jurnal hukum lingkungan vol. 4 issue 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah...

201

Upload: lamdan

Post on 06-Sep-2018

242 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN
Page 2: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

i

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Jurnal Hukum

lingkungan indonesia

Volume 4 Issue 2, Februari 2018

ISSN: 2355-1305

Indonesian Center for Environmental Law

Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia

Page 3: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

ii

Jurnal Hukum lingkungan indonesia

Vol. 4 Issue 2 / Februari / 2018ISSN: 2355-1305Website: www.icel.or.id/jurnalE-mail: [email protected]

Diterbitkan oleh:IndonesIan Center for envIronmental law (ICel)Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran BaruJakarta Selatan 12120Telp. (62-21) 7262740, 7233390Fax. (62-21) 7269331

Desain Sampul : Tata Letak : Gajah Hidup

Redaksi mengundang para akademisi, pengamat, praktisi, mahasiswa dan mereka yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. Tulisan dapat dikirimkan melalui pos atau e-mail sesuai dengan ketentuan dalam Pedoman Penulisan (hal. ix)

DISCLAIMEROpini yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi ICEL, melainkan merupakan pendapat pribadi masing-masing Penulis.

Page 4: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

iii

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

r e d a k s I d a n m I t r a B e B e s t a r I

Dewan Penasehat

Mas Achmad Santosa, S.H., LL.M.Prof. Dr. Muhammad Zaidun, S.H., M.Si.Prof. Dr. Asep Warlan Yusuf, S.H., M.H.

Indro Sugianto, S.H., M.H.Sandra Moniaga, S.H., LL.M.

Ir. Yuyun Ismawati, M.Sc.Dadang Trisasongko, S.H.

Penanggung Jawab

Henri Subagiyo, S.H., M.H.

Pemimpin Redaksi

Margaretha Quina, S.H., LL.M.

Redaktur Pelaksana

Shafira Anindia Alif Hexagraha, S.H.

Sidang Redaksi

Laode M. Syarief, S.H., LL.M., Ph.D.Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum.

Sukma Violetta, S.H., LL.M.Josi Khatarina, S.H., LL.M.

Rino Subagyo, S.H.Windu Kisworo, S.H., LL.M.

Prayekti Murharjanti, SH., M.Si.Feby Ivalerina, S.H., LL.M.

Dyah Paramitha, S.H., LL.M.Raynaldo G. Sembiring, SH.

Astrid Debora, S.H.Rika Fajrini, S.H.Ohiongyi Marino, S.H.Isna Faitmah, S.H.Rayhan Dudayev, S.H.Wenni Adzkia, S.H.Fajri Fadhillah, S.H.Adrianus Eryan, S.H.Angela Vania Rustandi, S.H.

Mitra Bebestari

Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H., M.H. Andri Gunawan Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D.

Redaksi dan segenap Penulis Artikel mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada Sidang Redaksi dan Mitra Bebestari atas peer review dan saran yang diberikan dalam

penyempurnaan Artikel Ilmiah yang diterima.

Page 5: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

iv

Page 6: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

v

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

P e n g a n t a r r e d a k s I

“Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

di Indonesia dalam Laju Akselerasi Pembangunan ”

T enggat waktu target pembangunan jangka menengah Indonesia semakin

semakin mendekati akhirnya.1 Selain tekanan waktu, faktor demografis

_dan pertumbuhan ekonomi pun telah mendorong munculnya berbagai

permintaan akan fasilitas yang menunjang kegiatan dan standar hidup yang lebih

baik.2 Tekanan ini, di berbagai negara berkembang termasuk Indonesia acapkali

ditindaklanjuti dengan pembangunan infrastruktur secara masif.3 Akibatnya, hal

ini justru meningkatkan pula tekanan terhadap ketersediaan sumber daya alam

dan kerusakan lingkungan hidup oleh karena akselerasi pembangunan terus

dijalankan tanpa disertai dengan pertimbangan yang cukup baik mengenai daya

dukung lingkungan.4

Berhadapan dengan situasi tersebut, hukum lingkungan juga didorong

untuk dapat mengendalikan dampak pembangunan terhadap lingkungan hidup

melalui berbagai instrumennya. Pada kenyataannya, kerangka hukum lingkungan

yang telah ada saat ini masih menyisakan celah baik dari sisi regulasi, kebijakan,

maupun penegakan hukum. Akibatnya hal tersebut melemahkan perlindungan

terhadap lingkungan hidup dan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi

1 Indonesia, Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2015-2019, Peraturan Pres-iden Nomor 2 Tahun 2015 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 3), Pasal 1 angka 1-2.

2 Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), “OECD Environmental Outlook to 2003: Summary in English”, (Paris: OECD, 2008), hlm. 6. Studi ini menyampaikan bahwa tekanan tertinggi terhadap ketersediaan sumber daya alam dan kualitas lingkungan hidup berada di emerging economies terutama Brazil, Rusia, India, Indonesia, China, dan Af-rika Selatan (the BRIICS).

3 Protimos dan UN Habitat, “Environmental and Social Impact Assessments: what is its Impact and Effectiveness for the Poor in African Cities” (presentation, The 9th World Urban Forum, Kuala Lumpur, 6-13 Feburari 2018) cf . Sekretariat Kabinet Republik Indonesia, Infrastructure Development Aims to Create Higher Economic Growth, President Jokowi Says, http://setkab.go.id/en/infrastructure-development-aims-to-create-higher-economic-growth-president-jokowi-says/, (diakses pada 20 Maret 2018).

4 Chris Hope, et. al, Making Indonesia’s Growth Green and Resilient, bab dalam Muhammad Eh-san Khan, et.al (eds.), Diagnosing the Indonesian Economy: Toward Inclusive and Green Growth, (London: Anthem Press, 2013), hlm. 429-433 cf. OECD, Op.Cit.

Page 7: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

vi

masyarakat. Salah satunya ditunjukkan dari ketiadaan Peraturan Daerah tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) pada 20 provinsi.5 Kenyataan ini tentu

bersifat kontraproduktif dengan besarnya ambisi pemerintah dalam melakukan

pembangunan.6 Padahal, RTRW wajib dimiliki oleh masing-masing daerah7

sebab RTRW berfungsi untuk menjamin keseimbangan ruang hidup manusia dan

lingkungan hidup serta memiliki fungsi rujukan penting terhadap penyusunan

dokumen-dokumen seperti izin lingkungan.8

Oleh karena itu, secara akademis, hukum lingkungan memiliki peran

penting untuk turut merefleksikan dan menyusun strategi mengenai pengendalian

pembangunan dan perlindungan lingkungan hidup melalui pendalaman

terhadap instrument hukum lingkungan seperti penetapan standar, larangan

dan pembatasan, perizinan, analisa mengendai dampak lingkungan.9 Eksaminasi

terhadap berbagai instrumen lingkungan maupun telaah praktis, melalui diseminasi

publik, dapat mendorong pemerintah untuk menjernihkan bias pembangunan

infrastruktur terutama pada kegiatan yang merupakan solusi jangka pendek dan

memiliki dampak besar terhadap lingkungan hidup dan hak asasi manusia ke arah

pembangunan yang lebih berkelanjutan.10

5 Yeremia Sukoyo, Daerah Tidak Miliki Perda RTRW Hambat Pembangunan Nasional, http://www.beritasatu.com/nasional/394911-daerah-tidak-miliki-perda-rtrw-hambat-pembangunan-na-sional.html, (diakses 20 Maret 2018).

6 Indonesia, Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksa-naan Proyek Strategis Nasional, Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 119), Lampiran. Terdapat 248 Proyek Strategis Na-sional yang terdaftar pada Peraturan Presiden tersebut. Selain Proyek Strategis Nasional, ter-dapat 37 infrastruktur yang menjadi prioritas pembangunan Pemerintah dalam kurun waktu 2015-2019. Daftar infrastruktur tersebut dapat dilihat di: Komite Percepatan Penyediaan In-frastruktur Prioritas, Proyek Prioritas: Status Terakhir Proyek Prioritas KPPIP, https://kppip.go.id/proyek-prioritas/, (diakses 20 Maret 2018).

7 Indonesia, Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007, (Lembaran Negara Ta-hun 2007 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4725), Pasal 78 ayat (4)

8 Indonesia, Izin Lingkungan, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012, (Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5285), Pasal 4 ayat (2).

9 Donald K. Anton dan Dinah L. Shelton, Environmental Protection and Human Rights, (New York: Cambridge University Press, 2011), hlm. 37-48.

10 Jon Strand dan B. Gabriela Mundaca, Impacts of Macroeconomic Policies on the Environment, Natural Resources, and Welfare in Developing Countries, bab dalam Ramon Lopez dan Michael A. Toman, Economic Development & Environmental Sustainability: New Policy Options, (New York: Oxford University Press), hlm. 100-1.

Page 8: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

vii

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Penulis yang telah

mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya dalam menyelesaikan artikel ini

dan melakukan revisi berdasarkan masukan substantif dari penelaahan sejawat

dan Sidang Redaksi. Terima kasih juga kami ucapkan kepada segenap anggota

Sidang Redaksi yang telah menelaah dengan cermat dan memberikan masukan

substantif bagi tiap artikel. Tidak lupa kepada Mitra Bebestari edisi ini, Prof. Dr.

Ida Nurlinda, S.H., M.H., dan Dr. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M., Ph.D., yang telah

melakukan blind peer review terhadap artikel dalam jurnal edisi ini.

Akhir kata, JHLI Vol. 4 Issue 2 (Februari 2018) ini tidak lepas dari kekurangan.

Redaksi mempersilakan semua pihak memberikan kritik dan masukan untuk

memperbaiki proses maupun substansi, maupun hasil akhir artikel yang dimuat

dalam jurnal ini.

Jakarta, Februari 2018,

Redaksi

Page 9: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

viii

Page 10: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

ix

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

d a f t a r I s I

Redaksi & Mitra Bebestari ...........................................................................................iii

Pengantar Redaksi ........................................................................................................ iv

Daftar Isi .........................................................................................................................vi

Artikel Ilmiah

1. Kajian tentang Pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan

Keadilan Sosial (Perspektif Hukum Pancasila)

Dr. Suparjo Sujadi, S.H., M.H. .................................................................... 1

2. Konteks Politik Hukum di Balik Percepatan Penetapan Hutan Adat:

catatan ke Arah Transisi 2019

Muki T. Wicaksono, S.Sos dan Malik, S.H. .......................................... 25

3. Analisis terhadap Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan sebagai

Instrumen Penaatan Hukum Lingkungan

Fadhil Muhammad Indrapraja, S.H. ........................................................ 47

4. Rekonstruksi Hukum Pembangunan dalam Kebijakan Pengaturan

Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

Wahyu Nugroho, S.H., M.H., dan Dr. Agus Surono, S.H., M.H. ........ 77

5. Prinsip Pencemar Membayar untuk Mendorong Akses Kompensasi di

Kebijakan ASEAN dalam Kasus Polusi Kabut Asap Lintas Batas

Gandar Mahojwala Paripurno, S.H. ....................................................... 111

6. Penerapan Plastic Deposit Refund System sebagai Instrumen Penanggulangan

Pencemaran Limbah Plastik di Wilayah Perairan Indonesia

Irawati Puteri, Rizkina Aliya, dan Satria Afif Muhammad .............. 129

Page 11: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

x

Catatan Akhir Tahun 2017 Indonesian Center for Environmental Law

Kebijakan Pemerintahan Jokowi-JK Tahun 2017: Ambisi Megaproyek, Minim

Perlindungan Lingkungan ...................................................................................... 151

Ulasan Buku: Penegakan Hukum Lingkungan Melalui

Pertanggungjawaban Perdata

Adrianus Eryan Wisnu Wibowo, S.H. ................................................................. 183

Pedoman Penulisan Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia .................................. xi

Page 12: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

1

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

kaJian tentang Pembangunan

Proyek strategis nasional (Psn) dan keadilan sosial

(PersPektif Hukum Pancasila)

Oleh: Suparjo Sujadi1

Abstrak

Isu kesesuaian RTRW dan perlindungan hak atas tanah bukanlah bersifat

kontemporer. Kedua persoalan tersebut menyertai hampir pada setiap pelaksanaan

pembangunan infrastruktur dalam rentang dominan hingga tidak signifikan

secara kuantitas dan kualitasnya. Kajian ini masih menunjukkan nuansa kuatnya

kepentingan pragmatik yang mengabaikan tatanan hukum dalam proyek strategis

nasional. Pemahaman penting dari permasalahan yang muncul dari program PSN

dengan menggunakan Hukum Pancasila sebagai perspektif solusi sebagai usulan

logis dalam tatanan hukum Indonesia.

Kata kunci: proyek strategis nasional, tata ruang, hak atas tanah, keadilan sosial,

hukum pancasila

Abstract

The issue of the appropriateness of the spatial planning and the protection of land

rights is not contemporary one. These two issues accompany almost every implementation

of infrastructure development in the dominant range to be insignificant in quantity and

quality. This study still shows the strong nuance of pragmatic interests that ignore the rule

1 Pengajar Senior Hukum Tanah dan Penatagunaan Tanah Program Sarjana dan Pascasarjana FHUI dan pengkaji Hukum Pancasila. Alumni program sarjana (SH-1994), MH (2002) dan Doktor Ilmu Hukum (2014) semuanya di almamater FHUI

Page 13: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

2

of law in national strategic projects. An important understanding of the influence problem

of national strategic project (PSN) by using Pancasila Law as a solution perspective as a

logical proposal in the Indonesian legal order.

Keywords: national stategic project, spatial planning, land right, sosial justice, law

of pancasila

I. Pengantar

Salah satu isu hukum yang penting dan mengemuka saat ini muncul pada

Peraturan Presiden Republik Indonesia tentang Perubahan Atas Peraturan

Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis

Nasional (selanjutnya disingkat dengan Perpres Nomor 58 Tahun 2017). Ada dua

permasalahan mendasar dari perspektif hukum yang muncul dari keberlakuan

Perpres tersebut. Permasalahan pertama, adalah berkenaan dengan substansi

pengaturan hasil perubahan yang diadopsi penambahan ketentuan dalam

Pasal 20 ayat (3) Perpres Nomor 3 Tahun 2016 yang memberikan legitimasi

bagi Proyek Strategis Nasional untuk menyimpangi rencana tata ruang baik di

tingkat kabupaten/kota, provinsi, maupun nasional. Kemungkinan mengubah

rencana tata ruang yang berlaku sah juga diperkokoh melalui pemberian atribusi

kewenangan kepada Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan

Nasional yang memberikan rekomendasi penyesuaian tata ruang atas lokasi

Proyek Strategis Nasional.

Permasalahan kedua, berkenaan dengan tataran kepemilikkan tanah

sebagaimana ditemukan di Pasal I angka 3 Perpres Nomor 58 Tahun 2017 (Pasal

21 ayat (5)) yang melampaui prinsip pengakuan dan perlindungan kepemilikkan

tanah di dalam UU No.5 tahun 1960 (UUPA). Ketentuan pasal tersebut menerapkan

semacam prinsip “the right of first refusal2 atau juga dikenal the rights of pre-emption”3,

kepada pihak yang akan melakukan perolehan tanah dan mereduksi kewenangan

pemegang hak atas tanah. Hal itu secara substansial jelas melanggar prinsip

2 Justia US Law, “Campbell v. Alger (1999)”, https://law.justia.com/cases/california/court-of-appeal/4th/71/200.html, diakses 1 November 2017

3 Raymond Cooper, “Rights of Pre-Emption and the Rule Against Perpetuities”, http://www.raymondcooper.co.uk/business-leases/rights-pre-emption-rule-perpetuities/, diakses 1 No-vember 2017

SUPARJO SUJADI

Page 14: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

3

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

musyawarah-mufakat yang menjadi prinsip pengaturan perolehan tanah didalam

UUPA dan UU No.2 tahun 2012.

Kedua permasalahan tersebut berpengaruh terhadap banyak aspek

fundamental setidaknya perihal kepastian hukum dan keadilan sosial. Dua

prinsip yang seyogyanya harus termanifestasikan dalam rangka melindungi

hak masyarakat atas ruang dan hak atas tanah mereka. Hal itu pun termasuk

kenyataan bahwa harus terjadi perubahan akibat adanya program yang tematik

pembangunan nasional semacam implementasi Perpres Nomor 58 tahun 2017

tersebut.

Dalam pandangan atau pendirian hukum adat yang menjadi dasar

pembentukkan UUPA, kedua aspek yaitu ruang dan tanah adalah sebagai bagian

dari hidup manusia yang tidak terpisahkan. Hal itu tertata dalam berbagai

konsepsi hukum adat yaitu dalam tatanan harmoni manusia dengan unsur-unsur

alam semesta (tanah, ruang). Terlebih lagi bahwa UUPA dan UU Nomor 26 tahun

2007, dibangun berlandaskan falsafah negara Pancasila yang mengajarkan harmoni

unsur manusia alam semesta dan Tuhan Yang Maha Esa Shang Penciptanya.4

Oleh karenanya dalam pembahasan ini akan melihat dan menjelaskan hakekat

permasalahan hukum yang muncul dari implementasi Perpres Nomor 58 tahun

2017 akan dijelaskan dari perspektif Hukum Pancasila. Istilah ini dibangun dari

pemahaman terhadap Pancasila dari dua sisi yang bersatu ibarat mata uang. Satu

sisi Pancasila dalam tatanan negara adalah sebagai falsafah negara (sumber dari

segala sumber hukum), sisi lainnya adalah Pancasila sebagai acuan nilai-nilai

pedoman hidup (way of life) Bangsa Indonesia.

II. Proyek Strategis Nasional dalam Tatanan Keadilan Sosial

Dalam tatanan perencanaan pembangunan nasional, maka pembangunan

proyek strategis nasional adalah sebagai implementasi Rencana Pembangunan

Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 sebagai tahapan ketiga dari

4 Hal itu dapat ditemukan dalam UU No.26 tahun 27 yang dalam konsiderans menimbang huruf b. yang menegaskan bahwa perkembangan situasi dan kondisi nasional dan interna-sional menuntut penegakan prinsip keterpaduan, keberlanjutan, demokrasi, kepastian hu-kum, dan keadilan dalam rangka penyelenggaraan penataan ruang yang baik sesuai dengan landasan idiil Pancasila;

Page 15: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

4

Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang telah

ditetapkan melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 2007.

Berlandaskan tujuan pembentukkan Negara dalam Pembukaan UUD RI 1945

dan UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP),

RPJMN 2015-2019 sekaligus adalah penjabaran dari Visi, Misi, dan Agenda (Nawa

Cita) Presiden/Wakil Presiden, Joko Widodo dan Muhammad Jusuf Kalla. RPJMN

2015-2019 yang disusun Bappenas menggunakan Rancangan Teknokratik dan

berpedoman pada RPJPN 2005-2025. RPJMN 2015-2019 adalah pedoman untuk

menjamin pencapaian visi dan misi Presiden, RPJMN sekaligus untuk menjaga

konsistensi arah pembangunan nasional dengan tujuan di dalam Konstitusi

Undang Undang Dasar 1945 dan RPJPN 2005–2025.

Dalam rangka percepatan pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi

kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemerintah

memandang perlu dilakukan upaya percepatan pelaksanaan Proyek Strategis

Nasional. Terkait kebijakan tersebut Presiden Joko Widodo pada tanggal 8 Januari

2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 3 Tahun 2016

tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.

Dalam Perpres ini disebutkan, Proyek Strategis Nasional adalah proyek

yang dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau badan usaha

yang memiliki sifat strategis untuk peningkatan pertumbuhan dan pemerataan

pembangunan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan

pembangunan daerah.

Menteri/kepala lembaga, gubernur, dan bupati/walikota memberikan

perizinan dan non-perizinan yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan Proyek

Strategis Nasional sesuai dengan kewenangannya berdasarkan Pasal 3 Perpres

Nomor 3 Tahun 2016 tersebut. Menteri atau kepala lembaga selaku Penanggung

Jawab Proyek Strategis Nasional mengajukan penyelesaian perizinan dan

nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan Proyek Strategis

Nasional sejak diundangkannya Peraturan Presiden tersebut.

Perizinan dan nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan

Proyek Strategis Nasional sebagaimana dimaksud, yaitu: a. Penetapan Lokasi; b.

Izin Lingkungan; c. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; dan/atau d. Izin Mendirikan

SUPARJO SUJADI

Page 16: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

5

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Bangunan. Ketentuan yang sama berlaku bagi Gubernur atau bupati/walikota

selaku Penanggung Jawab Proyek Strategis Nasional di daerah memberikan

perizinan dan nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan Proyek

Strategis Nasional sesuai kewenangannya sejak diundangkannya Peraturan

Presiden tersebut.

Sementara bagi Badan Usaha selaku Penanggung Jawab Proyek Strategis

Nasional berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Perpres, mengajukan izin prinsip untuk

pelaksanaan Proyek Strategis Nasional kepada Kepala Badan Koordinasi

Penanaman Modal melalui PTSP (Pelayanan Terpadu Satu Pintu) Pusat yang

akan menerbitkan izin prinsip sebagaimana dimaksud, paling lambat 1 (satu) hari

kerja sejak permohonan diterima dengan lengkap dan benar (vide Pasal 6 ayat (2)

Perpres) tersebut.

Dalam hal izin prinsip telah diberikan, Badan Usaha mengajukan penyelesaian

perizinan dan nonperizinan yang diperlukan untuk memulai pelaksanaan Proyek

Strategis Nasional kepada PTSP Pusat, yaitu: a. Izin Lokasi; b. Izin Lingkungan;

c. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan; d. Izin Mendirikan Bangunan; dan/atau e.

Fasilitas fiskal dan non fiskal.

Waktu penyelesaian perizinan dan nonperizinan sebagaimana dimaksud

dikecualikan untuk: a. Izin Lingkungan yang diselesaikan paling lama 60 (enam

puluh) hari kerja; b. Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan paling lama 30 (tiga puluh)

hari kerja; c. Nonperizinan untuk fasilitas perpajakan (Pajak Penghasilan dan/atau

Pajak Pertambahan Nilai) paling lama 28 (dua puluh delapan) hari kerja; atau d.

yang diatur waktunya dalam undang-undang dan/atau peraturan pemerintah.

Dalam dinamikanya pelaksanaan pembangunan proyek strategis nasional

memang terdapat tiga kendala yaitu berkenaaan dengan pertama, hambatan

perolehan tanah lalu kedua, kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan

ketiga, pendanaan yang mencapai empat ribu trilliun rupiah lebih.5

Persoalan yang muncul dari berbagai perolehan tanah yang dilakukan dalam

rangka pembangunan proyek strategis nasional tidak juga terhindarkan. Hal itu

5 Dewi Aminatuz Zuhriyah,” Proyek Strategis Nasional : Ini Tiga Hambatan Besarnya”, dalam Bisnis Indonesia 7 Juli 2017, http://finansial.bisnis.com/read/20170707/9/ 669321/proyek-strategis-nasional-ini-tiga-hambatan-besarnya, diakses 20 November 2017

Page 17: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

6

mengingat sudah ada UU No.2 tahun 2012 yang menjadi payung hukum dalam

perolehan tanah untuk pembangunan kepentingan umum. Hal itu bisa diketahui

dari beleid yang diterbitkan presiden pada tanggal 31 Mei 2017 (Perpres Nomor 56

Tahun 2017 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan dalam rangka

Penyediaan Tanah untuk Proyek Strategis Nasional), dalam upaya percepatan

pengadaan tanah yang dikuasai masyarakat dan meminimalisasi dampak sosial

yang timbul terhadap masyarakat sebagai akibat dibebaskannya lahan masyarakat

dimaksud untuk pembangunan Proyek Strategis Nasional.

Dinamika kebijakan terus berlanjut pada tanggal 15 Juni 2017, Presiden

Joko Widodo telah menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 58 Tahun

2017 tentang Perubahan atas Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan

Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (PSN). Perubahan Perpres Nomor 58

Tahun 2017 tersebut adalah berkenaan dengan beberapa aspek penting, pertama

aspek pembiayaan pembangunan PSN dapat pula dilakukan melalui non anggaran

pemerintah. Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (4) Perpres Nomor 58 Tahun

2017 Proyek Stategis Nasional yang bersumber dari non anggaran Pemerintah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikoordinasikan oleh Menteri Perencanaan

Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Bappenas).

Kedua, Terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah, terhadap lokasi Proyek

Strategis Nasional yang tidak berkesesuaian dengan rencana tata ruang kabupaten/

kota atau rencana tata ruang kawasan strategis nasional, sesuai Pasal 19 ayat (3),

Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN)

dapat memberikan rekomendasi kesesuaian tata ruang atas lokasi PSN.6

Ketiga, aspek pertanahan dalam hal penetapan tanah lokasi PSN berdasarkan

ketentuan Pasal 21 Ayat (4) dilakukan oleh Gubernur. Implikasi penetapan lokasi

tersebut, selanjutnya tanah yang telah ditetapkan lokasinya tersebut tidak dapat

dilakukan pemindahan hak atas tanahnya oleh pemilik hak kepada pihak lain selain

kepada Badan Pertanahan Nasional sesuai ketentuan Pasal 21 ayat (5) Perpres yang

belakangan berlaku sebagai pengganti Perpres Nomor 3 Tahun 2016 itu.

6 Untuk keperluan tersebut sudah disiapkan beleid tertanggal 8 Mei 2017 berupa Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 6 tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah

SUPARJO SUJADI

Page 18: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

7

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Tulisan ini secara akademik akan membahas dua persoalan terakhir sesuai

ranah pembahasan dalam lingkup ilmu hukumnya yang akan diulas dalam bagian

berikutnya.

III. Mengurai Permasalahan Proyek Strategis Nasional dalam Tatanan Ideal

Hukum Pancasila

3.1. Perpres PSN sebagai Masalah dalam Tataran Normatif

Dalam lingkup ilmu perundang-undangan Perpres Bagi sekelompok ahli,

penyebutan peraturan presiden (perpres), pengganti keputusan presiden yang

bersifat peraturan (regeling), adalah lebih tepat. Alasannya karena istilah keputusan

merupakan penetapan (beschikking), bersifat individual, nyata, dan sekali selesai

final, einmaligh)7. Maria Farida memiliki pendapat berbeda, bahwa istilah Keppres

lebih tepat dibandingkan Perpres. Istilah keputusan dalam arti luas dibagi dua

jenis: keputusan yang bersifat mengatur (regeling) dan keputusan yang bersifat

menetapkan(beschikking). Keputusan merupakan pernyataan kehendak, yang

dibedakan: (1) sebagai keputusan yang merupakan peraturan perundang-

undangan (wetgeving), (2) keputusan yang merupakan peraturan perundang-

undangan semu (beleidsregel, pseudo-wetgeving), (3) keputusan yang berentang

umum lainnya (besluiten van algemene strekking).8

Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 memberikan definisi bahwa Peraturan

Presiden adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden

untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi

atau dalam menyelenggarakan kekuasaan pemerintahan. Undang-undang

tersebut telah mendefinisikan secara lebih baik dibandingkan dengan Pasal 1

angka 6 UU No. 10 Tahun 2004, yang mendefinisikan bahwa Peraturan Presiden

adalah Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh Presiden.

Presiden juga dapat menetapkan keputusan presiden (kini disebut peraturan

presiden) yang tidak merupakan delegasi dari UU dan peraturan pemerintah.

7 Lihat dalam Dr. R. Herlambang P. Wiratraman,” Peraturan Presiden Istilah, Wewenang, Ma-teri dan Penyusunannya”, Surabaya, 12 November 2015

8 Maria Farida Indrati Soeprapto dan Hamid Attamimi, Ilmu Perundang-undangan 1 : Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan,Yogyakarta:Kanisius,2007, hlm.101

Page 19: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

8

Keputusan presiden (peraturan presiden) ini biasa disebut keputusan presiden

mandiri, termasuk dalam peraturan kebijakan (beleidsregel, pseudo-wetgeving),

bersumber dari kewenangan diskresi (freies emerssen).

Dari definisi Pasal 1 angka 6 UU No. 12 Tahun 2011 mencakup dua hal

yang penting, yaitu pertama, untuk menjalankan perintah Peraturan Perundang-

undangan yang lebih tinggi, atau kedua, yaitu dalam menyelenggarakan kekuasaan

pemerintahan. Unsur yang pertama jelas mengacu pada ketentuan norma yang lebih

tinggi, yang biasanya disebutkan secara eksplisit (ius scriptum). Ada perbedaan

dengan unsur kedua yang memberikan keleluasaan bagi seorang Presiden untuk

memastikan bahwa Perpres diperlukan atau dikeluarkan dalam rangka menjamin

penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan berjalan lebih baik. Dari ruang

lingkupnya, membuka peluang tafsir luas bagi Presiden untuk menerjemahkan

penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

3.2. Perpres PSN dalam Tataran Praktik Implementasinya

Pembahasan dari tataran praktik implementasi Perpres PSN adalah dilihat

dari substansinya menyangkut pengaturan yang memiliki ranah perdebatan

secara akademik berkenaan dengan dua hal, yaitu pertama, kesan pertentangan

antara rencana tata ruang wilayah dengan PSN dan kedua, jaminan perlindungan

dan kepastian hak atas tanah.

Penjelasan terhadap dua persoalan implementasi tersebut dimulai dari aspek

substansi/materi dan fungsi Perpres. Menurut Pasal 13 UU No. 12 Tahun 2011

disebutkan bahwa materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan

oleh Undang-Undang, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau

materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Dalam

Penjelasan Pasal 13, Peraturan Presiden dibentuk untuk menyelenggarakan

pengaturan lebih lanjut perintah Undang-Undang atau Peraturan

Pemerintah secara tegas maupun tidak tegas diperintahkan pembentukannya.

Materi yang dimaksudkan dalam pasal tersebut dari penjelasannya hanya ada

SUPARJO SUJADI

Page 20: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

9

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

dalam tiga kategori9, yaitu pertama, materi yang diperintahkan oleh Undang-

Undang; kedua, materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah, atau ketiga,

materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan.

Pada aspek fungsi Perpres, menurut pandangan Maria Farida10 disebutkan,

Pertama, menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penye-

lenggaraan kekuasaan pemerintahan (atribusi); Kedua, menyelenggarakan

pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-

tegas menyebutnya (delegasi) dan ketiga, menyelenggarakan pengaturan lebih

lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah, meskipun tidak tegas-tegas

menyebutnya.

Atas uraian di atas maka kemudian dapatlah dibuat pemetaan persoalan

dalam ranah implementasinya sebagai berikut.

Gambar1. Pemetaan Persoalan PSN

Pembahasan dalam dua lingkup Perpres PSN tersebut dapat dijelaskan dengan

menggunakan perspektif doktrin hukum berkenaan dengan Stufen theory, yang

memberikan acuan dalam tatanan hirarki norma peraturan perundang-undangan.

Lex superiori derogat legi inferiori yang mengajarkan bahwa norma peraturan yang

lebih rendah tingkatannya tidaklah dapat menyimpangi norma peraturan yang

lebih tinggi di atasnya.

9 Batasan tersebut selanjutnya ditegaskan kembali dalam Pasal 64 Perpres No. 87 Tahun 2014, yang menyebutkan bahwa Pemrakarsa menyusun Rancangan Peraturan Presiden yang berisi materi: a. yang diperintahkan oleh Undang-Undang; b.untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah; atau c. untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan Pemerintahan.

10 Maria Farida, Opcit.hlm.223-225 sebagaimana ditemukan dalam tulisan Wiratraman. Opcit

MATERI PERPRES PSN• MATERI UNTUK MELAKSANAKAN

PENYELENGGARAAN KEKUASAAN PEMERINTAH

FUNGSI PERPRES PSN• MENYELENGGARAKAN PENGATURAN

SECARA UMUM DALAM RANGKA PENYELENGGARAAN KEKUASAAN PEMERINTAH (ATRIBUSI)

Page 21: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

10

Menggunakan pendekatan tersebut maka kemudian dapat dijelaskan

perdebatan akademik mengenai kesesuaian RTRW dengan PSN. Dalam ranah

akademik terdapat acuan di dalam Pasal 14 UUPA. Pasal ini mengatur soal

perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang

angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II angka 8).

Pasal 14 UUPA sudah memberikan proyeksi bahwa mengingat akan corak

perekonomian Negara dikemudian hari dimana industri dan pertambangan akan

mempunyai peranan yang penting, maka disamping perencanaan untuk pertanian

perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan pertambangan (Pasal 14

ayat (1) huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud menyediakan tanah

untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan pertambangan, tetapi juga

ditujukan untuk memajukannya.11

Menurut ketentuan Pasal 14 UUPA, maka dapatlah diketahui bahwa

perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang

angkasa untuk berbagai keperluan baik dalam sektor pertanian maupun sektor

lainnya harus dibuat oleh pemerintah pusat dan di daerah. Hal itu baik dalam ranah

pembuatan rencana persediaan (implikasinya berupa pengadaan dan perolehan

tanahnya) juga terhadap penataan ruang (peruntukkan dan penggunaannya).

Kedua aspek tersebut kemudian dapat dijelaskan dalam dua kemungkinan

alternatif secara akademik. Pertama, rencana pembangunan (PSN) dalam arti rencana

umumnya dibuat terlebih dahulu baru kemudian dibuatkan rencana tata ruang

(peruntukkan dan penggunaannya), atau sebaliknya yang kedua, dibuatkan rencana

tata ruang (peruntukkan dan penggunaannya) terlebih dahulu baru kemudian

disusun rencana pembangunannya (PSN) dalam konteks pembahasan ini.

Dalam perkembangannya pascaberlakunya UU Nomor 26 tahun 2007 tentan

Penataan Ruang mulai dilakukan penataan ruang yang lebih komperehensif

daripada UU Nomor 24 tahun 1992. Hal itu dapat diketahui dari pertimbangan

11 Sesuai judul Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam pembahasan isu tata ruang (dari perspektif Pasal 14 UUPA) haruslah dipa-hami sebagai kaidah hukum yang secara formil masih berlaku dan secara prinsipil memiliki arahan tujuan dan sasaran pengaturan ranah teknis tata ruang. Hal itu tentu saja valid bahwa dalam memahami kaidah hukum via penafsiran sistematik-holistik. Pemahaman yang keliru ketika membahas isu dalam ranah teknis-sektoral (tata ruang) tanpa merasa perlu/meng-abaikan dasar-dasar kaidah hukum pertanahan di dalam UUPA.

SUPARJO SUJADI

Page 22: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

11

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

pertama keberlakukan UU Nomor 26 tahun 2007, yang terdiri dari pertama, karakter

ruang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merupakan negara

kepulauan berciri Nusantara, baik sebagai kesatuan wadah , kedua unsur ruang

meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi,

ketiga, aspek lain dari ruang sebagai sumber daya, keempat, skema intensitas

upaya pengelolaannya secara bijaksana, berdaya guna, dan berhasil guna, kelima,

sandaran normatif dengan berpedoman pada kaidah penataan ruang sehingga

kualitas ruang wilayah nasional dapat terjaga keberlanjutannya, keenam tujuan

akhir penataan ruang demi terwujudnya kesejahteraan umum dan keadilan sosial

sesuai dengan landasan konstitusional Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.12

Kembali pada perdebatan kesesuaian RTRW versus PSN, bahwa ada

konsekuensi dari kesenjangan antara RTRW dengan rencana pembangunan PSN

(turunan dari rencana pembangunan nasional yang menghasilkan RPJM dan

PSN), yaitu kemungkinan terjadinya peninjauan kembali (revisi) RTRW. Sandaran

hukumnya secara normatif dapat ditemukan dalam Pasal 16 UU Nomor 26 tahun

2007 dan PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang (Pasal

81 – Pasal 92), serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan

Pertanahan Nasional No.16 tahun 2017, tentang Tata Cara Peninjauan Kembali

Rencana Tata Ruang Wilayah.

Implikasinya berdasarkan landasan hukum tersebut maka RTRW dari semua

tingkatan (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota) dapat direvisi dengan dua

pertimbangan, pertama, terjadi perubahan kebijakan nasional yang mempengaruhi

penataan ruang wilayah nasional; dan/atau kedua, terdapat dinamika pembangunan

nasional yang menuntut perlunya peninjauan kembali dan revisi Rencana Tata

Ruang Wilayah Nasional.

Dari sisi lain terdapat penegasan efek atau dampak dari akibat perubahan

RTRW tersebut sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 16 ayat (3) UU No.26 tahun

2007. Apabila peninjauan kembali rencana tata ruang menghasilkan rekomendasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, revisi rencana tata ruang

dilaksanakan dengan tetap menghormati hak yang dimiliki orang sesuai dengan

12 Huruf tebal dari penulis sekadar membuat lebih jelas saja

Page 23: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

12

ketentuan peraturan perundang-undangan. Hal itu hanya bersifat pendekatan

tunggal terhadap dampak yang muncul adanya PSN menyangkut (seolah-olah)

perlindungan Hak atas tanah.

Menurut penulis dari pemahaman yang komperhensif adanya perubahan

RTRW sebagai respon terhadap PSN tidak memiliki dimensi tunggal seperti Pasal

16 ayat (3) saja. Pendekatan holistik dalam unsur-unsur ruang memiliki konten

ekologis yang berubah atau bahkan timbul dampak negatif akibat PSN yang luput

dari pengaturan Pasal 16 UU No.26 tahun 2007.

Adapun dalam dimensi perlindungan hak atas tanah di atas absurd. Hal itu

karena secara keliru kemudian di dalam Perpres 58 tahun 2017 Pasal 21 ayat

(5) yang mereduksi perlindungan hak pemilik tanah dalam hal letak tanahnya

termasuk di dalam lokasi yang telah ditetapkan gubernur sebagai lokasi PSN,

hanya boleh mengalihkan haknya kepada Badan Pertanahan Nasional saja tidak

boleh kepada pihak lain.

Dalam ranah hukum tanah nasional hal itu jelas bertentangan terhadap

ketentuan Pasal 9 dan Pasal 10 UUPA yang melindungi dan menjamin perlindungan

hak atas tanah warganegara. Praktik semacam itu seharusnya tidak boleh

diterapkan di Indonesia,13 hanya lazim dijumpai dalam sistem hukum common law

yang dikenal sebagai ‘the right first refusal’ yang notabene hanya bisa dilakukan

berdasarkan asas konsensual-kontraktual bukan sepihak sebagaimana ketentuan

Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58 tahun 2017.14

Jadi dari sifat Perpres yang secara substansi dan fungsinya tidak bersumber dari

delegasi undang-undang atau peraturan pemerintah tentunya tidak benar karena

telah melanggar undang-undang (Pasal 9 dan 10 UUPA) dalam hal perlindungan hak

pemilikkan atas tanah. Larangan menjual atau mengalihkan hak atas tanah adalah

ranah hukum perdata (ansich!). Sekalipun akibat adanya perubahan (penyesuaian)

RTRW secara mendadak tetaplah di luar kuasa pemilik tanah dan tidak tepat

13 Bagaimana merajalela praktik mengadaptasi secara sengaja atau kerancuan berpikir dalam konteks hukum Indonesia lihat dalam disertasi Suparjo “Manifestasi Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara dalam Politik Hukum Agraria Pascaproklamasi 1945 Hingga Pascareformasi 1998 (Kajian Teori Keadilan Amartya Sen)”, Disertasi Program Doktor Pas-casarjana FHUI, Jakarta:Agustus 2014

14 Lihat kembali catatan kaki nomor 1 dan 2

SUPARJO SUJADI

Page 24: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

13

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

larangan di dalam Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58 tahun 2017.15

Adapun implikasi yang lebih tepat adalah dengan menerapkan asas

musyawarah-mufakat dengan menggunakan mekanisme perolehan tanah

sebagaimana di atur di dalam UU Nomor 2 tahun 2012. Cara ini lebih tepat dengan

mengingat keseimbangan kepentingan pribadi (pemilikkan tanah/perdata) dengan

kepentingan umum yang lebih luas (RTRW dan dalam rangka PSN/publik).

Dari dua persoalan dalam ranah penegakkan hukum penataan ruang dan

hak atas tanah yang sudah diuraikan di atas maka selanjutnya perlu diberikan

pencerahan dalam konteks tatanan ideal Hukum Indonesia yang bersumber dari

Pancasila dan bermuara akhir kesejahteraan rakyat. Penjelasan sebagai bentuk

pencerahan akan ditemukan pada bagian berikut ini.

IV. Pancasila dan Hukum Pancasila Prasyarat Menuju Keadilan Sosial

Permasalahan kesesuaian tata ruang perolehan tanah untuk pembangunan

infrastruktur melalui program PSN memiliki kesamaan ceritanya dari masa

ke masa. Pada permasalahan yang dibahas ini justru berkenaan dengan isu

kesesuaian RTRW dalam rangka PSN (ranah hukum publik) berhadapan dengan isu

perlindungan pemilikkan hak atas tanah (ranah hukum perdata). Tentunya dalam

ilmu hukum hal itu tidak terlepas dari antinomi nilai yang menjadi pasangannya

ibarat dua sisi mata uang.

Adanya keragaman nilai dan kepentingan pada diri pribadi manusia dalam

kehidupannya itulah yang menjadi potensi terjadinya benturan kepentingan.

Dalam hal ini pula benturan kepentingan antara pemilik tanah dan kebijakan PSN

pemerintah serta kepentingan ekologis mempertahankan RTRW menurut kaedah

hukum dan teknis penataan ruang yang berlaku.

15 Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58 tahun 2017 dapat dipahami sebagai kaidah hukum yang tidak valid karena secara hirarki bertentangan dengan Undang-Undang (UUPA dan UU No-mor 2 tahun 2012), yang mengedepankan asas dan prosedur musyawarah mufakat dalam hal perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana karakter dan sasaran PSN itu sendiri, bahkan UU Nomor 26 tahun 2007 (Pasal 35-39) yang menerapkan model insentif-disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Model seperti itu sejauh ini lebih tepat dalam menjembatani kesenjangan aspek pemilikkan dan penggunaan tanah (privat) dengan aspek RTRW (ranah publik).

Page 25: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

14

Apabila direnungkan secara jernih dalam tatanan NKRI sudah ada nilai-nilai

yang menjadi acuannya, bahkan menjadi manifestasi pribadi, kepribadian Bangsa

Indonesia. Nilai-nilai yang dapat ditemukan dari makna sesungguhnya dari

Merah Putih (sebagai jiwanya), Pancasila (sebagai pribadi) dan Bhineka Tunggal

Ika (watak/karakternya ) sejatinya adalah sebagai “Trisakti Pilar Bangsa.”16

Pada perspektif Pancasila selaras dengan dogma hukum yang menempatkan

manusia sebagai pusat dari berbagai modus pengaturan dan tujuan pengaturan

itu sendiri. Namun kiranya yang harus dipahami adalah bahwa dalam perspektif

Hukum Pancasila memiliki perbedaan perspektif menjelaskan manusia

sebagaimana dogma-dogma hukum barat yang hingga kini sayangnya masih

menjadi anutan dalam hukum Indonesia.

Berpegang pada pemahaman manusia dan konteks hukum maka dapat

diperoleh pemahaman bahwa hukum adalah hidup (sebagai pedoman yang hidup

dan tidak statis) dalam kehidupan manusia. Sejalan dengan dinamika kehidupan

manusia maka hukum pun selalu mengikutinya dan tidak bersifat statis dan tidak

pula justru membatasi kehidupan manusia itu sendiri. Hukum yang dinamis

itu dapat berjalan dengan bersandar pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi

pandangan hidup manusia (way of life).

Pada pemahaman nilai-nilai Pancasila yang menjadi kepribadian kita itu

pun dapat disampaikan bahwa manusia yang berkeribadian seyogyanya akan

mampu melaksanakan hidup dan kehidupannya secara lebih baik. Kepribadian

itu akan termanifestasikan dari kesadaran rahsa (rasa terdalamnya atau puncak

kesadarannya) akan membuatnya mencapai pada dimensi Ketuhanan sebagai

causa prima terjadinya segenap unsur dan tatanan semesta raya.

16 Sebagaimana pernah diulas Suparjo Sujadi dalam “Permasalahan dan Hambatan Perolehan Tanah dalam Pembangunan Infratruktur PSN (Perspektif Hukum Pancasila)”,Makalah seb-agai urun rembug pada Seminar Nasional dengan tema “Mengurai Hambatan Lahan Dalam Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Nasional Sebagai Komitmen Nawacita”, diseleng-garakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI), Jakarta 21 Desember 2016. Lihatlah bahwa Trisakti Pilar Bangsa identik dengan simbol negara Garuda Pancasila. Merah Putih sebagai “jiwa” yang tersembunyi di belakang gambar simbol sila-sila Pancasila yang lebih dominan terlihat di depan warna merah-putih, karena Pancasila adalah “Pribadi” nyata terlihat. Ke-tika sudah sadar akan jiwanya dan pribadinya maka muncul “karakter/watak” Bhinneka Tunggal Ika, sekaligus sebagai tanggungjawab untuk menjaganya sebagaimana Burung Ga-ruda mencengkeram seloka yang tertulis di atas pita. Pita yang rawan sobek, putus harus dicengkeram dijaga penuh sebagai bentuk tanggungjawab sebagai karakter/watak manusia yang berkepribadian Pancasila dan memiliki jiwa Merah-Putih.

SUPARJO SUJADI

Page 26: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

15

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Pemahaman itu tidak lain melalui mengerti dan paham makna “Merah Putih”

menjadi perspektif yang mengantarkan pemahaman terhadap Pancasila. Merah-

Putih adalah jati diri manusia sehingga Sang founding father menjadikan bendera

nasional sekaligus simbol negara. Esensi ajaran dari Merah-Putih adalah perihal

manusia itu sendiri, yaitu merah adalah raga dan putih adalah suksma. Ketika

suksma masuk dan menyatu dengan raga manusia maka ada nyawanya itulah

identitas dari hidupnya manusia yang tercipta dan hidup menurut kodrat Tuhan

Yang Maha Esa (Sang Pencipta).17

Ketika manusia yang sudah berkepribadian seperti itu maka dia sadar akan

jati dirinya yang sejati sebagai mahluk ciptaan Tuhan. Inilah dasar pemahaman

sebagai perspektif memahami sila-sila Pancasila yang tidak ansich sebagaimana

urutan sila-silanya, melainkan dimulai dari sila kedua adanya manusia yang sadar

akan kemanusiaannya. Manusia yang sudah paham “Merah Putih” sebagai jati

dirinya akan sadar asalnya-penciptaanya, keberadaannya di alam semesta. Dia

memahami dan akan bersifat adil, berperilaku penuh adab (beradab) yang dalam

konteks historis penyusunan Sila-Sila Pancasila telah menempatkan Tuhan lebih

tinggi daripada dirinya (pada sila pertama).

Manusia-manusia Indonesia yang sudah mengenal siapa dirinya dan

mengenal Tuhan sebagai Pencipta dengan seluruh sifat-sifat Ketuhanan hanya

ada atau memiliki keinginan rasa bersatu yang menimbulkan persatuan. Adapun

yang disatukan adalah rahsa (rasa terdalamnya) sebagai manusia pada tiap-tiap

individu manusianya (sila ketiga).

Adanya berbagai atau banyaknya manusia yang bersatu memerlukan tatanan

(musyawarah dan perwakilan). Sila keempat adalah tatanan sebagai konsekuensi

adanya persatuan. Tatanan yang terbentuk atas landasan kesadaran manusia

Indonesia yang didasari sila kesatu, kedua dan ketiga akan mengarah pada

keadilan sosial (sila kelima) sebagai sesuatu keniscayaan yang logis.

Uraian pada bagian ini tentunya bermaksud memberikan sebuah perspektif

solusi. Sebentuk solusi yang berangkat dari kondisi nyata adanya hambatan yang

senantiasa atau seringkali dijumpai dalam perolehan tanah untuk pembangunan

17 Secara biologi Merah-Putih juga merupakan konsep dari apa yang dimakan dan diminum manusia yang berasal dari bumi (tanah) maka niscaya mengalir bersama sumpahnya manu-sia dalam darahnya (Merah) adalah merupakan zat-zat sebagai esensi hidupnya manusia.

Page 27: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

16

infrastruktur, maupun yang terjadi pada modus perolehan tanah untuk keperluan

lainnya. Tataran solusi yang pada intinya justru sebagai jawaban dari refleksi

gagalnya tatanan hukum yang diasumsikan sistematik-logis-adil.18

Pada tujuannya pemberlakuan hukum (undang-undang) secara ideal sudah

terdapat di dalamnya format susunan, substansi dan arah implementasi dan

implikasinya. Khususnya berkenaan dengan persoalan yang dibicarakan ini sudah

dijelaskan dalam bagian kedua di muka. Singkatnya tujuan akhirnya keadilan

sosial tidak atau masih belum tercapai, malah jelas masih menjadi “hambatan” bagi

program PSN berupa pertama, timbulnya persoalan RTRW versus PSN dan kedua,

masalah perlindungan hak atas tanah rakyat akibat proyek infrastruktur publik.

Oleh sebab itu perlu diuraikan keruwetan itu dari sifat isu RTRW dan kegiatan

perlindungan pemilikkan hak atas tanah itu sendiri yang terdiri dari faktor-faktor

: (1) manusia (pemilik proyek dan pemilik tanah); dan (2) aturan hukum (peraturan

perundang-undangan) sebagai sarananya notabene hasil buatan manusia.

Dari pemilahan secara substansial dari permasalahan itu pada akhirnya

bertumpu pada faktor manusia sebagai pusatnya, inti persoalannya. Hal itu dapat

dijelaskan dari tiga aspek:(1) Subyeknya manusia dan/atau kumpulan manusia

(badan hukum publik); (2) Alat/Sarana berupa peraturan-buatan manusia; dan (3)

target/tujuannya yaitu tersedianya infrastruktur publik (PSN) yang tidak lain juga

buatan manusia sebagaimana dapat dilihat dalam gambar dibawah ini.

Gambar 2. Faktor Manusia dalam Isu RTRW dan Hak atas Tanah

18 Skema yang sama oleh Suparjo Sujadi disampaikan dalam “Penguasaan atas Tanah Masyara-kat Ulayat dan Desa (Sebuah Perspektif Hukum Pancasila)”, dalam FGD “Eksistensi Tanah Ulayat, Hutan Adat, dan Peta Desa Sebagai Sebuah Informasi Geospasial dan Pengelolaan Ruang di Indonesia”, Kementrian Koordinator Perekonomian RI (Tim Percepatan Kebijakan Satu Peta), Jakarta 7 Maret 2017

SARANA: ATURAN HUKUM TATA

RUANG+TANAH (BUATAN MANUSIA)

PSN-BERKEADILAN SOSIAL (UNTUK

RAKYAT-MANUSIA)

MANUSIA: PEMILIK TANAH, APARAT PSN

SUPARJO SUJADI

Page 28: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

17

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Apabila pendirian itu dipahami bahwa manusia sebagai pusatnya persoalan

dalam pembicaraan ini maka pembahasannya kemudian dapat dilanjutkan secara

logis. Logis dalam tataran dan tatanan hukum di Indonesia yang bersumber

pada nilai-nilai luhur Pancasila. Nilai-nilai yang menjadi sumber pembentukkan

peraturan perundang-undangan (sumber segala sumber hukum) di Indonesia. Pun

sekaligus sebagai nilai-nilai kepribadian yang menjadi acuan hidup, pandangan

hidup (way of life) Bangsa Indonesia.

Pembahasan pada ranah tatanan hukum Indonesia adalah berkenaan dengan

fungsi Pancasila sebagai rechtsidee (Cita Hukum). Berdasarkan pemikiran Hans

Kelsen, Gustav Radbruch dan Hans Nawiasky, pemikiran yang menyatakan bahwa

Pancasila adalah semacam “Leitstern” (bintang pemandu) yang mengarahkan hukum

bukan kepada dirinya sendiri melainkan kepada apa yang dicita-citakan masyarakat

(termasuk keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai fokus kajian ini).

Disamping itu sebagai cita hukum, Pancasila juga mempunyai fungsi regulatif dan

konstitutif. Fungsi regulatif berkaitan dengan penentuan keadilan sebagai isi dari

hukum. Sementara itu sebagaimana telah dikemukakan oleh A. Hamid S. Attamimi

bahwa fungsi konstitutif cita hukum adalah sebagai dasar atau landasan pemakna

sistem hukum.19 Dari pendapat-pendapat tersebut dapatlah ditegaskan bahwa

Hukum Pancasila adalah hukum yang dibangun dari nilai-nilai Pancasila yang

menjadi kepribadian atau pandangan hidup ‘way of life’ Bangsa Indonesia (secara

materil) dan kemudian dalam membangun tatanan negara dimana Pancasila menjadi

cita hukum atau landasan pemakna sistem hukum yang juga dapat dipahami sebagai

sumber segala sumber hukum (secara formil). Dalam berbagai aspek kehidupan,

Hukum Pancasila menjadi inspirasi secara materil dan formil penyelenggaraan

negara, termasuk PSN sebagaimana ditunjukkan gambar di bawah ini.

19 A. Hamid S.Attamimi dalam Oetojo Oesman & Alfian ed., (1991), hlm.62-83 sebagaimana dikutip oleh Hyronimus Rhity, (2011), Filsafat Hukum Dari Klasik sampai Postmodernisme, Yog-yakarta: Universitas Atma Jaya , hlm.369

Page 29: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

18

Gambar 3. Pancasila dan Implementasi Tatanan Hukum Indonesia

Pancasila yang sudah menjadi pribadi (manifestasi) manusia (aparatur

pembuat peraturan, penegak hukum, masyarakat) pada ranah hukumnya (Hukum

Pancasila) maka, pertama, dalam pembentukkan Hukum/Keppres-Keppres PSN

akan meniadakan disharmoni-disinkron dengan peraturan yang lebih tinggi20 dan

kedua, dalam implementasi/pelaksanaan PSN akan menuju tercapainya keadilan

sosial dan meniadakan ketidakadilan.

Bertitik tolak dari pemahaman Pancasila dan Hukum Pancasila itu, selanjutnya

persoalan ranah tata ruang dan perlindungan hak atas tanah dalam PSN dapat

dijelaskan sebagai persoalan keadilan sosial. Pemahaman terhadap keadilan sosial

sendiri masih banyak belum dipahami meski sesungguhnya sudah ditemukan

dalam konsitusi melalui pemahaman secara utuh-sistematik isi UUD RI 1945

dan implementasinya dalam peraturan perundang-undangan baik secara formal

maupun substansinya.

Keadilan sosial sebagai manifestasinya dapat ditemukan dalam alinea keempat

Pembukaan UUD RI 1945 (1) terlindunginya segenap bangsa Indonesia dan

seluruh tumpah darah Indonesia (2) kemajuan kesejahteraan umum, (3) cerdasnya

kehidupan bangsa, dan (4) terlaksananya ketertiban dunia yang berdasarkan

kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.21

20 Lihat inti solusinya dalam konteks PSN di dalam catatan kaki nomor 15 di atas21 Keempat manifestasi itu haruslah dapat ditunjukkan dan dibuktikan relevansinya dari Daftar

Proyek Strategis Nasional yang dilampirkan dalam Keppres Nomor 3/2016 maupun dalam Keppres Nomor 58/2017, sesuai dengan diktum menimbang Keppres Nomor 3/2016 huruf a. dalam rangka percepatan pelaksanaan proyek strategis untuk memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Apakah sepenuhnya infrastruktur PSN adalah sebagai kebutuhan dasar rakyat dan apakah tidak ada kebutuhan dasar rakyat lainnnya yang lebih dasar daripada itu?

PANCASILA DALAM TATANAN NEGARA (SUMBER SEGALA SUMBER

HUKUM)

PANCASILA DALAM TATANAN PRIBADI (WAY OF

LIFE) BANGSA INDONESIA

PSN YANG BERKEADILAN SOSIAL DALAM

TATANAN HUKUM

PANCASILA

SUPARJO SUJADI

Page 30: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

19

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Dalam perspektif Hukum Pancasila, maka persoalan kesenjangan aspek

pemilikkan dan penggunaan tanah (privat) dengan aspek RTRW (ranah publik)

dapat dipahami terjadinya antinomi nilai yang saling berhadapan. Antara

kepentingan publik (penyesuaian RTRW-PSN) dengan kepentingan pribadi

(pemilik tanah). Padahal dibalik pertentangan keduanya terdapat satu titik yang

sama yaitu keadilan sosial. Atas pemahaman seperti itu tentunya ada kesamaan

titik temu diantara kepentingan RTRW-PSN dengan pemilik tanah.

Atas permasalahan yang muncul pada ketiga ranah tersebut maka dalam

perspektif Hukum Pancasila yang dalam konteksnya diletakkan dalam tatanan

formal peraturan perundang-undangan yang ada maka dapat dijelaskan secara

komperehensif dan solusinya. Tatanan formal perundang-undangan itu harus bisa

membuktikan bahwa keadilan sosial sebagai tujuan akhir dapat dicapai jika ada

tatanan (tatanan hukum, demokrasi, musyawarah-mufakat) yang dibangun dari

semangat persatuan. Persatuan yang bisa terbentuk hanyalah jika diantara manusia-

manusianya menyadari dan memiliki harkat kemanusiannya masing-masing.

Harkat kemanusiaan pada tiap-tiap individu akan dimiliki setelah manusia sadar

akan dirinya dan mengenal dirinya hingga pada akhirnya mengenal siapa Tuhannya.

Dalam konsepnya PSN yang memiliki perspektif kesejahteraan sosial sebagai

manifestasi keadilan sosial sendiri masih mengandung kesenjangan (lihat dalam

catatan kaki nomor 21). Ketika memproyesikan pembangunan infrastruktur sebagai

kebutuhan dasar masyarakat dengan perdebatan apakah sepenuhnya demikian

RTRW

PSNHAK

MILIK

KEADILAN SOSI

AL

Page 31: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

20

dan secara langsung menjadi kebutuhan dasar masyarakat?22

Kedua, adanya permasalahan yuridis yaitu Pasal 21 ayat (5) Perpres No. 58

tahun 2017 dapat dipahami sebagai kaidah hukum yang tidak valid karena secara

hirarki bertentangan dengan Undang-Undang (UUPA dan UU Nomor 2 tahun

2012), yang mengedepankan asas dan prosedur musyawarah mufakat dalam hal

perolehan tanah untuk kepentingan umum sebagaimana karakter dan sasaran PSN

itu sendiri, bahkan UU Nomor 26 tahun 2007 (Pasal 35-39) yang menerapkan model

insentif-disinsentif dalam pelaksanaan pemanfaatan ruang agar pemanfaatan

ruang sesuai dengan rencana tata ruang wilayah.

Ketiga, terdapat perdebatan substansi kesesuaian RTRW versus PSN, bahwa

ada konsekuensi dari kesenjangan antara RTRW dengan rencana pembangunan

PSN (turunan dari rencana pembangunan nasional yang menghasilkan RPJM dan

PSN), yaitu kemungkinan terjadinya peninjauan kembali (revisi) RTRW vide Pasal

16 UU Nomor 26 tahun 2007 dan PP No. 15 tahun 2010 tentang Penyelenggaraan

Penataan Ruang (Pasal 81 – Pasal 92), serta Peraturan Menteri Agraria dan Tata

Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.16 tahun 2017, tentang Tata Cara

Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah. Implikasinya bahwa RTRW

dari semua tingkatan (Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota) dapat direvisi

dengan dua pertimbangan, pertama, terjadi perubahan kebijakan nasional yang

mempengaruhi penataan ruang wilayah nasional; dan/atau kedua, terdapat

dinamika pembangunan nasional yang menuntut perlunya peninjauan kembali

dan revisi Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional.

Dari uraian permasalahan tersebut maka dalam perspektif Hukum Pancasila

dalam mencapai keadilan sosial (kesejahteraan rakyat) harus dibuat pembedaan

terhadap PSN, yaitu: (1)PSN yang secara langsung dinikmati rakyat yaitu

rumah,air,listrik dan sisanya (2)PSN yang tidak secara langsung dinikmati rakyat,

yaitu infrastruktur pendukung kehidupan rakyat.

22 Lihat kembali Daftar Proyek Strategis Nasional yang dilampirkan dalam Keppres Nomor 58/2017 sebagai hasil revisi daftar serupa dalam Keppres Nomor 3/2016, selain program Satu Juta Rumah (huruf I), Proyek Penyediaan Air Minum (huruf M.) dan Program Pem-bangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan (huruf X.), infrastruktur selebihnya dalam huruf A hingga Y sifatnya tidak langsung menjadi kebutuhan dasar rakyat banyak atau sifatnya infrastruktur pendukung saja atas kebutuhan dasar sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan.

SUPARJO SUJADI

Page 32: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

21

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Dari pembedaan karakter PSN tersebut maka akan menjadi penentu implikasi

adanya perubahan (penyesuaian) RTRW dan perlakuan terhadap pemilik Hak atas

Tanah. Terhadap PSN yang secara langsung dinikmati rakyat, maka penyesuaian

RTRW seyogyanya dapat lebih fleksibel dan terbuka lebar dilakukan. Hal itu juga

perlakuan terhadap pemilik tanah yang tanahnya harus direlakan demi PSN yang akan

juga dinikmati langsung oleh rakyat sebagaimana dirinya sebagai pemilik tanah.23

Implikasi dari PSN yang tidak secara langsung dinikmati rakyat harus

dilakukan secara berbeda. Dalam hal penyesuaian RTRW harus dihitung lebih

rinci akibat dampak perubahan RTWR dalam ranah ekologis dan sosial rakyatnya.

Demikian pula perlakuan terhadap rakyat pemilik tanah yang notabene tidak

menjadi penikmat secara langsung infrastruktur PSN kategori ini.24

Dalam dinamika pembangunan fisik infrastruktur PSN akan menimbulkan

perbedaan nilai-nilai dan kepentingan dengan arah tujuan awal rencana tata ruang

sekaligus dengan harapan rakyat pemilik tanah. Sekalipun secara bersamaan

ketiganya mengarah pada satu titik ‘keadilan sosial’ sebagaimana proyeksi akhir

Pancasila dan Hukum Pancasila.

Hukum Pancasila yang memiliki sandaran nilai-nilai keselarasan antara

mannusia-alam semesta-Sang Pencipta menjadi perspektif landasan solusi dengan

mempertanyakan relevansi proyeksi PSN sebagai kebutuhan dasar rakyat sebagai

titik awalnya25 dan pembedaan dua jenis PSN dan implikasinya terhadap perubahan

RTRW dan perlakuan terhadap pemilik tanah yang terkena pembangunan PSN.

Adanya perubahan RTRW dan pengambilan tanah rakyat dalam rangka

mendukung PSN tentunya menimbulkan gangguan harmoni ekologis dan

23 Dalam PSN yang hasilnya langsung menjadi ‘jatah’ dimiliki rakyat implikasi perubahan RTRW harus diupayakan sesederhana mungkin dan mengikuti asas-asas di dalam UU No-mor 26 tahun 2007. Implikasi perolehan tanah dari pemiliknya pun demikian mengedepank-an musyawarah-mufakat dan menerapkan asas-asas di dalam UU Nomor 2 tahun 2012

24 Bagi PSN yang out-put nya tidak langsung dinikmati dan/atau menjadi milik pribadi rakyat maka perubahan RTRW dan perolehan tanahnya harus dihitung lebih mengingat sifat in-frastrukturnya lebih bersifat komersial mencari keuntungan jasa penyediaan infrastruktur. Perdebatan akan muncul diantara nilai-nilai kelestarian versus keuntungan finansial, nilai sosial versus bisnis

25 Lihat catatan kaki nomor 22 dalam hal kebutuhan dasar manusia tidak jauh dari kebutuhan yang langsung berkenaan dengan kebutuhan fisik dan spiritual manusia agar tetap hidup dan memenuhi kodratnya sebagai manusia yang bermartabat dan berbudi luhur sesuai aja-ran nilai-nilai Pancasila

Page 33: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

22

gangguan sosiologis dan memperoleh restu Tuhan Yang Maha Esa. Gangguan

harmoni keduanya harus disadari menjadi tanggungjawab penyelenggara PSN

kepada rakyat dan Tuhan Yang Maha Esa dan memerlukan penanganan yang

proporsial taat aturan, taat asas dan taat tujuan keadilan sosial.

Hal itu harus dilakukan dengan mengutamakan asas musyawarah-mufakat

sebagaimana tatanan sila keempat Pancasila dan sudah ditetapkan dalam

UU Nomor 26 tahun 2007 bagi persoalan penyesuaian RTRW dan UU Nomor

2 tahun 2012 bagi persoalan perolehan tanah rakyat untuk keperluan PSN.

Musyawarah-mufakat dalam perspektif Hukum Pancasila seyogyanya juga harus

mempertimbangkan persatuan Indonesia yang tersusun dari bersatunya rahsa

manusia-manusia yang meletakkan harkat kemanusiaannya setelah dia mengenal

dirinya dan Tuhannya. Secara komperhensif seperti itulah PSN akan menghasilkan

tujuan dan hasil akhir kesejahteraan sosial sebagai manifestasi keadilan sosial sila

kelima Pancasila.

V. Penutup

Wasana kata sebagai penutup kajian ini menurut pendapat penulis bahwa

persoalan kesesuaian RTRW dan perlindungan hak atas tanah dalam konteks

program PSN menurut perspektif tatanan Hukum Indonesia (Hukum Pancasila)

dapat dipahami sebagai:

Pertama, terdapat kesenjangan pada sasaran PSN yang memiliki proyeksi

memenuhi kebutuhan dasar masyarakat dengan Daftar PSN yang terlampir di

dalam Perpres Nomor 3 tahun 2016 dan Perpres Nomor 52 tahun 2017.

Kedua, dari jenis proyek infrastruktur dalam Daftar PSN harus dibedakan yang

proyeknya dinikmati langsung dan menjadi hak milik rakyat dan tidak langsung

menjadi milik masyarakat. Pembedaan tersebut penting untuk membedakan kans

dan penghitungan perubahan RTRW dan perlakuan terhadap pemilik tanah yang

menjadi lokasi pembangunan PSN.

Ketiga, belum terwujudnya nilai-nilai Pancasila sebagai kepribadian (menjadi

acuan nilai pribadi) dan sebagai landasan filosofis negara (sumber segala sumber

hukum) yang ditampakkan dalam praktek perumusan kebijakan PSN dalam

SUPARJO SUJADI

Page 34: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

23

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Perpres Nomor 3 tahun 2016 dan Perpres Nomor 52 tahun 2017. Hal itu akan

menentukan dan tercermin dalam tingkatan dan rentang keberhasilan tujuan PSN

memenuhi kebutuhan dasar dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Daftar Pustaka

Indonesia. (1). Undang-Undang Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU

No.5 Tahun 1960. Lembaran Negara 1960 No.104 Tambahan Lembaran Negara

No. 2043

_______. (2). Undang-undang Tentang Penataan Ruang. UU No.26 Tahun 2007. Lem-

baran Negara tahun 2007 No. 68 Tambahan Lembaran Negara No. 4725

_______.(3). Peraturan Pemerintah tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang. PP No.

15 Tahun 2010. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 21.

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5103.

_______.(4). Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasi-

onal. Perpres No.3 tahun 2016. Lembaran Negara Tahun 2106 No.4

_______. (5). Peraturan Presiden tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasi-

onal. Perpres No.58 tahun 2017. Lembaran Negara Tahun 2107 No.119

_______. (6). Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Na-

sional Nomor 6 tahun 2017 tentang Tata Cara Peninjauan Kembali Rencana Tata

Ruang Wilayah. Berita Negara Tahun 2017 No.661

Justia US Law. “Campbell v. Alger (1999)”. https://law.justia.com/cases/califor-

nia/court-of-appeal/4th/71/200.html. diakses 1 November 2017

Maria Farida Indrati Soeprapto dan Hamid Attamimi. Ilmu Perundang-undangan 1 :

Jenis. Fungsi. dan Materi Muatan. Yogyakarta: Kanisius. 2007

Raymond Cooper. “Rights of Pre-Emption and the Rule Against Perpetuities”. http://

www.raymondcooper.co.uk/business-leases/rights-pre-emption-rule-perpe-

tuities/. diakses 1 November 2017

Page 35: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

24

Sujadi. Suparjo “Permasalahan dan Hambatan Perolehan Tanah dalam Pembangu-

nan Infratruktur PSN (Perspektif Hukum Pancasila)”.Makalah sebagai urun

rembug pada Seminar Nasional dengan tema “Mengurai Hambatan Lahan

Dalam Mewujudkan Pembangunan Infrastruktur Nasional Sebagai Komit-

men Nawacita”. diselenggarakan oleh Kaukus Muda Indonesia (KMI). Jakarta

21 Desember 2016

Sujadi. Suparjo “Penguasaan atas Tanah Masyarakat Ulayat dan Desa (Sebuah

Perspektif Hukum Pancasila)”. dalam FGD “Eksistensi Tanah Ulayat. Hutan

Adat. dan Peta Desa Sebagai Sebuah Informasi Geospasial dan Pengelolaan

Ruang di Indonesia”. Kementrian Koordinator Perekonomian RI (Tim Per-

cepatan Kebijakan Satu Peta). Jakarta 7 Maret 2017

Suparjo. Manifestasi Hak Bangsa Indonesia dan Hak Menguasai Negara dalam Poli-

tik Hukum Agraria Pascaproklamasi 1945 Hingga Pascareformasi 1998 (Kajian

Teori Keadilan Amartya Sen). Disertasi Program Doktor Pascasarjana FHUI.

Jakarta:Agustus 2014

Wiratraman. R. Herlambang P.” Peraturan Presiden Istilah. Wewenang. Materi dan

Penyusunannya”. Surabaya. 12 November 2015

Zuhriah. Dewi Aminatuz.” Proyek Strategis Nasional : Ini Tiga Hambatan Be-

sarnya”. dalam Bisnis Indonesia 7 Juli 2017. http://finansial.bisnis.com/

read/20170707/9/669321/proyek-strategis-nasional-ini-tiga-hambatan-be-

sarnya. diakses 20 November 2017

SUPARJO SUJADI

Page 36: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

25

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

konteks Politik Hukum di balik PercePatan PenetaPan

Hutan adat: catatan ke araH transisi 2019

Oleh: Muki T. Wicaksono1 dan Malik2

Abstrak

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/PUU-X/2012, tahapan baru bagi

masyarakat adat sebagai subjek pengelola hutan adat berdampak positif terhadap

transformasi pengelolaan kawasan hutan dan sumber daya alam di Indonesia.

Konteks politik-hukum menjadi hal yang penting untuk dipahami secara historis

dan kontekstual dalam melihat beragam strategi yang dilakukan oleh NGO dalam

mendorong pengakuan bagi masyarakat adat di dalam kawasan hutan. Tulisan

ini muncul dari hasil observasi penulis selama kurun waktu 2015-2017 atas arah

advokasi NGO pegiat masyarakat adat di Indonesia dalam proses regularisasi

tentang hutan adat. Berfokus pada proses regularisasi sebagai proses sosial, tulisan

ini menelaah dinamika Pasca keluarnya Putusan MK 35 yang mengoreksi UU

No.41/1999 tentang kehutanan, yang kini memposisikan ‘hutan adat adalah

berada terpisah dari hutan negara’. Dengan memahami proses terbentuknya aturan

sebagai sebuah proses sosial, tulisan ini melihat sebuah produk hukum sebagai

dokumen yang hidup dan menghasilkan perubahan sosial dalam menempatkan

masyarakat adat sebagai subjek pengelola kawasan hutan. Berfokus pada 215

1 Penulis merupakan peneliti di Divisi Riset Sosial dan Ekonomi di Epistema Institute. Sejak tahun 2009 menekuni bidang antropologi di FISIP – Universitas Indonesia, dan melakukan beragam kajian tentang petani, masyarakat lokal, perubahan iklim, dan masyarakat adat di dalam dan sekitar kawasan hutan melalui studi etnografi. ([email protected]).

2 Penulis merupakan peneliti di Divisi Hukum dan Agraria di Epistema Institute sejak tahun 2013 dan telah menuliskan beragam kajian socio-legal, terkait aspek hukum adat, hutan adat dan masyarakat adat. Selain itu pengalamannya sebagai legal drafter dalam penyusu-nan produk hukum daerah tentang MHA menjadi refleksi yang digunakan dalam tulisan ini ([email protected]).

Page 37: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

26

produk hukum daerah tentang masyarakat adat selama kurun waktu 1979-2017,

dan proses penetapan hutan adat oleh Negara, tulisan ini menyimpulkan bahwa

pentingnya mendorong proses regularisasi dalam bentuk diskresi yang efektif

untuk mengisi kekosongan hukum pada upaya percepatan penetapan hutan adat

di Indonesia. Upaya tersebut telah dilakukan oleh NGO pegiat masyarakat adat

dengan melakukan sejumlah advokasi untuk mendorong kebijakan di tingkat

daerah, kementerian, hingga peraturan perundang-undangan di tingkat nasional.

Pada akhir bagian, tulisan ini memperlihatkan salah satu inisiatif NGO dalam

mewacanakan konsep Areal Konservasi Kelola Masyarakat (AKKM atau ICCAs)

sebagai salah satu strategi untuk melibatkan masyarakat adat dalam pengelolaan

kawasan konservasi dengan cara yang berkelanjutan. Selain itu, momentum tahun

politik pilkada serentak di tahun 2018, dan Pilpres di tahun 2019, menjadi peluang

sekaligus tantangan untuk mendorong masyarakat adat sebagai subjek aktif

pengelola kawasan hutan.

Kata Kunci: Diskresi, Hutan Adat, Masyarakat Adat, NGO, Produk Hukum Daerah,

dan Proses Regularisasi

Abstract

After the released of Constitutional Court No.35/PUU-X/2012, a new step for

masyarakat adat (indigenous peoples), as an important actor for customary forest

management, have provided impact for transformation on forest and natural resources

management in Indonesia. Legal-politic context has become the important facet to be assess

in historical and contextual. It relates to identify various NGOs’ strategy in supporting

the recognition of masyarakat adat within state forest areas. This paper is based on

authors’ observation on NGOs advocacy who concern in legal recognition for adat land

in the period 2015-2017, its particularly in process of regularization on gazettement of

customary forests. By focusing on process of regularization as social process, this paper

is assessing on the dynamic after the enactment of Ruling No.35/2012 which resolved

misconceptions on Indonesia’s Forestry Law No.41/1999, and it revised to be ‘customary

forests are no longer a part of state forests but part of the titled forests’. By understanding

the process of regularization as social process, this paper want to see the legal product

as living document, and it generated social change in positioning masyarakat adat as

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 38: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

27

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

the main subject to manage forest areas. This paper focused on 215 regional legislation

product on masyarakat adat in the period 1979-2017, and it compares to the process of

gazettement of customary forest by State. This paper concluded that how important to

support process of regularization to produce discretion effectively to fill the legal gaps on

accelerating the gazettement of customary forests in Indonesia. This effort has conducted

by NGOs who support the recognition of masyarakat adat through several advocacy to

support policy at regional, ministry, until national regulations. At the end part, this paper

want to show one of initiative NGO in introducing approach on Indigenous Peoples and

Community Conservation Areas (ICCAs) as one of strategies to involve masyarakat adat

in managing conservation areas within sustainable ways. In addition, the political moment

in 2018-2019 will very important to take into account in this paper, while government of

Indonesia will prepare Regional Election for District and Provincial level, and Presidential

Election in 2019. It becomes opportunity and challenge to support masyarakat adat as the

main subject to manage forest areas.

Keywords: Customary Forests, Discretion, Masyarakat Adat, NGOs, Process of

Regularization, and Regional Legislation Products.

I. Latar belakang

“Dari 8,3 juta hektar, kemenangan yang sangat kecil (±17.000 hektar bagi

hutan adat) tetapi sangat berat, susahnya mencapai hak konstitusi bagi

masyarakat adat” – Rukka Sombolinggi, Sekjen Aliansi Masyarakat Adat

Nusantara Periode 2017-2022

Kutipan di atas merupakan pernyataan Sekjen AMAN (Aliansi Masyarakat

Adat Nusantara) saat menyampaikan hasil Catatan Akhir Tahun lembaga

tersebut di tahun 2017. Capaian yang sangat sedikit dibandingkan dengan

realitas luas wilayah dan hutan adat di Indonesia. AMAN menjadi lembaga

yang konsisten dalam menyuarakan pengakuan terhadap masyarakat adat sejak

Kongres Masyarakat Adat Nasional (KMAN I) dilakukan pada tahun 1999. Saat

itu pernyataan ‘jika Negara tidak mengakui masyarakat adat, kami tidak akan

mengakui Negara’ menjadi pameo yang banyak disampaikan oleh komunitas

adat di Indonesia. Dalam suasana atmosfer demokrasi dan keterbukaan, Kongres

Masyarakat Adat pertama membentuk AMAN menjadi organisasi masyarakat

Page 39: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

28

adat pertama di Indonesia. AMAN juga menjadi salah satu agensi yang mendorong

perubahan regulasi atas UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Bersama dengan

dua representasi masyarakat adat dari Kenegerian Kuntu, Kabupaten Kampar,

Provinsi Riau; dan Kasepuhan Cisitu, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, AMAN

mengajukan permohonan uji materiil atas UU Kehutanan tersebut di Mahkamah

Konstitusi. Upaya tersebut menghasilkan tonggak baru arah advokasi masyarakat

adat pada ranah hukum dengan keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi No.35/

PUU-X/2012 (kemudian disebut Putusan MK35).

Putusan MK 35 menjadi capaian progresif yang menyelesaikan miskonsepsi

dari penetapan kawasan hutan di Indonesia. Putusan MK 35 mengoreksi kekeliruan

UU Kehutanan, dengan memutuskan bahwa ‘hutan adat adalah bukan lagi

bagian dari hutan negara, tetapi merupakan bagian dari hutan hak’. Sebelumnya,

Pemerintah Indonesia hanya melihat hutan adat sebagai areal yang berada di dalam

hutan negara dengan mengacu pada UU No.41/1999 tentang Kehutanan. Baik di

tingkat Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, regularisasi kebijakan mengenai

masyarakat adat dan hutan adat terus mengalami perbaikan selama kurun

waktu 2012-2016. Namun, perlu waktu lebih dari tiga tahun untuk mewujudkan

pengakuan terhadap hutan adat di dalam kawasan hutan oleh Negara. Pada 30

Desember 2016, untuk pertama kali Pemerintah Indonesia mengakui 9 hutan adat

dengan total luasan 13.121,99 hektar. Progress tersebut semakin bertambah hingga

tahun 2017, terdapat 8 hutan adat yang telah diakui oleh pemerintah Indonesia,

dan membuat total luas hutan adat yang diakui bertambah menjadi hampir 17.000

hektar.

Capaian tersebut muncul karena upaya jejaring masyarakat sipil untuk

mendorong Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menjadi

arena diskresi yang efektif guna mempercepat penetapan hutan adat (lihat Safitri,

Berliani, dan Suwito, 2015). Melalui Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan

Kemitraan Lingkungan, KLHK, menerbitkan Peraturan Menteri LHK No. P. 32/

Menlhk-Setjen/ 2015 tentang Hutan Hak yang menjadi salah satu dasar hukum

penetapan hutan adat, dan memberikan jawaban terhadap kebuntuan proses

pengakuan hutan adat di Indonesia (Malik, dkk, 2015). Permenlhk No.32/2015

juga menjadi wadah dalam mengakomodir sejumlah inisiatif pemerintah daerah

yang telah menerbitkan beragam produk hukum daerah tentang pengakuan

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 40: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

29

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

masyarakat adat dan penetapan wilayah serta hutan adatnya. Terlepas dari

capaian penetapan hutan adat di atas oleh pemerintah Indonesia, sejumlah literatur

telah memperlihatkan analisis atas pembelajaran dari penetapan Hutan Adat di

Indonesia.

Myrna Safitri (2016) dalam tulisannya Dividing the Land: Legal Gaps in the

Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas, memperlihatkan bahwa

terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan keterlambatan pengakuan hutan

adat di Indonesia, khususnya Pasca Putusan MK 35. Ketiga faktor tersebut

terdiri dari: i) inkonsistensi hukum nasional terkait payung hukum pengakuan

masyarakat adat dan wilayahnya; ii) masih bertahannya pola pikir di antara

birokrat kehutanan yang memandang bahwa ‘kawasan hutan’ adalah hanya

hutan negara; dan iii) kuatnya motivasi politik-ekonomi di antara pemerintah

daerah untuk memprioritaskan alokasi lahan untuk investasi skala besar daripada

pengakuan wilayah adat. Selain itu, Arizona, dkk (2017) dalam Outlook Produk

Hukum Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat 2017 mengidentifikasi tiga model

pengakuan hutan adat yang menjadi pembelajaran penting dalam mendorong

pengakuan hutan adat, yakni: i) pengakuan hutan adat yang berasal dari bukan

kawasan hutan; ii) pengakuan hutan adat yang berasal dari kawasan hutan (negara);

dan iii) pengakuan melalui pencadangan untuk dijadikan sebagai hutan adat. Kedua

tulisan tersebut pada dasarnya melihat ragam faktor keberhasilan dan hambatan

dari diskresi penetapan hutan adat di Indonesia. Namun, kedua tulisan tersebut

belum memperlihatkan secara detail tentang dinamika dan kontestasi pada proses

regularisasi yang dimainkan juga oleh jejaring masyarakat sipil dalam menciptakan

perubahan terhadap: i) penetapan hutan adat; dan ii) pengelolaan kawasan hutan

di Indonesia.

Tulisan ini akan menyampaikan ide bahwa proses regularisasi merupakan

sebuah aktivitas yang terus berlanjut di dalam masyarakat (lihat Moore, 1983).

Proses regularisasi menjadi kategori penting di dalam menciptakan perubahan

pada masyarakat. Dengan memahami regularisasi sebagi sebuah proses (law as

process), tulisan ini berupaya melihat proses sosial yang membentuk sebuah aturan,

apa yang menyebabkan sejumlah perangkat hukum di tingkat nasional dan daerah

dapat mendukung atau menolak masyarakat adat sebagai pelaku pengelola

kawasan hutan yang berwawasan lingkungan? Bagaimana reinterpretasi dan

Page 41: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

30

perubahan regulasi dapat terjadi untuk mewujudkan percepatan penetapan hutan

adat? Apa yang membuat jejaring masyarakat sipil berperan dalam mendorong

masyarakat adat sebagai subjek pengelola utama kawasan hutan3 (baca: hutan adat)

yang berwawasan lingkungan? Serta, bagaimana arena diskresi yang efektif dapat

juga dimunculkan bukan hanya dalam fase mendorong penetapan hutan adat,

tetapi juga mengisi agenda pasca penetapan hutan adat?

Tulisan ini juga dipersiapkan dalam momentum penting di akhir tahun

2017, dan memasuki tahun politik 2018, saat Pilkada serentak akan dilakukan.

Selain itu momentum ini juga menguji komitmen pemerintahan saat ini, sebelum

memasuki arena politik 2019 yang menjadi penghujung periode pemerintah

Jokowi-JK. Komitmen Pemerintahan Jokowi-JK terhadap isu hutan adat dalam

sembilan agenda pembangunan Nawa Cita menjadi tantangan yang harus dijawab

dengan sejumlah capaian penetapan hutan adat oleh Pemerintah Indonesia guna

mempertahankan konstituen presiden, yakni masyarakat adat. Tidak dipungkiri

posisi masyarakat adat dan isu pengakuan hutan adat adalah arena politik baik

di tingkat daerah dan nasional untuk memperoleh pengakuan secara hukum

dalam pengelolaan kawasan hutan di Indonesia. Secara singkat tulisan ini dibagi

ke dalam tiga bagian. Pertama adalah telaah singkat atas produk hukum daerah

tentang pengakuan masyarakat hukum adat dan penetapan hutan adat hingga

periode 2017 untuk menunjukkan sejumlah catatan penting selama hampir lima

tahun keluarnya Putusan MK35. Bagian ini juga sekaligus memperlihatkan

perubahan dan progress terkait peningkatan jumlah produk hukum daerah

tentang masyarakat hukum adat dari tahun ke tahunnya; kedua adalah dinamika

politik-hukum dalam mewujudkan posisi masyarakat adat sebagai pelaku utama

pengelolaan kawasan hutan; dan ketiga adalah tantangan kedepan saat masyarakat

adat dihadapkan pada agenda pasca penetapan hutan adat.

3 Berdasarkan istilahnya, UU No.41/1999 tentang Kehutanan membedakan antara ‘hutan’ dan ‘kawasan hutan’ . ‘Hutan’ adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkun-gannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (Pasal 1, ayat 2); sedangkan ka-wasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai ‘hutan tetap’. Hutan tetap berarti hutan yang tidak dapat diubah untuk peruntukkan tanah lainnya. Hingga saat ini Pemerintahan Indo-nesia masih belum berhasil dalam menetapkan hutan tetap.Hal itu terjadi proses pengukuhan kawasan hutan tidak dilakukan dengan sempurna. Lihat Safitri, 2015. Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of Customary Land in Indonesian Forest Areas. Halm. 35-37.

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 42: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

31

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Studi tentang hukum yang dilakukan pada tulisan ini mengombinasikan

beberapa metode, bukan hanya menginterpretasi muatan dari 215 produk

hukum daerah, tetapi juga memperlihatkan refleksi penulis selama kurun waktu

2015-2017 saat arah advokasi hutan adat mulai membuahkan hasil. Refleksi

tersebut diperoleh dengan mengikuti sejumlah proses regulariasi dalam lingkup

penyusunan perundang-undangan terkait pengakuan Subjek Masyarakat Hukum

Adat, Wilayah Adat dan Hutan Adat, serta Desa Adat; penyusunan Peraturan

Menteri terkait Hutan Adat, dan dialog bersama Pemerintah Daerah dalam

menyusun Peraturan Daerah dan Surat Keputusan Bupati atau Walikota, dan

Gubernur tentang masyarakat hukum adat. Mengutip Sally Falk Moore (1978)

dalam Law as Process, studi antropologi telah memberikan kontribusi terhadap studi

tentang hukum, yakni memahami norma hukum dengan mengaitkannya pada

dimensi ‘waktu’ dan ‘konteks’. Menurut Moore, ada tiga hal dalam memahami

munculnya sebuah aturan, pertama adalah relasi dari aturan yang ada terhadap

faktor yang mendorong terbentuknya perilaku sosial; kedua adalah analisis historis

tentang peristiwa apa yang mendorong terbentuknya sebuah aturan dan menjadi

konsekuensi dari kondisi sebelumnya; ketiga adalah masalah konteks, jenis dan

tingkatan hubungan sistematis antara suatu aturan dengan beberapa bagian

lainnya dalam masyarakat secara sosio-kultural. Ketiga aspek tersebut merupakan

dasar dari persoalan kausalitas yang mendorong terbentuknya sebuah aturan

(Moore, 1978: 6-7).

II. Progress Regularisasi tentang Masyarakat Hukum Adat Pasca Putusan

MK 35: Dari produk hukum daerah hingga RUU Masyarakat Adat

Putusan MK 35 yang dibacakan pada 16 Mei 2013 telah memberikan dampak

pada pembaruan hukum di tingkat nasional, serta mendorong hadirnya berbagai

produk hukum daerah mengenai masyarakat hukum adat. Setelah Putusan MK

35 terdapat 69 produk hukum daerah baru mengenai masyarakat hukum adat,

mulai dari pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat, wilayah

adat, hutan adat, lembaga dan peradilan adat, serta desa adat (lihat Arizona, dkk,

2017). Sementara luas wilayah adat dari 15.199,16 hektar sebelum Putusan MK 35

menjadi 213.541,01 hektar. Artinya terjadi penambahan seluas 197.541,85 hektar

Page 43: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

32

dalam tiga tahun (2014-2016), terdapat 65.847,28 hektar setiap tahunnya. Menurut

riset Epistema Institute tahun 2015-2017, meskipun telah banyak produk hukum

daerah mengenai masyarakat hukum adat, tetapi belum banyak wilayah adat yang

ditetapkan. Dari 215 produk hukum daerah tentang Masyarakat Hukum Adat yang

telah diterbitkan sepanjang kurun waktu 1979-2017, terdapat 57 produk hukum

daerah yang berkaitan dengan wilayah, tanah, hutan, dan sumber daya alam

yang dikelola oleh masyarakat adat.4 Namun, hanya 21 produk hukum daerah

yang menyebutkan luas dan menampilkan peta wilayah dengan keseluruhannya

mencapai 13.558,02 hektar. Hal ini penting diperhatikan agar pengakuan terhadap

masyarakat adat dan hak tradisionalnya bisa memiliki implikasi langsung terhadap

pengakuan dan perlindungan wilayah, tanah, dan hutan adat.

Dari tahun ke tahun, jumlah produk hukum daerah mengenai masyarakat

hukum adat terus meningkat. Hal tersebut dapat dilihat berdasarkan tahun 1979-

1998; 5 produk hukum daerah, 1999-2008; 65, 2004-2012; 57, 2013-2016; 69, dan

tahun 2017; 12 produk hukum daerah. Jika dibandingkan materi muatan produk

hukum daerah sebelum dan Putusan MK 35, masing-masing lembaga adat,

peradilan adat, dan hukum adat 65,51%; 21,30%, keberadaan masyarakat adat dan

wilayah adat 8,6%; 17,25%, wilayah adat dan hutan adat 41,32%; 18,26%, desa adat

13,10%; 9,13%, dan lembaga pelaksanaan urusan masyarakat adat 1,1%; 4,6%.

Sebelum Putusan MK 35,5 wilayah adat yang ditetapkan melalui produk

hukum daerah hanya seluas 15.199,16 hektar dan hutan adat seluas 10.097,31

hektar. Setelah 3 tahun Putusan MK 35 luas wilayah adat bertambah menjadi

197.541,85 hektar dan hutan adat seluas 6.451,74 hektar. Sehingga sampai tahun

2016, luas wilayah adat yang telah ditetapkan melalui produk hukum daerah

seluas 212.741 hektar dan hutan adat seluas 16.549 hektar. Penetapan wilayah dan

hutan adat mengalami peningkatan 12 kali lipat. Hal ini menunjukan signifikansi

Putusan MK 35 dalam memperluas pengakuan terhadap wilayah dan hutan adat

melalui produk hukum daerah.

Dari sisi jumlah produk hukum, sejauh ini antara sebelum dan setelah putusan

MK 35 sama-sama terdapat 17 produk hukum daerah yang berisi mengenai

4 Malik, Arizona, Yance dan Muhajir, Mumu. “Analisis Trend Produk Hukum Daerah Menge-nai Masyarakat Adat, (Jakarta: Policy Brief Epistema Institute Vol. 01/2015), hlm 7.

5 Lihat Outlook Epistema 2017, hlm. 7.

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 44: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

33

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

wilayah adat dan hutan adat yang ditandai dengan peta maupun penyebutan

luasnya. Namun, setelah Putusan MK 35, sebaran produk hukum daerah mengenai

wilayah dan hutan adat semakin bertambah dan luasannya juga meningkat sangat

signifikan di beberapa wilayah Indonesia.

Kontribusi masyarakat adat terhadap pengelolaan kawasan hutan adat yang

berwawasan lingkungan juga diakomodir oleh beberapa Pemerintah Daerah

melalui penerbitan Produk Hukum Daerah. Berdasarkan identifikasi data Produk

Hukum Daerah selama kurun waktu 1979-2017, terdapat 53 Produk hukum daerah

yang memiliki muatan tentang aspek Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan

Hidup di dalam wilayah dan hutan adat. REDD, Pengelolaan Hutan Adat, Hutan

Adat sebagai buffer zone dari Kawasan Konservasi, hingga model Konservasi

Kemitraan, menjadi beberapa muatan yang diatur di dalam produk hukum daerah

tersebut. Sejumlah bentuk pengetahuan lokal masyarakat dalam pengelolaan

kawasan hutan berbasis konservasi masyarakat adat diformulasikan di dalam

klausul pasal-pasal pada produk hukum daerah. Pasang ri Kajang di Hutan Adat

Ammatoa Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan; dan Tatali Paranti Karuhun di

Hutan Adat Kasepuhan Karang, Lebak, Banten, merupakan beberapa ragam

pengetahuan lokal masyarakat adat yang diakomodir di dalam produk hukum

daerah untuk menjamin posisi mereka sebagai subjek utama pengelola hutan dan

sumber daya alam di dalam hutan adat.

Namun, tidak terjadinya harmonisasi antara produk hukum daerah tentang

masyarakat hukum adat dengan rezim undang-undang kehutanan saat ini, UU

No.41/1999, memperlihatkan masih adanya perdebatan bahwa apakah masyarakat

hukum adat dan hutan adatnya cukup diakui dan ditetapkan melalui ‘Peraturan

Daerah’ atau ‘produk hukum daerah’? Berdasarkan Pasal 67, ayat (1) huruf a, huruf

b, huruf c, dan ayat (2), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan memperlihatkan

bahwa ‘Peraturan Daerah’ menjadi satu-satunya mekanisme pengakuan eksistensi

masyarakat adat.

“Masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya berhak melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan

kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat adat yang bersangkutan, melakukan

kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku, dan berhak

Page 45: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

34

mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

Pengukuhan keberadaan dan hapusnya masyarakat hukum adat ditetapkan

dengan Peraturan Daerah”.6

Padahal dari 215 produk hukum daerah yang telah diterbitkan untuk

pengakuan MHA, penetapan wilayah adat, hutan adat, dan kampung adat atau

desa adat, tidak semua berupa peraturan daerah, tetapi terdapat juga 44 produk

hukum daerah berupa Keputusan Bupati, Keputusan Bersama, Keputusan Kepala

Desa, dan Peraturan Gubernur. Besarnya biaya dan waktu dalam mendorong

penerbitan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Hukum Adat menjadi kendala

yang dirasakan oleh masyarakat adat di Indonesia. Seperti Peraturan Daerah

Kabupaten Lebak No.8/2015 tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat

Adat Kasepuhan, setidaknya diperlukan waktu lebih dari tiga tahun untuk

memperoleh pengakuan secara legal dari Pemerintah Kabupaten Lebak, Banten.

Pasal 67, UU No.41/1999 tentang Kehutanan memang menjadi salah satu pasal

yang ditinjau kembali melalui Mahkamah Konstitusi, tetapi upaya tersebut tidak

dikabulkan di dalam Putusan MK 35. UU Kehutanan ini merupakan perundang-

undangan di bidang sumber daya alam yang paling sering dilakukan Judicial

Review (JR) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Hingga saat ini terdapat sembilan

kali JR terhadap UU Kehutanan ke MK, empat di antaranya dikabulkan oleh

MK, yaitu Putusan Perkara No. 34/PUU-IX/2011, Putusan Perkara No. 45/PUU-

IX/2011, Putusan Perkara No 35/PUU-X/2012, dan Putusan Perkara No. 95/PUU-

XII/2014.7

6 Lihat Pasal 67 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, dan ayat (2), UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

7 Yance Arizona, Erasmus Cahyadi, dan Malik, Mengakhiri Rezim Kriminalisasi Kehutanan: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/Puu-XII/2014 Mengenai Pengujian Un-dang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan, (Jakarta: Epistema Institute dan AMAN, 2015), hlm. 14-16.

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 46: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

35

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Tabel 1. Ragam Putusan Mahkamah Konstitusi untuk Judicial Review terhadap

UU No.41/ 1999 tentang Kehutanan

NoNomor Putusan

Mahkamah Konstitusi

Pasal yang ditinjau

1 Putusan MK No. 34/PUU-IX/2011

Pasal 4 ayat 3, menjadi “Penguasaan hutan oleh negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, hak masyarakat yang diberikan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional”. Penguasaan kawasan hutan oleh pemerintah tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang sehingga menimbulkan kerugian terhadap masyarakat hukum adat dan hak masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan.

2 Putusan MK No. 45/PUU-IX/2011

Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan menjadi “Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap”. Perubahan ini menyebabkan kawasan hutan yang baru selesai ditunjuk tidak memiliki legalitas sebagai kawasan hutan sampai selesai dilakukan seluruh tahapan pengukuhan kawasan hutan.

3 Putusan MK No. 35/PUU-X/2012

Pasal 1 angka 6 UU Kehutanan menjadi “Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat hukum Adat”. Akibatnya, pemerintah harus mengembalikan dan mengakui hutan adat yang telah ditunjuk atau ditetapkan oleh pemerintah sebagai kawasan hutan.

4 Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014

Pasal 50 ayat (3) huruf e dan huruf i UU Kehutanan sebagai berikut “Setiap orang dilarang: e. menebang pohon atau memanen atau memungut hasil hutan di dalam hutan tanpa memiliki hak atau izin dari pejabat yang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial; i. menggembalakan ternak di dalam kawasan hutan yang tidak ditunjuk secara khusus untuk maksud tersebut oleh pejabat yang berwenang, kecuali terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial;” Putusan ini mengakhiri kriminalisasi terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan yang selama ini mengelola dan mempertahankan wilayahnya. Hal ini sejalan dengan Putusan MK No. 55/PUU-VII/2010 mengenai pengujian ketentuan pidana dalam UU Perkebunan. Putusan ini menyatakan bahwa dalam menghadapi konfik tenurial harus terlebih dahulu diselesaikan secara perdata daripada melakukan pendekatan represif melalui ketentuan pidana.

Page 47: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

36

Arena Mahkamah Konstitusi menjadi ruang advokasi untuk proses

perubahan regulasi yang lebih mendukung bagi masyarakat adat khususnya

dalam pengelolaan kawasan hutan. Namun, tidak hanya melalui upaya judicial

review di dalam Mahkamah Konstitusi, tetapi juga upaya lobbying di tingkat

Kementerian/Lembaga dalam mendorong peraturan yang lebih operatif untuk

percepatan penetapan hutan adat di Indonesia. Berdasarkan pengamatan penulis,

Peraturan Menteri dan Peraturan Direktorat Jenderal menjadi dua bentuk aturan

paling operasional untuk mengakomodir inisiatif pemerintah daerah yang telah

menerbitkan produk hukum daerah tentang MHA, sekaligus mempercepat proses

penetapan hutan adat. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menjadi

institusi Negara yang paling proaktif dalam mendorong pengakuan masyarakat

adat dan penetapan hutan adat jika dibandingkan dengan kementerian lainnya.8

Selama kurun waktu 2015-2017, terdapat tiga Peraturan Menteri (Peraturan

Menteri LHK No.32/2015 tentang Hutan Hak, Peraturan Menteri LHK No.

83/2016 tentang Perhutanan Sosial), Peraturan Menteri LHK No.34/2017 tentang

Pengakuan dan Perlindungan Kearifan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya

Alam dan Lingkungan Hidup yang juga mengatur praktik kearifan lokal dalam

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dan Sumber Daya Genetik satu

Peraturan Direktorat Jenderal PSKL No.P.1/PSKL/Set/Kum.1/2/2016 tentang

Tata Cara Verifikasi dan Validasi Hutan Hak, serta Rancangan Peraturan Direktorat

Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem, KLHK tentang Kemitraan

Konservasi yang akan diterbitkan di akhir tahun 2017 ini. Peraturan Menteri dan

Peraturan Direktorat Jenderal di KLHK tersebut merupakan beberapa diskresi

untuk menjawab kekosongan hukum di tengah upaya percepatan penetapan

hutan adat di Indonesia. Sebagai contoh, Peraturan ini menjadi produk hukum

Menteri yang melahirkan diskresi dengan menerima segala bentuk ‘Produk

Hukum Daerah’ di Kabupaten atau Provinsi untuk dapat digunakan sebagai dasar

dari pengakuan hutan adat di Indonesia.

8 Meskipun terdapat beberapa kementerian lainnya seperti Kementerian Dalam Negeri yang telah menerbitkan Permendagri No.52/tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlind-ungan Masyarakat Hukum Adat, dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ BPN juga telah menerbitkan Permen ATR No.10 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penetapan Hak Komunal atas Tanah Masyarakat Hukum Adat dan Masyarakat yang Berada dalam Kawasan Tertentu. Na-mun, belum ada satupun eksekusi secara nyata dari kedua peraturan tersebut yang dirasakan oleh masyarakat adat.

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 48: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

37

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

2.1. Progress Penetapan Hutan Adat

Pada tingkat nasional terdapat 13.097,99 hektar hutan adat yang ditetapkan

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 30 Desember 2016. Dengan

demikian terdapat 1.713,99 hektar atau 9,6% hutan adat9 yang ditetapkan melalui

produk hukum daerah yang ditindaklanjuti oleh Kementerian lingkungan Hidup

dan Kehutanan sekitar 5.700 Kepala Keluarga (KK). Genap 10 bulan pasca penetapan

hutan adat tepatnya tanggal 25 Oktober 2017, pemerintah kembali menetapkan

3,99210 hektar hutan adat, antara lain: (1) Hutan adat di Desa Marena, Kecamatan

Kulawi, Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah seluas 1.161 hektar; (2) Hutan adat di

Desa Tapang Semedak, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat seluas 41 hektar; (3)

Hutan adat di Desa Juaq Asa, Kabupaten Kutai Barat, Kalimantan Timur seluas 49

hektar; (4) Hutan adat di Desa Batu Kerbau, Kabupaten Bungo seluas 323 dan 326

hektar; (5) Hutan adat di Desa Senamat Ulu, Kabupaten Bungo seluas 223 hektar;

(6) Hutan adat di Desa Baru Pelepat, Kabupaten Bungo seluas 245 dan 821 hektar;

(7) Hutan adat di Desa Ngaol, Kabupaten Merangin seluas 278 hektar; (8) Hutan

adat di Desa Merangin, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi seluas 525 hektar. Kini

kurang lebih terdapat 17.000 hektar hutan adat yang tersebar di beberapa wilayah

di Indonesia yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Menurut data Kementerian

Sosial tahun 201711, sebanyak 231.268 KK komunitas adat terpencil yang hidup di

Indonesia. Dari 231.268 KK, sebanyak 123.977 KK sudah diberdayakan melalui

penetapan hutan adat. Sedang 3.955 KK sedang diberdayakan. Sisanya belum

diberdayakan 123.336 KK.

Konsekuensi menarik lainnya dari proses penetapan hutan adat selama kurun

waktu 2016-2017 adalah perubahan status kawasan hutan dari ‘hutan negara’

menjadi ‘hutan adat’, ternyata memberikan ruang bagi masyarakat adat untuk

menjadi subjek pengelola kawasan konservasi. Tiga hutan adat yang telah ditetapkan

yakni, Hutan Adat Kasepuhan Karang di dalam kawasan Taman Nasional Gunung

9 Ibid, Outlook Epistema 2017, hlm. 10.10 http://www.mongabay.co.id/2017/10/24/sembilan-komunitas-peroleh-penetapan-hutan-

adat/ diakses tanggal, 16 Oktober 2017.11 https://nasional.sindonews.com/read/1249146/15/123-ribu-keluarga-adat-terpencil-di-in-

donesia-hidup-terbelakang-1508231965 diakses tanggal, 16 Oktober 2017.

Page 49: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

38

Halimun Salak, Hutan Adat Wana Posangke di dalam Cagar Alam Morowali, dan

Hutan Adat Marga Serampas di dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat ,

berada di dalam kawasan konservasi. Perubahan status tersebut tidak serta merta

mengubah fungsi kawasan hutan sebagai areal konservasi. Penyesuaian zonasi

areal konservasi dilakukan oleh sejumlah birokrat Direktorat Jenderal KSDAE

untuk menyesuaikan perubahan status kawasan hutan tersebut.

2.2. Kontestasi Legislasi RUU Masyarakat Adat

Ragam jalur advokasi juga diikuti dengan upaya menyusun Rancangan

Undang-Undang tentang Masyarakat Adat di tingkat DPR. Salah satu draft

versi AMAN dan jejaring masyarakat sipil pegiat masyarakat adat mengusulkan

pembentukan Komisi Nasional Masyarakat Adat yang dibentuk oleh Presiden

di tingkat pusat. Komisi tersebut kemudian menjalankan 10 peran terkait

menjamin pengakuan hak masyarakat adat dan wilayahnya pada lebih dari dua

provinsi, penyelarasan kebijakan pembangunan baik di pusat dan daerah untuk

memerhatikan hak masyarakat adat, melakukan penyelidikan terhadap pelanggaran

hak-hak masyarakat adat, mediasi konflik yang melibatkan masyarakat adat, dan

penyelesaian pelanggaran HAM berat di masa lalu yang melibatkan masyarakat

adat. Wacana mendorong Undang-Undang tentang Masyarakat Adat sebenarnya

telah muncul sejak tahun 2009, saat AMAN bersama beberapa NGO mendorong

pembentukan tim yang bekerja pada draft Rancangan Undang-Undang Pengakuan

dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat (RUU PPHMHA) (lihat Arizona

dan Cahyadi, 2013: 51). Namun, hingga akhir tahun 2017 belum ada progress

signifikan terkait pengesahan RUU tentang Masyarakat Adat di tingkat DPR,

meski RUU tersebut telah masuk menjadi prolegnas di tahun 2017. Lambatnya

progress pembahasan RUU tentang Masyarakat Adat, sempat memunculkan rasa

pesimis dari AMAN terhadap komitmen Pemerintahan Jokowi-JK. Komitmen

RUU Masyarakat Adat merupakan salah satu agenda pembangunan Nawa

Cita Jokowi-JK saat di awal pemerintahannya. Bahkan AMAN berencana untuk

mencabut dukungan secara politik kepada Presiden Joko Widodo saat Pilpres

2019, jika komitmen tersebut tidak tercapai di penghujung periode pemerintahan

saat ini (lihat Catatan Akhir Tahun AMAN, 2017).

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 50: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

39

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Meskipun demikian, beragam upaya dari proses regularisasi yang dilakukan

di tingkat daerah, kementerian/lembaga, hingga nasional, ragam jalur advokasi

gerakan masyarakat sipil untuk mendorong pengakuan terhadap masyarakat

adat dan wilayah serta hutan adatnya telah membuahkan hasil. Isu pengakuan

masyarakat adat tidak hanya sebatas pengakuan akan subjeknya, tetapi juga

direplikasi ke dalam beragam opsi hukum terkait pengakuan wilayah adat-hutan

adat, desa adat, kepercayaan yang dianut oleh masyarakat adat sebagai hak

warga negara, dan hak komunal. Tidak dipungkiri bahwa dalam proses advokasi

penetapan hutan adat, tidak ada cara tunggal untuk mendorong kehadiran Negara

dalam menjamin hak bagi masyarakat adat. Dari kondisi tersebut, peran organisasi

masyarakat sipil sangat signifikan dalam melakukan replikasi ke dalam beragam

opsi pengakuan bagi masyarakat adat untuk menjadi loncatan ke arah pengakuan

hutan adat di Indonesia. Bagaimana replikasi tersebut dapat terjadi? Dan bagaimana

upaya percepatan pengakuan terhadap hutan adat tetap juga memastikan posisi

masyarakat adat sebagai subjek yang tepat dalam mengelola kawasan hutan secara

berwawasan lingkungan? Bagian selanjutnya akan menelaah dinamika politik-

hukum posisi masyarakat adat sebagai salah satu subjek pengelola kawasan hutan

di Indonesia.

III. Dinamika Politik-Hukum Posisi Masyarakat Adat sebagai Subjek

Pengelola Kawasan Hutan di Indonesia

Tahun 2017 menjadi momentum berarti bukan hanya terdapat pertambahan

luas hutan adat yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia, tetapi juga tahun 2017

terdapat ruang-ruang yang terbuka antara pemangku kebijakan untuk bersinergi

dengan NGO dan masyarakat adat dalam mempercepat penetapan hutan adat

di Indonesia. Sinergi tersebut terbuka dengan masuknya sejumlah aktor-aktor

NGO di dalam diskusi perencanaan kebijakan Negara di tingkat Kementerian/

Lembaga hingga masuk ke dalam arena politik daerah dengan menjadi salah

satu kandidat Gubernur atau Bupati, serta menjadi Tim Ahli di dalam Kantor Staf

Kepresidenan (KSP).

Jauh sebelum capaian progress advokasi penetapan hutan adat ini, sebenarnya

telah terdapat tiga rezim perundang-undangan yang menempatkan masyarakat adat

Page 51: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

40

sebagai subjek pengelola kawasan hutan sumber daya alam. Produk perundangan

tersebut terdiri dari: i) UU No.41/1999 tentang Kehutanan; ii) UU No.32/2009

tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH); dan (iii) UU

No.27 tahun 2008 jo. UU No.1 tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil (UU PWP3K) (lihat Safitri, dkk, 2015; Uliyah, Wicaksono, Safitri,

2017). Pasca Putusan MK35 di tahun 2013, beberapa pasal di dalam UU Kehutanan

telah mengalami perubahan, seperti Pasal 1 angka 6 yang sebelum putusan MK35

berisi “hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah masyarakat

hukum adat”, menjadi “hutan adat adalah hutan yang berada dalam wilayah

masyarakat hukum adat”. Kedua, UU PPLH selanjutnya menuangkan beberapa

asas kearifan lokal yang memperhatikan nilai-nilai luhur dalam Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup; dan pada Pasal 10 huruf (d) menjadikan dasar

‘hak ulayat’ dalam setiap penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup baik oleh Menteri di bidang PPLH, gubernur atau bupati/

walikota (lihat Uliyah, Wicaksono, dan Safitri, 2017).

Tidak hanya pada sektor kehutanan, tetapi juga sektor wilayah pesisir

melalui UU PWP3K telah mengakui posisi MHA sebagai salah satu kategori yang

mengelola wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (Pasal 1, angka 34 dan angka

35, UU No. 1 Tahun 2014). Dengan demikian, MHA mempunyai wewenang

untuk memanfaatkan dengan menerapkan hak ulayat laut mereka, tetapi tetap

harus tunduk pada kepentingan nasional dan peraturan perundang-undangan.

Pembahasan mengenai UU PWP3K ini penting untuk pengakuan terhadap

penguasaan MHA atas hutan-hutan mangrove di wilayah pesisir ataupun

kawasan hutan yang ada di pulau-pulau kecil.12 Dengan demikian, konteks hutan

adat seharusnya tidak sekadar mengacu pada UU Kehutanan, tetapi juga merujuk

UU PWP3K. Hal itu juga seharusnya berlaku di dalam rancangan UU Konservasi

Keanekaragaman Hayati yang kini masuk menjadi salah satu agenda prolegnas

di DPR.

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 52: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

41

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

IV. Memperluas konteks pengakuan hutan adat di dalam kawasan

konservasi

Agenda menempatkan masyarakat adat sebagai subjek pengelola kawasan

hutan juga dilakukan dengan mengenalkan konsep Kawasan Konservasi

Masyarakat Adat ke dalam kebijakan negara. KKMA muncul sebagai wacana yang

disampaikan secara global melalui Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention

on Biological Diversity) yang telah mengakui Areal Konservasi Kelola Masyarakat

(AKKM atau ICCAs). Secara definisi AKKM adalah bentuk pengakuan terhadap

praktik konservasi oleh masyarakat yang terdiri dari 3 (tiga) aspek yang tidak

bisa dipisahkan, yakni: lingkungan dan konservasi, budaya, dan ekonomi mata

pencahariaan (Eghenter, 2016:13). Working Group ICCAs (Indigenous Peoples’ and

Community Conserved Territories and Areas) Indonesia memainkan peran dalam

mengkampanyekan konsep KKMA dengan kolaborasi antara NGO pegiat

masyarakat adat dan WWF pasca dilaksanakan Simposium mengenai ICCA di

CIFOR, Bogor (Eghenter, 2017). Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang masuk

ke dalam WGII tersebut berperan sebagai Koordinator konsorsium WGII. Melalui

data spasial BRWA menunjukkan bahwa terdapat lebih dari 6,28 juta hektar dari

total 9,3 juta luas wilayah adat yang telah dipetakan, bertumpang tindih dengan

kawasan hutan. 1,6 juta wilayah adat tersebut di antaranya berlokasi di kawasan

konservasi (Widodo, 2016:9).

Secara perlahan inisiatif yang muncul dari peran WGII berupa 9,3 juta hektar

wilayah adat yang dipetakan diakomodir oleh Kementerian Lingkungan Hidup

dan Kehutanan, serta Badan Informasi Geospasial (BIG). BIG dengan mengacu

pada Peraturan Presiden No. 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan

Satu Peta, telah mengakomodir dengan menginisiasi penyusunan standar

pelibatan masyarakat adat dalam: i) membuat; dan ii) memverifikasi dan validasi

peta wilayah adat untuk penetapan wilayah adat di seluruh Indonesia. Inisiasi

tersebut dilakukan pasca dilakukan rapat koordinasi yang dimotori oleh Menteri

Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ibu Siti Nurbaya, bersama Kemen ATR,

Kemendagri, dan BIG, guna percepatan penetapan hutan adat di Indonesia.

12 Lihat Myrna Safitri, H. Berliani dan Suwito. “Penetapan Hutan Adat: Interpretasi Hukum dan Diskresi,” dalam Partnership Policy Paper No. 7/2015. (Jakarta: Kemitraan). Halm. 12-13.

Page 53: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

42

28 Desember 2017 juga sekaligus menutup capaian akhir tahun dalam

mereplikasi pengakuan hutan adat di dalam kawasan konservasi. Setelah sekian

lama masyarakat adat menjadi subjek yang selalu dikriminalisasi di dalam

kawasan konservasi, upaya menempatkan masyarakat adat sebagai pelaku

konservasi dilakukan dengan merancang satu Perdirjen tentang Konservasi

Kemitraan. Melalui Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan

Ekosistem (KSDAE), KLHK, draft Peraturan Dirjen KSDAE tentang Konservasi

Kemitraan dirancang untuk menempatkan Kawasan Konservasi Masyarakat

Adat sebagai salah satu klausul yang diatur untuk mendorong model konservasi

yang lebih inklusif dengan melibatkan aktor lain selain Negara sebagai

pengelola kawasan konservasi. KKMA mengutip istilah yang digunakan oleh

Dirjen KSDAE, Ir. Wiratno, merupakan salah satu ‘Cara Baru Kelola Kawasan

Konservasi’ yang mempertimbangkan prinsip–prinsip penghormatan terhadap

Hak Asasi Manusia. Berbagai permasalahan yang menyangkut hubungan

masyarakat atau masyarakat hukum adat di dalam kawasan konservasi

diselesaikan melalui pendekatan non litigasi dan mengutamakan dialog. Biaya

untuk menjaga kawasan konservasi juga dapat dikelola secara efektif saat petugas

kawasan konservasi dapat menjaga wilayahnya bersama-sama masyarakat adat.

Beberapa kasus di Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Lebak

Banten, memperlihatkan dari satu resort Gunung Bongkok yang tersebar di 11

desa seluas 6.000 hektar hanya dijaga oleh 12 petugas Taman Nasional. Padahal,

sejumlah inisiatif dari Masyarakat Adat Kasepuhan telah memberlakukan ronda

leuweung (patroli hutan) untuk memastikan kawasan konservasi TNGHSaman

dari perambah kayu illegal.

Inisiatif masyarakat adat kasepuhan tersebut hanya menjadi satu contoh

dari Cara Baru Kelola Kawasan Konservasi. Cara baru yang dilakukan melalui

pelibatan masyarakat di ± 5.860 Desa yang berada di pinggir atau di dalam

kawasan konservasi seluas 27,2 Juta Ha. Upaya ini sekaligus memperlihatkan

keseriusan Negara dalam merespons dua isu pada kawasan konservasi: i)

kriminalisasi masyarakat adat dalam kawasan hutan; dan ii) jaminan akses kelola

masyarakat adat di dalam konservasi yang lebih inklusif. Masyarakat diposisikan

sebagai subyek atau pelaku utama dalam berbagai model pengelolaan kawasan,

pengembangan daerah penyangga melalui ekowisata, pemanfaatan Hasil Hutan

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 54: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

43

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Bukan Kayu (HHBK), jasa lingkungan, patroli kawasan, penjagaan kawasan,

restorasi kawasan, pengendalian kebakaran, budidaya dan penangkaran satwa.

Beragam upaya di atas menjadi sejumlah perubahan yang terjadi dalam

sektor peraturan untuk mendorong masyarakat adat sebagai salah satu subjek

pengelola kawasan hutan kedepannya. Tidak dipungkiri, bahwa isu masyarakat

adat dan hutan adat menjadi persoalan politik, saat pemerintah Jokowi-JK telah

menyebutkan bahwa jumlah luas hutan adat yang akan diverifikasi dan ditetapkan

seluas 5.080.000 hektar dalam Nawa Cita yang telah diadopsi ke dalam RPJMN

periode 2015-2019 (Catatan Akhir Tahun AMAN, 2017). Bagi Pemerintahan

Jokowi-JK saat ini, diperlukan ragam cara untuk mempercepat pengakuan hutan

adat guna mencapai target tersebut di penghujung masa pemerintahannya. Upaya

kolaborasi bersama jejaring masyarakat sipil dan masyarakat adat menjadi satu-

satunya cara yang dapat dilakukan untuk merancang proses penetapan hutan adat

yang lebih inklusif hingga akhir tahun 2019.

V. Kesimpulan dan Tantangan Kedepan bagi Gerakan Advokasi Hutan

Adat

Jalan panjang pengakuan masyarakat adat di Indonesia telah memberikan

beragam pelajaran untuk memperbaiki pengelolaan kawasan hutan. Mahalnya

proses regulasisasi pengakuan masyarakat adat dan penetapan hutan adat melalui

Peraturan Daerah telah disiasati dengan beragam proses regularisasi untuk

menghasilkan diskresi yang efektif guna percepatan hutan adat di Indonesia.

Namun, apa yang perlu diperhitungkan untuk memperkuat prospek pengelolaan

kawasan hutan berbasis masyarakat adat di masa depan?

Secara kelembagaan, khususnya dalam mendorong RUU Masyarakat Adat,

tantangan Indonesia saat ini adalah bagaimana memitigasi kesewenangan dalam

kekuasaan pada organisasi yang dibentuk untuk mendukung masyarakat adat

dan apa bentuk organisasi serta mekanisme yang dapat meyakinkan bentuk

efektif pada proses pengakuan dan perlindungan keragaman masyarakat adat di

Indonesia. Kedua, dalam persoalan politik anggaran, dari sekian jalur pengakuan

MHA itu tidak diikuti dengan anggaran yang memadai. Sehingga tidak

jarang implementasi dari pengakuan tersebut menjadi terhambat. Keseriusan

Page 55: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

44

pemerintah dalam menetapkan hutan adat hingga saat ini masih sangat minim.

Salah satunya, anggaran untuk identifikasi, verifikasi, dan penetapan hutan adat

di tahun 2018 hanya Rp. 1 miliar. Hal tersebut terlihat dalam pagu indikatif 2018

untuk diajukan dalam RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN)

2018. Besar anggaran terus menurun, dimana tahun 2016 Rp. 1,7 miliar dan tahun

2017 Rp. 1,4 miliar.13 Bagaimana bisa percepatan penetapan hutan adat dapat

tercapai jika tidak didukung oleh persiapan politik anggaran yang kuat? Ketiga,

dalam aspek legislasi, bahwa masih terdapat pekerjaan rumah berupa sekitar 32

rancangan peraturan daerah tentang masyarakat hukum adat yang masih belum

terselesaikan, serta RUU Masyarakat Adat yang belum disahkan menjadi undang-

undang hingga penghujung tahun 2017. Sinergi seperti yang telah diinisiatifkan

oleh jejaring masyarakat sipil pada WG ICCAs Indonesia dapat menjadi contoh

bahwa pentingnya kerja secara kolaborasi untuk mendorong sebuah produk

hukum guna memberikan kepastian bagi arah pengakuan masyarakat adat.

Hal itu penting untuk diperhitungkan oleh Pemerintahan Jokowi-JK, jika masih

ingin mempertahankan masyarakat adat sebagai salah satu konstituennya dalam

Pilpres 2019.

13 Roy Salam Direktur Eksekutif Indonesia Budget Center (IBC), Anggaran Minim, Program DIpertanyakan, (Kompas: Jumat, 14 Juli 2017).

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 56: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

45

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Daftar Pustaka

Arizona, Yance, Cahyadi, Erasmus dan Malik. 2015. “Mengakhiri Rezim Kriminalisasi

Kehutanan: Anotasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 95/Puu-XII/2014

Mengenai Pengujian Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan dan

Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang

Kehutanan,” Jakarta: Epistema Institute dan AMAN 2015.

Arizona, Yance, Malik, Ishimora L. Irene. 2017. “Pengakuan Hukum Terhadap

Masyarakat Adat: Trend Produk Hukum Daerah dan Nasional Pasca Putusan MK

35/PUU-X/2012,” Jakarta: Epistema Institute 2017.

Arizona, Yance., and Cahyadi, Erasmus 2013. ‘The Revival of Indigenous Peoples:

Contestations over Special Legislation on Masyarakat Adat’, in Hauser-Schȁublin,

Brigitta (Ed). Adat and Indigeneity in Indonesia: Culture and Entitlements between

Heteronomy and Self-Ascription. Gottingen University Press: p.43-62.

Arumingtyas, Lusia. Pemerintah Tetapkan Lagi sembilan Hutan Adat, http://www.

mongabay.co.id/2017/10/24/sembilan-komunitas-peroleh-penetapan-hutan-

adat/, diakses tanggal, 16 Oktober 2017.

Eghenter, C. 2016. ‘Catatan AKKM dan Jasa Ekosistem’ dalam Tinjauan Kritis Atas

RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem. Bogor: Working Group

ICCAs Indonesia.

Eghenter, C. 2017. Tenure Rights in Conservation Areas: Recognition and Role of

Indigenous Peoples and Local Communities. Tulisan dipersiapkan dalam diskusi

Panel 5 tentang Hak Masyarakat dalam Areal Konservasi, Pra-Konferensi

Tenure, Oktober 2017.

Kurniawan, Hasan. 123 Ribu Keluarga Adat Terpencil di Indonesia Hidup Terbelakang,

https://nasional.sindonews.com/read/1249146/15/123-ribu-keluarga-adat-

terpencil-di-indonesia-hidup-terbelakang-1508231965, diakses tanggal, 16

Oktober 2017.

Page 57: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

46

Malik, Arizona, Yance dan Muhajir, Mumu. 2015. “Analisis Trend Produk Hukum

Daerah Mengenai Masyarakat Adat,” Jakarta: Policy Brief Epistema Institute Vol.

01/2015.

Moore, Sally F. 1983. Law as Process: An anthropological approach. London: Routledge.

Safitri, Myrna. 2015. ‘Dividing the Land: Legal Gaps in the Recognition of

Customary Land in Indonesian Forest Areas’ in Kasarinlan: Philippine Journal of

Third World Studies 2015-16 30 (2)-31 (1): p.31-48.

Safitri, Myrna. 2015. Indigenous peoples in ASEAN: Indonesia. Chiang Mai: AIPP

Foundation.

Safitri, Myrna., Berliani, H., dan Suwito. 2015. “Penetapan Hutan Adat: Interpretasi

Hukum dan Diskresi,” Partnership Policy Paper No. 7/2015. Jakarta: Kemitraan

Uliyah, L., Wicaksono, M.T., dan Safitri, M. 2017. Kontinuitas dan Transformasi

Hukum Adat di Tengah Kebutuhan Hukum Konservasi Keanekaragaman Hayati

di Indonesia. Jakarta: Winrock Internasional. Inpress. Tulisan dipersiapkan

sebagai materi ‘Konservasi dan Masyarakat Hukum Adat’ pembahasan RUU

Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.

Widodo, Kasmita. 2015. ‘Pengakuan AKKM dalam Kawasan Konservasi’ dalam

Tinjauan Kritis Atas RUU Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Ekosistem.

Bogor: Working Group ICCAs Indonesia.

MUKI T. WICAKSONO dan MALIK

Page 58: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

47

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

analisis terHadaP sertifikasi minyak kelaPa sawit

berkelanJutan sebagai instrumen Penaatan Hukum

lingkungan

Oleh: Fadhil Muhammad Indrapraja1

Abstrak

Minyak kelapa sawit merupakan komoditas yang digunakan untuk berbagai

macam produk, seperti minyak goreng, margarin, kosmetik, dan bahan bakar

hayati. Didorong oleh tuntutan global, permintaan pasar terhadap minyak kelapa

sawit di berbagai belahan dunia membuat kelapa sawit menjadi sumber minyak

nabati terbesar. Perkembangan produksi minyak kelapa sawit tersebut memberikan

dampak ekonomi yang positif. Kendati demikian, perkembangan produksi minyak

kelapa sawit juga berdampak negatif terhadap lingkungan dan kehidupan sosial.

Salah satu upaya yang dilakukan untuk mengantisipasi dampak negatif tersebut

adalah dengan menerapkan standar minyak kelapa sawit berkelanjutan melalui

sistem sertifikasi. Penelitian ini mencoba untuk mengkaji secara normatif tiga

sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan, yaitu Sertifikasi Roundtable

on Sustainable Palm Oil, Sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil, dan Sertifikasi

Malaysian Sustainable Palm Oil sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan.

Hasil penelitian dalam tulisan ini menunjukkan bahwa ketiga sistem sertifikasi

tersebut belum optimal sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Untuk

itu, ketiga sistem sertifikasi tersebut perlu disempurnakan.

Kata kunci: Berkelanjutan, minyak kelapa sawit, sertifikasi lingkungan

1 Penulis adalah lulusan hukum lingkungan dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Penulis dapat dihubungi di surel [email protected].

Page 59: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

48

Abstract

Palm oil is an important commodity that is used for various products, such as cooking

oil, margarine, cosmetics, and biofuel. Driven by global demands, market demand for palm

oil in many parts of the world makes oil palm the highest yielding source of vegetable oil. The

expansion of palm oil production plays an important role in providing positive economic

impact. Nevertheless, the expansion of palm oil production also has negative impact socially

and environmentally. One of the efforts needed to achieve sustainable palm oil production

is to apply sustainable palm oil standards through a certification system. This thesis tries to

study normatively three certification systems of palm oil, namely Roundtable on Sustainable

Palm Oil Certification, Indonesian Sustainable Palm Oil Certification, and Malaysian

Sustainable Palm Oil Certification as an environmental law compliance instrument. The

result of this research shows us that the three certification systems are not yet optimal.

Therefore, that three certification systems need to be revised.

Keywords: environmental certification, palm oil, sustainability

I. Pendahuluan

Pada awal keberadaannya di Indonesia, kelapa sawit hanyalah tumbuhan

hias yang menjadi koleksi di Kebun Raya Bogor. Kelapa sawit baru dibudidayakan

dalam bentuk usaha perkebunan pada tahun 1875 oleh perusahaan asal Belanda

yang bernama Deli Maatschappij.2 Pada saat itu, produksi kelapa sawit di Indonesia

cukup memuaskan dan memiliki kualitas lebih baik daripada hasil produksi di

Afrika Barat, habitat asal kelapa sawit.3 Sejak saat itu, industri kelapa sawit nasional

terus berkembang hingga menjadikan tanaman kelapa sawit menjadi sumber

minyak nabati terbesar di dunia. Dalam hal ini, sejak tahun 2006 Indonesia berhasil

mengungguli dominasi Malaysia sebagai negara produsen minyak kelapa sawit

terbesar di dunia. Padahal, Malaysia telah lebih dulu mengembangkan komoditas

kelapa sawit.

2 Bungaran Saragih, Mitos versus Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global, ed. 2 (Bogor: PASPI, 2016), hlm. 1.

3 Ibid.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 60: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

49

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, industri minyak

kelapa sawit Indonesia berperan strategis bagi perekonomian nasional dan global.

Merujuk pada produksi minyak kelapa sawit Indonesia pada tahun 2016, Menteri

Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani mengatakan “kontribusi ekspor sawit

mencapai US$ 17,8 miliar atau senilai Rp. 231,4 triliun dengan penyerapan tenaga

kerja mencapai 5,6 juta orang, yang berarti industri sawit merupakan sektor penting

untuk dijaga keberlangsungannya.”4 Selain itu, menurut Gabungan Pengusaha

Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) pengembangan industri produksi minyak kelapa

sawit mayoritas dilakukan di wilayah pedesaan, sehingga berdampak positif

dalam mendorong pembangunan wilayah pedesaan. Hal ini merupakan upaya

yang tepat untuk mengurangi tingkat kemiskinan penduduk Indonesia karena

mayoritas penduduk miskin di Indonesia berada di wilayah pedesaan. Hingga

tahun 2013 paling tidak terdapat lima puluh kawasan pedesaan terbelakang atau

terisolir telah berkembang menjadi kawasan pertumbuhan baru dengan basis

sentra produksi minyak kelapa sawit.5

Kendati berkontribusi positif bagi perekonomian, perkembangan produksi

kelapa sawit juga berdampak negatif bagi lingkungan dan kehidupan sosial.

Berbagai investigasi menemukan bukti-bukti yang menunjukkan permasalahan-

permasalahan lingkungan dan sosial yang disebabkan oleh aktivitas industri

minyak kelapa sawit. Menurut catatan Forest Watch Indonesia, dalam periode 2009

- 2013 Indonesia kehilangan hutan alam seluas 515,9 ribu hektar akibat alih fungsi

hutan menjadi perkebunan kelapa sawit.6 Deforestasi yang terjadi menimbulkan

berbagai permasalahan lingkungan, seperti hilangnya keanekaragaman hayati,

banjir, kekeringan, longsor, dan perubahan iklim.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit juga dilakukan di lahan gambut. Pada

tahun 2014 terdapat 429.587 hektar tutupan hutan di lahan gambut yang sudah

4 Tempo, “Sri Mulyani Minta Industri Sawit Sumbang Pendapatan Negara,” https://m.tempo.co/read/news/2017/02/02/090842383/sri-mulyani-minta-industri-sawit-sumbang-pendapatan-negara, diakses tanggal 27 Maret 2017.

5 Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia, “Industri Minyak Sawit Indonesia Merupakan Industri Strategis Nasional,” https://gapki.id/industri-minyak-sawit-merupakan-industri-strategis-nasional/#more-1860, diakses tanggal 31 Maret 2017.

6 Forest Watch Indonesia, Enam Tahun ISPO Kajian Terkait Penguatan Instrumen ISPO dalam Merespon Dampak-dampak Negatif Seperti Deforestasi, Kerusakan Ekosistem Gambut, Kebakaran Hutan dan Lahan, serta Konflik Tenurial (Bogor: Forest Watch Indonesia, 2017), hlm. 33.

Page 61: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

50

dibebani izin pengelolaan perkebunan kelapa sawit.7 Penanaman kelapa sawit

di lahan gambut mengakibatkan lahan gambut kehilangan fungsinya untuk

menyimpan karbon dioksida dan tempat berkembangnya berbagai macam flora

dan fauna.

Kemudian, merujuk laporan yang dibuat oleh Amnesty International terdapat

bukti keterlibatan pekerja anak di perkebunan kelapa sawit yang dimiliki oleh

dua anak perusahaan Wilmar (PT. Daya Labuhan Indah dan PT. Milano) dan

tiga pemasok Wilmar (PT Abdi Budi Mulia, PT Sarana Prima Multi Niaga, dan

PT Hamparan).8 Padahal, pekerjaan di perkebunan kelapa sawit tergolong

berat dan beresiko terhadap kesehatan anak. Paling tidak terdapat dua undang-

undang yang melarang anak untuk bekerja berat, yakni Undang-undang Nomor

35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002

tentang Perlindungan Anak dan Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang

Ketenagakerjaan.

Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi alasan dari munculnya

beragam kampanye untuk mendorong masyarakat menghentikan konsumsi

produk-produk minyak kelapa sawit. Pada bulan Juni tahun 2015, Menteri Ekologi

Prancis, Segolene Royal menyeru masyarakat untuk menghentikan konsumsi

produk Nutella karena mengandung minyak kelapa sawit. Ia mengatakan “we

have to replant a lot of trees because there is massive deforestation that also leads to global

warming. We should stop eating Nutella, for example, because it’s made with palm oil.9

Tidak terbatas pada seruan tersebut, Pemerintah Prancis juga merumuskan

kebijakan pajak progresif impor minyak kelapa sawit. Pada tanggal 4 April 2017,

Parlemen Uni Eropa juga telah mengesahkan European Parliament Resolution on

Palm Oil and Deforestation of Rainforests10 yang dalam mukadimahnya mengakui

bahwa industri produksi minyak kelapa sawit merupakan penyebab berbagai

masalah lingkungan dan pelanggaran hak asasi manusia. Atas dasar maraknya

permasalahan yang mucul serta kewajiban untuk merespon kampanye-kampanye

7 Ibid., Hlm. 39.8 Amnesty International, Skandal Besar Minyak Kelapa Sawit: Pelanggaran Ketenagakerjaan di

Belakang Nama-nama Merek Besar (London: Amnesty International Ltd., 2016), hlm. 5.9 Justin Worland, “Why The French Ecology Minister Just Said We Should Stop Eating Nutella,”

http://time.com/3924050/french-ecology-minister-nutella/, diakses tanggal 26 Mei 2017.10 Parlemen Uni Eropa, Resolution 2222 (2016), 4 April 2017, butir 47.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 62: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

51

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

negatif terhadap minyak kelapa sawit muncul kebutuhan untuk memastikan

penyelenggaraan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Kebutuhan

tersebut berupaya dipenuhi dengan menerapkan sistem sertifikasi. Sistem

sertifikasi ini diharapkan dapat mendorong pelaku industri minyak kelapa sawit

untuk menerapkan prinsip dan kriteria produksi minyak kelapa sawit yang dapat

menyerasikan kepentingan ekonomi, lingkungan, dan sosial.

Terdapat tiga sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan, yakni

Sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), Sertifikasi Indonesian

Sustainable Palm Oil (ISPO), dan Sertifikasi Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO).

Dalam perkembangannya, ketiga sistem sertifikasi ini dianggap belum mampu

untuk memastikan penyelenggaraan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan.

Hal ini terbukti dengan masih ditemukannya permasalahan lingkungan dan sosial

yang disebabkan aktivitas industri minyak kelapa sawit.

Dalam European Parliament Resolution on Palm Oil and Deforestation of Rainforests

disebutkan bahwa salah satu rekomendasi yang termuat dalam resolusi tersebut

ialah meminta Komisi Uni Eropa untuk meningkatkan penelusuran (traceability)

dari produk minyak kelapa sawit yang diimpor oleh Uni Eropa, hingga sistem

sertifikasi tunggal produksi minyak kelapa sawit diterapkan.11 Parlemen Uni

Eropa meminta Komisi Uni Eropa untuk membentuk sistem sertifikasi tunggal

minyak kelapa sawit yang dapat memastikan bahwa produk minyak kelapa sawit

yang diimpor oleh Uni Eropa telah diproduksi secara berkelanjutan. Kondisi ini

mengindikasikan adanya keraguan pada sistem Sertifikasi RSPO, Sertifikasi ISPO,

dan Sertifikasi MSPO.

Berdasarkan persoalan tersebut, tulisan ini akan menganalisis ketiga sistem

sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum

lingkungan. Analisis akan didahului dengan latar belakang sertifikasi minyak kelapa

sawit. Kemudian, akan dipaparkan secara singkat mengenai munculnya kesadaran

akan lingkungan dan perkembangan instrumen penaatan hukum lingkungan.

Paparan ini bertujuan untuk memudahkan pembaca memahami konsep sertifikasi

lingkungan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Setelah itu, akan

diulas konsep sertifikasi lingkungan dan penerapannya pada industri minyak

11 Ibid., butir 47.

Page 63: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

52

kelapa sawit berkelanjutan. Tulisan ini akan ditutup dengan usulan-usulan yang

terkait dengan upaya untuk menyempurnakan sertifikasi minyak kelapa sawit

berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan.

II. Kesadaran Lingkungan dan Perkembangan Instrumen Penaatan

Hukum Lingkungan

Sebelum masuk pada pembahasan inti, penting untuk mengetahui awal

mula lahirnya kesadaran lingkungan yang kemudian diikuti oleh perkembangan

instrumen-instrumen penaatan hukum lingkungan.

Perhatian negara-negara di dunia terhadap isu lingkungan didorong

oleh ketidakteraturan alam yang semakin marak menghadirkan bencana.

Ketidakteraturan tersebut merupakan akibat ulah manusia yang memanfaatkan

lingkungan secara serampangan. Kondisi ini tidak terlepas dari perubahan

pola kehidupan manusia yang mulanya bersifat tradisional menjadi mekanisasi

paska era revolusi industri. Dalam ilmu ekologi, manusia adalah satu kesatuan

yang terpadu dengan lingkungannya.12 Kesatuan yang terpadu dapat dimaknai

bahwa manusia dan lingkungan memiliki hubungan saling membutuhkan.

Ketika manusia mencoba untuk menguasai lingkungan, maka lingkungan akan

menghadirkan bencana bagi kehidupan manusia itu sendiri.

Kesadaran dan kepentingan untuk menentukan tata susunan lingkungan

di tengah kebutuhan pembangunan menuntut hadirnya hukum yang mengatur

tatanan lingkungan. Dalam perkembangannya, paling tidak terdapat tiga

pendekatan yang dilakukan untuk mencapai penaatan hukum lingkungan, yakni

melalui pendekatan atur dan awasi (command and control), instrumen ekonomi, dan

penaatan sukarela.

a. Pendekatan Atur dan Awasi

Pendekatan ini dapat dikatakan sebagai upaya penaatan hukum lingkungan

generasi pertama. Pada awalnya, masyarakat mempunyai akses bebas pada

sumber daya alam. Masyarakat juga berpandangan bahwa jumlah sumber daya

12 N.H.T. Siahaan, Hukum Lingkungan dan Ekologi Pembangunan, (Jakarta: Erlangga, 2004), hlm. 43.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 64: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

53

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

alam tidak terbatas, sehingga setiap individu berusaha meraih keuntungan

sebanyak-banyaknya.13 Peningkatan kuantitas manusia beserta kebutuhannya

mengakibatkan pemanfaatan sumber daya alam dilakukan secara berlebihan,

sehingga melampaui kemampuan sumber daya alam yang kemudian menyebabkan

kerusakan pada sumber daya alam.14 Berdasarkan kondisi tersebut, diperlukan

pembatasan terhadap akses masyarakat untuk menggunakan sumber daya alam.

Pembatasan tersebut diwujudkan melalui tindakan pemerintah untuk mengatur

dan mengawasi. Pendekatan ini menggunakan peraturan-peraturan administrasi

yang ditujukan sebagai sistem kontrol.15 Regulator menyusun sebuah kerangka

bagi kegiatan-kegiatan dengan maksud untuk mengondisikan, mengawasi, serta

menetapkan aturan bagi kegiatan-kegiatan tersebut.16

Pendekatan atur dan awasi berupaya untuk menekan egoisme dan mendorong

setiap orang untuk berkelakuan lebih ramah lingkungan dengan ancaman sanksi

tindakan hukum.17 Pendekatan ini sangat mengandalkan paksaan, sehingga

memerlukan peran pemerintah yang dominan. Dalam hal ini, pemerintah perlu

menentukan target atau batasan emisi yang harus dicapai, prosedur dan cara

seperti apa yang harus diambil, bahkan teknologi apa yang harus digunakan oleh

individu dalam pemanfaatan lingkungan.18 Setelah menentukan target atau batas

yang harus dicapai, pemerintah mengawasi dan menegakkan peraturan yang

sudah ditetapkan.

Kendati marak digunakan sebagai upaya penaatan hukum lingkungan, namun

pendekatan ini dinilai memiliki beberapa kelemahan. Otto Soemarwoto dalam

bukunya yang berjudul Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan

Hidup mengatakan:

13 Otto Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2004), hlm. 94-95.

14 Ibid., hlm. 95.15 Andri G. Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen

Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” draft Buku Hukum Lingkungan Indonesia (Januari 2016), hlm. 3.

16 Ibid.17 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 9318 Andri G. Wibisana, “Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan

Lingkungan,” dalam Hukum Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus, eds. Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana [s.l.: s.n., s.a.], hlm. 262-263.

Page 65: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

54

“Tindakan itu berlawanan dengan egoisme yang berakar di dalam diri

manusia, orang selalu berusaha untuk menghindari tindakan yang

merugikan dirinya itu. Cara yang termudah ialah untuk diam-diam

melanggarnya dengan harapan tidak akan diketahui oleh pihak yang

berwenang.”19

Akibatnya muncul penolakan terhadap aturan-aturan yang ditetapkan

pemerintah. Pelaku usaha cenderung berupaya untuk menghindari aturan-aturan

tersebut dengan beragam cara. Hal inilah yang menjadi kritik terbesar pendekatan

atur dan awasi.

Kemudian, pendekatan ini juga dinilai tidak efektif dan efisien. Pendekatan

atur dan awasi menuntut pemerintah atau regulator untuk memiliki pengetahuan

yang komprehensif dan akurat tentang cara kerja dan kapasitas industri.20 Di lain

sisi, terdapat perbedaan pengetahuan antara pemerintah dan pelaku usaha.21

Ketika suatu standar sudah ditetapkan, maka pelaku industri hanya dapat terpaku

terhadap apa-apa yang sudah ditetapkan tanpa bisa menggunakan cara-cara lain

yang lebih efektif dan efisien.22 Hal ini disebabkan pendekatan ini tidak dapat

beradaptasi dengan baik terhadap perkembangan atau perubahan populasi,

teknologi, dan aktivitas ekonomi yang memengaruhi kebutuhan atau kemampuan

pelaku usaha dan perkembangan masalah-masalah lingkungan.23

Kemudian, pendekatan ini tidak memberikan insentif bagi pelaku industri

atau usaha untuk mencapai penaatan di atas standar (beyond minimum standards).24

Melakukan penaatan di atas standar memerlukan biaya tambahan, tidak adanya

insentif terhadap hal tersebut berlawanan dengan tujuan setiap pelaku usaha untuk

memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya. Hal ini mengakibatkan pelaku

usaha beranggapan sepanjang emisi yang dikeluarkan tidak melebihi batas, hal itu

19 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 98.20 Neil Gunningham, Darren Sinclair, dan kontribusi dari Peter Grabosky, “Instrument for

Environmental Protection” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 44.

21 Ibid.22 Pemerintah menentukan secara spesifik teknologi atau performa yang harus digunakan oleh

pelaku usaha, sehingga menghambat pengadopsian teknologi baru.23 Alvin L. Alm, “A Need For New Approaches: Command-and-control is no longer a cure-all,”

EPA Journal 18 (May/June 1992), hlm. 7.24 Ibid., hlm. 45.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 66: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

55

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

sudah dianggap cukup, sehingga tidak perlu lagi mengurangi emisi.25

Kekurangan lainnya ialah pendekatan atur dan awasi sangat birokratis, mahal,

serta rawan manipulasi. Pejabat hanya bisa bertindak dalam ruang lingkup apa-apa

yang sudah diatur, sehingga para pejabat cenderung mengedepankan kepentingan

birokrasi daripada tercapainya perlindungan lingkungan hidup yang baik.26

Mengingat luas dan banyaknya objek yang diawasi, untuk mencapai pengawasan

dan penegakan hukum yang optimal tentu pendekatan ini memerlukan biaya besar.

Terakhir, pendekatan ini juga rawan manipulasi politik.27 Hal ini diindikasikan

dengan ditemukannya peraturan yang dibentuk sebatas untuk mengakomodasi

kepnggaentingan pihak-pihak tertentu dan permasalahan lain yang terkait dengan

penegakan hukum.

b. Instrumen Ekonomi

Instrumen ekonomi lahir dari gagasan yang dikemukakan ahli-ahli ekonomi,

seperti Arthur C. Pigou dan Ronald Coase. Setiap akan mengambil suatu

keputusan, manusia selalu mempertimbangkan potensi untung dan rugi yang

mungkin didapatkannya. Terkait hal ini, Mas Achmad Santosa menyebutkan

bahwa “pihak yang bertanggung jawab atas sebuah kegiatan yang berdampak

penting terhadap lingkungan, secara rasional menghitung terlebih dahulu

sejauh mana melaksanakan penaatan akan mendatangkan keuntungan secara

ekonomis.”28 Hal inilah yang menjadi alasan penerapan instrumen ekonomi

sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Berbeda dengan pendekatan

atur dan awasi yang mengandalkan paksaan, instrumen ekonomi mengandalkan

insentif dan disinsentif.

Instrumen ekonomi berkaitan erat dengan prinsip pencemar membayar (polluter

pays principle).29 Perwujudan prinsip pencemar membayar melalui instrumen

ekonomi dapat dilakukan dalam bentuk pajak lingkungan, sistem jaminan uang

25 Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” hlm. 9.

26 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 105.27 Gunningham, Darren Sinclair, dan kontribusi dari Peter Grabosky, “Instrument for

Environmental Protection,” hlm. 46.28 Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 234.29 Andri Gunawan Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control,

Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” hlm. 9.

Page 67: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

56

(deposit-refund system), dan izin yang dapat diperjualbelikan (tradeable permits).

Selain bentuk-bentuk tersebut, dalam perkembangannya terdapat pula bentuk

insentif pemberian subsidi bagi pelaku usaha untuk melakukan upaya-upaya

ramah lingkungan. Dalam hal ini, instrumen ekonomi juga membutuhkan peran

yang dominan dari pemerintah, mulai dari pengaturan, perizinan (tradeable permits),

penetapan harga (terutama dalam penetapan tax rate), hingga pengawasan.30

Kendati dinilai memberikan dampak positif bagi upaya penaatan hukum

lingkungan, instrumen ekonomi juga memiliki beberapa kelemahan. Instrumen

ekonomi ini seolah memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mencemari

atau merusak lingkungan dengan membayar sejumlah dana.31 Kondisi tersebut

ditambah dengan sulitnya regulator untuk menentukan dengan tepat besaran

dan kegunaan insentif atau disinsentif yang akan didapat oleh pelaku usaha dari

perilakunya terhadap lingkungan. Kemudian, terdapat persoalaan terkait jumlah

pungutan pemerintah. Jika pungutan pemerintah lebih kecil daripada dana yang

harus dikeluarkan pelaku usaha untuk berperilaku ramah lingkungan atau jumlah

dana yang dipungut tidak sebanding dengan kebutuhan dana untuk pemulihan

lingkungan, maka instrumen ini tidak optimal bagi upaya pengendalian

lingkungan. Terakhir, instrumen ekonomi juga membutuhkan peran yang

dominan dari pemerintah, mulai dari pengaturan, perizinan (tradeable permits),

penetapan harga (terutama dalam penetapan tax rate), hingga pengawasan.32 Hal

ini mengakibatkan instrumen ekonomi memiliki kelemahan-kelemahan yang

serupa dengan pendekatan command and control yang bersifat birokratis, mahal,

dan rawan manipulasi.

c. Penaatan Sukarela

Penaatan sukarela merupakan penaatan hukum lingkungan generasi ketiga.

Berbeda dengan dua generasi sebelumnya, penaatan sukarela memberikan pilihan

bagi individu atau pelaku usaha untuk secara sukarela melakukan penaatan hukum

lingkungan. Merujuk pada pendapat Oates dan Baumol sebagaimana dikutip oleh

30 Ibid., hlm. 17.31 Dalam penerapan instrumen tradeable permit, pemerintah memberikan kuota untuk

mencemari lingkungan kepada pelaku usaha.32 Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan

Penaatan Sukarela,” hlm. 17.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 68: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

57

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Andri G. Wibisana, penaatan sukarela didasarkan pada ketiadaan penegakan

hukum, sehingga penaatan menjadi keputusan individual yang bersifat sukarela.33

Pada penaatan sukarela ini, inisiatif pada umumnya berasal dari pemerintah,

namun berbeda dengan penaatan command and control dan penaatan ekonomi,

pada penaatan sukarela peran pemerintah sangat terbatas sebagai pendorong atau

fasilitator.34

Karp dan Gaulding sebagaimana dikutip Naoufel Mzoughi dan Gilles

Grolleau, menyebutkan “sebagai upaya membentuk perilaku manusia, penaatan

sukarela didasarkan adanya etik dan tanggung jawab sosial.”35 Kemudian, Peter

Borkey, Matthieu Glachant, dan Francois Leveque dalam laporannya yang berjudul

Voluntary Approaches for Environmental Policy in OEDC Countries: An Assessment

menyebutkan:

“Voluntary Approaches have been developed by policymakers and industrialists

to provide pragmatic responses to new policy problems, namely the need for more

flexible ways to achieve sustainability, and the need to take into account the rising

concerns about industrial competitiveness and the increasing administrative

burden after three decades of command and control based environmental policy.”36

Dari penjelasan tersebut, dapat diketahui bahwa penerapan pendekatan

penaatan sukarela diharapkan dapat mengurangi peran pemerintah dan mendorong

partisipasi dari aktor-aktor non pemerintah, khususnya pelaku industri. Atas dasar

itu, berbagai hambatan seperti upaya penaatan yang tidak efisien, mahal, dan rawan

manipulasi diharapkan dapat dihindari. Sebaliknya, pelaku usaha diharapkan

dapat mengembangkan inovasi-inovasi untuk pengendalian lingkungan dan

mencapai upaya penaatan yang lebih optimal berdasarkan adanya motivasi diri

sendiri untuk berperilaku ramah lingkungan. Motivasi tersebut diidentifikasi

berasal dari tiga aspek, yakni motivasi etik, motivasi kompetitif, dan motivasi

33 Ibid., hlm. 16-17.34 Ibid., hlm. 18.35 Naoufel Mzoughi dan Gilles Grolleau, “Voluntary Instrument for Environmental Management:

a Critical Review of Definitions,” (makalah disampaikan pada Annual Conference of Canadian Economic Association, Ottawa, 29 Mei-1 Juni 2003), hlm. 5.

36 Peter Borkey, Matthieu Glachant, dan Francois Leveque, “Voluntary Approaches for Environmental Policy in OEDC Countries: An Assessment,” Centre d’economie Industrielle, hlm. 8

Page 69: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

58

relasi.37 Motivasi etik berkaitan dengan tanggung jawab lingkungan (ekologi) yang

dibebankan kepada pelaku usaha, motivasi kompetitif muncul atas kepentingan

untuk memperoleh keuntungan dengan praktik-praktik yang berkelanjutan, dan

motivasi relasi bertujuan untuk mencapai legitimasi dan hubungan yang lebih

baik dengan para pemangku kepentingan.38

Dalam pelaksanaannya, diketahui bahwa nilai etik dan tanggung jawab sosial

sebagai dasar pendekatan penaatan sukarela tidak cukup untuk memastikan

pelaku industri untuk berperilaku ramah lingkungan. Dalam hal ini dibutuhkan

faktor-faktor eksternal lain, seperti dorongan masyarakat untuk berperilaku ramah

lingkungan. Menurut Dirk Schmelzer dalam buku yang ditulis oleh Al Iannuzzi

yang berjudul Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance

disebutkan “companies want to be recognized as socially responsible by customers,

employees, and neighbors.”39 Dalam hal ini, pelaku usaha secara sukarela melakukan

upaya penaatan demi memperoleh reputasi yang baik. Pada kondisi tertentu,

pelaku usaha secara sukarela melakukan penaatan atau bergabung dengan

program-program sukarela atas adanya opsi penaatan yang lebih fleksibel. Terkait

hal ini Robert Gibson berpendapat:

“If firms can pick the methods that best fit their operations, they will incur fewer

expenses and will implement the programs more quickly. The cost savings that

result from preventing pollution are also a motivating factor in proactively

eliminating pollution.”40

Sebagai contoh, pada program sertifikasi ISO-14001 yang berisikan standar-

standar sistem manajemen lingkungan, tidak ada kewajiban bagi perusahaan atau

institusi untuk mendapatkan sertifikat ISO-14001. Perusahaan atau institusi secara

sukarela berupaya untuk mendapatkan sertifikat ISO-14001 berdasarkan adanya

kepentingan untuk meningkatkan reputasi atau nilai dagang perusahaan atau

institusi yang bersangkutan. Demi mendapatkan kepercayaan masyarakat, pada

37 Javier Gonzalez dan Oscar Gonzalez, “An Analysis of the Relationship Between Environmental Motivations and ISO14001 Certification,” British Journal of Management 16 (Juni 2005), hlm. 136.

38 Ibid.39 Alphonse Iannuzzi, Jr., Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance,

(Washington DC: Lewis Publishers, 2002), hlm. 13-14.40 Ibid., hlm. 14.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 70: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

59

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

umumnya standar-standar yang diterapkan lebih berat daripada standar yang

ditentukan pemerintah (peraturan perundang-undangan).41 Selain itu, menerapkan

standar ISO-14001 dianggap dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi kinerja

manajemen lingkungan perusahaan. Contoh-contoh lain dari penerapan penaatan

sukarela ialah audit lingkungan sukarela dan perjanjian sukarela.

Sama seperti dua pendekatan sebelumnya, penaatan sukarela juga memiliki

kelemahan-kelemahan, di antaranya kurangnya transparansi, tidak jelasnya

insentif bagi pelaku usaha atau kegiatan, kurangnya kepercayaan publik, maupun

kemungkinan adanya persoalan free-rider atau regulatory capture.42 Agar persoalan

tersebut dapat diselesaikan, Organisation for Economic Co-operation and Development

(OECD) sebagaimana dikutip Andri G. Wibisana menyebutkan bahwa terdapat

beberapa hal yang harus diperhatikan, yaitu target yang jelas dan transparan,

adanya patokan yang dijadikan ukuran untuk membandingkan dengan target

yang ingin dicapai, adanya insentif atau disinsentif yang kredibel dari pemerintah,

adanya pengawasan yang kredibel, partisipasi pihak ketiga pada saat penentuan

target dan monitoring pelaksanaan, adanya ancaman sanksi bagi kegagalan

mencapai target, adanya ketentuan terkait penyediaan informasi, dan adanya

upaya untuk memastikan bahwa penaatan sukarela tidak memiliki efek persaingan

usaha yang tidak sehat.43

III. Sertifikasi Lingkungan sebagai Instrumen Penaatan Hukum

Lingkungan Sukarela

Dalam perkembangannya, salah satu instrumen yang diterapkan untuk

mencapai penaatan hukum lingkungan ialah instrumen sertifikasi. Instrumen

sertifikasi dipilih untuk mendorong kesukarelaan pelaku usaha agar berupaya

mencapai penaatan hukum lingkungan.

41 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 109.42 Free-rider atau regulatory capture sebagaimana dimaksud mengacu pada situasi yang mana

pemerintah tidak bekerja maksimal atau tidak memiliki kinerja. Terkait hal ini dapat pula terjadi dalam situasi pemerintah yang seyogyanya melindungi kepentingan masyarakat, justru didominasi oleh kepentingan industri (objek yang diatur).

43 Andri Gunawan Wibisana, “Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control, Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela,” hlm. 18-19.

Page 71: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

60

Ditinjau dari definisi dan fungsinyanya, sertifikasi merupakan terjemahan dari

kata certification. International Organization for Standardization (ISO) mendefinisikan

sertifikasi sebagai “the provision by an independent body of written assurance (a certificate)

that the product, service or system in question meets specific requirements.”44 Terkait

dengan fungsinya, sertifikasi dapat bermanfaat untuk menambah kredibilitas

suatu produk atau jasa dengan menunjukkan bahwa produk atau jasa tersebut

memenuhi harapan konsumen dengan memenuhi standar-standar tertentu.45

Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan,

sertifikasi lingkungan (environmental certification) pada umumnya merupakan

bentuk regulasi yang mendorong perusahaan untuk secara sukarela berperilaku

ramah lingkungan dengan memenuhi standar-standar tertentu demi menunjukkan

kepada konsumen bahwa kegiatan usahanya telah dilakukan secara berkelanjutan.

Sertifikasi lingkungan berkaitan erat dengan sistem label ramah lingkungan yang

dikenal dengan istilah eco-labelling. Bagi pelaku usaha yang memperoleh sertifikat

lingkungan, maka ia dapat menggunakan label ramah lingkungan yang disediakan

oleh penyelenggara sertifikasi pada produknya.

Motivasi pelaku usaha untuk memperoleh sertifikat lingkungan sebagaimana

sudah disinggung sebelumnya dapat diidentifikasi ke dalam tiga aspek, yakni

motivasi etik, motivasi kompetitif, dan motivasi relasi.46 Motivasi etik berkaitan

dengan tanggung jawab lingkungan (ekologi) yang dibebankan kepada pelaku

usaha, motivasi kompetitif muncul atas kepentingan untuk memperoleh

keuntungan dengan praktik-praktik yang berkelanjutan, dan motivasi relasi

bertujuan untuk mencapai legitimasi dan hubungan yang lebih baik dengan para

pemangku kepentingan.47

Salah satu fungsi utama sertifikasi ialah meningkatkan nilai dagang suatu

kegiatan, produk atau jasa suatu perusahaan atau institusi. Demi mendapatkan

kepercayaan dari masyarakat, maka standar-standar yang dimuat pada umumnya

44 International Organization for Standardization, “Certification and Conformity Certification,” https://www.iso.org/certification.html, diakses tanggal 12 April 2017.

45 Ibid.46 Javier Gonzalez dan Oscar Gonzalez, “An Analysis of the Relationship Between Environmental

Motivations and ISO14001 Certification,” British Journal of Management 16 (Juni 2005), hlm. 136.

47 Ibid.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 72: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

61

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

lebih tinggi dari standar-standar yang ditentukan peraturan perundang-undangan

(beyond compliance).48 Pada kondisi inilah sistem sertifikasi dapat optimal dalam

meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap kegiatan, produk, atau jasa yang

dilakukan oleh perusahaan atau institusi. Selain itu, pembentukan standar di

atas peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk menghindari kombinasi

instrumen yang duplikatif, sehingga tidak menjadi kontra produktif.49

Terakhir, sistem sertifikasi lingkungan sangat mengandalkan peran aktif

aktor-aktor non pemerintah. Inisiatif untuk melakukan penaatan dilakukan atas

dasar kesukarelaan setiap perusahaan atau institusi. Kemudian, proses sertifikasi

atas suatu produk atau jasa juga selalu dilakukan oleh pihak ketiga, yakni lembaga

sertifikasi yang bersifat independen.50 Lembaga sertifikasi ini akan menilai apakah

suatu produk atau jasa sudah memenuhi standar atau belum. Jika suatu produk atau

jasa sudah memenuhi seluruh standar yang ditentukan, maka lembaga sertifikasi

akan menerbitkan sertifikat bagi produk atau jasa tersebut. Lembaga sertifikasi ini

pula yang akan mengawasi produk atau jasa yang telah mendapatkan sertifikat.

Hal ini dapat mengurangi dominasi peran pemerintah sebagaimana yang ada

pada pendekatan atur dan awasi dan instrumen ekonomi.

IV. Sertifikasi sebagai Upaya Mewujudkan Industri Minyak Kelapa Sawit

Berkelanjutan

Kampanye dan boikot konsumen yang terjadi di Perancis sebagaimana

diuraikan dalam bagian Pendahuluan seyogyanya tidak ditanggapi dengan serta

merta menghentikan produksi minyak kelapa sawit. Menghentikan produksi

minyak kelapa sawit dan menggantinya dengan dengan minyak nabati lain justru

akan menimbulkan dampak negatif yang lebih luas. Sebagai contoh, mengganti

minyak kelapa sawit dengan minyak nabati lain, seperti minyak kedelai, rapeseed,

48 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 109.49 Dalam hal ini yang dimaksud dengan kombinasi instrumen yang duplikatif ialah kombinasi

instrumen command and control yang menggunakan standar peraturan perundang-undangan dan instrumen sertifikasi sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela. Lihat Neil Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 432-434.

50 Cora Dankers, Environmental and Social Standards, Certification and Labelling for Cash Crops, (Roma: Food and Agriculture Organization of the United Nations, 2003), hlm. 8.

Page 73: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

62

dan bunga matahari akan meningkatkan kebutuhan penggunaan lahan. Hal

ini disebabkan rendahnya produktivitas tanaman-tanaman minyak nabati lain

dibandingkan kelapa sawit. Sebagai contoh, 110 juta hektar tanaman kedelai hanya

menghasilkan minyak sejumlah 47 juta ton, sedangkan 19 juta hektar area tanaman

kelapa sawit mampu menghasilkan minyak sejumlah 62 juta ton.51 Kemudian,

menghentikan konsumsi minyak kelapa sawit berarti menghentikan perkembangan

industri produksi kelapa sawit. Industri produksi kelapa sawit memberikan

banyak manfaat ekonomi bagi berbagai pihak. Jika industri produksi kelapa sawit

dihentikan, maka akan ada jutaan rakyat yang akan kehilangan pekerjaan. Selain

itu, negara produsen minyak kelapa sawit juga akan merugi dengan hilangnya

devisa negara yang seyogiyanya dapat diperoleh dari ekspor minyak kelapa sawit.

Menurut data yang diperoleh dari Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian

Pertanian Repubik Indonesia, rata-rata nilai ekspor minyak kelapa sawit Indonesia

dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan.52 Pada tahun 2016, nilai ekspor

minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil) mencapai 14.7 miliar US$.53

Berdasarkan kondisi ini, dibutuhkan instrumen yang dapat mendorong

penyelenggaraan produksi minyak kelapa sawit berkelanjutan, sehingga dapat

menjawab atau menangkis kampanye-kampanye negatif terhadap produk minyak

kelapa sawit. Terkait hal ini, sistem sertifikasi minyak kelapa sawit dianggap

menjadi solusi yang paling tepat. Sertifikasi minyak kelapa sawit diharapkan dapat

mendorong para pelaku industri minyak kelapa sawit untuk menerapkan prinsip

dan kriteria minyak kelapa sawit berkelanjutan dalam setiap aktivitas industrinya.

Bagi pelaku industri yang telah memenuhi prinsip dan kriteria minyak kelapa

sawit berkelanjutan, maka akan mendapatkan sertifikat. Pemilikan sertifikat

tersebut menjadi simbol atau bukti bahwa produksi minyak kelapa sawit telah

dilakukan secara berkelanjutan. Hal ini yang diyakini dapat meningkatkan nilai

dagang produk tersebut, membuka akses produk ke pasar yang lebih luas, dan

menangkis kampanye negatif terhadap produksi minyak kelapa sawit. Dalam hal

ini, konsumen dan berbagai organisasi lingkungan dan sosial memandang bahwa

51 Bungaran Saragih, Mitos versus Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global, hlm. 11.

52 Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Statistik Perkebunan Indonesia 2015-2017, (Jakarta: Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015), hlm. 5.

53 Ibid.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 74: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

63

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

produsen minyak kelapa sawit telah memenuhi tanggung jawab lingkungan dan

sosialnya.

Sertifikasi RSPO merupakan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit

berkelanjutan yang bersifat global dan pertama kali diterapkan. Pembentukan RSPO

berawal pada tahun 2001 ketika World Wildlife Fund for Nature (WWF) berupaya

untuk membentuk wadah yang dapat mempertemukan berbagai pemangku

kepentingan di industri minyak kelapa sawit.54 Para pemangku kepentingan

tersebut meliputi produsen minyak kelapa sawit, pengolah atau penjual minyak

kelapa sawit, produsen barang untuk konsumen (manufaktur), pedagang, bank dan

investor, LSM di bidang lingkungan, dan LSM di bidang sosial. Setelah terbentuk,

pada tahun 2007 RSPO meluncurkan instrumen sertifikasi RSPO. Sertifikasi RSPO

ini bersifat sukarela, sehingga tidak ada paksaan bagi pelaku industri untuk

memperoleh sertifikat RSPO. Pelaku industri yang mendapatkan sertifikat RSPO

dapat menggunakan merek dagang atau logo RSPO pada produknya. Penggunaan

logo ini menjadi simbol bahwa produksi minyak kelapa sawit telah dilakukan

secara berkelanjutan. Hal ini diyakini dapat meningkatkan kredibilitas produk

minyak kelapa sawit di mata konsumen. Sertifikasi RSPO juga dianggap dapat

membuka akses minyak kelapa sawit ke pasar internasional.

Pada tahun 2011 Pemerintah Indonesia meluncurkan sistem sertifikasi

minyak kelapa sawit berkelanjutan nasional yang diberi nama Sertifikasi ISPO.

Pembentukan Sertifikasi ISPO merupakan bagian dari pelaksanaan kewajiban

Pemerintah Indonesia untuk memelihara lingkungan, meningkatkan kegiatan

ekonomi, sosial, dan penegakan peraturan perundang-undangan Indonesia

di bidang perkelapa-sawitan.55 Selain itu, Sertifikasi ISPO dianggap lebih

mencerminkan kepentingan nasional.56

54 Roundtable on Sustainable Palm Oil, “About Us,” http://www.rspo.org/about, diakses tanggal 27 Maret 2017.

55 Indonesia, Menteri Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System / ISPO), Nomor PM 11 Tahun 2015, lampiran I, hlm. 9.

56 Ica Wulansari dan Ridzki R. Sigit, “Sawit Berkelanjutan: Antara Mencari Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan,” http://www.mongabay.co.id/2016/03/18/sawit-berkelanjutan-standard-sertifikasi-dan-desakan-perubahan/, diakses tanggal 6 Juli 2017.

Page 75: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

64

Kepesertaan Sertifikasi ISPO bersifat wajib bagi perusahaan perkebunan dan

bersifat sukarela bagi pekebun kelapa sawit.57 Penerapan kepesertaan Sertifikasi

ISPO secara sukarela bagi pekebun kelapa sawit swadaya didasarkan masih

terbatasnya kemampuan sebagian pelaku industri kelapa sawit Indonesia untuk

memenuhi prinsip dan kriteria ISPO. Pada tahun 2020, Kementerian Pertanian

menargetkan sistem sertifikasi ini dapat diterapkan secara wajib bagi seluruh

pelaku industri kelapa sawit di Indonesia.58 Sistem sertifikasi ISPO merujuk

pada prinsip dan kriteria ISPO yang disusun berdasarkan peraturan perundang-

undangan Indonesia.

Pada tahun 2015, Pemerintah Malaysia juga secara resmi meluncurkan Sertifikasi

MSPO. Sertifikasi MSPO ini diimplementasikan dan dikelola oleh Malaysian Palm

Oil Certification Council (MPOCC).59 Sertifikasi MSPO ini merupakan upaya untuk

memastikan bahwa minyak produksi kelapa sawit Malaysia telah diproduksi

secara berkelanjutan berdasarkan standar MSPO. Pada awal pembentukannya,

kepesertaan Sertifikasi MSPO bersifat sukarela, namun Pemerintah Malaysia

telah mengumumkan bahwa Sertifikasi MSPO akan diterapkan secara wajib.

Periode pemenuhan kewajiban untuk mendapat Sertifikat MSPO adalah paling

lama tanggal 31 Desember 2018 bagi seluruh perusahaan minyak kelapa sawit di

Malaysia yang telah memiliki Sertifikat RSPO dan paling lama tanggal 30 Juni 2019

bagi perusahaan yang tidak memiliki sertifikat RSPO.60 Bagi pekebun kelapa sawit

skala kecil diberi tenggat waktu hingga tanggal 31 Desember 2019.61

Dari penjabaran tersebut, dapat diketahui bahwa Sertifikasi ISPO dan MSPO

dirancang sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan yang kepesertaannya

bersifat wajib. Hal ini menjadikan Sertifikasi ISPO dan MSPO memiliki karakter

57 Indonesia, Menteri Pertanian, Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System / ISPO), Nomor PM 11 Tahun 2015, Ps. 2.

58 Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia, “Siaran Pers: Pemerintah Siapkan Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan,” http://www.ekon.go.id/press/view/siaran-pers-pemerintah.2490.html, diakses tanggal 1 Mei 2017.

59 Sanath Kumaran dan Harnarinder Singh, “Oil Palm Sustainability Standards in Malaysia and Peat Land Management,” (makalah disampaikan pada International Peat Congress ke-15, Sarawak, 15-19 Agustus 2016), hlm. 2.

60 Malaysian Palm Oil Council, “Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) to Be Made Mandatory by 2019,” http://www.mpoc.org.in/2017/03/30/malaysian-sustainable-palm-oil-mspo-to-be-made-mandatory-by-2019/, diakses tanggal 8 Mei 2017.

61 Ibid.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 76: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

65

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

penaatan hukum lingkungan atur dan awasi. Hal inilah yang berpotensi

menghambat Sertifikasi ISPO dan MSPO untuk mencapai upaya penaatan hukum

lingkungan yang optimal. Untuk itu, sistem sertifikasi minyak kelapa sawit

seyogyanya dibentuk sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela. Hal

ini bertujuan agar upaya penaatan hukum lingkungan melalui sertifikasi minyak

kelapa sawit dapat menyerasikan hubungan pemerintah atau penyelenggara

sistem sertifikasi dengan pelaku industri.

Terkait hal tersebut, pemerintah tidak lagi berperan dominan dengan

mengandalkan paksaan yang disertai ancaman sanksi, namun mengandalkan

partisipasi sukarela pelaku industri atas motivasi motivasi etik, motivasi kompetitif,

dan motivasi relasi sebagaimana disinggung sebelumnnya. Hal ini diharapkan

dapat mengatasi kelemahan utama pendekatan atur dan awasi yang menurut

Prof. Otto Soemarwoto berlawanan dengan egoisme yang berakar di dalam diri

manusia.62 Sertifikasi minyak kelapa sawit yang diterapkan sebagai instrumen

sukarela diharapkan dapat mengurangi pola hubungan pemerintah versus pelaku

industri, mengingat telah banyaknya instrumen atur dan awasi yang diterapkan

bagi pelaku industri minyak kelapa sawit. Apabila pola hubungan ini dapat

tercapai, diharapkan partisipasi pelaku industri minyak kelapa sawit terhadap

sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan dapat meningkat.63

Kemudian, salah satu fungsi utama sertifikasi ialah meningkatkan nilai

dagang suatu kegiatan, produk atau jasa suatu perusahaan atau institusi. Sertifikasi

menjadi petunjuk bahwa suatu produk atau jasa telah memenuhi standar-standar

tertentu sebagai upaya melindungi lingkungan. Demi mendapatkan kepercayaan

dari masyarakat, maka standar-standar yang dimuat pada umumnya lebih

62 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 98.63 Tingkat partisipasi dalam sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan masih rendah.

Hingga bulan Juni tahun 2015, baru 96 perusahaan perkebunan yang mendapat sertifikat ISPO dengan luas area perkebunan 756.743 hektar dan total produksi minyak kelapa sawit mentah sebesar 3,85 juta ton. Lihat: Rosediana Suharto, dkk. Studi Bersama Persamaan dan Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO, [Jakarta: s.n., 2015], hlm. 15. Jumlah tersebut masih jauh dibandingkan luas lahan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang mencapai 11 juta hektar dengan total produksi minyak kelapa sawit mentah mencapai 30 juta ton (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015). Hingga bulan Maret tahun 2017 total lahan perkebunan yang bersertifikat MSPO baru mencapai 245.599 hektar. Jumlah tersebut masih cukup jauh dari total luas area perkebunan kelapa sawit Malaysia yang hingga tahun 2016 telah mencapai 5,74 juta hektar. Lihat: Malaysian Palm Oil Board, “Area Summary,” http://bepi.mpob.gov.my/images/area/2016/Area_summary.pdf, diakses tanggal 8 Mei 2017.

Page 77: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

66

tinggi dari standar-standar yang ditentukan peraturan perundang-undangan

(beyond compliance).64 Pada kondisi inilah sistem sertifikasi dapat optimal dalam

meningkatkan kepercayaan konsumen terhadap kegiatan, produk, atau jasa yang

dilakukan oleh perusahaan atau institusi. Selain itu, pembentukan standar di

atas peraturan perundang-undangan dibutuhkan untuk menghindari kombinasi

instrumen yang duplikatif, sehingga menjadi kontra produktif.65 Hal-hal tersebut

yang diperlukan agar sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan dapat optimal

sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan.

Kendati demikian, sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan yang

dibentuk sebagai instrumen sukarela, seperti Sertifikasi RSPO juga belum optimal

sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan. Sebagai contoh, terdapat

persoalan terkait tingkat partisipasi peserta Sertifikasi RSPO yang masih rendah.

Hingga bulan Maret tahun 2017, luas lahan perkebunan yang bersertifikat RSPO

baru mencapai 2,5 juta Ha.66 Luas lahan tersebut bahkan hanya mencapai sekitar

22% luas lahan kelapa sawit yang ada di Indonesia.

Terkait hal ini, diperlukan suatu strategi dari pemerintah atau regulator

untuk mengoptimalkan sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai

instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela, sekaligus memastikan

tercapainya perlindungan lingkungan dalam kaitannya dengan aktivitas industri

minyak kelapa sawit. Pemerintah atau regulator dapat menerapkan konsep

regulasi responsif yang dikemukakan oleh Ian Ayres dan John Braithwaite. Contoh

penerapan konsep regulasi responsif tersebut dapat tergambar melalui piramida

strategi regulasi67 dan piramida penegakan hukum68 sebagai berikut:

64 Soemarwoto, Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan Lingkungan Hidup, hlm. 109.65 Dalam hal ini yang dimaksud dengan kombinasi instrumen yang duplikatif ialah kombinasi

instrumen command and control yang menggunakan standar peraturan perundang-undangan dan instrumen sertifikasi sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela. Lihat Neil Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 432-434.

66 Roundtable on Sustainable Palm Oil, “Certified Growers,” http://www.rspo.org/certification/certified-growers, diakses tanggal 8 Mei 2017

67 Ian Ayres dan John Braithwaite, Responsive Regulation Transcending the Deregulation Debate, (New York: Oxford University Press, 1992), hlm. 39.

68 Ibid., hlm. 35.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 78: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

67

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Gambar 4.1 Piramida Strategi Regulasi; Gambar 4.2 Piramida Penegakan Hukum

Secara sederhana, piramida tersebut menggambarkan hierarki strategi

regulasi dan respon sanksi dari pemerintah terhadap pelaku industri atau individu

berdasarkan perilakunya. Pada bagian dasar piramida, pemerintah membuka

ruang bagi pelaku industri untuk mengatur dirinya sendiri. Pada tahap ini tidak

ada paksaan dan sanksi. Pemerintah sekedar membujuk atau mengajak pelaku

industri untuk bekerja sama. Selain itu, pemerintah juga telah menetapkan kondisi

atau target pencapaian tertentu yang biasanya dituangkan dalam perizinan atau

perjanjian.69 Apabila ekspektasi pemerintah tidak terpenuhi atau pelaku industri

tidak melakukan penaatan sesuai batas standar yang ditetapkan pemerintah

(peraturan perundang-undangan), maka pemerintah akan merespon ketidaktaatan

tersebut dengan regulasi dan sanksi pada tingkatan yang lebih tinggi.

Regulasi dan sanksi pada tiap tingkatan di dua piramida tersebut tidak

kaku. Ian Ayres dan John Braithwaite menyebutkan bahwa “this is (the Pyramid

of Regulatory Strategies) just one example of the particular strategies that might be

installed at different layers of the strategy pyramid [kalimat bercetak tebal merupakan

tambahan dari penulis].”70 Begitu juga halnya dengan jenis sanksi pada piramida

penegakan hukum yang mana jenis sanksinya dapat beragam tergantung lingkup

wilayah pengaturan.71 Dalam kaitannya dengan pelaksanaan sistem sertifikasi

 

69 Mas Achmad Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, (Jakarta: ICEL, 2001), hlm. 260.70 Ayres dan John Braithwaite, Responsive Regulation Transcending the Deregulation Debate, hlm. 38.71 Ibid., hlm. 36.

Page 79: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

68

minyak kelapa sawit berkelanjutan, maka penerapan konsep regulasi responsif

dapat tergambar melalui piramida berikut:

Gambar 4.3 Piramida Penegakan Hukum Berdasar Konsep Regulasi Responsif dalam Pelaksanaan Sistem Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan

Pada dasar piramida, pemerintah menyelenggarakan sertifikasi minyak

kelapa sawit berkelanjutan yang kepesertaannya bersifat sukarela. Dalam hal

ini, pemerintah memberi ruang kepada pelaku industri minyak kelapa sawit

untuk secara sukarela mencapai penaatan dengan memenuhi seluruh prinsip

dan kriteria sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan. Pada tahap ini,

pemerintah mendorong partisipasi pelaku industri dengan pendekatan persuasif,

misalnya dengan mengajak pelaku industri terlibat dalam pembentukan prinsip

dan standar sertifikasi dan pengembangan sistem sertifikasi. Kendati demikian,

pemerintah telah terlebih dahulu memiliki standar yang tidak boleh dilewati atau

dilanggar oleh pelaku industri, agar upaya perlindungan lingkungan dan sosial

tetap terjamin. Standar tersebut merupakan standar yang ditentukan peraturan

perundang-undangan yang biasanya berbentuk instrumen perizinan.

Sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan yang kepesertaannya

sukarela, prinsip dan kriteria sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan

haruslah dibentuk lebih kuat atau di atas standar peraturan perundang-undangan

(beyond compliance). Jika prinsip dan kriteria yang digunakan sama dengan standar

yang ditentukan peraturan perundang-undangan, maka akan terdapat dua

instrumen yang duplikatif, sehingga upaya penaatan hukum lingkungan menjadi

 

Pendekatan Command & Control

Instrumen Ekonomi Sertifikasi Minyak Kelapa Sawit Berkelanjutan sebagai Instrumen

Penaatan Sukarela

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 80: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

69

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

kontra produktif.72

Pada tingkatan selanjutnya, pemerintah berupaya untuk mendorong partisipasi

pelaku industri untuk memenuhi prinsip dan kriteria sistem sertifikasi dengan

menyediakan insentif-insentif. Insentif tersebut dapat berupa bantuan dana atau

finansial bagi pelaku industri untuk membantu pelaku industri memenuhi prinsip

dan kriteria sistem sertifikasi yang sudah ditetapkan. Merujuk pada contoh-contoh

yang diberikan oleh Al Iannuzzi, insentif juga dapat berupa mitigasi hukuman

(penalty mitigation), prioritas pengawasan yang rendah (lowest inspection priority),

dan pengakuan (recognition) sebagai a star company.73 Jika pelaku industri tetap

tidak berpartisipasi dalam sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan

dan justru berperilaku tidak taat dengan melanggar standar yang ditentukan

peraturan perundang-undangan, maka pemerintah akan merespon dengan sanksi

yang lebih berat, yakni denda administratif (civil penalty). Jika kemudian masih

terdapat ketidaktaatan, baru pemerintah akan meresponnya dengan sanksi pidana.

Terakhir, pemerintah akan merespon dengan sanksi berupa penundaan izin usaha

dan pencabutan izin usaha. Mas Achmad Santosa menyebut “penundaan dan

pencabutan izin usaha merupakan tindakan pamungkas mengingat implikasi

ekonomi seperti implikasi terhadap nasib para pekerja dan implikasi terhadap

perekonomian daerah dan nasional pada umumnya.”74

Kendati demikian, adanya hierarki instrumen command and control dalam

piramida penegakan hukum berupa sanksi pidana, denda administratif,

penangguhan sementara, hingga pencabutan izin seyogyanya tidak dipandang

hierarkis secara mutlak karena masing-masingnya memiliki karakter dan fungsi

yang berbeda. Penerapan salah satu instrument tidak menyebabkan instrumen

lain menjadi gugur. Sebagai contoh, ketika pelaku usaha dikenakan sanksi pidana,

maka terhadap pelaku usaha tersebut juga masih dapat dicabut izinnya.

Namun, penerapan konsep regulasi responsif seperti yang tergambar pada

piramida strategi regulasi dan piramida penegakan hukum tersebut masih sangat

72 Lihat Neil Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” dalam Smart Regulation Designing Environmental Policy, (Oxford: Oxford University Press, 2004), hlm. 432-434.

73 Alphonse Iannuzzi, Jr., Industry Self-Regulation and Voluntary Environmental Compliance, hlm. 168-170.

74 Santosa, Good Governance & Hukum Lingkungan, hlm. 261

Page 81: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

70

terkonsentrasi pada hubungan dan interaksi antara pemerintah atau regulator

dan pelaku industri.75 Untuk mengoptimalkan penyelenggaraan sistem sertifikasi

minyak kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen sukarela, sertifikasi minyak

kelapa sawit berkelanjutan perlu didukung oleh peran aktif pihak ketiga. Terlebih,

penyelenggaraan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan dilakukan

untuk mendorong pelaku industri untuk mencapai penaatan di atas standar

peraturan perundang-undangan (beyond compliance).

Mas Achmad Santosa menyebutkan “untuk mendorong dunia usaha

memiliki proaktivisme lingkungan dengan pendekatan beyond compliance, sangat

dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dalam wujud tekanan (pressure).”76

Dalam hal ini:

“Paling tidak terdapat 6 (enam) jenis pressure yang memacu dunia usaha

melakukan aktivitas beyond compliance: (1) Tekanan pemerintah dengan piranti

penegakan hukum lingkungannya (melalui pendekatan command & control), (2)

tekanan konsumen, (3) tekanan masyarakat, (4) tekanan pemegang saham, (5)

tekanan dari pengecer dan pemasok (retailer dan supplier), dan (6) tekanan dari

komunitas keuangan (financial community).”77

Sebagaimana diketahui, konsumen merupakan elemen terpenting bagi pelaku

industri. Jika pelaku industri kehilangan konsumennya, maka keberlanjutan

kegiatan usahanya akan terancam. Terkait hal ini, konsumen hanya akan

mengonsumsi produk-produk yang diproduksi secara berkelanjutan. Tekanan

bagi pelaku industri agar mencapai upaya penaatan beyond compliance juga dapat

berasal dari elemen-elemen masyarakat, seperti LSM di bidang lingkungan dan

sosial, serta komunitas-komunitas lokal.

Kemudian, diperlukan pula tekanan dari pemegang saham untuk mendorong

perilaku ramah lingkungan oleh pelaku industri dengan menciptakan eco

investing atau green invesment. Green investing mengindikasikan adanya investasi

yang dilakukan dengan mempertimbangkan aspek lingkungan. Dalam hal

ini, hal yang ingin dicapai dari green investing ialah meningkatkan kekayaan

75 Gunningham dan Darren Sinclair, “Designing Environmental Policy,” hlm. 397.76 Ibid., hlm. 259.77 Ibid.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 82: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

71

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

pribadi sembari menghindari kerugian bagi orang dan lingkungan.78 Terkait

penyelenggaraan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan, investor

hanya akan menginvestasikan uangnya pada perusahaan-perusahaan kelapa

sawit yang tersertifikasi dan terbukti memiliki kinerja atau manajemen lingkungan

terbaik. Terakhir, untuk menjamin bahwa produk yang dikonsumsi benar-benar

berkelanjutan diperlukan juga tekanan dari pengecer dan pemasok. Hal ini untuk

memastikan bahwa produk minyak kelapa sawit diproduksi secara berkelanjutan

dari hulu hingga hilir industri kelapa sawit.

V. Kesimpulan dan Saran

Sertifikasi lingkungan merupakan instrumen penaatan hukum lingkungan

sukarela. Sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela, sertifikasi

lingkungan mengandalkan kesukarelaan pelaku industri untuk mencapai

penaatan di atas standar peraturan perundang-undangan (beyond compliance) atas

motivasi etik yang berkaitan dengan adanya tanggung jawab lingkungan pelaku

usaha, motivasi kompetitif yang muncul atas kepentingan pelaku usaha untuk

memperoleh keuntungan dengan menerapkan praktik-praktik berkelanjutan, dan

motivasi relasi yang bertujuan untuk mencapai legitimasi dan hubungan yang

lebih baik dengan para pemangku kepentingan.

Pembentukan Sertifikasi ISPO dan MSPO sebagai instrumen penaatan hukum

lingkungan belum optimal karena Sertifikasi ISPO dan MSPO dirancang sebagai

instrumen dengan karakter atur dan awasi. Hal ini membuat Sertifikasi ISPO

dan MSPO menjadi duplikatif dengan instrumen-instrumen command and control

lain yang sudah ada, sehingga penerapan instrumen sertifikasi tersebut justru

menjadi kontra produktif. Kendati demikian, Sertifikasi RSPO yang dibentuk

sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan sukarela juga belum mampu

mengoptimalkan upaya penaatan hukum lingkungan di sektor industri minyak

kelapa sawit. Hal ini disebabkan tidak adanya daya paksa dan kekosongan peran

pemerintah dalam pengawasan dan pemberian insentif atas perilaku pelaku

industri minyak kelapa sawit.

78 Rebecca Silver dan Kristin Underwood, “How to Go Green: Investing,” https://www.tree-hugger.com/htgg/how-to-go-green-investing.html, diakses tanggal 12 Juni 2017.

Page 83: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

72

Untuk itu, Pemerintah Indonesia dan Malaysia sebagai dua negara produsen

minyak kelapa sawit terbesar seyogiyanya memperbaiki sertifikasi minyak

kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan

sukarela. Dalam hal ini, sertifikasi yang dibentuk wajib memperhatikan aspek-

aspek keserasian hubungan pemerintah dan pelaku industri, partisipasi publik

dan keterbukaan informasi yang memadai, prinsip dan kriteria sertifikasi yang

mendorong penaatan di atas standar peraturan perundang-undangan (beyond

compliance), kekuatan mengikat dan sanksi yang relevan, dan insentif untuk

mendorong partisipasi pelaku usaha agar memperoleh sertifikat minyak kelapa

sawit berkelanjutan.

Sebagai upaya untuk mengatasi kelemahan-kelemahan sertifikasi minyak

kelapa sawit berkelanjutan sebagai instrumen penaatan hukum lingkungan

sukarela, sertifikasi minyak kelapa sawit berkelanjutan perlu didukung atau

dikaitkan dengan pendekatan command and control dan instrumen ekonomi.

Kemudian, agar penyelenggaraan sistem sertifikasi minyak kelapa sawit

berkelanjutan tersebut dapat lebih optimal dibutuhkan pula tekanan-tekanan dari

pihak-pihak ketiga yang terdiri dari konsumen, masyarakat, pemegang saham,

pengecer dan pemasok, dan komunitas keuangan.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 84: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

73

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Daftar Pustaka

Achmad Santosa, Mas. (2001). Good Governance & Hukum Lingkungan. Jakarta:

ICEL.

Alm, Alvin L. (1992). A Need For New Approaches: Command-and-control is no

longer a cure-all. EPA Journal, 18, 7-11.

Ayres, Ian dan John Braithwaite. (1992). Responsive Regulation Transcending the

Deregulation Debate. New York: Oxford University Press.

Borkey, Peter, Matthieu Glachant, dan Francois Leveque. Voluntary Approaches for

Environmental Policy in OEDC Countries: An Assessment. Centre d’economie

Industrielle.

Chandra, Ardan Adhi. (2016). Petani Sawit Bisa Dapat Bantuan Rp 25 Juta/Hektar,

Ini Syaratnya. Accessed on July 8, 2017 from https://finance.detik.com/

industri/3190634/petani-sawit-bisa-dapat-bantuan-rp-25-jutahektar-ini-

syaratnya.

Ching, Ooi Tee. (2017). Gov’t Assures Implementation of MSPO Certification

Practical, Financial Aid for Smallholders. Accessed on July 8, 2017 from https://

www.nst.com.my/news/2017/02/215108/govt-assures-implementation-

mspo-certification-practical-financial-aid.

Dankers, Cora. (2003). Environmental and Social Standards, Certification and

Labelling for Cash Crops. Roma: Food and Agriculture Organization of the

United Nations.

Forest Watch Indonesia. (2017). Enam Tahun ISPO Kajian Terkait Penguatan

Instrumen ISPO dalam Merespon Dampak-dampak Negatif Seperti

Deforestasi, Kerusakan Ekosistem Gambut, Kebakaran Hutan dan Lahan,

serta Konflik Tenurial. Bogor: Forest Watch Indonesia.

Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia. (2017). Industri Minyak Sawit

Indonesia Merupakan Industri Strategis Nasional. Accessed on March 31, 2017

from https://gapki.id/industri-minyak-sawit-merupakan-industri-strategis-

nasional/#more-1860.

Page 85: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

74

Gonzalez, Javier dan Oscar Gonzalez. (2005). An Analysis of the Relationship

Between Environmental Motivations and ISO14001 Certification. British

Journal of Management, 16, 133-148.

Gunningham, Neil dan Peter Grabosky. (2004). Smart Regulation Designing

Environmental Policy. Oxford: Oxford University Press.

Hadjon, Philipus M. et al. (2011). Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

HR., Ridwan. (2014). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali Pers.

Indonesia, Menteri Pertanian. Peraturan Menteri Pertanian tentang Sistem

Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable

Palm Oil Certification System / MSPO), Nomor PM 11 Tahun 2015.

International Organization for Standardization. Certification and Conformity

Certification. Accessed on April 12, 2017 from https://www.iso.org/

certification.html.

Jr., Alphonse Iannuzzi. (2002). Industry Self-Regulation and Voluntary

Environmental Compliance. Washington DC: Lewis Publishers.

Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. (2016).

Siaran Pers: Pemerintah Siapkan Standar Kelapa Sawit Berkelanjutan.

Accessed on May 1, 2017 from http://www.ekon.go.id/press/view/siaran-

pers-pemerintah.2490.html.

Malaysian Palm Oil Certification Council. Board of Trustees. Accessed on May 30,

2017 from https://www.mpocc.org.my/board-of-trustees-mpocc.

Malaysian Palm Oil Certification Council. (2016). Stakeholder Consultation

Requirements During Oil Palm Management Certification Audits for

Certification Bodies Operating Oil Palm Management Certification Under

The Malaysian Sustainable Palm Oil (MSPO) Certification Scheme (MSPO

Document).

Mamudji, Sri. et al. (2005). Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta:

Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 86: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

75

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Mzoughi, Naoufel dan Gilles Grolleau. (2003). Voluntary Instrument for

Environmental Management: a Critical Review of Definitions. Makalah

disampaikan pada Annual Conference of Canadian Economic Association,

Ottawa.

Parlemen Uni Eropa. Resolution 2222 (2016). 4 April 2017.

Roundtable on Sustainable Palm Oil. About. Accessed on March 27, 2017 from

http://www.rspo.org/about.

Roundtable on Sustainable Palm Oil. (2016). RSPO Impact Report 2016. Accessed

on April 27, 2017 from http://www.rspo.org/publications/download/

df716d24dd1ee80.

Roundtable on Sustainable Palm Oil. RSPO Smallholders Support Fund (RSSF).

Accessed on June 7, 2017 from http://www.rspo.org/smallholders/rspo-

smallholders-support-fund.

Roundtable on Sustainable Palm Oil. (2017). RSPO Standard Operating Procedure

for Standard Setting and Review (RSPO Document).

Saragih, Bungaran. (2016). Mitos versus Fakta Industri Minyak Sawit Indonesia

dalam Isu Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Global. Ed. 2. Bogor: PASPI.

Singh, Harnarinder dan Sanath Kumaran. (2016). Malaysian Palm Oil Certification

Council’s Role in The Implementation of The MSPO Certification Scheme.”

Makalah disampaikan pada Konferensi Minyak Kelapa Sawit Eropa, Warsaw.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. (1979). Peranan dan Penggunaan Kepustakaan

di dalam Penelitian Hukum. Jakarta: Pusat Dokumentasi UI.

Soekanto, Soerjono. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: UI-Press.

Soemarwoto, Otto. (2004). Atur Diri Sendiri: Paradigma Baru Pengelolaan

Lingkungan Hidup. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Tempo. (2017). Sri Mulyani Minta Industri Sawit Sumbang Pendapatan

Negara. Accessed on March 27, 2017 from https://m.tempo.co/read/

news/2017/02/02/090842383/sri-mulyani-minta-industri-sawit-sumbang-

pendapatan-negara.

Page 87: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

76

Wibisana, Andri G. (2016). Penaatan Hukum Lingkungan: Command and Control,

Instrumen Ekonomi, dan Penaatan Sukarela. Draft Buku Hukum Lingkungan

Indonesia.

Wibisana, Andri G. Pencegahan dan Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan

Lingkungan. Dalam Laode M. Syarif dan Andri G. Wibisana (Eds.), Hukum

Lingkungan Teori, Legislasi dan Studi Kasus. [s.l.: s.n.].

Wulansari, Ica dan Ridzki R. Sigit. (2016). Sawit Berkelanjutan: Antara Mencari

Standard Sertifikasi dan Desakan Perubahan. Accessed on July 6, 2017 from

http://www.mongabay.co.id/2016/03/18/sawit-berkelanjutan-standard-

sertifikasi-dan-desakan-perubahan/.

FADHIL MUHAMMAD INDRAPRAJA

Page 88: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

77

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

rekonstruksi Hukum Pembangunan dalam kebiJakan

Pengaturan lingkungan HiduP dan sumber daya alam

Oleh: Wahyu Nugroho1 dan Agus Surono2

Abstrak

Fungsi hukum dalam pembangunan nasional sebagai sarana pembaruan

masyarakat secara singkat dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:

pertama, bahwa hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat didasarkan atas

anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam usaha pembangunan

atau pembaruan itu merupakan sesuatu yang diinginkan atau bahkan dipandang

(mutlak) perlu; kedua, bahwa hukum dalam arti kaidah atau peraturan hukum

memang bisa berfungsi sebagai sarana pembangunan dalam arti penyalur arah

kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaruan.

Proses pembentukan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan

sumber daya alam, diperlukan grand design hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat, yang bertitik tolak kepada perubahan-perubahan sosial. Rekonstruksi

hukum pembangunan dalam pembentukan hukum pasca reformasi, diarahkan

pada daya dukung masyarakat, kesejahteraan sosial, dan lingkungan hidup. Selain

1 Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran & Dosen Fakultas Hu-kum Universitas Sahid Jakarta Fakultas Hukum USAHID Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH. No. 84 Tebet Jakarta Selatan 12870, Telepon +6221 8312813-15 Ext. 202, Faximile +6221 8354763, Email: [email protected], [email protected].

2 Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Al-Azhar Indonesia, Jl. Kompleks Masjid Agung Al Azhar, Jl. Sisingamangaraja, Kebayoran Baru, Selong, RT.2/RW.1, Selong, Kebayoran Baru, Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12110. Memperoleh gelar dok-toral dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].

Page 89: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

78

itu, proses pembentukan hukum harus menggunakan pendekatan yang holistik

dan interdisipliner.

Kata kunci: hukum pembangunan, kebijakan, sumber daya alam, lingkungan hidup.

Abstract

The legal functions of national development as a means of social reform are briefly

put forward as follows: first, that law is a means of social renewal based on the assumption

that regularity or order in development or renewal is something desirable or even perceived

(absolute ) need; secondly, that law in the sense of rule or rule of law can indeed serve

as a means of development in the sense of channeling the direction of human activity in

the direction desired by development or renewal. The process of forming legislation in the

field of environment and natural resources, required the grand design of law as a means

of renewal of society, which dotted to social changes. Reconstruction of development law

in the formation of post-reform law, directed to the support of society, social welfare,

and environment. In addition, the legal establishment process should use a holistic and

interdisciplinary approach.

Keywords: law of development, policy, natural resources, environmental.

1. Pendahuluan

Keterlibatan publik dalam setiap penentu kebijakan, keputusan hukum dan

kekuasaan dapat memiliki daya laku yang efektif ketika sebuah peraturan atau

kebijakan tersebut memiliki kemanfaatan bagi masyarakat. Hal ini seperti gagasan

Eugen Ehrlich, seorang yuris berkebangsaan Austria penganut legal pluralism yang

memperkenalkan konsep living law of the people (hukum yang hidup dari rakyat).

Dalam konsepnya, Ehrlich berpendapat bahwa hukum yang hidup dan baik itu

adalah berasal dari rakyat atau hukum yang relevan sesuai kehendak rakyat.3

3 Hedar Laudjeng dan Rikardo Simarmata, Pendekatan Madzhab Hukum Non-Positivistik dalam Bidang Hukum Sumber Daya Alam dalam Wacana, Edisi 6 Tahun II, (Jakarta: HuMa, 2000), hlm. 119.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 90: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

79

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Konsep Ehrlich kemudian diikuti oleh Roscoe Pound melalui teori hukumnya

law as a tool of social engineering atau hukum sebagai alat perekayasa sosial.4

Konsep-konsep dan kemudian menjadi teori hukum pembangunan oleh Mochtar

Kusumaatmadja secara historis merupakan modifikasi dari konsep Roscoe

Pound di Amerika dengan menyesuaikan kondisi Indonesia dan dimulai dari

pembentukan hukum (law making), selain putusan pengadilan. Politik hukum

perundang-undangan dan kebijaksanaan akan sangat menentukan arah suatu

kebijakan apakah memiliki nilai kemanfaatan atau kontraproduktif. Rumusan

kedua pemikir tersebut menunjukkan kompromi yang cermat antara hukum yang

tertulis sebagai kebutuhan masyarakat hukum dengan the living law sebagai wujud

penghargaan terhadap pentingnya peranan masyarakat dalam pembentukan

hukum dan orientasi hukum.5

Teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja

mengenai fungsi hukum dalam pembangunan nasional yang digambarkan

dengan ungkapan “sebagai sarana pembaruan masyarakat” atau sebagai sarana

pembangunan” dapat secara singkat dikemukakan pokok-pokok pikiran sebagai

berikut: pertama, bahwa hukum merupakan sarana pembaruan masyarakat

didasarkan atas anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban dalam

usaha pembangunan atau pembaruan itu merupakan sesuatu yang diinginkan

atau bahkan dipandang (mutlak) perlu; kedua, bahwa hukum dalam arti kaidah

atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat (pengatur) atau sarana

pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan manusia ke arah yang dikehendaki

oleh pembangunan atau pembaruan. Kedua fungsi tersebut diharapkan dapat

4 Roscoe Pound membahas secara rinci, teliti dan luas terhadap Sociological Jurisprudence di Amerika dengan lebih mengutamakan enam hal, yakni: (a) membahas dampak sosial yang nyata dari peran lembaga dan pemberlakuan doktrin-doktrin hukum; (b) mengajukan studi sosiologis berkenaan dengan studi hukum untuk menyiapkan perundang-undangan, karena hukum dianggap sebagai lembaga sosial yang dapat diperbaiki oleh usaha-usaha sosial bi-jaksana untuk menemukan cara-cara terbaik; (c) mengembangkan efektivitas studi tentang cara membuat peraturan yang lebih menekankan pada tujuan sosial untuk dicapai oleh/secara hukum, dan bukan pada sanksi; (d) melakukan studi sejarah hukum sosiologis ten-tang dampak sosial yang ditimbulkan oleh doktrin hukum dan cara mengembangkannya; (e) membela pelaksanaan hukum yang adil, dengan mendesak agar ajaran-ajaran hukum ha-rus dianggap sebagai petunjuk pada hasil yang adil bagi masyarakat; dan (f) mengusahakan efektifnya pencapaian tujuan hukum. Lihat: RB. Soemanto, Hukum dan Sosiologi Hukum, Lint-asan Pemikiran, Teori dan Masalah, (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2006), hlm. 102.

5 Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1993), hlm. 83.

Page 91: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

80

dilakukan oleh hukum di samping fungsinya yang tradisional, yakni untuk

menjamin adanya kepastian dan ketertiban.6 Dalam konteks produk legislasi

melalui proses pembentukan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup

dan sumber daya alam oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah,

diperlukan kerangka dasar hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Kerangka ini bertitik tolak kepada perubahan-perubahan sosial (social of change)

atau rekayasa sosial (social engineering) disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat

kontemporer. Hal tersebut didesain sedemikian rupa dalam rangka mewujudkan

keadilan sosial (social justice). Dinamika masyarakat yang selalu bergerak ke arah

partisipasi dalam proses pembuatan kebiijakan dan perundang-undangan, seperti

dengar pendapat umum, aspirasi daerah, dan lain sebagainya sebagai bahan

masukan untuk diakomodasi ke dalam kebijakan sesuai dengan kehendak rakyat.

Amandemen UUD 1945 mengenai rumusan Pasal 337 merupakan rumusan

yang mengatur secara prinsip mengenai perekonomian negara yang dibangun

pada masa reformasi. Dalam kurun waktu lebih tiga dasawarsa terakhir, politik

pembangunan hukum nasional diarahkan menganut ideologi sentralisme hukum

(legal centralism). Hal ini secara sadar dimaksudkan untuk mendukung paradigma

pembangunan yang semata-mata diorientasikan untuk mengejar pertumbuhan

ekonomi (economic growth development paradigm). Implikasinya, sumber daya alam

sebagai modal utama pembangunan bukan dikelola secara berkelanjutan, tetapi

justru dieksploitasi untuk mengejar target-target pertumbuhan ekonomi. Karena itu,

instrumen hukum yang digunakan untuk mendukung paradigma pembangunan

ekonomi seperti dimaksud di atas cenderung bercorak sentralistik, sektoral,

memihak kepada pemodal besar (capital oriented), eksploitatif, dan bernuansa

6 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Cet. I, (Bandung: PT Alumni, 2002), hlm. 87-88.

7 Konstitusionalitas Norma dalam Pasal 33 UUD 1945 hasil empat kali amandemen terdiri dari 5 ayat dengan rumusan: (1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan; (2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi, dan air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemak-muran rakyat; (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasi-onal; dan (5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur didalam undang-undang.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 92: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

81

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

represif dengan menggunakan pendekatan keamanan (security approach).8

Pemikiran hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja

pada masa pemerintahan Orde Baru telah merasuk ke dalam Garis-Garis

Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1972. Dalam GBHN, pembangunan

hukum senantiasa mengorientasikan hukum sebagai sarana untuk melakukan

pembaharuan masyarakat. Muatan substansial yang kental dengan teori hukum

pembangunan tersebut ternyata sulit diterapkan di masa itu dengan penyebab

utamanya pemerintahan yang bersifat otoriter, sekalipun karakter hukumnya

responsif. Permasalahan lingkungan hidup (environmental problem) pada masa

kejayaan teori hukum pembangunan yang berorientasi pada hukum sebagai

sarana pembaharuan masyarakat sulit terpecahkan dengan baik. Penyebabnya,

karena budaya hukum masyarakat yang belum terbangun, serta rendahnya tingkat

ketaatan badan usaha dan masyarakat terhadap instrumen, peraturandan perizinan

lingkungan. Dalam rangka mendorong ketaatan industri terhadap peraturan

lingkungan hidup, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

melaksanakan Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER).

PROPER bertujuan untuk mendorong industri menerapkan prinsip ekonomi

hijau dengan kriteria penilaian kinerja sistem manajemen lingkungan, efisiensi

energi, konservasi air, pengurangan emisi, perlindungan keanekaragaman

hayati, 3R limbah B3 dan limbah padat non-B3 serta mengurangi kesenjangan

8 I Nyoman Nurjaya, Pengelolaan Sumber Daya Alam Dalam Perspektif Otonomi: Tinjauan Hukum dan Kebijakan, Jurnal Suloh, Vo. V, No. 1, (Lhokseumawe: Fakultas Hukum Unimal, April 2007), hlm. 1.

Page 93: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

82

ekonomi dengan menerapkan program pemberdayaan masyarakat.9

Dalam konteks penegakan hukum lingkungan, yang bertanggungjawab di

level pusat adalah Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup

dan Kehutanan (Gakum LHK), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

(KLHK). Direktorat tersebut terbentuk sejak pada Juni 2015 dan telah bertugas

efektif melaksanakan upaya-upaya penegakan hukum. Selain penanganan kasus,

KLHK juga melakukan pencegahan tindakan pidana peredaran hasil hutan dan

pengamanan kawasan hutan, yang dilaksanakan pada 187 lokasi di seluruh

9 Program Penilaian Peringkat Kinerja Perusahaan (PROPER) telah dimulai sejak tahun 1996 yang diikuti 96 perusahaan, dan saat itu tingkat ketaatan baru 46%. Hal yang menggembirakan, pada tahun 2017 ini tingkat ketaatan perusahaan mencapai 92% atau meningkat 7% dari tahun lalu. PROPER telah mendapat apresiasi dari World Bank, PROPER juga dijadikan penilaian Key Performance Index (KPI) perusahaan. PROPER dijadikan sebagai prasyarat analisa perbankan, bahkan PROPER menjadi acuan pem-berian penghargaan oleh kementerian lain. Pengalaman di tahun 2016, jumlah peserta PROPER mencapai 1.930 perusahaan yang terdiri dari 111 jenis industri, dengan tingkat ketaatan PROPER mencapai 85%. Peraih peringkat EMAS sebanyak 12 perusahaan, HIJAU 172 perusahaan, BIRU 1.422 perusahaan, MERAH 284 perusahaan, HITAM 5 perusahaan, dan 35 perusahaan lainnya tidak diumumkan terdiri dari 13 perusahaan dalam proses penegakan hukum dan 22 perusahaan tutup/tidak beroperasi. Parameter capaian PROPER yang bisa dihitung selama 2 tahun terakhir (2016 – 2017) menunjuk-kan bahwa dana bergulir di masyarakat melalui program CSR mencapai Rp. 7 Triliun; Efisiensi energi 230 juta GJ; Penurunan emisi Gas Rumah Kaca 33 juta ton CO2 Equiva-len; Efisiensi Air 492 juta m3; Penurunan emisi konvensional 135 juta ton; Penurunan beban air limbah 535 juta ton; Reduksi limbah padat non B3 11 juta ton; dan Reduksi limbah B3 13 juta ton. Peringkat PROPER dibagi menjadi 5 yaitu EMAS, HIJAU, BIRU, MERAH, dan HITAM. Peringkat tertinggi adalah EMAS dan peringkat terburuk adalah HITAM. Perusahaan yang memperoleh peringkat EMAS adalah perusahaan yang telah secara konsisten menunjukkan keunggulan lingkungan dalam proses produksi, melak-sanakan bisnis yang beretika, dan bertanggung jawab terhadap masyarakat. Aspek pe-nilaian ketaatan yang dievaluasi dalam penghargaan PROPER meliputi izin lingkungan, pengendalian pencemaran air, pengendalian pencemaran udara, pengolahan limbah B3, dan potensi kerusahan lahan khusus untuk kegiatan pertambangan. Lihat: http://ppid.menlhk.go.id/siaran_pers/browse/943, diakses pada tanggal 2 Februari 2018.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 94: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

83

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Indonesia.10

Rekonstruksi pemikiran hukum pembangunan sangat perlu dilakukan pasca

reformasi yang dimulai sejak tahun 1999 hingga saat ini, khususnya perundang-

undangan di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam. Hal tersebut

dikarenakan pemikiran dan peran masyarakat berkembang sangat dinamis dalam

merespon kebijakan maupun penegakan hukum.

Dasar argumentasi tersebut sebagai latar belakang pemikiran juga diperkuat

dalam literatur yang lain tentang teori-teori besar dalam hukum (grand theory),

menyatakan bahwa di masa pemerintahan Presiden Soeharto, hukum sebagai

sarana (alat) pembangunan (a tool of development) dimana sektor hukum sangat

didayaupayakan untuk ikut menyukseskan pembangunan. Namun, sayangnya

karena rendahnya kesadaran hukum dari para pembuat dan penegak hukum

waktu itu, menyebabkan hukum sebagai sarana (alat) pembangunan berubah

fungsi menjadi hukum sebagai alat untuk mengamankan pembangunan, yang

10 Menurut Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Gakkum Lingkungan Hidup dan Kehutanan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, sebanyak 200 pengaduan kasus yang diterima oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) pada 2017, sampai Mei ini telah tertangani hampir 95%. Sebanyak 75 persen terselesaikan dan sisanya dalam proses. Ber-dasarkan hasil kegiatan tersebut, selama tahun 2015-2017, tercatat pembalakan liar sebanyak 7.090 m3, perambahan kawasan seluas kurang lebih 4,2 juta Ha, dan peredaran tumbuhan dan satwa liar sebanyak 11.636 unit. “Dalam melakukan penegakan hukum, KLHK meng-gunakan tiga instrumen yaitu penerapan sanksi administrasi, penegakan hukum pidana, dan penegakan hukum perdata, termasuk untuk penanganan kasus pencemaran lingkun-gan, serta kebakaran hutan dan lahan”. Sebanyak 393 sanksi administrasi diterbitkan selama dua tahun ini, terdiri dari 189 surat peringatan, 23 teguran tertulis, 156 paksaan pemerin-tah, 21 pembekuan izin, dan 3 pencabutan izin. Dalam penanganan kasus pidana, sebanyak 381 kasus telah masuk P-21, sedangkan untuk kasus perdata. Rasio Radho menerangkan telah dilakukan melalui kesepakatan di luar pengadilan sebanyak 40 kasus, serta melalui pengadilan dihasilkan beberapa putusan dan eksekusi. Kemajuan proses penegakan hukum terhadap beberapa kasus strategis, antara lain yaitu : 1. Bersama-sama Kementerian Koor-dinasi Bidang Kemaritiman, mendaftarkan gugatan terhadap tiga perusahaan asing asal Thailand ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (23/5/2017), atas kasus ledakan tidak terk-endali di Sumur Minyak H1 – ST1 yang terjadi 21 Agustus 2009, sekitar 51 mil laut sebelah tenggara Pulau Rote, Provinsi Nusa Tenggara Timur; 2. Perambahan lahan oleh kebun sawit seluas total 47.000 ha di kawasan hutan Padang Lawas, Sumatera Utara, dimana pemilik perusahaan dengan inisial DLS telah ditetapkan sebagai tersangka (17/5/2017); 3. Kasus kebakaran hutan dan lahan oleh PT. JJP, yang telah diputuskan oleh Pengadilan Tingggi DKI Jakarta, harus membayar ganti rugi Rp 119.888.500.000 dan memulihkan lahan 1.000 ha dengan biaya pemulihan Rp 371.137.000.000 (10/03/2017); 4. Pengenaan sanksi admin-istrasi Tahun 2017 terhadap 53 perusahaan; dan 5. Penanganan kasus kandasnya kapal di perairan Bangka Belitung dan Taman Nasional Karimun Jawa. Lihat: http://www.medi-aindonesia.com/news/read/106307/95-persen-kasus-penegakan-hukum-lhk-tertangani-hingga-mei-2017/2017-05-26, diakses pada tanggal 02 Februari 2018.

Page 95: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

84

mempunyai konsekuensi munculnya banyak hukum yang sangat represif dan

melanggar hak-hak masyarakat, mengantarkan banyak aktivis ke rumah penjara

atau ke liang kubur.11

Pemikiran hukum pembangunan bertumpu pada aspek hukum sebagai

sarana pembaharuan masyarakat, dalam hal ini permasalahan lingkungan di

segala sektor di bidang sumber daya alam akan menjadi perubahan sosial bagi

masyarakat sekitar. Diharapkan melalui pembentukan hukum, teori hukum

pembangunan mampu diterapkan dengan baik oleh aparat pemerintahan dan

aparat hukum dengan orientasi rekayasa sosial. Hukum pembangunan akan

direkonstruksi dalam konteks pembentukan hukum di bidang lingkungan hidup

dan sumber daya alam pasca reformasi sejak tahun 1999 hingga sekarang. Dengan

demikian, berdasarkan ruang lingkup tersebut, permasalahan yang muncul dalam

paper ini adalah:

1. Bagaimana diagnosa hukum pembangunan dalam kebijakan pembentukan

perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam sebelum dan

sesudah reformasi?

2. Bagaimana rekonstruksi hukum pembangunan dalam kebijakan pengaturan

lingkungan hidup dan sumber daya alam?

II. Diagnosa Hukum Pembangunan Dalam Kebijakan Pembentukan

Perundang-Undangan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

Sebelum dan Sesudah Reformasi

Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk

menegakkan martabat manusia. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan ialah

mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua Pancasila.12 Oleh

karena itu, hukum sebagai sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat

hendaknya diwujudkan dalam pembentukan hukum (regulasi) di sektor-sektor

strategis berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup dan sumber daya alam.

11 Munir Fuady, Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory), Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prena-damedia Group, 2013), hlm. 259.

12 Laksanto Utomo, “Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim un-tuk Menciptakan Keadilan”, dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Cet. I, (Yo-gyakarta, Diterbitkan atas Kerjasama Thafa Media dan Asosiasi Sosiologi Hukum Indonesia Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012), hlm. 284.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 96: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

85

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Dalam kaitannya dengan fungsi kaidah hukum, Sudikno Mertokusumo

mengatakan fungsi kaidah hukum pada hakekatnya adalah untuk melindungi

kepentingan manusia. Kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan

tatanan didalam masyarakat dan kepastian hukum agar tujuan hukum tercapai,

yaitu ketertiban masyarakat.13 Agar kepentingan manusia terlindungi, maka

hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal,

damai, tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hukum

yang telah dilanggar itu harus ditegakkan. Melalui penegakan hukum inilah,

hukum menjadi kenyataan.14 Sejumlah kaidah atau norma yang diatur dalam

perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam sudah semestinya

melindungi perilaku manusia dari perbuatan eksploitasi sumber daya alam dan

perusakan lingkungan, seperti pembakaran hutan, pencemaran sungai dan lautan.

Khudzaifah Dimyati dalam disertasinya mengklasifikasikan perkembangan

teorisasi hukum dari hukum alam, hingga hukum modern masa transisi.

Disini penulis lebih menyoroti teori hukum pembangunan yang berkembang

pesat di era orde baru kemudian menjelma dalam bentuk GBHN (Garis-garis

Besar Haluan Negara). Seiring dengan pesatnya teori hukum pembangunan

pada waktu itu, berkembang pula isu-isu lingkungan hidup, pencemaran atau

kerusakan lingkungan.15 Teori hukum yang berkembang orde baru dalam hal

ini teori hukum pembangunan. Karakteristik tipologi pemikiran hukum pada

periode era orde baru sangat dipengaruhi oleh suasana fenomena hukum yang

melingkupinya. Kecenderungan pemikiran-pemikiran hukum dipandang sebagai

pemikiran yang bersifat transformatif. Artinya pemikiran transformatif bukan

13 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum Sebuah Pengantar, (Yogyakarta: Liberty, 1996), hlm. 4.14 Ibid., hlm. 11.15 Teori hukum pembangunan yang berkembang pada tahun 1970-an dalam tataran konsep-

tual sebenarnya sudah bagus yang dikonkretkan melalui perumusan dalam garis-garis besar haluan negara. Dalam konteks substansi peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam hendaknya mampu menyelesaikan permasalahan lingkungan hidup secara nasional. Permasalahan lingkungan hidup bukannya berkurang, malah justru bertambah karena akibat manusia yang eksploitatif terhadap pengelolaan sum-ber daya alam, Terlebih, karakter pemerintahan tidak mendukung adanya konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Namun terjadi konfigurasi politik dan hukum, sehingga dipengaruhi oleh karakter pemerintahan di zaman orde baru, sehingga substansi hukum pembangunan atau sebagai sarana pembaharuan masyarakat masih jauh dari ha-rapan untuk diwujudkan dalam kenyataan. Hal tersebut dikarenakan pemerintahan orde baru yang sangat otoriter. Konfigurasi politik dan hukum tersebut pernah dijadikan sebagai bahan kajian disertasi Mahfud MD tentang politik hukum di Indonesia.

Page 97: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

86

hanya menyentuh aspek-aspek normatif dan doktrinal semata-mata, melainkan

berusaha mentransformasikan fenomena-fenomena hukum dari aras empirik

tentang keharusan untuk membicarakan hukum dalam konteks masyarakatnya

yang dikonstruksikan ke dalam tataran teoritik-filosofis.16

Secara konstitusionalitas, penguasaan sumber daya alam oleh negara,

sebagaimana diatur dalam UUD 1945 tidak dapat dipisahkan dengan tujuan dari

penguasaan tersebut, yaitu guna mewujudkan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Keterkaitan penguasaan oleh negara untuk kemakmuran rakyat, menurut Bagir

Manan akan mewujudkan kewajiban negara dalam hal:17

a. Segala bentuk pemanfaatan (bumi dan air) serta hasil yang didapat (kekayaan

alam), harus secara nyata meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan

masyarakat;

b. Melindungi dan menjamin segala hak-hak rakyat yang terdapat didalam atau

di atas bumi, air, dan berbagai kekayaan alam tertentu yang dapat dihasilkan

secara langsung atau dinikmati langsung oleh rakyat;

c. Mencegah segala tindakan dari pihak manapun yang akan menyebabkan

rakyat tidak mempunyai kesempatan atau akan kehilangan haknya dalam

menikmati kekayaan alam.

Pembangunan ekonomi nasional maupun lokal sebagai implementasi dari

Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dimana terdapat hak penguasaan negara atas sumber

daya alam, diikuti oleh ayat ke (4) dengan memerhatikan beberapa prinsip,

diantaranya keadilan, berwawasan lingkungan dan keberlanjutan. Kebijakan

di sektor lingkungan hidup dan sumber daya alam dalam bentuk perundang-

undangan lingkungan hidup telah mengalami dua kali revisi, yakni Undang-

Undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, sebagai

hasil dari revisi Undang-Undang Nomor 2 tahun 1984 tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Kemudian dari Undang-

Undang Nomor 23 tahun 1997 terakhir diubah menjadi Undang-Undang Nomor

16 Khudzaifah Dimyati, Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indone-sia 1945-1990, Cet. I, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2004), hlm. 161-162.

17 Bagir Manan, Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara, (Bandung: Mandar Maju, 1995), hlm. 17.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 98: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

87

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Semangat yang dibawa undang-undang perubahan tersebut sama dalam konteks

pelestarian lingkungan. Selain itu, judul undang-undang mengalami perubahan

pula hingga yang terakhir terkandung spirit perlindungan dan spirit pengelolaan.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 mengatur keterpaduan sebagai pedoman

dalam penerbitan, pelaksanaan dan pengawasan izin bidang lingkungan hidup.18

Selain itu, Undang-Undang Nomor 32/2009 juga disebut sebagai undang-undang

payung (umbrella lex) atau perundang-undangan lingkungan hidup yang umum

(general environmental law). Instrumen-instrumen tersebut memuat hal-hal yang

utuh dan menyeluruh berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan

hidup. Undang-undang payung tersebut dapat diartikan memayungi kebijakan

pengaturan (undang-undang) yang bersifat sektoral.

Sebagai sebuah diagnosa awal, teori hukum pembangunan di masa orde baru

lebih didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik daripada semangat yang

dibawa teori hukum pembangunan yang tertuang didalam GBHN, merupakan

sebuah wacana tentang haluan pembangunan negara Republik Indonesia yang

dibuat MPR lalu dilaksanakan dengan sebaik baiknya oleh presiden. Isi wacana

yang sudah tersemat didalam GBHN tidak diperbolehkan bersimpangan atau

bertentangan dan berbeda tujuan dengan UUD 1945. Fungsinya, pertama, sebagai

visi dan misi rakyat Indonesia yang ditujukan untuk rencana pembangunan

nasional dimana proses pembangunan yang akan dijalankan harus sesuai dengan

apa yang dibutuhkan masyarakat secara merata adil dan makmur, dan kedua,

18 Dalam konteks peraturan perundangan lingkungan hidup dan sumber daya alam, instru-men lingkungan hidup erat kaitannya dengan kebijakan publik. Hukum dalam bentuk per-aturan adalah perwujudan dari kebijakan publik penguasa, dan kebijakan publik itu sendiri merupakan proses politik, karena itu kebijakan publik tidak dapat dilepaskan dari isu-isu lingkungan politik. Lihat: Sigler, Jay A. dan Benyamin R. Beede, The Legal Sources of Public Policy, (Toronto: Lexington Books, 1978), hlm. 3. Hukum adalah produk politik, karena fungsi dan peran hukum sangat dipengaruhi dan seringkali diintervensi oleh kekuatan politik. Hu-kum sebagai perwujudan dari kebijakan publik adalah peraturan, karena itu peraturan juga sangat dipengaruhi oleh paradigma atau cara pandang penguasa terhadap hukum. Moh. Mahfud MD., Pergulatan Politik dan hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 1999), hlm. v-viii. Penguasa memandang hukum sebagai alat rekayasa sosial, maka penguasa akan men-gambil kebijakan publik yang kemudian diwujudkan menjadi peraturan-peraturan yang dapat digunakan untuk menciptakan sistem sosial yang dapat mengatur dan mengendal-ikan masyarakat. bandingkan dengan: Nonet, Philippe and Philip Selznick, terj., Hukum dan Masyarakat Dalam Transisi Menuju Hukum yang responsif, (Jakarta: Media Nusantara, 2001), hlm. 28.

Page 99: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

88

pembanguanan nasional yang dilaksanakan hanya semata mata dari rakyat, oleh

rakyat dan untuk kepentingan rakyat; dan kedua, pelaksanaannya mencakup

beberapa aspek penting yaitu aspek kehidupan berbangsa, politik, sosial budaya,

pertahaanan keamanan dan ekonomi, dimana dilakuakan dengan memperkuat

manfaat dari sumber daya manusia, sumber daya alam dan memperkuat ketahanan

nasional secara merata.

Budiono Kusumohamidjojo19 menyoroti dengan tajam mengapa Roberto

Mangabeira Unger mengamati bahwa hukum itu senantiasa merupakan bulan-

bulanan perebutan kekuasaan dalam masyarakat. seperti pemahaman Marx,

hukum itu semata-mata alat di tangan yang berkuasa untuk mempertahankan

kedudukan nikmat mereka. Hukum pada akhirnya adalah realisasi dari politik,

hukum itu tidaklah bersifat bebas nilai. Pada akhirnya tidak dapat terhindarkan

bahwa ‘hukum adalah politik’, tetapi tidaklah sekaligus niscaya bahwa ‘politik

adalah hukum’.20 Studi kritik hukum (critical legal studies) versi Unger dan

kelanggengan ruang sosial yang tunduk pada dominasi hegemonial yang

bersandar pada positivisme hukum.

Penulis menilai bahwa fenomena pengembangan hukum pembangunan masa

masa orde baru yang secara eksplisit tertanam didalam GBHN ternyata tidak

diikuti dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkannya, sehingga tidak ada garis

pemisah antara politik dan hukum. Alam pemikiran studi hukum kritis (critical

legal studies) melihat bahwa hukum pembangunan pada masa itu berorientasi pada

kelanggengan status quo, dan kesetiaan terhadap hukum yang represif, yakni

kebijakan hukum tidak memerhatikan kebutuhan-kebutuhan dan perubahan di

masyarakat, khususnya dinamika isu lingkungan hidup yang semakin kompleks,

sehingga kerusakan dan atau pencemaran lingkungan sedemikian masifnya.

Pembangunan hukum dan masyarakat ternyata tidak memberikan pengaruh yang

signifikan, karena tidak didukung oleh rezim yang lebih mengedepankan politik

dan ekonomi.

Studi hukum kritis dalam konteks kebijakan hukum pembangunan di

sektor lingkungan hidup menyoroti isu-isu lingkungan baik kerusakan hutan,

19 Budiono Kusumohamidjojo, Cet. I, Teori Hukum, Dilema antara Hukum dan Kekuasaan, (Band-ung: Penerbit Yrama Widya), 2016, hlm. 217.

20 Roberto M. Unger, Gerakan Hukum Kritis, (Critical Legal Studies), diterjemahkan oleh Ifdhal Kasim, (Jakarta: ELSAM), 1999, hlm. 23.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 100: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

89

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

pencemaran sungai, industrialisasi yang berimbas pada pencemaran lingkungan,

serta pengambilan keputusan dan kebijakan negara didominasi oleh kelompok

kapitalis. Ditegaskan lagi, secara radikal, gerakan studi hukum kritis menggugat

teori, doktrin atau asas-asas seperti netralitas hukum (neutrality of law), otonomi

hukum (autonomy of law), dan pemisahan hukum dengan politik (law politics

distinction).21 Sebagai contoh lain dominasinya kekuasaan/politik dalam undang-

undang pertama kali lingkungan hidup di masa orde baru, yakni semangat

perubahan sosial dan pembaharuan masyarakat sebagaimana dinyatakan eksplisit

melalui GBHN di sektor pengelolaan lingkungan hidup melalui Undang-Undang

Nomor 2 tahun 1984 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup,

dalam praktik kekuasaan eksekutif terjadi ego sektoral diantara kementerian atau

lembaga untuk menangani permasalahan pencemaran atau kerusakan lingkungan,

penaatan terhadap instrumen lingkungan hidup lemah, dan berbagai macam

sanksi lingkungan hidup, antara lain sanksi administrasi berupa teguran hingga

pencabutan izin usaha, dan sanksi pidana ternyata tidak cukup memberikan

pengaruh yang signifikan. Dua kali perubahan Undang-Undang Nomor 32

tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menjadi

faktor penentu keberhasilan kebijakan pembangunan hukum lingkungan yang

berorientasi pada kelestarian lingkungan ditengah maraknya investasi saat ini di

berbagai sektor, diantaranya perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Tolok

ukurnya adalah pelaku usaha taat terhadap instrumen perizinan lingkungan

hidup dan ketegasan pemerintah dalam memberikan sanksi.

Permasalahan yang substansial tersebut diikuti pula oleh ego sektoral diantara

kementerian atau lembaga yang memiliki titik persinggungan. Misalnya terdapat

persinggungan tugas antara Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.

Empat permasalahan utama terkait agraria dan tata ruang di Indonesia, yakni

ketidakpastian hukum atas penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan

tanah, ketimpangan penguasaan tanah, sengketa, dan konflik pertanahan yang

berkepanjangan serta konflik tata ruang yang menghambat pembangunan.

Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, terdapat 13,1

21 W. Friedmann, Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjemahan: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa), 1993, hlm.169-200.

Page 101: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

90

juta hektare hutan produksi yang bisa dikonversi di seluruh daerah di Indonesia.

Dari jumlah tersebut, sekitar 6,6 juta ha sudah dipakai untuk kebun. Lahan

selebihnya yang dapat dimanfaatkan masyarakat sebanyak 4-5 juta ha.22 Selain itu,

termasuk juga Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral dan Kementerian

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat.

Dari dinamika legislasi tersebut, dapat diidentifikasi bahwa teori hukum

pembangunan pada awal kelahirannya tidak mendapatkan dukungan oleh

karakter pemerintahan yang represif dan otoriter. Hukum itu senantiasa

merupakan alat perebutan kekuasaan dalam masyarakat, yakni dominasinya

kekuasaan/politik dalam undang-undang lingkungan hidup pertama kali di

masa orde baru, yakni semangat perubahan sosial dan pembaharuan masyarakat

dalam desain Garis-Garis Besar Haluan Negara di sektor pengelolaan lingkungan

hidup yang dikonkretkan ke dalam Undang-Undang Nomor 2 tahun 1984 tentang

Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Undang-Undang Nomor 23

tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup. Perjalanan kedua regulasi

tersebut melahirkan kekuasaan yang represif, ego sektoral antar kementerian atau

lembaga dalam menangani masalah pencemaran atau kerusakan lingkungan dan

tidak tegas dalam memberikan sanksi kepada pelaku perusakan lingkungan, yakni

kementerian lingkungan hidup, kementerian kehutanan, dan kementerian agraria

yang selalu tumpang tindih kewenangan dalam aspek perizinan. Sedangkan dalam

pengembangan teori hukum pembangunan pasca reformasi terkait kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup adanya menunjukkan transparansi dan peran

publik dalam pembuatan kebijakan melalui Undang-Undang Nomor 32 tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, teori

hukum pembangunan pasca reformasi akan memiliki daya laku yang efektif disaat

masyarakat terlibat dan ikut serta dalam proses penyusunan dokumen lingkungan

22 Lihat: http://www.republika.co.id/berita/koran/halaman-1/17/01/06/ojcjg640-tekan-ego-sektoral, diakses pada tanggal 03 Februari 2018.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 102: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

91

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

dan aktif menyuarakan hak-hak atas lingkungannya.23

Kebijakan pengelolaan lingkungan tidak lepas dari persoalan penataan ruang.

Pengertian penataan ruang adalah proses yang meliputi perencanaan, pemanfaatan

dan pengendalian pemanfaatan ruang.24 Mengacu pada pengertian ini, penataan

ruang semestinya menjadi wadah bagi kegiatan pembangunan yang memanfaatkan

ruang, sehingga penataan ruang dapat menjadi acuan dan pedoman bagi perumusan

kebijakan pembangunan sektor dan daerah.25 Keterkaitan perencanaan tata ruang

dan pembangunan berkelanjutan merupakan suatu aksioma, yakni sesuatu

yang sudah pasti dan tidak memerlukan pembuktian serta telah diketahui oleh

masyarakat umum. Meskipun aksiomatik, namun kita memperoleh pemahaman

tambahan dari kenyataan tersebut, yakni praktik pelaksanaan sistem perencanaan

tata ruang yang memengaruhi tujuan akhir pembangunan berkelanjutan, yakni

proses pembangunan berlangsung secara berlanjut dan didukung sumber alam yang

ada dengan kualitas lingkungan dan manusia yang semakin berkembang dalam

batas daya dukung lingkupannya. Pembangunan akan memungkinkan generasi

sekarang meningkatkan kesejahteraannya, tanpa mengurangi kemungkinan bagi

generasi masa depan untuk meningkatkan kesejahteraannya.26 Jika pelaksanaan

sistem perencanaan tata ruang berjalan dengan baik, maka tujuan pembangunan

23 Didalam Pasal 70 undang-undang nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelo-laan lingkungan hidup dinyatakan secara eksplisit bahwa: (1) Masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan aktif dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. (2) Peran masyarakat dapat berupa: a. pengawasan sosial; b. pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau c. penyampaian infor-masi dan/atau laporan. (3) Peran masyarakat dilakukan untuk: a. meningkatkan kepedulian dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. meningkatkan kemandirian, keberdayaan masyarakat, dan kemitraan; c. menumbuhkembangkan kemampuan dan ke-peloporan masyarakat; d. menumbuhkembangkan ketanggapsegeraan masyarakat untuk melakukan pengawasan sosial; dan e. mengembangkan dan menjaga budaya dan kearifan lokal dalam rangka pelestarian fungsi lingkungan hidup.

24 Lihat: Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang25 Didalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Penge-

lolaan Lingkungan Hidup berkenaan dengan pencegahan, salah satu instrumen pencega-han pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup adalah tata ruang. Selain itu, Pasal 15 undang-undang tersebut mengatur tentang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) juga mengatur mengenai tata ruang sebagai dasar penyusunan KLHS oleh pemerintah dan pemerintah daerah, Pasal 15 ayat (2) huruf a dinyatakan: Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) beserta rencana rincinya, Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP), dan Ren-cana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) nasional, provinsi, dan kabupaten/kota.

26 Otto Soemarwoto, Pembangunan Berkelanjutan: Antara Konsep dan Realitas, Bandung: Departe-men Pendidikan Nasional Universitas Padjajaran Bandung, 2006, hlm. 22.

Page 103: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

92

berkelanjutan akan tercapai, demikian pula sebaliknya.27

Kebijakan pengelolaan lingkungan hidup pasca reformasi dalam pengembangan

teori hukum pembangunan terejawantahkan dalam melalui Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, yang dipandang cukup komprehensif bila dibandingkan dengan produk

hukum sebelumnya, dimulai dari instrumen perizinan lingkungan, peran serta

masyarakat, asas-asas, sanksi-sanksi yang tegas. Tidak hanya pelaku usaha, tetapi

pemerintah daerah dapat juga dikenakan sanksi oleh pusat, hingga ke persoalan

penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Instrumen terpenting lainnya dalam

undang-undang payung (induk) yaitu terkait dengan Analisis Mengenai Dampak

Lingkungan, yang dapat ditemukan di dalam Pasal 22 Paragraf 5 Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang

direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan

keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan. Pasal 33 dari

Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai amdal

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam

27 Terdapat tolok ukur pencapaian keberhasilan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan penataan ruang. Ruang yang baik dan sesuai dengan perkembangan karena, dampak dari pembangunan akan mengakibatkan perubahan besar baik terhadap struktur ekonomi, sos-ial, fisik, wilayah, pola konsumsi, sumber alam dan lingkungan hidup, tekhnologi, maupun perubahan terhadap sistem nilai dan kebudayaan. Di sisi lain, perubahan besar itu sendiri membawa pengaruh yang tidak diharapkan dan tidak direncanakan, terutama dalam bentuk dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Sesungguhnya, terjadinya kerusakan lingkun-gan lebih banyak disebabkan oleh, sikap penghilafan pembangunan yang kurang menyadari pentingnya segi lingkungan hidup. Pembangunan yang dilakukan pada saat ini, adalah un-tuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dampak negatif dari pembangunan sering terjadi pada lingkungan akibat penataan ruang yang kurang baik dan tidak dihar-monisasikan dengan lingkungan. Akibatnya menimbulkan masalah-masalah baru yang jus-tru dapat memperburuk kehidupan masyarakat. Karena saat ini kebijakan penataan ruang telah menjadi kewenangan pemerintah daerah masing-masing, maka usaha meminimalisasi dampak negatif akibat pembangunan perlu dilakukan dengan pengaturan penataan ruang yang baik, karena penataan ruang akan menjadi penentu kualitas lingkungan.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 104: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

93

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan.28 Di dalam

Pasal 4 Peraturan Pemerintah tersebut, Amdal disusun oleh pemrakarsa pada

tahap perencanaan suatu usaha atau kegiatan yang wajib sesuai dengan rencana

tata ruang, apabila tidak sesuai dengan rencana tata ruang, maka dokumen Amdal

tidak dapat dinilai dan wajib dikembalikan kepada pemrakarsa.

Implementasi teori hukum pembangunan pasca reformasi ditandai dengan

keterlibatan atau peran serta masyarakat dalam proses penyusunan dokumen

lingkungan. Hal tersebut dapat dilihat dalam penyusunan dokumen lingkungan

hidup yang lebih teknis, diatur di dalam Peraturan Menteri.29 Sedangkan khusus

mengenai pengikutsertaan masyarakat dalam penyusunan Amdal, sebagaimana

dinyatakan dalam Pasal 9 ayat (1) PP No. 27 tahun 2012, yakni: a. masyarakat yang

terkena dampak; b. pemerhati lingkungan hidup; c. dan atau yang terpengaruh

atas segala bentuk keputusan dalam proses Amdal, diatur lebih teknis di dalam

Peraturan Menteri berkaitan dengan tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam

penyusunan Amdal.30

28 Peraturan Pemerintah yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 2012 ten-tang Izin Lingkungan. PP tersebut sebagai perubahan dari PP No. 27 tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. Di dalam Pasal 74 PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan dinayatakan: Pada saat Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3838) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

29 Peraturan Menteri yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia Nomor 16 tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Ling-kungan Hidup, sebagai pelaksana dari Pasal 6 dan Pasal 16 PP No. 27 tahun 2012 tentang Izin Lingkungan. Dalam Peraturan Menteri ini, Pasal 10 menyatakan: Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku: a. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 08 Tahun 2006 tentang Pedoman-

Penyusunan Dokumen Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup; dan b. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2010 tentang Upaya

Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup dan Surat Penyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

30 Peraturan Menteri dimaksud adalah Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Repub-lik Indonesia No. 17 tahun 2012 tentang Pedoman Keterlibatan Masyarakat Dalam Proses Analisis Dampak Lingkungan Hidup dan Izin Lingkungan, untuk melaksanakan Pasal 9 ayat (6) dan Pasal 52 PP No. 27 tahun 2012. Adapun Muatan Pedoman keterlibatan masyara-kat dalam proses Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan Izin Lingkungan dinyatakan dalam Pasal 4 Permen. Lingkungan Hidup No. 17 tahun 2012: a. pendahuluan; b. tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam proses analisis mengenai dampak lingkungan; dan c. tata cara pengikutsertaan masyarakat dalam proses izin lingkungan.

Page 105: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

94

Sistem Amdal di Indonesia telah ada sekitar 20 tahun lamanya. Pada akhir tahun

2003, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) meluncurkan suatu tahap lanjutan

dari reformasi sistem kajian dampak lingkungan. Revitalisasi Amdal bertujuan

untuk menjawab berbagai tantangan, misalya Bank Dunia telah menyediakan

bantuan dari revitalisasi Amdal melalui riset untuk mengadaptasikan peraturan

lingkungan hidup yang berubah. Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh

Helmi,31 di tingkat Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Timur dengan melihat

berbagai sistem Amdal ada pada saat ini dapat divariasikan untuk memungkinkan

berbagai perbedaan di dalam prioritas lingkungan yang ada dari satu daerah ke

daerah lain atas praktik Amdal yang baik.

Amdal dan UKL-UPL merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan

Izin Lingkungan.32 Pada dasarnya, proses penilaian Amdal atau pemeriksaan

UKL-UPL merupakan satu kesatuan dengan proses permohonan dan penerbitan

izin lingkungan. Dengan dimasukkannya Amdal dan UKL-UPL dalam proses

perencanaan usaha dan/atau kegiatan, maka Menteri, Gubernur, atau Bupati/

Walikota sesuai dengan kewenangannya mendapatkan informasi yang luas dan

mendalam terkait dengan dampak lingkungan yang mungkin terjadi dari suatu

rencana usaha dan/atau kegiatan tersebut dan langkah-langkah pengendaliannya,

baik dari aspek teknologi, sosial, dan keagamaan.33 Tujuan diterbitkannya izin

lingkungan antara lain untuk memberikan perlindungan terhadap lingkungan

hidup yang lestari dan berkelanjutan, meningkatkan upaya pengendalian usaha

dan/atau kegiatan yang berdampak negatif pada lingkungan hidup. Disamping

itu juga untuk memberikan kejelasan prosedur, mekanisme dan koordinasi antar

instansi dalam penyelenggaraan perizinan untuk usaha dan/atau kegiatan bagi

31 Helmi, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 132. 32 Dalam Pasal 36 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan

Hidup, mengatur tentang izin lingkungan. Dinyatakan: ayat (1) Setiap usaha dan/atau ke-giatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib memiliki izin lingkungan. ayat (2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL. Ayat (3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantum-kan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau rekomen-dasi UKL-UPL. Ayat (4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

33 Bachrul Amiq, Penerapan Sanksi Administrasi dalam Hukum Lingkungan, Cet. I, (Yogyakarta: Laksbang Mediatama, 2013), hlm. 86.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 106: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

95

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

setiap pelaku usaha.34

Satjipto Rahardjo juga menekankan bahwa fungsi hukum sebagai sarana

social engineering lebih bersifat dinamis, yaitu hukum digunakan sebagai sarana

untuk melakukan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Jadi dalam hal ini,

hukum tidak sekedar meneguhkan pola-pola yang memang telah ada di dalam

masyarakat untuk menciptakan hal-hal atau hubungan-hubungan yang baru.

Perubahan ini hendak dicapai dengan cara memanipulasi35 keputusan-keputusan

yang akan diambil oleh individu-individu dan mengarahkannya kepada tujuan-

tujuan yang dikehendaki. Demokrasi yang sedang membangun di masa transisi

saat ini membuka peluang keterlibatan masyarakat dalam proses pembuatan atau

perumusan kebijakan publik di sektor usaha dalam kaitannya dengan persoalan

lingkungan hidup dan sumber daya alam. Pasca reformasi, hukum sebagai

sarana pembaharuan masyarakat hendaknya diorientasikan kepada kebutuhan-

kebutuhan masyarakat dan peran serta masyarakat dalam proses perumusan

kebijakan di sektor lingkungan hidup. Teori hukum pembangunan harus mampu

menjawab sejumlah kasus belakangan ini diantaranya illegal loging, pembakaran

hutan dan lahan,36 reklamasi pantai dengan penolakan warga, pembangunan

pabrik semen yang merusak lingkungan di kawasan lindung dan telah ditetapkan

berdasarkan Perda Rencana Tata Ruang Kota dan Wilayah Kabupaten Rembang

34 Ibid., hlm. 87.35 Artinya manipulasi ini dapat digunakan dengan berbagai macam cara, misalnya dengan

memberikan ancaman pidana, insentif, dan sebagainya. Hubungan antara hukum dan pe-rubahan sosial adalah jelas sekali, karena hukum disini justru dipanggil untuk mendatang-kan perubahan-perubahan didalam masyarakat. Ibid., hlm. 126.

36 Lihat: Presiden dinyatakan bersalah terkait kebakaran hutan di indonesia, http://regional.kompas.com/read/2017/03/23/17590361/presiden.dinyatakan.bersalah.terkait.kebakaran.hutan.di.indonesia, diakses pada tanggal 24 Maret 2017.

Page 107: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

96

Provinsi Jawa Tengah Nomor 14 Tahun 2011,37 serta aktivitas pertambangan yang

mendapatkan perlawanan dengan masyarakat adat/tradisional.

37 Dalam kasus masyarakat petani di pegunungan kendeng Kabupaten Rembang Jawa Tengah, kawasan pegunungan kendeng ditetapkan pemerintah sebagai lokasi pendirian pabrik se-men gresik (sekarang menjadi PT Semen Indonesia, tbk. persero), didirikan sejak tahun 2010. Kasus ini terus-menerus muncul di media, menyedot perhatian publik dan menjadi isu nasi-onal. Melalui proses litigasi, pihak perwakilan Masyarakat Rembang, Tim Advokasi Peduli Lingkungan Hidup, dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), menga-jukan upaya Hukum Peninjauan Kembali pada perkara Putusan PK No. 99/PK/TUN/ 2016 dengan mengajukan Novum baru, adapun Amar Putusanya Majelis Hakim PK menyatakan mengabulkan permohon PK Masyarakat Rembang, Tim Advokasi Peduli Lingkungan Hid-up, dan Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), pada putusan PK No. 99/PK/TUN/ 2016 memerintahkan juga agar Gubernur Jawa Tengah mencabut Surat Keputu-san Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 Juni 2012. Ketentuan mengenai perintah MA tersebut telah dilakukan pencabutan oleh Gubernur Jawa Tengah yakni dengan dicabutnya Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012. Namun, kendatinya Gubernur Jawa Tengah menerbitkan keputusan baru dengan dikeluarkannya Surat No. 660.1/6 tahun 2017 tentang Penerbitan Izin Lingkungan Semen di Rembang, sebagai tindak lanjut dari rekomendasi Komisi Penilai Amdal (KPA), yang men-gizinkan PT. Semen Indonesia melakukan penambangan pabrik di Rembang, Jawa Tengah tersebut. Meskipun demikian, kegiatan pertambangan semen hingga saat ini belum beroper-asi dikarenakan masih terjadi penolakan warga. Bahkan, sejak hari Kamis, tanggal 16 Maret 2017 warga kendeng berdatangan di Jakarta melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen berlokasi di sebrang kantor presiden hingga berlangsung 2 minggu. Dalam aksi tersebut, terjadi insiden meninggalnya Ibu Patmi salah seorang warga kendeng yang pada saat itu kakinya masih dicor semen, dimana sebelumnya telah dilakukan pemeriksaan oleh dokter, diduga terkena serangan jantung pada tanggal 21 Maret 2017. Oleh para aktivis lingkungan, Ibu Patmi disebut sebagai pahlawan kartini kendeng yang berjuang melawan rezim otori-tarianism dan justru kontradiktif terhadap program pemerintah yang selalu menyatakan tindakan untuk ikut menjadi resolusi sejati dari krisis perubahan iklim dan hilangnya ke-anekaragaman hayati, menegakkan hukum dan melakukan pembangunan dari pinggiran.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 108: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

97

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

III. Rekonstruksi hukum pembangunan dalam kebijakan pengaturan

lingkungan hidup dan sumber daya alam

Dalam kaitannya dengan hierarki norma38 hukum, Hans Kelsen mengemukakan

teori mengenai jenjang norma hukum (stufentheorie). Kelsen berpendapat bahwa

norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan berlapis-lapis dalam suatu

hierarki (tata susunan), dalam arti suatu norma yang lebih rendah berlaku,

bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang lebih tinggi

berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi, demikian

seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut dan

bersifat hipotesis dan fiktif, yakni norma dasar (Grundnorm).39

Menurut Bruggink sebagaimana dialihbahasakan oleh B. Arief Sidharta,40

bahwa orang berbicara tentang keberlakuan normatif suatu kaidah hukum, jika

kaidah itu merupakan bagian dari suatu sistem kaidah hukum tertentu yang

didalamnya kaidah-kaidah hukum itu saling menunjuk yang satu terhadap

lainnya. Sistem kaidah hukum yang demikian itu terdiri atas suatu keseluruhan

hierarkhi kaidah hukum khusus yang bertumpu pada kaidah-kaidah hukum

umum. Didalamnya, kaidah hukum khusus yang lebih rendah diderivasi dari

kaidah hukum umum yang lebih tinggi. Karena pada keberlakuan ini diabstraksi

dari isi kaidah hukum, tetapi perhatian hanya diberikan pada tempat kaidah

38 Perkataan ‘norm’ (dalam bahasa-bahasa Barat) berasal dari bahasa latin “norma”, dan di Jerman telah memperoleh sifat dari sebuah perkataan-pinjaman, yang menunjukkan teru-tama jika tidak secara eksklusif suatu ketertiban, preskripsi, atau perintah. Akan tetapi, hal memerintah adalah bukan satu-satunya fungsi dari sebuah norma. Memberikan ke-wenangan (authorising), mengizinkan dan penderogasian adalah juga fungsi-fungsi dari norma-norma. Menunjuk pada (merefer) norma-norma dari moralitas atau hukum sebagai preskripsi-preskripsi bagi tingkah lakubertimbal-balik antar manusia, dan dengan demikian berusaha untuk memunculkan (mengungkapkan) bahwa apa yang kita namakan “morali-tas” atau “hukum” terdiri dari norma-norma, adalah suatu agregasi, atau sistem dari norma-norma. Kita juga berbicara tentang “norma-norma” dari logika sebagai preskripsi-preskripsi bagi berpikir (menalar), tetapi asumsi bahwa asas-asas logikal yang demikian seperti hukum non-kontradiksi atau aturan-aturan inferensi mempunyai sifat dari norma-norma, bhwa logika sebagai sebuah ilmu (a science) berurusan dengan norma-norma sama sebagaimana etika dan ilmu hukummelakukannya adalah terbuka bagi perdebatan. Lihat: Hans Kelsen, Essays in Legal and Moral Philosophy, Hukum dan Logika, alih bahasa: B. Arief Sidharta, Cet. 2, (Bandung: PT Alumni, 2006), hlm. 1-2.

39 Kelsen, Hans, General Theory of Law and State, (New York: Russell & Russell, 1945), hlm. 113.40 Arief Sidharta, Refleksi Tentang Hukum, Alih Bahasa dari Bruggink dengan judul buku asli

“Rechtsreflecties”, Cet. 2, (Bandung: PT Citra Aditya, 1999), hlm. 150.

Page 109: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

98

hukum itu didalam sistem hukum, maka keberlakuan ini disebut juga keberlakuan

formal. Dalam pendekatan keberlakuan kaidah hukum ini, maka dengan demikian

tiap kaidah hukum harus diderivasi dari sistem hukum itu, tanpa memerhatikan

isi kaidah hukum itu.

Konsistensi antar norma berdasarkan hierarkhi peraturan tersebut senada

dengan kelompok positivis dari pemikiran H.L.A. Hart,41 sebagai tokoh aliran

positivis berusaha menjelaskan perubahan hukum dalam kehidupan modern,

dimana sebagian besar tatanan kehidupan masyarakat adalah hukum. Perubahan

masyarakat atau kehidupan berdasarkan kepada ‘primary rules of obligation’

(hukum yang muncul alami) kepada ‘secondary rules of obligations’ (struktur hukum

41 Hart mendefinisikan hukum sebagai suatu sistem aturan-aturan primer dan aturan-aturan sekunder. aturan primer berhubungan dengan aksi-aksi yang harus dilakukan atau tidak boleh dilakukan oleh individu-individu, sedangkan aturan-aturan sekunder berhubungan dengan pembuatan, penafsiran, penerapan dan perubahan aturan-aturan primer, seperti misalnya aturan-aturan yang harus diikuti oleh pembentuk undang-undang, pengadilan, dan administrator pada saat mereka membuat, menafsirkan, dan menerapkan aturan-aturan (primer). Lihat: Hart, H.L.A., The Concept of Law, (London: Oxford University Press, 1972), p.77.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 110: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

99

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

perundang-undangan).42 Kendati peralihan kepada sistem hukum modern43 dapat

disebut sebagai revolusi, tetapi kehadiran dan kekuatan dari tatanan masa lalu

tidak sama sekali hilang. Hukum yang diorientasikan kepada pembaharuan

masyarakat dalam perspektif Hart perlu adanya keseimbangan dengan primary

rules of obligations (hukum yang muncul alami), dalam bentuk kearifan lokal,

nilai-nilai, budaya hukum dan hukum yang ditemukan dan telah mendapatkan

kesepakatan masyarakat tersendiri.

42 Seorang eksponen Critical Legal Studies (CLS) Roberto M. Unger lebih jauh menegaskan bahwa dengan lahirnya hukum modern, maka telah lahir suatu institusi yang benar-benar disebut hukum. Dengan demikian, bentuk dan sistem pada masa lalu yang juga disebut hukum, sebetulnya tidak layak disebut sebagai demkian. Hukum modern itulah yang boleh menyandang sebutan hukum, sehingga disebut ‘the legal system’, sedang yang pernah ada tidak layak untuk disebut demikian. Lihat: Unger, Roberto Mangabeira, Law and Modern Society, Toward a Criticism of Social Theory, (New Yok: The Free Press, 1976), hlm. 66-76. Hu-kum semakin menjadi tipe penataan masyarakat yang sangat khas (distinct), sejak kelahiran sistem hukum moder di dunia. Tidak ada sistem hukum lain yang layak disebut ‘legal sys-tem’, kecuali sistem hukum modern. Lihat: Satjipto Rahardjo, Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum, Cet. I, (Malang: Bayumedia Publishing, 2009), hlm. 94.

43 Sistem hukum modern dicirikan oleh Marc Galanter sebagai berikut: (a) hukum uniform, terdiri dari peraturan-peraturan yang uniform dan tidak berbeda pula dengan penerapan-nya. Peraturan-peraturan yang sama dapat diterapkan bagi umat segala agama, warga semua suku bangsa, daerah kasta, dan golongan; (b) hukum transaksional, lebih cender-ung untuk membagi hak dan kewajiban yang timbul dari transaksi dari pihak-pihak yang bersangkutan daripada mengumpulkan didalam himpunan yang tak berubah-ubah yang disebabkan oleh hal-hal yang menentukan diluar transaksi-transaksi tertentu; (c) hukum universal, cara-cara khusus pengaturan dibuat untuk memberikan contoh tentang suatu pa-tokan yang sahih bagi penerapannya secara umum daripada menunjukkan sifat-sifatnya yang unik dan intuitif; (d) hierarki, terdapat suatu jaringan tingkat naik banding dan telaah ulang yang teratur untuk menjamin bahwa tindakan lokal sejalan dengan patokan nasional; (e) birokrasi, untuk menjamin adanya uniformitas, sistem hukum tersebut harus berjalan secara impersonal dengan mengikuti prosedur tertulis untuk masih-masing kasus dan me-mutuskan masing-masing kasus itu sejalan dengan peraturan yang tertulis pula; (f) rasion-alitas, peraturan dan prosedur dapat dipastikan dari sumber tertulis dengan cara-cara yang dapat dipelajari dan disampaikan tanpa adanya bakat istimewa yang non rasional; (g) pro-fesionalisme, sistem tersebut dikelola oleh orang-orang yang dipilih menurut persyaratan, yang dapat diuji untuk pekerjaan ini. persyaratan mereka ditentukan oleh penguasaannya atas cara-cara sistem hukum itu sendiri; (h) perantara, karena sistem itu menjadi lebih teknis dan lebih kompleks, maka ada perantara professional khusus diantara mahkamah pengadi-lan; (i) dapat diralat, tidak ada ketetapan hati didalam sistem prosedur itu. Sistem tersebut berisi kode biasa untuk merevisi peraturan-peraturan dan prosedur, agar memenuhi kebu-tuhan yang berubah-ubah atau untuk menyatakan kecenderungan yang berubah-ubah; (j) pengawasan politik, sistem demikian sangat berhubungan dengan negara yang memiliki persengketaan di kawasannya; dan (k) pembedaan., tugas untuk mendapatkan hukum dan menerapkannya pada kasus-kasus konkret dibedakan dari fungsi-fungsi kepemerintahan lainnya dalam hal personel dan teknik. Lihat: Galanter, Marc, “Hukum Hindu dan Perkem-bangan Sistem Hukum India Modern”, dalam A.A.G. Peters dan Koesriani-Siswosoebroto (ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1988), hlm. 147-149.

Page 111: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

100

Pemikiran tentang hukum yang kemudian melahirkan positivisme,44 tidak

dapat dipisahkan dari kehadiran negara modern sebelum abad ke-18, pikiran

itu sudah hadir dan menjadi semakin kuat sejak kehadiran negara modern.

Jauh sebelum tradisi untuk menuangkan atau menjadikan hukum positif itu,

masyarakat lebih menggunakan apa yang disebut interactional law atau customary

law. Akan tetapi, dengan semakin tidak sederhana lagi hubungan dan proses

dalam masyarakat, maka semakin kuat tuntutan terhadap pemositifan tersebut

atau terhadap the statutoriness of law. Hal ini karena dikehendaki adanya dokumen

tertulis, bukti-bukti tertulis, untuk meyakini dan mendasari terjadinya proses atau

transaksi hukum. Seperti diamati Roberto M. Unger, menyusul tipe hukum yang

interaksional tersebut, datang fase hukum yang positif dan publik. Perkembangan

tersebut mengiringi yang oleh Unger disebut sebagai tipe bureaucratic law.45

Penulis mengeksplorasi melalui gagasan diperlukannya rekonstruksi teori

hukum pembangunan. Rekonstruksi tersebut dapat dimaknai sebagai penataan

ulang atau menata kembali teori hukum pembangunan yang pada masa orde

baru terejawantahkan ke dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN),

untuk kemudian diterapkan era reformasi dalam konteks kebijakan (legal policy)

perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Semangat

yang terkandung dalam teori hukum pembangunan ternyata tidak diikuti oleh

semangat kekuasaan orde baru yang otoritarian dan represif, sehingga teori

hukum pembangunan gagal diimplementasikan dengan baik dalam konteks

kebijakan perundang-undangan lingkungan hidup dan sumber daya alam. Dalam

permasalahan lingkungan muncul ego sektoral antar kelembagaan atau instansi

pemerintahan, kelompok masyarakat sipil tidak berdaya melawan kekuasaan

44 Dalam pergulatan positivisme hukum yang lahir pada abad ke-18, terdapat dua bentuk: yaitu pertama, positivisme yuridis. Bahwa hukum dipandang sebagai suatu gejala tersendiri yang perlu diolah secara ilmiah. Tujuan positivisme adalah pembentukan struktur-struktur rasional sistem-sistem yuridis yang berlaku. Sebab, hukum dipandang sebagai hasil pengo-lahan sistem belaka, akibatnya, pembentukan hukum menjadi makin professional. Dalam positivism yuridis ditambahkan bahwa hukum adalah closed logical system. Artinya, per-aturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa perlu meminta bimb-ingan dari norma sosial, politik dan moral. Tokoh-tokohnya seperti R. von Jhering dan John Austin. Kedua, positivisme sosiologis, hukum ditanggapi sebagai terbuka bagi kehidupan masyarakat, yang harus diselidiki melalui metode-metode ilmiah. Tokoh yang mengawalin-ya adalah Auguste Comte, sebagai perintis positivism ini dengan menciptakan suatu ilmu pengetahuan antara hukum dan negara. Lihat: Theo Huijbers, Filsafat Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 1991), hlm. 32.

45 Roberto M. Unger, op.cit, hlm. 46.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 112: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

101

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

yang represif, meskipun pencemaran dan atau kerusakan lingkungan sedemikian

parahnya.

Dalam kasus yang terjadi di Samarinda sebagai ibukota Kalimantan Timur yang

70% wilayahnya adalah wilayah pertambangan,46 warga Samarinda merasakan

berbagai dampak terhadap lingkungan dan kesehatan mereka. Pembukaan

tambang batubara sangat memengaruhi kerusakan lingkungan, karena pembukaan

tambang batubara akan membuka lapisan permukaan dan dalam tanah yang

akan meningkatkan hilangnya humus, erosi dan mengakibatkan sedimentasi

berlebihan, sehingga meningkatkan peluang banjir. Pembukaan tambang batubara

juga berakibat pada pencemaran air dan udara yang berdampak pada kesehatan

masyarakat. Melihat kondisi yang demikian, interaksi hukum lokal dengan hukum

negara melahirkan suatu penghindaran hukum lokal terhadap hukum negara dan

terjadilah konflik.

Penyelesaian konflik ditengah kondisi lingkungan yang rusak, tidak adanya

reklamasi pasca tambang dan gangguan kesehatan bagi masyarakat lokal,

menjadi faktor penyebab dilakukannya gugatan class action oleh masyarakat.47

Gugatan ke pengadilan menjadi pilihan terakhir, seakan forum-forum mediasi

gagal diterapkan pemerintah daerah terhadap kasus ini. Dalam kajian ICEL

(Indonesian Center for Environmental Law),48 warga Samarinda melakukan gugatan

kepada pemerintah untuk pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik

dan sehat. Kasus ini diputus dalam Putusan Pengadilan Negeri Kota Samarinda

Nomor 55/Pdt.G/2013/PN Smda, dengan tergugat Walikota Samarinda, Menteri

Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gubernur Provinsi Kalimantan Timur,

Kementerian Lingkungan Hidup dan DPRD Kota Samarinda. Warga Samarinda

46 Energy Today, “Jatam Kaltim: tambang batubara kurangi ruang hidup warga”, http://ener-gytoday.com/2013/11/28/tambang-batubara-kurangi-ruang-hidup-warga/, diakses pada tanggal 2 Nopember 2016.

47 Dalam UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, terdapat 3 kelompok yang diberikan hak gugat, yakni pemerintah, masyarakat dan organ-isasi lingkungan hidup. Sebagai dasar hukumnya, hak gugat masyarakat diatur dalam Pasal 91 ayat (1) dinyatakan “masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila men-galami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.”

48 Rizkita Alamanda, Gugatan Warga Negara (Studi Kasus: Gerakan Samarinda Menggugat), dalam Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. I, Issue 2, Desember 2014, Jakarta: diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Lembaga Pengembangan Hukum Ling-kungan Indonesia, 2014, hlm. 118.

Page 113: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

102

menggugat pemerintah karena kelalaiannya untuk tidak dipenuhi kewajiban

mereka dalam memberikan lingkungan yang baik dan sehat, dalam hal ini

terkait dengan meningkatnya kerentanan warga Samarinda dalam menghadapi

perubahan iklim, dikarenakan banyaknya izin usaha pertambangan yang

beroperasi di wilayah Samarinda. Gugatan tersebut diputus oleh majelis hakim

dengan mengabulkan sebagian gugatan warga Samarinda, yaitu menyatakan para

tergugat lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk menciptakan lingkungan

hidup yang baik dan sehat, yang mengakibatkan kerugian kepentingan umum

bagi warga negara, khususnya warga kota Samarinda, menghukum para tergugat

untuk mengatur kembali suatu kebijakan umum mengenai pertambangan

batubara yang meliputi: evaluasi terhadap seluruh izin pertambangan batubara

yang telah dikeluarkan, mengawasi pelaku usaha untuk merealisasikan reklamasi

dan pasca tambang, perbaikan fungsi lingkungan hidup, melakukan upaya

strategis dalam perlindungan kawasan pertanian dan perikanan masyarakat dari

pencemaran sebagai akibat kegiatan pertambangan batubara. Selain itu, dalam

pertimbangannya majelis hakim juga menyimpulkan bahwa perubahan iklim

telah terjadi di seluruh dunia tidak terkecuali di Samarinda, yang ditandai dengan

perubahan intensitas curah hujan, sehingga menyebabkan banjir di wilayah

Samarinda serta menurunnya kualitas hidup warga karena tempat tinggal yang

berdebu, panas dan sulit mendapatkan air bersih akibat aktivitas tambang.49

Rekonstruksi dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan

di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam, penaatan hukum lingkungan

terletak pada instrumen perizinan lingkungan hidup yang utama, yakni tata

ruang, Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dan Amdal sejatinya perlu

mendapatkan partisipasi masyarakat dalam proses penyusunan kebijakan dan

dokumen lingkungan hidup. Dengan partisipasi, diharapkan pelaku usaha atau

masyarakat mampu meminimalisasi terjadinya pencemaran dan atau kerusakan

lingkungan hidup dalam artian ketaatan terhadap instrumen perizinan lingkungan

hidup. Filosofi dibalik norma instrumen perizinan lingkungan adalah dalam

rangka menghadirkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat. Bahkan,

teori hukum pembangunan yang digagas oleh Mochtar Kusumaatmadja memiliki

49 Untuk selebihnya lihat: Salinan Putusan Pengadilan Negeri Kota Samarinda Nomor 55/Pdt.G/2013/PN Smda, perkara antara Komari, dkk (penggugat) melawan Walikota Sa-marinda, dkk (tergugat), 23 Juli 2014, hlm. 134.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 114: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

103

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

kesamaan dengan pemikiran Satjipto Rahardjo tentang hukum dan perubahan

sosial.50 Dalam tataran praksis operasional, pascareformasi dari instrumen

perizinan lingkungan hidup memberikan nuansa baru kesadaran hukum bagi

pelaku usaha untuk taat terhadap hukum perizinan. Proses penerbitan instrumen

perizinan tersebut diharuskan melibatkan peran serta masyarakat berkaitan

dengan dampak lingkungan yang timbul di kemudian hari, termasuk manfaat

dan keseimbangan lingkungan. Namun, kelemahannya adalah pengendalian

sebagai bagian dari pengawasan dari pemerintah daerah terhadap pelaku usaha

yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan tidak tegasnya dalam

memberikan sanksi administrasi. Fungsi hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat pascareformasi dalam perspektif perundang-undangan lingkungan

hidup dan sumber daya alam perlu direkonstruksi yang senantiasa berorientasi

kepada kesejahteraan masyarakat yang ramah lingkungan, atau ekonomi

berkelanjutan. Negara wajib memenuhi hak-hak ekonomi, sosial, budaya warga

masyarakat sekitar yang tinggal di wilayah-wilayah sumber daya alam strategis,

karena hak-hak tersebut sebagai bagian dari HAM dalam kebijakan lingkungan

hidup dan sumber daya alam. Hubungan antara masyarakat dengan lingkungan

adalah masyarakat yang merupakan sekumpulan dari anggota-anggota individu

memiliki ketergantungan dengan lingkungan sebagai kehidupannya. Lingkungan

sangatlah kompleks, merupakan kombinasi antara kondisi fisik yang mencakup

keadaan sumber daya alam seperti tanah, air, energi surya, mineral, serta flora dan

fauna yang tumbuh di atas tanah maupun di dalam lautan, dengan kelembagaan

yang meliputi ciptaan manusia seperti keputusan bagaimana menggunakan

lingkungan fisik tersebut. Lingkungan juga dapat diartikan menjadi segala sesuatu

yang ada di sekitar manusia dan mempengaruhi perkembangan kehidupan

manusia yang terdiri dari komponen abiotik dan biotik. Dalam tataran praksis

50 Satjipto Rahardjo mengidentifikasi apabila berbicara mengenai hukum dan perubahan sos-ial, maka relevansi masalah yang dikajinya itu ditentukan oleh dua hal, yaitu: (a) Berhubun-gan dengan fungsi hukum sebagai lembaga atau mekanisme untuk menertibkan masyara-kat; dan (b) Berhubungan dengan masalaha perubahan sosial yang nampaknya merupakan suatu proses yang menjadi ciri masyarakat di dunia pada abad sekarang ini. Maka pem-bicaraan mengenai hukum dan perubahan sosial akan berkisar pada pengkajian tentang bagaimana hukum yang bertugas untuk menertibkan masyarakat dapat bersaing dengan perubahan sosial itu. Beberapa variabel yang mendorong timbulnya perubahan sosial dian-taranya adalah: a. variabel fisik, biologi, dan demografi; b. variabel teknologi; dan c. variabel ideologi. Lihat: Satjipto Rahardjo, Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hu-kum, Cet. 2, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2010), hlm. 122.

Page 115: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

104

operasional, hukum pembangunan akan berjalan dengan baik apabila diikuti

dengan kesadaran hukum masyarakat baik pemerintah, pelaku usaha, maupun

masyarakat sekitar dalam konteks kesadaran melestarikan lingkungan. Hukum

sebagai sarana pembaruan masyarakat bisa dicapai melalui instrumen peraturan,

perizinan, dan kesadaran hukum masyarakat, atau terdapat timbal balik yang baik

dengan masyarakat, dalam hal ini di bidang lingkungan hidup.

Hukum yang tidak mempunyai dimensi operasional, tidak mungkin

berperanan untuk mengatur perilaku dan mengendalikan hubungan antar

manusia dalam kesehariannya. Edmund Husserl seorang perintis fenomenologi,

lebenswelt mengatakan bahwa dunia kehidupan itu hanya ada dalam pengalaman

keseharian, atau seperti yang dikemukakan oleh Berger dan Luckmann bahwa

hidup manusia yang merupakan konstruksi sosial dari kenyataan itu terjadi dalam

kehidupan sehari-hari. Hal tersebut menjadikan alasan mengapa semua perumus

undang-undang atau peraturan seharusnya selalu berusaha untuk menyusun

ketentuan yang memuat rumusan dari suatu norma hukum dengan sejelas dan

selogis mungkin, sehingga sejauh mungkin menutup kemungkinan, bahwa

norma tersebut dibaca dan dipahami secara berlainan oleh para subjek hukum

yang berbeda.51 Dalam konteks demikian, para pembuat undang-undang sudah

seharusnya mengakomodasi apa yang menjadi kebutuhan masyarakat sebagai

bahan masukan dalam proses pembuatan peraturan dan kebijakan yang konkrit,

dengan demikian kemanfaatan akan tercapai karena bersumber dari kehendak

masyarakat. Sementara pendapat Mochtar Kusumaatmadja sebagaimana yang

dikutip oleh Suparnyo menyatakan bahwa hukum merupakan salah satu dari

kaidah sosial (disamping kaidah moral, agama, kaidah susila, kesopanan, adat

kebiasaan, dan lain-lain) yang merupakan cerminan dari nilai-nilai yang berlaku

dalam masyarakat, sehingga hukum yang baik adalah hukum yang hidup (living

51 Budiono Kusumohamidjojo, op.cit., hlm. 238.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 116: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

105

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

law).52 Untuk merekonstruksi teori hukum pembangunan dalam kebijakan (legal

policy) pembentukan hukum di bidang lingkungan dan sumber daya alam, haruslah

memiliki optik dan pendekatan secara holistik komprehensif dan interdisipliner.

Kerusakan lingkungan dan pencemaran pasca reformasi yang dikemas dalam

bentuk regulasi dan kebijakan (keputusan pejabat tata usaha negara) menunjukkan

proses pembentukannya tidak melibatkan peran serta masyarakat dan menjauhkan

dari spirit hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.

Hukum tidak selamanya menjalankan fungsinya dengan baik apabila dalam

penerapannya menimbulkan kekakuan, penuh dengan lobi dan pemilik modal

yang besar. Hal tersebut merupakan konsekuesi logis dari hukum yang disetir

untuk kepentingan politik dan ekonomi oleh kebijakan penyelenggara negara,

khususnya baik eksekutif dan legislatif. Agar penyusunan hukum dapat berjalan

dengan baik, steril dan responsif, maka perlu adanya diskursus-diskursus

dari masyarakat sipil yang berjalan secara komunikatif untuk mencapai suatu

konsensus bersama tanpa adanya pertikaian.53

Untuk mengakhiri proses penyusunan undang-undang yang sarat

kepentingan, menjauhkan hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat dan

menjerat masyarakat ke ranah proses hukum, maka filosofi yang terkandung dalam

cita hukum (rechtsidee) Pancasila sebenarnya diwujudkan dalam model-model

partisipasi dan aspirasi masyarakat, membuka ruang komunikasi dan mendorong

52 Suparnyo, dalam Pembentukan dan Penegakan Hukum Progresif, Dekonstruksi dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif, Cet. I, (Yogyakarta: Diterbitkan atas kerjasama Thafa Media den-gan Konsorsium Hukum Progresif Universitas Diponegoro Semarang, 2013), hlm. 155-156. Menurut Bruggink sebagaimana dialihbahasakan oleh Arief Sidharta mendefinisikan kai-dah hukum adalah isi aturan hukum, dan bahwa aturan hukum itu dapat tertulis maupun tidak tertulis. pertanyaan apakah suatu aturan hukum tertulis atau tidak tertulis adalah ti-dak selalu dapat dijawab secara sederhana. Jika sebuah aturan hukum dirumuskan dalam sebuah undang-undang, maka orang dengan kepastian dapat mengatakan bahwa ia ditetap-kan oleh pengemban kewenangan hukum dan karena itu termasuk dalam hukum positif. Namun memang ada aturan hukum yang oleh pembentuk undang-undang diandaikan pada waktu pembentukan aturan perundang-undangan, tanpa mereka dirumuskan sebagai demikian oleh pembentuk undang-undang. Dengan itu, aturan tersebut memang menjadi bagian dari hukum sebagai sistem konseptual, tetapi aturan itu tetap merupakan hukum tidak tertulis dan dengan demikian tidak termasuk dalam hukum positif. Arief Sidharta, op.cit., hlm. 91-92.

53 Wahyu Nugroho, “Menyusun Undang-Undang yang Responsif dan Partisipatif Berdasar-kan Cita Hukum Pancasila”, dalam Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 10, No. 3 September, (Ja-karta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, 2013), hlm. 215.

Page 117: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

106

untuk mampu melihat fakta sosial sehingga keputusan hukum yang dibuat

pembentuk undang-undang mencerminkan keadilan sosial dan memberikan

manfaat bagi rakyatnya. Konsep yang digunakan Mochtar Kusumaatmadja dengan

konsep Satjipto Rahardjo memiliki kesamaan dalam konteks fungsi hukum sebagai

sarana perubahan sosial dan atau pembaharuan masyarakat. Satjipto Rahardjo

selalu mengingatkan kepada kita semua, khususnya penyelenggara negara dan

yang duduk di parlemen bahwa hukum dibuat untuk menyejahterakan rakyat,

bukan malah menyengsarakan rakyatnya yang terlihat seperti di beberapa undang-

undang yang sering diuji materiil di Mahkamah Konstitusi (seperti UU Agraria,

UU Kehutanan, UU Sumber Daya Air, UU Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

pulau Kecil, UU Pertambangan, Mineral dan Batubara dan UU Perkebunan).

IV. Simpulan

Berdasarkan uraian pembahasan tersebut di atas, maka penulis dapat

memberikan simpulan sebagai berikut:

Pertama, teori hukum pembangunan di sektor pengelolaan lingkungan hidup

dalam perkembangan awal tidak berjalan dengan baik dikarenakan kuatnya

kepentingan penguasa. Hukum itu pada akhirnya merupakan alat perebutan

kekuasaan dalam masyarakat, yakni dominasi kekuasaan/politik dalam undang-

undang lingkungan hidup dengan semangat perubahan sosial dan pembaharuan

masyarakat. selain hal tersebut, ditemukan terjadi ego sektoral diantara

kementerian atau lembaga yang mestinya secara koordinatif menangani dan

menyelesaikan permasalahan pencemaran atau kerusakan lingkungan, termasuk

tidak ada sanksi yang tegas bagi pelaku kerusakan lingkungan. Perbedaan dari

teori hukum pembangunan sebelumnya di bidang kebijakan lingkungan hidup,

yakni pengembangan teori hukum pembangunan pascareformasi terkait kebijakan

pengelolaan lingkungan hidup adalah ditunjukkan dengan transparansi dan

peran masyarakat dalam proses pembuatan kebijakan melalui Undang-Undang

Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup,

termasuk proses pembuatan instrumen perizinan lingkungan dan pengawasan.

Selain itu, teori hukum pembangunan pasca reformasi akan memiliki daya laku

yang efektif disaat masyarakat terlibat dan ikut serta dalam proses penyusunan

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 118: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

107

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

dokumen lingkungan dan aktif menyuarakan hak-hak atas lingkungannya.

Kedua, rekonstruksi teori hukum pembangunan dalam kebijakan pembentukan

hukum di bidang lingkungan hidup dan sumber daya alam pascareformasi,

senantiasa diarahkan kepada daya dukung masyarakat (legal culture), kesejahteraan

sosial, dan lingkungan hidup. Dalam konteks kebijakan pembentukan hukum

lingkungan, partisipasi masyarakat menjadi hal yang utama dan diharapkan pelaku

usaha, termasuk masyarakat mampu meminimalisasi terjadinya pencemaran dan

atau kerusakan lingkungan hidup dalam artian ketaatan terhadap instrumen

perizinan lingkungan hidup. Filosofi dibalik daya dukung masyakarat (legal

culture) adalah dalam rangka menghadirkan hukum sebagai sarana pembaharuan

masyarakat. Dalam merekonstruksi teori hukum pembangunan, pembuat

kebijakan (legal policy) pembentukan hukum ranah legislatif di bidang lingkungan

dan sumber daya alam, haruslah memiliki optik dan pendekatan secara holistik

komprehensif dan interdisipliner.

Page 119: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

108

Daftar Pustaka

Amiq, Bachrul. 2013. Penerapan Sanksi Administrasi dalam Hukum Lingkungan. Cet. I,

Yogyakarta: Laksbang Mediatama.

Dimyati, Khudzaifah. 2004. Teorisasi Hukum Studi tentang Perkembangan Pemikiran

Hukum di Indonesia 1945-1990. Cet. I, Surakarta: Muhammadiyah University

Press.

Friedmann, W. 1993. Teori dan Filasafat Hukum; Susunan I, (Legal Theory), terjema-

han: Mohamad Arifin, Cetakan Kedua, Jakarta: PT. Raja Grafindo Perkasa.

Fuady, Munir. 2013. Teori-Teori Besar Dalam Hukum (Grand Theory). Cet. 2, Jakarta:

Kencana Prenadamedia Group.

Galanter, Marc. 1988. “Hukum Hindu dan Perkembangan Sistem Hukum India

Modern”, dalam A.A.G. Peters dan Koesriani-Siswosoebroto (ed). Hukum dan

Perkembangan Sosial. Buku Teks Sosiologi Hukum, Buku II, Jakarta: Pustaka

Sinar Harapan.

Hart, H.L.A.. 1972. The Concept of Law. London: Oxford University Press.

Helmi. 2012. Hukum Perizinan Lingkungan Hidup. Cet. I, Jakarta: Sinar Grafika.

Huijbers, Theo. 1991. Filsafat Hukum. Yogyakarta: Kanisius.

Kelsen, Hans. 1945. General Theory of Law and State. New York: Russell & Russell.

______. 2006. Essays in Legal and Moral Philosophy, Hukum dan Logika. Alih bahasa: B.

Arief Sidharta, Cet. 2, PT Alumni, Bandung.

Kusumaatmadja, Mochtar. 2002. Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan. Cet. I,

Bandung: PT Alumni.

Kusumohamidjojo, Budiono. 2016. Cet. I, Teori Hukum, Dilema antara Hukum dan

Kekuasaan. Bandung: Penerbit Yrama Widya.

Laudjeng, Hedar dan Simarmata, Rikardo. 2000. Pendekatan Madhab Hukum Non-

Positivistik dalam Bidang Hukum Sumber Daya Alam dalam Wacana. Edisi 6 tahun

II. Jakarta: HuMa.

WAHYU NUGROHO dan AGUS SURONO

Page 120: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

109

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Manan, Bagir. 1995. Pertumbuhan dan Perkembangan Konstitusi Suatu Negara.

Bandung: Mandar Maju.

MD., Moh. Mahfud. 1999. Pergulatan Politik dan hukum di Indonesia. Yogyakarta:

Gama Media.

Mertokusumo, Sudikno. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta:

Liberty.

Nonet, Philippe and Selznick, Philip. 2001. terj., Hukum dan Masyarakat Dalam

Transisi Menuju Hukum yang responsif. Jakarta: Media Nusantara.

Rahardjo, Satjipto. 2009. Lapisan-Lapisan Dalam Studi Hukum. Cet. I, Malang:

Bayumedia Publishing.

______. 2010. Pemanfaatan Ilmu-Ilmu Sosial Bagi Pengembangan Ilmu Hukum. Cet. 2,

Yogyakarta: Genta Publishing.

Rasjidi, Lili dan Putra, I.B. Wyasa. 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung:

Remaja Rosda Karya.

Sidharta, Arief. 1999. Refleksi Tentang Hukum. Alih Bahasa dari Bruggink dalam

buku “Rechtsreflecties”, Cet. 2, PT Citra Aditya, Bandung.

Sigler, Jay A. and Beede, Benyamin R. 1978. The Legal Sources of Public Policy. To-

ronto: Lexington Books.

Soemanto, RB. 2006. Hukum dan Sosiologi Hukum, Lintasan Pemikiran, Teori dan Ma-

salah. Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Suparnyo, 2013. ‘Pembentukan dan Penegakan Hukum Progresif’, Dekonstruksi

dan Gerakan Pemikiran Hukum Progresif. Cet. I, Yogyakarta: Diterbitkan atas

kerjasama Thafa Media dengan Konsorsium Hukum Progresif Universitas Di-

ponegoro Semarang.

Unger, Roberto Mangabeira. 1976. Law and Modern Society, Toward a Criticism of

Social Theory. New York: The Free Press.

______. Gerakan Hukum Kritis, (Critical Legal Studies). 1999. Diterjemahkan oleh Ifd-

hal Kasim, Jakarta: ELSAM.

Utomo, Laksanto. 2012. “Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum

Page 121: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

110

Page 122: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

111

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

PrinsiP Pencemar membayar untuk mendorong akses

komPensasi di kebiJakan asean dalam kasus Polusi kabut

asaP lintas batas

Oleh: Gandar Mahojwala Paripurno1

Abstrak

Kebakaran hutan telah terjadi semenjak 1980-an dan tiga tahun lalu masih

terjadi dengan dampak masif di Asia Tenggara. ASEAN selaku organisasi regional

menjadi pelopor untuk membuat perjanjian asap lintas batas yang mengatur

pencegahan asap lintas batas. Namun, tidak ada alur pemenuhan kompensasi

untuk korban dalam perjanjian tersebut. Artikel ini mengargumentasikan bahwa

Prinsip pencemar membayar (polluter-pays principle/PPP) dapat digunakan sebagai

salah satu upaya dalam untuk memberikan akses kompensasi dari pencemar untuk

korban. Terutama, dalam perkembangannya PPP menjadi prinseip yang memiliki

banyak alternatif dalam alur pemberian kompensasi. Artikel ini merupakan tulisan

yuridis-normatif dengan bentuk deskriptif.

Kata Kunci: prinsip pencemar membayar, polusi asap lintas batas, kompensasi.

Abstract

Forest fires have occurred since the 1980s and still occur until three years ago, with

massive impacts in Southeast Asia. ASEAN as a regional organization pioneered the

transboundary smoke agreement governing the prevention of transboundary haze. However,

there is no scheme of compensation for victims in the agreement. This article argues that the

1 Penulis adalah Pengacara Publik di Lembaga Bantuan Hukum Yogyakarta. Penulis lulus dari Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesaia dengan kekhususan Hukum Lingkungan. Penulis dapat dihubungi melalui [email protected].

Page 123: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

112

polluter-pays principle (PPP) can be used as an effort to provide compensatory access from

polluters to victims. Particularly, in its development PPP became a principle that has many

alternatives in the scheme of compensation. This article is a juridical-normative writing

with a descriptive form.

Keywords: polluter-pays principle, transboundary haze peollution, compensation.

I. Pendahuluan

Dua tahun telah berlalu semenjak kebakaran hutan dan lahan (karhutla)

bersamaan dengan kabut asap lintas batas terjadi di Asia Tenggara, walaupun

kasus ini memang bukan hal yang baru dan telah terjadi semenjak 1980 dan

1990-an.2 Karhutla memang terjadi paling banyak di Sumatera dan Kalimantan3

sehingga penunjukkan atas tanggung jawab sangat lekat pada Indonesia. Padahal

Indonesia, Malaysia, dan Singapura sama-sama berkepentingan dan mengambil

untung dari agrobisnis di Indonesia. Kasus karhutla dan asap, baik yang terjadi

pada 2015 maupun sebelumnya, tidak bisa dipisahkan dari teknik tebas dan bakar.4

Walaupun awalnya teknik ini hanya dilakukan oleh masyarakat lokal pada tahun

19945 namun perkembangannya pun menjadi kebiasaan perusahaan.6

Di sisi lain, ASEAN sebagai organisasi regional sudah seharusnya dapat

mengambil posisi untuk membuat strategi penanganan baik pada pencegahan

kejadian di lapangan, hingga mengatur mekanisme paska kejadian asap lintas

batas - termasuk pada mekanisme kompensasi. Namun hingga saat ini langkah

Perjanjian AATHP (Asean Agreement on Transboundary Haze Pollution) sebagai

upaya pusat dari ASEAN belum juga menciptakan persepakatan turunan maupun

mekanisme untuk korban pencemaran dalam meraih hak atas kompensasi.

2 ASEAN Haze Action Online, Information on Fire and Haze, http://haze.asean.org/about-us/information-on-fire-and-haze/

3 Ibid.

4 Indro Tjahjono, Hutan Kita Dibakar, (ISAI-SKEPHI, 1999), hlm. 13.5 Yayat Ruchiat, “Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus Tump-

ang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat,” Makalah Lokakarya Perencanaan Proyek Community Development Through Rehabilitation of Imperata Grasslands Using Trees: A Model Ap-proach Growing Vitex Pubescens for Charcoal Production in Kalimantan Indonesia (ACIAR). Ponti-anak: ACIAR, 2001, hlm. 1.

6 BBC News, “South East Asia Haze: What is Slash-and-Burn?”, http://www.bbc.co.uk/news/business-23026219

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 124: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

113

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Dalam hal pemenuhan kompensasi, sudah seharusnya ASEAN menggunakan

instrumen polluter pays principle (PPP) untuk memberikan akses bagi korban asap

lintas batas. PPP dikenal sebagai salah satu prinsip umum hukum internasional7

dan dianggap sebagai instrumen ekonomi yang paling mendasar8 dan efisien9

dalam kebijakan lingkungan modern. PPP juga telah menjadi dasar bagi banyak

putusan lingkungan hidup dan diterima secara luas oleh negara-negara dan

organisasi regional.10 Secara sederhana, PPP berarti biaya pengurangan polusi

harus dibayar oleh pencemar, bukan oleh pemerintah.11 PPP dapat digunakan oleh

organisasi regional – misalnya Uni Eropa yang telah berpengalaman mengadopsi

PPP secara terus menerus - atau digunakan dalam peraturan domestik bagi tiap-

tiap negara. Prinsip ini sendiri dikenal sebagai peran penting dalam kebijakan

lingkungan nasional dan internasional.12 Sehingga, implementasi prinsip ini secara

penuh dapat dilakukan untuk meraih akses kompensasi dari pencemar untuk

korban pencemaran,13 dan relevan untuk dilaksanakan pada konteks ASEAN

secara organisasi regional dalam menghadapi kasus kabut asap lintas batas. Artikel

ini mengargumentasikan bahwa PPP dapat digunakan sebagai salah satu upaya

dalam untuk memberikan akses kompensasi dari pencemar untuk korban. Artikel

ini merupakan tulisan yuridis-normatif dengan bentuk deskriptif.

II. Prinsip Pencemar Membayar dalam Hukum Internasional

2.1. Awal Perkembangan Prinsip Pencemar Membayar

PPP secara esensial adalah kebijakan ekonomi untuk mengalokasikan biaya

polusi atau kerusakan lingkungan.14 Organisation for Economic Co-operation and

7 Malcolm N. Shaw, International Law, (New York: Cambridge University Press, 2008), hlm. 870.8 Ibid.

9 Muhammad Munir, “History and Evolution of the Polluter Pays Principle: How an Economic Idea Became a Legal Principle?” Social Science Research Network. https://ssrn.com/abstract= 2322485. 2013, hlm. 2.

10 Dinah Shelton, Judicial Handbook on Environmental Law (Kenya: United Nations Environment Programme, 2005), hlm 6.

11 Ibid.12 Margaret Rosso Grossman, “Agriculture and the Polluter Pays Principle: An Introduction,”

Oklahoma Law Review, Volume 59, 2006. US: University of Oklahoma College of Law, hlm. 3. 13 Patricia Birnie, International Law & Environment, (UK: Oxford University Press, 2009), hlm.

324.14 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.

Page 125: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

114

Development (OECD) membuka jalan untuk adopsi formal bagi PPP. Praktek untuk

melaksanakan PPP menjadi rekomendasi bagi negara-negara anggota OECD yang

tertuang secara formal dalam sebagai “Guiding Principle Concerning the International

Economic Aspects of Environmental Policies”,15 yang mendapat penerimaan dan

dukungan secara cepat.16

Konsep dasar dari prinsip panduan ini adalah internalisasi biaya eksternal.17

Biaya eksternal tumbuh saat aktivitas ekonomi maupun sosial dari suatu kelompok

memberikan dampak pada kelompok lain, dan membutuhkan pencemar untuk

membayar biaya pencegahan dan kontrol polusi.18 Namun, ukuran biaya pencegahan

dan pengendalian pencemaran untuk harus direfleksikan dalam harga barang dan

jasa yang menjadi sumber polusi.19 Diasumsikan bahwa agar biaya produksi tetap

rendah, produsen akan berusaha mengurangi polusi.20 Ada beberapa cara untuk

internalisasi, salah satu kemungkinannya dengan pajak lingkungan (eco-tax), yaitu

dengan mengenakan pajak bahan bakar dan teknologi yang merusak lingkungan

sesuai dengan biaya eksternal yang ditimbulkan.21 Namun, standar lingkungan

yang diciptakan OECD tidak jelas, hanya menyatakan standar lingkungan adalah

dalam ‘keadaan yang dapat diterima’.22 Sehingga, konsep PPP dalam OECD masih

membutuhkan banyak penjabaran.

PPP pada awalnya tidak lebih dari sekedar prinsip efisiensi untuk

mengalokasikan biaya, sehingga pengurangan polusi tidak termasuk dalam

konsepnya meskipun tidak ada batasan ataupun larangan untuk melakukannya.23

Prinsip ini juga tidak melarang implementasi yang mengarah pada hukuman untuk

pencemar.24 Dengan kata lain, prinsip ini lebih didasarkan pada pertimbangan

efisiensi dagang dan ekonomi daripada perbaikan dan perlindungan lingkungan.

Sehingga awalnya PPP lebih dianggap sebagai prinsip ekonomi daripada prinsip

15 Ibid.

16 Ibid., hlm. 7.17 Ibid., hlm. 4.18 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 10.19 Pierre-Marie Dupuy, International Environmental Law, (UK: United Kingdom, 2015), hlm. 72.20 Patricia Birnie, Op.Cit.

21 Ibid.

22 Ibid.

23 Muhammad Munir, Loc.Cit., hlm. 10.24 Ibid., hlm. 9.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 126: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

115

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

lingkungan. 25 Terlepas dari kekurangannya, OECD merekomendasikan bagi

negara-negara anggota untuk melindungi lingkungan dengan mengambil tindakan

yang lebih luas.26

2.2. Perkembangan Prinsip Pencemar Membayar Setelah OECD Guiding

Principle

Sejak Konfrensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan 1992, PPP untuk

pertama kalinya mendapat dukungan internasional sebagai sebuah kebijakan

lingkungan.27 Langkah ini menggambarkan pentingnya prinsip sebagai prinsip

fundamental yang diakui di tingkat global,28 tidak lagi seperti OECD yang terbatas

pada negara-negara anggota.

Prinsip ke-16 dalam Deklarasi Rio – sebagai produk dari Konferensi PBB

tentang Lingkungan dan Pembangunan – juga menekankan arti PPP yang

diberikan oleh OECD.29 Deklarasi Rio menjelaskan bahwa otoritas nasional harus

berusaha untuk mempromosikan internalisasi biaya lingkungan dan penggunaan

instrumen ekonomi, dengan mempertimbangkan pendekatan bahwa pencemar

pada prinsipnya harus menanggung biaya pencemaran, dengan memperhatikan

kepentingan publik dan tanpa distorsi terhadap perdagangan internasional dan

investasi. Walaupun, berdasarkan prinsip tersebut, tidak dapat dikatakan bahwa

PPP dimaksudkan untuk mengikat secara hukum.30 Selain tidak memiliki karakter

normatif dari sebuah peraturan hukum,31 ini juga berdasarkan sifat hukum lunak

dari Deklarasi Rio.32

25 Ibid., hlm. 7.26 Ibid., hlm. 9.27 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.28 Ayobomi Olaniyan, “Imposing Liability for Oil Spill Clean-Ups in Nigeria: An Examination

of the Role of the Polluter-Pays Principle” Journal of Law, Policy, and Globalization, Volume 40, 2015. IISTE, hlm. 76.

29 Ibid.

30 Patricia Birnie, Op.Cit.

31 Ibid.

32 Pierre-Marie Dupuy, Op.Cit., hlm. 72.

Page 127: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

116

Dalam perkembangannya, beberapa perjanjian setelah Rio mewajibkan pihak-

pihak perjanjian untuk menerapkan PPP,33 dan lainnya menggunakan istilah

panduan yang lebih lunak.34 PPP hanya muncul dalam beberapa perjanjian yang

terbatas pada pencemaran saluran air internasional (watercourse), polusi laut,

kecelakaan industri lintas batas, dan energi.35 Meskipun ada contoh implementasi

secara lebih luas dalam kebijakan dan perundang-undangan nasional – misalnya

dalam European Community Treaty – namun hal tersebut tidak berarti menunjukkan

pola praktik dalam negara secara umum.36

Namun dalam perkembangannya sebagaimana dimaksud dalam Convention

on Oil Pollution Preparedness, Response and Co-operation in 1990 dan Convention on

the Transboundary Effects of Industrial Accidents in 1992, PPP diakui sebagai ‘prinsip

umum hukum lingkungan internasional’.37 Prinsip umum hukum diakui sebagai

sumber hukum internasional oleh Pasal 38 (1)(c) Statuta Mahkamah Internasional.38

2.3. Prinsip Pencemar Membayar dalam Perpsektif Hukum Internasional

Prinsip umum hukum dipandang sebagai instrumen yang lemah, dikarenakan

keterikatannya sering dipertanyakan,39 dan juga dianggap tidak tepat, samar,40

dan ketidakpastian dalam implementasi41 serta dikenal sebagai instrumen yang

tidak dapat ditegakkan secara hukum.42 Sehingga, prinsip umum hukum masih

bergantung pada pengakuan dalam perjanjian dan kebiasaan. Hal ini terlihat

dari pendapat Mahkamah Internasional yang menyatakan bahwa prinsip umum

33 Mentioned in 1992 Paris Convention for the Protection of the Marine Environment of the NE Atlantic, Article 2(2)(b); 1992 Helsinki Convention on the Protection of the Marine En-vironment of the Baltic Sea Area, Article 3 (4); 1994 Danube River Protection Convention, Article 2(4); 1995 Barcelona Convention for the Protection of the Marine Environment and the Coastal Region of the Mediterranean, Article 4.

34 Mentioned in 1990 Convention on Oil Pollution Preparedness, Response and Cooperation, Preamble: 1992 Helsinki Convention on the Protection and Use of Transboundary Water-courses and Lakes, Article 2(5); 1995 Protocol to the Londong Dumping Convention, Article 3; 1999 Convention on the Protection of the Rhine, Article 4.

35 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.36 Ibid.

37 Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 870.38 Martin Dixon MA, International Law, (London: Blackstone Press Limited, 2000), hlm. 41.39 Malcolm N. Shaw, Op.Cit., hlm. 279.40 Ibid., hlm. 49.41 Ibid., hlm. 871.42 Ibid., hlm. 279.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 128: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

117

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

hukum membutuhkan penekanan dengan argumen yang terfokus baik pada

kebiasaan maupun perjanjian internasional.43 Meskipun demikian, prinsip umum

hukum masih dapat memberikan dampak mendasar terhadap perkembangan

hukum internasional, baik memberikan alasan mengapa norma-norma tertentu

harus diadopsi atau sebagai stimulus untuk praktik negara yang mengarah pada

penciptaan kebiasaan dan perjanjian.44

Pada kondisi tertentu, sifat tidak tepat dari prinsip umum hukum adalah

menguntungkan, karena prinsip ini menjadi mudah berkembang dan mengisi

kondisi baru yang asing. Contohnya, dalam prinsip tidak merugikan (no

harm principle) awalnya hanya untuk melindungi teritori bagi negara, namun

implementasinya berkembang pada posisi perlindungan terhadap lingkungan

baik didalam maupun diluar jurisdiksi negara.45

PPP sebagai prinsip umum hukum pun berkembang. Variasi yang berbeda

dari PPP muncul, terutama pada kebutuhan untuk memberikan kompensasi segera

untuk korban kerusakan lingkungan.46 Secara umum variasi tersebut menjadi tiga,

yaitu instrumen pajak Pigouvian, instrumen ekonomi (market-based), dan atur dan

awasi (command and control).47 Instrumen ekonomi dan atur dan awasi merupakan

instrumen yang juga digunakan untuk memecahkan permasalahan eksternalitas.48

Atur dan awasi adalah instrumen yang dikenali dengan pendekatan peraturan

atau standar,49 yang juga kerap disebut sebagai pendekatan konvensional yang

kurang fleksibel.50 Instrumen ekonomi mendorong perilaku melalui sinyal pasar,

bukan melalui petunjuk eksplisit mengenai tingkat atau metode pengendalian

43 Ibid., hlm. 41.44 Martin Dixon MA, Op.Cit., hlm. 41.45 Pierre-Marie Dupuy, Op.Cit., hlm. 53.46 Barbara Luppi, “The Rise and Fall of the Polluter-Pays Principle in Developing Countries”,

International Review of Law and Economics, Volume 32, 2012. Netherlands: Elsevier. Hlm. 135.

47 Ibid.

48 Muhammad Munir, “Implementation of the Polluter Pays Principle or Economic Approach-es to Pollution: Command and Control, Taxes/Charges, and Tradable Discharges Permits (TDPs)” Social Science Research Network, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=2378796, hlm. 8.

49 Ibid.

50 Richard L. Revesz, “Environmental and Policy”, Social Science Research Network, https://papers.ssrn.com/sol3/papers.cfm?abstract_id=552043, hlm. 33

Page 129: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

118

pencemaran.51

PPP juga berkembang yang awalnya sebagai kebijakan yang berorientasi

ekonomi, menjadi prinsip lingkungan untuk mencari pertanggungjawaban dari

pencemar.52 Negara tidak lagi hanya menggunakan metode internalisasi dengan

merefleksikan harga barang dan jasa, namun juga dengan aturan pajak, ataupun

beban biaya.

Hal yang juga mempengaruhi perkembangan dan perbedaan dari penerapan

PPP ialah dikarenakan tiap negara memiliki kapasitas lingkungan yang berbeda,

terutama dalam berhadapan dengan polusi.53 Tiap negara juga memiliki tujuan

dan prioritas sosial yang berbeda terkait perlindungan lingkungan, dan perbedaan

pada tingkat industrialisasi dan kepadatan populasi.54 Dengan demikian, kebijakan

lingkungan dari satu negara bagian ke negara lain akan berbeda, dan otoritas

publik seperti pemerintah dan pengadilan dapat dan harus mempertimbangkan

PPP dalam pengembangan hukum dan kebijakan lingkungan,55 tetapi harus

memutuskan cara menerapkan PPP untuk menjadi kewajiban yang mengikat,

melalui instrumen kebijakan, peraturan, standar, atau instrumen ekonomi56 yang

meliputi standar proses dan produk, peraturan dan larangan bagi individual, atau

biaya polusi.57 Sehingga, PPP tidak dapat dianggap sebagai aturan yang kaku dan

diterapkan secara seragam pada semua kasus.58

2.4. PPP Sebagai Akses Kompensasi Untuk Korban Pencemaran

Variasi implementasi PPP ada untuk menjamin kompensasi bagi korban

pencemaran.59 Komisi Hukum Internasional juga mendukung upaya dengan

menyatakan bahwa ‘PPP adalah komponen penting untuk menjamin bahwa

51 Ibid.

52 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 322.53 Muhammad Munir, Loc.Cit., hlm. 12.54 Ibid.,

55 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 323.56 Jean-Philippe Barde, “Economic Instruments in Environmental Policy; Lessons From the

OECD Experience and Their Relevance to Developing Economies”, OECD Development Centre Working Paper No. 92. France: OECD, 1994, hlm. 6.

57 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 7.58 Ibid.

59 Mizan R. Khan, Loc.Cit., hlm. 645.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 130: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

119

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

korban yang menderita atas kerusakan dari insiden yang berkaitan dengan

aktifitas berbahaya mampu mendapatkan kompensasi yang segera dan

memadai’.60 Namun unsur subjektif negara juga mempengaruhi variasi tersebut

menjadi berbeda-beda.61 Dalam mengimplementasikan dalam instrumen hukum,

tidak semua negara menyebut terminologi ‘prinsip pencemar membayar’, namun

menggunakan konsep dari prinsip tersebut tanpa menggunakan istilahnya.62

Banyak perundang-undangan lingkungan hidup sesuai dengan kondisi ini.63

Beberapa implementasi PPP yang paling sering dilakukan negara-

negara adalah dengan internalisasi melalui pajak ataupun denda, dan juga

aturan tentang pertanggungjawaban melalui proses hukum perdata maupun

publik. Selain melaksanakan PPP untuk kepentingan efek jera bagi pencemar64

dengan mencabut lisensi pencemar, denda, ataupun hukuman pidana,65 negara

dengan memberlakukan PPP dapat mencari kompensasi dari pencemar, dan

menghubungkannya pada pembayaran kompensasi untuk korban pencemaran

dan melakukan pemulihan dan konservasi lingkungan.66 Fungsi ini sekaligus

melengkapi pemenuhan prinsip pencegahan.67 Implementasi PPP dengan proses

perdata dapat membuka akses bagi korban untuk menuntut kompensasi langsung

ke pencemar tanpa campur tangan pemerintah.68 Keuntungan lain tuntutan perdata

adalah mengembangkan pendekatan berbasis hak terhadap masalah lingkungan.69

Upaya perdata memang menjadi peluang dikarenakan kasus polusi lintas batas

maupun domestik sebagian besar disebabkan oleh pihak privat, dan menyebabkan

pihak privat lain menjadi korban.70

60 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 324.61 Ibid., hlm. 323.62 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 32.63 Ibid.

64 Chen-Ju Chen, “The Liability and Compensation Mechanism under International Marine Environmental Law: Adopting the Polluter Pays Principle to Control Marine Pollution un-der International Law from Aspect of International Cooperation”, LOSI Conference Papers, Conference on Securing the Ocean for the Next Generation, California: LOSI, 2012, hlm. 10.

65 Ibid.

66 Margaret Rosso Grossman, Loc.Cit., hlm. 9.67 Ibid., hlm. 32.68 Ibid.

69 Ibid.

70 Ibid.

Page 131: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

120

III. Tantangan atas Kabut Asap di Asia Tenggara

Kasus kabut asap yang terjadi di Asia Tenggara pada tahun 2015 lalu dapat

menjadi momentum bangkitnya kerjasama ASEAN untuk kembali bekerja sama

dalam mengatasi kebakaran hutan yang secara faktual lintas kepentingan berbagai

negara. Perlu dipahami bahwa pertanggungjawaban tidak dapat diletakkan hanya

pada Indonesia, terutama dengan melihat bahwa kepentingan bisnis dari agrobisnis

dinikmati Singapura dan Malaysia melalui perusahaannya, yang disisi lain juga

menjadi korban kabut asap. Hal ini terlihat dari lima puluh persen kepemilikan

lahan perkebunan di Indonesia dimiliki oleh asing, terutama perusahaan Malaysia

dan Singapura.71 Malaysia juga merupakan investor nomer satu dalam sektor

kelapa sawit di Indonesia.72 Namun, isu perusahaan tersebut tidak didiskusikan

dan tidak mendapat perhatian dalam negosiasi perjanjian AATHP (Asean

Agreement on Transboundary Haze Pollution) dikarenakan dinilai terlalu sensitif.73

Padahal, ASEAN juga memahami bahwa pembakaran lahan adalah sumber utama

dari asap.74

Perjanjian AATHP merupakan upaya pusat dari ASEAN untuk memberantas

asap.75 Persetujuan ini pada intinya meminta pihak-pihak untuk melakukan, antara

lain, (i) tindakan legislatif dan administratif untuk mencegah dan mengendalikan

kegiatan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan lahan dan hutan yang dapat

mengakibatkan pencemaran lintas batas, dan (ii) tindakan bersama dan nasional

untuk mengintensifkan kerja sama regional dan internasional untuk mencegah,

menilai, dan memantau pencemaran kabut lintas batas yang berasal dari darat dan

71 Helena Varkkey, “Transboundary Haze and Human Security in Southeast Asia: National and Regional Perspectives”, Georgetown Journal of Asian Affairs, 3(1), 2016. US: Georgetown Uni-versity, hlm. 44.

72 Daniel Helimann, “After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement on Transbound-ary Haze Pollution and its Effectiveness As a Regional Environmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Volume 34 (3) (2015) hlm. 109.

73 Euston Quah, “The Political Economy of Transboundary Pollution: Mitigation Forest Fires and Haze in Southeast Asia”, dalam The Asian Community – Its Concepts and Prospects. Tokyo: Soso Sha. (2013), hlm. 18.

74 Ibid.

75 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 96.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 132: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

121

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

hutan.76 Perjanjian AATHP menekankan pada kooperasi, koordinasi, dan konsultasi

antara para pihak.77 Sementara itu, AATHP memiliki kelemahan berkaitan dengan

ketidakadaan dalam penanganan masalah teknis yang penting, seperti: (i) tidak

ada mekanisme penyelesaian sengketa dengan jelas78; (ii) tidak ada kewajiban dan

sanksi yang ditetapkan79 dan; (iii) tidak ada ganti rugi secara langsung.80 Ketiadaan

mekanisme pencarian ganti rugi maupun kompensasi untuk korban menunjukkan

bahwa Perjanjian AATHP tidak mengadopsi PPP. Bagaimanapun, ganti rugi adalah

salah satu aspek penting dari PPP.81

IV. Implementasi PPP dalam Skema Kompensasi

4.1. Mengejar Pemenuhan Kompensasi dengan Implementasi Polluter

Pays Principle dalam konteks Hak Akses yang Setara untuk Upaya

Perbaikan Tingkat Nasional

Dalam menjamin hak-hak korban, salah satu elemen penting dari PPP adalah

hak akses yang setara untuk upaya perbaikan tingkat nasional (equal rights to

access national remedies). Hak ini bertujuan memberikan perlakuan setara untuk

korban pencemaran domestik maupun lintas batas untuk mengakses perbaikan

dari negara asal pencemaran.82 Hak ini termasuk akses untuk informasi, partisipasi

dalam pemeriksaan administratif dan proses hukum, dan penerapan standar

non-diskriminatif untuk menentukan ilegalitas pencemaran domestik maupun

lintas batas.83 Hak ini tidak dapat dipisahkan dengan prinsip non-diskriminasi

dikarenakan keterkaitannya yang dekat. Non-diskriminasi menekankan pentingnya

pemulihan domestik (yang dapat dilakukan melalui aturan-aturan domestik

maupun internasional) untuk menjamin bahwa keuntungan dari perbaikan dan

76 Fadhilah Abdul Ghani, “Review on ASEAN Transboundary Haze Pollution Agreement 2002: Problems and Solutions,” Journal of Humanities, Language, Culture, and Business, Volume 1(1), (2017) hlm. 156.

77 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 111.78 Ibid.

79 Apichai Sunchindah, Loc.Cit.

80 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 108.81 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 324.82 Chen-Ju Chen, Loc.Cit., hlm. 10.83 Ibid.

Page 133: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

122

prosedurnya diperluas hingga penggugat lintas batas.84 Sehingga, korban diluar

jurisdiksi negara mendapatkan alur akses langsung untuk pemulihan domestik

dari negara dimana pencemaran dan sumber kerusakan berasal. Juga, menjamin

bahwa pencemar lintas batas menjadi subjek hukum yang tidak lebih ringan dari

pencemaran domestik.85

Namun dengan melaksanakan hak akses yang setara dan non-diskriminasi,

tidak lantas implementasi PPP terhadap korban lintas batas menjadi mudah. Perlu

dipastikan pula penyelesaian masalah hukum seperti pilihan hukum (choice of law)

dan yurisdiksi bagi hukum perdata internasional dan harmonisasi hukum nasional

yang berkaitan dengan pertanggungjawaban atas kerusakan lingkungan. Deklarasi

Rio dan Stockholm tidak menunjukkan dukungan secara jelas atas prinsip non-

diskriminasi86 namun Komisi Hukum Internasional memberikan dukungan yang

konsisten dalam konteks kasus lingkungan lintas batas.87 Subjek bagi hak ini tidak

hanya untuk individual, namun juga organisasi non-pemerintah dan otoritas

publik. Hal ini yang perlu dikejar dalam pembuatan kerangka-kerangka kebijakan

ASEAN setelah Perjanjian AATHP. Harmonisasi aturan-aturan tersebut yang

seharusnya dilakukan oleh ASEAN dalam perjanjian paska AATHP. Terutama,

melihat kondisi ASEAN yang masih sulit untuk memberikan akses kompensasi

dalam kerangka litigasi, dikarenakan cara-cara litigasi dipandang kontradiksi

dengan nilai-nilai ASEAN khususnya prinsip non-intervensi dan kedaulatan

(sovereignty).88

Harmonisasi tidak terbatas pada aturan ASEAN dengan PPP, namun juga

kebijakan lingkungan apa yang akan ditentukan dan diterapkan bagi negara

anggota. Dengan demikian, kebijakan lingkungan dari satu negara bagian ke

negara lain akan keterkaitan.

4.2. Reinterpretasi PPP dalam Government-Pays dan Victim-Pays

Dalam mengedepankan hak kompensasi bagi korban, beberapa negara

84 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 304.85 Ibid., hlm. 305.86 Ibid.

87 Ibid.

88 Daniel Helimann, Loc.Cit., hlm. 110.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 134: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

123

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

memberlakukan metode pemerintah-membayar (government-pays).89 Metode

tersebut dilakukan untuk menjamin kompensasi efektif dan tepat waktu. Sehingga,

pemerintah mempercepat pemenuhan hak kompensasi bagi korban pencemaran.90

Metode pemerintah-membayar sering dilakukan ketika pencemar tidak dapat

diidentifikasi atau pailit,91 maupun saat kompensasi memakan waktu lama.92

Metode ini menyusun ulang dasar pemikiran orisinil dari PPP.93 Reinterpretasi ini

menetapkan pemerintah daerah dan pemerintah pusat bersama-sama menanggung

kerusakan lingkungan.94 Sehingga, kelak pemerintah menggantikan korban untuk

mencari kompensasi dari pencemar. Prinsip subrogasi dapat dilaksanakan oleh

pemerintah ke pencemar.95

Namun dalam konteks untuk mengurangi tingkat polusi, beberapa negara

memilih untuk melakukan metode korban-membayar (victim-pays). Metode ini

dilakukan oleh suatu negara untuk membujuk negara lain untuk mengurangi

polusi.96 Hal ini juga berarti negara yang lingkungannya telah dicemari (korban)

memberikan bantuan finansial kepada negara yang menyebabkan pencemaran

(pencemar).97 Dengan begitu, pencemar mendapatkan subsidi untuk melakukan

upaya kontrol polusi.98 OECD memahami bahwa pada beberapa kasus, PPP harus

diabaikan dalam melakukan victim-pays.99 Walaupun, implementasi victim-pays

bukan merupakan kontradiksi atas pelaksanaan PPP.100

Tentu, harus ada persepakatan bentuk interpretasi mana yang akan

dilaksanakan dari negara-negara anggota ASEAN dalam mengimplementasikan

interpretasi diatas. Termasuk, dalam konteks mana ASEAN akan membuat

89 Barbara Luppi, Loc.Cit., hlm. 142.90 Mizan R. Khan, Polluter-Pays-Principle: The Cardinal Instrument for Addressing Climate

Change, Laws, Volume 4, 2015. Switzerland: MDPI, hlm. 645.91 Ibid.

92 Ibid.

93 Ibid.

94 Barbara Luppi, Loc.Cit., hlm. 142.95 Ibid.

96 Patricia Birnie, Op.Cit., hlm. 325.97 Hyung-Jin Kim, “Subsidy, Polluter Pays Principle and Financial Assitance among Coun-

tries,” Journal of World Trade, Volume 34(6), 2000. Netherlands: Kluwer Law International. Hlm. 129.

98 Jean-Philippe Barde, Loc.Cit. hlm. 6.99 Hyung-Jin Kim, Loc.Cit., hlm. 129.100 Ibid., hlm. 133.

Page 135: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

124

target dalam kebijakannya. Implementasi government-pays jelas mengedepankan

kompensasi untuk korban dengan cara pemenuhan secepat mungkin dengan

pendanaan yang dibayarkan oleh pemerintah terlebih dahulu. Sedangkan untuk

upaya pencegahan, victim-pays dapat menjadi alternatif untuk dipertimbangkan

dalam implementasinya, mengingat bahwa ada relasi ekonomi yang kuat diantara

ketiga negara (Singapura, Indonesia, Malaysia) dan kepentingan bisnis di

perkebunan Indonesia.

V. Penutup

Memang, baik Indonesia, Singapura, dan Malaysia memiliki kepentingan di

balik kebakaran di Indonesia dan tidak akan dapat diselesaikan hanya dengan

pendekatan kesepakatan bersama ASEAN, tanpa ada keinginan politik dari tiap

negara. PPP dalam bentuk implementasi maupun variasinya dapat menjadi

rujukan dalam mendorong kompensasi untuk korban dari polusi udara yang

terjadi di ASEAN, ataupun menjadi instrumen pencegahan. Hal tersebut dapat

dilaksanakan ASEAN, walaupun sebagai organisasi regional yang memiliki

kondisi politik dan keputusan kebijakan yang bersifat diplomatis.

Tentu, PPP tidak lantas menjadi prinsip sapu jagad. Beberapa hal perlu

dipersiapkan terutama oleh negara-negara yang berdampak dan mempunyai

relasi langsung dengan kabut asap ini dan juga kesiapan ASEAN sebagai

organisasi regional yang akan menjadi penentu kebijakan regional pula. Perlu

untuk menetukan target kedepan dari kebijakan lingkungan yang akan ditentukan

oleh ASEAN, tentu dengan mempertimbangkan kepentingan-kepentingan yang

lekat pada Singapura, Indonesia, dan Malaysia.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 136: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

125

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Daftar Pustaka

ASEAN Haze Action Online. Information on Fire and Haze, http://haze.asean.

org/about-us/information-on-fire-and-haze/, diakses tanggal 1 November

2017.

Tjahjono, Indro. 1999. Hutan Kita Dibakar. Indonesia: ISAI-SKEPHI.

Ruchiat, Yayat. “Penyebab dan Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan: Studi Kasus

Tumpang Titi, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat”. Makalah Lokakarya

Perencanaan Proyek Community Development Through Rehabilitation of Imperata

Grasslands Using Trees: A Model Approach Growing Vitex Pubescens for Charcoal

Production in Kalimantan Indonesia (ACIAR). Pontianak: ACIAR, 2001.

BBC News, South East Asia Haze: What is Slash-and-Burn?, http://www.bbc.

co.uk/news/business-23026219, diakses tanggal 1 November 2017.

Shaw, Malcolm N. 2008. International Law. New York: Cambridge University Press.

Munir, Muhammad. 2013. “History and Evolution of the Polluter Pays Principle:

How an Economic Idea Became a Legal Principle?” Social Science Research Net-

work. https://ssrn.com/abstract=2322485, 2013.

Shelton, Dinah. 2005. Judicial Handbook on Environmental Law, Kenya: United Na-

tions Environment Programme.

Rosso Grossman, Margaret. 2006. “Agriculture and the Polluter Pays Principle: An

Introduction,” Oklahoma Law Review, Volume 59, 2006. US: University of Okla-

homa College of Law.

Birnie, Patricia. 2009. International Law & Environment. UK: Oxford University Press.

Dupuy, Pierre-Marie. 2015. International Environmental Law. UK: Cambridge Uni-

versity Press.

Olaniyan, Ayobomi. 2015. “Imposing Liability for Oil Spill Clean-Ups in Nigeria:

An Examination of the Role of the Polluter-Pays Principle,” Journal of Law,

Policy, and Globalization, Volume 40, 2015. IISTE.

Dixon MA, Martin. 2000. International Law, London: Blackstone Press Limited.

Page 137: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

126

Barde, Jean-Philippe. 1994. “Economic Instruments in Environmental Policy; Les-

sons From the OECD Experience and Their Relevance to Developing Econo-

mies,” OECD Development Centre Working Paper No. 92. France: OECD.

Climate Action. UN Environment Chief Calls for Polluters to Pay for Environ-

mental Damage- Not Taxpayers, http://www.climateactionprogramme.org/

news/un-environment-chief-calls-for-polluters-to-pay-for-environmental-

damage-no/, diakses tanggal 1 November 2017.

Khan, Mizan R. 2015. “Polluter-Pays-Principle: The Cardinal Instrument for Ad-

dressing Climate Change,” Laws, Volume 4, 2015. Switzerland: MDPI.

Kim, Hyung-Jin. 2000. “Subsidy, Polluter Pays Principle and Financial Assitance

among Countries,” Journal of World Trade, Volume 34(6), 2000. Netherlands:

Kluwer Law International.

Varkkey, Helena. 2016. “Transboundary Haze and Human Security in Southeast

Asia: National and Regional Perspectives”, Georgetown Journal of Asian Affairs,

Volume 3(1), 2016.

Chen, Chen-Ju. 2012. “The Liability and Compensation Mechanism under Inter-

national Marine Environmental Law: Adopting the Polluter Pays Principle to

Control Marine Pollution under International Law from Aspect of Internation-

al Cooperation,” LOSI Conference Papers, Conference on Securing the Ocean

for the Next Generation, University of California, 2012.

Luppi, Barbara. 2012 “The Rise and Fall of the Polluter-Pays Principle in Develop-

ing Countries”, International Review of Law and Economics, Volume 32, 2012.

Netherlands: Elsevier.

Quah, Euston. 2013. “The Political Economy of Transboundary Pollution: Mitiga-

tion Forest Fires and Haze in Southeast Asia”, dalam The Asian Community –

Its Concepts and Prospects. Tokyo: Soso Sha.

Helimann, Daniel. 2015. “After Indonesia’s Ratification: The ASEAN Agreement

on Transboundary Haze Pollution and its Effectiveness As a Regional Envi-

ronmental Governance Tool,” Journal of Current Southeast Asian Affairs, Volume

34(3), 2015. German: GIGA.

GANDAR MAHOJWALA PARIPURNO

Page 138: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

127

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Mustafa, Maizatun. 2016. “The Position of Environmental Law in Malaysia in Deal-

ing with Domestic and Regional Air Pollution Problems”, Jurnal Sultan Alaud-

din Sulaiman Shah, Volume 3 (2), 2016. Malaysia: Universiti Islam Antarbangsa

Selangor.

Nurul Alfia, Ayu. 2016. “Tanggung Jawab Perusahaan Transnasional dalam Keba-

karan Hutan di Riau dalam Perspektif Hukum Internasional,” Diponegoro Law

Journal, Volume 5(3), 2016. Semarang: Universitas Diponegoro.

Adolf, Huala. 2011. Hukum Ekonomi Internasional: Suatu Pengantar. Bandung: Keni

Media.

The Jakarta Post, Pulp Firm Bumi Mekar Hijau Found Guilty of Starting Illegal

Fires, http://www.thejakartapost.com/news/2016/08/31/pulp-firm-bumi-

mekar-hijau-found-guilty-of-starting-illegal-fires-.html/, diakses tanggal 1

November 2017.

BBC News, Dapatkah Kebakaran Hutan di Indonesia Diakhiri?, http://www.bbc.

com/indonesia/berita_indonesia/2016/03/160314_indonesia_kebakaran_

hutan_2016/, diakses tanggal 1 November 2017.

Tempo, Kebakaran Hutan, PT Bumi Mekar Hijau Cuma Bayarar Rp. 78 Miliar,

https://bisnis.tempo.co/read/800226/kebakaran-hutan-pt-bumi-mekar-hi-

jau-cuma-bayar-rp-78-miliar/, diakses tanggal 1 November 2017.

Khee-Jin TAN, Alan. 2015. “The Haze Crisis in Southeast Asia: Assessing Singa-

pore’s Transboundary Haze Pollution Act 2014,” National University of Sin-

gapore Working Paper 2015/002, 2015. Singapore: National University of Sin-

gapore.

Sunchindah, Apichai. 2015. “Transboundary Haze Pollution Problem in Southeast

Asia: Reframing ASEAN’s Response,” ERIA Discussion Paper Series, 2015. Ja-

karta: ERIA.

Fadhilah Abdul Ghani, 2017. “Review on ASEAN Transboundary Haze Pollution

Agreement 2002: Problems and Solutions,” Journal of Humanities, Language,

Culture, and Business, Volume 1(1).

Page 139: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

128

Page 140: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

129

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

PeneraPan Plastic dePosit refund system sebagai instrumen

Penanggulangan Pencemaran limbaH Plastik di wilayaH

Perairan indonesia

Oleh: Irawati Puteri,1 Rizkina Aliya,2 Satria Afif Muhammad3

Abstrak

Sebagai poros maritim dunia, perairan dan laut Indonesia merupakan

instrumen fundamental sebagai pemberi kehidupan bagi ekosistem, ekonomi,

dan masyarakat secara luas. Namun keberlanjutan kualitas perairan dan laut

yang memiliki fungsi strategis tersebut rentan oleh pencemaran plastik. Limbah

plastik kian menjadi suatu ancaman non-tradisional (non-traditional threat)

terhadap keberlangsungan lingkungan hidup perairan Indonesia. Pada tahun

2015, penelitian oleh Jenna Jamback menemukan bahwa 3,2 juta ton limbah

plastik mencemari perairan Indonesia, menjadikan Indonesia sebagai sumber

limbah plastik laut terbesar di Asia Tenggara dan terbesar kedua di dunia (dengan

Republik Rakyat Cina menempati posisi nomor satu). Indonesia membutuhkan

suatu rencana kebijakan praktis untuk menanggulangi pencemaran limbah plastik

di wilayah perairannya; oleh karena itu, makalah ini membahas upaya penerapan

plastic deposit refund system terhadap produk-produk plastik sebagai suatu

diversifikasi solusi alternatif yang dapat efektif mengurangi laju pencemaran

limbah plastik di lautan berdasarkan prinsip perluasan tanggung jawab (extended

producer responsibility).

1 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungi melalui surel: [email protected].

2 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungi melalui surel: [email protected].

3 Penulis adalah Mahasiswa Program Sarjana di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dapat dihubungi melalui surel: [email protected].

Page 141: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

130

Kata kunci: Limbah plastik, perairan Indonesia, plastic deposit refund system,

Abstract

As the maritime axis of the world, the waters and seas of Indonesia are fundamental

instruments to support the ecosystem, economic, and society; however, the sustainability

of marine environment is vulnerable to plastic contamination. Plastic waste has become a

pressing non-traditional threat to the environmental sustainability of Indonesia’s marine

environment. By 2015, research done by Jenna Jamback found that 3.2 million tons of plastic

waste has contaminated Indonesian waters, making Indonesia the largest contributor of

marine plastic waste in Southeast Asia and the second largest in the world. Indonesia

urgently needs a practical policy plan to tackle the pollution of plastic debris in its marine

environment; therefore, this paper discusses the application of a plastic deposit refund

system for plastic products as an economic instrument that can effectively reduce the rate

of plastics pollution in the ocean based on the concept of extended producer responsibility.

Keywords: Plastic waste, Indonesian waters, non-traditional threats, plastic deposit

refund system

I. Pendahuluan

“Bernegara hukum untuk apa? Bernegara hukum untuk membahagiakan

rakyat.” – Prof. Satjipto Rahardjo.

Determinasi untuk menggapai kebahagiaan rakyat diejawantahkan secara

afektif dalam sendi mulia tujuan negara maupun penjaminan hak-hak asasi manusia

dalam konstitusi. Secara philosophische grondslag, staatsfundamentalnorm Indonesia

yakni Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

menghendaki pemajuan kesejahteraan umum dan perlindungan terhadap segenap

bangsa Indonesia. Pengejawantahan secara konkrit dan konstruktif dari hal ini

dalam konteks lingkungan hidup salah satunya adalah penjaminan hak asasi

manusia akan lingkungan hidup yang sehat sebagaimana tertuang dalam Pasal

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 142: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

131

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 sebagai

staatsgrundgezet. Pasal 28H ayat (1) UUD 1945 berbunyi “Setiap orang berhak

hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan

hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”4

Jika ditilik lebih lanjut, sejatinya konstruksi pasal 28 H UUD NRI 1945

mencerminkan gagasan ekokrasi dalam paradigma hak asasi manusia dan

memberikan basis konstitusional bagi konstitusi hijau (green constitution).

Menurut Prof. Jimly Asshidiqqie doktrin demokrasi yang bersifat

anthroposentris harus diseimbangkan dengan ekokrasi yang bersifat ekosentris.

Paham antroposentrisme harus berada dalam posisi hubungan yang saling

imbang-mengimbangi (checks and balances) dengan paham ekosentrisme. Paham

ini mengimani bahwa alam semesta ini merupakan suatu kesatuan sistim yang

saling berhubungan dan saling bergantung sama sama lain dan tidak berada pada

posisi subordinatif. Alam kehidupan merupakan suatu kesatuan ekosistem. Oleh

karena itu, paradigma berpikir manusia harus berubah dari “anthroposentris‟

ke “theosentrisme‟ sampai ke titik keseimbangan (equilibrium) dan menyadari

pentingnya “ekosentrisme”.5

Sejalan dengan paham ekosentrisme, Prof. Jimly Asshidiqqie mengintrodusir gagasan

konstitusi hijau, yakni melakukan konstitusionalisasi norma hukum lingkungan

dengan menaikkan derajat norma perlindungan lingkungan hidup ke tingkat

konstitusi. Dengan demikian, pentingnya prinsip pembangunan berkelanjutan

yang berwawasan lingkungan dan perlindungan terhadap lingkungan hidup

memiliki pijakan kuat dalam peraturan perundang-undangan. Atas dasar itu,

konstitusi hijau secara aspiratif turut menekankan pentingnya kedaulatan

lingkungan.

Dengan demikian merujuk pada landasan filosofis yakni Pasal 28 H ayat

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, norma

perlindungan lingkungan hidup di Indonesia sebetulnya telah memiliki pijakan

yang cukup kuat. Namun, diseminasi gagasan konstitusi hijau yang mengusung

urgensi penegakkan hak atas lingkungan hidup perlu digalakkan.

4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1)5 Jimly Asshidiqie, “Demokrasi dan Ekokrasi”, http://www.jimly.com/makalah/na-

mafile/160/Demokrasi_dan_Ekokrasi.pdf diakses 1 Desember 2017

Page 143: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

132

Dalam tulisan ini, berangkat dari refleksi akan hak atas lingkungan hidup

yang sehat, yang merupakan bagian dari hak asasi manusia yang telah menjadi

tanggung jawab Negara dalam memenuhinya, Penulis akan membahas upaya

pengejawantahan kedaulatan lingkungan pada permasalahan pengelolaan limbah

plastik melalui perumusan salah satu instrumen kebijakan lingkungan hidup yakni

instrumen ekonomi lingkungan hidup. Internalisasi eksternalitas biaya lingkungan

dalam produksi barang yang akrab dalam lalu lintas keseharian masyarakat

Indonesia akan dirangkum dalam suatu deposit refund system berkaitan dengan

pengelolaan limbah plastik, secara spesifik yakni botol-botol kemasan plastik.

Secara yuridis normatif, tinjauan proyeksi efektivitas deposit refund system dalam

pengelolaan limbah plastik juga akan diuji dengan teori Friedman yakni efektivitas

sistem hukum dengan bercermin pula pada status quo upaya pengelolaan sampah

dan perlindungan lingkungan hidup di Indonesia. Secara garis besar, tulisan ini

dapat didikotomikan menjadi pembahasan deposit refund system sebagai instrumen

ekonomi penataan hukum lingkungan dan kajian proyektif implementasi deposit

refund system yang melibatkan unsur pemerintah, swasta, dan masyarakat dengan

teori efektivitas sistem hukum oleh Lawrence M. Friedman sebagai batu uji dalam

penerapan deposit refund system.

II. Status quo Permasalahan Plastik Indonesia

Permasalahan sampah di Indonesia mulai menggugah nurani dan logika

pada saat terjadinya tragedi longsor sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA)

Leuwigajah. Problematika penimbunan sampah di TPA Leuwigajah yang semakin

hari semakin menggunung ditambah dengan manajemen pengelolaan sampah

yang buruk, berhilir pada longsornya TPA Leuwigajah setelah diguyur hujan

deras secara konstan selama 3 hari berturut-turut.6 Tepat jam 02:00 pagi tanggal

21 Februari 2005, 27 juta m3 sampah mengubur 3 kampung di bawahnya, yang

setidaknya menyebabkan7 141 orang meninggal dunia, 6 orang luka berat, kerugian

6 Amelia Hastuti, “Tragedi Longsor TPA Leuwigajah Harus Jadi Cambuk bagi Masyarakat Agar Peduli Sampah”, http://rri.co.id/post/berita/363673/feature/tragedi_longsor_tpa_leuwigajah_harus_jadi_cambuk_bagi_masyarakat_agar_peduli_sampah.html diakses 28 November 12:15 WIB.

7 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Surat Edaran tentang Pelaksanaan Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Tahun 2017, Surat Edaran Nomor SE.1/MenLHK-SetJen/Rokum/PLB.3/1/2017, hlm. 1.

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 144: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

133

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

materiil mencapai 65 miliar dan pembebasan 68 rumah pada lahan 12 hektar yang

tertimbun longsor di sekitar TPA Leuwigajah dengan biaya mencapai Rp 15 Miliar.

Tragedi naas ini menjadi tamparan keras bagi Pemerintah Indonesia dan kemudian

menjadi Hari Peduli Sampah Nasional yang diperingati setiap tanggal 21 Februari

setiap tahunnya.

Menggunungnya sampah di Indonesia secara dramatis setiap tahun menjadi

suatu konsekuensi logis sebagai akibat dari jumlah manusia yang terus bertambah,

aktivitas dan gaya hidup yang makin praktis, dan tingkat konsumsi masyarakat

yang naik secara signifikan. Hal ini diperparah dengan rendahnya kesadaran

masyarakat mengenai persoalan sampah, buruknya pengelolaan sampah di

berbagai TPA, serta norma hukum yang belum tepat sasaran dan efektif menjadikan

problematika terkait pengelolaan sampah kerap dianggap sebagai permasalahan

yang tak kunjung terpecahkan.8

Dalam perkembangannya, permasalahan sampah terutama sampah plastik di

Indonesia kian kompleks saat sampah plastik ini menyentuh air, laut dan samudera

kita. Tamparan telak bagi Indonesia dirasakan saat dipublikasikannya hasil

penelitian oleh Jenna R. Jambeck yang berjudul Platic Waste Inputs from Land into the

Ocean dan menyatakan bahwa potensi sampah plastik yang ada di lautan Indonesia

pada tahun 2015 mencapai 187,2 juta ton/tahun.9 Statistik ini memboyong piala bagi

Indonesia menjadi Negara kedua terbesar di dunia yang menyumbang sampah

ke laut setelah Cina yang menduduki peringkat pertama.10 Sampah plastik laut

(marine plastic debris) adalah aktor pencemar laut yang merupakan ancaman serius

bagi kehidupan ekosistem dalam laut. Sampah plastik laut merupakan substansi

padat yang diproduksi atau diproses secara langsung atau tidak langsung, sengaja

atau tidak sengaja, dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut.11 Sebagian

besar dari sampah plastik laut ini merupakan hasil dari kegiatan antropogenik

(manusia), dimana rata-rata 20% sampah plastik yang dibuang di daratan akan

menemukan jalannya menuju perairan, baik itu sungai maupun lautan.12 Namun

8 Hartuti Purwaeni, “Bom Waktu Sampah”, Suara Merdeka (Februari 2017), hlm. 1.9 Jambeck, J.R., Andrady, A., Geyer, R., Narayan, R., Perryman, M., Siegler, T., Wilcox, C., Lav-

ender Law, K., “Plastic waste inputs from land into the ocean”, Science, 347 (2015), p. 768-771.10 Ibid. 11 Akbar Tahir, “Anthropogenic Debris in Seafood”, Departemen Ilmu Kelautan Fakultas Ilmu Ke-

lautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin, hlm. 2.12 Ibid., hlm. 3.

Page 145: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

134

angka 20% ini dapat meningkat tajam di Indonesia mengingat Indonesia adalah

negara perairan yang memiliki jumlah sungai, danau, laut dan samudera yang

lebih besar dibanding negara-negara lain di dunia.13 Sehingga angka probabilitas

bertemunya sampah plastik daratan ke daerah perairan menjadi jauh lebih tinggi

daripada di negara-negara lain pula.

Plastik memang menjadi salah satu bahan yang paling penting, praktis, dan

populer dengan beragam kebutuhan di dunia. Penggunaannya sendiri telah

meningkat 20 kali lipat dalam waktu 50 tahun ke belakang ini dan diprediksi akan

meningkat sebanyak dua kali lipat dalam 20 tahun ke depan.14 World Economic

Forum dalam laporannya yang berjudul “The New Plastics Economy: Rethinking the

future of plastics” mengatakan bahwasanya pada tahun 2050, rasio perbandingan

antara plastik dan ikan akan mencapai 1:1.15 Tentu, jika Indonesia tidak bergerak

menyelesaikan permasalahan kronis ini secara progresif dan komprehensif, bukan

tidak mungkin beberapa tahun ke depan kita akan menggusur tempat Cina untuk

menyandang status poluter sampah plastik terbesar dunia.

III. Deposit Refund System sebagai Instrumen Ekonomi Penaatan Hukum

Lingkungan

Penanganan permasalahan plastik di perairan Indonesia berkaitan erat

dengan penaatan atas hukum lingkungan oleh produsen maupun konsumen

produk-produk plastik sebagai pencemar. Penegakan yang dulunya ekslusif

berada di tangan pemerintah dalam bentuk atur dan awasi dapat dipandang

sebagai upaya yang kurang komprehensif untuk menanggulangi permasalahan

yang menyangkut berbagai pemangku kepentingan pasar.

Generasi kedua dari pendekatan penegakan hukum lingkungan adalah market-

based approach melalui penggunaan instrumen-instrumen ekonomi. Instrumen

13 Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jendera Satuan Kerja Dewan Maritim Indo-nesia., “Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Konvensi Hukum Laut Internasional (UN-CLOS 1982) di Indonesia”, (DKP: Jakarta, 2008), hal. 2.

14 Ivan, “Sampah plastik diprediksi penuhi lautan pada 2050”, https://beritagar.id/artikel/sains-tekno/sampah-plastik-diprediksi-penuhi-lautan-pada-2050 diakses pada 28 Novem-ber 2017.

15 World Economic Forum, “The New Plastics Economy: Rethinking the future of plastics”, World Economic Forum (2016), hlm. 14.

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 146: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

135

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

ekonomi bertujuan untuk mempengaruhi pasar secara artifisial agar setiap

pelaku terdorong untuk mempertimbangkan biaya pencemaran.16 Instrumen

ekonomi juga menjadi suatu komponen yang penting dalam pendekatan refleksif

sebagai perkembangan penataan generasi berikutnya selain daripada komponen

instrumen sukarela, keterbukaan informasi publik, sertifikasi oleh pihak ketiga,

partisipasi pengelolaan lingkungan oleh kelompok kepentingan, dan prosedur

bagi pelembagaan refleksi dan kritik diri.17

Instrumen ekonomi adalah manifestasi dari penerapan prinsip pencemar

membayar (polluter pays principle) yang merupakan sebuah kebijakan ekonomi

untuk menginternalisasi biaya-biaya pencemaran atau kerusakan lingkungan

(eksternalitas). Untuk dapat menerapkan instrumen ekonomi, pemerintah tetap

harus berperan, secara khusus karena telah terjadi suatu kegagalan pasar18 dalam

bentuk adanya perbedaan antara biaya marjinal dari produksi swasta dengan

biaya marjinal dari eksternalitas sosial. Eksternalitas terjadi saat pasar gagal

mempertimbangkan total biaya dari proses produksi yang termasuk biaya-biaya

pencemaran dan kerugian yang harus ditanggung oleh lingkungan dan masyarakat

(social costs) dan hanya menghitung biaya pribadi produsen (private costs).19

Salah satu manifestasi dari prinsip pencemar membayar adalah adanya

extended producer responsibility. Konsep extended producer responsibility berarti bahwa

produsen bertanggung jawab atas setiap tahap produksi yang dilakukan, dimulai

dari awal rantai produksi dengan desain produk sampai post-comsumer phase.

Dengan adanya perluasan tanggung jawab tersebut diharapkan dapat mengurangi

beban kepada negara untuk memproses limbah yang dihasilkan dengan cara

mengurangi jumlah limbah melalui peningkatan daur ulang.20 Realisasi dari konsep

16 Eric W. Orts, Reflexive Environmental Law, “Northwestern University Law Review”, Vol. 89, 1995a, hal. 1242. Sebagaimana dikutip dari Andri Wibisana (2014, October). Prinsip-Prinsip Hukum Lingkingan. Depok, Indonesia: Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

17 Eric W. Orts, A Reflexive Model of Environmental Regulation, “Business Ethics Quarterly”, Vol. 5(4), Oct., 1995b, hal. 788. Sebagaimana dikutip oleh Andri Wibisana (2014, October). Prinsip-Prinsip Hukum Lingkingan. Depok, Indonesia: Fakultas Hukum Universitas Indo-nesia.

18 Andri G. Wibisana, “Campur Tangan Pemerintah Dalam Pengelolaan Lingkungan: Sebuah Penelusuran Teoretis Berdasarkan Analisis Ekonomi atas Hukum (Economic Analysis of Law), Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 2 (2017): 151-182, hlm. 157

19 Robert S. Pindyck dan Daniel L. Rubinfeld, “Microeconomics”, (Prentice Hall, 2001), hal. 59220 OECD, Extended Producer Responsibility: Guidance for efficient waste management, (Paris: OECD

Pubishing, 2016), hlm.1

Page 147: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

136

tersebut yang dapat menguntungkan bagi produsen, konsumen, dan negara adalah

penerapan sistem pengembalian deposit atas produk plastik sekali pakai.

Sistem pengembalian deposit (deposit refund system) adalah suatu bentuk

instrumen ekonomi di mana seseorang harus membayar di muka sejumlah uang

untuk menjamin bahwa ia tidak akan melakukan pencemaran atau bahwa dia akan

melakukan suatu kewajiban, fungsinya adalah untuk memfasilitasi pengembalian

produk (product take-back).21 Jika kewajiban tersebut telah dilakukan, maka uang

jaminan tersebut akan dikembalikan. Sistem pengembalian deposit memungkinkan

tingkat pengumpulan kembali yang tinggi dari material produk yang berpotensi

menjadi pencemar lingkungan seperti plastik dengan kualitas bahan yang masih

tetap terjaga untuk mempermudah daur ulang dan menurunkan kebutuhan

penggunaan bahan mentah yang harus diekstraksi kembali dari sumber daya

alam. Selain meningkatkan pengumpulan kembali produk-produk plastik dan

tingkat daur ulang, penerapan deposit-refund system diharapkan dapat mendorong

perbaikan terhadap pengolahan limbah dan perbaikan terhadap desain produk.

Keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari penerapan deposit-refund system

yang teratur tersebut pada akhirnya dapat turut mengurangi konsentrasi

pencemaran plastik di perairan.

Upaya ini telah dilakukan oleh berbagai negara termasuk Jerman dan Swedia

yang menerapkan sistem one-way deposit di mana kemasan plastik sekali pakai

dapat diambil kembali oleh produsen dengan pengembalian sejumlah uang kepada

konsumen (refund). Di Jerman, distributor dari kemasan plastik yang wajib dilekati

nilai deposit diwajibkan untuk menerima kemasan-kemasan gelas, plastik, besi,

dan bahan-bahan komposit yang disebarkan22. Hasil dari Verpackungsverordnung

(Packaging Ordinance) atau Peraturan Pengemasan , di Jerman 98,5% dari botol-botol

kemasan dikembalikan oleh para konsumen sejak negara tersebut mengesahkan

legislasi mengenai uang jaminan untuk produk-produk sekali pakai (Einwegpfand)

pada tahun 2003. Kualitas dari botol-botol tersebut pun terjaga sehingga botol

21 Yasuhiko Hotta, et.al., eds., Extended Producer Responsibility Policy in East Asia: in Consider-ation of International Resource Circulation (Japan:Institute for Global Environmental Strategies,

2009), hlm. 5. 22 “Each distributor shall be obliged to accept returned one-way drinks packaging made of such types

of materials (glass, plastics, metals, composite material materials) as the distributor supplies in his own product range.” DPG-Pfandsystem, “Function of the Deposit-Scheme,” http://www.dpg-pfandsystem.de/index.php/en/ diakses pada 5 Februari, 2018

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 148: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

137

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

baru kemungkinan besar dapat dibentuk dari botol lama. Deposit refund system

Jerman (Deutsch Pfandsystem GmbH atau dikenal sebagai DPG) dibiayai oleh iuran

keanggotaan asosiasi berbagai pihak yang terkait dengan produksi dan distribusi

single-use containers seperti produsen, distributor, dan kolektor yang dapat berupa

retailer yang dikenal oleh masyarakat23.

Sedangkan di Swedia, tingkat pengembalian bahan plastik mencapai 77%

sejak pendauran ulang bahan-bahan plastik dan kemasan lain dikelola oleh

perusahaan AB Svenska Returpack dengan penerapan Förordning om retursystem

för plastflaskor och metallburkar (Ordinance on the Return System for Plastic Bottles

and Metal Cans).24 Undang-undang tersebut mengatur pemberian insentif untuk

meningkatkan pengembalian dan pendauran ulang dari botol-botol plastik serta

kaleng aluminium. Tingkat daur ulang yang tinggi atas kemasan-kemasan plastik

di negara-negara tersebut dapat membantu mengurangi jumlah sampah plastik

yang mencapai laut pada akhir masa pemakaiannya.

Meskipun contoh-contoh global menjanjikan, deposit-refund system bukan

suatu obat mujarab bagi semua segala permasalahan yang dibawa oleh

pemakaian plastik secara ekses. Di Taiwan, diadakan suatu program deposit-

refund system untuk botol-botol PET yang dikelola dengan cara para produsen

dan importir botol-botol plastik tersebut diwajibkan untuk membayar sejumlah

uang untuk kepada suatu recycling fund yang juga menjadi sumber refund bagi

konsumen yang mengembalikan kemasan-kemasan botol plastik kepada titik-titik

pengembalian. Jumlah uang yang dibayarkan oleh para produsen sesuai dengan

proporsi penjualan botol plastik mereka. Meskipun sistem ini serupa dengan yang

diterapkan di Jerman, Taiwan menemui beberapa masalah yang mencolok yaitu

pengelolaan recycling fund yang ada dan penegakan kewajiban bagi para produsen

yang tidak membayar.

Penerapan deposit refund system di Indonesia harus berangkat dari pelajaran-

pelajaran yang didapatkan dari negara-negara lain dengan turut mempertimbangkan

23 Anker Andersen, “Deposit system law- Germany,” http://anker-andersen.dk/deposit-laws/germany.aspx, diakses pada 5 Februari, 2018

24 Zero Waste Europe, “Beverage packaging and Zero Waste,” https://www.zerowasteeurope.eu/tag/germany-deposit-refund-system/, diakses pada 28 November, 2017 Bottle Bill Re-source Guide, “Sweden,” http://www.bottlebill.org/legislation/world/sweden.htm, diak-ses pada 7 Februari, 2018

Page 149: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

138

konteks kerangka hukum lingkungan yang ada serta budaya masyarakat. Jika

sistem tersebut diharapkan dapat mengubah status quo pencemaran air oleh limbah

plastik di Indonesia, efektivitas dari sistem pengembalian deposit sebagai inisiatif

instrumen ekonomi yang baru harus dijamin oleh adanya sistem hukum penopang

yang efektif pula.

IV. Teori Efektivitas Sistem Hukum oleh Friedman sebagai Batu Uji dalam

Penerapan Deposit Refund System

Lawrence M. Friedman mengintrodusir “Legal System Theory” yang

mensyaratkan adanya pemenuhan akan 3 komponen sistem hukum, yakni

substansi hukum, struktur hukum, serta budaya hukum untuk dapat menilai

efektifitas suatu sistem hukum.25

Substansi hukum berarti produk yang dihasilkan oleh legislator yang berada

dalam sistem hukum. Substansi tak terestriksi hanya pada hukum yang tertulis

namun juga mencakup hukum yang hidup (living law), bukan hanya aturan yang

ada dalam peraturan perundang-undangan. Struktur hukum yakni infrastruktur

yang menjamin serta memfasilitasi hukum tersebut berjalan. Selain itu elemen

yang ketiga yakni budaya atau kultur hukum. Budaya hukum menurut Friedman

adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Kultur hukum adalah

suasana pemikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum

digunakan, dihindari, atau disalahgunakan. Budaya hukum erat kaitannya dengan

kesadaran dan kepatuhan hukum masyarakat. Terpenuhinya tiga komponen

esensial ini secara paripurna, akan berimplikasi pada terwujudnya suatu sistem

hukum yang efektif.

A. Substansi hukum untuk penerapan deposit refund system

Efektivitas deposit refund system sebagai sebuah instrumen ekonomi diukur

melalui parameter yang abstrak dan bersifat kualitatif yakni bagaimana pelaku

usaha/kegiatan telah mengubah perilaku atau proses kegiatan mereka menjadi

ramah lingkungan untuk menghindari biaya yang mahal, bukan dari seberapa

25 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Social Science Perspective, (New York: Russel Sage Foundation, 1975)

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 150: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

139

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

besar pendapatan negara yang didapatkan oleh penerapan instrumen ekonomi

tersebut. Jika merujuk kembali kepada teori legal system dari Friedman maka

komponen utama adalah adanya susbtansi (legal substance) yang dapat memfasilitasi

penerapan dari deposit refund system.

Pada konteks pengelolaan sampah, yang bertujuan untuk meningkatkan

kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah

sebagai sumber daya sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor

18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah,26 Pemerintah dan pemerintahan

daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan

berwawasan lingkungan.27

Mengejawantahkan secara ekstensif tujuan mulia tersebut, regulasi

merumuskan perihal kewajiban produsen yakni, produsen wajib mengelola

kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai

oleh proses alam.28 Menilik lebih lanjut, pasal 14 Peraturan Pemerintah Nomor

81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis

Sampah Rumah Tangga secara derivatif turut mengartikulasikan kewajiban

produsen untuk melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan salah satu

cara yakni menarik kembali sampah dari produk dan kemasan produk untuk

diguna ulang. Sehingga dapat disimpulkan bahwa 1) produsen wajib mengelola

kemasan yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam dan 2) produsen

wajib melakukan pemanfaatan kembali sampah dengan mendaur ulang kemasan

produk. Klausula ini merupakan klausula yang akomodatif terhadap adanya

cetusan deposit refund system.

Ketentuan Pasal 42 ayat (1) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan bahwa: “Dalam

rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah

Daerah wajib mengembangkan dan menerapkan Instrumen Ekonomi Lingkungan

Hidup,” menindaklanjuti hal tersebut Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017

mengelaborasikan secara rinci mengenai Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup.

26 Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008, LN No. 69 Tahun 2008, TLN No. 69, Pasal 4

27 Ibid., Pasal 528 Ibid., Pasal 15

Page 151: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

140

Secara definitif, instrumen ekonomi lingkungan hidup adalah seperangkat

kebijakan ekonomi untuk mendorong Pemerintah, pemerintah daerah, atau

setiap orang ke arah pelestarian fungsi lingkungan hidup29 Instrumen ekonomi

lingkungan hidup ini meliputi:

1. Perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi;

2. Pendanaan lingkungan hidup;

3. Insentif dan/atau disinsentif.30

Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup dirumuskan dengan bertujuan

untuk menjamin akuntabilitas dan penataan hukum dalam penyelenggaraan

perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, mengubah pola pikir dan

perilaku pemangku kepentingan dalam pembangunan dan kegiatan ekonomi,

mengupayakan pengelolaan pendanaan lingkungan hidup yang sistematis,

teratur, terstruktur, dan terukur, membangun dan mendorong kepercayaan publik

dan internasional31 dalam pengelolaan Pendanaan Lingkungan Hidup.32

Instrumen ini dilaksanakan oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

untuk menginternalisasikan aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan

dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Internalisasi Biaya

Lingkungan Hidup dilaksanakan dengan memasukkan biaya pencemaran dan/

atau kerusakan lingkungan hidup dalam perhitungan biaya produksi atau biaya

suatu Usaha dan/atau Kegiatan. Internalisasi biaya lingkungan hidup dilaksanakan

oleh penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.33

Peran Pemerintah yang pertama dan utama agar sistem pengembalian deposit

plastik (plastic deposit refund system) ini dapat berjalan dan dipatuhi adalah dengan

menormakan sistem ini melalui peraturan perundang-undangan. Sejatinya Undang-

Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah sudah memiliki

semangat yang sama mengenai tanggung jawab produsen dan konsumen plastik

29 Ibid., Pasal 1 angka 3330 Yang dimaksud dengan “instrumen ekonomi dalam perencanaan pembangunan” adalah

upaya internalisasi aspek lingkungan hidup ke dalam perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan dan kegiatan ekonomi. Ibid., Penjelasan Pasal 42 Ayat (2) Huruf a

31 Ibid., Pasal 232 Ibid., Pasal 3 33 Pasal 2

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 152: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

141

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

untuk melakukan pengelolaan sampah yang baik dan berwawasan lingkungan.

Oleh karena itu, substansi hukum yang perlu dibentuk oleh pemerintah untuk

mengakomodasi sistem pengembalian deposit plastik adalah dengan membuat

Peraturan Pemerintah mengenai Sistem Pengembalian Deposit Plastik sebagai

derivasi dari Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Peraturan perundang-undangan yang disusun harus dapat mengikutsertakan

berbagai pemeran dalam rantai produksi plasti seperti produsen, distributor,

pengecer (retailer) serta konsumen apabila take-back dari kemasan-kemasan plastik

sekali-pakai dapat diterapkan dengan efektif.

Peran kedua dari pemerintah agar dapat menjalankan sistem pengembalian

deposit plastik ini dengan efektif, adalah dalam hal pembangunan infrastruktur-

infrastruktur yang dibutuhkan agar pengumpulan plastik ini dapat dijangkau oleh

masyarakat. Pemerintah daerah di Indonesia atau pengusaha dapat membangun

titik-titik pengumpulan plastik di pusat kota atau tempat ramai penduduk,

sehingga masyarakat dapat dengan mudah menjangkau titik pengumpulan ini

untuk mengembalikan plastik yang mereka miliki dan langsung mendapatkan

uang deposit mereka.

Instrumen ekonomi secara fundamental memperkuat sistem yang bersifat

mengatur (regulatory). Pendekatan ini menekankan adanya keuntungan ekonomi

bagi penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan bila menaati persyaratan

lingkungan hidup karena antara lain terhindar dari membayar pinalti atau

mendapat hukuman, menghemat pengeluaran karena menggunakan praktik

efisiensi, dan mendapatkan insentif apabila kegiatannya memberikan dampak

positif pada upaya pencegahan kerusakan dan pelestarian lingkungan hidup.

Penerapan instrumen ekonomi sebagai insentif dan disinsentif diibaratkan

sebagai koin dengan 2 (dua) sisi mata uang. Kemudahan dan dorongan diberikan

ketika terpenuhi ketaatan, dan bahkan besaran insentif dapat terus meningkat

sejalan dengan semakin membaiknya kinerja. Sebaliknya, beban dan tambahan

kewajiban ditimpakan saat kinerja terus turun dan bahkan terindikasi tidak taat.

Setelah menormakan sistem ini melalui peraturan perundang-undangan,

maka substansi hukum yang paling penting untuk dirumuskan oleh pemerintah

adalah kontraprestasi atau keuntungan ekonomi bagi penanggung jawab Usaha

Page 153: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

142

dan/atau Kegiatan bila menaati sistem pengembalian deposit plastik ini. Ada

banyak alternatif yang dapat dipilih oleh pemerintah, namun tentu diperlukan

kajian mendalam mengenai preferensi dari penanggung jawab Usaha dan/atau

Kegiatan di Indonesia agar alternatif yang dipilih nanti dapat ditaati dan dipatuhi

secara efektif oleh penanggung jawab Usaha dan/atau Kegiatan.

Implementasi instrumen ekonomi dibutuhkan karena sebagian besar modal

alam dan lingkungan hidup, yaitu diantaranya ekosistem dan keanekaragaman

hayati, adalah sumber daya milik bersama atau barang publik. Barang publik

memiliki karakteristik akses terbuka, seringkali tidak mempunyai pasar formal,

dan secara umum dihargai rendah (undervalue). Instrumen ekonomi melalui

perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi diantaranya mengutamakan

pendekatan valuasi yang telah memasukkan manfaat ekosistem yang tidak

mempunyai pasar atau non market sebagai nilai yang harus diperhitungkan secara

riil. Dalam praktiknya, pendekatan seperti ini akan memudahkan penghargaan

atas jasa-jasa lingkungan hidup oleh para penggunanya dan terdorong keinginan

untuk menjaga keberlanjutannya.

B. Struktur hukum dalam penerapan deposit refund system

Menurut Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua

atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ada

beberapa prinsip otonomi daerah yang digunakan sebagai pedoman dalam

pendirian dan penyelenggaraan daerah otonom, yaitu:

1. Sebuah aspek pelaksanaan demokrasi, keadilan, persamaan dan keragaman

dan potensi daerah;

2. Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan otonomi, nyata dan bertanggung

jawab;

3. Implementasi luas otonomi daerah dan ditempatkan utuh di Kabupaten dan

Kota, sedangkan Provinsi adalah otonomi terbatas;

4. Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara menjamin

adanya hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dan daerah serta

antar daerah;

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 154: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

143

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

5. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan independensi Daerah

Otonom.

Pada prinsipnya, kebijakan otonomi daerah dilakukan dengan

mendesentralisasikan kewenangan-kewenangan yang selama ini tersentralisasi

ditangan pemerintahan pusat. Dalam proses desentralisasi tersebut, kekuasaan

pemerintahan pusat diderivasikan dari tingkat pusat ke pemerintahan daerah

sebagaimana mestinya sehingga terwujud pelimpahan kekuasaan dari pusat ke

daerah kabupaten dan kota di seluruh Indonesia. Jika dalam kondisi semula arus

kekuasaan pemerintahan bergerak dari daerah ke tingkat pusat, maka secara ideal

bahwa sejak diterapkan kebijakan otonomi daerah itu, arus dinamika kekuasaan

akan bergerak sebaliknya yaitu dari pusat ke daerah.34

Sesuai ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang dikenal

dengan tiga (3) prinsip tata kelola pemerintahan di daerah, yaitu asas

desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pokok. Prinsip Desentralisasi berarti

pengalihan kewenangan pemerintah oleh pemerintah ke daerah otonom dalam

rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi Prinsip adalah

pendelegasian wewenang dari Pemerintah kepada Gubernur sebagai perwakilan

pemerintah dan / atau pusat di daerah tersebut, sedangkan Asas Tugas diberikan

kepada pemerintah daerah dan desa, dan dari daerah ke desa untuk melaksanakan

tugas, bersama dengan dana, sarana dan infrastruktur serta sumber daya manusia

hingga pelaksanaan pelaporan wajib dan pertanggungjawaban kepada pihak yang

menunjuknya.

Dalam hal pengelolaan sampah di Indonesia, Pemerintah dan pemerintahan

daerah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah yang baik dan

berwawasan lingkungan sesuai dengan tujuan Undang-Undang Nomor 18 Tahun

2008 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam Pasal 8 UU Pengelolaan Sampah, dalam

menyelenggarakan pengelolaan sampah, pemerintahan provinsi mempunyai

kewenangan:

1. Menetapkan kebijakan dan strategi dalam pengelolaan sampah sesuai dengan

kebijakan Pemerintah;

34 H.M. Busrizalti, Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasin-ya, (Yogyakarta: Total Media, 2013), hlm. 62.

Page 155: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

144

2. Memfasilitasi kerja sama antardaerah dalam satu provinsi, kemitraan, dan

jejaring dalam pengelolaan sampah;

3. Menyelenggarakan koordinasi, pembinaan, dan pengawasan kinerja

kabupaten/kota dalam pengelolaan sampah; dan

4. Memfasilitasi penyelesaian perselisihan pengelolaan sampah antar-kabupaten/

antar-kota dalam 1 (satu) provinsi.

Lalu dalam Pasal 9 UU yang sama, pemerintah kabupaten/kota sendiri

mempunyai kewenangan:

1. Menetapkan kebijakan dan strategi pengelolaan sampah berdasarkan kebijakan

nasional dan provinsi;

2. Menyelenggarakan pengelolaan sampah skala kabupaten/kota sesuai dengan

norma, standar, prosedur, dan kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah;

3. Melakukan pembinaan dan pengawasan kinerja pengelolaan sampah yang

dilaksanakan oleh pihak lain;

4. Menetapkan lokasi tempat penampungan sementara, tempat pengolahan

sampah terpadu, dan/atau tempat pemrosesan akhir sampah;

5. Melakukan pemantauan dan evaluasi secara berkala setiap 6 (enam) bulan

selama 20 (dua puluh) tahun terhadap tempat pemrosesan akhir sampah

dengan sistem pembuangan terbuka yang telah ditutup; dan

6. Menyusun dan menyelenggarakan sistem tanggap darurat pengelolaan

sampah sesuai dengan kewenangannya.

Dapat dilihat bahwa UU Pengelolaan Sampah telah secara jelas mengatur

dikotomi kewenangan pengelolaan sampah dengan struktur otonomi daerah,

dimana pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memiliki

kewenangan yang lebih luas dalam mengatur pengelolaan sampah di daerahnya

masing-masing. UU ini menjadikan pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota sebagai aktor utama dalam menyelesaikan peliknya permasalahan

sampah. Guna memperkuat landasan hukum bagi penyelenggaraan pengelolaan

sampah di Indonesia, terutama di daerah, maka Kementerian Lingkungan Hidup

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 156: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

145

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

kemudian melahirkan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Peraturan Pemerintah ini mengatur secara rinci mengenai kebijakan dan strategi

pengelolaan sampah yang setidaknya harus memuat arah kebijakan pengurangan

dan penanganan sampah serta program pengurangan dan penanganan sampah.

Namun, sedemikian baiknya struktur hukum ini diatur, pengelolaan sampah kota

di Indonesia masih menjadi masalah aktual, terutama seiring dengan semakin

meningkatnya tingkat pertumbuhan penduduk.35

Mekanisme Deposit Refund System dapat menjadi salah satu instrumen ekonomi

yang dapat membantu mengurai kusutnya masalah pengelolaan sampah. Agar

mekanisme ini dapat diterapkan secara efektif dan efisien, maka sesuai dengan

struktur hukum pengelolaan sampah yang sudah dibangun melalui Undang-

Undang Pengelolaan Sampah beserta dengan peraturan derivatifnya, maka

mekanisme Deposit Refund System dapat menjadi bagian yang teralienasikan dari

program pengurangan dan penanganan sampah di provinsi dan di kabupaten/

kota seperti yang diamanatkan dalam Pasal 5 Peraturan Pemerintah tentang

Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga.

Jika belajar dari negara lain seperti Jerman dan Swedia, maka jenis plastik yang

dicakup dalam sistem ini adalah Polyethylene Terephthalete Bottle (Botol PET). Botol

ini adalah botol plastik yang paling banyak digunakan untuk kemasan air mineral

maupun air dengan pemanis, serta botol ini mudah untuk didaur ulang oleh

penyelenggara usaha. Botol ini pula yang paling sering ditemukan mengambang

di tengah lautan dan samudera dunia.

Pelaksanaan mekanisme Deposit Refund System dalam kerangka otonomi

daerah akan membuatnya menjadi mekanisme yang tepat sasaran dan akan

lebih mudah dikontrol sesuai dengan daerah kewenangannya masing-masing.

Penegakan hukum (law enforcement) terhadap pelanggaran dari kewajiban

menerapkan mekanisme Deposit Refund System ini juga akan menjadi lebih efektif

jika ditempatkan dalam kewenangan pemerintah provinsi dan pemerintah

kabupaten/kota melalui aparat penegak hukum tingkat provinsi dan kabupaten/

kota ketimbang terpusat di Pemerintah Pusat.

35 Rizqi Puteri Mahyudin, “Kajian Permasalahan Pengelolaan Sampah dan Dampak Lingkun-gan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir)”, Jurnal Teknik Lingkungan 3, (2017), hlm. 67.

Page 157: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

146

C. Budaya hukum untuk penerapan deposit refund system

Pengoperasian hukum di masyarakat bergantung pada sikap perilaku

masyarakat tersebut. Friedman mejelaskan bahwa suatu legal culture adalah suatu

konsep di mana perubahan hukum terjadi karena transformasi sosial yang besar.

Dalam hal ini, transformasi sosial yang dimaksud bisa jadi adalah peningkatan

kesadaran dan permintaan untuk perlindungan dan reformasi lingkungan.

Tuntutan-tuntutan untuk perubahan tersebut diklasifikasikan oleh Friedman

sebagai bagian dari hukum “eksternal” yang merupakan pendapat, minat, dan

tekanan oleh masyarakat yang dapat membentuk hukum. Opini dan dorongan

masyarakat tersebut dapat membangun jalan bagi Total Justice yang pada saat

yang bersamaan menghasilkan perubahan sosial.36 Pengakuan pada legal culture

intinya mengenal bahwa keberlakuan hukum tidak semata-mata bergantung pada

efektivitas suatu perangkat peraturan perundang-undangan (law on the books)

namun juga hukum yang hidup (law in action).37 Terkait dengan pembahasan

mengenai sistem pengembalian dana deposit, efektivitas penerapan deposit-refund

system tidak hanya bergantung pada intervensi pemerintah melalui berbagai bentuk

peraturan perundang-undangan, namun juga pada seberapa baik pihak-pihak

lain yang berperan sepanjang rantai produksi kemasan plastik menginternalisasi

pentingnya upaya pengumpulan kembali sampah plastik. Masyarakat harus mawas

akan keberlanjutan lingkungan. Pihak-pihak yang terletak pada sisi produksi,

distribusi, dan koleksi pada rantai produksi harus menyadari bahwa inisiatif ini

tidak hanya menguntungkan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan

namun juga bagi kegiatan usaha mereka. Walaupun munculnya budaya tersebut

bisa dicetuskan oleh penekanan terhadap insentif ekonomi berupa refund, namun

ke depannya jika pengaturan deposit refund system diharapkan untuk langgeng,

maka perlu pembentukan budaya yang berkelanjutan pula melalui pendidikan

dan sosialisasi melalui sekolah-sekolah dan kepada unit-unit masyarakat terkecil

seperti Rukun Tetangga untuk mengasah tingkat kepekaan masyarakat terhadap

masalah plastik di lingkungan.

36 David Nelken, 2004 “Using the Concept of Legal Culture,” Australian Journal of Legal Philoso-phy, Vol. 29, hlm. 9

37 Susan S. SIlbey, “Legal culture and cultures of legality,” Handbook of Cultural Sociology, July 2010, hlm. 471

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 158: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

147

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

V. Kesimpulan

Jika Indonesia tidak bergerak dengan cepat untuk menyelesaikan

permasalahan plastik kronis yang melanda perairannya secara progresif dan

komprehensif, kesehatan lingkungan perairan Indonesian akan terancam oleh

pencemaran plastik yang dilanggengkan oleh rakyatnya sendiri sebagai produsen

dan konsumen bahan praktis dan populer tersebut.

Penanganannya plastik di perairan Indonesia sudah tidak bisa bergantung

pada penegakan hukum lingkungan yang eksklusif berada di tangan pemerintah

dalam bentuk atur dan awasi. Pemerintah sebagai pembuat kebijakan sudah

seharusnya melirik inisiatif-inisiatif instrumen ekonomi agar pelaku ekonomi

pengguna dan pembuat plastik dapat menginternalisasi biaya-biaya pencemaran

sebagai suatu eksternalitas kembali ke dalam biaya produksi dan pemakaian.

Deposit refund system adalah suatu mekanisme ekonomi lingkungan di mana

seseorang harus membayar di muka sejumlah uang untuk menjamin bahwa ia tidak

akan melakukan pencemaran atau bahwa dia akan melakukan suatu kewajiban.

Dengan kaitannya dalam penanggulangan pencemaran plastik fungsinya

adalah untuk memfasilitasi pengembalian produk. Sebagai salah satu bentuk

dari instrumen ekonomi dalam penaatan hukum lingkungan adalah manifestasi

dari penerapan prinsip pencemar membayar, namun apabila sistem tersebut

diharapkan dapat mengubah harus dijamin adanya suatu sistem legal system yang

efektif pula. Menurut Friedman, sistem hukum yang efektif harus memiliki tiga

komponen yaitu adanya substansi hukum, struktur hukum, dan budaya hukum

yang mendukung penaatan hukum yang ada.

Dari segi substansi, Indonesia sendiri sudah mempunyai landasan-landasan

penerapan deposit refund system dengan adanya Undang-Undang Nomor 32 Tahun

2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang

Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, Peraturan Pemerintah Nomor

46 Tahun 2017 tentang Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup, dan Peraturan

Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga

dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Namun substansi yang lebih spesifik

mengenai sistem tersebut harus ditetapkan agar program deposit refund tidak hanya

menjadi suatu wacana yang tidak mempunyai pengaturan normatif.

Page 159: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

148

Komponen struktur yang penting bagi penerapan deposit refund system adalah

pembagian kewenangan daerah dan pembangunan infrastruktur yang dibutuhkan

pada unit terkecil yang dapat dijangkau oleh masyarakat agar product take-back

kemasan-kemasan plastik dapat terlaksana. Namun, selain fondasi normatif dan

fasilitas, harus ada elemen budaya masyarakat jika mekanisme tersebut diharapkan

memiliki keberlanjutan. Patut dicatat bahwa budaya masyarakat sendiri dapat

dibentuk dan diubah oleh kebiasaan-kebiasaan sosial baru jika memang itu yang

dibutuhkan untuk melanggengkan kesehatan lingkungan.

Indonesia sudah tidak mempunyai hak istimewa untuk mengabaikan

keberadaan sampah-sampah plastik di perairan yang menjadi konsekuensi dari

tingkat konsumsi bahan serba guna tersebut. Suatu non-traditional threat terhadap

pemberi kehidupan bangsa kita harus dihadapi dengan solusi yang non-traditional

pula, sehingga diharapkan bahwa penerapan deposit refund system dapat menjadi

suatu solusi yang progresif, tepat guna dan kolaboratif untuk memecahkan

polemik plastik Indonesia.

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 160: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

149

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Daftar Pustaka

Amelia Hastuti, “Tragedi Longsor TPA Leuwigajah Harus Jadi Cambuk bagi Ma-

syarakat Agar Peduli Sampah”, http://rri.co.id/post/berita/363673/fea-

ture/tragedi_longsor_tpa_leuwigajah_harus_jadi_cambuk_bagi_masyara-

kat_agar_peduli_sampah.html

Anker Andersen, “Deposit system law- Germany,” http://anker-andersen.dk/

deposit-laws/germany.aspx

Busrizalti, H.M. 2013. Hukum Pemda Otonomi Daerah dan Implikasinya. Yogyakarta:

Total Media.

Departemen Kelautan dan Perikanan Sekretaris Jendera Satuan Kerja Dewan

Maritim Indonesia. 2008. Evaluasi Kebijakan dalam Rangka Implementasi Konvensi

Hukum Laut Internasional (UNCLOS 1982) di Indonesia. Jakarta: DKP.

DPG-Pfandsystem, “Function of the Deposit-Scheme,” http://www.dpg-

pfandsystem.de/index.php/en/.

Friedman, Lawrence M. 1975. The Legal System: A Social Science Perspectiv., New

York: Russel Sage Foundation.

Hotta, Yasuhiko, et.al., eds. 2009. Extended Producer Responsibility Policy in East Asia:

in Consideration of International Resource Circulation. Japan: Institute for Global

Environmental Strategies.

Indonesia, Undang-Undang tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 18 Tahun 2008,

LN No. 69 Tahun 2008, TLN No. 69, Pasal 4.

Ivan, “Sampah plastik diprediksi penuhi lautan pada 2050”, https://beritagar.id/

artikel/sains-tekno/sampah-plastik-diprediksi-penuhi-lautan-pada-2050.

Jambeck, J.R., Andrady, A., Geyer, R., Narayan, R., Perryman, M., Siegler, T.,

Wilcox, C., Lavender Law, K. 2015. “Plastik waste inputs from land into the

ocean”, Science, 347.

Jimly Asshidiqie, “Demokrasi dan Ekokrasi”, http://www.jimly.com/makalah/

namafile/160/Demokrasi_dan_Ekokrasi.pdf

Page 161: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

150

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Surat Edaran tentang Pelaksanaan

Peringatan Hari Peduli Sampah Nasional (HPSN) Tahun 2017, Surat Edaran No-

mor SE.1/MenLHK-SetJen/Rokum/PLB.3/1/2017.

Mahyudin, Rizqi Puteri. 2017. “Kajian Permasalahan Pengelolaan Sampah dan

Dampak Lingkungan di TPA (Tempat Pemrosesan Akhir)”, Jurnal Teknik Ling-

kungan 3.

Nelken, David. 2004. “Using the Concept of Legal Culture,” Australian Journal of

Legal Philosophy, Vol. 29.

OECD, Extended Producer Responsibility: Guidance for efficient waste management,

(Paris: OECD Pubishing, 2016),

Orts, Eric W. 1995. “A Reflexive Model of Environmental Regulation, “Business

Ethics Quarterly”, Vol. 5(4).

Orts, Eric W. 1995. “Reflexive Environmental Law, “Northwestern University Law

Review”, Vol. 89.

Pindyck, Robert S. dan Daniel L. Rubinfeld. 2001. Microeconomics. Prentice Hall.

Purwaeni, Hartuti. “Bom Waktu Sampah”, Suara Merdeka (Februari 2017).

Silbey, Susan S. 2010. “Legal culture and cultures of legality,” Handbook of Cultural

Sociology.

Tahir, Akbar. s.n. “Anthropogenic Debris in Seafood”, Departemen Ilmu Kelautan

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 28H ayat (1)

Wibisana, Andri G. 2017. “Campur Tangan Pemerintah Dalam Pengelolaan Ling-

kungan: Sebuah Penelusuran Teoretis Berdasarkan Analisis Ekonomi atas Hu-

kum (Economic Analysis of Law), Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 2.

World Economic Forum. 2016. “The New Plastics Economy: Rethinking the future

of plastics”, World Economic Forum.

Zero Waste Europe, “Beverage packaging and Zero Waste,” https://www.

zerowasteeurope.eu/tag/germany-deposit-refund-system/.

IRAWATI PUTERI, RIZKINA ALIYA dan SATRIA AFIF MUHAMMAD

Page 162: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

151

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

C a t a t a n a k h I r t a h u n 2 0 1 7IndonesIan Center for envIronmental law

kebiJakan PemerintaHan Jokowi-Jk taHun 2017:

ambisi megaProyek, minim Perlindungan lingkungan

Pengantar

Tahun 2017 merupakan tahun krusial dalam Pemerintahan Jokowi-JK.

Dalam tahun ini kebijakan Jokowi-JK mulai menunjukan arahnya. Namun masih

banyak kebijakan yang menjadi sorotan publik karena dianggap belum optimal

memberikan perlindungan lingkungan hidup dan sumber daya alam serta ruang

hidup masyarakat.

Catatan akhir tahun ICEL ini akan memberikan pandangan mengenai kinerja

Pemerintahan Jokowi-JK selama 2017 dan implikasinya terhadap perlindungan

lingkungan hidup dan sumber daya alam. Catatan-catatan ini dibuat berdasarkan

advokasi kasus, penelitian dan pendampingan yang dilakukan oleh ICEL bersama

dengan jaringan masyarakat sipil maupun pemangku kepentingan lainnya.

Catatan akhir tahun ini akan membahas mengenai kebijakan dan penegakan

hukum terhadap empat isu pokok dalam perlindungan dan pengelolaan

lingkungan hidup serta sumber daya alam, yaitu: (1) kebijakan dan penegakan

hukum lingkungan; (2) kehutanan dan lahan; (3) pencemaran lingkungan hidup;

dan (4) kelautan dan pesisir.

I. Kebijakan dan Penegakan Hukum Lingkungan di Tahun 2017

1. Penataan Ruang: Karut Marut dengan Proyek Strategis Nasional

PP Nomor 13 Tahun 2017 dan Perpres Nomor 58 Tahun 2017 adalah katalog

Page 163: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

152

megaproyek eksploitatif yang menggunakan klaim kepentingan publik. Tahun

2017 menegaskan bagaimana arah pembangunan Jokowi-JK pada periode pertama

pemerintahannya. Seperti yang sudah sering terdengar, pemerintah mempercepat

pembangunan secara massif yang dapat berpotensi menimbulkan pelanggaran

prinsip-prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) dan perlindungan fungsi lingkungan

hidup. Kebijakan kontroversial pertama adalah ketika pada bulan April 2017,

Presiden Republik Indonesia menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun

2017 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (PP Nomor 13 Tahun 2017). Di dalamnya

terdapat banyak perubahan signifikan yang telah berdampak maupun memiliki

dampak potensial terhadap perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup

di Indonesia. Secara umum, PP Nomor 13 Tahun 2017 cenderung akomodatif

terhadap pelaksanaan proyek megainfrastruktur dengan memberikan sejumlah

ketentuan pengecualian yang toleran terhadap pembangunan infrastruktur

terutama Proyek Strategis Nasional. Contohnya adalah kebolehan untuk

melanggar rencana tata ruang yang telah lebih dahulu ada terutama RTRW dan

RDTR Daerah dan juga diperkokoh dengan memberikan dasar bagi Menteri untuk

memberikan rekomendasi atas kegiatan pemanfaatan ruang yang bernilai strategis

nasional maupun berdampak besar yang belum dimuat dalam RTRW dan RDTR

Daerah tanpa disertai dengan kondisi dan parameter yang jelas. Hal tersebut juga

membuka jalan untuk eksekusi 248 Proyek Strategis Nasional yang lebih rawan

mengeksploitasi lingkungan hidup maupun hak asasi manusia, diantaranya oleh

karena toleransi untuk melanggar RTRW, RDTR Daerah dan Rencana Zonasi

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K).1

Salah satu contoh eksploitasi tersebut telah terjadi, yaitu pada gugatan

tata usaha negara yang diajukan oleh masyarakat terhadap Izin Lingkungan

untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) di Cirebon yang dasar hukum

penerbitannya meliputi PP Nomor 13 Tahun 2017 dan Peraturan Presiden Nomor

58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016

tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Perpres Nomor 58

1 Indonesia, Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional, Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016, Pasal 19.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 164: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

153

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Tahun 2017).2 Izin Lingkungan PLTU Cirebon ini diterbitkan kembali pada tahun

2017 setelah sebelumnya pada tahun 2016 melalui Putusan No. 124/.G.LH/2016/

PTUN-BDG diperintahkan untuk dicabut oleh karena bertentangan dengan

RTRW Kabupaten Cirebon yang menunjukkan bahwa lokasi tersebut berada pada

kawasan lindung.3 Izin Lingkungan PLTU Cirebon yang diterbitkan pada tahun

2017 masih menggunakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang

sama dengan penerbitan Izin Lingkungan yang telah dicabut dan cacat secara

substantif dalam hal penurunan kualitas udara, kesehatan publik, dan penurunan

kualitas air laut.4

2. Penghormatan yang Rendah Terhadap Putusan Pengadilan

Sepanjang tahun 2017 banyak putusan pengadilan yang mengoreksi

kebijakan atau keputusan Pemerintah untuk kepentingan perlindungan

lingkungan hidup. Namun atas putusan-putusan tersebut, sikap Pemerintah lebih

banyak menunjukan penghormatan yang rendah: tidak patuh atau berpura-pura

mematuhi. Salah satu putusan yang penting untuk mendapat apresiasi adalah

putusan Pengadilan Negeri Palangka Raya nomor 118/Pdt.G/LH/2016/PN.PLK

yang mengabulkan gugatan beberapa warga Kota Palangkaraya yang menggugat

kelalaian pemerintah dalam penanggulangan bencana kabut asap tahun 2015.

Dalam kaitannya dengan pencemaran udara, pemerintah diwajibkan antara lain

membuat peta jalan pencegahan dini, penanggulangan dan pemulihan korban

kebakaran hutan dan lahan serta pemulihan lingkungan; mendirikan rumah

sakit khusus paru dan penyakit lain akibat pencemaran udara asap di Provinsi

Kalimantan Tengah yang dapat diakses gratis bagi korban asap; membuat tempat

evakuasi ruang bebas pencemaran untuk mengantisipasi potensi pencemaran

udara dari karhutla; serta menyiapkan petunjuk teknis evakuasi dan bekerjasama

2 Keputusan Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor: 660/07/19.1.05.0/DPMPTSP/2017 tentang Kelayakan Lingkungan Hidup Kegiatan Pembangunan Operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap Kapasitas 1 × 1.000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana.

3 Peraturan Daerah Kabupaten Cirebon Nomor 17 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Cirebon Tahun 2011-2031

4 Keputusan Badan Penanaman Modal dan Perijinan Terpadu Propinsi Jawa Barat Nomor 660/10/19.1.02.0/BPMPT/2016 tentang Izi Lingkungan Kegitan Pembangunan dan Opera-sional PLTU Kapasitas 1 × 1.000 MW Cirebon di Kecamatan Astanajapura dan Kecamatan Mundu Daerah Kabupaten Cirebon oleh PT. Cirebon Energi Prasarana.

Page 165: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

154

dengan lembaga lain untuk memastikan evakuasi berjalan lancar. Putusan ini

sesungguhnya mengoreksi kelalaian pemerintah selama ini dalam mengendalikan

pencemaran dan kerusakan yang terjadi akibat kebakaran hutan dan lahan pada

2015 lalu. Putusan ini kemudian dikuatkan pula pada tingkat banding. Namun

sampai saat ini belum ada respon konkrit pemerintah dalam menjalankan putusan

tersebut. Meskipun terhadap putusan tersebut terbuka untuk adanya upaya

hukum, sikap pemerintah seharusnya lebih proaktif dalam mengoreksi kelalain

tersebut. Hal ini merupakan ciri negara hadir sebagaimana Pemerintahan Jokowi-

JK dengungkan.

Putusan Mahkamah Agung RI yang membatalkan Peraturan Presiden No. 18

Tahun 2016 yang diketahui publik pada Februari 2017 juga patut untuk diapresiasi.

Putusan ini mempertimbangkan aspek pencemar udara berbahaya dari insinerasi

sampah kota yang pada saat putusnya perkara belum memiliki baku mutu emisi,

sehingga dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009

tentang Kesehatan dan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2009 tentang Pengesahan

Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants (Konvensi Stockholm Tentang

Bahan Pencemar Organik Yang Persisten). Terhadap putusan ini, seharusnya

pemerintah melakukan koreksi menyeluruh terhadap kebijakan yang ada maupun

yang sedang direncanakan. Namun sikap tersebut tidak terlihat dengan tetap

disusunnya Rancangan Peraturan Presiden (RanPerpres) baru dengan substansi

dan tujuan yang esensinya tidak berbeda.

Apresiasi juga patut diberikan terhadap putusan Peninjauan Kembali

Mahkamah Agung No. 99PK/TUN/2016, yang membatalkan Izin Lingkungan

PT Semen Indonesia. Dalam putusannya, majelis hakim melarang ada tambang di

karst yang disamakan oleh majelis hakim sebagai sumber air. Terhadap putusan

ini, Gubernur Jawa Tengah malah membuat “addendum” AMDAL dan menyetujui

Izin Lingkungan yang baru dalam waktu singkat. Hal senada juga terjadi terhadap

Izin Lingkungan PLTU Cirebon II yang dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha

Negara (PTUN) Bandung. Terhadap pembatalan tersebut, Pemerintah Provinsi

Jawa Barat malah menerbitkan izin lingkungan baru untuk PT Cirebon Energi

Prasarana. Keputusan kontroversial seperti ini tentunya merupakan preseden

yang buruk bagi tata kelola lingkungan hidup di Indonesia.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 166: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

155

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Dari sekian banyak penghormatan pemerintah yang lemah terhadap putusan

pengadilan, masih ada beberapa kebijakan yang menjalankan putusan pengadilan

yang patut diapresiasi. Putusan tersebut adalah Putusan Kasasi Mahkamah Agung

Nomor 187K/TUN/LH/2017. Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap ini

mengukuhkan preseden bahwa pemberian izin pembuangan air limbah wajib

mempertimbangkan daya tampung beban pencemaran air (DTBPA). Putusan

Cikijing memberikan teguran keras bagi pemerintah untuk serius memperhitungkan

daya tampung dan daya dukung lingkungan hidup dalam pemberian perizinan,

tidak hanya bagi pengendalian pencemaran dari ketiga sumber pencemar besar

yang digugat izinnya tersebut. Putusan ini seharusnya ditindaklanjuti dengan

implementasi DTBPA Citarum dalam izin bagi sumber pencemar tertentu (point

sources) dan melalui pengelolaan lingkungan terbaik bagi sumber pencemar tidak

tertentu (non point sources). Di sisi lain, kasus ini memberikan dorongan yang

kuat bagi KLHK untuk lebih tepat waktu dalam mencapai target penetapan dan

penghitungan DTBPA sungai-sungai prioritas nasional sebagaimana ditargetkan

dalam Renstra KLHK 2015 – 2019. Pada tahun 2017, akhirnya KLHK menetapkan

DTBPA Sungai Ciliwung, Citarum dan Cisadane melalui 3 (tiga) Surat Keputusan

MenteriLHK. Ketiga SK ini menegaskan kembali bahwa DTBPA yang ditetapkan

menjadi dasar Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah dalam menetapkan izin

lingkungan dan izin PPLH, izin lokasi bagi usaha dan/atau kegiatan, baku mutu

air limbah, dan mutu air sasaran. Selain itu, terdapat tambahan sungai yang telah

dihitung DTBPA-nya. Terhadap sungai-sungai yang telah dihitung dan ditetapkan

ini, penting bagi KLHK untuk memastikan penghitungan dan penetapan DTBPA

ditindaklanjuti dalam instrumen hukum yang bisa diawasi dan ditegakkan. Selain

itu, KLHK juga perlu mempersiapkan penambahan parameter dalam penghitungan

DTBPA agar lebih komprehensif dari BODe.

3. Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017: Potensi Pengalihan

Tanggungjawab Beban Biaya Pemulihan Lingkungan Hidup

Pengundangan Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2017 tentang

Instrumen Ekonomi Lingkungan Hidup patut diapreasiasi, namun substansinya

bertentangan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan. Prinsip yang dimaksud

adalah prinsip pencemar membayar (polluter pays principle) yang dalam PP No.

Page 167: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

156

46 Tahun 2017 justru dilanggar. Dalam Pasal 26 PP No. 46 Tahun 2017 disebutkan

bahwa dana penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan dan pemulihan

lingkungan hidup disiapkan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah. Hal

ini memungkinkan dana yang digunakan berasal dari APBN dan APBD. Padahal,

jika merujuk kepada prinsip pencemar membayar, maka seharusnya usaha dan/

atau kegiatan yang mencemari-lah yang menyediakan dana ini. Substansi Pasal 26

ini merupakan kemunduran dalam penyusunan kebijakan yang selaras dengan

prinsip pembangunan berkelanjutan. Terkait dengan hal ini, semestinya ada

mekanisme yang jelas terhadap dana APBN dan APBD yang digunakan tersebut,

antara lain mekanisme pemerintah untuk memaksakan biaya penggantian kepada

penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang mengakibatkan digunakannya

dana dari APBN dan APBD dalam penanggulangan kerusakan dan/atau

pencemaran lingkungan hidup.

4. Pentingnya Mengawal Penyusunan Regulasi Pelaksana UU No. 32 Tahun

2009 di tahun 2018

Ironisnya, PP yang mengatur pengendalian pencemaran di dua media

lingkungan yang paling berdampak terhadap kualitas hidup manusia, udara

dan air, masih belum disahkan di tahun ini. Perubahan kedua PP ini penting

mengingat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan berbagai

peraturan lain yang berdampak terhadap beberapa instrumen dalam kedua PP.

Perubahan peraturan tersebut utamanya adalah penyesuaian dengan UU PPLH

yang mencakup perencanaan, instrumen pencegahan yang lebih komprehensif

keterbukaan informasi dan partisipasi publik; serta penyesuaian dengan UU

Administrasi Pemerintahan dan UU Pemerintahan Daerah.

Rancangan PP yang akan menggantikan PP No. 82 Tahun 2001 tentang

Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air telah mulai dibahas

intensif tahun ini hingga melalui tahapan konsultasi publik untuk memperkuat

materi muatannya. Sekalipun masih dalam tahap penguatan materi, beberapa

muatan baru dalam RPP ini yang cukup penting, antara lain ketentuan kerjasama

antar wilayah administrasi yang mengelola sumber air yang merupakan satu

kesatuan, evaluasi kinerja dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran air, serta

kemungkinan integrasi perizinan terkait pengelolaan pencemaran air ke dalam

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 168: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

157

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Izin Lingkungan. Komitmen kuat KLHK di tahun 2018 untuk mengalokasikan

sumber daya yang cukup dan memasukkan RPP ini dalam program prioritas

regulasi dibutuhkan untuk memastikan RPP ini segera terselesaikan.

Sementara, PP No. 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara

telah selesai dirumuskan rancangannya dan sedang berproses menuju Biro

Hukum KLHK. RPP ini telah mendapatkan tempat prioritas dalam program

regulasi KLHK, dan diharapkan bisa disahkan di tahun 2018. Beberapa inisiatif

baru yang perlu pengawalan adalah pengaturan mengenai ruang udara (airshed),

perencanaan, instrumen ekonomi terkait udara, penentuan baku mutu udara

ambient yang berdasarkan kesehatan publik, serta ketentuan kedaruratan dalam

hal kebakaran hutan dan lahan.

Page 169: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

158

Untuk tahun 2018, ICEL mengidentifikasi beberapa Peraturan Pemerintah

yang perlu untuk segera diundangkan.

NO PERATURAN PEMERINTAH KETERANGAN

Inventarisasi Lingkungan Hidup (Pasal 11)

Inventarisasi menjadi acuan menetukan daya dukung, dayan tamping dan cadangan sumber daya alam. Substansi dapat digabung dengan PP RPPLH.

Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH) (Pasal 11)

RPPLH penting sebagai acuan perlindungan dan pemanfatan LH-SDA. Draf RPP sudah pernah dibawa ke konsultasi publik.

Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan Hidup (Pasal 12)

Sebagai acuan penyusunan RPPLH dan analisis dalam KLHS. Tidak diketahui statusnya.

Tata cara penanggulangan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup (Pasal 53 ayat (3))

Sebagai acuan bagi usaha dan/atau kegiatan terutama untuk penyiapan sarana dan pra saran serta rencana mitigasi.

Tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup (Pasal 54 ayat (3))

Tidak diketahui statusnya.

Pengendalian Pencemaran Air Penting untuk mengatur kerjasama antar wilayah administrasi yang mengelola sumber air yang merupakan satu kesatuan, evaluasi kinerja dalam pelaksanaan pengendalian pencemaran air. Draf RPP sudah pernah dibawa ke konsultasi publik

Pengendalian Pencemaran Udara Penting untuk mengatur mengenai ruang udara (airshed), perencanaan, instrumen ekonomi terkait udara, penentuan baku mutu udara ambient yang berdasarkan kesehatan publik, serta ketentuan kedaruratan dalam hal kebakaran hutan dan lahan. Draf RPP sudah pernah dibawa ke konsultasi public.

Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) (Pasal 58)

Sudah ada draf RPP-nya.

Sanksi administratif (Pasal 83) Yang diundangkan baru Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013. Sudah ada draf RPP-nya.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 170: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

159

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

10. Peran serta masyarakat Tidak dimandatkan dalam bentuk PP, tapi penting untuk disusun karena akan menjadi acuan bagi tata cara peran masyarakat mulai dari perumusan kebijakan, keputusan sampai dengan pengawasan dan penegakan hukum. Substansi dapat digabung dengan PP yang relevan,

Tabel 1 Peraturan Pemerintah Yang Penting Untuk Segera Diundangkan

II. Tata Kelola Hutan dan Lahan

1. Pengendalian Karhutla: Turunnya Jumlah Titik Panas Bukan Cerminan

Mutlak

Berkurangnya titik panas pada tahun ini perlu diapresiasi. Walau demikian, potensi

terulang kembalinya tragedi Karhutla bila tahun basah telah berlalu masih mengancam.

Berdasarkan data yang disajikan BMKG, secara umum trend curah hujan sepanjang

tahun 2016 dan 2017 lebih tinggi dan lebih basah dibandingkan dengan curah

hujan pada tahun 2014 dan 2015. Bahkan Kepala BMKG Andi Eka Sakya pada awal

tahun 2017 ini menyatakan bahwa tahun 2016 merupakan “kemarau basah” di mana

terdapat kenaikan curah hujan tahunan di seluruh wilayah Indonesia.5

Figure 1 Pengendalian Karhutla

Page 171: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

160

Sementara peningkatan curah hujan ternyata tidak selalu berbanding lurus

dengan penurunan titik panas.6

Tindakan responsif pemerintah sepanjang tahun 2017 untuk memadamkan

Karhutla patut diapresiasi, namun mandat untuk peningkatan pengendalian

5 http://bmkg.go.id/berita/?p=kilas-balik-kejadian-cuaca-iklim-dan-gempabumi-indonesia-rentan-bencana&lang=ID, diakses 4 Desember 2017.

6 Simpulan dan deskripsi infografis merupakan hasil pengolahan data yang diperoleh dari website Sipongi Karhutla Monitoring System, website Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan Laporan Penelitian Pelaksanaan Kewajiban bidang Pengendalian Ke-bakaran Hutan dan Lahan oleh ICEL.

KINERJA KARHUTLA PEMERINTAH DAERAH

Penelitian yang dilakukan di Provinsi Kalimantan Barat, Riau, dan Sumatera Selatan menunjukkan setidaknya ada 3 tindakan pencegahan Karhutla yang diperintahkan peraturan perundangan namun belum dilaksanakan. Selain itu, dari 3 perintah terkait pemulihan yang didelegasikan pada Pemerintah Daerah, kontribusi yang dilaksanakan Pemda sangat minim, bahkan hampir mendekati tidak ada (ICEL, 2017).

Terkait pemulihan khususnya di lahan gambut, persepsi yang berkembang di tingkat daerah adalah anggaran untuk pemulihan ada pada Badan Restorasi Gambut dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Padahal peraturan perundang-undangan dengan tegas dan berulang-ulang memerintahkan kepada Pemda untuk mengalokasikan anggaran khusus untuk pemulihan gambut akibat Karhutla.

KINERJA KARHUTLA PEMERINTAH PUSAT

Di tingkat pusat, terdapat beberapa catatan yang perlu diperhatikan:1. Kekosongan hukum terutama dalam hal regulasi terkait pencemaran dan karhutla

seperti belum adanya penetapan kriteria teknis baku kerusakan lingkungan hidup nasional, PP rehabilitasi penanganan pasca karhutla, pedoman umum pemulihan dampak lingkungan hidup yang berkaitan dengan karhutla, dan RPP Usaha Perkebunan yang belum juga selesai hingga sekarang.

2. Perencanaan dan pelaksanaan yang belum matang pada ketentuan mengenai lahan gambut, terindikasi pada belum adanya RPPEG (Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut) serta identifikasi penguasaan dan pemanfaatan lahan gambut yang belum terlaksana meskipun telah dimandatkan Inpres 11/2015 (Kementerian ATR/BPN yang diberi mandat)

Catatan lain yang perlu disorot bagi pemerintah pusat adalah tidak transparannya tindak lanjut penegakan hukum administratif terhadap perusahaan yang mendapatkan sanksi administratif akibat Karhutla. Dari kurang lebih 23 sanksi administratif, kabar tentang langkah-langkah yang dilakukan pemerintah dalam kapasitas sebagai penerbit izin dan pengawas untuk memastikan pelaku usaha melaksanakan sanksi tersebut hingga saat ini tidak transparan. Selain itu, masyarakat belum mengetahui upaya pemerintah untuk menindaklanjuti putusan kasus perdata Karhutla terhadap pihak yang dinyatakan bersalah dan harus membayar ganti rugi dan/atau melakukan pemulihan.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 172: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

161

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Karhutla tidak hanya bicara pemadaman tetapi juga pencegahan dan pemulihan.

Jika dalam pemadaman secara kasat mata telah terjadi peningkatan kinerja yang

signifikan, penelusuran yang dilakukan ICEL terhadap dua aspek pengendalian

lain menunjukkan hasil yang belum memuaskan.

Selain pencegahan dan pemulihan, tindakan penanggulangan yang

mengalami peningkatan signifikan tidak luput dari catatan terutama pada aspek

koordinasi dan optimalisasi peran penanggungjawab usaha. Pertama, koordinasi

antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah belum didasarkan pada sistem yang

jelas dan terstandar. Belum ada kriteria dan alur koordinasi terstandar untuk

memandu dalam hal apa pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku usaha

atau cukup kelompok masyarakat binaan yang melakukan pengecekan lapangan

dan melakukan penanggulangan. Semua tindakan yang dilakukan cenderung

mengandalkan siapa yang bisa merespon lebih cepat dan tidak jarang terjadi

kelebihan tenaga, sarpras dan sumber daya manusia untuk menangani satu

titik api. Akibatnya, ada hipotesa bahwa pada saat yang sama, wilayah dengan

titik api yang perlu ditanggulangi mengalami kekurangan resources. Kedua, ada

kecenderungan memberlakukankan toleransi tinggi kepada penanggungjawab

usaha yang tidak mampu mengendalikan7 api di konsesinya dengan dalih bahwa

tujuan utama yang harus dicapai adalah pemadaman api. Hingga saat ini, riwayat

konsesi yang wilayahnya terbakar pada tahun 2016-2017 tidak dipublikasikan.

2. Evaluasi Perizinan Tambang dan Kebun: Hasilnya Jauh Panggang dari Api

Walaupun telah berkomitmen memperbaiki tata kelola perizinan sumber

daya alam, masyarakat pada nyatanya di lapangan masih menemukan masalah

birokrasi mendasar yang belum juga terbenahi.

7 Pengertian mengendalikan meliputi pencegahan, penanggulangan (pemadaman) dan pemulihan (terutama dalam hal berada di lahan gambut).

Page 173: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

162

3. RUU Perkelapasawitan: Kebijakan yang Mengancam Perlindungan

Hutan dan Lahan

Masuknya RUU Perkelapasawitan ke dalam Prolegnas RUU Prioritas 2018

merupakan kesalahan politik hukum. Ngototnya DPR RI untuk melanjutkan

pembahasan RUU Perkelapasawitan melalui Prolegnas RUU Prioritas Tahun 2018

merupakan bentuk lemahnya DPR RI memahami persoalan. Alih-alih menuntaskan

berbagai persoalan terkait dengan hutan dan lahan, DPR RI justru mendorong

RUU Perkelapasawitan yang dapat menambah kusutnya persoalan hutan dan

lahan. Perdebatan perlu tidaknya RUU Perkelapasawitan sudah terjadi sejak satu

tahun yang lalu. Setidaknya ada beberapa hal mengapa RUU Perkelapasawitan ini

perlu segera dihentikan:

(1) RUU Perkelapasawitan bertujuan untuk memfasilitasi sektor perkelapasawitan

ditengah berbagai persoalan yang terkait dengan perkebunan sawit yang

selama ini terjadi, mulai dari konflik lahan, struktur penguasaan lahan

perkebunan yang timpang, perambahan hutan untuk komoditas sawit,

kebakaran hutan dan lahan, dan berbagai persoalan lainnya.

Tabel 2 Tipologi masalah klise tata kelola perizinan

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 174: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

163

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

(2) Munculnya RUU Perkelapasawitan di tengah persoalan-persoalan tersebut

justru akan memicu ekspansi sawit yang tidak terkendali sehingga

memperbesar persoalan-persoalan yang ada selama ini.

(3) RUU Perkelapasawitan memberikan keleluasaan bagi pelaku kejahatan

lingkungan di bidang perkelapasawitan melalui pengurangan ancaman

pidana bagi pelaku.

(4) Lemahnya jaminan akses keadilan bagi masyarakat yang mengalami kerugian

akibat aktifitas perkebunan kelapa sawit.

(5) RUU Perkelapasawitan mengancam pengakuan hak masyarakat adat akibat

ekspansi sawit yang terjadi.

4. Perhutanan Sosial: 12,7 Juta Hektar, Masih Mungkinkah Tercapai?

Kebijakan perhutanan sosial perlu diapresiasi. Namun realisasi capaian

perhutanan sosial masih jauh dari harapan dan terganjal berbagai permasalahan

di lapangan. Sejak target alokasi areal 12,7 juta hektar dicanangkan dalam RPJMN

hingga akhir 2017 ini, pemerintah baru menetapkan areal seluas 1,1 juta hektar.8

Padahal, di tahun 2017 capaian target tersebut seharusnya sudah mencapai 7,6

juta hektar atau sekitar 60% dari total target. Aspek kelembagaan dan sumber

daya manusia yang belum memadai serta tumpang tindih perizinan di area PIAPS

ditengarai menjadi isu yang menghambat percepatan perhutanan sosial. Ketiga isu

ini sangat mendasar dan mendesak untuk segera dibenahi.

Fig.3. Target alokasi perhutanan sosial

Page 175: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

164

Dari sisi kelembagaan, pada kenyataannya belum semua provinsi memiliki

Kelompok Kerja Percepatan Perhutanan Sosial (Pokja PPS) yang fungsinya

adalah membantu fasilitasi dan verifikasi kegiatan percepatan perhutanan sosial.

Terkait Pokja yang sudah ada pun, dalam kenyataannya belum ditemukan format

kelembagaan ataupun kepengurusan Pokja PPS yang ideal dan efektif. Komposisi

Pokja lebih banyak diisi oleh pejabat/birokrat, meskipun aturan mengamanatkan

bahwa Pokja PPS harus melibatkan multistakeholder.

Kondisi kelembagaan di daerah yang belum ideal diperburuk oleh sumber

daya manusia yang tidak memadai, yang ditandai dengan tidak tersedianya ahli

pemetaan/GIS di setiap Pokja. Akibatnya, proses verifikasi lapangan terhadap

permohonan masyarakat menjadi terhambat. Selain itu banyak anggota Pokja

yang tidak atau kurang memiliki kapasitas untuk melakukan pendampingan.

Tak mengherankan apabila di sebagian besar daerah, proses pendampingan

masyarakat untuk pengajuan areal kerja banyak bertumpu pada kinerja organisasi

masyarakat sipil. Di samping itu, melalui penelitian Land and Forest Governance

Index (LFGI) yang dilakukan oleh ICEL di 12 provinsi di Indonesia, mengenai

Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Desa pemerintah daerah provinsi masih bersifat

pasif. Artinya, pemerintah provinsi belum melakukan upaya untuk memfasilitasi

masyarakat dalam mengajukan usulan.

Permasalahan selanjutnya adalah terkait tumpang tindih perizinan di area

PIAPS. PIAPS (Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial) merupakan peta yang

memuat areal kawasan hutan negara yang dicanangkan untuk perhutanan sosial.

Dalam hal ini, PIAPS yang ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan masih tumpang tindih dengan perizinan lain, dan butuh proses panjang

untuk menguraikan persoalan tumpang tindih ini.

Untuk menggenjot capaian target, sempat ada wacana untuk mendelegasikan

pemberian HPHD, IUPHKm, dan IUPHHK-HTR dari Menteri kepada Gubernur

pada provinsi yang sudah memasukkan perhutanan sosial dalam RPJMD-nya.

Namun upaya ini dinilai tidak akan begitu berdampak secara signifikan apabila

tidak diiringi dengan perbaikan pada ketiga isu yang dikemukakan di atas. Jika

8 Data disampaikan pada Diskusi “Percepatan Perhutanan Sosial” Sarasehan Pesona, di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, 6 September 2017.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 176: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

165

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

tidak, maka target perhutanan sosial pada 2019 mendatang terancam tidak dapat

terealisasikan.

5. Manuver Korporasi Melawan Kewajiban Hukum Perlindungan Gambut

Penolakan RAPP untuk merevisi Rencana Kerja Usaha (RKU) mengancam

ekosistem gambut. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK)

membatalkan persetujuan RKU PT. RAPP 2010-2019 melalui Surat Keputusan No.

5322/MenLHK-PHPL/UPL.1/10/2017. Penolakan ini dikarenakan RKU tersebut

belum disesuaikan dengan kebijakan perlindungan gambut yang ada. Alih-

alih merevisi RKU-nya, PT.RAPP malah mengajukan permohonan pencabutan

SK pembatalan tersebut kepada KLHK, kemudian mengajukan permohonan

penetapan keputusan fiktif-positif atas permohonan tersebut ke Pengadilan Tata

Usaha Negara Jakarta.

Alasan PT. RAPP menolak merevisi RKU karena pada ketentuan peralihan

PP No. 71 Tahun 2014 tentang perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut

menyatakan bahwa izin usaha dan/atau kegiatan yang sudah terbit sebelum PP ini

terbit dinyatakan tetap berlaku. Hal ini keliru karena RKU bukanlah bentuk izin,

serta dalam ketentuan peralihan yang sama mengamanatkan pelaku usaha yang

izinnya tetap berlaku berkewajiban menjaga fungsi hidrologis gambut, merevisi

RKU merupakan salah satu bentuk kewajiban tersebut.

PT. RAPP juga mengutip putusan Mahkamah Agung yang mencabut

beberapa pasal dalam Permen LHK No. 17 Tahun 2017 tentang Pembangunan

Hutan Tanaman Industri. Dalam hal ini dapat terlihat jelas manuver pelemahan

upaya perlindungan lingkungan hidup, dari mulai menggerogoti regulasi-regulasi

pengaman hingga upaya hukum pembangkangan terhadap kewajiban pelaku

usaha. Oleh karenanya, pemerintah diharapkan bertindak tegas terhadap upaya-

upaya manuver Korporasi yang dapat mengancam kebijakan perlindungan dan

pengelolaan ekosistem gambut serta pencegahan Karhutla di lahan gambut tersebut.

Pembatalan Beberapa Pasal Permen LHK No. 17 Tahun 2017 makin

melemahkan upaya konservasi. Pasal-pasal yang dinyatakan tidak berlaku dalam

putusan Mahkamah Agung adalah pasal-pasal krusial untuk perlindungan

ekosistem gambut.

Page 177: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

166

Pertimbangan majelis hakim menyatakan bahwa kebijakan penambahan

fungsi lindung ekosistem gambut dalam hutan produksi bertentangan dengan UU

No. 41 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa fungsi pokok hutan produksi adalah

memproduksi hasil hutan. Kekeliruan terbesar dalam pertimbangan majelis

hakim ini adalah pemahaman bahwa konservasi hanya dilakukan pada areal

yang berstatus sebagai kawasan konservasi, serta fungsi pokok hutan diartikan

sebagai fungsi tunggal hutan tersebut. Konservasi harus dilakukan dimana saja,

terlepas dari status kawasan, selama berdasarkan data ilmiah wilayah atau objek

tersebut memang perlu dikonservasi.9 Sementara itu fungsi pokok suatu kawasan

hutan tidak berarti bahwa ia meniadakan fungsi-fungsi lain, seperti fungsi

lindung untuk menjamin pembangunan berkelanjutan. Oleh karena itu, kebijakan

perlindungan ekosistem gambut haruslah dipikul oleh semua pengelola kawasan,

baik pemerintah, masyarakat maupun swasta sebagai pelaku usaha.

6. Konservasi Keanekaragaman Hayati : Jalan gelap revisi UU Konservasi

Keanekaragaman Hayati

Sulitnya akses informasi terhadap rancangan UU Konservasi Keanekaragaman

Hayati di DPR RI menghambat partisipasi dan pengawasan masyarakat sipil.

Pada 5 Desember lalu, Sidang Paripurna DPR RI telah mengesahkan Rancangan

Undang-Undang Konservasi Keanekaragaman Hayati (RUU KKH) yang akan

dibahas bersama pemerintah dalam prolegnas 2018. Anehnya hingga saat ini

masyarakat sipil belum bisa mengakses naskah RUU KKH yang disahkan tersebut,

bahkan jauh sebelum adanya sidang paripurna, masyarakat sudah kesulitan

mengakses naskah RUU yang dibahas oleh DPR ini. Hal ini tentu menyulitkan

masyarakat sipil untuk mengawasi, berpartisipasi dan memberi masukan

terhadap RUU KKH tersebut. Jangankan untuk memberi masukan, substansi

teraktual yang diatur di dalam RUU KKH ini pun tidak diketahui oleh masyarakat.

Naskah RUU yang sulit diakses oleh publik dapat menimbulkan kecurigaan akan

transaksi yang terjadi di belakang layar, menimbang permasalahan konservasi ini

akan bersinggungan juga dengan kepentingan-kepentingan lain seperti investasi

eksploitatif yang rawan terjadi di kawasan konservasi. Mengingat RUU KKH ini

9 Dalam ketentuan hutan tanaman industri pun, jika di dalam kawasan terdapat tumbuhan dilindungi maka tidak boleh ditebang.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 178: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

167

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

masuk kembali dalam prolegnas 2018, di tahun depan diharapkan pembahasan

antara Pemerintah dan DPR RI dapat lebih transparan dan partisipatif melibatkan

masyarakat sipil terkait.

I. Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam

1. Tahun Revisi Baku Mutu Lingkungan Hidup: Sebuah Laboratorium

Partisipasi

Masyarakat menuntut keterbukaan dan partisipasi, baku mutu diharapkan

berdasarkan data dan ilmu pengetahuan termutakhir. Tahun 2017 merupakan

tahun dimana revisi baku mutu lingkungan mendapatkan porsi yang cukup besar

dalam diskursus publik.

Sekalipun tidak ada Permen LHK terkait baku mutu baru yang muncul terkait

air, revisi baku mutu air (BMA) pada Lampiran PP No. 82 Tahun 2001 mulai

dilakukan dengan mempertimbangkan masukan publik. Salah satu kelompok

pencemar yang diminta diatur dalam BMA nasional adalah pencemar organik

persisten (POPs) dan bahan kimia disruptor endoktrin (EDCs). Sementara itu,

Permen LHK No. 68 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Limbah Domestik yang

seharusnya mulai diimplementasikan masih belum menghasilkan perubahan

perilaku pengelolaan limbah domestik seperti kanalisasi sumber pencemar

domestik dan IPAL komunal.

Di sisi lain, masyarakat sipil cukup proaktif dalam menyuarakan pembuatan

standar lingkungan yang lebih transparan dan partisipatif terkait udara. Revisi baku

mutu udara ambien (BMUA) pada Lampiran PP No. 41 Tahun 1999 mendapatkan

sorotan masyarakat sipil, yang menuntut nilai baku mutu ditentukan pada level

yang dapat melindungi kesehatan manusia berdasarkan ilmu pengetahuan

termutakhir. KLHK diminta merujuk panduan World Health Organization (WHO)

dalam menentukan nilai beberapa parameter, serta memastikan pengaturan khusus

terkait penentuan baku mutu parameter pencemar udara berbahaya. Selain itu,

rencana KLHK merevisi PermenLH No. 21 Tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi

(BME) Pembangkit Listrik Tenaga Termal juga cukup disorot sepanjang 2017.

KLHK diminta untuk memperketat BME PLTU, khususnya PLTU Batubara, yang

Page 179: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

168

sekarang jauh lebih longgar dibandingkan standar global, misal India dan Cina.

Revisi ini mencakup penambahan parameter merkuri dalam BME PLTU, sebagai

konsekuensi ratifikasi Perjanjian Minamata tentang Merkuri. Baku mutu lain yang

juga sedang dalam proses revisi, namun tidak begitu mendapatkan sorotan, adalah

ambang batas kebisingan untuk kendaraan tipe baru dan produksi terkini yang

sebelumnya diatur dalam PermenLH No. 7 Tahun 2009.

Proses pengetatan standard lingkungan ini tentunya perlu didukung

oleh publik, serta didorong dan diawasi agar penetapan standar semakin baik

mencerminkan perkembangan teknologi terbaik dan dibuat berdasarkan data.

Sudah saatnya KLHK proaktif dalam mengumumkan parameter dan nilai baku

mutu yang diusulkan kepada semua pihak agar standar yang diundangkan

mempertimbangkan data, fakta dan kepentingan sekomprehensif mungkin. Baru-

baru ini, penolakan Dit. Pengendalian Pencemaran Udara KLHK untuk melibatkan

beberapa ICEL, WALHI dan Greenpeace dalam konsultasi publik revisi PermenLH

No. 21 Tahun 2008 menorehkan catatan buruk di akhir tahun. Masyarakat sipil

menginginkan jangan sampai ada lagi baku mutu emisi yang secara prosedural

buruk dan menghasilkan substansi yang buruk, seperti PermenLHK No. 70 Tahun

2016 tentang BME PLTSa Termal yang diminta ditinjau ulang karena mengizinkan

pemantauan zat pencemar beracun dioksin dan furan hanya dalam rentang waktu

5 (lima) tahun sekali. Sekalipun belum digunakan karena belum adanya proyek

PLTSa yang lahir, namun BME ini dinilai membahayakan dan mengompromikan

kesehatan publik. Oleh karena itu, mekanisme yang jelas untuk mengatur pelibatan

masyarakat dan ahli independen dalam penetapan baku mutu merupakan salah

satu pekerjaan rumah KLHK di tahun 2018.

Satu-satunya peraturan terkait standar udara yang lahir di 2017 adalah

PermenLH No. P.20/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2017 tentang Baku Mutu

Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N dan O, yang

memberlakukan standar Euro 4 pada September 2018 untuk kendaraan berbahan

bakar bensin dan pada tahun 2021 untuk diesel. Sayangnya, implementasi

standar baru ini tidak diiringi kebijakan scrapping, sehingga kendaraan yang

standarnya sudah terlalu ketinggalan jaman dimungkinkan tetap berada di jalanan

sementara sumber pencemar baru terus bertambah. Selain itu, masyarakat sipil

juga menyuarakan tuntutan agar tenggat waktu pemberlakuan standar ini jangan

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 180: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

169

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

sampai mundur, karena akan memberikan ruang pada penjualan kendaraan di

bawah standar yang sangat mungkin menambah jumlah kendaraan bermotor

secara signifikan.

2. Menangani tanpa Mengurangi: Pendekatan Penanganan Sampah di

Hilir yang Problematik Masih Dipertahankan

Sebaikinya pemerintah berhenti membuang-buang energi dengan memaksakan

pembangunan PLTSa melalui teknologi termal. Tahun 2017 diawali dengan

munculnya Putusan Mahkamah Agung No. 27 P/HUM/2016 yang memutus

perkara permohonan uji materiil terhadap Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2016

tentang Percepatan Pembangunan Pembangkit

Listrik Berbasis Sampah di Provinsi DKI

Jakarta, Kota Tangerang, Kota Bandung, Kota

Semarang, Kota Surakarta, Kota Surabaya

dan Kota Makassar (Perpres PLTSa di Tujuh

Kota). Putusan MA tersebut mencantumkan

pertimbangan yang penting bagi pengelolaan

sampah di Indonesia, yakni: Pembangkit

Listrik Berbasis Sampah (PLTSa) dengan

teknologi termal bertentangan dengan esensi

pengelolaan sampah. Esensi pengelolaan

sampah berdasarkan UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah adalah

kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi

pengurangan dan penanganan sampah. Dengan kata lain, pengelolaan sampah

yang terfokus pada penerapan PLTSa dengan teknologi termal merupakan

pengelolaan sampah yang keliru karena mengesampingkan upaya pengurangan

sampah.

Paska dijatuhkannya Putusan MA tersebut, Pemerintah Indone-

sia masih mendorong pendekatan penanganan sampah di hilir yang prob-

lematik. Misalnya, pembangunan PLTSa dengan teknologi termal di Kota

Bekasi serta proyek jalan aspal dengan campuran plastik. Bahkan berkaitan

dengan proyek PLTSa, Pemerintah Indonesia berencana mengganti Per-

pres yang dibatalkan MA dengan rancangan regulasi yang masih berklib-

Rencana program yang problematik dari Jakstranas

adalah pembangunan pembangkit listrik berbasis sampah melalui teknologi termal dan pemanfaatan

sampah menjadi bahan bakar substitusi untuk industri

semen atau Refused Derived Fuel (RD

Page 181: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

170

lat ke percepatan PLTSa termal, yakni Rancangan Peraturan Presiden tentang

Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik

Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Gawatnya, peraturan ini justru gagal

mendefinisikan “teknologi ramah lingkungan” dengan baik, dan dengan demikian

membuka lebar potensi “greenwashing” insinerator, atau bahkan tungku bakar, se-

bagai teknologi ramah lingkungan. Ironis pula bahwa dalam Raperpres tersebut ti-

dak ada satupun inisiatif yang dapat mempercepat pembangunan, sehingga secara

esensi Raperpres tersebut tidak memiliki nilai tambah.

Terbaru, Pemerintah Indonesia telah mengundangkan Peraturan Presiden No.

97 Tahun 2017 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Sampah Rumah

Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga (Perpres Jakstranas) pada

tanggal 24 Oktober 2017. Perpres Jakstranas ternyata masih juga mencantumkan

pendekatan penanganan sampah di hilir yang problematik, yakni melalui strategi

“penerapan teknologi penanganan sampah rumah tangga dan sampah sejenis

sampah rumah tangga yang ramah lingkungan dan tepat guna,” yang dalam

programnya diturunkan sebagai PLTSa teknologi termal dan RDF. Lagi-lagi, salah

sasaran penanganan sampah yang berpotensi greenwashing.

Padahal, fokus utama Jakstranas seharusnya adalah kebijakan pengurangan

sampah. Salah satu strategi yang seharusnya mendapatkan porsi besar adalah

“Penguatan komitmen dunia usaha melalui penerapan kewajiban produsen

dalam pengurangan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah

tangga.” Rencana program tersebut adalah pengembangan dan penerapan peta

jalan persepuluh tahunan kewajiban produsen dalam pengurangan sampah untuk

sektor manufaktur, peritel, dan industri jasa makanan dan minuman. Program

lainnya adalah pengembangan pilot project kewajiban produsen dalam pengurangan

sampah. Desain produk dan mekanisme Extended Producer Responsibility (EPR)

atau Tanggung Jawab Produsen yang Diperluas perlu diatur dalam peta jalan

persepuluh tahunan tersebut.

3. Dikepung Racun Merkuri: Mandat Konvensi Minamata Harus Segera

Direalisasikan

Ratifikasi Konvensi Minamata tentang Merkuri melalui UU No. 11 Tahun

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 182: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

171

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

2017 merupakan langkah penting pemerintah Indonesia di tahun 2017. Namun,

pemerintah perlu fokus mengimplementasikan konvensi ini melalui Rencana Aksi

Nasional yang komprehensif, pada level kedetailan yang dapat diimplementasikan,

memiliki kerangka waktu yang tegas, serta mampu menyasar semua sektor terkait

sesuai tupoksi masing-masing. Koordinasi antara KLHK, ESDM, Kemendag,

Kemenkeu/Bea Cukai serta kepala daerah, lembaga akademis dan masyarakat

sipil perlu dilakukan secara rutin dan ditindaklanjuti hingga ke level kebijakan,

rencana dan program masing-masing sektor. Mengingat Konvensi Minamata

mencakup materi muatan yang luas, mulai dari komitmen tentang penghentian

tambang merkuri primer (cinnabar) hingga penghapusan merkuri dalam alat

kesehatan, pentingnya pembuatan RAN perlu memastikan fokus ke semua materi

muatan yang telah menjadi komitmen Indonesia tersebut.

Di tahun 2017 ini, bisa dibilang perhatian publik tersita ke kontaminasi merkuri

di situs-situs PESK – yang sekaligus mengindikasikan seriusnya permasalahan ini.

Langkah ESDM dengan menyusun RAN Penghapusan Merkuri pada Penambangan

Emas Skala Kecil (PESK) 2017-2021 serta Kemenkes dengan Permenkes No. 57 Tahun

2016 tentang RAN Pengendalian Dampak Kesehatan akibat Pajanan Merkuri 2016

– 2020 patut diapresiasi. Namun, monitoring dan kedisiplinan pemerintah dalam

mengimplementasikan RAN ini masih dirasakan kurang, serta cenderung bersifat

reaktif. Selain itu, pengendalian dampak kesehatan dari merkuri akan sangat sulit

apabila tidak diiringi dengan pemutusan rantai pasok merkuri ke situs-situs PESK

serta pemulihan lingkungan di titik-titik tersebut.

Dalam hal rantai pasok, koordinasi antara sektor dan lembaga penegak

hukum setidaknya diperlukan dengan fokus pada tiga hal: (1) Penghentian laju

pertambangan cinnabar (merkuri primer) ilegal dan mata rantai perdagangannya;

(2) Memutus mata rantai merkuri illegal, terutama mempersempit gap data impor

– ekspor, dengan prioritas rantai pasok ke pertambangan emas skala kecil (PETI);

dan (3) Menghubungkan ongkos lingkungan dan kesehatan yang timbul dengan

pertanggungjawaban perdata pemasok merkuri ilegal. Sebagaimana penanganan

kasus-kasus ilegal, koordinasi setidaknya diperlukan antara POLRI dan Kejaksaan

beserta jajarannya; PPNS sektor terkait, bea cukai, Bakamla, serta PPATK. Dalam

penegakan hukum yang dapat berpengaruh ke ketertiban umum / pertahanan

kemananan, keterlibatan TNI diperlukan.

Page 183: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

172

Terkait pemulihan wilayah tercemar, KLHK merupakan sektor yang

harus memimpin, dengan fokus pada: (1) Identifikasi wilayah terkontaminasi

serta pembuatan prioritas pemulihan lingkungannya; (2) Pembuatan standar

pemulihan lingkungan hidup di berbagai media (tanah, sedimen); (3) Optimalisasi

pengurangan resiko paparan merkuri melalui instrumen informasi atau peringatan,

seperti peringatan level kontaminasi pada ikan (fish advisory warning); serta (4)

Pembuatan mekanisme pembiayaan pemulihan lingkungan yang berkelanjutan,

tidak tergantung donor, dan dengan mengutamakan prinsip pencemar membayar

(termasuk melalui pertanggungjawaban perdata oleh pencemar/pedagang

merkuri ilegal).

IV. Kelautan dan Pesisir

1. 2017, Lampu Hijau Bagi Para Pengembang: Melanjutkan Reklamasi Pulau

Buatan yang minim Kepentingan Masyarakat dan Lingkungan Hidup

Penerbitan Izin Usaha Pelaksanaan Reklamasi dan Pencabutan Moratorium

Reklamasi oleh Pemerintah dengan menabrak payung hukum yang ditetapkan

oleh pemerintah sendiri menjadi Fenomena yang terjadi selama 2017 untuk

memuluskan kelanjutan proyek reklamasi. Reklamasi pulau buatan menjadi salah

satu perhatian masyarakat luas dalam setahun terakhir. Reklamasi dilakukan

dan direncanakan di tujuh tempat yaitu Pantai Utara Jakarta, Teluk Benoa Bali,

Pantai Losari Makassar, Pelabuhan Semayang Balikpapan, Bandara Ahmad Yani

Semarang, Dermaga Logistik Balikpapan, dan Teluk Palu Sulawesi Tengah. Khusus

untuk Jakarta, reklamasi pantura dijadikan pesan kampanye oleh Gubernur

terpilih: Anies Baswedan-Sandiaga Uno. Komitmen setengah hati dari Anies-Sandi

terasa setelah hampir 2 bulan menjabat Pemimpin Propinsi DKI Jakarta untuk

memenuhi janjinya. Sampai sekarang, masih tidak jelas kebijakan apa yang akan

diambil oleh Anies-Sandi untuk memenuhi janji menghentikan reklamasi tersebut.

Selama tahun 2017, ICEL memandang bahwa proyek reklamasi di berbagai

daerah terus memihak kepada kepentingan pengembang dengan pengambilan

kebijakan termasuk penerbitan izin oleh pemerintah dengan menerobos payung-

payung hukum untuk memuluskan proyek reklamasi. Dalam melihat permasalahan

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 184: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

173

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

mengenai reklamasi ini, terdapat beberapa permasalahan hukum reklamasi yang

seringkali diterobos oleh pemerintah atau pengembang yang muncul di berbagai

daerah:

a) Reklamasi dilakukan tanpa adanya Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K)

Reklamasi daratan atau pulau buatan di Indonesia dilakukan di wilayah

daratan pesisir atau di wilayah laut 0-12 mil. Dengan fakta bahwa wilayah

tempat dilakukannya reklamasi maka pemanfaatannya mengacu Undang-

Undang No 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-

Pulau Kecil (UU WP3K). Berdasarkan UU tersebut, pemanfaatan wilayah

pesisir dan pulau pulau kecil -termasuk reklamasi-, maka jelas arahan

pemanfaatanya harus mengacu pada RZWP3K. Reklamasi yang berjalan di

beberapa daerah dilakukan tanpa adanya RZWP3K seperti DKI Jakarta, Bali

dan Sulawesi Selatan.

b) Reklamasi dilakukan tanpa didahului Kajian Lingkungan Hidup Strategis

(KLHS)

Penyusunan KLHS menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk memastikan

prinsip pembangunan keberlanjutan terintegrasi dalam pembangunan suatu

wilayah termasuk Reklamasi. Dan kemudian hasil KLHS harus menjadi dasar

pertimbangan bahwa pembangunan suatu wilayah layak dilanjutkan atau

harus diperbaiki. Reklamasi yang ada di Indonesia ditetapkan tanpa terlebih

dahulu membuat KLHS. Reklamasi Pantura DKI Jakarta disusun KLHS ketika

Pulau-Pulau Reklamasi hampir selesai dilakukan, demikian pula dengan Teluk

Benoa dan Teluk Makassar yang tidak ada KLHS dalam melakukan reklamasi.

Dengan tidak adanya KLHS, maka dapat dikatakan bahwa reklamasi tersebut

dilakukan tanpa mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung

lingkungan hidup.

c) Regulasi pengaturan Reklamasi yang lebih mementingkan Kepentingan

Ekonomi tanpa pertimbangan Kepentingan Lingkungan Hidup dan Sosial

Permasalahan rekalamasi di berbagai tempat memiliki kesamaan seperti

adanya konflik antara pengembang dan masyarakat beserta lingkungan

Page 185: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

174

hidup. ICEL mencatat dari sejak 2016 sampai dengan berakhirnya tahun 2017,

terdapat beberapa pasal peraturan terkait reklamasi yang tidak memihak pada

masyarakat dan lingkungan hidup yang berdampak laten pada konflik sosial

dan ekologis yang terjadi. Pengaturan pasal tersebut tidak ada perubahan

sampai dengan saat ini. Beberapa aturan yang bermasalah yaitu:

REGULASI CATATAN

Pasal 1 angka 23 UU No. 27 Tahun 2007 Reklamasi dimaknai sebatas kegiatan komersil.

Pasal 34 (2) UU No. 27 Tahun 2007 Penjelasan limitasi reklamasi yang masih setengah hati

Pasal 3 Perpres No. 122 Tahun 2012 Walaupun Presiden Jokowi menyatakan bahwa reklamasi harus dikendalikan oleh negara, tetapi peraturan yang ada tidak selaras dengan pernyataan tersebut karena siapapun bisa mereklamasi laut (tidak ada skema lelang)

Pasal 29 Perpres No. 122 Tahun 2012 bertentangan dengan Ketentuan Pidana UU 27 Tahun 2007

Pasal 27 Perpres No. 122 Tahun 2012 Pasal ini tidak berpihak pada nelayan.

Tabel 3 Regulasi Yang Berpotensi Menimbulkan Masalah Lingkungan Hidup dan Sosial

d) Pelaksanaan Reklamasi yang tidak

transparan dan tidak melibatkan peran serta

masyarakat

Persoalan reklamasi di berbagai daerah juga

dilakukan secara tidak transparan dan tidak

melibatkan masyarakat terdampak. ICEL mencatat terdapat beberapa hal

yang mendasari hal-hal ini antara lain:

1. Pencabutan sanksi administrasi Pulau C, D dan G di Pantura Jakarta oleh

Menteri LHK ditetapkan tanpa adanya akuntabilitas mengenai kepatuhan

pengembangan sesuai dengan kewajiban dalam sanksi administrasi yang

dijatuhkan.

2. Penyusunan dokumen Lingkungan Hidup reklamasi pulau buatan tidak

menyertakan masyarakat terdampak dalam penyusunan dan penilaian Do-

Penerbitan SK pemberian HGB

dilakukan di hari yang sama permohonan

pengajuan HGB yaitu 23 Agustus 2017

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 186: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

175

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

kumen Amdal serta Penerbitan Izin Lingkungan.

3. Penerbitan HPL dan HGB pulau D diterbitkan saat Pengembang Pulau D

masih terkena sanksi administrasi oleh Menteri LHK. Lebih jauh prosesnya

sangat tidak transparan dan tidak cermat.

Selain tindakan-tindakan pemerintah yang memuluskan kelanjutan reklamasi,

tahun 2017 juga diwarnai putusan pengadilan mengenai reklamasi yang tidak

mempertimbangkan keberlanjutan fungsi lingkungan hidup, yaitu:

1. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Reklamasi Teluk Makassar yang

menguatkan Putusan tingkat pertama dan tingkat banding yaitu menolak

gugatan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk membatalkan

izin reklamasi.

2. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Reklamasi Pulau G di Pantura Jakarta yang

menguatkan Putusan tingkat banding yaitu menolak gugatan masyarakat dan

organisasi lingkungan hidup untuk membatalkan izin reklamasi

3. Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Reklamasi Pulau F, I

dan K yang membatalkan Putusan Tingkat Pertama dan mengadili sendiri

yaitu menolak gugatan masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk

membatalkan izin reklamasi

2. Penetapan Standar Baku Mutu Limbah Cair PLTU Batubara: Lemahnya

Komitmen Pemerintah untuk Melindungi Lingkungan Hidup dari

Pencemaran/Kerusakan

Peninjauan ulang pengetatan standar baku mutu melaui revisi PermenLH No.

8 Tahun 2009 menjadi penting untuk segera dilakukan. Pembangunan PLTU-B yang

akan dibangun maupun telah beroperasi tersebut sebagian besar berada di wilayah

pesisir. Aktivitas pembangunan dan operasi PLTU-B tentu memiliki dampak

terhadap wilayah pesisir dan masyarakat dalam hal ini nelayan. Dampak aktivitas

PLTU-B, antara lain: (1) Menurunnya pendapatan nelayan akibat menurunnya

jumlah tangkapan ikan ataupun semakin jauhnya wilayah tangkap nelayan, (2)

Dampak air bahang yang dibuang oleh PLTU-B terhadap kualitas air laut serta

flora dan fauna air, (3) buruknya pengelolaan air limbah yang mengakibatkan

Page 187: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

176

pencemaran air laut, (4) Dampak abrasi dan akresi pantai akibat pembangunan

Jetty.5

Dampak-dampak tersebut dapat diminimalisir atau dicegah dengan adanya

aturan tentang standar baku pencemaran air limbah oleh PLTU yang obyektif bagi

perlindungan lingkungan hidup. Saat ini terdapat peraturan mengenai standar

baku tersebut, yaitu Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 8 Tahun

2009 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit

Listrik Tenaga Termal (“PermenLH No. 8 Tahun 2009”). Terhadap aturan ini, studi

yang dilakukan oleh ICEL menemukan bahwa:

1. Standar baku air limbah yang lebih rendah dibandingkan dengan pengaturan

standar baku air limbah akibat pembangkit listrik di negara lain

2. Standar baku air limbah enfluent PTLU juga tidak dapat mendukung standar

baku air laut ambien. Salah satu parameter yang dilihat adalah standar

baku air limbah bahang effluent akibat PLTU ditetapkan 40 derajat celcius,

sedangkan standar baku air laut ambien ditetapkan sebesar delta 2 derajat dari

suhu normal rata-rata air laut. Suhu normal perairan laut di Indonesia sebesar

29-30 derajat laut, sehingga masih terdapat delta 10 derajat standar baku air

limbah effluent dengan standar baku mutu ambien.

3. Kemudian terdapat beberapa parameter yang dihasilkan dari air limbah PLTU

pembangkit listrik tenaga yang berdampak terhadap penurunan kualitas air

laut namun tidak diatur dalam peraturan tentang standar baku effluent seperti

seharusnya diatur dalam standar baku effluent pencemaran air limbah yang

ada antara lain AOX, PCBs, PCDFs, dan PCDDs.

4. Belum adanya pengaturan baku mutu kerusakan pesisir akibat usaha/

kegiatan pembangkit listrik tenaga termal.

Terhadap temuan-temuan tersebut, dapat dikatakan bahwa standar baku

yang ditetapkan masih jauh untuk melindungi lingkungan hidup dari dampak

pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat PLTU. ICEL memandang

diperlukannya pengetatan standar baku pencemaran air limbah akibat usaha/

kegiatan akibat pembangkit listrik tenaga termal untuk mendukung kelestarian

5 Jetty merupakan bangunan yang dibangun oleh operator PLTU yang menjorok ke laut untuk pembongkaran batu bara dari kapal yang mengangkut batu bara.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 188: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

177

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

dan keberlanjutan lingkungan hidup terutama ekosistem pesisir dan laut. Aturan

ini sudah berlaku sejak 8 (delapan) tahun lalu, namun sampai dengan saat ini belum

ada niat untuk melakukan revisi dari pemerintah. Sedangkan, dengan adanya

perubahan karateristik lingkungan hidup Indonesia dan perkembangan teknologi

seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan manusia, maka diperlukannya

adanya penyesuaian standar baku mutu air limbah.

3. Peran Kemenkomaritiman dalam Pengurangan Sampah Plastik di Laut:

Bekerja Melampaui Kewenangan dan Tidak Tepat Sasaran

Lebih strategis bagi Kemenkomaritiman untuk mengoordinasikan

pembentukan kebijakan hukum terkait sampah di laut. Indonesia menjadi salah

satu negara kontributor terbesar penghasil sampah plastik di laut. Indonesia

tercatat sebagai negara kedua penghasil sampah plastik ke laut terbesar setelah

China.6 Pada tahun 2015, Indonesia menghasilkan sampah sebesar 3,2 juta ton,

sebanyak 1,29 juta ton diantaranya sampai ke laut. Fakta-fakta ini menunjukkan

bahwa manajemen pengelolaan sampah di Indonesia sangatlah buruk. Buruknya

manajemen pengelolaan sampah yang pada akhirnya menyebabkan pencemaran

sampah plastik tentu berdampak buruk bagi ekosistem pesisir dan maritim. Pada

World Ocean Summit 2017 dan 2017 G20 Hamburg Summit, Indonesia berkomitmen

akan mengurangi sampah plastik sebesar 70% pada tahun 2025.

Dalam implementasi kebijakan mengurangi sampah plastik, Kementerian

Koordinator Bidang Kemaritiman (Kemenkomaritiman) banyak “turun

langsung” dan seolah-olah mengambil peran KKP dan KLHK. Hal ini terlihat dari

beberapa program dimana Kemenkomaritiman turun langsung dalam gerakan

membersihkan sampah plastik di laut. Tindakan ini kurang strategis mengingat

fungsi Kemenkomaritiman sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2015

tentang Organisasi Kementerian Negara, adalah menyelenggarakan koordinasi,

sinkronisasi, dan pengendalian urusan Kementerian dalam penyelenggaraan

pemerintahan di bidangnya. Langkah-langkah tersebut akan lebih baik jika

dibarengi dengan pembentukan peraturan terkait pengurangan sampah plastik

6 Amri Mahbub, “Indonesia Peringkat Kedua Pembuang Sampah Laut di Dunia,” https://m.tempo.co/read/news/2015/11/06/061716482/indonesia-peringkat-kedua-pembuang-sampah-ke-laut-di-dunia, diakses tanggal 8 desember 2016 pukul 12.30

Page 189: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

178

hasil kegiatan manusia di darat. Akar pemasalahan terdapat banyaknya sampah

di laut akibat kegiatan manusia di darat seakan tidak dilakukan penyelesaiannya.

Mengingat sampai saat ini Indonesia belum memiliki dasar hukum yang

khusus mengatur mengenai sampah plastik, maka akan lebih strategis bagi

Kemenkomaritiman mengambil peran untuk mengoordinasikan pembuatan

kerangka hukum pengelolaan sampah secara komprehensif dari hulu ke hilir.

Tanpa adanya kerangka hukum, komitmen Pemerintah untuk mengurangi

sampah plastik pada tahun 2025 hanyalah janji yang tidak bisa diminta

pertanggungjawabannya.

4. Realisasi Ekonomi Maritim di Nawacita: Mengedepankan Aspek

Perekonomian dan Menihilkan Aspek Lingungan Hidup

Banyak fakta menunjukkan bahwa perwujudan ekonomi maritim di Indonesia

dengan mengedepankan kelestarian lingkungan laut masih hanya sebatas visi dan

misi saja. Di satu sisi, Pemerintah ingin menciptakan lingkungan laut yang lestari

dan berkualitas baik. Di sisi lain, Pemerintah mendorong percepatan pembangunan

yang memiliki risiko tinggi merusak lingkungan. Dua hal yang sangat sulit

dijalankan bersamaan untuk mencapai satu cita-cita yang sama. Dalam Rencana

Pembangunan Menengah Nasional (“RPJMN”) 2015-2019, peran ekonomi

kelautan dan sinergitas pembangunan kelautan nasional akan dikedepankan

dengan melakukan rehabilitasi kawasan pesisir yang rusak dan mengendalikan

bencana alam dan dampak perubahan iklim.7 Hal ini akan dilakukan melalui:

(1) penanaman vegetasi pantai termasuk mangrove, (2) pengembangan kawasan

pesisir yang meningkatkan ketahanan terhadap dampak bencana dan perubahan

iklim, (3) pengembangan sabuk pantai, serta (4) pengurangan pencemaran wilayah

pesisir dan laut.8 Tujuan dari rehabilitasi ini adalah untuk meningkatkan dan

mempertahankan kualitas, daya dukung, dan kelestarian fungsi lingkungan laut.9

7 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangu-nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I Agenda Pembangunan Nasi-onal, hlm. 6-178.

8 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangu-nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I Agenda Pembangunan Nasi-onal, hlm. 6-178

9 Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2015 tentang Rencana Pembangu-nan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Buku I Agenda Pembangunan Nasi-onal, hlm. 6-178

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 190: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

179

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Melalui Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Republik

Indonesia Selaku Ketua Pengarah Tim Koordinasi Nasional Pengelolaan Ekosistem

Mangrove Nomor 4 Tahun 2017 tentang Kebijakan, Strategi, Program, dan Indikator

Kinerja Pengelolaan Ekosistem Mangrove Nasional (Permenkoeko No. 4 Tahun

2017). Tujuan dari Permenkoeko No. 4 Tahun 2017 adalah untuk menciptakan

ekosistem mangrove berkategori baik seluas 3,49 juta hektar pada tahun 2045.

Akan tetapi, walaupun sudah dibentuk kerangka hukum mengenai pengelolaan

ekosistem mangrove, belum ada tindak lanjut dari pelaksanaan Permenkoeko No.

4 Tahun 2017. Pasal 3 Permenkoeko No. 4 Tahun 2017 mewajibkan kementerian

atau Lembaga terkait untuk menetapkan kegiatan atau rencana aksi paling lama

dua bulan sejak ditetapkannya Permenkoeko No. 4 Tahun 2017. Sampai dengan

bulan November 2017, belum ada rencana aksi atau kegiatan yang dikeluarkan oleh

kementerian atau Lembaga terkait yang bertanggungjawab mengelola ekosistem

mangrove.

Di samping itu, dua strategi lainnya yang diamanatkan dalam RPJMN 2015-

2019 adalah meningkatkan ketahanan kawasan pesisir terhadap dampak bencana

dan perubahan iklim serta mengurangi pencemaran wilayah pesisir dan laut.

Kedua strategi ini pun belum dilaksanakan secara sepenuhnya bahkan seakan

setengah hati. Program kelistrikan 35.000 MW yang mendorong pembangunan

PLTU Batubara baru dan ekspansi yang sudah beroperasi saat ini akan menurunkan

daya tahan kawasan pesisir terhadap dampak bencana alam dan perubahan

iklim serta memperparah pencemaran wilayah pesisir dan laut. Salah satu sarana

prasarana PLTU Batubara yang akan dibangun adalah dermaga (jetty) sebagai

tempat berlabuh kapal-kapal yang membawa batubara. Kehadiran dermaga (jetty)

akan menghambat pengangkutan sedimen dari arah laut ke pantai. Sedimen akan

terperangkap di sekitar area dermaga sehingga mengakibatkan pendangkalan di

pelabuhan dermaga (jetty).10 Sementara di tempat lain akan terjadi abrasi karena

pantai kekurangan suplai sedimen.11 Akibatnya, pembangunan PLTU Batubara

akan mengakibatkan kawasan pesisir semakin rawan terhadap bencana abrasi dan

10 L. Arifin dan B. Rachmat, “Abrasi Pantai dan Pendangkalan Kolam Pelabuhan Jetty Per-tamina Balongan, Indramayu Melalui Analisis Arus Pasang Surut, Angin dan Gelombang,” Jurnal Geologi Kelautan Vol. 9 No. 1 (April 2011), hlm. 16.

11 L. Arifin dan B. Rachmat, “Abrasi Pantai dan Pendangkalan Kolam Pelabuhan Jetty Per-tamina Balongan, Indramayu Melalui Analisis Arus Pasang Surut, Angin dan Gelombang,” Jurnal Geologi Kelautan Vol. 9 No. 1 (April 2011), hlm. 16

Page 191: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

180

akresi. Di samping itu, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, kegiatan PLTU

Batubara menurunkan kualitas air laut dan menganggu flora dan fauna air. Air

bahang yang dihasilkan dari PLTU Batubara akan meningkatkan suhu air laut.

Penelitian yang dilakukan pada tahun 2015 menunjukkan bahwa suhu permukaan

laut yang terpengaruhi air bahang dari PLTU Tanjung Jati B Jepara menyebar

dengan jarak 4.709 meter dan suhu maksimal mencapai 34,5oC.12 Ketika suhu laut

meningkat, polip karang akan kehilangan algae simbiotik di dalamnya, sehingga

mengubah warna terumbu karang menjadi putih (coral bleaching) dan akhirnya

mati.13 Padahal terumbu karang merupakan spesies kunci yang berfungsi sebagai

tempat tinggal, berlindung, mencari makan, dan memijah ikan dan biota laut lain.14

Selain PLTU Batubara, proyek reklamasi juga menganggu ekosistem laut. Proyek

reklamasi memberikan dampak sedimentasi, penurunan kualitas air akibat logam

berat dan bahan organik serta terjadinya penurunan arus laut sehingga material

yang masuk ke laut cenderung tertahan.15

Selain itu, instrumen pencegahan yang ada saat ini pun belum mampu

melakukan pencegahan penurunan kualitas wilayah pesisir dan laut secara

maksimal. Salah satunya adalah mengenai daya tahan kawasan pesisir terhadap

bencana abrasi dan akresi. Sulit sekali untuk menilai tingkat kerusakan abrasi dan

akresi. Untuk itu, dampak dari abrasi dan akresi ini dapat dinilai dari sedimentasi

dengan mengukur parameter kekeruhan dan kandungan padat tersuspensi.16

Tapi sampai sekarang baku mutu sedimentasi pun belum ada. Selain baku

mutu sedimentasi, baku mutu untuk biota laut yang ada saat ini juga hanyalah

fitoplankton yang diatur dalam KepmenLH No. 51 Tahun 2004. Baku mutu

fitoplankton pun hanya sebatas komunitas fitoplankton tidak mengalami bloom,

yaitu tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat mengakibatkan

12 Bagus Rahmattulah Dwi Angga, Baskoro Rochaddi, dan Alfi Satriadi, “Analisa Sebaran Suhu Permukaan Laut Akibat Air Bahang PLTU Tanjung Jati B di Perairan Jepara,” Jurnal Oseano-grafi volume 4 nomor 2 (2015), hlm. 399.

13 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang, Lampiran II, hlm. 10.

14 Giyanto, et.al., Status Terumbu Karang Indonesia 2017, (Jakarta: Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, 2017), hlm. 8.

15 Koalisi Pakar Interdisiplin, Selamatkan Teluk Jakarta, (Jakarta: Rujak Center for Urban Studies, 2017), hlm. 9.

16 Sigid Hariyadi dan Hefni Effendi, Penentuan Status Kualitas Perairan Pesisir, (Institut Perta-nian Bogor: Bogor, 2016), hlm. 9.

CATATAN AKHIR TAHUN 2017

Page 192: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

181

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

eutrofikasi.17 Tidak ada pula baku mutu kerusakan untuk jenis-jenis biota laut

lainnya yang memiliki peranan penting pula, misalkan benthos dan nekton. Tanpa

adanya standard baku mutu yang komprehensif untuk keseluruhan ekosistem laut

dan pesisir menyebabkan cukup sulit untuk melakukan penilaian kualitas suatu

ekosistem laut dan pesisir.

V. Kesimpulan

Berdasarkan catatan yang telah disampaikan kesimpulan yang diambil tidak

jauh berbeda bahkan cenderung sama dengan kesimpulan pada catatan akhir

tahun ICEL tahun 2016, yaitu:

(1) Kebijakan Pemerintah selama tahun 2017 lebih berpihak kepada pembangunan

mega proyek tanpa diimbangi dengan kebijakan dan upaya perlindungan

fungsi lingkungan hidup secara memadai. Bahkan beberapa kebijakan secara

substantif melanggar putusan pengadilan.

(2) Pembaruan hukum dan kebijakan untuk perlindungan fungsi lingkungan

hidup dan sumber daya alam belum berjalan secara optimal.

(3) Kebijakan dan upaya redistribusi hutan dan lahan memberikan warna positif

namun masih banyak kendala yang disebabkan oleh masih timpangnya

komitmen pusat-daerah serta kapasitas kelembagaan di daerah.

17 Lampiran III Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.

Page 193: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

182

Page 194: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

183

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Banyak konsep dalam hukum lingkungan yang seringkali tidak dipahami

secara menyeluruh karena kurangnya literatur nasional yang membahasnya.

Sebagai bkarya tulis yang membahas hukum lingkungan secara komprehensif,

terutama dalam aspek pertanggungjawaban perdata, kehadiran buku ini menjadi

angin segar. Penulis buku ini adalah Andri G. Wibisana, seorang pengajar

hukum lingkungan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Awalnya penulis

hanya merencanakan naskah ini sebagai salah satu bab dalam buku ajar hukum

lingkungan. Namun karena dinamika yang menyertainya, akhirnya naskah awal

dikembangkan dan diputuskan untuk diterbitkan menjadi satu buku tersendiri.

Setidaknya terdapat beberapa hal menarik yang dapat kita temukan saat

membaca buku ini, yaitu: (1) pembahasan mendalam mengenai konsep dan

praktik strict liability, (2) pembuktian dalam hal terdapat ketidakpastian kausalitas,

(3) pembelaan dalam kasus perdata, (4) pemulihan dan valuasi ekonomi kerugian

lingkungan hidup, serta (5) sumber-sumber yang digunakan sebagai rujukan

Pertama, mengenai pembahasan konsep strict liability. Penulis telah menjabarkan

dengan sangat lengkap mulai dari sejarah kemunculannya, peristilahan yang

digunakan beserta konsekuensinya, pengadopsian dan penafsiran strict liability

di negara-negara common law dan civil law, termasuk strict liability di Indonesia

u l a s a n b u k u

“Penegakan Hukum lingkungan melalui

PertanggungJawaban Perdata”

Pengarang : Dr. Andri G. Wibisana, S.H., LL.M.

Kota Terbit : Depok

Penerbit : Badan Penerbit Fakultas Hukum

Universitas Indonesia

Tebal : 297 halaman

Page 195: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

184

dari segi teori, legislasi, hingga studi kasus, yang menurut pemahaman penulis,

cenderung unik dan berbeda dengan konsep yang dianut negara lain. Sehingga

perdebatan strict liability tidak hanya berkutat di seputar penerapan Pasal 88 UU

PPLH saja. Buku ini menjadi referensi penting karena untuk pertama kalinya

pertanggungjawaban perdata strict liability di Indonesia diulas secara lengkap dari

berbagai aspek secara menyeluruh.

Kedua, mengenai kausalitas. Dalam hal terjadi kesulitan atau ketidakpastian

pembuktian kausalitas, misalnya dalam kasus kabut asap di mana sangat sulit

bahkan tidak mungkin membuktikan bahwa asap yang dihirup seseorang

berasal dari lahan milik perusahaan X, penulis telah mengelaborasikan teori-

teori kausalitas dan pertanggungjawaban yang memungkinkan untuk menjadi

solusi atas permasalahan pelik tersebut seperti teori market-share liability ataupun

proportional liability.

Ketiga, mengenai pembelaan dalam kasus perdata. Menurut penulis

setidaknya terdapat tiga dalil yang dapat digunakan, yaitu (a) bencana alam, (b)

kesalahan penggugat, dan (c) adanya kontribusi dari pihak ketiga. Namun hingga

saat ini masih terdapat perdebatan, misalnya bencana alam seperti apa yang dapat

membebaskan tergugat dari tanggung jawab? Ketiadaan standar seperti ini dan

tidak adanya literatur yang membahas tentunya menimbulkan permasalahan

tersendiri. Buku ini secara fair turut memberikan referensi yang lengkap dan

penting beserta rasionalisasi mengenai pembelaan dalam kasus lingkungan hidup.

Keempat, mengenai pemulihan dan valuasi ekonomi. Penulis dalam bukunya

dengan sederhana namun berbobot berhasil menjelaskan konsep pemulihan dan

valuasi ekonomi lingkungan hidup. Misalnya, mengapa air sungai yang jernih dan

pantai yang indah memiliki nilai? Apakah hutan hanya memiliki nilai ekonomis

berdasarkan harga jual kayu gelondongan saja? Sudut pandang yang cenderung

antroposentris ini berusaha diubah oleh penulis dengan membawa konsep-konsep

yang sebenarnya sudah ada namun seringkali luput dari perhatian. Misalnya

bahwa dana ganti rugi untuk kerugian lingkungan seharusnya tidak diperlakukan

sebagaimana ganti rugi perdata biasa, namun harus digunakan untuk pemulihan

lingkungan itu sendiri.

ULASAN BUKU

Page 196: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

185

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Kelima, mengenai rujukan yang digunakan. Tercatat setidaknya 166 literatur

dalam bentuk buku, jurnal, dan artikel ilmiah, 31 peraturan di berbagai tingkat

baik nasional maupun internasional, serta 115 putusan di Indonesia, Belanda,

dan Amerika Serikat yang menjadi sumber rujukan dalam buku. Kasus-kasus

aktual yang terjadi di Indonesia seperti longsornya Gunung Mandalawi maupun

semburan lumpur panas Lapindo turut dibahas secara menyeluruh dari berbagai

sudut pandang, utamanya hukum lingkungan. Kuantitas maupun kualitas literatur

dari segi teori, legislasi, maupun studi kasus tentunya telah sangat mencukupi

untuk mendukung argumen penulis dalam buku ini.

Buku ini memang terasa kurang ramah apabila dibaca sebagai pengantar oleh

mereka yang baru saja mempelajari hukum lingkungan. Namun bagi mereka yang

telah memahami dasar-dasar hukum lingkungan dan hendak mendalami aspek

pertanggungjawaban perdata, buku ini wajib menjadi pegangan karena kedalaman

pembahasannya yang mencakup berbagai sudut pandang yang dapat berguna

bagi akademisi, praktisi, hakim, peneliti, penegak hukum, pengambil kebijakan,

bahkan mahasiswa.

Tentang Penulis

Andri G. Wibisana lulus S.H. dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia

(1998), LL.M. on Law and Economics dari Utrecht University, Belanda (2002),

dan Ph.D. dari Maastricht University, Belanda (2008). Berpengalaman

luas dalam mengajar hukum lingkungan, hukum pengelolaan sumber

daya alam, hukum perubahan iklim, hukum lingkungan internasional,

dan analisis ekonomi terhadap hukum pada program sarjana Fakultas

Hukum Universitas Indonesia. Selain aktif menulis dalam berbagai jurnal

internasional dan menjadi narasumber dalam berbagai forum diskusi,

penulis saat ini juga diamanahkan mengajar pada program pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Page 197: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

186

Page 198: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

xi

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

P e d o m a n P e n u l I s a n

J urnal Hukum Lingkungan Indonesia (JHLI) adalah media enam bulanan

yang diterbitkan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

sebagai upaya mempublikasikan ide dan gagasan mengenai hukum

lingkungan dan regulasi mengenai sumber daya alam. Jurnal Hukum Lingkungan

Indonesia ditujukan bagi pakar dan para akademisi, praktisi, penyelenggara

Negara, kalangan LSM serta pemerhati dan penggiat hukum lingkungan dan

permasalahan tata kelola sumber daya alam.

Tema dan Topik

JHLI Volume 5 Issue 1, Juli 2018, memuat tulisan yang mengangkat tema umum

“Perumusan Kebijakan Berbasis Kajian Bukti yang Tepat (Evidence-Based Policy

Making) dalam Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”.

Beberapa topik* yang dapat menjadi acuan dalam menyempitkan tema

tersebut adalah: (1) Pencemaran air, udara, tanah dan bahan beracun berbahaya

(B3); (2) Pengelolaan sampah; Perlindungan dan pengelolaan keanekaragaman

hayati; (4) Tata kelola hutan dan lahan; (5) Perlindungan dan pengelolaan sumber

daya alam laut; (6) Kesehatan lingkungan dan hak asasi manusia; (7) Keadilan

lingkungan; (8) Tata ruang dan lingkungan hidup; dan lain-lain.

Untuk setiap topik, diharapkan ulasan dapat menjawab satu atau lebih

pertanyaan kunci berikut:

1. Bagaimana permasalahan hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan

dalam tataran norma?

2. Bagaimana persoalan-persoalan yang dihadapi dalam mengimplemen-

tasikan norma hukum/kebijakan dari topik yang bersangkutan?

3. Bagaimana gagasan-gagasan dalam memperbaiki dan mengembangkan

hukum dan kebijakan terkait topik yang bersangkutan?

*) Topik tidak bersifat wajib/mutlak, melainkan hanya sebagai panduan untuk

mempermudah penulis dalam memilih isu terkait. Penulis dapat memilih topik apa

saja yang masih relevan dan masuk dalam ruang lingkup tema besar.

Page 199: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

xii

Prosedur Pengiriman**

Untuk Vol. 5 Issue 1 (Juli 2018), Penulis diharapkan mengirimkan abstrak

sebelum 30 April 2018 dengan menyertakan (1) nama lengkap; (2) institusi asal; (3)

nomor telepon yang dapat dihubungi. Redaksi akan menghubungi penulis yang

naskahnya yang diterima. Naskah final diterima redaksi paling lambat 30 Juni 2018.

Abstrak maupun naskah artikel dapat dikirimkan melalui surat elektronik

maupun melalui pos. Pengiriman melalui surat elektronik ditujukan ke jurnal@

icel.or.id dengan di-cc ke [email protected]. Pengiriman melalui pos

disertai dengan tulisan “Jurnal Lingkungan Hidup Indonesia” di sudut kiri atas

amplop, ditujukan ke alamat berikut:

Indonesian Center for Environmental Law (ICEL)

Jl. Dempo II no. 21, Kebayoran Baru

Jakarta Selatan 12120

DKI Jakarta

Pemilihan Tulisan

Pemilihan abstrak bersifat prosedural untuk menyaring artikel yang relevan

dengan aspek hukum dan kebijakan, dilakukan secara internal oleh para peneliti

ICEL.

Pemilihan tulisan akhir melalui penelaahan formil dan plagiarisme oleh

Redaksi, yang dilanjutkan dengan penelaahan substantif oleh Sidang Redaksi

yang terdiri dari para peneliti ICEL dan Mitra Bebestari. Tulisan yang dimuat

akan diberikan honorarium yang layak, sementara tulisan yang tidak dimuat akan

diberikan notifikasi dan merupakan hak penulis sepenuhnya. Sidang Redaksi

dapat meminta penulis untuk melakukan perbaikan substansi maupun teknis

terhadap tulisannya.

Persyaratan Formil

1. Abstrak ditulis dalam dua bahasa (Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris).

Panjang abstrak tidak lebih dari 150 kata yang ditulis dalam satu alinea.

PEDOMAN PENULISAN

Page 200: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

xiii

JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, FEBRUARI 2018

Abstrak mengandung ringkasan dari latar belakang, tujuan, metodologi, hasil

dan kesimpulan;

2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai dengan

EYD dengan kalimat yang efektif;

3. Naskah diketik dengan Microsoft Word, ukuran halaman A4 dengan margin

kiri 4 cm; kanan, atas, dan bawah 3 cm. Tulisan menggunakan huruf Times

New Roman (TNR) 12 pt, spasi satu setengah tanpa spasi antar paragraph,

dengan panjang naskah 4000 – 5000 kata (tidak termasuk abstrak, catatan

kaki, daftar pustaka);

4. Tabel atau gambar harus jelas, dan ditempatkan di dalam naskah dengan

keterangan daftar tabel dan/atau gambar pada bagian akhir naskah setelah

daftar pustaka;

5. Artikel yang pernah disajikan dalam pertemuan ilmiah/seminar/lokakarya

namun belum pernah diterbitkan dalam bentuk prosiding, perlu disertai

keterangan mengenai pertemuan tersebut sebagai catatan kaki;

6. Judul artikel singkat dan jelas (maksimal 15 kata), diketik dengan huruf kapital.

Nama ilmiah dan istilah asing lainnya diketik dengan huruf miring;

7. Semua kutipan harus mencantumkan referensi, dengan catatan kaki atau

catatan akhir dengan format Chicago style sebagaimana dijelaskan dalam

poin 7 dan 8, dan daftar pustaka pada bagian akhir naskah.

8. Tabel dan/atau gambar juga harus mencantumkan sumber. Untuk

memudahkan koreksi naskah, diharapkan penulisan catatan kaki (footnote)

mengikuti ketentuan:

a. Phillipe Sands, Principles of Environmental Law, (Cambridge: Cambridge

University Press, 2007), hlm. 342 – 344;

b. Koesnadi Hardjasoemantri, Hukum Tata Lingkungan, Cetakan ke-8, Edisi ke-

5, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1991), hlm. 201 – 208;

c. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum, Terjemahan dari De Structuur der

Rechtswetenschap, Alih bahasa: Arief Sidharta, (Bandung: PT Alumni, 2003),

hlm. 7;

d. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”, Sinar Harapan, 15

Januari 2014;

Page 201: JURNAL HUKUM LINGKUNGAN VOL. 4 ISSUE 2, … · yang berminat untuk memberikan tulisan ilmiah mengenai hukum lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam. ... JURNAL HUKUM LINGKUNGAN

xiv

Sedangkan untuk penulisan Daftar Pustaka sebagai berikut:

a. Sands, Phillipe. 2007. Principles of Environmental Law. Cambridge:

Cambridge University Press.

b. Burchi, Tefano. 1989. “Current Developments and Trends in Water

Resources Legislation and Administration”. Paper presented at the 3rd

Conference of the International Association for Water Law (AIDA).

Alicante, Spain: AIDA, December 11-14.

c. Dewiel, Boris. 2000. “What Is the People? A Conceptual History of Civil

Society,” dalam Democracy, A History of Ideas. Vancouver: University of

British Columbia Press.

d. Rahayu, Muji Kartika. 2006. “Sistem Peradilan Kita Harus Dibenahi:

Analisis Putusan MK tentang UU Komisi Yudisial,” Jurnal Konstitusi,

Volume 3, Nomor 3, September 2006. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

e. Indonesia. Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup.

f. Sinar Harapan. “Peningkatan Kualitas Hakim Lingkungan Mendesak”. 15

Januari 2014.

g. Tjiptoherijanto, Prijono. Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, http://

www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.

Panduan lebih detail dalam hal pengutipan akan diberikan Redaksi untuk

Abstrak yang diterima.

9. Identitas penulis meliputi:

a. Nama lengkap penulis (dengan gelar akademis)

b. Asal institusi penulis

c. Keterangan mengenai penulis untuk korespondensi disertai nomor

telepon, handphone dan fax, serta alamat e-mail

**) Tidak berlaku bagi Penulis dengan Undangan

PEDOMAN PENULISAN

e. Prijono Tjiptoherijanto, “Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia”,

http://www.pk.ut.ac.id/jsi, diakses tanggal 2 Januari 2005.