat mungkin tidak menjual tanah kepada pendatang non-Muslim. Namun di luar faktor itu, memang semua warga (dalam satu RW) diajak bermusyawarah jika ada rencana yang akan menimbulkan efek pada semua pihak, termasuk dalam hal pendirian rumah ibadat. Faktanya, warga non-Muslim cukup antusias dalam pembangunan masjid ini. Ini terlihat dari partisipasi mereka memberikan bantuan, walapun hanya sebatas dana dalam jumlah yang kecil.

Selain itu, faktor tokoh masyarakat juga berpengaruh pada proses pembangunan yang berlangsung damai. Ketua Dewan Masjid sendiri, Drs. Bobon Somawinata, MM, adalah tokoh yang dihormati karena wibawa dan kemampuannya dalam mengorganisir pembangunan masjid.

Dari wawancara dengan masyarakat setempat, diketahui bahwa warga juga menganggap bahwa proses pendirian Masjid ini telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Warga mengaku bahwa panitia pembangunan sedapat mungkin memberikan informasi tentang status perizinan selama mereka mengurus permohonan IMB.

d. Gereja Paroki Santo Gabriel

Umat Katolik di Komplek Pulo Gebang Permai pada awalnya beribadah di gedung serba guna milik pengembang. Mengingat semakin banyak jemaat yang beribadat dan belum

Page 54: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(26)

ada gereja yang layak, maka Pengurus Dewan Paroki Santo Gabriel dan Pengurus Gereja dan Dana Papa (pihak yayasan) di Pulo Gebang Permai Blok J6 Kota Administrasi Jakarta Timur pada tahun 2006 berinisiatif untuk membeli gedung serba guna untuk dimanfaatkan sebagai rumah ibadat (Gereja) permanen bagi umat Katolik di bawah Paroki Santo Gabriel.

Sebagian umat Katolik di komplek tersebut merupakan penduduk yang sudah lama tinggal di wilayah tersebut dan sudah sangat membaur dengan masyarakat asli (Betawi) sekitar. Umat Katolik di wilayah itu berasal dari berbagai etnis, diperkirakan etnis Jawa 50%, etnis Tionghoa (Cina) 20%, etnis Batak 15%, dan lain-lain sebanyak 15%. Mereka hidup saling berdampingan satu sama lain, saling bergotong royong, melaksanakan kegiatan bersama. Pada saat pihak Gereja St. Gabriel meminta tandatangan persetujuan lingkungan, masyarakat sekitar sepakat dan tidak terlalu banyak mendapat kendala walaupun ada beberapa orang dari agama tertentu menolak atau keberatan.10

Pada tahun 2006, pihak Paroki telah mendapatkan bukti kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan dengan Nomor 04085 tanggal 25 Maret 2006 luas 4067m² dan HGB nomor 04086 tertanggal 23 Maret 2006 luas 1440m² atas nama Badan Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik/PGDP Gereja Santo Gabriel yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Timur. Pada tanggal 2 Juli 2007 pengurus Gereja dan Dana Papa Paroki St. Gabriel melayangkan surat kepada Gubernur Provinsi DKI Jakarta dengan Nomor 020/SG/VII/2007 tentang permohonan penyesuaian rencana peruntukan tanah dari Suka Pendidikan (Spd) menjadi Suka Sosial Ibadah (Ssi) atas tanah seluas ± 6.171m². Surat tersebut mendapat jawaban, disetujui dan ditandatangani oleh Gubernur

10 Diolah dari hasil wawancara peneliti dengan pengurus dan panitia

pembangunan Gereja Paroki St. Gabriel pada tanggal 23 Maret 2010 di Gereja St. Gabriel Komplek Pulo Gebang Permai.

Page 55: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(27)

Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 14 Desember 2007 dengan Nomor surat 3641/-1.711.531.

Persyaratan pendrian rumah ibadat berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 mulai disusun dan kemudian diajukan kepada pihak terkait. Pendataan nama dan KTP umat Katolik yang beribadat di ruang serba guna diikuti dan mengajukan permohonan persetujuan atau dukungan dari masyarakat sekitar baik yang beragama Katolik maupun di luar agama Katolik. Hasilnya disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan jumlah minimal yang sudah ditetapkan. Data nama dan KTP umat Katolik yang beribadat di Santo Gabriel mencapai 266 jemaat, sedangkan persetujuan atau pihak yang tidak berkeberatan berdirinya gereja dari agama lain sebanyak 88 orang. Dokumen yang berisi data nama umat Katolik dan pihak yang tidak berkeberatan dilampiri foto copy KTP dan disahkan oleh Lurah Pulo Gebang dan Camat Cakung. Daftar nama warga yang setuju atas pembangunan Gereja Santo Gabriel juga disahkan oleh Ketua FKUB Kota Jakarta Timur.

Pengurus Gereja dan Dana Papa sebagai Yayasan bersama Pengurus Dewan Paroki Santo Gabriel mengajukan Surat Permohonan Rekomendasi Izin Gedung Serba Guna menjadi tempat ibadah permanen/tetap. Izin diberikan nomor 021/SG/IX/2007 yang ditujukan kepada Gubernur DKI, Walikota Jakarta Timur, Kantor Kementerian Agama Jakarta Timur, dan FKUB Kotamadya Jakarta Timur. Berdasarkan SK Walikota Jakarta Timur Nomor 550/1.857.2 tanggal 24 Pebruari 1999 dan Nomor 1031/1.857.2 tanggal 17 Maret 1999 tentang pemanfaatan gedung serba guna sebagai tempat ibadah sementara umat Katolik di wilayah kompleks Pulo Gebang Permai. Panitia mengirimkan surat dengan melampirkan antara lain:

a. Bukti kepemilikan tanah berupa Sertifikat Hak Guna Bangunan dengan Nomor 04085 tanggal 25 Maret 2006 luas 4067m2 dan HGB Nomor 04086 tertanggal 23 Maret 2006 luas

Page 56: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(28)

1440 m2 atas nama Badan Pengurus Gereja dan Dana Papa Roma Katolik/PGDP Gereja Santo Gabriel yang disahkan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Timur.

b. Izin Mendirikan Bangunan No. 03929/IMB/1997 dan IMB No. 08557/IMB/2003 atas nama PT. Asmawi Agung Corporation dengan lampiran rencana kota No. 2717/XI/GSB/JI/96 peruntukan SUK dan No. 0442/GSB/JT/V/2003 peruntukan SPD.

c. Susunan pengurus Gereja Santo Gabriel.

d. Daftar jumlah umat Katolik Pulo Gebang sebanyak 500 umat yang diketahui oleh Pastor Kepala Paroki Santo Gabriel, RT/RW, Lurah, dan Camat, mencapai lebih dari 500 tanda tangan dan foto copy KTP.

e. Gambar dan foto bangunan gedung serba guna yang diperuntukkan Gereja.

f. Keterangan tidak keberatan warga Muslim yang diketahui oleh RT/RW, Lurah, Camat yang mencapai 200 tanda tangan dan 150 buah foto copy KTP. Surat Keterangan tidak berkeberatan dari Ketua Gardu FBR 029 Pulo Gebang.

g. Surat Keterangan tidak berkeberatan dari Paseban FSMB Pulo Gebang.

h. Surat Keterangan tidak berkeberatan dari SISKOMAS Pulo Gebang Polsek Metro Cakung.

i. Keterangan/sosialisasi Gereja St. Gabriel di wilayah sekitar.

Pada tanggal 20 Maret 2009 Gubernur Provinsi DKI Jakarta mengeluarkan Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) kepada Paroki St. Gabriel dengan Nomor : 448/-1.711.534. SIPPT tersebut kemudian menjadi dasar untuk mengajukan surat permohonan mendapatkan rekomendasi kepada Kanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kantor Departemen Agama Kota Jakarta Timur serta FKUB Provinsi DKI

Page 57: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(29)

Jakarta dan FKUB Kota Jakarta Timur yang dilayangkan pada bulan 9 Juni 2009.

Pada tanggal 20 Mei 2009 Pengurus Gereja St. Gabriel melayangkan surat tentang Penyusunan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) pembangunan Gereja St. Gabriel dan fasilitasnya kepada Kantor Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Timur. Pada tanggal 10 Juni 2009, Kantor Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Timur mengeluarkan surat persetujuan dari hasil penilaian UKL-UPL Pembangunan Gereja St. Gabriel dan fasilitasnya dengan nomor surat 02/01.1/1.774.151 yang ditandatangani oleh Kepala Kantor Lingkungan Hidup Kota Administrasi Jakarta Timur.

Secara internal, Paroki St. Gabriel, sudah mendapat rekomendasi dari Keuskupan Agung Jakarta tentang pembangunan gedung Gereja. Selain itu, Dewan Paroki mengangkat Panitia Pembangunan Pengembangan gedung Gereja Katolik St. Gabriel Pulo Gebang untuk memperlancar pelaksanaan pembangunannya.

Dari proses yang sudah dilaksanakan oleh Panitia, FKUB Kota Jakarta Timur kemudian mengeluarkan Surat Pertimbangan Pendirian Rumah Ibadat dengan Nomor: 03/FKUB-JT/VIII/2009 tanggal 19 Oktober 2009 yang ditandatangani oleh Ketua dan Sekretaris FKUB. FKUB Kota menyerahkan kepada FKUB Provinsi untuk menindaklanjuti surat pertimbangan tersebut. Panitia saat ini masih menunggu rekomendasi yang dikeluarkan oleh FKUB Provinsi DKI Jakarta dan pihak Kanwil Kementerian Agama Provinsi DKI Jakarta dan Kemenag Kota Jakarta Timur.

Penyelesaian Perselisihan Pendirian Rumah Ibadat

Pendirian rumah ibadat di Jakarta Timur masih banyak kendala dan hambatan, diantaranya kurangnya pemahaman dan toleransi dari masyarakat akan kehadiran rumah ibadat baru dalam suatu wilayah pemukiman. Sementara pesatnya

Page 58: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(30)

pembangunan dan mobilitas penduduk menuntut rumah ibadat yang baru yang dekat dengan domisili masyarakat tersebut.

Pihak terkait yang melayani proses pendirian rumah ibadat dirasakan kurang memahami syarat-syarat pendirian rumah ibadat, sehingga pelayanan menjadi lambat dan kurang responsif. FKUB Jakarta Timur mempunyai ketentuan tertulis yang mengacu kepada ketentuan FKUB Provinsi DKI Jakarta berdasarkan PBM dan Peraturan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 64 Tahun 2007. Secara rinci ketentuan-ketentuan yang selanjutnya disebut sebagai kelengkapan persyaratan pendirian rumah ibadat itu dijabarkan sebagai berikut:

a. Kelengkapan Persyaratan Adminstratif

1). Surat Permohonan dari Panitia Pembangunan Rumah Ibadat

2). Susunan Pengurus/Panitia Pembangunan Rumah Ibadat

3). Surat Kepemilikan Tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional/Kantor Pertanahan Setempat: diproses sesuai ketentuan dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.

b. Kelengkapan Persyaratan Tekhnis Bangunan

1). Rencana gambar bangunan; dibuat oleh Panitia Pembangunan Rumah Ibadat sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 7 Tahun 1991 tentang bangunan dalam wilayah DKI Jakarta.

2). Rencana anggaran biaya pembangunan: dibuat oleh Panitia Pembangunan Rumah Ibadat.

3). Keterangan rencana kota: diproses sesuai dengan Undang-Undang Nomor : 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, Undang-Undang Nomor : 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dan Peraturan Daerah

Page 59: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(31)

Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Daerah DKI Jakarta.

c. Kelengkapan Persyaratan Khusus

1). Daftar 90 umat yang memerlukan tempat ibadat dan KTP yang telah disahkan Lurah sesuai batas wilayahnya.

2). Daftar 60 orang penduduk sekitar yang mendukung pendirian rumah ibadat yang disahkan oleh Lurah.

3). Surat Pertimbangan Tertulis dari FKUB wilayah Kota tentang permohonan pembangunan rumah ibadat.

4). Surat Rekomendasi dari Kanwil Kemenag DKI Jakarta. Dari beberapa kasus pendirian rumah ibadat yang

ditolak, masalah yang muncul yaitu kelengkapan persyaratan khusus. Atas masalah yang muncul itu, penyelesaian dilakukan dengan cara berdialog antara panitia pembangunan rumah ibadat dengan tokoh masyarakat yang dijembatani oleh pihak FKUB, perwakilan dari Kanwil Kementerian Agama dan Pemerintah Daerah.

Masalah pendirian rumah ibadat seringkali terjadi karena faktor kurang terbukanya pihak panitia rumah ibadat kepada masyarakat setempat. Masyarakat - sebagai salah satu point yang termasuk di dalam kelengkapan persyaratan khusus – terkadang balik haluan dan berubah menolak pendirian rumah ibadat, bahkan menggugat dengan melayangkan surat keberatan kepada FKUB maupun pihak-pihak terkait.

Kasus Masjid Nurul Jannah di Perumahan Jatinegara Indah, penolakan pendirian masjid bukan datang dari masyarakat, tapi dari pihak pengembang dengan alasan bahwa letak masjid tidak sesuai dengan rencana pembangunan. Keterlambatan pihak pengembang untuk membangun masjid di tempat yang sudah ditentukan tidak tanggap bahwa masyarakat sudah sangat membutuhkan rumah ibadat. Hal inilah yang mendorong masyarakat mendirikan masjid tanpa persetujuan pihak pengembang.

Page 60: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(32)

Sementara itu, kasus pendirian Gereja Katolik Paroki Kalvari, masyarakat setempat memberikan alasan penolakan antara lain: (1) Warga setempat (dalam satu RW) mayoritas Muslim tidak memerlukan gereja, (2) Sudah ada 3 (tiga) buah gereja lain di RW 12, dan (3) Pihak gereja menggunakan dana untuk mencari dukungan. Namun proses penolakan yang dilakukan warga sekitar dengan cara-cara yang bijak, yaitu melakukan verifikasi pendukung pendirian gereja. Aparat dan tokoh agama setempat juga berupaya menjembatani kedua belah pihak sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan.

Ringkasan

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan beberapa catatan penutup sebagai simpulan:

a. Masjid Nurul Jannah di Perumahan Jatinegara Indah ditolak Walikota Jakarta Timur dan dibongkar karena status tanah tidak sesuai dengan PERDA 7/1991. Pemerintah Daerah meminta warga membongkar masjid sendiri atau dibongkar tim penertiban terpadu dari Musyawarah Pimpinan Kota (MUSPIKO). Surat tersebut tidak diindahkan sehingga masjid Nurul Jannah dibongkar.

b. Gereja Kalvari di Lubang Buaya mendapat penolakan dari warga, karena panitia belum selesai mengurus SIPPT. Tembusan surat disampaikan kepada FKUB Jakarta Timur, Kemenag Jakarta Timur dan pihak Gereja Paroki Kalvari. FKUB melakukan peninjauan ke lokasi gereja sebanyak 2 (dua) kali, dan belum mengadakan diskusi dengan warga untuk menangani perselisihan, karena memang pihak gereja belum selesai mengurus perizinan SIPPT.

c. Hambatan proses pendirian rumah ibadat di Jakarta Timur antara lain; sebagian masyarakat belum mempunyai pengetahuan tentang proses pendirian rumah ibadat. Di sisi lain pihak berwenang masih belum menguasai proses

Page 61: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(33)

administrasi terkait proses pendirian rumah ibadat yang sesuai dengan PBM Tahun 2006.

d. Keterbukaan panitia pembangunan rumah ibadat kepada masyarakat sekitar tentang pendirian rumah ibadat menjadi faktor penting untuk membangun kepercayaan masyarakat agar tidak menilai negatif. Di samping itu izin, secara verbal (dialog) dengan warga setempat merupakan hal penting agar dapat membangun citra positif dan saling menghargai.

Sesuai hasil penelitian, direkomendasikan:

a. Kepada masyarakat hendaknya terus dilakukan sosialisasi PBM, sehingga keberatan yang berujung pada penolakan tidak terjadi lagi;

b. Dalam mengatasi manipulasi data pemeluk di wilayah tertentu pada proses pendirian rumah ibadat, perlu dibuat tim pengawas pendataan umat beragama yang bentuk oleh FKUB, tokoh agama dan masyarakat setempat bekerjasama dengan Pemerintah Daerah.

c. Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama perlu melaksanakan semiloka atau lokakarya yang membahas materi-materi khusus penunjang pengetahuan tentang pendirian rumah ibadat dalam sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun 2006.

Page 62: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(34)

Page 63: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(35)

Kondisi Geografi dan Demografi

Kota Bekasi merupakan daerah penyangga Ibukota Negara Republik Indonesia terletak di pinggir Timur DKI Jakarta. Kota Bekasi dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 48 Tahun 1981, memekarkan Kecamatan Bekasi menjadi Kota Administratif (Kotif), terdiri atas 12 kecamatan, 56 kelurahan, 945 RW dan 6.463 RT. Kedua-belas kecamatan dimaksud adalah: (1). Bekasi Timur, (2). Bekasi Selatan, (3). Bekasi Barat, (4). Bekasi Utara, (5). Bantar Gebang, (6). Pondok Gede, (7). Jati Asih, (8). Jati Sampurna, (9). Rawa Lumbu, (10). Medan Satria, (11). Pondok Melati, dan (12). Mustika Jaya. Selain menjadi wilayah pemukiman, Kota Bekasi juga berkembang sebagai kota perdagangan, jasa, dan industri. Berkembangnya berbagai potensi daerah di Kota Bekasi tidak lepas dari adanya fasilitas akomodasi seperti perhotelan, perbankan, dan perumahan.

Pada bulan Juli 2009, tidak kurang dari 2.457.585 jiwa penduduk di Kota Bekasi. Dari jumlah tersebut sebagian besar (87.30%) beragama Islam. Selebihnya beragama Kristen (8.05%), Katolik (2.98%), Hindu (1,12%), Budha (0.23%), dan Khonghucu

Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi

Oleh: Ibnu Hasan Muchtar

2

Page 64: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(36)

(0,008%). Kemudian sebanyak 8.816 jiwa (0.35%) berda di luar agama-agama yang sudah disebut di muka.

Adapun jumlah penduduk berdasarkan agama di setiap kecamatan adalah sebagai berikut:

TABEL 1: JUMLAH PENDUDUK PER KECAMATAN

DI KOTA BEKASI BERDASARKAN AGAMA JULI 2009

Kecamatan Islam Kristen Katolik Hindu Budha Khong hucu Lain Jumlah

Bekasi Timur 233.295 21.701 7.945 7.109 498 14 231 270.793

Beksi Selatan 181.078 20.001 7.644 1.724 534 10 168 211.159

Bekasi Barat 279.497 23.222 8.730 2.515 603 34 1.226 315.827

Bekasi Utara 274.512 24.876 7.958 4.019 687 14 314 312.380

Bantr Gebang 93.596 2.437 791 426 70 11 695 98.026

Pondok Gede 246.087 20.979 7.652 1.574 783 25 2.770 279.870

Jati Asih 186.994 15.234 4.614 1.452 449 24 900 209.667

Jati Sampurna 93.498 7.522 2.926 533 286 11 624 105.400

Rawa Lumbu 158.890 19.365 5.661 2.512 466 13 513 187.420

Medan Satria 141.349 16.716 7.470 3.867 433 15 309 170.159

Pondok Melati 130,675 15.622 9.032 1.122 572 19 842 157.884

Mustika Jaya 125.976 9.125 2.801 629 234 11 224 139.000

JUMLAH 2.145.447 196.800 73.223 27.482 5.615 201 8.816 2.457.585

Persentase 87,30% 8.05% 2.98% 1,12% 0.23% 0,008% 0,35% 100%

Sumber: Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi, 2009

Salah satu sarana untuk pelaksanaan ibadat adalah tersedianya rumah ibadat bagi masing-masing agama. Berdasarkan data pada Buku Rumah Ibadat Kota Bekasi yang dikeluarkan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, sampai dengan akhir tahun 2009, sebagai berikut:

Page 65: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(37)

TABEL 2: BANYAKNYA RUMAH IBADAT MENURUT KECAMATAN DAN JENIS TEMPAT IBADAT TAHUN 2009

Kecamatan Mjd TI Kristen G.Kat Viha Pura Klen Grj Ruko Rmh Pondok Gede 89 1 3 3 0 0 0 0 Jati Sampurna 50 7 5 3 0 0 0 0 Pondok Melati 65 23 17 5 1 1 0 0 Jati Asih 85 3 12 5 0 1 0 0 Bantar Gebang 25 0 0 6 0 0 0 0 Mustika Jaya 64 0 11 1 0 0 0 0 Bekasi Timur 114 16 13 2 1 4 0 1 Rawa Lumbu 101 3 2 2 0 3 0 0 Bekasi Selatan 76 13 1 3 1 0 0 0 Bekasi Barat 78 11 0 3 1 0 1 0 Medan Satria 41 0 0 0 2 0 0 0 Bekasi Utara 93 4 5 16 2 0 0 0 Jumlah 881 81 69 49 8 11 1 1 Sumber: Forum Kerukunan Umat Beragama Kota Bekasi tahun 2009.

Dari dokumen lain yang didapat pada Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi khususnya jumlah gereja Kristen diperoleh dari Penyelenggara Bimas Kristen menunjukkan ada perbedaan jumlah yang cukup signifikan. Hasil data yang diperoleh oleh FKUB, gereja berjumlah 200 (dua ratus) buah, sedangkan data dari penyelenggara Bimas Kristen berjumlah 83 (delapan puluh tiga) buah yang terbagi menjadi 3 katagori: permanen 44 buah, semi permanen 17 buah dan darurat 22 buah. Tempat ibadat umat Kristen oleh FKUB dibagi menjadi tiga katagori yaitu yang sudah berbentuk bangunan gereja berjumlah 81 buah, beribadat di ruko-ruko berjumlah 69 buah dan di rumah-rumah sebanyak 49 buah. Sedangkan jumlah rumah ibadat agama lain tidak berbeda, misalnya gereja Katolik sama dengan yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Bimas Katolik yaitu 8 buah.

Data lain tentang rumah ibadat juga menunjukkan bahwa selain rumah ibadat umum seperti tertera di tabel atas, ada juga rumah-rumah ibadat keluarga. Mengacu kepada Buku Tanya

Page 66: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(38)

Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 Tahun 2006 dan Nomor 8 Tahun 2006, maka pengertian rumah ibadat adalah bangunan yang memiliki ciri-ciri tertentu yang khusus dipergunakan untuk beribadat bagi pemeluk masing-masing agama secara permanen, tidak termasuk rumah ibadat keluarga. Sebutan untuk rumah ibadat umat Islam, Kristen dan Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu secara berturut-turut adalah masjid, gereja, pura, vihara, dan kelenteng.11 Potensi Konflik Antarumat Beragama

Heterogenitas umat beragama sebagaimana tergambar pada data di atas, di satu sisi dapat menjadi salah satu pemicu terjadinya konflik antarumat beragama. Selama beberapa tahun terakhir, konflik yang diakibatkan oleh masalah rumah ibadat telah mengemuka. Menurut penuturan salah seorang pengurus FKUB dan Penyelenggara Bimas Kristen Kota Bekasi mengemukanya persoalan pendirian rumah ibadat beberapa tahun terakhir ini, di antara penyebabnya adalah: a. Makin terbuka wawasan dan pengetahuan sebagian

masyarakat tentang aturan/tatacara mendirikan rumah ibadat sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor: 9 dan 8 Tahun 200612;

b. Ada kecenderungan sebagian Panitia Pembangunan Gereja (PPG) menggunakan cara-cara pintas memperalat pihak ketiga/penguasa, arogan dalam bertindak, tidak mau bekerjasama dengan Penyelenggara Bimas yang ada di Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi, memaksakan kehendak, dan

11 Kustini, Makalah Pra seminar Potret Kerukunan Umat Beragama

Kota Bekasi, 2009 12 Wawancara dengan Sekretaris FKUB Kota Bekasi tanggal, 9 April

2010

Page 67: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(39)

tidak sabar khususnya PPG yang dipimpin oleh oknum aparat/mantan aparat.13

Di antara pendirian rumah-rumah ibadat di Kota Bekasi yang bermasalah, mengutip berbagai sumber serta pengamatan lapangan adalah: a. Desakan peninjauan ulang izin pendirian gereja di Komplek

Perumahan Villa Indah Permai Bekasi; b. Pengrusakan pembangunan gereja Katolik Santo Albertus di

Jl. Boulevard, Kawasan Perumahan Harapan Indah Kota Bekasi.14

c. Pembangunan Gedung Gereja GPIB Galilea Taman Galaxy I / Villa Galaxy Blok BA-2 Kaveling No. 45-46 RT 005, RW 017 Kelurahan Jakasetia Kecamatan Bekasi Selatan.

d. Rumah tempat tinggal di Jl. Batam B-135, RT 06/ RW 10, Kompleks TNI- AL Jatibening Indah Bekasi yang dialihkan fungsinya menjadi tempat kebaktian Gereja Kristen Indonesia (GKI) sejak tahun 1991. Sejak tahun 2004 sampai sekarang kasus ini mencuat kembali.

e. Rencana pembangunan Gereja Bethel Indonesia di lingkungan RW 01, Kelurahan Bojong Rawa Lumbu Kecamatan Rawa Lumbu Bekasi.

f. Rencana pembangunan Gereja St. Clara di RW 06, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Bekasi Utara yang tidak direkomendasikan dalam rapat koordinasi Walikota, tetapi tetap gigih untuk mewujudkannya.

g. Keberadaan ruko-ruko yang dialihfungsikan menjadi tempat kebaktian.15

13 Wawancara dengan Penyelenggara Bimas Kristen Kota Bekasi, 9

April 2010. 14 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia, CRCS UGM,

tahun 2009 hal. 29.

Page 68: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(40)

Proses Pembangunan Rumah Ibadat

Gereja Katolik Santo Al Bertus Harapan Indah Bekasi

Jemaat Gereja Santo Albertus di Harapan Indah tak bisa dipandang sebagai jemaat yang kecil. Sekitar 5.000 jiwa telah menjadi anggotanya, dan sekarang para anggota Gereja Stasi ini sedang berjuang untuk membangun sebuah rumah ibadat.

Panitia Pembangunan Gereja (PPG) St. Al-bertus secara resmi dibentuk oleh Romo Gaby dengan Surat Pengangkatan Nomor: 000/DP/PDP-35/10-06-04 tanggal 10 Juni 2004, kemudian diangkat kembali dengan Surat Keputusan Pengurus Dewan Paroki/ PGDP Paroki Santo Mikael Kranji Nomor: 0102/DP/DPH-SK/X/2005 tanggal 30 Oktober 2005 dan berakhir 30 Oktober 2006. Selanjutnya, Pengurus baru yang bekerja saat ini diangkat dengan Surat Keputusan Pengurus PGDP Santo Albertus Paroki Santo Mikael Kranji-Bekasi No. 004/PGDP-SK/III/2007 tanggal 24 Maret 2007.

Peresmian dimulainya pembangunan Gereja Katolik Santo Al-Bertus oleh Walikota Bekasi, H. Mochtar Mohammad, sekaligus penekanan Tombol Tiang Pancang Pertama tanda dimulainya pengerjaan pembangunan pada Minggu, 11 Mei 2008.

Masalah sulit lain yang dihadapi oleh Panitia Pembangunan Gereja (PPG) ini pada awal pembangunan adalah penolakan sebagian masyarakat dari wilayah sekitar baik dari Kota Bekasi maupun Kabupaten Bekasi yang masih terus berlanjut, walaupun secara administratif dan aturan yang berlaku sudah cukup dan terpenuhi dengan telah dikeluarkannya surat Izin Mendirikan Bangunan rumah ibadat dari Walikota Bekasi

15 Badruzzaman Busyairi: Satu Tahun Forum Kerukunan Umat Beragama

Kota Bekasi 14 Juni 2006 – 14 Juni 2007; 2007; 4-6;

Page 69: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(41)

Nomor: 503/0053/I-B/DISTARKIM/Pem tanggal 06 Februari 2008.16

Salah satu kejadian yang cukup menghebohkan dan menjadi berita besar yang dilansir oleh media cetak dan elektronik adalah berita tentang penyerangan dan pembakaran Gereja St. Albertus pada tanggal 17 Desember 2009. Juga dimuat dalam daftar masalah di seputar rumah ibadat tahun 2009 dalam Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia tahun 2009 oleh Center For Religious And Cross-Cultural Studies (CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta.17

Kasus Gereja St. Albertus tanggal 17 Desember 2009 yang dapat dihimpun dari berbagai sumber, sebagai berikut: a. Kamis, 17 Desember 2009, sekitar pukul 21.00 WIB.

Serombongan massa yang diduga ikut konvoi arak-arakan menyambut Tahun Baru Umat Islam, 1 Muharram 1431 Hijriyah, datang ke kawasan perumahan Harapan Indah, Medan Satria, Kota Bekasi. Mereka yang diperkirakan berjumlah 500-1000 orang, terdiri dari pria, wanita dan anak-anak menggunakan mobil dan sepeda motor berkumpul di patung selamat datang kawasan perumahan Harapan Indah.

b. Mereka berorasi kemudian membubarkan diri setelah dihalau oleh petugas keamanan (polisi dan petugas keamanan kawasan). Mereka kecewa dan meninggalkan patung selamat datang. Mereka bergerak ke arah jalan yang terdapat proyek pembangunan gereja St. Albertus. Di depan proyek pembangunan itu mereka masuk, membakar pos pengamanan, kantor proyek, bedeng pekerja bangunan, dan merusak keramik yang akan dipasang dalam rangka mengejar

16 http://st-albertus-org, tanggal 19 Februari 2010 17 Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, CRCS,

Universitas Gajahmada.

Page 70: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(42)

kegiatan Natal tanggal 25 Desember 2009, (pencurian sebuah mesin potong keramik dan sebuah mesin bor).

c. Porsonil tidak seimbang dengan jumlah massa, sehingga kesulitan menghentikan amuk massa. Baru setelah diadakan tembakan peringatan, massa lari meninggalkan lokasi. Beberapa orang berhasil ditangkap dan diidentifikasi, lalu dilepas. Hanya satu orang yang ditahan karena kedapatan membawa barang. Hasil pemeriksaan sementara kepolisian saat itu: (1) massa yang melakukan pengrusakan berasal dari Babelan dan Tarumjaya, Kabupaten Bekasi. (2) masa umumnya tidak tahu bahwa mereka menuju ke lokasi dan akan melakukan pengrusakan. Mereka tahunya melakukan arak-arakan dalam rangka Tahun Baru 1 Muharram 1431 H. Sebab pada malam itu, masjid-masjid di Bekasi sedang melakukan peringatan Tahun Baru Umat Islam, dan di Masjid Agung Al-Barkah Kota Bekasi pun sedang berlangsung acara dzikir bersama dihadiri ribuan jamaah.

Salah satu langkah Pemerintah Daerah dalam mengatasi kejadian ini adalah Walikota Bekasi langsung mengadakan rapat koordinasi dengan jajaran kepolisian dan keamanan, serta FKUB, MUI dan tokoh masyarakat, di rumah dinas walikota. Hadir Kapolres Metro Kota Bekasi dan jajarannya berikut para Kapolsek terkait, Kapolres Kabupaten Bekasi, Kepala Kejaksaan Kota Bekasi, Ketua dan Sekretaris FKUB, Ketua Umum MUI Kota Bekasi, Komandan Kodim Bekasi, K.H. Amin Noer Ali dari Pesantren At-Taqwa Babelan, Bekasi, Camat dan Lurah Medan Satria.

Rapat dipimpin Walikota Bekasi, Mochtar Mohammad. Pada kesempatan itu rapat mendengarkan kronologis kejadian dari (1)Kapolres Metro Kota Bekasi, (2) Kapolres Kabupaten Bekasi, (3) Kapolsek Babelan, (4) Kapolsek Medan Satria, dan (5)

Page 71: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(43)

Camat Medan Satria. Selain itu juga mendengarkan keterangan dari Pimpinan Pesantren At-Taqwa, Babelan K.H. Amin Noer Alie, Ketua FKUB Kota Bekasi dan Ketua Umum MUI Kota Bekasi. Dalam rapat itu disimpulkan hal-hal sebagai berikut: a. Massa yang melakukan pengrusakan dan pembakaran di

kompleks pembangunan Gereja ST. Arnoldus adalah massa dari Babelan dan Tarumjaya, Kabupaten Bekasi.

b. Kondisi fisik bangunan gereja yang sedang dalam proses pembangunan masih tetap utuh tidak dirusak dan tidak dibakar. Pengrusakan dan pembakaran terjadi di kantor manajemen proyek, bedeng pekerja bangunan/tukang, pos keamanan proyek, dan keramik yang akan dipasang.

c. Pagi hari setelah kejadian, suasana lingkungan proyek sudah bersih kembali.

d. Aparat kepolisian tetap memproses secara hukum terhadap orang-orang yang diduga terlibat dalam kasus pengrusakan.

e. Keberadaan patung selamat datang harus ditertibkan karena tidak memiliki izin pembangunannya.

f. Untuk masa yang akan datang, dalam rangka menjaga kerukunan hidup antarumat beragama di Kota Bekasi, dihimbau agar jajaran Pemda Kota Bekasi bertindak tegas terhadap ulah pengembang kawasan perumahan yang melanggar ketentuan tentang tatacara pengembangan kawasan baru. Sedang para pengembang diminta agar dalam membuka kawasan baru selalu berpegang kepada budaya dan sejarah lokal, sehingga tidak menimbulkan kesenjangan sosial di masyarakat.18

18 Laporan Kronologis Kejadian Kebakaran Pembangunan Gereja St.

Albertus oleh FKUB Kota Bekasi tgl, 19 Desember 2009 dan Laporan Penyerangan Gereja St. Albertus oleh Penyelenggara Bimas Katolik Kota Bekasi, tanggal, 22 Desember 2009.

Page 72: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(44)

Renovasi Wihara Tri Dharma Pondok Gede

Wihara Tri Dharma di Pondok Gede telah berdiri pada tahun 1964. Seiring semakin banyak kegiatan yang beragam dan marak kala itu membuat umat semakin bertambah banyak. Mereka berasal dari Pondok Gede, Bojong Nangka, Kampung Sawah, Pasar Kecapi, Bojong Rawalele, Cikunir, Kampung Kebantenan, dan Jatiasih. Tempat ibadah yang ada disebut Cetya (tempat ibadah umat Buddha lebih kecil dari Vihara) dinilai kurang memadai. Maka pada tahun 1971 dibangunlah Vihara dengan ukuran 7 m x 14 m di atas tanah seluas 400 m2. Saat itu bentuk Vihara ini masih semi permanen. Baru pada tahun 1973 Vihara diresmikan oleh Camat Pondok Gede dihadiri oleh tokoh-tokoh agama. Sejak tahun 1973 sampai saat ini Vihara ini telah mengalami beberapa kali renovasi kecil. Pada tahun 1984 ada penambahan bangunan aula yang terletak di samping Vihara.19 Renovasi Total Vihara Tri Dharma

Penduduk yang beragama Buddha di wilayah Kecamatan Pondok Gede dan Kecamatan Pondok Melati, maka dibentuklah Panitia Pembangunan Vihara yang bertugas merenovasi dan perluasan Vihara. Langkah kerja Panitia Pembangunan Vihara, sebagai berikut: a. Pada tanggal 28 Oktober 2007 panitia mengajukan surat

permohonan rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi, setelah dilakukan peninjauan dan penelitian di lapangan pada tanggal 17 Desember 2007 dan pada tanggal 12 Februari 2008. Kemudian mendapat respon dari FKUB melalui Surat Rekomendasi Nomor: 14/REK.FKUB/IX/2008 tertanggal 3 Maret 2008;

19 Profil Vihara Tridharma Pondok Gede Jl. Raya Hankam No. 46

Jatirahayu Pondok Melati Bekasi

Page 73: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(45)

b. Pada tanggal 12 Desember 2007 Panitia mengajukan permohonan rekomendasi izin pendirian bangunan dari Dinas Sosial, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat. Dinas Sosial, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat kemudian memberikan rekomendasi Nomor: 4541/185/SPPM.3/III/2008 tertanggal 26 Maret 2008, setelah memperhatikan dan mempertimbangkan antara lain: 1) Surat persetujuan warga sekitar yang dibuktikan dengan

tanda tangan dan foto copy KTP dengan jumlah terpenuhi menurut persyaratan yang ditentukan oleh PBM tahun 2006.

2) Rekomendasi dari Lurah Jati Rahayu Nomor: 474/18/X/2006 tanggal 12 Oktober 2006.

3) Rekomendasi dari Camat Pondok Melati Nomor: 503/99/Ekbang/X/2006 tanggal 13 Oktober 2006.

4) Rekomendasi dari Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Bekasi Nomor: 14/Rek.FKUB/III/2008 tanggal 3 Maret 2008.

c. Pada tanggal 13 Desember 2007 Panitia mengajukan permohonan rekomendasi dari Kementerian Agama Kota Bekasi dan mendapat jawaban rekomendasi Nomor: Kd.10.21/3/BA.00/766/2008 tertanggal 25 April 2008, setelah melalui pertimbangan dengan memperhatikan hasil musyawarah Tim Rekomendasi Rumah Ibadat Kantor Kemneterian Agama pada tanggal 21 April 2008.

d. Pada tanggal 21 Agustus 2008 panitia mengajukan permohonan rekomendasi pendirian rumah ibadat kepada Walikota Bekasi dan mendapat jawaban berupa rekomendasi pembangunan renovasi total Vihara Tri Dharma Nomor: 445.2/Kep.293-BPPT/VIII/2009 tertanggal 20 Agustus 2009.

Page 74: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(46)

Dari penuturan panitia pembangunan yang juga sekretaris Yayasan Pengabdi Tri Dharma, Lilawati, bahwa dalam proses pengurusan surat-surat untuk mendapatkan rekomendsasi sebagaimana yang disyaratkan oleh PBM tahun 2006 dan Peraturan Walikota Bekasi Nomor: 16 tahun 2006 tentang Tata Cara Pemberian Izin Pendirian Rumah Ibadat, tidak terjadi hal-hal yang menyulitkan baik dari masyarakat lingkungan setempat maupun dari pihak-pihak dimana surat permohonan ditujukan seperti FKUB dan Kementerian Agama Kota Bekasi.20

Hal senada dituturkan oleh Ketua RT 04/02 Kelurahan Jati Rahayu Kecamatan Pondok Melati Uju Sujana bahwa proses renovasi total Vihara Tri Dharma tidak mengalami kesulitan dan tidak mendapat penolakan warga. Beberapa hal yang dikemukakan ketua RT 04/02 sebagai berikut: a. Pengurus dan para jemaah Vihara ini cukup koperatif dan

membaur dengan masyarakat sekitar, aktif dalam acara-acara yang diadakan oleh RT/RW.

b. Menyetujui permintaan warga agar jalan warga di belakang Vihara dapat diluruskan dengan sedikit memberikan tanah Vihara menjadi jalan.

c. Sering membantu setiap kebutuhan yang diperlukan bersama untuk keperluan umum warga seperti ronda malam.

d. Vihara mempekerjakan warga sekitar dalam hal keamanan Vihara.

e. Pada hari-hari besar agama Vihara sering membagikan sembako kepada warga sekitar.

Perlu diketahui bahwa di wilayah Rt. 04/02 ini saja terdapat 3 rumah ibadat dan menjadi 4 rumah ibadat yang sangat

20 Hasil wawan cara langsung dan tertulis dengan Sekretaris Yayasan

Pribadi Tridharma, tanggal 14 Maret 2010

Page 75: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(47)

berdekatan karena Gereja Kristen Indonesia (GKI) hanya berjarak 50 meter berseberangan jalan lain RT, masing-masing rumah ibadat dimaksud adalah: 1). Vihara Tri Dharma (umat Buddha), 2). Mushalla Nurul Muttaqin (Umat Islam), 3). Gereja Bethel Indonesia GBI(umat Kristen, dan 4). Gereja Kristen Indonesia GKI(umat Kristen).21 Pembangunan Gereja Masehi Injili Indonesia (Gemindo)

Pada tahun 1985 banyak berdiri perumahan di wilayah Bekasi dan sekitar yang dihuni oleh berbagai kelompok masyarakat yang berbeda agama, suku dan profesi. Pada tahun 1986 beberapa keluarga yang berasal dari Manado berkumpul di salah satu rumah warga yang berasal dari Manado dan mengadakan kebaktian bersama. Seiring bertambahnya warga dan tempat kebaktian yang tidak memungkinkan lagi, maka diputuskan untuk pindah ke rumah Yan Pandei yang menetap di kampung Cerewed sejak tahun 1970. Saat itu ada 15 KK yang mengikuti kegiatan ibadah rutin. Dengan semakin bertambahnya jemaat, tempat ibadah kemudian dipindahkan ke samping rumah Yan Pandei dengan mendirikan sebuah bangunan yang menampung untuk beribadah kurang lebih 25 KK (100 jiwa) pada tahun 1987.

Gemindo Kawan Kasih Bekasi ini resmi menjadi anggota ke 11 yang bernaung di bawah Sinode Gemindo yang berke-dudukan di Jl. Kebon Bawang, Tanjung Priok Jakarta Utara. Sinode Gemindo sendiri resmi terdaftar di Kementerian Agama dengan surat keputusan No. 129 tahun 1989 dan telah diterima sebagai anggota Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI)

21 Hasil wawancara denga Ketua RT. 04/-02 Kel. Jatirahayu Bpk Ayu

Sujana tgl. 14 Maret 2010

Page 76: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(48)

yang ke 63 dengan surat keputusan No. 027/PGI-XI/SKEP/1993 tanggal 28 September 1993.22 Pembangunan Gereja Gemindo Kawan Kasih Bekasi

Lahan tersedia untuk pembangunan sebuah gereja, maka pada tanggal 26 Mei 1992 pihak panitia pembangunan gereja mengajukan permohonan surat kepada lurah untuk mendapatkan rekomendasi yang pada saat itu masih menggunakan peraturan lama yaitu Surat Keputusan Bersama Menag dan Mendagri Nomor 1/BERMDN-MAG/1969 tentang Pelaksanaan Tugas Aparatur/Pemerintahan dalam Menjamin Ketertiban dan Kelancaran Pelaksanaan Pengembangan dan Ibadat Agama oleh Pemeluk-Pemeluknya. Surat dimaksud juga dilampirkan surat keterangan menyatakan tidak keberatan dari RT dan RW setempat dan tanda tangan tidak keberatan dari warga sekitar.23

Dengan kesabaran dan mau mendengarkan arahan dan nasihat baik aparat pemerintah maupun pemuka masyarakat setempat, melalui proses dan waktu yang cukup lama akhirnya proses untuk pembangunan gereja ini tinggal menunggu Surat Izin Mendirikan Bangunan (SIMB) dari Walikota Bekasi, setelah terpenuhi semua persyaratan sebagaimana diatur baik dalam PBM tahuan 2006 maupun Peraturan Walikota No. 16 tahun 2006.

Perjalanan pembangunan ini tidak berarti tanpa masalah, meskipun akhirnya dapat diatasi oleh panitia pembangunan

22 Buku Sejarah Berdirinya Gereja Masehi Injili Indonesia (GEMINDO)

Kawan Kasih, Maret 2008 23 Sejak awal keberadaan gereja ini tidak bermasalah dengan penduduk

sekitar karena pihak gereja dianggap bermasyarakat dengan warga sekitar dan bahkan lahan yang dibanguan sebuah masjid di daerah ini merupakan pemberian dari Yan Pandei (almarhum) pendiri GEMINDO Kawan Kasih dengan Akte hibah No. 1165/H/M/BT/1991.

Page 77: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(49)

gereja. Hambatan terjadi pada awal rencana pambangunan setelah membangun pondasi, membuat kerangka bangunan berupa tiang beton/pilar beton dan menutup sebagian bangunan untuk dapat digunakan sebagai tempat beribadat dan menghadapi perayaan Natal tahun 1995. Menjelang Natal tahun 1995 itu tiba-tiba tempat rencana gereja ini diserbu oleh massa yang tidak diketahui menghujani tempat tersebut dengan batu, menjarah barang-barang yang ada di gereja dan membakarnya termasuk sebuah mobil kijang dan sepeda motor. Kejadian ini ditangani dan diproses oleh pihak yang berwajib.

Jemaat sempat berpindah-pindah untuk menumpang tempat ibadah gereja lain diataranya di gedung gereja HKBP Durenjaya dan gedung gereja GKP di samping terminal Bus Bekasi.24

Menurut Kristine, salah seorang pengurus/panitia pembangunan gereja mengatakan bahwa proses pembangunan rumah ibadat Gemindo Kawan Kasih ini sudah cukup lama tetapi memang prosedur itulah yang harus ditempuh karena ketentuan yang berlaku mengharuskan untuk ditaati.

Pembangunan rumah ibadat tidak ada masalah sepanjang mengikuti prosedur dan peraturan yang berlaku baik dalam PBM Tahun 2006 dan atau Peraturan Walikota No. 16 tahun 2006. Juga perlu dilakukan komunikasi yang intensif dengan warga sekitar dan para pemuka agamanya. Menurutnya hendaknya tidak bersikap arogan, seolah-olah dengan uang segala-galanya dapat diatasi dengan menggunakan kekuatan luar.25

24 Buku Sejarah Berdirinya Gereja Masehi Injili Indonesia (GEMINDO) Kawan Kasih, Maret 2008

25 Wawancara pada tanggal 15 April 2010.

Page 78: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(50)

Gedung Gereja GPIB Galilea Galaxi

Rencana pembangunan Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Jemaat Galilea, telah dirintis sejak 28 Juni 1992. Dimulai dari rencana pembangunan gereja di Jl. Damar XII, Pekayon Jaya, Bekasi Selatan. Namun warga sekitarnya menolak. Rencana pembangunan terpaksa pindah ke Jl. Delta Raya Pekayon, Bekasi Selatan, namun ditolak juga oleh warga, akhirnya pindah lagi ke Jl. Aralia Raya, Kemang Pratama II, Bekasi Timur dan ditolak juga. Karena ditolak juga, akhirnya pindah ke Pondok Pekayon Indah (PPI), Bekasi Selatan. Warga masyarakat setempat tidak mau menerima kehadiran bangunan gereja di kampungnya. Panitia pembangunan gereja Galilela mencari lokasi baru dan berhasil mendapatkan lokasi yang baru, di atas lahan seluas 500 m2 di Jl. Cendana A-42, RT 001, RW 04, komplek perumahan Pekayon Jaya, Kelurahan Pekayon Jaya, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi.

Kepindahan gereja hingga lima kali terjadi lantaran pembangunan gereja Galilea berada di tengah-tengah masyarakat mayoritas beragama Islam taat dalam menjalankan agamanya. Sebaliknya umat Kristen dengan segala denominasinya yang terkadang hanya beberapa orang saja berkeinginan mendirikan gereja. Praktis, jemaat yang memenuhi gereja yang bersangkutan (GPIB jemaat Galilea) jauh lebih banyak yang berasal dari luar wilayah gereja itu berada. Itulah konsekuensi umat beragama yang menjadi fenomena di berbagai pemukiman penduduk Kota/Kabupaten Bekasi.

Mestinya ketika tidak cukup di tingkat RT, maka harus naik di tingkat RW. Jika di tingkat RW, persyaratan tidak cukup juga, maka harus dinaikkan di tingkat Desa/Kelurahan. Jika di tingkat Desa/Kelurahan belum terpenuhi, maka naik di tingkat kecataman dan seterusnya. Jika warga tetap menolak juga, maka

Page 79: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(51)

pemerintah wajib memfasilitasi tempat ibadah tersebut agar setiap warga negara dapat beribadah secara baik dan lancar.

Panitia pembangunan gereja Galilea, akhirnya melalui surat nomor 52/MJ-GAL/06/1999, tertanggal 5 Juni 1999, Panitia Pembangunan Gereja Galilela mengajukan permohonan izin ke Walikota Bekasi dan dikabulkan. Seiring diajukannya permohonan izin ke walikota oleh panitia, mulai muncul berbagai penolakan dari masyarakat setempat. Pihak Gereja Galilea berusaha melakukan pendekatan dengan kelurahan Pekayon Jaya dan aparat Kecamatan Bekasi Selatan.

Setelah lebih dari empat tahun dan berhasil mendapatkan dukungan dari 15 tokoh masyarakat dan 100 KK, akhirnya Lurah Pekayon Jaya (Asep Supyandi) pada tanggal 17 Desember 2004, memberikan rekomendasi persetujuan. Dua bulan berikutnya, 17 Februari 2005, Camat Bekasi Selatan (Drs. Makbullah) juga memberikan rekomendasi persetujuan. Alasannya, sebagaimana terungkap dalam surat nomor 452.2/090-kec.BS/2005 itu, lantaran: a) sudah ada rekomendasi dari Lurah Pakayon Jaya; b) sebagai tindak lanjut dari surat Camat Bekasi Selatan pada tanggal 15 Juni 2003 yang ketika itu ditanda-tangani oleh Drs. Junaedi; c) sudah ada persetujuan warga pada tanggal 11 Febrauri 2002.

Tanggal 25 Februari 2005, Ketua Panitia Pembangunan Gereja Galilea, Egbert Marulitua Siagian dan Ketua Jemaat GPIB Galilea Pdt. Timotius Susilo S.Si mengajukan surat permohonan baru kepada Walikota Bekasi H. Akhmad Zurfaih S.Sos untuk mendapatkan izin bagi pembangunan Gereja Galilela.

Masyarakat sempat resah atas munculnya pembaruan IMB itu, dan suasana pun menjadi tidak kondusif. Mayoritas warga kelurahan Pekayon Jaya berbalik menolak rencana pembangunan

Page 80: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(52)

gereja di wilayahnya. Warga setempat khawatir akan terjadi pemurtadan dilingkungannya. Mendengar kekhawatiran masyarakat setempat, jema’at Gereja Galilea berjanji tidak akan melakukan pemurtadan terhadap orang-orang Islam di sekitar Gereja. Sayang masyarakat tetap tidak mempercayainya.

Pada Sabtu malam Ahad, tanggal 5 Mei 2005, warga masyarakat Pekayon Jaya menyelenggarakan rapat akbar di Masjid Jami Al-Huda. Dalam kesempatan itu, sebanyak 256 warga dan tokoh masyarakat setempat menuliskan nama, alamat, dan tanda tangannya, menolak pendirian gereja di Pekayon Jaya. Akibatnya pada tanggal 1 Juni 2005, melalui surat nomor: Kd.10.21/I/Ba.00.712.2005, Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi, H. Nuh Mahmud tidak bersedia memberikan rekomendasi bagi rencana pembangunan gereja GPIB Jemaat Galilea, karena permasalahan di wilayah masyarakat sekitar tempat pembangunan gereja belum selesai.

Tanggal 14 September 2005, panitia mengajukan surat susulan yang tembusannya disampaikan kepada Presiden RI, Ketua DPR-RI, Ketua Umum Sinode GPIB Jakarta, Ketua Umum PGI (Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia) pusat di Jakarta, serta instansi tingkat Kota Bekasi, termasuk Camat Bekasi Selatan dan Lurah Pekayon Jaya yang kesemuanya ada 13 instansi tingkat Pusat dan tingkat Kota Bekasi.

Pada tanggal 7 Februari 2006, surat susulan ketiga (Nomor 02/MJ-GAL/I/2006) dilayangkan kembali dengan tembusan yang sama dengan surat susulan sebelumnya. Tanggal 20 Februari 2006, Sekretaris Daerah Kota Bekasi, Tjandra Utama Effendi, melalui surat Nomor: 451/291-Kesos/II/2006 menyatakan bahwa surat Panitia pembangunan gereja Galilea belum dapat diproses karena berkas permohonan yang Saudara sampaikan belum lengkap, yaitu Rekomendasi Kepala Kantor

Page 81: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(53)

Departemen Agama Kota Bekasi dan Rekomendasi Dinas Sosial Kota Bekasi.

Salah satu acuan pemberian rekomendasi pendirian rumah ibadat di Kota Bekasi di masa itu, adalah Surat Keputusan Walikota Nomor 19 tahun 1999, tentang Tatacara Penyelesaian Pertimbangan Persetujuan Pendirian Sarana Peribadatan di Wilayah Kotamadya Tingkat II Bekasi, di samping berbagai perundang-undangan dan peraturan di tingkat operasionalnya. Sementara FKUB Kota Bekasi waktu itu belum berdiri.

Setelah gagal mendirikan Gereja Galilea di 5 lokasi yang berbeda, karena penolakan warga setempat, Jemaat Galilea masih memperjuangkannya. Mereka pindah ke wilayah yang baru, yaitu perumahan Taman Galaxi I/Villa Galaxi, Blok BA-2, Kaveling Nomor 45-46, RT 005, RW017, Kelurahan Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi. Pembangunannya berada di atas sebidang tanah seluas 550 m2 dari 149.870 m2 yang dibeli pada tanggal 23 April 2007 sesuai dengan Akte Notaris Sermida Silaban SH, Nomor 5.

Gereja Galiliea mengklaim telah memiliki jemaat 135 KK, atau sekitar 600 (enam ratus) jiwa yang tersebar di berbagai kawasan perumahan dari berbagai kecamatan di Kota Bekasi. Di antaranya dari perumahan Villa Galaxy, perumahan Kemang Pratama, perumahan Delta Pekayon Jaya, perumahan Pekayon Jaya II, perumahan Pondok Pekayon Indah, perumahan Peninsula Garden, perumahan Depnaker, perumahan Jatiasih, perumahan Pondok Mitra Lestari, perumahan Century Garden, perumahan Griya Metropolitan, dan perumahan Narogong.

Di lokasi yang baru ini (Villa Galaxi, Jakasetia) sesungguhnya sudah berdiri 5 (lima) buah gereja dari denominasi yang berbeda, yakni gereja Bartholomeus, gereja

Page 82: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(54)

Oukemene, gereja GBKP, gereja Methodis, dan gereja POUK. Selain itu, juga sudah berdiri sekolah Pax Patriace yang megah, dan kantor kegiatan Paroki, dan lain lain yang kesemuanya berada dalam satu lingkungan, yakni RT 05, RW 017, Kelurahan Jakasetia, Kecamatan Bekasi Selatan.

Majelis Sinode GPIB membentuk kepanitiaan baru sebagai pengganti kepanitian yang lama. Melalui surat keputusan No. 0797/1-07/MS XVIII/Kpts, tertanggal 19 Januari 2007, Majelis Sinode GPIB Jemaat Galilea mengangkat Panitia yang baru untuk masa tugas tahun 2007-2008, terdiri dari Ketua Dra. Roosiana Sahusilawane, Sekretaris Amelia Dhamayanti, dan Bendahara Soebekti.

Panitia menghubungi Kantor FKUB, seraya menyerahkan surat tertanggal 23 Mei 2007, yang isinya memohon agar diterbitkan rekomendasi bagi pembangunan Gereja Galilea. Tembusan surat itu dikirimkan ke Wakil Walikota Bekasi, dan Kapolres Bekasi. Sesuai ketentuan, surat Panitia itu dilampiri antara lain nama-nama jemaat Galilea dan warga sekitar yang menerima rencana pembangunan gereja dimaksud berikut foto-copy KTP yang dilegalisir pejabat setempat. Panitia juga telah mendapatkan rekomendasi dari Lurah Jakasetia Nurtani, SIP dan Camat Bekasi Selatan Drs. H. Makbullah, yang juga dilampiri persetujuan Ketua RT 05/RW 017 Yadih, Ketua RW 017 Nanin Sudiar, Ketua RW 018 H. Sarih Mulyana, dan Ketua RW 019 Ir. Deden Dermawan.

Surat itu direspon dan dipelajari oleh FKUB dengan mempelajarinya. Beberapa hari berikutnya, dilakukan peninjauan ke lokasi, di bawah koordinasi Ketua FKUB. Hasil peninjauan belum bisa disimpulkan, karena belum dilakukan pengecekan langsung kepada warga yang foto-copy KTP-nya disertakan dalam lampiran surat Panitia.

Page 83: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(55)

Beberapa orang anggota FKUB dari wilayah kerja kecamatan Bekasi Selatan di bawah koordinasi Drs. H. Soekandar Ghozali melakukan cros-check ke warga sekitar lokasi gereja Galilea yang nama-nama berikut foto copy KTP-nya tertera dalam lampiran surat permohonan Panitia. Hasilnya, tidak semua warga tahu dan sadar kalau namanya tercantum dalam daftar sebagai “orang-orang yang tidak keberatan” bila di wilayahnya dibangun lagi gereja baru yaitu gereja GPIB Galilea. Sebaliknya, jauh lebih banyak warga masyarakat yang keberatan dan menolak bila di lingkungan yang telah berdiri lima gereja akan berdiri gereja baru lagi.26

Dari hasil pengecekan dan konfirmasi peneliti di lapangan baik dilakukan terhadap Ketua RT, Yadih27 warga RT.05/17 yang menyetujui. Informasi dari aparat desa dan beberapa warga terungkap bahwa: a. Panitia Gereja Galilea pernah datang ke warga bersilaturrahim

menawarkan bantuan untuk perbaikan fasilitas umum seperti saluran air got dan pernah memberi beberapa sak semen, serta menjanjikan bantuan, dan merekapun memberikan tanda tangan persetujuan;

b. Dari 63 orang yang membubuhkan tanda tangan sebagai persetujuan tidak keberatan dibangunnya gereja di wilayah mereka ini, keseluruhan adalah penduduk RW. 17.28

Dari hasil penelusuran terhadap daftar nama-nama calon pengguna Gereja GPIB yang berjumlah 202 orang (sudah lebih dari 90 orang yang disyaratkan). Tetapi, faktanya ada yang kurang tepat. Panitia mencantumkan nama-nama yang sebagian

26 Laporan Kronologis singkat pembangunan Gereja Galelia oleh Ketua

FKUB Kota Bekasi 18 Maret 2009. 27 Wawancara dengan Ketua RT. 05/17 pada tanggal 20 Maret 2010 28 Wawancara dengan Somad dan Nur pada tanggal 28 Maret 2010

Page 84: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(56)

bukan pengikut/ jemaat Gereja GPIB Galilea. Dari 17 orang jemaat beralamat di Villa Galaxi di mana letak gereja akan dibangun setelah dikonfirmasi penulis ke rumah masing-masing sedikitnya sebanyak 8 orang menyatakan bukan jemaat GPIB Galilea.

Bahkan dari Pulo Minas Rt. 05/17 di kampung masyarakat yang memberikan persetujuan, dari 25 orang yang tercantum dalam daftar calon pengguna gereja GPIB Galilea tidak seorang pun yang menjadi jemaat Gereja Galilea ini. Hal ini terjadi, kemungkinan karena jema’at GPIB tempat tinggalnya tersebar di berbagai komplek perumahan, sehingga mengalami kesulitan untuk mendapatkan tanda tangan persetujuan.

Gereja yang dimanfaatkan oleh jema’at GPIB adalah bekas Gereja Toraja yang digunakan beribadat pada tanggal 28 Maret 2010. Klaim salah satu pengurus bahwa jemaatnya lebih dari 90 orang, namun pada saat mereka beribadat, jema’at yang hadir tidak lebih dari 50–60 orang jemaat. Mungkin hal ini, karena banyak berhalangan hadir dalam ritual itu, sebagaimana umat Islam juga seperti itu29 Kronologi Penolakan Masyarakat Bekasi

Rencana pembangunan gereja oleh GPIB ini sudah berkali-kali dilakukan hingga 5 (lima) kali pindah. Perpindahan disebabkan penolakan keras dari warga setempat karena dianggap tidak memenuhi persyaratan.

Pada tanggal 6 Juni 2007 bertepatan dengan 20 Jumadil Awal 1428 H, diselenggarakan silaturrahim masjid dan mushalla Kecamatan Bekasi Selatan, kemudian disampaikan surat

29 Penulis setidaknya 4 kali melakukan observasi dan penelusuran di

lapangan masing-masing tanggal 16, 20, 28 Maret dan 11 April 2010.

Page 85: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(57)

penolakan ditujukan kepada Ketua FKUB. Ada 5 (lima) alasan penolakan terhadap pembangunan gereja Galilela yang disampaikan melalui surat Nomor 01/SMM/VI/ 2007, yaitu:

a. Di wilayah tersebut khususnya di lingkungan Rt.05/17 telah berdiri dan beroperasi 5 (lima) gereja besar dari berbagai denominasi, yang mungkin melebihi kuota kebutuhan warga Kristen atau Katolik di wilayah perumahan Galaxy dan sekitarnya.

b. Sebagian besar jemaat gereja-gereja tersebut di atas berasal dari Villa Galaksi, Taman Galaksi, Pondok Pekayon, Pulau Ribung dan Kampung Pulo Minas Kelurahan Jakasetia.

c. Diduga terjadi manipulasi persetujuan warga oleh oknum RT/RW setempat, yang menyatakan bahwa warga tidak berkeberatan yang diwakili oleh sejumlah warga dari Kampung Pulo Minas. Mayoritas warga sekitar, keberatan dan menolak rencana pembangunan gereja tersebut, karena rumah ibadat yang ada sudah cukup.

d. Adanya 5 (lima) gereja besar yang sudah ada, karena fasilitas parkir yang tidak memadai, sehingga menimbulkan ketidaknyamanan bagi warga sekitar.

Surat penolakan pembangunan gereja Galilea itu ditanda-tangani oleh Ketua-ketua Pengurus DKM Masjid, Mushalla dan Majlis Taklim se kecamatan Bekasi Selatan.

Pada tanggal 29 Mei 2009, Forum Silaturrahmi Masjid & Mushalla Bekasi Selatan (FSMM) mengirimkan surat kepada Ketua FKUB Kota Bekasi, nomor 12/SMM/V/2009 berisi “Penegasan Kembali Penolakan Pembangunan Gereja GPIB Galilea”. Dalam surat itu FSMM menyinggung 3 (tiga) suratnya terdahulu yang isinya sama tentang “Penegasan Penolakan Pembangunan Gereja GPIB Galilela”. Ketiga surat itu adalah: a. Surat Nomor 01/SMM/VI/2007, tanggal 6 Juni 2007.

Page 86: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(58)

b. Surat Nomor 02/SMM/VIII/2007 tanggal 26 Agustus 2007 c. Surat Nomor 04/SMM/IX/2008 tanggal 15 September 2008

yang ditujukan kepada Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi. Ketiga surat itu diulang dengan surat ke-empat.

Alasan yang dikemukan FSMM itu adalah: a. Diduga terjadi “manipulasi persetujuan warga” yang tanda-

tangan dan KTP-nya disertakan dalam proses perizinan, yang dianggap tidak sesuai PBM Nomor 9 dan 8 tahun 2006.

b. Menimbulkan keresahan warga sekitar. c. Pernyataan penolakan 14 masjid dan mushalla serta warga

muslim Bekasi Selatan yang tertuang dalam “Piagam Galaxi” tertanggal 13 Agustus 2007, serta

d. Penolakan masyarakat yang dituangkan dalam “Pernyataan Sikap Umat Islam dan Ormas-ormas Islam se-Bekasi” tanggal 5 Desember 2007.

Usaha PPG GPIB Galilea terus berlanjut untuk mendapatkan rekomendasi dari FKUB disamping itu juga melaporkan kepada Polres Kota Bekasi dan Walikota yang tembusannya dikirim kepada 15 instansi pemerintah dari RT sampai Presiden.30 berdasarkan rapat pleno FKUB, pada tanggal 11 Februari 2009, diterbitkan rekomendasi pembangunan gereja GPIB Jemaaat Galilea Bekasi. Rekomendasi itu berbunyi, antara lain:

“Menetapkan: Memberikan rekomendasi persetujuan terhadap permohonan pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea Bekasi, yang berada di Taman Galaxi I / Villa Galaxi Blok BA-2, Kaveling no. 45-46, RT 005 RW 017 kelurahan Jakasetia, Bekasi Selatan, Kota Bekasi, di atas lahan seluas 550 m2”.

30 Kronologis rencana pembangunan Gereja GPIB Galilea oleh Ketua

FKUB Kota Bekasi

Page 87: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(59)

Rekomendasi tersebut dapat dikeluarkan dengan catatan apabila dikemudian hari terjadi penolakan dari masyarakat, maka surat rekomendasi ini bisa dicabut kembali dan penyelesaian selanjutnya sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 tahun 2006, Bab VI, pasal 21, dilakukan oleh Walikota Bekasi.

Pada tanggal 25 Oktober 2009, FKUB mendapat informasi, telah dilakukan pemancangan dan batu pertama bagi pembangunan gereja. Pada hari yang bersamaan warga muslim berkumpul untuk menolak rencana tersebut.

FKUB mendapat kiriman foto kopi Keputusan Walikota Bekasi Nomor 452.2/Kep.201-BPPT/V/2009, tanggal 20 Mei 2009, tentang “Pemberian Rekomendasi Pendirian Gereja GPIB Jemaat Galilea Kepada Panitia Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea” yang ditandatangani Walikota Bekasi Mochtar Mohamad. SK Walikota itu memutuskan: KESATU: Memberikan Rekomendasi Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea di atas tanah seluas 550 m2 yang beralamat di Taman Galaxy I / Villa Galaxy Blok BA-2 Kaveling No. 45-46 RT 005, RW 017 Kelurahan Jakasetia Kecamatan Bekasi Selatan. KEDUA: Pemberian izin sebagaimana dimaksud diktum KESATU keputusan ini harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: a. Menyelesaikan Rekomendasi Kementerian Agama Kota

Bekasi. b. Pengurus Gereja GPIB Galilea wajib merubah status tanah. c. Setelah mendapat rekomendasi, pemohon agar segera: (a)

menyelesaikan Izin Peruntukan Penggunaan Tanah (IPPT). (b) menyelesaikan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

SK Walikota itu ditembuskan kepada FKUB, tetapi FKUB belum pernah menerima tembusan dimaksud kendatipun sudah

Page 88: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(60)

meminta kepada fihak Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT).

Pada tanggal 26 Oktober 2009, FSMM mengirim surat kembali kepada Ketua FKUB Kota Bekasi. Mereka keberatan dan resah dengan dimulainya peletakan batu pertama pembangunan gereja GPIB Galilea itu. Mereka meminta kepada FKUB Kota Bekasi agar segera mencabut surat rekomendasi No. 26/Rek.FKUB/II/2009. Surat FSMM Bekasi Selatan ditanda-tangani 28 pengurus masjid, mushalla dan majelis taklim se-Kecamatan Bekasi Selatan. Tembusannya dikirimkan kepada Walikota Bekasi Selatan, Ketua DPRD Kota Bekasi, Kapolresta Kota Bekasi, Ketua MUI Kota Bekasi, KakanKemenag Kota Bekasi, Camat Bekasi Selatan, Kapolsek Bekasi Selatan, Lurah Jaka Setia dan TPM Kota Bekasi. Surat FSMM itu juga dilampiri foto-foto lokasi pembangunan Gereja Galilea yang memperlihat-kan suasana persiapan pembangunan lengkap dengan tenda upacara pemancangan tiang pertama, alat-alat berat, reaksi masyarakat dengan melakukan orasi di lokasi pembangunan yang dikelilingi bedeng yang terbuat dari seng, dan lain lain. Peran Pemerintah dalam Penyelesaian Perselisihan

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk menyelesaikan setiap perselisihan tentang penggunaan rumah/ruko sebagai rumah ibadat, baik melalui musyawarah maupun dengan tindakan tegas aparat keamanan jika terjadi hal-hal di luar kendali.

Dalam menangani kasus pendirian rumah ibadat Gereja GPIB Galilea pemerintah setempat telah berusaha melakukan berbagai upaya sebagai berikut: a. Rapat koordinasi intelejen dari berbagai instansi (Kominda)

Kota Bekasi menjelang diselenggarakan Pemilihan Kepala

Page 89: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(61)

Daerah (Pilkada) Kota Bekasi. Rapat menyimpulkan agar masalah rencana pendirian gereja Galilea disikapi dengan arif. Menunggu sampai kondisi masyarakat benar-benar kondusif.31

b. PPG Galilea menulis surat kepada Kapolres Bekasi, diikuti utusan Kapolres menemui Ketua FKUB. Ketua FKUB menyanggupi membicarakan masalah Gereja Galilea, baik sendirian maupun bersama dengan pengurus/ anggota FKUB lainnya. Polres dapat memahami sikap FKUB yang tidak serta merta memberikan rekomendasi, karena masalahnya sangat peka. Reaksi masyarakat yang menolak sangat keras dan lebih banyak daripada yang menyetujuinya. Secara khusus telah berulang kali disampaikan oleh Pengurus FKUB kepada Ketua Panitia Pembangunan Gereja Galilea, bahkan Ketua FKUB megingatkan untuk melakukan pendekatan sebaik-baiknya dengan mayarakat. Bila tidak ada pendekatan yang baik dipastikan pendirian gereja tidak akan terwujud.

31 Catatan: Masyarakat pada umumnya memahami agama yang

difasilitasi pemerintah Indonesia ada 6 yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Kong Hu Cu. Masyarakat juga memahami tempat peribadatan yang dikenal selain masjid, mushalla, wihara, adalah gereja untuk umat Nasrani (Katolik dan Kristen). Karena itu sebagian masyarakat masih bisa menerima ketika di suatu tempat / wilayah terdapat sebuah gereja, meski jemaat yang mendatanganinya kebanyakan berasal dari luar lingkungannya. Tapi ketika di suatu lingkungan kecil (RT atau RW) bangunan gereja berbilang jumlahnya, masyarakat menganggapnya sudah berlebihan. Masyarakat secara umum belum bisa membedakan antara satu denominasi dengan denominasi lain dalam Agama Kristen yang banyak jumlahnya dengan latar belakang pemahaman dan cara peribadatan yang berbeda satu dengan lainnya. Hal ini sudah barang tentu memerlukan pendekatan yang baik, agar masyarakat memahami keaneka ragaman sekte-sekte tadi. Karena itulah mereka menolak keras rencana pembangunan gereja GPIB jemaat Galilea sedang persis di sebelahnya sudah ada Gereja Kristen Methodis dan di depannya ada beberapa gereja sejenis dari Kristen Protestan dan Katolik.

Page 90: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(62)

c. Pada tanggal 25 Februari 2008, Kepala Solinbermas Kota Bekasi mengadakan rapat bersama Ketua FKUB, Kepala Kemenag Kota Bekasi, Camat dan Lurah Jakasetia, agenda membahas masalah rencana pembangunan Gereja Galilea. Rapat menyimpulkan dapat memahami sikap FKUB yang belum memberikan rekomendasi kepada Panitia Pembangunan Gereja Galilea sebelum keadaan masyarakat sekitar benar-benar kondusif.

d. Pada tanggal 29 Agustus 2008, diadakan pertemuan di Kantor Kecamatan Bekasi Selatan yang dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat, unsur Muspika Bekasi Selatan, unsur Kandepag Kota Bekasi, Pengurus FKUB Kota Bekasi, dan Panitia Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea Bekasi. Pertemuan membahas rencana pembangunan gereja dimaksud yang tak kunjung selesai.

e. Tanggal 11 Februari 2009, FKUB mengadakan Rapat Pleno kembali membahas masalah permohonan rekomendasi dari Panitia Pembangunan Gereja GPIB Galilea Bekasi. Dalam pertemuan itu disimpulkan, rekomendasi bisa dikeluarkan oleh FKUB dengan catatan, manakala masih terdapat kalangan masyarakat yang keberatan terhadap rencana pembangunan gereja dimaksud, maka penyelesaian selanjutnya diserahkan kepada Walikota Bekasi.

f. Tanggal 24 November 2009, Camat Bekasi Selatan mengundang FKUB Kota Bekasi membahas surat FSMM Nomor 18/SMM/X/2009, tanggal 26 Oktober 2009. Hadir dalam acara itu FKUB, Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), Kemenag Kota Bekasi, Dinas Hukum&Perundang-undangan Kota Bekasi, Wakapolsek Bekasi Selatan, Lurah Pekayon, Sekcam Bekasi Selatan, KUA Bekasi Selatan. Rapat dipimpin langsung oleh Camat Bekasi Selatan. Rapat

Page 91: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(63)

membahas proses awal rencana pembangunan gereja GPIB Galilea, berbagai reaksi yang muncul serta sikap Panitia Pembangunan, sampai akhirnya terbit SK Walikota Nomor 452.2/Kep.201-BPPT/V/2009, tentang Pemberian Rekomendasi Pendirian Gereja GPIB Jemaat Galilea Kepada Panitia Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea, tanggal 20 Mei 2009. Rapat juga mendapat keterangan dari aparat keamanan yang melaporkan di lokasi pembangunan terus berjalan kendatipun belum ada IMB.

Setelah mendengar keterangan, usul dan saran dari segenap yang hadir, rapat menyimpulkan Pembangunan Gereja GPIB Jemaat Galilea harus dihentikan sementara dengan alasan; pertama, syarat-syarat yang dikehendaki dalam SK Walikota itu belum terpenuhi, yaitu (1) Rekomendasi dari Kandepag Kota Bekasi, dan (2) status tanah belum dirubah. Kedua, adanya keresahan masyarakat yang makin memuncak dan cenderung menimbulkan ketegangan di kalangan masyarakat.

Pada tanggal 17 Maret 2010 di Aula Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi diadakan pertemuan silaturahim tokoh agama, tokoh masyarakat Islam se-Kota Bekasi dan dihadiri oleh Asda III mewakili Bupati. Salah satu pembahasan dalam pertemuan ini adalah persoalan pendirian rumah ibadat termasuk Gereja Galilea, yang sampai saat penulisan makalah ini belum ada titik terang penyelesaiannya.

Analisis

Berbagai persoalan yang muncul di seputar pembangunan rumah ibadat di Kota Bekasi ini bukan hanya tidak terpenuhinya persyaratan yang diatur oleh PBM tahun 2006 maupun Peraturan

Page 92: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(64)

Walikota Nomor: 16 tahun 2006, tetapi juga disebabkan oleh masing-masing pihak yang terlibat dalam persoalan ini sering mengedepankan pendapat pribadi. Masing-masing berargumen memperkuat pendiriannya. Perizinan yang dikeluarkan secara tidak prosedural tanpa memperoleh rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi sering menjadi penyebab. Hal ini menyalahi Peraturan Walikota No. 16 tahun 2006 tentang Tata cara Pendirian Rumah Ibadat di Kota Bekasi.

Panitia pembangunan gereja mulai bekerja membangun gereja, sementara IMB belum terbit dan mengabaikan saran/kerjasama dengan penyelenggara Bimas Kristen Kementerian Agama Kota Bekasi. Sementara pihak yang keberatan tidak memberikan ruang dan kesempatan berdialog dengan panitia.

Pihak FKUB sendiri telah melakukan tinjauan lapangan tetapi kurang mendalam, tidak mengecek kebenaran daftar nama-nama calon pengguna,32 karena seringnya mendapat desakan untuk segera mengeluarkan rekomendasi. Dari pihak pemerintah telah melanggar peraturan yang ditetapkan sendiri seperti telah mengeluarkan Surat Rekomendasi izin pembangunan gereja yang seharusnya menurut peraturan Walikota Nomor; 16 tahun 2006 harus melampirkan Surat rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama.

Panitia berkeinginan pembangunan dapat terselenggara secepatnya disamping permintaan jemaat gereja yang menginginkan gereja mereka segera bisa terwujud.

32 Catatan: Jumlah Sinode dalam Kristen terlalu banyak sehingga sulit untuk membedakan anatara pengikut satu denominasi dengan yang lain

Page 93: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(65)

Ringkasan

Dari hasil penelusuran yang dipaparkan di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Pendirian rumah ibadat yang kemudian memperoleh

penolakan dari warga sekitar disebabkan oleh berbagai hal; 1) Rencana lokasi pendirian rumah ibadat dianggap tidak

tepat karena sebagian besar calon pengguna tidak bermukim di wilayah dimana akan dibangun rumah ibadat dimaksud.

2) Tidak ada komunikasi sebelumnya antara panitia pembangunan dengan masyarakat sekitar.

3) Pembangunan rumah ibadat tidak berdasarkan keperluan nyata dan sungguh-sungguh.

4) Ada ketidakjujuran panitia dalam pencantuman nama calon pengguna rumah ibadat.

b. Pendirian rumah ibadat yang disetujui warga: 1) Panitia maupun calon pengguna rumah ibadat

sebelumnya sudah bersosialisasi dengan warga sekitar.

2) Mengikuti prosedur yang telah diatur oleh PBM maupun peraturan pemerintah daerah.

3) Ada kerjasama dengan perwakilan yang ada di pemerintah, dan ada kesabaran menunggu.

4) Betul-betul berdasarkan keperluan nyata dan sungguh-sungguh.

c. Berbagai upaya pemerintah setempat dilakukan untuk penyelesaian kasus pendirian rumah ibadat dengan cara: 1) Koordinasi antar instansi terkait, dengan melakukan

rapat-rapat dengan melibatkan semua unsur terkait; 2) Mempertemukan antara panitia pembangunan dengan

perwakilan warga/masyarakat yang menolak;

Page 94: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(66)

3) Menunda dikeluarkannya rekomendasi oleh Kementerian Agama Kota Bekasi (khusus Gereja Galelia) karena kondisi masyarakat sekitar belum kondusif.

Sesuai hasil penelitian, maka disarankan sebagai berikut:

a. Sosialisasi peraturan perundangan-undangan yang menyang-kut pendirian rumah ibadat baik PBM Nomor: 9 dan 8 tahun 2006 maupun Peraturan Walikota Nomor: 16 Tahun 2006, perlu dilakukan terus menerus.

b. Pihak Panitia Pembangunan Rumah Ibadat diminta untuk mentaati peraturan yang ada, dan dapat bekerjasama dengan para penyelenggara Bimas masing-masing di Kantor Kementerian Agama Kota Bekasi.

c. Tim verifikasi baik dari FKUB maupun dari Kantor Kemeterian Agama Kota Bekasi diharapkan dapat melaksanakan tugas dengan penuh tanggung jawab, dan lebih teliti sesuai dengan peraturan yang berlaku.

d. Pemerintah melalui Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT) agar dalam memberikan surat izin harus sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan sendiri dan PBM Nomor: 9 dan 8 tahun 2006.

e. Pemerintah dalam hal ini Kantor Kementerian Agama perlu tegas, jika PPG sudah mendapatkan persetujuan warga sekitar, hendaknya tetap mengeluarkan surat rekomendasi meskipun mendapat protes dari warga lain di luar wilayah sekitar.

f. MUI Kota Bekasi memberikan pengertian pada masyarakat dan melakukan pembinaan masyarakat dalam memahami perbedaan.

Page 95: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(67)

Geografi dan Demografi

Kabupaten Tangerang terletak di bagian Timur Provinsi Banten pada koordinat 106°20'-106°43' Bujur Timur dan 6°00'-6°20' Lintang Selatan. Luas wilayah Kabupaten Tangerang 1.110,38 km2 atau 12,62% dari seluruh luas wilayah Provinsi Banten. Wilayah di sebelah utara berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah timur berbatasan dengan Provinsi DKI Jakarta dan Kota Tangerang, sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kota Depok, sedangkan sebelah barat berbatasan dengan Kabupaten Serang dan Lebak.

Penduduk Kabupaten Tangerang sebanyak 3.103.299 jiwa terdiri dari laki-laki 1.116623 jiwa dan perempuan 1.986.677 jiwa tersebar di 29 Kecamatan. Kepadatan penduduk 3.129 jiwa/km². Sebagai daerah penyangga Jakarta, banyak penduduk yang bekerja di Jakarta. Namun karena Kab. Tangerang juga merupakan daerah industri, sehingga banyak orang datang dan bekerja di pabrik-pabrik. Perkembangan pemukiman di sekitar pabrik-pabrik itu telah mempercepat pertambahan penduduk. Mereka datang dari berbagai daerah di Indonesia bermacam-

Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Tangerang

Oleh: Titik Suwariyati

3

Page 96: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(68)

macam suku dan agama, yang akhirnya berimbas pada kebutuhan rumah ibadat.

Secara topografi, Kabupaten Tangerang terdiri dari wilayah dataran rendah dan dataran tinggi. Dataran rendah sebagian besar berada di wilayah utara yaitu Kecamatan Teluknaga, Mauk, Kemiri, Sukadiri, Kresek, Kronjo, Pakuhaji, dan Sepatan. Sedangkan dataran tinggi berada di wilayah bagian tengah ke arah selatan.

Kondisi Sosial, Ekonomi, dan Pemerintahan

Kabupaten Tangerang adalah daerah tingkat dua di wilayah Provinsi Banten yang sekaligus menjadi penyangga DKI Jakarta, hanya berjarak 30 km dari Ibukota negara dengan waktu tempuh 30 menit. Pusat perkembangan signifikan di Kabupaten Tangerang yaitu Serpong, Balaraja dan Tigaraksa dan Teluk Naga. Daerah Serpong meliputi enam kecamatan, yaitu Serpong, Ciputat, Pondok Aren, Legok dan Curug yang menjadi pusat pertumbuhan pemukiman. Pusat pertumbuhan Balaraja dan Tigaraksa berupa kawasan industri, pemukiman dan pusat pemerintahan meliputi delapan kecamatan yaitu Balaraja, Rajeg, Pasar Kemis, Tigaraksa, Kresek, Cisoka, Cikupa, Kronjo, Jayanti, Jambe, dan Panongan. Teluk Naga meliputi lima kecamatan yaitu Teluk Naga, Kosambi, Sepatan, Mauk, Pakuhaji, Kemiri, dan Sukadiri. Wilayah-wilayah ini diarahkan untuk pengembangan sektor pariwisata bahari dan alam, industri maritim, pelabuhan laut, perikanan, dan tambak.

Sebagai daerah sentra industri, di sektor ekonomi sebagian besar penduduk bekerja bidang industri dan jasa. Penyerapan sektor industri pada tahun-tahun belakangan mengalami hambatan, karena banyak pabrik tutup dan tidak berproduksi (Tempointeraktif.com,2007).

Page 97: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(69)

Tutupnya beberapa pabrik menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan berpengaruh pada peningkatan angka pengangguran.

Masyarakat Kabupaten Tangerang memiliki kultur budaya campuran Betawi, Jawa, Banten dan Priangan. Sebagian penduduk menggunakan bahasa Indonesia sebagai media komunikasi sehari-hari, dan sebagian lagi menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Jawa, bahasa kaum pendatang dari Jawa.

Masyarakat Kabupaten Tangerang termasuk masyarakat yang dinamis dan gemar akan kesenian. Karakter kesenian yang ada di Kabupaten Tangerang adalah perpaduan antara seni budaya Betawi, Banten dan Priangan. Beberapa kesenian yang berkembang sampai saat ini diantaranya seni musik Gambang Keromong dan Tari Krecek yang merupakan tarian pergaulan banyak berkembang di kawasan Teluk Naga dan Kosambi.

Kondisi Kehidupan Keagamaan

Kabupaten Tangerang terkenal dengan sebutan daerah industri, sehinga banyak penduduk yang berdatangan ke kota Tangerang untuk mengadu nasib. Terdapat berbagai suku yang memeluk agama masing-masing, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Agama penduduk di Kabupaten Tangerang sebagaimana tabel berikut:

TABEL 1: JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA

DI KABUPATEN TANGERANG Agama Jumlah Prosentase

Islam 2.924 244 jiwa 94,23 Kristen 61.946 jiwa 1,99 Katolik 56 744 jiwa 1,83 Hindu 21 486 jiwa 0,69

Page 98: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(70)

Buddha 31 254 jiwa 1,01 Khonghucu 7.625 jiwa 0,25 Jumlah 3.103.299 jiwa

Komposisi penduduk berdasarkan agama tercermin pula dengan komposisi jumlah rumah ibadat. Terbanyak adalah masjid/mushalla sebanyak 9.760 buah, Gereja Kristen 317 buah, Gereja Katolik 18 buah, Pura 5 buah, dan Vihara 37 buah.

Berbagai ormas keagamaan terdapat di Kab. Tangerang mulai dari ormas keagamaan Islam sampai Khonghucu. Ormas Keagamaan Islam: Nahdatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Mathlaul Anwar, Dewan Masjid Indonesia, PERSIS, GP. Ansor, Fatayat, Aisyiah, Muslimat NU, BKMT dan MTA. Ormas Kristen yang ada yakni PGI, PGPI, PGLI, BAPTIS dan ADVENT. Di kalangan Umat Katolik: Wanita Katolik, MUDIKA (Pemuda Pemudi Katolik) dan Warsen (Warga Senior). Di kalangan Hindu: PHDI, WHDI, dan Permudita. Di kalangan Umat Buddha: Tri Dharma, NSI, Gemabudi, Patriya dan Budayana. Di kalangan Khonghucu: Makin, Pakingemaku dan Perkin.

Masing-masing ormas keagamaan memiliki kegiatan sesuai dengan visi dan misinya. Aktivitas ormas Islam diantaranya majelis taklim, TPA, yasinan dan lainnya dilaksanakan di masjid-masjid atau mushalla lingkungan. Demikian pula dengan umat beragama yang lain yang dilakukan di lingkungannya sendiri. Pendirian Rumah Ibadat

Pasca keluarnya PBM,33 pada tanggal 17 April 2006, Bupati Kabupaten Tangerang mengeluarkan Keputusan Nomor;

33 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM)

No. 9 Tahun 2006 dan No. 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama,

Page 99: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(71)

450/Kep.125-Huk/2007 tentang Pembentukan Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten Tangerang periode 2007–2011. Setelah terbentuknya FKUB Kabupaten Tangerang, maka dilakukan kegiatan-kegiatan, antara lain sebagai berikut:

a. Sosialisasi Kerukunan Umat Beragama

Sosialisai dilaksanakan pada bulan Juni 2008, bertempat di Aula KORPRI Kabupaten Tangerang Cikokol, Kota Tangerang. Peserta sebanyak 150 orang yang terdiri dari unsur aparat kecamatan, desa/kelurahan dan KUA Kecamatan se-wilayah Kabupatan Tangerang Barat dan Utara. Materi yang disampaikan adalah PBM Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006, serta implementasi PBM 2006 di Kabupaten Tangerang. Sumber dana bantuan sosial untuk FKUB dari APBD Kabupaten Tangerang tahun 2008. Sosialisasi kerukunan ini untuk pertama kali dilaksanakan atau angkatan pertama.

Sosialisasi berikutnya dengan materi yang sama dilaksanakan pada bulan Agustus tahun 2008, bertempat di Aula Kecamatan Serpong. Jumlah peserta sebanyak 150 orang yang terdiri dari unsur aparat kecamatan, desa/kelurahan dan KUA Kecamatan se-wilayah Kabupaten Tangerang Selatan dan Kabupaten Tangerang Tengah.

Berikutnya dilaksanakan pada Desember tahun 2008, bertempat di Aula Kelurahan Jelupang-Serpong Utara diikuti oleh 150 orang peserta berasal dari warga sekitar Perumahan Melati Mas. Sumber dana diperoleh dari bantuan sosial untuk FKUB dari APBD Kabupaten Tangerang tahun 2008. Sosialisasi ini dilaksanakan atas permintaan warga masyarakat setempat.

Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dan Pendirian Rumah Ibadat

Page 100: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(72)

b. Dialog Antarpemuka Agama dan Tokoh Masyarakat

Dialog dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus 2007 bertempat di Pendopo Bupati Tangerang diikuti sebanyak 70 orang yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat. Materi dialog ialah membangun Kerukunan Umat Beragama sebagai faktor dominan dalam menunjang keberhasilan pembangunan di Kabupaten Tangerang. Dialog dilaksanakan, tanggal 15 Mei 2008, bertempat di ruang Wareng Kantor Bupati Tangerang (Tigaraksa) diikuti 60 orang yang terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat. Materi dialog yang disampaikan adalah Pemahaman Kerukunan Umat Beragama berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 tahun 2006.

Dialog berikutnya pada bulan Juni tahun 2009, bertempat di Ciloto Cipanas diikuti 80 orang, terdiri dari tokoh agama dan tokoh masyarakat. Materi yang disampaikan adalah Pembinaan Persatuan dan Kesatuan Bangsa Melalui Kerukunan Umat Beragama. Sumber dana diperoleh dari Kantor Kesbangpol Kabupaten Tangerang, (APBD 2009). Sedangkan nara sumber adalah Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama Kementerian Agama RI.

c. Menampung Aspirasi Ormas Keagamaan dan Aspirasi Masyarakat

Pada tanggal 29 Januari 2008, bertempat di Aula Kantor Kemenag Kabupaten Tangerang, telah hadir sejumlah tokoh sebanyak 20 orang yang terdiri dari Forum Komunikasi Muslim Jatimulya Kecamatan Kosambi dan Jemaat Advent. Aspirasi yang

Page 101: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(73)

disampaikan adalah penolakan warga Jatimulya Komplek Perumahan Duta Bandara Kecamatan Kosambi atas rencana pendirian Gereja Advent Hari Ketujuh cabang Kebayoran Baru Jakarta. Rombongan diterima oleh pengurus FKUB dan aparat Kantor Depag Kabupaten Tangerang, juga hadir dari unsur Muspika Kosambi.

Pada bulan Maret 2008, bertempat di Aula Kantor Kementerian Agama Kabupaten Tangerang hadir sejumlah tokoh masyarakat/agama 10 orang diikuti oleh rombongan Majelis Taklim Ibu-ibu Kelurahan Pamulang Barat sebanyak 2 bus. Mereka menyatakan penolakan atas rencana pendirian Gereja Katolik Rasul Barnabas di Kelurahan Pondok Cabe Udik Kecamatan Pamulang. Dialog dilakukan dengan Kepala Kantor Kemenag Kabupaten Tangerang.

Pada tanggal 8 Mei tahun 2008, bertempat di Aula Kantor Kemenag Kabupaten Tangerang, setelah menerima 10 tokoh masyarakat dan agama yang terdiri dari Pengurus dan Anggota Paguyuban Wilayah Santo Petrus Paroki Santo Agustinus Karawaci Tangerang. Mereka menuntut penghentian kebaktian umat Katolik di salah satu ruko yang dikontrak oleh umat yang bersangkutan di Desa Gelam Jaya Kecamatan Pasar Kamis. Kebaktian umat Katolik ini pernah dihentikan oleh pihak mengatasnamakan warga setempat dan umat Katolik sudah melaporkan pada aparat keamanan. Pendirian Rumah Ibadat yang Berjalan Damai

Sejak terbentuknya FKUB Kabupaten Tangerang tahun 2007 telah menerima 29 permohonan izin pendirian rumah ibadat, yaitu:

Page 102: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(74)

TABEL 3: PERMOHONAN REKOMENDASI PENDIRIAN RUMAH IBADAT

No. Agama Nama Rumah Ibadat/Alamat

1 Katolik Gereja Bethel Indonesia (GBI) Binatro Sektor 3, Kel. Pondok Jaya, Pondok Aren

2 Katolik Gereja Katolik Santa Maria Regina, Gading Serpong, Desa Cihuni – Pagedangan

3 Kristen Gereja Kristen Indonesia (GKI) Pos I Bintaro, Pondok Jaya Pondok Aren

4 Hindu Pura Umat Hindu Yayasan Sosial Guru Nanak – Ciputat 5 Kristen Gereja Kristen Jawa (GKJ) Pamulang. 6 Katolik Gereja Katolik PGDP Santa Monica, Blok O Melati Mas Jelupang –

Serpong Utara 7 Kristen Gereja Kristen Nafiri Sion Agape, jalan Vila Permata (Lippo

Kel.Binong Curug) 8 Kristen Gereja Gerakan Pantekosta Elim, Kelurahan Cipayung Ciputat 9 Kristen Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh, Komplek Perumahan Duta

Bandara, Desa Jatimulya-Kosambi 10 Katolik Gereja Katolik Rasol Barnabas Pamulang

11 Kristen Gereja Pantekosta di Indonesia Jemaat Agape-Kelurahan Kaduagung, Tigaraksa

12 Buddha Vihara Vimala Kirti, Kelurahan Mekarbakti Panongan 13 Buddha Vihara Vimala Kirti, Desa Kampung Melayu Timur Teluk Naga 14 Buddha Cetya (Romo Holid) Paku Haji 15 Buddha Vihara Kelurahan Parigi Pondok Aren 16 Kristen Gereja Bethel Indonesia di bangunan Ruko Golden Boulevard BSD

Serpong Utara 17 Kristen Gereja HKBP Cisauk 18 Khonghucu Kelenteng Tjung Le Miau Desa Tanjung Burung Teluk Naga 19 Hindu Pura Hindu Dharma Indonesia Ciputat

20 Kristen Gereja Pantekosta Medang Lestari Blok III/G.50 Pagedangan

21 Kristen Gereja Bethel Medang Lesatari Blok D.1/A2 Pagedangan

22 Kristen Yayasan Swadharma Krama Serpong, Jl.Sedap Malam II Kav. AC No.25 Puspita Loka BSD

23 Kristen Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Jemaat Vila Delvia Kampung Kandang Genteng Desa Tanjung Burung Teluk Naga

Page 103: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(75)

24 Kristen Saksi Saksi Yehuwa Indonesia Jemaat Sidang Pondok Aren/Bintaro

25 Kristen Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gading Serpong Jl.Kelapa Puan Raya No.58 Perumahan Gading Serpong

26 Buddha Vihara Cuang Le Miao Desa Tegal Angus Kecamatan Teluk Naga 27 Kristen HKBP Salembaran Resort Tangerang, Kav. Salembaran Jaya

No.34 Kec.Kosambi 28 Kristen Gereja Sidang Jemaat Allah Anugrah, Kampung Sari Mulya Desa

Setu, Kec. Setu 29 Kristen Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jl. G. Merbabu Sektor IV, Blok R

Giri Loka II BSD. Sumber Data: FKUB Kabupaten Tangerang Tahun 2009

Dari sebanyak 29 permohonan izin mendirikan rumah ibadat yang sudah dikeluarkan rekomendasinya oleh FKUB Kabupaten Tangerang adalah sebanyak 15 buah, yaitu sebagai berikut:

TABEL 4: DAFTAR REKOMENDASI PENDIRIAN RUMAH

IBADAT YANG SUDAH DIKELUARKAN OLEH FKUB KABUPATEN TANGERANG

No, Tanggal Rekomendasi Alamat Status Izin Realisasi Ket IMB

001/FKUB/Kab-Tng/V/2007 Tanggal 2 juni 2007

GerejeKristen Bethel Indonesia (GBI) Bintaro Sektor III,Kel.Pondok Jaya Pondok Aren

Diproses Sudah dibangun

Ada

002/FKUB/Kab-Tng/V/2007 Tanggal 2 Juni 2007

Gereja Katolik Santa Maria Regina,Gading Serpong Desa Cihuni Pagedangan

Diproses Sudah dibangun

Ada

003/FKUB/Kab-Tng/V/2007 Tanggal 2

Gereja Kristen

Diproses Belum dibangun

Belum

Page 104: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(76)

Juni 2007 Indonesia Pos I, Bintaro Pondok Jaya Pondok Aren

004/FKUB/Kab-Tng/IX/2007 Tanggal 7 September 2007

Pura Umat Hindu Sikh Yayasan Sosial Guru Nanak – Ciputat

Diproses Sudah terbangun

Belum

005/FKUB/Kab-Tng/IX/2007 Tanggal 7 September 2007

Gereja Kristen Jawa – Pamulang

Diproses Belum dibangun

Belum

006/FKUB/Kab-Tng/X/2007 Tanggal 31 Oktober 2007

Gereja Katolik PGDP Santa Monica Blok O, Melati Mas Jelupang Serpong Utara

Diproses Belum dibangun

Ada

007/FKUB/Kab-Tng/XI/2007 Tanggal 16 November 2007

Gereja Kristen Napiri Sion Agape, Jl.Vila Permata, Kel.Binong Curug

Tidak diproses (tidak sesuai peruntukan)

Sudah terbangun

Belum, IMB bermasalah

008/FKUB/Kab-Tng/XI/2007 Tanggal 19 November 2007

Gereja Gerakan Pantekosta Elim, Kel. Cipayung Ciputat

Diproses Belum dibangun

Belum

009/FKUB/Kab-Tng/XI/2007 Tanggal 23 November 2007

Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh Komplek Perumahan Duta Bandara, Desa Jatimulya Kosambi

Izin tidak diproses (ada penolakan warga)

Belum dibangun

Belum

Page 105: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(77)

010/FKUB/Kab-Tng/I/2008 Tanggal 9 Januari 2008

Gereja Katolik Rasul Barnabas Pamulang

Diproses Belum dibangun

Sudah

011/FKUB/Kab-Tng/I/2008 Tanggal 10 Januari 2008

Gereja Pantekosta di Indonesia Jemaat Agape, Kel. Kadu Agung Tigaraksa

Diproses Sudah terbangun

Belum ada IMB

012/FKUB/Kab-Tng/III/2008 Tanggal 26 Maret 2008

Vihara Pimala Kirti Kel. Mekar Bakti Panongan

Diproses Belum dibangun

Belum

013/FKUB/Kab-Tng/III/2008 Tanggal 26 Maret 2008

Vihara Pimala Kirti, Desa Kampung Melayu Timur Teluk Naga

Diproses Sedang dibangun

Ada

014/FKUB/Kab-Tng/2008

Cetya (Romo Holid) Paku Haji

Diproses Sudah dibangun

-

017/FKUB/Kab-Tng/VII/2009 Tanggal 4 Juli 2009

Vihara Yayasan Swadharma Kerama, Serpong

Sudah diberikan

Sedang dibangun

Ada

Sumber Data: FKUB Kabupaten Tangerang 2009

Problematika Pendirian Rumah Ibadat Upaya Penyelesaiannya Permohonan Rekomendasi yang Ditangguhkan/Ditolak

Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas bahwa permohonan pendirian rumah ibadat yang masuk ke FKUB Kab. Tangerang sebanyak 29 buah, namun tidak semuanya diberikan rekomendasi karena berbagai alasan yang tak terpenuhi.

Berikut ini beberapa permohonan pendirian rumah ibadat yang ditangguhkan atau ditolak rekomendasinya:

Page 106: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(78)

Rumah Ibadat Alasan Ditangguhkan/ Ditolak Keterangan

Gereja HKBP Cisauk Ditolak warga, lingkungan tidak kondusif tidak memenuhi syarat administrasi

Tidak direkomendasi

Gereja Bethel Indonesia, BSD Serpong Utara

Ditolak Pemkab karena tidak sesuai peruntukan

Tidak direkomendasi

Kelenteng Tjung Ie Miau, Tanjung Burung Teluk Naga

Persyaratan tidak lengkap, tidak ada komunikasi dari pemohon dengan warga setempat

Tidak direkomendasi

Pura Hindu Dharma Indonesia, Ciputat

Persyaratan tidak dipenuhi Tidak direkomendasi

Gereja Pantekosta Medang Lestari, Blok III/50, Pagedangan

Persyaratan tidak lengkap (tidak ada dukungan lingkungan)

Tidak direkomendasi

Gereja Bethel Medang Lestari, Blok D 1/A2 Pagedangan

Pesyaratan tidak dilengkapi Tidak direkomendasi

GKI Serpong, Jl.Merbabu sektor IV Blok R, Giri Loka 2 BSD

Tidak memenuhi syarat 60 pendukung untuk 2 gereja, warga setempat ada yang menolak

Belum direkomendasi

HKBP Salembar Kav.Salembar Jaya No.34, Kosambi

Belum ditinjau ke lapangan oleh FKUB

Belum direkomendasi

Saksi Saksi Yehuwa Indonesia, Jl.Pondok Betung Raya, Pondok Aren

Tidak memenuhi syarat administrasi, lingkungan tidak kondusif

Tidak direkomendasi

GKI Gading serpong, Jl.Kelapa Puan Raya No.58 Perumahan Gading Serpong

Tidak memenuhi syarat, lingkungan tidak kondusif

Tidak direkomendasi

Gereja Pantekosta di Indonesia, Kampung Kandang Desa Genteng, Tanjung Burung Teluk Naga

Belum disurvey ke lapangan Belum direkomendasi

Sumber Data: FKUB Kabupaten Tangerang Tahun 2009

Page 107: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(79)

Perbedaan Rekomendasi Kemenag dan FKUB

Di Kabupaten Tangerang rekomendasi yang dibuat FKUB maupun Kemenag saling melengkapi dan menyempurnakan. Rekomendasi Kemenag mengarah pada legalitas umat beragama. Artinya sekte atau sinode mereka harus terdaftar pada Ditjen Pembimas Kemenag.

Rekomendasi FKUB lebih dititik beratkan kepada jumlah jamaah dan jumlah pendukung yang dibuktikan dengan fotocopy KTP, wilayah dan masyarakat lingkungannya kondusif atau tidak. Apabila dinyatakan kondusif, maka FKUB berkoordinasi dengan Kemenag melihat legalitas sekte/aliran/faham si pemohon. Jadi titik beratnya FKUB pada pengguna dan pendukung, sedangkan Kementerian Agama melihat dari legalitas suatu sekte yang akan mendirikan rumah ibadat. Rumah Ibadat yang Mendapat Rekomendasi Bupati

Umat Hindu di wilayah perumahan PT. Bumi Serpong Damai (BSD) berjumlah 60 KK dan rumah ibadat yang ada cukup jauh, yaitu di Cinere (30 Km), dan di Kota Tangerang yang juga cukup jauh. Dengan kondisi ini, umat Hindu membentuk panitia pembangunan rumah ibadat tahun 2005. Panitia kemudian mengajukan permohonan untuk mendapatkan lahan ke Pemda Kabupaten Tangerang dan pengembang. Pada awalnya umat Hindu diberi fasilitas sosial (fasos) dan fasilitas umum (Fasum) di vila Melati. Setelah ditelusuri ternyata vila Melati digarap oleh tiga developer, akhirnya dibatalkan. Panitia kemudian mengajukan permohonan fasilitas sosial dan fasilitas umum kepada pengembang BSD. Gayung pun bersambut, pengembang BSD memberikan sebidang tanah yang terletak di sektor 14-4 kurang lebih 800 m2. Namun karena lokasi itu oleh Pemda diperuntukan untuk lahan resapan air, maka pihak pengembang BSD memberi tempat lain.

Untuk pengurusan lokasi rumah ibadat dilakukan dari mulai tingkat RT, RW, Kelurahan, Kecamatan, Kandepag, FKUB,

Page 108: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(80)

Badan Pelayanan Perizinan Terpadu (BPPT), Pemda, dan masyarakat sekitarnya. Setelah lengkap, Pemda memberikan rekomendasi. Pada tahun 2007 umat Hindu sudah mendapatkan lahan untuk lokasi rumah ibadat seluas 2100 m2. Permohonan ke FKUB beserta persyaratannya sudah cukup, dan tidak ada masalah, termasuk pengguna dan izin lingkungan. Dalam proses pendirian Pure, tidak ada resistensi dari masyarakat, bahkan masyarakatnya kondusif dan sikap gotong royongnya tinggi. Setelah diberi lahan oleh Pemda Kabupaten Tangerang, Panitia mengadakan Bakti Sosial berupa pengobatan gratis yang diadakan di Kelurahan Rawa Mekar Jaya. Sementara itu, umat Hindu juga menyiapkan sembako seperti beras, mie, minyak dan lain-lain.

Pada saat ini Pura yang telah memperoleh izin membangun dari Bupati Tangerang, dan telah membangun pagar keliling, menguruk lahan untuk perpakiran dan sekolah minggu anak-anak. Rumah Ibadat yang Mendapat Penolakan

Semua permohonan pendirian rumah ibadat diberikan rekomendasi oleh FKUB, ada juga yang ditolak karena tidak memenuhi persyaratan, seperti kurangnya dukungan, tidak kondusif lingkungan dan ada penolakan dari warga seperti pendirian Gereja Kristen Indonesia yang beralamat di Jl. Merbabu Sektor IV Blok R Giri Loka 2 Bumi Serpong Damai. GKI tidak diberikan rekomendasi ternyata setelah dipelajari dan dibahas secara seksama bersama pengurus FKUB terdapat kekurangan-kekurangan terutama persyaratan khusus didukung 60 orang dan penolakan warga.

Perlu diketahui sekilas tentang GKI yang ditolak/belum diberikan rekomendasi oleh FKUB. 1. Lokasi tanah GKI berada di tanah fasos-fasum yang luasnya

4.000 m². 2. Tanah seluas 4.000 m2 ini akan digunakan oleh 2 Gereja yaitu

GKI dan Gereja Elgibor

Page 109: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(81)

3. Hambatan: a. Pada saat pemohon mengajukan surat ke FKUB, setelah

hasil penelitian FKUB, ternyata izin lingkungan 60 pendukung tanda tangan warga digunakan oleh kedua gereja tersebut (GKI dan Elgibor).

b. Hasil rapat FKUB menolak pemberian rekomendasi karena menyalahi PBM. FKUB melakukan rapat koordinasi dengan instansi terkait dan surat permohonan dikembalikan kepada pemohon untuk diadakan sosialisasi ulang dan pemutakhiran data izin lingkungan. Setelah panitia pembangunan rumah ibadat (GKI) mengajukan lagi permohonan ke dua kalinya ke FKUB tentang data yang terbaru, FKUB mengadakan rapat koordinasi lagi, ternyata sebagian elemen masyarakat masih keberatan. Dari berbagai elemen yang diundang rapat yaitu unsur masyarakat, RT, RW, Lurah, Camat, MUI, Polsek ternyata masih ada beberapa pihak yang keberatan.

FKUB menunggu tindak lanjut dari pemohon apakah sudah ada pemutakhiran data? FKUB menunggu kelengkapan persyaratannya dan menangguhkan atau mengeluarkan rekomendasi dua gereja ini menjadi satu, apa tetap keduanya dibangun. FKUB belum menindaklanjuti karena masih dalam tahapan penelitian. FKUB harus rapat koordinasinya dengan Muspika, Lurah, RT, RW, apakah betul sudah kondusif atau belum.

Ringkasan

Dari hasilenelitian dapat disimpulkan: a. Proses pengajuan permohonan rekomendasi pendirian rumah

ibadat, berjalan lancar dan telah diterima sebanyak 29 permohonan. 15 telah dikeluarkan rekomendasinya. Sedangkan sisanya masih ditangguhkan atau ditolak.

Page 110: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(82)

b. Permohonan rekomendasi pendirian rumah ibadat yang diterima oleh FKUB diteliti dan dibahas oleh pengurus. Pada tahap ini difokuskan pada melihat kelengkapan persyaratan.

c. Penolakan rekomendasi karena tidak memenuhi persyaratan sebagaimana yang diamanatkan oleh PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

d. Permohonan telah memenuhi syarat kemudian dilakukan pengecekan di lapangan. Jika semuanya sudah sesuai, maka dalam waktu 2-3 minggu digunakan untuk mengevaluasi isi rekomendasi tersebut.

e. Dalam penyelesaian perselisihan berkaitan dengan pendirian rumah ibadat, FKUB Kab. Tangerang memanggil panitia dari Gereja Kristen Indonesia (GKI) dan Gereja Elgibor. Sesuai hasil penelitian direkomendasikan bawah perlu sosialisasi PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006 ke berbagai unsur dan lapisan masyarakat sehingga PBM ini difahami oleh aparat pemerintah maupun masyarakat.

Page 111: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(83)

Gambaran Singkat Geografis dan Demografis

Kota Denpasar secara geografis berada di posisi tengah bagian selatan Pulau Bali. Luas wilayah kota ini 12.778 hektar atau 2,18% dari luas seluruh wilayah Propinsi Bali. Batas-batas wilayahnya adalah: sebelah utara, barat dan selatan berbatasan dengan Kabupaten Badung, sedangkan sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Gianyar dan Selat Lombok.

Dari aspek pemerintahan, wilayah Kota Denpasar secara administratif terbagi menjadi empat (4) kecamatan dan empatpuluh tiga (43) desa/kelurahan.

Jumlah penduduk Kota Denpasar berdasarkan data terakhir mencapai 628.908 jiwa (Badan Statistik Kota Denpasar, 2009:214). Sebagaimana kota-kota besar lainnya di Indonesia sekaligus sebagai Ibukota Provinsi Bali, Kota Denpasar berpenduduk cukup beragam, baik dari segi etnis, budaya maupun agama. Dilihat dari segi etnis, hampir semua etnis dan suku yang ada di Indonesia terdapat di Kota Denpasar. Sebagai daerah turis yang sangat terkenal di dunia internasional, masyarakat penduduk Kota Denpasar diwarnai oleh keberadaan para turismanca negara dari berbagai benua, seperti Eropa, Australia, Amerika maupun Asia.

Pendirian Rumah Ibadat di Kota Denpasar

Oleh: Bashori A Hakim

4

Page 112: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(84)

Sekalipun penduduk Kota Denpasar dilihat dari segi etnis dan suku beragam, namun keberadaan orang-orang Bali sebagai penduduk asli kota ini terlihat masih sangat dominan. Mereka menyebar secara merata di berbagai kecamatan hingga desa-desa/kelurahan di seluruh wilayah Kota Denpasar.

Tidak ada data secara resmi yang menunjukkan jumlah penduduk Kota Denpasar menurut etnis atau suku. Namun sebagai gambaran, menurut penjelasan beberapa informan yang terdiri atas penduduk asli selaku tokoh masyarakat maupun unsur pejabat terkait, dapat diperkirakan jumlah penduduk etnis Bali di Kota Denpasar tidak kurang dari 65% jumlah penduduk Kota Denpasar. Sedangkan sekitar 35% sisanya terdiri atasa antara lain: Jawa, Madura, Bugis, Makassar, Ambon, Timor, Sasak, Manado, dan Minang.

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

Kehidupan ekonomi penduduk Kota Denpasar ditandai oleh pekerjaan sekaligus sebagai matapencaharian mereka yang beragam, antara lain: pegawai negeri maupun swasta, pedagang, pengrajin, maupun penjasa. Dengan jenis matapencaharian demikian menjadikan kondisi sosial ekonomi sebagian besar penduduk Kota Denpasar berada di posisi kelas menengah ke bawah.

Dalam kaitannya dengan kehidupan sosial budaya masyarakat Kota Denpasar, terlihat terjadi benturan budaya antara masyarakat pendatang –bukan etnis Bali- dengan penduduk asli Bali yang pada umumnya beragama Hindu. Masyarakat asal Bali yang kental dengan budaya Balinya terlihat sangat dominan menerapkan norma-norma adat dan budaya mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dominasi budaya tersebut meliputi seluruh aspek kehidupan mereka, meliputi kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan. Penerapan budaya Bali yang bertumpu kepada nilai-nilai ajaran agama Hindu itu demikian mentradisi dalam kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan mereka, sehingga menimbulkan benturan tradisi dengan

Page 113: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(85)

masyarakat pendatang yang pada umumnya masih kental dengan tradisi yang mereka bawa dari daerah asal, termasuk tradisi keagamaan. Kondisi sosial budaya menjadi wajar terjadi dalam kehidupan sosial dan kehidupan keagamaan masyarakat. Agaknya kondisi itulah yang dirasakan dalam kehidupan sosial masyarakat di Kota Denpasar sekalipun relatif tidak menimbulkan konflik secara terbuka. Budaya Bali, selain memang budaya milik penduduk asli dan juga mayoritas, terlihat berlaku secara dominan dalam kehidupan masyarakat Kota Denpasar.

Kehidupan Keagamaan

Kehidupan keagamaan masyarakat Kota Denpasar terlihat marak, terutama masyarakat Bali dengan agama Hindunya. Hal ini disebabkan selain secara kuantitas jumlah pemeluknya mayoritas, agama Hindu di Bali sarat dengan upacara -upacara dan ritual keagamaan.

Lebih dari setengah penduduk Kota Denpasar, yakni sebanyak 428.676 jiwa atau sekitar 68,29% beragama Hindu. Penganut agama Islam menempati posisi mayoritas kedua dengan jumlah 143.399 jiwa atau sekitar 22,80%. Selanjutnya penduduk beragama Kristen sebanyak 30.017 jiwa atau sekitar 3,98%. Penduduk beragama Katolik sebanyak 14.050 jiwa atau sekitar 2,26%. Penduduk beragama Buddha sebanyak 12.649 jiwa atau sekitar 2,09% dan 117 jiwa atau 0,58% sisanya beragama lain (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2009:214). Penduduk beragama Khonghucu hingga penelitian ini dilakukan belum terdata oleh Badan Pusat Statistik Kota Denpasar sehingga jumlah penganut agama itu belum diketahui secara pasti. Dengan demikian jumlah 117 jiwa di atas adalah termasuk penganut agama Khonghucu.

Dalam kehidupan keagamaan., pada dasarnya penduduk Kota Denpasar memperoleh kebebasan dalam menganut agama termasuk menjalankan ajaran agama masing-masing. Namun dalam hal pendirian rumah ibadat termasuk renovasi, kelompok

Page 114: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(86)

umat beragama selain umat Hindu merasa mendapatkan kesulitan. Di antara kesulitan dimaksud adalah terkait dengan pemenuhan persyaratan pendirian rumah ibadat sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Kesulitan dalam pemenuhan persyaratan pendirian rumah ibadat itu semakin dirasakan oleh kalangan umat beragama –selain umat Hindu- sehubungan adanya Peraturan Daerah (Perda) berupa Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2006, terutama Pasal (2). Dalam Pasal (2) Peraturan Gubernur Propinsi Bali tersebut dinyatakan bahwa pendirian rumah ibadat dipersyaratkan antara lain: adanya persetujuan Kepala Lingkungan, Dusun/Banjar Dinas dan Banjar Adat/Pakraman, Kepala Desa Pakraman, serta daftar pengguna rumah ibadat -yang akan didirikan- sebanyak 100 Kepala Keluarga (KK) yang dibuktikan dengan copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai penduduk tetap di wilayah yang akan dibangun rumah ibadat tersebut.

Kesulitan untuk mendirikan rumah ibadat itu mengakibatkan berbagai kalangan umat beragama bersikap tidak akan menambah rumah ibadat masing-masing untuk sementara waktu. Masing-masing kelompok umat beragama –selain umat Hindu- mengaku akan lebih berkonsentrasi dalam pembinaan umat daripada rencana penambahan rumah ibadat. Dengan demikian sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006 dan Peraturan Gubernur Propinsi Bali Nomor 10 Tahun 2006, praktis tidak ada penambahan bangunan rumah ibadat.

Kondisi demikian ternyata tidak mengendorkan semangat di kalangan umat beragama dalam beraktivitas memenunaikan kegiatan ibadah sesuai agama masing-masing. Rumah-rumah ibadat yang telah mereka miliki selama ini dimaksimalkan perannya sebagai sentra kegiatan keagamaan dan peribadatan.

Umat Hindu memiliki rumah ibadat banyak rumah ibadat. Kenyataan ini dapat dimengerti karena jumlah umat Hindu di

Page 115: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(87)

Kota Denpasar menempati posisi mayoritas. Adapun jumlah rumah ibadat masing-masing agama secara rinci adalah: umat Hindu memiliki 108 buah pura; umat Islam memiliki sebanyak 28 buah masjid dan 80 buah mushalla dan 11 buah langgar. Kemudian disusul umat Kristen memiliki sebanyak 69 gereja; umat Katolik memiliki 5 buah gereja; sedangkan umat Budha memiliki sebanyak 11 buah vihara. (Badan Pusat Statistik Kota Denpasar, 2009).

Pendirian Rumah Ibadat

Penyetaraan Mushalla dengan Masjid

Dalam pengertian kalangan umat Islam, mushalla tidak sama dengan masjid. Keduanya memang sama-sama bangunan untuk tempat ibadah bagi umat Islam, dalam beberapa hal dibedakan baik dari segi fisik/bangunan maupun penggunaannya. Dari segi fisik bangunan, mushalla relatif memiliki ukuran lebih kecil dibanding dengan masjid. Dari segi penggunaannya mushalla biasanya hanya dipergunakan oleh kalangan jamaah lingkungan kecil dan tidak dipergunakan untuk salat (jamaah) Jum’at. Berbeda dengan masjid yang secara fisik bangunannya lebih luas dan jangkauan jamaahnyapun lingkungan lebih luas, serta dipergunakan untuk tempat salat Jum’at. Dalam Buku Saku “Tanya Jawab” PBM yang diterbitkan oleh Puslitbang Kehidupan Keagamaan, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Tahun 2008, dijelaskan bahw mushalla termasuk bangunan tempat ibadat keluarga.

Perbedaan antara mushalla dan masjid di atas memberikan konsekuensi terhadap prosedur dan proses pembangunannya. Pembangunan mushalla –betapapun- berbeda prosedur dan prosesnya dengan pembangunan masjid, termasuk persyaratan tentang pendirian/ pembangunannya. Dengan demikian, prosedur dan persyaratan pendirian mushalla “tidak sama” dengan prosedur dan persyaratan pendirian rumah ibadat yang terdapat dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, khususnya rumah ibadat bagi umat Islam. Menurut persepsi umat Islam, rumah

Page 116: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(88)

ibadat yang dikategorikan dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 itu adalah masjid, bukan mushalla. Hal itu sejalan dengan penjelasan yang dimuat dalam Buku Saku tentang Tanya-Jawab PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di atas.

Berbeda dengan uraian di atas, masyarakat Hindu di Kota Denpasar dan Bali pada umumnya, kalangan pejabat Pemda Kota Denpasar maupun Provinsi Bali, serta para Pemangku Adat Bali menggolongkan mushalla sebagai jenis rumah ibadat bagi umat Islam seperti halnya masjid, sehingga prosedur dan persyaratan pendiriannya disamakan dengan prosedur dan persyaratan pendirian masjid maupun rumah ibadat umat lain. Penggolongan demikian mereka dasarkan kepada Peraturan Gubernur Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2006 tentang Prosedur dan Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadah untuk Umum di Wilayah Provinsi Bali Pasal 2 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa: Pembangunan tempat-tempat ibadah untuk umum (Pura, Masjid, Mushalla, Langgar, Surau, Gereja, Kapela, Pos Pelayanan Iman, Vihara, Cetiya, Asram) di wilayah Propinsi Bali harus mendapat izin tertulis dari Gubernur Bali. Dengan demikian berbeda dengan ketentuan yang terdapat dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1 Ayat (3) dan penjelasan dalam Tanya-Jawab PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, yang menjelaskan bahwa mushalla adalah termasuk tempat ibadat keluarga.

Akibat pemberlakuan Perda Gubernur Propinsi Bali terutama terkait dengan penyetaraan antara mushalla dengan masjid sebagaimana dipaparkan di atas, maka membawa implikasi besar terhadap pembangunan mushalla dan renovasinya di Kota Denpasar, yang pada gilirannya menambah beban sulit bagi umat Islam di Kota Denpasar dan Propinsi Bali pada umumnya dalam hal pendirian rumah ibadat. Penolakan Pendirian Rumah Ibadat

Berdasarkan penuturan para informan, sejak dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 & 8 Tahun 2006, di Kota Denpasar

Page 117: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(89)

terdapat tidak kurang dari empat (4) rumah ibadat yang pembangunannya maupun keberadaannya mendapat penolakan dari sebagian masyarakat setempat. Keempat rumah ibadat dimaksud adalah dua (2) rumah ibadat umat Islam dan dua (2) rumah ibadat umat Kristen.

Penolakan Pendirian Rumah Ibadat Umat Islam

Rumah ibadat umat Islam yang memperoleh penolakan, keduanya adalah berupa mushalla yakni Mushalla as-Syafi’iyah dan Mushalla al-Qari. Kedua mushalla itu dibangun pada waktu sebelum dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Kasus Penolakan Pendirian Mushalla as-Syafi’iyah:

Mushalla as-Syafi’iyah terletak di Jl. Blimbing Gang G, Nomor 8, Kecamatan Denpasar Utara. Dibangun di atas tanah seluas 100 m2 yang dibeli dari penduduk setempat. Dana pembelian tanah dan pembangunan mushalla berasal dari swadaya masyarakat sekitar. Sejak didirikan pada tahun 1988 hingga awal tahun 2008, mushalla tersebut dipergunakan untuk aktivitas keagamaan dan peribadatan oleh jamaah mushalla, seperti: kegiatan pendidikan agama anak-anak atau TPA, salat 5 waktu, tempat kegiatan Peringatan Hari Besar Islam (PHBI) dan bahkan untuk tempat Salat Jum’at, tanpa ada permasalahan dan keberatan dari masyarakat sekitar termasuk umat Hindu. Dipergunakannya sebagai tempat Salat Jum’at, karena umat Islam di sekitar Mushalla as-Syafi’iyah relatif jauh dari lokasi masjid.

Hingga sekitar tahun 2006, masyarakat sekitar mushalla khususnya umat Hindu mulai merasa terganggu dengan adanya sejumlah sepeda motor milik jamaah mushalla yang melakukan Salat Jum’at yang diparkir di Jl. Blimbing Gang G dekat mushalla. Pada waktu sebelumnya, yakni pada tahun 2002 pihak Pengurus Mushalla as-Syafi’iyah dengan dana yang telah terkumpul membeli sebidang tanah seluas 110 m2 atau 1,1 are

Page 118: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(90)

yang terletak bersebelahan dengan mushalla, tepatnya terletak di sebelah kiri/Timur mushalla. Tanah itu sedianya akan dipergunakan sebagai tempat perparkiran kendaraan/motor para jamaah yang salat di mushalla, khususnya Salat Jum’at. Namun karena posisinya berada di sebelah Timur mushalla maka dinilai oleh Pengurus Mushalla kurang tepat karena jamaah yang membawa motor apabila akan memarkir motornya harus melalui jalan setapak yang ada persis di dekat beranda mushalla sehingga akan mengganggu jamaah yang sedang salat di mushalla. Atas pertimbangan supaya tidak mengganggu jamaah yang sedang salat, maka Pengurus Mushalla sepakat merencanakan menggeser bangunan mushalla dipindahkan di tanah yang sedianya akan dipakai tempat parkir, sedangkan tanah bekas bangunan mushalla akan dipakai tempat parkir.

Pada bulan Januari 2008, setelah terkumpul dana, dimulailah rencana pembongkaran mushalla untuk digeser ke tanah sebelah Timur mushalla. Sejak itulah sebagian masyarakat penduduk sekitar mushalla yang terdiri atas orang-orang Bali/umat Hindu menyatakan keberatan, dengan alasan bahwa rencana pemindahan mushalla tersebut tidak melalui persetujuan rapat/musyawarah dengan Kelian Dinas dan Kelian Adat.

Pada tangggal 17 Pebruari 2008 Pengurus Mushalla as-Syafi’iyah mendapat surat dari Kelian Dinas dan Kelian Adat yang isinya mempertanyakan/mempermasalahkan rencana penggeseran mushalla dan minta agar rencana tersebut dihentikan (Disarikan dari dokumen milik warga).

Pada tanggal 5 Maret 2008 Pengurus Mushalla menghentikan sementara proses penggeseran mushalla. Kemudian pada hari Jum’at tanggal 23 Mei 2008 ketika umat Islam jamaah mushalla as-Syafi’iyah hendak melaksanakan Salat Jum’at, tiba-tiba digiring keluar mushalla oleh sekelompok orang –dari masyarakat setempat- yang kemudian melakukan penyegelan mushalla dengan alasan tidak ada izin dari warga. Hingga saat penelitian ini dilakukan, mushalla tersebut praktis tidak dipergunakan oleh pengurus maupun jamaah untuk

Page 119: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(91)

tempat peribadatan. Berbagai upaya telah dilakukan pengurus, antara lain: melengkapi persyaratan pendirian rumah ibadat, pendekatan dengan tokoh masyarakat –Hindu- setempat, komunikasi dan musyawarah dengan unsur-unsur masyarakat setempat, namun mushalla tetap belum dapat dipergunakan, karena alasan belum dilengkapinya persyaratan tentang persetujuan pembangunan rumah ibadat dari Pendamping, Kelian Dinas ataupun Kelian Adat. Upaya yang dilakukan FKUB Kota Denpasar melalui mediasi dengan mempertemukan pihak-pihak yang terkait dengan kasus Mushalla as-Syafi’iyah, juga belum membuahkan hasil sebagaimana yang diharapkan oleh Pengurus dan jamaah Mushalla as-Syafi’iyah. Penolakan Pendirian Mushalla al-Qori.

Mushalla al-Qori terletak di Jl. Nuansa Kori Utama, No. 45, Kelurahan Ubung Kaja, Kecamatan Denpasar Utara. Bangunan mushallanya didirikan di atas tanah seluas 112 m2. Proses pembangunannya dirintis sejak sebelum tahun 1999 dengan permohonan izin bangunan untuk tempat tinggal. Sambil menunggu proses penerbitan IMB, proses pembangunannya terus dilakukan, tetapi IMB belum juga keluar tanpa alasan yang jelas. Pada tahun 2003 pihak pengurus mencoba memproses kembali surat perizianannya untuk TPA, karena proses perizinan untuk mushalla sulit. Karena tidak mendapat persetujuan dari sebagian warga –khususnya umat Hindu- maka pihak Muspika termasuk Kelian Dusun, Lurah dan Camat ketika itu belum memberikan persetujuan. Sekalipun mendapat penolakan dari sebagian warga –Hindu- namun oleh umat Islam setempat tetap dipergunakan untuk tempat aktivitas keagamaan. Mula-mula dipergunakan untuk tempat kegiatan TPA, kemudian secara bertahap dipergunakan untuk tempat salat lima waktu, yang selanjutnya dipergunakan untuk tempat Salat Jum’at. Oleh karena di antara para jamaah yang salat memarkir motornya di pinggir jalan yang menurut sebagian warga –Hindu- mengganggu jalan umum, maka kegiatan ibadah di Mushalla al-Qori itu mendapat protes dari sebagian warga dengan alasan

Page 120: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(92)

meresahkan warga. Pada waktu berikutnya ada pelarangan penggunaan tempat peribadatan bangunan tersebut dari aparat Kelurahan Ubung Kaja dengan alasan tidak memiliki IMB. Klimaksnya, pihak Satpol PP Kota Denpasar melakukan penyegelan tempat ibadah itu dengan alasan yang sama, yaitu tidak memiliki IMB. Peristiwa penolakan dari masyarakat berikut dari aparat setempat itu terjadi pada tahun 2003.

Akan tetapi sekalipun telah dilakukan penyegelan, bangunan mushalla itu tetap dipergunakan untuk aktivitas peribadatan oleh umat Islam sekitar. Melihat mushalla al-Qori yang telah disegel itu tetap dipergunakan sebagai tempat peribadatan oleh umat Islam, maka pada tanggal 29 Juli 2003 sekitar 20 orang warga Hindu mendatangi tempat kediaman warga muslim yang berdomisili di sekitar mushalla dari rumah ke rumah untuk melarang salat di mushalla tersebut. Selain mendatangi rumah-rumah warga muslim, mereka juga melakukan penggembokan pintu pagar bagian depan mushalla dan memasang palang kayu di bagian pintu samping mushalla. Atas kejadian itu maka pada tanggal 2 Agustus 2003 pihak Yayasan al-Qori melapor kepada Kapolda Bali dengan materi laporan intimidasi, perampasan kemerdekaan dan penutupan mushalla al-Qori oleh oknum masyarakat. Menyikapi adanya laporan ke Kapolda Bali tersebut maka Forum Komunikasi Antar Umat Beragama (FKAUB) Desa Ubung Kaja didampingi oleh FKAUB Kecamatan dan FKAUB Kota Denpasar memprakarsai pertemuan di Bale Banjar Tegal Kori. Pertemuan tersebut dihadiri oleh sebagian besar warga Tegal Kori, para tokoh masyarakat serta unsur instansi pemerintah setempat antara lain Kepala Desa Ubung Kaja dan Camat Denpasar Barat. Agenda dalam pertemuan itu adalah pembinaan antar umat beragama. Pertemuan itu akhirnya menyepakati beberapa hal, antara lain: pencabutan laporan intimidasi ke Polda; penggantian dan pembentukan pengurus baru Kerukunan Warga Muslim Dusun Tegal Kori; kepengurusannya dijalankan oleh warga muslim dari Banjar Tegal Kori yang menjadi bagian dari kepengurusan Banjar sebagai seksi kerohanian Islam; selama proses perizinan tempat

Page 121: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(93)

ibadat belum keluar maka demi kerukunan warga dan ketertiban serta keamanan lingkungan, bangunan tempat ibadat (Mushalla al-Qori) tersebut agar tidak dipergunakan sebagai tempat ibadah; serta tidak lagi melibatkan Yayasan al-Qori dalam pembicaraan tempat ibadah termasuk pengelolaannya.

Kesepakatan-kesepakatan hasil pertemuan itu sebagian besar telah dilaksanakan oleh umat Islam setempat, termasuk pencabutan surat intimidasi ke Kapolda dengan Surat Pencabutan tanggal 8 September 2003.

Hingga saat penelitian ini dilakukan, persoalan Mushalla al-Qori belum cair sehingga belum dapat dipergunakan. Pimpinan Kerukunan Warga Muslim Dusun Tegal Kori, Desa Ubung Kaja Kecamatan Denpasar Barat melalui surat tanggal 12 Oktober 2003 memohon kepada Kepala Dusun untuk dapat mempergunakan kembali Mushalla al-Qori sebagai tempat ibadah sehubungan akan datangnya bulan suci Ramadlan ketika itu, namun Kepala Dusun Tegal Kori tetap pada pendiriannya menolak permintaan tersebut dengan alasan belum ada izin. Namun Kepala Dusun Tegal Kori atas permohonan tersebut, melalui surat tanggal 19 Oktober 2003 berjanji akan menindaklanjuti melalui rapat warga Dusun Tegal Kori untuk mencapai mufakat (Disarikan dari penuturan para informan, dipadukan dengan dokumen-dokumen terkait/berupa arsip surat-surat).

Penolakan Pendirian Rumah Ibadat Umat Kristen

Ada dua rumah ibadat umat Kristen yang memperoleh penolakan, yaitu: (i) Gereja GPIB Maranatha, terletak di Jl. Gunung Tangkuban Perahu Desa Padangsambian Klod Denpasar Barat, merupakan cabang GPIB Majelis Jemaat Maranatha Jl. Surapati, Nomor 11 Denpasar; (ii) Gereja GKI di Renon, Kecamatan Denpasar Selatan. Penolakan Gereja GPIB Maranatha

Proses pendirian Gereja GPIB Maranatha di atas adalah sejak tahun 1997 dan telah memperoleh Izin Prinsip dari

Page 122: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(94)

Gubernur Bali. Gereja dibangun di atas tanah seluas 1.400 m2. Gereja ini terdiri atas dua lantai; luas bangunan lantai I yaitu 647 m2, sedangkan luas bangunan lantai II 174,25 m2.

Sejak tahun 2001, proses pembangunan gereja ini dihentikan, sehubungan adanya surat pernyataan dari Pengemong Pura Dalem Teges, Desa Padangsambian Klod Denpasar Barat yang menyatakan keberatan terhadap pembangunan gereja tersebut. Alasan keberatannya yaitu: gereja dibangun di dekat /seberang jalan/ depan Pura Dalem Teges, tanpa musyawarah dengan masyarakat adat setempat melalui rapat; belum adanya kepastian gereja akan dipergunakan untuk tempat peribadatan oleh jemaat minimal 40 Kepala Keluarga (KK) yang berdomisili di wilayah gereja (Surat Pengemong Pura Dalem Teges kepada Panitia Pembangunan Gereja tertanggal 18 Desember 2000).

Lima tahun kemudian pembangunan gereja dilanjutkan, dengan dasar: telah ada IMB dari Pemerintah Kota Denpasar dengan surat tertanggal 12 Juni 2000; ada Izin Prinsip dari Gubernur Bali, Nomor 181 Tahun 1997; serta sesuai saran Walikota Denpasar dalam pertemuan antara Majelis Jemaat GPIB Maranatha Denpasar dengan Pemerintah Kota Denpasar. Surat Pemberitahuan Pembangunan Lanjutan disampaikan oleh Pimpinan Gereja GPIB Maranatha Kota Denpasar kepada Walikota Denpasar pada tanggal 16 Mei 2006. Namun Pemerintah Kota Denpasar menghentikan kembali proses pembangunan gereja tersebut dengan alasan adanya keberatan masyarakat setempat dengan mendatangi Kepala Desa dan Camat. Surat penghentian pembangunan gereja dari Walikota Denpasar di atas adalah tertanggal 15 Mei 2006. Dengan adanya penghentian pembangunan gereja itu maka praktis pembangunan gereja tidak dilanjutkan. Pada waktu penelitian ini dilakukan, pembangunan gereja itu masih tetap terhenti (Disarikan dari hasil wawancara dengan para informan dan data dokumen).

Page 123: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(95)

Penolakan Pendirian Gereja GKI Renon, di Renon, Denpasar Selatan

Kasus penolakan terjadi pada saat Gereja Renon baru dalam tahap rencana didirikan. Rencana pembangunan gereja tersebut akan dimulai pada tahun 2006. Persyaratan pendirian gereja seperti: Fotocopy Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebanyak 90 calon jemaat, bukti persetujuan dari penduduk setempat sebanyak 60 orang, persetujuan dari Pendamping, serta rekomendasi dari Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar dan FKUB Kota Denpasar, semuanya telah ada.

Ketika permohonan IMB sedang diproses, Walikota Denpasar mendapat surat dari salah seorang –asal Bali- yang berdomisili di Jakarta, menyatakan keberatan atas rencana pembangunan gereja yang terletak di sebelah rumahnya. Orang tersebut memiliki rumah terletak di dekat lokasi pembangunan gereja, yang pada saat ini dikontrakkan. Dengan adanya surat keberatan dari memilik rumah itu maka pihak Walikota Denpasar menunda penerbitan IMB. Akibatnya, rekomendasi yang telah dikeluarkan oleh Kementerian Agama Kota Denpasar dan FKUB ditarik kembali. Alasan penarikan kembali dari kedua lembaga tersebut juga didasarkan atas alasan yang sama, dengan memposisikan pemilik rumah yang keberatan di atas sebagai pendamping. Dengan adanya penundaan penerbitan IMB dan pernyataan keberatan dari warga/pendamping tersebut maka rencana pendirian Gereja GKI tidak dilanjutkan (Disarikan dari hasil wawancara dengan para informan).

Terdapatnya kasus-kasus pendirian tumah ibadat sebagaimana dipaparkan secara singkat di atas selain akibat ketidaklengkapan persyaratan tentang pendirian rumah ibadat, karena adanya benturan budaya dan tradisi keagamaan antara warga masyarakat utamanya orang-orang Bali yang beragama Hindu dengan warga masyarakat pendatang yang dengan tradisi keagamaannya sendiri yang mereka bawa dari daerah asal. Dalam tradisi umat Hindu di Bali, pengelola/pengurus rumah ibadat dan penggunaan rumah ibadat (dalam hal ini Pura)

Page 124: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(96)

hanyalah diperuntukkan bagi umat Hindu yang berdomisili di sekitar Pura yang bersangkutan. Tradisi seperti itu oleh umat Hindu di Bali diberlakukan/diterapkan pula kepada umat beragama lain. Sementara itu, bagi umat beragama lain seperti umat Islam dan umat Kristiani tradisi seperti itu tidak berlaku. Artinya, jamaah/pengguna suatu rumah ibadat bisa saja terdiri atas orang-orang atau jamaah/jemaat yang berdomisili di luar wilayah rumah ibadat berada. Warga masyarakat Bali tampaknya memaksakan tradisi keagamaan mereka diterapkan pula kepada umat beragama lain. Jelasnya, persoalan penolakan pendirian rumah ibadat di Kota Denpasar –yang secara realita menimpa terhadap rencana pendirian rumah-rumah ibadat umat Islam dan umat Kristiani, bukan semata-mata persoalan kurangnya persyaratan yang ditentukan dalam PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, tetapi lebih pada persoalan lintas budaya.

Pendirian Rumah Ibadat yang Berlangsung Damai

Di Kota Denpasar, Bali, rumah-rumah ibadat yang dibangun secara damai dalam arti tidak ada penolakan dari masyarakat warga setempat, rumah-rumah ibadat tersebut pada umumnya dibangun pada waktu sebelum dikeluarkannya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Adapun setelah dikeluarkannya PBM tersebut minat berbagai kelompok umat beragama untuk mendirikan rumah ibadat cenderung berkurang, bahkan boleh dikatakan tidak ada minat ke arah itu untuk sementara waktu karena sejak dikeluarkannya PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 mereka merasakan sulit mendirikan rumah ibadat. Dengan demikian sejak diberlakukannya PBM tersebut hingga kini nyaris tidak ada pembangunan rumah ibadat.

Rumah-rumah ibadat yang dibangun/ didirikan secara damai di Kota Denpasar, pada umumnya dibangun sejak sebelum dikeluarkan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Adapun rumah-rumah ibadat yang didirikan secara damai di Kota Denpasar antara lain:

Page 125: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(97)

Masjid Baitul Mu’minin

Masjid ini terletak di Jl. Tukat Pakerisan, Denpasar Barat. Masjid dibangun jauh sebelum ada PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Masjid dibangun di lokasi tanah yang dulunya di sekitarnya kosong penghuni. Dulu pada waktu masjid dibangun, sekitar 1 km dari lokasi masjid yang dibangun terdapat pemukiman penduduk dan ketika itu belum banyak penduduk dari etnis Bali/orang-orang Hindu.

Masjid al-Hikmah

Masjid ini terletak di di Denpasar Timur, dibangun pada waktu sebelum ada PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 di lingkungan mayoritas umat Hindu. Panitia Pembangunan dan Pengurus DKM nya selain tergolong memiliki karisma di kalangan warga sekitar, juga mempunyai hubungan baik dengan mereka; Mushalla al-Falah

Mushalla dibangun di lokasi dekat dengan Kantor KUA Kecamatan Denpasar Barat. Panitia Pembangunan Mushalla/pengurus mushalla ini memiliki hubungan yang harmonis dengan warga sekitar. Mushalla dibangun pada tahun 2008.

Gereja Pantekosta di Indonesia (GPDI) Bethesda

Gereja terletak di Jl. Kresna, Kecamatan Denpasar Barat. Gereja didirikan di lingkungan mayoritas umat Hindu pada sekitar 20 tahun yang lalu.

Gereja Katedral

Gereja Katedral ini terletak di Jl. Pemuda, Kecamatan Denpasar Timur. Gereja didirikan di lingkungan mayoritas umat Hindu, dibangun sebelum ada PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006.

Page 126: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(98)

Gereja GPIB Maranatha Padangsambing

Gereja ini terletak di Jl. Surapati, No.11, Kecamatan Denpasar Barat. Didirikan di lingkungan komunitas yang heterogen dan mayoritas umat Hindu. Gereja dibangun sekitar 15 tahun yang lalu.

Rumah-rumah ibadat umat Hindu, Buddha dan Khonghucu selama ini dibangun berlangsung secara damai. Rumah ibadat masing-masing kelompok agama yang proses pembangunannya berlangsung secara damai dalam arti tidak ada keberatan atau penolakan dari warga setempat tersebut, dibangun pada waktu sebelum lahirnya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Seperti halnya kalangan umat Islam dan umat Kristiani, sejak dikeluarkan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 hingga saat penelitian ini dilakukan, masing-masing kelompok agama di atas juga belum pernah melakukan penambahan pembangunan rumah ibadat.

Faktor Penyebab Pendirian/Pembangunan Rumah Ibadat Berlangsung Damai

Ada beberapa faktor yang menyebabkan pendirian atau pembangunan rumah ibadat di Kota Denpasar berlangsung secara damai diantaranya: 1) Terpenuhinya persyaratan-persyaratan pendirian rumah

ibadat sebagaimana telah diatur dalam Perda Provinsi Bali. 2) Adanya hubungan atau relasi yang selama ini terjalin dengan

baik antara oknum Panitia Pembangunan rumah ibadat maupun umat beragama yang bersangkutan pada umumnya dengan warga setempat terutama yang beragama lain, termasuk hubungan baik dengan para pemimpin/pemangku adat setempat.

3) Di antara unsur Panitia Pembangunan rumah ibadat atau pengurusnya ada yang berwibawa atau mempunyai pengaruh terhadap warga masyarakat di lingkungan rumah ibadat tersebut didirikan.

Page 127: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(99)

4) Didirikan di lingkungan mayoritas umat beragama pengguna rumah ibadat.

5) Didirikan di lokasi/kawasan yang relatif belum ada penghuninya dan tidak berdekatan dengan rumah ibadat umat lain khsusnya Hindu.

Penanganan Sengketa

Dalam menangani perselisihan di kalangan masyarakat terkait dengan persoalan pendirian rumah ibadat, pada dasarnya pihak Pemda Kota Denpasar seperti Pimpinan Kantor Kementerian Agama, Walikota Denpasar dan instansi terkait lainnya berupaya melakukan penyelesaian bersinergi dengan lembaga/organisasi keagamaan yang ada. Adapun bentuk-bentuk penanganan yang dilakukan antara lain: a. Mencari pokok masalah yang menimbulkan perselisihan

dalam pendirian rumah ibadat, dilakukan oleh unsur Pimpinan Kementerian Agama Kota Denpasar bersama Walikota Denpasar dalam pertemuan koordinasi dengan unsur Pimpinan Kesbangpol, FKUB, Camat dan Kepala KUA setempat. Apabila pokok masalah pada kurangnya persyaratan pendirian rumah ibadat, maka dicari alternatif solusi yang tepat. Apabila kurangnya persyaratan karena kealpaan panitia, maka direkomendasikan agar Panitia Pembangunan rumah ibadat segera melengkapi. Apabila perselisihan berupa sengketa lahan yang dijadikan tempat rumah ibadat, maka disarankan klarifikasi terlebih dahulu. Namun sejauh ini pihak Pemda belum pernah ada upaya memberi fasilitas berupa lokasi tanah (sebagai solusi) terhadap kasus pendirian rumah ibadat yang lokasi dipersengketakan.

b. Mengundang dan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih dalam suatu pertemuan untuk menyelesaikan kasus pendirian rumah ibadat yang mereka perselisihkan. Dalam hal ini Pengurus FKUB Kota Denpasar secara proaktif menjadi mediator dalam membantu penanganan perselisihan antar warga terkait pendirian rumah ibadat. Kemudian FKUB

Page 128: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(100)

menyampaikan alternatif dan saran sesuai masalah yang diperselisihkan. Apabila masalahnya tentang renovasi rumah ibadat maka disarankan renovasi ditunda/dibatalkan jika memang belum ada persetujuan warga. FKUB pernah menyarankan kepada Pemda Kota Denpasar agar memfasilitasi lokasi lain bagi rumah ibadat yang diperselisihkan warga, seperti kasus Mushalla al-Qori di Jl. Nuansa Kori Utama, Desa Ubung Kaja. Namun hingga penelitian ini dilakukan belum ada reaksi dari Pemda. Dalam hal rekomendasi pendirian rumah ibadat, pihak FKUB mempunyai prinsip bahwa rekomendasi dari FKUB adalah final. Dengan demikian jika ada persengketaan tentang pendirian rumah ibadat di kalangan warga masyarakat pada hal telah ada rekomendasi FKUB, maka pembangunan rumah ibadat tersebut tetap dapat dilanjutkan. Pihak FKUB memberikan rekomendasi setelah ada rekomendasi dari Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar.

Ringkasan

Berdasarkan hasil kajian di atas, dapat disimpulkan berikut: a. Prosedur pendirian rumah ibadat di Kota Denpasar lebih

didasarkan atas Peraturan Daerah (Perda) yakni Peraturan Gubernur Bali Nomor 10 Tahun 2006 tentang Prosedur dan Ketentuan-Ketentuan Pembangunan Tempat-Tempat Ibadah Untuk Umum di Wilayah Provinsi Bali, daripada PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006.

b. Pemberlakuan Perda oleh para Pejabat Pemerintah Daerah dan para Pemangku Adat dinilai menyulitkan oleh kalangan umat beragama –selain Hindu-. Selain itu, konsekuensi dari pemberlakuan Perda itu prosedur pendirian mushalla sama dengan prosedur pendirian masjid yang menurut Tanya Jawab PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006, musholla tidak disamakan dengan masjid.

c. Sejak dikeluarkan PBM Nomor 9 dan 8 Tahun 2006, ada beberapa pembangunan rumah ibadat yang mendapat

Page 129: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(101)

penolakan warga, yakni dua (2) pembangunan rumah ibadat umat Islam berupa mushalla dan dua (2) rumah ibadat umat Kristen berupa gereja. Penolakan dilakukan oleh warga Hindu/orang-orang Bali di lingkungan rumah ibadat didirikan, dengan alasan tidak memenuhi persyaratan pendirian rumah ibadat yang telah diatur dalam Perda Bali Tahun 2006.

d. Sejak dikeluarkan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006 dan Perda Provinsi Bali /Pergub Nomor 10 Tahun 2006, di Kota Denpasar praktis nyaris tidak ada pendirian rumah ibadat karena beratnya persyaratan yang harus dipenuhi.

e. Selain terdapat rumah-rumah ibadat yang proses pendiriannya memperoleh penolakan dari sebagian warga setempat, ada rumah-rumah ibadat yang proses pendiriannya berlangsung damai tanpa ada penolakan warga setempat. Rumah ibadat yang pendiriannya berlangsung damai, pada umumnya dibangun jauh sebelum ada Perda Provinsi Bali dan PBM Nomor 9 & 8 Tahun 2006.

f. Faktor-faktor yang menyebabkan pendirian/pembangunan rumah ibadat berlangsung damai, antara lain karena: terpenuhinya persyaratan pendirian rumah ibadat; hubungan antara panitia pembangunan rumah ibadat/pengurus dengan para tokoh masyarakat/adat maupun dengan warga terjalin dengan baik; rumah ibadat dibangun di lingkungan mayoritas umat beragama pengguna rumah ibadat tersebut, di antara unsur panitia pembangunan rumah ibadat/pengurus mempunyai pengaruh terhadap warga sekitar/berwibawa; rumah ibadat dibangun di lokasi yang belum ada penghuninya.

g. Dalam menangani berbagai macam perselisihan warga dalam kasus pendirian rumah ibadat, aparat Pemda Kota Denpasar bersama lembaga keagamaan melakukan upaya penyelesaian secara proaktif. Upaya yang dilakukan misalnya pertemuan koordinasi membahas penyelesaian masalah yang terjadi; melakukan mediasi untuk menemukan solusi yang disepakati bersama; serta menganjurkan kepada pihak-pihak yang

Page 130: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(102)

berselisih dan masyarakat pada umumnya untuk meningkatkan toleransi beragama dalam upaya menciptakan kerukunan hidup beragama di lingkungan masing-masing.

Sesuai hasil penelitian, direkomendasikan: a. Pimpinan Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar

hendaknya dapat melakukan koordinasi dengan instansi Pemda terkait untuk mengupayakan sinkronisasi materi Perda dengan prosedur pendirian rumah ibadat dengan PBM Tahun 2006, agar kalangan umat beragama tidak merasa sulit dalam mendirikan rumah ibadat masing-masing.

b. Diharapkan Pimpinan Kantor Kementerian Agama Kota Denpasar memprakarsai penyebarluasaan pemahaman budaya ataupun tradisi serta ajaran pokok agama-agama kepada warga masyarakat, agar memahami tradisi serta ajaran agama lain sekalipun hanya pokok-pokoknya/ tradisi agama lain secara umum. Dengan lebih memahami tradisi serta ajaran agama lain.

Page 131: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(103)

Kondisi Umum Sosial Budaya

Kabupaten Minahasa Utara merupakan salah satu kabupaten dari sembilan Kabupaten/Kota di lingkungan Propinsi Sulawesi Utara, dengan ibukotanya Airmadidi, berjarak sekitar 35 kilometer dari Manado, ibukota Provinsi Sulawsei Utara. Luas wilayahnya sekitar 932.20 km2, dan meliputi sebanyak 10 wilayah kecamatan, 119 desa, 6 kelurahan.

Menurut catatan Badan Pusat Statistik setempat (2009), jumlah penduduk Minahasa Utara sebanyak 200.518 jiwa, dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata sekitar 199.22 jiwa tiap m2. Dilihat dari jenis kelamin, penduduk Minahasa Utara laki-laki lebih banyak (51.80%) bila dibandingkan dengan penduduk perempuan (48.20%).

Selanjutnya bila ditilik dari sisi wilayah kebudayaan, menurut Nasrun Sandiah (antroplog UNSRAT), di lingkungan masyarakat Sulawesi Utara terdapat tiga kelompok wilayah budaya: 1) Masyarakat yang bermukim di Kepulauan Sangihe-Talaud, mayoritas Kristen dan Katolik, 2) Bolaang Mongondow, mayoritas Muslim, 3) Minahasa, mayoritas Kristen dan Muslim

Masyarakat Sangihe Talaud dan Bolaang Mongondow banyak dipengaruhi karakter budaya kerajaan (seperti kerajaan

Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Minahasa Utara

Oleh: Mursyid Ali

5

Page 132: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(104)

Tabukan, Kendahe, Manganitu, Siau di Sangihe – Talaud, serta kerajaan Bolan Uki, Kandipang, Bone di Bolaang Mongondow). Di kedua wilayah ini, banyak melekat karakter kerajaan seperti sifat paternalistik dan kepatuhan yang kental terhadap pemimpin.

Berbeda dengan wilayah kerajaan, Minahasa yang tidak mengenal sistem kerajaan, hubungan sosial masyarakat setempat lebih bersikap kompetitif dan egaliter. Selain itu, status ekonomi tinggi, seperti kemampuan menggelar pesta besar (kaya), merupakan faktor esensial dalam menentukan status sosial dan politik seseorang. Pesta besar merupakan ekspresi showing and sharing. Hal semacam ini tak jarang dikaitkan dengan pemilihan figur para pemimpin. Misalnya di Minahasa Utara, Kota Tomohon dan Kota Bitung, pemenang Pilkadanya justru tokoh-tokoh dengan latar belakang pengusaha yang diusung partai-partai kecil, mengalahkan tokoh birokrasi yang didukung partai besar. Di samping itu, masyarakat Minahasa cenderung rasional yang ditopang dengan tingginya mobilitas sosial dan tingkat pendidikan (Kompas, 29 Februari 2009). Kehidupan Keagamaan

Penduduk Kabupaten Minahasa Utara berjumlah 200.518 jiwa. Sebagian besar sebanyak 142.585 orang (71%) penganut Kristen, 43.104 orang (21,4%) Muslim, 14.625 orang (7,3%) Katolik, 162 penduduk (0,2%) Buddha dan sebanyak 41 penduduk (0,1%) beragama Hindu.

Sedangkan sarana ibadat yang tersedia, sebanyak 457 gereja dan sebuah kapel (Kristen), 53 masjid dan 7 mushola (Muslim) dan sebanyak 51 buah gereja Katolik. Sarana ibadah Budha, Hindu dan Khonghucu.

Organisasi keagamaan berpengaruh di Sulawesi Utara adalah Gereja Masehi Injili Minahasa (GMIM), Pantekosta dan Advent. Di lingkungan komunitas Muslim: NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Persatuan Tarbiyah, dan MUI. Di kalangan Jemaat Katolik adalah Gereja Katolik Minahasa.

Page 133: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(105)

Komunitas Hindu memiliki PHDI, di lingkungan umat Buddha terdapat Walubi, dan Matakin bagi kelompok Khonghucu (proses pembentukan). Selain itu juga terdapat BKSAUA, BAMAG dan FKUB (Laporan Kanwil Kemenag Sulawesi Utara).

Kerukunan

Sulawesi Utara pada umumnya termasuk Minahasa Utara, menurut Pdt. Alexander Kaloay, merupakan salah satu wilayah yang kondusif. Suasana konflik yang sempat menghangat di Sulawesi Utara sebagai dampak kerusuhan Poso, Ambon dan Maluku Utara sekitar tahun 2000-an, berhasil diredam, tidak sampai menyulut emosi umat beragama. Hal itu ditopang oleh tingginya komitmen dan kewaspadaan pemerintah dan komunitas keagamaan setempat yang kompak dan bertekad agar suasana rukun yang sudah terbina itu tidak tercemari oleh faktor-faktor luar.

Pendirian Rumah Ibadat

Menurut para nara sumber (pejabat pemerintah, FKUB, ormas keagamaan) tentang pendirian rumah ibadat selama ini, relatif lancar tanpa banyak hambatan. Proses pendirian rumah ibadat berlangsung sesuai dengan kelaziman setempat (sebelum PBM), cukup diketahui dan persetujuan BKSAUA setempat yang ada di setiap tingkat wilayah pemerintahan sejak tahun 1967. Rumah ibadat yang ada sekarang umumnya tidak memiliki izin resmi. FKUB yang terbentuk 2009, bisa dipahami bila belum banyak berperan karena relatif baru berdiri. Namun di masa mendatang, dengan dukungan politis dan bantuan yang besar Pemda dan bersinergi dengan BKSUA setempat, optimis akan berkembang dan dapat berfungsi sesuai dengan yang diharapkan. FKUB Minahasa Utara sudah memiliki Sekretariat permanen. Dalam APBD 2010, FKUB mendapat dukungan dana sebesar Rp 1,5 milyar dari Pemda Kabupaten setempat.

Berdasarkan laporan Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara, selama kurun waktu sekitar dua tahun terakhir (2008-2009), terdapat dua buah kasus rumah

Page 134: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(106)

ibadat yang muncul dan terjadi di Kabupaten Minahasa Utara. Pertama, kasus Gereja Saksi Yehova di Kecamatan Air Madidi. Kedua, kasus pembangunan Masjid di Perumahan Mapanget Griya Indah III, Kecamatan Talawaan.

Namun, setelah melalui proses dialog dan langkah-langkah solusi lainnya, kedua kasus tersebut dipandang sudah selesai. Untuk jelasnya tentang kasus rumah ibadat tersebut, bisa disimak lewat paparan di bawah ini.

Kasus Gereja Saksi Yehova

Gereja Saksi Yehova di Kecamatan Air Madidi ini didirikan dan digunakan sebagai tempat ibadat sejak awal tahun 1970-an. Pada tahun 1976, gereja ini ditutup dan dilarang melakukan aktivitasnya oleh Jaksa Agung, karena menyebarkan ajaran yang menyimpang atau penodaan agama (Kristen). Kemudian pada awal tahun 2000-an menurut penuturan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara, atas dasar rekomendasi Ditjen Bimas Kristen Pusat Gereja Saksi Yehova ini difungsikan kembali oleh pimpinannya. Namun pada tahun 2009, keberadaan gereja ini kembali digugat dan ditolak komunitas Kristen setempat karena dipandang menyebarkan ajaran sesat (penodaan agama). Selain itu kelompok Saksi Yehova ini dilaporkan sering menyebarkan paham agamanya ke rumah-rumah penduduk yang berbeda paham dan keyakinan agama dengan mereka, baik terhadap Kristen yang berbeda sekte, maupun terhadap kelompok non-Kristen. Hal ini dipandang dapat mengundang keresahan dan konflik di lingkungan umat beragama setempat.

Terkait dengan masalah ini, dalam bukunya “Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja”, Jan S. Aritonang mengungkapkan antara lain bahwa Persekutuan Saksi Yehova (Lembaga Pengawal) ini menolak pokok-pokok ajaran gereja yang baku, misalnya menolak Trinitas, kekekalan jiwa, kebangkitan Kristus secara jasmani. Juga menolak adanya neraka sebagai tempat hukuman kekal bagi orang-orang jahat, sebab

Page 135: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(107)

menurut kelompok ini setiap orang jahat segera ditiadakan (annihilated) pada saat ia mati.

Selanjutnya, atas dasar penolakan warga dan supaya kerukunan umat beragama tetap terpelihara, Gereja Saksi Yehova Kecamatan Air Madidi tersebut ditutup dan dilarang melakukan aktivitasnya oleh Pemda setempat. Kasus Pembangunan Masjid

Dari laporan dan paparan Ketua Panitia Pembangunan “Masjid Perumahan Mapanget Griya Indah III” Kecamatan Talawaan dinyatakan antara lain: pada mulanya pendirian dan pembangunan masjid ini sudah mendapat persetujuan lisan dari warga sekitar dan Kepala Desa setempat (Kristen). Masjid ini dibangun di atas lahan/tanah yang memang disediakan oleh pihak pengembang perumahan bagi peruntukan masjid. Sama halnya dengan lahan yang disediakan pengembang untuk gereja yang sudah lebih dahulu dibangun dalam komplek perumahan Griya Indah III ini, tanpa proses izin resmi. Setelah dua bulan proses pembangunan (Juni 2008) masjid seluas sekitar seratus m2 dan mendapat bantuan dana Yayasan Hilal Al-Ahmar (Bulan Sabit Merah) ini berlangsung, secara tidak sengaja terjadi konflik pribadi antara warga sekitar (Kristen) dengan Panitia Pembangunan Masjid. Tidak berhasil diselesaikan secara kekeluargaan, kemudian berkembang menjadi isu pro-kontra pembangunan masjid, dan berlanjut menjadi penolakan kehadiran masjid oleh komunitas Kristen dan aparat setempat karena tidak ada izin Pemda.

Dalam pertemuan tanggal 19 dan tanggal 27 Februari 2009, bertempat di Kantor Bupati, yang dihadiri para tokoh masyarakat, pemuka agama dan jajaran aparat tingkat Desa, Kecamatan dan Kabupaten yang didominasi kelompok Kristen, dihasilkan kesepakatan antara lain: pembangunan Masjid di Mapanget Perum Griya Indah III, untuk sementara dihentikan aktivitas dan pembangunannya sebelum mendapat izin dari

Page 136: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(108)

Pemda Kabupaten Minahasa Utara (No: 73.A.BMU/III/2009), dan sesuai dengan PBM No.9 dan 8 Tahun 2006.

Setelah melalui proses lobi-lobi antar pihak-pihak terkait setempat, bahkan sempat dilaporkan dan dibicarakan di tingkat Pusat di bawah koordinasi Kesbangpol Kementerian Dalam Negeri. Kemudian atas dasar berbagai pertimbangan, saran dan pemikiran dari berbagai pihak, khususnya saling pengertian antara Panitia Pembangunan dengan Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa, Panitia merubah permohonan pembangunan masjid menjadi permohonan pembangunan Musholla/Taman Pendidikan Agama (14 September 2009). Atas dasar permohonan tersebut, pada tanggal 8 Oktober 2009, Kepala Kantor Kementerian Agama Kabupaten Minahasa Utara mengeluarkan Rekomendasi Nomor: Kd.23.9/2/BA.00/ 314/2009, yang berisi persetujuan dibangun Musholla/TPA. Tanggal 9 Oktober 2009, Bupati turun langsung ke lokasi bersama Muspida menjelaskan rekomendasi dan diterima masyarakat. Kasus pembangunan masjid dianggap selesai. Bangunan Musholla/TPA yang diberi nama Al-Ikhlas kini sudah selesai dan sudah berfungsi untuk kepentingan ibadat dan pendidikan agama keluarga Muslim setempat. Dalam penyelesaian kasus ini, peranan kearifan lokal sangat besar.

Ringkasan

Mengacu pada berbagai informasi, kenyataan, saran dan pemikiran yang berhasil dihimpun, setelah dianalisis, diinterpretasi, kemudian ditarik beberapa kesimpulan yang bersifat pokok, umum dan menyeluruh seperti berikut: a. Proses pembangunan rumah ibadat di Sulawesi Utara pada

umumnya, termasuk di Kabupaten Minahasa Utara selama ini (sebelum PBM No.9 dan 8 Tahun 2006) melalui persetujuan Badan Kerjasama Antar Umat Beragama (BKSAUA) setempat dan berlangsung tanpa banyak hambatan. Sebagian besar rumah ibadat yang ada sekarang ini dibangun tanpa izin resmi Pemda.

Page 137: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(109)

b. BKSAUA yang terbentuk sejak pertengahan tahun 1960-an, yang berada di tingkat Desa sampai tingkat provinsi, relatif sangat berperan membantu pemerintah setempat dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial keagamaan yang muncul dalam kehidupan keseharian masyarakat.

c. FKUB Kabupaten Minahasa Utara yang terbentuk tahun 2009, belum berperan dan berfungsi secara optimal. Hal ini bisa dipahami mengingat masih belum lama eksis. Namun dengan dukungan politis masyarakat, bantuan Pemda yang besar serta dengan bersinergi dan kerjasama dengan BKSAUA setempat, ke depan optimis FKUB lebih mampu melakukan perannya secara lebih signifikan sesuai harapan.

d. Kehidupan sosial umat beragama Kabupaten Minahasa Utara secara umum relatif kondusif dan rukun, dalam pengertian tidak ada konflik terbuka yang melibatkan massa antar kelompok keagamaan dan berlangsung berlarut-larut. Suasana kondusif tersebut ditopang oleh beberapa faktor seperti: komitmen dan dukungan politis yang besar para tokoh keagamaan bersama pemerintah setempat, sikap keterbukaan, kearifan terhadap budaya lokal, kehidupan sosial dan ekonomi yang makin meningkat.

e. Dalam tahun 2009, terdapat dua kasus rumah ibadat di Kabupaten Minahasa Utara. Pertama, kasus “Gereja Saksi Yehova” yang dianggap menyebarkan paham menyimpang yang tidak sesuai dengan pokok-pokok ajaran yang baku dalam gereja. Kedua, kasus pembangunan masjid Perumahan Mapanget Griya Indah III, yang ditolak kehadirannya oleh komunitas Kristen setempat karena tidak memenuhi persyaratan seperti yang digariskan dalam PBM No.9 dan 8 Tahun 2006. Kedua kasus tersebut berhasil diselesaikan melalui proses dialog dan lobi-lobi antar pimpinan ormas keagamaan, tokoh masyarakat, bersama-sama pejabat pemerintahan terkait.

f. Agar kerukunan hidup umat beragama tetap terpelihara dan bisa ditingkatkan, dipandang perlu dilakukan berbagai upaya konkrit, terarah dan berkesinambungan antara lain: 1)

Page 138: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(110)

Peningkatan frekwensi, intensitas, dan efektifitas sosialisasi PBM No.9 dan 8 Tahun 2006, 2) Peningkatan kerjasama dan sinergisitas FKUB dengan BKSAUA setempat dalam penanganan permasalahan sosial keagamaan, 3) Menggalakkan dialog-dialog multikultural dan kerjasama kemanusiaan lintas agama dan budaya.

Page 139: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(111)

Sekilas Kabupaten Sikka

Kabupaten Sikka terletak di pulau Flores, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kabupaten yang beribukota Maumere ini memiliki luas 1.731,91 km2, terbagi menjadi 21 kecamatan, 13 kelurahan, dan 147 desa.

Penduduk sebanyak 301.963 jiwa dengan kepadatan 174,35 per km2. Agama yang dipeluk adalah Katolik (89,9%), Islam (9,09%), Kristen (0,92%), Hindu dan Buddha (0,11%). Suku yang ada adalah Sikka Kerowe, Kerowe Tana’ Ai, Lio Kerowe, Palue (Lu’a Kaparja), dan Tidung Bajo. Pekerjaan penduduk di antaranya Nelayan, pedagang, dan PNS. Kehidupan Keagamaan

Kehidupan keagamaan di Sikka cukup kondusif. Tidak ada kasus yang luar biasa, selain beberapa kejadian penodaan agama beberapa tahun yang lalu. Agama hadir di Sikka berkembangannya aliran kepercayaan. Islam masuk ke Sikka melalui orang Gowa/Sulsel, kemudian Katolik dibawa orang Portugis, Kristen dibawa orang Belanda, serta Hindu dan

Pendirian Rumah Ibadat di Kabupaten Sikka

Nusa Tenggara Timur Oleh: Akmal Salim Ruhana &

M. Yusuf Asry

6

Page 140: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(112)

Buddha yang masuk melalui orang Bali, terutama yang bertugas di kabupaten ini.

Umat beragama beribadat di berbagai rumah ibadat yang tersedia. Sebagai mayoritas, di tahun 2010 ini umat Katolik memiliki 35 gereja, umat Islam 48 masjid, umat Kristen 8 gereja, dan umat Hindu 3 Pura. Sedangkan umat Buddha belum cukup signifikan jumlahnya, sehingga belum memiliki vihara. Demikian pula, belum terdata umat Khonghucu dengan Litang-nya.

Di kalangan umat beragama tumbuh dan berkembang organisasi keagamaan. Di dalam Keuskupan Maumere terdapat 31 organisasi tarekat, seperti: SSpS, CIJ, PIJ, PRR, Alma, dan lain-lain. Di kalangan Islam ada 12 lembaga, yakni: MUI, NU, Muhammadiyah, LPTQ, IPHI, Aisyiyah, Yayasan Safora, Annisa, Al-Muhajirin, At-Taqwa, PHBI, dan BAZ. Di kalangan Kristen ada 9 gereja, yaitu GMIT Kalvari, GMIT Efata, GMIT Sion, GPPS Maranatha, GPDI, GBI Siloam, GSJA, dan GMHK. Sedangkan di kalangan Hindu ada 4 lembaga, yakni PHDI, WHDI, Prada, dan Banjar.

Kerukunan umat beragama cukup kondusif. Banyak faktor yang mendukungnya, di antaranya faktor adat istiadat yang kuat, tali kekerabatan masih kokoh (melalui kawin-mawin), kegiatan lintas agama (seperti kompetisi olahraga yang melibatkan antar umat beragama), dan adanya penanganan kasus yang cepat oleh aparat. Namun terdapat pula faktor yang menghambat pemeliharaan kerukunan, yakni adanya fanatisme-sempit sebagian masyarakat, masyarakat yang kurang sadar hukum, belum optimalnya peran FKUB (karena faktor keterbatasan dana), dan kentalnya predikat mayoritas-minoritas umat beragama yang dilekatkan pada suatu daerah. Pelaksanaan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006

Kasus Pendirian Rumah Ibadat

Secara umum tidak ada pendirian rumah ibadat baru di Sikka pasca diterbitkannya PBM (Maret 2006), kecuali berupa

Page 141: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(113)

renovasi/perluasan. Pada umumnya rumah ibadat juga belum memiliki IMB, yang adapun belum mengacu pada ketentuan PBM. Berikut profil beberapa rumah ibadat tersebut: a. Renovasi dan perluasan Gereja Spiritu Santo Misir, yang

beralamat di Madawat, Alok, Kabupaten Sikka. Gereja ini sebelumnya adalah sebuah kapel yang melayani 200-an umat (bagian dari Paroki Katedral). Atas dasar kebutuhan pelayanan umat yang semakin besar, tahun 2004 dilakukan perluasan dengan kapasitas 700-800 orang, dan melayani 7000-an umat Katolik. Sejak 2007 gereja secara definitif digunakan dan menjadi Paroki tersendiri dengan Pastor bernama Romo Julius Cesar Reda Parera. Ketika proses pembangunan, semua tetangga lokasi umat Katolik, belakangan ada muslim dan Hindu ‘mengontrak’ di sekitarnya. Bangunan ini belum memiliki IMB, dan sertifikat tanah pernah diurus, meski sampai saat ini belum selesai.

b. Pengembangan Gereja St. Thomas Morus, di Waioti, Alok Timur, Kabapaten Sikka. Semula di tanah seluas 3000 m2 ini merupakan pasar tradisional yang ditukar-guling dengan tanah 800 m² milik gereja. Sekarang di lokasi tersebut sudah ada Kapela yang melayani 200-an umat. Direncanakan gereja yang akan melayani 5000-an umat ini akan menjadi pengembangan dari Gereja St. Thomas Morus yang saat ini melayani 15.000-an umat. Sejauh ini belum mulai membangun, baru rapat-rapat persiapan sambil menggalang dana, karena dana umat juga terbagi dengan proses renovasi Gereja St. Santo Morus di Jl. Soekarno Hatta. IMB belum diurus karena belum mulai membangun, tetapi panitia telah memikirkan dan akan menyiapkannya. Tetangga lokasi kebanyakan umat Katolik, ada 3 keluarga muslim, bahkan lokasi ini bersebelahan dengan Masjid Darussalam, Waioti.

c. Rencana Pembangunan Masjid Agung di Tanah Eks-HGU, Kotaune, Alok, Sikka. Tanah seluas 2.600 m² ini merupakan hibah/pembagian Pemda kepada semua agama di Sikka (1984). Rencananya di sana akan dibangun Masjid Agung

Page 142: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(114)

Sikka, tetapi dalam perkembangannya ada respon umat beragama lain yang berkeberatan dan menilai cukup dengan masjid yang telah ada (Masjid Al-Muhajirin, Perumnas). Dari pihak MUI agaknya dapat memahami, kemudian tanah direncanakan akan digunakan untuk Kantor MUI, tetapi belum terlaksana dan masih terkatung-katung (secara teknis terkendala proses pengukuran tanah untuk pembuatan sertifikat). Tetangga lokasi tersebut ada Kapela, dan jalan umum. Jika Pura Waidoko sudah mengantongi IMB, tanah untuk Masjid Agung belum memilikinya, karena terkendala dalam pengurusan sertifikat dan peruntukan.

d. Renovasi dan perluasan Masjid Darussalam, di Waioti, Alok Timur, Kab. Sikka. Pada tahun1986 masih berupa musholla 8x8 m2, kapasitas 50 orang. Atas dasar perkembangan umat yang mencapai 500-an orang, maka direnovasi/diperlebar menjadi 22x22 m. Pada 2002 mulai dibangun dan mulai digunakan tahun 2006. Di sekitar masjid mayoritas muslim, ada Kampus Universitas Muhammadiyah Kupang (kelas jauh) dan panti asuhan. Sebagian bangunan telah memiliki IMB.

e. Renovasi dan perluasan Masjid Al-Anshor Kotauneng, Kilo2, Alok, Sikka. Semula berupa musholla 10x10 m dengan umat 100-an KK. Atas dasar perkembangan umat yang mencapai 300-an KK, maka pada tahun 2004 dikembangkan menjadi masjid sebesar 18x25 m dengan kapasitas 800-an, bahkan pada momen besar tertentu bisa menampung 1.300-an umat. Pada tahun 2007 mulai difungsikan. Tetangga masjid hampir semua muslim (pendatang dari Bugis, Buton, Jawa dan lain-lain). Bangunan belum memiliki IMB. Sudah mengurus sejak masa pembangunan dimulai tahun 2004, tetapi belum ada jawaban dari Pemda (versi lain menyebutkan karena berkas belum lengkap).

f. Renovasi dan perluasan Gereja GMIT Kalvari di Kotabaru, Alok Timur, Sikka. Gereja ini berdiri sejak tahun 1960-an. Pada 1982 mulai dibesarkan menjadi berukuran 9x20 m, dengan kapasitas 400 orang. Atas kebutuhan pelayanan umat yang semakin banyak, maka mulai tahun 2005 bangunan gereja

Page 143: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(115)

dibesarkan lagi (20x33 m, 2 lantai) untuk kapasitas 1500 orang dan melayani 2000-an umat. Tetangga lokasi ada kantor pos, asrama, dan jalan umum. Sudah memiliki IMB.

g. Eksistensi dan rumah ibadat sementara Gereja GBI-Rock Ministries. Gereja ini ada di Sikka sejak 2002, tetapi karena keanggotaannya belum banyak sehingga kegiatan ibadatnya berpindah-pindah, di Waidoko (2002), Gedung Polres Kotabaru (2005), Alan Hall (2006), Hotel Nara Room Nelle (2007), dan Rumah di Nairoa (s/d Des 2009). Gereja permanen belum dibangun, karena belum dapat memenuhi ketentuan dalam PBM. Eksistensi gereja ini masih belum diterima Pemda dan Kemenag karena belum tercukupinya jumlah minimal umat (baru sekitar 40-70 orang). Selain itu, ditengarai ditolak masyarakat karena diduga ada penarikan anggota yang tidak wajar dari umat Katolik dan Kristen, serta ada keanggotaan ganda dengan gereja lain.

h. Pura Agung Waidoko, di Waidoko, Alok, Kab. Sikka. Tanah Pura seluas 1.300 m2 didapat dari pembagian Pemda (eks-HGU, 1984). Tahun 1992 (pasca tsunami) Pura mulai dibangun, yang melayani 340 KK. Hingga saat ini bentuk bangunan tetap meski yang dilayani cenderung berkurang karena arus migrasi/mutasi-kerja umat (yang kebanyakan berprofesi TNI/Polri). Pura yang melayani 300-an umat Hindu di Maumere ini telah bersertifikat (2006), dan telah memiliki IMB (2009). Tetangga lokasi ada gereja, sekolah, dan jalan raya.

Analisis

Dari gambaran delapan objek penelitian di atas, bahwa kebutuhan pendirian atau renovasi rumah ibadat didasarkan pada pertumbuhan jumlah penganut agama. Selain itu, renovasi juga dilakukan untuk pelayanan umat agar lebih dekat, dan adanya pertimbangan kelayakan fisik bangunan rumah ibadat.

Terkait proses pendirian rumah ibadat, pertama diawali dengan musyawarah internal umat (saja), kemudian ada juga yang meminta persetujuan umat lain sekitarnya. Pada umumnya

Page 144: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(116)

renovasi yang dilakukan itu mengubah lokasi (bergeser) dan mengubah bentuk (membesar). Artinya, renovasi tersebut sesuai ketentuan memerlukan IMB baru.

Sejauh ini belum pernah ada rekomendasi terkait rumah ibadat dari Kemenag dan FKUB—belum ada permohonan pendirian rumah ibadat. Sejalan dengan itu, sertifikat dan IMB umumnya belum dimiliki rumah ibadat. Jika pun sudah memiliki IMB, pengurusannya belum sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur PBM. Selain faktor pemahaman bahwa yang direnovasi adalah bangunan lama yang telah sejak dahulu, juga ada pemakluman atau ‘bantuan’ dari pemerintah.

Beberapa permasalahan (tersisa) terkait pendirian rumah ibadat, di antaranya: meski pembangunan atau renovasi sejauh ini berjalan damai, tetapi masih belum sesuai peraturan (PBM dan Perda 14/2007); pengurusan IMB rumah-rumah ibadat (benarkah akan ada pemutihan oleh Bupati terhadap rumah ibadat yg sudah lama ada?); tanah Eks-HGU untuk masjid/kantor MUI yang masih terkatung; dan permohonan Gereja GBI Rock (dari segi eksistensi aliran dan persyaratan administrasi, teknis, dan khusus pendirian gereja).

Sedangkan penanganan masalah rumah ibadat sejauh ini dapat ditangani oleh aparat. Meski belum tuntas tetapi tetap telah menciptakan ketentraman dalam masyarakat. Dalam hal ini independensi pemerintah menjadi tantangan (catatan: kalangan minoritas merasakan adanya keberpihakan pemerintah daerah terhadap kalangan mayoritas). Ringkasan

Dari hasil penelitian dan pembahasan diambil kesimpulan: a. Tidak terjadi penolakan terang-terangan terhadap pendirian

rumah ibadat. Namun ada rencana pendirian yang mengalami hambatan dengan belum dikeluarkannya rekomendasi dan/atau izin sementara untuk tempat ibadat. Hambatan ini disebabkan proses pemenuhan persyaratan.

Page 145: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(117)

b. Pendirian/renovasi rumah ibadat pada umumnya berjalan damai. Hal ini bukan karena terpenuhinya aturan (PBM, dan lain-lain), tetapi karena tidak dipermasalahkannya (permisivitas) baik oleh Pemda maupun masyarakat. Karena bukan pendirian baru, proses pendirian/renovasinya tidak melalui aturan pendirian bangunan gedung dan PBM. Prosesnya biasanya dengan melalui rapat pengurus, dan pembentukan kepanitiaan, hingga proses renovasi.

c. Proses penyelesaian masalah terkait rumah ibadat melalui kebijakan telah dilakukan. Pemerintah berperan besar dalam upaya itu. Hanya saja, proses fasilitasi dialog dengan partisipasi pihak otoritatif belum cukup optimal dilakukan.

Sesuai hasil penelitian direkomendasikan: a. Bagi rumah ibadat yang belum ber-IMB (atau yang direnovasi

dengan mengubah lokasi dan bentuk) sebaiknya segera mengurusnya, karena selain demi memenuhi peraturan juga untuk ketentraman pelaksanaan ibadat umat di masa depan. Apalagi sudah ada pelayanan satu pintu (Kantor Pelayanan Perizinan Terpadu/ KPPT)

b. Pemerintah, dalam hal ini Pemda/KPPT, agar dapat membantu untuk mempermudah pengurusan sertifikat dan IMB rumah ibadat dengan arahan dan pelayanan prioritas, demi mendukung upaya penertiban bangunan gedung (sesuai Perda/PBM) sekaligus ‘membantu’ pembangunan agama.

c. Permasalahan menyangkut rumah ibadat, sebagai bagian dari upaya pemeliharaan kerukunan, agar segera ditangani oleh unsur pemerintah terkait (Pemkab, Kemenag, Kesbanglinmas, Bappeda, BPN, dan lain-lain.) dengan arif, bijaksana, dan menjaga netralitas pemerintahan.

d. FKUB perlu lebih mengoptimalkan perannya dalam upaya pemeliharaan kerukunan dengan melakukan dialog-dialog, penyerapan aspirasi dan penyalurannya, serta sosialisasi produk perundang-undangan terkait kerukunan dan pember-dayaan umat.

Page 146: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(118)

e. Sosialisasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri (PBM) No. 9 dan 8 Tahun 2006 terkait pendirian rumah ibadat, hendaknya terus dilanjutkan hingga ke tingkat kecamatan dan kelurahan/desa. Secara teknis, Kemenag atau Kesbanglinmas (atau majelis agama sendiri) dapat menggandakan Buku Saku PBM untuk dibagikan kepada umat.

f. Sejalan dengan Sosialisasi PBM, perlu dilakukan sosialisasi pengurusan IMB (oleh KPPT) dan rencana tata ruang wilayah (oleh Bappeda), serta peraturan terkait lainnya.

g. Perlu sinergi yang lebih intensif di antara pihak yang berkepentingan dalam upaya mendukung peningkatan peran FKUB, baik dari segi pembiayaan maupun teknis kegiatannya.

h. Pemerintah pusat diharapkan terus mengkoordinasikan dan membantu upaya pemeliharaan kerukunan di daerah dengan memberikan alternatif solusi bagi permasalahan di lapangan, seperti: 1) Menggalakkan (kembali) Sosialisasi PBM di berbagai

daerah. 2) Membuat terobosan strategis terkait anggaran FKUB,

misalnya dengan membuat surat edaran yang mendorong Pemerintah Daerah agar mengalokasikannya secara khusus.

3) Membuat program-program pemberdayaan masyarakat yang dapat mencerdaskan dan mensejahterakan umat.

Page 147: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(119)

Sekilas Kota Sorong

Nama Sorong berasal dari kata soren, dalam bahasa Biak Numfor berarti laut yang dalam dan bergelombang. Nama Soren untuk menyebut sebuah tempat di waliyah kepala burung Pulau Papua, yang pertama kali menggunakan adalah suku Biak Numfor yang berlayar dan berkelana hingga sampai dan menetap di Kepulauan Raja Ampat. Suku Biak Numfor inilah yang memberi nama Daratan Maladum dengan sebutan Soren yang dilafalkan oleh para pedagang Tionghoa, missionaris dari Eropa, Maluku dan Sangir Talaut dengan sebutan Sorong.

Kota Sorong memiliki beberapa fasilitas berupa pelabuhan laut dan udara, sehingga menjadikan kota ini sebagai persinggahan dan pintu gerbang bagi Provinsi Papua Barat, di samping juga sebagai kota industri, perdagangan dan jasa. Kota Sorong yang memiliki water front view (kota dengan pemandangan laut) menjadikan kota ini sebagai kota pariwisata.34

Kota Sorong terkenal karena terdapat aktivitas pengeboran minyak bumi sejak jaman pemerintahan kolonial Balanda, yakni

34Andy, Selayang Pandang Kota Sorong.

Pendirian Rumah Ibadat di Kota Sorong

Oleh: Haidlor Ali Ahmad

7

Page 148: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(120)

Nederlands Neauw Guinea Petroleum Matschcapeij (NNGPM)35 yang mulai beroperasi sejak tahun 1935. Peninggalan bersejarah perusahaan tersebut adalah pelabuhan ekspor minyak bumi, beberapa kilang minyak, rumah tinggal karyawan, bekas barak karyawan kelas bawah, dan sebuah masjid sebagai sarana ibadah karyawan Muslim.

Kota Sorong pada mulanya merupakan salah satu kota kecamatan yang dijadikan pusat pemerintahan Kabupaten Sorong. Berdasarkan PP Nomor 31 Tahun 1996 tanggal 3 Juni 1996 Kecamatan Sorong ditingkatkan menjadi Kota Administratif (Kotif) Sorong. Berdasarkan UU Nomor 45 Tahun 1999 Kotif Sorong ditingkatkan statusnya menjadi daerah otonom sebagai Kota Sorong. Tanggal 12 Oktober 1999 di Jakarta dilaksanakan pelantikan Pejabat Walikota Sorong, Drs. J.A. Jumane dan secara resmi Kota Sorong terpisah dari Kabupaten Sorong tanggal 28 Februari 2000.

Kota Sorong terletak di sebelah selatan garis katulistiwa, atau terletak pada kordinat 131?15’ BT dan 0?54’ LS. Luas wilayah Kota Sorong mencapai 1.105 km2. Wilayah Kota Sorong dibatasi Selat Dampr di sebalah barat, di bagian utara dengan Distrik Makbon, Kabupaten Sorong dan Selat Dampir. Di bagian timur berbatasan dengan Distrik Makbon dan Kabupaten Sorong, di bagian selatan berbatasan dengan Distrik Aimas, Kabupaten Sorong dan Distrik Salawati Kabupaten Raja Ampat.

Kota Sorong merupakan wilayah pemekaran dari Kabupaten Sorong yang dipecah menjadi dua daerah tingkat dua, yaitu: Kabupaten Sorong dan Kota Sorong. Menurut

35Sekarang penduduk setempat hanya mengenal perusahaan

pengeboran minyak bumi milik Belanda dengan nama GPM dan mereka tidak mengetahui kepanjangannya.

Page 149: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(121)

rencana, sudah diwacanakan bahwa, Provinsi Papua Barat akan dimekarkan, dipecah menjadi dua daerah tingkat 1, yakni Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua Barat Daya dan Kota Sorong akan dijadikan ibu kota Provinsi Papua Barat Daya.

Berdasarkan administrasi pemerintahan, Kota Sorong terdiri dari 5 distrik, yaitu Distrik Sorong Barat, Sorong Timur, Sorong, Sorong Kepulauan dan Sorong Utara. Masing-masing distrik terbagi menjadi 4-5 kelurahan, yang dapat dilihat pada tabel berikut:

TABEL 1: JUMLAH DISTRIK DAN KELURAHAN DI WILAYAH KOTA SORONG DAN LUAS MASING-MASING KELURAHAN

Distrik Kelurahan Luas (km2) Sorong Barat Klabala 45.7 Saoka 50.83 Tanjung Kasuari 62.92 Rufei 44.5 Klawasi 50,2 Sorong Timur Klablim 62.7 Klasaman 70.5 Remu Selatan 62.5 Malaingkedi 54.59 Sorong Klademak 40.064 Remu Utara 30.07 Klaligi 40.04 Kampung Baru 50.05 Malawei 40.096 Sorong Kepulauan Doom Barat 45.1 Doom Timur 50.5 Raam 50.025 Soop 54.475 Sorong Utara Malanu 51.155 Klagete 48.45 Matalamagi 50.5 Klawuyuk 50.035 Jumlah 22 kelurahan 1,105

Sumber: Kota Sorong Dalam Angka 2009.

Page 150: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(122)

Jumlah penduduk Kota Sorong36 pada tahun 2008 dalam Kota Sorong dalam Angka 2009 tercatat sebanyak 172.855 jiwa (Proyeksi 2008),37 sama dengan data yang dimiliki Kantor Kementerian Agama Kota Sorong. Jumlah penduduk tersebut terdiri atas penduduk laki-laki 90.183 jiwa (52%) dan perempuan 82,672 jiwa (48%). Namun data yang dimiliki BPS Kota Sorong ini dapat dikatakan tidak cukup akurat, karena pada halaman yang lain jumlah penduduk Kota Sorong tahun 2008 tercatat sebanyak 215.709 jiwa38.

Tingkat kepadatan penduduk Kota Sorong – jika jumlah penduduk 215,709 jiwa – mencapai 195 jiwa/km2. Akan tetapi jika jumlah penduduk 172.855 jiwa maka tingkat kepadatannya mencapai 156,43/km2. Meski ada perbedaan (selisih tingkat kepadatan penduduk), namun dengan tingkat kepadatan penduduk seperti itu, Kota Sorong dapat dipastikan tergolong sebagai wilayah yang jarang penduduknya.

Komposisi penduduk Kota Sorong jika dilihat dari sisi etnis, jumlah penduduk pribumi (etnis Papua) lebih kecil dibandingkan etnis pendatang, menurut perkiraan 40:60. Etnis pendatang yang menonjol adalah Bugis, Buton, Makassar,

36 Menurut beberapa informan data kependudukan di Kota Sorong

khususnya dan Papua umumnya terutama berkaitan dengan jumlah penganut agama berbeda-beda. Informasi yang sama pernah peneliti terima ketika peneliti melakukan perjalanan dinas di Jayapura. Perbedaan data kependudukan ini berakibat terjadinya ketidakkonsistenan data yang dimiliki BPS Kota Sorong,

37 Kota Sorong dalam Angka 2009: 36 dan 40, 38 Kota Sorong dalam Angka 2009: 74 dan 111. Data kependudukan dalam

Kota Sorong Dalam Angka 2009 berbeda dengan data yang dimiliki Kantor Kementerian Agama, meskipun pada tabel jumlah penduduk dilihat dari penganut agama (Kota Sorong dalam Angka 2009) sebagai sumbernya dicantumkan Departemen Agama Kota Sorong; Lihat juga data jumlah penganut agama.

38 Kota Sorong dalam Angka 2009: 40.

Page 151: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(123)

selebihnya etnis Jawa, Menado, Ambon, Tionghwa, dan pendatang dari kepulauan Key, Tanimbar, Nusa Tenggara Timur, Sumatra Utara dan lain-lain.

Perkembangan jumlah penduduk pendatang diperkirakan setiap minggu bertambah 3 kali 500 orang (1.500 orang). Prakiraan ini berdasarkan kedatangan Kapal Putih (kapal terbesar) yang berlabuh 3 kali dalam seminggu yang mengangkut para pendatang (+/- 500 orang) dari wilayah Indonesia Barat dan Tengah, selain dengan pesawat udara 3 kali setiap hari.39

Penduduk Menurut Etnis

Etnis-etnis yang ada di Kota Sorong bertempat tinggal secara mengelompok, etnis Bugis yang merupakan etnis pendatang terbesar terkonsentrasi di Kelurahan Pasar Baru, Kampung Bugis, Kelurahan Klasaman dan Kelurahan Rufei. Selain sebagai kantong etnis Bugis, Kelurahan Rufei juga merupakan kantong etnis Buton. Selain di Rufei, Etnis Buton juga terkonsentrasi di Kampung Buton Distrik Manoi. Etnis Key di Kampung Key Kelurahan Kampung Baru. Etnis Jawa di Kelurahan Matamalage dan Kilometer 9 dan 10. Sementara penduduk pribumi berada di pinggiran kota. Oleh karenanya wajah Kota Sorong tidak mencerminkan ciri Papua, melainkan sebagaimana kota-kota di wilayah Indonesia bagian barat dan tengah.

39 Sekurang-kurangnya ada empat orang informan (3 orang guru MAN

Model dan seorang Kasi pada Kantor Kementerian Agama Kota Sorong) memperkirakan perkembangan jumlah penduduk pendatang berdasarkan kedatangan kapal laut dan pesawat udara di Kota Sorong.

Page 152: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(124)

Kehidupan Keagamaan

Komposisi penduduk menurut agama yang dianut, berdasarkan data Kantor Kementerian Agama Kota Sorong Tahun 2008 dapat dilihat pada tabel berikut: TABEL 2: JUMLAH PENDUDUK MENURUT AGAMA YANG

DIANUT Kecamatan Kristen Katolik Islam Hindu Buddha Jumlah

Sorong Barat 14.516 6.829 11.331 151 1.039 33.867 Sorong Timur 12,676 5,019 21.415 103 108 39.322 Sorong 26,796 1,913 29,599 11 404 58,724 Sorong Kepulauan 7,253 133 1,291 6 - 8,684 Sorong Utara 18.372 5,837 7,776 95 178 32,258 Jumlah 79,613 19,732 71,413 367 1.78 172,855

Sumber: Kantor Kementerian Agama Kota Sorong.

Sebagai perbandingan, kiranya perlu ditampilkan data komposisi penduduk menurut agama yang dimiliki BPS Kota Sorong. Meski datanya berbeda dengan yang dimiliki Kantor Kementerian Agama Kota Sorong, namun dalam keterangannya disebutkan bersumber dari Kementerian Agama Kota Sorong.

TABEL 5: JUMLAH PEMELUK AGAMA PER DISTRIK

DI KOTA SORONG TAHUN 2008 Distrik Kristen Katolik Islam Hindu Buddha Jumlah

Sorong Barat 17.480 7.010 11.631 156 1.067 47.344 Sorong Timur 24.397 6.354 27.110 132 137 58.130 Sorong 43.143 1.682 26.021 10 355 71.211 Sorong Kepulauan 5.617 1.003 1.000 5 - 7.625 Sorong Utara 23.365 3.377 4.499 65 103 31.399

Jumlah 142.002 (08)

19.426 (06-07)

70.261 (06-07)

368 (08)

1.662 (08) 215.709

Sumber: Kementerian Agama Kota Sorong40

40 Kota Sorong dalam Angka 2009: 111; Yang ganjil dari data dalam tabel

di atas, pertama data jumlah penganut agama Katolik dan Islam merupakan data tahun 2006-2007, tapi data jumlah seluruh penduduk semakin membengkak menjadi 215.709 jiwa. Bandingkan dengan data dalam tabel sebelumnya yang

Page 153: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(125)

Diperkirakan jumlah umat Islam akan terus berkembang seiring dengan pertambahan penduduk berdasarkan etnis yang datang dari wilayah Indonesia Barat dan Tengah, yakni sekitar 6.722 orang pendatang per tahun. Para pendatang ini sering diidentikan dengan pendatang Muslim, karena mayoritas beragama Islam, meski juga terdapat penganut agama non-Islam.

Sebagian penduduk Kota Sorong bertempat tinggal secara terkonsentrasi atau membentuk kantong-kantong penduduk menurut agama yang dianut. Sebagian penganut agama Nasrani bertempat tinggal terkonsentrasi di wilayah pinggiran kota, di Lademak, dan Rufe. Sedangkan penduduk Muslim terkonsentrasi di At-Taqwa Remu Selatan, Pasar Baru Klademak, Sebagian HBM, Klademak Pantai, Remu Utara, Kilometer 9 dan 10.

TABEL 6: JUMLAH RUMAH IBADAT DI KOTA SORONG

Kristen Katolik Islam Buddha Hindu Gereja Gereja Kapela Masjid Musala Wihara Pagoda Pure 24741 6 9 70 16 3 1 142

Sumber: Kantor Kementerian Agama Kota Sorong 43

secara keseluruhan merupakan data tahun 2008, tapi jumlah penduduknya lebih kecil, 172.855 jiwa; Kedua, tabel di atas diambil dari Kota Sorong dalam Angka 2009, di bawah tabel disebutkan sumbernya dari Kantor Kementerian Kota Sorong, tapi justru jumlah penduduk dalam tabel ini berbeda dengan data yang peneliti peroleh dari Kantor Kementerian Agama Kota Sorong (tabel 4).

41 Jumlah gereja Kristen Protestan yang terdaftar sebanyak 247, sementara ada beberapa gereja yang belum terdaftar (informasi dari staf Urusan Agama Kristen Kantor Kementerian Agama Kota Sorong).

42 Pembangunan pura sedang dalam proses, sekarang sudah dibangun fondasi di Kelurahan Klasaman Kecamatan Sorong Timur. Meski demikian setiap purnama tilem diadakan sembahyang dan pada hari nyepi tgl 16 Maret 2010 juga dipakai untuk sembahyang. Menurut rencana pura yang akan dibangun ini adalah tingkat pura jagat raya yang disediakan untuk seluruh umat dan diberi nama Buana Kerti.

Page 154: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(126)

Umat beragama di Kota Sorong yang memiliki rumah ibadat terbanyak adalah umat Kristen, 247 gereja yang terbagi atas 39 denominasi. Gereja Kristen Injili di Tanah Papua (GKITP) yang paling banyak, 50 buah; pada urutan ke dua Gereja Pentakosta di Indonesia (GPdI) 38 buah; dan Gereja Bethel Indonesia (GBI) pada urutan ke tiga, 36 buah; Selanjutnya secara berurutan Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) 12 buah; Gereja Betel Gereja Pentakosta (GBGP) 11 buah; Gereja Pentakosta di Papua (GPdP), 10 buah; Gereja Kalvari Pentakosta Missi di Indonesia (GKPMI), 9 buah; Gereja Masehi Advent Hari Ke Tujuh (GMAHK) 9 buah; Gereja Pekabaran Injil Jalan Suci (GPI Jalan Suci) 8 buah; Gereja Baptis Anugerah Indonesia (GBAI), 6 buah; Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) 5 buah; Gereja Protestan Indonesia (GPI) dan Gereja Pentakosta Tabernakel (GPT) masing-masing 4 buah; Gereja Pekabaran Injil Sungai Air Hidup (GPI-SAH), Gereja Rasuli Indonesia (GRI).

Gereja Penyebaran Injil (GPI), dan Gereja Persekutuan Kristen Alkitab Indonesia (GPKAI) masing-masing 3 buah; Gereja Kristen Oikumene (GKO), Gereja Missi Injili Indonesia (GMII), Gereja Kristen Kalam Kudus (GKKK), Gereja Kasih Kurnia Indonesia (GEKARI), Gereja Sidang Tuhan (GST), Gereja Kristen Protestan Injili Indonesia (GKPII), dan Gereja Bethany Indonesia masing-masing 2 buah; Gereja Tuhan di Indonesia (GTDI), Gereja Kristen Nazarene (GKN), Gereja Suara Ketebusan (GSK), Gereja Betel Injil Sepenuh (GBIS), Gereja Esa Di Indonesia (GESINDO), Gereja Reformasi Santosa Asih (GRISA), Gereja Kristen Perjanjian Baru (GKPB), Gereja Bala Keselamatan, Gereja Kemenangan Iman Indonesia, Gereja Kerapatan Pentakosta (GKP), Gereja Pentakosta Haleluyah Indonesia (GPHI), Gereja Sidang Jemaat Kristus Indonesia (GSJKI), Gereja Kristen Alkitab (GKA), dan Gereja Betel Tabernakel (GBT) masing-masing 1 buah.

43 Sumber sebagian berupa dokumen dan selebihnya dari hasil

wawancara dengan masing-masing Kasi Bimas (Islam, Kristen Protestan dan Katolik) maupun Penyelenggara (Hindu dan Budha).

Page 155: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(127)

Umat Katolik memiliki 6 paroki Dari keenam paroki tersebut memiliki 9 kapela binaan. Berdasarkan penjelasan Kasi Bimas Katolik Kantor Kementerian Agama Kota Sorong, Donatus Jempormase, umat Katolik hanya memiliki sejumlah kecil rumah ibadat (gereja). Hal ini dikarenakan bagi umat Katolik untuk mendirikan gereja harus mendapat izin dari uskup. Kalau di suatu tempat umatnya banyak bisa dibangun gereja. Sementara jumlah umat Katolik di Kota Sorong khususnya dan umumnya di Papua lebih kecil dibandingkan dengan umat Kristen.

Menurut Sutan Alamsah44, masjid tertua di Sorong adalah Masjid Al-Falah di Kampung Baru, yang merupakan peninggalan penjajah Belanda. Masjid tersebut disediakan untuk karyawan Muslim yang bekerja pada perusahaan pertambangan minyak tanah milik Belanda, NNGPM. Dahulu bangunannya sangat sederhana beratap seng berdinding gaba-gaba.45 Masjid kedua adalah Masjid Al-Amin dan yang ketiga Masjid Al-Jihad yang dibangun pada tahun 1970-an.

Di Lingkunan Kristen Protestan di Kota Sorong terdapat 39 denominasi. Di lingkungan Katolik, terdapat organisasi Wanita Katolik Republik Indonesia (WKRI), Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), dan Muda-mudi Katolik (Mudika). Di lingkungan Buddha terdapat sekte Maitreya.

Di lingkungan Islam terdapat beberbagai ormas keagamaan antara lain, Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dewan Masjid Indonesia (DMI), Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT), Badan Amil Zakat Daerah (Bazda), Lembaga Pengembangan Tilawatil Quran (LPTQ), Muhammadiyah dan organisasi-organisasi underbow. Ormas paling maju di Sorong, memiliki lembaga pendidikan dari Roudlatul Atfal (RA) sampai perguruan tinggi, Nahdlatul Ulama (NU) dan organisasi-organisasi

44 Sesepuh Ikatan Keluarga Minang (IKM), tapi sebutan sesepuh IKM diprotes oleh berbagai kalangan, etnis-etnis menginginkan St. Alamsyah sebagai “sesepuh kita semua” (sesepuh semua etnis yang ada di Kota Sorong).

45 Gaba-gaba terbuat dari pelepah enau yang dijepit (Aceh: Jembo).

Page 156: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(128)

underbownya, Kordinator Pengajian Wanita Indonesia (KPWI), Badan Kordinasi Komunikasi Pembangunan Umat Islam (BKKPUI), dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indoesia (ICMI).

Sedangkan aliran/faham keagamaan dalam Islam yang terdapat di Kota Sorong antara lain, Salafi dan Jamaah Tabligh. Selain Ormas, aliran dan faham Keagamaan tersebut di Sorong masih banyak terdapat organisasi-organisasi kedaerahan, seperti Kerukunan Keluarga Sulawesi Selatan (KKSS), Kerukunan Keluarga Sulawesi Tenggara (KKST), Kerukunan Keluarga Sulawesi Utara (KKSU), Ikatan Keluarga Sunda Jawa Madura (Ikasuwara), Lembur Kuring (kusus Sunda), Ikatan Keluarga Minang (IKM). Hubungan Antarumat Beragama

Menurut keterangan tiga orang guru MAN Model Sorong, yaitu L. Moharofu, S.Pdi, Widodo dan Nining Qomariah, kerukunan di Kota Sorong dapat terwujud karena sikap pendatang yang cenderung mengalah, baik dalam konflik antaretnik maupun antaragama. Dengan alasan lebih baik mengalah tetapi aman sehingga mereka dapat mencari rezeki dengan tenang dari pada melawan kemudian terjadi konflik, dan tidak dapat mencari rezeki dengan tenang.

Keterangan di atas bertolak belakang dengan keterangan M. Adnan Nuhuyana pendatang dari Key Maluku Tenggara. Ia mengatakan “berhadapan dengan orang Papua, kalau mereka berbicara keras kita harus bisa lebih keras. Kalau mengalah terus mereka makin sewenang-wenang”. Ia mengilustrasikan ketika terjadi konflik di Masjid Perumnas, orang Biak yang tinggal di sebelah masjid merasa terganggu karena suara adzan kadang-kadang ia melempari masjid dengan batu dan terakhir ia memasang speker di atap rumahnya, untuk membalas suara adzan dengan nyanyian Haleluya. Sementara penduduk Muslim yang tinggal di sekitar masjid diam saja.

Menurut Adnan penduduk Muslim di sekitar adalah orang-orang Sunda dan Jawa yang sabar. Tetapi ketika masalah

Page 157: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(129)

tersebut diadukan kepada pihak yang berwajib, orang Biak yang badannya cukup besar itu pun unjuk kekuatan dengan bertolak pinggang. Adnan langsung menggertak dengan memaksanya menurunkan tangan. Adnan kemudian bersandiwara berpura-pura menyarankan kepada Kapolres, “Pak lebih baik orang satu ini kita korbankan dari pada kita mengorbankan 200 orang warga di sini!” Dengan gertakan Adnan itu, akhirnya orang Biak itu pun tidak bertingkah lagi dan konflik dapat diselesaikan. Selanjutnya, kegiatan di masjid tersebut berjalan tanpa ada gangguan lagi.

Menurut M. Adnan Nuhuyanan setiap ada masalah, aparat terkait selalu melakukan koordinasi dengan cepat, tidak boleh lebih dari satu minggu. Kalau lebih satu minggu sudah habis. Sebagai ilustrasi penanganan keributan pada vestival Kebudayaan Islam di Masjid Raya bulan Februari 2010. Menurutnya, kasus tersebut merupakan kasus antar pribadi, pelakunya seorang pemuda Biak, korban pertama seorang pemuda Seram dan korban kedua seorang pemuda Tanimbar.

Secara kronologis Adnan menceritakan kasus tersebut berawal dari seorang pemuda Biak yang menegur seorang pemuda Seram yang berjalan layaknya jagoan, “He, Dik! Jalan kok seperti jagoan saja!”. Pemuda Seram itu pun menjawab “Suka-suka saya, mau seperti jagoan apa bukan! Usil amat, Bang!” Kemudian terjadi cek-cok dan berbuntut pemukulan, terhadap seorang pemuda Seram. Melihat temannya dipukuli, seorang pemuda Tanimbar ikut membela, tetapi ia dipukuli pula. Sehingga, mereka berdua lari masuk ke masjid, kemudian dilempari batu oleh pemuda Biak. Selanjutnya, pemuda Seram itu pulang memanggil keluarganya. Karena di antara batu yang dilemparkan pemuda Biak itu ada yang mengenai Masjid, maka secara spontan berkumpullah sekitar 300 pemuda Muslim vis a vis anak-anak muda yang melempari masjid itu. Tetapi aparat pun segera datang ke tempat kejadian perkara (TKP). Kapolrespun mengimbau mereka yang akan baku hantam itu untuk segera membubarkan diri.

Page 158: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(130)

Himbauan Kapolres itu tidak dihiraukan oleh mereka yang siap konflik itu. Adnan mengambil alih speker yang dipegang Kapolres dan menggantikan peran Kapolres mencegah terjadinya konflik yang lebih besar. Hingga jam 03.00 dini hari suasana yang menegangkan itu usai. Esok harinya pemuda yang mebikin onar itu ditangkap dan ditahan oleh yang berwajib.46

Penanganan kasus yang demikian cepat, pelakunya langsung ditangkap keesokan harinya, menjadikan kasus ini selesai. Hal ini dapat dibandingkan dengan kasus Poso, yakni penusukan yang dilakukan oleh (secara kebetulan) pemuda Kristen terhadap korbannya (secara kebetulan) pemuda Muslim, di masjid Saiyo yang penangannya dari pihak berwajib tidak serius, apapun alasannya. Karena pelaku kemudian dibebaskan agar bisa ikut merayakan Natal. Kasus sepele ini hanya karena masalah pinjam-meminjam obeng antara dua teman ini menjadi awal dari konflik berdarah di Poso yang berkepanjangan yang banyak menelan korban jiwa dan harta benda.

Seusai kasus di Masjid Raya, seorang pensiunan Brimob, Muhsin Renfan berceramah di sebuah masjid Kampung Baru, yang intinya kurang lebih “Inna al-dina indallahi al-Islam, sesungguhnya agama yang diridlai Allah hanyalah Islam. Barangsiapa berani melempar masjid ini, maka perkampungan sekitar masjid ini akan saya bakar”47.

Muhsin kemudian dipanggil Kapolres, untuk dimintai pertanggungjawaban atas ceramahnya itu. Inti dari dialog antara Kapolres dengan Muhsin kurang lebih, ketika dia ditanya tentang maksud ceramahnya itu, dia balik bertanya kepada Kapolres, “Bapak orang Muslim bukan?” Kapolres pun mengiyakan bahwa dirinya sebagai seorang Muslim. Kemudian Muhsin menyatakan kurang lebih, jika masjid dilempari batu, yang dilepari itu bukan rumah Kapolres, tetapi rumah Allah.

46 Ini merupakan versi lain dari sekian versi kasus kerusuhan di Festival Budaya Islam (Masjid Raya Dilempari Batu), karena masing-masing informan berbeda-beda ceritanya.

47 Di sekitar masjid tersebut banyak orang Ambon (Nasrani) bermukim.

Page 159: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(131)

Sebagai seorang Muslim ia wajib membela dan mempertahankannya. Dan Kapolres sebagai seorang Muslim diharap dapat memahaminya. Akhirnya Muhsin diizinkan pulang.

Dari dua indikator kiranya dapat menunjukkan bahwa bukan hanya 300 pemuda Muslim saja yang siap tetapi generasi tua pun ternyata juga mendukung secara moral dan spiritual. Dan ini juga merupakan sinyal lampu kuning untuk hati-hati (saling menahan diri) dan aparat untuk tidak selalu memandang sebelah mata terhadap kalangan minoritas yang sering diidentikkan dengan pendatang. Karena realitanya – menurut keterangan guru-guru MAN Model dan Juga Adnan – bahwa belakangan ini sering diadakan seminar tentang Sejarah Kedatangan Islam di Bumi Papua, di mana banyak tokoh-tokoh tua (termasuk di kalangan Nasrani yang tidak bisa memungkiri fakta sejarah, bahwa agama Islam datang lebih dahulu dari pada agama Nasrani. Bahkan yang menyambut kedatangan dan mengantarkan para misionaris dan zending kala itu adalah tokoh-tokoh Muslim. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam memiliki sejarah yang jauh lebih dulu tertanam bukan hanya di Sorong tapi di Bumi Papua, termasuk Manokwari yang sudah diklaim sebagai Kota Injili.

Sebagai pendukung kerukunan di Sorong dibangun kearifan lokal baru atau sebagai semboyan daerah yang diambil dari nama salah satu makanan tradisional orang Papua dan Maluku yang terbuat dari sagu yaitu Papeda yang kepanjangannya “Papua Ingin Damai”. Secara khusus Kota Sorong yang penduduknya terdiri berbagai etnis layaknya “miniatur Indonesia” memiliki semboyan yang berbunyi “Sakoba” (Sorong Kota Bersama).

Adnan menambahkan sewaktu-waktu pada malam Minggu para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh formal melakukan pertemuan non formal, sambil bakar ikan, dengan tujuan koordinasi dan akomodasi permasalahan dan mencarikan solusihya.

Page 160: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(132)

Faktor Pendukung Kerukunan

Faktor Budaya

Falsafah “Satu Tungku Tiga Batu” yang merupakan pesan moral nenek-moyang orang Papua, termasuk di Papua Barat, dan lebih khusus di Kota Sorong menunjukkan toleransi yang tinggi terhadap perbedaan agama. Bagi kebanyakan warga Papua asli, dalam satu rumah tiga macam agama yang dipeluk anggota keluarga itu, bukan sesuatu yang mengherankan. Jauh sebelum toleransi dianjurkan pemerintah, orang Papua pada umumnya, sudah menghargai perbedaan keyakinan. gereja, masjid, dan kemudian menyusul vihara, hadir mewarnai pluralitas Kota Sorong. Tokoh Karismatik

Menurut M. Adnan Nuhuyana, tokoh karismatik dari kalangan Kristen Protestan, antara lain: Pdt. Promoduma, Pdt. Mofu, Pdt. Maure. Menurut Kepala Badan Statistik Kota Sorong adalah Pdt. Riki Montang; Di kalangan Katolik, menurut Donatus Jempormase adalah Pdt. Paul Tan PR. Sedangkan, di kalangan Islam menurut M. Adnan Nuhuyana adalah Muhsin bin Tahir, KH. Usman Shofi, Abdul Manan Fakaubun, Drs.H. Uso, Suparman M. Rafiq, S.Pdi, MM, Drs. H. Kisman Rahayaan, MM. Yang disebutkan terakhir ini juga disepakati oleh St. Alamsah48. Selain itu, St. Alamsah juga memilih M. Adnan Nuhuyana. M. Adnan Nuhuyana adalah tokoh kharismatik, karena beberapa kasus kerusuhan dapat ia selesaikan dan ketika wawancara mereka sering melemparkan hal tersebut kepada M. Adnan, misalnya dengan ucapan “Kalau masalah itu, Adnan yang lebih tahu”. Dengan adanya tokoh-tokoh kharismatik pada tiap-tiap

48 St. Alamsyah, yang nama kecilnya Ahyar adalah pendatang dari

Padang, yang datang ke Sorong sejak tahun 1967. Ia yang menyelesaikan pembangunan Masjid Raya Sorong,setelah pembangunannya terbengkelai bertahun-tahun. Ia pernah menjadi anggota DPR Kabupaten Sorong dari Fraksi Golkar. Ia pendiri ICMI di Sorong dan pemilik Hotel Pilihan.

Page 161: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(133)

agama ini menjadikan kondisi harmoni di Kota Sorong mudah dikendalikan.

Tidak Mudah Terprovokasi

Pande Ketut memberikan contoh kasus, seperti yang baru-baru ini terjadi ada yang melempar batu di Masjid Raya ketika sedang diselenggrakan Festifal Budaya Islam pada bulan Februari 2010. Informasi yang sama disampaikan oleh Mustafa Musa Buatan, S.Pd. guru IPS MAN Model. Insiden ini tidak berlanjut karena menurut Mustafa orang-orang Sorong tidak mudah diprovokasi.

Menurut Adnan, sebelum terjadi konflik di Ambon, di Sorong pernah terjadi upaya provokasi, ada beberapa masjid yang dilempari batu, yaitu Masjid Darussalam Kampung Baru, Masjid Mujtahidin Kampung Baru, Masjid Al-Falah Kampung Baru, Masjid Al-Azhar, dan Masjid Al-Huriyah kedua-duanya di GOR ditengah-tengah pemukiman yang mayoritas penduduknya berasal dari Ambon. Tapi masyarakat secara umum tidak mudah terprovokasi.

Menurut keterangan L. Moharifu S.Pdi, Widodo, dan Nining Qomariyah di Masjid Perumnas sedang adzan Magrib di balas dengan nyanyian Haleluya lewat speker juga. Di Pulau Doom Kota Lama dekat pelabuhan, sekelompok umat Muslim sedang melakukan pengajian dilepari batu. Di Masjid Raya, ketika sedang ada festival Kebudayaan Islam, waktu ada acara kasidah dilempari batu, hingga mengenai kaca masjid hingga pecah. Menurut keterangan tiga orang guru MAN Model tersebut, hal itu dikarenakan ada pemuda non-Muslim masuk masjid pakai sepatu, ada bekas sepatu dilantai masjid. Konon ketika anak muda itu ditegur, dia marah dan melempari masjid dengan batu (ada versi lain berkenaan dengan kasus ini). Namun masalah itu sudah ditangani pihak yang berwajib, dan yang bersangkutan ditahan.

Page 162: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(134)

Faktor penghambat kerukunan

Pendirian Rumah Ibadah

Di sisi lain pembangunan gereja yang tidak pernah ada hambatan, sebagai contoh gereja yang didirikan oleh orang-orang Bugis di atas tanah sengketa tidak pernah dipermasalahkan, menjadikan umat lain timbul kecemburuan. Sementara umat Islam mendirikan rumah ibadat di tanah yang sudah ada sertifikatnya pun dianggap belum lengkap. Karena harus ada pelepasan dari adat. Ini merupakan salah satu faktor dapat menimbulkan kondisi ketidakrukunan di Kota Sorong. Masalah Etnis/Suku

Menurut salah satu informan, dari Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Kota Sorong, Pande Ketut Suniarta, mengatakan bahwa masalah agama di Kota Sorong dapat dikatakan tidak ada konflik. Sementara yang sering terjadi konflik adalah masalah etnis atau suku, karena persoalan pembunuhan, dan korban kecelakaan. Dimana jika terjadi insiden penduduk pribumi tertabarak kendaraan, tuntutannya sangat tinggi. Bahkan seekor anjing milik pribumi, jika tertabrak, tuntutannya bisa mencapai Rp 10 juta.

Pande Ketut Suniarta menambahkan, konflik antar etnis pernah terjadi pada waktu terjadi konflik Ambon. Mustafa Musa Buatan, S.Pd. guru IPS MAN Model menambahkan, terutama yang Nasrani banyak yang lari ke Kota Sorong. Tapi guru MAN Model yang lain mengatakan, masalah konflik yang selalu dikaitkan dengan orang Ambon itu hanya alasan belaka. Meninggalkan Adat Istiadat

Menurut keterangan M. Adnan Nuhuyaman penduduk asli Sorong sekarang sudah demikian jauh meninggalkan adat-istiadat dan sopan-santunya karena terkena ekses budaya pendatang yang biasa berperilaku keras dan kasar, seperi

Page 163: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(135)

pendatang dari Ambon dan Tapanuli. Dahulu, sekitar 10 tahun ke belakang penduduk asli Sorong sangat sopan kalau lewat didepan orang mengucap permisi dan sambil membongkok, tetapi sekarang etika dan sopan santun seperti itu sudah hilang. Dahulu penduduk asli Sorong sering berpesan kepada para pendatang “Kalian jangan melakukan perang antar agama di sini. Kalau mau perang antar agama silakan pulang. Berperanglah di kampung kalian sendiri. Kalau kalian kesini marilah kita isi kemerdekaan negeri ini”. Tapi sekarang penduduk asli telah meninggalkan kearifan lokal, mengikuti pendatang dari etnis tertentu. Analisis

Rumah ibadat bagi umat beragama bukan saja menjadi ruang untuk beribadat dana melaksanakan aktivitas sosial keagamaan melainkan juga merupakan simbol interaksi antar kelompok agama, penerimaan dan penolakan dari warga masyarakat sekitarnya. Dalam realitas, ditemukan rumah ibadat berbeda agama saling berdekatan, bahkan ada yang bersebelahan menggunakan satu dinding yang sama, tetapi di sisi lain adakalnya pendirian dan keberadaan rumah ibadat mengundang kontoversi dan konflik antarumat beragama.

Di antara rumah ibadat ada letaknya saling berdampingan dalam laporan Center for Religious & cross cultural studies (CRCS) menyebut beberapa contoh. Misalnya, di Malang Jawa Timur masjid Jami Kota Malang bersebelahan dengan gereja GPIB. Sementara itu Gurdwara Perbandhak rumah ibadat pemeluk agama Sikh terletak persis disebelah Pure Hindu Shri Mariamman di Jalan Tengku Umar Medan. Sedangkan masjid agung bersebelahan dengan Gereja Katholik di Kota Banten untuk menyebut contoh terakhir yang menarik, dinding banguan

Page 164: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(136)

utama gereja GKJ dan masjid al Hikmah di Joyodiningratan Surakarta Jawa Tengah persis menempel bersebelahan (2009:27)

Sekalipun begitu tidak dapat diingkari dapat terjadi benturan dan konflik, bahkan kekerasan dalam seputar rumah ibadat yang masih terjadi di beberapa tempat pasca berlakunya PBM tahun 2006. Proses penerimaan pendirian rumah ibadat dan atau renovasi sekalipun telah dilakukan Sosialisasi PBM, dalam kenyataan belum menjadi acuan bagi panitia pembangunan rumah ibadat, terkecuali di sekitar ibukota Jakarta dan itupun pada Gereja-gereja yang didirikan ditengah-tengah mayoritas umat Islam. Sebaliknya umat Islam minoritas ditengah mayoritas umat Hindu di Bali dan umat Kristiani di Papua Barat, Sulawesi Utara dan Nusa Tenggara Timur juga menghadapi kesulitan dalam pendirian rumah ibadat maupun renovasi. Berbagai upaya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan pendirian rumah ibadat dengan kembali kepada aturan dalam PBM 2006 yang menjamin terpeliharanya kerukunan umat beragama.

PBM memberikan kepastian pelayanan secara adil dan jelas terhadap permohonan pendirian rumah ibadat. Setiap permohonan harus di respon oleh pemerintah dalam waktu 90 hari. Inilah prinsip dalam PBM dalam memelihara kerukunan umat beragama ketentraman dan ketertiban masyarakat

Page 165: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(137)

BAB III

PENUTUP

Page 166: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(138)

Page 167: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(139)

Kesimpulan

erdasarkan uraian yang dipaparkan pada bab-bab sebelum ini dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Pendirian rumah ibadat merupakan kebutuhan dasar dari

tiap agama, yang berfungsi sebagai pusat peribatan dan kebudayaan yang dijiwai oleh nilai-nilai luhur (sacral). Dalam pendirian rumah ibadat, termasuk renovasi bangunan menjadi tuntutan dari pertumbuhan umat, dan kompleksitas kegiatan yang harus mengacu pada PBM Tahun 2006 dan tetap harus ada Izin Mendirikan Bangunan (IMB).

2. Dari segi proses pendirian rumah ibadat dalam kaitan dengan PBM No. 9 dan 8 Tahun 2006, di kalangan pengurus rumah ibadat umumnya telah diketahui, tetapi belum optimal, meskipun disadari pentingnya wawasan ke depan. Sedangkan pada umumnya di pedesaan, dan terutama pada panganut agama mayoritas di suatu tempat belum menjadikan PBM Tahun 2006 sebagi acuan dalam pendirian rumah ibadat.

3. Pendirian rumah ibadat yang diterima dengan damai, karena faktor: 1) terpenuhi sesuai aturan PBM dan peraturan Pemerintah Daerah, 2) adanya komunikasi dan kerukunan hidup antar umat beragama, 3) nilai-nilai kearifan lokal yang terpelihara sebagai media pendekatan.

4. Dalam penyelesaian masalah seputar rumah ibadat yang bermasalah dan mendapatkan penolakan, disebabkan faktor: 1) perbedaan paham keagamaan, 2) berbagai kepentingan para elite agama dalam prestise sosial, pengembangan jumlah umat, kehidupan ekonomi dan kekuasaan, 3) ego mayoritas dan arogansi minoritas.

B

Page 168: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(140)

5. Permasalahan di seputar pendirian rumah ibadat yang dikomunikasikan oleh media massa dan oleh sebagian Lembaga Swadaya masysrakat (LSM) terkesan pada umat tertentu, tetapi sesungguhnya juga dialami oleh minoritas umat Islam di Bali dan di Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Kota Sorong Papua Barat di tengah pemeluk agama mayoritas.

6. Upaya mengatasi penyelesaian masalah terkait dengan pendirian rumah ibadat ialah dengan kedisiplinan mematuhi aturan PBM, disertai pengamalan kearifan lokal yang mendukung, dan toleransi sosial.

Rekomendasi

Beberapa rekomendasi diambil antara lain: 1. Dalam pendirian rumah ibadat perlu sosialisasi PBM, dan

secara khsusus tentang pembangunan rumah ibadat, termasuk renovasi. Sosialisasi secara khusus ditujukan kepada pengurus dan panitia pembangunan rumah ibadat, baik oleh pemerintah maupun dan terutama FKUB. Faktor pendekatan antarumat beragama dalam memulai pendirian rumah ibadat sangat signifikan untuk kelancaran prosesnya.

2. Sosialisasi PBM, dan secara khusus pendirian rumah ibadat masih perlu diintesifkan, baik secara lisan maupun tulisan. Sosialisasi melalui brusur, buku saku dan sejenisnya hendaklah dibuat dan disebarkan kepada rumah-rumah ibadat.

3. Agar pendirian rumah ibadat dapat terlaksana atau bisa diterima oleh penganut agama lain, maka perlu memenuhi aturan prosedural sebagaimana dalam aturan PBM. Di samping itu, PBM khususnya tentang pendirian rumah ibadat perlu terus disosialisasikan terutama kepada para

Page 169: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(141)

pengurus rumah ibadat dengan pendekatan mulai dari media tradisional, cetak dan media elektronik.

4. Pengadministrasian rumah ibadat merupakan suatu keharusan, selain untuk memelihara kerukunan juga untuk kenyamanan dan keamanan jamaah suatu rumah ibadat. Oleh karena itu, hendaknya perlu pendataan yang akurat dalam pendirian rumah ibadat, baik oleh masyarakat maupun pemerintah terkait.

5. Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum memiliki peraturan tentang pendirian rumah ibadat hendaknya segera membuatnya yang dituangkan dalam Peraturan Gubernur, dan atau Keputusan Bupati/Walikota. Majelis-majelis agama dan pemuka agama agar mensosialisasikan peraturan terkait dengan pendirian rumah ibadat agar dapat diselesaikan secara prosedural yang benar dan cepat dalam prosesnya.

Page 170: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(142)

Page 171: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(143)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Buku Tanya Jawab Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Jakarta, 2008

_______, Hasil Dialog Pengembangan Wawasan Multikultural Pemuka Agama Pusat dan Daerah

_______, Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, Jakarta, 2006

Badan Pusat Statistik, Minahasa Utara dalam Angka, 2009

Badan Pusat Statistik Kotamadya Jakarta Timur. Jakarta Timur dalam Angka. 2007.

Basyuni, Muhammad M, Kebijakan dan Stratergi Umat Beragama, Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, Jakarta, 2006.

Center for Religious & Cross Cultural Studies (CRCS), Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2009, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2009.

_______, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia Tahun 2008, Yogyakarata.

Creswell. John W. 2007. Qualitative Inquiry & Research Design: Choosing Among Five Approaches. London. Sage Publications.

George Ritzer, Douglas J. Goodman, Modern Sosiological Theory, 2004.

Page 172: pendirian rumah ibadat di indonesia-2011.pdf

(144)

Haidlor Ali Ahmad (Ed.), Revitalisasi Wadah Kerukunan di Berbagai Daerah di Indonesia Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta, 2009.

Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, Citra Aditya Bakti, 1993.

Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja, BPK Gunung Mulia, 2000.

Kabupaten Sikka dalam Angka, BPS Kabupaten Sikka, 2009.

Kompas dan Manado Pos.

Kustini (Ed.), Efektivitas Sosialiasi Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 & 8 Tahun 2006, Puslitbang Kehidupan Beragama, Jakarta tahun 2009