ii. tinjauan pustaka 2.1 morfologi tanaman sorgum …eprints.umm.ac.id/51779/26/bab ii.pdf ·...

16
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Morfologi Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor L.) Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman gramine yang mampu tumbuh hingga 6 meter. Bunga sorgum termasuk bunga sempurna, dimana kedua alat kelaminnya berada di dalam satu bunga. Bunga sorgum merupakan bunga tipe panicle (susunan bunga di tangkai). Rangkaian bunga sorgum berada dibagian ujung tanaman. Bentuk tanaman ini secara umum hampir mirip dengan jagung yang membedakan adalah tipe bunga, dimana jagung memiliki bunga tidak sempurna sedangkan sorgum bunga sempurna (Candra, 2011). Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnnya silinder dengan ukuran diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5 cm - 5,0 cm. Tinggi batang tanaman sorgum bervariasi yaitu antara 0,5 m - 4,0 meter tergantung pada varietas. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 meter, dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2002). Panen batang dilakukan pada saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 - 18 minggu (112 - 126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90-100 hari. Oleh karena itu biji dipanen terlebih dahulu (Almodares, 2009). Tinggi tanaman sorgum bergantung pada jumlah dan ukuran ruas batang, sorgum memiliki tinggi rata-rata 2,6 - 4 meter. Pohon dan daun sorgum mirip dengan jagung. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat mencapai 5 meter, dan struktur tanaman yang tinggi dikembangkan untuk pakan 6

Upload: others

Post on 30-Oct-2019

38 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Morfologi Tanaman Sorgum (Sorghum bicolor L.)

Tanaman sorgum (Sorghum bicolor L.) merupakan tanaman gramine yang

mampu tumbuh hingga 6 meter. Bunga sorgum termasuk bunga sempurna,

dimana kedua alat kelaminnya berada di dalam satu bunga. Bunga sorgum

merupakan bunga tipe panicle (susunan bunga di tangkai). Rangkaian bunga

sorgum berada dibagian ujung tanaman. Bentuk tanaman ini secara umum hampir

mirip dengan jagung yang membedakan adalah tipe bunga, dimana jagung

memiliki bunga tidak sempurna sedangkan sorgum bunga sempurna (Candra,

2011).

Tanaman sorgum mempunyai batang yang merupakan rangkain berseri dari

ruas (internodes) dan buku (nodes). Bentuk batangnnya silinder dengan ukuran

diameter batang pada bagian pangkal antara 0,5 cm - 5,0 cm. Tinggi batang

tanaman sorgum bervariasi yaitu antara 0,5 m - 4,0 meter tergantung pada

varietas. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat

mencapai 5 meter, dan struktur tanaman yang tinggi sangat ideal dikembangkan

untuk pakan ternak dan penghasil gula (FAO, 2002). Panen batang dilakukan pada

saat kemasakan optimal, pada umumnya terjadi pada umur 16 - 18 minggu (112 -

126 hari), sedangkan biji umumnya matang pada umur 90-100 hari. Oleh karena

itu biji dipanen terlebih dahulu (Almodares, 2009).

Tinggi tanaman sorgum bergantung pada jumlah dan ukuran ruas batang,

sorgum memiliki tinggi rata-rata 2,6 - 4 meter. Pohon dan daun sorgum mirip

dengan jagung. Tinggi batang sorgum manis yang dikembangkan di China dapat

mencapai 5 meter, dan struktur tanaman yang tinggi dikembangkan untuk pakan

6

7

ternak dan penghasil gula. Tinggi tanaman sorgum berhubungan erat dengan umur

dan jumlah daun (FAO, 2002).

Pada beberapa varietas sorgum, batangnya dapat mengahasilkan tunas baru

membentuk percabangan atau anakan yang dapat tumbuh menjadi individu baru

selain batang utama. Ruas batang sorgum gemmiferous, setiap ruas terdapat satu

mata tunas dapat tumbuh sebagai anakan atau cabang. Tunas yang tumbuh pada

ruas yang terdapat dipermukaan tanah akan tumbuh sebagai anakan, sedangkan

tunas yang tumbuh pada batang bagian atas menjadi cabang. Pertumbuhan tunas

atau anakan bergantung pada varietas dan lingkungan tumbuh tanaman sorgum.

pada suhu kurang dari 18°C memicu munculnya anakan pada fase pertumbuhan

daun ke-4 sampai ke-6. Tanaman sorgum tahunan mampu menghasilkan anakan

2-3 kali lebih banyak dari sorgum semusim. Kemampuan menghasilkan anakan

dan tunas lebih banyak menjadikan tanaman sorgum bisa dipanen untuk kemudian

ditumbuhkan lagi dari batang. Cabang pada tanaman sorgum umumnya tumbuh

apabila batang utama rusak. Jumlah cabang dan anakan bergantung pada varietas,

jarak tanam, dan kondisi lingkungan (Du Plessis,2008).

Sorgum mempunyai daun berbentuk pita, dengan struktur terdiri atas helai

daun dan tangkai daun. Posisi daun terletak secara berlawanan sepanjang batang

dengan pangkal daun menempel pada ruas batang. Panjang daun sorgum rata-rata

1 meter dengan penyimpangan 10 - 15 cm dan lebar 5 - 13 cm. Jumlah daun

bervariasi antara 7 - 40 helai, bergantung pada varietas. Keunikan daun sorgum

terdapat pada sel penggerek yang terletak di sepanjang tulang daun. Sel ini dapat

menggulung daun secara cepat bila terjadi kekeringan, untuk mengurangi

transpirasi. Pelepah daun melekat pada ruas dan menutupi batang, agak tebal dan

8

semakin tipis dipinggir, dengan lebar sekitar 25 - 30 cm atau beragam, bergantung

varietas, bagian dalamnya bewarna putih dan mengkilat, sedangkan bagian luar

bewarna hijau dan berlapis lilin. Permukaan pelepah licin hingga berambut (Du

Plessis, 2008).

Biji sorgum merupakan bagian dari tanaman memiliki ciri-ciri fisik berbentuk

bulat dengan berat 25 - 55 mg. Biji sorgum berbentuk butiran dengan ukuran 4,0 x

2,5 x 3,5 mm. Berdasarkan bentuk dan ukurannya, sorgum dibedakan menjadi tiga

golongan, yaitu biji berukuran kecil (8 - 10 mg), sedang (12 - 24 mg) dan besar

(25 - 35 mg). Biji sorgum tertutup sekam dengan warna muda krem atau

putih,beragantung pada varietas (Dicko et al, 2006).

2.2 Klasifikasi Tanaman Sorgum

Dalam sistem taksonomi tumbuhan, sorgum diklasifikiasikan oleh United

States Department of Agricultural. (2008) sebagai berikut :

Kingdom : Plantea (Tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Superdivisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)

Class : Liliopsida (Berkeping satu atau monokotil)

Subclass : Commelinidae

Ordo : Poales

Famili : Poaceae (Suku rumput-rumputan)

Genus : Sorghum

Spesies : Sorghum bicolor (L.) Moench

9

2.3 Genotip Sorgum

Salah satu masalah yang dihadapi di pengembangan sorgum komoditi di

Indonesia adalah kurangnya pengembangan varietas unggul, terutama disebabkan

mengenai perkembangan perundingan keragaman genotip lokal setempat. Di Jawa

timur, misalnya masih ada dan ditandai liar tidak dikenal keragaman genotip lokal

sorgum ( Susilowati, 2013).

Proses identifikasi keragaman genotip lokal liar dan aksesi diperlukan untuk

mengembangkan genotip lokal sorgum. Identifikasi dan karakterisasi adalah

orang-orang pertama menemukan variasi genetik tanaman untuk membangun

tanaman sorgum yang unggul melalui berbagai tipe genotip dalam proses

perkembangbiakkan yang baik. ( Mofokeng, 2012).

Berdasarkan pengembangan varietas unggul sorgum data di Indonesia dan

fakta bahwa populasi pemerintah masih membutuhkan rangka mendukung

keberhasilan ketahanan pangan, perlu melakukan penelitian karakterisasi dari

beberapa sorgum lokal keragaman genotip lokal ditemukan dijawa timur yaitu

Pasuruan, Lamongan 1, Lamongan 2, Tuban, Sampang 1, Sampang 2,

Tulungagung 1, Tulungagung 2, dan Jombang.

A.Tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang

Hasil uji tukey lebih lanjut, beberapa genotip menunjukkan perbedaan tinggi

tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Tabel 1 menunjukkan bahwa genotip

1 tulungagung dari pada dengan genotip lainnya dengan rata-rata 389.38 cm.

Tanaman terendah adalah genotip lamongan 1 (168,10 cm) dan tidak berbeda

dengan sampang1 dan sampang 2.

10

Demikian pula dengan jumlah daun dan diameter batang, tertinggi sebelumnya

dimiliki oleh genotip tulungagung 1 (13.56 helai masing-masing 2.44 cm dan),

meskipun ada beberapa yang cocok dengan genotip. Angka terenda dari daun

genotip tulungagung 2 yaitu 5.78 potongan, sementara yang terendah diameternya

ditemukan di genotip sampang 2 (1.32 cm). Dari data yng disebutkan diatas dapat

dijelaskan bahwa tinggi tanmaan tidak merata serta memiliki batang sorgum

terdiri dari segmen daun yang duduk. Tinggi tanaman terkena penyakit panjang

segmen sedangkan jumlah daun tergantung pada jumlah segmen ( L.R House,

1985).

B. Panjang malai, jumlah biji permalai, berat permalai biji, baerat 100 biji

Keragaman genotip bisa mengetahui lebih jelas dalam fase generatif. Secara

kualitatif, terdapat perbedaan besar dan cepat dalam bentuk dari sembilan malai

mempelajari angka 1. Pada tabel 2 menunjukkan bahwa genotip tulungagung 2

yang telah lebih lama dibanding dengan temuan malai di beberpa genotip, yaitu

50.92 cm tetapi tidak diikuti oleh jumlah biji per malai. Panjang malai terendah

ada di genotip jombang (20.51 cm) dan tidak berbeda dengan genotip tuban.

Jumlah benih tertinggi per malai dimilki oleh genotip sampang 2 yaitu

3,002.00 dan tidak berbeda dengan genotip lamongan 1 sedangakan yang terendah

genotip sampang 1, sebanyak 471,78. Genotip tuban yang telah berada di

peringkat unggulan lebih tinggi, berat genotip per malai dari pada yang lain, yang

merupakan 96.74 g sementara genotip sampang 1 benih cenderung menurun berat

genotip dari pada yang lain.

11

Unggulan 100 kali pertama masuk berat benih juga dapat dicapai melalui

genotip tuban, dari 3.20 g, meskipun tidak seperti genotip tulungagung 2, genotip

sampang 1 masih relatif rendah.

Table 1.Tinggi tanaman, jumlah daun dan diameter batang. Sumber : Sulistyawati

et al, (2018)

Catatan: angka- angka itu menunjukkan tidak ada perubahan yang signifikan hasil

uji tukey 5%.

Table 2. Ukuran malai, jumlah biji panicle-1, berat benih panicle-1 dan berat 100

biji. Sumber : Sulistyawati et al, (2018)

Catatan : angka-angka menunjukkan tidak ada perbedaan signifikan hasil uji tukey

5%.

12

Gambar 1. Morfologi dari 9 malai sorgum lokal di Jawa Timur. Sumber :

Sulistyawati et al, (2018)

2.4 Syarat Tumbuh

Tanaman sorgum dapat tumbuh dengan baik walaupun dibudidayakan pada

lahan yang kurang subur, air yang terbatas, dan input yang rendah, bahkan dilahan

berpasir pun masih dapat tumbuh dengan baik. Tanaman sorgum baik ditanam

pada kisaran ketinggian 0-500 mdpl. Apabilah ditanam pada ketinggian lebih dari

500 mdpl, tanaman sorgum akan terhambat pertumbuhannya dan memiliki umur

yang panjang. Curah hujan yang dibutuhkan tanaman ini adalah 600 mm/tahun.

Tanaman ini mampu hidup diatas suhu 47°F (Kusuma, 2008). Sorgum dapat

berproduksi dengan baik pada lingkungan yang curah hujannya terbatas atau tidak

teratur. Tanaman ini mampu beradaptasi dengan baik pada tanah yang sedikit

masam hingga sedikit basa.

Kondisi tekstur tanah yang digunakan tanaman sorgum adalah tanah

bertekstur sedang. Tanaman sorgum mampu hidup hampir di seluruh kondisi

lahan, karena tanaman sorgum dapat hidup pada tanah dengan kemasaman tanah

berkisar 5,50 sampai 7,50. Selain persyaratan diatas sebaiknya sorgum jangan

13

ditanam ditanah podzolik merah kuning (PMK) yang masam, namun untuk

memperoleh pertumbuhan dan produksi yang optimal perlu dipilih tanah ringan

atau mengandung pasir dan bahan organik yang cukup (Kusuma, 2008).

2.5 Jenis jenis hama tanaman sorgum

2.5.1 Hama ulat (Spodoptera frugiperda)

Gambar 2. Ulat (Spodoptera Frugiperda). Sumber: https://www.

Forestryimages.org/browse/detail.cfm?imgnum=1235063

Spodoptera frugiperda merupakan hama penting tanaman sorgum yang

menimbulkan kerusakkan secara ekonomis di seluruh bagian amerika. Investasi

serangan hama spodoptera frugiperda dapat mengurangi hasil tanaman sorgum

yang rentan dengan kerusakkan berisar 55-80%. Spodoptera frugiperda yang

menyerang tanaman sorgum tua yang berumur 13-22 hari menyebabkan

kehilangan hasil sebesar 50%. Selain itu serangan pada hasil panen menyebabkan

kerusakan pada gabah sorgum sebesar 76- 85%. Jadi hasil kerusakkan tersebut,

spodoptera frugiperda menimbulkan kerugian dari 0 menjadi 33% (Lauren M.

Barcelos et al, 2019).

2.5.2 Lalat bibit Atherigona soccata rondani

Lalat bibit selain menyerang sorgum juga jagung dan millet. Serangga

betina meletakkan telur pada taanaman sorgum berumur satu minggu setelah

tumbuh. Puncak peletakkan telur pada minggu ke tujuh. Telur umumnya

diletakkan pada daun ketiga dan keempat (Kordali et al, 2008). Telur diletakkan

14

satu per satu, umumnya satu per tanaman, sangat jarang 10 telur per tanaman.

Pengamatan pada 385 tanaman, telur yang diletakkan 444 biji dan umumnya pada

permukaan daun yang bersih. Telur yang telah diletakkan pada umur 2-3 hari akan

menetas menjadi larva pada umumnya 10-12 hari sebelum menjadi pupa. Lalat

dewasa akan keluar dari pupa yang telah berumur seminggu. Larva berukuran 1,5-

7,8 mm dan akan membuat lubang pada batang untuk membentuk pupa.

Kerusakkan umumnya terjadi pada tanaman sorgum muda, bahkan dapat

menyebabkan tanaman muda mati akibat gerekan larva.

Gambar 3. Lalat bibit Atherigona soccata rondani. Sumber : Sumarno et al,

(2013).

Pengendalian yang dilakukan secara kultur teknis, lalat bibit dapat hidup

pada sorgum liar, jagung, dan millet. Oleh karena itu, penyiangan tanaman akan

mengurangi intensitas serangan pada tanaman. Waktu tanam segera sesudah hujan

akan mengurangi serangan, terlambat tanam akan meningkatkan infestasi lalat

bibit (Reddy, 1981).

2.5.3 Kepik hijau pengisap malai Nezara viridula

Ada beberapa spsesies hama pengisap malai tanaman sorgum, anatara lain

Nysius raphanus dan leptoglossus phyllopus yang banyak menyerang sorgum di

Afrika, Oebalus pugnax dan Chlorochroa ligita yang penyebarannya terbatas di

Amerika, dan Nezara viradula yang penyebarannya hampir di seluruh dunia

(Teetes et al, 1983).

15

Gambar 4. Kepik hijau pengisap malai Nezara viridula. Sumber : Sumarno et al,

(2013).

Tanaman inang kepik hijau cukup luas yaitu jagung, kedelai, kacang tanah,

kapas, sorgum, padi, tembakau, kentang, cabe, dan sebagainya. Serangga dewasa

bewarna hijau merata di seluruh tubuh, berbentuk segi lima seperti prisai,

sedangkan nimfa warnannya berbeda-beda, bergantung pada perkembangan

instarmya. Awalnya bewarna coklat muda, kemudian hitam bintik putih,

selanjutnya hijau dengan bintik hitam dan putih. Telur diletakkan di bawah

permukaan daun dengan jumlah yang dapat mencapai 1.100 butir per betina

selama hidupnya. Priode telur 4-6 hari, perkembangan telur sampai serangga

dewasa berkisar antara 4-8 minggu. Nimfa maupun dewasa merusak tanaman

dengan mengisap polong, malai maupun bijitanaman kapas. Sorgum digunakan

sebagai tanaman dengan mengisap polong, malai maupun biji tanaman kapas.

Sorgum digunakan sebagai tanaman perangkap, karena kepik hijau lebih

menyukai sorgum dibanding kapas (Tilman, 2006).

Pengendalian secara kultur teknis, melakukan monitoring di sekitar

pertanaman, mungkin ada tanaman lain yang dapat digunakan sebagai perangkap

seperti Crotalaria sp. Penanaman serempak akan mengurangi perkembangan

kepik hijau. Sedangkan secara kimiawi, pengendalian dengan insektisida

sebaiknya pada fase nimfa yang cenderung mengumpul sehingga mudah

dikendalikan.

16

2.5.4 Helicoverpa armigera

Imago betina Helicoverpa armigera meletakkan telur rata-rata 730 butir,

telur menetas setelah tiga hari diletakkan. Larva spesies ini terdiri dari lima

sampai tujuh instar. Larva berkembang pada suhu 24°C-27°C selama rata-rata

12,8-21,3 hari. Larva serangga memiliki sifat kanibalisme dan mengalami masa

prapupa selama 1-4 hari. Masa prapupa dan pupa biasanya terjadi dalam tanah

pada kedalaman bergantung pada kekerasan tanah. Pupa umumnya terbentuk pada

kedalaman 2,5-17,5 cm. Serangga ini adakalanya berpupa pada tumpukkan limbah

tanaman. Pada kondisi lingkungan mendukung fase pupa bervariasi dari 6 hari

pada suhu 35°C sampai dengan 30 hari pada suhu 15°C. Tanaman inang selain

sorgum adalah jagung, kapas, dan tomat.

Gambar 5. Helicoverpa armigera. Sumber : Sumarno et al, (2013).

Pengendalian secara kultur tenis dapat dilakukan melakukan pengolahan

tanah yang baik akan merusak pupa yang terbentuk dalam tanah dan dapat

mengurangi populasi Helicoverpa armigera berikutnya.

2.5.5 Belalang kembara (Locusta migratoria. L)

Salah satu hama penting di indonesia yang terdapat di beberapa provinsi

yaitu Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Lampung,

Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Hama ini

merupakan salah satu faktor penghambat dalam program peningkatan produksi

17

tanaman. Kerusakkan dan kerugian yang ditimbulkan oleh hama belalang

kembara sangat bervariasi diikuti dengan peningkatan populasi yang tinggi.

Belalang ini cenderung untuk membentuk kelompok besar dan suka berpindah-

pindah sehingga dalam waktu yang singkat dapat menyebar pada areal yang luas.

Kelompok yang bermigrasi dapat memakan tumbuhan yang dilewatinya selama

dalam perjalanan. Prilaku makan belalang kembara dewasa biasanya hinggap

waktu sore hari dan malam hari sampai pagi hari sebelum terbang. Kelompok

nimfa yang bermigrasi dapat memakan tumbuhan di lokasi selama dalam

perjalanan. Belalang ini lebih cenderung memilih makanan yang lebih disukainya

terutama dari famili gramineae. Tanaman yang diserang adalah jagung, padi,

sorgum, atau spesies rumput lainnya.

Pengendalian hama ini dilakukan menggunakan green guard merupakan

bahan dagang bio- insektisida yang berisi konidia Metarhizium anisopliae var

acridum (Deuteromycotina: Hyphomycetes) yang diproduksi untuk pengendalian

populasi belalang kembara. Green guard merupakan pestisida yang bersifat ramah

lingkungan. Hasil uji coba di Australia, Cina dan Timor Leste cukuo efektif dalam

pengendalian hama belalang kembara. Di Australia umumnya pengendalian

belalang menggunakan Metarhizium anisopliae var acridum (F1 985) (Milner,

1997).

18

2.6 Hama ulat (Spodoptera frugiperda)

Gambar 6. Spodoptera frugiperda

Dalam sistem taksonomi tumbuhan, ulat (Spodoptera frugiperda)

diklasifikiasikan sebagai berikut yaitu domain: eukaryota, kingdom: metazoa,

phylum: arthropoda, sub phylum: uniramia, class: insecta, order: lepidoptera,

family: noctuidae, genus: Spodoptera, species: Spodoptera frugiperda, (CABI,

2019).

Ulat (Spodoptera frugiperda) merusak tanaman sorgum dengan cara larva

mengerek daun. Larva instar 1 awalnya memakan jaringan daun dan

meninggalkan lapisan epidermis yang transparan. Larva instar 2 dan 3 membuat

lubang gerekan pada daun dan memakan daun dari tepi hingga ke bagian dalam.

Larva ulat (Spodoptera frugiperda) mempunyai sifat kanibal sehingga larva yang

ditemukan pada satu tanaman sorgum antara 1-2, perilaku kanibal dimiliki oleh

larva instar 2 dan 3. Larva instar akhir dapat menyebabkan kerusakan berat yang

seringkali hanya menyisakan tulang daun dan batang tanaman sorgum.

19

Kepadatan rata-rata populasi 0,2 - 0,8 larva per tanaman dapat mengurangi

hasil 5 - 20%. Kerusakan pada tanaman biasanya ditandai dengan bekas gerekan

larva, yaitu terdapat serbuk kasar menyerupai serbuk gergaji pada permukaan atas

daun, atau disekitar pucuk tanaman jagung. Gejala awal dari serangan ulat

(Spodoptera frugiperda) larva merusak pucuk, daun muda atau titik tumbuh

tanaman, dapat mematikan tanaman. Di negara-negara afrika, kehilangan hasil

tanaman sorgum akibat serangan ulat (spodoptera frugiperda) antara 4 sampai 8

juta ton per tahun dengan nominal kerugian antara us$ 1 - 4,6 juta per tahun.

Infestasi ulat grayak pada tanaman jagung saat daun muda yang masih

menggulung menyebabkan kehilangan hasil 15-73%

2.7 Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati merupakan komponen utama pengendalian hama

terpadu (PHT) seperti pemanfaatan parasitoid, predator atau patogen serangga

(entomopatogen). Pengendalian hayati dengan pemanfaatan cendawan

entomopatogen berpotensi besar untuk dikembangkan (Effendy, 2010). Di

Indonesia, pemanfaatan agensia hayati khususnya cendawan entomopatogen

untuk pengendalian hama mulai berkembang pesat sejak abad ke–19 khususnya

untuk mengendalikan hama (Jumar, 2000).

2.8 Jamur Entomopatogen

Jamur entomopatogen merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat

digunakan sebagai agen hayati. Penelitian yang dilakukan terdapat lebih dari 750

spesies jamur penyebab penyakit pada serangga. Spesies jamur yang dapat

dipertimbangkan menjadi insektisida biologis sebagai produk komersial adalah

Beauveria bassiana, Metharhizium anisopliae, Verticillium lecanii, dan Hirsutella

20

thompsonii. Jamur tersebut bersifat patogenik terhadap berbagai jenis serangga

dengan kisaran inang yang luas (Trizelia, 2008).

Ada tiga cara pemanfaatan jamur entomopatogen dalam strategi pengendalian

hama terpadu (PHT) yaitu aplikasi inundatif, pelepasan inokulatif, dan

pengelolaan jamur entomopatogen yang terdapat secara alami (Habazar dan

Yaherwandi 2006). Dari ketiga cara tersebut, penggunaan jamur entomopatogen

yang terdapat secara alami akan lebih menjamin keberhasilan pengendalian.

Untuk mendapatkan jamur entomopatogen tersebut dapat dilakukan dengan cara

mengisolasinya dari berbagai tempat.

Tanah merupakan salah satu tempat untuk melihat keberadaan jamur

entomopatogen di alam. Menurut Sapieha Waszkiewicz et al (2005), keberadaan

cendawan entomopatogen di dalam tanah tergantung pada habitat. Selanjutnya

Sosa Gomez et al (2001) mengemukakan bahwa keanekaragaman cendawan

entomopatogen dalam tanah dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu kandungan

air tanah, kandungan bahan organik, dan temperatur.

Jamur entomopatogen lebih mudah didapatkan pada daerah rhizosfer.

Carlile et al. (2001) mengemukakan bahwa populasi mikroorganisme di

rhizosfer biasanya lebih banyak dan beragam dibandingkan pada tanah

bukan rhizosfer. Salah satu dari faktor-faktor terpenting yang

bertanggung jawab atas terjadinya efek rhizosfer adalah variasi yang besar

dalam hal senyawa organik yang tersedia di daerah perakaran berupa getah

yang dikeluarkan oleh akar, baik secara langsung maupun tidak

langsung mempengaruhi kualitas dan kuantititas mikroorganisme di daerah

21

perakaran. Ciri dan jumlah senyawa yang dikeluarkan tergantung pada spesies

tanaman, umur, dan kondisi lingkungan tempat tumbuh tanaman.

Jamur entomopatogen merupakan salah satu kelompok jamur yang dapat

digunakan sebagai agen hayati. Penelitian yang dilakukan terdapat lebih dari

750 spesies jamur penyebab penyakit pada serangga. Jamur tersebut bersifat

patogenik terhadap berbagai jenis serangga dengan kisaran inang yang luas

(Trizelia, 2008).