(ﲏّﺒﺗ)digilib.uinsby.ac.id/1171/5/bab 2.pdf · pengertian anak angkat menurut mahmut saltut...
TRANSCRIPT
15
BAB II
TEORI PEGANGKATAN ANAK DAN PENGERTIAN PUTUSAN
A. Pengangkatan Anak
1. Pengertian Pengangkatan Anak
Kata anak angkat, identik dengan kata adopsi. Secara etimologi
dikenal masyarakat dengan kata adopsi,ambil anak, kukut anak, angkat
anak, anak pupon, anak pulung, anak kukut,anak pungut. Mengangkat anak
disebut juga mupu anak, mulung, ngukut anak, mungut anak.1 Adopsi
berasal dari kata 'adoptie' bahasa Belanda, atau 'adopt' (adoption) bahasa
Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.2 Dalam bahasa
Arab disebut 'tabanni' ( ّتبني) yang menurut Mahmud Yunus diartikan dengan
"mengambil anak angkat".3
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia dijumpai arti anak angkat,
yaitu "anak orang lain yang diambil (dipelihara) dan serta disahkan secara
hukum sebagai anak sendiri."4 Dalam Ensiklopedi Indonesia, disebutkan:
adopsi (adoption/adopsio) adalah pemungutan atau pengangkatan anak orang
1R. Soepomo, Hukum Perdata Adat Jawa Barat, Terj. Nani Sofwondo, (Jakarta: Jambatan,1967),27
– 28. 2John M. Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia An English-Indonesia Dictionary,
(Jakarta: PT. Gramedia, 2000),13. 3Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir
Al-Qur’an, 1973), 73. 4Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),41.
16
lain oleh seseorang yang menjadikan anak adopsi (anak angkat) itu berstatus
sebagai anak kandung bagi pengangkat, baik dalam lingkungan Hukum Adat
maupun dalam lingkungan Hukum Perdata berdasarkan undang-undang.
Adopsi yang dalam bahasa Arab disebut tabanni mengandung pengertian
untuk memberikan status yang sama, dari anak angkat sebagai anak kandung
sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan kewajiban yang persis
sama pula. Sedang istilah anak angkat adalah pengertian menurut hukum
adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan pengertian,
sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia.
Secara terminologi, ada beberapa pengertian adopsi yang
dikemukakan oleh para ahli. Menurut Wahbah Al-Zuhaili sebagaimana
dikutip Andi syamsu dan M. Fauzan dalam buku Hukum Pengangkatan Anak
dalam perspektif Islam, “Tabanni” adalah pengambilan anak yang dilakukan
oleh seseorang terhadap anak yang jelas nasab-nya, kemudian anak itu
dinasabkan kepada dirinya.5 Dalam pengertian lainTabanni adalah seseorang
laki-laki atau perempuan yang dengan sengaja menasabkan seorang anak
kepada dirinya padahal anak tersebut sudah punya nasab yang jelas pada
orang tua kandungnya.6 Pengertian anak seperti demikian jelas bertentangan
dengan hukum Islam, maka unsur menasabkan seorang anak kepada orang
5Wahbah al-Zuhaili , al fiqih al-Isla>mi wa al- adillathu, Juz 9, (Bairut, Dar al Fikr al-
Ma’ashir,1989), 271 6 Andi Syamsu, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, (Jakarta: Kencana, 2008), 20.
17
lain yang bukan nasabnya harus dibatalkan. Menurut Mahmud Saltut, ada
dua macam anak angkat, yaitu :
1) Pernyataan seseorang terhadap anak yang diketahui bahwa ia sebagai
anak oranglain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak
dalam segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan
dalam segala kebutuhannya, bukandiperlakukan sebagai anak
kandungnya sendiri.
2) Pengertian yang dipahamkan dari perkataan “Tabanni” (mengangkat
anak secara mutlak) menurut hukum adat dan tradisi yang berlaku
pada manusia, yaitu memasukkan anak yang diketahuinya sebagai
anak orang lain kedalam keluarganya yang tidak ada hubungan
pertalian nasab kepada dirinya sebagai anakyang sah kemudian ia
mempunyai hak dan kewajiban sebagai anak.
Dari definisi yang dikemukakan diatas dapat dikatakan bahwa
pengertian anak angkat menurut Mahmut Saltut lebih tepat untuk Indonesia
yang mayoritas beragama Islam. Sebab disini tekanan pengangkatan anak
adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,
pendidikan, dan pelayanan dalam segala kebutuhan, bukan diperlakukan
seperti anak nasabnya sendiri.
Oleh karena itu anak angkat bukan sebagai anak pribadi menurut
syari’at Islam dan tidak ada ketetapan sedikitpun menurut syariat Islam
18
kalau mengambil standar hukum Islam untuk membenarkannya. Sedangkan
pengertian kedua menurut Mahmud Saltut tersebut sama persis menurut
hukum barat yang arahnya lebih menekankan kepada memasukkkan anak
yang diketahui sebagai anak orang lain kedalam keluarganya dengan
mendapat status dan fungsi yang sama dengan anak kandung. Pengertian
kedua ini mempunyai konsekuensi sampai kepada hak mewarisi harta
warisan orang tua angkatnya.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, anak angkat adalah seorang bukan
turunan dua orang suami istri yang diambil, dipelihara dan diperlakukan oleh
mereka sebagai anak turunannya sendiri.7 Dengan demikian,dari pengertian
anak angkat yang dikemukakan oleh Mahmud Syaltut lebih tepat untuk
kultur Indonesia yang mayoritas pemeluk Islam, sebab di sini tekanan
pengangkatan anak adalah perlakuan sebagai anak dalam segi kecintaan,
pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya
bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri. Oleh karena itu dia bukan
sebagai anak pribadi menurut syari'at Islam dan tidak ada ketetapan
sedikitpun dari syariat Islam kalau kita mengambil patokan hukum Islam
yang membenarkan arti yang demikian itu. Adopsi diatur dengan peraturan
yang bersifat tertentu, baik mengenai diri pihak yang hendak mengangkat
anak, maupun mengenai diri yang hendak diangkat. Hukum yang berwenang
7Wirjono Prodjodikoro, Hukum Warisan di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung), 1988,
. 37.
19
memutus dalam perkara adopsi itu, diharuskan meneliti dan menilai segala
sesuatu dengan sebaik-baiknya.8 Meskipun ada yang membedakan antara
pengertian adopsi dengan pengertian anak angkat, tapi hal ini menurut hemat
penulis hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan sistem hukum negeri yang
bersangkutan.
Pengertian pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 Pasal 1 adalah suatu perbuatan
hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan keluarga
orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, kedalam lingkungan
keluarga orang tua angkat. Sedangkan pengertian orang tua angkat menurut
PP tersebut adalah orang yang diberi kekuasaan untuk merawat, mendidik,
dan membesarkan anak berdasarkan peraturan perundang-undangan dan adat
kebiasaan.
Pengertian dalam bahasa Belanda (BW) berarti pengangkatan seorang
anak sebagai anak kandungnya sendiri. Jadi di sini penekanannya pada
persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak
kandung. Ini adalah pengertian secara harfiah, yaitu (adopsi) dikonvensi ke
dalam bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.
Selanjutnya pembaharuan Hukum Islam Indonesia, dalam Buku II tentang
8Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek/Bagian Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak
Anak Sekolah Dasar, Ensiklopedi Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1992), 83
20
kewarisan Bab I Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dinyatakan bahwa
anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaannya untuk hidupnya
sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya beralih tanggung jawab dari
orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan.9
2. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
a. Menurut Hukum Islam
1. QS. Al-Ahzab ayat 4
Artinya :
”Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” 10
9Dirbinbapera Depag, Himpunan Perundang-undangan dalam lingkungan pengadilan Agama,
2001, 360. 10 Departemen Agama RI, al-Quran dan Terjemahnya, (Depok: Cahaya Qur’an, 2008), 418.
21
2. QS. Al-Ahzab ayat 5
Artinya : Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.11
Ayat tersebut dengan tegas membantah anggapan bahwa anak
angkat berkedudukan sebagai anak kandung dan masuk dalam kelompok
kerabat. Akibat anak angkat itu tidak termasuk kerabat orang tua
angkatnya, maka mereka tetap dipanggil menurut nama orang tua
asalnya sebagaimana tersebut dalam ayat 5. Dua ayat yang disebutkan di
atas tegas sekali menolak anak angkat dalam pengertian adopsi; yaitu
masuknya anak angkat ke dalam lingkungan kerabatan orang tua
11Ibid.
22
angkatnya.Dengan demikian tidak ada hubungan kewarisan antara orang
tua angkat dengan anak angkatnya.
Pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam adalah
pengangkatan anak yang bersumber pada al-Qur’an dan Sunnah serta
hasil ijtihad yang berlaku di Indonesia yang diformulasikan dalam
berbagai produk pemikiran hukum Islam, baik dalam bentuk fiqih, fatwa,
putusan pengadilan, maupun peraturan perundang-undangan, termasuk
didalamnya Kompilasi Hukum Islam.12
b. Menurut Hukum Adat di Indonesia
Dalam beberapa kelompok masyarakat, pengangkatan anak
berdasarkan hukum adat setempat dikenal dengan cara dan mekanisme
yang berbeda. Hanya saja, secara umum prinsip hukum adat dalam
pengangkatan anak adalah sama: si anak angkat akan memiliki
hubungan yang lebih kuat dengan orang tua angkatnya. Pada beberapa
suku, anak yang diangkat terputus hubungannya dengan orang tua
kandung.13
Motivasi pengangkatan anak secara adat juga lebih didasari pada
kekhawatiran atas kepunahan generasi. Berbeda dari esensi
pengangkatan anak berdasarkan UU No. 23 Tahun 2002 tentang
12 Mustofa Sy, Pengangkatan Anak Kewengangan Pengadilan Agama , (Jakarta: Kencana
Predana Group,2008),21. 13Muhammad Yasin.”Adopsi menurut hukum adat “dalam
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6157/adopsi-menurut-hukum-adat(09 Juni 2010)
23
Perlindungan Anak (UU Perlindungan Anak) yang lebih menekankan
motivasi demi kepentingan terbaik si anak. Pasal 39 ayat (1) UU
Perlindungan Anak merumuskan secara jelas: “Pengangkatan anak
hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan
dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku”.14
Pengangkatan anak berdasarkan adat sebenarnya sudah sering
terjadi. Bahkan tidak jarang menimbulkan persoalan hukum ketika
menyangkut pembagian waris atau perceraian. Salah satu perkara yang
dapat dijadikan rujukan adalah putusan Mahkamah Agung No. 1074
K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996. Dalam putusan ini, MA menyatakan
menurut hukum adat Jawa Barat, seseorang dianggap sebagai anak
angkat bila telah diurus, dikhitan, disekolahkan, dan dikawinkan oleh
orang tua angkatnya.15
Di Indonesia pada umumnya orang lebih suka mengambil anak
dari kalangan keluarga sendiri, sering tanpa surat adopsi yang
semestinya. Kemudian berkembang, dimana orang tidak membatasi dari
anak kalangan sendiri tapi, juga pada anak-anak orang lain yang
terdapat pada panti-panti asuhan, tempat-tempat penampungan bayi
terlantar dan lain sebagainya walaupun masih bersifat sangat selektif.
14 Mustofa Sy, Pengangkatan Anak Kewengangan Pengadilan Agama ,16 15Ibid,.33
24
Secara umum telah disadari, bahwa yang terpenting adalah
kebahagiaan dan kesejahteraan si anak, pengangkatan anak tidak lagi
dilakukan hanya untuk melanjutkan keturunan tetapi telah terjadi
pergeseran kearah kepentingan anak.16 Dari aneka latar belakang tujuan
pengangkatan anak yang berkembang, maka alasan yang paling
menonjol adalah karena tidak mempunyai anak kandung.
Di daerah Malang dan Kabupaten Garut ada juga alasan orang
mengangkat anak sebagai ‘pancingan’, yaitu berharap supaya
mendapatkan anak kandung sendiri.Disamping itu ada juga karena rasa
kasihan terhadap anak kecil yang menjadi yatim piatu atau disebabkan
orang tua tidak mampu memberi nafkah.17 Tidak berbeda jauh dengan
pengangkatan anak yang ada di daerah Kabupaten Batanghari
Palembang, khususnya Marga Mestong. Di sini pengangkatan anak
dilakukan selain tidak mempunyai anak juga karena faktor kepercayaan
dengan harapan sang istri akan hamil dan sebagai sarana mempererat
hubungan kekeluargaan. 18
16 Ibid. 17Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tujuan dari Tiga Sistem Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika,1995),
9-10 18Ibid., 10
25
c. Menurut Hukum Positif di Indonesia
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak.
- Pasal 12 (1) : Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan
dilakukan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan
anak.
- Pasal 12 (3) : Pengangkatan anak dilakukan diluar adat dan
kebiasaan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
2. Sema Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pemeriksaan Permohonan
Pengangkatan Anak.
3. Penjelasan angka 37 Pasal 49 huruf (a) butir 20, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 (Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 (Tentang Perlindungan
Anak).
5. Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 (Tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak).
6. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2005 (Tentang
Pengangkatan Anak).
26
7. Peraturan Menteri Sosial Republik IndonesiaNo. 110/HUK/2009
(Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak).
8. Keputusan Menteri Sosial Republik Indonesia No.
41/HUK/KEP/VII/1984 (Tentang PetunjukPelaksanaan Perizinan
Pengangkatan Anak ).
9. Fatwa MUI Tahun 1982, yang kemudian secara Hukum Islam pada
tahun 1991 telah terbit KHI yang diberlakukan di Indonesia
dengan Intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.
3. Syarat Pengangkatan Anak
Dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang
Perlindungan Anak dinyatakan:
1) Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang
terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2) Pengangkatan anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), tidak
memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dan orang tua
kandungnya.
3) Calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh
calon anak angkat.
4) Pengangkatan anak oleh warga negara asing hanya dapat dilakukan
sebagai upaya terakhir.
5) Dalam hal asal-usul tidak diketahui,maka agama anak disesuaikan
dengan agama mayoritas penduduk setempat.
Penjelasan Pasal 39 ayat (5) berbunyi:
Ketentuan ini berlaku untuk anak yang belum berakal dan
bertanggungjawab dan menyesuaikan agamanya dilakukan oleh
27
mayoritas penduduk setempat (setingkat desa atau kelurahan) secara
musyawarah, dan telah diadakan penelitian yang sungguh-sungguh.
Pasal 40
1) Orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya
mengenai asal usulnya dan orang tua kandung.
2) Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan kesiapan
anak yang bersangkutan.
Penjelasan Pasal 40 ayat (2) berbunyi:
Yang dimaksud dengan kesiapan dalam ketentuan ini sebagai kesiapan
anak tersebut secara psikologis dan psikososial diperkirakan anak telah
siap. Hal tersebut biasanya dapat dicapai apabila anak sudah mendekati
usia 18 (delapan belas) tahun.
Pasal 41
1) Pemerintah dan masyarakat melakukan bimbingan dan pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak.
2) Ketentuan mengenai bimbingan dan pengawasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah .19
Deklarasi tentang hak anak-anak yang disahkan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa, pada 20 November 1959, antara lain menyatakan:
Anak-anak berhak mendapatkan pendidikan wajib secara cuma-cuma
sekurang-kurangnya di tingkat sekolah dasar. Mereka hanya mendapat
pendidikan yang dapat meningkatkan pengetahuan umumnya, dan yang
memungkinkan mereka, atas dasar kesempatan yang sama, untuk
mengembangkan kemampuannya, pendapat pribadinya, dan perasaan
tanggung jawab moral dan sosialnya, sehingga mereka dapat menjadi
anggota masyarakat yang berguna.
19 Ibid., 35
28
Kepentingan anak haruslah dijadikan dasar pedoman oleh mereka
yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan bimbingan anak yang
bersangkutan, pertama-tama tanggung jawabnya terletak pada orang tua
mereka.Anak-anak harus mempunyai kesempatan yang leluasa untuk bermain
dan berekreasi yang harus diarahkan untuk tujuan pendidikan; masyarakat
dan penguasa yang berwenang harus berusaha meningkatkan pelaksanaan hak
tersebut (asas 7).
Anak-anak harus dilindungi dari segala bentuk penyianyiaan
kekejaman dan penindasan. Dalam bentuk apa pun, mereka tidak boleh
menjadi bahan perdagangan. Tidak dibenarkan mempekerjakan anak-anak di
bawah umur. Dengan alasan apapun mereka tidak boleh dilibatkan dalam
pekerjaan yang dapat merugikan kesehatan atau pendidikan mereka, maupun
yang dapat mempengaruhi perkembangan tubuh, mental atau akhlak mereka
(asas 9).
Anak-anak harus dilindungi dari perbuatan yang mengarah ke dalam
bentuk diskriminasi, agama maupun bentuk-bentuk diskriminasi lainnya.
Mereka harus dibesarkan di dalam semangat yang penuh pengertian,
toleransi, persahabatan antarbangsa dan perdamaian.Persaudaraan semesta
dan dengan penuh kesadaran tenaga dan bakatnya harus diabdikan kepada
sesama manusia (asas 10).20
Asas-asas yang dirumuskan di dalam deklarasi hak anak-anak tersebut
di atas sungguh merupakan gagasan atau kehendak yang sangat ideal. Ada
semacam keterbukaan, demokratis, dan prinsip kasih sayang di dalamnya.
Namun dihadapkan kepada realitas kehidupan masyarakat masa kini, gagasan
20 Muhammad Yasin. Adopsi menurut hukum adat dalam “http://www. hukumonline. Com /
klinik/ detail/cl6157/adopsi-menurut-hukum-adat” (09 Juni 2013)
29
dan kehendak tersebut di atas dikhawatirkan hanya akan menjadi kalimat
indah belaka.
Pada masa kini, terdapat keterangan yang dinyatakan baik secara
langsung ataupun tidak langsung melalui koran atau televisi adanya berjuta-
juta anak, terutama di negara-negara dunia ketiga yang terlantar,yang harus
memikul tanggung jawab di luar batas kemampuannya. Di Timur Tengah,
Afrika, dan Kamboja terlihat nasib anak-anak yang hidup di daerah-daerah
pemukiman sementara kesehatan dan pendidikan mereka sungguh tidak
terperhatikan. Distabilisasi atau keadaan yang serba tidak menentu itu
sungguh berpengaruh pada mental dan perkembangan bagi anak-anak.
Keadaan nyata yang mereka hadapi sehari-hari jelas akan berpengaruh pula
pada persepsi dan tatapan ke masa depan. 21
Di Indonesia, selain peristiwa Ari Hanggara yang mendapat perhatian
publik begitu besar karena melibatkan penganiayaan anak oleh orang tuanya,
kita masih sering dan selalu menyaksikan, bagaimana anak-anak terpaksa
harus bekerja membantu ekonomi rumah-tangga orang tuanya. Jutaan anak-
anak karena suatu keadaan, dan biasanya karena soal ekonomi, terpaksa tidak
mendapatkan pelayanan kesehatan yang layak, serta sulit untuk menikmati
pendidikan yang memadai.
21Ibid.
30
4. Tujuan Pengangkatan Anak
Tujuan pengangkatan anak antara lain untuk meneruskan keturunan
manakala dalam suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan.22 Adapun
tujuan pengangkatan anak menurut Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang pelaksanaan pengangkatan anak
dalam Pasal 2 adalah pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak,yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan setempoat
dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ini merupakan motivasi yang
dapat dibenarkan dan salah satu jalan keluar yang positif dan manusiawi
terhadap naluri kehadiran seorang anak dalam keluarga setelah bertahun-
tahun belum dikarunia anak. Selain itu juga untuk menambah jumlah
keluarga, dengan maksud agar anak angkat mendapat pendidikan yang baik,
atau untuk mempererat hubungan keluarga. Disisi lain , merupakan suatu
kewajiban bagi orang yang mampu terhadap ana yang tidak mempunyai
orang tua, sebagai misi keadilan sosial dalam Islam, dimana syariat Islam
memberikan hak kepada orang-orang kaya untuk mewariskan sebagian
peninggalannya kepada anak-anak angkatnya untuk menutupi kebutuhan
hidupnya di masa depan.
22 Andi Syamsu, Hukum Pengangkatan Anak Perspektif Islam, 30.
31
B. Putusan
1. Pengertian Putusan
Dalam sistem peradilan perdata, dikenal istilah yang bernama
permohonan. Permohonan biasa disebut dengan voluntair dengan merujuk
pada pasal 2 ayat 1 UU no.14 tahun 1970 ( yang diubah dengan UU no.35
tahun 1999) yang mengatakan bahwa :
“Penyelesaian setiap perkara yang diajukan kepada badan peradilan
mengandung pengertian di dalamnya penyelesaian masalah yang
bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair.” permohonan/ voluntair adalah
permasalahan perdata yang diajukan dalam bentuk permohonan yang
ditandatangani oleh pemohon ataupun kuasanya yang ditujukan kepada
ketua Pengadilan Negeri yang berwenang.
Putusan adalah produk peradilan yang sesungguhnya (jurisdictio
contentiosa), di mana selalu memuat perintah dari pengadilan kepada pihak
yang kalah untuk melakukan sesuatu, atau untuk berbuat sesuatu, atau
melepaskan sesuatau, menghukum sesuatu. Jadi dalam diktum vonis selalu
bersifat condemnation (menghukum), atau bersifat constitutoir
(menciptakan). Perintah dari peradilan ini jika tidak dilaksanakan dengan
32
suka rela, maka dapat dilaksanakan secara paksa yang bisa disebut
eksekusi.23
Berikut ini adalah ciri-ciri dari permohonan/ voluntair :
a. Masalah yang diajukan bersifat kepentingan sepihak Dari hal ini, sifat
dari permohonan/voluntair adalah murni untuk menyelesaikan
permohonan tentang suatu masalah perdata yang pada prinsipnya
memerlukan suatu kepastian hukum dan apa yang dipermasalahkan
oleh pemohon tidak bertentangan dengan kepentingan orang lain.
b. Permasalahan yang dimohonkan suatu penyesuaian pada Pengadilan
Agama yang pada hakikatnya tanpa ada suatu sengketa dengan pihak
lain.
Dalam hal permohonan/voluntair, tidak dibenarkan adanya pengajuan
permohonan/voluntair akan penyelesaian sengketa maupun penyerahan/
pembayaran ganti kerugian. Tidak ada pihak lain yang ditarik sebagai
lawan, sifat permohonan/ voluntair adalah ex-parte.24
Menurut Mukti Arto putusan ialah penyataan hakim yang
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang
terbuka untuk umum, sebagai hasil dari pemeriksaan perkara gugatan
(kontentius). Sedangkan penetapan ialah juga pernyataan hakim yang
23 Raihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1998), 200.
24 Roy Sanjaya, “Permohonan/Voluntair,” dalam http://roysanjaya. blogspot.com/2008/09/
permohonan-voluntair.html/ (07 Januari 2014)
33
dituangkan dalam bentuk tertulis dan diucapkan oleh hakim dalam sidang
terbuka untuk umum sebagai hasil dari pemeriksaan permohonan
(voluntair). 25
Petitum permohonan haruslah mengacu pada penyelesaian
kepentingan pemohon secara sepihak dan tentunya tidak boleh melanggar/
melampaui hak orang lain. Adapun acuannya adalah sebagai berikut :
a. Isi petitum merupakan permintaan yang sifatnya deklaratif
b. Petitum tidak boleh melibatkan pihak lain yang tidak ikut sebagai
pemohon.
c. Tidak boleh memuat petitum yang bersifat condemnatoir ( mengandung
hukum)
d. Petitum permohonan harus dirinci satu persatu tentang hal-hal yang
dikehendaki pemohon ditetapkan pengadilan padanya.
Proses pemeriksaan permohonan/ voluntair :
a. Jalannya proses pemeriksaan secara ex-parte
Proses pemeriksaan permohonan hanya secara sepihak/ bersifat
ex-parte dan yang hadir dalam proses persidangan hanyalah pemohon /
kuasanya. Pada prinsipnya, proses ex-parte memiliki sifat yang
sederhana:
25 Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), 168.
34
1. Hanya mendengar keterangan pemohon / kuasanya sehubunga
dengan permohonan yang diajukan.
2. Memeriksa bukti surat / saksi yang diajukan pemohon.
3. Tidak ada tahap replik-duplik dan kesimpulan.
4. Yang diperiksa di sidang hanya keterangan dan bukti pemohon.
Pemeriksaan tidak berlangsung secara contradictoir Yang
dimaksudkan dalam hal ini adalah bahwa dalam proses pemeriksaan, tidak
ada bantahan dari pihak lain. Yang ada hanya dalam proses pemeriksaan
gugatan contensiosa yang berlangsung secara condemnatoir. Keterangan dan
bukti yang diajukan oleh penggugat dapat dibantah dan dilumpuhkan oleh
tergugat dan sebaliknya.
5. Macam – macam Putusan
Produk hakim dari hasil pemeriksaan perkara di persidangan ada 3
macam yaitu : putusan, penetapan, dan akta perdamaian.26 Secara umum
macam-macam putusan pengadilan diatur dalam pasal 185 HIR dan tanpa
mengurangi ketentuan yang terdapat dalam pasal 180 HIR :27
a. Putusan Declaratoir (pernyataan)
Putusan declaratoir adalah putusan yang hanya menegaskan
atau menyatakan suatu kedaan hukum semata-mata. Misalnya putusan
26 Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata ,(Jakarta: Sinar Grafik, 2011), 872. 27 R. Soesilo, RIB/HIR dengan Penjelasan,(Bogor: Politeia, 1995),137.
35
tentang keabsahan anak angkat menurut hukum, putusan ahli waris
yang sah.
b. Putusan Constitutif (pengaturan)
Putusan contitutief adalah putusan yang dapat meniadakan
suatau keadaan hukum atau meneimbulkan suatu keadaan hukum yang
baru. Misalnya: putusan tentang perceraian, putusan yang
menyatatakan seseorang jatuh pailit.28
c. Putusan Condemnatoir (menghukum)
Putusan condemnatoir adalah putusan yang bersifat
menghukum, atau dengan kata lain, putusan menjatuhkan hukuman.
misalnya: menghukum tergugat untuk mengembalikan sesuatu barang
kepada penggugat atau untuk membayar kepadanya sejumlah uang
tertentu sebagai pembayaran utangnya.
d. Putusan Preparatoir
Putusan preparatoir adalah putusan sebagai akhir yang tanpa
ada pengaruh terhadap pokok perkara atau putusan akhir. Misalnya:
putusan yang untuk menggabungkan dua perkara atau untuk menolak
diundurkannya pemeriksaan saksi, putusan yang memerintahkan pihak
yang diwakili oleh kuasanya untuk datang sendiri.29
28 Sarwono, Hukum Acara Perdata Teori dan Praktek, (Jakarta: Sinar Grafik, 2011) ,212.
29 Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Peradilan Agama, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2012), 231.
36
e. Putusan Interlucutioir
Putusan interlucutioir adalah putusan sela yang dapat
mempengaruhi akan bunyi putusan akhir. Misalnya: pemeriksaan saksi,
putusan untuk mendengar para ahli, pemeriksaan setempat, putusan
tentang pembebanan pihak, sumpah dan putusan yang memerintahkan
salah satu pihak untuk membuktikan sesuatu.
f. Putusan Insidentil
Putusan insidentil adalah putusan yang berhubungan dengan
insiden, yaitu suatu peristiwa atau kejadian yang menghentikan
prosedur peradilan biasa. Misalnya kematian kuasa dari satu pihak, baik
tergugat maupun penggugat, putusan yang membolehkan seseorang
ikut serta dalam perkara “voeging”, “vrijwaring”, “tusschenkomst”.30
g. Putusan Provisionil
Putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan
provisional, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara
diadakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum
putusan akhir dijatukan. Jadi putusan yang disebabkan oleh adanya
hubungan dengan pokok perkara dapat menetapkan suatu tindakan
sementara bagi kepentingan salah satu pihak yang berperkara.
Misalnya: putusan mengenai gugatan istri terhadap suaminya untuk
30 Ibid., 232.
37
memberi biaya penghidupan selama pokok perkara masih berlangsung
dan belum menghasilkan putusan akhir.31
h. Putusan Kontradiktoir
Putusan kontradiktoir adalah putusan yang diambil dari tergugat
yang perna datang menghadap di persidangan, tetapi pada hari-hari
sidang berikutnya tidak datang maka perkaranya diperiksa secara
kontradiktor, kemudian diputuskannya. Artinya, diputus di luar
hadirnya salah satu pihak yang berperkara.32
i. Putusan Verstek
Putusan verstek adalah putusan yang diambil dari tergugat yang
tidak pernah hadir di persidangan meskipun telah dipanggil secara
resmi dan patut, tetapi gugatan dikabulkan dengan putusan di luar hadir
atau “verstek”, kecuali gugatan itu melawan hak atau tidak beralasan.
j. Putusan Akhir
Setelah hakim selesai memeriksa perkara dan tidak ada lagi hal-
hal yang perlu diselesaikan dalam persidangan, maka hakim
menjatukan putusan terhadap perkara yang diperiksanya. Putusan akhir
adalah suatu pernyataan yang oleh hakim, sebagi pejabat negara yang
diberi wewenang untuk itu, diucapkan dalam persidangan dan bertujuan
31 Mujahidin, Hukum Acara Peradilan Agama, 233.
32Surwono, Hukum Acara Perdata, 215.
38
untuk mengakhiri atau menyelesaikan perkara atau sengketa antara
para pihak yang beperkara dan diajukan kepada pengadilan.33
33 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta:
Kencana, 2008), 308.