estetika realisme dan ekspresionisme

8
Estetika Realisme dan Ekspresionisme & Kognitivisme Realisme Jelaskanlah maksud atau pandangan inti dari teori-teori realis (mimetis) tentang seni, dengan juga memberikan contoh- contoh a. Di manakah letak keindahan (juga kejelekan), ‘kebenaran’ (juga ‘kesalahan’), dan kebaikan (juga keburukan) suatu karya seni dari sudut pandang teori ini? b. Apakah kekuatan utama teori-teori realis tentang seni? c. Di manakah batas-batas / kelemahannya dalam menjelaskan keindahan, ‘kebenaran’ dan kebaikan seni (termasuk lawannya: kejelekan, ‘kesalahan’ dan keburukan seni) ? Pandangan inti dari teori-toeri realisme merupakan pemikiran dari filsuf Yunani, yakni Plato dan Aristoteles, dengan teori mimemis. Pemikiran Plato mengenai keindahan berkaitan dengan pemikirannya tentang dunia idea. Menurut Plato, dunia terdiri atas dua, yakni dunia idea (dunia atas) dan dunia bawah (doxa). Plato, guru dari Aristoteles, menyatakan bahwa realitas adalah yang berada di dalam dunia idea, sementara apa yang kita lihat dalam kehidupan nyata sehari-hari di sekeliling kita (dunia inderawi) semata adalah tiruan dari dunia idea (yang merupakan realitas sebenarnya.) “Idea itu bersifat rohani, kekal, dan tidak berubah” Plato melihat karya seni sebagai tiruan dari kenyataan yang ada di dunia, yang merupakan tiruan dari dunia idea, dan inilah yang dikenal sebagai teori mimesis. seni, yang merupakan tiruan dari tiruan tersebut bagi Plato menjauhkan audiens dari realita (kebenaran sejati). Bagi Plato, seni memiliki kecenderungan untuk menghasilkan suatu emotional appeal yang dikhawatirkan mengarahkan audiens ke tingkah laku yang irasional dan imoral, terutama jika

Upload: bradd-pizz

Post on 12-Dec-2014

117 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

pendidikan seni

TRANSCRIPT

Page 1: Estetika Realisme Dan Ekspresionisme

Estetika Realisme dan Ekspresionisme & Kognitivisme

Realisme Jelaskanlah maksud atau pandangan inti dari teori-teori realis (mimetis) tentang

seni, dengan juga memberikan contoh- contoh

a. Di manakah letak keindahan (juga kejelekan), ‘kebenaran’ (juga ‘kesalahan’), dan

kebaikan (juga keburukan) suatu karya seni dari sudut pandang teori ini?

b. Apakah kekuatan utama teori-teori realis tentang seni?

c. Di manakah batas-batas / kelemahannya dalam menjelaskan keindahan, ‘kebenaran’ dan

kebaikan seni (termasuk lawannya: kejelekan, ‘kesalahan’ dan keburukan seni) ?

Pandangan inti dari teori-toeri realisme merupakan pemikiran dari filsuf Yunani, yakni Plato

dan Aristoteles, dengan teori mimemis. Pemikiran Plato mengenai keindahan berkaitan

dengan pemikirannya tentang dunia idea. Menurut Plato, dunia terdiri atas dua, yakni dunia

idea (dunia atas) dan dunia bawah (doxa). Plato, guru dari Aristoteles, menyatakan bahwa

realitas adalah yang berada di dalam dunia idea, sementara apa yang kita lihat dalam

kehidupan nyata sehari-hari di sekeliling kita (dunia inderawi) semata adalah tiruan dari

dunia idea (yang merupakan realitas sebenarnya.) “Idea itu bersifat rohani, kekal, dan tidak

berubah”

Plato melihat karya seni sebagai tiruan dari kenyataan yang ada di dunia, yang merupakan

tiruan dari dunia idea, dan inilah yang dikenal sebagai teori mimesis. seni, yang merupakan

tiruan dari tiruan tersebut bagi Plato menjauhkan audiens dari realita (kebenaran sejati).

Bagi Plato, seni memiliki kecenderungan untuk menghasilkan suatu emotional appeal yang

dikhawatirkan mengarahkan audiens ke tingkah laku yang irasional dan imoral, terutama jika

dilihat pada masa itu warga Negara memiliki tugas besar untuk membangun Negara, yang

bisa terdistraksi dengan karya seni, terutama sastra dan drama yang akan mempengaruhi

audiens untuk lebih berpihak pada emosi dibanding pemikiran rasional. Kita bisa melihat

contoh hasil karya dari Jeff Koons, yang secara gamblang mengakui bahwa karya seninya

memang berorientasi pada keberhasilan yang bersifat komersial.

Salah satunya: Puppy. Puppy memberikan suatu emotional appeal terhadap audiensnya,

dimana audiens memiliki suatu hubungan emosional yang dalam terhadap si karya seni

yang merupakan tiruan dari anjing di dunia nyata, dibandingkan terhadap anjing di dunia

nyata itu sendiri. Contoh lain yang serupa adalah pada robot-robot anjing yang diciptakan di

Jepang, yang bisa kita sebut sebagai contoh seni kinetik. Robot-robot anjing tersebut adalah

Page 2: Estetika Realisme Dan Ekspresionisme

tiruan dari anjing di dunia nyata, namun bisa memunculkan emotional appeal yang begitu

persuasif bagi audiensnya, sehingga memunculkan kecenderungan bagi audiens untuk

‘memelihara’ si anjing artifisial tersebut, dibanding untuk memelihara (sebagai bentuk afeksi)

terhadap anjing di kehidupan nyata; yang membuktikan kekhawatiran Plato mengenai

dampak seni realisme terhadap tingkah laku manusia yang mengaburkan realita. Baginya,

hanya filsafat yang bisa dijadikan sumber pengetahuan. Plato memiliki kekhawatiran bahwa

dampak dari seni yang begitu enjoyable bisa berbahaya terhadap efek psikologikal tingkah

laku.

Jika Plato berkeberatan dengan seni karena dikhawatirkan berpotensi memberi pengaruh

buruk bagi tingkah laku masyarakat, Aristoteles melihat seni sebagai sesuatu yang

bermakna, yang mampu memberikan nilai tambah bagi manusia. Matius Ali, Estetika –

Sebuah Pengantar Filsafat Keindahan. (Tangerang: Sanggar Luxor). h.162 Terry Barett,

Why Is That Art?.(Oxford: Oxford University). h.273 Ibid. h.20

Yang utama mengenai keindahan bagi Aristoteles adalah pengetahuan yang dibawa di

dalam seni. Bagi Aristoteles, realita/hakikat suatu benda bukannya berada di dunia idea,

melainkan di dalam benda itu sendiri. “Seni tidak hanya tiruan dari suatu benda yang ada di

alam, tetapi lebih sebagai “tiruan dari sesuatu yang universal” (imitation of something that is

universal).

Kita bisa mengambil contoh karya seni dari Andreas Serrano, yang melalui karya

fotografinya, bukan sekedar mencari cermin dari apa yang terjadi di dunia nyata, melainkan

mampu memberikan suatu pemaham / pengetahuan yang particular namun tetap universal.

Bagi Aristoteles, seni pertama-tama harus berbasis pada pengetahuan, baru pada tampilan

dan fungsinya, karena pengetahuan mampu mempengaruhi tingkah laku seseorang yang

akan berdampak pada hidupnya dalam bermasyarakat. Dalam karya seni Rockmann,

Manifest Destiny, yang menggambarkan kondisi akibat ketidakseimbangan alam akibat ulah

manusia, mewakili teori katarsis Aristoteles, dimana seni dapat menjadi media ‘pemurnian’.

Yang dimaksud dengan pemurnian di sini adalah, seni yang mencerminkan kehidupan nyata

dan berbasis pada pengetahuan mampu memberikan suatu pemahaman bagi audiensnya

untuk bisa mengubah tingkah lakunya agar bisa memberikan sesuatu yang baik dalam hidup

bermasyarakat, atau singkatnya, seni yang bersifat normatif. Dari paparan landasan

pemikiran di atas, baik Plato maupun Aristoteles memiliki pandangan yang sejalan

mengenai keindahan / kebaikan dalam seni dari sudut pandang teori ini, yakni: pengetahuan

dan dampak yang diberikan karya seni terhadap manusia untuk bertingkah laku lebih baik

(konstribusinya terhadap pengetahuan yang sesungguhnya), yang dapat berpengaruh pada

perilaku manusia dalam hidup bermasyarakat; yang dilakukan dalam seni yang menjadi

Page 3: Estetika Realisme Dan Ekspresionisme

cerminan kehidupan nyata. Hanya saja, representasi realistik dalam karya seni dapat

dipahami secara keliru sebagai kondisi dunia yang terjadi sesungguhnya, bukan sebagai

apa yang seniman gambarkan atas apa yang mereka lihat (interpretasinya terhadap dunia

yang mereka hadapi), karena masing-masing seniman berperan secara unik dalam

pengalaman dan pengetahuan melalui karya seni.

Bagaimana seni mampu berkontribusi terhadap pengetahuan menjadi kelebihan sudut

pandang teori realisme ini terhadap seni. Kelemahannya adalah seniman dibebani oleh

ekspektasi publik untuk bisa menggambar secara realistik, yang dijadikan sebagai

parameter untuk mengukur kredibilitas si seniman hanya dengan berdasar pada keahliannya

untuk menirukan, sehingga keahlian mimetisme (meniru) menjadi kriteria untuk segala jenis

karya seni yang dibuat oleh seniman manapun, tanpa mempertimbangkan apakah karya

seni tersebut merepresentasikan estetika Realisme atau tidak, dan mengabaikan kriteria

apresiasi berupa kontribusi karya seni realism tersebut terhadap pengetahuan.6 Di sisi lain,

seniman yang memang menghasilkan karya seni dengan estetika Realisme sebagai dasar

filosofis karyanya, cenderung dianggap berangkat dari teori yang sudah kuno dan

ketinggalan jaman. Dan masyarakat awam yang mengekspektasikan seni dengan teknik

mimetis yang ahli membatasi apresiasi mereka sebatas pada kenikmatan yang ditimbulkan

dari seni yang realistik saja, dan Plato mengkhawatirkan kesenangan/kenikmatan seperti itu

akan mengarahkan audiens pada kesesatan dan kepalsuan, yang bisa berdampak pada

tingkah laku yang immoral. Matius Ali, Op.cit,. h.225 Terry Barrett, Op.cit., h. 526 Ibid. h.517

Terry Barret, loc.cit.

Ekspresionisme & Kognitivisme Jelaskan maksud atau pandangan pokok teori-teori

ekspresionistik / kognitivistik tentang seni, lengkapi dengan contoh! a. Di manakah letak

keindahan dan makna seni menurut teori-teori ekspresionistik? b. Apakah kelebihan teori-

teori ekspresionistik, terutama dibanding teori-teori realis (mimetis)? c. Apakah kelemahan /

batas-batas pandangan ekspresionistik dalam memahami dan menilai seni?

Pandangan pokok teori ekspresionistik / kognitivistik adalah emosi yang disampaikan

melalui karya seni. Secara lebih spesifik, ekspresionisme menampilkan / berbicara

mengenai pengalaman emosional si seniman melalui karya seninya, yang menjadikan karya

seni ekspresionisme bersifat subyektif karena berfokus pada si individu senimannya.

Ekspresionisme menekankan perasaan, dan bagaimana emosi dapat dirasakan melalui

karya seni. Sementara kognitivisme, sebagaimana dijelaskan oleh Terry Barrett dalam Why

Is That Art?, memang berhubungan erat dengan ekspresionisme namun terpisah darinya,

karena kognitivisme menekankan pada pengetahuan yang disampaikan oleh suatu karya

seni mengenai dunia dengan cara yang unik dan powerful. Dari sini, kita dapat memahami

Page 4: Estetika Realisme Dan Ekspresionisme

bahwa kognitivisme menekankan pada pemahaman tentang dunia, dan salah satu caranya

adalah melalui emosi di dalam karya seni. Jika ekspresionisme adalah tentang feeling,

kognitivisme adalah tentang thinking. Dengan demikian, keindahan ekspresionisme terletak

pada sejauh mana emosi yang disampaikan seniman melalui karya seninya juga dapat

dirasakan oleh orang yang melihat karya seni tersebut. Keindahan kognitivisme, selain pada

perasaan yang termunculkan melalui karya seni, juga terletak pada bagaimana karya seni

dalam memberikan pemahaman / pengetahuan / kognisi. Pemikir-pemikir seperti Tolstoy,

Croce, Collingwood, Langer, Dewey, Goodman, dan Danto ikut mendasari teori

ekspresionisme & kognitivisme ini berkaitan dengan seni sebagai media penyampaian

pengalaman emosi, baik yang menekankan hanya pada perasaan yang mampu ditangkap

oleh audiens saja maupun pengalaman yang tercipta dengan munculnya pemahaman

audiens terhadap emosi apa yang disampaikan seniman melalui karya seninya.

Menurut Susanne Langer, seni adalah bahasa yang memberikan alternatif bentuk sebuah

makna. Hal ini senada dengan Cynthia Freeland dan Eileen John yang menyampaikan

bahwa syarat dari seni adalah mengandung upaya interpretasi artistik yang kompleks. Di

sini, lain halnya dengan mimetis yang menjadi cermin dari dunia keseharian, metafora

mengambil peran dalam seni ekspresionisme / kognitivisme (yang juga tersampaikan dalam

pemikiran Croce, Goodman, dan Danto) untuk menyampaikan suatu makna, berdasarkan

pengalaman emosional si seniman melalui karya seni yang non-obyektif. Makna yang

terwakilkan lewat metafora di dalam karya seni berkaitan dengan ekspresi emosional dari

sang seniman berhubungan dengan teori psikoanalisa Sigmund Freud. Menurut Freud,

ekspresi yang disampaikan oleh seniman melalui karya seninya merupakan gambaran dari

alam bawah sadarnya (subkonsius). Subkonsius adalah pemikiran yang ditekan oleh

kesadaran (something below the surface), namun mempengaruhi pemikiran sadar tanpa

secara langsung bisa terlihat / diinterpretasikan, dan di sanalah analisa dibutuhkan.

Mengambil contoh lukisan ekspresionisme karya Joan Mitchell; suatu pengalaman

emosional si seniman mampu tergambarkan melalui lukisan-lukisan abstraknya, yang

mampu dirasakan juga oleh audiensnya, misalnya perasaan marah. Mitchell mengakui

bahwa “I am certainly not aware of myself. Painting is a way of forgetting oneself.”9 yang

mewakili teori Freud mengenai subkonsius yang mendominasi ekspresi emosional di dalam

karya seni ekspresionisme.

Untuk memahami makna metafora dalam karya seni ekspresionisme Mitchell tersebut,

audiens harusbisa memahami latar belakang Mitchell itu sendiri, misalnya dari

kebiasaannya, latar belakang kehidupanpribadi dengan keluarganya, pandangannya, dan

lain sebagainya.Berkenaan dengan hal tersebut, untuk menilai suatu karya seni

Page 5: Estetika Realisme Dan Ekspresionisme

ekspresionisme, hanya bisa dipahamisecara menyeluruh hanya dengan memahami latar

belakang si individu senimannya. Hal inilah yangmenjadi kelemahan atau batasan dalam

teori ekspresionisme: jika audiens tidak memiliki kesempatanuntuk bertanya langsung pada

senimannya mengenai ekspresi yang dibawakannya atau tidakberkesempatan untuk

memahami si senimannya tersebut (misalnya, ketika seniman tersebut wafat, kitatidak akan

bisa memahami secara menyeluruh dan sepenuhnya tepat tentang ekspresi emosi

yangdisampaikan seniman tersebut lewat karya seninya).Jika teori psikoanalisa Freud

menyatakan bahwa seni ekspresionisme menyampaikan ekspresi yang beradadi bawah

permukaan kesadaran seniman (individu), Estetika Marxisme kurang lebih menyampaikan

halserupa, namun yang disampaikan adalah apa yang berada di bawah kesadaran sosial

masyarakat.Filsafat Marxisme sendiri adalah kritik terhadap kapitalisme yang terjadi pasca

revolusi industry yangmemunculkan kelas baru dalam masyarakat, yakni kaum borjuis yang

menguasai alat produksi, sehinggakaum proletar teralienasi (terasingkan) antara kerja dan

dirinya sendiri, dan hal itulah yang dirujuksebagai apa yang tidak terlihat di permukaan

masyarakat dalam estetika Marxisme.Estetika Marxisme tergolong sebagai kognitivisme

karena dalam pandangan teori ini, seni selain menjadiekspresi masyarakat, juga harus bisa

menyampaikan pemahaman / pengetahuan kepada audiensnyatentang apa yang terjadi di

masyarakat. Tidak hanya itu, menurut teori estetika Marxisme, seni harus bisamemiliki daya

transformasi di masyarakat, dimana seni tidak hanya sekedar membawa pemahaman

dankesadaran, tapi juga daya yang mendorong audiensnya untuk bertindak atas

‘ketidakberesan’ yangakhirnya mereka sadari melalui karya seni tersebut.

Dalam konteks ini, seniman memiliki tanggung jawabatas pengetahuan, untuk bisa

menyampaikan pemahaman tersebut kepada masyarakat; atau dengan katalain, seniman

memiliki tanggung jawab sosial atas apa yang terjadi di masyarakat dan berperan

untukmelakukan perubahan atas hal tersebut, karena seni itu tidak berdiri sendiri, melainkan

dipengaruhi olehmasyarakat. (Ingat bahwa yang diekspresikan di sini adalah masyarakat,

sudah bukan lagi individu). Poinini menjadi suatu kelebihan dari teori kognitivisme, dimana

seni bisa membawa pemahaman, kesadaran,pengetahuan, dan daya perubahan dan daya

juang di dalam masyarakat.