hapersyifa

29
Definisi Sita Jaminan Sita adalah mengambil dan menahan barang atas menurut keputusan hakim di pengadilan (dilakukan oleh alat negara). 1 Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda) dan istilah Indonesia beslah tetapi istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya ialah: a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam keadaan penjagaan [2] (to take into custody the property of a defendant). b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official) berdasarkan perintah pengadilan atau hakim. c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut. d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses pemeriksaan, sampai ada putusan 1 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Gitamedia Press, hlm.715

Upload: elkuiora

Post on 08-Feb-2016

49 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: HAPERSYIFA

Definisi Sita Jaminan

Sita adalah mengambil dan menahan barang atas menurut keputusan hakim di

pengadilan (dilakukan oleh alat negara).1

Penyitaan berasal dari terminologi beslag (Belanda) dan istilah Indonesia beslah tetapi

istilah bakunya ialah sita atau penyitaan. Pengertian yang terkandung di dalamnya

ialah:

a. Tindakan menempatkan harta kekayaan tergugat secara paksa berada ke dalam

keadaan penjagaan [2] (to take into custody the property of a defendant).

b. Tindakan paksa penjagaan (custody) itu dilakukan secara resmi (official)

berdasarkan perintah pengadilan atau hakim.

c. Barang yang ditempatkan dalam penjagaan tersebut, berupa barang yang

disengketakan, tetapi boleh juga barang yang akan dijadikan sebagai alat

pembayaran atas pelunasan utang debitor atau tergugat, dengan jalan menjual

lelang (executorial verkoop) barang yang disita tersebut.

d. Penetapan dan penjagaan barang yang disita berlangsung selama proses

pemeriksaan, sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap

yang menyatakan sah atau tidak tindakan penyitaan itu.2

Sita Jaminan adalah sebuah cara untuk menjamin dilaksanakannya suatu putusan

terhadap perkara perdata. Sita jaminan dilakukan agar terciptanya kepastian hukum

dan keuntungan bagi pihak penggugat. Ada kalanya, dalam sebuah perkara, pihak

tergugat ketika ia kalah dalam persidangan ternyata ia tidak dapat melaksanakan

putusan pengadilan. Bentuk tidak dapat bertanggung jawabnya tergugat yang kalah

adalah ketika,

1 Tim Prima Pena, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Penerbit Gitamedia Press, hlm.7152 Marianne Termorshuizen, Kamus Hukum Belanda-Indonesia, (Jakarta : Djambatan, 1999), hlm. 49

Page 2: HAPERSYIFA

- Barang yang dipersengketakan sudah tidak berada di tangan tergugat yang

dikalahkan

- Dalam hal menyangkut pembayaran sejumlah utang ternyata pihak yang

dikalahkan sudah tidak mempunyai suatu barang di rumahnya3

Jelas saja, keadaan yang demikan akan membuat menangnya si penggugat tidak ada

artinya. Karena pada hakekatnya, suatu perkara diajukan untuk mendapatkan kembali

hak pengaju gugatan yang sebelumnya telah merasa dirugikan.

Dasar Hukum Sita Jaminan

Pada ayat (1) pasal 227 HIR, dinyatakan bahwa “Jika terdapat persangkaan yang

beralasan, bahwa seorang yang berhutang, selagi belum dijatuhkan keputusan

atasnya, atau selagi putusan yang mengalahkannya belum dapat dijalankan, mencari

akal akan menggelapkan atau membawa barangnya baik yang tidak tetap maupun

yang tetap dengan maksud akan menjauhkan barang barang itu dari penagih hutang,

maka atas surat permintaan orang yang berkepentingan ketua pengadilan negeri dapat

memberi perintah, supaya disita barang itu untuk menjaga hak orang yang

memasukkan permintaan itu, dan kepada peminta harus diberitahukan akan

menghadap persidangan pengadilan negeri yang pertama sesudah itu untuk

memajukan dan menguatkan gugatannya.”

Dasar Hukum Sita Jaminan oleh Kreditur Ketentuan pasal 1131 BW menyatakan

bahwa: “Setiap kreditur mempunyai hak jaminan atas piutangnya berupa segala

kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari. Jaminan berdasar pasal 1131

3 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm.97

Page 3: HAPERSYIFA

BW tersebut bersifat umum, berlaku untuk seluruh kreditur. Sedangkan pasal 1132

BW, menyatakan diperbolehkannya hak jaminan yang bersifat istimwa

dan didahulukan, misalnya dalam bentuk Hak Tanggungan, yang dahulu dikenal

dengan Hipotik.”4

Dasar Hukum Sita Harta Bersama (Sita Jaminan oleh Suami/Istri dalam proses

perceraian) Undang-undang no.1 tahun 1974 (UU Perkawinan) pasal 24 ayat 2 huruf c :

”Selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau

tergugat pengadilan dapat menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin

terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak bersama suami istri atau barang-

barang yang menjadi hak istri.”5

Larangan Dalam Sita Jaminan

Dalam proses Sita Jaminan, terdapat larangan sebagai berikut :

1. Memindahtangankan atau jual beli harta yang disita.

2. Menyita hewan atau barang tertentu yang menjadi sumber mata

pencaharian dari tersita (pasal 197 HIR dan 214 Rbg)

Syarat-Syarat Sita Jaminan

Penggugat tidak boleh sewenang-wenang dalam mengajukan sita jaminan. Untuk

mengajukan sita jaminan, penggugat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

1. Perlu adanya alasan/dugaan yang kuat. Hal ini dimaksudkan supaya penggugat

tidak menyalahgunakan hak sita jaminan ini. Karena tergugat pun memiliki hak

4 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/ pada pukul 18.53 WIB5 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/ pada pukul 18.53 WIB

Page 4: HAPERSYIFA

untuk memperoleh keadilan pula. Alasan yang dikemukakan harus sesuai

dengan Pasal 226 HIR , untuk mengajukan permohonan sita revindicatoir,

pemohon dapat langsung mengajukan permohonan, tanpa perlu ada dugaan

yang beralasan bahwa tergugat akan mencoba untuk menggelapkan atau

melarikan barang yang bersangkutan selama proses persidangan. Sedangkan

pada sita jaminan conservatoir, sesuai Pasal 227 HIR , elemen dugaan yang

beralasan, merupakan dasar pembenar utama dalam pemberian sita tersebut.

2. Pihak yang mengajukan adalah memang pihak yang berhak. Dalam Sita

Revindicatoir, pihak yang berhak adalah pihak yang secara sah memiliki

barang/harta yang dimohonkan. Dalam Sita Marital, pihak yang berhak

mengajukan adalah suami/istri dalam suatu proses perceraian. Dalam Sita

Conservatoir, pihak yang berhak mengajukan adalah kreditur yang mempunyai

piutang terhadap debitur.

3. Objek yang dimohonkan dalam sita jaminan harus jelas. Dalam Sita

Revindicatoir, obyek permohonan adalah benda bergerak milik pemohon yang

berada didalam kekuasaan termohon. Permohonan ini tidak dapat diajukan

terhadap barang tidak bergerak/barang tetap, sebab kemungkinan untuk

memindahtangankan benda tetap tidak semudah benda bergerak. Dalam Sita

Conservatoir, yang dapat menjadi obyek sita adalah:

-barang bergerak milik debitur

-barang tetap milik debitur, dan

-barang bergerak milik debitur yang berada di pihak ketiga

Penyitaan juga hanya dilakukan terhadap barang- barang yang nilainya

diperkirakan tidak jauh melampaui nilai gugatan (nilai uang yang menjadi

sengketa), sehingga nilai sita seimbang dengan yang digugat.

Page 5: HAPERSYIFA

Jenis-Jenis Sita Jaminan

Terdapat dua macam sita jaminan, yaitu sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri

(pemohon) dan sita jaminan terhadap barang milik debitur :

1. Sita Jaminan tehadap Barang Miliknya Sendiri

Untuk menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir

dengan penyerahan barang yang disita, dibagi menjadi dua macam pula, yaitu:

a. Sita revindicatoir (ps. 226 hir, 260 Rbg)

Sita revindicatoir adalah jenis sita jaminan dimana barang yang di sita adalah

barang milik penggugat sendiri yang ada di dalam penguasaan tergugat. Maka

dapat dikatakan bahwa yang dapat mengajukan sita revindicatoir ialah setiap

pemilik barang bergerak yang barangnya dikuasai oleh orang lain (ps. 1977 ayat

2, 1751 BW). Untuk dapat mengajukan permohonan sita revindicatoir tidak

perlu ada dugaan yang beralasan, bahwa seseorang yang berhutang selama

belum dijatuhkan putusan, mencari akal akan menggelapkan atau melarikan

barang yang bersangkutan (baca Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Ketentuan

mengenai sita jenis ini diatur dalam pasal 226 HIR, yaitu:

o Harus berupa barang bergerak

o Barang bergerak tersebut adalah merupakan barang milik penggugat

yang berada di tangan tergugat

o Permintaannya harus diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

o Permintaan mana dapat diajukan secara lisan atau tertulis

o Barang tersebut harus diterangkan dengan saksama, terperinci6

6 Retnowulan Sutantio, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm.103

Page 6: HAPERSYIFA

b. Sita Maritaal (ps.823-823 j Rv)

Sita jenis ini adalah jenis sita yang diajukan isteri terhadap barang-barang

suami, baik yang bergerak maupun tidak bergerak. Sita Marital bukanlah untuk

menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang, melainkan menjamin

agar barang yang disita tidak dijual. Jadi fungsinya adalah untuk melindungi hak

pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung

antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang-

barang yang disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga. Sita

maritaal ini dapat dimohonkan kepada Pengadilan Negeri oleh seorang isteri,

yang tunduk pada BW, selama sengketa perceraiannya diperiksa di pengadilan,

terhadap barang-barang yang merupakan kesatuan harta kekayaan, untuk

mencegah agar pihak lawannya tidak mengasingkan barang-barang tersebut

(Ps. 190 BW, 823 Rv

2. Sita Jaminan tehadap Barang Milik Tergugat

Sita conservatoir ini merupakan tindakan persiapan dari pihak penggugat dalam

bentuk permohonan kepada Ketua Pengadilan Negeri untuk menjamin dapat

dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual barang debitur

yang disita guna memenuhi tutntutan penggugat. Penyitaan ini hanya dapat terjadi

berdasarkan perintah Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan kreditur atau

penggugat (Ps. 227 ayat 1 HIR, 261 ayat 1 Rbg). Dalam konkretnya permohonan

diajukan kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan. Setiap saat

debitur atau tersita atau tergugat dapat mengajukan permohonan kepada hakim yang

memeriksa pokok perkara yang bersangkutan, agar sita jaminan atas barangnya

dicabut. Permohonan pencabutan atau pengangkatan sita jaminan dari debitur dapat

dikabulkan oleh hakim apabila debitur menyediakan tanggungan yang mencukupi (Ps.

227 ayat 5 HIR, 261 ayat 8 Rbg). Demikian pula apabila ternyata bahwa sita jaminan itu

tidak ada manfaatnya (vexatoir) atau barang yang telah disita ternyata bukan milik

Page 7: HAPERSYIFA

debitur. Di dalam praktek dapatlah dikatakan bahwa pada umumnya setiap

permohonan sita jaminan selalu dikabulkan : hakim terlalu mudah mengabulkan

permohonan sita jaminan. Yang dapat disita secara conservatoir ialah :

a. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur (Ps. 227 jo. 197

HIR jo. 208 Rbg) Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap

ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya

serta dilarang menjual atau mengalihkannya (Ps. 197 ayat 9 HIR, 212

Rbg). Atau barang bergerak yang disita itu dapat pula disimpan

ditempat lain. Jadi dengan adanya sita conservatoir itu tersita atau

tergugat sebagai pemilik barang yang disita kehilangan

wewenangnya atas barang miliknya. Permohonan pelaksanaan

putusan yang timbul kemudian setelah diadakan penyitaan tidak

dikabulkan dengan mengadakan penyitaan lagi terhadap barang

yang sama (sita rangkap). Menurut pasal 201 HIR (Ps. 219 Rbg)

apabila ada dua permohonan pelaksanaan putusan atau lebih

diajukan sekaligus terhadap seorang debitur, maka hanya dibuatkan

satu berita acara penyitaan saja. Dari dua pasal tersebut dapatlah

disimpulkan bahwa tidak dapat diadakan sita rangkap terhadap

barang yang sama. Para kreditur lainnya dapat mengajukan

permohonan kepada Ketua PN untuk ikut serta dalam pembagian

hasil penjualan barang debitur yang telah disita (Ps. 204 ayat 1 HIR,

222 ayat 1 Rbg). Asas larangan sita rangkap ini, yang disebut saisie

sur saisie ne vaut, lebih tegas dimuat dalam pasal 463 Rv.

b. Sita Conservatoir atas barang tetap milik debitur (Ps. 227, 197,198,

199 HIR 261, 208,214 Rbg) Jika disita barang tetap, maka agar

jangan sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus

Page 8: HAPERSYIFA

diumumkan dengan memberi perintah kepada kepala desa supaya

penyitaan barang tetap itu diumumkan ditempat, agar diketahui

orang banyak. Kecuali di salinan berita acara penyitaan didaftarkan

pada Kantor Pendaftaran Tanah Ps. 30 PP. 10/1961 jo Ps. 198 ayat 1

HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan barang tetap harus dilakukan oleh

jurusita ditempat barang- barang itu terletak dengan mencocokkan

batas- batasnya dan disaksikan pleh pamong desa. Terhitung mulai

hari berita acara penyitaan barang tetap itu dimaklumkan kepada

umum, maka pihak yang disita barangnya dilarang memindahkannya

kepada orang lain, membebani atau menyewakan (Ps. 199 HIR, 214

Rbg). Penyitaan barang tetap itu meliputi juga tanaman diatasnya

serta hasil panen pada saat dilakukan penyitaan. Kalau barang tetap

itu disewakan oleh pemiliknya, maka panen itu menjadi milik

penyewa. Sedangkan sewa yang belum dibayarkan kepada pemilik

barang tetap yang telah disita (Ps. 509 Rv).

c. Sita Conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di

tangan pihak ketiga (Ps. 728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg) Apabila

debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, maka kreditur

untuk menjamin haknya dapat melakukan sita conservatoir atas

barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak ketiga itu. Sita

conservatoir ini yang disebut derdenbeslag, diatur dalam pasal 728

Rv. Kreditur dapat menyita, atas dasar akta autentik atau akta

dibawah tangan pihak ketiga. Dalam hal ini dibolehkan sita rangkap

(Ps. 747 Rv). HIR tidak mengatur derdensblag sebagai sita

conservatoir tetapi sebagai sita eksekutorial. Pasal 197 ayat 8 HIR

(Ps. 211 Rbg) menentukan, bahwa penyitaan barang bergerak milik

debitur, termasuk uang dan surat-surat berharga, meliputi juga

Page 9: HAPERSYIFA

barang bergerak yang bertubuh yang ada di tangan pihak ketiga.

Akan tetapi sita conservatoir ini tidak boleh dilakukan atas hewan

dan alat-alat yang digunakan untuk mencari mata pencaharian.

d. Sita Conservatoir terhadap kreditur (Ps. 75a Rv) Ada

kemungkinannya bahwa debitur mempunyai piutang kepada

kreditur. Jadi ada hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan

debitur. Dalam hubungan piutang timbal balik antara kreditur dan

debitur ini, dimana kreditur juga sekaligus debitur dan kreditur juga

sekaligus debitur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat

dikompensasi.

e. Sita gadai atau pandbeslag (Ps. 751-756 Rv) Sita gadai ini sebagai sita

conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang

disebut dalam pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-

barang yang disebut dalam pasal 1140 BW.

f. Sita Conservatoir atas barang barang debitur yang tidak mempunyai

tempat tinggal yang dikenal di Indonesia atau orang asing bukan

penduduk Indonesia (Ps. 757 Rv) Ratio dari sita conservatoir ini yang

disebut juga sita saisie foraine, ialah untuk melindungi penduduk

Indonesia terhadap orang-orang asing bukan penduduk Indonesia,

maka oleh karena itu berlaku juga dengan sendirinya bagi acara

perdata di Pengadilan Negeri.

g. Sita Conservatoir atas pesawat terbang (Ps.763h-763k Rv) Apakah

semua barang milik debitur disita secara conservatoir? Pada asasnya

semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi

Page 10: HAPERSYIFA

tanggung jawab untuk segala perikatan yang bersifat perorangan

(Ps. 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta kekayaan dapat

diuangkan untuk memenuhi tagihan, sehingga dengan demikian

dapat disita.

h. Penyitaan barang milik Negara Pada dasarnya barang-barang milik

negara yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak ketiga,

piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik

negara, tidak dapat disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk

menyita barang-barang milik negara itu harus dimintakan kepada

MA (pas 65, 66 ICW, S. 1864 no 106).7

Prosedur Sita Jaminan

Adapun tata cara mengajukan sita jaminan adalah sebagai berikut:

1. Pihak yang bersengketa dengan dasar gugatan dan bukti-bukti otentik

mengajukan Permohonan Sita Jaminan kepada Ketua Pengadilan Negeri di

mana gugatan diajukan. Selanjutnya Ketua Pengadilan Negeri menunjuk Majelis

Hakim untuk menangani permohonan sita jaminan.

2. Ketua Majelis membuat penetapan tentang permohonan sita jaminan dan hari

persidangan perkara tersebut.

3. Apabila Majelis Hakim memilih menangguhkan sita jaminan, jurusita pengganti

memanggil para pihak untuk hadir dipersidangan yang telah ditetapkan hari

serta tanggal persidangan tersebut. Sebelum memeriksa pokok perkara

7 Diakses dari thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/resume-sita-jaminan-dari-buku-hukum-acara-perdata-

indonesia-prof-dr-sudikno-mertokusumo-s-h/ pada pukul 18.26 WIB

Page 11: HAPERSYIFA

dengan persidangan insidentil, Majelis Hakim memeriksa mengenai

permohonan sita jaminan tentang kebenaran dalil Permohonan mengenai sita

jaminan , apabila terbukti dalil permohonan mengenai :”Adanya persangkaan

yang kuat serta beralasan bahwa Tergugat akan menghilangkan atau

bermaksud untuk memin dah tangankan atau menjauhkan barang dari

kepentingan Penggugat”. Selanjutnya Ketua Majelis membuat penetapan yang

berisikan pengabulan tentang permohonan sita jaminan sekaligus

memerintahkan kepada Jurusita atau jika berhalangan digantikan oleh wakilnya

yang sah dengan didampingi dua orang saksi untuk meletakkan sita terhadap

barang/objek yang dimohon kan agar diletakkan sita jaminan.

Hal-hal yang penting diperhat ikan dalam penanganan sita jaminan antara lain :

SEMA RI No. 5 Tahun 1975 Tanggal 09 Desember 1975, yaitu,

- Barang yang disita nilainya jangan melampaui nilai gugat;

- Barang yang disita didahulukan benda yang bergerak, jika tidak mencukupi baru

benda yang tidak bergerak;

- Barang yang disita tetap dalam penguasaan/ pemeliharaan sitersita;

- Perhatikan ketentuan pasal 198 dan 199 HIR/213 dan 214 RBg.

4. Setelah memperoleh perintah dari Ketua Majelis agar meletakkan sita terhadap

objek yang dimohonkan diletakkan sita jaminan . Jurusita atau wakilnya yang

sah , perlu melakukan langkah-langkah persiapan antara lain sebagai berikut :

- Memeriksa pada kasir/jurnal keuangan perkara, apakah biaya perkara telah

mencukupi untuk kepentingan/keperluan proses perkara tersebut, jika belum

maka sesuai dengan prosedur kepada Penggugat diminta agar menambah

panjar biaya perkara, adapun rincian biaya pelaksanaan sita jaminan meliputi :

Page 12: HAPERSYIFA

Biaya Materai dan Biaya Pelaksanaan, yaitu: Biaya Transportasi, Upah Saksi dan

Biaya Pengamanan.

- Merencanakan/menetapkan tentang hari dan tanggal pelaksanaan sita

dimaksud, membuat surat yang berkaitan dengan rencana pelaksanaan sita

jaminan antara lain : Pemberitahuan kepada para pihak agarhadir pada hari

dan tanggal yang telah ditetapkan di tempat/lokasi objek yang akan diletakkan

sita jaminan, permohonan pengamanan ke pada Kepolisian (POLSEK) setempat

(jika dianggap perlu), serta surat-surat lain yang diajukan kepada Pejabat

terkait seperti Kepala Kelurahan /Kepala Desa, Kepala Kantor, BPN dan lain-lain.

- Membuat persiapan yang menyangkut sarana dan prasarana ketika akan

melaksanakan tugas penyitaan seperti : dua orang saksi yang memenuhi

persyaratan , menyiapkan berita acara sita jaminan,jika objek yang akan disita

berupa benda yang tidak bergerak dan belum disertifikatkan, maka diperlukan

pula petugas yang profesional dari kantor BPN untuk melakukan pengukuran

tentang luas objek tersebut, serta hal-hal lain yang diperlukan. Proses

pelaksanaaan sita jaminan harus dilakukan di lokasi objek yang disita ( tidak

boleh hanya dilakukan di Kantor kelurahan atau Pengadilan saja). Berdasarkan

berita acara pelaksanaan, maka proses sita jaminan dinyatakan selesai.

Selanjutnya obyek sengketa berada dalam sita pengadilan sehingga siapa pun

tidak boleh lagi mengalihkan obyek tersebut.8

8 Diakses dari sitajaminan.klinikhukum.umkmcentre.narotama.ac.id/2011/10/22/prosedur-sita-jaminan/ pada pukul 17.56 WIB

Page 13: HAPERSYIFA

Perubahan dan Pencabutan Gugatan

Perubahan Gugatan

Dalam hukum acara perdata, penggugat diizinkan untuk mengubah gugatannya. Dasar

hukumnya ada dalam pasal 127 Rv yang menyatakan bahwa “Penggugat berhak untuk

mengubah atau mengurangi tuntutannya sampai saat perkara diputus, tanpa boleh

mengubah atau menambah pokok gugatannya.”

Apabila ditarik kesimpulan dari penjabaran pasal 127 tersebut, maka dapat dikatakan

bahwa mengubah gugatan merupakan suatu hak penggugat dalam mengurangi

gugatannya. Perubahan ini tentu saja dilengkapi dengan ketentuan-ketentuan jika,

1. Tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata

2. Tidak menimbulkan kerugian terhadap Hak Pembelaan tergugat

3. Tidak mengakibatkan perubahan posita

4. Tidak merubah atau menyimpangi kejadian materiil dalam gugatan

5. Tidak mengakibatkan perubahan subyek hukum dalam gugatan9

Selain dasar hukum pasal 127 Rv di atas, ada juga beberapa yurisprudensi atau

putusan MA yang bisa dan sering dijadikan dasar hukum mengenai praktik perubahan

gugatan dalam persidangan, antara lain sebagai berikut :

1. Putusan MA-RI No. 434.K/Sip/1970, tanggal 11 Maret 1971 : Perubahan

gugatan dapat dikabulkan asalkan tidak melampaui batas-batas materi pokok

yang dapat menimbulkan kerugian pada Hak Pembelaan para Tergugat;

2. Putusan MA-RI No.1043.K/Sip/1973, tanggal 13 Desember 1974 dan No.

823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 : Yurisprudensi mengizinkan

perubahan atau tambahan dari gugatan asal tidak mengakibatkan perubahan

9 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/perubahan-gugatan/ pada pukul 19.36 WIB

Page 14: HAPERSYIFA

posita dan Tergugat tidak dirugikan haknya untuk membela diri (Hak

pembelaan diri) atau pembuktian;

3. Putusan MA-RI No.226.K/Sip/1973, tanggal 17 Desember 1975 : Perubahan

gugatan Penggugat Terbanding pada persidangan 11 Pebruari 1969 adalah

mengenai pokok gugatan, maka perubahan itu harus ditolak;

4. Putusan MA-RI No.209.K/Sip/1970, tanggal 6 Maret 1971 : Suatu perubahan

tuntutan tidak bertentangan dengan azas-azas Hukum Acara Perdata asal tidak

merubah atau menyimpang dari kejadian materiil walaupun tidak ada tuntutan

subsidair

5. Putusan MA-RI No.823.K/Sip/1973, tanggal 29 Januari 1976 : Karena perubahan

tersebut tidaklah merugikan kepentingan Tergugat dalam pembelaan atau

pembuktian, sehingga tidak bertentangan dengan Hukum Acara dan demi

Peradilan yang cepat dan murah (tentang perubahan tanggal, bulan, tahun

dalam gugatan)

6. Putusan MA-RI No. 457/Sip/1975, tanggal 18 Nopember 1975 : Tidak dapat

dibenarkan apabila Pengadilan Tinggi memerintahkan Pengadilan Negeri untuk

menarik pihak ketiga sebagai Turut Tergugat (yang dalam gugatan asal

dijadikan pihak dalam perkara); sehingga terjadi perubahan subyek hukum

gugatan (Vide = Putusan MA-RI No. 305.K/Sip/1971, tanggal 16 Juni 1971);

7. Putusan MA-RI No.546.K/Sip/1970, tanggal 14 Oktober 1970 : Perubahan

gugatan itu tidak diterima apabila perubahan itu dilakukan pada taraf

pemeriksaan perkara sudah hampir selesai, pada saat dalil-dalil, tangkisan-

tangkisan, pembelaan-pembelaan, sudah habis dikemukakan dan kedua pihak

sebelumnya telah mohon putusan; Putusan MA-RI No.334.K/Sip/1972, tanggal

4 Oktober 1972 : Judex-facti tidak boleh merubah dalil gugatan (Posita) dari

Penggugat (Pasal 189 ayat (3) Rbg./ Pasal 178 ayat (3) HIR.

Page 15: HAPERSYIFA

Apabila kita ingin merubah gugatan, ada ketentuan-ketentuan waktu tertentu yang

harus dipatuhi. Ketentuan-ketentuan itu adalah sebagai berikut:

1. Sebelum hakim membacakan surat gugatan. Jika perubahan diajukan sebelum

hakim membacakan gugatan, maka perubahan ini tidak memerlukan

persetujuan dari tergugat.

2. Setelah hakim membacakan surat gugatan, dengan catatan selama tergugat

belum meberikan jawaban. Perubahan dalam waktu ini memerlukan

persetujuan dari tergugat.

3. Perubahan gugatan tidak dapat diajukan ketika pemeriksaan perkara sudah

selesai.

Dasar Hukum: Putusan MA-RI No.1425.K/Pdt/1985, tanggal 24 Juni 1991 :

Perubahan surat/ gugatan perdata dapat diterima/ dibenarkan bila perubahaan itu

dilakukan sebelum Hakim membacakan surat Gugatan di dalam persidangan dan

kepada Tergugat masih diperintahkan untuk menjawab surat gugatan tersebut

Persyaratan Pengajuan Perubahan Gugatan

Dalam buku pedoman yang diterbitkan oleh MA, terdapat syarat formil untuk

mengajukan perubahan gugatan, yaitu:

a. Pengajuan perubahan pada sidang yang pertama dihadiri tergugat

Syarat formil ini, ditegaskan oleh MA dalam buku pedoman, yang

menyatakan:

-Diajukan pada hari sidang

- Dihadiri oleh para pihak Dari ketentuan tersebut

Penggugat juga tidak dibenarkan mengajukan perubahan gugatan:

- Di luar hari sidang

Page 16: HAPERSYIFA

- Pada sidang yang tidak dihadiri tergugat.

Tujuan dari syarat-syarat formil ini adalah untuk melindungi

kepentingan tergugat dalam membela diri. Jika perubahan dibenarkan

di luar sidang dan di luar hadirnya tergugat, maka akan dianggap sangat

merugikan kepentingan tergugat.

b. Memberi hak kepada tergugat untuk menanggapi Syarat formil ini pun

digariskan oleh MA, yang menyatakan “menanyakan kepada tergugat

tentang perubahan gugatan yang bersangkutan dan memberi hak dan

kesempatan kepada tergugat untuk menanggapi dan membela

kepentingannya.”

c. Tidak menghambat acara pemeriksaan Dalam hal ini, perubahan

gugatan tidak boleh menghambat jalannya pemeriksaan di pengadilan.

Apabila perubahan gugatan tersebut menghambat jalannya

pemeriksaan, maka akan menjadi masalah baru lagi di antara kedua

belah pihak yang berperkara, seperti bertambahnya jangka waktu

proses pemeriksaan sehingga memakan waktu yang lama dalam proses

penyelesaian perkaranya.10

Pencabutan Gugatan

Sama halnya dengan merubah gugatan, mencabut gugatan merupakan hak penggugat

untuk mencabut gugatannya. Dalam pasal 271 Rv disebutkan bahwa penggugat dapat

mencabut gugatannya dengan syarat sebelum tergugat menyampaikan jawaban

terhadap gugatan tersebut. Jika tergugat telah menyampaikan jawaban maka

persetujuan tergugat diperlukan.

10 Diakses dari Arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/ pada pukul 19.53 WIB

Page 17: HAPERSYIFA

Apabila penggugat mencabut gugatan sebelum tergugat menyampaikan jawaban,

maka penggugat dapat mengajukan kembali gugatannya. Namun, apabila penggugat

mencabut gugatan setelah tergugat menyampaikan jawaban, maka penggugat tidak

dapat lagi mengajukan gugatan yang sama karena dianggap penggugat telah

melepaskan haknya.

Alasan pencabutan bervariasi, bisa disebabkan gugatan yang diajukan tidak sempurna

atau dasar dalil gugatan tidak kuat atau barangkali dalil gugatan bertentangan dengan

hukum.

Penyampaian jawaban dalam proses pemeriksaan perdata berlangsung pada tahap

sidang pertama atau kedua atau berikutnya. Apabila pada sidang yang lalu diundur

tanpa menyampaikan jawaban dari pihak tergugat. Dalam hal yang seperti ini,

meskipun para pihak telah hadir di persidangan, dianggap pemeriksaan belum

berlangsung selama tergugat belum menyampaikan jawaban. Dalam keadaan yang

demikian, hukum memberi hak penuh kepada penggugat mencabut gugatan tanpa

persetujuan pihak tergugat. Dalam tahap proses yang seperti ini, pencabutan gugatan

benar-benar mutlak menjadi hak penuh penggugat. Akan tetapi, perluasan hak itu

dapat meningkat samapai tahap selama tergugat belum mengajukan jawaban,

penggugat mutlak berhak mencabut gugatan. Pendirian ini selain berpedoman kepada

pasal 271 Rv, juga didukung praktek peradilan antara lain dapat dikemukakan salah

satu putusan MA. Yang menegaskan : Selama proses pemeriksaan perkara

dipersidangan belum berlangsung, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa

persetujuan tergugat; Setelah proses pemeriksaan berlangsung, pencabutan masih

boleh dilakukan, dengan syarat harus ada persetujuan pihak tergugat.

Page 18: HAPERSYIFA

Cara Pencabutan

Menurut pasal 272 Rv yang berhak melakukan pencabutan adalah penggugat sendiri

secara pribadi, kuasa yang ditunjuk penggugat berdasarkan surat kuasa khusus yang

digariskan dalam pasal 123 HIR yang didalamnya dengan tegas diberi penugasan untuk

mencabut atau dapat juga dituangkan dalam surat kuasa tersendiri yang secara khusus

memberi penegasan untuk melakukan pencabutan gugatan.

Pencabutan mutlak harus dilakukan dan disampaikan penggugat pada sidang

pengadilan. Penyampaian pencabutan dilakukan pada sidang yang dihadiri tergugat.

Kalau begitu pencabutan hanya dapat dilakukan dan dibenarkan pada sidang

pengadilan yang memenuhi syarat contradictoir, yaitu harus dihadiri para pihak. Tidak

dibenarkan pencabutan dalam persidangan secara ex parte (tanpa dihadiri tergugat).

Mengenai hal ini sudah dijelaskan, apabila pemeriksaan perkara sudah berlangsung

pencabutan harus mendapat persetujuan tergugat. Oleh karena itu, apabila ada

pengajuan pencabutan gugatan disidang pengadilan, proses yang harus ditempuh

majelis untuk menyelesaikannya adalah sebagai berikut :

- Majelis menanyakan pendapat tergugat, bila tergugat menolak pencabutan

(maka majelis hakim harus tunduk atas penolakan tersebut, majelis hakim

harus menyampaikan pernyataan dalam sidang bahwa pemeriksaan harus

dilanjutkan, kemudian memerintahkan panitera untuk mencatat penolakan

tersebut dalam berita acara).

- Bila tergugat menyetujui pencabutan, majelis hakim menerbitkan putusan /

penetapan pencabutan. Maka putusan tersebut bersifat final dalam arti

sengketa antara penggugat dan tergugat berakhir. Majelis memerintahkan

pencoretan perkara dari register atas alasan pencabutan.

Page 19: HAPERSYIFA

Akibat Hukum Pencabutan

Pasal 272 Rv mengatur tentang akibat hukum pencabutan gugatan. Pencabutan

Mengakhiri Perkara Pencabutan gugatan bersifat final mengakhiri perkara. Bukan

masalah apabila pencabutan tersebut dilakukan sebelum proses pemeriksaan.

Walaupun pencabutan tersebut dilakukan tanpa persetujuan tergugat, pencabutan

tersebut tetap bersifat final. Tertutup segala Upaya Hukum bagi Para Pihak Putusan

pencabutan gugatan adalah bersifat final dan analog dengan putusan perdamaian

berdasarkan pasal 130 HIR. Konsekuensi hukum yang harus ditegakkan adalah :

- Putusan pencabutan gugatan mengikat (binding) sebagaimana putusan yang

telah berkekuatan hukum tetap;

- Tertutup bagi para pihak untuk mengajukan segala bentuk upaya hukum.

Pengajuan kembali gugatan yang telah dicabut Pasal 124 HIR masih tetap

memberi hak kepada penggugat untuk mengajukan kembali gugatan yang

digugurkan sebagai perkara baru, dengan syarat dibebani membayar biaya

perkara.

Page 20: HAPERSYIFA

Daftar Pustaka

Sutantio, Retnowulan. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek. Bandung:

Mandar Maju, 2009.

Mertokusumo, Sudikno.Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty,1979.

Harahap Yahya

www.sitajaminan.klinikhukum.umkmcentre.narotama.ac.id/2011/10/22/prosedur-

sita-jaminan/

www.thatsmekrs.wordpress.com/2010/06/17/resume-sita-jaminan-dari-buku-hukum-

acara-perdata-indonesia-prof-dr-sudikno-mertokusumo-s-h

www.arihaz99.wordpress.com/2012/11/13/sita-jaminan/

www.wikayudhashanty.blogspot.com/2013/05/pengguguran-pencabutan-perubahan-

dan.html?m=1