jurding gilut
DESCRIPTION
jurding RASTRANSCRIPT
Journal Reading
Pengaruh Waktu Tidur terhadap Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) pada
Mahasiswa
Pembimbing:
drg. Indriani Octaria, S. Prost
Oleh:
Maureen Aprilia 2014-061-028
Karlina Loh 2014-061-029
Richard Firmansyah 2014-061-030
Claresta 2014-061-031
Harry Gunawan 2014-061-032
Ria Pitasari 2014–061–033
BAGIAN ILMU GIGI DAN MULUT
RUMAH SAKIT ATMA JAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA
(PERIODE 1 JUNI 2015 – 5 JULI 2015)
Pengaruh Waktu Tidur terhadap Recurrent Aphthous Stomatitis pada
Mahasiswa
Ruiyang Ma, Hong Chen, Tengfei Zhou, Xiyan Chen, Chaoling Wang, Yijin Chen, Songlin
Rao, Lin Ge, dan Mei Lin
Objektif. Pada studi ini, kami melakukan survei berbasis kuesioner di Universitas Sichuan untuk
meneliti potensi pengaruh waktu tidur terhadap kejadian Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS).
Desain studi. Sebuah kuesioner diadopsi untuk meneliti hubungan antara waktu tidur dan RAS
pada mahasiswa di Universitas Sichuan. Analisis statistik digunakan untuk mengidentifikasi
faktor risiko RAS dan untuk menyelidiki hubungan antara waktu tidur dan RAS.
Hasil. Seribu enam mahasiswa diteliti. Frekuensi flu yang tinggi (odds ratio [OR] 2.17; 95%
confidence interval [CI] 1.52-3.10; P < .001) dan waktu tidur setelah pukul 11 malam (OR 16.55;
95% CI 6.49-42.16; P < .001) merupakan faktor risiko independen untuk kambuhnya RAS, tetapi
riwayat keluarga, stress, hubungan yang buruk dengan teman sekamar, dan penyakit saluran
cerna didapatkan bukan merupakan faktor risiko tersebut. Selain itu, peningkatan frekuensi
waktu tidur setelah pukul 11 malam (τ > 0; P < .05) serta pemanjangan waktu kumulatif dari
pukul 11 malam hingga waktu tidur (R > 0; P < .05) ditemukan berkorelasi dengan peningkatan
keparahan dalam kejadian ulser.
Kesimpulan. Waktu tidur setelah pukul 11 malam tidak hanya berperan sebagai faktor risiko
bebas namun frekuensi dan waktu kumulatif juga berhubungan dengan tingkat keparahan RAS
pada mahasiswa.
Recurrent aphthous stomatitis (RAS) atau canker sores, merupakan penyakit umum pada
mukosa mulut, lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dengan insidensi rata-rata
antara 20-60% di sepanjang hidup. RAS sering dimulai pada dekade kedua dan mencapai
puncaknya pada dekade ketiga. Terdapat banyak variasi pada pola klinis seperti frekuensi,
durasi, jumlah, dan ukuran lesi yang bersifat nyeri, dengan penampakan yang khas terlihat
sebagai ulser bulat atau oval dengan batas yang tegas, tepi kemerahan, dengan dasar kuning atau
abu-abu. Nyeri merupakan gejala klinis mayor dari RAS dan sering mempengaruhi kualitas
hidup pasien dan menyebabkan stress emosional. Walaupun trauma, stress, mikroorganisme,
riwayat keluarga, hipersensitivitas makanan, disregulasi imun, faktor hormonal, dan predisposisi
1
genetik telah diduga sebagai faktor penyebab yang potensial, namun etiologi RAS masih belum
diketahui.
Stress akibat belajar, peningkatan penggunaan internet, dan kurangnya pengetahuan tentang
kesehatan yang menyebabkan tidur larut menjadi sebuah rutinitas remaja. Gangguan tidur
dilaporkan berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan imunitas dan gangguan
mental, dan orang dengan gangguan mental atau dengan insidensi gangguan imun yang lebih
tinggi memiliki kerentanan terhadap RAS. Selain itu, terdapat dua studi yang mempelajari
pengaruh langsung tidur larut terhadap RAS. Untuk meneliti potensi dampak waktu tidur pada
RAS, kami menggunakan survei retrospektif dengan kuesioner pada 1006 mahasiswa di
Universitas Sichuan pada bulan Juni 2013 sampai Oktober 2013. Dengan tujuan spesifik untuk
melihat hubungan waktu tidur dan RAS, maka kuesioner terutama mencakup waktu tidur dan
tingkat keparahan RAS. Tujuan dari studi ini adalah untuk menguji hipotesis bahwa tidur larut
dapat meningkatkan risiko dan tingkat keparahan RAS, serta menganjurkan adanya studi lebih
lanjut mengenai etiologi dan pencegahan RAS.
PASIEN DAN METODE
Pasien
Studi ini telah disetujui oleh Komite Etik Universitas Sichuan. Lima puluh mahasiswa dipilih
secara acak untuk melakukan pra-survei (dengan informed consent tertulis) yang diselenggarakan
sebelum studi dimulai. Pra-survei ini mengungkapkan bahwa 48% dari mahasiswa yang terlibat
pernah mengalami RAS. Berdasarkan metode estimasi yang digunakan dalam preventive
dentistry, kami menentukan besar sampel sebesar 1000 orang:
N= K x Q/P1
Dimana N adalah jumlah sampel; P adalah prevalensi dalam pra-survei; Q = 1-P; dan K
ditentukan berdasarkan kesalahan yang diperbolehkan. Berdasarkan estimasi ini, maka sebanyak
1010 mahasiswa dipilih secara acak sebagai sampel untuk melengkapi survei di Universitas
Sichuan. Setelah kuesioner didistribusikan, sebanyak 1006 mahasiswa merespon kuesioner
tersebut dengan tingkat responsi 99,6%.
Kuesioner
2
Berdasarkan pertimbangan rentang waktu tidur, faktor penyebab potensial lain, dan indeks
kuantitatif yang berkaitan dengan tingkat keparahan RAS, kami merancang kuesioner untuk
meneliti hubungan antara tidur larut dengan RAS. Setelah pra-survei, kami mempertimbangkan
petunjuk dari pasien dan kemudian memodifikasi beberapa pilihan dalam kuesioner secara
seksama.
Untuk melindungi privasi dari mahasiswa dan mendapatkan respon yang sejujurnya, maka kami
menggunakan kuesioner anonim. Kuesioner tersebut mengumpulkan data mengenai: jenis
kelamin dan tingkat/angkatan, jurusan, waktu tidur pada saat biasa, waktu tidur pada hari khusus,
frekuensi dari waktu tidur pada hari khusus, waktu tidur pada masa ujian, kondisi sistem
pencernaan, frekuensi flu tahunan, riwayat keluarga dengan RAS, stress sehari-hari, hubungan
dengan teman sekamar, frekuensi RAS diluar masa ujian, frekuensi RAS pada masa ujian,
jumlah kejadian RAS, ukuran terbesar RAS, terapi RAS, dan durasi lesi. Untuk mengumpulkan
data secara lebih efisien, kuesioner dibagi menjadi dua bagian. Baik pasien melengkapi salah
satu atau kedua bagian dari kuesioner tergantung pada apakah pasien pernah mengalami RAS
atau tidak.
Definisi
Kuesioner ini menggambarkan karakteristik klinis dari RAS, seperti rekurensi, periodisitas, dan
keterbatasan, untuk membedakan RAS dari penyebab ulkus lainnya, seperti ulkus traumatikus.
Frekuensi, kuantitas, ukuran, dan durasi merupakan indeks kuantitatif yang berhubungan dengan
keparahan RAS.
“Waktu tidur” didefinisikan sebagai waktu dimana responden tertidur. Dalam survei ini, “waktu
tidur jangka pendek setelah pukul 11 malam” merujuk kepada mahasiswa yang mempunyai
waktu tidur setelah pukul 11 malam pada masa ujian dan waktu tidur jangka panjang setelah
pukul 11 malam merujuk kepada mahasiswa yang mempunyai waktu tidur setelah pukul 11
malam baik pada masa ujian maupun diluar masa ujian. Waktu kumulatif dari pukul 11 malam
hingga waktu tidur per minggu selama diluar masa ujian dihitung berdasarkan rumus berikut:
Waktu Kumulatif = tujuh x waktu sejak pukul 11 malam hingga waktu tidur biasanya + hari
khusus x waktu dari waktu tidur biasanya hingga waktu tidur pada hari khusus.
3
Metode Survei
Penelitian retrospektif dikerjakan oleh mahasiswa kedokteran gigi dan mulut, yang dibimbing
oleh dokter spesialisnya. Pra-survei dilakukan terlebih dahulu, dengan tujuan untuk melengkapi
kuesioner, menentukan ukuran sampel dan mengembangkan rencana survei.
Sebanyak 1010 mahasiswa dipilih secara acak sebagai sampel di Sichuan University. Kuisioner
dibagikan di ruang belajar dan perpustakaan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel acak dari
fakultas dan tingkat pendidikan yang berbeda. Sebelum penelitian dilaksanakan, kami
menjelaskan tujuan dari penelitan dan memberikan informasi mengenai kriteria diagnostik,
penyebab dan pencegahan Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS). Kemudian seluruh kuisioner
dikumpulkan. Seluruh data dianalisis dengan metode statistik. Data tersebut meliputi informasi
demografik, tingkat keparahan dari Recurrent Aphthous Ulceration (RAU) dan faktor – faktor
yang terkait kondisi fisik. Informasi demografik antara lain jenis kelamin, tingkat pendidikan,
dan faktor profesional. Tingkat keparahan dari RAU antara lain ukuran, jumlah, durasi dan
frekuensi timbulnya ulser selama pemeriksaan ataupun di luar masa pemeriksaan. Faktor – faktor
yang terkait kondisi fisik antara lain frekuensi munculnya flu, stres, riwayat keluarga, keadaan
pencernaan, serta waktu tidur. Kami melakukan pengecekan beberapa kali untuk memastikan
keakuratan data-data yang didapatkan selama proses pemasukan data. Kami menggunakan SPSS
untuk analisis data secara statistik dan untuk membuat laporan akhir.
Analisis statistik
Continuous variables dilaporkan sebagai standar deviasi (SD) atau median (range). Kami
membandingkan antar continuous variables menggunakan Student’s t-test, them Mann-Whitney
U-test atau the Kruskal-Wallis H-test. Categorical variables dilaporkan dalam bentuk angka dan
persentase. Categorical variables dibandingkan menggunakan Pearson’s X2 analysis atau
Fisher’s exact test. Korelasi dianalisis dengan menggunakan the Spearman rank correlation,
Kendall rank correlation, dan Pearson simple correlation analysis. Variabel terbukti signifikan
secara statistik dalam analisis univariat. Variabel-variabel tersebut termasuk dalam multivariable
logistic regression analysis untuk mengidentifikasi faktor predisposisi RAS yang independen
dan menghitung odds ratios, serta 95% confidence intervals. Nilai P yang kurang dari .05
dianggap signifikan secara statistik. Korelasi antara waktu tidur dan RAS ditentukan dengan
4
koefisien korelasi. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi untuk Windows
17.0.
Hasil
Sebanyak 1006 mahasiswa merespon kuisioner dengan rasio 99,6%. Di antara seluruh
mahasiswa tersebut, sebanyak 51,7% responden (n=520) adalah laki-laki dan 48,3% (n=486)
responden adalah perempuan; 535 mahasiswa (53,2%) memiliki riwayat RAS, dan 471
mahasiswa lainnya tidak; 867 mahasiswa (86,2%) memiliki waktu tidur jangka panjang setelah
pukul 11 malam, dan 72 mahasiswa lainnya (7,2%) memiliki waktu tidur jangka pendek setelah
pukul 11 malam. Karakteristik demografi dan karakteristik waktu tidur subjek dapat dilihat pada
Tabel 1 dan Tabel 2.
Tabel 1. Karakteristik demografi mahasiswa pada penelitian ini
Jumlah mahasiswa (n=1006)
Jenis kelamin
Laki-laki 520 (51,7%)
Perempuan 486 (48,3%)
Tingkat
2012 90 (8,9%)
2011 361 (35,9%)
2010 314 (31,2%)
2009 241 (24,0%)
Lain-lain 120 (12%)
Jurusan
Sains 167 (16,6%)
Tekhnik 249 (24,8%)
Sejarah 144 (14,3%)
Kedokteran 277 (27,5%)
Ekonomi – Manajemen 161 (16,0%)
Hukum
Seni 8 (0,8%)
Tabel 2. Karakteristik waktu tidur mahasiswa dalam penelitian
5
jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11 malam
jangka waktu tidur pendek setelah pukul 11 malam
Jangka waktu tidur jarang setelah pukul 11 malam
P
Jenis Kelamin .41 Laki-laki (n=520) 441 40 39 Perempuan (n=486) 426 32 28Angkatan .30 2012 (n=90) 76 12 2 2011 (n=361) 303 29 29 2010 (n=314) 281 12 21 2009 (n=121) 106 8 7 Lainnya (n=120) 101 11 8Jurusan .69 Ilmiah (n=167) 146 9 12 Teknik (n=249) 215 17 17 Sejarah (n=144) 121 16 7 Kedokteran (n=277) 245 14 18 Hukum Manajemen Ekonomi (n=161)
136 14 11
Kesenian (n=8) 4 2 2Catatan: “jangka waktu tidur pendek setelah pukul 11 malam” mengacu pada mahasiswa yang sedang dalam masa ujian; “jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11” mengacu pada mahasiswa yang sedang dalam masa ujian maupun tidak dalam masa ujian.
Pada analisa univariat, variabel yang secara signifikan berhubungan dengan RAS termasuk
frekuensi flu dan waktu tidur setelah pukul 11 malam. Variabel lainnya, seperti stres, gangguan
pencernaan, riwayat keluarga, dan hubungan dengan teman sekamar tidak menunjukan dampak
signifikan terhadap RAS (Tabel 3). Pada analisa regresi logistik multivariat, frekuensi flu (OR
2.17; 95% CI 1.52-3.10; P < .001) dan waktu tidur setelah pukul 11 malam (OR 16.55; 95% CI
6.49-42.16; P < .001) merupakan faktor risiko independen untuk RAS.
Untuk penelitian lebih lanjut, kami membagi 1006 partisipan ke dalam 3 kelompok sesuai
dengan frekuensi waktu tidur setelah pukul 11 malam, yaitu “waktu tidur jangka panjang setelah
pukul 11 malam”, “waktu tidur jangka pendek setelah pukul 11 malam”, dan “waktu tidur jarang
setelah pukul 11 malam”. Ketiga kelompok tersebut memiliki prevalensi sebesar 86,2%, 7,2%,
dan 6,6%. Dari Tabel 2, kami menyimpulkan bahwa jenis kelamin, usia, dan profesi tidak
berkolerasi dengan frekuensi RAS pada penelitian ini (P > .05).
Tabel 3. Analisis Univariat dari RAS
6
Variabel Assigntment RAS Tidak RAS Odds Ratio 95% CI PPenyakit pencernaan
Tidak (0) 156 132 1.06 0.81-1.4 .66
Ya (1) 379 339Riwayat keluarga
Tidak (0) 162 131 1.13 0.86-1.49 .37
Ya (1) 373 340Tekanan Sedikit (0) 207 164 1.19 0.92-1.54 .19
Banyak (1) 327 308Frekuensi pilek tahunan
<= 3 (0) 417 414 2.09 1.48-1.52 .00
>3 (1) 118 57Tidur setelah jam 23.00
Tidak (0) 24 144 16.00 6.37-40.16 .00
Ya (1) 511 327Relasi dengan teman sekamar
Buruk (0) 389 93 1.14 0.86-1.52 .35
Baik (1) 145 398
Tabel 4. Efek waktu tidur terhadap keparahan ulser
Variabel Assigntment
Jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11 malam (2)
Jangka waktu tidur pendek setelah pukul 11 malam (1)
Jangka waktu tidur jarang setelah pukul 11 malam (0)
t P Waktu kumulatif (pukul 11 malam - waktu tidur)
R pFrekuensi ulser selama masa non-ujian
.30 .00 .46 .00
Tidak pernah 0 328 82 62Jarang 1 45 3 0> 1/tahun 2 231 10 4> 1/6 bulan 3 118 0 0> 1/3 bulan 4 71 5 0Jumlah ulser .17 .00 .25 .001-2 0 636 96 633-5 1 153 4 4>=6 2 49 1 0Ukuran ulser .27 .00 .40 .00Variabel Assi
gntment
Jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11
Jangka waktu tidur pendek setelah pukul
Jangka waktu tidur jarang setelah pukul
t P Waktu kumulatif (pukul 11
7
malam (2) 11 malam (1) 11 malam (0) malam - waktu tidur)
Tip 0 427 89 64Grain 1 291 7 2Soybean 2 111 4 1> soybean 3 9 1 0Durasi .28 .00 .41 .00<7 hari 0 327 82 627-10 hari 1 210 6 110-15 hari 2 167 6 2>=15 hari 3 133 7 2Frekuensi ulser selama masa ujian
.29 .00 .40 .00
Tidak pernah 0 287 13 3Muncul beberapa kali
1 220 6 2
Muncul setiap kali
2 331 82 62
Tabel 4. Efek waktu tidur terhadap keparahan ulser (lanjutan)
Tabel 4 menunjukan hubungan antara waktu tidur dengan derajat keparahan RAS selama masa
ujian dan masa bukan ujian. Mahasiswa dengan frekuensi waktu tidur panjang setelah pukul 11
malam atau waktu kumulatif dari pukul 11 malam hingga waktu tidur per minggu yang lebih
lama mengakibatkan peningkatan derajat keparahan ulkus, dengan frekuensi yang lebih besar,
angka yang lebih besar, ukuran yang lebih besar, dan durasi yang lebih lama pada masa bukan
ujian, juga frekuensi yang lebih besar selama masa ujian.
PEMBAHASAN
Dalam studi ini, peniliti menetapkan jam 11 malam sebagai standar jam tidur pada kuesioner.
Alasannya yaitu sebagai berikut : Pada umumnya masyarakat banyak yang tidur pada jam 11
malam; Jam tidur yang larut berkaitan dengan depresi, dimana depresi berhubungan dengan
peningkatan kejadian RAS; Sekresi hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, dan hormon
andrenokortikotropik dipengaruhi oleh pola tidur. Puncak sekresi hormon pertumbuhan dimulai
pada jam 11 malam dan berlangsung selama beberapa jam, dimana hal ini mempengaruhi
proliferasi fibroblas, migrasi keratinosit dan juga diferensiasi sel T. Penurunan sekresi hormon
pertumbuhan meningkatkan terjadinya RAS dan menghambat penyembuhan. Selain itu jumlah
8
kortisol dan adrenokortikotropik kadarnya rendah selama beberapa jam awal pada orang yang
tidur jam 11 malam. Oleh karena itu, waktu tidur larut berpotensi meningkatkan reaksi inflamasi
dan alergi, sehingga meningkatkan kejadian RAS.
Pada penelitian ini, sejumlah 535 mahasiswa (53,2%) mempunyai riwayat RAS, dan 48% dari
jumlah tersebut mempunyai riwayat RAS pada survei sebelum penelitian dimulai. Mahasiswa
dengan jangka waktu tidur panjang diatas jam 11 malam berjumlah sebanyak 86.2% sedangkan
mahasiswa dengan jangka waktu tidur pendek diatas jam 11 malam sebesar 7.2%. Data-data ini
menunjukkan kecenderungan untuk tidur larut pada mahasiswa pada umumnya. Data dari hasil
analisa multivarian mendukung hipotesis peniliti dalam studi ini. Analisis statistik menunjukkan
frekuensi pilek dan tidur malam di atas jam 11 merupakan faktor risiko bebas terhadap RAS dan
efek dari waktu tidur lebih signifikan dengan odd ratio yang lebih tinggi. Data ini sesuai dengan
hipotesis yang diajukan peniliti. Frekuensi flu dapat mencerminkan sistem imun pasien dimana
adanya hubungan imunitas dengan RAS telah dibuktikan dalam berbagai penelitian. Oleh karena
itu survei ini berpusat pada korelasi yang spesifik antara jam tidur dengan RAS dan juga
akibatnya terhadap RAS pada mahasiswa supaya kemudian dapat memberikan data yang spesifik
dalam pencegahan dan penanganan RAS.
Dua penelitian di China menunjukkan bahwa pada mahahsiswa dengan jam tidur yang larut
mempunyai kecenderungan lebih mudah terserang RAS. Fu Lin Xiang mempelajari mengenai
“get the fire evil” (sebuah istilah dalam pengobatan tradisional China ) dan menemukan bahwa
61.4% mahasiswa yang sering tidur larut malam mempunyai gejala “get the fire evil” yang mana
merupakan salah satu manifestasi dari RAS. Yu-wen shi menguji korelasi antara tingkat kejadian
RAS dengan kebiasaan hidup mahasiswa kedokteran di Guang Zhou dimana hasilnya
menunjukkan jam tidur yang larut atau insomnia dapat menjadi faktor resiko RAS (OR 2.257;
95% CI 0.866-5.882; P = .096). Karena tingkat kepercayaan 95% = 1 dan nilai P lebih besar dari
0.05, maka kesimpulan dari studi tersebut tidak dapat dipastikan secara statistik.
Hasil dari analisa multivarian penelitian ini menunjukkan waktu tidur setelah pukul 11 malam
merupakan faktor resiko independen terhadap RAS (OR 16.55; 95% CI 6.49-42.16; P< .001).
Peniliti juga meneliti mengenai dampak tidur malam terhadap tingkat keparahan RAS, yang
meliputi jumlah, ukuran, durasi, dan frekuensi RAS selama masa ujian dan tidak ujian. Semakin
sering frekuensi tidur di atas pukul 11 malam, maka RAS yang terjadi akan lebih parah.
9
Penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan tidur yang baik dan teratur memiliki efek signifikan
dalam pencegahan dan pengobatan RAS.
Meskipun begitu, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Hal pertama, studi ini
menggunakan kuesioner yang didesain sendiri dan belum terdapat validasi dari jurnal ataupun
artikel lain. Kedua, walaupun peneliti telah memberikan informasi mengenai RAS dan sedikit
insentif untuk para peserta, tingkat akurasi dari diagnosis RAS oleh peserta itu sendiri belum
dapat dipastikan. Ketiga, studi retrospektif ini masih terdapat beberapa bias, eror dalam
perhitungan dan sebagainya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini ada baiknya diinterpretasi
dengan seksama.
KESIMPULAN
Studi kami menunjukkan bahwa tidur larut malam merupakan faktor resiko yang signifikan
terhadap RAS dan semakin lama jangka waktu kumulatif tidur setelah pukul 11 malam akan
membuat RAS menjadi semakin parah. RAS dapat dicegah dengan pola tidur awal dan tidur
yang lebih banyak, ataupun keduanya.
DAFTAR PUSTAKA
10
1. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Mucosal diseases series, Number VI: Recurrent
aphthous stomatitis. Oral Dis. 2006; 12:1-21.
2. Roger RS. Recurrent aphthous stomatitis: clinical characteristics and associated
systemic disorders. Semin Cutan Med Surg. 1997;16:278-283.
3. Ship JA, Chavez EM, Doerr PA. Henson BS, Sarmadi M. Recurrent aphtous stomatitis.
Quintessence Int. 2000;31:95-112.
4. Miller MF, Ship II, Ram C, A retrospective study of the prevalence and incidence of
recurrent aphthous ulcers in a professional population. 1958-1971. Oral Surg Oral
Med Oral Pathol. 1977;43:532-537.
5. Porter, S.R., Scully, C., Pedersen, A. Recurrent aphthous stomatitis. Crit Rev Oral Biol
Med. 1998;9:306–321.
6. Minor RAS. Recurrent aphthous stomatitis. 2000.
7. Akintoye, S.O., Greenberg, M.S. Recurrent aphthous stomatitis. Dent Clin North Am.
2005;49:31–47.
8. Scully, C., Porter, S. Oral mucosal disease: recurrent aphthous stomatitis. Br J Oral
Maxillofac Surg. 2008;46:198–206.
9. Benca, R.M., Obermeyer, W.H., Thisted, R.A., Gillin, J.C. Sleep and psychiatric
disorders: a meta-analysis. Arch Gen Psychiatry. 1992;49:651–668.
10. Cook, R.T. Alcohol abuse, alcoholism, and damage to the immune system—a review.
Alcohol Clin Exp Res. 1998;22:1927–1942.
11. Irwin, M. Effects of sleep and sleep loss on immunity and cytokines. Brain Behav
Immun. 2002;16:503–512.
12. Hall, M., Baum, A., Buysse, D.J. et al, Sleep as a mediator of the stress-immune
relationship. Psychosom Med. 1998;60:48–51.
13. Breslau, N., Roth, T., Rosenthal, L. et al, Sleep disturbance and psychiatric disorders:
a longitudinal epidemiologic study of young adults. Biol Psychiatry. 1996;39:411–418.
14. de Gruijl, F.R., Pavel, S. The effects of a mid-winter 8-week course of sub-sunburn
sunbed exposures on tanning, vitamin D status and colds. Photochem Photobiol Sci.
2012;11:1848–1854.
15. Eversole, L.R. Immunopathogenesis of oral lichen planus and recurrent aphthous
stomatitis. Semin Cutan Med Surg. 1997;16:284–294.
11
16. Fuxiang, L., Weiying, C. 1051 cases of college students “irritated” study. J World Sci
Tech. 2012;1:038.
17. Yuwen, S., Zhiqiang, W., Liping, X. et al, A Guangzhou Medical College students’
recurrent aphthous ulcers risk factor analysis. Guangdong Med. 2010;31:772–774.
18. Sakamoto, N., Nanri, A., Kochi, T. et al, Bedtime and sleep duration in relation to
depressive symptoms among Japanese workers. J Occup Health. 2013;55:479–486.
19. Gavic, L., Cigic, L., Biocina Lukenda, D. et al, The role of anxiety, depression, and
psychological stress on the clinical status of recurrent aphthous stomatitis and oral
lichen planus. J Oral Pathol Med. 2014;43:410–417.
20. Brandenberger, G., Weibel, L. The 24-h growth hormone rhythm in men: sleep and
circadian influences questioned. J Sleep Res. 2004;13:251–255.
21. Lee, S.W., Kim, S.H., Kim, J.Y. et al, The effect of growth hormone on fibroblast
proliferation and keratinocyte migration. J Plast Reconstruct Aesthet Surg.
2010;63:E364–E369.
22. Smaniotto, S., Alves Martins-Neto, A., Dardenne, M. et al, Growth hormone is a
modulator of lymphocyte migration. Neuroimmunomodulation. 2011;18:309–313.
23. Dioufa, N., Schally, A.V., Chatzistamou, I. et al, Acceleration of wound healing by
growth hormone-releasing hormone and its agonists. Proc Natl Acad Sci.
2010;107:18611–18615.
24. Bierwolf, C., Kern, W., Mölle, M. et al, Rhythms of pituitary-adrenal activity during
sleep in patients with Cushing’s disease. Exp Clin Endocrinol Diab. 2000;108:470–
479.
25. MacGregor, R.R., Sheagren, J.N., Lipsett, M.B., Wolff, S.M. Alternate-day prednisone
therapy: evaluation of delayed hypersensitivity responses, control of disease and
steroid side effects. N Engl J Med. 1969;280:1427–1431.
12