kediktatoran tokoh puan tirana sang penguasa … · buta in seno gumira adjidarma roman entitles...
TRANSCRIPT
i
KEDIKTATORAN TOKOH PUAN TIRANA SANG PENGUASA
YANG BUTA DALAM ROMAN NEGERI SENJA
KARANGAN SENO GUMIRA AJIDARMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Sigit Aprianto Nugroho
NIM: 024114016
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
ii
iii
iv
Tersembah demi : ibu, susumu tak kering di segala musim
: ibu, kasih tanpa kenal sudah : ibu, adamu tak lekang oleh waktu
--tempat pulang penuh sayang. :Ayah, pondasi dan atap kokohmulah tempat kami bersadai
Dan atas kepercayaan juga kebebasan kalian membiarkan ke mana
kakiku menuju --batas langkahku tak bakal tunai membayar kasih itu.
Kepada kekasih yang ikhlas menerima bunga,
kelak
v
Menuju (I)
Ingatkah sering kita mencari bulan di lubang atapatap kamboja
lalu menyulam kafan dari pendarnya? Kita selalu berlomba
mendapat paling banyak cahaya. Memintalnya pada potongan dahan kering
yang baru saja memerosokkan panjatan kita. Sementara gigitan semut tak kuasa
membendung semangat kita memilah dahan tumpuan.
Ingatkah kita selalu seksama menghindari jegal tonggak
demi mengejar kunang yang sembunyi di semak ilalang,
kemudian memahat nisan dari ekornya? Senantiasa kita menahan suara
ketika menaruhnya pada kantong plastik bawaan
kita: bersaing menghitung tangkapan
siapa paling banyak. Tanpa sadar darah mengering
menjadi garisgaris tanpa aturan di sekujur tubuh, lantaran kita lupa
tajamnya daun ilalang. Tapi tiada pernah kita jera juga.
Ingatkah kita selalu lelarian menggenggam cahaya di kirikanan tangan kita
dan ingin segera menyimpan pada bejana yang kita pajang
di teras rumah sambil mengingat berapa jumlahnya? Sementara matamata
gerimis terus saja lesakkan nada belasungkawa,
dengan irama canda. Kita masih saja lupa pada tabiat jalan pulang. Sehingga
berkalikali pula kita jatuh dan, tersungkur di parit depan rumah. Lalu, ingatkah,
kau selalu berkata, “Percaya saja pada angin. Ayo lekas hijrah, tanggalkan
terompah
dari setiap jendela. Biar terbaca catatan dosadosa: itulah keranda!”
^Sagan
vi
Abstrak
Nugroho, Sigit Aprianto. Kediktatoran Tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
dalam Roman Negeri Senja Karangan Seno Gumira Ajidarma. Skripsi.
Yogyakarta: Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini mengkaji kediktatoran tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
dalam roman Negeri Senja karangan Seno Gumira Ajidarma. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mendeskripsikan struktur penceritaan, khususnya tokoh dan penokohan, dan
mendeskripsikan kediktatoran tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dalam roman
Negeri Senja karangan Seno Gumira Ajidarma.
Penelitian ini menggunakan pendekatan struktural sastra dengan menganalisis
unsur tokoh dan penokohan. Unsur tersebut merupakan fakta cerita yang sangat
berpengaruh terhadap pokok kajian penelitian ini.
Penelitian yang menggunakan metode deskriptif ini, mencoba mendeskripsikan
sikap-sikap diktator dalam diri Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta dan
menginterprestasikannya dengan teori kediktatoran.
Dari penelitian ini terungkap bahwa tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
adalah seorang wanita buta yang menguasai Negeri Senja dengan segala kebengisan dan
kekejamannya. Kemudian pada bagian akhir, penelitian ini berkesimpulan bahwa dalam
menjalankan kediktatorannya, Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta berkecenderungan
menggunakan dua sikap diktator, yaitu 1) menggunakan taktik memecah-belah dan
melumpuhkan demi bertahan pada kekuasaannya, dan 2) menggunakan teror untuk
menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya. Selain itu, Puan Tirana juga telah
melanggar hak asasi manusia sebagaimana tertulis dalam The Universal Declaration of
Human Right, terutama pasal lima, sembilan, delapan belas, sembilan belas dan pasal dua
puluh.
vii
Abstract
Nugroho, Sigit Aprianto. Dictatorialess of Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta in the
roman Negeri Senja by Seno Gumira Ajidarma. Undergraduate thesis. Indonesia
Literature Departement of Sanata Dharma University: Yogyakarta.
This research examines the dictatorialess of Puan Tirana Sang Penguasa yang
Buta in Seno Gumira Adjidarma roman entitles Negeri Senja. The objective of this
research is to discribe the structure of the naration, particular character and
caracterizations, and to discribe the dictatorialess of Puan Tirana Sang Penguasa yang
Buta in the roman Negeri Senja by Seno Gumira Adjidarma.
This research use formalistics approach by analyzing characterizations. The
element very having represent an effect on story fact to this fundamentaly research.
Research using this descriptive method, trying to discribe of dictator attitude of
Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta and discribe it with the dictator theory.
From this research we know that the figure of Puan Tirana Sang Penguasa yang
Buta is a blind woman mastering Negeri Senja with all asperity and its cruelty. Later;
then at the end, this research have a conclusion to that in running its dictator, Puan
Tirana Sang Penguasa yang Buta have tendency to use two dictator attitude, that is 1)
using tactics divide and paralyse for the shake of staying at his power, and 2) using
terrorized to withdraw each every effort to overthrow. Besides Tirana have also impinged
the human right as written in The Universal Declaration of Human Right, especially
section five, nine, eighteen, nineteen and section twenty.
viii
KATA PENGANTAR
Sudah bukan menjadi sesuatu yang mengherankan apabila dalam suatu (bahkan
sepanjang) masa hidupnya manusia senantiasa merasa kurang puas terhadap segala
sesuatu yang telah diperolehnya. Merasa kurang dengan perolehan yang hanya satu maka
manusia berusaha untuk mendapatkan dua, tiga, empat, sepuluh, dan seterusnya hingga
mencapai takaran yang dianggap mendekati cukup. Akan tetapi, lebih sering manusia
tidak pernah merasa cukup dan membuatnya ingin memperoleh segalanya. Dan inilah
yang biasa kita sebut dengan kerakusan manusia: nafsu berkuasa. Kemudian apabila
manusia telah merasa mendapatkan kekuasaan maka dengan kesadaran penuh ia akan
mempertahankan kekuasaan yang telah digenggamnya. Yang mengagumkan, dalam
mempertahankan kekuasaan tersebut sering kali manusia mengalpakan kebutuhan (baca:
hak) sesamanya. Maka, tidak jarang terjadi sebuah kekerasan dan bahkan penindasan
terhadap kemanusiaan demi tak terenggutnya kekuasaan.
Berawal dari sebuah ketertarikan terhadap sifat kerakusan manusia jualah tulisan
ini bermula. Sifat kerakusan tersebut secara lebih khusus saya temukan pada diri seorang
tokoh bernama Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta yang menjadi seorang diktator
dalam Negeri Senja—roman karangan Seno Gumira Ajidarma.
Pergelutan saya dengan roman tersebut mau-tidak-mau memantik rasa penasaran
saya untuk harus tahu lebih banyak tentang serbaneka yang ada dalam roman tersebut.
Demi meredam rasa penasaran saya mencoba mengidentifikasi tokoh Puan Tirana dengan
menggunakan teori yang ditawarkan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005). Sedangkan untuk
mengetahui bagaimana sikap-sikap diktator Puan Tirana, saya sengaja menggunakan
ix
pisau teori dari Jules Archer (2004). Dari teori yang ditawarkan oleh kedua tokoh
tersebut, saya mendapatkan beberapa perolehan. Pertama, bahwa ternyata di balik
kemisteriusannya, tokoh Puan Tirana adalah seorang wanita buta yang menguasai Negeri
Senja yang dalam tiap kesempatan selalu muncul dengan jubah dan kerudung hitam yang
menutupi seluruh tubuhnya, dan ia juga mengalami luka batin berupa dendam cinta
terhadap mantan kekasihnya Guru Besar. Kedua, oleh karena derita cinta yang
dialaminya, Puan Tirana melampiaskan dengan cara menindas rakyatnya sehingga
membuat dirinya berkecenderungan menjadi seorang diktator. Kemudian mengenai
sikap-sikap apa saja yang digunakan Puan Tirana dalam menjalankan kediktatorannya
dan sejauh mana kemisteriusan tokoh tersebut, silakan kiranya Anda membaca lebih
lanjut tulisan ini.
***
Sebagai seorang penulis mula, tidak berlebihan kiranya apabila pada kesempatan
ini saya juga hendak berucap terima kasih kepada beberapa pihak yang dengan antusias
membantu saya. Dengan segala kerendahan hati, maka izinkan saya menghaturkan terima
kasih kepada Drs. B. Rahmanto, M.Hum. dan S.E. Peni Adji, M.Hum.—yang meski
sedikit saja memberikan diskusi, namun memeram banyak arti. Semoga keyakinan dan
kepercayaan yang Anda berikan tidak menjadi hal yang sia-sia bagi saya. Berikutnya,
yang tak kalah penting adalah orang-orang yang memberi sedikit kontribusi guna
penulisan ini, di antaranya orang tua saya yang sedikit-banyak ikut menyumbang
kebutuhan finansial saya; pedagang rokok yang dengan bersungut-sungut mengabulkan
permohonan utang saya di malam-malam dingin; dan beberapa wanita yang, aduhai,
mengajak saya melalaikan tugas ini—terima kasih atas dimensi lain yang kalian
x
suguhkan. Kebodohan saya adalah, tidak tahu bagaimana caranya berterima kasih kepada
Tuhan—maaf dalam kesempatan ini saya tidak berterima kasih kepada-Mu—kecuali
mencoba untuk terus, terus dan terus berusaha menjadi lebih baik dengan berkarya.
Sebelum benar-benar berakhir pengantar ini, saya juga hendak berterima kasih
kepada dosen penguji dan para pembaca yang kelak akan memberikan beberapa kritik,
saran dan bahkan makian karena saya sadar tulisan ini terlalu berjarak dari
kesempurnaan. Meskipun demikian, saya juga memiliki hak untuk berharap agar tulisan
ini tidak berakhir di sebuah rak yang berderet di “shopping center”. Semoga.
Penulis,
Sigit Aprianto Nugroho
xi
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat
karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan
daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, ………………………..,
Penulis
xii
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN ………………………………………. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ……………………………. iii
SEKADAR PERSEMBAHAN ………………………………………. iv
ABSTRAK …………………………………………………………… vi
ABSTRACT ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ……………………………………………….. viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ……………………………… xi
DAFTAR ISI ………………………………………………………….. xii
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………… 4
1.3 Tujuan Penelitian …………………………………………… 4
1.4 Manfaat Penelitian ………………………………………….. 5
1.5 Tinjauan Pustaka/Landasan Teori …………………………… 5
1.5.1 Tinjauan Pustaka …………………………………… 5
1.5.2 Landasan Teori …………………………………… 9
1.5.2.1 Teori Struktural ……………………………… 9
1.5.2.1.1 Tokoh ………………………………… 10
1.5.2.1.2 Penokohan……………………………. 11
1.5.2.2 Sosiologi Sastra ……………………………... 12
1.5.2.1 Pengertian Diktator …………………………. 13
1.6 Metode Penelitian dan Pendekatan …………………………… 15
1.6.1 Metode Penelitian…………………………………… 15
1.6.2 Pendekatan…………………………………………... 15
1.6.3 Sumber Data ………………………………………… 17
1.7 Sistematika Penyajian ………………………………………. 17
xiii
BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN PUAN TIRANA SANG
PENGUASA YANG BUTA ……………………………………… 18
2.1 Rangkaian Peristiwa Penting dalam Roman Negeri Senja …… 19
2.2 Berkenalan dengan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta …. 24
2.3 Menyingkap Misteri Jati Diri Tokoh Tirana …………………. 28
2.4 Teknik Penyajian Tokoh ……………………………………… 34
BAB III KEDIKTATORAN TOKOH PUAN TIRANA SANG
PENGUASA YANG BUTA SERTA BERBAGAI PELANGGARAN
HAK ASASI MANUSIA IKUTANNYA ………………………. 39
3.1. Taktik Memecah Belah dan Melumpuhkan ………………….. 41
3.2. Teror Kepada Gerakan Perlawanan …………………………… 48
3.3. Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Dilakukan Puan Tirana… 53
BAB IV PENUTUP ………………………………………………………… 55
4.1 Kesimpulan ……………………………………………………….. 55
4.2 Saran ……………………………………………………………… 58
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 60
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu—sekadar tidak mengatakan satu-satunya—dari sekian banyak
permasalahan dalam karya sastra yang tidak pernah kering untuk dibahas adalah
keterkaitan atau hubungan hakiki antara sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan
yang dimaksudkan, antara lain disebabkan oleh: karya sastra dihasilkan oleh pengarang,
sementara pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, yang memanfaatkan
kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan kemudian hasil karya sastra itu dimanfaatkan
kembali oleh masyarakat (Ratna, 2006: 60).
Oleh karena itu, karya sastra dapat dikatakan sebagai suatu cerminan kehidupan
nyata, realitas sehari-hari. Berbeda dengan karya ilmiah dan karya filsafat, karya sastra—
dengan berbagai genrenya—cenderung mengajak pembaca bukan sekadar untuk
memahami dunia, melainkan mengalaminya kembali. Karya sastra berkecenderungan
untuk me(re-)presentasikan kehidupan daripada mengkonseptualisasikannya (Faruk,
2004).
Para pencipta sastra, sastrawan, dapat dikatakan sebagai mediator dalam
menghadirkan dunia (baru) di hadapan pembaca. Dunia (baru) tersebut hadir bukan
semata tanpa dasar apa-apa, melainkan melalui berbagai rentetan peristiwa yang tengah
terjadi di masyarakat sehingga menjadi pemantik (inspirator) bagi sastrawan untuk
menuliskannya dalam bentuk karya sastra. Lantaran itu karya sastra dapat dipahami
apabila pembaca dapat “membaca” peristiwa sosial di saat karya sastra tersebut ditulis.
2
Ini berkesesuaian dengan pendapat Damono (1978) yang mengatakan, karya sastra
mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk menumbuhkan sikap sosial tertentu
atau bahkan mencetuskan peristiwa sosial tertentu. Hal tersebut dapat dinikmati dan
dipahami, jika pembaca mampu memahami pesan terselubung di dalam karya sastra.
Sastrawan yang dengan lihai menghadirkan kembali kenyataan sosial ke dalam
karya, salah satunya adalah Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya disingkat, SGA).
Melalui karya puisi, cerita pendek (cerpen), dan novel SGA mampu menggelarkan
berbagai tragedi kemanusiaan. Sastrawan, wartawan, fotografer, dan juga doktor susastra
ini telah mengalami bermacam pergelutan dengan kenyataan sehari-hari yang terus
menerus menekan kediriannya.
Pada saat SGA berdiri pada profesi kewartawanan, tidak banyak yang bisa ia
lakukan karena karya jurnalistik selalu menemui kendala ketika akan menyampaikan
kebenaran. Karenanya, SGA memilih mengatakan kebenaran tersebut melalui karya
sastra. Hal ini sejalan dengan pengakuannya (Ajidarma, 1997), bahwa ketika jurnalisme
dibungkam sastra harus bicara. Karena bila jurnalisme bicara dengan fakta (yang sering
dimanipulasi) sastra bicara dengan kebenaran, dan kebenaran dan kesusastraan menyatu
bersama udara, tak tergugat dan tak tertahankan. Dengan menutupi kebenaran, adalah
perbuatan bodoh yang dilakukan sepanjang sejarah manusia.
Oleh alasan ingin menyebarkan kebenaran maka karya-karya SGA hampir selalu
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh peristiwa-peristiwa di mana SGA berdomisili (:
Indonesia). Dalam masa hidup di tengah-tengah masyarakatnya, agaknya SGA banyak
menjumpai peristiwa-peristiwa yang merendahkan (ke)manusia(an). SGA merefleksikan
peristiwa yang ia dengar, lihat, dan rasakan tersebut ke dalam karyanya, untuk
3
memberikan penilaian kepada berbagai hal yang melenceng dari kepatutan. Hal ini, salah
satunya, dapat ditemukan pada karya romannya, Negeri Senja.
Dalam Negeri Senja, roman yang pernah mendapat Katulistiwa Literary Award
untuk kategori fiksi (Kompas, 13 Oktober 2004), ini digambarkan betapa seorang wanita
buta (: Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta) menguasai sebuah negeri, yang selalu
dalam keadaan senja, selama dua ratus tahun dengan kediktatorannya. Pelanggaran hak
asasi manusia, yang dilakukan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta—selanjutnya lebih
sering disebut Tirana—, bukan menjadi barang aneh. Berbagai bentuk kekerasan menjadi
makanan sehari-hari penduduk Negeri Senja, yang hidup dalam kemiskinan. Selain itu,
penduduk juga tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mencoba bertahan dalam kemiskinan,
kebisuan, dan ketegangan; meskipun ada juga yang melakukan pemberontakan, namun
selalu dapat digagalkan karena bahkan Tirana mampu membaca pikiran orang. Selama
pemerintahan Puan Tirana, tidak seorang pun diizinkan menolak perintah/kebijakannya.
(1) “…Tirana bagaikan Tuhan yang Jahat di Negeri Senja, yakni berkuasa seperti
Tuhan tapi tanpa sifat-sifat kebaikan sama sekali, dan ia seperti menakdirkan
kehidupan di Negeri Senja harus berlangsung seperti kehendaknya.” (hlm. 171)
Demikianlah betapa kediktatoran Puan Tirana beserta aparatur pemerintahannya
tak tergoyahkan. Intensitifitas saya dalam menggauli Negeri Senja, telah memaksa saya
untuk menggelarkan sifat-sifat diktator tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
dalam tulisan ini.
Tulisan ini hanya akan mendeskripsikan sejauh mana kediktatoran Tirana, karena
itu tulisan ini mengonsentrasikan diri pada salah satu unsur instrinsik semata yakni tokoh
dan penokohan. Sementara mengenai latar, alur, tema, dan unsur instrinsik lainnya tidak
dijadikan objek kajian, karena—mengutip Umar Yunus (1986:4)—karya sastra
4
merupakan dokumen sosio-budaya sehingga sesuatu unsur di dalamnya dapat diambil
terlepas dari hubungannya dengan unsur yang lain. Namun demikian tulisan ini tidak
akan mengaitkan Negeri Senja dengan keadaan Indonesia pascapemerintahan sebuah
rezim otoriter, hasil tulisan ini diharapkan dapat menyoroti sikap pemerintahan diktator
secara universal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimana tokoh dan penokohan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
dalam Negeri Senja?
2. Sifat-sifat diktator apa saja yang Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
lakukan dalam menjalankan pemerintahannya?
1.3 Tujuan Penelitian
1. Mendeskripsikan tokoh dan penokohan Puan Tirana Sang Penguasa yang
Buta.
2. Menggelarkan sikap-sikap diktator Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
beserta pelanggaran hak asasi yang dilakukannya.
1.4 Manfaaat Penelitian
Berbagai bentuk kajian sastra, baik akademik maupun non akademik, telah
banyak dilakukan oleh orang yang menggemari bidang ini. Sebesar atau sekecil apa pun
hasil kajiannya, tentu telah memberikan sumbangsih yang bermanfaat bagi peminat,
penikmat, dan pemerhati sastra. Demikian halnya dengan kajian yang akan saya lakukan,
diharapkan menyodorkan bermacam manfaat, antara lain:
5
1. memperkaya khazanah pustaka dalam kancah penelitian sastra,
2. menambah wawasan mengenai sikap diktator, serta sifat-sifatnya,
3. memberikan peluang sebagai titik tolak penginterpretasian karya sastra,
khususnya mengenai roman Negeri Senja. Dengan begitu, akan muncul sebuah
landasan pacu dalam menginterpretasikan roman tersebut sehingga dapat
menolak atau mungkin mendukung tulisan ini.
1.5 Tinjauan Pustaka/Landasan Teori
1.5.1 Tinjauan Pustaka
Karya-karya SGA acap kali mendedah masalah kekerasan beserta pelanggaran
hak asasi manusia yang terjadi di masyarakat, baik yang dilakukan oleh individu-individu
atau bahkan oleh tangan penguasa. Kritik SGA terhadap kekuasaan yang mengancam
eksistensi (ke)manusia(an), dapat dengan mudah dijumpai dalam karya prosanya—
terutama cerpen.
Oleh karenanya tulisan-tulisan yang membahas karya SGA bukan tidak banyak.
Sebut saja Budiawan (1994), misalnya. Dalam esai bertajuk Kritik Terhadap Militerisme
dalam Sastra: Kasus Tiga Cerita Pendek Seno Gumira Ajidarma tentang “Penembak(an)
Misterius” ia berkesimpulan bahwa karya cerita pendek SGA (: Grhhh, Bunyi Hujan di
Atas Genting, dan Keroncong Fantasi) merupakan sebuah gugatan terhadap petrus
(akronim dari Penembak Misterius). Ia mengatakan ini sebagai gugatan karena ketiga
cerpen—Budiawan menyebutnya trilogi—tersebut memperlihatkan bahwa pembantaian
penjahat, atau tertuduh penjahat, justru menimbulkan ketidakamanan, bahkan kekacauan.
6
Satu per satu trilogi tersebut dibedah oleh Budiawan. Cerpen Bunyi Hujan di Atas
Genting dibacanya sebagai kritik terhadap sikap masyarakat tentang “petrus” yang bukan
hanya permisif, tetapi suportif terhadapnya. Sikap masyarakat yang mendukung “petrus”
itu dipandang sebagai semacam pemupukan benih-benih kekerasan oleh aparat negara.
Dalam budaya kekerasan inilah pelampiasan kebencian termanifestasikan secara liar
sehingga manusia yang dibenci itu tidak dipandang sebagai manusia lagi, dan ini
merupakan sebuah penghancuran nilai-nilai kemanusiaan. Pada titik inilah Budiawan
mendapati nurani yang dibungkam.
Bungkamnya hati nurani ini, lagi-lagi, Budiawan temukan dalam Keroncong
Pembunuhan. Olehnya, cerpen ini dipandang sebagai sebuah gugatan yang langsung
menukik pada masalah eksistensi (ke)manusia(an) yang secara serius terancam oleh
sebuah proyek kekuasaan yang berambisi menegakkan apa yang diyakini sebagai
“kewibawaan bangsa dan negara”, yakni dengan pemberian predikat “petrus” sebagai
“penghianat bangsa dan negara”.
Sementara cerpen Grhhh dibaca Budiawan sebagai kritik terhadap kegagalan, dan
efek samping yang ditimbulkan, “petrus”. “Petrus” dikatakan telah menciptakan efek
lingkaran setan kekerasan pada masyarakat.
Bentuk-bentuk kekerasan lainnya juga mengemuka pada cerpen SGA lainnya. Hal
ini dapat ditelusur dari hasil analisis kritik(us) sastra akademik, Tempo. Dalam
skripsinya, Tempo (2005) menemukan bentuk-bentuk kekerasan tersebut dalam cerpen-
cerpen SGA. Tempo mendasarkan penelitiannya atas teori kekerasan menurut Johan
Galtung, yakni kekerasan personal, kekerasan yang sifatnya dinamis dan mudah diamati
karena kekerasan ini bertitik berat pada realisasi jasmani aktual; dan kekerasan struktural,
7
yang lebih bersifat statis dan tidak tampak dikarenakan bertitik tolak pada ketidaksamaan
dalam struktur sosial.
Atas dasar pisau teori kekerasan dari Galtung tersebut, Tempo mengupas tujuh
cerpen dalam kumpulan cerpen Iblis Tak Pernah Mati-nya SGA. Dalam kumpulan cerpen
tersebut, simpul Tempo, ada dua cerpen yang didominasi oleh kekerasan struktural, yaitu
cerpen Dongeng Sebelum Tidur dan Anak-anak Langit. Kemudian cerpen yang
dimayoritasi kekerasan personal adalah cerpen Taksi Blues dan Jakarta Suatu Ketika.
Sementara cerpen Clara, Partai Pengemis, dan Eksodus menurutnya mengandung unsur
kekerasan personal dan kekerasan struktural sekaligus (Tempo, 2005: 87).
Dalam pada itu, pelanggaran hak-hak sipil otomatis terjadi di hampir seluruh
cerpen dalam kumpulan Iblis Tak Pernah Mati. Hal ini setidaknya pernah diungkapkan
oleh Sriyani (2000). Dalam skripsinya, ia membahas delapan cerpen dalam kumpulan
cerpen tersebut. Melalui tokoh-tokoh yang berlakuan dalam cerpen-cerpen yang
dianalisis, ia berpendapat telah terjadi pelanggaran hak terhadap kebebasan bergerak
seseorang dalam cerpen Jakarta Suatu Ketika, Clara, Kisah Seorang Penyadap Telepon,
dan Taksi Blues. Sementara itu, pelanggaran hak atas kepemilikan harta benda dan
pelanggaran atas larangan penyiksaan terdapat dalam cerpen, Partai Pengemis, Clara,
dan Jakarta Suatu Ketika. Dengan demikian, lanjut Sriyani, pelanggaran hak-hak sipil
terjadi di hampir seluruh cerpen yang ada di Iblis Tak Pernah Mati.
Penelitian yang dilakukan Sriyani ini didasarkan pada definisi hak sipil oleh
Hasan Shadily (1980: 1207), yakni hak-hak yang menyatakan bahwa semua orang adalah
sama di mata negara dan di mata hukum. Hak-hak sipil itu meliputi: hak hidup,
kebebasan, dan keamanan pribadi; larangan perbudakan; larangan penganiayaan;
8
larangan penangkapan; penahanan, atau pengasingan yang sewenang-wenang; hak atas
pemeriksaan pengadilan yang jujur; hak atas kebebasan bergerak; dan hak atas harta
benda (Baehr, 1998: 6).
Dari uraian ketiga kritik(us) di atas, dapat dikatakan karya-karya SGA—
kebanyakan—memang bernuansa kritik terhadap kemanusiaan. Kritik senada juga dapat
ditemui dalam Negeri Senja. Namun begitu bukan lantas telah banyak yang mengkaji
roman ini. Sepanjang pengamatan saya, belum pernah ada penelitian yang membahas
novel Negeri Senja, baik itu penelitian struktural atau penelitian dengan disiplin dan atau
multidisiplin lainnya. Meskipun demikian, saya menyadari sisi kemanusiaan saya,
sehingga tidak menutup kemungkinan ada penelitian yang sudah membahas Negeri Senja
baik dalam resensi buku atau kajian lainnya, yang kalis dari pengamatan saya.
1.5.2 Landasan Teori
Sebagaimana umumnya kajian (sastra), tentu saja bisa berjalan jika kajiannya
didasarkan pada teori-teori suatu disiplin ilmu. Teori-teori tersebut nantinya akan
menentukan arah tujuan dan hasil kajian. Dalam tulisan ini, saya menggunakan teori
struktural untuk mengenali tokoh dan penokohan. Hal ini dikarenakan karya sastra
merupakan karya yang berdiri sendiri sehingga layak untuk dilihat dari dalam (instrinsik).
Teori berikutnya adalah sosiologi sastra. Kedudukan teori ini sangat penting
karena sosiologi sastra dapat menjadi jembatan untuk memahami gejala sosial yang ada
dalam karya sastra.
Sementara itu untuk menemukan kesepahaman konsep diktator, selain merujuk
pada Kamus Umum Bahasa Indonesia, tulisan akan mengacu pada pengertian diktator
9
yang ditawarkan oleh Jules Archer. Hal tersebut saya lakukan semata demi tidak terjadi
kerancuan pengertian diktator dalam tulisan ini.
1.5.2.1 Teori Struktural
Suatu percobaan interpretasi karya sastra tidak dapat dimulai tanpa memahami
bagian-bagiannya (unsur instrinsik). Karya sastra dapat terpahami melalui unsur-unsur
pembentuknya, karena sastra merupakan suatu karya otonom (Teeuw, 1989: 123). Oleh
karena itu, pemahaman unsur-unsur pembangun cerita (struktur), yakni tata hubungan
antara bagian-bagian suatu karya sastra yang menjadi kebulatannya, dapat membantu
usaha untuk memahami cerita (Sudjiman, 1986: 72).
Namun demikian, dalam konteks tulisan ini, hubungan antara unsur-unsur
tersebut akan diambil terpisah dari keberhubungannya dengan unsur lainnya. Hal tersebut
sejalan dengan pendapat Umar Yunus (1986:4) yang mengatakan karya sastra merupakan
dokumen sosio-budaya sehingga sesuatu unsur di dalamnya dapat diambil terlepas dari
hubungannya dengan unsur yang lain. Pada ranah tulisan ini, unsur yang akan “dicomot”
itu adalah tokoh dan penokohan. Di sini dimaksudkan untuk memperjelas pendeskripsian
sikap diktator tokoh Puan Tirana.
1.5.2.1.1 Tokoh
Cerita terdiri dari berbagai karakter, salah satunya yang paling menonjol adalah
tokoh. Untuk mendapatkan kejelasan maksud cerita kita dapat melakukannya dengan
mengenal watak tokoh. Pengenalan terhadap tokoh tersebut dapat dilakukan dengan
meneliti apa yang dilakukannya, dikatakannya, sikapnya dalam menghadapi persoalan,
10
dan bagaimana penilaian tokoh lain atas dirinya (Sumarjo, 1984: 56). Dalam pada itu,
pengertian tokoh lebih kompleks daripada aktor atau pelaku, yang hanya berkaitan
dengan fungsi seseorang dalam teks naratif atau drama. Tokoh dapat dihidupkan
berdasarkan sejumlah konvensi yang diketahui pembaca (Hartoko, 1986: 144).
Sudjiman (1988, 16-23) mengatakan, tokoh ialah individu rekaan yang
mengalami peristiwa atau berlakuan dalam cerita. Watak ialah kualitas tokoh, kualitas
nalar, dan jiwa yang membedakan dengan tokoh lain.
Sejalan dengan itu, Nurgiyantoro (2005: 165), yang mengutip pendapat Abrams,
mengatakan bahwa orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu yang diekspresikan dalam tindakan dan ucapannya disebut dengan tokoh cerita.
Pembedaan tokoh yang satu dengan yang lain lebih ditentukan oleh kualitas pribadi
daripada dilihat secara fisik.
1.5.2.1.2 Penokohan
Istilah penokohan lebih luas pengertiannya daripada tokoh dan perwatakan sebab
ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan
bagaimana penempatan sekaligus pelukisannya dalam sebuah certita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2005: 166).
Akan tetapi, masalah penokohan dalam sebuah karya tak semata-mata hanya
berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan para tokoh cerita saja,
melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat
11
sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan
(Nurgiyantoro, 2005: 194).
Selanjutnya Nurgiyantoro (2005: 195) memberikan masukan beberapa teknik
pelukisan tokoh, yakni teknik pelukisan langsung (teknik ekspositori) dan teknik
pelukisan tidak langsung (teknik dramatik). Pada teknik ekspositori, atau sering disebut
teknik analitis, pelukisan tokoh dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian, atau
penjelasan secara langsung. Tokoh cerita hadir dan dihadirkan oleh pengarang tidak
secara berbelit-belit, melainkan berupa sikap, sifat, watak, tingkah laku, atau bahkan ciri
fisiknya.
Sementara, penampilan tokoh dalam teknik dramatik dilakukan secara tak
langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit sifat dan sikap serta
tingkah laku tokoh. Para tokoh cerita menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai
aktifitas yang dilakukan, baik secara verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan
atau tingkah laku, dan juga melalui peristiwa yang terjadi. Penampilan tokoh lewat teknik
ini dapat dilakukan melalui beberapa teknik, antara lain teknik cakapan, teknik tingkah
laku, teknik pikiran dan tingkah laku, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik
reaksi tokoh lain, teknik pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (Nurgiyantoro, 2005:
198-211).
Lebih lanjut Sudjiman (1986: 61) membagi tokoh berdasarkan fungsinya menjadi
dua, yakni tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral adalah tokoh yang terlibat
langsung dalam perkembangan cerita. Kedudukan tokoh sentral sangat mempengaruhi
jalan cerita. Grimes (via Sudjiman, 1988: 19) menyarankan untuk menentukan kriteria
12
tokoh utama, bukan berdasarkan frekuensi kemunculan tokoh itu dalam cerita, melainkan
intensitas keterlibatan tokoh dalam peristiwa-peristiwa yang membangun cerita.
1.5.2.2 Sosiologi Sastra
Karya sastra memuat peristiwa di dalam masyarakat, menjadi suatu keseluruhan
karya (Luxemburg, 1986: 38). Demikianlah kedirian karya sastra tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh sosial. Antara masyarakat dan sastra memiliki hubungan yang hakiki.
Hubungan-hubungan yang dimaksudkan, antara lain disebabkan oleh: (i) karya sastra
dihasilkan oleh pengarang, (ii) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, dan (iii)
pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, kemudian (iv) hasil
karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat (Ratna, 2006: 60).
Oleh karenanya, karya satra mengandung gagasan yang dapat dimanfaatkan untuk
menumbuhkan sikap sosial tertentu atau bahkan untuk mencetuskan peristiwa sosial
tertentu. Hal tersebut dapat dinikmati dan dimanfaatkan, apabila pembaca mampu
memahami pesan yang terselubung di dalam karya sastra. Untuk memahami pesan karya
sastra tersebut, diperlukan suatu disiplin sosiologi sastra, yakni pendekatan terhadap
karya sastra dengan mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan (Damono, 1979: 2).
1.5.2.3 Pengertian Diktator
Dalam pengertian paling sederhana, diktator adalah seorang penguasa yang
mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak pemerintahan tanpa (biasanya)
memperhatikan keinginan-keingainan nyata dari rakyatnya. Oleh karena itu, diktator
biasanya bertindak memaksakan kemauan politiknya. Ia tidak membutuhkan dasar
13
hukum, tidak mengupayakan dukungan parlemen sebagai representasi demokrasi, dan
tidak juga melibatkan keinginan pemangku kepentingan (Hukum online, 2006). Diktator
bukanlah seorang pewaris tahta. Dia sama sekali tidak memiliki hak waris semacam itu;
rakyat atau kaum bangsawan tidak mengenalinya dari pandangan seperti itu.
Istilah diktator berasal dari bahasa latin dictare yang artinya ‘berkata, bersabda’.
Kata ini pertama kali digunakan pada tahun 501 SM, ketika dua orang konsul daerah
bagian Republik Roma terpaksa tidak dapat hadir pada saat yang bersamaan di Roma,
karena sedang memimpin tentara di medan pertempuran, mereka mengangkat seorang
wakil dengan kekuasaan penuh atas namanya. Dari situlah istilah diktator menjadi
berkembang, dan dilekatkan pada penguasa yang menyalahgunakan kekuasaannya (abuse
of power) (Archer, 2004: 11-13). Dengan demikian, diktator dapat diartikan sebagai
pemegang kakuasaan mutlak karena dapat diasumsikan peran seorang diktator adalah
sebagai pejabat tertinggi, hakim agung sekaligus panglima.
Sedangkan menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S.
Purwodarminto (1984), diktator diartikan sebagai (i) ‘orang yang memegang kekuasaan
pemerintahan dengan tidak terbatas’ dan (ii) ‘orang yang menggunakan kekuasaannya
dengan sekehendak hati’.
Lebih jauh, Archer (2004: 19) memaparkan lima sikap utama diktator. Pertama,
sebagian besar diktator menyembunyikan nafsu berkuasanya di balik sikap sebagai
pendobrak dengan motif dan alasan-alasan yang luhur. Kedua, diktator secara terang-
terangan menggunakan teror untuk menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya.
Ketiga, diktator menggunakan taktik memecah belah dan melumpuhkan, demi bertahan
pada kekuasaannya. Keempat, diktator selalu memelihara pertentangan golongan di
14
bawah payung nasional sehingga mereka tidak mampu menggabungkan kekuatan dan
kemudian menyerangnya. Dan, diktator selalu mencari peluang untuk meyakinkan rakyat
dengan berusaha menentang kekuatan-kekuatan besar di dunia.
Berlabuh dari paparan Arche di atas, seorang diktator dalam pemerintahannya
dapat dipastikan melakukan kesewenang-wenangan terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Bentuk kesewenangan itu salah satunya dengan melakukan pelanggaran hak-hak asasi
manusia, yakni setiap perbuatan seseorang atau sekelompok orang termasuk aparat
negara baik disengaja maupun tidak sengaja, atau kelalaian yang secara melawan hukum
mengurangi, menghalangi, membatasi, dan mencabut hak asasi manusia seseorang atau
kelompok orang (UU No. 39 Tahun 1999).
1.6 Metode Penelitian dan Pendekatan
1.6.1 Metode Penelitian
Metode merupakan cara dan prosedur yang akan ditempuh oleh peneliti dalam
rangka mencari pemecahan masalah (Santosa, 2004: 8). Tulisan ini menggunakan metode
deskriptif analisis. Metode ini dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang
kemudian disusul dengan analisis. Dalam hal ini analisis tidak semata-mata menguraikan,
melainkan juga memberikan penjelasan dan pemahaman secukupnya (Ratna, 2006: 53).
1.6.2 Pendekatan
Sebagaimana telah disinggung di muka, bahwa tulisan ini berusaha untuk
menemukan kondisi sosial dalam karya sastra dengan kecenderungan sosial dalam
masyarakat, khususnya mengenai sikap diktator seorang kepala pemerintahan.
15
Karenanya, diperlukan suatu disiplin sosiologi sastra untuk memahami (pesan) hubungan
sastra dengan masyarakat. Telaah sosiologi sastra sendiri memiliki dua kecenderungan
utama. Pertama, pendekatan yang berdasarkan pada anggapan bahwa sastra merupakan
cermin sosial-ekonomis belaka. Pendekatan ini bergerak dari faktor-faktor di luar sastra
untuk membicarakan sastra; sastra hanya berharga dalam hubungannya dengan faktor-
faktor di luar sastra itu sendiri. Dalam pendekatan ini teks sastra hanya merupakan
epiphenomenon (gejala kedua). Kedua, pendekatan yang mengutamakan teks sastra
sebagai bahan penelaahan. Metode yang digunakan dalam sosiologi sastra ini adalah
analisis teks untuk mengetahui strukturnya, kemudian dipergunakan untuk memahami
lebih dalam lagi gejala sosial di luar sastra (Damono, 1979: 2-3).
Dari kedua kecenderungan yang dipaparkan Damono, tulisan ini mengambil
kecenderungan yang kedua, yakni analisis terhadap teks untuk dicarikan hubungannya
dengan gejala di luar sastra. Akan tetapi, pendekatan yang Damono tawarkan tadi tidak
serta-merta saya gunakan dalam tulisan ini. Pendekatan tersebut akan dielaborasikan
dengan pendapat Umar Junus (1986:4) yang mengatakan karya sastra merupakan
dokumen sosio-budaya sehingga sesuatu unsur di dalamnya dapat diambil terlepas dari
hubungannya dengan unsur yang lain. Berdasar pada hal tersebut, maka dalam rangka
analisis teks tidak akan dicarikan keberhubungan antar unsur dalam karya sastra sebagai
satu kesatuan. Analisis teks ini semata untuk mengetahui salah satu unsur dalam karya
demi melihat hubungan karya sastra dengan gejala sosial di luar sastra. Gejala sosial di
luar sastra tersebut, dalam tulisan ini, adalah sikap kediktatoran.
1.6.3 Sumber Data
16
Judul : Negeri Senja
Pengarang : Seno Gumira Ajidarma
Penerbit : Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
Tahun terbit : Agustus 2003
Tebal : xx + 224 halaman
1.7 Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam urutan bab per bab. Bab pertama berisi
pendahuluan, yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode dan pendekatan, dan
sistimatika penyajian. Bab kedua berisi analisis tokoh dan penokohan. Setelah mendapat
gambaran mengenai tokoh dan penokohan Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta, sikap-
sikap kediktatoran tokoh itu akan digelarkan pada bab ketiga. Selanjutnya kesimpulan
dan saran akan disajikan dalam bab keempat.
17
BAB II TOKOH DAN PENOKOHAN
PUAN TIRANA SANG PENGUASA YANG BUTA
Pada hakikatnya keberlangsungan cerita tidak dapat dilepaskan dari kehadiran
tokoh. Cerita dapat berjalan karena adanya tokoh-tokoh yang berlakuan di dalamnya.
Melalui perbuatan-perbuatan yang sesuai dengan karakterisasinya, tokoh-tokoh dalam
cerita memiliki andil yang besar untuk membawa/mengarahkan cerita. Mustahil suatu
cerita dapat mengalir lancar tanpa adanya tokoh. Sekalipun itu sebuah fabel, tetap
memerlukan tokoh untuk menghidupkan cerita. Bahkan puisi, juga bergantung pada
hadirnya tokoh. Demikianlah tokoh cerita kedudukannya sangat vital dalam karya sastra.
Akan ke mana dan bagaimana akhir sebuah cerita sehingga pembaca dapat menangkap
maksud cerita, semua bergantung pada tokoh cerita.
Mengingat kevitalannya itu, maka pengkajian terhadap sebuah karya sastra
hendaknya tidak meninggalkan tokoh dan penokohan. Oleh karena itu, bagian ini secara
khusus akan membahas tokoh dan penokohan Tirana: bagaimana jati diri dan sifat-
sifatnya, dan bagaimana pengarang menyajikannya ke hadapan pembaca?
Sengaja saya hanya memfokuskan pada seorang tokoh karena, seperti sudah
dikatakan di muka, keseluruhan tulisan ini membahas kediktatoran tokoh Tirana.
Persoalan bagaimana dengan kedudukan dan bahkan keberkaitan tokoh lainnya terhadap
kedirian Tirana, akan saya bahas sekilas saja. Itu pun jika tokoh tersebut bersinggungan
langsung dengan Tirana.
Namun begitu, sebelum lebih jauh, tidak salah kiranya jika melihat kembali
pengertian tokoh. Nurgiyantoro (2005: 165), yang mengutip pendapat Abrams,
18
mengatakan bahwa orang(-orang) yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau
drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan
tertentu yang diekspresikan dalam tindakan dan ucapannya disebut dengan tokoh cerita.
Di pihak lain, jati diri seorang tokoh ditentukan oleh peristiwa-peristiwa yang
menyertainya, dan sebaliknya, peristiwa-peristiwa itu sendiri merupakan pelukisan tokoh
(Henry James via Nurgiyantoro, 2005). Sementara Foster (via Pradopo, 2002: 79)
mengatakan perbuatan-perbuatan yang dilakukan tokoh yang sesuai dengan wataknya
akan menimbulkan peristiwa-peristiwa; rangkaian peristiwa yang berdasarkan sebab
akibat ini menimbulkan alur.
2.1 Rangkaian Peristiwa Penting dalam Roman Negeri Senja
Oleh karena jati diri seorang tokoh sangat berkaitan dengan peristiwa-peristiwa,
maka berikut ini akan digelarkan berbagai peristiwa yang terjadi dalam keseluruhan
roman Negeri Senja. Akan tetapi dalam rangka penggelaran peristiwa-peristiwa tersebut
tidak akan berujung pada penilaian jenis alurnya. Apakah roman ini beralur progresif atau
flash back (?), tidak akan dijelaskan. Semata-mata ini hanyalah garis besar dari tiap-tiap
bagian roman. Dalam kaitan ini, plot sekadar merupakan sarana untuk memahami
perjalanan kehidupan tokoh (Nurgiyantoro, 2005: 172). Berikut adalah peristiwa-
peristiwanya.
Prolog Pada bagian ini diceritakan bagaimana awal mulanya “aku” masuk ke
Negeri Senja. Ada peristiwa ketika “aku” disangka sebagai Penunggang
Kuda dari Selatan.
19
Bagian I Bagian ini diisi oleh beberapa sub bagian lagi. Pertama, Penunggang
Kuda dari Selatan, di sini mulai diperkenalkan siapa yang dimaksud
penduduk Negeri Senja sebagai Penunggang Kuda dari Selatan: orang
yang sudah ditentukan oleh takdir untuk membebaskan penduduk Negeri
Senja. Dari sini terlihat bagaimana konflik mulai diperkenalkan. Kedua,
Peristiwa di Kedai, menceritakan keadaan orang Negeri Senja yang terlalu
mudah diadu domba sehingga mereka saling bunuh terhadap sesamanya.
Ketiga, Penginapan Para Leluhur yang mengisahkan siapa saja yang
pernah menginap di penginapan tempat “aku” tinggal. Ada bagian yang
mengisahkan seorang gadis cantik sekaligus cerdas yang telah diperkosa.
Gadis ini kelak akan diduga sebagai Puan Tirana. Keempat, Rumah Bordil
di Padang Pasir, hanyalah sebuah penegasan pengarang untuk
mendukung keberadaan “aku” di suatu negara (kota), yakni dengan
mengajak “aku” ke rumah bordil. Kelima, Perempuan di Balik Cahaya,
merupakan percintaan “aku” dengan wanita di rumah bordil itu.
Bagian II Pada bagian ini konflik mulai ditingkatkan. Ini bisa dibuktikan dari
peristiwa-peristiwa yang terjadi di sub-sub bagiannya. Pertama,
Komplotan Pisau Belati menceritakan apa, siapa, dan bagaimana sepak
terjang serta keanggotaan Komplotan Pisau Belati. Kedua, Usaha
Pembunuhan Tirana, di sini dikisahkan usaha orang-orang Negeri Senja
membunuh Tirana dalam perjalanannya menuju Kuil Matahari. Pada
bagian ini pula pelukisan fisik Tirana mulai dimunculkan. Ketiga, Tirana,
Perempuan Penguasa yang Buta, mengisahkan sifat-sifat Tirana sebagai
20
penguasa yang kejam dengan masa lalu yang penuh misteri. Karenanya
pengarang tidak (belum) memberikan kejelasan mengenai latar belakang
Tirana. Keempat, Kaum Cendekiawan dalam Kegelapan, mengisahkan
cara berpikir dan penyusunan kekuatan para kaum cendekiawan (gerakan
perlawanan) di bawah kegelapan, agar pikirannya tidak terbaca oleh
Tirana. Kelima, Suatu Ketika di Pasar di sini “aku” mulai terlibat dalam
bangunan konflik, yakni dengan diberinya “aku” sebuah benda oleh
seorang fakir. Peristiwa ini ternyata makin mengembangkan konflik,
terutama pada bagian (kelima) Penangkapan Tokoh Perlawanan, karena
fakir tersebut adalah seorang cendekiawan yang menyamar. Pasukan
Tirana dikerahkan untuk menangkap fakir yang telah memberikan benda
itu kepada “aku”. Akan tetapi, “aku” berhasil meloloskan diri dengan
bantuan fakir lainnya. Setelah berhasil meloloskan diri, “aku” kemudian
dibawa ke sebuah tempat untuk menemui kaum cendekiawan sebelum
akhirnya dilepaskan di lapangan dengan tetap menjaga keberadaan barang
pemberian seorang fakir tadi. Dari sini “aku” dibawa ke Penjara (keenam)
untuk diperiksa. Ketujuh, Gerakan Bawah Tanah, menggambarkan siapa
saja dan kelompok perlawanan apa saja yang ada di Negeri Senja.
Kedelapan, Proklamasi Partai Hitam, mengisahkan bersatunya berbagai
kelompok perlawanan di bawah satu naungan bendera: Partai Hitam.
Partai ini yang kelak akan melakukan pemberontakan secara terbuka.
Bagian III Bagian ini (sepertinya) bukan merupakan peristiwa fungsional, sebab pada
bagian ini konflik yang tadinya mengalami peningkatan di bagian
21
sebelumnya sengaja diturunkan oleh pengarang. Ini dapat dilihat dari sub
bagian (pertama) Pengembara di Tepi Sungai, yang mengisahkan
datangnya seorang pengembara di tepi sungai di luar kota Negeri Senja.
Kemudian, Pengembara itu menjadi (kedua) Seorang Pembicara yang
makin lama semakin banyak mempunyai pendengar, hingga akhirnya
datanglah dua belas orang yang disebut sebagai (ketiga) Para Pelajar
Sekolah Bebas. Pembicaraan di tepi sungai itu begitu bebasnya sehingga
melahirkan sebuah mazhab, yakni (keempat) Mazhab Pasar Malam.
Bagian IV Pada bagian ini hanya ada satu sub bagian saja yang mendukung jalan
cerita, yakni Kisah Cinta Tirana, Jika Memang Benar Adanya. Di sini
dikisahkan bagaimana masa lalu Tirana sebelum ia menduduki tampuk
kekuasaan. Kisah Tirana pada bagian ini sekilas terlihat tidak
menampakkan keberkaitan apa pun dengan gadis korban perkosaan oleh
Komplotan Pisau Belati yang diduga sebagai Tirana muda. Sementara itu,
pada sub bagian lainnya: Perempuan dengan Anting-anting di Puting Kiri;
Perempuan dengan Rajah Ular yang Membelit Tubuhnya; Perempuan di
Bawah Menara; dan Antara Maneka dan Alina hanyalah berisi kisah
“aku” bersama beberapa perempuan. Peristiwa ini tidak ikut menjadi
mainstream di dalam cerita, yang seandainya dihilangkan pun tidak
berpengaruh pada keseluruhan cerita.
Bagian V Pada bagian ini merupakan lanjutan peristiwa dari proklamasi partai
hitam. Sub bagian pertama, Pemberontakan, menceritakan makin gencar
dan terbukanya pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Negeri
22
Senja terhadap pemerintahan Tirana. Pemberontakan ini berlanjut pada
sub bagian kedua, Usaha Pembunuhan Tirana II, yang mengisahkan usaha
pembunuhan terhadap Tirana. Usaha ini berawal dari digantungnya Guru
Besar di alun-alun Istana Pasir—karena orang Negeri Senja yakin Tirana
akan keluar dari istana untuk mengambil mayat Guru Besar sebab dia
adalah mantan kekasih yang masih dicintai Tirana. Sayangnya, usaha ini
tidak menuai hasil sehingga membuat Tirana melakukan pembalasan.
Pembalasan Tirana terangkum dalam sub bagian, Pembantaian. Di sini
merupakan klimaks dari bangunan konflik. Oleh Tirana, pusat kota Negeri
Senja dihancurkan tanpa meninggalkan seorang pun—meski ternyata ada
beberapa orang yang kalis dari pembantaian. Sub bagian selanjutnya, Para
Kekasih yang Terbunuh, merupakan penurunan konflik. Bagian ini
mengisahkan bertemunya “aku” dengan (mayat) para wanita yang pernah
dikencaninya. Orang-orang yang selamat, termasuk “aku”, kemudian
bermigrasi ke tepi sungai untuk bergabung dengan orang-orang yang ada
di sana. Namun, tidak berapa lama orang-orang itu kembali ke kota untuk
memulai hidup baru di sekitar kuil matahari; bagian ini dikisahkan dalam
Khotbah di Kuil Matahari.
Epilog Bagian ini diberi judul, Ketika Pengembara Itu Pergi, Matahari Belum
Juga Terbenam di Negeri Senja. Di sini diceritakan bagaimana “aku”
meninggalkan Negeri Senja. Namun, sebelum benar-benar pergi “aku”
dihadang oleh Pengawal Kembar (: kaki tangan Tirana) yang meminta
23
barang titipan fakir di pasar beberapa waktu lalu. Pada bagian ini pulalah
pengarang tampak “kebingungan” mengenai siapa sebenarnya Tirana.
Demikianlah peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam keseluruhan roman Negeri
Senja. Atas dasar rangkaian peritiwa tersebut akan digunakan untuk mengidentifikasi
tokoh Puan Tirana.
2. 2 Berkenalan dengan Puan Tirana Sang Penguasa Yang Buta
Sejak pertama kali, membaca roman Negeri Senja saya langsung dihadapkan pada
sebuah kemisteriusan. Bukan saja lantaran matahari yang tak pernah tenggelam di Negeri
Senja sehingga sepanjang masa hanya mengenal senja. Lebih dari itu, kemisteriusan
justru makin nyata ketika saya “bertemu” dengan Tirana. Tokoh ini adalah penguasa
Negeri Senja yang telah bertahta selama dua ratus tahun dengan segala kekejaman dan
kebengisannya. Siapa pun dan bagaimana pun bentuk ketidaktakziman penduduk Negeri
Senja terhadap Tirana, sudah pasti mendapat ganjaran semestinya—tak peduli anak atau
dewasa, lelaki atau perempuan! Silakan periksa kutipan berikut, sebagai awalan.
(2) “…jangan dikira bahwa anak kecil dan orang dewasa dibedakan oleh
pemerintahan Puan Tirana Sang Pengusa yang Buta….pemandangan anak kecil
terkapar sambil memegang bendera dengan pisau terbang di jantungnya adalah
biasa di Negeri Senja.” (hlm. 184)
Sifat kejam Tirana juga tidak pandang bulu. Bahkan terhadap pengikutnya sendiri, Tirana
tak segan-segan menggantungnya jika tidak sesuai dengan apa yang menjadi
kehendaknya.
(3) “…duabelas Mata-mata Istana merasa gentar hatinya. Apapun yang tiada
berkenan di hati Tirana hukum gantung ganjarannya. Ini masih lebih baik
daripada duabelas pisau terbang yang melayang untuk merajam.” (hlm. 139-140)
24
Sungguh, begitu kejamnya Tirana sehingga orang-orang yang melawannya
berhasil ia singkirkan ketika mencoba membunuhnya, saat Tirana sedang menuju Kuil
Matahari. Pada peristiwa ini Tirana menampakkan wujudnya kepada khalayak—
setidaknya pengarang mulai menghadirkan sosok Tirana di bagian ini.
(4) “…terlihat samar-samar di dalamnya Tirana, Perempuan Penguasa Negeri
Senja yang berbusana serba hitam menutupi seluruh tubuhnya.” (hlm. 59)
“Orang-orang seperti mencoba melihat ke dalam tandu secara diam-diam, tapi
mereka hanya samar-samar melihat sosok yang diliputi kain hitam…. Aku hanya
melihat kegelapan, seolah-olah dibalik kerudung itu hanya ada kekosongan.”
(hlm. 60) Dari dua kutipan di atas, sedikit kemisteriusan tokoh Tirana mulai tampak.
Bagaimana wujud fisiknya yang selalu berbalut busana hitam, yang juga menutupi
wajahnya sehingga tak ada orang yang pernah melihat wajahnya, mulai dihadirkan oleh
pengarang. Namun, bukan berarti ada jalan terang untuk membuka tabir misteri itu.
Kemisteriusan ini justru makin menjadi, karena ternyata Tirana adalah seorang
perempuan buta (hlm. 65).
(5) “Tidak ada yang tahu apakah ia buta sejak lahir ataukah pernah mempunyai
kemampuan melihat. Tirana tidak memperkenankan segala sesuatu tentang
dirinya diketahui oleh siapa pun…. Tidak ada yang bisa dipastikan dari Tirana
selain busananya yang hitam legam dan menutup seluruh tubuhnya, bahkan
wajahnya pun tanpa harus menutupinya tak pernah kelihatan. Konon, dan
memang hanya konon, tiada seorang pun pernah melihat wajahnya.” (hlm. 66)
Lebih dari itu, Tirana juga dikisahkan mampu membaca pikiran.
(6) “…Tirana yang berkuasa tiada pernah bisa memberikan kepada dirinya
sendiri suatu kepastian, sampai ingin memastikan segalanya dengan cara
membaca pikiran, memenjarakan roh, dan memusnahkan gagasan.” (hlm. 109)
25
Gila. Tirana benar-benar diselaputi oleh misteri. Keadaannya yang bisa membaca
pikiran dan memenjarakan roh, dan tidak ada seorang pun yang pernah melihat wajah
Tirana adalah misterius. Hal ini sama misteriusnya dengan latar belakang Tirana.
Siapakah orang tuanya, dari suku apakah ia, bersuamikah dia, beranakkah dia—tidak ada
satu cara untuk mengetahuinya. Bahkan penerimaan bahwa ia seorang perempuan juga
tidak pernah dilandasi suatu pengetahuan yang meyakinkan—di balik tumpukan hitam
legam itu bisa terdapat sosok siapa pun, entah itu lelaki atau perempuan. Entah
bagaimana caranya seperti sudah disepakati bahwa Tirana adalah seorang perempuan
(hlm. 67).
Ironis memang, pengarang tidak memberi kepastian mengenai siapa sebenarnya
Tirana. Pengarang seolah-olah merangsang pembaca untuk mendeteksi sendiri kira-kira
apa jenis kelamin Tirana, apakah perempuan ataukah lelaki. Apalagi di bagian epilog,
pengarang, melalui tokoh “aku” lagi-lagi tidak dapat memastikan jati diri Tirana. Kutipan
berikut akan membuktikannya.
(7) “…aku tidak pernah tahu, yang mana di antara cerita-cerita yang beredar
tentang Tirana bisa diakui kesahihannya. Pertama, bahwa Tirana adalah
perempuan terindah yang pernah diperkosa dan wajahnya telah disayat-sayat
Komplotan Pisau Belati di kamar penginapanku 500 tahun yang lalu; ataukah
kedua, bahwa Tirana ternyata seorang pria yang telah berkasih-kasihan dengan
Guru Besar dan lantas merana ketika Guru Besar saling jatuh cinta dengan
seorang perempuan yang akhirnya merebut kekuasaan.” (hlm. 224) Kutipan (7) ini menunjukkan “ketidakberanian” pengarang dalam memastikan jati diri
Tirana. Pada titik ini pengarang memberikan dua alternatif, yakni apakah ternyata Tirana
seorang yang dulunya cantik atau Tirana tidak lebih sebagai lelaki yang mencintai sesama
jenisnya?
26
Baiklah jika demikian, dalam konteks tulisan ini akan ditelusuri jati diri Tirana.
Dalam rangka pengidentifikasian ini tentu saja harus mempertimbangkan kelogisan
cerita. Peristiwa-peristiwa yang mengindikasikan ada hubungan dengan Tirana akan
dijabarkan, kemudian daripadanya dilakukan penarikan kesimpulan sehingga diperoleh
titik terang mengenai jati diri Tirana.
2.3 Menyingkap Misteri Jati Diri Tokoh Tirana
Lantaran ada dua kemungkinan menyangkut kedirian Tirana maka satu per satu
kemungkinan itu akan digelarkan. Peristiwa yang mengarah pada kemungkinan Tirana
adalah seorang wanita cantik yang pernah diperkosa oleh Komplotan Pisau Belati ada
pada bagian pertama roman, khususnya Penginapan Para Leluhur. Bagian ini
mengisahkan tempat menginap “aku” yang ternyata dulunya pernah digunakan oleh para
pelajar Negeri Senja. Melalui keterangan pemilik penginapan, “aku” memperoleh
informasi bahwa dulu pernah ada seorang gadis cerdas yang menjadi pujaan setiap orang
Negeri Senja, tak peduli lelaki atau perempuan. Sementara itu, dalam kesehariannya,
gadis cantik sekaligus cerdas ini senantiasa mengenakan busana pria.
(8) “Ia (gadis cerdas itu, pen) tidak pernah menutupi kenyataan bahwa dirinya
adalah seorang perempuan. Usianya baru 20, semangatnya tinggi, dan ia
berbusana seperti seorang pria. Ia tampak begitu menggetarkan, apabila
melangkah di jalanan Negeri Senja bahkan kaum pria merasa gentar, dan kaum
perempuan merasa terpesona. Padahal sudah jelas ia seorang gadis meski
berbusana pria.” (hlm. 29) Bukan itu saja, kenyataannya gadis itu selalu berhasil mengalahkan para pengajar
dalam perdebatan di segala wacana. Di luar kelas ia mempelajari segenap kemahiran olah
senjata, dan semua pria dikalahkannya dalam pertarungan pedang, panah, pisau terbang,
27
maupun senjata-senjata rahasia (hlm. 29). Oleh sebab kecerdasan dan kecemerlangannya,
gadis ini juga mempunyai kans untuk menjadi kepala negara.
(9) “Gadis itu telah mempunyai pengikut yang banyak pula, bukan hanya sesama
perempuan tetapi juga pria. Sudah bisa ditebak, jika ia berminat jadi pemimpin
negara, pada saatnya ia punya pendukung lebih dari cukup banyaknya.” (hlm. 30) Kemudian, apakah benar gadis ini akan menjadi pemimpin negara? Belum dapat
dipastikan. Ada suatu peristiwa di mana Komplotan Pisau Belati memperkosa dan
menyiksanya di penginapan ketika ia sedang sendirian. Setelah peristiwa tragis itu, gadis
ini pergi tanpa sepengetahuan siapa pun.
(10) “…memegangi kedua tangan dan kakinya, merobek-robek busana pria yang
dikenakannya, lantas ia diperkosa. Tak kurang dari sepuluh orang di kamar itu.
Gadis itu disayat-sayat wajahnya…. Ia dicampakkan begitu saja di tempat tidur.
Namun ketika para pelajar pulang dari pesta rakyat balapan unta di luar
kota, gadis itu sudah tak ada. Hanya darahnya berlepotan pada tilam, sebagian
jadi bercak yang terinjak-injak di lantai. Ia hilang lenyap seperti ditelan bumi.”
(hlm. 32) Berdasar pada uraian tadi, dapat dimunculkan suatu praduga: gadis itulah yang
kelak akan disebut Tirana. Meskipun pengarang tidak menjelaskan apakah Komplotan
Pisau Belati juga “mencongkel” mata gadis itu, kecerdasan dan kecemerlangan gadis itu
cukup dapat dijadikan alasan jika kelak ia berkuasa, terlebih ia punya banyak pengikut.
Hal ini dapat digunakan sebagai alasan pembenar bahwa Tirana ternyata perempuan
terindah yang wajahnya disayat-sayat dan diperkosa, seandainya pengarang secara
gamblang memberikan pendeskripsian atau peristiwa lain yang mendukung. Ironisnya,
dalam keseluruhan kisah Negeri Senja selanjutnya tidak ada kejadian atau peristiwa
kaitan yang secara langsung menunjukkan bahwa Tirana adalah seorang mantan gadis
cantik korban perkosaan.
28
Lalu bagaimana dengan kemungkinan kedua: Tirana adalah seorang pria yang
berkasih-kasihan dengan Guru Besar yang kemudian merana karena kekasihnya
berkhianat. Bukti-bukti yang mendukung praduga ini ada pada bagian empat, khususnya
pada Kisah Cinta Tirana, Jika Memang Benar Adanya. Melalui tokoh “aku”, kisah cinta
Puan Tirana deras mengalir. Diceritakan bahwa Tirana pernah berkasih-kasihan dengan
Guru Besar, dan bersamanya pula ia melakukan pemberontakan kepada penguasa
pendahulunya.
(11) “…Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta pada masa remajanya telah
menjalin hubungan cinta dengan seorang pria yang kelak akan menjadi Guru
Besar di Kuil Matahari. Bersama-sama mereka berdua menggalang gerakan
perlawanan terhadap penindasan penguasa… dan hanya setelah penguasa saat itu
digulingkan maka Tirana yang sudah buta dan sejak dulu memang tidak pernah
terlihat wajahnya bisa kembali menghirup udara.” (hlm. 148-149)
Sekeluarnya Tirana dari penjara, ia menemui kenyataan kekasihnya itu telah
berpaling. Tragis baginya, perempuan yang membuat kekasihnya berpaling itulah yang
ternyata merebut kekuasaan dan mengangkat kekasihnya itu sebagai Guru Besar di Kuil
Matahari (hlm. 149). Dan ternyata penguasa baru itu juga tidak kalah kejam dari
penguasa Negeri Senja sebelumnya, dan menindas rakyat dengan semena-mena.
Penguasa baru itu benar-benar ingin menguasai segalanya, terlebih ia juga bermain cinta
dengan Guru Besar di altar pemujaan Kuil Matahari. Melihat kejadian ini, Tirana tidak
tinggal diam.
(12) “Atas nama rakyat, maupun atas nama sakit hatinya sendiri, Tirana berhasil
menggulingkan kekuasaan dan menghukum penghinaannya kepada agama
dengan kekejaman yang setimpal…. Perempuan yang telah merebut kekasihnya
itu dibakar di altar itu juga….
29
Begitu kejamnya sikap Tirana terhadap perempuan yang tadinya sangat
berkuasa, tapi kemudian bernasib sangat malang itu, sikapnya pada Guru Besar
tidak bisa dimengerti, karena ternyata ia tidak menghukumnya sama sekali.”
(hlm. 150)
Sampai di sini apakah tabir misteri Tirana sudah dapat dikatakan terkuak? Bukti-
bukti di atas kiranya barulah sedikit menyingkap tabir misteri itu. Untuk tahu lebih pasti
mengenai jati diri Puan Tirana diperlukan bukti lain lagi. Kenyataan bahwa Tirana tidak
mengambil tindakan apa pun terhadap Guru Besar dapat diasumsikan sebagai Tirana
masih menyimpan cinta terhadap Guru Besar. Akan tetapi cinta Tirana ini sepertinya
tidak berbalas. Guru Besar yang dicintai begitu rupa oleh Tirana lebih memilih sebagai
oposan. Periksa kutipan berikut.
(13) “Diceritakan juga betapa Tirana meskipun tiada pernah berbicara,
sebetulnya masih mencintai kekasih yang berkhianat itu dengan seluruh jiwanya.
“…Guru Besar tampaknya memilih untuk bersikap sebagai lawan, terbukti
dengan usahanya mencari Penunggang Kuda dari Selatan… bisa menyelamatkan
keadaan.” (hlm.152) Meskipun demikian bukan berarti Tirana tidak tahu menahu akan usaha pencarian
Penunggang Kuda dari Selatan tersebut. Tirana tahu akan hal itu, namun ia mendiamkan
saja. Kenyataan ini makin membuktikan bahwa Tirana masih menyimpan cinta pada
Guru Besar.
(14) “Usaha pencarian Sang Juru Selamat itu tentu sudah diketahui pula oleh
Tirana dan ternyata didiamkan saja… karena kemungkinan besar ia terlalu
mencintai bekas kekasih yang telah menghianatinya.” (hlm. 152)
Akan tetapi, Tirana tidak merealisasikan cintanya tersebut. Justru Tirana
menunjukkan sikap yang kontras dengan kondisi batinnya. Logikanya jika seseorang
30
mencintai orang lain umumnya akan mengapresiasikan cintanya itu dengan bersikap
lembut terhadap orang yang diharapkan menerima cintanya. Namun, nyatanya Tirana
tidak sudi Guru Besar itu menjumpainya.
(15) “Pada 150 tahun pertama kekuasaannya, setidaknya setahun sekali Tirana
datang ke Kuil Matahari untuk berdoa… namun ia tak sudi Guru Besar itu
menjumpainya.” (hlm. 151) Cinta Tirana terhadap Guru Besar agaknya mengalami perubahan orientasi: cinta
platonik. Pengertian cinta platonik sendiri ialah cinta yang sepenuhnya ideal yang tidak
mempunyai hubungan apa pun dengan tubuh manusia, khususnya seksualitas manusia.
Cinta ini hanya sebatas ide-ide yang abadi dan lebih benar. Orang yang mengalami cinta
ini biasanya akan menunjukkan kekontrasan sikap antara perasaan dan tingkah lakunya
(Lepp, 2006: 84-88). Tirana juga didera kekontrasan sikap.
(16) “… cinta telah membuatnya (Tirana, pen) tiada bijaksana, sehingga
tindakannya penuh pertentangan dalam dirinya, karena penolakan dan pengakuan
cinta yang menguak hatinya bersama-sama.” (hlm. 153) Sebagai pelampiasannya, Tirana menyalurkan rasa permusuhan sekaligus cintanya
terhadap Guru Besar dengan menindas rakyat. Pertentangan cinta keduanya inilah yang
mengakibatkan rakyat Negeri Senja tertindas, dan akhirnya melakukan pemberontakan
karena sudah tidak percaya lagi kepada janji Guru Besar.
(17) “…betapa kisah cinta keduanya telah meruncing dan terwujud dalam
perseteruan yang mengorbankan negara.
Cinta yang berantakan telah menghancurkan hubungan kedua pilar
negara; Guru Besar tidak mendapatkan lagi kepercayaan umat, kecuali janji
penyingkiran Tirana dengan mencari juru selamat bernama Penunggang Kuda
dari Selatan, tetapi yang semakin tidak bisa dipercayai; sedangkan Tirana bagai
melampiaskan cinta dalam penindasan berkepanjangan yang tiada pernah
memuaskan hatinya.” (hlm. 192-193)
31
Berdasarkan uraian di atas makin nyatalah jati diri Puan Tirana. Tokoh misterius
ini ternyata seseorang yang pernah menjalin cinta dengan Guru Besar dan kemudian
dikhianati oleh kekasihnya tersebut. Pengkhianatan cinta itu menimbulkan seteru yang
kemudian menjadi sebuah petaka besar bagi penduduk Negeri Senja, dan perseteruan
cinta inilah yang menyebabkan peristiwa-peristiwa pembangun konflik dalam
keseluruhan roman Negeri Senja.
Namun begitu bukan lantas serta merta dapat disimpulkan bahwa Tirana adalah
seorang pria yang berkasih-kasihan dengan Guru Besar (lihat kutipan (7)). Hal ini
dikarenakan tidak ada peristiwa pendukung yang dapat menjelaskan bahwa Tirana
berkelamin pria. Dalam keseluruhan narasi mengenai Tirana lebih sering disebut sebagai
wanita, terutama penyebutan “Puan Tirana” yang mengacu pada gender wanita
(feminim), kata “Puan” juga setara dengan miss (Bahasa Inggris).
Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa Tirana adalah seorang gadis korban
perkosaan yang kemudian menjalin cinta dengan Guru Besar. Asumsi ini didasarkan pada
kemungkinan lenyapnya Tirana setelah diperkosa (kutipan (10)), Tirana mengubah
penampilannya: menutupi seluruh tubuh dan wajahnya dengan kain hitam, dan kemudian
bertemu dengan Guru Besar. Alasan ini diperkuat oleh narasi yang menggambarkan
bahwa Tirana dengan Guru Besar pernah menjalin cinta pada masa muda (kutipan (11)),
sementara pada saat Tirana “kabur” usianya baru dua puluh tahun (kutipan (8)). Dari sini
ada perolehan kesimpulan, yakni bahwa Tirana adalah seorang gadis cantik yang pada
masa mudanya pernah diperkosa oleh Komplotan Pisau Belati, kemudian mengasingkan
diri dan bertemu dengan Guru Besar untuk menjalin cinta sebelum akhirnya berkuasa.
32
Jadi, pengakuan pengarang—melalui tokoh “aku”—soal siapa sebenarnya Tirana
(kutipan (7)) tidak lebih sebagai usaha pengarang untuk menyembunyikan, jika tidak
dikatakan memberi “ruang kosong”, jati diri Tirana dari pembaca.
2.4 Teknik Penyajian Tokoh Tirana
Setelah secara panjang-lebar kita diajak menelisik jati diri tokoh Puan Tirana
Sang Penguasa yang Buta, maka selanjutnya kita akan melihat bagaimana modus
penghadiran tokoh Tirana. Bagaimana pengarang menghadirkan tokoh ini: jenis teknik
pelukisan tokoh yang mana yang digunakan pengarang? Meskipun uraian pada bagian
sebelumnya sangat membantu dalam kaitannya dengan teknik pelukisan tokoh yang
dipakai oleh pengarang, namun teknik pelukisan tokoh akan dibahas secara lebih lanjut
pada bagian ini.
Menyoal penokohan tentu saja harus berurusan dengan bagaimana tokoh tersebut
dihadirkan (diceritakan) oleh pengarang ke hadapan pembaca. Pengarang, demi mencapai
efek artisitik tertentu, hampir dapat dipastikan senantiasa mempertimbangkan teknik
pelukisan tokoh untuk digunakan ketika menghadirkan tokoh rekaannya tersebut.
Nurgiyantoro (2005) mengatakan, masalah penokohan dalam karya tak semata-mata
hanya berhubungan dengan masalah pemilihan jenis dan perwatakan tokoh cerita saja,
melainkan juga bagaimana melukiskan kehadiran dan penghadirannya secara tepat
sehingga mampu menciptakan dan mendukung tujuan artistik karya yang bersangkutan.
Perlu untuk diketahui, ada dua teknik pelukisan tokoh menurut Nurgiyantoro
(2005) yang biasa digunakan, yakni teknik pelukisan langsung (teknik ekspositori) dan
teknik pelukisan tidak langsung (teknik dramatik). Pada teknik ekspositori, atau sering
33
disebut teknik analitis, pelukisan tokoh dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian,
atau penjelasan secara langsung. Sementara, penampilan tokoh dalam teknik dramatik
dilakukan secara tak langsung. Artinya, pengarang tidak mendeskripsikan secara eksplisit
sifat dan sikap serta tingkah laku tokoh. Pengarang membiarkan tokoh cerita untuk
menunjukkan kediriannya sendiri melalui berbagai aktifitas yang dilakukan, baik secara
verbal lewat kata maupun nonverbal lewat tindakan, dan juga melalui peristiwa yang
terjadi.
Berdasar atas pengertian tersebut, marilah kita lihat bagaimana pengarang
menghadirkan tokoh Tirana ke hadapan pembaca. Beberapa kutipan di atas kiranya dapat
memberi sedikit kejelasan mengenai teknik pelukisan yang digunakan. Oleh pengarang,
Tirana lebih sering dikisahkan secara analitik, yakni pengarang memberikan deskripsi
langsung mengenai sikap, tingkah laku, kebiasaan, serta tabiat Tirana. Untuk lebih
jelasnya, silakan periksa kembali kutipan (2) sampai dengan kutipan (6). Dari situ dapat
diperoleh kejelasan mengenai busana serta kerudung hitam yang senantiasa dikenakan
tokoh Tirana, yang memiliki sifat kejam, dideskripsikan secara langsung oleh pengarang.
Selain itu juga dapat diketahui bahwa Tirana ternyata mempunyai kemampuan membaca
pikiran melalui cahaya senja.
(18) “…Tirana mampu membaca pikiran siapapun hanya selama terdapat cahaya.
Tirana membaca pikiran melalui cahaya, dan di Negeri Senja artinya Tirana
membaca pikiran melalui cahaya senja.” (hlm. 68)
Untuk mempertegas bahwa pengarang lebih sering menggunakan teknik analitis dalam
menghadirkan Tirana, berikut saya berikan satu bukti lagi.
(19) “Dunia Tirana adalah dunia kegelapan, namun tidak ada yang gelap bagi
Tirana karena ia sendiri buta. Dalam kebutaannya ia mengenal segalanya dengan
34
baik menembus kegelapan, sehingga meskipun dunianya gelap, tak ada yang
lebih jelas bagi Tirana selain segala sesuatu di balik kegelapan itu.” (hlm. 66)
Akan tetapi, berangkat dari penjelasan di atas, bukan lantas dapat dikatakan
pengarang mutlak menggunakan teknik analitis ketika menyajikan tokoh Tirana. Untuk
mencapai suatu efek artistik pengarang juga menyelingi teknik analitisnya dengan
penggunaan teknik dramatik. Pada kasus ini sepertinya pengarang sadar benar akan
kelemahan dan kelebihan masing-masing teknik pelukisan tokoh. Untuk menutupi
kelemahan teknik analitis, yang cenderung kaku dan tidak memberi keleluasaan tafsir
pembaca, pengarang menggunakan teknik dramatik agar tokoh Tirana terkesan alami dan
multi-intepertable bagi pembaca. Penggunaan teknik dramatik ini, khususnya, tampak
ketika pengarang tidak memberi kejelasan mengenai jenis kelamin Tirana. Di sini
pengarang memberikan kebebasan bagi pembaca untuk menentukan sendiri jenis kelamin
Tirana—tulisan ini menyimpulkan Tirana berkelamin wanita.
Dengan demikian dapat dipastikan bahwa pengarang menggunakan kedua teknik
pelukisan tokoh, yang ditawarkan Nurgiyantoro (2005), secara bergantian: variatif.
Penggunaan kedua teknik pelukisan tokoh secara sekaligus ini berakibat pada semakin
alami dan menambah efek artistik tokoh Puan Tirana ketika “menjumpai” pembaca.
Kedirian tokoh Tirana yang misterius tersebut dapat dirasakan pembaca sebagai tokoh
nyata yang benar-benar ada di sekitarnya, meskipun tentu saja diperlukan kekuatan
imajinatif dari masing-masing pembaca untuk mengkonstruksikan wujud Tirana.
Lantaran kehadiran tokoh Tirana yang alami dan memiliki sifat kesepertihidupan, maka
kita dapat menilai pengarangnya berhasil menghadirkan tokoh Tirana kehadapan
pembaca.
35
Keberhasilan pengarang dalam menghadirkan tokoh Tirana mau-tidak-mau
berimbas pada kemudahan pembaca—dalam hal ini saya—untuk mengidentifikasi
kedirian tokoh Puan Tirana. Kedirian yang dimaksud meliputi sifat, watak, kondisi fisik
dan bahkan kemampuan metafisika tokoh Tirana. Secara fisik, Tirana digambarkan
sebagai seorang perempuan buta yang senantiasa berjubah dan berkerudung hitam.
Perempuan buta ini memiliki sifat yang kejam dan tak kenal ampunan, dan sering kali
memaksakan kehendak. Sifat kejamnya itu tak mungkin dapat terbendung karena ia
termasuk wanita yang memiliki kelebihan, salah satunya membaca pikiran. Tokoh Tirana
memiliki status sosial yang istimewa sebab dialah pemimpin Negeri Senja. Tetapi,
“keistimewaan” Tirana ini bukan tanpa cacat karena ternyata Tirana menderita luka batin
(: dendam cinta) yang cukup parah akibat ditinggal kekasihnya. Rasa dendam cintanya itu
ia lampiaskan dengan cara menindas rakyat Negeri Senja. Kepada rakyatnya, Tirana
bertindak sewenang-wenang: menjadikan kehidupan Negeri Senja sebagai kehidupannya.
Sikap kepemimpinan Tirana yang keji, tak kenal kasihan, dan absolut ini menjadikannya
seorang pemimpin yang memiliki sifat-sifat diktator.
Untuk mengetahui lebih jauh mengenai sifat dan sikap kepimimpinan diktator
Tirana silakan buka halaman berikutnya: Bab III. Pada bagian tersebut akan digelarkan
berbagai sikap diktator Tirana. Kediktatoran Tirana ini akan ditelusuri dengan pisau teori
yang ditawarkan Jules Archer (2004).
36
BAB III
KEDIKTATORAN TOKOH
PUAN TIRANA SANG PENGUASA YANG BUTA
DAN
BERBAGAI PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA IKUTANNYA
Sebuah karya seni hampir bisa dipastikan selalu berangkat dari kegelisahan si
kreator yang dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya sebagai mahluk sosial, sehingga
mau-tidak-mau pesan-pesan dan bahkan kritik sosial niscaya termaktub dalam karya yang
dihasilkannya. Kenyataan ini tak urung juga mendera karya sastra, sebagai sebuah genre
seni. Menurut buku usang—yang ternyata masih menjadi “kitab suci” mahasiswa
sastra—karangan Wellek-Warren (1989), seorang sastrawan dalam mencipta sastra tidak
bisa lepas dari situasi sosial yang melingkupinya; apa yang didengar, dilihat, dan
dirasakan sastrawan itulah yang nantinya akan berpengaruh besar pada karya ciptaannya.
Dengan demikian, maka sebenarnya membaca sastra adalah juga membaca dunia, karena
pembaca selalu dihadapkan pada peristiwa-peristiwa sosial yang diusung sebuah karya
sastra.
Pada ranah pengertian sastra sama dengan dunia, tidak berlebihan kiranya apabila
roman Negeri Senja ditempatkan sebagai sebuah semesta yang memiliki kenyataan
sosial. Peristiwa sosial dalam roman tersebut yang berhasil saya tangkap, salah satunya,
adalah sikap diktator seorang pemimpin, dalam hal ini tokoh Puan Tirana Sang Penguasa
yang Buta, yang selanjutnya akan menjadi lingkup bahasan pada bagian ini.
Pada bagian sebelumnya (bab II) kita telah mengetahui bagaimana jati diri tokoh
Tirana. Secara panjang lebar peristiwa-peristiwa yang mendukung kedirian Tirana
37
diuraikan hingga akhirnya didapat perolehan kesimpulan identifikasi tokoh dan
penokohan Tirana. Dalam bab tersebut, bagaimanapun juga, sedikit sifat-sifat diktator
Tirana sebagai pemimpin Negeri Senja mulai terlihat. Oleh sebab itu, pada bab tiga ini
kita akan diajak melihat pendeskripsian secara khusus dan lebih rinci mengenai
kediktatoran Tirana serta berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukannya.
Namun demikian, sebelum perbincangan menjadi semakin larut, ada baiknya jika
kita tengok kembali pengertian diktator. Dalam pengertian paling sederhana, diktator
adalah seorang penguasa yang mencari dan mendapatkan kekuasaan mutlak
pemerintahan tanpa (biasanya) memperhatikan keinginan-keinginan nyata dari rakyatnya.
Oleh karena itu, diktator biasanya bertindak memaksakan kemauan politiknya. Ia tidak
membutuhkan dasar hukum, tidak mengupayakan dukungan parlemen sebagai
representasi demokrasi, dan tidak juga melibatkan keinginan pemangku kepentingan
(Hukum online, 2006). Diktator bukanlah seorang pewaris tahta. Dia sama sekali tidak
memiliki hak waris semacam itu; rakyat atau kaum bangsawan tidak mengenalinya dari
pandangan seperti itu. Selanjutnya, oleh Archer (2004: 19) diktator dikatakan memiliki
lima sikap utama, yakni (i) sebagian besar diktator menyembunyikan nafsu berkuasanya
di balik sikap sebagai pendobrak dengan motif dan alasan-alasan yang luhur; (ii) diktator
secara terang-terangan menggunakan teror untuk menyurutkan setiap usaha untuk
menggulingkannya; (iii) diktator menggunakan taktik memecah belah dan melumpuhkan,
demi bertahan pada kekuasaannya; (iv) diktator selalu memelihara pertentangan golongan
di bawah payung nasional sehingga mereka tidak mampu menggabungkan kekuatan dan
kemudian menyerangnya; dan (v) diktator selalu mencari peluang untuk meyakinkan
rakyat dengan berusaha menentang kekuatan-kekuatan besar di dunia. Dengan demikian,
38
dapatlah dipastikan seorang diktator akan selalu sewenang-wenang dalam menjalankan
roda pemerintahannya, yang direalisasikan dalam bentuk pelanggaran hak asasi manusia.
Dalam rangka bertahan pada kursi kekuasaannya ternyata Tirana cenderung
menggunakan taktik memecah belah dan melumpuhkan, serta menggunakan teror untuk
menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya. Nah, untuk itu marilah kita lihat
bagaimana Tirana memainkan peranannya sebagai seorang diktator. Sikap-sikap diktator
apa sajakah yang ia gunakan, dan hak-hak asasi apa sajakah yang dilanggar Tirana?
3.1 Taktik Memecah Belah dan Melumpuhkan
Kiranya kita masih ingat penelusuran jati diri Tirana (Bab II) yang penuh dengan
misteri sehingga membutuhkan banyak informasi guna menyimpulkan bahwa ternyata
Tirana adalah seorang perempuan buta. Misteri ini pun berlaku pada sejarah naiknya
Tirana ke tampuk kekuasaan Negeri Senja. Penduduk Negeri Senja sama sekali tidak
megetahui kapan dan dengan cara apa Tirana berkuasa.
(20) “Naiknya Tirana ke puncak kekuasaan diselaputi misteri. Tidak seorang pun
saksi hidup yang dapat berkisah tentang bagaimana perempuan itu berkuasa. (…)
dan di negeri itu catatan sejarah yang bisa dibaca tidak ada sama sekali. (….)
Pada saat Tirana naik tahta, ia juga menghapus jejak para pendahulunya—namun
ia sendiri tidak memerintahkan untuk menulis apapun. Ia membiarkan sejarah
dan masa lalu gelap…. (hlm. 64) Di sini mulai terendus kediktatoran Tirana, yakni pembungkaman terhadap
kemerdekaan berpikir penduduk Negeri Senja. Dengan tidak diizinkannya penulisan
sejarah, dapat diartikan Tirana telah melaksanakan taktik memecah belah dan
melumpuhkan gerakan perlawanan bahkan sejak dalam alam pikiran. Karena
kemerdekaan pikiran merupakan suatu keadaan yang bisa mengancam kekuasaan Tirana,
39
maka apa saja yang berbau kebebasan berpikir sangat diharamkan berlangsung di Negeri
Senja.
(21) “… di Negeri Senja secara resmi penyebaran pengetahuan yang memperluas
cakrawala pemikiran dilarang.” (hlm. 122)
Kemerdekaan pikiran bagaimanapun juga merupakan suatu keadaan yang
memungkinkan manusia untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Dengan
berpikir dan kemudian merealisasikan pikirannya tersebut dengan tindakan-tindakan
nyata seseorang dapat menjadi manusia seutuhnya yang berhak atas kebebasan dan
kehidupan yang layak sesuai dengan harkat dan martabatnya, dan apabila kemerdekaan
berpikirnya itu dikekang maka seseorang dapat dipastikan akan memberontak, termasuk
memberontak kekuasaan. Akan halnya dengan kebebasan pikiran ini, Tirana juga sangat
takut dengan ancaman yang ditimbulkan oleh kemerdekaan berpikir. Demi memecah
belah dan melumpuhkan alam pikiran gerakan perlawanan, Tirana selalu sibuk menindas
kebebasan pikiran orang-orang Negeri Senja.
(22) “… kebebasan pikiran adalah satu-satunya hal yang ia takutkan. Sejarah
kekuasaan Tirana adalah usaha menindas kebebasan pikiran itu, karena dengan
pikiran kita bisa menolak kekuasaan.” (hlm. 70)
Ketakutan Tirana pada berlangsungnya kebebasan pikiran makin menjadi: Tirana,
dengan alat kekuasaannya, senantiasa berusaha membungkam kebebasan pikiran. Dalam
roman Negeri Senja digambarkan betapa orang-orang yang memikirkan perlawanan
selalu hidup dalam kegelapan demi menghindari terbacanya pikiran oleh Tirana. Maka,
para kaum cendekia senantiasa hidup dalam kegelapan. Dari kegelapan ke kegelapan
inilah kaum cendekia Negeri Senja menyebarkan isu-isu perlawanan.
40
(23) “… tetap juga para cendekiawan menyebarkan pikiran-pikiran bebas dalam
kegelapan setiap kali ada kesempatan.” (hlm. 72)
“Di pojok-pojok gelap para cendekiawan memusatkan pikiran, segenap
pengertian disebarkan sembari menghindari cahaya, seperti bayangan yang
bersembunyi di balik bayang-bayang.” (hlm. 76)
Untuk menyiasati pergerakan kemerdekaan berpikir kaum cendekia ini, Tirana tidak
kehabisan cara guna membungkamnya. Tirana menyebarkan mata-mata untuk
memberangus kebebasan pikiran tersebut. Hal ini membuktikan bahwa Tirana sangat
sadar akan bahaya kebebasan pikiran.
(24) “Mata-mata Istana terus menerus disebarkan dan memang berada di mana-
mana, karena Tirana lebih takut kepada kencendikiaan daripada kekerasan.”
(hlm. 77)
“… pembebasan jiwa dan pikiran hanya berarti kekalahan bagi Tirana yang
mengukur kekuasaannya dengan ketertundukan dan ketaklukan.” (hlm. 128)
Dari sana makin terlihat nyata bahwa Tirana sangat sadar akan bahayanya
kebebasan pikiran, karena dengan kebebasan pikiran perlawanan akan dengan mudah
dilaksanakan. Oleh karena itu, Tirana membungkam segala bentuk kebebasan
berpendapat yang memungkinkan terjadinya penyebaran informasi (pengetahuan). Tirana
memerintahkan pasukan pribadinya (: Pengawal Kembar) untuk mengeksekusi siapa saja
yang bertukar pendapat, berkumpul, dan menyebarkan isu perlawanan.
(25) “Para Pengawal Kembar menggerebek rapat-rapat dan diskusi, pertemuan
lebih dari lima orang sudah dianggap sebagai persekongkolan untuk melakukan
penghianatan.” (hlm. 68)
Selain mematikan segala bentuk diskusi terbuka, Tirana juga tidak pernah mengizinkan
berdirinya sebuah partai.
41
(26) “… di Negeri Senja tidak ada partai yang tidak dilarang, bahkan partai milik
negara atau pemerintah yang memegang kekuasaan pun tidak diperkenankan
Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta.” (hlm. 188)
Dengan melarang adanya partai di Negeri Senja dapat diasumsikan Tirana telah
mengacuhkan suara rakyatnya, karena keberadaan partai di sebuah negara merupakan
wujud dari demokrasi di mana aspirasi warga negara dapat tersalurkan. Keadaan ini
makin memperlihatkan kedirian Tirana sebagai seorang diktator—sebagaimana
dijelaskan di muka, bahwa seorang diktator tidak mengupayakan parlemen sebagai
representasi demokrasi (Hukum online, 2006).
Lebih jauh lagi, agar kediktatorannya makin kukuh, Tirana menyebarkan rumor—
saya mengatakan demikian lantaran pengarangnya tidak memberi ketegasan tentang
“kebenaran” ini—bahwa ia dapat membaca pikiran melalui perantara cahaya.
(27) “Tirana juga dikatakan mampu membaca pikiran…. Tentu saja hal ini juga
simpang siur, karena bagaimana caranya orang tahu bahwa Tirana mampu
membaca pikiran? Namun hal ini sudah cukup menjadi alasan untuk melakukan
apapun yang dikehendaki pemegang kekuasaan.” (hlm. 67)
Keadaan seperti ini dapatlah dikatakan sebagai suatu strategi seorang diktator dalam
rangka bertahan pada kekuasaannya. Diktator lebih memilih ditakuti oleh rakyatnya
ketimbang dicintai. Pilihan itu sangatlah lazim bila seseorang ingin bertahan pada kursi
kekuasaan, sebab orang lebih mudah melawan dia yang berusaha dicintai daripada yang
ditakuti karena cinta bertahan berkat rangkaian kewajiban yang, karena orang bersifat
keakuan, berhenti segera sesudah dipenuhi; tapi rasa takut tetap bertahan karena selalu
ada ancaman hukuman (Machiavelli via Calne, 2005: 172).
42
Untuk menunjukkan bahwa Tirana layak ditakuti oleh rakyat Negeri Senja maka
kerap kali ia memerintahkan pasukannya untuk menghukum, dengan cara apapun, para
pembangkang. Kekejaman Tirana ini tampak salah satunya pada peristiwa ketika
dilakukan pemburuan terhadap kaum cendekiawan yang membaur dengan kaum fakir.
Aparatur kekuasaan Tirana dengan terang-terangan melakukan penganiayaan keji, tidak
manusiawi!
(28) “Kemudian tibalah pasukan berkuda yang berderap dari segala mulut lorong,
langsung menyerang para fakir. (…) suara cambuk meledak-ledak menghajar
para fakir yang tidak mengaduh meski tetap terdengar juga desah menahan
keluh…. Para prajurit itu turun dari kuda
dengan cambuknya, lantas melecut-lecutkannya ke tubuh orang-orang fakir
dengan ganas sedangkan kudanya masih terus menginjak-injak pula. Cambuk itu
sampai mencabik busana mereka yang memang sudah cabik-cabik dan
bertambal-tambal… kulihat pula kulit yang tercabik di balik busana yang
tercabik.” (hlm. 86-87)
Kekerasan yang dilakukan Tirana jelas-jelas merupakan suatu kekhasan perilaku
seorang diktator. Efek jera bagi rakyat yang membangkang adalah satu-satunya jalan.
Rahman (1994) mengatakan, totaliterisme merupakan awal dari semua kediktatoran, dan
penghinaan terhadap umat manusia serta kehidupan bersama. Totaliter dalam cara
berpikir dan totaliter dalam cara bertindak. Karena keyakinan akan kebebasan absolut
sebuah cara berpikir, maka akibatnya perkembangan kemanusiaan dan kreativitas yang
menghendaki kebebasan berpikir dan sikap kritis harus menjadi jenazah yang tidak boleh
ditangisi siapa pun. Kediktatoran Tirana ini lagi-lagi menampakkan tajinya kepada orang-
orang yang nekat melakukan diskusi dan penyebaran pengetahuan. Kepada pembangkang
seperti mereka, Tirana bertindak lebih sadis! Amati kutipan berikut.
43
(29) “Suatu ketika dalam masa pemerintahannya, ia (Tirana, pen) menggerebek
sebuah seminar tentang politik dan kekuasaan di perguruan tinggi terakhir yang
pernah ada di Negeri Senja. Saat itu juga ia menggantung semua orang yang
hadir…. Tidak kurang dari 319 orang, termasuk kaum perempuan, digantungnya
di bawah langit senja yang merah membara begitu rupa….” (hlm. 142)
Seorang diktator haruslah membuat dirinya ditakuti sedemikian rupa, dan tidak
perlu merasa khawatir terhadap kecaman yang ditimbulkan karena kekejamannya selama
ia mempersatukan dan menjadikan rakyatnya setia (Machiavelli, 1987). Lantas, apakah
usaha Tirana untuk menakut-nakuti rakyatnya tersebut berhasil, dan seperti apa bentuk
ketertundukan rakyat Negeri Senja terhadap kekuasaannya?
(30) “Ia (Tirana,pen) seperti tiba-tiba saja sudah berada di dalam istana. Orang
hanya tahu betapa ia sangat ditakuti.” (hlm. 65) Wujud nyata dari kepatuhan rakyat Negeri Senja kepada Tirana ini dapat dilihat dari
kebiasaan mereka yang harus berada di tepi jalan untuk menyaksikan Tirana lewat. Lebih
dari itu, karena Tirana dikatakan dapat membaca pikiran, rakyat Negeri Senja sama sekali
tidak berbicara ketika berada di luar rumah. Rumor Tirana yang dapat membaca pikiran
dan melakukan apa saja yang dikehendakinya, ternyata mampu menciptakan suasana
keramaian tanpa suara.
(31) “… adat istiadat atau kebiasaan di Negeri Senja, yang merasa harus berada
di tepi jalan dan menyaksikan apabila Tirana Sang Penguasa keluar dari istana
dan lewat. (….) Di jalan utama mereka menunggu tanpa suara, seperti tak ada
lagi yang perlu dibicarakan.” (hlm. 57)
“… begitu banyak orang bukan hanya pendiam melainkan takut bicara sehingga
begitu banyak orang di jalan suatu ketika tetapi tidak ada yang berbicara.” (hlm.
36)
44
Kesewenang-wenangan (baca: kediktatoran) Tirana dalam menjalankan
kekuasaannya memang makin terlihat nyata sehingga memancing tanya, gerangan apakah
kehidupan Negeri Senja yang diinginkan Tirana? Kiranya kutipan berikut akan
membuktikan betapa kesewenangan Tirana makin menjadi.
(32) “Tirana menghendaki Negeri Senja hidup dalam kegelapan, tanpa masa lalu
dan tanpa masa depan, tanpa sejarah dan tanpa pengetahuan….” (hlm. 71)
Sampai di sini sikap diktator Tirana yang direalisasikan dalam bentuk taktik
memecah belah dan melumpuhkan mulai menunjukkan hasil nyata. Oleh Tirana, segala
upaya yang mengancam kedudukannya sebagai seorang penguasa dapat dengan mudah ia
singkirkan. Bahkan, Tirana telah memecah belah dan melumpuhkan pergerakan rakyat
Negeri Senja sejak di alam pikiran. Kenyataan ini mampu mengkondisikan rakyat Negeri
Senja senantiasa diam, penuh ketakutan, dan tak punya nyali untuk melawan. Kalau pun
ingin melakukan perlawanan, sangat kecil kemungkinan untuk berhasil. Meskipun ada
juga beberapa kelompok yang kelak melakukan pemberontakan besar-besaran, tetapi
pada kenyataannya kebanyakan rakyat Negeri Senja tetap saja tunduk terhadap kekuasaan
Tirana. Dengan demikian, dapatlah dikatakan Tirana telah berhasil bertahan pada tampuk
kekuasaannya dengan sikap diktator.
Akan tetapi, kediktatoran Tirana bukan berarti berjalan mulus tanpa ada hambatan
dan perlawanan dari rakyatnya. Rakyat Negeri Senja juga melakukan perlawanan demi
merebut kemerdekaan hak asasi mereka sebagai manusia. Perlawanan rakyat ini kelak
disikapi Tirana dengan cara menyebarkan teror demi menyurutkan setiap usaha untuk
menggulingkannya dari kursi kekuasaan.
45
3.2 Teror Kepada Gerakan Perlawanan
Perlakuan kejam dan tanpa kemanusiaan Tirana, memaksa rakyatnya tergerak
untuk menghentikan kekuasaannya. Seperti telah disebutkan di atas, para cendekiawan di
bawah kegelapan senantiasa menyatukan kekuatan. Imbasnya, berbagai perkumpulan
bawah tanah banyak tumbuh di Negeri Senja untuk melawan penindasan Tirana.
(33) “Dari tahun ke tahun orang-orang Negeri Senja hidup tanpa kebebasan di
mana hidup hanya berarti melanjutkan hidup, tapi dari tahun ke tahun semangat
perlawanan tetap dipertahankan, dari kegelapan ke kegelapan.” (hlm. 69)
“… dari kegelapan jua perlawanan tumbuh di bawah payung kekuasaannya yang
muram.” (hlm. 71) Gerakan perlawanan ini ternyata sudah terkoordinir dengan rapi. Dari berbagai macam
organisasi, yang memiliki tujuan yang sama, telah memiliki suatu utusan perwakilan
untuk mengendalikan perlawanan.
(34) “Gerakan bawah tanah itu sudah memiliki suatu dewan perwakilan yang
bekerja seperti lembaga resmi, darimana seluruh gerak perlawanan
dikenadalikan.” (hlm. 106) Tumbuhnya gerakan perlawanan di Negeri Senja dapat dikatakan sebagai sebuah
resistensi rakyat terhadap represi kekuasaan. Kesabaran rakyat Negeri Senja atas
hilangnya hak mereka sebagai manusia telah mencapai titik kulminasi, sehingga tidak ada
cara lain selain merebut kembali hak-hak mereka tersebut. Ketika segela kepahitan dan
kepedihan sudah tidak tertanggungkan lagi, berada di luar kemampuan manusia untuk
menanggungnya, maka rasa memberontak akan muncul (Camus, 1988). Demikianlah
rakyat Negeri Senja melakukan pemberontakan, bahkan sejak Tirana menduduki
kekuasaan.
(35) “Semenjak Tirana menduduki kursi kekuasaan duaratus tahun lalu,
sebenarnya berlangsung pertempuran terus-menerus dan diam-diam antara
46
pasukan pemerintah dan gerakan bawah tanah. (…) selalu berlangsung teror yang
dibalas dengan teror. Dari saat ke saat gerakan bawah tanah diburu, dan dari saat
ke saat pasukan pemerintah disergap.” (hlm. 104) Berlangsungnya teror antara pasukan pemerintah dengan gerakan perlawanan ini
membuktikan betapa kediktatoran Tirana mulai nampak sejak kursi kekuasaan berhasil
dikuasainya. Tentu saja Tirana tidak mungkin begitu saja membiarkan suatu pergerakan
melengserkannya dari tampuk kekuasaan. Sesuai dengan yang dikatakan Archer (2004:
19), apabila sudah mendapatkan kekuasaan, diktator secara terang-terangan
menggunakan teror untuk menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya.
Teror untuk menakut-nakuti masyarakat adalah hal yang paling manjur untuk
mempertahankan kekuasaan sang diktator. Dengan menyusupkan mata-mata ke dalam
tubuh gerakan perlawanan terbukti akan langsung mematikan gerakan perlawanan itu
sendiri. Hal ini pulalah yang dilakukan Tirana. Ia mengirimkan Mata-mata Istana, yang
mampu membaca pikiran, untuk menghancurkan gerakan perlawanan. Periksa kutipan
berikut.
(36) “… gerakan perlawanan dalam duaratus tahun tak pernah hilang, meskipun
Tirana bukanlah Tirana jika tak mampu memburu dan melakukan pengejaran.
Dikerahknnya pasukan Mata-mata Istana yang telah mempelajari cara berpikir
dalam kegelapan, sehingga setiap kepentingan perlawanan memang berada dalam
ancaman pengintaian.
… kepandaian mereka (Mata-mata Istana, pen) untuk menyamar… bahkan juga
sebagai cendekiawan yang bijak dan luas pandangan, tapi memberi pengarahan
menyesatkan, sehingga kegelapan yang terhitam tak cukup aman lagi bagi
gerakan perlawanan untuk menyebarkan gagasan.” (hlm. 72)
“Bahwa dari tahun ke tahun Mata-mata Istana selalu berhasil menyamar sebagai
kaum oposan atau bahkan sebagai cendekiawan gadungan, yang sembari
mengacau strategi perlawanan dari dalam, melacak jejak para cendekiawan yang
47
sebenarnya, dan segera membunuhnya pada kesempatan pertama ketika
ditemukan.” (hlm. 77)
Dalam kaitannya untuk menghancurkan gerakan perlawanan itu, tentu saja
seorang diktator tidak akan menggunakan cara-cara damai. Diktator senantiasa memakai
kekerasan demi mematikan pemberontakan yang membahayakan ke- dudukannya. Sekali
lagi, Tirana ingin menunjukkan “keperkasaannya” pada rakyat Negeri Senja.
(37) “Pada awal masa kekuasaannya Tirana melakukan pembersihan besar-
besaran. Lawan-lawan politiknya dari semua golongan disapu bersih, nyaris
tanpa sisa. Atas nama kemampuan membaca pikiran, siapapun bisa ditangkap,
ditahan, dan dihukum mati dalam keadaan apapun…. Orang-orang yang sedang
berjalan di luar rumah dengan mudah diangkut dengan tuduhan memikirkan
perlawanan.” (hlm. 68)
Kekerasan demi kekerasan serba kejam yang nir-kemanusiaan terus dilakukan
Tirana. Ia tidak pandang bulu, siapa yang melakukan pemberontakan harus dimusnahkan.
Tidak ada ampunan dan ruang gerak bagi gerakan perlawanan, semua mesti dihancurkan.
Tindakan seperti ini, lagi-lagi, dilakukan Tirana ketika suatu masa ada sekelompok orang
di daerah yang mencoba membangkang terhadap pemerintahannya.
(38) “Dalam duaratus tahun pemerintahan Tirana setiap usaha pemberontakan
bukan hanya dibungkam, tapi juga dimusnahkan. Suatu suku yang menguasai
sebuah oase di padang pasir, dan karena itu berpeluang mendirikan kota baru,
telah dibantai habis tak menyisakan seorang manusia pun. Bangunan di sekitar
oase dihancurkan kembali menjadi pasir, kebudayaannya dimusnahkan, dan tidak
satu mulut pun diizinkan menyebut nama suku itu maupun menggunakan
bahasanya.” (hlm. 113) Sungguh, betapa kekejaman Tirana tiada tandingan. Bahkan supaya kebudayaan suku
yang telah dihancurkannya itu tidak menyebar, Tirana melarang penyebutan dan
pemakaian bahasa suku tersebut. Barang siapa melanggar larangan ini, nasibnya tidak
48
usah dipertanyakan lagi, Tirana tidak pernah membiarkan roh yang berani melawannya
beristirahat dengan tenang (hlm. 113).
Kekuasaan memang membuat siapa pun enggan melepasnya. Segala strategi
diupayakan untuk mencoba merebut kekuasaan, tetapi tentu si empunya tidak begitu saja
melepaskan. Berbagai pemberontakan sudah pasti akan disingkiran, meskipun
pemberontakan tersebut melalui jalan damai. Seorang diktator akan berusaha dengan
segala cara demi mempertahankan kedudukannya, kekuasaan totaliternya. Maka, untuk
menegaskan kediktatoran Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta, izinkan saya untuk
memberikan satu kutipan lagi.
(39) “Kekuasaan Tirana begitu mutlaknya dalam penghancuran. Kota yang
berumur 500 tahun dibakarnya tanpa keraguan untuk menggulung habis gerakan
perlawanan dalam lorong-lorong kegelapan….Ia ingin menghancurleburkan
budaya perlawanan sampai tidak ada sisa…” (hlm. 200).
“Tirana ingin menghapuskan keremangan yang penuh dengan rahasia kaum
perlawanan. Maka pembakaran, penghancuran, dan pembunuhan dianggap satu-
satunya jalan. Negeri Senja yang hanya terdiri dari pasir tanpa penduduk
barangkali dianggapnya sebagai keadaan yang paling aman.” (hlm. 202)
3.3 Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Dilakukan Puan Tirana
Sikap kediktatoran Tirana yang telah dikemukakan di atas bagaimanapun juga
menyiratkan berbagai tindak kejahatan terhadap kemanusiaan. Kepemimpinan Tirana
yang absolut acap kali tidak mengindahkan hak-hak asasi manusia. Dari tindak
penangkapan secara serampangan (tanpa dasar hukum) sampai dengan penyiksaan dan
bahkan pembunuhan dilakukan Tirana beserta aparatur pemrintahannya. Belum lagi,
tindakan Tirana mengekang kebebaasan berpikir orang-orang Negeri Senja. Tentu saja
hal ini sangat bertentangan dengan asas kemerdekaan dan kebebasan yang menjadi harkat
49
dan martabat manusia. Berdasar pada gaya kepemimpinan diktator Tirana tersebut akan
kita cari tahu pasal-pasal manakah dari The Universal Declaration of Human Right yang
dikangkangi tokoh Puan Tirana.
Dalam “kitab” hak asasi manusia tersebut, dikatakan bahwa setiap orang berhak
berpikir sesuai kehendak mereka dan dengan sendirinya berhak mempunyai pendapat dan
menyampaikannya kepada orang lain (Rocha, 1995). Pada kasus di Negeri Senja, tokoh
Tirana telah menindas kemerdekaan berpikir rakyat Negeri Senja (periksa kembali
kutipan (20, 21, 22 dan 24)). Di sini, secara lebih khusus, Tirana telah melanggar pasal
delapan belas “Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran….” dan pasal sembilan belas
“Setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi; hak ini meliputi
kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi serta mencari, menerima, dan
mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat garis
perbatasan.”
Pelanggaran hak asasi menyangkut kebebasan pikiran yang dilakukan Tirana
bukan berhenti sampai di situ saja. Pada kutipan (25, 26 dan 29) kiranya dapat diketahui
bahwa ternyata Tirana juga mengekang kebebasan setiap orang untuk berkumpul dan
mendirikan perhimpunan. Dalam kaitannya dengan bentuk pelanggaran ini, Tirana telah
melanggar pasal dua puluh “Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berkumpul dan
berasosiasi secara tenang.”
Belum puas dengan melanggar hak orang untuk berkumpul dan memperoleh
informasi, Tirana pun mengebiri jenis hak asasi manusia lainnya, yakni pasal lima “Tidak
seorang pun boleh dikenai penganiayaan atau hukuman yang keji, tidak manusiawi atau
merendahkan martabat.” Pelanggaran ini terjadi pada peristiwa di pasar ketika pasukan
50
kuda menyerbu dan menyiksa para fakir (kutipan 28), dan juga pada peristiwa di mana
ratusan orang digantung tanpa vonis hukum apapun (kutipan (29)). Selain itu , pada
peristiwa tersebut sekaligus juga terjadi pelanggaran terhadap pasal sembilan “Tidak
seorang pun boleh dikenai penangkapan, penahanan, atau pengasingan yang sewenang-
wenang.”
51
BAB IV
PENUTUP
1. Kesimpulan
Sebagaimana telah digelarkan di muka, analisis terhadap roman Negeri Senja ini
dilakukan untuk mengetahui tentang siapakah tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang
Buta serta bagaimana penokohannya, dalam hal ini menggunakan teori tokoh dan
penokohan yang dikemukakan oleh Burhan Nurgiyantoro (2005). Kemudian, dilanjutkan
dengan menganalisis kediktatoran tokoh Tirana menggunakan teori kediktatoran menurut
Jules Archer (2004). Bertolak dari sana, maka akan dilakukan penarikan kesimpulan
secara khusus pada bagian ini.
Sekadar mengingatkan, Nurgiyantoro (2005) mengatakan tokoh dan penokohan
adalah orang yang ditampilkan dalam karya sastra yang sekaligus memiliki kualitas
moral tertentu serta bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan sekaligus
pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas
kepada pembaca untuk kemudian memberikan tafsir atasnya. Berdasar dari pengertian
tersebut, tulisan ini berkesimpulan bahwa tokoh Puan Tirana Sang Penguasa yang Buta
adalah seorang perempuan buta yang menguasai Negeri Senja dan senantiasa
mengenakan jubah hitam serta kerudung yang sekaligus juga menutupi kepalanya. Tokoh
Tirana juga mengalami luka batin, yakni merana karena penghianatan cinta oleh tokoh
Guru Besar. Penghianatan cinta ini menjadi seteru yang kemudian menjadi petaka besar
bagi penduduk Negeri Senja karena Tirana melampiaskan dendam cintanya tersebut
52
dengan cara menindas rakyat. Penindasan yang dilakukan Tirana mau-tidak-mau
membuat dirinya cenderung totaliter, menjadi penguasa yang diktator.
Identifikasi tokoh Tirana di atas tentu saja tidak mungkin didapatkan tanpa
melihat bagaimana pengarang menyajikan tokohnya tersebut. Setelah ditilik
menggunakan teropong teknik pelukisan tokoh, lagi-lagi, milik Nurgiyantoro (2005),
dapatlah dipastikan bahwa pengarang—dalam hal ini SGA—menghadirkan Tirana ke
hadapan pembaca dengan dua teknik pelukisan sekaligus, yakni pelukisan analitis dan
dramatik. Penggunaan teknik pelukisan analitis dapat diketahui pada saat pengarang
memberikan deskripsi secara langsung mengenai kondisi fisik Tirana serta bagaimana
sifat kejam Tirana. Sedangkan mengenai jenis kelamin Tirana, pengarang menggunakan
teknik dramatik: membiarkan pembaca menelisik sendiri.
Variasi dalam penggunaan teknik pelukisan tokoh tersebut akan berakibat pada
semakin alami dan menambah efek artistik tokoh Puan Tirana ketika “menjumpai”
pembaca. Kedirian tokoh Tirana yang misterius tersebut dapat dirasakan pembaca
sebagai tokoh nyata yang benar-benar ada di sekitarnya, meskipun tentu saja diperlukan
kekuatan imajinatif dari masing-masing pembaca untuk mengkonstruksikan wujud
Tirana. Lantaran kehadiran tokoh Tirana yang alami dan memiliki sifat kesepertihidupan,
maka kita dapat menilai pengarangnya berhasil menghadirkan tokoh Tirana kehadapan
pembaca.
Keberhasilan pengarang dalam menghadirkan tokoh Puan Tirana tentu saja akan
berimbas pada semakin mudahkan saya untuk mengetahui kediktatoran tokoh Tirana.
Sebagaimana telah disinggung, Tirana adalah penguasa Negeri Senja yang sangat
sewenang-wenang: diktator. Menurut Archer (2004: 19), diktator memiliki lima sikap
53
utama. Pertama, sebagian besar diktator menyembunyikan nafsu berkuasanya di balik
sikap sebagai pendobrak dengan motif dan alasan-alasan yang luhur. Kedua, diktator
secara terang-terangan menggunakan teror untuk menyurutkan setiap usaha untuk
menggulingkannya. Ketiga, diktator menggunakan taktik memecah belah dan
melumpuhkan, demi bertahan pada kekuasaannya. Keempat, diktator selalu memelihara
pertentangan golongan di bawah payung nasional sehingga mereka tidak mampu
menggabungkan kekuatan dan kemudian menyerangnya. Dan, diktator selalu mencari
peluang untuk meyakinkan rakyat dengan berusaha menentang kekuatan-kekuatan besar
di dunia.
Setelah dilakukan penelisikan, ternyata dalam menjalankan kediktatorannya,
Tirana lebih cenderung bersikap menggunakan taktik memecah belah dan melumpuhkan
demi bertahan pada kekuasaannya. Dalam hal ini Tirana melakukan pembungkaman atas
kemerdekaan berpikir penduduk Negeri Senja. Wujud nyata dari pembungkaman
kemerdekaan berpikir ini dimanifestasikan Tirana dalam bentuk melarang kebebasan
berpendapat di Negeri Senja. Hal ini semakin meyakinkan bahwa Tirana sangat sadar
akan bahaya yang ditimbulkan dari kebebasan berpendapat karena dari sanalah cikal
bakal pemberontakan disemaikan. Lebih dari itu, Tirana juga melarang berdirinya sebuah
partai di Negeri Senja. Sampai di sini dapatlah disimpulkan bahwa Tirana telah memecah
belah setiap gerakan perlawanan di Negeri Senja bahkan sejak dalam alam pikiran.
Sebab, bagaimana mungkin seseorang dapat memikirkan perlawanan apabila tidak ada
pengetahuan tentang bagaimana menyusun perlawanan terhadap kekuasaan karena Tirana
melarang beredarnya segala jenis ilmu pengetahuan.
54
Untuk lebih memantapkan usahanya dalam memecah belah, Tirana sengaja
menyusupkan mata-mata ke dalam tubuh gerakan perlawanan. Upaya menyusupkan
mata-mata ini tidak lain bertujuan untuk membungkam kebebasan berpendapat di
kalangan masyarakat (khususnya cendekia) Negeri Senja. Dalam usahanya ini, selain
untuk memecah belah, menyusupkan mata-mata ke dalam gerakan perlawanan sekaligus
juga merupakan wujud dari sikap lain dari kediktatoran Tirana: menggunakan teror untuk
menyurutkan setiap usaha untuk menggulingkannya.
Keadaan di mana kesewenang-wenangan berlangsung, maka tak pelak
kediktatoran Tirana telah melanggar hak asasi manusia. Lebih khusus Tirana telah
melanggar pasal lima, sembilan, delapan belas, sembilan belas dan pasal dua puluh dalam
The Universal Declaration of Human Right.
2. Saran
Penelitian yang telah saya lakukan tersebut kiranya masihlah terlalu dangkal,
sebab penelitian ini hanya menghasilkan deskripsi mengenai sikap kediktatoran tokoh
Puan Tirana. Terlebih lagi penelitian ini sama sekali tidak mengidentikkan kediktatoran
tokoh Puan Tirana dengan kediktatoran pememimpin yang pernah (tengah) berlangsung
di suatu pemerintahan negara tertentu. Kiranya roman Negeri Senja dapat ditilik dengan
menggunakan pendekatan sosiologi sastra guna memperoleh cerminan masyarakat di
mana roman ini hidup—dalam hal ini Indonesia—yang kemudian dielaborasikan dengan
sejarah kelam penguasa yang pernah hidup di negeri Indonesia.
Dengan demikian, penelitian yang saya lakukan ini dapat kiranya dijadikan
landasan tumpu bagi peneliti-peneliti yang tertarik akan persoalan kediktatoran, sehingga
55
dengan begitu diharapkan akan memunculkan gagasan yang dapat mendukung atau
bahkan menjatuhkan penelitian ini.
56
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, Seno Gumira.1997. Ketika Jurnalisme DiBungkam Sastra Harus Bicara. Yogyakarta: Bentang Budaya.
………………2003. Negeri Senja. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Archer, Jules. 2004. Kisah Para Diktator. diIndonesiakan oleh Dimyati A.S. Yogyakarta: Narasi.
Baehr, R. Peter.1998. Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia. Budiawan. 1994. Kritik Terhadap Militerisme dalam Sastra: Kasus Tiga Cerita Pendek
Seno Gumira Adjidarma tentang “Penembak(an) Misterius”. dalam majalah Bina Darma.
Calne, Donald B. 2005. Batas Nalar: Rasionalitas dan Perilaku Manusia. (Cetakan
kedua) diIndonesiakan oleh Parakitri T. Simbolon. Jakarta: KPG Camus, Albert. 1988. Krisis Kebebasan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta:
Pusat Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Faruk. 2004. “Kontradiksi, Ironi, dan Keterbatasan Manusia Post-Modern di Indonesia:
Bacaan Apresiatif-Kritis terhadap Cala Ibi Karya Nukila Amal.” Makalah disampaikan dalam Hari Sastra 2004, Jurusan Sastra Indonesia dan Pusat Kajian Bahasa Sastra dan Budaya Indonesia Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, 8 September 2004.
Hartoko, Dick dan B. Rahmanto.1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Koentjaraningrat.1977. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia
Kompas. 2004. Sapardi, Seno, dan Linda Christanty Raih Penghargaan Sastra Katulistiwa. Kompas 13 Oktober 2004.
Leep, Ignace. 2006. Psikologi Cinta. Cetakan kedua. Yogyakarta: Paragrad Books Luxemburg, Jan Van dkk. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. diIndonesiakan oleh Dick
Hartoko. Jakarta: Gramedia.
57
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Cetakan kelima. Yogyakarta:Gajah Mada University Press.
Machiavelli, Nicollo. 1987. Sang Penguasa. Jakarta: Gramedia. Pradopo, Rahmat Djoko. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media Purwodarminto, W.J.S. 1984. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Cetakan ketujuh. Jakarta:
Balai Pustaka. Rachman, M. Fadjroel. 1994. “Demokrasi: Perjuangan Menegakkan Kedaulatan Rakyat,
dan Masyarakat Sipil yang Toleran-Kritis-Rasional” (Kata Pengantar) dalam Revolusi Demokrasi: Perjuangan untuk Kebebasan dan Pluralisme di Negara Berkembang. (Larry Diamond, Ed.) Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Ratna, Nyoman Kutha. 2006. Teori, Metode Dan Teknik Penelitian Sastra Dari
Strukturalisme Hingga Postrukturalisme (cet. II). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Santosa, F.X, dkk. 2004.Pedoman Penulisan Skripsi. Yogyakarta: Prodi Sastra Indonesia
Universitas Sanata Dharma. Shadily, Hassan.1980. Ensiklopedi Indonesia (2). Jakarta: Penerbit Buku Ichtiar Baru-
Van Hoeve Sriyani. 2000. “Pelanggaran Hak-hak Sipil Delapan Cerpen dalam Kumpulan Cerpen
Iblis Tak Pernah Mati Karya Seno Gumira Ajidarma, dan Implementasi Pelanggaran Hak-hak Sipil Cerpen Jakarta, Suatu Ketika sebagai Bahan Pembelajaran Sastra di SMU” Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia,Universitas Sanata Dharma.
Sudjiman, Panuti.1986. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
……………1988. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Sumarjo, Yakob. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
……………1986. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Malaysia
Teuw, A. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Tempo, Ferdinandus Moses. 2005. “Kekerasan Struktural dan Personal dalam Tujuh
Cerpen dalam Kumpulan Cerpen Iblis Tak Pernah Mati karya Seno Gumira Ajidarma (Tinjauan Sosiologi Sastra)” Skripsi. Yogyakarta: Jurusan Sastra Indonesia,Universitas Sanata Dharma.
58
The Universal Declaration of Human Right. Undang-undang Republik Indonesia No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan
Penjelasannya. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. DiIndonesiakan oleh
Melani Budianta. Jakarta: Gramedia.
Yunus, Umar. 1986. Sosiologi Sastra, Persoalan Teori dan Metode. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajar Malaysia.
(Tanpa Penulis). 2006. Sindrom Kuasa Mengatur. http://www.hukumonline.com
download 09 Oktober 2006
59
Sekilas Tentang Penulis
Sigit A. Nugroho adalah seorang simpatisan sastra yang lahir di pelosok
kabupaten Kendal pada 13 April 1984. Beberapa karyanya—baik artikel ataupun
karya fiksi—pernah terpampang di beberapa harian daerah. Sementara ini ia
tinggal di Sagan GK V/987 Yogyakarta 55223, sebagai salah satu “syarat” untuk
merampungkan studi di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta.