ketika antartika semakin memanas

1
KUANTUM ® KORAN JAKARTA 22 Senin 2 FEBRUARI 2009 S ebuah ekspedisi pelayaran Rusia yang dipimpin Mikhail Lazarev dan Fabian Gottlieb telah menemu- kan Antartika pada 1820. Nama Antartika diambil dari nama dewa-dewa Yunani kuno Antarktik yang ber- arti lawan dari Arktik. Di Bumi terdapat dua kutub yang berseberangan, yaitu Kutub Utara dan Kutub Selatan. Kutub Utara disebut Benua Arktik sedangkan Kutub Sela- tan dikenal sebagai Benua Antartika. Antartika merupakan daratan yang lebih dari 98 persen wilayahnya dilapisi es dengan ketebalan hingga 1,6 kilometer. Bentuknya digambarkan sebagai landas kontinen yang tertutup es. Sebaliknya, Arktik merupakan air laut yang membeku dan membentuk “pulau” serta gunung-gunung es. Oleh karena itu, bisa dipahami se- cara keseluruhan Benua Arktik, selain Greenland, adalah sebuah bongkahan es yang terapung-apung di laut. Hingga akhir abad ke-19, Antartika hampir tidak terjamah lagi. Suhu lingkungan yang ekstrem, minim- nya sumber daya, serta letak geografisnya yang terisolasi menjadikan Antartika seolah terlupakan. Jika temperatur global meningkat ekstrem, pulau-pulau terapung di Ark- tik akan mencair. Namun, peristiwa itu tidak akan banyak memengaruhi ketinggian permukaan air laut. Hal itu di- sebabkan pulau-pulau tersebut merupakan air laut yang membeku sehingga pencairan es di Arktik hanya meng- ubah wujudnya saja menjadi cair, tapi tidak memiliki efek signifikan menaikkan permukaan air laut. Peristiwa sebaliknya dapat terjadi saat gunung es mencair di Benua Antartika. Pencairan tersebut dapat memengaruhi ketinggian permukaan air laut. Volume to- tal dari gunung es di Benua Antartika cukup besar untuk menambah volume air laut. Kekhawatiran mencairnya Antartika sebenarnya perlu dianalisis kembali. Pasalnya, dengan suhu lingkungan yang demikian ekstrem – jauh di bawah titik nol derajat celcius – menjadikan es di wilayah itu sulit mencair. Suhu Ekstrem Pemanasan global yang terjadi pun ditengarai tidak akan akan mampu mencairkan es di Antartika karena temperaturnya akan tetap berada di bawah nol derajat celcius. Jika pemanasan global mengakibatkan tem- peratur di kutub dapat mendekati nol sehingga es mulai mencair, dipastikan semua manusia di Bumi akan mati akibat heat stroke sebelum berdampak pada kenaikan permukaan air laut. Kontradiksi atas tenggelamnya Bumi akibat kenaikan permukaan air dapat saja terjadi. Peningkatan tempera- tur di Kutub Selatan menyebabkan air laut di sekitarnya menguap. Embusan angin membawa uap itu ke Kutub Selatan yang akhirnya jatuh dan membeku di daratan Antartika. Jika proses itu berlangsung terus, sejumlah air di sekitar es pindah dari laut ke daratan Antartika se- hingga terjadi penurunan permukaan air laut. Jika pemanasan global berefek terhadap pencairan es di Artik dan penguapan air laut di sekitar Antartika sehingga permukaannya turun, tentunya efek yang sama dapat terjadi pada seluruh benda cair yang eksis di muka Bumi. Dari kasus itu bisa terlihat bahwa kondisinya tidak sesederhana yang diduga sebagian kalangan bahwa jika Bumi memanas, terjadi pencairan es yang akibatnya permukaan air laut ikut naik. Di Bumi, banyak terdapat es dan salju abadi seperti di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua; Pegunungan Himalaya, India; dan beberapa pegunungan tinggi di Eropa. Pada akhir abad ke-20 ada indikasi salju atau es tersebut men- cair. Jika pemanasan global berlanjut, boleh jadi seluruh es tersebut akan mencair. Bongkahan es di Greenland pun dapat menaikkan permukaan air laut jika mencair. Inter-governmental Panel for Climate Change (IPCC) memperkirakan akan terjadi kenaikan permukaan air laut sampai 29 senti- meter pada 2030 dan pada 2070 menjadi 71 sentimeter. Pada akhir abad ke-21 diperkirakan kenaikannya menca- pai hampir satu meter. berbagai sumber/hag/L-2 “Dinginnya” Kehidupan di Benua Beku Ketika Antartika Semakin Memanas B eberapa ilmuwan dari University of Washington, Amerika Serikat, belum lama ini memublikasikan bukti konkret yang mampu memprediksi pengaruh pemanasan global terha- dap seluruh wilayah Antartika. Akibat efek rumah kaca (greenhouse effect), temperatur udara Benua Antartika yang bagaikan sebuah rumah dari bekuan es raksasa semakin memanas. Kenaikan suhu udara di wilayah ter- dingin di muka Bumi itu telah terjadi sejak setengah abad lalu. Peningkatan suhu akan mencair- kan es di wilayah “putih” itu dan secara signifikan dapat menenggelamkan banyak kawasan pesisir dan wilayah muara sungai. Antartika yang memiliki luas wilayah lebih besar daripada be- nua Australia itu memiliki persediaan es yang cukup untuk meningkatkan level laut setinggi 57 meter (185 kaki). Pengamatan terdahulu menunjuk- kan semenanjung Antartika merupa- kan titik utama terjadinya penurunan ribuan gletser sejak awal dekade ini. Namun hingga kini, berita yang beredar sering kali memberikan acuan berbeda dengan mengatakan bahwa suhu di Antartika justru mendingin. Argumen tersebut mengabaikan kehancuran dua lapisan es raksasa di belahan barat Antartika. Walaupun begitu, banyak ahli berpegang teguh pada pendirian me- reka bahwa lempengan es yang begitu tebal di Antartika telah menipis dan perlahan-lahan mencair. Hal itu ter- jadi sebagai akibat dari adanya lubang ozon di Kutub Utara. Lubang ozon tersebut sebagai efek dari musim yang tidak menentu. Berdasarkan studi terbaru dike- tahui Antartika Barat telah memanas sekitar 0,17 derajat celcius per dekade sejak 50 tahun yang lalu. Kondisi tersebut melebihi pemanasan yang terjadi di semenanjung Antartika yang rata-rata mengalami peningkatan se- besar 0,11 derajat celcius per dekade. Jika Antartika Barat mengalami pe- manasan, di wilayah Antartika Timur justru terjadi gejala pendinginan. Na- mun, sebenarnya gejala tersebut hanya terjadi ketika musim gugur. Adapun periode pendingian terkuat terjadi an- tara tahun 1970 hingga 2000. Peristiwa pendinginan itu pun lebih disebabkan oleh lubang ozon yang menciptakan suhu sangat dingin, tapi pada lain waktu memunculkan suhu yang panas. Secara keseluruhan dan apabila dikalkulasikan dalam jangka waktu 50 tahun, Antartika Timur juga meng- alami pemanasan global dengan rata-rata peningkatan suhunya men- capai 0,1 derajat celcius per dekade. “Pendapat yang mengatakan bahwa Antartika Timur mengalami pendi- nginan sebenarnya berdasarkan pada kejadian dalam kurun waktu antara tahun 1970-2000. Yang terjadi selan- jutnya adalah pemanasan. Walaupun kami tidak memiliki banyak data untuk beberapa periode terakhir, yang terjadi pada periode 1970-an jelas adalah pemanasan,” ujar Eric Steig, Profesor Ilmu Bumi dan Angkasa dari Univer- sity of Washington, seperti dikutip AFP. Meningkat 0,12 Derajat Steig menambahkan apabila semua data digabungkan, rata-rata peningkatan temperatur di Antar- tika berkisar 0,12 derajat celcius per dekade. Hasil penelitian itu berdasar- kan pada observasi selama 25 tahun dengan menggunakan satelit yang mengukur intensitas cahaya inframe- rah yang teradiasi oleh sekumpulan es. Penelitian itu juga disokong oleh data dari stasiun cuaca otomatis yang menyebar di sekitar pantai Antartika sejak 1957. Sayangnya, data tersebut tidak memberikan estimasi sama sekali ten- tang pencairan es atau prediksi stabili- tas lapisan es. Jurnal hasil penelitian wilayah Antartika hanya menyebutkan pemanasan global secara logika dapat menjelaskan peningkatan temperatur di Antartika. Dengan adanya temuan itu, kata Steig, seharusnya tidak perlu membuat siapa pun cemas melebihi sebelumnya. Namun yang patut digarisbawahi, penelitian itu telah mematikan argumen dari beberapa orang bahwa Antartika mengalami pendinginan. “Ozon dapat saja terhapuskan pada pertengahan abad ini. Dan apabila itu yang terjadi, seluruh Antartika akan memanas sama seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia,” ujar Steig memperingatkan. Lapisan es pada Antartika Barat memiliki cukup kan- dungan air untuk meningkatkan tinggi permukaan lautan di seluruh dunia hingga mencapai enam meter (19,5 kaki), sehingga seluruh lautan memi- liki ketinggian rata-rata 1.800 meter (6.000 kaki). Sedangkan lapisan es di Antartika Timur terpisahkan oleh rangkaian gunung dari Antartika Barat. Lapisan es itu memiliki rata-rata ketinggian sekitar 3.000 meter atau 10.000 kaki yang membuatnya menjadi lapisan es terbesar dan terdingin di dunia. Jika seluruh lapisan itu meleleh, jutaan pantai di Bumi akan tenggelam hingga ketinggian 50 meter (165 kaki). Apabila dianalisis secara geografis, wilayah Antartika terbagi atas dua bagian besar, yaitu Antartika Barat dan Antartika Timur. Tinggi es di Antartika Timur berkisar empat kilometer dan lebih stabil daripada es di wilayah barat yang cenderung dinamis. Di te- ngah kedua wilayah tersebut terdapat Landas Kontinen Ross. Di antara Lan- das Kontinen Ross dan Antartika Barat terdapat rangkaian es yang bergerak 10 meter setiap bulannya. Rangkaian es tersebut bergerak layaknya sungai dan mengisi Landas Kontinen Ross. Landas Kontinen Ross sebenarnya berupa pulau yang mengapung di atas air, sedangkan wilayah kontinental seperti Antartika Barat dan Timur berada di atas pulau sehingga terdapat perbedaan signifikan pada kedua wi- layah tersebut. Pada Landas Kontinen Ross terdapat ratusan meter es yang mengapung. Hal yang patut dicatat, jika seluruh lapisan es Antartika mencair akan sangat memengaruhi peningkatan volume air laut di Bumi sebanyak 70 meter. Kondisi tersebut tentu saja mengkhawatirkan karena peningkatan volume air beberapa meter saja bisa berefek sangat besar pada wilayah pantai. Kekhawatiran utama sesung- guhnya terletak pada mencairnya es di Landas Kontinen Ross akibat pema- nasan global. Apabila dianalogikan dengan hu- kum Archimedes, saat es dimasukkan ke dalam segelas air, es tersebut akan mengapung dan tidak berpengaruh sig- nifikan terhadap peningkatan volume air dalam gelas tersebut. Namun jika jumlah es terus ditambah, keseluruhan es akan tenggelam dan meningkatkan volume air dalam gelas sehingga air tersebut meluap. Logika dasar itulah yang menjadi kunci utama ketakutan para ahli atas pemanasan global. Pada 20.000 tahun yang lalu, kete- balan lapisan es di Landas Kontinen Ross lima kali lebih tebal dari kondisi sekarang. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu terjadi pecahan dari Landas Kontinen Ross dan mencip- takan gumpalan es yang terapung. Penyebab pastinya kurang diketahui apakah merupakan peristiwa alamiah atau memang karena pemanasan global. Pada 2002, di ujung utara Antartika terdapat Landas Kontinen Larsen yang retak dan memberikan efek domino pada keseluruhan wila- yah tersebut. Seluruh retakan lapisan es tersebut hanya terjadi dalam waktu kurang dari satu bulan. Di ujung paling barat Antartika terdapat lapisan es Amundsen yang telah mencair dalam jumlah besar. Permukaan es tersebut semakin ren- dah selama satu dekade ini. Apabila lapisan itu mencair seluruhnya yang menyerupai pencairan landas kon- tinen, yang perlu dikhawatirkan adalah tenggelamnya Pulau Florida, AS, dan beberapa kepulauan lain di sekitarnya. Satu hal yang juga perlu diperha- tikan adalah meletusnya rangkaian gunung yang membatasi Antartika Ba- rat dan Antartika Timur. Seperti jamak diketahui, Antartika Barat dulunya terpisah dari Antartika Timur. Karena jarak yang saling berdekatan kedua wi- layah tersebut bertabrakan satu sama lain dan menimbulkan Pegunungan Transantarctic. Kekhawatiran utama merujuk pada kejadian erosi akibat pemanasan global yang menimpa pe- gunungan tersebut. Pengikisan yang terus-menerus dapat mengakibatkan meletusnya pe- gunungan tersebut sehingga merun- tuhkan gletser-gletser terbesar di dunia yang ada di sekitarnya. Padahal, gletser dengan volume satu kilometer kubik es itu mengaliri Landas Kontinen Ross sepanjang tahunnya. Bagaikan efek domino, pecahnya gletser cepat atau lambat akan merusak Landas Kontinen Ross. berbagai sumber/hag/L-2 Sejak setengah abad silam, suhu di Benua Antartika semakin memanas. Wilayah yang 98 persennya tertutupi es itu kini terancam mencair yang secara signifikan bisa menenggelamkan kawasan pantai di dunia. « Banyak ahli berpegang teguh pada pendirian mereka bahwa lempengan es yang begitu tebal di Antartika telah menipis dan perlahan-lahan mencair. » REUTERS/ALISTER DOYLE REUTERS/SAMUEL BLANC FOTO-FOTO: REUTERS AFP

Upload: henry-agrahadi

Post on 13-Apr-2017

49 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

KUANTUM ®KORAN JAKARTA22 Senin2 FEBRUARI 2009

Sebuah ekspedisi pelayaran Rusia yang dipimpin Mikhail Lazarev dan Fabian Gottlieb telah menemu-kan Antartika pada 1820. Nama Antartika diambil

dari nama dewa-dewa Yunani kuno Antarktik yang ber-arti lawan dari Arktik. Di Bumi terdapat dua kutub yang berseberangan, yaitu Kutub Utara dan Kutub Selatan. Kutub Utara disebut Benua Arktik sedangkan Kutub Sela-tan dikenal sebagai Benua Antartika.

Antartika merupakan daratan yang lebih dari 98 persen wilayahnya dilapisi es dengan ketebalan hingga 1,6 kilometer. Bentuknya digambarkan sebagai landas kontinen yang tertutup es. Sebaliknya, Arktik merupakan air laut yang membeku dan membentuk “pulau” serta gunung-gunung es. Oleh karena itu, bisa dipahami se-cara keseluruhan Benua Arktik, selain Greenland, adalah sebuah bongkahan es yang terapung-apung di laut.

Hingga akhir abad ke-19, Antartika hampir tidak terjamah lagi. Suhu lingkungan yang ekstrem, minim-nya sumber daya, serta letak geografi snya yang terisolasi menjadikan Antartika seolah terlupakan. Jika temperatur global meningkat ekstrem, pulau-pulau terapung di Ark-tik akan mencair. Namun, peristiwa itu tidak akan banyak memengaruhi ketinggian permukaan air laut. Hal itu di-sebabkan pulau-pulau tersebut merupakan air laut yang membeku sehingga pencairan es di Arktik hanya meng-ubah wujudnya saja menjadi cair, tapi tidak memiliki efek signifi kan menaikkan permukaan air laut.

Peristiwa sebaliknya dapat terjadi saat gunung es mencair di Benua Antartika. Pencairan tersebut dapat memengaruhi ketinggian permukaan air laut. Volume to-tal dari gunung es di Benua Antartika cukup besar untuk menambah volume air laut. Kekhawatiran mencairnya Antartika sebenarnya perlu dianalisis kembali. Pasalnya, dengan suhu lingkungan yang demikian ekstrem – jauh di bawah titik nol derajat celcius – menjadikan es di wilayah itu sulit mencair.

Suhu EkstremPemanasan global yang terjadi pun ditengarai tidak

akan akan mampu mencairkan es di Antartika karena temperaturnya akan tetap berada di bawah nol derajat celcius. Jika pemanasan global mengakibatkan tem-peratur di kutub dapat mendekati nol sehingga es mulai mencair, dipastikan semua manusia di Bumi akan mati akibat heat stroke sebelum berdampak pada kenaikan permukaan air laut.

Kontradiksi atas tenggelamnya Bumi akibat kenaikan permukaan air dapat saja terjadi. Peningkatan tempera-tur di Kutub Selatan menyebabkan air laut di sekitarnya menguap. Embusan angin membawa uap itu ke Kutub Selatan yang akhirnya jatuh dan membeku di daratan Antartika. Jika proses itu berlangsung terus, sejumlah air di sekitar es pindah dari laut ke daratan Antartika se-hingga terjadi penurunan permukaan air laut.

Jika pemanasan global berefek terhadap pencairan es di Artik dan penguapan air laut di sekitar Antartika sehingga permukaannya turun, tentunya efek yang sama dapat terjadi pada seluruh benda cair yang eksis di muka Bumi. Dari kasus itu bisa terlihat bahwa kondisinya tidak sesederhana yang diduga sebagian kalangan bahwa jika Bumi memanas, terjadi pencairan es yang akibatnya permukaan air laut ikut naik.

Di Bumi, banyak terdapat es dan salju abadi seperti di Pegunungan Jaya Wijaya, Papua; Pegunungan Himalaya, India; dan beberapa pegunungan tinggi di Eropa. Pada akhir abad ke-20 ada indikasi salju atau es tersebut men-cair. Jika pemanasan global berlanjut, boleh jadi seluruh es tersebut akan mencair.

Bongkahan es di Greenland pun dapat menaikkan permukaan air laut jika mencair. Inter-governmental Panel for Climate Change (IPCC) memperkirakan akan terjadi kenaikan permukaan air laut sampai 29 senti-meter pada 2030 dan pada 2070 menjadi 71 sentimeter. Pada akhir abad ke-21 diperkirakan kenaikannya menca-pai hampir satu meter. � berbagai sumber/hag/L-2

“Dinginnya” Kehidupandi Benua Beku

Ketika Antartika Semakin Memanas

Beberapa ilmuwan dari University of Washington, Amerika Serikat, belum lama ini memublikasikan bukti

konkret yang mampu memprediksi pengaruh pemanasan global terha-dap seluruh wilayah Antartika. Akibat efek rumah kaca (greenhouse eff ect), temperatur udara Benua Antartika yang bagaikan sebuah rumah dari bekuan es raksasa semakin memanas. Kenaikan suhu udara di wilayah ter-dingin di muka Bumi itu telah terjadi sejak setengah abad lalu.

Peningkatan suhu akan mencair-kan es di wilayah “putih” itu dan secara signifi kan dapat menenggelamkan banyak kawasan pesisir dan wilayah muara sungai. Antartika yang memiliki luas wilayah lebih besar daripada be-nua Australia itu memiliki persediaan es yang cukup untuk meningkatkan level laut setinggi 57 meter (185 kaki).

Pengamatan terdahulu menunjuk-kan semenanjung Antartika merupa-kan titik utama terjadinya penurunan ribuan gletser sejak awal dekade ini. Namun hingga kini, berita yang beredar sering kali memberikan acuan berbeda dengan mengatakan bahwa suhu di Antartika justru mendingin. Argumen tersebut mengabaikan kehancuran dua lapisan es raksasa di belahan barat Antartika.

Walaupun begitu, banyak ahli berpegang teguh pada pendirian me-reka bahwa lempengan es yang begitu tebal di Antartika telah menipis dan perlahan-lahan mencair. Hal itu ter-jadi sebagai akibat dari adanya lubang ozon di Kutub Utara. Lubang ozon tersebut sebagai efek dari musim yang tidak menentu.

Berdasarkan studi terbaru dike-tahui Antartika Barat telah memanas sekitar 0,17 derajat celcius per dekade sejak 50 tahun yang lalu. Kondisi tersebut melebihi pemanasan yang terjadi di semenanjung Antartika yang rata-rata mengalami peningkatan se-besar 0,11 derajat celcius per dekade.

Jika Antartika Barat mengalami pe-manasan, di wilayah Antartika Timur justru terjadi gejala pendinginan. Na-mun, sebenarnya gejala tersebut hanya terjadi ketika musim gugur. Adapun periode pendingian terkuat terjadi an-tara tahun 1970 hingga 2000. Peristiwa pendinginan itu pun lebih disebabkan oleh lubang ozon yang menciptakan suhu sangat dingin, tapi pada lain waktu memunculkan suhu yang panas.

Secara keseluruhan dan apabila dikalkulasikan dalam jangka waktu 50 tahun, Antartika Timur juga meng-alami pemanasan global dengan rata-rata peningkatan suhunya men-capai 0,1 derajat celcius per dekade. “Pendapat yang mengatakan bahwa

Antartika Timur mengalami pendi-nginan sebenarnya berdasarkan pada kejadian dalam kurun waktu antara tahun 1970-2000. Yang terjadi selan-jutnya adalah pemanasan. Walaupun kami tidak memiliki banyak data untuk beberapa periode terakhir, yang terjadi pada periode 1970-an jelas adalah pemanasan,” ujar Eric Steig, Profesor Ilmu Bumi dan Angkasa dari Univer-sity of Washington, seperti dikutip AFP.

Meningkat 0,12 Derajat Steig menambahkan apabila

semua data digabungkan, rata-rata peningkatan temperatur di Antar-tika berkisar 0,12 derajat celcius per dekade. Hasil penelitian itu berdasar-kan pada observasi selama 25 tahun dengan menggunakan satelit yang mengukur intensitas cahaya inframe-rah yang teradiasi oleh sekumpulan es. Penelitian itu juga disokong oleh data dari stasiun cuaca otomatis yang menyebar di sekitar pantai Antartika sejak 1957.

Sayangnya, data tersebut tidak memberikan estimasi sama sekali ten-tang pencairan es atau prediksi stabili-tas lapisan es. Jurnal hasil penelitian wilayah Antartika hanya menyebutkan pemanasan global secara logika dapat menjelaskan peningkatan temperatur di Antartika. Dengan adanya temuan itu, kata Steig, seharusnya tidak perlu membuat siapa pun cemas melebihi sebelumnya. Namun yang patut digarisbawahi, penelitian itu telah

mematikan argumen dari beberapa orang bahwa Antartika mengalami pendinginan.

“Ozon dapat saja terhapuskan pada pertengahan abad ini. Dan apabila itu yang terjadi, seluruh Antartika akan memanas sama seperti yang terjadi di berbagai belahan dunia,” ujar Steig memperingatkan. Lapisan es pada Antartika Barat memiliki cukup kan-dungan air untuk meningkatkan tinggi permukaan lautan di seluruh dunia hingga mencapai enam meter (19,5 kaki), sehingga seluruh lautan memi-liki ketinggian rata-rata 1.800 meter (6.000 kaki).

Sedangkan lapisan es di Antartika Timur terpisahkan oleh rangkaian gunung dari Antartika Barat. Lapisan es itu memiliki rata-rata ketinggian sekitar 3.000 meter atau 10.000 kaki yang membuatnya menjadi lapisan es terbesar dan terdingin di dunia. Jika seluruh lapisan itu meleleh, jutaan pantai di Bumi akan tenggelam hingga ketinggian 50 meter (165 kaki).

Apabila dianalisis secara geografi s, wilayah Antartika terbagi atas dua bagian besar, yaitu Antartika Barat dan Antartika Timur. Tinggi es di Antartika Timur berkisar empat kilometer dan lebih stabil daripada es di wilayah barat yang cenderung dinamis. Di te-ngah kedua wilayah tersebut terdapat Landas Kontinen Ross. Di antara Lan-das Kontinen Ross dan Antartika Barat terdapat rangkaian es yang bergerak 10 meter setiap bulannya. Rangkaian

es tersebut bergerak layaknya sungai dan mengisi Landas Kontinen Ross.

Landas Kontinen Ross sebenarnya berupa pulau yang mengapung di atas air, sedangkan wilayah kontinental seperti Antartika Barat dan Timur berada di atas pulau sehingga terdapat perbedaan signifi kan pada kedua wi-layah tersebut. Pada Landas Kontinen Ross terdapat ratusan meter es yang mengapung.

Hal yang patut dicatat, jika seluruh lapisan es Antartika mencair akan sangat memengaruhi peningkatan volume air laut di Bumi sebanyak 70 meter. Kondisi tersebut tentu saja mengkhawatirkan karena peningkatan volume air beberapa meter saja bisa berefek sangat besar pada wilayah pantai. Kekhawatiran utama sesung-guhnya terletak pada mencairnya es di Landas Kontinen Ross akibat pema-nasan global.

Apabila dianalogikan dengan hu-kum Archimedes, saat es dimasukkan ke dalam segelas air, es tersebut akan mengapung dan tidak berpengaruh sig-nifi kan terhadap peningkatan volume air dalam gelas tersebut. Namun jika jumlah es terus ditambah, keseluruhan es akan tenggelam dan meningkatkan volume air dalam gelas sehingga air tersebut meluap. Logika dasar itulah yang menjadi kunci utama ketakutan para ahli atas pemanasan global.

Pada 20.000 tahun yang lalu, kete-balan lapisan es di Landas Kontinen Ross lima kali lebih tebal dari kondisi sekarang. Sebagai contoh, beberapa tahun yang lalu terjadi pecahan dari Landas Kontinen Ross dan mencip-takan gumpalan es yang terapung. Penyebab pastinya kurang diketahui apakah merupakan peristiwa alamiah atau memang karena pemanasan global. Pada 2002, di ujung utara Antartika terdapat Landas Kontinen Larsen yang retak dan memberikan efek domino pada keseluruhan wila-yah tersebut. Seluruh retakan lapisan es tersebut hanya terjadi dalam waktu kurang dari satu bulan.

Di ujung paling barat Antartika terdapat lapisan es Amundsen yang telah mencair dalam jumlah besar. Permukaan es tersebut semakin ren-dah selama satu dekade ini. Apabila lapisan itu mencair seluruhnya yang menyerupai pencairan landas kon-tinen, yang perlu dikhawatirkan adalah tenggelamnya Pulau Florida, AS, dan beberapa kepulauan lain di sekitarnya.

Satu hal yang juga perlu diperha-tikan adalah meletusnya rangkaian gunung yang membatasi Antartika Ba-rat dan Antartika Timur. Seperti jamak diketahui, Antartika Barat dulunya terpisah dari Antartika Timur. Karena jarak yang saling berdekatan kedua wi-layah tersebut bertabrakan satu sama lain dan menimbulkan Pegunungan Transantarctic. Kekhawatiran utama merujuk pada kejadian erosi akibat pemanasan global yang menimpa pe-gunungan tersebut.

Pengikisan yang terus-menerus dapat mengakibatkan meletusnya pe-gunungan tersebut sehingga merun-tuhkan gletser-gletser terbesar di dunia yang ada di sekitarnya. Padahal, gletser dengan volume satu kilometer kubik es itu mengaliri Landas Kontinen Ross sepanjang tahunnya. Bagaikan efek domino, pecahnya gletser cepat atau lambat akan merusak Landas Kontinen Ross. � berbagai sumber/hag/L-2

Sejak setengah abad silam, suhu di Benua Antartika semakin memanas. Wilayah yang 98 persennya tertutupi es itu kini terancam mencair yang secara signifi kan bisa menenggelamkan kawasan pantai di dunia.

« Banyak ahli berpegang teguh pada pendirian mereka bahwa lempengan es yang begitu tebal di Antartika telah menipis dan perlahan-lahan

mencair. »

REUTERS/ALISTER DOYLE

REUTERS/SAMUEL BLANC

FOTO-FOTO: REUTERS

AFP