jurding gilut

20
Journal Reading Pengaruh Waktu Tidur terhadap Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) pada Mahasiswa Pembimbing: drg. Indriani Octaria, S. Prost Oleh: Maureen Aprilia 2014-061-028 Karlina Loh 2014-061-029 Richard Firmansyah 2014-061-030 Claresta 2014-061-031 Harry Gunawan 2014-061-032 Ria Pitasari 2014–061–033

Upload: josephine-ria-pitasari

Post on 04-Dec-2015

228 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

jurding RAS

TRANSCRIPT

Page 1: jurding gilut

Journal Reading

Pengaruh Waktu Tidur terhadap Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS) pada

Mahasiswa

Pembimbing:

drg. Indriani Octaria, S. Prost

Oleh:

Maureen Aprilia 2014-061-028

Karlina Loh 2014-061-029

Richard Firmansyah 2014-061-030

Claresta 2014-061-031

Harry Gunawan 2014-061-032

Ria Pitasari 2014–061–033

BAGIAN ILMU GIGI DAN MULUT

RUMAH SAKIT ATMA JAYA

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA JAKARTA

(PERIODE 1 JUNI 2015 – 5 JULI 2015)

Page 2: jurding gilut

Pengaruh Waktu Tidur terhadap Recurrent Aphthous Stomatitis pada

Mahasiswa

Ruiyang Ma, Hong Chen, Tengfei Zhou, Xiyan Chen, Chaoling Wang, Yijin Chen, Songlin

Rao, Lin Ge, dan Mei Lin

Objektif. Pada studi ini, kami melakukan survei berbasis kuesioner di Universitas Sichuan untuk

meneliti potensi pengaruh waktu tidur terhadap kejadian Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS).

Desain studi. Sebuah kuesioner diadopsi untuk meneliti hubungan antara waktu tidur dan RAS

pada mahasiswa di Universitas Sichuan. Analisis statistik digunakan untuk mengidentifikasi

faktor risiko RAS dan untuk menyelidiki hubungan antara waktu tidur dan RAS.

Hasil. Seribu enam mahasiswa diteliti. Frekuensi flu yang tinggi (odds ratio [OR] 2.17; 95%

confidence interval [CI] 1.52-3.10; P < .001) dan waktu tidur setelah pukul 11 malam (OR 16.55;

95% CI 6.49-42.16; P < .001) merupakan faktor risiko independen untuk kambuhnya RAS, tetapi

riwayat keluarga, stress, hubungan yang buruk dengan teman sekamar, dan penyakit saluran

cerna didapatkan bukan merupakan faktor risiko tersebut. Selain itu, peningkatan frekuensi

waktu tidur setelah pukul 11 malam (τ > 0; P < .05) serta pemanjangan waktu kumulatif dari

pukul 11 malam hingga waktu tidur (R > 0; P < .05) ditemukan berkorelasi dengan peningkatan

keparahan dalam kejadian ulser.

Kesimpulan. Waktu tidur setelah pukul 11 malam tidak hanya berperan sebagai faktor risiko

bebas namun frekuensi dan waktu kumulatif juga berhubungan dengan tingkat keparahan RAS

pada mahasiswa.

Recurrent aphthous stomatitis (RAS) atau canker sores, merupakan penyakit umum pada

mukosa mulut, lebih sering terjadi pada anak-anak dan dewasa muda, dengan insidensi rata-rata

antara 20-60% di sepanjang hidup. RAS sering dimulai pada dekade kedua dan mencapai

puncaknya pada dekade ketiga. Terdapat banyak variasi pada pola klinis seperti frekuensi,

durasi, jumlah, dan ukuran lesi yang bersifat nyeri, dengan penampakan yang khas terlihat

sebagai ulser bulat atau oval dengan batas yang tegas, tepi kemerahan, dengan dasar kuning atau

abu-abu. Nyeri merupakan gejala klinis mayor dari RAS dan sering mempengaruhi kualitas

hidup pasien dan menyebabkan stress emosional. Walaupun trauma, stress, mikroorganisme,

riwayat keluarga, hipersensitivitas makanan, disregulasi imun, faktor hormonal, dan predisposisi

1

Page 3: jurding gilut

genetik telah diduga sebagai faktor penyebab yang potensial, namun etiologi RAS masih belum

diketahui.

Stress akibat belajar, peningkatan penggunaan internet, dan kurangnya pengetahuan tentang

kesehatan yang menyebabkan tidur larut menjadi sebuah rutinitas remaja. Gangguan tidur

dilaporkan berhubungan dengan penyakit yang berhubungan dengan imunitas dan gangguan

mental, dan orang dengan gangguan mental atau dengan insidensi gangguan imun yang lebih

tinggi memiliki kerentanan terhadap RAS. Selain itu, terdapat dua studi yang mempelajari

pengaruh langsung tidur larut terhadap RAS. Untuk meneliti potensi dampak waktu tidur pada

RAS, kami menggunakan survei retrospektif dengan kuesioner pada 1006 mahasiswa di

Universitas Sichuan pada bulan Juni 2013 sampai Oktober 2013. Dengan tujuan spesifik untuk

melihat hubungan waktu tidur dan RAS, maka kuesioner terutama mencakup waktu tidur dan

tingkat keparahan RAS. Tujuan dari studi ini adalah untuk menguji hipotesis bahwa tidur larut

dapat meningkatkan risiko dan tingkat keparahan RAS, serta menganjurkan adanya studi lebih

lanjut mengenai etiologi dan pencegahan RAS.

PASIEN DAN METODE

Pasien

Studi ini telah disetujui oleh Komite Etik Universitas Sichuan. Lima puluh mahasiswa dipilih

secara acak untuk melakukan pra-survei (dengan informed consent tertulis) yang diselenggarakan

sebelum studi dimulai. Pra-survei ini mengungkapkan bahwa 48% dari mahasiswa yang terlibat

pernah mengalami RAS. Berdasarkan metode estimasi yang digunakan dalam preventive

dentistry, kami menentukan besar sampel sebesar 1000 orang:

N= K x Q/P1

Dimana N adalah jumlah sampel; P adalah prevalensi dalam pra-survei; Q = 1-P; dan K

ditentukan berdasarkan kesalahan yang diperbolehkan. Berdasarkan estimasi ini, maka sebanyak

1010 mahasiswa dipilih secara acak sebagai sampel untuk melengkapi survei di Universitas

Sichuan. Setelah kuesioner didistribusikan, sebanyak 1006 mahasiswa merespon kuesioner

tersebut dengan tingkat responsi 99,6%.

Kuesioner

2

Page 4: jurding gilut

Berdasarkan pertimbangan rentang waktu tidur, faktor penyebab potensial lain, dan indeks

kuantitatif yang berkaitan dengan tingkat keparahan RAS, kami merancang kuesioner untuk

meneliti hubungan antara tidur larut dengan RAS. Setelah pra-survei, kami mempertimbangkan

petunjuk dari pasien dan kemudian memodifikasi beberapa pilihan dalam kuesioner secara

seksama.

Untuk melindungi privasi dari mahasiswa dan mendapatkan respon yang sejujurnya, maka kami

menggunakan kuesioner anonim. Kuesioner tersebut mengumpulkan data mengenai: jenis

kelamin dan tingkat/angkatan, jurusan, waktu tidur pada saat biasa, waktu tidur pada hari khusus,

frekuensi dari waktu tidur pada hari khusus, waktu tidur pada masa ujian, kondisi sistem

pencernaan, frekuensi flu tahunan, riwayat keluarga dengan RAS, stress sehari-hari, hubungan

dengan teman sekamar, frekuensi RAS diluar masa ujian, frekuensi RAS pada masa ujian,

jumlah kejadian RAS, ukuran terbesar RAS, terapi RAS, dan durasi lesi. Untuk mengumpulkan

data secara lebih efisien, kuesioner dibagi menjadi dua bagian. Baik pasien melengkapi salah

satu atau kedua bagian dari kuesioner tergantung pada apakah pasien pernah mengalami RAS

atau tidak.

Definisi

Kuesioner ini menggambarkan karakteristik klinis dari RAS, seperti rekurensi, periodisitas, dan

keterbatasan, untuk membedakan RAS dari penyebab ulkus lainnya, seperti ulkus traumatikus.

Frekuensi, kuantitas, ukuran, dan durasi merupakan indeks kuantitatif yang berhubungan dengan

keparahan RAS.

“Waktu tidur” didefinisikan sebagai waktu dimana responden tertidur. Dalam survei ini, “waktu

tidur jangka pendek setelah pukul 11 malam” merujuk kepada mahasiswa yang mempunyai

waktu tidur setelah pukul 11 malam pada masa ujian dan waktu tidur jangka panjang setelah

pukul 11 malam merujuk kepada mahasiswa yang mempunyai waktu tidur setelah pukul 11

malam baik pada masa ujian maupun diluar masa ujian. Waktu kumulatif dari pukul 11 malam

hingga waktu tidur per minggu selama diluar masa ujian dihitung berdasarkan rumus berikut:

Waktu Kumulatif = tujuh x waktu sejak pukul 11 malam hingga waktu tidur biasanya + hari

khusus x waktu dari waktu tidur biasanya hingga waktu tidur pada hari khusus.

3

Page 5: jurding gilut

Metode Survei

Penelitian retrospektif dikerjakan oleh mahasiswa kedokteran gigi dan mulut, yang dibimbing

oleh dokter spesialisnya. Pra-survei dilakukan terlebih dahulu, dengan tujuan untuk melengkapi

kuesioner, menentukan ukuran sampel dan mengembangkan rencana survei.

Sebanyak 1010 mahasiswa dipilih secara acak sebagai sampel di Sichuan University. Kuisioner

dibagikan di ruang belajar dan perpustakaan dengan tujuan untuk mendapatkan sampel acak dari

fakultas dan tingkat pendidikan yang berbeda. Sebelum penelitian dilaksanakan, kami

menjelaskan tujuan dari penelitan dan memberikan informasi mengenai kriteria diagnostik,

penyebab dan pencegahan Recurrent Aphthous Stomatitis (RAS). Kemudian seluruh kuisioner

dikumpulkan. Seluruh data dianalisis dengan metode statistik. Data tersebut meliputi informasi

demografik, tingkat keparahan dari Recurrent Aphthous Ulceration (RAU) dan faktor – faktor

yang terkait kondisi fisik. Informasi demografik antara lain jenis kelamin, tingkat pendidikan,

dan faktor profesional. Tingkat keparahan dari RAU antara lain ukuran, jumlah, durasi dan

frekuensi timbulnya ulser selama pemeriksaan ataupun di luar masa pemeriksaan. Faktor – faktor

yang terkait kondisi fisik antara lain frekuensi munculnya flu, stres, riwayat keluarga, keadaan

pencernaan, serta waktu tidur. Kami melakukan pengecekan beberapa kali untuk memastikan

keakuratan data-data yang didapatkan selama proses pemasukan data. Kami menggunakan SPSS

untuk analisis data secara statistik dan untuk membuat laporan akhir.

Analisis statistik

Continuous variables dilaporkan sebagai standar deviasi (SD) atau median (range). Kami

membandingkan antar continuous variables menggunakan Student’s t-test, them Mann-Whitney

U-test atau the Kruskal-Wallis H-test. Categorical variables dilaporkan dalam bentuk angka dan

persentase. Categorical variables dibandingkan menggunakan Pearson’s X2 analysis atau

Fisher’s exact test. Korelasi dianalisis dengan menggunakan the Spearman rank correlation,

Kendall rank correlation, dan Pearson simple correlation analysis. Variabel terbukti signifikan

secara statistik dalam analisis univariat. Variabel-variabel tersebut termasuk dalam multivariable

logistic regression analysis untuk mengidentifikasi faktor predisposisi RAS yang independen

dan menghitung odds ratios, serta 95% confidence intervals. Nilai P yang kurang dari .05

dianggap signifikan secara statistik. Korelasi antara waktu tidur dan RAS ditentukan dengan

4

Page 6: jurding gilut

koefisien korelasi. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan SPSS versi untuk Windows

17.0.

Hasil

Sebanyak 1006 mahasiswa merespon kuisioner dengan rasio 99,6%. Di antara seluruh

mahasiswa tersebut, sebanyak 51,7% responden (n=520) adalah laki-laki dan 48,3% (n=486)

responden adalah perempuan; 535 mahasiswa (53,2%) memiliki riwayat RAS, dan 471

mahasiswa lainnya tidak; 867 mahasiswa (86,2%) memiliki waktu tidur jangka panjang setelah

pukul 11 malam, dan 72 mahasiswa lainnya (7,2%) memiliki waktu tidur jangka pendek setelah

pukul 11 malam. Karakteristik demografi dan karakteristik waktu tidur subjek dapat dilihat pada

Tabel 1 dan Tabel 2.

Tabel 1. Karakteristik demografi mahasiswa pada penelitian ini

Jumlah mahasiswa (n=1006)

Jenis kelamin

Laki-laki 520 (51,7%)

Perempuan 486 (48,3%)

Tingkat

2012 90 (8,9%)

2011 361 (35,9%)

2010 314 (31,2%)

2009 241 (24,0%)

Lain-lain 120 (12%)

Jurusan

Sains 167 (16,6%)

Tekhnik 249 (24,8%)

Sejarah 144 (14,3%)

Kedokteran 277 (27,5%)

Ekonomi – Manajemen 161 (16,0%)

Hukum

Seni 8 (0,8%)

Tabel 2. Karakteristik waktu tidur mahasiswa dalam penelitian

5

Page 7: jurding gilut

jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11 malam

jangka waktu tidur pendek setelah pukul 11 malam

Jangka waktu tidur jarang setelah pukul 11 malam

P

Jenis Kelamin .41 Laki-laki (n=520) 441 40 39 Perempuan (n=486) 426 32 28Angkatan .30 2012 (n=90) 76 12 2 2011 (n=361) 303 29 29 2010 (n=314) 281 12 21 2009 (n=121) 106 8 7 Lainnya (n=120) 101 11 8Jurusan .69 Ilmiah (n=167) 146 9 12 Teknik (n=249) 215 17 17 Sejarah (n=144) 121 16 7 Kedokteran (n=277) 245 14 18 Hukum Manajemen Ekonomi (n=161)

136 14 11

Kesenian (n=8) 4 2 2Catatan: “jangka waktu tidur pendek setelah pukul 11 malam” mengacu pada mahasiswa yang sedang dalam masa ujian; “jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11” mengacu pada mahasiswa yang sedang dalam masa ujian maupun tidak dalam masa ujian.

Pada analisa univariat, variabel yang secara signifikan berhubungan dengan RAS termasuk

frekuensi flu dan waktu tidur setelah pukul 11 malam. Variabel lainnya, seperti stres, gangguan

pencernaan, riwayat keluarga, dan hubungan dengan teman sekamar tidak menunjukan dampak

signifikan terhadap RAS (Tabel 3). Pada analisa regresi logistik multivariat, frekuensi flu (OR

2.17; 95% CI 1.52-3.10; P < .001) dan waktu tidur setelah pukul 11 malam (OR 16.55; 95% CI

6.49-42.16; P < .001) merupakan faktor risiko independen untuk RAS.

Untuk penelitian lebih lanjut, kami membagi 1006 partisipan ke dalam 3 kelompok sesuai

dengan frekuensi waktu tidur setelah pukul 11 malam, yaitu “waktu tidur jangka panjang setelah

pukul 11 malam”, “waktu tidur jangka pendek setelah pukul 11 malam”, dan “waktu tidur jarang

setelah pukul 11 malam”. Ketiga kelompok tersebut memiliki prevalensi sebesar 86,2%, 7,2%,

dan 6,6%. Dari Tabel 2, kami menyimpulkan bahwa jenis kelamin, usia, dan profesi tidak

berkolerasi dengan frekuensi RAS pada penelitian ini (P > .05).

Tabel 3. Analisis Univariat dari RAS

6

Page 8: jurding gilut

Variabel Assigntment RAS Tidak RAS Odds Ratio 95% CI PPenyakit pencernaan

Tidak (0) 156 132 1.06 0.81-1.4 .66

Ya (1) 379 339Riwayat keluarga

Tidak (0) 162 131 1.13 0.86-1.49 .37

Ya (1) 373 340Tekanan Sedikit (0) 207 164 1.19 0.92-1.54 .19

Banyak (1) 327 308Frekuensi pilek tahunan

<= 3 (0) 417 414 2.09 1.48-1.52 .00

>3 (1) 118 57Tidur setelah jam 23.00

Tidak (0) 24 144 16.00 6.37-40.16 .00

Ya (1) 511 327Relasi dengan teman sekamar

Buruk (0) 389 93 1.14 0.86-1.52 .35

Baik (1) 145 398

Tabel 4. Efek waktu tidur terhadap keparahan ulser

Variabel Assigntment

Jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11 malam (2)

Jangka waktu tidur pendek setelah pukul 11 malam (1)

Jangka waktu tidur jarang setelah pukul 11 malam (0)

t P Waktu kumulatif (pukul 11 malam - waktu tidur)

R pFrekuensi ulser selama masa non-ujian

.30 .00 .46 .00

Tidak pernah 0 328 82 62Jarang 1 45 3 0> 1/tahun 2 231 10 4> 1/6 bulan 3 118 0 0> 1/3 bulan 4 71 5 0Jumlah ulser .17 .00 .25 .001-2 0 636 96 633-5 1 153 4 4>=6 2 49 1 0Ukuran ulser .27 .00 .40 .00Variabel Assi

gntment

Jangka waktu tidur panjang setelah pukul 11

Jangka waktu tidur pendek setelah pukul

Jangka waktu tidur jarang setelah pukul

t P Waktu kumulatif (pukul 11

7

Page 9: jurding gilut

malam (2) 11 malam (1) 11 malam (0) malam - waktu tidur)

Tip 0 427 89 64Grain 1 291 7 2Soybean 2 111 4 1> soybean 3 9 1 0Durasi .28 .00 .41 .00<7 hari 0 327 82 627-10 hari 1 210 6 110-15 hari 2 167 6 2>=15 hari 3 133 7 2Frekuensi ulser selama masa ujian

.29 .00 .40 .00

Tidak pernah 0 287 13 3Muncul beberapa kali

1 220 6 2

Muncul setiap kali

2 331 82 62

Tabel 4. Efek waktu tidur terhadap keparahan ulser (lanjutan)

Tabel 4 menunjukan hubungan antara waktu tidur dengan derajat keparahan RAS selama masa

ujian dan masa bukan ujian. Mahasiswa dengan frekuensi waktu tidur panjang setelah pukul 11

malam atau waktu kumulatif dari pukul 11 malam hingga waktu tidur per minggu yang lebih

lama mengakibatkan peningkatan derajat keparahan ulkus, dengan frekuensi yang lebih besar,

angka yang lebih besar, ukuran yang lebih besar, dan durasi yang lebih lama pada masa bukan

ujian, juga frekuensi yang lebih besar selama masa ujian.

PEMBAHASAN

Dalam studi ini, peniliti menetapkan jam 11 malam sebagai standar jam tidur pada kuesioner.

Alasannya yaitu sebagai berikut : Pada umumnya masyarakat banyak yang tidur pada jam 11

malam; Jam tidur yang larut berkaitan dengan depresi, dimana depresi berhubungan dengan

peningkatan kejadian RAS; Sekresi hormon seperti hormon pertumbuhan, kortisol, dan hormon

andrenokortikotropik dipengaruhi oleh pola tidur. Puncak sekresi hormon pertumbuhan dimulai

pada jam 11 malam dan berlangsung selama beberapa jam, dimana hal ini mempengaruhi

proliferasi fibroblas, migrasi keratinosit dan juga diferensiasi sel T. Penurunan sekresi hormon

pertumbuhan meningkatkan terjadinya RAS dan menghambat penyembuhan. Selain itu jumlah

8

Page 10: jurding gilut

kortisol dan adrenokortikotropik kadarnya rendah selama beberapa jam awal pada orang yang

tidur jam 11 malam. Oleh karena itu, waktu tidur larut berpotensi meningkatkan reaksi inflamasi

dan alergi, sehingga meningkatkan kejadian RAS.

Pada penelitian ini, sejumlah 535 mahasiswa (53,2%) mempunyai riwayat RAS, dan 48% dari

jumlah tersebut mempunyai riwayat RAS pada survei sebelum penelitian dimulai. Mahasiswa

dengan jangka waktu tidur panjang diatas jam 11 malam berjumlah sebanyak 86.2% sedangkan

mahasiswa dengan jangka waktu tidur pendek diatas jam 11 malam sebesar 7.2%. Data-data ini

menunjukkan kecenderungan untuk tidur larut pada mahasiswa pada umumnya. Data dari hasil

analisa multivarian mendukung hipotesis peniliti dalam studi ini. Analisis statistik menunjukkan

frekuensi pilek dan tidur malam di atas jam 11 merupakan faktor risiko bebas terhadap RAS dan

efek dari waktu tidur lebih signifikan dengan odd ratio yang lebih tinggi. Data ini sesuai dengan

hipotesis yang diajukan peniliti. Frekuensi flu dapat mencerminkan sistem imun pasien dimana

adanya hubungan imunitas dengan RAS telah dibuktikan dalam berbagai penelitian. Oleh karena

itu survei ini berpusat pada korelasi yang spesifik antara jam tidur dengan RAS dan juga

akibatnya terhadap RAS pada mahasiswa supaya kemudian dapat memberikan data yang spesifik

dalam pencegahan dan penanganan RAS.

Dua penelitian di China menunjukkan bahwa pada mahahsiswa dengan jam tidur yang larut

mempunyai kecenderungan lebih mudah terserang RAS. Fu Lin Xiang mempelajari mengenai

“get the fire evil” (sebuah istilah dalam pengobatan tradisional China ) dan menemukan bahwa

61.4% mahasiswa yang sering tidur larut malam mempunyai gejala “get the fire evil” yang mana

merupakan salah satu manifestasi dari RAS. Yu-wen shi menguji korelasi antara tingkat kejadian

RAS dengan kebiasaan hidup mahasiswa kedokteran di Guang Zhou dimana hasilnya

menunjukkan jam tidur yang larut atau insomnia dapat menjadi faktor resiko RAS (OR 2.257;

95% CI 0.866-5.882; P = .096). Karena tingkat kepercayaan 95% = 1 dan nilai P lebih besar dari

0.05, maka kesimpulan dari studi tersebut tidak dapat dipastikan secara statistik.

Hasil dari analisa multivarian penelitian ini menunjukkan waktu tidur setelah pukul 11 malam

merupakan faktor resiko independen terhadap RAS (OR 16.55; 95% CI 6.49-42.16; P< .001).

Peniliti juga meneliti mengenai dampak tidur malam terhadap tingkat keparahan RAS, yang

meliputi jumlah, ukuran, durasi, dan frekuensi RAS selama masa ujian dan tidak ujian. Semakin

sering frekuensi tidur di atas pukul 11 malam, maka RAS yang terjadi akan lebih parah.

9

Page 11: jurding gilut

Penelitian ini menunjukkan bahwa kebiasaan tidur yang baik dan teratur memiliki efek signifikan

dalam pencegahan dan pengobatan RAS.

Meskipun begitu, penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Hal pertama, studi ini

menggunakan kuesioner yang didesain sendiri dan belum terdapat validasi dari jurnal ataupun

artikel lain. Kedua, walaupun peneliti telah memberikan informasi mengenai RAS dan sedikit

insentif untuk para peserta, tingkat akurasi dari diagnosis RAS oleh peserta itu sendiri belum

dapat dipastikan. Ketiga, studi retrospektif ini masih terdapat beberapa bias, eror dalam

perhitungan dan sebagainya. Oleh karena itu, hasil penelitian ini ada baiknya diinterpretasi

dengan seksama.

KESIMPULAN

Studi kami menunjukkan bahwa tidur larut malam merupakan faktor resiko yang signifikan

terhadap RAS dan semakin lama jangka waktu kumulatif tidur setelah pukul 11 malam akan

membuat RAS menjadi semakin parah. RAS dapat dicegah dengan pola tidur awal dan tidur

yang lebih banyak, ataupun keduanya.

DAFTAR PUSTAKA

10

Page 12: jurding gilut

1. Jurge S, Kuffer R, Scully C, Porter SR. Mucosal diseases series, Number VI: Recurrent

aphthous stomatitis. Oral Dis. 2006; 12:1-21.

2. Roger RS. Recurrent aphthous stomatitis: clinical characteristics and associated

systemic disorders. Semin Cutan Med Surg. 1997;16:278-283.

3. Ship JA, Chavez EM, Doerr PA. Henson BS, Sarmadi M. Recurrent aphtous stomatitis.

Quintessence Int. 2000;31:95-112.

4. Miller MF, Ship II, Ram C, A retrospective study of the prevalence and incidence of

recurrent aphthous ulcers in a professional population. 1958-1971. Oral Surg Oral

Med Oral Pathol. 1977;43:532-537.

5. Porter, S.R., Scully, C., Pedersen, A. Recurrent aphthous stomatitis. Crit Rev Oral Biol

Med. 1998;9:306–321.

6. Minor RAS. Recurrent aphthous stomatitis. 2000.

7. Akintoye, S.O., Greenberg, M.S. Recurrent aphthous stomatitis. Dent Clin North Am.

2005;49:31–47.

8. Scully, C., Porter, S. Oral mucosal disease: recurrent aphthous stomatitis. Br J Oral

Maxillofac Surg. 2008;46:198–206.

9. Benca, R.M., Obermeyer, W.H., Thisted, R.A., Gillin, J.C. Sleep and psychiatric

disorders: a meta-analysis. Arch Gen Psychiatry. 1992;49:651–668.

10. Cook, R.T. Alcohol abuse, alcoholism, and damage to the immune system—a review.

Alcohol Clin Exp Res. 1998;22:1927–1942.

11. Irwin, M. Effects of sleep and sleep loss on immunity and cytokines. Brain Behav

Immun. 2002;16:503–512.

12. Hall, M., Baum, A., Buysse, D.J. et al, Sleep as a mediator of the stress-immune

relationship. Psychosom Med. 1998;60:48–51.

13. Breslau, N., Roth, T., Rosenthal, L. et al, Sleep disturbance and psychiatric disorders:

a longitudinal epidemiologic study of young adults. Biol Psychiatry. 1996;39:411–418.

14. de Gruijl, F.R., Pavel, S. The effects of a mid-winter 8-week course of sub-sunburn

sunbed exposures on tanning, vitamin D status and colds. Photochem Photobiol Sci.

2012;11:1848–1854.

15. Eversole, L.R. Immunopathogenesis of oral lichen planus and recurrent aphthous

stomatitis. Semin Cutan Med Surg. 1997;16:284–294.

11

Page 13: jurding gilut

16. Fuxiang, L., Weiying, C. 1051 cases of college students “irritated” study. J World Sci

Tech. 2012;1:038.

17. Yuwen, S., Zhiqiang, W., Liping, X. et al, A Guangzhou Medical College students’

recurrent aphthous ulcers risk factor analysis. Guangdong Med. 2010;31:772–774.

18. Sakamoto, N., Nanri, A., Kochi, T. et al, Bedtime and sleep duration in relation to

depressive symptoms among Japanese workers. J Occup Health. 2013;55:479–486.

19. Gavic, L., Cigic, L., Biocina Lukenda, D. et al, The role of anxiety, depression, and

psychological stress on the clinical status of recurrent aphthous stomatitis and oral

lichen planus. J Oral Pathol Med. 2014;43:410–417.

20. Brandenberger, G., Weibel, L. The 24-h growth hormone rhythm in men: sleep and

circadian influences questioned. J Sleep Res. 2004;13:251–255.

21. Lee, S.W., Kim, S.H., Kim, J.Y. et al, The effect of growth hormone on fibroblast

proliferation and keratinocyte migration. J Plast Reconstruct Aesthet Surg.

2010;63:E364–E369.

22. Smaniotto, S., Alves Martins-Neto, A., Dardenne, M. et al, Growth hormone is a

modulator of lymphocyte migration. Neuroimmunomodulation. 2011;18:309–313.

23. Dioufa, N., Schally, A.V., Chatzistamou, I. et al, Acceleration of wound healing by

growth hormone-releasing hormone and its agonists. Proc Natl Acad Sci.

2010;107:18611–18615.

24. Bierwolf, C., Kern, W., Mölle, M. et al, Rhythms of pituitary-adrenal activity during

sleep in patients with Cushing’s disease. Exp Clin Endocrinol Diab. 2000;108:470–

479.

25. MacGregor, R.R., Sheagren, J.N., Lipsett, M.B., Wolff, S.M. Alternate-day prednisone

therapy: evaluation of delayed hypersensitivity responses, control of disease and

steroid side effects. N Engl J Med. 1969;280:1427–1431.

12