jimm

25
1 JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap Aktivisme, Skripturalisme dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah * Oleh Ahmad Najib Burhani** Outline Tulisan - Pendahuluan - Kelahiran Tanpa Deklarasi - JIMM: Problem Baru Muhammadiyah atau Alternatif Solusi? - Melihat Model dan Metode JIMM dalam Berwacana - Antara JIMM dan JIL: Isu-isu yang Menyamakan dan Membedakan - Menengok Para Pendukung dan Penentang JIMM - Perjalanan JIMM Menuju Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang - “Takdir” JIMM Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 - Beberapa Catatan Akhir Pendahuluan Beragam kritik pernah dilontarkan kepada Muhammadiyah. Kritik-kritik tersebut disampaikan oleh kalangan internal Muhammadiyah dan juga para pengamat gerakan keagamaan di Indonesia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun kritik terhadap organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 dengan sifat yang masif, teroganisir dan bahkan dengan membentuk jaringan (network), baru terjadi ketika gerakan modernis Islam ini hendak mencapai umur seabad. Kritik itu dikumandangkan oleh anak-anak muda dari organisasi itu sendiri yang menyebut diri mereka sebagai JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Berangkat dari keresahan, kegerahan, kepedulian, dan kecintaan, JIMM mencoba mendekonstruksi paham-paham dan ajaran-ajaran yang dianggapnya sudah usang (out of date) di tubuh Muhammadiyah. Cita-cita mereka sebetulnya tidak ingin berhenti dengan melakukan dekonstruksi, tapi juga membangun kembali atau merekonstruksi Muhammadiyah sehingga gerakan ini memiliki wajah baru yang lebih baik dan sesuai dengan tuntutan zaman, sebagai the new social movement. Jaringan anak muda ini ternyata tak mudah merealisasikan misi yang dirumuskannya. Niat anak-anak itu juga tak selalu mendapat respon positif di lingkungan Muhammadiyah. Pertarungan wacana yang cukup keras terjadi di Muhammadiyah antara kubu yang pro dan kontra terhadap isu-isu yang digulirkan JIMM. Puncaknya adalah pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang pada 3-8 Juli 2005 yang oleh sementara kalangan disebut sebagai arena “pengadilan” buat JIMM. Kelahiran Tanpa Deklarasi Paruh akhir 2003, sebuah peristiwa yang, untuk sebagaian kelompok Islam, cukup membahagiakan dan sekaligus, untuk kelompok Islam yang lain, menggelisahkan muncul dalam tubuh organisasi keagamaan terbesar kedua di Indonesia, Muhammadiyah. Peristiwa itu adalah lahirnya gerakan dari sekelompok anak muda * Judul ini terinspirasi dan merupakan terjemahan atas tiga pilar JIMM, yaitu hermeneutika, teori-teori sosial kritis, dan the new social movement. Aktivisme diartikan sebagai aksi yang tak disertai dengan refleksi. Istilah itu merupakan kebalikan dari verbalisme, refleksi yang tanpa disertai dengan aksi.

Upload: ahmad-hanif-firdaus

Post on 25-Mar-2016

237 views

Category:

Documents


9 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: JIMM

1

JIMM: Pemberontakan Anak-anak Muda Terhadap Aktivisme,

Skripturalisme dan Orientasi Struktural di Muhammadiyah*

Oleh Ahmad Najib Burhani**

Outline Tulisan

- Pendahuluan

- Kelahiran Tanpa Deklarasi

- JIMM: Problem Baru Muhammadiyah atau Alternatif Solusi?

- Melihat Model dan Metode JIMM dalam Berwacana

- Antara JIMM dan JIL: Isu-isu yang Menyamakan dan Membedakan

- Menengok Para Pendukung dan Penentang JIMM

- Perjalanan JIMM Menuju Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang

- “Takdir” JIMM Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45

- Beberapa Catatan Akhir

Pendahuluan Beragam kritik pernah dilontarkan kepada Muhammadiyah. Kritik-kritik tersebut

disampaikan oleh kalangan internal Muhammadiyah dan juga para pengamat gerakan

keagamaan di Indonesia, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Namun kritik

terhadap organisasi yang didirikan KH Ahmad Dahlan pada 1912 dengan sifat yang

masif, teroganisir dan bahkan dengan membentuk jaringan (network), baru terjadi

ketika gerakan modernis Islam ini hendak mencapai umur seabad. Kritik itu

dikumandangkan oleh anak-anak muda dari organisasi itu sendiri yang menyebut diri

mereka sebagai JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Berangkat dari

keresahan, kegerahan, kepedulian, dan kecintaan, JIMM mencoba mendekonstruksi

paham-paham dan ajaran-ajaran yang dianggapnya sudah usang (out of date) di tubuh

Muhammadiyah. Cita-cita mereka sebetulnya tidak ingin berhenti dengan melakukan

dekonstruksi, tapi juga membangun kembali atau merekonstruksi Muhammadiyah

sehingga gerakan ini memiliki wajah baru yang lebih baik dan sesuai dengan tuntutan

zaman, sebagai the new social movement. Jaringan anak muda ini ternyata tak mudah

merealisasikan misi yang dirumuskannya. Niat anak-anak itu juga tak selalu mendapat

respon positif di lingkungan Muhammadiyah. Pertarungan wacana yang cukup keras

terjadi di Muhammadiyah antara kubu yang pro dan kontra terhadap isu-isu yang

digulirkan JIMM. Puncaknya adalah pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di

Malang pada 3-8 Juli 2005 yang oleh sementara kalangan disebut sebagai arena

“pengadilan” buat JIMM.

Kelahiran Tanpa Deklarasi Paruh akhir 2003, sebuah peristiwa yang, untuk sebagaian kelompok Islam, cukup

membahagiakan dan sekaligus, untuk kelompok Islam yang lain, menggelisahkan

muncul dalam tubuh organisasi keagamaan terbesar kedua di Indonesia,

Muhammadiyah. Peristiwa itu adalah lahirnya gerakan dari sekelompok anak muda

* Judul ini terinspirasi dan merupakan terjemahan atas tiga pilar JIMM, yaitu hermeneutika, teori-teori

sosial kritis, dan the new social movement. Aktivisme diartikan sebagai aksi yang tak disertai dengan

refleksi. Istilah itu merupakan kebalikan dari verbalisme, refleksi yang tanpa disertai dengan aksi.

Page 2: JIMM

2

yang menyebut diri sebagai JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Tanggal dan bulan dari kelahiran itu memang tidak diketahui secara pasti karena

kemunculannya memang tanpa disertai dengan deklarasi. Tiba-tiba saja pada paruh

kedua 2003 itu, berita-berita dan kolom-kolom opini berbagai media massa nasional

diramaikan dengan tulisan tentang JIMM atau artikel-artikel yang ditulis oleh aktivis-

aktivis JIMM. Tiba-tiba pula, anak-anak muda Muhammadiyah yang biasanya hanya

berkumpul dan bergerombol dalam ortom-ortom (organisasi otonom)

Muhammadiyah, seperti IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah), IMM (Ikatan

Mahasiswa Muhammadiyah), PM (Pemuda Muhammadiyah), dan NA (Nasyiatul

Aisyiah), menggabungkan diri dan terlibat dalam aktivitas intelektual bersama dalam

berbagai workshop, seminar, diskusi, penelitian ilmiah dan sejenisnya.

Jika dirunut dari berbagai peristiwa yang mengiringi kebangkitan intelektual di

Muhammadiyah dan juga kondisi-kondisi mempersiapkan lahan bagi kelahiran

JIMM, maka bisa disebutkan, diantaranya, adalah sebagai berikut: Gerakan pemikiran

yang bergeliat di Muhammadiyah pasca Muktamar ke-43 di Aceh yang, diantaranya,

dimotori oleh M Amien Rais dan Ahmad Syafii Maarif serta M Amin Abdullah

melalui majelis yang dipimpinnya, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam;

Masuknya kembali pemikir-pemikir Muhammadiyah yang selama ini lebih sering

aktif di luar Muhammadiyah, seperti Moeslim Abdurrahman. Secara lebih khusus,

beberapa peristiwa memang bersinggungan langsung dengan pendirian JIMM adalah

pendirian Maarif Institut for Culture and Humanity yang awalnya digadang untuk

mempersiapkan ulang tahun Ahmad Syafii Maarif yang ke-70.

Di kantor Maarif Institute, Jl. Adityawarman No. 35 Kebayoran Baru Jakarta Selatan,

inilah gagasan untuk mengkonsolidasi anak-anak muda Muhammadiyah muncul.

Awalnya memang hanya beberapa anak muda yang berkumpul di sini. Dari yang

sedikit itu lantas muncul ide untuk mengorganisir kegiatan yang bisa mengumpulkan

anak-anak muda Muhammadiyah dan mengangkat potensi mereka. Maka diadakanlah

Workshop JIMM pertama dengan tema “Membangun Tradisi Intelektual Baru yang

Visioner, Terbuka, dan Kritis” di Bogor pada 9-12 Oktober 2003. Ada 70 anak-anak

muda Muhammadiyah dari berbagai daerah yang berpartisipasi pada acara ini.

Mereka inilah yang menjadi gelombang awal bagi kebangkitan intelektual kaum muda

Muhammadiyah.

Workshop pertama itu lantas disusul dengan workshop kedua yang diikuti sekitar 50

orang di Kaliurang Yogyakarta pada 13-16 Nopember 2003 dan workshop ketiga di

Malang pada 28-20 Nopember 2003. Workshop ketiga yang diberi nama “Tadarus

Pemikiran Islam: Kembali ke Al-Quran, Menafsir Makna Zaman” ini merupakan

yang terbesar dan menjadi gong atau pertanda resmi kelahiran JIMM dalam blantika

pemikiran dan gerakan Islam di Indonesia. Workshop Malang ini dihadiri oleh sekitar

120 anak muda Muhammadiyah dari seluruh daerah di tanah air. Dalam workshop ini

juga dibentuk semacam kepengurusan dalam bentuk presidium. Ada lima anggota

presidium dan seorang sekretaris dalam organisasi JIMM. Mereka adalah Piet H

Khaidir (mewakili wilayah Banten, Jakarta dan Jawa Barat), Zakiyuddin Baidhawy

(Jawa Tengah), Zuly Qodir (Yogyakarta), Pradana Boy ZTF (Jawa Timur), Ai

Fatimah (mewakili unsur perempuan) dan Ahmad Fuad Fanani (Sekretaris).

Pasca workshop Malang, serentetan workshop kembali digelar di beberapa daerah

seperti Surakarta, Surabaya, dan Yogyakarta (kali kedua). Acara workshop ini lantas

Page 3: JIMM

3

menjadi semacam program inisiasi atau pen-syahadat-an atau ospek bagi anggota-

anggota baru JIMM. Secara keanggotaan, JIMM sebetulnya terbuka untuk siapa saja

yang berminat aktif. Namun pada kenyataannya, hampir semua anggota JIMM adalah

para aktivis Muhammadiyah atau memiliki keterkaitan dengan organisasi yang

didirikan oleh KH Ahmad Dahlan ini.

JIMM: Problem Baru Muhammadiyah atau Alternatif Solusi? Seperti disebutkan di atas, geliat bangkitnya pemikiran-pemikiran progresif di

Muhammadiyah pasca Muktamar ke-43 di Aceh merupakan salah satu kondisi

internal yang memberikan lahan subur bagi kelahiran JIMM. Namun demikian, ada

juga faktor-faktor eksternal yang ikut memicu kelahiran gerakan ini. Diantara faktor-

faktor yang penting untuk tidak dilewatkan adalah agresifitas generasi muda NU

(Nahdlatul Ulama) dalam mewarnai pemikiran dan gerakan Islam kontemporer di

Indonesia.

Anak-anak muda NU yang bergerak secara individual maupun tergabung dalam

lembaga seperti LKIS (Lembaga Kajian Islam dan Sosial), JIL (Jaringan Islam

Liberal), Lakpesdam NU, P3M, dan Desantara telah memicu kecemburuan dari

beberapa orang Muhammadiyah, terutama dari kalangan mudanya. NU yang secara

umum dikenal sebagai organisasi tradisional ternyata memiliki kader-kader yang

cukup progresif dan berani. Sesuai dengan julukan yang disandang sebagai gerakan

Islam pembaharu dan Islam modernis, orang-orang Muhammadiyahlah yang mestinya

selalu menjadi pelopor dalam meretas jalan baru bagi pemikiran dan gerakan Islam.

Memang, di kalangan kelompok tua, Muhammadiyah masih memiliki seabreg stok

pemikir yang menjadi lokomotif bagi jalannya diskursus keislaman di Indonesia.

Namun untuk lapisan pemuda, Muhammadiyah sepertinya tak memiliki kader

pemikir. Kecemburuan itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa JIMM lahir.

Pendeknya, JIMM ingin menjawab pertanyaan, “Betulkah Muhammadiyah, yang

memiliki ribuan sekolah dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, tidak memiliki

kader-kader intelektual yang akan menggantikan generasi tua mereka?” Kelahiran

JIMM yang hampir berbarengan dengan Muktamar Pemikiran Islam yang digelar oleh

anak-anak NU di Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo pada

awal Oktober 2003 sepertinya bisa menjadi petunjuk bahwa kecemburuan itu memang

ada.

Meski logika kecemburan itu sering diduga sebagai alasan bagi pendirian JIMM1,

namun bagi warga gerakan intelektual itu sendiri alasan pendirian jaringan ini

tidaklah bisa disederhanakan sekadar sebagai bentuk jealousy. Ada banyak latar

belakang yang lebih substantif mengapa JIMM muncul. Setidaknya, alasan-alasan

tersebut bisa dikelompokkan seperti yang tersebut di bawah ini:

Pertama, JIMM hadir untuk mengawal tradisi tajdid (pembaruan) di Muhammadiyah

yang belakangan cenderung meredup, bahkan mengarah kepada konservatifisme dan

fundamentalisme. Berbagai kritik terhadap Muhammadiyah sudah sering dilontarkan

berbagai pengamat kepada organisasi yang berdiri tahun 1912 ini. Gerakan yang dulu

sarat dengan idea of progress ini sering kehilangan aura kemajuannya menjelang

1 Deliar Noer menulis “Sebagian kalangan Muhammadiyah memang bagaikan iri dengan NU yang

bagai menguak dari kebekuan mazhab dengan menambah pemikiran-pemikiran baru, termasuk dalam

agama.” Lihat Deliar Noer, “’Second’ Muhammadiyah (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah),”

dalam Republika, Senin, 8 Desember 2003.

Page 4: JIMM

4

umurnya yang seabad. Muhammadiyah, kata Moeslim Abdurrahman, terlelap terlalu

lama. Sebagian kadernya terserap dalam orientasi struktural yang berdimensi

kekuasaan, sebagian lain terjebak pada dimensi doktrinal yang skripturalis. Moeslim

juga mengatakan, “…(Muhammadiyah) lama sekali tenggelam di dalam rasa

kebenaran: bahwa Islamnya lebih murni, ortodoks dan asli. Oleh karena kultur

Muhammadiyah adalah ortodoks maka intellectual exercise itu menjadi tertutup.”2

Sebagai organisasi, Muhammadiyah juga sering dikatakan bagai “gajah kegemukan”

yang lamban atau sulit bergerak. Muhammadiyah terjebak pada hal-hal yang bersifat

ritualistik, formalistik, dan strukturalistik. Meminjam penjelasan Zuly Qodir, salah

seorang presidium JIMM, “Kaum konservatif telah menjadikan Muhammadiyah

sebagai organisasi kader yang kegemukan, namun tidak progresif dalam menangkap

tanda-tanda zaman. Muhammadiyah konservatif telah terjebak dalam aktivitas amal

usaha praktis yang menjadi semacam ritual dalam Muhammadiyah.”3 Kehadiran

JIMM adalah mencoba melakukan kritik-kritik internal dan membongkar ketiga

penjara tersebut (ritualisme, formalisme dan strukturalisme) dengan gagasan dan

aktivitas yang progresif dan liberatif. “Karena itu, saya kira lahirnya JIMM karena

dari suatu keprihatinan,” ungkap Zakiyuddin Baidhawy, presidium JIMM Jawa

Tengah.4 Fuad Fanani juga menyatakan, “Kalau kita memiliki Muhammadiyah, itu

berarti kita hanya bangga dengan Muhammadiyah saja. Tapi kalau kita ingin menjadi

Muhammadiyah, kita harus melakukan kritik terus-menerus terhadap Muhammadiyah

dan terhadap Islam itu sendiri.”5

Alasan pertama ini lebih bersifat internal, mengoreksi organisasi Muhammadiyah

sendiri. Jadi, meski secara umum gerakan JIMM ditujukan kepada umat Islam, namun

secara khusus, wilayah yang menjadi garapan JIMM adalah Muhammadiyah. Karena

itulah maka aktivis-aktivis JIMM tidak mendeklarasikan diri mereka sebagai

kelompok yang memisahkan diri dari Muhammadiyah, tapi tetap berkiprah dalam

lingkaran organisasi modernis ini.

Kedua, JIMM lahir untuk mengisi kesenjangan intelektual antar-generasi di

Muhammadiyah. Alasan ini lebih berfungsi sebagai kaderisasi intelektual. Belakangan

ini kader-kader Muhamadiyah yang mendalami bidang dirasah Islamiyah (Islamic

Studies) banyak yang merupakan lulusan pendidikan dari Timur-Tengah. Mereka

lantas aktif berkiprah di majelis-majelis dan lembaga-lembaga pendidikan milik

persyarikatan ini. Karena, itu warna keagamaan yang lantas cukup menonjol di

Muhammadiyah adalah warna Islam Arab. JIMM mencoba untuk mendorong dan

memfasilitasi anak-anak muda Muhammadiyah untuk menjadi intelektual-intelektual

besar dengan tidak semata menjadikan Arabia sebagai kiblat.

Dalam lapis angkatan tua, ahli-ahli Islam di Muhammadiyah yang bisa memadukan

antara pendidikan Barat dan Timur Tengah, memadukan antara ilmu-ilmu keislaman

dan teori-teori atau metode pembacaan Islam dari Barat, diantaranya adalah M Amien

Rais, A Syafii Maarif, M Din Syamsuddin, dan M Amin Abdullah. Setelah angkatan

2 Lihat “Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21

November 2003. 3 Zuly Qodir, “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah” dalam Kompas, Kamis, 20 November 2003

4 “Kelahirannya Tanpa Deklarasi,” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003.

5 “Laisa Minna: Liberalisme, Pluralisme, Inklusivisme,” dalam Tabligh Vol. 02/ No. 09/ April 2004 –

Shafar 1425, h.13.

Page 5: JIMM

5

mereka seperti terdapat kekosongan intelektual di lapis berikutnya. Inilah yang

melahirkan kegelisahan-kegelisahan bagi sebagian orang tua di Muhammadiyah.

Alasan ini pulalah yang membuat JIMM perlu dilahirkan. “JIMM lahir karena Pak

Syafii Maarif menjadi ketua Muhammadiyah,” demikian figur sentral JIMM,

Moeslim Abdurrahman, mencoba menyederhanakan alasan pendirian gerakan ini.

Syafii Maarif, kata Moeslim, memang sangat menghendaki agar Muhammadiyah

menjadi rumah intelektual. Dengan cara itu maka dunia intelektual Muhammadiyah

menjadi bisa bersaing dengan NU, Kristen dan Katolik.6

Di dalam JIMM, kader-kader Muhammadiyah mendapat didikan tentang berbagai

teori sosial kritis, metode ilmu pengetahuan, dan pendekatan-pendekatan keagamaan

dengan perspektif baru. Bahkan, kini banyak dari mereka yang telah diterima atau

belajar di berbagai universitas ternama di Eropa, Australia dan Amerika. Untuk

menyebut beberapa nama, mereka adalah Hilman Latief (Arizona State University),

Nur Hidayah (Durham University) dan Boy Pradana (Australian National University).

“Setelah melihat JIMM, hilang keraguan saya terhadap masa depan Muhammadiyah.

Selama ini kita galau,”7 demikian diungkapkan Said Tuhuleley, salah seorang sesepuh

di Muhammadiyah.

Ketiga, JIMM juga lahir sebagai respon terhadap tantangan dan tuduhan dari dunia

luar Muhammadiyah. Tantangan itu bisa berupa pemikiran, tanggung-jawab, dan juga

hal lainnya. Anak-anak muda Muhammadiyah kadang menganggap bahwa generasi

tua di negeri ini terlalu sibuk dengan urusan ibadah formal dan kurang memberikan

respon terhadap berbagai tuntutan zaman. “Kaum konservatif (di Muhammadiyah)

lebih mencerminkan dirinya sebagai mazhab Islam murni, sementara mazhab

progresif-liberal berada pada Islam kultural atau non-Islam murni. Islam murni

memang terkesan lebih rigid dengan ibadah karena didominasi dengan paham fikih,

sementara mazhab progresif-liberal tidak rigid dengan fikih,” demikian ditulis oleh

Zuly Qodir.8 Lebih dari itu, persoalan-persoalan seperti kesetaraan jender, pluralisme

agama, HAM, demokrasi dan neoliberalisme kurang mendapat sentuhan dari generasi

tua. “Sementara kaum konservatif biasanya lebih memilih tema ibadah ritual (ibadah

khusus) yang lebih berorientasi praksis dan amalan sehari-hari,” lanjut Zuly.9

Di tubuh Muhammadiyah sendiri, kehadiran JIMM tidak selalu mendapat respon

positif. Beberapa sesepuh organisasi ini bahkan mencurigai keberadaan JIMM sebagai

kepanjangan dari gerakan liberalisme di Indonesia. Yunahar Ilyas, mantan Ketua

Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) yang kini menjadi salah satu ketua PP

Muhammadiyah, menyebutkan bahwa JIMM telah melanggar aturan organisasi

Muhammadiyah. JIMM juga dianggapnya sebagai agen Barat untuk menghegemoni

umat Islam dengan menyebarkan isu-isu Barat.10

Sebagaimana alasan pendirian JIMM, orang-orang yang menyambut dengan gembira

kelahiran JIMM mengatakan bahwa JIMM merupakan jawaban dari kritik yang

selama ini muncul terhadap eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan modernis dan

6 “Kelahirannya Tanpa Deklarasi,” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21 November 2003.

7 “Intelektualitas untuk Praksis” dalam Republika, Jumat 21 November 2003.

8 “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah” dalam Kompas, Kamis, 20 November 2003

9 “Bangkitnya ‘Second’ Muhammadiyah” dalam Kompas, Kamis, 20 November 2003

10 Lihat Pradana Boy ZTF, “JIMM: Sebuah ‘Teks’ Multitafsir” dalam Republika, Sabtu, 24 Maret

2004.

Page 6: JIMM

6

pembaharu. Kelahiran ini juga menjadi jawaban terhadap kekhawatiran tentang

adanya kesenjangan generasi intelektual di Muhammadiyah. “Hiburan tersendiri

mendengar JIMM. Ternyata potensi kita luar biasa. Hanya saja selama ini belum

manifes,” ungkap Syafii Maarif dengan bangga.11

Melihat Model dan Metode JIMM dalam Berwacana Sebuah gerakan umumnya akan mudah diakui eksistensinya bila ia memiliki concern

aktivitas yang berbeda dari gerakan lain, ia memiliki ciri khas tertentu. Pertanyaannya

kemudian adalah gerakan model apakah JIMM itu? apa isu-isu dan tema-tema yang

diusung dan menjadi kepeduliannya? Bagaimana ia memenuhi misi-misi tersebut?

Dengan melihat hal-hal tersebut, maka “jenis kelamin” dan model dari gerakan JIMM

akan terbaca.

Sejak awal pendiriannya, JIMM memancangkan tiga pilar untuk gerakannya, yaitu:

hermeneutika, teori sosial, dan new social movement. Tiga pilar yang dirumuskan oleh

mentor JIMM, Moeslim Abdurrahman, ini merupakan piranti atau strategi untuk

membumikan maksud-maksud keberadaannya. Tiga pilar ini juga menjadi tumpuan

paradigma gerakan sehingga ada goal yang jelas dan terarah.

Penggunaan hermeneutika dalam gerakan ini adalah dimaksudkan untuk mendobrak

pendekatan dan pemahaman struktural yang dominan di Muhammadiyah. Dengan

hermeneutika ini maka, seperti dikemukakan oleh Pradana Boy, akan terjadi

reproduction of new meanings terhadap konsep-konsep kunci yang selama ini

tertanam kuat dalam tubuh Muhammadiyah.12

Metode ini akan membebaskan

pembacaan Al-Qur’an secara skriptural atau tekstualis menuju pembacaan yang lebih

kontekstual dan operatif. Pendeknya, hermeneutika dipilih dengan alasan bahwa

metode ini bisa dipakai sebagai tool of analysis dari berbagai persoalan

kemuhammadiyahan, tidak menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber klaim kebenaran,

tapi sebagai sumber refleksi untuk memaknai zaman baru. Dengan cara ini, maka

watak-watak emansipatoris dan transformatif Al-Qur’an menjadi lebih menonjol.

Konsep pembebasan terhadap mustadl’afin yang menjadi raison dêtre

Muhammadiyah, misalnya, akan bermakna semata-mata sebagai pendistribusian zakat

secara karikatif kepada 8 (delapan) asnaf (kelompok orang yang berhak menerima

zakat) jika tidak diberi makna baru melalui pendekatan hermeneutika. Padahal konsep

fakir-miskin dalam dunia yang mondial dan modern ini mencakup juga orang-orang

yang termarjinalkan akibat modernisasi dan globalisasi, seperti para buruh, tani dan

nelayan. Selain itu, distribusi zakat pun tidak bisa semata mengandalkan strategi

charity dan services, tapi juga harus dengan konsep filantropi yang bisa mengelola

zakat tidak berfungsi semata konsumtif atau jangka pendek, tapi revolving, produktif,

berkembang, berfungsi maksimal dan membantu sebanyak-banyaknya masyarakat.

Teologi Al-Maun yang dikembangkan oleh KH Ahmad Dahlan itu akan dekat dengan

praksis sosial bila dibaca kembali dengan pendekatan hermeneutika.

Teori-teori sosial kritis digunakan sebagai peralatan intelektual Islam. Kader-kader

Muhammadiyah bisa memanfaatkan kerangka teoretik Antonio Gramsci untuk

menolak hegemoni, Paulo Freire yang menekankan upaya-upaya penyadaran kaum

11

“Intelektualitas untuk Praksis” dalam Republika, Jumat 21 November 2003. 12

Pradana Boy ZTF, “Intelektual sebagai Agen Perubahan (Respons atas Artikel Deliar Noer)” dalam

Republika, Selasa, 16 Desember 2003.

Page 7: JIMM

7

tertindas, dan juga menggunakan teologi pembebasan untuk memberdayakan

kelompok-kelompok marjinal.13

Teori-teori seperti inilah yang dipakai oleh

cendekiwan-cendekiawan Muslim seperti Fazlur Rahman, Mohammed Arkoun,

Hassan Hanafi, Ali Syariati, Abid Al-Jabiri, Mohamad Shahrur, dan Abdulkarim

Soroush. Dengan pendekatan-pendekatan tersebut maka teologi Islam diharapkan bisa

berhadapan dengan berbagai persoalan zaman kontemporer.

Meminjam bahasa Moeslim Abdurrahman, dengan memanfaatkan berbagai teori

sosial kritis itu maka ulama dan intelektual bukan hanya berfungsi sebagai mediator,

tapi sebagai artikulator bagi transformasi sosial. Dengan cara itu maka teologi tidak

hadir dalam ruang hampa, tapi betul-betul bisa menjawab persoalan umat; teologi

tidak semata-mata menjadi ilmu yang membahas ketuhanan yang sama sekali tak

dibutuhkan manusia, tapi bisa menjelaskan Tuhan sebagai kekuatan yang memang tak

bisa ditinggalkan oleh kehidupan insan.14

Sebagai misal dari integrasi antara teologi dan ilmu sosial kritis, seperti diutarakan

oleh Moeslim Abdurrahman, adalah dalam menghadapi culture of silence, ketika

orang-orang miskin tidak sadar akan ketertindasannya, bahkan malah menikmatinya.

Kemiskinan yang terjadi masa kini seringkali dianggap bukan karena semata-mata

orang miskin itu betul-betul miskin, tapi terjadi apa yang disebut dengan upaya-upaya

pemiskinan struktural. Kemiskinan yang terjadi karena sistem ini kadang tidak hanya

mengena pada persoalan materi, tapi juga ruhani atau mental manusia. Nah, dengan

mengintegrasikan teologi dengan teori sosial kritis maka persoalan seperti ini akan

dapat disadari.

Konsep the new social movement adalah menjadikan teologi bukan semata-mata

sebagai disiplin ilmu, tapi menjadikannya sebagai suatu gerakan. “Sehingga teologi

ini merupakan kerja pedagogis kemanusiaan,” kata Moeslim.15

Seluruh elemen yang

terpinggirkan dalam masyarakat, seperti buruh, perempuan, anak jalanan dan kaum

marjinal lain, digerakkan oleh teologi untuk bersatu melakukan perubahan bersama.

Dalam memahami konsep the new social movement ini, menurut Moeslim, anak-anak

JIMM diwajibkan untuk mengaji globalisasi. Empat hal yang harus dipelajari dalam

hal ini, yaitu: capital on the move, media on the move, people on the move, dan

gagasan-gagasan revolusioner. Dengan cara ini, maka ada keharusan bagi anak-anak

Muhammadiyah untuk menjadi imajinatif dan kreatif.16

Dalam mengkampanyekan dan menyebarluaskan (disseminate) gagasan-gagasannya,

para aktivis JIMM mempergunakan beberapa media, seperti: koran, majalah, mailing

list, dan penerbitan buku. Di samping itu, JIMM juga menggelar beberapa training,

seminar, diskusi, workshop dan penelitian ilmiah. Dalam lingkaran internal

Muhammadiyah, anak-anak JIMM menjalin komunikasi dan kerjasama dengan

13

Untuk Teologi Pembebasan bisa dibaca dalam Fr. Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan:

Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya, (Yogyakarta: LKiS, 2000). 14

“Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21

November 2003. 15

“Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21

November 2003. 16

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah: Sebuah Pengantar,”

dalam Pradana Boy ZTF dan M Hilmi Faiq, Kembali ke Al Qur’an, Menafsir Makna Zaman: Suara-

suara Kaum Muda Muhammadiyah, (Malang: UMM Press, 2004), h. xii.

Page 8: JIMM

8

ortom-ortom (organisasi otonom), universitas-universitas Muhammadiyah, Pimpinan

Pusat (PP), Pimpinan Wilayah (PW), Pimpinan Daerah (PD), PC (Pimpinan Cabang)

dan juga majelis-majelis serta lembaga-lembaga di Muhammadiyah. Dengan

masyarakat di luar Muhammadiyah, anak-anak JIMM membuka tangan lebar-lebar

untuk bekerjasama dan diskusi dengan berbagai NGO (Non-Government

Organisation) dan CSO (Civil Society Organisation). Bahkan, JIMM tidak canggung-

canggung untuk menggandeng kelompok-kelompok dari agama non-Islam untuk

berdiskusi dan bergaul.

Dilihat dari habitat asalnya, para aktivis JIMM itu merupakan anak-anak yang

memiliki kesibukan dan minat yang beragam. Beberapa dari mereka adalah aktivis

murni, sebagian yang lain merupakan penulis-penulis prolifik, ada lagi yang

berprofesi sebagai peneliti dan pengajar. Beberapa aktivis bahkan mengintegrasikan

beberapa keahlian tersebut. Kemampuan yang beragam ini merupakan salah satu

kekuatan yang dimiliki oleh JIMM.

Banyaknya penulis muda di tubuh JIMM membuat masyarakat dikejutkan oleh

ramainya artikel di media massa yang ditulis oleh anak-anak dengan identitas sebagai

“aktivis JIMM” tak lama setelah jaringan ini didirikan. Dalam rentang waktu setahun

(November 2003 – November 2004), misalnya, puluhan artikel dan advokasi media

telah diterbitkan oleh para aktivis JIMM di berbagai harian nasional, seperti Kompas,

Republika, Media Indonesia, Indo Pos, Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Merdeka,

Sinar Harapan, Jakarta Post dan Suara Pembaruan. Sekedar menyebut sedikit nama,

para penulis muda itu adalah Zuly Qodir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy,

Ahmad Fuad Fanani, Alpha Amirrachman, Said Ramadhan, Zulfan Barron, Zainal

Muttaqin, Imam Subkhan, Andar Nubowo, David Krisna Alka, Fajar Z Haq, Isngadi

Marwah Atmadja, Imam Cahyono, Kokabudin Uheb, M Hilaly Basya, Ilham

Mundzir, Hery Sucipto, Abd Rohim Ghazali, Sri Rahayu, Tuti Alawiyah, Chairul

Mahfud, Happy Susanto, dan Piet H Khaidir.

Tema tulisan yang diangkat oleh anak-anak JIMM juga sangat beragam, tidak melulu

persoalan agama. Tulisan Said Ramadhan, contohnya, hampir selalu mengangkat isu

yang berkaitan dengan masalah komunikasi. David Krisna Alka memilih isu yang

berhubungan dengan dunia sastra. Fajar Z Haq menyukai tema-tema poskolonialisme.

Kehadiran JIMM di pentas nasional dan opini-opini mereka yang ikut memberi warna

sendiri pada wacana nasional membuat tokoh sekaliber Kuntowijoyo dan Deliar Noer

tergerak untuk menulis artikel menanggapi fenomena ini. Dalam tulisannya yang

berjudul “’Second’ Muhammadiyah (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah)”17

tersebut Noer, pertama, mempersoalkan penggunaan nama ‘intelektual’ (Jaringan

Intelektual) untuk menyebut diri sendiri dan, kedua, menuntut peran-peran tertentu

untuk bisa diemban oleh JIMM, diantaranya peran politik. Tulisan Noer ini sekilas

seperti mengharapkan agar JIMM bisa membantu merealisasikan cita-cita yang

memang selama ini menjadi concern dari Noer, seperti menyatukan partai-partai

Islam.

Dua tulisan Kuntowijo di Republika yang berjudul “Agama sebagai Konsep Kognitif”

lebih merupakan “wasiat” orang tua kepada anaknya agar si anak tidak terkena gejala

17

Republika, Senin, 8 Desember 2003.

Page 9: JIMM

9

“sawan kekanak-kanakan”.18

Kunto merasa senang dengan sikap anak-anak muda

Muhammadiyah yang mencoba menggunakan berbagai teori Barat untuk membaca

agama, namun ia berpesan agar anak-anak itu jangan sampai kehilangan identitas

keislamannya. Ia juga mengingatkan agar mereka tidak bersikap “sok” (sok liberal,

sok radikal, sok kiri, sok kanan, dan sejenisnya). Hampir sama dengan Noer, Kunto

juga terjebak untuk “merayu” agar anak-anak yang sedang bangkit itu bisa membantu

memenuhi idealismenya dalam kaitan dengan Muhammadiyah. Kunto, misalnya,

mengatakan, “Dan bagaimana kalau JIMM melangkah lebih jauh dari bapak-ibunya

dalam dakwah amar ma’ruf nahi munkar dengan menggagas Jamaah Sakinah.”19

Kunto juga mengharapkan agar anak-anak JIMM tetap menjadikan Islam pada posisi

sentral dalam segala hal; ekonomi, budaya, politik dan sebagainya.

Selain menyebarkan wacana dalam bentuk artikel bebas di media massa, JIMM juga

mempublikasikan gagasan-gagasannya dalam bentuk buku. Diantara buku-buku yang

telah diluncurkan JIMM adalah Muhammadiyah sebagai Tenda Kultural (Maarif

Institut, 2003) dan Kembali ke Al Qur’an, Menafsir Makna Zaman (UMM Press,

2004). Dua buku bunga rampai ini cukup bisa dipakai untuk membaca ide-ide awal

dan mimpi-mimpi para aktivis JIMM tentang Muhammadiyah. Gagasan besar yang

dikandung kedua buku itu adalah semacam pemberontakan dan gugatan terhadap

Muhammadiyah. Buku pertama mengkritisi tentang karakter Muhammadiyah yang,

misalnya, bergeser ke arah dogmatis, terlalu formal, dan terbelenggu oleh paradigma

lama tentang perempuan. Buku kedua merupakan ide-ide untuk membawa

Muhammadiyah menjadi sebuah new social movement. Dimulai dengan gugatan

hermeneutis, pembacaan dengan ilmu sosial kritis, dan dilanjutkan dengan catatan-

catatan tentang gerakan sosial baru.

Selain kedua buku yang merupakan kumpulan tulisan tersebut, banyak aktivis JIMM

yang menerbitkan gagasan-gagasannya dalam bentuk buku utuh. Ahmad Fuad Fanani,

sebagai misal, mempublikasikan Islam Mazhab Kritis: Menggagas Keberagamaan

Liberatif (Kompas, 2004), Pradana Boy ZTF menulis Islam Dialektis: Membendung

Dogmatisme, Menuju Liberalisme (UMM Press, 2005). Moeslim Abdurraman sendiri

sebagai panutan menerbitkan buku yang menjadi “guidance” bagi gerak sosial JIMM,

yaitu Islam sebagai Kritik Sosial (Airlangga, 2003) dan Islam yang Memihak (LKiS,

2005).

Agresifitas aktivis JIMM dalam dunia publikasi, terutama di media massa, sempat

memunculkan slenthingan kritik, yang kadang bernada cynical, di masyarakat dengan

mempersoalkan peran dan eksistensi JIMM, seperti, “Apakah intelektualitas JIMM

hanya diukur dengan publikasi artikel di media massa?” Kritik ini barangkali ada

benarnya bila melihat penampilan luar dari kehadiran JIMM, yaitu munculnya opini-

opini di media massa yang ditulis oleh aktivis-aktivis JIMM. Hal ini sebetulnya juga

telah disadari oleh anak-anak JIMM dan juga mentornya, Moeslim Abdurrahman.

Bahkan, Moeslim sempat mengatakan, “Kita harus menjadi intelektual yang memiliki

kepekaan praksis dan bukan intelektual yang berbentuk imajinatif dan berbahasa

onanik. Banyak diantara kesadaran-kesadaran intelektual itu yang akhirnya bermuara

pada profesi menulis. Seolah-olah sejarah berubah hanya karena sudah menulis

artikel.”20

Moeslim juga menyebutkan, “… Kawan-kawan muda JIMM ini menjadi

18

Republika, Senin dan Selasa , 8 dan 9 Desember 2003. 19

Republika, Senin dan Selasa , 8 dan 9 Desember 2003. 20

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xiv.

Page 10: JIMM

10

terbebani untuk mengilustrasikan fenomena sosial ke dalam bentuk artikel. Padahal

artikulasi intelektual, tidak hanya bisa dilakukan melalui artikel.”21

Lebih lanjut, Moeslim mengarahkan agar anak-anak JIMM juga mengartikulasikan

refleksi intelektual dan melakukan advokasi melalui piranti lain, seperti, video,

fotografi, radio komunitas, dan multimedia. Media-media visual dan audio visual bisa

melengkapi kekurangan artikulasi tulisan dalam membuka kesadaran masyarakat.

Kesadaran akan pentingnya menggunakan tidak hanya satu tool dalam

mengartikulasikan intelektualitas itulah yang menyebabkan JIMM juga melakukan

advokasi dan penyadaran melalui training, seminar, diskusi dan workshop. Beragam

tema telah diangkat, seperti, masalah jender, tafsir Al Qur’an, radikalisme, globalisasi,

dan sebagainya. Diantara tokoh-tokoh internasional yang pernah dihadirkan untuk

berbagi ilmu adalah Asma Barlas, Nashr Hamed Abu Zayd, dan Abdulazis Sachedina.

JIMM juga melakukan kerja bareng dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)

seperti JIL (Jaringan Islam Liberal), ICIP (International Centre for Islam and

Pluralism), Labda Shalahuddin UGM (Universitas Gajah Mada), dan RIDEP. Dalam

mewujudkan misinya, bahkan, JIMM tidak menolak untuk bergaul dengan Harian

Kompas dan Suara Pembaruan.

Di dalam Muhammadiyah sendiri, anak-anak JIMM tetap melibatkan diri dalam

beberapa ortom, pimpinan Muhammadiyah, universitas Muhammadiyah, dan juga

majelis serta lembaga Muhammadiyah. Upaya-upaya kerjasaa yang dibangun JIMM

dengan Muhammadiyah ini dilakukan karena memang sasaran utama dari gerak

jaringan ini adalah organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia ini.

Antara JIMM dan JIL: Isu-isu yang Menyamakan dan Membedakan Beberapa suara sumbang yang sempat muncul seputar keberadaan JIMM diantaranya

menyebutkan bahwa JIMM adalah kepanjangan tangan JIL yang hendak

menyebarkan virus-virus liberalisme di Muhammadiyah.22

Kesamaan dua huruf depan

dari JIMM dan JIL lantas, kadang, digunakan untuk melihat kesamaan antara

keduanya. Meski tak ada kata-kata “liberal” dalam kepanjangan JIMM, namun

anggapan bahwa jaringan ini sebagai bagian dari liberalise tetap saja muncul.

Persinggungan tema yang diangkat dan pergaulan beberapa aktivis dari kedua

jaringan itu membuat keduanya disebut memiliki rumpun yang sejenis.

Namun demikian, menurut para aktivis JIMM dan Moeslim Abdurrahman sebagai

mentor JIMM, ada perbedaan-perbedaan mendasar antara kedua jaringan ini.

“Saya ingin menyatakan bahwa nanti yang membedakan JIMM dengan

gerakan ‘Islam Liberal’ adalah manakala anak-anak muda ini menggunakan

ilmu sosial dan juga mempelajari gerakan sosial, maka saya harapkan mereka

memiliki corak yang lebih transformatif. Jadi tidak hanya liberal dalam arti

kebebasan berfikir, tapi liberalisme yang libratif – dalam arti diikuti dengan

21

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xiii. 22

Majalah Tabligh yang diterbitkan oleh Majlis Tabligh dan Dakwah Khusus (MTDK) PP

Muhammadiyah bahkan mengangkat tema besar “Virus Liberal di Muhammadiyah” pada Vol. 02/No.

08/ Maret 2004 – Muharram 1425.

Page 11: JIMM

11

komitmen intelektual yang mengarah pada perubahan dan bagaimana

melakukan perubahan itu,” demikian jelas Moeslim Abdurrahman.23

Jadi, kritisisme dan liberalisme dalam JIMM bukanlah tujuan akhir dan gerakan, tapi

hanya menjadi perantara. Tujuan utama dari jarigan ini adalah untuk praksis,

melakukan pendampingan sosial, committed dalam melakukan pembelaan, bergabung

dengan masyarakat akar rumput dan giat dalam penyadaran sosial. Teologi liberal

dibutuhkan untuk proses sosial. Karena itulah, maka sumber inspirasi dan konsep

yang dipegang oleh JIMM tetaplah sumber inspirasi dan konsep Muhammadiyah,

yaitu Al-Maun, pembebasan kaum tertindas.

Masalah-masalah umat yang hendak dijawab oleh JIMM, misalnya, adalah,

“bagaimana memperjuangkan distribusi sosial ketika neo-liberalisme begitu

menggurita dan diyakini sebagai the end of history?” “Bagaimana melawan hegemoni

yag semakin menjadi-jadi ?” “Bagaimana membebaskan manusia dari penderitaan

yang semakin luas dan dalam?” “Bagaimana kita harus menghadapi penindasan

struktur kapitalisme nasional dan global yang tidak adil?”

Tema yang diangkat dalam workshop JIMM yang diadakan di Yogyakarta tanggal 5-7

November 2004 adalah “Memahami the New Mustadz’afin,” tentang keperpihakan

umat kepada mereka yang disebut sebagai the new mustadz’afin. Modernisasi telah

melahirkan hanya segelintir orang yang hidup berkecukupan, sementara mayoritas

manusia hidup dalam kesusahan. Isu-isu sosial seperti pekerja seks komersial, anak

jalanan, dan pekerja anak-anak, adalah pekerjaan-pekerjaan yang hendak digarap oleh

JIMM. “Kelas-kelas marjinal ini yang sudah semestinya menjadi bagian bidikan

perjuangan. Sehingga kemudian tauhid diarahkan pada paradigma tauhid sosial,”

tukas Zuly Qodir.24

“Orang Muhammadiyah itu habitatnya, praksisnya terkait dengan

gerakan sosial bagaimana membangun kesadaran kolektif,” tutur Moeslim.25

Dengan nada sedikit bercanda, Moeslim Abdurrahman membuat statemen yang

mencoba menjelaskan perbedaan antara JIMM dan JIL. Katanya, “Islam liberal itu tak

memperjuangkan Allah, tidak memperjuangkan orang miskin. Kita ingin

memperjuangkan orang miskin atas nama Allah.”26

Ketika Tadarus Pemikiran Islam

yang diselenggarakan oleh JIMM di Malang, 18-20 November 2003, mengangkat

tema “Kembali ke Al-Qur’an, Menafsir Makna Zaman,” maka pilihan tema ini bukan

terjadi arbitrary (secara tak sengaja). Tema itu ingin menunjukkan bahwa JIMM tetap

menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utama, ingin tetap al-ruju ila al-Qur’an wa as-

Sunnah (kembali ke Al-Qur’an dan Sunnah), sebagaimana semboyan

Muhammadiyah.

Menengok Para Pendukung dan Penentang JIMM Seperti umumnya sebuah gagasan, ide atau pandangan, tentu ada yang setuju dan

mendukung dan ada juga yang berusaha melawan dan menentang. JIMM dan isu-isu

yang diangkatnya pun menuai pujian dan sekaligus kecaman. Barangkali karena

sasaran gerakan JIMM adalah Muhammadiyah, maka penentangnya pun datang

23

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xv. 24

“Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004. 25

“Dr Moeslim Abdurrahman MSc: Tiga Pilar JIMM” dalam Dialog Jumat Republika, Jumat 21

November 2003. 26

“Intelektualitas untuk Praksis,” dalam Republika, Jumat, 21 November 2003.

Page 12: JIMM

12

terutama dari dalam organisasi ini sendiri. Serangan terhadap jaringan anak-anak

muda ini tidak semata dtujukan kepada ide-ide yang diusungnya, tapi juga terhadap

eksistensinya yang memakai nama Muhammadiyah.

Salah seorang ketua Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, yang pada periode

kepemimpinan A Syafii Maarif menjadi ketua MTDK (Majelis Tabligh dan Dakwah

Khusus), menilai bahwa keberadaan JIMM itu telah menyalahi aturan organisasi

Muhammadiyah. Menurutnya, sebuah lembaga baru bisa memakai nama

Muhammadiyah setelah ditanwirkan atau dibahas dan disetujui dalam muktamar.27

Dari segi gagasan, JIMM dianggap berusaha melibas sendi-sendi keagamaan

Muhammadiyah. “Mereka yang ingin berkreasi dalam pemikiran dan ingin menjadi

orang maju, boleh-boleh saja. Tapi, janganlah diganggu akidah tauhid umat ini,

jangan dirusak rumah kita Muhammadiyah ini, dan jangan dipersulit umat dakwah ini

dengan pikiran-pikiran yang membingungkan,” kata Goodwill Zubir, Sekretaris PP

Muhammadiyah.

Secara lebih gamblang, Fakhrurazi Reno Sutan dalam laporan utamanya untuk

Tabligh mengatakan bahwa pikiran-pikiran liberalis yang diusung oleh JIMM ini akan

membahayakan Muhammadiyah; memecah-belah jamaah, merusak persatuan dan

menghancurkan identitas Muhammadiyah. “Dengan kata lain, paham liberalis saat ini

bagaikan virus yang mulai menggerogoti tubuh Muhammadiyah,” tulis Sutan.28

Arief

Chalid AR. Sutan Mansur, cucu Ketua Umum PP Muhammadiyah 1953-1959,

menganggap pikiran-pikiran yang dibawa JIMM telah melenceng dari paham-paham

keislaan dan kemuhammadiyah yang diyakini oleh para founding fathers gerakan ini.

JIMM, baginya, bukanlah penerus ajaran-ajaran yang dibawa oleh Ahmad Dahlan,

AR Sutan Mansur, Buya Hamka, AR Fachrudin, Buya Malik Ahmad, Ahmad Azhar

Basyid, dan sebagainya.29

Bahkan, MTDK PP Muhammadiyah yang merasa terpanggil untuk “mengawal dan

mengamankan Islam dari virus liberal,” mengglar seminar nasional bertema

“Pemikiran Islam Muhammadiyah: Respon Terhadap Fenomena Liberalisme Islam”

dan menerbitkan beberapa edisi Majalah Tabligh yang berisi penyerangan terhadap

kelompok JIMM. Dalam edisi yang berjudul “Laisa Minna: Liberalisme, Pluralisme,

Inklusivisme,” Majalah Tabligh menfatwakan bahwa anak-anak JIMM yang

menyebarkan paham liberalisme, pluralisme dan inklusivisme, bukan lagi bagian dari

keluarga besar Muhammadiyah, “maka tidak ada kata yang tepat untuk mereka, selain

‘Laisa Minna’ (bukan golongan kami).”30

Ahmad Adaby Darban menyebut anak-anak JIMM sebagai orang-orang pragmatis

dan beridealisme uang. “Bahkan karena duit, mereka berani membongkar hal-hal

yang sudah baku bahkan mendekonstruksi Al-Qur’an. Cirinya, mereka kagum pada

Barat dan orientalis tapi mempersoalkan Al-Qur’an,” kata Darban seperti dilaporkan

27

“Virus Liberal di Muhammadiyah,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425,

h. 13. 28

“Virus Liberal di Muhammadiyah,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425,

h. 15. 29

Arief Chalid AR Sutan Mansur, “Menyoal JIMM,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 –

Muharram 1425, h. 17. 30

Tabligh Vol. 02/ No. 09/ April 2004 – Shafar 1425.

Page 13: JIMM

13

Hidayatullah.com.31

Sedangkan Choirul Hisyam, yang menyebut identitas dirinya

sebagai mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Sidoarjo, menuliskan bahwa anak-

anak JIMM itu phobia terhadap syariat Islam. “Jika dalam Muktamar NU ke-31 di

Boyolali saja NU secara tegas menolak Jaringan Islam Liberal ‘hinggap’ di tubuhnya,

mengapa Muhammadiyah tidak?” katanya.32

Tokoh Muhammadiyah yang berusaha mengkritisi isi dari gagasan yang diusung

JIMM, diantaranya, adalah Musthafa Kamal Pasha. Menurutnya, induk dari persoalan

yang menyusahkan umat Islam saat ini adalah adanya paham liberal. Pasha menyebut

gagasan liberalisme itu tak ubahnya seperti racun.33

Ia juga menyayangkan sikap

Amin Abdullah dan Munir Mulkhan yang memberikan dukungan terhadap gagasan

dan paham yang dianggapnya merusak Islam. Lebih lanjut Pasha menjelaskan bahwa

berbagai paradigma berpikir yang dipakai oleh JIMM, seperti metode hermeneutika,

itu tak pas bila dipakai untuk membaca Al-Qur’an. “Hermeneutika itu cocoknya

diterapkan untuk Injil yang sekarang ini sudah bkan Kalamullah. Al-Qur’an itu sudah

ada tafsirnya. Kalau masih kurang, diperlukan ta’wil yang masih bersandar kepada

tafsir ayat-ayat Al-Qur’an. Jadi, hermeneutika itu tidak cocok diterapkan kepada Al-

Qur’an,” jelas Kamal Pasha.

Dari berbagai kritik yang dilontarkan terhadap JIMM, terlihat bahwa ada penyamaan

antara gerakan JIMM dan JIL. JIMM sering disebut-sebut tak ubahnya sebagai

kepanjangan tangan JIL untuk wilayah Muhammadiyah.34

Resistensi terhadap JIMM

ini juga melebar kepada orang-orang di Muhammadiyah yang sering melakukan

pembelaan terhadap JIMM, seperti Ahmad Syafii Maarif, Moeslim Abdurrahman,

Amin Abdullah, Abdul Munir Mulkhan, Dawam Rahardjo, M Yunan Yusuf dan juga

lembaga-lembaga yang memiliki kedekatan pemikiran dengan JIMM, seperti Pusat

Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah (PSAP-M) dan Ma’arif Institut.35

Para

pengritik liberalisme di Muhammadiyah meyakini bahwa kelompok yang mendukung

pandangan-pandangan seperti yang dikampanyekan JIMM ini jumlahnya sangat kecil,

mereka adalah minoritas. “Islam liberal di Muhammadiyah itu belum menjadi gejala

yang kuat. Mereka hanya segelintir orang, tapi mereka di-blow up oleh media massa.

Mereka belum merupakan arus besar di Muhammadiyah,” jelas Yunahar Ilyas.36

Perjalanan JIMM Menuju Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang

31

“Syafii Maarif Larang ‘Hukum’ Annak Muda Muhammadiyah,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2046&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 32

“’Pembusukan’ di Tubuh Muhammadiyah,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1959&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 33

Musthafa Kamal Pasha, “Islam Liberal Meracuni Kalangan Muda,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/

Maret 2004 – Muharram 1425, h. 21. 34

Meskipun demikian, Yunahar Ilyas yang dianggap sebagai salah satu tokoh Muhammadiyah yang

dengan tegas menentang paham liberal melihat bahwa JIMM tidaklah separah JIL. Lihat “Yunahar

Ilyas: Dai Penentang Paham Liberal,” dalam Sabili, No. 1 Th. XIII 28 Juli 2005 / 21 Jumadil Akhir

1426, h. 64. 35

“Jejak Sekularisme-Liberalisme di Tubuh Muhammadiyah,” dalam Hidayatullah.com,

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1958&Itemid=0. Lihat

pula “Talbis Iblis Fiqih Pluralis,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 07/ Februari 2004 – Dzulhijjah 1424, h.

13. 36

“JIMM Menyalahi Organisasi” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 – Muharram 1425, h. 20.

Page 14: JIMM

14

Ada tiga kerja besar yang telah diusung JIMM sejak masa pendiriannya hingga

Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang. Ketiga kelompok kerja tersebut adalah:

Pertama, mengkampanyekan Muhammadiyah sebagai rumah intelektual dan tenda

kultural; Kedua, memberikan pemaknaan-pemaknaan baru terhadap beberapa konsep

dasar Muhammadiyah dan menegaskan kembali peran sosial organisasi ini; Ketiga,

melakukan kritik terhadap politisasi dan radikalisasi Muhammadiyah.

Kerja pertama dari JIMM itu diantaranya diwujudkan dalam bentuk dukungan

terhadap agenda dakwah kultural di Muhammadiyah. Dakwah ini secara formal

digagas dan menjadi keputusan Sidang Tanwir di Bali pada 24-27 Januari 2002.

Secara ringkas, dakwah kultural merupakan upaya dakwah dengan menggunakan

bahasa yang dipahami oleh audience, atau dalam bahasa Al-Qur’an disebut bilisani

qaumihi (QS. 14;4). Fakta bahwa kelompok masyarakat yang menjadi sasaran dakwah

itu adalah heterogen (mis. santri, abangan, priyayi, tradisionalis, modernis, sinkretik,

lokal, global, liberal, dan radikal), membuat Muhammadiyah perlu menggunakan

bahasa yang beragam, bukan tunggal. Kelompok program yang hendak dicakup dalam

dakwah kultural ini diantaranya berbentuk perubahan sikap yang hampir sepenuhnya

antipati dan negasi terhadap budaya lokal (local/indigenous culture) menuju afirmasi,

legitimasi dan spiritualisasi beberapa budaya lokal.37

JIMM juga mendukung upaya Muhammadiyah untuk membuka wacana yang selama

ini terasa tabu, seperti, hak-hak asasi manusia, pluralisme dan multikulturalisme,

kebebasan (liberalism), inklusivisme, dan kesetaraan gender. Jika selama ini

Muhammadiyah memiliki prestasi bagus dalam pendirian rumah sakit, sekolah, dan

panti asuhan, maka prestasi yang menekankan pada banyaknya jumlah itu (aktsaru

‘amalan) perlu ditambah dan ditingkatkan menjadi kualitas yang tinggi (ahsanu

‘amalan). Upaya-upaya ini sebetulnya merupakan gerakan untuk menghidupkan

tradisi intelektual yang pernah tumbuh subur di Muhammadiyah. Dengan cara ini,

maka Muhammadiyah bisa menjadi pioneer dari gerakan ilmu dan menjadi rumah

intelektual. Ahmad Fuad Fanani menulis di Republika (17/10/03) dengan judul

“Muhammadiyah dan Imaji Intelektual Kritis” untuk menggambarkan tentang

keinginan ini.

Dakwah kultural juga melanjutkan gagasan-gagasan mulia yang pernah diputuskan

oleh Muktamar-muktamar Muhammadiyah pada tempo dulu. Diantaranya adalah

konsep tentang Gerakan Jamaah dan Dakwah Jamaah, Keluarga Sakinah dan Qaryah

Tayyibah yang secara terus-menerus digulirkan dalam Muktamar ke-38 di

Ujungpandang tahun 1971 hingga Muktamar ke-41 di Surakarta tahun 1985. Selain

itu, dakwah kultural memberikan apresiasi dan pengembangan terhadap seni yang

ma’ruf, memanfaatkan teknologi kontemporer seperti multimedia, internet, dan

telepon demi mewujudkan misi-misi Islam di era global ini.

Masih dalam bingkai menjadikan Muhammadiyah sebagai tenda kultural, anak-anak

JIMM melakukan advokasi jurnalistik untuk menghidupkan penegakan moralitas

bangsa; menentang korupsi, kolusi dan nepotisme; serta membangun masyarakat yang

beradab dan madani. Zainal Muttaqin menulis “Mengawal Agenda Gerakan

Antikorupsi” (Suara Pembaruan, 4/5/04) dan “Gerakan Antikorupsi Harus Punya

37

Dakwah Kultural Muhammadiyah, (Pimpinan Pusat Muhammadyah, 1424 H / 2003 M), h. 3-5.

Diajukan dalam Sidang Tanwir Muhammadiyah di Makassar tanggal 26-29 Juni 2003.

Page 15: JIMM

15

Gigi” (Merdeka, 27/4/04); Zuly Qodir menulis “Koalisi NU-Muhammadiyah Berantas

Korupsi” (Kompas, 15/10/03); dan Zulfan Barron menanggapi tulisan Masdar Hilmy

“Mitologi Korupsi” (Kompas, 15/3/05) dengan artikel ”Korupsi sebagai ‘Dosa’

Sistem” (Kompas, 18/5/05). Secara khusus, Paryanto, aktivis JIMM yang juga

Direktur Lembaga Studi Agama dan Perdamaian mengajak warga Muhammadiyah

untuk melakukan “refleksi dan advokasi imani dalam pemberantasan korupsi.”38

Dengan menjadi, diantaranya, watch dog dari korupsi tersebut, maka harapannya

Muhammadiyah bisa jadi “payung moralitas” bangsa.

Kerja besar kedua dari JIMM berkaitan, diantaranya, dengan pemaknaan konsep

mustadl’afin dan ruju’ ila Al-Qur’an wa as-Sunnah. Habitat Muhammadiyah itu

terkait dengan gerakan sosial. Namun belakang ini gerakan ini, kata Moeslim

Abdurrahman, “tenggelam dalam skripturalistik yag berkepanjangan yang membuat

Muhammadiyah identik dengan gerakan rumah yatim, gerakan membagi zakat fitrah,

dan gerakan sosial pendidikan.”39

Di era neoliberalisme yang menyebarkan kerakusan

individualisme pasar ini, konsep gerakan sosial Muhammadiyah, bagi JIMM, mesti

mendapat ruh dan semangat baru. “’Miskin’ dan ‘mustdl’afin’” kata Moeslim harus

ditempatkan, “sebagai kategori sosial yang lahir dari penindasan struktur kapitalisme

nasional maupun global yang tidak adil.”40

Meski Muhammadiyah telah melakukan

gerakan sosial berpuluh-puluh tahun, namun “mengapa hegemoni semakin terjadi

dimana-mana dan penderitaan umat manusia semakin meluas?”41

Karena itulah makna ruju’ (kembali) ke Al-Qur’an dan sunnah al-maqbulah, dalam

konteks kerja sosial, bagi JIMM, harus memiliki makna pembebasan kaum yang

tertindas. “Perhatian terhadap kaum mustadz’afin bukannya tidak ada, tetapi lebih

banyak dilakukan kaum Muslim pada tataran normative-teologis,” kata Zainuddin

Maliki, Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya, pada workshop JIMM di

Yogyakarta, 5-7 November 2004.42

Zuly Qodir menegaskan, “Kelas-kelas marjinal ini

yang sudah semestinya menjadi bagian bidikan perjuangan. Sehingga kemudian

tauhid diarahkan pada paradigma tauhid sosial.”43

Sementara menurut Moeslim

Abdurrahman, gerakan pemberdayaan orang-orang lemah itu harus dilakukan melalui

dua garis, yaitu langsung kepada orang-orang tertindas dan mengubur regulasi yang

menindas. “Muhammadiyah tidak bisa hanya sebagai lembaga pemberdayaan melalui

komunitas marjinal namun harus pula memiliki agenda politik yang mempengaruhi

perubahan regulasi guna redistribusi sosial,” ungkapnya.44

Pola yang dipakai JIMM dalam pemberdayaan orang tertinggal dan tertindas ini

agaknya merupakan adopsi dari cara-cara yang biasa digunakan oleh berbagai gerakan

community development atau social work. Ini tidak lepas dari pengalaman Moeslim

Abdurrahman yang lama bergelut di dunia LSM. Cara pemberdayaan yang biasa

dilakukan oleh berbagai aktivis sosial adalah mengikuti empat tahap, yaitu: Pertama,

Relief dan Welfare. Tahapan ini menekankan fungsi zakat, misalnya, untuk membantu

38

“Dari Acara Tadarus Pemikiran Islam: Refleksi dan Advokasi Imani dalam Pemberantasan Korupsi,”

dalam Suara Pembaruan, Jumat, 21 November 2003. 39

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xvi. 40

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xvi. 41

Moeslim Abdurrahman, “Munculnya Kesadaran Kritis Ber-Muhammadiyah,” h. xvi. 42

“Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004. 43

“Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004. 44

“Keberpihakan Umat kepada The New Mustadz’afin,” dalam Republika, Jumat, 19 November 2004.

Page 16: JIMM

16

orang yang tak berdaya dalam bentuk yang paling sederhana, seperti meringankan

penderitaannya dengan memberi mereka makanan, menyekolahkan, dan membantu

pengobatan. Kedua, Community Development. Tahapan kedua ini berpijak pada

asumsi bahwa kemiskinan yang terjadi di masyarakat itu disebabkan oleh tak

terberdayakannya potensi-potensi masyarakat. Masyarakat miskin karena mereka

tidak memiliki skill atau keahlian untuk bekerja, tak terlatih, dan tak memiliki modal.

Untuk itu, pada tahap ini, harta zakat digunakan untuk memberdayakan masyarakat

dalam bentuk, diantaranya, pendidikan, pelatihan, pemberian modal, dan

pendampingan.

Ketiga, Sustainability System Development. Sebuah pemberdayaan masyarakat itu

terkait erat dengan hukum kebijakan-kebijakan pemerintah, misalnya dengan sistem

perundang-undangan yang ada. Seringkali upaya-upaya pemberdayaan dilakukan oleh

berbagai LSM (Lembaga swadaya masyarakat) dan CSO (Civil Society Organization),

namun upaya-upaya itu berantakan di tengah jalan karena ada kebijakan pemerintah

yang tidak berpihak kepada orang kecil. Kasus yang terjadi pada petani cengkeh pada

masa Orde Baru adalah satu contoh. Distribusi beras yang dimonopoli oleh Bulog dan

KUD adalah contoh lain. Pada contoh kedua itu, masyakarat yang mulai mampu

bertani secara baik terjegal pendistribusian hasil pertaniannya karena adanya

kebijakan pemerintah yang tidak menguntungkan. Keempat, People Movement and

Social Change.Ide pokok dari tahapan keempat ini, dalam hal ekonomi, adalah

kemiskinan itu terjadi karena ketidakmerataan alokasi terhadap modal, sumber rezeki,

dan akses terhadap kekuasaan dalam masyarakat. Karena itulah maka kelompok

masyarakat yang tak berdaya harus diberikan berbagai sarana untuk menghadapi

struktur-struktur yang ada. Mereka juga harus diberi suara dalam menentukan

kebijakan-kebijakan yang mempengarui kehidupan mereka.45

Para aktivis JIMM sepertinya melihat bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh

Muhammadiyah, meski sudah tua umurnya, belum juga beranjak dari tahap pertama

dari empat tahapan pemberdayaan. Untuk membawa ke arah itu, maka hal pertama

yang dilakukan oleh JIMM adalah memberikan pemaknaan baru terhadap konsep

mustdz’afin.46

Kerja ketiga, kritik terhadap politisasi dan radikalisasi Muhammadiyah, diantaranya

dilakukan dengan penolakan terhadap keputusan dan anjuran Muhammadiyah agar

warga persyarikatan ini hanya mencoblos M Amien Rais, mantan ketua PP

Muhammadiyah, dalam pemilihan presiden Republik Indonesia tahun 2004. “Dengan

dukungan itu Muhammadiyah sudah terlibat aksi dukung-mendukung yang bersifat

politis dan partisan.”47

Keputusan Muhammadiyah untuk secara resmi mendukung

Muhammad Amien Rais sebagai calon presiden pada Pemilu 2004, mengajak warga

Muhammadiyah untuk memilih caleg perempuan dari Muhammadiyah dan partai

politik yang benar-benar reformis, memihak dan bersih, merupakan hasil rapat pleno

45

Keempat tahapan tersebut biasanya disebut sebagai “empat generasi” dari “strategies of

development-oriented NGOs.” Lihat Andrew Green and Ann Matthias, Non-Govermental

Organizations and Health in Developing Countries, (London: Macmillan Press Ltd, 1997), h. 34. 46

Lihat Ahmad Fuad Fanani, “Menghindari Kejumudan Penafsiran Islam” dalam Republika, Jumat 21

Mei 2004, Piet H Khaidir, “Kemanusiaan dan Gerakan Sosial” (Republika, 7/10/03), dan Zakiyuddin

Baidhawy, “Islam Progresif: Manifesto Keadilan, Pembebasan dan Kesetaraaan” dalam Media

Indonesia, 7 Mei 2004. 47

“JIMM Sayangkan Muhammadiyah Partisan,” dalam Suara Pembaruan (14/2/04).

Page 17: JIMM

17

diperluas di Yogyakarta, 9-10 Februari 2004 yang melibatkan seluruh pimpinan

wilayah Muhammadiyah dan organisasi otonom.

Keputusan Muhammadiyah tersebut telah lama dikehendaki oleh sebagian elite

organisasi ini. Namun, penentangan dari sebagian elite lain menjadikan kehendak

untuk memberikan dukungan resmi itu mendapat hambatan. “Fatwa” itu menunjukkan

kemenangan kubu politik di Muhammadiyah. Pada Sidang Tanwir di Bali 2002,

Muhammadiyah memberi rekomendasi kepada “kader terbaik” organisasi ini untuk

maju menjadi calon presiden pada Pemilu 2004. Dalam Tanwir ini tidak disebutkan

siapa yang dimaksud dengan “kader terbaik.” Pada sidang Tanwir di Makassar 2003,

“kader terbaik” itu mengerucut pada sosok M Amien Rais. Demi menjaga netralitas,

pada kedua Tanwir tersebut Muhammadiyah tidak secara eksplisit menyebut nama

yang didesakkan oleh sebagian aktivis organisasi.

Politisasi Muhammadiyah untuk kepentingan jangka pendek itu, oleh JIMM,

dianggap akan merusak peran moral yang selama ini diemban Muhammadiyah.

“Pernyataan Muhammadiyah itu mengecilkan Muhammadiyah sebagai tenda bangsa,”

kata Ahmad Fuad Fanani, aktivis yang sering disebut sebagai “kepala sekolah”

JIMM.48

Sebagai kekuatan civil society, semestinya Muhammadiyah berpegang pada

politik adiluhung (high politics) dan tidak memihak. Lebih lanjut Fanani mengatakan,

“Pernyataan dukungan resmi terhadap pencalonan Amien Rais jelas mempersempit

ruang gerak Muhammadiyah. Hal itu juga menyalahi keputusan Tanwir 1971, 2002,

dan 2003 yang menegaskan bahwa Muhammadiyah menjaga jarak dari semua parpol

dan membebaskan warganya untuk bebas menyalurkan aspirasi politiknya.”49

Sebagai

kesimpulan, JIMM mendesak Muhammadiyah untuk meninjau ulang keputusan ini.50

Tulisan di media massa yang berisi ungkapan penyesalan atas sikap Muhammadiyah

itu diantaranya disampaikan oleh Zuly Qodir, “Muhammadiyah Memilih Pimpinan”

(Indo Pos, 23/5/05) dan “Muhammadiyah, Amien Rais dan Presiden” (Kedaulatan

Rakyat, 19/4/04), Zakiyuddin Baidhawy, “PAN dan Muhammadiyah” (Republika,

26/4/04), Ahmad Fuad Fanani, “Menakar Peluang Amien Rais” (Merdeka, 19/4/04)

dan “Syahwat Politik Muhammadiyah” (Indo Pos, 23/5/04), Andar Nubowo,

“Elitisme dan Overkonfidensi PAN” (Republika, 23/10/03), serta Kokabudin Uheb,

“Runtuhnya Benteng Kultural Muhammadiyah” (Waspada, 1/4/04).

Untuk Pemilu 2004 secara umum, selain advokasi media melalui individu-individu

aktivis JIMM, secara kelembagaan jaringan ini bahkan mengeluarkan suara bersama

yang disampaikan dalam bentuk press conference dan press release. Suara bersama

itu dinamakan “Seruan Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM) untuk

Pilpres 2004.”51

48

“JIMM Tolak Politisasi Muhammadiyah,” dalam Kompas (21/2/04). 49

“Dukung Amien Rais Jadi Presiden, Fatwa Muhammadiyah Menuai Protes,” dalam Media Indonesia

(24/2/04). 50

“JIMM Pertanyakan Sikap Muhammadiyah,” dalam Republika (21/2/04) 51

Isi dari seruan tersebut berjumlah lima butir, yaitu:

1. Tidak menjatuhkan pilihan politik kepada kandidat presiden/wapres hanya didasarkan atas

pertimbangan asal-usul, suku, agama dan golongan. Sebab, pilihan yang didasarkan pada

alasan-alasan primordial tersebut sangat bertentangan dengan logika akal sehat dan

kepentingan bangsa.

Page 18: JIMM

18

Kritik terhadap kecenderungan terhadap radikalisme di Muhammadiyah diadvokasi,

misalnya, oleh Hilman Latief, Happy Susanto, M Hilaly Basha dan Hery Sucipto.

Hery menulis “Membendung Radikalisme, Membangun Moderatisme” (Kompas,

14/10/03). Hery juga membuat satu publishing house yang menerbitkan buku-buku

yang mengkampanyekan Islam moderat dan mengkritik keras terhadap radikalisme di

Islam. Happy Susanto menulis “Titik Balik Pluralisme Agama, Catatan atas RUU

Kerukunan Umat Beragama” (Kompas, 23/10/03). M Hilaly Basha bahkan lebih jauh

menerbitkan jurnal Moderat dan menjadi direktur eksekutif dari CMM (Center for

Moderate Muslims). Hilman Latief secara serius membuat tulisan tentang pergolakan

anak-anak Muda Muhammadiyah dalam menentang puritanisme dalam organisasi ini

dalam Jurnal Tanwir.52

“Takdir” JIMM Pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 Pada beberapa berita pasca Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang Jawa Timur,

Majalah Suara Hidayatullah dan Sabili seakan hendak memberikan gambaran kepada

pembacanya bahwa forum Muktamar Muhammadiyah ke-43 merupakan arena

hukuman bagi gerakan JIMM. Beberapa penulis, seperti Adian Husaini dan Sukidi,

bahkan mensinyalir bahwa Muktamar ini merupakan titik antiklimaks bagi JIMM.

Adian Husaini, misalnya, pada Catatan Akhir Pekan (CAP) nya yang ke-108 di

Hidayatullah.com menulis “Kaum Islam Liberal di tubuh Muhammadiyah menjerit,

karena misi mereka gagal.”53

Sementara Sukidi menyatakan, “Terpentalnya sayap

pemikir Muslim liberal seperti Munir Mulkhan dan Amin Abdullah dari formatur 13

juga dapat dibaca sebagai kemenangan anti-liberalisme dalam Muktamar.”54

Hidayatullah.com juga menuliskan bahwa JIMM yang disebutnya sebagai sayap

liberal Muhammadiyah sedih dengan komposisi terpilih Pimpinan Pusat

Muhammadiyah periode 2005-2010. “Kalangan JIMM, yang selama ini dianggap

penggerak lahirnya pemikiran liberal di Muhammadiyah mengakui, tak ada satu pun

dari ketigabelas calon ketua umum itu yang mendukung gerakan mereka. Nama-nama

2. Melihat secara jernih dan cerdas siapa capres yang pantas memegang tongkat kepemimpinan

bangsa. Visi kebangsaan, ekonomi, penegakan HAM, penghapusan KKN, kerakyatan dan

kemauan melakukan kontrak sosial adalah pertimbangan dalam menentukan pilihan.

3. Menentukan pilihan politiknya secara cerdas, rasional dengan melihat program kerja, track

record, ketegasan, kualitas, kemampuan dan sikap moral yang luhur pada diri setiap kandidat.

4. Menentukan pilihan berdasarkan kesadaran dan hati nurani, bukan berdasarkan pada ancaman,

intimidasi dan politik uang. 5. Tidak terpecah belah sebagai satu kekuatan bangsa, sebelum dan sesudah Pilpres 2004.

Masyarakat harus tetap menuntut para elite politik-pemegang kebijakan agar terus berpegang

pada nilai-nilai kerakyatan dan keadilan sosial.

Lihat Republika, Senin, 17 Mei 2004. 52

Hilman Latief, “Post-Puritanisme Muhammadiyah: Studi Pergulatan Wacana Keagamaan Kaum

Muda Muhammadiyah 1995-2002” dalam Jurnal Tanwir Edisi ke-2, Vol. 1, No. 2, Juli 2003, h. 43-102.

Tentang pergulatan anak-anak Muda Muhammadiyah dalam mengkritisi radikalisme baca juga Ahmad

Najib Burhani, “’Puritan’ Muhammadiyah and Indigenous Culture” (The Jakarta Post, 6/12/04),

“Muhammadiyah’s New Chairman and the Future of Its Liberalism” (The Jakarta Post, 12/7/05),

“Perempuan dan Liberalisme di Muhammadiyah” (Indo Pos, 24/7/05), “Tolerance and Pluralism in

Muhammadiyah Remains” (The Jakarta Post, 30/7/05). 53

Lihat CAP Adian Husaini ke-108 di Hidayatullah.com,

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2095&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 54

Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal” dalam Majalah Tempo, edisi

20/XXXIV/11-17 Juli 2005.

Page 19: JIMM

19

seperti Abdul Munir Mulkan dan Amin Abdullah, dua orang yang paling

diunggulkan justru 'keok' dan tak terpilih,” tulis Hidayatullah.55

“Yang jelas,

mendung menyelimuti kubu liberal di Muhammadiyah,” tulis Hidayatullah

selanjutnya.56

Bila mengamati perkembangan Muktamar, tidak masuknya beberapa nama yang

selama ini mendukung langkah JIMM tentu tidak mengherankan. Selama proses

Muktamar, seperti diamati oleh Hidayatullah, “Beberapa Pimpinan Wilayah

Muhammadiyah (PWM) dan Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) jauh-jauh

sudah menyoroti agar di Muktamar Muhammadiyah kali ini tak memilih calon

pemimpin yang mendukung gerakan liberalisme-sekularisme.”57

Salah seorang yang

memiliki pendapat agar Muhammadiyah tidak dipimpin oleh orang yang dikenal

berpikiran sekuler-liberal adalah Ahmad Adaby Darban.58

Tulisan-tulisan yang

berkampanye untuk menentang keberadaan JIMM di Muhammadiyah juga bisa

ditemukan di media massa. Choirul Hisyam, misalnya, menulis catatan untuk

menyambut Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Hidayatullah.com dengan judul

“’Pembusukan’ di Tubuh Muhammadiyah.”59

Senada dengan Hidayatullah, Sabili membuat telaah khusus tentang Muktamar

Muhammadiyah ke-43 dengan judul “Menggusur Virus Liberal di Muhammadiyah.”

Bahkan, Sabili mengawali tulisannya kalimat “Muktamar Muhammadiyah ke-45.

Pertarungan antara jalan lurus dan paham liberal.” 60

Meski dalam laporannya Sabili

menampilkan tanggapan orang-orang Muhammadiyah, baik yang pro maupun yang

kontra terhadap JIMM, namun judul itu mengesankan adanya penilaian kurang baik

terhadap JIMM dan isu-isu yang diangkatnya.

Lebih dari semua upaya di atas, di arena Muktamar sendiri ada stand yang bernama

“Pojok Anti-Liberal.” Stand ini menjual produk-produk yang berisi penentangan

terhadap sekularisme dan liberalisme di Indonesia. Diantara produk-produk tersebut

adalah buku karya Adian Husaini berjudul Islam Liberal: Sejarah, Konsepsi,

Penyimpangan, dan Jawabannya dan Wajah Peradaban Barat; VCD berjudul

Menangkal Virus Liberalisme produksi NicheMedia; Majalah Suara Hidayatullah,

Majalah Tabligh, Jurnal Islamia; dan merchandise Muktamar, seperti kaos, dengan

tulisan “Muhammadiyah Anti-Liberal.”

55

Lihat “Kecemasan Terhadap Pimpinan Baru Muhammadiyah,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2063&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 56

“Kecemasan Terhadap Pimpinan Baru Muhammadiyah,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2063&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 57

“Komisi Rekomendasi Minta JIMM Dibubarkan,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2061&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 58

“Syafii Maarif Larang ‘Hukum’ Anak Muda Muhammadiyah,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2046&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 59

Lihat di

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1959&Itemid=0. Lihat

pula “Jejak Sekularisme-Liberalisme di Tubuh Muhammadiyah,” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=1958&Itemid=0.

Diakses pada 13 Oktober 2005. 60

Lihat Sabili No. 1 TH. XIII 28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426.

Page 20: JIMM

20

Terpentalnya dua mentor JIMM, Amin dan Munir, dari komposisi 13 pimpinan

Muhammadiyah memang bisa dijadikan salah satu indikator kekalahan JIMM di

tubuh Muhammadiyah. Dalam organisasi yang berdiri tahun 1912 ini, Amin dan

Munir dikenal sebagai sedikit tokoh secara terang-terangan mendukung dan

melindungi pemikiran-pemikiran yang diusung JIMM di Muhammadiyah. Gagasan-

gagasan dua orang Yogya ini dianggap bisa mewakili arus baru pemikiran Islam yang

mencoba memahami Islam dengan teori-teori dan metode kontemporer. Selain

Moeslim Abdurrahman, dua nama ini pulalah yang dijadikan sebagai patron dan

mentor oleh anak-anak JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah).

Sudah lama diduga bahwa kubu konservatif dan fundamental merupakan suara

mayoritas dalam gerakan Muhammadiyah. Fenomana Muktamar ini benar-benar

menjadi semacam gong atau loudspeaker bahwa dugaan itu nyata adanya. Nama-

nama dalam formatur 13 itu tentu akan membuat shock siapa saja yang tidak percaya

bahwa unsur militan Islam bukan hanya ada, tapi cukup kuat dalam organisasi

modernis ini.61

Selain Din Syamsuddin di posisi pertama, Yunahar Ilyas dan Goodwill

Zubir, yang selama ini selalu dianggap menjadi proponents dari Muhammadiyah garis

keras, berhasil menyodok ke posisi pimpinan tiga belas.62

Selama ini para pimpinan Muhammadiyah periode 2000-2005, terutama Ahmad

Syafii Maarif, berusaha menunjukkan kepada dunia bahwa Muhammadiyah adalah

representasi dari peaceful dan smiling Islam. Untuk menenangkan berbagai pihak

yang ketakutan kepada Islam garis keras, keberadaan orang-orang yang berpikir

fundamental dalam tingkat grass-root Muhammadiyah selalu saja ditutup-tutupi dan

dikatakan bahwa mereka itu hanya menjadi kelompok pinggiran. Bahkan, adagium

61

Susunan Pimpinan Pusat Muhammadiyah 2005-2010:

Penasihat

1. Prof Dr HM Amien Rais

2. Prof Dr H Ahmad Syafii Maarif

3. Prof Drs H Asjmuni Abdurrahman

4. Prof Dr H Ismail Suny SH MCL

5. Ustadz KH Abdur Rahim Noor MA

Ketua Umum: Prof Dr HM Din Syamsuddin MA

Ketua

Prof Drs H Abdul Malik Fadjar MSc

Drs H Haedar Nashir MSi

Drs H Muhammad Muqaddas Lc MAg

Dr H Yunahar Ilyas Lc MAg

Prof Dr H Bambang Sudibyo

dr H Sudibyo Markus

HM Muchlas Abror

Sekretaris Umum: Drs HA Rosyad Sholeh

Sekretaris: 1. Drs HA Dahlan Rais MHum

2. Drs HM Goodwill Zubir

Bendahara Umum: Prof Dr H Zamroni

Bendahara: Prof Dr H Fasich Apt 62

Ada asumsi lain yang berkembang bahwa naiknya Yunahar Ilyas dan Goodwill Zubir bukan

disebabkan mereka menjadi pendukung kelompok konservatif Muhammadiyah atau menentang

liberalisme, tapi karena faktor dukungan dari orang-orang Padang, Sumatra Barat. Yunan Yusuf yang

juga orang Padang dan sering mendukung JIMM mendapat nomor 14 dan hanya selisih enam angka

dari Sudibyo Markus.

Page 21: JIMM

21

yang acapkali didendangkan oleh para pengamat adalah bahwa kelompok radikal

Islam di Indonesia itu small in number.63

Kekalahan JIMM pada Muktamar ke-45 bukan semata tak terpilihnya tokoh-tokoh

mereka, seperti Amin Abdullah, Munir Mulkhan, Moeslim Abdurrahman, Dawam

Rahardjo, Hajriyanto Thohari, Abdul Mu’thi, Yunan Yusuf dan Muhadjir Effendy64

,

tapi lebih jauh dari itu, Komisi D (Rekomendasi) yang bersidang di Aula GKB II

Kampus III Universitas Muhammadiyah Malang, Rabu (6/7/05), bahkan sempat

muncul gagasan untuk meminta agar JIMM dibubarkan. Salah satu peserta di Komisi

ini menginginkan agar PP Muhammadiyah membubarkan JIMM, atau paling tidak

menghilangkan huruf M (Muhammadiyah) dari namanya.65

Usulan ini juga bukan

sesuatu yang baru didengungkan. Oleh sebagian bapak-bapak Muhammadiyah,

berkali-kali JIMM dianggap sebagai anak durhaka, karena itu ia harus dibuang dan

tidak lagi diakui sebagai anak. Bahkan kadang-kadang kepanjangan nama JIMM

diplesetkan menjadi “Jaringan Iblis Muda Muhammadiyah”.66

Tuntutan itu tidak lagi

menjadi tuntutan di jalan-jalan, tapi sudah mendapat wadah resmi dalam forum

tertinggi Muhammadiyah, Muktamar.

Ketua Umum PP Muhamadiyah yang baru, Din Syamsuddin, juga belum memberikan

pernyataan untuk melindungi eksistensi JIMM dalam lingkaran Muhammadiyah.

Salah satu alasan mengapa Din terpilih menjadi pimpinan tertinggi dalam organisasi

terbesar kedua di Indonesia itu adalah juga karena kedekatannya kepada warga

Muhammadiyah garis keras. Pandangan-pandangan keagamaan Wakil Ketua Umum

MUI (Majelis Ulama Indonesia) ini dianggap sesuai dengan keinginan mayoritas

warga Muhammadiyah yang cenderung puritan dan fundamentalis. Inilah yang

membedakan Din dari pimpinan Muhammadiyah yang ia gantikan, Ahmad Syafii

Maarif. Seiring dengan pemikirannya yang moderat dan inklusif, popularitas Syafii

Maarif –juga Munir Mulkhan dan Amin Abdullah-- di Muhammadiyah terus merosot.

Pada Muktamar Malang itu, Buya Syafii berkali-kali melakukan pembelaan terhadap

beberapa angkatan muda Muhammadiyah yang memiliki pemikiran liberal dan aneh,

seperti yang ditampilkan dalam tulisan-tulisan Sukidi, Fuad Fanani dan Pramono.

Dalam pidato serah terima jabatan di UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)

Dome (7/7/05), Syafii bahkan berpesan agar orang Muhammadiyah tidak cepat marah

dan menuduh ketika membaca pemikiran anak-anak muda. Selama mereka

menjalankan prinsip-prinsip ajaran agama, seperti shalat, maka mereka tak perlu

dimusuhi.

63

Hal yang sama disampaikan oleh kubu garis keras, bahwa kelompok Islam yang lain hanyalah small

in number di Muhammadiyah. “Islam liberal di Muhammadiyah itu belum menjadi gejala yang kuat.

Mereka hanya segelintir orang, tapi mereka di-blow up oleh media massa. Mereka belum merupakan

arus besar di Muhammadiyah,” kata Yunahar Ilyas dalam Tabligh, Vol. 02/No. 08/ Maret 2004 –

Muharram 1425, h. 20. 64

Ada asumsi lain yang berkembang bahwa terpentalnya nama-nama seperti Hajriyanto Thohari,

Munir Mulkhan, dan Dawam Rahardjo bukan karena mereka mendukung gagasan-gagasan JIMM atau

liberalisme, tapi karena kasus Bank Persyarikatan Indonesia (BPI). Namun asumsi ini tidak berlaku

untuk kasus Amin Abdullah dan Muhadjir Effendy yang menjadi ketua panitia Muktamar. 65

“Menggusur Virus Liberal di Muhammadiyah” dalam Sabili No. 1 TH. XIII 28 Juli 2005/ 21 Jumadil

Akhir 1426. 66

Lihat “Talbis Iblis Fiqih Pluralis,” dalam Tabligh, Vol. 02/No. 07/ Februari 2004 – Dzulhijjah 1424.

Page 22: JIMM

22

Berbeda dari Syafii, dalam berbagai pidatonya Din tidak menyatakan pembelaan,

dukungan atau apresiasi terhadap pemikiran generasi muda Muhammadiyah. Sikap ini

bisa dipahami jika itu terjadi sebelum pemilihan pimpinan. Din perlu mengamankan

peluangnya menjadi ketua umum dengan cara menjaga emosi para pendukungnya.

Din mungkin sadar bahwa jika ia memberikan apresiasi terhadap JIMM yang

cenderung liberal, maka suaranya bisa turun mengingat jumlah warga

Muhammadiyah yang tidak menyukai JIMM cukup banyak. Namun pernyataan

apresiasi juga tidak keluar setelah ia ditetapkan sebagai ketua umum.

Ada beberapa asumsi tentang sikap tersebut. Bisa jadi Din tidak ingin langsung

membuat langkah kontroversial begitu ia terpilih. Hal ini penting untuk menghormati

para pendukungnya. Tentu mereka akan kecewa bila Din menyampaikan apresiasi

terhadap pemikiran yg diusung JIMM segera setelah ia memimpin organisasi yang

berdiri tahun 1912 ini. Asumsi lain adalah bahwa Din memang tidak berniat untuk

membela anak-anak JIMM. Atau bahkan, sebetulnya ia tidak menyukai model

pemikiran itu.67

Asumsi bahwa Din tidak menyukai gerakan yang dilakukan oleh anak-anak muda

Muhammadiyah itu tentu agak susah diterima bila melihat bahwa Din lah yang ikut

membidani lahirnya PSAP-M (Pusat Studi Agama dan Peradaban Muhammadiyah),

salah satu gerbong pemikiran “liar” di organisasi modernis ini. Alasan inilah yang

dikemukakan Din ketika mendengar isu bahwa ketidaksukaan beberapa orang kepada

Din adalah karena ia seorang fundamentalis. Mendengar isu tersebut, Din buru-buru

menjawab bahwa orang lupa bahwa dirinyalah pendiri PSAP.

Meski di kalangan terbatas Din menolak disebut fundamentalis, ia tetap saja menolak

untuk memberikan pernyataan perlindungan kepada 2 (dua) kelompok yang

bersebarangan di Muhammadiyah ketika ada seorang tokoh Muhammadiyah meminta

hal tersebut.68

Tokoh ini mengatakan bahwa ia telah meminta kepada Din untuk

menyampaikan satu statemen bahwa ia akan memayungi dua kelompok yang

beroposisi itu dalam pidato serah terima jabatan, namun Din tak bersedia memenuhi.

Benar apa yang disampaikan oleh tokoh Muhammadiyah tersebut di atas, tidak ada

pernyataan apresiasi terhadap kelompok liberal dalam pidato Din pada acara serah

terima jabatan. Din bahkan menyebutkan bahwa kepemimpinan di organisasi ini

bersifat kolegial. Dalam urusan-urusan besar, dia hanya akan menyampaikan apa yang

menjadi keputusan para pimpinan. Pidato Din itu sebetulnya disampaikan setelah ia

mendengarkan pidato Pak Syafii yang, diantaranya, berisi pembelaan habis-habisan

terhadap pemikiran yang dikembangkan oleh anak-anak muda. Tapi rupanya Din

tidak tergerak sama sekali untuk menanggapi masalah ini. Dia menanggapi segala hal

yang disampaikan Syafii Maarif, kecuali tentang pemikiran anak-anak muda.

67

Dalam salah satu komentarnya yang dikutip oleh Waspada (Senin, 29 Agustus 2005) dan

Hidayatullah.com, Din Syamsuddin mengatakan bahwa tantangan utama dalam dakwah Islam di

Indonesia adalah merajalelanya sekularisme dan liberalisme. Lihat “Din Syamsuddin: Sekularisasi dan

Liberalisasi Ancaman Dakwah Islam” dalam

http://www.hidayatullah.com/index.php?option=com_content&task=view&id=2213&Itemid=0.

Diakses pada 13 ktober 2005. Lihat pula “Liberalisme Tak Akan Terjadi pada Agama Wahyu,” dalam

Suara Merdeka, Senin, 05 September 2005. 68

Tokoh ini adalah salah satu wakil sekretaris Muhammadiyah pada periode kepemimpinan Ahmad

Syafii Maarif 2000-2005.

Page 23: JIMM

23

Memang, sikap Din di atas tidak bisa dijadikan indokator bahwa ia akan

memberangus JIMM atau melarang pemikiran liar di organisasi modernis ini. Namun

sikap ini bisa dijadikan salah satu indikasi bahwa tidak ada jaminan dari pimpinan

Muhammadiyah terhadap masa depan JIMM dan pemikiran yang diusungnya. Satu

catatan yang perlu diperhatikan dari komentar-komentar Din seusai Muktamar adalah

bahwa ia akan mengadakan dialog pemikiran untuk menjembatani dua arus pemikiran

yang berbeda di Muhammadiyah. “Kalau tidak kita selesaikan secara baik, bijak dan

dialogis, maka benturan-benturan itu akan kontraproduktif dan menimbulkan konflik

internal,” ungkap Din.69

Din juga tidak serta merta menyamakan antara JIL dan

JIMM. “(Antara JIMM dan JIL) ada persinggungan, tapi berbeda. Alhamdulillah,

adik-adik kader Muhammadiyah itu masih punya semangat untuk menegakkan Islam,

komitmen keagamaan,” ungkapnya.70

Beberapa Catatan Akhir Ketika gagasan “Dawah Kultural” sedang menjadi isu yang hangat diperbincangkan,

Kuntowijoyo membuat tulisan yang berjudul “Malin Kundang Jangan Jadi Lebai

Malang: Muhammadiyah dan Budaya Lokal.”71

Tulisan ini merupakan sebuah refleksi

agar jangan sampai sebuah “pemberontakan” itu pada ujungnya tidak mendapatkan

apa-apa, di sini tidak kena dan di sana juga tidak dapat, ke sana luput dan ke sini

meleset. Sekilas, apa yang dituliskan oleh Kunto itu menjadi nasib JIMM: gagasan-

gagasan JIMM tidak diterima oleh Muhammadiyah, bahkan orang-orang yang

mendukung gagasan tersebut pun kini tersingkir dari kepengurusan di organisasi ini.

Mengapa resistensi beberapa orang Muhammadiyah terhadap JIMM begitu kuat?

Mengapa reaksi mereka kadang berlebihan? Dan mengapa pula JIMM tak kuasa

untuk merespon dengan baik berbagai kritik tersebut? Lebih lanjut, mengapa para

pendukung JIMM lantas tersisihkan dari Muhammadiyah?

Dari berbagai kritik yang disampaikan oleh para penentangnya, terlihat bahwa kritik

tersebut lebih banyak ditujukan bukan kepada inti dari gerakan JIMM, yaitu lahirnya

the new social movement. Kritik lebih banyak ditujukan kepada bunga-bunga atau

percikan-percikan dari misi besar JIMM, seperti tema tentang pluralisme,

inklusivisme, liberalisme, dan sekularisme.72

Tema-tema yang menjadi sasaran kritik

tersebut merupakan sisi persinggungan antara JIMM dan JIL. Beberapa kelompok

Islam di Indonesia beberapa kali menunjukkan sikap antipati yang sangat terhadap

JIL. Bahkan, koordinator JIL, Ulil Abshar Abdalla, pernah difatwa halal darahnya

karena tulisannya di Kompas (18/11/02) yang berjudul “Menyegarkan Kembali

Pemahaman Islam.” Persinggungan isu itulah yang lantas dijadikan klaim bahwa

JIMM tak lebih dari kepanjangan dari JIL di Muhammadiyah. Kebencian kepada JIL

ini lantas melahirkan sikap antipati kepada siapapun yang yang bersinggungan dengan

69

“Dien Syamsuddin: Warga Muhammadiyah Harus Mengaji Kembali,” dalam Sabili No. 1 TH. XIII

28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426. 70

“Dien Syamsuddin: Warga Muhammadiyah Harus Mengaji Kembali,” dalam Sabili No. 1 TH. XIII

28 Juli 2005/ 21 Jumadil Akhir 1426. 71

Tulisan tersebut disampaikan Kuntowijoyo dalam Halaqah Tarjih I Muhammadiyah “Dialektika

Agama dan Budaya Lokal: Apresiasi Terhadap Pluralisme Seni-Tradisi” yang diselenggarakan di Kota

Solo, 2-4 November 2001. Untuk naskahnya bisa dilihat dalam Zakiyuddin Baidhawy dan Mutohharun

Jinan (ed.), Agama dan Pluralitas Budaya Lokal, Kartasura, Surakarta: Penerbit Pusat Studi Budaya

dan Perubahan Sosial, Universitas Muhammadiyah Surakarta bekerjasama dengan Ford Foundation &

Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Majlis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam, 2002. 72

Hilman Latief, “Muhammadiyah intellectuals need meaningful dialog,” (The Jakarta Post, 20/7/05).

Page 24: JIMM

24

JIL, tak terlewatkan adalah JIMM. Kebencian ini pula yang membuat beberapa orang

lantas tidak mempedulikan apa sebetulnya misi utama dari kelahiran JIMM. Di

samping karena persinggungan tema, JIMM juga kurang bisa mempromosikan atau

menunjukkan bahwa bahwa misi besarnya adalah the new social movement. Jika

mereka sudah bisa menunjukkan kerja-kerja atau hasil-hasil dari gerakan ini,

barangkali resistensi dari kelompok penentang bisa berkurang.

Reaksi yang berlebihan dari beberapa orang terhadap JIMM itu juga terjadi karena

dialog yang sehat antara anak-anak JIMM dan para penentangnya jarang atau bahkan

tidak terjadi. Hal yang sering muncul justru sebutan-sebutan yang kurang

mengenakkan dan kurang dewasa antara dua kubu yang berseberangan ini: anak-anak

JIMM menyebut penentangnya sebagai fundamentalis, taliban, konservatif, literalis,

radikalis, dan puritanis; sementara penentang JIMM menyebut kelompok ini sebagai

sekular, agen Barat, berideologi duit, virus, dan iblis. Komunikasi yang arif dan

pendekatan persuasif mungkin bisa menjadi alat untuk meredakan ketegangan. Untuk

itulah, apa yang pernah digadang oleh Din Syamsuddin tentang penyelenggaraaan

dialog pemikiran yang sehat perlu segera ditagih. Seperti yang dikatakan Sukidi,

“Kedua sayap itu justru menandakan terjadinya dinamika pluralisme internal dalam

tubuh Muhammadiyah. Jika Din sukses mengelola pluralisme internal ini,

Muhammadiyah akan menjadi kekuatan luar biasa sebagai ‘laboratorium pemikiran’

yang mencerahkan umat dan bangsa.”73

Anak-anak JIMM adalah anak kandung dari Muhammadiyah. Pada merekalah,

diantaranya, masa depan Muhammadiyah terletak. Tugas bapak adalah membimbing

dan mendidik anaknya, sementara tugas anak adalah hormat kepada bapaknya. Saat

ini, umur JIMM belumlah genap tiga tahun. Dalam usia semuda itu, barangkali wajar

jika dikatakan bahwa anak-anak JIMM memang masih dalam proses menunjukkan

kedewasaan. Dan dalam umur semuda itu, barangkali tidak fair jika JIMM sudah

dituntut untuk menunjukkan hasil dari misi-misi besarnya. Program JIMM untuk

membangun the new social movement bukanlah proyek yang bisa selesai dalam sehari

atau seminggu. Butuh waktu lama untuk melihat buah dari upaya tersebut.

Hal yang perlu dilakukan JIMM saat ini, seperti diusulkan oleh salah seorang

aktivisnya, Hilman Latief, adalah mencoba tampil lagi dengan strategi baru tanpa

harus menghilangkan idealisme yang selama ini mereka miliki.74

Jika selama ini apa

yang dilakukan JIMM justru melahirkan hal-hal yang sifatnya kontra-produktif, maka

dengan strategi baru tersebut, diharapkan apa yang menjadi cita-cita JIMM bisa

membumi di Muhammadiyah. Paling tidak, sebagai kesimpulan akhir, apa yang telah

diperbuat JIMM saat ini sudah merupakan catatan tersendiri dalam sejarah pemikiran

Muhammadiyah, sebuah “pemberontakan.”

--oo0oo--

*Ahmad Najib Burhani, Master dalam bidang Islamic Studies dari

Universiteit Leiden, Belanda (2004). Saat ini, selain menjadi

peneliti di Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB) -

LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan dosen di UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, ia juga aktif di Muhammadiyah. Menjadi peneliti

73

Sukidi Mulyadi, “Muhammadiyah Liberal dan Anti-Liberal” dalam Majalah Tempo, edisi

20/XXXIV/11-17 Juli 2005. 74

Hilman Latief, “Muhammadiyah intellectuals need meaningful dialog,” (The Jakarta Post, 20/7/05).

Page 25: JIMM

25

pada beberapa penelitian, seperti: Islam & Peace Building in

Indonesia: the Analysis of Radical Movements and their Implication

for Security-Development Prospects (ICIP-JICA, 2004). Buku yang telah

dipublikasikan a.l. Tarekat Tanpa Tarekat (Serambi, 2002), Sufisme

Kota (Serambi, 2001), Islam Dinamis (Kompas, 2001), Manusia Modern

Mendamba Allah (IIMaN-Hikmah, 2002 –editor), SQ, Spiritual

Intelligence (Mizan, 2001 –penerjemah), Islam Tanpa Syariat

(Grafindo, 2005 –editor). Beberapa tulisannya diikutsertakan dalam

buku a.l. M. Amien Rais dalam Sorotan Generasi Muda Muhammadiyah

(Mizan, 1998), Gus Dur dalam Sorotan Cendekiawan Muhammadiyah (Mizan,

1999), Puasa dan Kejujuran (Kompas, 2000), dan Geger di ‘Republik’ NU

(Kompas-Lakpesdam NU, 1999).