pemanfaatan bacilus thuringiensis sebagai bahan dasar bioinsektisida terhadap serangan hama...

Upload: abyan-farhandhitya

Post on 14-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

jjj

TRANSCRIPT

PEMANFAATAN BACILLUS THURINGIENSIS SEBAGAI BAHAN DASAR BIOINSEKTISIDA TERHADAP SERANGAN HAMA PENGGEREK BATANG PADI PADA TANAMAN PADI

PENDAHULUANLatar Belakang MasalahTanaman Padi (Oryza sativa) merupakan komoditas utama hasil pertanian di Indonesia. Seiring dengan meningakatnya jumlah penduduk, maka kebutuhan masyarakat akan tanaman pangan yang banyak mengandung karbohidrat ini meningkat pula setiap tahunnya. Kebutuhan akan tanaman pangan ini sayangnya tidak diimbangi dengan hasil produksinya. Seperti apa yang tercatat oleh Badan Pusat Statistik pada tahun 2013, produktivitas hasil produksi tanaman padi di Indonesia menyentuh angka 57,2 Kuintal/ha dengan total hasil produksi sebesar 572.889 kuintal padi, hal ini mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya dimana produktivitas tanaman padi hanya sebesar 55,7 kuintal/ha. Akan tetapi hasil produksi padi ini masihlah terbilang defisit, mengingat kebutuhan masyarakat akan padi tahun 2013 saja tercatat mencapai 142,76kg/kapita.Salah satu penyebab rendahnya hasil produksi padi ialah akibat serangan hama. Adapun hama yang umum menyerang tanaman padi ialah Penggerek Batang Padi (Scirphopaga innotata). Hama yang tergolong kedalam hama penting ini menyerang tanaman padi dengan menggigiti batang tanaman sehingga tanaman menjadi layu dan perlahan mati. Diperlukan suatu upaya pengendalian hama yang dilakukan secara tepat dan memperhatikan berbagai aspek agroekosistem untuk mengurangi dampak dari serangan hama wereng tersebut, adapun salah satu cara pengendalian hama yang sifatnya berkelanjutan ialah dengan pemnfaatan agen hayati. Agen hayati merupakan setiap organisme yang meliputi spesies, subspesies, varietas, semua jenis serangga, nematoda, protozoa, fungi, bakteri, virus, mikoplasma, serta organisme lainnya yang dapat digunakan untuk keperluan pengendalian hama dan penyakit organisme pengganggu, proses produksi, pengolahan hasil pertanian dan berbagai keperluan lainnya.Bacillus thuringiensis merupakan bakteri entomopatogen yang mampu menginfeksi serangga hama secara spesifik dengan mengkristalisasi dirinya selama berada di dalam tubuh serangga lalu menghasilkan matriks protein yang merupakan toksik ketika berada di saluran mesonteron serangga, sehingga menyebabkan kematian pada serangga. Dalam tulisan ini akan diulas secara singkat mengenai pengendalian hama penggerek batang padi pada tanaman padi dengan memanfaatkan agensi hayati, berupa bakteri entomopathogen Basilus thuringiensis beserta teknik pengembangannya.Tujuan dan ManfaatPenulisan ini mempunyai tujuan untuk: Memberikan solusi alternatif kepada lembaga terkait mengenai teknik pengendalian hama yang efektif serta memperhatikan aspek ekologis beserta ekonomisnya Mengetahui langkah-langkah apa yang harus dilakukan untuk mengimplementasikan solusi tersebut Mengetahui teknik implementasi mengenai pengendalian hama yang dilakukanAdapun manfaat yang dapat dicapai dari penulisan ini adalah:

GAGASANKondisi KekinianPenggunaan bahan kimia sebagai pengendali organisme penganggu tanaman mulai banyak dikenal petani pada pertengahan dekade 1960-an hingga pada saat ini marak digunakan. Hal ini sejalan dengan berbagai program pemerintah pada saat itu untuk meningkatkan produkasi beras yang banyak dikenal dengan istilah revolusi hijau (Iman M.Fahmid. 2004).

Gambar 1. Penyemprotan pestisida sebagai salah satu upaya pengendalian hama penggerek batang padiPengendalian Hama Penggerek Batang Padi yang umum dilakukan sejauh ini adalah pengendalian fisik berupa memunguti telur atau paket telur yang terdapat di persemaian dan daun padi di lapang, dimana sesudah panen, dilakukan penggenangan air 1-2 minggu, lalu dibajak dalam keadaan basah, agar ulat atau pupa yang bersembunyi pada pangkal batang menjadi mati (Riyadi, 2008). Dan pengendalian kimiawi dengan insektisida berupa penggunaanWinGran 0,5GR, Matrix 200EC, dan Trisula 450SL secara bergantian sejak tanaman mengalami pertumbuhan vegetatif. Akan tetapi, ketidakefektifan dalam memilih sasaran justru menyebabkan organisme yang bukan menjadi sasaran ikut mati, OPT menjadi resisten dan menyebabkan degradasi lahan secara berkelanjutan.

Bioinsektisida Sebagai Teknik Pengendalian Hama Secara TerpaduPengendalian hama secara terpadu muncul sebagai akibat dari penerapan pertanian secara konvensional, yang mana terjadi ketergantungan penggunaan pestisida sebagai usaha dalam pengendalian hama. Konsep PHT sendiri merupakan suatu cara pendekatan atau cara berpikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada dasar pertimbangan ekologi dan efisiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem yang berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (Sunarno, 2004). Pengendalian Hama Terpadu adalah upaya pengendalian populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan dengan menggunakan satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang dikembangkan dalam suatu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan kerusakan lingkungan hidup (Dikjen Perkebunan, 2009). Komponen pengendalian yang menjadi acuan dalam PHT adalah pengendalian alami atau hayati, cara bercocok tanam, varietas tahan, fisik ataupun mekanik, dan pestisida selektif. Pestisida selektif sebagai komponen pengendali seyogianya digunakan sebagai langkah terakhir dan komponen pengendalian hayati ataupun alami seharusnya mendapat perhatian pertama (Baco, 2005).

Gambar 2. Pemanfaatan agen hayati Beauveria bassiana sebagai salah satu teknik implementasi pengendalian hama secara terpadu.Kekhawatiran akan adanya pengaruh negatif tentang pemakaian pestisida kimia telah meningkatkan perhatian masyarakat kepada bioinsektisida sebagai alternatif teknologi untuk menurunkan populasi hama. Bioinsektisida adalah bahan-bahan alami yang bersifat racun serta dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku, perkembangbiakan, kesehatan, memengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktivitas lainnya yang dapat memengaruhi organisme pengganggu tanaman. Lebih lanjut Djunaedy (2009) menambahkan mikroba yang digunakan haruslah mempunyai sifat yang spesifik, artinya hanya menyerang pada serangga yang menjadi sasaran.

Gambar 3. Pemanfaatan bakteri Beauveria sp dan Metarrhizium sp sebagai bahan dasar bioinsektisidaKelebihan dan Kekurangan BioinsektisidaBioinsektisida dapat dijadikan sebagai solusi pemecahan masalah penggunaaninsektisida. Hal ini dikarenakan aplikasi bioinsektisida pada umumnya tidak menimbulkanresidusehingga aman bagi kesehatan manusia.Selain itu konsumen dalam negeri maupun luar negeri banyak yang mensyaratkan bahwa produk yang mereka beli harus bebas dari pengaruh insektisida.Peningkatan permintaan terhadap bahan organik ini tidak ditentukan oleh pendapatan konsumen melainkan kesadaran akan pentingnya komoditasorganikHal inilah yang menjadi keunggulan bioinsektisida. Jumar (2000) menambahkan, pengendalian hama menggunakan bioinsektisida memiliki beberapa keuntungan yaitu: Aman artinya tidak menimbulkan pencemaran lingkungan dan keracunan pada manusia dan ternak Tidak menyebabkan resistensi pada hama sasaran Musuh alami bekerja secara selektif terhadap inangnya atau mangsanya Bersifat permanen untuk jangka waktu panjang lebih murah, apabila keadaan lingkungan telah setabil atau telah terjadi keseimbangan antara hama dan musuh alaminya. Selain keuntungan pengendalian hayati juga terdapat kelemahan atau kekurangan seperti : Hasilnya sulit diramalkan dalam waktu yang singkat Diperlukan biaya yang cukup besar pada tahap awal baik untuk penelitian maupun untuk pengadaan sarana dan prasarana Dalam hal pembiakan di laboratorium kadang-kadang menghadapi kendala karena musuh alami menghendaki kondisi lingkungan yang khusus Teknik aplikasi dilapangan belum banyak dikuasai.Bacillus Thuringiensis Sebagai Bahan Dasar BioinsektisidaBacillus thuringiensis merupakan bakteri berbetuk batang yang tergolong kedalam bakteri gram positif, dan tersebar secara luas di berbagai negara. Bakteri yang namanya diambil dari lokasi ditemukannya ini termasuk patogen fakultatif dan dapat hidup di daun tanaman konifer maupun pada tanah. Berbeda dengan bakteri Bacillus pada umumnya, Bacillus thuringiensis ini dapat mengalami sporulasi atau pembentukkan kristal paraspora yang bersifat endotoksin (Khetan, 2001).

Gambar 4. Bakteri Bacillus thuringiensisSasaran bakteri ini adalah serangga dari golongan Lepideptera, namun berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Margino (2002), bakteri ini juga menyerang dari golongan Diptera dan Coleoptera. Bakteri ini mempunyai endospora subterminal berbentuk oval dan selama masa sporulasi menghasilkan satu kristal protein dalam setiap selnya. Kristal protein ini dikenal juga sebagai -endotoksin yang merupakan komponen utama yang menyebabkan bersifat insektisidal. Menurut Faust dan Bulla (1982), -endotoksin tersebut bersifat termolabil karena dapat terdenaturasi oleh panas (walaupun lebih stabil dibandingkan eksotoksin yang terlarut) dan tidak larut dalam pelarut organik namun larut dalam pelarut alkalin.Bacillus thuringiensis dapat menghasilkan dua jenis racun endotoksin, yaitu toksin kristal (Crystal, Cry) dan toksin sitolitik (Cyt). Toksin Cry merupakan protoksin, yang harus diaktifkan terlebih dahulu dengan enzim protease yang terdapat di usus sebelum dapat memberikan dampak negatif. Toksin ini tidak akan aktif pada kondisi normal, sehingga tidak akan membahayakan manusia, tetapi akan teraktivasi ketika nilai pH tinggi atau kondisi sekitarnya bersifat basa, seperti yang ditemui pada kebanyakan hewan tingkat tinggi ataupun insekta yang tergolong dalam ordo Lepidoptera. Berikut merupakan tabel klasifikasi toksin yang dihasilkan oleh bakteri Bacillus thuringiensis.GenBentuk KristalBobot Protein (Kda)Insekta Yang Dipengaruhi

Cry I [Several Subgrup:A(A), A(B), A(C), B, C, D, E, F, G]Bipiramida130-138Larva Lepidoptera

Cry II [Subgrup A, B, C]Kuboid69-71Lepidoptera dan Diptera

Cry III [Subgrup A, B, C]Datar/Tidak Teratur73-74Koleoptera

Cry IV [Subgrup A, B, C, D]Bipiramida73-134Diptera

Cry V-IXBerbagai Macam35-129Berbagai Macam

Tabel 1. Klasifikasi kristal protein (Cry) Bacillus thuringiensis dan spesifikasi terhadap serangga dan nematoda (Margino dan Mangundihardjo, 2002)

Toksisitas dan Proses Infeksi Bacillus thuringiensisProses toksisitas kristal protein sebagai bioinsektisida serangga dimulai saat serangga memakan kristal tersebut. Kristal tersebut selanjutnya larut dalam usus tengah serangga. Setelah itu, dengan bantuan enzim protease pada pencernaan serangga, maka kristal protein tersebut akan terpecah struktur kristalnya.

Gambar 5. A. Spora bakteri Bacillus thuringiensis yang tengah mengalami sporulasi. B. Isolasi spora Bacillus thuringiensis yang mengandung kristal protein. C. Infeksi Bacillus thuringiensis terhadap larva nyamuk.Toksin aktif yang dihasilkan akan berinteraksi dengan reseptor pada sel-sel epitelium usus tengah larva serangga, sehingga akan membentuk pori-pori kecil berukuran 0.5-1.0 nm. Hal ini akan mengganggu keseimbangan osmotik sel di dalam usus serangga sehingga ion-ion dan air dapat masuk ke dalam sel dan menyebabkan sel mengembang dan mengalami lisis (hancur). Larva akan berhenti makan dan akhirnya mati (Hofte dan Whiteley 1989; Gill et al. 1992). Pada umumnya kristal Bt di alam bersifat protoksin, karena adanya aktivitas proteolisis dalam sistem pencernaan serangga dapat mengubah Bt-protoksin menjadi polipeptida yang lebih pendek dan bersifat toksin. Toksin yang telah aktif berinteraksi dengan sel-sel epithelium di midgut serangga. Bukti-bukti telah menunjukkan bahwa toksin Bt ini menyebabkan terbentuknya pori-pori di sel membran di saluran pencernaan dan mengganggu keseimbangan osmotik dari sel-sel tersebut. Karena keseimbangan osmotik terganggu, sel menjadi bengkak dan pecah dan menyebabkan matinya serangga (Hofte dan Whiteley, 1989).Kristal ini sebenarnya hanya merupakan pro-toksin yang jika larut dalam usus serangga akan berubah menjadi polipeptida yang lebih pendek (27-149 kd) serta mempunyai sifat insektisidal. Feitelson (1992) menyebutkan toksisitasnya berlipat kali dibandingakan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid. Lebih lanjut lagi, Bt sudah dikomersialkan di Amerika Serikat dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi ini mengandung protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada phase stationary. Produk tersebut digunakan sebanyak 10-50 g per acre atau 1020 molekul per acre.

Gambar 6. Proses Infeksi Bacillus thuringiensis terhadap Erionota thrax yang termasuk dalam ordo LepidopteraBerdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Schunemann (2012), proses infeksi Bacillus thuringiensis diawali dengan proses Ingestion yaitu proses ditelannya bakteri Bacillus thuringiensis oleh hama lepidoptera, lalu ketika bakteri tersebut berada dalam saluan pencernaan hama yang memiliki pH antara 9-12, Bacillus thurigiensis akan melarutkan kristal proteinnya. Tahapan ini disebut sebagai proses Solubilization. Kristal protein tersebut memiliki sifat yang spesifik pada Lepidoptera, yaitu hanya akan larut ketika nilai pH diatas 9,5. Kondisi pH tersebut memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap aktivitas Cry-toksin, beberapa toksin seperti CryIII A akan teraktivasi ketika kondisi basa, dan kristal lainnya seperti Cry1b akan teraktivasi ketika kondisi pH netral. Proses pelarutan kristal protein merupakan langkah yang penting dalam aktivasi toksin, karena ketika toksin dilarutkan, protoksin akan dilepaskan dengan dibantu oleh enzim protease dalam sistem pencernaan hama yang akan menghasilkan protein aktif 60-70 kDa. Setelah terbentuk, protoksin akan mengalami proses Binding atau pengikatan di membran sel hama, prooksin akan melintasi membran peritrofik dengan mengikatkan reseptornya kepada membran apical sel usus hama yang akan menyebabkan pembukaan dan pembukaan pori vakuola dan sitoplasma, sehingga terjadi ketidakseimbangan osmotik antara intraseluler dan ekstraseluler lingkungan dan terjadi gangguan sel. Hal tersebut mengabikatkan hancurnya Microvili, dan menyebabkan serangga akan berhenti makan yang menyebabkan kematiannya.KESIMPULANGagasan yang DiajukanBerdasarkan pembahasan yang telah disampaikan, dapat disimpulkan bahwa bakteri Bacillus thuringiensis dapat dimanfaatkan sebagai bioinsektisida karena bakteri tersebut dapat mengalami sporulasi dan menghasilkan protoksin yang dapat membunuh serangga jika teraktivasi. Khususnya pada hama yang tergolong kedalam ordo Lepidoptera karena pada hama ordo tersebut memiliki sistem pencernaan yang dapat mengaktivasi protoksin yang dihasilkan Bacillus thuringiensis. Dengan asumsi bahwa mudahnya bakteri ini ditemukan di sekitar kita, serta diperlukannya suatu teknik pengendalian yang memperhatikan aspek ekologi dan ekonomi yang mendukung terciptanya suatu sistem pertanian yang berlanjut, maka gagasan ini dirasa layak untuk diimplementasikan.Teknik ImplementasiDalam proses implementasinya, dibutuhkan suatu teknik pengaplikasian yang efektif dan efisien mengingat serangan hama penggerek batang padi dapat merusak komoditas tanaman padi dalam skala yang luas, adapun teknik pengaplikasian bakteri Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida dapat diimplementasikan dengan metode formulasi untuk perbanyakan bakteri Bacillus thuringiensis dalam media cair menggunakan fermentor.Cara Perbanyakan

Perbanyakan bakteriB. thuringiensisdalam media cair dapat dilakukan dengan cara yang mudah dan sederhana. Karena yang kita perlukan sebagai bioinsektisida adalah protein kristalnya, maka diperlukan media yang dapat memicu terbentuknya kristal tersebut. Media yang mengandungtryptosetelah diuji cukup efektif untuk memicu sporulasiB. thuringiensis. Dalam 25 hariB. thuringiensisakan bersporulasi dalam media ini dengan pengocokan pada suhu 30C. PerbanyakanB. thuringiensisini dapat pula dilakukan dalam skala yang lebih besar dengan fermentor.

Gambar 8. Skema teknik implementasi Bacillus thuringiensis sebagai bioinsektisida

Proses Pembuatan Bioinsektisida

1. Isolasi BakteriIsolatBacillus thuringiensisdapat diisolasi dari tanah, bagian tumbuhan, kotoran hewan, serangga dan bangkainya dan sumber lain. Isolat yang diperoleh dan bersifat unggul akan digunakan untuk memproduksi senyawa yang bernilai ekonomi. Beberapa gram sumber isolat disuspensikan ke dalam media pertumbuhan bakteri (misalLB) yang mengandung natrium asetat kemudian dikocok. Media asetat tersebut menghambat pertumbuhan sporaB. thuringiensismenjadi sel vegetatif. Setelah beberapa jam media tersebut dipanaskan pada suhu 80C selama beberapa menit. Pemanasan bertujuan membunuh sel-sel bakteri atau mikroorganisme yang sedang tumbuh termasuk spora-spora bakteri lain yang tumbuh. Kemudian sebagian kecil dari suspensi yang telah dipanaskan diratakan pada media padat. Koloni-koloni yang tumbuh kemudian dipindahkan ke media sporulasiB. thuringiensis. Koloni yang tumbuh pada media ini dicek keberadaan spora atau protein kristalnya untuk menentukan apakah koloni tersebut termasuk isolatB. thuringiensis.2. Seleksi BakteriDari sejumlah isolat yang didapat, perlu dilakukan seleksi untuk memilih isolat terbaik atau unggul dalam produksi. Sifat-sifat yang harus dimiliki isolat terpilih adalah:1. Murni, bebas dari segala kontaminan2. Dapat tumbuh dengan subur, fase adaptasi singkat atau tidak ada3. Dapat menghasilkan produk yang diinginkan (aktivitas spesifik)4. Mampu menghasilkan produk yang diinginkan dengan konsentrasi tinggi dalam waktu singkat5. Mudah disimpan dan dipelihara dalam jangka waktu lama

3. Karakterisasi dan IdentifikasiIdentifikasi karakter mikroba meliputi: morfologi dan struktur sel (spora, flagel), sifat Gram, morfologi koloni pada media padat, sifat petumbuhan pada medium cair, kebutuhan oksigen, kebutuhan energi dan nutrient, suhu dan pH optimal untuk pertumbuhan, serta kurva pertumbuhan,

4. Identifikasi Pemeliharaan KulturPemeliharaan kultur bertujuan untuk mencegah kontaminasi dan perubahan genetik serta untuk mempertahankan tingkat aktivitas dan viabilitas sel serta mutu genetik. Mikroba mudah sekali mengalami mutasi secara spontan, sehingga mutu genetik kultur relatif sulit dipertahankan dan dapat menyebabkan penurunan kemampuan dalam menghasilkan metabolit.

5. Propagasi Kultur dan Pembuatan StarterPropagasi kultur bertujuan untuk mendapatkan inokulum yang sehat dan aktif serta tersedia dalam jumlah mencukupi. Inokulum yang berupa kultur kerja tidak dapat langsung digunakan untuk fermentasi. Inokulum yang siap diinokulasikan ke fermentor disebut denganstarter(biakan aktif). Starter biasanya dibuat dalam fermentor kecil dengan kondisi medium terkendali menyerupai fermentor besar.

6. Fermentasi

Gambar 7. Proses Fermentasi Bacillus thuringiensis menggunakan bioreaktor

Fermentasi adalah suatu proses untuk menghasilkan produk dengan melibatkan aktivitas mikroba secara terkontrol, baik dalam kondisi aerob maupun anaerob. Fermentasi dilakukan dalam fermentor yang berisi medium dengan kandungan nutrien yang cukup dan kondisi medium yang optimal untuk pertumbuhan dan sintesis produk yang diinginkan, baik suhu, pH, aerasi maupun homogenitas. Selanjutnya fermentor dihubungkan dengan monitor untuk mengatur parameter-parameter yang terkait dengan proses fermentasi. Scale-up perlu dilakukan karena selama fermentasi terjadi perubahan lingkungan internal fermentor, yang dapat mempengaruhi aktivitas dan produktivitas mikroba. Pada fermentasi skala laboratorium digunakan fermentor gelas 1-5 liter, skala pilot plan 300 3000 liter dan pada tahap industri digunakan fermentor 10.000 400.000 liter.

7. Pengembangan MutanMikroba yang berperan dalam industri perlu ditingkatkan aktivitas metabolismenya, sebab isolat alami hanya mampu menghasilkan produk dalam jumlah sedikit. Pengembangan mutan dapat dilakukan dengan transformasi lisogeni, rekombinasi dan pembuatan mutan auxotrof.Sifat-sifat mutan yang diinginkan, yaitu waktu fermentasi lebih singkat, tidak memproduksi senyawa yang tidak diinginkan, dapat menggunakan substrat yang lebih murah, mampu menghasilkan produk dalam jumlah tinggi dan lain sebagainya.Selanjutnya mikroba dengan sifat-sifat yang menguntungkan tersebut digunakan dalam industri, untuk menghasilkan produk yang berkualitas dalam jumlah maksimal.

8. FormulasiBahan aktif Bt umumnya diformulasikan dalam bentuk wettable powder, dust atau granular. Meskipun wettable powder kurang digemari karena mempunyai kelemahan tidak larut dan menyebabkan sedimentasi. Namun sejak tahun 1980-an wettable powder ini dimodifikasi sehingga banyak digunakan tanpa menyebabkan kesulitan dalam aplikasinya. Dalam formulasi ini sering ditambahkan zat additive yang berfungsi memperbaiki persistensi, mengurangi degradasi kristal Bt yang disebabkan kontaminasi dengan protease, melindungi dari sinar UV dan mencegah berkecambahnya spora karena air atau larutan yang berada pada permukaan daun tanaman. Beberapa additive merupakan feeding stimulant atau materi yang memperbaiki aplikasi atau ritensinya. Semula persistensi Bt mempunyai jangka waktu yang relatif pendek, yaitu sekitar 4 hari atau kurang,. Inaktivasi kristal Bt oleh sinar UV merupakan faktor pembatas utama dalam aplikasi di lapang. Salah satu solusi adalah memberikan zat yang dapat melindungi dari sinar UV dalam formulasinya. Materi yang dapat dipakai misalnya congo red, folic acid, dan paraamino benzoate. Enkapsulasi kristal Bt dengan starch matrix dapat juga digunakan (Dunkle dan Shasha, 1989).9. Aplikasi Bacillus thuringiensis di LahanKelebihan dan Kelemahan Bioinsektisida Bacillus thuringiensisKeuntungan pemakaian Bt jika dibandingkan dengan pestisida kimiawi adalah Bt bersifat toksin terhadap hama dari spesies tertentu sehingga tidak membunuh serangga dan hewan bukan sasaran. Bt yang dikomersialkan dalam bentuk spora yang membentuk inklusi bodi. Inklusi bo-di ini mengandung kristal protein yang dikeluarkan pada saat bakteri lisis pada masa phase stationary. Produk ini digunakan sebanyak 10-50 g per acreatau 1020 molekul per acre. Potensi toksisitasnya berlipat kali dibandingkan dengan pestisida, misalnya 300 kali dibandingkan dengan sintetik pyrethroid (Feitelson et al., 1992). Setelah diaplikasikan ke suatu ekosistemtertentu, sel vegetatif dan spora akan bertahan pada lingkungan sebagai komponen alami mikroflora dalam hitungan minggu, bulan, atau tahunan dan perlahan-lahan akan berkurang jumlahnya. Namun demikian, setelah pemakaian pestisida mikrobial ini selama bertahun-tahun di lapang, ada indikasi hama menjadi resisten terhadap Bt. (Bahagiawati, 2002).

DAFTAR PUSTAKA