kajian hukum pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning ... kajian... · pengoperasian dan...

59
2014 Di susun oleh: Tim Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial

Upload: others

Post on 03-Feb-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 2014

    Di susun oleh:

    Tim Kajian Hukum Pembangunan,

    Pengoperasian, dan Dekomisioning

    Reaktor Daya Non Komersial

    Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian, dan Dekomisioning Reaktor Daya Non Komersial

  • ii

    KATA PENGANTAR

    Segala puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas izinNya buku dengan

    judul “Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Daya Non

    Komersial” berhasil disusun sesuai dengan waktu yang direncanakan. Meskipun dengan

    waktu yang terbatas, berkat dedikasi dan upaya yang sungguh-sungguh dari seluruh

    anggota Tim Penyusun, yang beranggotakan wakil dari berbagai unit kerja di BATAN,

    akhirnya buku ini berhasil diselesaikan tepat waktu.

    Pada dasarnya aspek peraturan perundang-undangan terkait dengan rencana

    pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) cukup luas, oleh karena itu perlu

    memperhatikan berbagai peraturan perundang-undangan, yang tidak hanya meliputi aspek

    hukum nuklir, tetapi juga aspek hukum lain seperti lingkungan hidup, konstruksi, termasuk

    peraturan daerah. Oleh karena itu, kajian hukum pembangunan, pengoperasian dan

    dekomisioning RDNK memerlukan kecermatan khusus dalam menganalisis berbagai aspek

    hukum terkait dimaksud. Hal ini penting untuk memberikan dasar argumentasi yang kuat

    dalam pengambilan keputusan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK.

    Tim Penyusun sangat dinamis dalam mendiskusikan materi kajian mengingat RDNK

    adalah baru pertama kali akan dibangun di Indonesia. Selama ini reaktor nuklir yang

    beroperasi di Indonesia adalah reaktor untuk tujuan penelitian, pengujian bahan dan

    produksi radioisotop. Diskusi tidak hanya berkembang terkait dengan aspek hukum tetapi

    juga aspek yang terkait dengan penerimaan masyarakat.

    Tim Penyusun menyampaikan terima kasih atas kepercayaan pimpinan BATAN untuk

    kami melaksanakan tugas ini. Hasil kajian hukum ini diharapkan akan menjadi sumbangsih

    dalam mendukung program pembangunan RDNK di Indonesia. Tim Penyusun terbuka untuk

    saran dan masukan dari berbagai pihak untuk penyempurnaan hasil kajian.

    Jakarta, Desember 2014

    Ketua Tim,

    Estopet MD Sormin

  • iii

    KATA SAMBUTAN

    Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buku Kajian Hukum Pembangunan,

    Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Daya Nonkomersial (RDNK) sudah berhasil

    diselesaikan oleh Tim Penyusun Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan

    Dekomisioning RDNK yang sudah bekerja sejak pertengahan tahun 2014.

    Program pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) di Indonesia sudah

    dimulai sejak tahun 1972. Pada waktu itu, pemerintah menyadari bahwa bahan bakar fosil

    seperti minyak dan batubara yang menjadi andalan utama dalam pembangkitan listrik di

    Indonesia dipastikan akan habis. Oleh karena itu, harus diupayakan untuk menggunakan

    sumber energi lain sebagai alternatif untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan

    bakar fosil. Tenaga nuklir bisa dipertimbangkan mengingat di negara lain sumber energi

    tersebut sudah sangat efektif digunakan dan terbukti bisa menyediakan tenaga listrik secara

    stabil, murah dan ramah lingkungan.

    Dalam perkembangannya, program PLTN di Indonesia mengalami kondisi fluktuatif.

    Pada tahun 1985 – 1996, program PLTN dilaksanakan secara intensif hingga menghasilkan

    dokumen kajian untuk menetapkan tapak PLTN yang layak di Jepara. Dengan

    mempertimbangkan krisis listrik yang sudah mulai dirasakan, maka pemerintah menerbitkan

    Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional.

    Perpres tersebut menyatakan bahwa untuk mengurangi ketergantungan pembangkitan listrik

    dari bahan bakar fosil perlu digunakan energi baru dan terbarukan, seperti angin, air, surya,

    panas bumi, biodiesel dan nuklir. Perpres tersebut kemudian diperkuat dengan Undang-

    Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional

    (UU RPJPN) yang mengamanatkan nuklir dapat dimanfaatkan sebagai pembangkit listrik

    antara tahun 2015 – 2019. Namun demikian, sampai saat ini amanat UU RPJPN dan

    Perpres tersebut belum dapat direalisasikan, walaupun dalam perjalanannya Perpres No 5

    Tahun 2006 telah digantikan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang

    Kebijakan Energi Nasional, yang pada dasarnya tetap mendukung pembangunan PLTN.

    Oleh karena itu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) sesuai dengan kewenangan yang

    ada ingin mewujudkan program nasional tersebut.

    Berdasarkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, BATAN

    memiliki kewenangan untuk melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan

    dekomisioning RDNK. Kita harapkan RDNK dapat menjadi pembelajaran dan meyakinkan

    semua pihak bahwa PLTN perlu dibangun di Indonesia.

  • iv

    Saya memberikan apresiasi kepada Tim Penyusun yang telah berhasil menyelesaikan

    tugas dalam penyusunan Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning

    RDNK, dan berharap kepada semua pihak untuk dapat menggunakan sebaik mungkin hasil

    kajian ini, terutama kepada Tim Teknis yang terkait dengan rencana Pembangunan.

    Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK.

    Jakarta, Desember 2014

    Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional,

    Djarot Sulistio Wisnubroto

  • v

    DAFTAR ISI

    Halaman

    HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………………...

    KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………

    KATA SAMBUTAN …………………………………………………………………………..

    DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………..

    BAB I PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang ……………………….…….………………………………...

    1.2 Pembangunan Reaktor Daya Non Komersial ………...…………………...

    1.3 Identifikasi Masalah ……………………………………………………….…

    1.4 Tujuan Kegiatan ………………………………………………………….…..

    1.5 Manfaat Kegiatan ……………………………………………….……………

    1.6 Metode …………………………………………………………….…………..

    1.7 Sistematika Penulisan ………………………………………….……………

    BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGANUKLIRAN

    2.1 Hukum Ketenaganukliran Nasional ………..……………………………...

    2.1.1 Badan Pelaksana …………………………………………….……...

    2.1.2 Badan Pengawas ………………………………………….………...

    2.1.3 Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir ………………………….….

    2.1.4 Jaminan Perlindungan Nuklir …………………………………….…

    2.2 Hukum Ketenaganukliran Internasional …………………………………….

    2.2.1 Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) ……………………………….

    2.2.2 Keamanan Nuklir (Nuclear Security) …………..………….……….

    2.2.3 Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguard) ………………………….

    2.2.4 Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liability) ………..

    BAB III KAJIAN HUKUM DAN PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL

    3.1 Kajian Hukum RDNK …………….……………………………...……………

    3.1.1 Latar Belakang ………………….…………………………………….

    3.1.2 Sumber Hukum Pembangunan, Pengoperasian,

    dan Dekomisioning RDNK …………………………………………..

    3.2 Perizinan RDNK ...……………………………………………….…..………..

    3.2.1 Izin Pembangunan …………………..……………….………………

    i

    ii

    iii

    v

    1

    3

    4

    5

    5

    5

    5

    6

    7

    10

    11

    12

    16

    17

    21

    22

    24

    27

    27

    28

    30

    33

  • vi

    3.2.2 Izin Pengoperasian ………………………………………….……….

    3.2.3 Izin Dekomisioning ……..…………………………….……….…......

    3.3 Izin Lingkungan ……………………………………………….…………..….

    3.3.1 Umum ………………..……………………………………………….

    3.3.2 Penyusunan Dokumen Amdal …………………..…………………

    3.3.3 Penilaian Amdal ………..……………………………………………

    3.3.4 Permohonan dan Penerbitan Izin Lingkungan ……………………

    3.4 Izin Mendirikan Bangunan Fungsi Khusus …………………………..…….

    BAB IV PENUTUP

    4.1 Kesimpulan ……………………………………………………………………

    4.2 Saran ………………………………………………………………………….

    DAFTAR PUSTAKA

    DAFTAR LAMPIRAN

    34

    35

    38

    38

    40

    43

    45

    46

    50

    50

  • 1

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Semangat ingin menguasai dan memanfaatkan teknologi nuklir untuk maksud damai

    sudah dimulai pada tahun 1958 dengan dibentuknya Lembaga Tenaga Atom (LTA).

    Periode selanjutnya mulai dibangun fasilitas nuklir di berbagai kawasan yaitu Kawasan

    Pasar Jumat, Bandung, Yogyakarta dan Serpong. Peristiwa paling monumental dalam

    program nuklir ditandai dengan peletakan batu pertama pembangunan reaktor riset

    Bandung pada tanggal 9 April 1961, oleh Presiden pertama Republik Indonesia, Ir.

    Soekarno dalam pidato sambutannya menyampaikan bahwa saat sekarang kita pasti

    masuk pada “the era of atomic energy”. Dengan demikian founding father kita telah

    mempunyai visi yang jauh ke depan mengenai penggunaan energi nuklir untuk

    kesejahteraan masyarakat dengan harapan agar Indonesia diakui oleh dunia

    internasional di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

    Pada tahun 1965, reaktor atom Bandung selesai dibangun dan dioperasikan. Pada saat

    pidato peresmiannya dengan berapi-api, Presdien RI Ir. Soekarno mengumumkan

    kepada dunia bahwa Indonesia sudah memasuki era nuklir dan akan menguasainya

    untuk maksud damai setara dengan bangsa lain di dunia. Selanjutnya dalam rangka

    program pengembangan pemanfaatan energi nuklir, khususnya untuk tujuan

    pembangkit energi, Indonesia sudah sejak tahun 1972 telah membentuk Komisi

    Persiapan Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (KP2PLTN). Tugas Komisi

    adalah mencari lokasi yang terbaik dan layak untuk pembangunan Pembangkit Listrik

    Tenaga Nuklir (PLTN). Melalui serangkaian seminar yang melibatkan berbagai

    institusi/lembaga dan perguruan tinggi akhirnya ditentukan beberapa lokasi yang

    memungkinkan untuk dapat dibangun PLTN, yaitu di sepanjang pantai utara Pulau

    Jawa.

    Pada tahun 1991-1996 BATAN bekerjasama dengan Newjec. Inc. Jepang melakukan

    Studi Tapak dan Studi Kelayakan (STSK) untuk menetapkan lokasi yang memenuhi

    persyaratan yang meliputi faktor kegempaan, kegunungapian, meteorologi, demografi,

    oceanografi, teknologi, keselamatan, aspek ekonomi, sosial dan budaya. Hasil studi

    menyimpulkan bahwa Ujung Lemah Abang, Ujung Grenggengan dan Ujung Watu layak

  • 2

    dibangun PLTN pertama di Indonesia. Ketiga lokasi tersebut berada di wilayah

    Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

    Kebutuhan energi nasional terus tumbuh mengimbangi pertumbuhan ekonomi,

    sementara cadangan energi semakin menipis. Pada tahun 2001-2002 dilaksanakan

    studi Comprehensive Assessment of Different Energy Sources (CADES) yang

    melibatkan lembaga dan kementerian terkait yang disupervisi oleh International Atomic

    Energy Agency (IAEA). Hasil studi ini disampaikan kepada Presiden RI oleh Direktur

    Jenderal IAEA Mohamed ElBaradei. Berdasarkan hasil studi ini, listrik dari nuklir sudah

    menjadi bagian dari bauran energi nasional pada tahun 2016. Pada kenyataannya,

    sampai dengan saat ini, pembangunan PLTN belum terwujud.

    Disisi lain, BATAN sesuai kewenangannya terus melakukan kegiatan kajian kelayakan

    PLTN di daerah lain, yaitu Provinsi Banten dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.

    Kegiatan STSK untuk kedua provinsi tersebut dilakukan sebagai alternatif lokasi di luar

    tapak Jepara. Dengan adanya dukungan dari Pemerintah Daerah, maka kegiatan kajian

    lebih difokuskan ke Provinsi Bangka Belitung. Kajian kelayakan dilakukan selama 3

    (tiga) tahun berakhir pada tahun 2013 dengan kesimpulan bahwa dua lokasi, yaitu di

    Kabupaten Bangka Barat dan Bangka Selatan layak untuk dibangun 10 (sepuluh) unit

    PLTN dengan kapasitas masing-masing 1000 MWe, sehingga total kapasitas di kedua

    lokasi tersebut kira-kira 10.000 MWe.

    Sejalan dengan perkembangan masalah kebutuhan energi, maka energi nuklir

    merupakan sumber energi alternatif yang potensial untuk dimanfaatkan bersama energi

    lain dalam bauran energi yang optimum dan dapat meningkatkan ketahanan pasokan

    energi nasional. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana

    Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) menyebutkan bahwa dalam kurun

    waktu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) ke-3, yakni tahun

    2015 – 2019 energi nuklir dimanfaatkan untuk pembangkitan listrik dengan

    mempertimbangkan faktor keselamatan yang ketat. Kemudian dalam Peraturan

    Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 dinyatakan bahwa adanya teknologi pengembangan

    energi nuklir untuk tujuan damai, pemenuhan kebutuhan energi yang semakin

    meningkat, penyediaan energi nasional dalam skala besar, mengurangi emisi karbon,

    serta adanya kepentingan nasional yang mendesak maka pada dasarnya energi nuklir

    dapat dimanfaatkan.

  • 3

    Pemanfaatan energi nuklir didasarkan pada komitmen untuk kepentingan damai,

    dengan cara yang aman, selamat, dan efisien. Komitmen ini memerlukan infrastruktur

    nasional yang berkelanjutan. Salah satu bukti untuk menjamin pemanfaatan energi

    nuklir secara aman dan selamat adalah adanya ketaatan Indonesia mengikuti instrumen

    hukum internasional, standar keselamatan nuklir yang diterima dunia internasional,

    petunjuk keamanan dan persyaratan safeguard.

    Penyediaan infrastruktur yang sesuai untuk mendukung keberhasilan pembangunan

    PLTN secara aman, selamat, damai dan efisien merupakan hal yang sangat penting.

    Berbeda dengan pembangkit listrik lainnya, penyiapan infrastruktur pembangunannya

    lebih memerlukan kajian mendalam dan komprehensif terkait dengan aspek

    keselamatan. Menurut IAEA, infrastruktur yang diperlukan untuk mendukung

    implementasi PLTN meliputi cakupan yang luas, baik aspek infrastruktur lunak (soft

    infrastructures) maupun aspek infrastruktur keras (hard infrastructure).

    Tahun 2009, Indonesia secara komprehensif telah melakukan swa-evaluasi kesiapan

    infrastruktur pembangunan PLTN fase 1, yakni fase evaluasi kesiapan infrastruktur

    untuk menuju penetapan proyek pembangunan PLTN. Evaluasi ini mengacu pada

    panduan IAEA tentang evaluasi status pengembangan infrastruktur PLTN secara

    nasional yang terdiri dari 19 aspek. Hasil evaluasi IAEA melalui Integrated Nuclear

    Infrastructure Review Mission (INIR Mission) menyebutkan bahwa Indonesia telah

    melakukan persiapan yang luas pada sebagian besar aspek infrastruktur yang

    memungkinkan untuk lebih mempertimbangkan pemanfaatan energi nuklir, dan dapat

    melangkah mempersiapkan untuk fase 2, yakni fase persiapan pelaksanaan konstruksi.

    1.2 Pembangunan Reaktor Daya Non Komersial

    Mengacu pada berbagai upaya nasional dalam penyediaan energi listrik dengan

    memanfaatkan potensi sumber yang ada termasuk Energi Baru dan Terbarukan (EBT)

    yang di dalamnya termasuk energi nuklir maka BATAN dengan dukungan Kementerian

    PPN/Bappenas pembangunan Reaktor Daya Non Komersial (RDNK) yang diharapkan

    dapat menjadi pintu gerbang memasuki era PLTN, dan meyakinkan masyarakat bahwa

    energi nuklir siap untuk digunakan dengan aman dan selamat dalam mengatasi

    masalah tersebut. Seperti diketahui bahwa sampai saat ini pemerintah belum juga

    mencanangkan kapan dimulainya pembangunan PLTN meskipun hasil studi sudah

    menghasilkan rekomendasi ke arah tersebut. Waktu yang diperlukan untuk melakukan

  • 4

    studi, persiapan tender, menyiapkan dokumen perizinan, mulai dari izin pembangunan

    (izin tapak dan izin konstruksi) dan izin pengoperasian (izin komisioning dan izin

    operasi) serta izin dekomisioning yang cukup panjang diyakini tidak akan

    memungkinkan target waktu sesuai dengan RPJPN.

    Untuk dapat memenuhi amanah RPJPN perlu dilakukan terobosan, diantaranya adalah

    dengan membangun reaktor nuklir untuk pembangkit listrik dengan kategori

    nonkomersial yang masih masuk dalam kewenangan BATAN. Berdasarkan ketentuan

    peraturan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997

    tentang Ketenaganukliran (selanjutnya disebut UUK), BATAN dapat melakukan

    pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK. Untuk melaksanakan amanat

    Undang-Undang tersebut dan dalam rangka peningkatan kapasitas Sumber Daya

    Manusia (SDM) dalam bidang energi nuklir, BATAN mempertimbangkan untuk

    membangun dan mengoperasikan RDNK. RDNK dalam pengembangannya ke depan,

    tidak hanya menghasilkan listrik tetapi juga dapat digunakan untuk produksi hidrogen,

    water desalination, coal liquafication, dan lain-lain.

    Tahapan awal dari implementasi pembangunan RDNK ini sedang dilaksanakan, yakni

    tahap pra-proyek. Pada tahap pra-proyek ini dilakukan analisis dan manfaat dari

    pembangunannya, melaksanakan persiapan-persiapan untuk menuju implementasi

    proyek seperti penyusunan dokumen yang diperlukan, seperti dokumen pemilihan

    teknologi, dokumen kelayakan dan manfaatnya dan dokumen infrastruktur lain yang

    diperlukan misalnya dokumen laporan evaluasi tapak dan aspek manajemennya.

    Sesuai dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan

    Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, untuk membangun RDNK diperlukan

    beberapa perizinan.

    Dengan mendasarkan pada kondisi sebagaimana yang telah diuraikan di atas dan

    untuk memperkuat dasar pertimbangan dalam pengambilan keputusan pembangunan

    RDNK maka diperlukan adanya kajian hukum yang terkait dengan Pembangunan,

    Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK.

    1.3 Identifikasi Masalah

    Terkait dengan Kajian Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning

    RDNK perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut :

  • 5

    1. Dasar Hukum kewenangan yang dimiliki BATAN sebagai Badan Pelaksana.

    2. Perizinan yang harus dipenuhi (keterlibatan stakeholders): Badan Pengawas

    Tenaga Nuklir (BAPETEN), Kementerian Lingkungan Hidup (LH), Kementerian

    Pekerjaan Umum (PU), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

    1.4 Tujuan Kegiatan

    1. Memberikan masukan kepada pimpinan BATAN.

    2. Memberikan pemahaman kepada semua pihak tentang dasar hukum yang

    dijadikan acuan dalam pelaksanaan pembangunan RDNK.

    1.5 Manfaat Kegiatan

    1. Menjamin kepastian hukum terhadap pelaksanaan pembangunan RDNK.

    2. Mengantisipasi adanya permasalahan hukum yang mungkin timbul.

    1.6 Metode

    1. Melakukan kajian referensi yang meliputi kajian peraturan perundang-undangan,

    dokumen hasil studi pengembangan nuklir untuk energi, dan sumber lainnya.

    2. Menerima masukan dari berbagai nara sumber.

    1.7 Sistematika Penulisan

    Untuk memberikan gambaran utuh tentang Kajian Hukum Pembangunan,

    Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK, hasil kajian disusun dengan Sistematika

    dengan struktur sebagai berikut: Pendahuluan, Tinjauan Umum Hukum

    Ketenaganukliran, Kajian Hukum dan Perizinan Reaktor Daya Non Komersial, Penutup,

    Lampiran-Lampiran, dan Daftar Pustaka.

  • 6

    BAB II

    TINJAUAN UMUM HUKUM KETENAGANUKLIRAN

    2.1 Hukum Ketenaganukliran Nasional

    Penelitian, pengembangan dan pemanfaatan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek)

    nuklir di berbagai bidang kehidupan merupakan persoalan yang mutlak dilakukan dalam

    usaha meningkatkan kemajuan negara dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian,

    pengembangan dan pemanfaatan tenaga nuklir ditujukan kepada kesehatan,

    keselamatan dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Untuk itu, Iptek nuklir mempunyai arti

    yang penting sebagai unsur bagi pembangunan dan kemajuan dalam bidang

    pendidikan, penelitian dan pengembangan, pangan, kesehatan, energi, industri, sumber

    daya alam dan lingkungan.

    Dalam kerangka perlindungan terhadap kegiatan penelitian, pengembangan dan

    pemanfaatan Iptek nuklir diperlukan adanya payung hukum nasional ketenaganukliran

    yang menjamin pemanfaatan tenaga nuklir di segala bidang kehidupan dan mengawasi

    pemanfaatannya secara ketat untuk keselamatan dan kesehatan masyarakat, pekerja

    dan lingkungan hidup.

    Hukum nasional tentang ketenaganukliran merupakan perwujudan cita-cita negara

    dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

    Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan

    ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi

    dan keadilan sosial menuju masyarakat adil dan makmur. Untuk itu negara perlu

    mengatur pemanfaatan tenaga nuklir dalam sistem perundang-undangan.

    Hukum Ketenaganukliran Nasional dimulai dengan diundangkannya Undang-Undang

    Nomor 31 Tahun 1964 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Tenaga Atom. Setelah

    berlaku lebih dari 32 (tiga puluh dua) tahun Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964

    sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan keadaan, misalnya wewenang

    pelaksanaan dan pengawasan atas penelitian dan pemanfaatan tenaga nuklir yang

    diberikan dalam satu badan sehingga fungsi pengawasan tidak optimal. Selain itu,

    meskipun bahan nuklir sudah dipasarkan secara bebas dipasaran internasional, maka

    agar tidak terjadi penyimpangan terhadap pemanfaatan bahan nuklir perlu dilakukan

    pengawasan secara ketat oleh pemerintah, oleh karena itu bahan nuklir harus dimiliki

  • 7

    dan dikuasai negara. Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pada tanggal 10 April

    1997 sebagai ganti Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1964 telah ditetapkan dan

    diundangkan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran (UUK).

    UUK ini perupakan payung hukum kegiatan yang terkait dengan pemanfatan tenaga

    nuklir dan sekaligus sebagai rujukan peraturan dibawahnya dalam kerangka

    pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia.

    2.1.1 Badan Pelaksana

    Dalam UUK, pemanfaatan tenaga nuklir dilaksanakan oleh Badan Pelaksana. Badan

    Pelaksana yang dimaksud UUK adalah lembaga pemerintah yang berada dan

    bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Berdasarkan tugas yang diembannya

    yaitu melaksanakan pemanfaatan tenaga nuklir, maka BATAN adalah Badan

    Pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam UUK. Kedudukan BATAN sebagai

    Badan Pelaksana semakin dipertegas dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun

    2013 tentang Badan Tenaga Nuklr Nasional, dan Peraturan Pemerintah Nomor 2

    Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

    2.1.1.1 Pemanfaatan dan Pengusahaan Tenaga Nuklir

    Salah satu tugas Badan Pelaksana dalam upaya melaksanakan tugas pemanfaatan

    tenaga nuklir adalah melakukan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir dalam

    rangka penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi nuklir untuk keselamatan,

    keamanan, ketenteraman, dan kesejahteraan rakyat. Penelitian dan

    pengembangan tenaga nuklir dilakukan dalam kerangka menjamin keselamatan

    masyarakat dan lingkungan dan untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan

    tenaga nuklir. Penyelenggaraan penelitian dan pengembangan yang dilakukan oleh

    Badan Pelaksana dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi dan

    badan lain.

    Badan Pelaksana selain melakukan penelitian dan pengembangan tenaga nuklir

    dalam kerangka pemanfaatan tenaga nuklir juga memiliki tugas pengusahaan.

    Pemahaman pengusahaan dalam UUK ini pada umumnya adalah kegiatan usaha

    yang bersifat komersial. Di dalam pengusahaan ini selain Badan Usaha Milik

    Negara, pihak lain juga diberi kesempatan yaitu koperasi dan pihak swasta.

    Namun, untuk Badan Pelaksana pengertian wewenang pengusahaan ini adalah

    bersifat nonkomersial atau nonprofit. Pengusahaan yang dilakukan oleh Badan

    Pelaksana dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik

  • 8

    Negara (BUMN), koperasi dan/atau badan swasta, yaitu kegiatan yang terkait

    dengan:

    a. Penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi bahan galian nuklir;

    b. Produksi dan/atau pengadaan bahan baku untuk pembuatan bahan bakar nuklir;

    c. Produksi bahan bakar nuklir non komersial; dan

    d. Produksi radioisotop non komersial.

    2.1.1.2 Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning Reaktor Nuklir Non Komersial

    Selain tugas pemanfaatan tersebut di atas, Badan Pelaksana juga memiliki tugas

    melaksanakan kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan, pengoperasian

    dan dekomisioning RDNK yang dalam pelaksanaanya dapat bekerja sama dengan

    instansi pemerintah lainnya dan perguruan tinggi negeri. Sumber kewenangan

    (dasar hukum) bagi badan pelaksana dalam rangka pembangunan, pengoperasian

    dan dekomisioning RDNK diatur dalam UUK dan Peraturan Pemerintah Nomor 2

    Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

    Ketentuan kedua peraturan perundang-undangan tersebut tercantum dalam pasal-

    pasal sebagai berikut:

    a. Ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUK, menyatakan sebagai berikut:

    Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor nuklir nonkomersial

    dilaksanakan oleh Badan Pelaksana.

    b. Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 Perizinan Instalasi

    Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir, sebagai berikut:

    - Pasal 1 angka 29, menyatakan sebagai berikut:

    Badan Tenaga Nuklir Nasional yang selanjutnya disebut BATAN adalah

    badan pelaksana sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang

    Nomor 10 tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

    - Pasal 3 ayat (1), menyatakan sebagai berikut:

    Reaktor nuklir meliputi:

    a. Reaktor Daya: dan

    b. Reaktor Nondaya

    - Pasal 3 ayat (2), menyatakan sebagai berikut:

    Reaktor Daya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri atas:

    a. Reaktor Daya Komersial; dan

    b. Reaktor Daya Non komersial.

  • 9

    - Pasal 5 ayat (1), menyatakan sebagai berikut:

    Pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning reaktor daya

    nonkomersial atau reaktor nondaya nonkomersial dilaksanakan oleh

    BATAN.

    Untuk pengusahaan yang bersifat komersial dalam kegiatan produksi bahan bakar

    nuklir, produksi radioisotop, pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning

    reaktor nuklir komersial berupa Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN)

    dilaksanakan oleh Badan Usaha Milik Negara, koperasi, dan/atau badan swasta.

    Pembangunan PLTN ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ini Menteri yang

    menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagalistrikan setelah

    berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Konsultasi

    dilakukan dalam kerangka menyerap dan memperhatikan aspirasi yang

    berkembang di masyarakat dalam pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya apabila

    pembangunan PLTN sebelum pengambilan keputusan.

    2.1.1.3 Pengelolaan Limbah Radioaktif

    Tugas selanjutnya yang harus dilakukan oleh Badan Pelaksana yang dalam

    pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan atau menunjuk Badan Usaha Milik

    Negara, koperasi, dan/atau badan swasta adalah pengelolaan limbah radioaktif.

    Pengelolaan limbah radioaktif dilaksanakan untuk mencegah timbulnya bahaya

    radiasi terhadap pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Limbah

    radioaktif, seperti limbah-limbah lainnya adalah bahan yang tidak dimanfaatkan lagi.

    Mengingat limbah radioaktif tersebut mengandung potensi bahaya radiasi oleh

    karenanya perlu diatur dan diawasi secara ketat.

    Berdasarkan tingkat bahaya yang ditimbulkan, limbah radioaktif diklasifikasikan

    dalam jenis limbah radioaktif tingkat rendah, tingkat sedang dan tingkat tinggi.

    Penghasil limbah radioaktif tingkat rendah dan tingkat sedang wajib

    mengumpulkan, mengelompokkan, atau mengolah dan menyimpan sementara

    limbah tersebut sebelum diserahkan kepada Badan Pelaksana untuk diproses

    selanjutnya. Terhadap pengelolaan limbah radioaktif tingkat tinggi karena limbah

    tersebut mempunyai potensi bahaya radiasi yang tinggi, maka penghasil limbah

    radioaktif tingkat tinggi wajib menyimpan sementara limbah tersebut dalam waktu

    sekurang-kurangnya selama masa operasi reaktor nuklir, sedangkan penyimpanan

    lestarinya menjadi tanggung jawab Badan Pelaksana. Untuk itu Badan Pelaksana

  • 10

    berkewajiban menyediakan tempat penyimpanan lestari limbah radioaktif tingkat

    tinggi. Penentuan tempat penyimpanan lestari ditetapkan oleh Pemerintah setelah

    mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.

    Pengangkutan dan penyimpanan limbah radioaktif wajib memperhatikan

    keselamatan pekerja, anggota masyarakat, dan lingkungan hidup. Berdasarkan

    Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2013 tentang Pengelolaan Limbah

    Radioaktif, BATAN mempunyai kewenangan/otorisasi atas pengelolaan limbah

    nuklir, baik yang dihasilkan oleh BATAN sendiri maupun oleh Penghasil Limbah

    Radioaktif lain yang telah menyerahkan pengelolaan limbahnya kepada BATAN.

    2.1.2 Badan Pengawas

    Pemanfaatan tenaga nuklir harus mendapat pengawasan yang cermat agar selalu

    mengikuti segala ketentuan di bidang keselamatan tenaga nuklir sehingga

    pemanfaatan tenaga nuklir tersebut tidak menimbulkan bahaya radiasi terhadap

    pekerja, masyarakat, dan lingkungan hidup. Adapun pengertian lingkungan hidup

    adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, serta keadaan dan makhluk

    hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang mempengaruhi

    kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

    Pengawasan tersebut dilaksanakan dengan cara mengeluarkan peraturan,

    menyelenggarakan perizinan, dan melakukan inspeksi. Perizinan itu juga berlaku

    untuk petugas yang mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu yang

    bekerja di instalasi nuklir lainnya serta di instalasi yang memanfaatkan sumber

    radiasi tersebut.

    Untuk melaksanakan fungsi pengawasan tersebut, pemerintah membentuk badan

    pengawas yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada

    Presiden, yang bertugas melaksanakan pengawasan terhadap segala kegiatan

    pemanfaatan tenaga nuklir. Untuk melaksanakan tugas pengawasan, Badan

    Pengawas menyelenggarakan peraturan, perizinan, dan inspeksi. Badan Pengawas

    sebagaimana dimaksud UUK adalah Badan Pengawas Tenaga Nuklir (BAPETEN),

    sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang

    Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

    Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir ditujukan untuk :

    a. terjaminnya kesejahteraan, keamanan, dan ketenteraman masyarakat;

    b. menjamin keselamatan dan kesehatan pekerja dan anggota masyarakat serta

  • 11

    perlindungan terhadap lingkungan hidup;

    c. memelihara tertib hukum dalam pelaksanaan pemanfaatan tenaga nuklir;

    d. meningkatkan kesadaran hukum pengguna tenaga nuklir untuk menimbulkan

    budaya keselamatan dibidang nuklir;

    e. mencegah terjadinya perubahan tujuan pemanfaatan bahan nuklir;

    f. menjamin terpeliharanya dan ditingkatkannya disiplin petugas dalam pelaksanaan

    pemanfaatan tenaga nuklir.

    Kegiatan yang berkaitan dengan pemanfaatan tenaga nuklir wajib memperhatikan

    keselamatan, keamanan, dan ketenteraman, kesehatan pekerja dan anggota

    masyarakat, serta perlindungan terhadap lingkungan hidup. Setiap petugas yang

    mengoperasikan reaktor nuklir dan petugas tertentu di dalam instalasi nuklir lainnya

    dan di dalam instalasi yang memanfaatkan sumber radiasi pengion wajib memiliki

    izin. Inspeksi terhadap instalasi nuklir dan instalasi yang memanfaatkan radiasi

    pengion dilaksanakan oleh Badan Pengawas dalam rangka pengawasan terhadap

    ditaatinya syarat-syarat dalam perizinan dan peraturan perundang-undangan di

    bidang keselamatan nuklir. Inspeksi dilaksanakan oleh inspektur yang diangkat dan

    diberhentikan oleh Badan Pengawas. Inspeksi dilaksanakan secara berkala dan

    sewaktu-waktu. Badan Pengawas melakukan pembinaan berupa bimbingan dan

    penyuluhan mengenai pelaksanaan upaya yang menyangkut keselamatan dan

    kesehatan pekerja, dan anggota masyararakat serta perlindungan terhadap

    lingkungan hidup.

    2.1.3 Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir

    Sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 5 UUK Pemerintah membentuk Majelis

    Pertimbangan Tenapa Nuklir (MPTN), dasar pertimbangan dari pembentukan MPTN

    dalam UUK adalah mengingat ketenaganukliran menyangkut kehidupan dan

    keselamatan orang banyak maka peran masyarakat perlu ditingkatkan dan

    diwujudkan dalam bentuk suatu majelis pertimbangan. Untuk melaksanakan amanat

    Pasal 5 UUK, Pemerintah menetapkan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2014

    tentang Majelis Pertimbangan Tenaga Nuklir.

    MPTN adalah lembaga nonstruktural yang independen dan keanggotaannya terdiri

    atas para ahli dan tokoh masyarakat. MPTN bertugas memberikan saran dan

    pertimbangan kepada Presiden mengenai pemanfaatan tenaga nuklir. Dalam

    menjalankan tugasnya MPTN menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

  • 12

    a. pengkajian kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir;

    b. pelaksanaan monitoring dan evaluasi terhadap implementasi kebijakan

    pemanfaatan tenaga nuklir; dan

    c. penyusunan rekomendasi kebijakan pemanfaatan tenaga nuklir.

    MPTN mempunyai peran yang sangat besar terkait dengan rencana pembangunan,

    pengoperasian dan dekomisioning RDNK, karena MPTN merupakan wadah bagi

    masyarakat, sangat memungkinkan terjadi pro kontra terhadap rencana tersebut.

    Saat ini Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi tengah mengajukan calon

    anggota MPTN kepada Presiden.

    2.1.4 Jaminan Perlindungan Nuklir

    2.1.4.1 Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir

    Mengingat selain manfaat yang begitu besar, pemanfaatan energi nuklir juga dapat

    menimbulkan dampak yang besar bagi makluk hidup dan lingkungan, maka

    diperlukan adanya pertanggungjawaban (liability) dari operator apabila terjadi

    kecelakaan pada reaktor jenis apapun termasuk RDNK yang mengakibatkan

    timbulnya kerugian bagi masyarakat maupun lingkungan. Berdasarkan peraturan

    perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hubungannya dengan

    pertanggungjawaban dalam penyelesaian ganti kerugian akibat perbuatan melawan

    hukum adalah ketentuan sebagaimana tertera dalam Pasal 1365 Kitab Undang

    Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), pada umumnya pertanggungjawaban

    didasarkan pada asas kesalahan (liability based on fault). Maknanya adalah pihak

    yang bertanggung jawab baru mempunyai kewajiban untuk membayar ganti rugi

    setelah terbukti bahwa kerugian yang terjadi disebabkan oleh kesalahannya.

    Apabila hal itu diterapkan pada kecelakaan nuklir, pihak yang dirugikan akan

    mengalami kesulitan dalam membuktikan adanya kesalahan itu sehingga hal

    tersebut akan menyulitkan pihak ketiga sebagai penderita kerugian. Oleh karena

    itu, bagi pihak ketiga tersebut perlu diberikan jaminan perlindungan yang lebih pasti

    dengan satu sistem tanggung jawab mutlak (strict liability). Asas pembuktian yang

    dipakai dalam pertangungjawaban kerugian nuklir dalam UUK menganut “asas

    pembuktian terbalik”. Asas tanggung jawab mutlak dan asas pembuktian terbalik

    ini telah sejalan dengan ketentuan hukum lingkungan sebagaiman diatur dalam

    Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup.

  • 13

    Pengusaha instalasi nuklir sebagai pihak yang bertanggung jawab langsung

    bertanggung jawab atas kerugian yang timbul, tanpa adanya pembuktian oleh pihak

    ketiga tentang ada atau tidaknya kesalahan pada pengusaha instalasi nuklir.

    Pengecualian dari asas tanggung jawab mutlak ini adalah apabila kerugian yang

    diakibatkan oleh kecelakaan nuklir itu terjadi akibat langsung dari pertikaian atau

    konflik bersenjata internasional atau noninternasional dan bencana alam dengan

    tingkat yang luar biasa yang melampaui batas rancangan persyaratan keselamatan

    yang telah ditetapkan (force majeur).

    Di lain pihak, dalam rangka pengembangan dan pemanfaatan industri nuklir,

    jaminan perlindungan perlu juga diberikan kepada pengusaha instalasi nuklir

    sebagai pihak yang bertanggung jawab, yaitu dalam bentuk batas

    pertanggungjawaban, baik batas jumlah pembayaran ganti rugi maupun jangka

    waktu penuntutan.

    Dengan mempertimbangkan kepentingan pihak ketiga dan pengusaha instalasi

    nuklir, maka dipandang perlu menggunakan satu sistem tersendiri bagi

    pertanggungjawaban atas kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan nuklir yang

    ditetapkan dalam UUK. Sistem tersebut memberikan perlindungan yang lebih pasti

    bagi pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir, tetapi juga tidak menghambat

    perkembangan industri nuklir itu sendiri sebagaimana yang telah dikembangkan,

    baik di negara maju maupun di negara berkembang.

    Prinsip yang dianut dalam sistem tersebut adalah:

    a. tanggung jawab mutlak (strict liability);

    b. pengusaha instalasi nuklir bertanggung jawab dengan mengecualikan orang lain;

    c. batas pertanggungjawaban dalam jumlah ganti rugi dan waktu penuntutan;

    d. pengusaha instalasi nuklir diwajibkan mempertanggungkan tanggung jawabnya

    dalam bentuk asuransi atau bentuk jaminan keuangan lainnya.

    Ruang lingkup ketentuan pertanggungjawaban kerugian nuklir yang disebabkan

    oleh kecelakaan nuklir dalam UUK dibatasi hanya pada kerugian yang diderita oleh

    pihak ketiga akibat kecelakaan nuklir yang terjadi di instalasi nuklir tertentu atau

    selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas, yang

    disebabkan oleh kekritisan bahan bakar nuklir tersebut. Kecelakaan nuklir yang

    terjadi selama pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas

  • 14

    pada dasarnya menjadi tanggung jawab pengusaha instalasi nuklir pengirim,

    kecuali sebelumnya telah diperjanjikan secara tertulis.

    Yang dimaksud dengan kerugian nuklir adalah kerugian yang ditimbulkan oleh

    radiasi atau gabungan radiasi dengan sifat racun, sifat mudah meledak, atau sifat

    bahaya lainnya sebagai akibat kecelakaan nuklir yang timbul dari kekritisan bahan

    bakar nuklir. Pihak ketiga adalah orang atau badan yang menderita kerugian nuklir,

    tidak termasuk pengusaha instalasi nuklir, dan pekerja instalasi nuklir yang menurut

    struktur organisasi berada di bawah pengusaha instalasi nuklir.

    Penggantian kerugian nuklir terhadap pihak ketiga dalam UUK adalah penggantian

    kerugian yang dialami manusia, seperti kematian, cacat, cedera atau sakit, dan

    penggantian kerugian atas biaya yang diperlukan sebagai akibat tindakan preventif,

    misalnya tindakan evakuasi yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang di daerah

    lokasi instalasi nuklir yang mengalami kecelakaan nuklir. Penggantian kerugian

    terhadap kerusakan harta benda harus sesuai dengan nilai kerusakan yang diderita

    ditambah dengan biaya rehabilitasinya. Demikian juga, penggantian kerugian

    terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan harus sesuai dengan nilai

    kerugian kerusakan ditambah dengan besarnya biaya untuk melakukan tindakan

    rehabilitasi lingkungan. Kerugian yang bukan disebabkan oleh kekritisan bahan

    bakar nuklir tidak termasuk kategori kerugian nuklir.

    Pekerja pada instalasi nuklir yang bersangkutan atau yang bekerja pada instalasi

    lain yang memanfaatkan radiasi berhak mendapatkan penggantian kerugian sesuai

    dengan ketentuan perundang-undangan tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja atau

    jaminan asuransi kecelakaan kerja lainnya.

    Apabila pertanggungjawaban kerugian nuklir melibatkan lebih dari satu pengusaha

    instalasi nuklir dan tidak mungkin menentukan secara pasti bagian kerugian nuklir

    yang disebabkan oleh tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir tersebut, pengusaha

    tersebut bertanggung jawab secara bersama-sama (tanggung renteng).

    Pertanggungjawaban tiap-tiap pengusaha instalasi nuklir tidak melebihi batas

    jumlah pertanggungjawabannya. Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa

    instalasi nuklir yang dikelola oleh satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha

    tersebut harus bertanggung jawab atas setiap kerugian nuklir yang disebabkan oleh

    setiap instalasi nuklir.

  • 15

    Apabila pengusaha instalasi nuklir setelah melaksanakan tanggung jawabnya dapat

    membuktikan bahwa pihak ketiga yang menderita kerugian nuklir disebabkan oleh

    kesengajaan penderita sendiri, pengusaha tersebut dapat dibebaskan dari

    tanggung jawabnya untuk membayar seluruh atau sebagian kerugian yang diderita.

    Pengusaha instalasi nuklir berhak untuk menuntut kembali ganti rugi yang telah

    dibayarkan kepada pihak ketiga yang melakukan kesengajaan.

    Batas pertanggungjawaban nuklir diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46

    Tahun 2009 dan Peraturan Presiden Nomor 74 Tahun 2012 dengan

    pertanggungjawaban paling banyak Rp. 4.000.000.000.000,00 (empat triliun rupiah)

    untuk setiap kecelakaan nuklir, baik untuk setiap instalasi nuklir maupun untuk

    setiap pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas.

    Terkait dengan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK hal terjadi

    kecelakaan nuklir, mengingat RDNK tersebut dimiliki oleh instansi pemerintah

    dalam hal ini BATAN, maka terhadap ganti kerugian yang di derita pihak ketiga

    ditanggung oleh Pemerintah. Dan untuk pembayaran ganti ruginya dialokasikan

    oleh Pemerintah dalam bentuk dana kontinjensi.

    2.1.4.2 Asuransi dan Jaminan Keuangan

    Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya

    melalui asuransi atau jaminan keuangan lain. Kewajiban tersebut berlaku juga bagi

    pengusaha instalasi nuklir penerima atau pengusaha pengangkutan.

    Apabila dalam suatu lokasi terdapat beberapa instalasi nuklir yang dikelola oleh

    satu pengusaha instalasi nuklir, pengusaha tersebut wajib mempertanggungkan

    pertanggungjawabannya untuk setiap instalasi yang dikelolanya.

    Apabila jumlah pertanggungan berkurang karena telah digunakan untuk membayar

    kerugian nuklir, pengusaha instalasi nuklir wajib menjaga agar jumlah

    pertanggungan tetap sesuai dengan jumlah pertanggungan awal. Apabila perjanjian

    pertanggungan telah berakhir atau batal karena suatu sebab lain, pengusaha

    instalasi nuklir tersebut wajib segera memperbaharui perjanjian pertanggungannya.

    Apabila pengusaha instalasi nuklir belum memperbaharui perjanjian

    pertanggungan, maka apabila terjadi kecelakaan nuklir, pengusaha tersebut tetap

    bertanggung jawab atas kerugian akibat kecelakaan nuklir.

  • 16

    Ketentuan tentang pertanggungan tidak berlaku bagi instansi pemerintah yang

    bukan Badan Usaha Milik Negara. Perusahaan asuransi yang menanggung ganti

    rugi nuklir yang disebabkan kecelakaan nuklir wajib melakukan pembayaran ganti

    rugi paling lama 7 (tujuh) hari setelah diterbitkan pernyataan adanya kecelakaan

    nuklir oleh Badan Pengawas. Pernyataan Badan Pengawas wajib diterbitkan

    selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak terjadinya kecelakaan nuklir.

    2.1.4.3 Jangka Waktu Penuntutan

    Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kadaluwarsa apabila tidak

    diajukan dalam waktu 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan pernyataan

    Badan Pengawas. Apabila kerugian nuklir akibat kecelakaan nuklir melibatkan

    bahan nuklir yang dicuri, hilang, atau ditelantarkan, maka jangka waktu untuk

    menuntut ganti rugi dihitung dari saat terjadinya kecelakaan nuklir dengan

    ketentuan jangka waktu itu tidak boleh melebihi 40 (empat puluh) tahun terhitung

    sejak bahan nuklir dicuri, hilang, atau ditelantarkan. Hak untuk menuntut ganti rugi

    harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun setelah penderita mengetahui

    atau patut mengetahui kerugian nuklir yang diderita dan pengusaha instalasi nuklir

    yang bertanggung jawab dengan ketentuan jangka waktu tersebut tidak boleh

    melebihi jangka waktu yang ditetapkan yaitu 30 (tiga puluh) tahun untuk kecelakaan

    nuklir dan 40 (empat puluh) tahun untuk bahan nuklir yang dicuri, hilang atau

    ditelantarkan.

    2.1.4.4 Yurisdiksi Pengadilan

    Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa dan mengadili tuntutan ganti rugi

    adalah sebagai berikut :

    a. Pengadilan Negeri tempat kecelakaan nuklir terjadi;

    b. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam hal terjadi kecelakaan nuklir selama

    pengangkutan bahan bakar nuklir atau bahan bakar nuklir bekas di luar wilayah

    negara Republik Indonesia.

    2.2 Hukum Ketenaganukliran Internasional

    Hukum Ketenaganukliran adalah norma hukum khusus yang diciptakan untuk mengatur

    perilaku orang atau badan hukum yang melakukan kegiatan yang berhubungan dengan

    bahan fisi dan radiasi pengion. Hukum ketenaganukliran bertujuan untuk memberikan

    kerangka hukum bagi setiap kegiatan yang berkaitan dengan energi nuklir dan radiasi

  • 17

    pengion dengan cara yang cukup untuk melindungi masyarakat, harta benda dan

    lingkungan.

    Salah satu ciri hukum ketenaganukliran adalah dalam proses perumusannya wajib

    memperhitungkan segala bentuk kewajiban, rekomendasi, standar dan ketentuan

    internasional lainnya. Para penyusun peraturan perundang-undangan harus selalu

    memperhatikan berbagai bentuk perjanjian nuklir internasional dan berbagai bentuk

    kewajiban internasional di bidang nuklir. Prinsip kerja sama internasional diidentifikasi

    sebagai salah satu konsep dasar hukum ketenaganukliran.

    Kerangka hukum ketenaganukliran yang efektif bergantung kepada persyaratan yang

    ketat dan langkah-langkah penegakan hukum yang tepat untuk memastikan setiap

    persyaratan telah dipenuhi dengan benar, pada saat yang bersamaan kerangka hukum

    tersebut harus fleksibel dalam mengikuti perkembangan masyarakat dan kemajuan

    teknologi. Di sisi lain karena penggunaan energi nuklir yang mungkin tidak terbatas

    pada wilayah nasional dan dapat berakibat kepada lintas batas negara membuat

    kerangka hukum tersebut harus bersifat internasional. Hal ini yang kemudian

    menjadikan sifat dari hukum ketenaganukliran menjadi luas.

    Berbicara mengenai hukum ketenaganukliran internasional, secara garis besar tidak

    terlepas dari aspek-aspek sebagai berikut:

    a. Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety);

    b. Keamanan Nuklir (Nuclear Security);

    c. Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguards);

    d. Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liablity).

    2.2.1 Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety)

    Dalam pengertian sempit keselamatan nuklir merujuk pada penanganan yang

    berkaitan dengan daur bahan bakar nuklir, sedangkan keselamatan radiasi berkaitan

    dengan risiko yang mungkin timbul dari penggunaan radiasi pengion, termasuk

    penggunaan radioisotop dan radiasi dalam kedokteran, industri dan berbagai bidang

    lainnya. Selanjutnya, keselamatan manajemen limbah berkaitan dengan risiko yang

    mungkin timbul dari limbah radioaktif termasuk penyimpanan dan pembuangannya.

    Namun dalam konteks ini ’keselamatan nuklir’ digunakan sebagai payung yang

    mencakup semua aktivitas tersebut.

  • 18

    Pada level internasional, IAEA dalam program Nuclear Safety Standard (NUSS) yang

    diluncurkan pada 1974, memberikan definisi keselamatan nuklir sebagai berikut:

    ”Tercapainya syarat-syarat pengoperasian yang benar, pencegahan kecelakaan atau

    mitigasi akibat-akibat kecelakaan, yang mengharuskan perlindungan personel tapak,

    masyarakat umum dan lingkungan dari bahaya radiasi yang tidak diinginkan”.

    Secara umum Keselamatan Nuklir (Nuclear Safety) bertujuan untuk melindungi

    individu, masyarakat dan lingkungan dari dampak radiasi. Terdapat 6 (enam)

    ketentuan hukum internasional berkaitan dengan Keselamatan Nuklir (Nuclear

    Safety) diantaranya adalah sebagai berikut:

    1. Konvensi Keselamatan Nuklir (Convention on Nuclear Safety)

    Ruang lingkup dari konvensi ini adalah berkaitan dengan keselamatan instalasi

    nuklir. Setiap pembangkit listrik tenaga nuklir termasuk penyimpanan dan

    penanganan fasilitas yang ada di lokasi yang sama dan langsung berhubungan

    dengan pengoperasian pembangkit listrik tenaga nuklir.

    Konvensi Keselamatan Nuklir (Convention on Nuclear Safety) bertujuan untuk

    memberikan kerangka hukum yang jelas bagi negara-negara peserta konvensi

    yang mengoperasikan PLTN untuk menjaga keselamatan tingkat tinggi dengan

    menetapkan standar-standar internasional yang harus dipatuhi. Kewajiban

    negara peserta konvensi didasarkan pada sejumlah prinsip yang terkandung

    dalam dokumen Pokok-pokok Keselamatan IAEA “The Safety of Nuclear

    Installations”. Kewajiban itu mencakup misalnya tapak, desain, konstruksi,

    operasi, ketersediaan finansial dan sumber daya manusia, pengkajian dan

    verifikasi keselamatan, jaminan mutu dan kesiapsiagaan kedaruratan. Konvensi

    ini merupakan suatu instrumen pendorong, yang tidak dirancang untuk menjamin

    pemenuhan kewajiban negara peserta konvensi melalui kontrol dan sanksi,

    namun didasarkan pada kepentingan bersama untuk mencapai tingkat

    keselamatan yang lebih tinggi yang akan dikembangkan dan dibahas melalui

    pertemuan berkala negara-negara peserta konvensi dan mendapat penilaian

    dari kelompok ahli (peer review) dalam pertemuan yang diselenggarakan oleh

    IAEA. Konvensi Keselamatan Nuklir telah diratifikasi oleh Indonesia sesuai

    dengan Keputusan Presiden Nomor 106 Tahun 2001.

  • 19

    2. Joint Convention on the Safety of Spent Fuel Management and on the Safety of

    Radioactive Waste Management

    Konvensi ini mengatur masalah keselamatan manajemen dan penyimpanan

    limbah radioaktif di negara pihak baik yang mempunyai program nuklir maupun

    tidak.

    Ruang lingkup dari Joint Convention tersebut adalah:

    a. Keselamatan manajemen bahan bakar bekas;

    b. Keselamatan manajemen radioaktif (semua kegiatan termasuk kegiatan

    pengelolaan limbah radioaktif dan dekomisioning);

    c. Keselamatan manajemen bahan bakar bekas atau limbah radioaktif yang

    berasal dari program militer atau pertahanan.

    Indonesia telah meratifikasi konvensi Joint Convention on the Safety of Spent

    Fuel Management and on the Safety of Radioactive Waste Management melalui

    Peraturan Presiden Nomor 84 Tahun 2010.

    3. Convention on Early Notification of a Nuclear Accident and Convention on

    Assistance in the Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency

    Ruang lingkup dari 2 (dua) konvensi tersebut adalah:

    a. Konvensi yang pertama memberikan kewajiban untuk memberitahukan

    kecelakaan nuklir yang telah mengakibatkan atau dapat mengakibatkan

    pelepasan zat radioaktif yang dapat berakibat bagi keamanan negara lain;

    b. Konvensi yang kedua memberikan kerangka kerja yang jelas bagi negara

    peserta konvensi dan IAEA untuk memberikan bantuan dan dukungan

    segera dalam peristiwa kecelakaan nuklir atau kedaruratan nuklir.

    Selain konvensi tersebut, berkaitan dengan peringatan dini dalam hal terjadi

    kecelakaan/kedaruratan nuklir, perlu juga dilengkapi dengan perjanjian bilateral

    antara negara tetangga atau negara yang berbatasan. Indonesia telah

    meratifikasi Convention on Early Notification of a Nuclear Accident melalui

    Keputusan Presiden Nomor 81 Tahun 1993 dan Convention on Assistance in the

    Case of a Nuclear Accident or Radiological Emergency melalui Keputusan

    Presiden Nomor 82 Tahun 1993.

    4. IAEA Regulations for the Safe Transport of Radioactive Material

    Ruang lingkup dari regulasi IAEA tersebut adalah:

    a. Mengatur pengangkutan zat radioaktif di seluruh dunia dengan

    menggunakan moda transportasi darat, laut dan udara;

  • 20

    b. Semua bahan radioaktif mulai dari bahan aktivitas yang sangat rendah

    sampai dengan bahan aktivitas yang sangat tinggi seperti limbah radioaktif

    tingkat tinggi dan bahan bakar nuklir bekas.

    5. Code of Conduct on The Safety and Security of Radioactive Sources

    Ruang lingkup dari Code of Conduct tersebut adalah berkaitan dengan sumber

    radioaktif dengan resiko tinggi.

    Dilengkapi dengan dokumen pedoman eksport/import untuk memfasilitasi

    pendekatan yang harmonis di antara negara-negara pengekspor sumber

    radioaktif.

    6. Code of Conduct of The Safety of Research Reactors

    Ruang lingkup dari Code of Conduct tersebut adalah berkaitan dengan

    keselamatan reaktor riset. Code of Conduct ini untuk melengkapi Convention on

    Nuclear Safety yang belum mengatur mengenai reaktor riset. Reaktor riset

    adalah reaktor nuklir yang digunakan terutama untuk pemanfaatan aliran neutron

    dan radiasi pengion untuk tujuan penelitian atau yang berkaitan dengan

    penelitian. Reaktor riset termasuk kategori RDNk sebagaimana dimaksud dalam

    Pasal 3 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan

    Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

    Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan keselamatan nuklir adalah antara

    lain sebagai berikut:

    a. Keselamatan nuklir pasca terjadinya kecelakaan nuklir Chernobyl pada tahun

    1986;

    b. Rangkaian lengkap perangkat hukum baik yang mengikat dan yang tidak

    mengikat;

    c. Kelengkapan standar keselamatan;

    d. Pengawasan yang ketat terutama berkaitan dengan teknis (persyaratan desain,

    independensi badan pengawas dan analisis informasi).

    Di samping itu, terkait dengan keselamatan nuklir, terdapat berbagai peraturan yang

    telah mengatur secara lebih teknis berbagai aspek dari keselamatan nuklir seperti

    Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2007 tentang Keselamatan Radiasi Pengion

    dan Keamanan Sumber Radioaktif, dan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun

    2012 tentang Keselamatan dan Keamanan Instalasi Nuklir serta berbagai peraturan

    yang diterbitkan oleh Kepala BAPETEN terkait keselamatan nuklir yang akan

    dijadikan pedoman dalam rencana pembangunan RDNK.

  • 21

    2.2.2 Keamanan Nuklir (Nuclear Security)

    Tujuan dari Nuclear Security adalah untuk melindungi bahan dan fasilitas

    radioaktif/nuklir serta fasilitas pendukungnya dari tindakan berbahaya yang dilakukan

    oleh orang/kelompok/organisasi. Keamanan nuklir harus diperkuat dengan

    pengembangan dan penerapan langkah-langkah yang memadai dalam proteksi fisik

    terhadap pencurian atau penyimpangan bahan nuklir dan terhadap sabotase fasilitas

    nuklir.

    Konvensi mewajibkan negara peserta konvensi wajib melindungi bahan nuklir di

    dalam wilayah teritorialnya atau di atas kapal mereka atau pesawat udara mereka

    selama pengangkutan bahan nuklir.

    Konvensi ini memberikan suatu kerangka kerja yang sangat sesuai dalam

    memberikan perlindungan (proteksi), pemulihan dan pengembalian bahan nuklir

    yang hilang/tercuri dan dalam penerapan sanksi pidana terhadap orang atau pihak

    yang melakukan tindakan kriminal yang melibatkan bahan nuklir.

    Isu terbaru di bidang keamanan nuklir adalah keprihatinan tentang kemungkinan

    penggunaan bahan radioaktif atau nuklir untuk tujuan terorisme. Potensi untuk

    menggunakan bahan peledak konvensional untuk menyebarkan bahan radioaktif,

    menekankan pentingnya kontrol nasional dan internasional terhadap bahan-bahan

    tersebut. IAEA telah bekerja untuk membangun kerangka kerja internasional untuk

    meningkatkan keamanan sumber radioaktif.

    Payung internasional untuk penanggulangan ancaman terorisme nuklir berhasil

    dicapai melalui penetapan Konvensi Penanggulangan Tindakan Terorisme Nuklir

    (the International Convention on the Suppression of Acts of Nuclear Terrorism) oleh

    MU PBB di New York pada 13 April 2005.

    Selain hal tersebut di atas masih ada 7 (tujuh) ketentuan internasional berkaitan

    dengan keamanan nuklir yaitu:

    1. The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material

    (INFCIRC/274/Rev.1);

    2. Amendment to The Convention on the Physical Protection of Nuclear Material;

    3. The Physical Protection of Nuclear Material and Nuclear Facilities

    (INFCIRC/225/Rev.5);

    4. Physical Protection Objectives and Fundamental Principles (GC (45)/INF/14);

    5. United Nations Security Council Resolution 1373;

  • 22

    6. United Nations Security Council Resolution 1540;

    7. International Convention for the Suppression of Acts of Nuclear Terorism.

    Berkaitan dengan keamanan nuklir, Indonesia telah meratifikasi Amendment to The

    Convention on The Physical Protection of Nuclear Material (Perubahan Konvensi

    Proteksi Fisik Bahan Nuklir) melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2009

    tentang Pengesahan Amendment to The Convention on The Physical Protection of

    Nuclear Material (Perubahan Konvensi Proteksi Fisik Bahan Nuklir). Peraturan

    Pemerintah tersebut selanjutnya dijabarkan oleh BAPETEN, yang diwujudkan dalam

    bentuk peraturan Kepala BAPETEN. Sebagai catatan, BAPETEN sedang

    memproses penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang Keamanan Nuklir

    berkaitan dengan tindak Keamanan Nuklir nasional.

    2.2.3 Pengawasan Nuklir (Nuclear Safeguard)

    Sejak 1960-an, sistem safeguard (pengawasan) internasional IAEA merupakan

    komponen sentral dalam mengontrol penyebaran senjata nuklir. Di bawah ketentuan

    dari persetujuan yang dicapai IAEA dengan negara-negara peserta konvensi, para

    inspektur (pengawas) IAEA secara teratur mengunjungi fasilitas-fasilitas nuklir untuk

    melakukan verifikasi terhadap rekaman yang dibuat oleh negara bersangkutan

    tempat di mana bahan nuklir berada, mengecek peralatan dan perlengkapan

    safeguard yang dipasang IAEA, dan mengkonfirmasi penyimpanan fisik bahan-bahan

    nuklir. Mereka kemudian membuat laporan rinci kepada negara yang ditinjau dan

    laporan kepada IAEA.

    Traktat Non-Proliferasi Senjata Nuklir (Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear

    Weapons-NPT) merupakan traktat internasional yang bertujuan untuk mencegah

    penyebaran senjata nuklir dan teknologi senjata nuklir, mendorong perkembangan

    penggunaan energi nuklir untuk maksud damai, dan memajukan tujuan mencapai

    perlucutan senjata secara umum dan menyeluruh. Traktat menetapkan suatu sistem

    safeguard (safeguards system) di bawah tanggung jawab IAEA.

    Safeguard IAEA merupakan sarana kunci untuk mendeteksi dan menghalangi

    pengalihan bahan nuklir oleh suatu negara. Semua negara tidak bersenjata nuklir

    yang menjadi pihak NPT harus menyetujui penerapan safeguard IAEA ke semua

    bahan nuklir mereka. Perjanjian safeguard yang komprehensif atau lingkup penuh

    dimaksudkan untuk memberikan keyakinan bahwa negara tidak bersenjata nuklir

  • 23

    senantiasa bertindak sesuai dengan komitmennya untuk tidak memproduksi senjata

    nuklir. Pada tahun 1997, sebuah protokol tambahan pada safeguard (Additional

    Protocol to Safeguard-AP), yang meliputi cara-cara untuk meningkatkan kemampuan

    untuk mendeteksi aktivitas nuklir yang mungkin tidak dilaporkan, telah disetujui.

    Inti dari safeguard adalah deklarasi negara tentang bahan, fasilitas dan kegiatan

    nuklir digabungkan dengan akses pemeriksaan IAEA untuk memverifikasi informasi

    nuklir. Pemeriksaan biasanya dilakukan secara acak, namun ada pemberitahuan

    awal setidaknya setiap tahun. Dalam fasilitas yang paling sensitif bahkan

    pemeriksaan fisik dapat dilakukan terus-menerus.

    Ada 9 (sembilan) ketentuan internasional berkaitan dengan nuclear safeguards and

    non–proliferation:

    1. Treaty on The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (INFCIRC/140);

    2. Treaty for The Prohibition of Nuclear Weapons in Latin America (Tlatelolco

    Treaty);

    3. South Pacific Nuclear Free Zone Treaty (Rarotonga Treaty) (INFCIRC/331);

    4. Treaty on The Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (Treaty of Bangkok)

    (INFCIRC/548);

    5. Treaty on an African Nuclear-Weapon Free Zone (Pelindaba Treaty);

    6. The Structure and Content of Agreements between the Agency and States

    required in connection with the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear

    Weapons (INFCIRC/153);

    7. The Standard Text of Safeguards Agreements in Connection with the Treaty on

    The Non-Proliferation of Nuclear Weapons (GOV/INF/276/Mod.1),

    (GOV/INF/276/Mod.1/Corr.1);

    8. Model Protocol Additional to The Agreements between States and The

    International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards

    (INFCIRC/540); dan

    9. Comprehensive Nuclear Test Ban Treaty.

    Berkaitan dengan Nuclear Non-Proliferation, Indonesia telah meratifikasi Treaty on

    The Non-Proliferation of Nuclear Weapons melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun

    1978 tentang Pengesahan Perjanjian mengenai Pencegahan Penyebaran Senjata-

    Senjata Nuklir dan menandatangani Agreement between the Republic of Indonesia

    and the International Atomic Energy Agency for the Application of Safeguards in

  • 24

    Connection with The Treaty on Non Proliferation of Nuclear Weapons pada tanggal

    14 Juli 1980 serta menandatangani Protocol Additional to The Agrrement between

    the Republic of Indonesia and the International Atomic Energy Agency for the

    Application of Safeguards in Connection with The Treaty on Non Proliferation of

    Nuclear Weapons pada tanggal 29 September 1999. Dalam sistem hukum nasional

    penggunaan serta pemanfaatan tenaga nuklir untuk tujuan damai juga telah

    dinyatakan secara tegas dalam UUK.

    Berkaitan dengan safeguards, berbagai pedoman dan panduan pelaksanaan

    safeguards selanjutnya telah dijabarkan oleh BAPETEN, sebagai badan regulator,

    yang diwujudkan dalam bentuk peraturan Kepala BAPETEN.

    2.2.4 Pertanggungjawaban Kerugian Nuklir (Nuclear Liability)

    Kerangka hukum dalam hal pertanggungjawaban kerugian nuklir internasional diatur

    dalam 2 (dua) Konvensi internasional yaitu Vienna Convention on Civil Liability for

    Nuclear Damage 1963 (Konvensi Wina tentang Pertanggungjawaban Kerugian

    Nuklir) dan Paris Convention 1960 yang dilengkapi dengan Brussel Suplementary

    Convention 1963.

    Pada tahun 1988, sebagai hasil usaha bersama dari IAEA dan Organisation for

    Economic Co-operation and Development/Nuclear Energy Agency (OECD/NEA),

    sebuah protokol gabungan yang menghubungkan antara Konvensi Wina dan

    Konvensi Paris (The Joint Protocol Relating to the Application of the Vienna

    Convention and Paris Convention) berhasil diadopsi. Protokol tersebut menetapkan

    suatu hubungan antara kedua konvensi tersebut ke dalam satu rezim

    pertanggungjawaban yang diperluas. Negara Pihak dalam protokol gabungan

    tersebut diperlakukan seakan-akan mereka adalah pihak ke dalam dua konvensi

    tersebut dan pilihan hukum disediakan untuk menentukan konvensi mana yang akan

    digunakan dengan mengesampingkan konvensi yang lain dalam hal kecelakaan

    yang sejenis. Di samping itu, untuk terus meningkatkan rezim pertanggungjawaban

    kerugian nuklir internasional secara berkelanjutan dilakukan perumusan dan

    penetapan Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on

    Supplementary Compensation di tahun 1989 dan tahun 1997, serta perumusan dan

    penetapan Revision Protocols to the Paris Convention dan Brussels Supplementary

    Convention di tahun 1998 dan tahun 2004.

  • 25

    Berdasarkan Konvensi Wina, Pertanggungjawaban akibat kerugian nuklir diberikan

    apabila terjadi kecelakaan nuklir di Instalasi Nuklir yang terletak di wilayah suatu

    negara dan/atau dalam perjalanan transportasi bahan nuklir ke atau dari instalasi

    tersebut. Konvensi Wina juga memberikan definisi terhadap Instalasi Nuklir yang

    mencakup:

    - Reaktor Nuklir;

    - Pabrik untuk pembuatan atau pengolahan bahan nuklir;

    - Fasilitas untuk penyimpanan bahan nuklir;

    Kemudian berdasarkan Protocol to Ammend the Vienna Convention 1997 diberikan

    tambahan pengertian mengenai instalasi nuklir termasuk jenis instalasi tambahan jika

    diputuskan oleh badan yang kompeten secara internasional (misalnya fasilitas

    pembuangan limbah, Instalasi yang dinonaktifkan). Konvensi Wina juga memberikan

    definisi kerugian dari kecelakaan nuklir yang meliputi kematian, cedera dan

    kehilangan atau kerusakan harta benda. Hal ini kemudian disempurnakan

    berdasarkan Revision Protocol to the Vienna Convention dan Convention on

    Supplementary Compensation juga mencakup biaya tindakan pemulihan kerusakan

    lingkungan, biaya tindakan pencegahan dan bentuk lain dari kerugian ekonomi

    sejauh ditentukan oleh hukum dari pengadilan yang berwenang.

    Prinsip pertanggungjawaban akibat kerugian yang disebabkan kecelakaan nuklir

    secara umum, meliputi:

    a. PrinsipTanggung Jawab Mutlak / Liability without fault (Strict Liability)

    Prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggungjawab atas kerugian yang

    timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Oleh karena itu prinsip strick

    liability disebut juga dengan liability without fault.

    Bentuk khusus dari tort (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip

    pertanggungjawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan

    kepada kesalahan.

    b. Tanggung Jawab Eksklusif Melekat kepada Penyelenggara/Operator Instalasi

    Nuklir (Exclusive Liability of the Operator)

    "Chanelling" kewajiban untuk operator, yaitu tidak ada kewajiban diluar rezim

    dan tidak ada kewajiban untuk orang lain untuk mempertanggungjawabkan

    selain daripada operator.

    Apabila terjadi kecelakaan di instalasi nuklir, maka pertanggungjawaban

    dibebankan kepada operator instalasi nuklir.

  • 26

    Apabila terjadi kecelakaan selama pengiriman bahan nuklir, maka

    pertanggungjawaban dibebankan kepada operator pengirim.

    c. Jumlah Minimum Pertanggungjawaban (Minimum Amount of Liability)

    Batas minimum pertanggungjawaban pengusaha instalasi nuklir terhadap

    kerugian nuklir untuk setiap kecelakaan, namun Negara Instalasi bebas untuk

    menetapkan jumlah yang lebih tinggi atau bahkan kewajiban yang tidak terbatas.

    d. Mandatory Financial Coverage

    Pengusaha instalasi nuklir wajib mempertanggungkan pertanggungjawabannya

    melalui asuransi atau jaminan keuangan lain. Kewajiban mempertanggungkan

    pertanggungjawaban berlaku juga bagi pengusaha instalasi nuklir penerima atau

    pengusaha pengangkutan.

    e. Jangka Waktu Penuntutan (Limitation of Liability in Time)

    Hak menuntut ganti rugi akibat kecelakaan nuklir kadaluwarsa apabila tidak

    diajukan dalam waktu 10 (sepuluh puluh) tahun terhitung sejak diterbitkan

    pernyataan dari Badan yang kompeten (Konvensi Wina). Setelah dilakukan

    revisi terhadap PC/VC menjadi 30 tahun untuk kematian dan personal injury.

    f. Non Diskriminasi/Perlakuan yang Sama (Non Discrimination)

    Jaminan untuk memberikan perlakuan yang sama terhadap korban kecelakaan

    nuklir, tanpa membeda-bedakan antara satu dan lainnya.

    g. Yurisdiksi Pengadilan yang Berwenang (Exclusive Jurisdiction Competence)

    Apabila kecelakaan nuklir terjadi di instalasi nuklir, maka pengadilan yang

    berwenang adalah pengadilan di negara dimana instalasi tersebut berada.

    Apabila kecelakaan nuklir terjadi selama pengangkutan, maka pengadilan yang

    berwenang adalah pengadilan di negara dimana kecelakaan itu terjadi (jika

    kecelakaan terjadi di luar wilayah pihak-pihak yang terlibat dalam perjanjian

    pengiriman).

    Berkaitan dengan pertanggungjawaban kerugian nuklir, Indonesia bukan termasuk

    salah satu pihak dalam Konvensi Wina, tetapi di dalam UUK Bab VII telah diatur

    mengenai pertanggungjawaban kerugian nuklir yang kemudian dijabarkan dan diatur

    secara lebih rinci di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2009 dan

    Peraturan Presiden Nomor 74 tahun 2012 tentang Pertanggungjawaban Kerugian

    Nuklir. Peraturan terkait pertanggungjawaban kerugian nuklir tersebut nantinya akan

    dijadikan pedoman dalam rencana pembangunan RDNK.

  • 27

    BAB III

    KAJIAN HUKUM DAN PERIZINAN REAKTOR DAYA NON KOMERSIAL

    3.1 Kajian Hukum RDNK

    3.1.1 Latar Belakang

    Pemanfaatan tenaga nuklir diatur dalam UUK termasuk pengawasan pemanfaatan

    tenaga nuklir itu sendiri agar tertib secara hukum dan tidak terjadi perubahan tujuan

    dalam pemanfaatannya. Dalam rangka pemanfaatan tenaga nuklir di bidang energi,

    Pemerintah telah melakukan persiapan pra proyek, seperti studi kelayakan tapak dan

    melakukan sosialisasi manfaat pembangunan PLTN. Hingga saat ini secara kontinyu

    masih dilakukan pemantauan tapak dan lingkungan yang diperlukan dalam rangka

    pembangunan PLTN. Sekiranya Pemerintah memutuskan pembangunan PLTN,

    maka Semenanjung Muria, Jepara, Jawa Tengah dapat menjadi salah satu pilihan

    lokasi yang layak.

    Berhubung hingga saat ini Pemerintah, tidak juga mengambil sikap perlunya PLTN

    sebagai salah satu pilihan yang memberikan kontribusi dalam pemenuhan

    kekurangan energi listrik di Indonesia, maka pembangunan PLTN tersebut dapat

    dikatakan masih sebatas cita-cita saja. Hal tersebut dikarenakan terbatasnya

    kewenangan BATAN sesuai dengan UUK dimana BATAN hanya diberi kewenangan

    melakukan pembangunan, pengoperasian, dan dekomisioning RDNK.

    Energi nuklir menjadi salah satu opsi yang bisa dipilih untuk mengatasi persoalan

    krisis energi di tanah air. Di tengah semakin menipisnya sumber energi dari fosil

    seperti minyak bumi dan batu bara, energi nuklir menjadi alternatif sumber energi

    terbaik untuk memenuhi kebutuhan hampir 260 juta penduduk Indonesia. Untuk

    mewujudkan opsi terbaik ini tentu membutuhkan dukungan seluruh stakeholders.

    Dengan demikian rencana pembangunan PLTN adalah keniscayaan yang tidak bisa

    dihindari, namun sejalan dengan belum diterimanya secara utuh nilai positif dari

    rencana pemerintah terhadap pembangunan PLTN oleh sebagian masyarakat,

    sehingga BATAN mewacanakan gagasan pembangunan RDNK sebagai pilot project

    agar masyarakat mengetahui bahwa Indonesia telah mampu mengoperasikan

    reaktor nuklir sebagai pembangkit energi listrik.

  • 28

    RDNK diharapkan mampu menjadi role model bagi pembangunan PLTN dalam skala

    kecil sehingga masyarakat nantinya dapat melihat secara objektif, bahwa

    sesungguhnya PLTN itu adalah teknologi yang aman dan ramah lingkungan.

    Mengingat betapa sulitnya meyakinkan masyarakat betapa perlunya PLTN dinegeri

    ini, maka gagasan pembangunan RDNK merupakan terobosan yang harus medapat

    dukungan dari berbagai pihak, hal mana juga telah diamanatkan dalam amanat

    Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang RPJMN dan Peraturan Pemerintah

    Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional.

    3.1.2 Sumber Hukum Pembangunan, Pengoperasian dan Dekomisioning RDNK

    Beberapa ketentuan peraturan perundang-undangan yang mendasari pelaksanaan

    pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, sebagai berikut:

    1. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.

    2. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

    3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka

    Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025.

    4. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

    Lingkungan Hidup.

    5. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-

    Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung.

    6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.

    7. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir

    dan Pemanfaatan Bahan Nuklir.

    8. Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir

    Nasional.

    Sumber hukum kewenangan BATAN dalam melakukan pembangunan,

    pengoperasian dan dekomisioning RDNK diatur dalam Pasal 13 ayat (1) UUK yang

    menyatakan: “pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning reaktor nuklir non

    komersial dilaksanakan oleh Badan Pelaksana”, yang tidak lain adalah Badan

    Tenaga Nuklir Nasional sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 29 Peraturan

    Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan

    Pemanfaatan Bahan Nuklir juncto Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 46

    Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional. Pasal 1 angka 29 PP Nomor 2

    Tahun 2014 menyatakan, “Badan Tenaga Nuklir Nasional yang selanjutnya disebut

    BATAN adalah Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam UUK, sedangkan

  • 29

    Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013, menyatakan, “Badan

    Tenaga Nuklir Nasional merupakan Badan Pelaksana sebagaimana dimaksud dalam

    Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran”. Terkait

    kewenangan BATAN dalam melakukan pembangunan, pengoperasian dan

    dekomisioning RDNK juga dinyatakan lebih tegas lagi yang diatur dalam Pasal 5 ayat

    (1) Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 yang menyatakan : “Pembangunan,

    pengoperasian dan dekomisioning reaktor daya nonkomersial atau reaktor nondaya

    nonkomersial dilaksanakan oleh BATAN”.

    Berdasarkan peraturan-peraturan tersebut, BATAN bukan hanya sebagai lembaga

    yang bertanggung jawab melaksanakan tugas pemanfaatan tenaga nuklir, akan

    tetapi juga dapat melaksanakan pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning

    RDNK dan reaktor nondaya nonkomersial. Kewenangan pembangunan,

    pengoperasian dan dekomisioning RDNK dan reaktor nondaya nonkomersial

    seyogyanya diadopsi dalam Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2013 tentang

    BATAN dan dalam Peraturan Kepala BATAN Nomor 14 Tahun 2013 tentang

    Organisasi dan Tata Kerja BATAN, sehingga kedua peraturan pelaksanaan tersebut

    sejalan dengan tanggung jawab dan tugas yang diamanatkan dalam UUK.

    Berdasarkan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud di atas,

    BATAN sebagai lembaga pemerintah mempunyai kewenangan membangun,

    mengoperasikan, dan mendekomisioning RDNK untuk kepentingan sendiri

    (penggunaan utama, cadangan, darurat, sementara) dan tidak untuk diperjualbelikan

    (komersial).

    Terkait dengan pengoperasian RDNK, terhadap daya listrik yang dihasilkan,

    terutama terkait dengan pembangkitan, transmisi, dan distribusi tenaga listrik perlu

    berpedoman pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang

    Ketenagalistrikan. Adapun dalam hal pemanfaatan listrik yang dihasilkan dari RDNK

    perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Peraturan perundang-undangan lain yang

    perlu diperhatikan terkait dengan RDNK adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun

    2007 tentang Energi. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007

    tentang Energi, disebutkan bahwa “Sumber energi baru adalah sumber energi yang

    dapat dihasilkan oleh teknologi baru baik yang berasal dari sumber energi terbarukan

    maupun sumber energi tak terbarukan, antara lain nuklir, hidrogen, gas metana batu

    bara (coal bed methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara

  • 30

    tergaskan (gasified coal)”. Pasal ini secara jelas telah mengakomodasi nuklir sebagai

    bagian dari sumber energi baru yang harus memperoleh perhatian yang sama

    dengan sumber energi baru lainnya seperti gas metana batu bara (coal bed

    methane), batu bara tercairkan (liquified coal), dan batu bara tergaskan (gasified

    coal).

    3.2 Perizinan RDNK

    Dalam rangka pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, BATAN

    sebagai Badan Pelaksana harus memiliki izin. Hal ini diatur dalam Pasal 17 ayat (2) jo

    Pasal 4 ayat (1) UUK yang menyatakan: “Pembangunan dan pengoperasian reaktor

    nuklir dan instalasi nuklir lainnya serta dekomisioning reaktor nuklir wajib memiliki izin”.

    Selanjutnya, Pasal 17 ayat (3) UUK, menyatakan, “Syarat-syarat dan tata cara perizinan

    diatur dalam Peraturan Pemerintah. Sebagai tindak lanjut UUK, Pemerintah telah

    mengundangkan peraturan pelaksanaan yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah

    Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir,

    yang merupakan pengganti dari Peraturan Pemerintah Nomor 43 tahun 2006.

    Pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK, dilaksanakan dalam 5 (lima)

    tahap yaitu: tahap penentuan tapak, konstruksi, komisioning, operasi dan

    dekomisioning. Pasal 17 UUK mewajibkan setiap kegiatan atas pembangunan dan

    pengoperasian reaktor nuklir dan instalasi nuklir lainnya, serta dekomisioning reaktor

    wajib memiliki izin. Perizinan yang diperlukan dalam rangka pembangunan,

    pengoperasian dan dekomisioning RDNK, meliputi:

    1. Izin Pembangunan meliputi Izin Tapak dan Izin Konstruksi;

    2. Izin Pengoperasian meliputi Izin Komisioning dan Izin Operasi;

    3. Izin Dekomisioning;

    4. Izin Lingkungan;

    5. Izin Mendirikan Bangunan yang memiliki fungsi khusus; dan

    6. Izin lainnya.

    Ketentuan perizinan pembangunan (Izin Tapak dan Izin Kontruksi), Pengoperasian dan

    Dekomisioning diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2014 tentang

    Perizinan Instalasi Nuklir dan Pemanfaatan Bahan Nuklir. Untuk izin lingkungan diatur

    dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang Izin Lingkungan,

    sedangkan Izin Mendirikan Bangunan fungsi khusus diatur dalam Peraturan Pemerintah

  • 31

    Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002

    tentang Bangunan Gedung. Izin lainnya meliputi pemanfaatan bahan nuklir dan izin

    yang dipersyaratkan oleh Pemerintah Daerah setempat. Untuk memperoleh izin

    pembangunan, pengoperasian dan dekomisioning RDNK perlu memenuhi beberapa

    persyaratan, yaitu persyaratan administratif, persyaratan teknis dan persyaratan

    finansial. Khusus untuk persyaratan finansial berlaku untuk badan usaha milik negara,

    koperasi, dan/atau badan usaha yang berbentuk badan hukum yang mengajukan

    permohonan izin konstruksi dan komisioning reaktor daya komersial atau reaktor

    nondaya komersial. Persyaratan Izin RDNK yang harus dipenuhi oleh pemohon untuk

    setiap tahap perizinan meliputi persyaratan administratif dan persyaratan teknis.

    Persyaratan administratif, meliputi:

    1. Bukti pendirian badan hukum, untuk BATAN didasarkan Peraturan Presiden Nomor

    46 Tahun 2013 tentang Badan Tenaga Nuklir Nasional.

    2. Persyaratan lain sesuai peraturan perundang-undangan

    a) Bukti hak atas tanah;

    b) IMB fungsi khusus (Kementerian Pekerjaan Umum);

    c) Sertifikat penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja

    (SMK3);

    d) Izin usaha jasa konstruksi (untuk pihak pelaksana konstruksi);

    e) Izin terkait Penanaman Modal Asing (untuk pihak pelaksana);

    f) Sertifikat laik fungsi bangunan dari kepala daerah; dan

    g) Izin usaha penyediaan tenaga listrik.

    3. Kesesuaian dengan penataan ruang (Rencana Tata Ruang Wilayah/RTRW).

    4. Bukti pembayaran biaya permohonan izin pembangunan dan pengoperasian reaktor

    nuklir serta dekomisioning.

    Persyaratan teknis perizinan RDNK meliputi Izin Tapak, Izin Konstruksi, Izin

    Komisioning, Izin Operasi, dan Izin Dekomisioning.

    Persyaratan Teknis Izin Tapak meliputi:

    1. Laporan pelaksanaan evaluasi tapak;

    2. Laporan pelaksanaan sistem manajemen evaluasi tapak;

    3. Daftar Informasi Desain (DID); dan

    4. Dokumen yang memuat daftar utama reaktor nuklir

  • 32

    Persyaratan Teknis Izin Konstruksi meliputi :

    1. Laporan Analisis Keselamatan (LAK);

    2. Dokumen batasan dan kondisi operasi;

    3. Dokumen sistem manajemen;

    4. DID;

    5. Program proteksi dan keselamatan radiasi;

    6. Dokumen sistem safeguards;

    7. Dokumen rencana proteksi fisik;

    8. Program manajemen penuaan;

    9. Program dekomisioning;

    10. Program kesiapsiagaan Nuklir;

    11. Program konstruksi; dan

    12. Izin lingkungan

    PersyaratanTeknis Izin Komisioning meliputi :

    1) LAK;

    2) Dokumen batasan dan kondisi operasi;

    3) Program komisioning;

    4) Program perawatan;

    5) Program proteksi dan keselamatan radiasi;

    6) Dokumen sistem safeguards;

    7) Dokumen rencana proteksi fisik;

    8) Dokumen sistem manajemen;

    9) Program manajemen penuaan;

    10) Program dekomisioning;

    11) Program kesiapsiagaan Nuklir;

    12) Laporan pelaksanaan izin lingkungan;

    13) Laporan pelaksanaan hasil kegiatan konstruksi; dan

    14) Gambar teknis reaktor nuklir terbangun.

    Persyaratan Teknis Izin Operasi meliputi :

    1) LAK;

    2) Dokumen batasan dan kondisi operasi;

    3) Program proteksi dan keselamatan radiasi;

    4) Program perawatan;

    5) Dokumen sistem safeguards;

  • 33

    6) Dokumen rencana proteksi fisik;

    7) Dokumen sistem manajemen;

    8) Program dekomisioning;

    9) Program kesiapsiagaan nuklir; dan

    10) Laporan pelaksanaan izin lingkungan.

    Persyaratan Teknis Izin Dekomisioning meliputi :

    1) Program dekomisioning;

    2) Program proteksi dan keselamatan radiasi;

    3) Program kesiapsiagaan nuklir; dan

    4) Dokumen sistem manajemen.

    3.2.1 Izin Pembangunan

    3.2.1.1 Izin Tapak

    BATAN (selaku pemohon) akan melakukan evaluasi tapak terpilih dan akan

    mengajukan aplikasi izin tapak ke BAPETEN sesuai dengan prosedur yang

    ditetapkan. Sebelum melakukan kegiatan evaluasi tapak, BATAN akan mengajukan

    dokumen Program Evaluasi Tapak (PET) dan Sistem Manajemen Evaluasi Tapak

    (SMET) untuk mendapatkan persetujuan BAPETEN. Setelah persetujuan diperoleh

    maka kegiatan evaluasi tapak dapat dilakukan. Setelah evaluasi tapak selesai

    dilakukan, maka BATAN menyiapkan dokumen Laporan Evaluasi Tapak (LET),

    Data Utama Reaktor (DUR), preliminary Design Information Questionaire (DIQ)

    atau DID (Daftar Informasi Desain), dan dokumen pelaksanaan SMET dalam

    rangka untuk pengajuan permohonan Izin Tapak. Izin Tapak dikeluarkan setelah

    mendapat Izin Lingkungan.

    3.2.1.2 Izin Konstruksi

    Pemegang Izin Tapak harus memperoleh persetujuan desain dari Kepala

    BAPETEN sebelum mengajukan permohonan izin Konstruksi. Pemegang Izin

    Tapak untuk memperoleh persetujuan desain harus mengajukan permohonan

    secara tertulis kepada Kepala BAPETEN dan melampirkan dokumen:

    a. Desain Rinci Reaktor Nuklir; dan

    b. LAK.

    Setelah mendapatkan persetujuan desain maka tahap selanjutnya adalah

    mengajukan permohonan Izin Konstruksi. Untuk melaksanakan permohonan izin

  • 34

    konstruksi atau tahap pembangunan RDNK, BATAN menyiapkan dokumen terkait

    proses Izin Konstruksi, antara lain LAK, desain rinci reaktor, program konstruksi,

    DID, Preliminary Protection System, Sistem Manajemen, dan Izin Lingkungan

    berupa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal).

    3.2.2 Izin Pengoperasian

    3.2.2.1 Izin Komisioning

    Pemegang Izin Konstruksi dapat mengajukan permohonan izin Komisioning kepada

    Kepala BAPETEN:

    a. pada saat memulai pelaksanaan uji fungsi struktur, sistem, dan komponen

    reaktor nuklir tanpa bahan nuklir;

    b. setelah memiliki izin pemanfaatan bahan nuklir; dan

    c. setelah memiliki surat izin bekerja bagi petugas instalasi nuklir dan bahan

    nuklir.

    Pemegang Izin Konstruksi untuk memperoleh izin Komisioning harus mengajukan

    permohonan secara tertulis kepada Kepala BAPETEN dan melampirkan dokumen:

    a. persyaratan administrative; dan

    b. persyaratan teknis.

    Dokumen yang diajukan untuk aplikasi Izin Komisioning meliputi program

    komisioning, laporan kegiatan konstruksi, dokumen gambar teknis (as built drawing)

    RDNK, sistem safeguard dan proteksi nuklir, program kesiapsiagaan darurat nuklir,

    sistem manajemen komisioning, laporan pelaksanaan pengelolaan dan

    pemantauan lingkungan (implementasi Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup

    dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup/RKL-RPL) selama konstruksi,

    jaminan keuangan untuk ganti kerugian akibat kecelakaan nuklir, dan jaminan

    keuangan untuk dekomisioning.

    3.2.2.2 Izin Operasi

    Pemegang Izin Komisioning dapat mengajukan permohonan izin operasi secara

    tertulis kepada Kepala BAPETEN pada saat pelaksanaan Komisioning dengan

    melampirkan dokumen:

    a. persyar