estetika realisme dan ekspresionisme
DESCRIPTION
pendidikan seniTRANSCRIPT
Estetika Realisme dan Ekspresionisme & Kognitivisme
Realisme Jelaskanlah maksud atau pandangan inti dari teori-teori realis (mimetis) tentang
seni, dengan juga memberikan contoh- contoh
a. Di manakah letak keindahan (juga kejelekan), ‘kebenaran’ (juga ‘kesalahan’), dan
kebaikan (juga keburukan) suatu karya seni dari sudut pandang teori ini?
b. Apakah kekuatan utama teori-teori realis tentang seni?
c. Di manakah batas-batas / kelemahannya dalam menjelaskan keindahan, ‘kebenaran’ dan
kebaikan seni (termasuk lawannya: kejelekan, ‘kesalahan’ dan keburukan seni) ?
Pandangan inti dari teori-toeri realisme merupakan pemikiran dari filsuf Yunani, yakni Plato
dan Aristoteles, dengan teori mimemis. Pemikiran Plato mengenai keindahan berkaitan
dengan pemikirannya tentang dunia idea. Menurut Plato, dunia terdiri atas dua, yakni dunia
idea (dunia atas) dan dunia bawah (doxa). Plato, guru dari Aristoteles, menyatakan bahwa
realitas adalah yang berada di dalam dunia idea, sementara apa yang kita lihat dalam
kehidupan nyata sehari-hari di sekeliling kita (dunia inderawi) semata adalah tiruan dari
dunia idea (yang merupakan realitas sebenarnya.) “Idea itu bersifat rohani, kekal, dan tidak
berubah”
Plato melihat karya seni sebagai tiruan dari kenyataan yang ada di dunia, yang merupakan
tiruan dari dunia idea, dan inilah yang dikenal sebagai teori mimesis. seni, yang merupakan
tiruan dari tiruan tersebut bagi Plato menjauhkan audiens dari realita (kebenaran sejati).
Bagi Plato, seni memiliki kecenderungan untuk menghasilkan suatu emotional appeal yang
dikhawatirkan mengarahkan audiens ke tingkah laku yang irasional dan imoral, terutama jika
dilihat pada masa itu warga Negara memiliki tugas besar untuk membangun Negara, yang
bisa terdistraksi dengan karya seni, terutama sastra dan drama yang akan mempengaruhi
audiens untuk lebih berpihak pada emosi dibanding pemikiran rasional. Kita bisa melihat
contoh hasil karya dari Jeff Koons, yang secara gamblang mengakui bahwa karya seninya
memang berorientasi pada keberhasilan yang bersifat komersial.
Salah satunya: Puppy. Puppy memberikan suatu emotional appeal terhadap audiensnya,
dimana audiens memiliki suatu hubungan emosional yang dalam terhadap si karya seni
yang merupakan tiruan dari anjing di dunia nyata, dibandingkan terhadap anjing di dunia
nyata itu sendiri. Contoh lain yang serupa adalah pada robot-robot anjing yang diciptakan di
Jepang, yang bisa kita sebut sebagai contoh seni kinetik. Robot-robot anjing tersebut adalah
tiruan dari anjing di dunia nyata, namun bisa memunculkan emotional appeal yang begitu
persuasif bagi audiensnya, sehingga memunculkan kecenderungan bagi audiens untuk
‘memelihara’ si anjing artifisial tersebut, dibanding untuk memelihara (sebagai bentuk afeksi)
terhadap anjing di kehidupan nyata; yang membuktikan kekhawatiran Plato mengenai
dampak seni realisme terhadap tingkah laku manusia yang mengaburkan realita. Baginya,
hanya filsafat yang bisa dijadikan sumber pengetahuan. Plato memiliki kekhawatiran bahwa
dampak dari seni yang begitu enjoyable bisa berbahaya terhadap efek psikologikal tingkah
laku.
Jika Plato berkeberatan dengan seni karena dikhawatirkan berpotensi memberi pengaruh
buruk bagi tingkah laku masyarakat, Aristoteles melihat seni sebagai sesuatu yang
bermakna, yang mampu memberikan nilai tambah bagi manusia. Matius Ali, Estetika –
Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan. (Tangerang: Sanggar Luxor). h.162 Terry Barett,
Why Is That Art?.(Oxford: Oxford University). h.273 Ibid. h.20
Yang utama mengenai keindahan bagi Aristoteles adalah pengetahuan yang dibawa di
dalam seni. Bagi Aristoteles, realita/hakikat suatu benda bukannya berada di dunia idea,
melainkan di dalam benda itu sendiri. “Seni tidak hanya tiruan dari suatu benda yang ada di
alam, tetapi lebih sebagai “tiruan dari sesuatu yang universal” (imitation of something that is
universal).
Kita bisa mengambil contoh karya seni dari Andreas Serrano, yang melalui karya
fotografinya, bukan sekedar mencari cermin dari apa yang terjadi di dunia nyata, melainkan
mampu memberikan suatu pemaham / pengetahuan yang particular namun tetap universal.
Bagi Aristoteles, seni pertama-tama harus berbasis pada pengetahuan, baru pada tampilan
dan fungsinya, karena pengetahuan mampu mempengaruhi tingkah laku seseorang yang
akan berdampak pada hidupnya dalam bermasyarakat. Dalam karya seni Rockmann,
Manifest Destiny, yang menggambarkan kondisi akibat ketidakseimbangan alam akibat ulah
manusia, mewakili teori katarsis Aristoteles, dimana seni dapat menjadi media ‘pemurnian’.
Yang dimaksud dengan pemurnian di sini adalah, seni yang mencerminkan kehidupan nyata
dan berbasis pada pengetahuan mampu memberikan suatu pemahaman bagi audiensnya
untuk bisa mengubah tingkah lakunya agar bisa memberikan sesuatu yang baik dalam hidup
bermasyarakat, atau singkatnya, seni yang bersifat normatif. Dari paparan landasan
pemikiran di atas, baik Plato maupun Aristoteles memiliki pandangan yang sejalan
mengenai keindahan / kebaikan dalam seni dari sudut pandang teori ini, yakni: pengetahuan
dan dampak yang diberikan karya seni terhadap manusia untuk bertingkah laku lebih baik
(konstribusinya terhadap pengetahuan yang sesungguhnya), yang dapat berpengaruh pada
perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat; yang dilakukan dalam seni yang menjadi
cerminan kehidupan nyata. Hanya saja, representasi realistik dalam karya seni dapat
dipahami secara keliru sebagai kondisi dunia yang terjadi sesungguhnya, bukan sebagai
apa yang seniman gambarkan atas apa yang mereka lihat (interpretasinya terhadap dunia
yang mereka hadapi), karena masing-masing seniman berperan secara unik dalam
pengalaman dan pengetahuan melalui karya seni.
Bagaimana seni mampu berkontribusi terhadap pengetahuan menjadi kelebihan sudut
pandang teori realisme ini terhadap seni. Kelemahannya adalah seniman dibebani oleh
ekspektasi publik untuk bisa menggambar secara realistik, yang dijadikan sebagai
parameter untuk mengukur kredibilitas si seniman hanya dengan berdasar pada keahliannya
untuk menirukan, sehingga keahlian mimetisme (meniru) menjadi kriteria untuk segala jenis
karya seni yang dibuat oleh seniman manapun, tanpa mempertimbangkan apakah karya
seni tersebut merepresentasikan estetika Realisme atau tidak, dan mengabaikan kriteria
apresiasi berupa kontribusi karya seni realism tersebut terhadap pengetahuan.6 Di sisi lain,
seniman yang memang menghasilkan karya seni dengan estetika Realisme sebagai dasar
filosofis karyanya, cenderung dianggap berangkat dari teori yang sudah kuno dan
ketinggalan jaman. Dan masyarakat awam yang mengekspektasikan seni dengan teknik
mimetis yang ahli membatasi apresiasi mereka sebatas pada kenikmatan yang ditimbulkan
dari seni yang realistik saja, dan Plato mengkhawatirkan kesenangan/kenikmatan seperti itu
akan mengarahkan audiens pada kesesatan dan kepalsuan, yang bisa berdampak pada
tingkah laku yang immoral. Matius Ali, Op.cit,. h.225 Terry Barrett, Op.cit., h. 526 Ibid. h.517
Terry Barret, loc.cit.
Ekspresionisme & Kognitivisme Jelaskan maksud atau pandangan pokok teori-teori
ekspresionistik / kognitivistik tentang seni, lengkapi dengan contoh! a. Di manakah letak
keindahan dan makna seni menurut teori-teori ekspresionistik? b. Apakah kelebihan teori-
teori ekspresionistik, terutama dibanding teori-teori realis (mimetis)? c. Apakah kelemahan /
batas-batas pandangan ekspresionistik dalam memahami dan menilai seni?
Pandangan pokok teori ekspresionistik / kognitivistik adalah emosi yang disampaikan
melalui karya seni. Secara lebih spesifik, ekspresionisme menampilkan / berbicara
mengenai pengalaman emosional si seniman melalui karya seninya, yang menjadikan karya
seni ekspresionisme bersifat subyektif karena berfokus pada si individu senimannya.
Ekspresionisme menekankan perasaan, dan bagaimana emosi dapat dirasakan melalui
karya seni. Sementara kognitivisme, sebagaimana dijelaskan oleh Terry Barrett dalam Why
Is That Art?, memang berhubungan erat dengan ekspresionisme namun terpisah darinya,
karena kognitivisme menekankan pada pengetahuan yang disampaikan oleh suatu karya
seni mengenai dunia dengan cara yang unik dan powerful. Dari sini, kita dapat memahami
bahwa kognitivisme menekankan pada pemahaman tentang dunia, dan salah satu caranya
adalah melalui emosi di dalam karya seni. Jika ekspresionisme adalah tentang feeling,
kognitivisme adalah tentang thinking. Dengan demikian, keindahan ekspresionisme terletak
pada sejauh mana emosi yang disampaikan seniman melalui karya seninya juga dapat
dirasakan oleh orang yang melihat karya seni tersebut. Keindahan kognitivisme, selain pada
perasaan yang termunculkan melalui karya seni, juga terletak pada bagaimana karya seni
dalam memberikan pemahaman / pengetahuan / kognisi. Pemikir-pemikir seperti Tolstoy,
Croce, Collingwood, Langer, Dewey, Goodman, dan Danto ikut mendasari teori
ekspresionisme & kognitivisme ini berkaitan dengan seni sebagai media penyampaian
pengalaman emosi, baik yang menekankan hanya pada perasaan yang mampu ditangkap
oleh audiens saja maupun pengalaman yang tercipta dengan munculnya pemahaman
audiens terhadap emosi apa yang disampaikan seniman melalui karya seninya.
Menurut Susanne Langer, seni adalah bahasa yang memberikan alternatif bentuk sebuah
makna. Hal ini senada dengan Cynthia Freeland dan Eileen John yang menyampaikan
bahwa syarat dari seni adalah mengandung upaya interpretasi artistik yang kompleks. Di
sini, lain halnya dengan mimetis yang menjadi cermin dari dunia keseharian, metafora
mengambil peran dalam seni ekspresionisme / kognitivisme (yang juga tersampaikan dalam
pemikiran Croce, Goodman, dan Danto) untuk menyampaikan suatu makna, berdasarkan
pengalaman emosional si seniman melalui karya seni yang non-obyektif. Makna yang
terwakilkan lewat metafora di dalam karya seni berkaitan dengan ekspresi emosional dari
sang seniman berhubungan dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Menurut Freud,
ekspresi yang disampaikan oleh seniman melalui karya seninya merupakan gambaran dari
alam bawah sadarnya (subkonsius). Subkonsius adalah pemikiran yang ditekan oleh
kesadaran (something below the surface), namun mempengaruhi pemikiran sadar tanpa
secara langsung bisa terlihat / diinterpretasikan, dan di sanalah analisa dibutuhkan.
Mengambil contoh lukisan ekspresionisme karya Joan Mitchell; suatu pengalaman
emosional si seniman mampu tergambarkan melalui lukisan-lukisan abstraknya, yang
mampu dirasakan juga oleh audiensnya, misalnya perasaan marah. Mitchell mengakui
bahwa “I am certainly not aware of myself. Painting is a way of forgetting oneself.”9 yang
mewakili teori Freud mengenai subkonsius yang mendominasi ekspresi emosional di dalam
karya seni ekspresionisme.
Untuk memahami makna metafora dalam karya seni ekspresionisme Mitchell tersebut,
audiens harusbisa memahami latar belakang Mitchell itu sendiri, misalnya dari
kebiasaannya, latar belakang kehidupanpribadi dengan keluarganya, pandangannya, dan
lain sebagainya.Berkenaan dengan hal tersebut, untuk menilai suatu karya seni
ekspresionisme, hanya bisa dipahamisecara menyeluruh hanya dengan memahami latar
belakang si individu senimannya. Hal inilah yangmenjadi kelemahan atau batasan dalam
teori ekspresionisme: jika audiens tidak memiliki kesempatanuntuk bertanya langsung pada
senimannya mengenai ekspresi yang dibawakannya atau tidakberkesempatan untuk
memahami si senimannya tersebut (misalnya, ketika seniman tersebut wafat, kitatidak akan
bisa memahami secara menyeluruh dan sepenuhnya tepat tentang ekspresi emosi
yangdisampaikan seniman tersebut lewat karya seninya).Jika teori psikoanalisa Freud
menyatakan bahwa seni ekspresionisme menyampaikan ekspresi yang beradadi bawah
permukaan kesadaran seniman (individu), Estetika Marxisme kurang lebih menyampaikan
halserupa, namun yang disampaikan adalah apa yang berada di bawah kesadaran sosial
masyarakat.Filsafat Marxisme sendiri adalah kritik terhadap kapitalisme yang terjadi pasca
revolusi industry yangmemunculkan kelas baru dalam masyarakat, yakni kaum borjuis yang
menguasai alat produksi, sehinggakaum proletar teralienasi (terasingkan) antara kerja dan
dirinya sendiri, dan hal itulah yang dirujuksebagai apa yang tidak terlihat di permukaan
masyarakat dalam estetika Marxisme.Estetika Marxisme tergolong sebagai kognitivisme
karena dalam pandangan teori ini, seni selain menjadiekspresi masyarakat, juga harus bisa
menyampaikan pemahaman / pengetahuan kepada audiensnyatentang apa yang terjadi di
masyarakat. Tidak hanya itu, menurut teori estetika Marxisme, seni harus bisamemiliki daya
transformasi di masyarakat, dimana seni tidak hanya sekedar membawa pemahaman
dankesadaran, tapi juga daya yang mendorong audiensnya untuk bertindak atas
‘ketidakberesan’ yangakhirnya mereka sadari melalui karya seni tersebut.
Dalam konteks ini, seniman memiliki tanggung jawabatas pengetahuan, untuk bisa
menyampaikan pemahaman tersebut kepada masyarakat; atau dengan katalain, seniman
memiliki tanggung jawab sosial atas apa yang terjadi di masyarakat dan berperan
untukmelakukan perubahan atas hal tersebut, karena seni itu tidak berdiri sendiri, melainkan
dipengaruhi olehmasyarakat. (Ingat bahwa yang diekspresikan di sini adalah masyarakat,
sudah bukan lagi individu). Poinini menjadi suatu kelebihan dari teori kognitivisme, dimana
seni bisa membawa pemahaman, kesadaran,pengetahuan, dan daya perubahan dan daya
juang di dalam masyarakat.