minang kabau

Upload: dederachmad

Post on 18-Oct-2015

189 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Arti Bentuk Lukisan Lambang PADANG PARIAMAN saiyo sakato.

Lambang Daerah Kabupaten Padang Pariaman berbentuk perisai bersegi lima, diatas dasar hijau yang dihiasi dengan : Didalamnya/ditengah-tengah, berdiri sebuah Balairung Adat Bergonjong Lima yang beratap Ijuk (hitam) berdinding hitam. Disamping kiri dan kanan Balirung Adat, terdapat dua batang pohon kelapa berwarna hijau yang mempunyai pelapah lima belas buah Disebelah bawah Balairung Adat, terdapat dua jalur warna biru bergelombang, membayangkan adanya lautan diatas dasar putih. Warna merah melengkung diatas balairung adat, adalah busur/panah dan diujung anak panah ada sebuah bintang bersegi lima. Pada bahagian sebelas atas, tertulis judul Padang Pariaman dan bahagian sebelah bawah tertulis Motto SAIYO SAKATO diatas dasar kuning.

Arti Motto SAIYO SAKATOPada bahagian sebelas atas, tertulis judul Padang Pariaman dan bahagian sebelah bawah tertulis Motto SAIYO SAKATO diatas dasar kuning.

Arti GambarBalairung AdatMelambangkan bahwa rakyat daerah Kabupaten Padang Pariaman mematuhi/menghormati dan melaksanakan ketentuan Adat Minangkabau dan juga lambang tempat permusyawaratan yang menjunjung tinggi Demokrasi.

BintangMerupakan bahagian dari Lambang Negara yakni Lambang Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pohon KelapaLambang kesatuan yang merupakan tanaman utama di daerah Padang Pariaman dengan jumlah pelapah daun 17 buah, menunjukkan banyaknya Kecamatan yang ada dalam Daerah Kabupaten Padang Pariaman.

PanahLambang patriotisme, senjata sakti untuk mempertahankan hak atas jalan kebenaran, musuh tidak dicari-cari (basuo pantang dielakkan).

LautanMelambangkan masyarakat yang dinamis, kreatif yang merupakan manifestasi dari alam fikiran dan perikehidupan masyarakat yang berpaham luas dan berfikiran tenang. Laut juga merupakan bahwa Daerah Kabupaten Padang Pariaman mempunyai daerah lautan yang luas.

UANG JAPUIK DI PIAMAN : dan adat istiadatnya.

Sebagai orang minang yang hidup diperantauan saya sering ditanya masalah uang jemputan ini padahal saya sendiri tidak sepenuhnya mengerti mengenai masalah ini karena saya dibesarkan di perantauan...Bedakah masing-masing UANG JEMPUTAN & UANG HILANG ?Umumnya masyarakat yang awam tentang kedua istilah ini menyamakan saja antara Uang Jemputan dengan Uang Hilang. Padahal tidak semua orang Pariaman mengerti tentang masalah ini.Pada awalnya uang jemputan ini berlaku bagi calon menantu yang hanya bergelar Sutan, Bagindo dan Sidi dimana ketiga gelar ini diwariskan menurut nasab atau garis keturunan ayah atau patriachat.Dengan demikian di Pariaman berlaku 2 macam gelar, yaitu : yang satu gelar dari ayah yang satu lagi gelar dari mamak,hanya saja gelar dari Mamak, terpakai adalah gelar Datuak dan gelar Malin saja, misalnya dapat kita contohkan pada seorang tokoh minang yang berasal dari Pariaman, yaitu Bapak Harun Zein (Mantan Mentri Agraria dan Gubernur Sumbar). Beliau mendapat gelar Sidi dari ayahnya dan mendapat gelar Datuak Sinaro dari Ninik Mamaknya. Sehingga lengkaplah nama beliau berikut gelarnya Prof. Drs. Sidi Harun Alrasyid Zein Datuak Sinaro (dari persukuan Piliang) .Lantas siapakah mereka pemegang gelar yang 3 itu?Gelar Sutan dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada petinggi atau bangsawan Istano Pagaruyuang yang ditugaskan sebagai wakil raja di Rantau Pasisia Piaman Laweh. Ingat konsep luhak ba-panghulu - Rantau ba Rajo, seperti :- Rajo Nan Tongga di Kampuang Gadang Pariaman,- Rajo Rangkayo Basa 211 6 Lingkuang di Pakandangan,- Rajo Sutan Sailan VII Koto Sungai Sariak di Ampalu,- Rajo Rangkayo Ganto Suaro Kampuang Dalam,- Rajo Tiku di Tiku dllGelar Bagindo dipakaikan kepada mereka yang bernasab kepada para Petinggi Aceh yang bertugas didaerah Pariaman. Ingatlah bahwa wilayah Pariaman & Tiku pernah dikuasai oleh kerajaan Aceh dizaman kejayaan Sultan Iskandar Muda.Gelar Sidi diberikan kepada mereka2 yang bernasab kepada kaum ulama (syayyid), yaitu penyebar agama Islam didaerah PariamanPemakaian gelar tunggal ini langsung diikuti dengan nama-nama, misalnya Sutan Arman Bahar atau Bagindo Arman Bahar atau Sidi Arman Bahar. Sedangkan gelar dari Mamak yang bukan gelar Datuak akan ditaruh dibelakang nama, seperti : Sutan Sinaro, Sutan Batuah, Sutan Sati tidak lazim dipakai di Pariaman kecuali gelar Malin. Seperti Arman Bahar Malin Bandaro ada juga terpakaiBanyak adat Minangkabau yang dipegang teguh di di Pariaman seperti diantaranya rumah gadang ka-tirisan (rumah besar yang bocor), gadih gadang indak balaki (gadis yang sudah cukup umur tetapi belum nikah) dan maik tabujua ditangah rumah (mayat terbujur di tengah rumah). Indak kayu janjang dikapiang. indak ameh bungkah di-asah, maka yang sering menonjol di Pariaman adalah Gadih Gadang Indak Balaki. Sehingga para Ninik Mamak orang Pariaman sangat concern untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Saking pedulinya para Ninik Mamak di Pariaman terhadap isu gadih gadang indak balaki ini, maka sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan hingga pada suatu saat terjadi penurunan tingkat suplai anak bujang mapan. Akibatnya merusak titik ekuilibrium dan memunculkan kolusi (dalam artian persaingan yang positif). Artinya pihak keluarga anak gadis - siap sedia memberikan kompensasi berapapun nilainya - asal anak gadisnya menikah dan mendapatkan suami.Dari sinilah munculnya Uang Hilang yang dalam prakteknya sama dijalankan dengan uang jemputan. Pengertian uang jemputan adalah Nilai tertentu yang akan dikembalikan kemudian kepada keluarga pengantin wanita pada saat setelah dilakukan acara pernikahan. Pihak Pengantin Pria akan mengembalikan dalam bentuk pemberian berupa emas yang nilainya setara dengan nilai yang diberikan oleh keluarga Pihak Pengantin Wanita sebelumnya kepada keluarga Pengantin Pria. Biasanya pemberian ini dilakukan oleh keluarga pengantin pria (marapulai) ketika pengantin wanita (Anak Daro) berkunjung atau Batandang ka rumah Mintuo. Bahkan pemberian itu melebih nilai yang diterima oleh pihak Marapulai sebelumnya karena ini menyangkut menyangkut gensi keluarga marapulai itu sendiri.Karena dalam prakteknya uang hilang dan uang jemputan dilakukan sejalan/bersamaan, maka yang ke sohor adalah UANG JEMPUTAN. Padahal yang dipermasalahkan dan keberatan pihak keluarga pengantian wanita adalah munculnya UANG HILANG atau UANG DAPUR.Uang Jemputan ini sebenarnya adalah uang kontribusi dan uang distribusi. Artinya bagi yang menerima uang jemputan semestinya ia harus mengembalikan kepada pihak pengantin wanita/anak daro. Sementara UANG HILANG atau UANG DAPUR merupakan uang kompensasi sesuai dengan kesepakatan kedua keluarga.Semuanya jika tidak ada permusyawarahan antara para ninik mamak dan kesepakatan diantara dua keluarga. Keboleh jadian bahwa perkawinan tidak akan berlangsung bila pihak keluarga wanita tidak menyetujui.Kesimpulannya uang jemputan tidak sama dengan uang hilang. Uang jemputan memiliki kewajiban dari keluarga marapulai untuk mengembalikan kepada anak daro dalam bentuk perhiasan atau pemberian lainnya pada saat dilangsungkan acara Manjalan Karumah MintuoSoal ada yang menyatakan pemberian uang jemputan berasal tradisi ini berasal India, sebenarnya tidak demikian. Pernyataan ini sangat meragukan karena tidak ada jejak sejarah yang tersebut bahwa bangsa India mendiami pesisir pantai Pariaman dan Tiku. Kita tahu bahwa bangsa India pun beraneka suku seperti : orang-orang Hindustan, atau orang Keling. Yang pernah ada di Pariaman adalah orang Benggala alias Orang Keling karena terdapat jejak peninggalan mereka dalam wujud Kampuang Kaliang disamping itu ada pula Kampuang Cino. Walaupun sudah tidak adalagi orang Chinanya, karena takut sesudah peristiwa huru hara di Kampuang Cino kota Pariaman zaman doeloe. Selain itu ada pula Kampuang Jao walau tidak adalagi orang Jawa-nya disana. Hal yang wajar bila ada kekhawatiran kaum ibu orang Pariaman, jika anak lelakinya yang diharapkan akan menjadi tulang punggung keluarga ibunya kemudian setelah menikah lupa dengan NASIB DAN PARASAIAN ibu dan adik-adiknya. Banyak kasus yang terdengar walau tidak tercatat ketika telah menjadi orang Sumando dikeluarga isterinya telah lalai untuk tetap berbakti kepada orang tua dan saudara kandungnya. Ketika sang Bunda masih belum puas menikmati rezeki yang diperoleh anak lelakinya itu menjadikan para kaum ibu di Pariaman keberatan melepas anak lelakinya segera menikah. Dikawatirkan bila anak lelakinya itu cepat menikah, maka pupus harapannya menikmati hasil jerih payahnya dalam membesarkan anak lelakinya itu. Lagi pula para kaum ibu itupun sadar bahwa tanggung jawab anak lelakinya yang sudah menikah, akan beralih kepada isteri dan anaknya.Ketika datang desakan dari pihak gadis dan tiap sebentar datang mendesak sesuai tradisi yang berlaku di daerah itu, maka posisi anak bujang itu menjadi begitu berarti. Bahkan agak terkesan memaksakan kehendak jika tidak dikatakan merongrong dari berbagai fihak keluarga gadis yang ingin bemenantukan anaknya. Hal yang lumrah pula bila suatu keluarga menginginkan anak gadis mereka cepat menikah sebelum datang tudingan perawan tua bagi seorang anak gadis. Sebaliknya seorang Ibu yang mempunyai anak bujang yang sudah mapan kehidupannya tentu ia akan meneriman tawaran menggiurkan berupa UANG HILANG atau apapun istilahnya dari fihak keluarga gadis.Sebagaimana telah diuraikan terdahulu, ketika orang yang datang mendesak, maka ketika itu sesuai teori ekonomi demand curve menaik se-iring meningkatnya tingkat permintaan - terjadilah tawar menawar. Bargaining power akan lebih kuat bila sang ibu pihak lelaki mempunyai anak yang mapan seperti dokter, saudagar sukses, insinyur chevron bahkan bergelar Sidi pula lagiKeluarga mana yang tidak ingin anak gadisnya akan hidup tenang dengan calon suami yang keren & mapan begitu. Jadilah pepatah yang berbunyi indak ameh bungkah di-asah, indak kayu janjang dikapiang asal anak gadisnya mendapatkan anak bujang yang sudah mapan hidupnya. Para Gadis tentunya akan senang bersuamikan dokter atau insinyur chevron yang gajinya besar ituDisini kita lihat betapa pedulinya Para Mamak orang Pariaman untuk masalah yang satu ini, dalam rangka menghindari Gadih Gadang Indak Balaki alias perawan tua.

Perjalanan Syekh Burhanuddin Ulakan.

makam syekh burhanudin ulakan, tapakis. pariaman.

Untuk mencari titik-terang sejarah hidup dan perjuangan Syekh Burhanuddin Ulakan dalam mengembangkan ajaran Islam di Sumatera Bagian Tengah hingga Semenanjung Malaya dan Brunei Darussalam, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Padang Pariaman melaksanakan muzakarah / seminar sehari yang berlangsung hariSenin (16/7).

Dalam muzakarah itu tampil empat penyaji makah: Ketua Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Padang Pariaman Drs H Rustam Jalaluddin, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Imam Bonjol Padang Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA, Ulama Sepuh Syattariyah H Zubir Tuanku Kuniang dan Tokoh Masyarakat Ulakan MZ Dt Rangkayo Rajo Malano atau yang lebih dikenal sebagai Datuk Bungsu.

Berikut makalah yang disajikan Prof Dr H Duski Samad Tuanku Mudo MA (editor: Zakirman Tanjung)

Asal Usul dan Masa KecilnyaSecara pasti waktu kelahiran Syekh Burhanuddin belum dapat ditegaskan. Namun, dari beberapa penulis sejarah diketahui, ia diperkirakan lahir awal abad ke-17 Masehi. Azyumardi Azra (1999:209), menulis ia hidup 1056-1104 H./1646-92 M. Ia belajar agama di daerah Tapakis Ulakan dengan Tuanku Madinah.Di Tapakis itu Burhanuddin yang masa kecilnya itu bernama Pono bertemu dengan seorang teman orang Ulakan yang berasal dari Tanjung Medan yang bernama Idris bergelar Khatib Majolelo. Sejak masa itu pula Ia mulai belajar agama sekaligus mengembalakan ternaknya. Seperti yang dikemukakan oleh Tamar Jaya (1965:285) pada masa itu penduduk masih mempunyai kepercayaan animisme dan belum meyakini adanya Tuhan.Tuanku Madinah atau Syekh Abdullah Arief diduga sebagai pengembang Islam pertama di daerah ini. Syekh Abdullah Arief meninggal dunia pada tahun 1039 H/1619 M di Tapakis.Pendidikan dan Sejarah IntelektualnyaSetelah mendapatkan pendidikan dasar keagamaan di daerah perantauannya di Tapakis dengan Tuanku Abdullah Arif atau Tuanku Madinah, Pono melanjutkan pelajaran ke Aceh pada Syekh Abdurrauf yang saat itu sedang menjadi ulama dan mufti pada Kerajaan Aceh. Syekh Abdurrauf pulang belajar dari Madinah tahun 1039 H/1619 M dan menetap di Singkil.Selama 2 tahun, dari tahun 1039-1041 H/1619-1621 M Pono belajar dengan Syekh Abdurrauf di Singkil sebelum ia pindah ke Banda Aceh menduduki jabatan ulama dan mufti Kerajaan Aceh.Imam Maulana penulis buku Mubligul Islm menyebut empat orang yang sama belajar dengan Pono itu adalah pertama Datuk Maruhun Panjang dari Padang Ganting Batu Sangkar, kedua bernama Si Tarapang berasal dari Kubung Tigo Baleh Solok, ketiga Muhamad Nasir dari Koto Tangah Padang, dan keempat Buyung Mudo dari Pulut-pulut Bandar Sepuluh Pesisir Selatan.Tentang berapa lama Pono belajar di Aceh ada beberapa riwayat menyebutkan, H.B.M Leter menyebut 2 tahun di Sinkil dan 28 tahun di Banda Aceh yang semuanya 30 tahun.Sedangkan Mahmud Yunus dalam bukunya, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (1979:18), menyebutkan bahwa Pono belajar ilmu agama pada Syekh Abdurrauf lebih kurang 21 tahun dan pulang ke Minangkabau pada tahun 1680 M, kemudian mengajar agama di Ulakan (Pariaman) dan membuka Madrasah(Surau) tempat pendidikan dalam pengajaran agama Islam. Sedangkan ilmu yang dipelajarinya boleh dikatakan semua ilmu yang ada pada gurunya, yaitu Fiqh, Tauhid, Hadts, Tasawuf dengan jalan Tarekat Syathariyah, ilmu Taqwm dan ilmu Firasat.Sementara itu, Ambas Mahkota dalam bukunya, Sejarah Syekh Burhanuddin Ulakan, Penerbit CV Indo Jati menuturkan bahwa setelah Pono selesai mempelajari ilmu yang dirasanya perlu dalam agama Islam, maka pada suatu hari diadakanlah perpisahan antara guru dengan murid.Kata perpisahan itu berbunyi sebagai berikut: Malam ini berakhirlah ketabahan dan kesungguhan hatimu menuntut ilmu tiada taranya. Suka duka belajar telah engkau lalui, sekarang pulanglah engkau ke tanah Minang untuk mengembangkan agama Islam.Tamar Jaya penulis buku Pusaka Indonesia (1965:128) menuliskan bahwa di waktu hari keberangkatan Pono Pulang ke Minangkabau juga diberikan nama baru oleh gurunya Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin (Pembela agama). Sejak masa itu resmilah nama Pono menjadi Burhanuddin.Surau Tanjung Medan inilah surau pertama yang menjadi cikal bakal lembaga pendidikan agama di Minangkabau -sejenis Pesantren di Jawa- yang pada masa belakangan berkembang luas dan disebarluaskan oleh pengikut dan murid Syekh Burhanuddin di Tanjung Medan Ulakan. Surau Tanjung Medan juga menjadi suatu kampus Universitas yang disekitarnya didirikan surau-surau kecil yang dihuni oleh pelajar dari berbagai daerah di Minangkabau, Riau, dan Jambi.3)Paham keagamaan yang ia pelajari dan kemudian dikembangkan di ranah Minangkabau melalui pusat pendidikan di surau Tanjung Medan Ulakan sudah dapat diduga bermazhab Syafii dalam ibadah dan muamalah serta Ahlussunnah Wal Jamaah dalam Itikad.Sedangkan dalam tarekat Ia jelas memakai tarekat Syathariyah yang memang dalam sejarah intelektual Syekh Abdurrauf, Ia adalah seorang khalifah tarekat Syathariyah yang diterima dari gurunya Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah.Perjuangan dan GerakannyaBerbicara tentang perjuangan Syekh Burhanuddin dalam Islamisasi di Minangkabau terlebih dahulu harus dipahami bagaimana perjalanan sejarah Dawah Islamiyah di Ranah yang terkenal dengan adat dan istiadatnya yang bersandar pada alam, Alam takabambang jadi guru. Beberapa ahli dan penulis sejarah selalu mengklasifikasikan perkembangan Islam pada masyarakat Minangkabau menjadi dua tahapan:Pertama, melalui saudagar Arab dan India yang berkunjung untuk berdagang rempah-rempah dengan orang-orang di pulau Sumatera. Pada umumnya mereka beragama Islam dan pada saat yang sama mereka juga memperkenalkan Islam kepada penduduk setempat. Mereka menyiarkan Islam belum lagi secara terencana tetapi masih bersifat perseorangan dengan cara sembunyi-sembunyi.Kedua, melalui pengaruh kerajaan Aceh yang memiliki pengaruh cukup luas di daerah Pesisir Barat Pulau Sumatera, tak terkecuali daerah Minangkabau. Daerah yang mendapat pengaruh langsung dari Aceh, misalnya Pelabuhan Laut Tiku, Pariaman, Padang, dan Pesisir Selatan. Pengaruh kerajaan Aceh ini telah terjadi jauh sebelum Syekh Burhanuddin berkunjung untuk belajar ke Aceh. Sebab, kejayaan Aceh telah ada sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin belajar pada Syekh Abdurrauf.Amir Azli dalam tulisannya yang berjudul, Pariaman Erat dengan Aceh Diperkirakan Berusia 420 Tahun dalam Harian Haluan, Kamis 16 Januari 1992 mengungkapkan bahwa Pariaman dalam kajian Sejarah sekurang-kurangnya mempunyai tiga peranan penting pada zaman dahulu.Pertama, sebagai basis kekuatan militer, kedua sebagai pusat perdagangan dan ketiga sebagai pusat pengembangan agama Islam di pesisir pantai Barat Sumatera.Sebagai bagian dari basis kekuatan armada laut, kenyataan sejarah telah membuktikan bahwa ketika Aceh menyerang Portugis pada bulan Oktober 1556 M (di masa pemerintahan Sultan al-Kahhar) mengalami ketidak berhasilan, maka putra Husein kemudian bergelar Sultan Riayat Syah- meminta bantuan ke Pariaman, yang ketika itu diperintah oleh Sultan Sri Alam. Setelah ia wafat diganti oleh Zainal Abidin yang juga terbunuh tanggal 5 Oktober 1579 M.Kemudian A.I.Mc.Gregor yang mengutip Vida de Mathias de Albuer-querquer dalam buku Seaflight near singapore in the 1570s menyebut bahwa tanggal 1 Januari 1577 M telah terjadi pertempuran antara armada Aceh yang dipimpin oleh Laksamana Serimaharaja berkekuatan 10.000 (sepuluh ribu) prajurit dan banyak meriam dengan Portugis di Selat Malaka. Pada pertempuran tersebut ikut juga Raja Ali Riayat Syah dari Pariaman. Diberitakan pihak Portugis mempunyai 12 kapal perang 1 batalion, 2 geleses, 3 geliot dan 3 briganyines.Pariaman sebagai pusat perdagangan rempah-rempah menurut catatan dan laporan dari pelaut Inggris Sir James Lancaster bahwa penghormatan yang diterimanya dari Raja Aceh adalah sangat memuaskan, sebagai tanda bahwa orang Aceh adalah orang sopan dan suka pada tamu. Penghormatan ini dilakukan dengan memberikan jamuan yang terhidang dari bejana emas.Selain itu, Sir Jame Lancaster pernah meminta kesempatan untuk membeli langsung lada ke Pariaman. Ia minta agar Sultan memberinya surat untuk dibawa ke Pariaman dengan mengunakan kapal Susanna. Surat tersebut masih tersimpan dalam Boendalan Library oxford, bernomor M.S e.4 ditandatangani dan dicap dengan huruf arab Assultan Alauddinsyah Bin Firman.Sedangkan peranan Pariaman sebagai pusat pengembangan agama Islam dapat disimak dari tulisan DR. Schrieke dengan judul, Atjehasche Invioed was dan ook niet te onderschatien. Pengaruh Aceh di Pantai Barat tidaklah dapat dipandang kecil. Daghregister 1661,1663 dan 1664 M, mencatat pengaruh itu di beberapa tempat diantaranya jelas di Pariaman, Pauh, dan Ulakan yang merupakan pusat pengembangan agama Islam.Hampir semua penulis sejarah sepakat bahwa masuk dan berkembangnya Islam di Minangkabau melukiskan betapa Pesisir Barat Minangkabau seperti Tiku, Pariaman sampai Indrapura telah berada dibawah pengaruh Aceh sejak masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M) yang pada waktu itu mencapai puncak kejayaannya dengan menguasai pantai Sumatera dari Barat sampai ke Timur.Dari penjelasan sejarah di atas dapat dicatat bahwa jauh sebelum kedatangan Syekh Burhanuddin ke Ulakan pengaruh Aceh bersamaan dengan pengembangan Agama Islam sudah berjalan juga, meskipun itu baru sebatas masyarakat pedagang dan orang-orang pesisir pantai saja.Sedangkan dalam catatan H.B.M Leter, Pono yang kemudian namanya diganti oleh Syekh Abdurrauf dengan Burhanuddin baru pulang ke Minangkabau tepatnya ke Ulakan pada tahun 1069 H/1649 M pada masa pemerintahan Aceh di bawah Raja Sultanah Tajul Alam Safyatuddin (1641-1675 M).Dalam kondisi keagamaan sudah mulai terbentuk di Ulakan, Syekh Burhanuddin memulai perjuangannya menegakan Islam melalui pendekatan persuasif dengan menggunakan lembaga surau yang didirikan oleh sahabatnya Idris Khatib Majolelo di Tanjung Medan.Perjuangan Syekh Burhanuddin dalam mengembangkan Islam melalui surau dibantu oleh empat orang teman dekatnya yang dulu sama-sama belajar dengannya di Aceh. Keempat orang inipun dibuatkan pula surau untuk mempercepat proses pendidikan dan penyebaran Islam bagi masyarakat sekitarnya.Kegigihan Syekh Burhanuddin dalam menyebarkan Islam di tengah masyarakat yang masih buta agama menjadi buah bibir dan catatan sejarah bagi pengikutnya dikemudian hari. Ada beberapa cara yang ditempuh Syekh Burhanuddin dalam meneruskan perjuangan agama bagi masyarakat, yaitu:Pertama, mengislamkan anak-anak dan remaja melalui permainan anak nagari yang masyhur dikala itu, antara lain main kelereng, gundu, main patuk lele (terbuat dari kayu yang dipukul dalam sebuah lobang, kemudian dilempar lagi untuk masuk ke lobang tersebut), dan main layang-layang.Setiap kali main Burhanuddin selalu menang, akhirnya pemuda bertanya bagaimana caranya beliau main sehingga selalu menang. Burhanuddin menjelaskan dengan membaca Bismillah setiap akan main. Melalui permainan ini ia diterima oleh anak-anak dan remaja atau pemuda dan pada gilirannya mereka inilah yang mengajak orang tuanya masing-masing untuk belajar ke surau. Karena memang surau dalam tradisi di Minangkabau, bahkan sampai saat ini masih berfungsi utuh sebagai pusat pembinaan pemuda sekaligus tempat tidur mereka.Kedua, Mengikuti permainan anak nagari, seperti main layang-layang dan main lainnya dengan tidak merusak nilai-nilai agama yang dimilikinya. Melalui permainan itu ia dapat memasuki semua lapisan masyarakat tanpa mengalami kesulitan yang berarti.Banyak kisah menarik yang dituturkan oleh pengikutnya tentang kemampuan beliau berinteraksi dalam suatu pergaulan yang memuaskan semua lapisan masyarakat tanpa canggung. Pendekatan sosial yang diterapkan beliau sangat efektif bagi masyarakat yang memang sudah mengalami kemajuan berpikir yang baik dan memadai dengan adat dan budaya yang dimiliki setiap orang Minang.Ketiga, menyampaikan Islam secara perlahan-lahan dan mencari persesuaian antara norma-norma agama dengan kultur masyarakat. Gerakannya dalam penobatan gelar setiap pemegang kekuasaan agama dalam masyarakat adalah bentuk nyata dari usaha beliau ke arah harmonisasi hubungan di dalam masyarakat, bahkan sampai sekarang kesan positifnya masih dirasakan.Hasil dari gerakan tersebut terlihat dari tumbuhnya ratusan ulama (imam, khatib, labai dan tuanku) yang akhirnya memberikan corak tersendiri bagi struktur budaya dan kultural serta nuansa Islam di Minangkabau. Gerakan ini sekaligus mendorong timbulnya beratus-ratus ribu surau, mesjid dan rumah ibadah. Dan kemudian institusi ini menjadi cikal bakal dari lembaga pendidikan Islam dan kajian-kajian keislaman lainnya di bawah pimpinan ulama. Hampir setiap Jorong, (sekarang dusun), Desa (dulu korong), dan Nagari memiliki surau berikut dengan ulama yang memimpinnya.Paham dan Karya Syekh BurhanuddinSeperti telah dijelaskan di atas, jaringan intelektual Syekh Burhanuddin sejak dari guru pertamanya Syekh Abdullah Arif (lebih populer dengan panggilan Syekh Madinah) di Tapakis Ulakan sampai belajar dengan Syekh Abdurrauf di Aceh masih berasal dari rumpun yang sama.Kedua guru ini sama-sama belajar dengan Syekh Ahmad Qusyasi di Madinah. Ulama Madinah ini merupakan tokoh yang menjadi sentral dalam jaringan Ulama Nusantara pada abad ke-17 dan ke-18 M. Sebab memalui Ahmad Qusyasilah para ulama Nusantara menemukan warisan intelektual Islam Fiqh, Tafsr, tak terkecuali juga tasawuf baik yang sudah melembaga menjadi tarekat maupun yang masih menjadi anutan dari pribadi muslim.Satu di antara murid Ahmad Qusyasi yang dikenal luas dalam jaringan ulama nusantara adalah Abdurrauf al-Sinkili. Nama lengkapnya Amin al-Din Abdurrauf bin Ali al-Jawi al-Fansuri al-Sinkili, ia lahir diperkirakan sekitar tahun 1024/1615 M. di sebuah kota kecil di pantai Barat pulau Sumatera. Ia berasal dari keluarga ulama, ayahnya Syekh al-Fansuri adalah seorang Arab yang mengawini seorang wanita setempat dari Fansur (Barus) dan bertempat tinggal di Singkil, di mana Abdurrauf dilahirkan.4)Sistem dan pola pemikiran Syekh Burhanuddin tidak dapat ditunjukkan secara konkrit, karena tulisannya yang dapat dijadikan acuan tidak ditemukan. Meskipun ada dua manuskrip yang oleh pengikutnya dikaitkan dengan Syekh Burhanuddin dan disebut sebagai karya Syekh Burhanuddin, tetapi manuskrip ini hanyalah merupakan mukhtasar (ringkasan) dari beberapa kitab tasawuf yang disebut pada penutup manuskrip itu.Pertama, manuskrip yang ditulis tangan oleh Syekh Burhanuddin sendiri yang oleh pengikutnya dinamakan dengan Kitab Tahqq (Kitab Hakikat). Kitab aslinya masih tersimpan di tangan khalifah Syahril Luthan Tuanku Kuning, khalifah yang ke-42 bertempat di Surau Syekh Burhanuddin Tanjung Medan Ulakan.Kitab yang ditulis dengan mengunakan bahasa Arab ini ditulis dengan tinta kanji dan kertas lama berwarna kuning lebih tebal dari kertas biasa yang ada sekarang. Dilihat dari tulisan, tinta, dan kertas yang dipergunakan dapat diduga bahwa memang kitab ini sudah berusia sekitar 4 abad (zamannya Syekh Burhanuddin).Satu hal yang menjadi catatan penting bahwa kitab Tahqq tersebut tidak bisa dilihat oleh sembarang orang dan juga tidak boleh dibawa keluar dari Surau, karena hal itu merupakan amanah, demikianlah seperti dikemukakan oleh khalifah yang memegang kitab ini. Pada bagian pendahuluan kitab Tahqq penulis dengan jelas menyatakan bahwa kitab ini (Mukhtasar) diringkaskan dari 20 (dua puluh) kitab tasawuf yang populer dan dipakai luas di lingkungan Mazhab Ahl al-Sunnah wa al-Jamah.Kemudian kitab-kitab sumber tersebut oleh penulis dituliskan nama-namanya saja, seperti : Kitb Tuhfah al-Mursalah il rhin Nab, Kitb al-Ma`lmt, Kitb al-Jawhir al-Haqiq, Kitb al-Mulahzhah, Kitb Khtimah, Kitb Fath al-Rahmn, Kitb Maj al-Bahraiin, Kitb Mi`dn al-Asrr, Kitb Fuss al-Ma`rifah, Kitb Bayn al-Allh, Bahr al-Laht, Asrr al-Shalh, Kitb al-Wahdah, Kitb Futhat, Kitb Syarh al-Hikm, Kitb al-Asrr al-Insn, Kitb al-Anwr al-Haqiq, Kitb al-Baitn, Kitb Tanbh al-Masyi dan Kitb Adab Asyik wa Khalwat.Memperhatikan kitab sumber yang dipakai oleh penulis kitab Tahqq dapat dipastikan bahwa kitab ini merupakan manuskrip tasawuf yang menjadi paham keagamaan yang dianut oleh penulisnya.Kedua, manuskrip tulisan tangan berbahasa Arab dan bahasa Arab melayu terdiri dari lima kitab yang juga tidak dicantumkan nama penulisnya. Kitab ini lebih sedikit maju karena dicantumkan masa penulisannya. Pada bahagian akhirnya tertulis, Alhamdulilah tamatlah kitab ini ditulis pada hari Selasa bertepatan dengan tahun 1223 hijriah Nabi Muhamad SAW bersamaan dengan 1788 M.Jelaslah bahwa kitab ini ditulis setelah satu abad Syekh Burhanuddin wafat.Kitab ini sekarang dipegang oleh Khalifah Syekh Burhanuddin yang berada di Sikabu Ulakan melalui Tuanku Karimun, yaitu Tuanku Ali Bakri S.Ag (Sarjana Agama) Alumni S.1 Universitas Muhammadiyah Jakarta dan sekarang tinggal di Jakarta.Buku ini dapat dipinjamkan dan diperlihatkan kepada pihak lain tanpa harus melalui tata cara ibadah zikir seperti buku Tahqq yang dipegang Syahril Lutan Tuanku Kuning tersebut di atas. Buku ini oleh khalifah yang lain termasuk oleh Tuanku Kuning Syahril Luthan dikatakan ditulis oleh Syekh Abdurrahman khalifah Syekh Burhanuddin ketiga dan buku itu tidak lengkap dan bukan buku asli dari Syekh Burhanuddin.Tuanku Ali Bakri yang memegang buku kedua saat ini menceritakan bahwa buku ini diperoleh dari gurunya Tuanku Karimun Ulakan. Pada saat gurunya akan meninggal ia berwasiat agar buku ini harus dipegang oleh orang yang tahu dengan kitab, maka Ali Bakri kemudian ditunjuk karena dialah murid sekaligus kemenakannya yang relatif bisa membaca kitab. Jadi buku tersebut juga amanat yang mesti dijaga dan rasanya sulit untuk diserahkan kepada pihak lain.Buku ini terdiri dari lima kitab yang digabung dalam satu buku yang cukup tebal dengan jumlah 315 halaman, diawali dengan pembukaan dan dilanjutkan dengan tulisan dalam bentuk esei panjang. Tiga dari kitab itu ditulis dengan menggunakan bahasa Arab murni dan dua yang lain ditulis dengan huruf Arab Melayu. Kitab pertama ditulis dengan bahasa Arab berisikan ringkasan dari Kitab Tanbh al-Masyi, buah karya Syekh Abdurrauf al-Sinkili ini dicantumkan secara jelas.Empat kitab sesudahnya tidak diterangkan dari kitab apa diringkas dan siapa pengarangnya pun tidak dinukilkan. Dari isinya dapat ditangkap isyarat bahwa kitab ini jelas memiliki hubungan yang erat dengan kajian tasawuf, khususnya tarekat Syathariyah. Misalnya pada kitab ketiga ada ungkapan yang menjelaskan hubungan murid dengan guru. Hubungan murid dengan guru itu laksana mayyat di tangan orang yang memandikannya. Murid harus patuh terhadap semua perintah guru, kepatuhan murid pada guru itu haruslah ikhlas.BIOGRAFI TUANKU SALIAH : rang kiramaik dari sungai sariak.

Sejarah perjalanan sarak di minangkabau, semuanya berawal dari ranah piaman, yang dibawa oleh Syekh Burhanuddin dari Tanah Ulakan, Pesisir pantai, terus menyebar sampai kepedalaman daerah minangkabau dan kenegara tetanggak. Disamping Syekh Burhanuddin, dalam catatan sejarah rang piaman banyak ulama-lama besar berpengaruh yang lahir dan merasul (berdakwah) di piaman, seperti Tuangku Nan Basaruang di Ulakan, Syekh M. Hatta di Nagari Kapalo Koto, Syekh Mato Aie di Nagari Pakandangan, Syekh Tuangku Tampe Talang di Kuranji Hilir, Tuangku Badinah di Nagari Sungai Garinggiang, Tuangku Johor di Limu Purut, Tuangku Lubuak Ipuah di Nan Sabaris, Syekh Harun Bin Abdulla Gani di Toboh Pariaman, dan Syekh Tuangku Saliah Kiramat danbanyak lagi ulama besar piaman lainnya yang tidak bisa digambarkan dalam tulisan ini.

Setiap ulama yang ada di piaman memiliki kisah-kisah yang menarik untuk diceritakan, semua ulama besar tersebut telah memberikan kontribusi dan mendudukan pondasi kuat tegagnya ajaransarak(agama islam) di ranah piaman dan minangkabau, salah satunya contoh adalah Syekh Mato Aie di Pakandangan, semasa hidup Syekh Mato aie memiliki murit dan pengikut dimana-mana, ini dapat kita lihat dari ramainya orang berziyarah pada saat bulan ramadhan mau masuk, dilihat makam Syekh Mato Aie yang berda dipakandangan sangat ramai di kunjungi oleh para peziyarah tersebut, baik yang berasal dari Piamansendri, mapun dari luar piaman sperti dari Aceh, Damasraya dan Batusangkar.Disamping Syekh Mato Aie yang memiliki pengaruh yang besar, ada juga ulama piaman yang sangat karismatik dan memiliki kiramat (kemuliyaan) yaitu Syekh Tuangku Saliah Kiramat atau orang Sungai Sariak mengatakan Ungku Saliah, Tuangku Saliah yang nama sebenarnya dawaik, beliau dilahirkan di PS. Panjang tahun 1890, dan meninggal pada tahun 1974, adalah ulama piaman yang memiliki banyak murit dan pengikut, semasa hidupnya Ungku Saliah memiliki Surau di Ujung Gunung Sungai Sariak dan beliau dimakamkan sekarang di Korong Lareh Nan Panjang, Nagari Sungai Sariak, kita bisa lihat goboanya disana.Perjalan dakwah Ungku Saliah atau yang disebut oleh orang tua-tua kampuang juga merassul beliau dilakukan di beberapa tempat di daerah piaman dan minangkabau ini, Ungku Saliah menurut cerita urang tuo-tuo dulu mengatakan bahwa Ungku Saliah merupakan seorang umat manusia mengajarkan Islam kepada semua masyarakat piaman, yang memiliki kelebihaan, sehingga dengan kelebihaan itu dijelaskan Ungku Saliah memiliki kiramat dan keistimewaan sebagai ulama, sepertiPertama, Do,a Ungku Saliah yang banyak dikabulkan oleh Allah. SWT. Sehingga pada waktu beliau masih hidup banyak masyarakat atau muritnya yang minta didoakan oleh Tuangku Saliah untuk mendapatkan pertolongan dari Allah. SWT,KeduaUngku Saliah memiliki indera yang lebih dari kabanyakan orang, sehingga Ungku Saliah pernah meramalkan dan mempredisi kejadian-kejadian yang akan terjadi dalam waktu dekat dan kejadian-kejadian yang akan terjadi kedepan,KetigaUngku Saliah mampu memberikan obat dan penawar kepada orang sakit, sehingga dalam ceritanya orang sakit tersebut bisa sembuh dan sehat kembali,Keempatbeliau juga termasuk yang menentang dan melawan penjajagan Belanda, dalam riwayatnya Ungku Saliah pernah dipenjaraa dengan muritnya oleh Belanda.Kelimadisaat beliau mengisi ceramah atau mengisi pengajian, Ungku Salih bisa hadir diwaktu bersamaan dibeberapa surau, dan banyak lagi kiramat yang dimiliki oleh Tuangku Saliah tersebut.Kehidupan Tuangku Saliah dalam cerita orang-orang tua dulu memiliki keistimewaan yang sangat menonjol, dalam sejarahnya tidak banyak penulis atau sasrawan yang mengkaji dan menuliskan kisah-kisah beliau, dari gambaran penulis banyak cerita-cerita yang dipercayai pernah terjadi pada masa hidup beliau yang tidak ditulisakan, hanya cerita-ceritayang banya berkembang ditengah masyarakat Piaman seperti Tuangku Saliah semasa hidup beliau sering ke Koto Mambang, setiap jumaatnya, setiap kedatangan beliau disambut oleh masyarakat dengan penuh penghargaan, semua orang dengan ikhlas memberikan apa saja yang diminta dan diinginkan oleh Tuangku Saliah, banyak orang bersedekah dan Ungku Saliah pun banyak memberikan kepada masyarakat, cerita M. Yadi khibo, (prantau piaman) mengatakan bahwa diwaktu kecil yadi, Ungku Saliah pernah memberikan 3 (tiga) benda, berupaganto padati, tangkelek, dan sagenggam bareh (beras), semua benda itu disimpan oleh orang tuan yadi untuk dijadikan obat dan penawar sakit.Disamping itu ada juga kisah, pada masa itu, ada salah seorang pengikutnya bernama sabar, yang ditegur oleh Ungku saliah yang belum membayar nazar, dan biasanya Tuangku Saliah selalu mengingatnya karna dia tahu selalu, kalau muritnya sabar itu kilaf belum membayarnya. Ada juga kisah yang digambarkan pada saat Belanda menyerang Lubuk Alung dengan membom bardir Pasar Lubuk Alung, sebelum terjadi penyerangan Belanda, Tuangku Saliah sudah memperingatkan warga Pasar Lubuak Aluang agar berhati. dengan mengataka bahwa sebetar lagi akan ada hujan lebat, maka padi yang terjemur agar segera di bangkit atau diteduhkan, sedangkan pada waktu itu hari sangat panas terik, alhasil ternya yang dimaksut dari Ungku Saliah itu adalah akan ada serangan bom dan mortir dari penjajah Belanda.Syekh Tuangku Saliah Kiramat memiliki pengikut yang banyak, malah sampai sekarang masyarakat Piaman masih memiliki kerpercayaan yang diujutkan dengan dipajangnya foto Ungku Saliah di beberapa tempat, malah dikeramaian. Seandainya kita melakukan perjalanan kesetiap daerah dan kotadi Indonesia, lalu singgah di warung nasi Padang, maka banyak kita temukan adanya foto-foto Ungku Saliah yang dipajang didinding rumah makan padang tersbut, bisa kita lihat dipajang didekat kasir, dipintu keluar dan lainya. Maka bisa dipastikan bahwa orang yang memasang foto Ungku Saliah tersbut merupakan pengikut.Dalam sejarah Ungku Saliah, hanya dilukiskan oleh orang piaman dalam bentuk cerita dari mulut-kemulut, sampai hari ini belum ada penelitian yang ilmiah yang menggali dan melakukan penelitian akademis dari sosok sebenarnya Tuangku Saliah tersbut, dalam kesimpulan tulisan ini, begitu heroiknya kisah beliau maka patutlah kiranya masyarakat Piaman dan masyarakat minangkabau melakukan pengkajian dan meneliti jejak dan sejara Syekh Tuangku Saliah Kiramat untuk dibukukan dan dimunculkan dalam cacatan sejarah seorang ulama yang berpengaruh diminagkabau.