ketika keamatian ditentukan manusia

Upload: pruce-d-yanto

Post on 15-Jul-2015

176 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

ASSERA KETIKA KEMATIAN DITENTUKAN OLEH MANUSIA?

Makalah diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Seminar Penciptaan Seni II

PRUSDIANTO PENCIPTAAN SENI/ SENI TEATER 102 0397 411

PROGRAM PASCA SARJANA INSTITUT SENI INDONESIA YOGYAKARTA 20110

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kematian adalah suatu misteri kehidupan yang telah menyelimuti umat manusia sejak dahulu kala. Tidak ada seorang pun yang tahu secara pasti kapan manusia akan mengalami kematian, dan mengapa harus mati. Yang ada dan berkembang di masyarakat hanyalah mitos yang sukar dibuktikan kebenarannya. Mitos pada dasarnya bersifat religius, karena memberi rasio kepada kepercayaan dan praktek keagamaan. Masalah yang dibicarakan adalah masalah-masalah pokok kehidupan manusia: dari mana asal kita dan segala sesuatu yang ada di dunia ini, mengapa kita di sini, dan ke mana tujuan kita (Haviland 1985:225). Mitos merupakan usaha yang menjelaskan fenomena-fenomena yang sulit untuk dipahami (Strauss, 2009:277). Bagi masyarakat di luar mitos, sulit untuk menerima secara logika mitos tersebut, ini berbeda dengan masyarakat pemilik mitos, dimana mereka meyakini bahkan sampai mempunyai keyakinan terhadap mitos tersebut, walaupun mereka mengadopsi dengan interpretasi yang keliru (Strauss, 2009:277). Salah satu mitos yang mengatur tentang kematian adalah yang terdapat pada masyarakat Suku Bentong, dikhususkan kepada To Balo pada masyarakat mereka. Mitos tersebut mengatakan bahwa, Jumlah To Balo tak akan pernah lebih dari Sembilan orang. Sehingga apabila terjadi kelahiran ketika jumlah anggota To Balo berjumlah Sembilan orang maka, salah satu dari mereka akan meninggal sesuai dengan angka kelahiran yang terjadi. Dengan demikian jumlah

1

To Balo tetap berjumlah Sembilan orang dan tak akan pernah melebihi angka tersebut. Dari mitos To Balo tersebut penulis mengangkat sebuah ide konsep cerita yang sesuai dengan mitos kematian pada jumlah angka Sembilan pada masyarakat Suku Bentong. Masyarakat yang dihadapkan oleh sebuah kondisi yang dilematis. Kelahiran yang begitu diidamkan-idamkan oleh sebuah keluarga justru menjadi momok yang menakutkan bagi keluarga tersebut. Kelahiran tersebut membuka peluang jumlah anggota To Balo berjumlah lebih dari Sembilan orang, dan apabila itu terjadi maka otomatis salah seorang dari mereka akan meninggal. Hal ini kemudian dijadikan penulis sebagai beban buat sebagian anggota To Balo. Berbagai kepentingan individu dikehidupan akan muncul satu persatu dari akibat proses kehamilan tersebut. Assera, adalah judul yang dipilih oleh penulis untuk menampung segala ide dan kreasi dari penciptaan ini. Assera yang berarti Sembilan sekaligus mewakili mitos tentang jumlah anggota To Balo yang stagnan, dan tidak lebih dari jumlah Sembilan orang. Ketika dihadapkan dengan kondisi sekarang dimana kebanyakan manusia sudah menjadi produk-produk individu yang begitu luar biasa, cerita ini akan membuka secara terang-terangan sifat-sifat kecintaan duniawi dari manusia sekarang yang kebanyakan belum siap menghadapi kematian dan kemudian diungkapkan dalam media cerita Assera ini.

2

B. Masalah dan Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas, dipaparkan mengenai bagaimana sebuah kondisi masyrakat dihadapkan kepada sebuah kematian yang mengancam tiap-tiap individu pada saat terjadinya kelahiran. Terjadinya bermacam benturan kepentingan individu yang memungkinkan antara satu yang lainnya menimbulkan kewaspadaan dan kecurigaan bahkan membawa pada satu situasi untuk saling menyingkirkan satu sama lain. Kematian kemudian menjadi sebuah kondisi yang menurut sebagian dari tokoh dalam cerita ini dapat direncanakan dan diatur kejadiannya. Pertanyaan-pertanyaan yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah: 1. Bagaimana asal mula mitos kematian angka Sembilan pada To Balo? 2. Bagaimana menginterpretasikan mitos tersebut untuk dijadikan sebuah cerita baru, dimana manusia menganggap bahwa kematian dapat diatur? 3. Bagaimana hubungan cerita Assera dengan kondisi realitas masyarakat sekarang dalam menghadapi kematian?

C. Tujuan dan Manfaat 1. Tujuan Mengacu pada masalah yang telah diungkapkan di atas, dikemukakan halhal yang menjadi tujuan dari penulisan makalah ini. Adapun tujuan dari penulisan ini adalah:

3

a. Mendeskripsikan sebuah cerita dimana masyarakat yang dipengaruhi oleh sebuah mitos, yang kemudian mempengaruhi tiap anggota masyrakatnya terutama dalam menjalani sebuah siklus kehidupan yang begitu dekat dengan kematian. b. Melalui cerita yang dibuat, menjelaskan bagaimana rasa kecintaan duniawi menjadi sebuah alasan dalam keengganan menghadapi kematian. 2. Manfaat Adapun manfaat dari penulisan makalah ini, penulis berharap: a. Sebagai kepuasan pribadi untuk mengoreksi diri, dapat memberikan suasana dan gairah baru dalam berkarya khususnya dalam seni teater. b. Memberikan sebuah pengalaman batin terhadap para penikmat seni khusunya penikmat terater dalam kehidupan.

4

II. PEMBAHASAN A. To Balo dalam Suku Bentong

Suku Bentong tinggal di tempat terpencil di Pegunungan Bulu Pao, yang membentang melintasi wilayah Kabupaten Barru dan Pangkep, Sulawesi Selatan. Secara administratif daerah mereka masuk dalam wilayah Kabupaten Barru. Suku ini merupakan salah satu terasing, sehingga keberadaan mereka tidak begitu diketahui oleh masyarakat luas. Adapun suku yang diketahui di Sulawesi Selatan adalah suku Makassar, Bugis, Toraja dan Mandar, adapun kemudian suku Mandar masuk dalam wilayah Sulawesi Barat.

Bulo-bulo yang merupakan wilayah tempat tinggal Suku Bentong, adalah salah satu wilayah di Nusantara yang memiliki keunikan dari segi bahasanya, betapa tidak, masyarakat yang bermukim di desa pegunungan kecamatan Pujjananting kabupaten Barru ini menggunakan perpaduan tiga bahasa daerah yaitu Bugis, Makassar dan Konjo (Longi, 2003:81). Bahkan sejumlah kosa katanya sama pula dengan bahasa daerah Mandar. Dari ketiga perpaduan bahasa derah tersebut yaitu Bugis, Makassar dan Konjo, melahirkan sebuah bahasa, yaitu bahasa Bentong.

Selain dari segi bahasa keunikan lain yang dimiliki oleh suku Bentong ini adalah karena di dalam anggota masyarakatnya terdapat beberapa orang yang memiliki kulit yang tak lazim seperti orang-orang normal pada umumnya. Sekujur tubuh mereka belang terutama kaki, dada dan tangan penuh dengan bercak putih. Sementara tepat di tengah dahi mereka, bercak tersebut terpampang nyaris

5

membentuk segitiga. Masyarakat Bentong menyebut mereka To Balo yang dalam artinya adalah manusia belang atau orang belang.

(sumber: http://reichas_celebes.blogspot.com)

Beberapa versi cerita menceritakan asal-usul dari To Balo, salah satunya cerita yang berkembang adalah bahwa kelainan yang diidap suku To Balo bukanlah penyakit melainkan pembawaan gen. Namun, masyarakat setempat meyakininya sebagai kutukan dewa. Alkisah suatu hari, ada satu keluarga yang menyaksikan sepasang kuda belang jantan dan betina yang hendak kawin. Bukan hanya menonton, keluarga itu juga menegur dan mengusik kelakuan kedua kuda

6

itu. Maka marahlah dewa lantas mengutuk keluarga ini berkulit seperti kuda belang atau balo. Ada pula kisah versi lain. Masyarakat Bentong khususnya To Balo mempercayai manusia dan kuda turun bersama dari langit saat pertama bumi diciptakan. Artinya, kuda dan manusia memiliki garis keturunan, sehingga orang-orang yang percaya dengan cerita ini otomatis akan berkulit belang.

Ada pula yang mempercayai bahwa belang yang terdapat pada sekujur tubuh To Balo merupakan efek dari kesaktian yang mereka miliki, diakui bahwa To Balo kebal terhadap panas bahkan senjata tajam. Mereka memperoleh kesaktian itu dari jimat yang mereka miliki, dengan resiko menyimpang jimat itu akan menimbulkan belang di tubuh mereka.

Perbedaan itu rupanya membuat mereka mengasingkan diri dari kumpulan sosial sehingga tak pernah membangun koloni di daerah yang ramai. Konon, sikap tersebut sudah mereka lakukan sejak berabad silam saat Kerajaan Bugis masih jaya. Namun, oleh raja-raja zaman dahulu, kelainan tersebut sempat dianggap tanda kepemilikan kesaktian yang membuat mereka sering dipilih menjadi pengawal raja. Di tengah hiruk pikuk kemajuan zaman, kaum To Balo seakan tenggelam ditelan kesunyian pelosok tempat tinggal mereka. Populasi ini kini tinggal segelintir.

Adalah keluarga Nuru bin Rien. Bersama satu istri, dua anaknya Rakdak dan Mantang, serta beberapa anggota keluarga, dia membangun sebuah gubuk di sebuah sudut Pegunungan Bulu Pao. Di petak sempit inilah, kehidupan Nuru sekeluarga terkotak. Mereka bercengkrama, memasak, bercocok tanam ubi,

7

jagung, dan kacang, serta mengolah gula merah. Tapi sesekali mereka turun gunung juga untuk menjual hasil bercocok tanam serta gula merah ke Pasar Kamboti, Desa Bulo-Bulo. Dari pekerjaan ini, mereka menerima upah yang tidak seberapa.

(sumber: http://kabarkami.com/index.php/visit-south-sulawesi)

Kaum To Balo bisa keluar dari masalah kulit ini jika mereka menikah dengan orang lain yang punya gen kulit normal. Selama ini kebanyakan mereka kawin antar mereka saja. Padahal terbukti, jika ada kaum To Balo yang kawin dengan orang normal, tidak semua keturunan mereka akan berkulit belang (Longi,2003:15). Perlu ada penyuluh yang menyambangi mereka ke dusun terpencil itu untuk menjelaskan keadaan sebenarnya. Agar mereka segera keluar dari keterkungkungan yang disebabkan perasaan berbeda dari manusia lain.

8

B. Mitos dan Kematian Berbicara tentang mitos kematian yang sejatinya melibatkan sebuah komunitas kepercayaan pada mitos tersebut. Ada beberapa suku yang memiliki cerita mitos tentang kematian, sebut saja misalnya suku Zulu yang ada di Afrika, seperti kutipan yang diceritakan dalam buku Menguak Misteri kematian (Sajvaputta, 1999:1-2); Pada awalnya Tuhan Pencipta yang dikenal sebagai Unkulunkulu sepakat untuk menganugerahi manusia dengan kekekalan (immortality). Kemudian diutus-Nyalah seekor bunglon untuk mengabarkan berita ini kepada manusia: bahwa manusia tidak akan mengenal segala bentuk penderitaan: penyakit, ketuaan, dan kematian. Mereka akan hidup dalam kebahagiaan yang abadi. Bunglon itu berjalan sangat lamban, dan sering berhenti untuk mencari makanan sehingga berita ini belum juga sampai ke manusia. Entah karena alasan apa, Unkulunkulu kemudian berganti pikiran. Diutus Nyalah seekor kadal untuk mengabarkan kepada manusia bahwa mereka akan mengalami kematian. Walaupun berangkat belakangan, kadal ini sampai ke tempat tujuan lebih dahulu. Berita tentang kematian diterima dengan pasrah oleh manusia. Bunglon yang lamban akhirnya sampai juga, namun beritanya (tentang kekekalan) yang bertolak-belakang dengan apa yang disampaikan oleh kadal tidak diper cayai oleh manusia. Sejak saat itulah, manusia mengalami kematian. Kegagalan manusia dalam menikmati kehidupan yang kekal bukanlah disebabkan oleh kesalahan manusia itu sendiri, melainkan semata-mata karena kelalaian seekor binatang yang menyampaikan berita Tuhan. Lain halnya mitos yang berkembang pada suku Gudji dan Darasa yang juga berasal dari Afrika; Pada awalnya tidak ada satu makhluk pun yang mengalami kematian. Semuanya hidup dalam kekekalan. Kemudian pada suatu hari timbullah kemelitan (curiosity) dalam benak Tuhan untuk menguji siapakah gerangan yang lebih patut menikmati kekekalan, laki-laki ataukah ular. Sang Pencipta selanjutnya mengadakan perlombaan di antara kedua makhluk itu. Di tengah lomba balap ini, laki-laki bertemu dengan wanita. Karena terpikat oleh kecantikannya, ia berhenti untuk bercakap-cakap. Sedemikian lama percakapan ini berlangsung sehingga ia tertinggal jauh dan si ular sampai lebih duluan. Tuhan kemudian berkata kepada laki-laki: Kamu telah terkalahkan. Ular ternyata lebih berharga daripada kamu.

9

Binatang ini akan Kuberkahi kehidupan yang kekal, sedangkan kamu akan mengalami kematian. Demikian pula semua keturunanmu. Mitos ini menempatkan wanita sebagai penggoda yang menghalangi upaya manusia dalam meraih kekekalan, suatu tema utama yang lazim terdapat dalam masyarakat yang kurang begitu menghargai harkat serta martabat kaum wanita. Sementara itu, ular dianggap memiliki kekekalan mungkin karena kemampuannya dalam berganti kulit [Jawa: mlungsungi], yang seolaholah dapat terus memperpanjang atau memperbaharui kehidupan. Padahal, dalam kenyataan yang dapat dibuktikan sekarang ini, ular pun sebenarnya tidak luput dari kematian (Sajvaputta, 1999:2). Adapun mitos yang ada pada To Balo adalah, bahwa siklus kehidupan dari anggota masyarakat mereka yang Balo (belang) tak bisa memiliki jumlah anggota keluarga lebih dari 9 orang. Ketika anggota masyarakat mereka bertambah atau lahir anggota keluarga yang baru (anggota keluarga yang ke-10), maka salah satu dari anggota keluarga mereka yang lain akan meninggal. Masyarakat To Balo ini tak akan pernah memiliki anggota keluarga lebih dari sembilan orang. Ketika jumlah anggota To Balo Sembilan orang, maka kelahiran akan dibarengi dengan kematian pada kehidupan mereka, asal muasal mitos ini berasal dari cerita yang menyebutkan bahwa kelainan yang dialami oleh To Balo akibat dari sumpah yang dilanggar. Diceritakan bahwa zaman kerajaan Tanete yang merupakan salah satu kerajaan yang berada di Sulawesi Selatan dimana pada saat itu Bulo-bulo merupakan bagian dari kerajaan Ternate sedang mengalami peperangan. Pada waktu itu, Datu Tanete meminta kepada Arung Bontotiro, memenuhi undangan Datu Tanete di Pancana. Pada waktu itu, datu Tanete meminta kepada Arung Bontotiro mengirim 30 orang pemberani dari Bulo-bulo untuk berperang melawan Belanda di Pulau Putianging.

10

Setibanya kembali di Bulo-bulo, Arung Bontotiro mengumpulkan pemberaninya. Salah seorang pemberani yang bernama I Pundeng berkeinginan memenuhi undangan Datu Tanete, namun kaerna usianya sudah lanjut, maka ia menunjuk anaknya yang bernama I Untung. Sang anakpun menyetujuinya tapi merasa tidak memiliki kemampuan seperti pemberani, untuk mengobati rasa ketidakpercayaan diri sang anak maka sang ayah menyanggupinya untuk memberikan bekal Pakkana To Burane. Dari 30 pemberani yang diminta Datu Tanete hanya Sembilan orang yang berangkat, termasuk I Untung. Sebelum mereka berangkat I Pundeng memberikan ilmu kebal, disamping nasehat dan petuah tentang apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak boleh dilanggar. I Pundeng berkata: Daeng Tulloi Kalepue siwanua Dewata mappuji Panaungan Te Maceccee Artinya: Bersatulah dalam kepergianmu Yang Maha Kuasa memujimu Seperti padi pengabdianmu (Geliat di Kampung Budaya. Longi, 2003:12) Iapun berpesan kepada Sembilan orang tersebut, bahwa apabila perang sudah selesai dan pulang ke Bulo-bulo, tidak diperbolehkan naik ke rumah panggung sebelum menyembelih seekor ayam. I Pundeng mengingatkan bahwa apabila pesan ini dilanggar, maka keturuan mereka akan berkulit belang. Setelah tiga tahun berperang membela

11

kerajaan Tanete, kesembilan orang tersebut langsung naik ke rumah panggung dan seketika itu kulit mereka berubah menjadi belang. Nurding Dg. Matutu (salah seorang tokoh masyarakat To Bentong) mengatakan bahwa To Balo yang berkulit belang jumlahnya tak lebih dari Sembilan orang (Longi, 2003:13). Hal ini senada juga seperti yang dikatakan Arifin Mangau seorang peneliti kesenian dari Universitas Negeri Makassar, mengatakan bahwa, sampai pada saat penelitian yang dilakukan pada tahun 2005 jumlah To Balo adalah 8 orang. Evi Cibong, salah seorang wartawan LPM Aspirasi FBS UNM pada saat mengadakan liputan pada tahun 2006 juga mengatakan bahwa sampai pada saat penelitian jumlah masyarakat To Balo adalah 8 orang, dan menurut wawancara yang dilakukan terhadap beberapa warga pada lokasi tersebut mengatakan jumlah To Balo tak pernah mencapai 10 orang.

C. Mitos Kelahiran Dibalas dengan Kematian Mitos tentang siklus kehidupan dari masyarakat To balo memberikan pengaruh terhadap kehidupan mereka, bagaimana paradigma berfikir mereka bahwasanya adalah masyarakat kutukan yang tak mungkin memiliki anggota keluarga lebih dari Sembilan orang. Mengapa To Balo bisa bertahan sampai sekarang? Tanpa ada saling menyingkirkan satu sama lain. Ada alasan kuat mengenai hal tersebut; bahwasanya jumlah To Balo tak pernah sampai pada angka Sembilan, seperti yang dikatakan peneliti-peniliti yang meneliti To Balo (Wawancara Arifin Mangngau dan Evi Cibong). Jumlah mereka pada saat menanti kelahiran tidak

12

pada angka Sembilan, hal ini tentunya tidak menimbulkan ketakutan ataupun kecemasan pada To Balo lainnya. Alasan lainnya, bahwa To Balo dalam menanggapi kematian, mereka menanggapinya secara alamiah, dalam artian mereka tak pernah mempersoalkan masalah tersebut sebagai suatu beban. Kehidupan dan kematian dalam masyarakat To Balo seperti halnya kehidupan masyarakat pada umumnya, mereka meninggal dengan keadaan wajar-wajar saja, seperti pengaruh umur, penyakit ataupun kecelakaan. Proses kelahiran anggota masyarakatnya pun juga seperti masyarakat pada umunya, proses kelahiran di hadapi dengan suka cita tanpa ada beban bahwa proses tersebut akan memakan tumbal. Siklus kehidupannya juga berjalan secara alamiah, ketika terjadi proses kelahiran maka terjadi juga proses kematian dan begitupun sebaliknya. Secara umum kehidupan dan kematian masyarakat To Balo pada dasarnya sama dengan proses kehidupan dan kematian masyarakat pada umumnya. Mitos adalah sebuah bentuk dan merupakan sebuah tipe wicara (Barthes,2010:295), mitos bisa berubah dan tergantikan dengan mitos yang lain berdasarkan dugaan dan saran dari masyarakat. Mitos siklus kehidupan yang yakini oleh masyarakat To Balo tentang jumlah keluarga mereka yang takkan pernah lebih dari Sembilan orang, kemudian diangkat ke sebuah cerita dengan perkembangan dugaan-dugaan yang menciptakan sebuah mitos baru yang menggantikan mitos sebelumnya tentang siklus kehidupan dari To balo sampai pada kesimpulan bahwa kelahiran dibalas dengan kematian.

13

Pembentukan mitos baru yang menggantikan mitos lama sebagai akibat dari adanya perkembangan dugaan dan saran. Perubahan dugaan dan saran ini di akibat oleh adanya faktor kecemasan. Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai (Freud,2006:431). Kecemasan berfungsi sebagai mekanisme yang melindungi ego karena kecemasan memberi sinyal kepada kita bahwa ada bahaya dan kalau tidak dilakukan tindakan yang tepat maka bahaya itu akan meningkat sampai ego dikalahkan. Proses kelahiran yang terus menerus terjadi yang diimbangi dengan proses kematian yang hanya stagnan pada maksimal angka Sembilan semakin lama terjadi akan menimbulkan sebuah kecemasan. Ketika anggota keluarga sudah berjumlah Sembilan orang dan kemudian salah satu anggota dari keluarga tersebut hamil maka akan menimbulkan sebuah kecemasan tentang kelanjutan siklus kehidupan mereka yang lain tak terkecuali ibu dan calon anak tersebut. Efek dari mitos tersebut bahwa ketika ada proses kelahiran maka akan terjadi proses kematian dan pastilah salah satu dari anggota keluarga yang Sembilan tadi pasti akan meninggal. Dari kecemasan tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah wacana baru bahwa proses kelahiran dari masyarakat ketika mereka berjumlah Sembilan orang pasti akan memakan tumbal kematian salah seorang dari mereka.

14

D. Ketika Kematian Ditentukan oleh Manusia? Kematian adalah suatu tragedi kehidupan yang paling mengenaskan bagi umat manusia. Diperkirakan, dalam tiap-tiap hari ada sekitar dua ratus ribu orang yang mati di dunia ini (Sajvaputta, 1999:6). Kematian tidak hanya mencengkeram mereka yang lanjut usia. Bahkan bayi yang belum lahir pun, yang masih dalam kandungan ibunya, tidak luput dari sorotannya. Kematian tidak pernah pandang bulu; tua muda, besar kecil, kaya miskin, kuasa lemah, mulia hina, pandai bodoh, terpandang ternista. Karena sedemikian kuat hasrat hidup, kecintaan serta kemelekatan pada kehidupan dan karena naluri perjuangan untuk mempertahankan kehidupan (struggle for survival), sebagaimana makhluk makhluk hidup lainnya. Manusia tidak pernah menyerah pasrah pada kenyataan hidup yang pahit ini. Segala cara dipakai; segala terobosan dicoba; segala upaya dilakukan untuk mengatasi kematian. Keadaan Tanpa Kematian (Deathless) sesungguhnya adalah Kekekalan (Immortality) itu sendiri, yang menjadi tujuan akhir bagi semua makhluk. Naskah drama merupakan penuangan dari ide cerita ke dalam alur cerita dan susunan lakon (Anirun, 1998:51). Berdasarkan ide awal dari tulisan di atas, maka penulis membuat sebuah cerita baru yang didasarkan pengetahuan empiric dengan melihat dan merasakan kondisi dan situasi masyarakat sekarang. Masyarakat sekarang ketika dihadapkan dengan tentang proses kematian banyak diantara mereka yang kemudian merasa takut untuk melewati hal seperti itu.

15

Kematian adalah bagian dari sebuah proses kehidupan yang setiap individu akan melewatinya. Ketakutan manusia sekarang terhadap kematian bersumber pada dua hal. Yang pertama, karena manusia terlanjur mencintai dunia sehingga mereka begitu takut untuk meninggalkannya. Manusia juga terlanjur memiliki sesuatu yang begitu mereka cintai sehingga membuat mereka begitu takut kehilangan semuanya. Sedangkan yang kedua adalah, manusia takut mati karena kekhawatiran mereka tentang kebenaran berita-berita yang bersumber dari kepercayaannya, tentang siksa terhadap dosa yang akan ditimpakan kepada mereka akan menjadi kenyataan (Hartono,2010). Sebagaimana pandangan Durkheim tentang hakikat manusia, yang sering disebut dengan homo duplex (Ritzer, 2004:109). Menurut Durkheim didalam diri manusia terdapat dua hakikat. Yang pertama didasarkan pada individualis tubuh manusia yang terisolasi dan kedua adalah hakikat manusia sebagai mahluk sosial. Dua hakikat ini hadir dalam ide tubuh dan pikiran, sebagaimana kutipan Durkheim berikut: Jadi bukan tanpa alasan kalau manusia merasakan dirinya menjadi ganda: dia memang ganda. Dalam dirinya ada dua kelas kesadaran yang berbeda satu sama lain dalam hal asal dan hakikatnya, dan dalam tujuan akhir yang ingin dicapai keduanya. Kelas pertama selalu mengespresikan organisme kita dan objek-objek yang terkait dengannya. Karena bersifat sangat individual, kesadaran dari kelas ini hanya menghubungkan kita dengan diri kita sendiri, dan kita tidak bisa melepaskan mereka dari kita sebagaimana halnya kita tidak bisa lepas dari tubuh kita sendiri. Kesadaran dari kelas kedua, sebaliknya, datang dari kita sebagai masyarakat; dia mengirim masyarakat ke dalam diri kita dan menghubungkan diri kita dengan sesuatu yang melebihi kita. Karena bersifat kolektif, impresional, kesadaran ini mengarahkan kita kepada tujuan yang ingin kita capai

16

bersama orang lain; hanya melalui kesadaran inilah kita dapat mungkin berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, sebenarnya hakikat kita terbagi jadi dua bagian, dan layaknya dua mahluk berbeda, yang meskipun terkait erat satu sama lain, namun terdiri dari unsur yang berbeda dan mengarahkan kita menuju arah yang berlawanan. (Dalam Ritz, 2004:110) Dari kupasan Reitz kemudian mengatakan bahwa dua diri tersebut selalu berada dalan ketegangan, tetapi juga saling berhubungan. Pengertian manusia tentang individualitas berkembang sebagaimana berkembangnya masyarakat. Maka dalam masyarakat menurut Durkheim, homo duplex mepresentasikan perbedaan antara mengejar ego dan hasrat individual dengan kesiapan untuk mengorbangkan mereka atas nama individualitas yang dipercaya bahwa semua manusia memiliki keadaan yang sama (Ritz, 2004:110). Kenyataan bahwa kurangnya nilai moral, menyebabkan kemungkinan individu menjadi sebuah pribadi yang egois dalam sebuah kolektif masyarakat. Seperti misalnya beberapa pristiwa bunuh diri yang diteliti oleh Durkheim, yang mengambil kesimpulan bahwa individu yang melakukan bunuh diri bukan mutlak berasal dari dorongan diri sendiri melainkan dari lingkungan sekitar yang kita sebut sebagai masyarakat atau arus sosial. Contoh egoisme individu dalam sebuah arus sosial tadi ini diterapkan penulis dalam menggerakkan alur cerita. Dari ide awal yang ditemukan penulis tentang sebuah kematian. Dari proses kelahiran akan mematok frame pemikiran tiap-tiap individu tentang kelahiran dan kematian. Hal ini menyebabkan sebagian dari mereka berfikir dan meyakini, bahwa kelahiran dalam lingkungan internal

17

masyarakat mereka yang telah ada pada angka Sembilan akan menyebabkan kematian. Dan tentu saja hal itu bisa dicegah dengan mengorbankan salah satu dari mereka agar jumlah mereka tidak lebih dari Sembilan orang. Setelah menentukan ide dan penggerak cerita, langkah berikutnya yang dilakukan oleh penulis adalah dengan menentukan setting waktu. Setting yang saya gunakan berlatarkan budaya Suku Bentong yang bertempat di desa Bulo-bulo dimana pada suku tersebut terdapat To Balo dengan mitos Sembilan-nya. Selanjutnya adalah dengan membentuk setting masalah. Dalam hal ini adalah tentang kematian, kematian yang cobah ditentukan oleh manusia. Untuk memunculkan konflik maka penulis menciptakan Tokoh Wanita yang sedang hamil pada cerita tersebut, dimana anggota masyarakatnya sendiri sudah dalam keadaan yang maksimal berdasarkan mitos yaitu Sembilan orang. Adapun kejelasannya adalah sebagai berikut: a. Judul dan Tema. Assera, adalah judul yang diplih oleh penulis. Tema yang diangkat dalam karya ini adalah Cara pandang masyarakat terhadap sebuah mitos (Sembilan) yang merubah paradigma mereka tentang sebuah siklus kehidupan, dimana mereka beranggapan bahwa kematian bisa saja ditentukan oleh mereka. b. Konsep Perancangan. Tipe lakon yang digunakan dalam pertunjukan ini adalah komedi dengan bentuk teater realis yaitu, berusaha agar penonton memperoleh ilusi kebenaran di atas pentas, ilalah imitasi alam, rumah, interior rumah, watak orang, tingkah laku orang dan

18

kehidupan sehari-hari yang serba ragam itu sedekat mungkin dengan kenyataannya (Anirun, 2002:75). a. Tata Panggung. Menampilkan setting masyarakat To Balo dimana desain interior rumahnya sama dengan rumah pada masyarakat Bentong. b. Tata Lampu. Lampu yang digunakan adalah lampu jenis par yang memberikan suasana latar dan suasana yang terdapat pada adeganadegan dalam naskah. c. Tata Kostum. Kostum tokoh masyarakat Bentong yang digunakan dalam keseharian hidupnya. d. Tata Rias. Menggunakan rias watak dan rias usia. Rias watak digunakan untuk menggambarkan watak tiap tokoh. Rias usia digunakan untuk menggambarkan umur yang sesuai dengan umur tokoh. e. Tokoh. Tokoh dalam pertunjukan ini berjumlah 9 orang, yang digambarkan sebagai berikut: 1) Rakdak Berusia 28 tahun, Seorang suami yang tidak lama lagi akan seorang menjadi ayah, suami yang sangat mencintai isterinya, anak yang sangat mencintai bapaknya, rasa kecintaan yang luar biasa inilah yang membuat dia begitu takut kehilangan orangorang terdekatnya.

19

2) Nuru, isteri Rakdak Berusia 24 tahun, Seorang isteri yang dalam kondisi hamil yang tak lama lagi akan melahirkan. Sebagaimana umumnya wanita yang sangat mendambakan seorang anak Nuru pun rela melakukan apa saja untuk kelahiran anaknya. 3) Jaru, bapak Rakdak Digambarkan sebagai laki-laki lanjut usia , yang terbaring kaku karena sakit. Seorang yang sangat ikhlas memandang kematian sebagai suatu proses yang memang harus dilewati dalam kehidupan. Diapun kemudian meninggal dunia dengan

meninggalkan Rakdak dengan segala kekhawatiran tentang kematian. 4) Mantang, adik Nuru Pemuda 23 tahun yang sedang dilanda asmara. Bermaksud berkunjung kerumah Rakdak untuk mengabarkan kehendaknya meminang kekasihnya Pammase sekaligus mencari tahu kabar dari Nuru adiknya, karena sudah lama Nuru tak pernah berkunjung lagi ke tempatnya. Sosok yang begitu mencintai kekasihnya, 5) Rannu Perempuan berusia 29 tahun, Isteri dari Kama. Mereka baru saja dikaruniai seorang anak.

20

6) Kama Berusia 33 tahun suami dari Rannu 7) Pundeng Suami Nanna. Sepasang suami isteri, yang tak kunjung dikaruniai anak. 8) Nanna Isteri Pundeng. Sepasang suami isteri, yang tak kunjung dikaruniai anak. 9) Pammase, kekasih Mantang Wanita muda yang bersekongkol dengan Mantang agar berbalik menyingkirkan Rakdak dan Nuru.

SINOPSIS CERITA Adalah Rakdak seorang suami pada sebuah masyarakat yang tak bisa memiliki anggota masayarakat lebih dari Sembilan orang. Rakdak yang selama kecilnya ditinggal mati oleh ibunya ketika dia dilahirkan. Peristiwa ini pulah lah yang membuatnya takut untuk kembali ditinggalkan oleh orang-orang yang dicintainya, Ayahnya Jaru dan isterinya Nuru. Kehidupan mereka bersama dengan masyarakat lainnya yang dalam siklus kehidupan Sembilan hidup dengan tentram damai tanpa ada kekerasan didalamnya. Hal ini tiba-tiba berubah seketika dengan adanya peristiwa kelahiran anak dari Rannu yang dibarengi dengan kematian Jaru ayah Rakdak. Ketakutan tiap individu beralasan, karena jumlah mereka ada pada jumlah Sembilan ketika kejadian itu terjadi, ditambah lagi dengan kehamilan Nuru isteri Rakdak yang masih belum melahirkan.

21

Rakdak yang sejatinya sudah kehilangan Ibu pada saat dia dilahirkan, kematian ayahnya Jaru ketika Rannu melahirkan, menimbulkan ketakutan yang sangat luar biasa. Dilemapun terjadi pada dirinya sendiri ketika dia mendapati kenyataan bahwa Isterinya Nuru dalam keadaan hamil. Dilain pihak dia takut kehilangan isteri yang dicintainya, di lain pihak dia tak rela menggugurkan jabang bayinya. Bunuh diri adalah keputusan terakhir dari rakdak demi melangsungkan kehidupan orang-orang yang dicintainya. Tapi apakah Nuru rela untuk kehilangan suaminya? Tentu tidak, bersama mantang adik Nuru merekapun bersepakat untuk membunuh salah seorang dari komunitas mereka. Seorang untuk sebuah kelahiran. Hal ini dirasakan tak cukup bagi mereka, karena pada dasarnya peristiwa tersebut akan kembali berulang jikalau terjadi proses kehamilan lagi. Cara yang ditempuh untuk tetap memperpanjang kehidupan mereka tentunya membunuh semuanya di luar mereka bertiga. Kesepakatanpun disepakati, rencana dilaksanakan. Rakdak mendatangi keluarga Rannu dan membunuh 3 anggota keluarganya beserta bayi yang baru dilahirkan, Nuru membunuh sepasan suami Isteri Pundeng dan Nanna. Mantang sepakat untuk membunuh Pammase yang tak lain adalah kekasihnya sendiri. Setelah tugas masing-masing dilaksanakan tibalah waktu kembali mereka berkumpul, Rakdak dan Nuru telah kembali, sementara Mantang belum juga kelihatan batang hidungnya. Nuru pamit ke dalam rumah untuk membersihkan bekas darah ditangannya. Sewaktu Nuru masuk, muncullah Mantang. Tak habis pikir tiba-tiba Mantang membekap Rakdak dan mengancam akan membunuhnya.

22

Alasan Mantang melakukan hal tersebut, karena Pammase kekasihnya. Pammase yang sejogjanya di bunuh oleh Mantang ternyata tak dibunuh, bahkan ikut bersama Mantang ke rumah Rakdak. Keduanya mengancam akan membunuh Rakdak jika keduanya tak diberi izin untuk pergi jauh melarikan diri. Nuru menyepakatinya dan membujuk Rakdak untuk memakluminya. Sebelum pergi Nuru mempersilahkan mereka berdua untuk makan terlebih dahulu, makanan yang sebenarnya telah diberi racun dipiring mereka berdua, tak menunggu lama racun bereaksi dan menewaskan sepasang kekasih tersebut. Tinggallah Nuru dan Rakdak suaminya. Dipeluknya Rakdak oleh Nuru, dibalik tangannya Nuru menghunuskan pisau ke Rakdak sebagai wujud kekesalan atas meninggalnya bayi yang dikandungnya akibat perkelahian di rumah Pundeng dan Nanna, semua ini akibat desakan rakdak untuk membunuh salah seorang dari mereka.

23

III.

Penutup

A. Kesimpulan Adapun kesimpulan yang ada penulisan ini adalah tentang mitos yang kemudian menjadi ide cerita dengan mengusung ketika kematian ditentukan oleh manusia yang kemudian menjadi penggerak cerita ataupun tema dari cerita ini. Manusia dengan takdir adalah sesuatu yang takkan pernah bisa kita lepaskan, bagaimanapun kerasnya manusia menghalangi sebuah takdir, tapi apabila takdir berkehendak lain, takdir itu tetap akan terjadi.

B. Saran Penulis memberikan saran kepada pembaca untuk menjadikan budaya lokal sebagai sebuah harta kekayaan cipta seni yang sangat berharga.

24

Daftar Pustaka Anirun, Suyatna. 1998. Menjadi Aktor.Bandung: STSI PRESS Bandung. _____________. 2002. Menjadi Sutradara.Bandung: STSI PRESS Bandung. Barthes, Roland. 2010, Membedah Mitos-mitos Budaya Massa, alih bahasa Ikramullah Mahyudin. Jalasutra, Yogyakarta. Freud, Sigmund. 2006, Pengantar Umum Psikoanalis, alih bahasa Haris Setiowati. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hartono, Agus. (2010). Mengapa Kita Takut Mati. Haviland, William A. 1985.Antropologi Edisi Keempat Jilid 2. (alih bahasa) R.G. Soekadijo, Erlangga, Jakarta. Longi, Syarief. 2003. Geliat di Kampung Budaya, Yayasan LSM Sipurio, Barru. Ritzer, George dan Goodman, J Douglas. 2008. Teori Sosiologi, Kreasi Wacana, Yogyakarta. Sajvaputta, Jan. 1999. Menguak Misteri Kematian. LPD Publisher, Bangkok, Thailand.Strauss, Claude Lvi. 2009. Antropologi Stuktural, alih bahasa Ninik Rochani Sjams. Kreasi Wacana, Yogyakarta.

25