main curang di rumah tuhangelora45.com/news2/maincurangdirumahtuhan.pdf · 2017-09-15 · waktu...
TRANSCRIPT
1
Main curang di Rumah Tuhan :
Kisah-kisah terluputkan dari perjalanan haji
Hasanudin AbdurahmanJamaah haji 2017
15 September 2017
http://www.bbc.com/indonesia/indonesia-41183923
Hak atas fotoMOHAMMED AL-SHAIKH/AFP/GETTY IMAGES
Ini zaman digital, zaman gawai. Maka ketika melakukan haji atau umrah di zaman
sekarang ini, ada satu suatu ritual yang tak diajarkan dalam syariat, namun orang tak
mau ketingalan dalam menjalankannya: berfoto.
Ada yang berfoto di luar mesjid, sekadar menjadikan mesjid suci sebagai latar belakang
saja. Tapi tidak sedikit yang berfoto di tempat-tempat sakral yang sebenarnya dilarang
berfoto, seperti Ka'bah, dan dalam raudhah (tempat di sekitar mimbar yang dulu dipakai
Nabi di Mesjid Nabawi, dekat makam Nabi, dan sebagainya.
Jemaah haji tertua asal Lombok, stres akibat peliputan media di Arab Saudi
Lima hal tentang dana haji dan kontroversinya
Jokowi: "Penggunaan dana haji harus hati-hati"
Bahkan tak jarang berswafoto sambil melaksanakan ritual ibadah, seperti saat tawaf dan
sa'i. Yang membuat saya geleng-geleng kepala, ada ustaz pembimbing haji yang sedang
tawaf sambil merekam dengan kamera video di gawainya.
Bolehkah? Secara fiqh atau syariat akan banyak pendapat soal itu.
2
Hak atas fotoMOHAMMED AL-SHAIKH/AFP/GETTY IMAGESImage captionSelfie di antara wuquf di
Arafah bukan kawasan yang dilarang berfoto atau selfie saat berhaji.
Tawaf dan sa'i itu tidak seketat salat, yang tidak memungkinkan orang melakukan atau
mengucapkan apa pun selain yang sudah ditentukan. Dalam tawaf dan sa'i boleh saja
orang melakukan hal lain. Berkata-kata selain doa dan zikir juga dibolehkan.
Nah, bagaimana dengan memotret dan merekam video? Tidak ada larangan secara
khusus.
Tapi coba kita pikir sekali lagi. Ini kita sedang beribadah, bukan? Kita sedang memuja
Tuhan, di hadapan-Nya. Lalu kita foto-foto?
Hak atas fotoKARIM SAHIB/AFP/GETTY IMAGES
Perumpamaannya begini. Ketika sedang ada rapat dengan presiden direktur dari kantor
pusat, saya sangat ingin berswafoto untuk memamerkan bahwa saya pernah rapat dengan
beliau. Tapi saya tidak berani, karena bisa jadi saya dianggap tidak sopan. Kenapa saat
memuja Tuhan kita berani melakukan itu?
Ketika soal ini saya tanyakan ke ustaz pembimbing saat pergi umrah dulu, jawaban dia
adalah, "Saya tidak mau repot dengan seluk beluk fiqh. Tanya saja diri sendiri, datang ke
sini itu tujuannya apa? Untuk pelesir dan berfotokah?"
Ustaz lain memberi analogi yang
menarik. "Kalau ada seseorang
yang berswafoto atau merekam
video saat dia sedang bermain
sepak bola, dapatkah kita sebut
dia bermain dengan serius?"
Hak atas fotoMOHAMMED
AL-SHAIKH/AFP/GETTY IMAGES
3
Bagaimana ketentuan soal ini menurut pengelola mesjid?
Di kedua mesjid suci itu ada tanda dilarang memotret, dalam bentuk papan peringatan
dengan simbol, tulisan, juga pada papan eletronik. Khususnya pada papan elektronik
ditambahi peringatan agar jamaah berfokus pada ibadah, dan meninggalkan hal-hal selain
ibadah.
Hak atas fotoHASANUDIN
ABDURAHMANImage captionPapan
elektronik larangan memotret di
kawasan Masjidil Haram.
Dulu larangan ini diberlakukan
dengan ketat. Orang yang keluar
masuk mesjid diperiksa, apakah
membawa kamera atau tidak. Ada
teman yang bercerita bahwa ia
sampai dibawa ke ruangan
pengelola mesjid, mendapat
pemeriksaan karena memotret.
Tapi begitulah. Dengan larangan ketat itu pun masih saja ada yang sembunyi-sembunyi
membawa kamera, dan dengan bangga menceritakannya saat pulang haji.
Hak atas fotoGETTY IMAGES
Kini tidak ada lagi pemeriksaan ketat. Petugas yang berjaga pun jarang menegur
orang-orang yang berfoto. Mungkin karena sudah sangat sulit untuk mencegah orang
membawa kamera, karena semua telepon genggam sekarang dilengkapi kamera. Tidak
mungkin juga rupanya melarang orang membawa telepon genggam.
4
Tetapi dijaga dengan ketat atau longgar, bukankah sepatutnya larangan ini dipatuhi?
Visa haji dan umrah yang kedua naik menjadi Rp7 juta
Tersangka kasus calon haji berpaspor Filipina akan ditetapkan
Waktu masih duduk di kelas 1 madrasah tsanawiyah, saya belajar sebuah hadis, yang
kemudian melekat di benak saya hingga kini.
Bunyinya: "Mendengar dan taat itu kewajiban bagi setiap muslim, dalam hal yang dia sukai
maupun tidak. Kecuali bila dia disuruh melakukan maksiat."
Maknanya? Patuhlah pada aturan, termasuk aturan yang dibuat manusia. Apalagi ini
aturan yang dibuat pengelola mesjid suci. Wajib bagi kita untuk mematuhinya.
Saya pun teringat dengan pengalaman lain, ketika saya berkunjung ke sebuah kuil di
Bangkok. Di situ saya memotret banyak objek. Kemudian di suatu tempat, tampak ada
tanda dilarang memotret. Karena menghormati aturan kuil, larangan itu saya patuhi. Nah,
bukankah akan sangat aneh kalau di tempat ibadah kita sendiri kita justru
melanggarnya?
Tapi saya kok tidak pernah melihat tandanya, kata beberapa orang berdalih. Kita bisa
bertanya balik, tidak melihat atau tidak peduli?
Hak atas fotoGETTY IMAGES
Tanda larangan memotret
bertebaran di mana-mana. Hanya
saja, orang memang cenderung
hanya melihat apa yang ingin dia
lihat. Hal-hal yang bukan bagian
dari kepeduliannya, akan
terlewatkan, meski ada di depan
mata.
Kita bisa kembali sampaikan
pertanyaan ustaz tadi. Untuk apa
pergi ke tanah suci? Untuk
memenuhi panggilan Allah. Untuk
menunjukkan bahwa kita ini orang
yang patuh. Tapi perilaku kita
justru menunjukkan hal sebaliknya.
Kita dengan berbagai cara
melanggar ketentuan-ketentuan.
Itu kita lakukan di rumah Allah.
Hak atas fotoGETTY IMAGES
5
Hal lain yang juga terasa mengganggu saya adalah vandalisme.
Batu-batu di Jabal Rahmah dan Jabal Uhud, misalnya, dipenuhi oleh berbagai coretan.
Ada yang memakai cat, ada pula yang pakai spidol. Sebagian bertuliskan huruf Arab, ada
pula memakai huruf latin. Jangan heran, orang Indonesia pun turut "menyumbang karya"
di situ.
Hak atas fotoKARIM SAHIB/AFP/GETTY
IMAGESImage captionJabal Rahmah. Dan coretan
berbagai jenis, dalam berbagai bahasa.
Di luar soal hal-hal yang terlarang tadi,
banyak pula pemandangan terkait soal
ketidakpedulian pada sesama.
Petugas-petugas penjaga ketertiban di
kedua masjid suci itu sering harus berteriak
mengingatkan orang. Tapi sering pula itu
diacuhkan.
Apa yang jadi masalah utama? Jalan. Ini
tempat jutaan orang berkumpul dan
bergerak. Ada yang tersendat di suatu
tempat, bisa menimbulkan kecelakaan yang
menelan korban nyawa. Tapi banyak jamaah
yang tidak peduli soal itu.
Hak atas fotoMAHMUD
HAMS/AFP/GETTYImage
captionSalah satu coretan
sangat jelas di Jabal Rahmah
ini menunjukkan pelakunya
adalah seorang jamaah asal
Indonesia.
Mereka bergerombol di
tempat yang seharusnya
menjadi jalan untuk
orang lewat. "Yaaa hajj,
thariq, thariq," teriak
petugas mengingatkan.
6
Beberapa ada yang segera patuh. Ada pula yang tidak peduli. Mereka acuh saja, berdoa,
atau melakukan ritual sesuka mereka. Seakan mereka berkata,"Diam kau, aku sedang
berbicara dengan Allah."
Padahal tidak demikian seharusnya.
Kebutuhan ritual kita, pemenuhan hasrat kita terhadap Allah tidak boleh menimbulkan
gangguan bagi manusia lain. Juga tidak boleh mengabaikan orang yang telah diberi
wewenang untuk mengatur.
Hak atas fotoHASANUDIN
ABDURAHMANImage
captionCoretan spidol di sebongkah
batu di Arafah.
Sekali lagi, pergi haji, berada
di tanah suci tidak otomatis
membuat kita menjadi lebih
baik. Mungkin karena kita
terlalu fokus pada ritual-ritual
vertikal, sehingga mengabaikan
yang bersifat horizontal. Atau
mungkin karena kita lalai memperbaharui
standar moral dan etiket kita, sehingga
banyak hal-hal yang tak patut masih kita
anggap layak untuk dilakukan.
Hak atas fotoHASANUDIN ABDURAHMANImage
caption Coretan ini di Uhud, dengan cat.
7
Hak atas fotoGETTY IMAGES
Saat hendak ke raudhah, ada ustaz yang berpesan pada jamaahnya,"Kalau di raudhah itu
kita hanya diberi kesempatan untuk salat. Tidak boleh berdoa, karena harus segera
keluar, agar yang lain dapat giliran masuk juga. Maka sebaiknya berdoa saat sujud saja.
Sujud saja lama-lama."
Saya hanya bisa tersenyum kecut mendengarnya. Sujud adalah simbol ketundukan yang
paripurna. Tapi kini sujud dipakai untuk memanipulasi aturan.
Begitulah. Di rumah Allah pun terjadi berbagai kecurangan.
Hasanudin Abdurakhman adalah seorang penulis, aktivis Islam semasa mahasiswa,
ilmuwan dan pengusaha. Tulisan ini merupakan salah satu buah perenungannya dari
perjalanan hajinya yang pertama beberapa waktu lalu, setelah sebelumnya melakukan
umrah. Artikel-artikel semacam ini akan hadir berkala di BBC Indonesia, karya
berbagai penulis, mencakup beragam tema. Tulisan-tulisan itu merupakan pandangan
pribadi penulis sepenuhnya.