hapersyifa
TRANSCRIPT
Definisi Sita Jaminan
Sita adalah mengambil dan menahan barang atas menurut keputusan hakim di
pengadilan (dilakukan oleh alat negara).1
Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda) dan istilah Indonesia beslah tetapi
istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya
ialah:
a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam
keadaan penjagaan [2] (to take into custody the property of a defendant).
b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)
berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.
c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang
disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat
pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual
lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.
d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses
pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap
yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.2
Sita Jaminan adalah sebuah cara untuk menjamin dilaksanakannya suatu putusan
terhadap perkara perdata. Sita jaminan dilakukan agar terciptanya kepastian hukum
dan keuntungan bagi pihak penggugat. Ada kalanya, dalam sebuah perkara, pihak
tergugat ketika ia kalah dalam persidangan ternyata ia tidak dapat melaksanakan
putusan pengadilan. Bentuk tidak dapat bertanggung jawabnya tergugat yang kalah
adalah ketika,
1 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Gitamedia Press, hlm.7152 Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 49
- Barang yang dipersengketakan sudah tidak berada di tangan tergugat yang
dikalahkan
- Dalam hal menyangkut pembayaran sejumlah utang ternyata pihak yang
dikalahkan sudah tidak mempunyai suatu barang di rumahnya3
Jelas saja, keadaan yang demikan akan membuat menangnya si penggugat tidak ada
artinya. Karena pada hakekatnya, suatu perkara diajukan untuk mendapatkan kembali
hak pengaju gugatan yang sebelumnya telah merasa dirugikan.
Dasar Hukum Sita Jaminan
Pada ayat (1) pasal 227 HIR, dinyatakan bahwa “Jika terdapat persangkaan yang
beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan
atasnya, atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari
akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun
yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang barang itu dari penagih hutang,
maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat
memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang
memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan
menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk
memajukan dan menguatkan gugatannya.”
Dasar Hukum Sita Jaminan oleh Kreditur Ketentuan pasal 1131 BW menyatakan
bahwa: “Setiap kreditur mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala
kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari. Jaminan berdasar pasal 1131
3 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm.97
BW tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh kreditur. Sedangkan pasal 1132
BW, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimwa
dan didahulukan, misalnya dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal
dengan Hipotik.”4
Dasar Hukum Sita Harta Bersama (Sita Jaminan oleh Suami/Istri dalam proses
perceraian) Undang-undang no.1 tahun 1974 (UU Perkawinan) pasal 24 ayat 2 huruf c :
”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau
tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin
terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-
barang yang menjadi hak istri.”5
Larangan Dalam Sita Jaminan
Dalam proses Sita Jaminan, terdapat larangan sebagai berikut :
1. Memindahtangankan atau jual beli harta yang disita.
2. Menyita hewan atau barang tertentu yang menjadi sumber mata
pencaharian dari tersita (pasal 197 HIR dan 214 Rbg)
Syarat-Syarat Sita Jaminan
Penggugat tidak boleh sewenang-wenang dalam mengajukan sita jaminan. Untuk
mengajukan sita jaminan, penggugat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Perlu adanya alasan/dugaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan supaya penggugat
tidak menyalahgunakan hak sita jaminan ini. Karena tergugat pun memiliki hak
4 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/ pada pukul 18.53 WIB5 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/ pada pukul 18.53 WIB
untuk memperoleh keadilan pula. Alasan yang dikemukakan harus sesuai
dengan Pasal 226 HIR , untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir,
pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan
yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau
melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan. Sedangkan
pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR , elemen dugaan yang
beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut.
2. Pihak yang mengajukan adalah memang pihak yang berhak. Dalam Sita
Revindicatoir, pihak yang berhak adalah pihak yang secara sah memiliki
barang/harta yang dimohonkan. Dalam Sita Marital, pihak yang berhak
mengajukan adalah suami/istri dalam suatu proses perceraian. Dalam Sita
Conservatoir, pihak yang berhak mengajukan adalah kreditur yang mempunyai
piutang terhadap debitur.
3. Objek yang dimohonkan dalam sita jaminan harus jelas. Dalam Sita
Revindicatoir, obyek permohonan adalah benda bergerak milik pemohon yang
berada didalam kekuasaan termohon. Permohonan ini tidak dapat diajukan
terhadap barang tidak bergerak/barang tetap, sebab kemungkinan untuk
memindahtangankan benda tetap tidak semudah benda bergerak. Dalam Sita
Conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:
-barang bergerak milik debitur
-barang tetap milik debitur, dan
-barang bergerak milik debitur yang berada di pihak ketiga
Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang- barang yang nilainya
diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi
sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat.
Jenis-Jenis Sita Jaminan
Terdapat dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri
(pemohon) dan sita jaminan terhadap barang milik debitur :
1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri
Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir
dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu:
a. Sita revindicatoir (ps. 226 hir, 260 Rbg)
Sita revindicatoir adalah jenis sita jaminan dimana barang yang di sita adalah
barang milik penggugat sendiri yang ada di dalam penguasaan tergugat. Maka
dapat dikatakan bahwa yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap
pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat
2, 1751 BW). Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak
perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama
belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan
barang yang bersangkutan (baca Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Ketentuan
mengenai sita jenis ini diatur dalam pasal 226 HIR, yaitu:
o Harus berupa barang bergerak
o Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat
yang berada di tangan tergugat
o Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
o Permintaan mana dapat diajukan secara lisan atau tertulis
o Barang tersebut harus diterangkan dengan saksama, terperinci6
6 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm.103
b. Sita Maritaal (ps.823-823 j Rv)
Sita jenis ini adalah jenis sita yang diajukan isteri terhadap barang-barang
suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Sita Marital bukanlah untuk
menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin
agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak
pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung
antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-
barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Sita
maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri,
yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan,
terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk
mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut
(Ps. 190 BW, 823 Rv
2. Sita Jaminan tehadap Barang Milik Tergugat
Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam
bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat
dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur
yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi
berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau
penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam konkretnya permohonan
diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Setiap saat
debitur atau tersita atau tergugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang
memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya
dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan dari debitur dapat
dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan yang mencukupi (Ps.
227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg). Demikian pula apabila ternyata bahwa sita jaminan itu
tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang yang telah disita ternyata bukan milik
debitur. Di dalam praktek dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap
permohonan sita jaminan selalu dikabulkan : hakim terlalu mudah mengabulkan
permohonan sita jaminan. Yang dapat disita secara conservatoir ialah :
a. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197
HIR jo. 208 Rbg) Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap
ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya
serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212
Rbg). Atau barang bergerak yang disita itu dapat pula disimpan
ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu tersita atau
tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan
wewenangnya atas barang miliknya. Permohonan pelaksanaan
putusan yang timbul kemudian setelah diadakan penyitaan tidak
dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi terhadap barang
yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg)
apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih
diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan
satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah
disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap
barang yang sama. Para kreditur lainnya dapat mengajukan
permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian
hasil penjualan barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR,
222 ayat 1 Rbg). Asas larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie
sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv.
b. Sita Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198,
199 HIR 261, 208,214 Rbg) Jika disita barang tetap, maka agar
jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus
diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya
penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui
orang banyak. Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan
pada Kantor Pendaftaran Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1
HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh
jurusita ditempat barang- barang itu terletak dengan mencocokkan
batas- batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung mulai
hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada
umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya
kepada orang lain, membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214
Rbg). Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya
serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan. Kalau barang tetap
itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu menjadi milik
penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik
barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).
c. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di
tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg) Apabila
debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur
untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas
barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita
conservatoir ini yang disebut derdenbeslag, diatur dalam pasal 728
Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta autentik atau akta
dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan sita rangkap
(Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita
conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR
(Ps. 211 Rbg) menentukan, bahwa penyitaan barang bergerak milik
debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga, meliputi juga
barang bergerak yang bertubuh yang ada di tangan pihak ketiga.
Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan atas hewan
dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian.
d. Sita Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv) Ada
kemungkinannya bahwa debitur mempunyai piutang kepada
kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan
debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan
debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur juga
sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat
dikompensasi.
e. Sita gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv) Sita gadai ini sebagai sita
conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang
disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-
barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.
f. Sita Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai
tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan
penduduk Indonesia (Ps. 757 Rv) Ratio dari sita conservatoir ini yang
disebut juga sita saisie foraine, ialah untuk melindungi penduduk
Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia,
maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara
perdata di Pengadilan Negeri.
g. Sita Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv) Apakah
semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya
semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi
tanggung jawab untuk segala perikatan yang bersifat perorangan
(Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat
diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian
dapat disita.
h. Penyitaan barang milik Negara Pada dasarnya barang-barang milik
negara yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga,
piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik
negara, tidak dapat disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk
menyita barang-barang milik negara itu harus dimintakan kepada
MA (pas 65, 66 ICW, S. 1864 no 106).7
Prosedur Sita Jaminan
Adapun tata cara mengajukan sita jaminan adalah sebagai berikut:
1. Pihak yang bersengketa dengan dasar gugatan dan bukti-bukti otentik
mengajukan Permohonan Sita Jaminan kepada Ketua Pengadilan Negeri di
mana gugatan diajukan. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis
Hakim untuk menangani permohonan sita jaminan.
2. Ketua Majelis membuat penetapan tentang permohonan sita jaminan dan hari
persidangan perkara tersebut.
3. Apabila Majelis Hakim memilih menangguhkan sita jaminan, jurusita pengganti
memanggil para pihak untuk hadir dipersidangan yang telah ditetapkan hari
serta tanggal persidangan tersebut. Sebelum memeriksa pokok perkara
7 Diakses dari thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/resume-sita-jaminan-dari-buku-hukum-acara-perdata-
indonesia-prof-dr-sudikno-mertokusumo-s-h/ pada pukul 18.26 WIB
dengan persidangan insidentil, Majelis Hakim memeriksa mengenai
permohonan sita jaminan tentang kebenaran dalil Permohonan mengenai sita
jaminan , apabila terbukti dalil permohonan mengenai :”Adanya persangkaan
yang kuat serta beralasan bahwa Tergugat akan menghilangkan atau
bermaksud untuk memin dah tangankan atau menjauhkan barang dari
kepentingan Penggugat”. Selanjutnya Ketua Majelis membuat penetapan yang
berisikan pengabulan tentang permohonan sita jaminan sekaligus
memerintahkan kepada Jurusita atau jika berhalangan digantikan oleh wakilnya
yang sah dengan didampingi dua orang saksi untuk meletakkan sita terhadap
barang/objek yang dimohon kan agar diletakkan sita jaminan.
Hal-hal yang penting diperhat ikan dalam penanganan sita jaminan antara lain :
SEMA RI No. 5 Tahun 1975 Tanggal 09 Desember 1975, yaitu,
- Barang yang disita nilainya jangan melampaui nilai gugat;
- Barang yang disita didahulukan benda yang bergerak, jika tidak mencukupi baru
benda yang tidak bergerak;
- Barang yang disita tetap dalam penguasaan/ pemeliharaan sitersita;
- Perhatikan ketentuan pasal 198 dan 199 HIR/213 dan 214 RBg.
4. Setelah memperoleh perintah dari Ketua Majelis agar meletakkan sita terhadap
objek yang dimohonkan diletakkan sita jaminan . Jurusita atau wakilnya yang
sah , perlu melakukan langkah-langkah persiapan antara lain sebagai berikut :
- Memeriksa pada kasir/jurnal keuangan perkara, apakah biaya perkara telah
mencukupi untuk kepentingan/keperluan proses perkara tersebut, jika belum
maka sesuai dengan prosedur kepada Penggugat diminta agar menambah
panjar biaya perkara, adapun rincian biaya pelaksanaan sita jaminan meliputi :
Biaya Materai dan Biaya Pelaksanaan, yaitu: Biaya Transportasi, Upah Saksi dan
Biaya Pengamanan.
- Merencanakan/menetapkan tentang hari dan tanggal pelaksanaan sita
dimaksud, membuat surat yang berkaitan dengan rencana pelaksanaan sita
jaminan antara lain : Pemberitahuan kepada para pihak agarhadir pada hari
dan tanggal yang telah ditetapkan di tempat/lokasi objek yang akan diletakkan
sita jaminan, permohonan pengamanan ke pada Kepolisian (POLSEK) setempat
(jika dianggap perlu), serta surat-surat lain yang diajukan kepada Pejabat
terkait seperti Kepala Kelurahan /Kepala Desa, Kepala Kantor, BPN dan lain-lain.
- Membuat persiapan yang menyangkut sarana dan prasarana ketika akan
melaksanakan tugas penyitaan seperti : dua orang saksi yang memenuhi
persyaratan , menyiapkan berita acara sita jaminan,jika objek yang akan disita
berupa benda yang tidak bergerak dan belum disertifikatkan, maka diperlukan
pula petugas yang profesional dari kantor BPN untuk melakukan pengukuran
tentang luas objek tersebut, serta hal-hal lain yang diperlukan. Proses
pelaksanaaan sita jaminan harus dilakukan di lokasi objek yang disita ( tidak
boleh hanya dilakukan di Kantor kelurahan atau Pengadilan saja). Berdasarkan
berita acara pelaksanaan, maka proses sita jaminan dinyatakan selesai.
Selanjutnya obyek sengketa berada dalam sita pengadilan sehingga siapa pun
tidak boleh lagi mengalihkan obyek tersebut.8
8 Diakses dari sitajaminan.klinikhukum.umkmcentre.narotama.ac.id/2011/10/22/prosedur-sita-jaminan/ pada pukul 17.56 WIB
Perubahan dan Pencabutan Gugatan
Perubahan Gugatan
Dalam hukum acara perdata, penggugat diizinkan untuk mengubah gugatannya. Dasar
hukumnya ada dalam pasal 127 Rv yang menyatakan bahwa “Penggugat berhak untuk
mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh
mengubah atau menambah pokok gugatannya.”
Apabila ditarik kesimpulan dari penjabaran pasal 127 tersebut, maka dapat dikatakan
bahwa mengubah gugatan merupakan suatu hak penggugat dalam mengurangi
gugatannya. Perubahan ini tentu saja dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan jika,
1. Tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata
2. Tidak menimbulkan kerugian terhadap Hak Pembelaan tergugat
3. Tidak mengakibatkan perubahan posita
4. Tidak merubah atau menyimpangi kejadian materiil dalam gugatan
5. Tidak mengakibatkan perubahan subyek hukum dalam gugatan9
Selain dasar hukum pasal 127 Rv di atas, ada juga beberapa yurisprudensi atau
putusan MA yang bisa dan sering dijadikan dasar hukum mengenai praktik perubahan
gugatan dalam persidangan, antara lain sebagai berikut :
1. Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 : Perubahan
gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok
yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;
2. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No.
823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 : Yurisprudensi mengizinkan
perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan
9 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/perubahan-gugatan/ pada pukul 19.36 WIB
posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak
pembelaan diri) atau pembuktian;
3. Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 : Perubahan
gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah
mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;
4. Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 : Suatu perubahan
tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak
merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan
subsidair
5. Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 : Karena perubahan
tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau
pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan Hukum Acara dan demi
Peradilan yang cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun
dalam gugatan)
6. Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 : Tidak dapat
dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk
menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal
dijadikan pihak dalam perkara); sehingga terjadi perubahan subyek hukum
gugatan (Vide = Putusan MA-RI No. 305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);
7. Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 : Perubahan
gugatan itu tidak diterima apabila perubahan itu dilakukan pada taraf
pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil, tangkisan-
tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan kedua pihak
sebelumnya telah mohon putusan; Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal
4 Oktober 1972 : Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan (Posita) dari
Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR.
Apabila kita ingin merubah gugatan, ada ketentuan-ketentuan waktu tertentu yang
harus dipatuhi. Ketentuan-ketentuan itu adalah sebagai berikut:
1. Sebelum hakim membacakan surat gugatan. Jika perubahan diajukan sebelum
hakim membacakan gugatan, maka perubahan ini tidak memerlukan
persetujuan dari tergugat.
2. Setelah hakim membacakan surat gugatan, dengan catatan selama tergugat
belum meberikan jawaban. Perubahan dalam waktu ini memerlukan
persetujuan dari tergugat.
3. Perubahan gugatan tidak dapat diajukan ketika pemeriksaan perkara sudah
selesai.
Dasar Hukum: Putusan MA-RI No.1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991 :
Perubahan surat/ gugatan perdata dapat diterima/ dibenarkan bila perubahaan itu
dilakukan sebelum Hakim membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan
kepada Tergugat masih diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut
Persyaratan Pengajuan Perubahan Gugatan
Dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh MA, terdapat syarat formil untuk
mengajukan perubahan gugatan, yaitu:
a. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat
Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang
menyatakan:
-Diajukan pada hari sidang
- Dihadiri oleh para pihak Dari ketentuan tersebut
Penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:
- Di luar hari sidang
- Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.
Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah untuk melindungi
kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan dibenarkan
di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap sangat
merugikan kepentingan tergugat.
b. Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi Syarat formil ini pun
digariskan oleh MA, yang menyatakan “menanyakan kepada tergugat
tentang perubahan gugatan yang bersangkutan dan memberi hak dan
kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela
kepentingannya.”
c. Tidak menghambat acara pemeriksaan Dalam hal ini, perubahan
gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan.
Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya
pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua
belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu
proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses
penyelesaian perkaranya.10
Pencabutan Gugatan
Sama halnya dengan merubah gugatan, mencabut gugatan merupakan hak penggugat
untuk mencabut gugatannya. Dalam pasal 271 Rv disebutkan bahwa penggugat dapat
mencabut gugatannya dengan syarat sebelum tergugat menyampaikan jawaban
terhadap gugatan tersebut. Jika tergugat telah menyampaikan jawaban maka
persetujuan tergugat diperlukan.
10 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/ pada pukul 19.53 WIB
Apabila penggugat mencabut gugatan sebelum tergugat menyampaikan jawaban,
maka penggugat dapat mengajukan kembali gugatannya. Namun, apabila penggugat
mencabut gugatan setelah tergugat menyampaikan jawaban, maka penggugat tidak
dapat lagi mengajukan gugatan yang sama karena dianggap penggugat telah
melepaskan haknya.
Alasan pencabutan bervariasi, bisa disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna
atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau barangkali dalil gugatan bertentangan dengan
hukum.
Penyampaian jawaban dalam proses pemeriksaan perdata berlangsung pada tahap
sidang pertama atau kedua atau berikutnya. Apabila pada sidang yang lalu diundur
tanpa menyampaikan jawaban dari pihak tergugat. Dalam hal yang seperti ini,
meskipun para pihak telah hadir di persidangan, dianggap pemeriksaan belum
berlangsung selama tergugat belum menyampaikan jawaban. Dalam keadaan yang
demikian, hukum memberi hak penuh kepada penggugat mencabut gugatan tanpa
persetujuan pihak tergugat. Dalam tahap proses yang seperti ini, pencabutan gugatan
benar-benar mutlak menjadi hak penuh penggugat. Akan tetapi, perluasan hak itu
dapat meningkat samapai tahap selama tergugat belum mengajukan jawaban,
penggugat mutlak berhak mencabut gugatan. Pendirian ini selain berpedoman kepada
pasal 271 Rv, juga didukung praktek peradilan antara lain dapat dikemukakan salah
satu putusan MA. Yang menegaskan : Selama proses pemeriksaan perkara
dipersidangan belum berlangsung, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa
persetujuan tergugat; Setelah proses pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih
boleh dilakukan, dengan syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.
Cara Pencabutan
Menurut pasal 272 Rv yang berhak melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri
secara pribadi, kuasa yang ditunjuk penggugat berdasarkan surat kuasa khusus yang
digariskan dalam pasal 123 HIR yang didalamnya dengan tegas diberi penugasan untuk
mencabut atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khusus
memberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.
Pencabutan mutlak harus dilakukan dan disampaikan penggugat pada sidang
pengadilan. Penyampaian pencabutan dilakukan pada sidang yang dihadiri tergugat.
Kalau begitu pencabutan hanya dapat dilakukan dan dibenarkan pada sidang
pengadilan yang memenuhi syarat contradictoir, yaitu harus dihadiri para pihak. Tidak
dibenarkan pencabutan dalam persidangan secara ex parte (tanpa dihadiri tergugat).
Mengenai hal ini sudah dijelaskan, apabila pemeriksaan perkara sudah berlangsung
pencabutan harus mendapat persetujuan tergugat. Oleh karena itu, apabila ada
pengajuan pencabutan gugatan disidang pengadilan, proses yang harus ditempuh
majelis untuk menyelesaikannya adalah sebagai berikut :
- Majelis menanyakan pendapat tergugat, bila tergugat menolak pencabutan
(maka majelis hakim harus tunduk atas penolakan tersebut, majelis hakim
harus menyampaikan pernyataan dalam sidang bahwa pemeriksaan harus
dilanjutkan, kemudian memerintahkan panitera untuk mencatat penolakan
tersebut dalam berita acara).
- Bila tergugat menyetujui pencabutan, majelis hakim menerbitkan putusan /
penetapan pencabutan. Maka putusan tersebut bersifat final dalam arti
sengketa antara penggugat dan tergugat berakhir. Majelis memerintahkan
pencoretan perkara dari register atas alasan pencabutan.
Akibat Hukum Pencabutan
Pasal 272 Rv mengatur tentang akibat hukum pencabutan gugatan. Pencabutan
Mengakhiri Perkara Pencabutan gugatan bersifat final mengakhiri perkara. Bukan
masalah apabila pencabutan tersebut dilakukan sebelum proses pemeriksaan.
Walaupun pencabutan tersebut dilakukan tanpa persetujuan tergugat, pencabutan
tersebut tetap bersifat final. Tertutup segala Upaya Hukum bagi Para Pihak Putusan
pencabutan gugatan adalah bersifat final dan analog dengan putusan perdamaian
berdasarkan pasal 130 HIR. Konsekuensi hukum yang harus ditegakkan adalah :
- Putusan pencabutan gugatan mengikat (binding) sebagaimana putusan yang
telah berkekuatan hukum tetap;
- Tertutup bagi para pihak untuk mengajukan segala bentuk upaya hukum.
Pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut Pasal 124 HIR masih tetap
memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan kembali gugatan yang
digugurkan sebagai perkara baru, dengan syarat dibebani membayar biaya
perkara.
Daftar Pustaka
Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung:
Mandar Maju, 2009.
Mertokusumo, Sudikno.Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,1979.
Harahap Yahya
www.sitajaminan.klinikhukum.umkmcentre.narotama.ac.id/2011/10/22/prosedur-
sita-jaminan/
www.thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/resume-sita-jaminan-dari-buku-hukum-
acara-perdata-indonesia-prof-dr-sudikno-mertokusumo-s-h
www.arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/
www.wikayudhashanty.blogspot.com/2013/05/pengguguran-pencabutan-perubahan-
dan.html?m=1