masail fiqhiyah (nikah dibawah tangan)

29
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Perkawinan merupakan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, bagi pengikut Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baik, maka mereka harus melaksanakan sunah ini (perkawinan). Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keterununan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala, dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan di dalam al-Qur’an, antara lain QS. an-Nuur ayat 32 : ِ هِ لْ ضَ فْ نِ مُ له الُ مِ هِ نْ غُ ي َ اءَ رَ قُ ف واُ ن وُ كَ يْ نِ # ا ْ مُ كِ % ي اَ مِ # اَ وْ مُ كِ ادَ , بِ عْ نِ مَ ن يِ حِ ل اَ ّ ض ل اَ وْ مُ كْ بِ م ىَ م اَ يَ % لْ وا اُ حِ كْ ; يَ % اَ و ور : ن ل اٌ م يِ لَ عٌ عِ س اَ وُ له الَ و32 ) Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. ”(QS Annur:32) 1 1 Departemen Agama RI. 2005, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro, Bandung. hal.282 1

Upload: shika-rofiah

Post on 18-Jan-2016

78 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

masail fiqhiyah

TRANSCRIPT

Page 1: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

BAB I

PENDAHULUAN.

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan sunah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa

sallam. Sunnah diartikan secara singkat adalah, mencontoh tindak laku Nabi

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, bagi pengikut Nabi

Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam yang baik, maka mereka harus

melaksanakan sunah ini (perkawinan). Perkawinan diisyaratkan supaya manusia

mempunyai keterununan dan keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia

dan akhirat, di bawah naungan cinta kasih dan ridha Allah subhanahu wa ta’ala,

dan hal ini telah diisyaratkan dari sejak dahulu, dan sudah banyak sekali dijelaskan

di dalam al-Qur’an, antara lain QS. an-Nuur ayat 32 :

اء� �واف�ق�ر� �ون �ك �ن ي �م إ �ك �م�ائ �م و�إ �اد�ك ب �ح�ين� م�ن ع� �م و�الص�ال ك �ام�ى م�ن �ي أل ك�ح�وا ا �ن و�أ

�يم& النور : ع& ع�ل �ه� و�الله� و�اس� �ه�م� الله� م�ن ف�ض ل �غ ن 32ي )

Artinya : “Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan

orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan

hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan

memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya)

lagi Maha Mengetahui.”(QS Annur:32)1

Di Indonesia telah terjadi pembaharuan hukum di bidang hukum keluarga,

dengan disahkannya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 1 dan 2 tentang

Perkawinan. Menurut UU ini, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang

pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

(Pasal 1 UU Perkawinan). Dan pasal 2 tentang syarat sahnya pernikahan di hadapan

hukum, bahwa pernikahan dianggap sah adalah pernikahan yang dilaksanakan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan dan dicatat menurut

perundang-undagan yang berlaku.

1 Departemen Agama RI. 2005, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro, Bandung. hal.282

1

Page 2: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Namun yang terjadi di lapangan adalah, terjadi dikotomi antara apa yang

dipahami sebagai syarat sah perkawinan menurut kelompok tradisional dengan

kelompok modern. Kali ini, fenomena itu dipicu dengan keluarnya fatwa Majelis

Ulama Indonesia (MUI) yang mengesahkan pernikahan di bawah tangan.

Bahaya nikah tidak dicatat adalah, seseorang akan mengalami kegagalan

untuk mendapatkan kepastian hukum, hanya karena tidak dapat menunjukkan bukti

yang autentik tentang identitas pribadi seseorang. Misalnya dalam keluarga, akta

perkawinan mempunyai aspek hukum untuk digunakan sebagai bukti jika dalam

keluarga terjadi peristiwa kematian. Misalnya seorang suami meninggal dunia,

dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga orang anak, yang akan tampil secara

bersama-sama sebagai ahli waris dari si suami (yang meninggal). Bagaimana

caranya untuk membuktikan bahwa ahli waris tersebut adalah isteri yang sah dari

suaminya yang telah meninggal dunia. Demikian pula bagaimana caranya untuk

membuktikan bahwa ketiga anak tersebut benar-benar anak kandung yang sah

(nasabnya kepada orang tuanya). Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila

telah memiliki bukti autentik berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang

berwenang. Dengan kata lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan,

maka isteri yang ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat

bukti) yang menunjuk-kan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang

telah meninggal dunia.

Berdasarkan pemaparan di atas maka jelaslah bahwa aspek hukum dari

pencatatan nikah adalah untuk memperoleh suatu kepastian hukum dalam hal

perkawinan dan nasab anak. Segala peristiwa itu dicatat, karena sebagai sumber

adanya kepastian perkawinan di bawah tangan tidak mempunyai hubungan hukum

dengan ayahnya pada saat terjadinya koflik dan pertengkaran yang berujung dengan

perceraian.

Berdasarkan permasalahan inilah yang kemudian memunculkan girah penulis

untuk mengkaji hal ini secara mendalam.

B. Rumusan Masalah

1. Apa syarat sahnya pernikahan dalam islam?

2. Apa syarat sahnya Pernikahan di Indonesia?

2

Page 3: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

3. Apa yang dimaksud dengan pernikahan di bawah tangan?

4. Bagaimanakah hukum islam di indonesia membahas tentang nikah di bawah

tangan ?

5. Mengapa kelompok tradisional menghalalkan pernikahan di bawah tangan?

6. Mengapa pula kelompok modern mengharamkan pernikahan di bawah tangan?

C. Tujuan Dan Kegunaan Masalah

Makalah ini ditulis untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Masailul

Fiqh, dan agar kita memahami dikotomi antara kelompok tradisional dan kelompok

modern dalam hal pernikahan di bawah tangan dan dapat mengambil ibrah dari

permasalahan tersebut.

3

Page 4: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

BAB II

PEMBAHASAN.

A. Pernikahan Dalam Islam.

Istilah nikah berasal dari bahasa Arab, yaitu ( ,( النكاح adapula yang

mengatakan perkawinan menurut istilah fiqh dipakai perkataan “nikah” dan

perkataan “zawaj”. Sedangkan menurut istilah Indonesia adalah “perkawinan”.

Dewasa ini kerap kali dibedakan antara “pernikahan” dan “perkawinan”, akan

tetapi pada prinsipnya perkawinan dan pernikahan hanya berbeda dalam menarik

akar katanya saja. Perkawinan adalah ;

عبار ة عن العقد المشهور المشتمل على األركان والشروط

Artinya : “Sebuah ungkapan tentang akad yang sangat jelas dan terangkum

atas rukun-rukun dan syarat-syarat.”

Para ulama fiqh pengikut mazhab yang empat (Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan

Hanbali) pada umumnya mereka mendefinisikan perkawinan pada :

بلفظ انكاح أو تزويج أو معناهما عقد يتضمن ملك وطء

Artinya : “Akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk

berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad)

lafazh nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut.”

Dalam Kompilasi Hukum Islam dijelaskan bahwa perkawinan adalah

pernikahan, yaitu akad yang kuat atau mitsaqan ghalizhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Sedangkan menurut Undang-

undang No.1 Tahun 1974 Bab I Pasal (1) dijelaskan bahwa perkawinan ialah ikatan

lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan

tujuan membentuk keluarga yang kekal dan bahagia berdasarkan ke-Tuhanan Yang

Maha Esa.

Pada penjelasan undang-undang tersebut ditegaskan lebih rinci bahwa sebagai

negara yang berdasarkan Pancasila di mana sila yang pertamanya ialah ke-Tuhanan

Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan

agama, sehingga perkawinan tidak hanya mempunyai unsur lahir atau jasmani

tetapi juga unsur bathin atau rohani yakni membentuk keluarga yang sakinah dan

saling mencintai.

4

Page 5: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Apabila ditinjau dari segi hukum, nampak sekali terlihat bahwa pernikahan

atau perkawinan adalah suatu akad yang suci dan luhur antara laki-laki dan

perempuan yang menjadi sebab sahnya status sebagai suarni-isteri dan dihalalnya

hubungan seksual dengan tujuan mencapai keluarga yang sakinah dan saling

mencintai.

Dari beberapa terminologi yang telah dikemukakan nampak jelas sekali

terlihat bahwa perkawinan adalah fitrah ilahi. Hal ini dilukiskan dalam Firman

Allah subhanahu wa ta’ala :

ه�ا و�ج�ع�ل� �ي �ل �وا إ �ن ك �س �ت و�اجDا ل �ز �م أ ك ف�س� �ن �م م�ن أ �ك �ن خ�ل�ق� ل �ه� أ �ات و�م�ن ء�اي

ون�}الروم : �ر� �ف�ك �ت J ي �ق�و م �اتJ ل آل ي �ك� �ن� ف�ي ذ�ل ح م�ةD إ �م م�و�د�ةD و�ر� �ك ن �ي 21ب

Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa

tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.

Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir.”2 (QS. Arrum: 21)

B. Pernikahan Di Indonesia.

1. Undng-Undang Perkawinan Di Indonesia.

RUU tentang perkawinan di Indonesia diterima dengan suara bulat dalam

sdang paripurna pada tanggal 22 desember 1973. diundangkan pada tanggal 2

januari 1974 sebagai undang-undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan.

setelah mengalami proses selama 15 bulan, maka pada tanggal 1 april 1975

diundangkan peraturan pemerintah nor 9 tahun 1975 tentang perkawinan.

peraturan pemerintah nomor 9 tahun 1975 ini terdiri dari 49 pasal dan 10 bab.

pelaksanaan yang diatur dalam peraturan ini terdapat dua bagian, yaitu (1)

pelaksanaan yang berhubungan dengan pelaksanaan nikah yang menjadi tugas

pegawai pencatat nikah (PPN) dan (2) pelaksanaan yang dilaksanakan oleh

pengadilan, yang dalam hal ini dilaksanakan oleh peradilan umum bagi warga

Negara yang non-muslim dan peradilan agama bagi yang muslim3.

2 Departemen Agama RI. 2005, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro, Bandung. hal.324

3 Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal.15

5

Page 6: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Menurut UU Perkawinan, perkawinan ialah ikatan lahir batin antara

seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa (Pasal 1 UU nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan).

2. Sahnya Perkawinan Di Indonesia

Mengenai sahnya perkawinan di indonesia terdapat pada pasal 2 UU

nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu; (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku4.

Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan dianggap sah

adalah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya dan dicatat menurut peraturan perundang-undangn yang

berlaku5. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi syarat dan

rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau

pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka

perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata hukum agama dan kepercayaan

masyarakat. Tetapi sahnya perkawinan ini di mata agama dan kepercayaan

masyarakat tersebut juga perlu dicatat oleh negara, yang dalam hal ini

ketentuannya terdapat pada Pasal 2 Ayat 2 UU Perkawinan, tentang pencatatan

perkawinan.

Hal ini terus terjadi karena perkawinan menurut agama dan

kepercayaannya sudah dianggap sah, banyak pasangan suami istri tidak

mencatatkan perkawinannya. Alasan yang paling umum adalah biaya yang

mahal dan prosedur berbelit-belit. Alasan lain, sengaja untuk menghilangkan

jejak dan bebas dari tuntutan hukum dan hukuman administrasi dari atasan,

terutama untuk perkawinan kedua dan seterusnya (bagi pegawai negeri dan

ABRI). Perkawinan tak dicatatkan ini dikenal dengan istilah perkawinan bawah

tangan.

4 Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal.14

5 Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Hal.14

6

Page 7: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2 PP No. 9

tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi mereka yang melakukan

perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di KUA. Sedangkan

untuk mencatatkan perkawinan dari mereka yang beragama dan kepercayaan

selain Islam, cukup menggunakan dasar hukum Pasal 2 Ayat 2 PP No. 9 tahun

1975.

Dalam hal ini, sahnya suatu akad nikah harus memenuhi ketentuan

Undang-Undang Perkawinan (UUP) Pasal 2 ayat (1) mengenai tata cara agama,

dan ayat (2) mengenai pencatatan nikahnya oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)

secara simultan. Dengan demikian, ketentuan ayat (1) dan (2) merupakan syarat

kumulatif, bukan syarat alternatif. Oleh karena itu menurut Undang-undang

Perkawinan, perkawinan yang dilakukan menurut fiqh Islam tanpa pencatatan

oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN), belum dianggap sebagai perkawinan yang

sah. Dengan demikian bahwa, akta perkawinan (Nikah) tersebut merupakan hal

yang sangat menentukan akan kebenaran suatu permasalahan apabila

diperkarakan. Dan dalam lingkungan Internasional Akta Catatan Sipil mendapat

pengakuan yang sah.

3. Pencatatan Perkawinan Di Indonesia

Tata cara pencatatan perkawinan antara lain,

a. setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan secara

lisan atau tertulis rencana perkawinannya kepada pegawai pencatat di tempat

perkawinan akan dilangsungkan, selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum

perkawinan dilangsungkan.

b. Kemudian pegawai pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah

dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut UU.

c. pegawai pencatat mengumumkan dan menandatangani pengumuman tentang

pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempel

surat pengumuman pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca

oleh umum.

d. perkawinan harus dilasanakan menurut hukum masing-masing agama dan

kepercayaannya itu dan ihadiri oleh saksi dan pegawai pencatat nikah.

7

Page 8: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

e. setelah berlangsungnya pernikahan tersebut, maka kedua belah pihak mempelai

menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat

nikah, seterusnya diikuti pula oleh saksi-saksi, wali nikah, dan pegawai

pencatat nikah.

f. dengan selesainya penandatanganan akta perkawinan tersebut, maka

perkawinan tersebut ianggap sah dn telah tercatat dengan resmi sesuai

ketentuan yang berlaku.

Kutipan akta nikah inilah yang menjadi bukti autentik bagi kedua suami

istri. Secara garis besar, perkawinan yang tidak dicatat di negara Indonesia ini

sama saja dengan membiarkan adanya hidup bersama dengan status hukum yang

tidak tetap, dan ini sangat merugikan para pihak yang terlibat (terutama

perempuan), terlebih lagi kalau sudah ada anak-anak yang dilahirkan. Mereka

yang dilahirkan dari orang tua yang hidup bersama tanpa dicatatkan

perkawinannya, memiliki akibat hukum dengan dijadikannya satus anak tersebut

sama dengan anak yang lahir dari perkawinan diluar nikah, sehingga anak tersebut

hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya, dalam arti tidak mempunyai

hubungan hukum dengan bapaknya. Dengan perkataan lain secara yuridis tidak

mempunyai bapak.

Seperti dalam keluarga, akta perkawinan mempunyai aspek hukum untuk

digunakan sebagai bukti jika dalam keluarga terjadi peristiwa kematian, misalnya

seorang suami meninggal dunia, dengan meninggalkan seorang isteri dan tiga

orang anak, yang akan tampil secara bersama-sama sebagai ahli waris dari si

suami (yang meninggal). Bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ahli

waris tersebut adalah isteri yang sah dari suaminya yang telah meninggal dunia.

Demikian pula bagaimana caranya untuk membuktikan bahwa ketiga anak

tersebut benar-benar anak kandung yang sah (nasabnya kepada orang tuanya).

Dalam hal ini, tidak akan timbul kesulitan apabila telah memiliki bukti autentik

berupa akta perkawinan yang dibuat oleh pejabat yang berwenang. Dengan kata

lain, dapat dijelaskan bahwa dengan akta perkawinan, maka isteri yang

ditinggalkan oleh suaminya mempunyai suatu pegangan (alat bukti) yang

menunjukkan bahwa dia benar-benar sebagai janda dari si suami yang telah

meninggal dunia.Sebenarnya, tidak ada paksaan bagi masyarakat untuk

8

Page 9: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

mencatatkan perkawinan. Dalam artian, jika kita tidak mencatatkan perkawinan,

bukan berarti kita melakukan suatu kejahatan. Namun jelas pula bahwa hal ini

memberikan dampak atau konsekuensi hukum tertentu yang khususnya merugikan

perempuan dan anak-anak. Kemudian, ketika seseorang tidak dapat membuktikan

terjadinya perkawinan dengan akte nikah, dapat mengajukan permohonan itsbat

nikah (penetapan atau pengesahan nikah) kepada Pengadilan Agama (Kompilasi

Hukum Islam [KHI]    pasal 7).

Namun, Itsbat Nikah ini hanya dimungkinkan bila berkenaan dengan: a.

dalam rangka penyelesaian perceraian; b. hilangnya akta nikah; c. adanya

keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan; d. perkawinan

terjadi sebelum berlakunya UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan; e.

perkawinan yang dilakukan oleh mereka yang tidak mempunyai halangan

perkawinan menurut UU No. 1/1974. Artinya, bila ada salah satu dari kelima

alasan diatas yang dapat dipergunakan, anda dapat segera mengajukan

permohonan Istbat Nikah ke Pengadilan Agama. Sebaliknya, akan sulit bila tidak

memenuhi salah satu alasan yang ditetapkan.

C. Nikah Sirri Dan Pernikahan Di Bawah Tangan.

Ada dua definisi yang berbeda tentang nikah siri. Pengertian Pertama:

Nikah Siri adalah pernikahan yang dilakukan secara sembunyi–sembunyi tanpa

wali dan saksi. Inilah pengertian yang pernah diungkap oleh Imam Syafi’i di dalam

kitab Al Umm 5/. Pernikahan Siri dalam bentuk yang pertama ini hukumnya tidak

sah karena tidak terpenuhinya syarat sahnya suatu perkawinan, yaitu pengantin pria

dan wanita, wali, dua saksi, dan ijab qobul

Pengertian Kedua: Nikah Siri adalah pernikahan yang dihadiri oleh wali dan

dua orang saksi, tetapi saksi-saksi tersebut tidak boleh mengumumkannya kepada

khayalak ramai. dalam hal ini pihak-pihak yang terlibat diminta untuk

merahasiakan pernikahan tersebut dari orang lain. Para ulama berbeda pendapat

tentang hukum nikah seperti ini:

Pendapat pertama: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya sah tapi

makruh. Ini pendapat mayoritas ulama, di antaranya adalah Umar bin Khattab,

Urwah, Sya’bi, Nafi’, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, Imam Ahmad (Ibnu

9

Page 10: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 7/ 434-435). Dalilnya

adalah, bahwa Rasulullah saw bersabda:

D )ال روى اإلمام أحمد عن الحسن عن عمران بن الحصين مرفوعا

Y بولىY وشهادتين( نكاح إال

“Dari Imam Ahmad riwayatkan dari Al-Hasan, dari Imran bin Husain

sebagai marfu’ (sabdanya): “tidak ada nikah melainkan dengan wali dan dua

saksi”6

Hadits di atas menunjukkan bahwa suatu pernikahan jika telah dihadiri wali

dan dua orang saksi dianggap sah, tanpa perlu lagi diumumkan kepada khayalak

ramai. Selain itu, mereka juga mengatakan bahwa pernikahan adalah sebuah akad

mu’awadhah (akad timbal balik yang saling menguntungkan), maka tidak ada

syarat untuk diumumkan, sebagaimana akad jual beli. Begitu juga pengumuman

pernikahan yang disertai dengan tabuhan rebana biasanya dilakukan setelah selesai

akad, sehingga tidak mungkin dimasukkan dalam syarat-syarat pernikahan. Adapun

perintah untuk mengumumkan yang terdapat di dalam beberapa hadist

menunjukkan anjuran dan bukan suatu kewajiban.

Pendapat Kedua: menyatakan bahwa nikah seperti ini hukumnya tidak sah.

Pendapat ini dipegang oleh Malikiyah dan sebagian dari ulama madzhab Hanabilah.

Bahkan ulama Malikiyah mengharuskan suaminya untuk segera menceraikan

istrinya, atau membatalkan pernikahan tersebut, bahkan mereka menyatakan wajib

ditegakkan had kepada kedua mempelai jika mereka terbukti sudah melakukan

hubungan seksual. Begitu juga kedua saksi wajib diberikan sangsi jika memang

sengaja untuk merahasiakan pernikahan kedua mempelai tersebut. Mereka berdalil

dengan apa yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Hatib al Jumahi, bahwasanya

Rasulullah saw bersabda:

“Pembeda antara yang halal (pernikahan) dan yang haram (perzinaan) adalah

gendang rebana dan suara. “ (HR an Nasai dan al Hakim dan beliau

mensahihkannya serta dihasankan yang lain).

Sedangkan perkawinan di bawah tangan merupakan perkawinan yang

dilakukan menurut fiqh tanpa pencatatan oleh Pegawai Pencatat Nikah (PPN)7.

6 A. Hasan. Tarjamah Bulughul Maram, CV Penerbit Diponegoro, Bandung. hal.4387 Ahmad Rajafi, MHI. Nikah Di Bawah Tangan, Https://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/nikah-

di-bawah-tangan

10

Page 11: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Dalam hal ini, pencatatan perkawinan merupakan kewajiban administratif bagi

warga negara yang melangsungkan perkawinan. Dalam suatu negara yang teratur,

segala hal yang berhubungan dengan penduduk harus dicatat, seperti kelahiran,

kematian, demikian pula perkawinan (al-nikah).

D. Hukum Pernikahan Di Bawah Tangan.

1. Fatwa MUI tentang Pernikahan Di Bawah Tangan

Kewenangan MUI dalam berfatwa adalah tentang :

a. Masalah-masalah keagamaan yang bersifat umum dan menyangkut umat

Islam Indonesia secara nasional; dan

b. Masalah-masalah keagamaan di suatu daerah yang diduga dapat meluas ke

daerah lain. (pasal 10)

Berdasarkan kewenangan tersebut, maka dibuatlah di dalam tubuh MUI

tersebut komisi-komisi yang memliki tugas masing-masing, seperti komisi B

yang khusus memiliki tugas untuk berfatwa. Dan pada ijtima’ ulama se-

Indonesia II tahun 2006, komisi B membahas tentang masa’il waqi’iyyah

mu’ashirah yang berkenaan dengan SMS berhadiah, nikah di bawah tangan,

pembiayaan pembangunan dengan hutang luar negeri dan pengelolaan sumber

daya alam.

Perkawinan di bawah tangan dipandang tidak memenuhi ketentuan

peraturan perundang-undangan dan seringkali menimbulkan dampak negatif

(madharat) terhadap istri dan atau anak yang dilahirkannya terkait dengan hak-

hak mereka seperti nafkah, hak waris dan lain sebagainya. Tuntutan pemenuhan

hak-hak tersebut manakala terjadi sengketa akan sulit dipenuhi akibat tidak

adanya bukti catatan resmi perkawinan yang sah.

Persoalan ini hangat dibahas, karena ada peserta ijtima’ yang semangat

sekali mengharamkan dan ada pula yang bergairah untuk menghalalkannya

tanpa catatan harus mendaftarkan ke Kantor Urusan Agama (KUA), kata Ketua

Panitia Pengarah Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa MUI se-Indonesia II, KH Ma’ruf

Amin. Kyai Ma’ruf ditemui hukumonline di ruang kerjanya di Sekretariat Dewan

Syariah Nasional, kompleks perkantoran Masjid Istiqlal, Jakarta.

11

Page 12: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Kyai Ma’ruf yang juga sebagai Ketua Komisi Fatwa MUI menambahkan,

Komisi Fatwa MUI sengaja memakai istilah pernikahan di bawah tangan. Selain

untuk membedakan dengan pernikahan siri yang sudah dikenal di masyarakat.

Istilah ini lebih sesuai dengan ketentuan agama Islam. Ia menambahkan, nikah di

bawah tangan yang dimaksud dalam fatwa ini adalah pernikahan yang terpenuhi

semua rukun dan syarat yang ditetapkan dalam fiqh (hukum Islam). Namun,

nikah ini tanpa pencatatan resmi di instansi berwenang sebagaimana diatur

dalam perundang-undangan. Kalau nikah siri itu, lanjut Kyai Ma’ruf  mungkin

hanya nikah berdua saja, tanpa ada saksi dan sebagainya. ”Kalau pengertian siri

itu dianggap hanya berdua saja, tidak pakai syarat dan rukun nikah lainnya, bisa

dipastikan pernikahan semacam ini tidak sah,” tandasnya.

Terkait dengan masalah haram jika ada kemudharatan, Kyai Ma’ruf

menegaskan bahwa hukum nikah yang awalnya sah karena memenuhi syarat dan

rukun nikah, menjadi haram karena ada yang menjadi korban. Jadi, “haramnya

itu datangnya belakangan. Pernikahannya sendiri tidak batal, tapi menjadi

berdosa karena ada orang yang ditelantarkan, sehingga dia berdosa karena

mengorbankan istri atau anak. Sah tapi haram kalau sampai terjadi korban. Inilah

uniknya,” ujarnya.

Oleh karenanya, peserta ijtima ulama sepakat bahwa pernikahan harus

dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif

untuk menolak dampak negative atau al-mudharat (saddan li adz-dzari’ah).

Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan

rukun nikah, tetapi haram jika terdapat sesuatu yang mudharat.

Langkah MUI ini diamini oleh Dekan Fakultas Syariah IAIN Sunan Ampel,

Surabaya, Abdus Salam Nawawi. Ia mengatakan, soal anjuran pencatatan ini

sebenarnya sudah diatur dalam UU Perkawinan. Namun, dalam

implementasinya masih kurang. Dan, ini sangat disayangkan. Padahal, lanjutnya,

pencatatan ini akan menjadi dokumen otentik atas peristiwa pernikahan dan

akibat-akibat yang mungkin muncul seperti kelahiran anak dan sebagainya. “Jika

tidak ada bukti, pengadilan akan kesulitan memproses tuntutan istri kepada

suami jika ada masalah,” ujarnya di dalam situs hukumonline.

12

Page 13: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Pengesahan ini dihasilkan dari “Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000

ulama dari berbagai unsur di Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu

lalu di kompleks Pondok Modern Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur”.

Pembahasan mengenai pernikahan di bawah tangan ini cukup alot, namun tetap

mengahasilkan dua jawaban :

1 Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara

resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak

dampak negative atau mudharat.

2 Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat

dan rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.

Dengan dilegalkannya pernikahan di bawah tangan, alias nikah tanpa surat

nikah oleh MUI tersebut, tentunya dapat menimbulkan fitnah di mana-mana jika

seseorang berjalan dengan seorang wanita yang bukan muhrim-nya. Lebih

tegasnya lagi adalah, akan muncul praktek prostitusi dengan alasan nikah bawah

tangan ini.

Untuk itu, yang terbaik dan yang sangat bijak dilakukan oleh MUI adalah

dengan melihat perkembangan zaman yang begitu kompleks, sehingga hanya

mengeluarkan satu putusan saja yang paling kuat dan tegas seperti “pernikahan

harus dicatatkan secara resmi pada instansi berwenang, sebagai langkah

preventif untuk menolak dampak negative atau al-mudharat (saddan li adz-

dzari’ah)”, tidak dengan jawaban yang mendua sehingga terlihat kembali

dikotomi antara negara dan agama yang terus membingungkan umat.

Jawaban yang berbentuk dualisme ini muncul dikarenakan mereka mencoba

menghubungkan antara keabsahan perkawinan menurut ketentuan peraturan

perundang-undangan di atas dengan keabsahan perkawinan dalam hukum Islam.

Menurut madzhab al-Syafi’i (yang menjadi pegangan mayoritas muslim

Indonesia dan diakomodasi dalam pasal 14 Kompilasi Hukum Islam)  rukun

perkawinan ada lima, yaitu calon suami, calon istri, wali, dua orang saksi, dan

ijab-qabul.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka anggota sidang menyimpulkan

bahwa peraturan pencatatan perkawinan tidak pernah ada di dalam kitab-kitab

fiqh klasik, itu berarti pencatatan perkawinan bertentangan dengan hukum Islam.

13

Page 14: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Dikarenakan bertentangan maka tidak ada konsekuensi agama apa pun apabila

mereka meninggalkannya. Sederhananya, ketentuan pencatatan perkawinan itu

hanyalah masalah administrasi negara saja dan tidak ada hubungannya dengan

kategori sah atau tidaknya sebuah perkawinan.

2. Keharusan Mencatat Pernikahan

Ust. Ahmad Rajafi, MHI, dosen STAIN Manado, dalam artikelnya yang

berjudul “Nikah Di Bawah Tangan” melemahkan hasil fatwa MUI tersebut

dengan tiga pendekatan yang jernih dan rasional bahwa nikah di bawah tangan

adalah perbuatan yang salah dan pencatatan perkawinan tidaklah bertentangan

dengan jiwa syari’ah Islam. Pendekatan itu adalah :

a. Pendekatan Historis.

Mengapa dalam kitab-kitab fiqh klasik tidak menyebutkan tentang

pencatatan perkawinan? Hal tersebut dikarenakan pada waktu kitab-kitab

fiqh itu ditulis tingkat amanah kaum muslimin relatif tinggi. Sehingga

kemungkinan menyalahgunakan lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat

atau sementara yang tidak sejalan dengan tujuan ideal perkawinan dan

merugikan pihak lain relaitf kecil. Pernyataan ini tentunya tidak dimaksud

menggeneralisir bahwa sekarang ini tingkat amanah masyarakat itu sudah

luntur.

b. Pendekatan Kaidah Fiqh.

Kaidah yang digunakan adalah :

إال به فهو واجب ماال يتم الواجب

Artinya : “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu,

maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya.”

Berkaitan dengan penggunaan kaidah ini pada kasus pencatatan

perkawinan, berangkat dari anggapan bahwa pencatatan perkawinan adalah

satu peraturan yang sengaja dibuat dalam rangka menyempurnakan kualitas

sebuah perkawinan.

14

Page 15: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Penyempurnaan kualitas perkawinan ini berkaitan erat dengan status

perkawinan yang merupakan bagian dari perintah Allah swt dalam rangka

beribadah kepada-Nya. Karena tujuannya yang luhur itu, maka segala

peraturan yang telah ada sebelumnya dalam kitab-kitab fiqh klasik dan

peraturan yang muncul terkemudian wajib untuk diadakan.

Dengan demikian, berlakulah ketentuan mala yatimmu al-wajib illa

bihi fahua wajib “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu,

maka adanya sesuatu itu menjadi wajib hukumnya”. Artinya, tidak

sempurna sebuah perkawinan kecuali dengan adanya pencatatan, maka

adanya pencatatan menjadi wajib hukumnya.

c. Pendekatan Mashlahat.

Pendekatan ini muncul sebagai jawaban bahwa nikah di bawah tangan

atau tanpa pencatatan dari Petugas Pencatat Nikah adalah sah menurut

agama. Menurut Ust. Ahmad Rajafi, MHI, perkawinan tersebut sah menurut

fiqh karena fiqh merupakan hasil interpretasi para ulama (ijtihad) yang

harus selalu dusesuaikan dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan,

tapi tidak atau belum sah menurut agama, karena agama memiliki aturan

hukum berupa kemashlahatan, dengan artian bahwa sesuatu yang mashlahat

pada masa dahulu dan ditempat yang berbeda (yakni di Timur Tengah),

belum tentu mashlahat pada masa sekarang khususnya di Indonesia.

Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan bahwa pesan yang dibawa

oleh agama adalah universal di bawah prinsip rahmatan lil ‘alamin

(membawa rahmat bagi semesta alam). Artinya, segala tindakan manusia

hanya dapat dibenarkan menggunakan justifikasi agama sejauh ia

mendatangkan manfaat bagi kepentingan umum (li tahqiq mashalih

al-‘ammah), bukan kemashlahatan yang bersifat perorangan atau kasuistik.

Ini berbeda dengan fiqh yang diformulasikan oleh fuqaha’ yang

dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Jadi, bisa saja pendapat seorang ulama

dahulu mendatangkan kemashlahatan pada masanya, namun diterapkan

dalam kondisi sekarang akan menimbulkan kemudharatan. Oleh karena itu,

harus dibedakan dan tidak dipertentangkan. Apalagi jika yang didukung

menimbulkan kesengsaraan bagi pihak istri yang ditinggalkan suaminya

15

Page 16: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

tanpa tanggung jawab yang jelas. Maka, dalam hal ini beliau menjelaskan

bahwa bukannya fiqh yang tidak relevan, tetapi kesalahan itu berada pada

orang-orang yang menempatkan fiqh yang ditulis untuk waktu itu, untuk

kepentingan saat ini.

Berdasarkan pemaparan analisis di atas maka Ust. Ahmad Rajafi,

MHI lebih cenderung untuk menyepakati dan setuju dengan pendapat yang

menjadikan pencatatan nikah sebagai bagian terpenting yang harus

diterapkan di dalam hukum perkawinan di Indonesia karena nilai positifnya

lebih besar dibandingkan dengan pernikahan yang tidak menggunkan

pencatatan perkawinan di dalamnya. Sehingga pada akhirnya wanita-wanita

yang dinikahi tersebut akan mendapatkan perlindungan hukum dalam

perjalan pernikahannya.

BAB III

PENUTUP

16

Page 17: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

A. Kesimpulan

Pernikahan dinyatakan sah dalam islam jika telah memenuhi syarat sahnya

pernikahan, yaitu pengantin pria dan wanita, wali, dua orang saksi, dan ijab qobul.

sedangkan dalam hukum perdata di indonesia dalam pasal 2 UU nomor 1 tahun

1974 tentang Perkawinan yang berbunyi: (1) Perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu; (2)

Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku

Dari Pasal 2 Ayat 1 ini, kita tahu bahwa sebuah perkawinan dianggap sah adalah

apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya

dan dicatat menurut peraturan perundang-undangn yang berlaku.

“Forum Ijtima’ yang dihadiri lebih dari 1000 ulama dari berbagai unsur di

Indonesia. Acara tersebut digelar beberapa waktu lalu di kompleks Pondok Modern

Darussalam Gontor, Pacitan, Jawa Timur”. Pembahasan mengenai pernikahan di

bawah tangan ini cukup alot, namun tetap mengahasilkan dua jawaban :

1. Peserta ijtima’ ulama sepakat bahwa pernikahan harus dicatatkan secara resmi

pada instansi berwenang, sebagai langkah preventif untuk menolak dampak

negative atau mudharat.

2. Pernikahan di bawah tangan hukumnya sah karena telah terpenuhinya syarat dan

rukun nikah, tetapi haram jika terdapat mudharat.

Sedangkan pihak yang melemahkan hasil fatwa MUI tersebut dengan tiga

pendekatan yang jernih dan rasional bahwa nikah di bawah tangan adalah perbuatan

yang salah dan pencatatan perkawinan tidaklah bertentangan dengan jiwa syari’ah

Islam, yaitu

Pendekatan historis, bahwa pada waktu kitab-kitab fiqh itu ditulis tingkat

amanah kaum muslimin relatif tinggi. Sehingga kemungkinan menyalahgunakan

lembaga perkawinan untuk tujuan sesaat atau sementara yang tidak sejalan dengan

tujuan ideal perkawinan dan merugikan pihak lain relaitf kecil.

pendekatan kedua adalah pendekatan kaidah fiqih mala yatimmu al-wajib illa bihi

fahua wajib “tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengan sesuatu, maka adanya

sesuatu itu menjadi wajib hukumnya”. Artinya, tidak sempurna sebuah perkawinan

17

Page 18: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

kecuali dengan adanya pencatatan, maka adanya pencatatan menjadi wajib

hukumnya.

Ketiga adalah pendekatan maslahat, yaitu perkawinan tersebut sah menurut

fiqh karena fiqh merupakan hasil interpretasi para ulama (ijtihad) yang harus selalu

dusesuaikan dengan perubahan zaman, tempat dan keadaan, tapi tidak atau belum

sah menurut agama, karena agama memiliki aturan hukum berupa kemashlahatan,

dengan artian bahwa sesuatu yang mashlahat pada masa dahulu dan ditempat yang

berbeda (yakni di Timur Tengah), belum tentu mashlahat pada masa sekarang

khususnya di Indonesia.

Daftar Pustaka

A. Hasan. Tarjamah Bulughul Maram, CV Penerbit Diponegoro, Bandung

18

Page 19: Masail Fiqhiyah (Nikah Dibawah Tangan)

Ahmad Rajafi, MHI. Nikah Di Bawah Tangan, Https://ahmadrajafi.wordpress.com/2011/02/02/nikah-di-bawah-tangan. 16 April 2012

Ahmad Zain An-Najah, M.A. 2010, Nikah Siri dalam Islam Ilegal?, http://www.hidyatullah.com/konsultasi/fiqh-kontemporer/7/1/nikah-siri-dalam-islam-ilegal?.html. 20 April 2012

Departemen Agama RI. 2005, Al-Qur’an Dan Terjemahnya. CV Penerbit Diponegoro, Bandung.

Dr. H. Abdul Manan, S.H.,S.IP.,M.Hum, 2006. Aneka Hukum Perdata Di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group

19