fu’a auliluk ” (suatu tinjauan teologis-antropologis...

29
“ FU’A AULILUK ” (SUATU TINJAUAN TEOLOGIS-ANTROPOLOGIS TERHADAP MAKNA FU’A AULILIUK DALAM KEKRISTENAN JEMAAT SYLOAM LOLE- MAKU ROTE NDAO ) Oleh, DYAN RUTHALIA DJANI 712007045 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA Salatiga 2015

Upload: trinhnhi

Post on 08-Apr-2019

229 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

“ FU’A AULILUK ”

(SUATU TINJAUAN TEOLOGIS-ANTROPOLOGIS TERHADAP MAKNA

FU’A AULILIUK DALAM KEKRISTENAN JEMAAT SYLOAM LOLE-

MAKU ROTE NDAO )

Oleh, DYAN RUTHALIA DJANI

712007045

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

Salatiga

2015

Page 2: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan
Page 3: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan
Page 4: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur yang tak terkira kepada Tuhan Sang Pencipta alam semesta, karena

hanya atas anugerah dan kasih-NYA sajalah penulis dapat menyelesaikan penulisan Tugas Akhir

ini. Sekian proses baik suka maupun duka dalam Tugas Akhir ini. Bersyukur karena saat

mengalami beberapa kesulitan dalam proses pembuatan Tugas Akhir ini, penulis masih

merasakan dukungan bukan hanya dari orangtua dan sanak saudara saja tapi terlebih dari Tuhan

yang selalu dengan caraNya menyertai dan menuntun hingga penulis mampu menyelesaikan

tugas ini dengan baik. Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan kuasa Tuhan nyata

dalam penulisan ini

Penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membimbing dan

memungkinkan penulis berproses di Fakultas Teologi UKSW.

1. Pdt. Dr. Retnowati selaku pembimbing 1 dan dosen yang sangat menginspirasi dengan

ketulusan dan kebaikab yang dimiliki. Terima kasih ibu untuk ilmu, waktu, pengalaman

dan semua yang telah diberikan. Dan untuk Ibu Ira Mangililo selaku pembimbing dua,

terima kasih untuk ilmu dan berbagai masukan yang sangat bermanfaat bagi saya

dikemudian hari.

2. Dekan, Kaprogdi dan seluruh dosen serta staff Fakultas Teologi UKSW yang telah

membantu saya menyelesaikan perkuliahan ini dan menjadi bekal bagi saya dalam

mempersiapkan diri menjadi calon pelayan Tuhan.

3. Bapak, Mama, Kakak , Adik, Keluarga, Suami dan Juga Buah Hati tercinta yang tak

pernah ada batasnya memberikan cinta. Kasih sayang dan juga dukungan, serta rela

melakukan apapun sehingga saya tetap mampu dan bertahan dalam bangku perkuliahan

sampai selesai.

4. Terimakasih juga untuk teman–teman Teologi 2007 ( Peace In reanbow), buat Kris calon

doktor, terimakasih banyak buat bantuan, masukan, berbagai pengalaman serta ilmu

pengetahuan yang sangat berguna .

5. Buat saudara-saudara di Kontrakan, K’Ela, Nona. Mici, Novi dan Ega. Terimakasih

banyak buat dukungannya selama ini.

6. Ketua Majelis jemaat Pdt. Imelda Tuulima S.Th beserta majelis dan Jemaat yang telah

meluangkan waktu untuk membantu penulis dalam memberikan segala informasi yang

Page 5: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

sangat bermanfaat guna penyusunan Tugas Akhir ini. Tuhan selalu memberkati dalam

tugas dan pelayanan.

7. Terimakasih untuk keluarga besar di Kupang dan Rote buat dukungan, bantuan dan

doanya.

8. Untuk semua orang yang namanya belum dapat disebutkan satu persatu, terimakasih

untuk semuanya

Salatiga, 14 Januari 2015

Dyan Ruthalia Djani

Page 6: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan
Page 7: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan
Page 8: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang Masalah

Pulau Rote adalah salah satu pulau yang berada di provinsi Nusa Tenggara Timur

(NTT). Pulau Rote merupakan pulau paling selatan di Indonesia, dapat dijangkau dari Kota

Kupang dengan menggunakan transportasi laut. Pulau Rote sangat terkenal dengan berbagai

macam pariwisata, alat musik tradisional, tari-tarian dan juga kebudayaan-kebudayaan

lainnya.1

Masyarakat Rote sangat menghormati dan menghargai budaya yang mereka anut dan

warisan budaya tersebut masih terus di pertahankan hingga saat ini. Budaya yang dianut

sangat berpengaruh dalam kehidupan sosial mereka. Masyarakat Rote sebelumnya telah

memiliki dan menganut sebuah sistem kepercayaan atau agama suku yang mereka sebut

“Halaik. Halaik adalah agama asli orang Rote. Dalam konsep kehidupan akan alam gaib,

orang-orang Rote juga percaya akan adanya dewa, Misalnya Dewa Nutu Bek (dewa untuk

pertanian), dan dewa Nade Dio (dewa pemberi kemakmuran). Konsep wujud tertinggi

dikenal dengan apa yang disebut dengan Mane Tua Lain atau Lama Tuak sebagai suatu

wujud tertinggi. Sistem kepercayaan yang dianut oleh orang Rote dan komunitasnya masih

dianut sampai sekarang dan dianggap sebagai suatu ibadah agama dan kegiatan adat.

Gereja dalam hal ini mempunyai kekuatan yang cukup besar untuk masuk ke dalam

kehidupan orang Rote. Hal ini dapat dibuktikan dengan populasi mayoritas masyarakat Rote

yang telah menjadi Kristen. Akan tetapi, pada umumnya budaya atau pengaruh agama Halaik

(nilai-nilai yang diwariskan) masih mempengaruhi kehidupan mereka. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa, kebudayaan masih sangat kuat dan dipegang teguh oleh orang Rote.

Salah Satu upacara adat tradisi orang Rote dan masih dijalankan sampai saat ini adalah Fu’a

Auliliuk.

Fu’a Auliliuk merupakan istilah atau sebutan yang dipakai oleh orang Rote dalam

ritual setelah selesai kerja sawah atau ucapan syukur atas hasil panen dan pengambilan hasil

1 Parera. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: Suatu Kajian Peta Politik Pemerintahan Kerajaan-

kerajaan di Timor Sebelum Kemerdekaan RI, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1994), 38.

Page 9: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

2

panen yang dilaksanakan pada pertengahan agustus sampai akhir oktober atau setelah masa

panen, yang dianggap membawa keuntungan dan kesejahteraaan.2

Fu’a Auliliuk juga merupakan ekspresi tersendiri dari masyarakat Rote Lole untuk

menunjukkan rasa syukur atas berkat yang didapat. Karena setiap pribadi atau kelompok

masyarakat memiliki cara tersendiri dalam mengekspresikan budayanya tetapi apa yang

mereka gunakan bersifat kemasyarakatan.3 Fu’a Auliliuk terdiri dari dua suku kata yaitu:

Fu’a dan Auliliuk yang berasal dari bahasa Rote Lole. Fu’a artiya menaikkan atau

mempersembahkan, sedangkan auliliuk artinya memukul. Jadi, Fu’a Auliliuk berarti

menaikkan persembahan dengan cara memukul hewan dan alat bertani sehingga hewan dan

alat-alat bertani tersebut dapat berfungsi dengan baik dalam musim bertani dan panen

berikutnya. Secara umum Fu’a aliliuk sendiri adalah ritual setelah selesai kerja sawah

(pengucapan syukur setelah selesai kerja sawah). Ritual tersebut dilakukan dengan cara

mengumpulkan semua petani, keluarga dari petani dan alat-alat kerja. Ritual ini juga

dilakukan dengan membaca mantra kepada alat-alat bertani dan hewan. Selain itu, terdapat

persembahan kepada dewa-dewa atau leluhur. Dengan tujuan supaya alat-alat bertani dan

hewan tersebut dapat berguna dengan baik pada musim bertani dan panen berikutnya.4

Fu’a Auliliuk yang merupakan ritual agama asli suku Rote, sangat melekat dalam

kehidupan Kekristenan Jemaat GMIT Syloam-Rote Lole, Maku karena sebagian besar jemaat

masih ikut mempraktikkan ritual tersebut. Mereka percaya bahwa ketika melakukan ritual

tersebut akan mendapatkan berkat yang melimpah, kemakmuran, dan kesejahteraan melalui

hasil panen, dan diwaktu yang akan datang hasil panen berikutnya juga akan lebih baik. Hal

ini menunjukkan bahwa sadar ataupun tidak sadar, kebudayaan dalam ritual-ritual masyarakat

Rote masih terus dijalankan sampai saat ini oleh Jemaat GMIT Syloam- Rote Lole Maku.

Yang menjadi masalah dalam ritual Fu’a Auliliuk adalah adanya pembacaan mantra dan

persembahan kepada leluhur. Dari masalah ini sikap gereja bisa dikatakan masih mendua,

karena disatu sisi ritual ini sudah menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Maku, tetapi di

sisi lain ritual ini sangat bertentangan dengan iman Kristen. Jadi bisa dipahami bahwa gereja

belum menemukan jalan keluar terbaik untuk masalah ini.

Masalah tersebut kemudian menjadi alasan mendasar yang memunculkan suatu ide

menarik untuk dilakukannya penelitian ini secara mendalam mengenai kebudayaan

2 Biro Humas Setda Propinsi NTT, Hole Ritual Budaya Masyarakat Sabu ( Kupang 2004), 29. 3 Richard Neibuhr,Kristus dan Kebudayaan, ( Jakarta: Petra Jaya,1949), 37 4 A.K., wawancara, (Kupang : 12 September 2014).

Page 10: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

3

masyarakat Rote khususnya tradisi Fu’a Auliliuk di Jemaat GMIT Syloam Rote Lole.

Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah pertama Apa makna Fu’a Auliliuk

dalam Budaya Rote ? kedua mengapa budaya Fu’a Auliliuk masih dilaksanakan oleh

warga jemaat di gereja GMIT Syloam Lole-Maku ?

Tujuan dari penelitian ini adalah pertama menjelaskan makna Fu’a Auliliuk dalam

budaya Rote. Kedua menjelaskan alasan budaya Fu’a Auliliuk masih dilaksanakan oleh

jemaat di gereja GMIT Syloam Lole Maku. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah secara

teoritis sebagai salah satu sumbangan pemikiran bagi pengembangan mata kuliah agama dan

budaya yang berhubungan dengan ritual syukur hasil panen khususnya dalam kebudayaan

masyarakat Rote. Secara praktis sebagai salah satu upaya untuk mengangkat makna budaya

yang masih dilestarikan secara teologis khususnya tradisi Fu’a Auliliuk dalam masyarakat

Rote.

METODE PENELITIAN

Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif.5 Yakni penelitian yang

berusaha menggambarkan atau melukiskan keadaan subjek yang diteliti, dengan

menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud

untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya

perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain. Secara holistik, dengan cara deskripsi

dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan

memanfaatkan berbagai metode alamiah.6

Teknik Pengumpulan data

Wawancara. Dalam wawancara terjadi proses tanya jawab yang terdiri dari

pertanyaan yang sedemikian rupa sehingga informan tidak terbatas memberikan keterangan

sebanyak mungkin dan jawaban-jawaban berbentuk keterangan secara lisan. Pertanyaan yang

diberikan adalah pertanyaan yang terarah sehingga mudah diolah kembali agar pemecahan

masalah lebih mudah dan memungkinkan dianalisa secara deskriptif serta kesimpulan yang

diperoleh bisa dipertanggungjawabkan.7Serta orientasi lapangan yaitu dari pihak – pihak

5 W. Lawrence Neuman, Social research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, (USA:

Allyn and Bacon, 1999), 21. 6 Lexy J. Moleong, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), 6. 7 Cholid Narbuko & H. Abu Achmadi, Metode Penelitian ( Jakarta : PT. Bumi Aksara,2007,83

Page 11: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

4

yang berkaitan: tokoh-tokoh adat,serta jemaat yang masih melakukan ritual tersebut dengan

data yang relevan.

Satuan pengamatan dan analisa

Lokasi dari penelitian ini adalah Pulau Rote Ndao tepatnya di desa Lole Maku.

Subyek analisa dari penelitian ini adalah Masyarakat Rote Lole yang masih melakukan

tradisi FU’A ALULILIUK tersebut untuk menggali apa alasan FU’A AULILIUK masih

dilaksanakan sampai saat ini. Masyarakat Lole serta ketua adat yang menjadi informan kunci

bagi penulis dalam penelitian ini.

LANDASAN TEORI

Pada bagian ini penulis membahas tentang Persembahan secara umum, dan

persembahan secara teologis.

Persembahan Secara Umum

Persembahan merupakan sebuah ritual dan merupakan salah satu cara agar dapat

membangun hubungan dengan apa yang mereka percayai atau imani dan merupakan

ekspresi-ekpresi simbolik dari realitas sosial yang digunakan untuk kekuatan, penjagaan,

penyegar dan solidarita sebuah kelompok. Persembahan dalam setiap ritus keagamaan

merupakan sebuah ritual yang sangat penting, sehingga persembahan selalu diikutsertakan di

dalamnya baik dalam kepercayaan primitif atau yang masih bersifat tradisional maupun

dalam kalangan penganut agama modern.8

Persembahan biasa disebut korban, hadiah, upah yang secara umum dalam bahasa

Ibrani disebut “ mikha “.9 Melalui korban yang dipersembahkan dalam suatu ritus manusia

yakin bahwa hidupnya akan tentram, aman dan bahagia. Dengan kata lain manusia

mempersembahkan korban dengan maksud tujuan ,agar mereka diberkati dan mendapatkan

apa yang diinginkan.Hal ini dapat dipahami karena persembahan atau korban merupakan

sarana atau alat untuk menyenangkan dewa-dewa atau ilah-ilah.10 Pada jaman dulu manusia

mempersembahkan korban kepada dewa atau ilah yang disembah dan dipercayai dengan

8 Emile Duekheim, The Elementary Forms of Religius Life, (New York : Free Press,1915), 63. 9 R. Soedarmo, Kamus Istilah Teologi, (Jakarta, BPK Gunung Mulia,1998),54. 10 G.E. Wright & A.de Kuiper, Perjanjian Lama Terhadap sekitarnya, (Jakarta BPK Gunung

Mulia,1976),120

Page 12: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

5

maksud mengadakan suatu persekutuan antara si penyembah dengan dewanya.11 Hal tersebut

menunjukkan bahwa antara manusia dengan dewa atau ilah-ilah yang dipercayai berada

dalam suatu ketergantungan serta masih menjalin relasi yang baik.

Sistem kepercayaan atau religi adalah rangkaian keyakinan dari suatu kelompok

masyarakat manusia terhadap sesuatu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib. Oleh karena

manusia menginginkan kehidupan yang tentram dan bahagia maka para ahli antropologi

berpendapat bahwa manusia harus melaksanakan sistem religi yang juga termasuk dalam

berbagai aktivitas upacara religius atau ritual-ritual serta sarana yang berfungsi melaksanakan

komunikasi antara manusia dengan kekuatan gaib. Dalam melaksanakan ritual tersebut,

terdapat berbagai macam upacara seperti yang ada pada berbagai agama dan religi.

Misalnya, berdoa, bersujud, berkorban, berpuasa, memberikan persembahan, makan, menari,

menyanyi, bersesaji dan bertapa. Benda-benda yang dipakai dalam upacara sebagai simbol

seperti patung, batu, tongkat, altar, pedupaan, hewan, tumbuhan, serta pepohonan. Benda-

benda tersebut merupakan wujud fisik dari sistem religi.

Victor Turner berpendapat bahwa kegiatan persembahan-persembahan yang umum

atau penghormatan kepada dewa-dewa,pemberian hadiah, penebusan dosa, komunikasi antara

yang suci atau kudus dan fana yang dapat dipahami sebagai perwujudan dari negoisasi. 12

Berhubungan dengan apa yang dikemukakan oleh Turner yang menyatakan bahwa

persembahan merupakan suatu perjanjian. ” do ut des : saya memberi supaya engkaupun

memberi ”. Van der Leeuw mengemukakan bahwa persembahan adalah mempersembahkan

sesuatu kepada seseorang: merupakan bagian dari dirinya sendiri; sedemikian pula menerima

sesuatu dari orang lain adalah menerima bagian dari kodrat spritualnya atau dari jiwanya;

dalam keadaan itu,kodrat dari pemberian yang timbal balik sangat tampak. 13

Persembahan atau hadiah dan imbalannya tidaklah gratis atau sukarela seperti

kelihatannya. Karena pada dasarnya tidak ada hadiah yang benar-benar gratis menurut

Mauss. Hadiah mencakup kewajiban untuk membalas hadiahnya haruslah sesuai dengan apa

yang sudah diminta sebelumnya. 14

Koentjaraningrat mengemukakan bahwa mempersembahkan korban merupakan suatu

perbuatan pembunuhan binatang dalam upacara ritus keagamaan, dan mempunyai maksud

bahwa binatang yang dibunuh dianggap sebagai simbol atau lambang-lambang dewa-dewa

11 C. Barth, Theologi Perjanjian Lama, (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1970), 302. 12 Jefferey Cartes, Understanding Religious Sacrifice (New York 2003-reprinted 2006 Meidek

Lane),293-300 13 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama (Yogyakarta; kanisius 1995),215-216 14 Jefferey Cartes Understanding,...,88-89

Page 13: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

6

dan leluhur. 15 Dalam hal ini dipercayai bahwa dewa atau sesembahan yang mereka percayai

”mengambil” hidup binatang tersebut yang secara simbolik lewat darah dan nafasnya.

Binatang yang dikorbankan tersebut menggantikan nyawa dari individu atau kelompok yang

melakukan penyembahan dalam ritus keagamaan itu.

Persembahan pada jaman primitif bentuknya sama dengan doa. Doa dipanjatkan

kepada dewa-dewa untuk meminta sesuatu, begitu juga dengan persembahan atau hadiah

yang diberikan kepada dewa-dewa agar permohonan yang mereka panjatkan dapat terkabul.16

Persembahan animistik berupa binatang identik dengan persembahan darah.

Persembahan tersebut dipersembahkan kepada dewa-dewa serta tubuh yang diserahkan untuk

dimakan. Dalam hal ini Tylor memberikan contoh dewa Oedeus membunuh saudaranya dan

darahnya dipersembahkan untuk meminta perlindungan kepada dewa-dewa, kemudian

tubuhnya diberimakan kepada burung-burung pemakan bangkai.17 Berdasarkan mitos-mitos,

membunuh sesuatu atau seseorang sebagai bagian dari ritual, merupakan hal yang sangat

penting.

Hendry Hubert dan Marcel Mauss mengemukakan bahwa persembahan adalah sebuah

ritual dimana korban disiapkan, sebagai perantara antara yang suci/kudus dan yang fana.

Karena antara yang suci dan duniawi (fana) memiliki posisi yang berbeda oleh karena itu

harus ada perantara diantara keduanya yaitu korban persembahan tersebut.18 Hendry dan

Mauss juga mengatakan bahwa kata ” pengorbanan” secara langsung berbicara tentang

penthabisan,dimana setiap persembahan yang menjadi objek harus melewati proses ritual

keagamaan.19 Kemudian Wilken berkata bahwa upacara korban bukan hanya saja makan

daging dan minum darah binatang, tetapi dasar dari upacara korban adalah persembahan

kepada para dewata, roh nenek moyang, dan makhluk-makhluk halus.20

Dari semua ini dapat dilihat bahwa ada fakta sosial dalam setiap ritual-ritual

keagamaan, baik itu dalam memberikan korban ataupun persembahan, yaitu memiliki fungsi

sosial untuk membantu mempererat solidaritas di antara mereka.

15 Koentjaraningrat, Pokok-pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1974),251 16 Understanding,...,256 17 Ibid., 267 18 Ibid., 88-99 19 Ibid., 20 Koentjaraningrat, Metode Antropologi,...,50

Page 14: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

7

Menurut kitab imamat persembahan memiliki arti sebagai “penyajian”atau “barang-

barang yang di bawa dekat.21 Sesaji merupakan suatu wujud atau tindakan pemberian

persembahan yang menggambarkan pemberian sesutau kepada makhluk sepernatural. Tylor

mendefenisikan bahwa persembahan sama dengan sesaji. Sesaji atau hadiah juga diberikan

kepada dewa-dewa dengan keyakinan bahwa ada nilai timbal balik yang terdapat di

dalamnya.22 Marsel Mauss juga mendefenisikan bahwa pada kenyataannya jumlah sesaji

yang diberikan walaupun terlihat sedikit namun itu bukanlah intinya, karena yang dilihat

adalah nilai dari pemberian persembahan itu sendiri.23

Persembahan Secara Teologis

Secara Teologis persembahan merupakan bagian yang penting. Karena persembahan

merupakan salah satu bagian dalam ritual kekristenan. Mempersembahkan suatu

persembahan kepada Allah dengan maksud untuk memperoleh kemurahan hati Allah.24

Persembahan juga merupakan relasi antara manusia dengan Tuhan yang secara mendasar

mengandung ungkapan syukur jemaat untuk saling melengkapi tubuh Kristus.25 Hal ini dapat

dilihat dalam alkitab PL dan PB yang dijelaskan sebagai berikut :

Persembahan dalam PL. Dalam bahasa Ibrani persembahan berarti korban.26 Selain ”

minkha ” dalam istilah umum persembahan (hadiah atau pemberian) dalam perjanjian Lama

ada kata-kata lain yang dipakai dalam istilah korban yaitu ”syelem, dan ” ola ” yang pada

zaman kemudian disebut ” korban penghapusan dosa ” (khattah) dan ” korban penutup salah

” (asyam).27

R. D. Dussaud menyatakan bahwa latar belakang sistem korban, dipengaruhi oleh

bangsa Kanaan yang menduduki Israel. Tradisi pemberian korban tidak terbatas pada orang-

orang Israel saja,tetapi dalam tradisi-tradisi gereja bangsa disekitar Israel, ada upacara-

upacara pemebrian korban kepada dewa ( Hakim-Hakim 16 : 23 ; I Samuel 6 :4; II Raja-Raja

3 : 27; 5 : 17).28 Kemudian V. Maag mengambil latar belakang kehidupan para gembala.

Kebudayaan-kebudayaan gembala migran para bapa-bapa leluhur yang hidup dari padang

21 W.S. Lasor, D.A. Hubbard, F.W. Bush, Pengantar Perjanjian Lama 1, (jakarta : BPK Gunung Mulia 2012), 217.

22 Jefferey Cartes, Understanding Religious Sacrifice ( New York 2003 reprinted 2006 Meidek Lane),12-38.

23 Ibid.,88-99. 24 F L Baker, Sejarah Kerajaan Allah Perjanjian Lama. (Jakarta BPK Gunung Mulia,1990), 367. 25 A.M Tambunan, Persembahan Persepuluhan ( Jakarta : BPK, 1952),16. 26 R. Soedarmo, Kamus,......,54. 27 Th.C.Vriezen, Agama Isreal Kuno. (Jakarta, BPK Gunung Mulia,2003),88. 28 Ed.M.A J.D Douglas,BD, The Illustrated Bible Dictionary part 3, ( Tyndale House Publishare

Intervarsity Press ) 358-368.

Page 15: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

8

rumput Asia yang luas. Persembahan korban yang mereka sajikan adalah untuk makanan para

dewa,oleh darah yang tercurah dari korban,dewa akan membalas pada si pemberi korban.29

Dalam kitab Kejadian disinggung tentang Kain dan Habel yang mempersembahkan

persembahan, kata yang dipakai untuk menunjuk persembahan ini adalah ” minha ” (gandum

dan terigu), persembahan ini berupa padi-padian yang jumlahnya tidak ditentukan, bisa juga

menunjuk pada korban binatang ( Kejadian 4: 2; I Samuel 2: 29; 26 : 19 ). Persembahan ini

selain berupa padi-padian juga berupa tepung (Imamat 2 : 1-3), kue-keu yang dibakar

(Imamat 4:4-10), gandum mentah (Imamat 2 : 14-16) bersama dengan minyak dan getah

damar yang harum. Berbeda dengan ”zebhahim” (menyembelih atau korban yang dibunuh)

(Kejadian 4 :3-4). Korban ini menunjuk pada penggunaan Altar,juga pada Kejadian 8 :20 di

mana Nuh mempersembahkan ” ola ” (persembahan yang dibakar) pada sebuah altar.

Tuhan memerintahkan untuk memberikan korban dengan maksud untuk memperbaiki

hubungan antara bangsa Israel dan Tuhan. Korban bisa bertujuan melakukan silih yang

menyingkirkan kenajisan maupun dosa. Dalam mempersembahkan korban kepada Allah

haruslah disertai pertobatan, penyerahan diri kepada Allah dan disertai dengan rasa

terimakasih dan kesetiaan kepada Nya.30

Dari pembahasan mengenai korban dalam perjanjian lama, korban atau persembahan

merupakan suatu wujud atau bentuk ekspresi ibadah manusia terhadap Allah,baik secara

pribadi maupun kelompok. Dapat dilihat bahwa motivasi yang mempengaruhi persembahan

adalah didorong oleh keinginan rohani untuk: yang pertama ”sebagai ucapan syukur kepada

Allah.” Rasa syukur diungkapkan dengan pemberian yang terbaik untuk Tuhan dan

dilakukan dengan sepenuh hati dan secara spontan untuk menanggapi kebaikan Tuhan.

”Bagaimana akan kubalas kepada Tuhan ?” (Mazmur 116: 12). Yang kedua ” sebagai

penghormatan ”. Penghormatan ini diungkapkan dengan prinsip terutama didasarkan atas

pengakuan bahwa segala sesuatu adalah kepunyaan Tuhan ( Kejadian 22). Yang ketiga ”

pertobatan”. Maksud dari pertobatan adalah untuk penyesalan terhadap dosa dan kesalahan

yang telah dilakukannya.31

Persembahan dalam PB. Dalam perjanjian baru tidak diberlakukan ibadah korban

seperti yang terdapat dalam Perjanjian Lama sebab dalam perjanjian baru korban telah

dipersembahkan sekali untuk selamanya ( Efesus 5 : 2; Ibrani 9 :2,17 ). Yesus Kristus sebagai

imam besar telah mengorbankan diriNya sendiri. Melalui korban tersebut,persekutuan

29 Ibid., 358. 30 H.H. Rowley. Ibadat Israel Kuno, (Badan Penerbit Kristen, Jakarta 1981 ),70. 31 Ibid., 107.

Page 16: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

9

dibangun,manusia diperdamaikan dengan Allah. Yesus Kristus telah menyerahkan diriNya

sebagai korban untuk segala dosa.32

Korban yang telah dipersembahkan oleh Yesus melandasi dan menentukan pemberian

persembahan orang-orang Kristen. Kristus telah mengorbankan diriNya bagi keselamatan

umat manusia. Sebagai respon dari pengorbanan Kristus, maka sebagai orang Kristen kita

harus turut serta mengambil bagian di dalam pelayanan Kristus yang merupakan wujud dari

perintah dan tugas yang diberikan melalui persembahan yang diberikan oleh orang-orang

Kristen. Di sinilah kita dapat melihat bahwa persembahan orang-orang Kristen dalam

Perjanjian baru adalah partisipasi dan dukungan di dalam pelayanan Kristus untuk

menyatakan kasih Allah kepada dunia dan kepada sesama.33

Pemahaman tentang persembahan menurut gereja abad pertama yang tertulis dalam

Kisah Para Rasul,menunjukkan perbedaan dasariah dibandingkan dengan persembahan dalam

ibadah-ibadah agama Yahudi, Kanaan, Romawi dan Yunani ditandai dengan persembahan

yang bersifat kultus dan ritual. Orang memberi persembahan supaya diimbali, supaya

mendapat pahala dan supaya dibalas dengan kekayaan, kemakmuran, keselamatan dan

lainnya. Di situ ada unsur ”aku memberi supaya aku diberi”. Gereja justru mengembangkan

pemahaman yang sebaliknya, yaitu kita memberi karena kita sudah diberi.34

Tradisi Alkitab mengungkapkan, setiap kali umat Allah datang menghadap hadirat

Tuhan (beribadah), mereka selalu membawa persembahan kepada Tuhan. Hal ini dilakukan

sesuai dengan perintah Tuhan kepada mereka bahwa : setiap orang yang datang menghadap

Tuhan, janganlah ia menghadap dengan tangan hampa, tetapi masing-masing membawa

persembahan sesuai dengan berkat yang diberikan Tuhan kepadanya. Bentuk dari pemberian

persembahan ada bermacam-macam. Ada persembahan mingguan, bulanan dan tahunan.

Semuanya diberikan kepada gereja dengan maksud sebagai pengucapan syukur kepada Allah

atas berkat yang ia limpahkan.35

Menurut Alkitab ada beberapa nilai dari suatu persembahan yang dikehendaki oleh

Tuhan: Pertama, bila persembahan adalah yang terbaik, (Keluaran 23 19). Persembahan itu

terbaik atau tidak,ditentukan oleh sikap hati. (bnd, persembahan Kain dan Habel, Kejadian 4

:3-7. Habel, memilih anak sulung kambing dombanya, sedangkan Kain mempersembahkan

sebagian dari hasil pertaniannya dengan berat hati. Alkitab mengatakan persembahan Habel

32 J.L.Ch.Abineno, Unsur-unsur Liturgika yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Indonesia (Jakarta : BPK Gunung Mulia,1960), 103.

33 Ibid.,104. 34 A.M. Tambunan, Persembahan Persepuluhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1952), 17. 35 Ibid., 21.

Page 17: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

10

yang diterima Tuhan, sedangkan persembahan Kain tidak diindahkan Tuhan. Oleh karena

persembahan itu merupakan sikap hati kita,maka persembahan itu adalah yang terbaik.36

Kedua, bila persembahan itu sesuai kemampuan (Ulangan 16: 17; 1 Korintus 16:2).

Dalam hal ini, besar kecilnya persembahan jangan melihat pada jumlahnya, tetapi melihat

pada berkat-berkat yang diperoleh atau sesuai keadaan ekonomi yang dimiliki. Dalam

Alkitab, Tuhan menilai persembahan kita bukan dari besar jumlahnya, tetapi dari ukuran

apakah persembahan itu sesuai dengan kemampuan kita . (bnd Lukas 6 :38 ).37

Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa persembahan adalah

bagian dari cara manusia mengekspresikan keyakinannya bahwa di luar manusia ternyata ada

kekuatan yang lebih besar yang selalu memenuhi setiap kebutuhan manusia. Kekuatan yang

besar itulah yang dinamakan Tuhan.

HASIL PENELITIAN

Pada bagian ini penulis mendiskripsikan tentang sejarah gereja, sistem kepercayaan

dalam masyarakat Rote dan makna FU’A AULILIUK dalam kehidupan berjemaat GMIT

Syloam Maku.

Sejarah Gereja Syloam Maku

Gereja Syloam Maku merupakan salah satu gereja tua di wilayah Lole Timur yang

memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang dari awal berdirinya. Pada awalnya Gereja

Syloam Maku adalah pecahan dari gereja Maseneda Noandale (gereja tua di Lole ). Karena

faktor jarak, maka pada tahun 1938, Loleh bagian timur membangun sebuah gereja kecil di

Aililo di samping rumah Bapak Mboli Folak dengan jumlah ±80 orang yang terdiri dari

anggota sidi ( laki-laki 20 orang dan perempuan 33 orang, Pendeta yang melayani adalah

Pelayan dari Ambon.38

Pada tahun 1940, Bapak Hanok Suilima, Bapak Hanok Menoh, Bapak Saul Anabokay

dan Bapak Tobias Foenale membangun sebuah gereja kecil secara darurat di Maku,tepatnya

di gunung Baanggelan, dengan jumlah jiwa 108 anggota sidi. Karena faktor cuaca dan

keadaan alam,gereja mengalami kerusakan pada atap ( dari daun lontar ). Pada tahun 1943,

gereja dipindahkan ke Liquoen tempatnya di jalan raya menuju Kolobolon dan pendeta yang

36 Ibid., 25. 37 Ibid., 27. 38 Sumber Dokumen Gereja GMIT Syloam Maku, 2013.

Page 18: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

11

melayani adalah Pdt. Nggebu, dan pada tahun 1946, gereja dipindahkan lagi ke bagian Timur

gunung Baanggelan, samping SD GMIT Maku, dan pendeta yang melayani adalah adalah

Pdt. Luttu.39

Pada tahun 1958, gereja telah rusak dan jemaat beribadah di rumah bapak Jakob

Makandolu, sementara itu jemaat mempersiapkan bahan untuk membangun gereja di

Kekasianan yang masih beratap daun, dindingnya dari papan dan lantainya dari tanah. Jemaat

tersebut di layani oleh 8 pendeta dan utusan injil 3 orang.40

Pada tahun 1971-1990 gereja dipindahkan ke Tuabuna yang sudah beratapkan seng,

lantai semen, dindingya setengah tembok dan penanggung jawabnya adalah Bapak FR.

Balukh. Selanjutnya pada tahun 1991, gedung gereja di pindahkan ke Mbaohuk, dan pada

tahun 2009 direnovasi kembali hingga saat ini.41

Secara struktural pelayanan gereja Syloam Maku saat ini belum terstruktur dengan

baik oleh karena belum ada pembagian komisi yang jelas untuk membidangi program-

program pelayanan yang ada. Dalam pelayanan majelis jemaat didukung oleh 4 orang

penatua dan 2 orang diaken yang masing-masing melayani 3 sektor (rayon), yakni rayon

Sinnggadoulu, rayon Delfui, rayon Maku dan rayon Lopa’e.42

Ada dua bentuk pelayanan yang dilaksanankan dalam gereja ini yaitu pelayanan

pastoral dan diakonia. Pelayanan pastoral dilakukan selain dari pemberitaan firman setiap

minggu pagi juga dilakukan perkunjungan orang sakit, pelayanan bagi anak-anak yang mau

di baptis. Sedangkan pelayanan diakonia dilakukan dengan cara memberi bantuan bagi

keluarga yang mengalami kedukaan (karena sakit penyakit atau kematian).43

SISTEM KEPERCAYAN MASYARAKAT ROTE

Secara historis dalam sistem kepercayaan orang Rote memiliki agama asli yang

disebut Halaik yang dibangun atas konsep dasar akan adanya Zat Ilahi yang disapa sebagai

Ledoh (matahari,penguasa), Ndun (bintang, pemberi) dan Bulan (pemancar terang, Roh

Kudus) yang merupakan oknum Ilahi Yang Maha Tinggi, yang menjadi pangkal dari segala

sesuatu yang ada di alam semesta. Mereka percaya bahwa alam semesta ini diciptakan

melalui proses yang panjang dan rumit. Segala sesuatu yang ada di alam raya ini saling

mempengaruhi, saling bergantung ,dan juga saling mendukung satu sama lain. Baik itu antara

39 Ibid., 40 Ibid., 41 Ibid., 42 Pdt. Imelda Tuulima (2 November 2014). 43 Ibid.,

Page 19: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

12

manusia dengan Tuhannya,manusia dengan manusia, manusia dengan alam, ataupun alam

dengan manusia. Setiap bagian dari alam semesta mempunyai tempat dan peranan masing-

masing yang penuh arti.44

Fu’a Auliliuk Dalam Budaya Rote

Makna Fu’a Auliliuk

Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti menurut beberapa tokoh

adat, Fu’a Auliliuk terdiri dari dua suku kata yaitu Fu’a dan Auliliuk yang berasal dari bahasa

Rote Lole, Fu’a artinya menaikkan atau mempersembahkan, sedangkan Auliliuk artinya

memukul. Menaikkan, mempersembahkan dan memukul yang dimaksudkan oleh tokoh adat

ini yaitu menaikkan persembahan dengan cara memukul hewan (kerbau) yang digunakan

sebagai alat bantu dalam melirik sawah. Fu’a Auliliuk adalah upacara sakral yang berasal dari

agama suku Halaik yang ditandai dengan ritual adat istiadat pemberian persembahan sebagai

tanda atas ungkapan syukur atas hasil panen yang didapatkan dan permohonan terhadap alat-

alat bertani dan juga hewan (kerbau). Ritual tersebut dilakukan setelah selesai kerja sawah

(pengucapan syukur setelah kerja sawah). Ritual tersebut dilakukan dengan cara

mengumpulkan semua petani, keluarga dari petani dan alat-alat kerja, ritual ini juga

dilakukan dengan membaca mantra kepada alat-alat bertani dan hewan,dan juga memberikan

persembahan kepada dewa-dewa atau leluhur. Dengan tujuan supaya alat-alat bertani dan

hewan tersebut dapat berguna dengan baik pada musim bertani dan panen berikutnya.45

Persembahan Fu’a Auliliuk ini diberikan kepada Ledoh, Ndun dan Bulan karena

mereka mempercayai bahwa merekalah yang menciptakan dan menjadikan segala sesuatu

yang ada dibumi ini. Hal ini dilakukan sebagai salah satu wujud ungkapan syukur dari

manusia kepada sang pencipta atas segala kebaikan, kesejahtraan dan kemakmuran yang

diperoleh. Ledoh, Ndun dan Bulan memiliki kedudukan yang sangat tinggi dalam masyarakat

Rote selayaknya orang Kristen mempercayai Allah Bapa sebagai pencipta manusia dan

segala sesuatu yang ada di alam semesta.46

Selain sebagai ungkapan syukur kepada sang pencipta, tradisi Fu’a Auliliuk ini juga

diakukan untuk memberi makna sebagai ritual ucapan terimakasih kepada leluhur atas

penjagaan dan pemberi kekuatan, kesehatan terhadap hewan (kerbau) yang digunakan

44 O.H., Wawancara, (2 November 2014) 45 Ibid., A. K. 46 J.B., wawancara, (01 November 2014)

Page 20: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

13

sebagai alat pembantu dalam melirik sawah. Bisa dikatakan bahwa lewat ritual memukul

hewan (kerbau) dengan menggunakan kayu maka hal tersebut dipercayai oleh manusia bahwa

ketika memukul hewan tersebut, maka hewan tersebut akan diberkati, mendapat kekuatan,

kesehatan dan tidak merasa sakit pada saat melirik sawah. Hewan tersebut dipukul dengan

kayu pemukul (Dilla sinak), kayu pemukul ini digunakan untuk sawah pertama (tuan sawah),

di pukul pada pertama kali setelah itu disimpan dan digunakan pada panen berikutnya. Ritual

tersebut dilakukan di dalam kandang kerbau yang telah dibersihkan karena mereka percaya

bahwa ketika mereka melakukannya ditempat tersebut maka apa yang menjadi permintaan

mereka akan terkabul.

Bagi orang Rote adat istiadat merupakan tradisi turun-temurun dari para leluhur,

berupa pesan-pesan dan janji-janji nenek moyang yang diterima sebagai peraturan yang

senantiasa harus diikuti. Orang Rote percaya bahwa dengan menaati peraturan-peraturan dari

nenek moyang yang dipandang sebagai syariat agama dan adat-istiadat, sekaligus juga

menaati kepada Ledoh, Ndun dan Bulan yang mereka sembah. Karena bagi mereka

menghormati nenek moyang atau leluhur yang sudah meninggal adalah kewajiban anak cucu

yang masih hidup.47

Upacara adat ini dipimpin oleh Manusonggo yang adalah ketua adat, yang bertugas

untuk memimpin upacara-upacara adat atau ritual yang ada di pulau Rote. Fu’a Auliliuk

dilaksanakan pada pertenghan bulan agustus sampai akhir oktober yang merupakan bulan

hasil panen dalam tahun adat yang berjalan.48

Secara historis Manetuansai dan Danggalenaliu adalah leluhur pertama orang Rote

yang melakukan ritual Fu’a Auliliuk, dimana mereka mempunyai kekuatan, ternak dan juga

orang pertama yang mempunyai sawah dan kerbau. Oleh karena itu masyarakat Rote sangat

menghargai dan menghormati leluhur mereka sehingga sampai saat ini mereka masih

melaksanakan ritual Fu’a Auliliuk tersebut. Ritual Fu’a Auliliuk yang mereka lakukan

diyakini mempunyai kuasa yang besar dan membawa harapan baru untuk kehidupan yang

lebih baik di masa panen yang akan datang. Orang Rote selalu terikat dengan tradisi atau

budaya turun temurun, mereka harus selalu menjalankan tradisi-tradisi yang ada termasuk

Fu’a Aulilik.49

47 Ibid., 48 Tokoh adat Abed A. Z. (4 November 2014) 49 Ibid.,

Page 21: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

14

Ritual-Ritual Dalam Upacara Adat Fu’a Auliliuk

Upacara Fu’a Auliliuk dilakukan selama dua bulan dengan berbagai kegiatan sebagai

berikut:

Pertama. Membersihkan kandang kerbau (Taok ma lakuk kamba lalau). Sebelum

melakukan ritual, kandang kerbau dibersihkan terlebih dahulu dengan tujuan pembersihan

diri dari dosa-dosa agar ritual yang nantinya dilakukan dapat diterima oleh leluhur-leluhur.

Membersihkan kandang adalah tugas dari warga masyarakat maku sendiri.

Kedua. Berkumpul bersama dalam kandang. Sebelum ritual dilaksanakan

Manusonggo, anak-anak, para petani dan masyarakat Maku masuk bersama-sama dalam

kandang. Sebelum itu kerbau-kerbau sudah terlebih dahulu memasuki kandang tersebut.

Ketiga. Doa untuk peralatan-peralatan. Doa ini dipimpin oleh Manusonngo, doa ini

dilakukan dengan membaca mantra-mantra supaya peralatan - peralatan yang telah dipakai

dapat digunakan kembali pada musim panen berikutnya.

Keempat. Air kelapa atau Lonulak Oe’k. Air kelapa ini digunakan untuk membasuh

kayu (Dillak Sinak) yang akan dipakai untuk memukul kerbau pada saat lirik sawah agar

kerbau tidak merasa sakit. Setelah itu buah kelapa tersebut ditaruh di depan pintu kandang

kerbau, dengan tujuan supaya kemana kerbau itu pergi mereka harus kembali ke kandang

mereka.

Kelima pengantaran makanan. Dalam kegiatan ini seorang perempuan memasak nasi

dan kemudian menaruhnya dalam nyiru (Oko), setelah itu nasi tersebut diantar kedalam

kandang kerbau.

Keenam. Memotong ayam jantan putih (manu fullak). Dilakukan setelah pengantaran

makanan, ayam tersebut disembelih dalam kandang,setelah itu dibakar dan di taruh didalam

nyiru yang sudah berisi nasi.

Terakhir. Makan nasi dan daging dalam nyiru (mua kakau no mba nai oko dalek).

Dalam kegiatan dilakukan makan bersama yang dilakukan oleh anak-anak, biasanya anak

perempuan lebih banyak dari anak laki-laki, dengan maksud supaya kerbau-kerbau yang

dipakai dapat berkembangbiak dengan baik. Makanan tersebut harus dihabiskan dan tulang-

tulang ayam tidak boleh patah.

Fu’a Auliliuk dalam Pandangan Jemaat GMIT Syloam Maku

Tidak bisa dipungkiri bahwa manusia hidup tidak terlepas dari berbagai tradisi yang

bersifat mengikat dan dilakukan secara turun-temurun. Setiap suku memiliki budaya masing-

masing yang menjadi identitas khusus yang membedakan suku tersebut dengan suku lainnya.

Page 22: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

15

Hal tersebut bisa dikatakan bahwa dalam hal ini mencakup ritual-ritual yang menjadi

penunjuk identitas dari suku yang menganutnya. Hal itu juga berlaku bagi orang Kristen

khususnya jemaat GMIT Syloam Maku.

Gereja dalam hal ini Majelis jemaat memandang bahwa tradisi tidak dapat dipisahkan

dari kehidupan jemaat GMIT Syloam Maku. Namun gereja dalam hal ini pendeta yang baru

bertugas di jemaat ini, lebih beranggapan bahwa jemaat belum mengerti secara mendalam

iman Kristen sehingga permasalahan ini di sisi yang lain menjadi pergumulan gereja. Lebih

lanjut ia berpandangan bahwa bahasa-bahasa yang digunakan dalam melayani khotbah

minggu belumlah kontekstual. Sering menggunakan istilah-istilah yang sulit dipahami pada

konteks berjemaat GMIT Syloam Maku. Pada akhirnya ketika membahas tentang tradisi ini

sikap yang diambil masih mendua karena di satu sisi tradisi ini merupakan bagian dari

kehidupan mereka namun di sisi yang lain bertentangan dengan iman kristen.50

Secara umum, warga jemaat Syloam melihat bahwa tradisi atau budaya Fu’a

merupakan sebuah budaya yang baik untuk tetap dipertahankan dengan pemahaman bahwa

iman mereka tetap hanya kepada Allahnya orang Kristen. Fu’a Auliliuk hanyalah tradisi atau

adat istiadat turun-temurun yang sama sekali tidak mempunyai tendensi apapun terhadap

kepercayaan mereka kepada Yesus Kristus dan tradisi ini mempunyai kuasa dalam kehidupan

mereka. Walaupun demikian, jemaat ini masih terus menjalankan dan mengikuti upacara

Fu’a Auliliuk dengan alasan:

a. Fu’a memiliki fungsi yang sangat kental yaitu sebagai wadah untuk lebih

mempererat tali persaudaraan dan persatuan dalam sistem kekerabatan orang

Rote.51

b. Fu’a Auliliuk merupakan identitas atau jati diri orang Rote. Mereka percaya bahwa

kehidupan orang Rote saat ini tidak terlepas dari adanya para leluhur di masa lalu

sehingga sebagai bentuk penghormatan maka mereka harus terus menjalankan

tradisi yang telah diwariskan.52

c. Tradisi ini adalah satu-satunya wadah berkumpulnya keluarga sehingga terjadi

proses pengenalan kepada para leluhur yang telah tiada dan menjadi sejarah

didalam keluarga mereka.53

50 Pdt. Imelda Tuulima (2 November 2014). 51 Wawancara Y.DJ (3 November 2014) 52 Ibid., 53 Ibid.,

Page 23: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

16

d. Karena sebagai petunjuk identitas maka sudah seharusnya terus dilestarikan agar

generasi penerus orang Rote di masa yang akan datang tetap mengenal dan

mencintai budaya mereka.54

e. Ritual Fu’a Auliliuk juga bisa menjadi sarana dalam menambah penghasilan bagi

masyarakat Rote.55

Dari beberapa alasan diatas maka tidaklah mengherankan jika sampai sekarang

seluruh masyarakat Rote (Kristen maupun non Kristen) terus mempertahankan tradisi Fu’a

Auliliuk. Memang diakui bahwa tradisi ini sangat bertentangan dengan ajaran Kekristenan.

Tetapi terdapat nilai-nilai positif yang bisa dipetik diantaranya, adanya persekutuan,

semangat kekeluargaan, solidaritas yang erat, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan,

penghormatan kepada para leluhur serta ajaran untuk lebih menghargai alam dan juga tempat

mereka hidup dan berkembang. Bagi orang Rote menjaga keseimbangan alam dan relasi yang

baik dengan Tuhan dan sesama adalah hal yang baik. Orang Rote memaknai bahwa ketika

mereka melakukan apa yang baik maka kebaikan itu juga yang akan kembali kepada

mereka.56

Tentunya jemaat memahami dengan baik bahwa budaya Rote tidak bisa dilepaskan

begitu saja dari struktur kehidupan mereka, dengan keyakinan bahwa budaya adalah identitas

yang dilestarikan tanpa mengurangi nilai-nilai iman mereka. Mereka mengimani dan

menghidupi nilai-nilai kekristenan tersebut didalam sikap hidup mereka sehari-hari yaitu

tentang bagaimana menjaga perilaku hidup, menjalin hubungan yang baik dengan Tuhan dan

sesama, nilai-nilai religius, sifat terbuka terhadap perubahan dan nilai-nilai kekeluargaan.57

Namun sebagian jemaat Syloam tidak menyetujui lagi pemahaman bahwa Fu’a

Auliliuk dapat membawa berkat, kemakmuran bagi kehidupan mereka. Mereka percaya

bahwa segala berkat yang mereka dapat semata-mata berasal dari Allah. Fu’a Auliliuk tetap

dilakukan karena merupakan budaya atau jati diri yang tentu tidak dapat mereka tinggalkan

begitu saja dan sebagai wadah penghormatan terhadap leluhur.58

Sangat disadari bahwa walaupun Agama Kristen sudah lama terlibat dalam kehidupan

orang Rote, namun sejauh ini belum ada dialog yang mempertemukan gereja dengan

penganut kepercayaan Halaik. Oleh karena itu sebagai orang yang telah menganut agama

Kristen diakui bahwa budaya yang adalah jati diri mereka ini adalah budaya yang

54 Wawancara EL.D (3 November 2014) 55 Wawancara Y.H, S,dan S. T, jemaat GMIT Syloam- Maku (2 November 2014) 56 D.P (Anggota Jemaat) wawancara (4 november 2014) 57 DJ.M ( Anggota Jemaat ) wawancara (1 november 2014) 58 Ibid., D. P.

Page 24: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

17

memberikan dukungan tentang nilai-nilai kekristenan mereka, sehingga yang perlu

diperhatikan adalah bagaimana menerima budaya tersebut sebagai penopang dalam menjalani

iman dan kepercayaan mereka kepada Tuhan Allah, karena ritual Fu’a Auliliuk ini memiliki

nilai positif untuk tetap dipertahankan.59

ANALISA MASALAH

Pada bagian ini penulis akan melakukan analisis tentang eksistensi, makna dan sikap

gereja terhadap upacara Fu’a Auliliuk dalam masyarakat Rote jemaat Syloam Maku.

Makna Fu’a Auliliuk

Makna sentral yang dapat dipahami dari upacara ini adalah persembahan yang dapat

dimaknai sebagai tanda ucapan syukur terhadap hasil panen yang didapatkan. Hal ini dapat

dilihat melalui beberapa ritual seperti,pemotongan ayam jantan putih (manu fullak),

persembahan animistik semacam ini identik dengan persembahan darah. Persembahan

tersebut dipersembahkan kepada dewa-dewa serta tubuh yang diserahkan untuk dimakan.60

Namun perbedaannya adalah persembahan yang dilakukan dalam upacara Fu’a Auliliuk ini

dulunya memang ditujukan pada para leluhur dan dewa-dewa yang disembah seperti dewa

Bulan, Ledoh dan Ndun.

Pada masa masuknya agama Kristen pemaknaan ini ditujukan pada Tuhan (Yesus

Kristus) dan juga para leluhur sebagai wujud penghargaan. Itu artinya terjadi pergeseran

makna yang dikontekskan pada konteks masa kini akibat dari hadirnya agama modern yakni

kekristenan dan alasan pelestarian budaya.

Pemaknaan secara mendalam akhirmya dinilai sebagai wujud yang mendalam dari

kehidupan mereka dan menjadi landasan dasar dalam bermasyarakat secara umum dan secara

khusus dalam hal keagamaan. Sebab selain ucapan Syukur alasan lainnya yang menarik

adalah Orang Rote percaya bahwa makna dari persembahan ini juga menggarisbawahi

adanya ketaatan terhadap apa yang telah dilakukan oleh para leluhur. Karena bagi mereka

ritual ini sekaligus merupakan salah satu sarana menjalankan syariat agama dan adat-istiadat.

59 Wawancara P.M, J M (3 november 2014).

Page 25: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

18

Secara Antropologis menurut Victor Turner upacara yang dilakukan ini merupakan

proses negosiasi.61 Alasannya karena ritual yang dilakukan mempunyai harapan bahwa

dengan dilangsungkannya upacara ini akan mendapatkan hasil panen yang lebih baik dari

yang sekarang dimasa depan. Fungsi upacara ini juga dipandang sebagai wadah

berkumpulnya keluarga sehingga terjadi proses pengenalan kepada para leluhur yang telah

tiada yang menjadi sejarah di dalam keluarga mereka. Fungsi tersebut menurut Suh Sung Min

tujuannya untuk tetap memelihara hubungan keluarga dengan para mendiang.62 Khususnya

para leluhur.

Menurut Strauss mempersembahkan korban kepada orang-orang yang sudah

meninggal khususnya para leluhur merupakan bagian terpenting. Karena tujuannya dari

persembahan tersebut adalah untuk menangkal kuasa maut, memperoleh kekuasaan dan

kebahagiaan.63 Pada dasarnya persembahan yang dilakukan juga memiliki tujuan yang sama

dalam hal menghormati para leluhur dan sekaligus berharap agar hasil panen berikutnya jauh

lebih baik dari yang sekarang ini.

Secara teologis persembahan juga merupakan ungkapan syukur kepada Tuhan. Gereja

dalam hal ini memandang bahwa apa yang dilakukan oleh jemaat yang masih mengikuti

tradisi ini sebagai tradisi yang tidak terlepas dari kehidupan mereka. Disisi yang lain gereja

menentang jemaat mengikuti tradisi ini dengan memandang bahwa jemaat belum mengerti

secara mendalam iman Kristen. Hal ini sejalan dengan sikap gereja-gereja pada umumnya

yang cenderung menentang dan menganggap pembunuhan hewan hewan korban

bertentangan dengan perintah pertama Dekalog.64 Lebih lanjut mempersembahkan makanan

dan lain-lain kepada leluhur atau dalam hal ini orang-orang yang sudah meninggal dianggap

sebagai sejenis penyembahan berhala.

Padahal persembahan sangatlah sentral dalam kehidupan bergereja. Gereja

memandang persembahan sebagai wujud ungkapan syukur yang mendalam kepada Tuhan.

Penghayatan yang demikian menyebabkan persembahan sangat berarti universal bagi

komunitas gereja. Karena tiap individu dalam komunitas menaikan mengungkapkan ras

syukurnya pada yang Maha Kuasa. Pertentang dari gereja pada umumnya bisa dipahami

61 Understanding Religious Secrefice......,293-300. 62 Suh Sung Min, Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, (Yogyakarta: Media Pressindo , 2001) hlm

70-75. 63 Lewis Strauss dalam bukunya Georg Kirchberger, dan Jhon Mansford Prior, Iman dan

TransformasiBudaya, (Ende: Nusa Indah, 1996), 216. 64 George Kirchberger, & Jhon Mansford Prior, Iman dan Transformasi Budaya, (Ende: Nusa

Indah,1996),216.

Page 26: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

19

demikian karena diantara gereja dan tradisi masyarakat setempat belum di temukannya titik

temu yang mempertemukannya serta dialog yang mendalam. Artinya ada ruang dimana

gereja dan tokoh adat dapat membicarakan dan menyepakati makna-makna khusus yang

ditransformasikan guna membangun iman jemaat. Hal ini dengan mempertimbangkan

kenyataan bahwa pengaruh iman kristen cukup kuat. Buktinya terjadi pergeseran makna dari

yang dulunya rasa syukurnya ke dewa-dewa setempat bergeser ke rasa syukur kepada Yesus

Kristus sebagai pemberi berkat.

Menurut Stephen B. Bevans teologi dewasa ini harus mengindahkan semua segi

menyangkut konteks. Lebih lanjut teologi harus menyadari bahwa banyak dari antara segi-

segi ini sebenarnya sudah bergiat di dalam ihwal mengembangkan kesaksian kitab suci serta

kesaksian tradisi, karena konteks merupakan titik tolak bagi refleksi teologis.65

Pada kenyataan jemaat Syloam Maku, telah merefleksikan Fu’a a Auliliuk sebagai

ungkapan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus. Makna atau refleksi ini sangat membantu

dalam merekonstruksi suatu teologi tentang persembahan syukur melalui upacara ini dengan

mempertimbangkan pengalaman masa lampau dan masa kini. Apalagi lahan pertanian

ataupun peternakan, proses bekerjanya dimulai dari menanam padi atau mengembangbiakan

ternak semuanya dapat dikatakan hampir seluruhnya mengandalkan faktor alam yang berada

di luar jangkauan manusia. Tentunya ungkapan syukur berdasarkan alasan tersebut akan

sangatlah mendalam ketika dimaknai sebagai anugerah Tuhan semata dan penghormatan

kepada leluhur memainkan fungsi membangun solidaritas kasih diantara sesama dengan

mengenang dan menghormati tradisi turun-temurun ini. Tujuan dari solidaritas kasih ini

adalah untuk saling melengkapi tubuh Kristus di dalam konteks kehidupan berjemaat dan

bermasyarakat.

Model semacam ini juga dapat ditemukan dan direfleksikan dalam konteks alkitab

perjanjian lama maupun perjanjian baru yang mana perjanjian lama banyak membahas

tentang korban persembahan yang terbaik sebagai proses perbaikan hubungan manusia

dengan Allah, sedangkan dalam perjanjian baru mengacu pada anugerah Allah melalui Yesus

Kristus sebagai korban penebusan dosa. 66 Selain itu, makna lain yang dapat ditarik dari

tradisi ini adalah tradisi yang dilaksanakan dengan kemampuan ekonomi yang warga jemaat

miliki menunjukkan bagaimana ketulusan mereka yang tidak dengan berat hati, maupun

65 Stephen B. Bevans. Model Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 9. 66 A.M. Tambunan, Persembahan Persepuluhan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1952), 16.

Page 27: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

20

semampunya dalam mempersembahkan sesuatu kepada Allah sebagai ungkapan syukur

mereka kepada Allah.67

Eksistensi Fu a Auliliuk dalam Masyarakat Rote Jemaat Syloam Maku masa kini

Fu’a Auliliuk adalah upacara sakral yang berasal dari agama suku Halaik yang

ditandai dengan ritual adat istiadat pemberian persembahan. Keberadaan Fu’a Auliliuk yang

masih berlangsung hingga saat ini karena adanya kesadaran tentang pentingnya budaya

sebagai identitas masyarakat khususnya di Rote jemaat Syloam Maku. Selain itu budaya

dilihat bukan hanya sekedar ritual melainkan norma-norma yang mengatur, sekaligus

mempersatukan mereka dan merupakan ekpresi-ekspresi simbolik dari realitas sosial yang

digunakan untuk kekuatan, penjagaan, penyegar dan solidaritas sebuah kelompok.68

Oleh sebab itu, keberadaan upacara ini secara langsung dapat dipahami terlebih

sebagai gambaran siklus hidup dari masyarakat Rote Jemaat Syloam Maku sehari-hari. Siklus

ini akan terus berlangsung dan berkembang sesuai dengan konteks masyarakat dan peradaban

yang ada. Namun yang perlu untuk di kembangkan adalah sikap gereja dalam membangun

sebuah teologi yang kontekstual dan lintas budaya. 69 Peran ini dimainkan oleh tokoh-tokoh

agama merupakan bagian dari masyarakat yang terus belajar. Selain itu teolog mencari

kebenaran, bukan hanya mengulang apa yang disebutkan dalam doktrin-doktrin dan ajaran

lama sebab Teolog dalam hal ini juga pendeta mengerti bahwa teologi itu sifatnya dinamis

dan tanpa akhir, tidak statis dan tertutup.

Selain itu mengingat fungsi dan peran tradisi ini sebagai sebuah norma hidup maka,

adat yang menjadi kebiasaan ini seharusnya menjadi peluang yang baik karena dalam konteks

masyarakat purba dan merujuk pada Indonesia sifat adat yang wajib menjadi kekuatan

sekaligus bahaya. Apalagi sifat wajib adat yang tidak terelakan adalah yang membuat orang

perorangan maupun buat suku bangsa menentukan hidup-matinya.70 Sekarang tinggal

bagaimana sikap gereja bekerja sama dengan tokoh masyarakat yang menjalankan tradisi ini

untuk membuat suatu kesepakatan makna bersama yang juga tidak bertentangan dengan nilai-

nilai kekristenan maupun adat istiadat setempat.

67 Ibid., 21-25. 68 Emile Durkheim, The Elementary Forms of Religius Life, (New York : Free Press,1915),63. 69 Daniel J. Adams, Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006),

10-11. 70 Lothar Screiner, Adat dan Injil Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak,(BPK

Gunung Mulia, 2008), 18-21.

Page 28: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

21

Ritual yang dilakukan oleh jemaat Syloam Maku merupakan suatu kegiatan yang

dianggap sakral dalam menjalani kehidupan mereka di masa yang akan datang. Ritual

tersebut dilakukan di dalam kandang ternak yang telah dibersihkan, karena hal tersebut

merupakan tradisi turun temurun yang terus dilakukan sebagai kekuatan yang dipercaya akan

mendatangkan berkat, kemakmuran dan kesejahteraan.

KESIMPULAN

Berdasarkan rangkaian hasil penelitian ini secara keseluruhan maka dapat

disimpulkan bahwa makna Fu’a Auliliuk dalam Budaya Rote dimaknai awalnya sebagai

ungkapan syukur kepada para dewa-dewa dan leluhur karena hasil panen yang didapatkan.

Selanjutnya pada perkembangannya pemaknaan ini tidak lagi dimaknai sebagai ungkapan

syukur kepada dewa-dewa namun mengalami pergeseran makna yang difokuskan kepada

Tuhan dan penghormatan kepada para leluhur atas hasil panen yang didapatkan dan berharap

untuk hasil panen dimasa depan akan lebih baik lagi dari yang sekarang didapatkan.

Alasan utama dari budaya ini Fu’a Auliliuk masih dilaksanakan oleh warga jemaat di

gereja GMIT Syloam Lole-Maku karena memiliki nilai-nilai budaya yang dapat

mempersatukan mereka lewat dilangsungkannya tradisi ini.

Saran

Bagi Gereja

· Khususnya majelis jemaat agar dapat menempatkan posisi dan meengupayakan

suatu teologi yang kontekstual dengan mempertimbangkan budaya ini sebagai

landasan berteologi guna membangun iman jemaat yang sesuai dengan kebutuhan.

· Gereja perlu mengadakan dialog tentang budaya Rote mengenai tradisi-tradisi yang

telah mendarah daging dalam kehidupan masyarakat Rote dan juga

mengembangkannya dalam wawasan Kristiani yang pada akhirnya tidak bertolak

belakang dengan budaya yang ada. Tentu saja dilakukan melalui khotbah-khotbah,

pendidikan warga gereja, ceramah, bimbingan dan usaha-usaha sosial lainnya.

Bagi Warga Masyarakat

· Agar tetap mempertahankan budaya ini mengingat fungsi tradisi ini yang

fungsinya dapat sebagai pemersatu atau membangun solidaritas diantara sesama

dan proses mengenal asal usul dari tiap-tiap keluarga yang ada di Masyarakat

Rote Jemaat GMIT SYLOAM MAKU.

Page 29: Fu’a Auliluk ” (Suatu Tinjauan Teologis-Antropologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/12273/2/T1_712007045_Full...Banyak keterbatasan yang dialami tetapi kekuatan dan

22

DAFTAR PUSTAKA

Adams, J. D. Teologi Lintas Budaya Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006.

Abineno, Ch. L. J. Unsur-unsur Liturgika yang dipakai oleh Gereja-Gereja di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia,1960.

Bevans, B. S. Model Model Teologi Kontekstual. Maumere: Ledalero, 2002. Barth, C. Theologi Perjanjian Lama, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1970. Biro Humas Setda Propinsi NTT. Hole Ritual Budaya Masyarakat Sabu. Kupang 2004. Cartes, Jefferey. Understanding Religious Sacrifice. New York 2003 reprinted 2006 Meidek

Lane. Durkheim, E. The Elementary Forms of Religius Life. New York : Free Press, 1915. Douglas B. D. M. A. J. D. The Illustrated Bible Dictionary part 3, Tyndale House Publishare:

Intervarsity Press, Lasor, W.S., Hubbard, D.A., & Bush, W. F. Pengantar Perjanjian Lama 1. Jakarta: BPK

Gunung Mulia 2012. Moleong, J. L. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006. Narbuko, C. & Achmadi, A. H. Metode Penelitian. Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2007. Neuman, L. W. Social research Methods: Qualitative and Quantitative Approaches, USA:

Allyn and Bacon, 1999. Neibuhr, R. Kristus dan Kebudayaan.Jakarta: Petra Jaya,1949. Kirchberger G., & Prior, M. J. Iman dan Transformasi Budaya. Ende: Nusa Indah, 1996. Parera. Sejarah Pemerintahan Raja-raja Timor: Suatu Kajian Peta Politik Pemerintahan

Kerajaan-kerajaan di Timor Sebelum Kemerdekaan RI. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994.

Rowley, H. H. Ibadat Israel Kuno. Badan Penerbit Kristen, Jakarta: 1981. Screiner, L. Adat dan Injil Perjumpaan Adat dengan Iman Kristen di Tanah Batak. BPK

Gunung Mulia, 2008. Soedarmo, R. Kamus Istilah Teologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998. Sung Min, Suh. Injil dan Penyembahan Nenek Moyang, Yogyakarta: Media Pressindo, 2001. Tambunan, A.M. Persembahan Persepuluhan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1952. Vriezen, C. Th. Agama Isreal Kuno. Jakarta, BPK Gunung Mulia,2003 Wright, G. E. & Kuiper, A de. Perjanjian Lama Terhadap sekitarnya. Jakarta: BPK Gunung

Mulia,1976. Dhavamony, Mariasuasi. Fenomenologi Agama, Yogyakarta; kanisius 1995 Koentjaraningrat, Pokok-pokok Antropologi Sosial, Jakarta: PT Dian Rakyat, 1974 Sumber data

Dokumen Gereja GMIT Syloam Maku, 2013.