Download - Tipus SN&HT anak.docx
PENDAHULUAN
Sindroma nefrotik bukan merupakan suatu penyakit. Istilah sindrom nefrotik
dipakai oleh Calvin dan Goldberg, pada suatu sindrom yang ditandai dengan proteinuria
berat, hypoalbuminemia, edema, hiperkolesterolemia, dan fungsi renal yang normal.
Istilah sindrom nefrotik kemudian digunakan untuk menggantikan istilah terdahulu yang
menunjukan keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukan suatu penyakit yang
mendasarinya.
Sampai pertengahan abad ke 20 morbiditas sindrom nefrotik pada anak masih
tinggi yaitu melebihi 50%. Dengan ditemukannya obat-obat sulfonamid dan penicilin
tahun 1940an, dan dipakainya obat adrenokortokotropik (ACTH) serta koertikosterid
pada tahun 1950, mortalitas penyakit ini mencapai 67%. Dan kebanyakan mortalitas ini
disebabkan oleh komplikasi peritonitis dan sepsis. Pada dekade berikutnya mortalitas
turun sampai 40%, dan turun lagi menjadi 35%. Dengan pemakaian ACTH atau kortison
pada awal 1950 untuk mengatasi edema dan mengurangi kerentanan terhadap infeksi,
angka kematian turun mencapai 20%. Pasien sindrom nefrotik yang selamat dari infeksi
sebelum era sulfonamid umumnya kematian pada periode ini disebabkan oleh gagal
ginjal kronik.
Umumnya nefrotik sindrom disebabkan oleh adanya kelainan pada glomerulus
yang dapat dikategorikan dalam bentuk primer atau sekunder. Istilah sindrom nefrotik
primer dapat disamakan dengan sindrom nefrotik idiopatik dikarenakan etiologi
keduanya sama termasuk manisfestasi klinis serta histopatologinya. Dalam refrat ini
selanjutnya pembahasan mengenai maisfestasi klinik, diagnosis dan penatalaksanaan
akan dititk beratkan pada sindrom nefrotik primer. Terutama sub kategori minimal
change nephrotic syndrome (MCNS), fokal segmental glomerosclerosis (FSGS) serta
membrano proloferatif glomerulonephritis (MPGN).
A. SINDROMA NEFROTIK
Epidemiologi
Secara keseluruhan prevalensi nefrotik syndrome pada anak berkisar 2-5 kasus
per 100.000 anak. Prevalensi rata-rata secara komulatif berkisar15,5/100.000. Sindrom
nefrotik primer merupakan 90% dari sindrom nefrotik pada anak sisanya merupakan
sindrom nefrotik sekunder. Prevalensi sindrom nefrotik primer berkisar 16 per 100.000
anak. Prevalensi di indonesia sekitar 6 per 100.000 anak dibawah 14 tahun. Rasio antara
laki-laki dan perempuan berkisar 2:1. dan dua pertiga kasus terjadi pada anak dibawah 5
tahun.
Etiologi
Nefrotik sindrom dapat bersifat primer, sebagai bagian dari penyakit sistemik,
atau sekunder karena beberapa penyebab.
Penyebab primer diantaranya:
1. post infeksi
2. Colagen vaskular disease (SLE, rheumatoid arthritis, polyarteritis nodosa)
3. Henoch-Schönlein purpura
4. Hereditary nephritis
5. Sickle cell disease
6. Diabetes melitus
7. Amyloidosis
8. Malignancy (leukemia, lymphoma, Wilms tumar, pheochromocytoma)
9. Toxin (sengatan lebah, racun ular)
10. obat-obatan (probenecid, fenoprofen, catopril, lithium, wafarin, penicilamine,
mercury, gold, trimethadione, para metadione, AINS)
11. Penggunaan Heroin
Penyebab sekunder berhubungan dengan keadaan post infeksi mencakup:
1. Group A beta-hemolytic streptococcus
2. syphilis
3. Malaria
4. Tuberkulosis
5. infeksi virus (varicella, hepatitisB, HIV tipe1, infeksi mononukleosis)
Kebanyakan (90%) anak yang menderita sindrom nefrotik mempunyai beberapa
bentuk sindrom nefrotik idiopatik, diantaranya ; penyakit lesi minimal sekitar 85%,
proliferasi mesangium 5%, dan sklerosis setempat 10%. Pada 10% anak sisanya
menderita nefrosis. Sindrom nefrotik sebagian besar diperantarai oleh beberapa bentuk
glomerulonefritis dan yang tersering adalah membranosa dan membranoproliferatif.
Patofisiologi
Proteinuria merupakan gejala utama sindrom nefrotik, proteinuria yang terjadi
lebih berat dibandingkan proteinuria pada penyakit ginjal yang lain. Jumlah protein
dalam urin dapat mencapi 40mg/jam/ m2 luas permukaan tubuh (1gr/ m2/hari) atau 2-
3,5gram/ 24 jam. Proteinuria yang terjadi disebabkan perubahan selektifitas terhadap
protein dan perubahan pada filter glomerulus.
Perubahan selektifitas terhadap protein dan perubahan filtrasi glomerulus
begantung pada tipe kelainan glomerulus. Tetapi secara garis besar dapat diterangkan
bahwa, pada orang normal filtrasi plasma protein berat molekul rendah bermuatan
negatif pada membran basal glomerulus normalnya dipertahankan oleh muatan negatif
barier filtrasi. Muatan negatif tersebut terdiri dari molekul proteoglikan heparan sulfat.
Pada orang dengan nefrotik sindrom, konsentrasi heparan sulfat mucopoly sakarida pada
membrana basal sangat rendah. Sehingga banyak protein dapat melewati barier. Selain itu
terjadi pula terjadi perubahan ukuran celah (pori-pori) pada sawar sehingga protein
muatan netral dapat melalui barier.
Pada Sindrom Nefrotik terjadi hipoproteinemia terutama albumin, hal ini
disebabkan oleh meningkatnya eksresi albumin dalam urin dan meningkatnya degradasi
dalam tubulus renal yang melebihi daya sintesis hati. Gangguan protein lainnya didalam
plasma adalah menurunnya α-1 globulin. Sedangkan α-2globulin, β-globulin dan
fibrinogen meningkat secara relatif atau absolut. α-2globulin meningkat disebabkan oleh
retensi selektif protein dengan berat molekul tinggi oleh ginjal sedangkan laju sintesisnya
relatif normal.
Ada 2 teori mengenai patofisiologi edema pada sindrom nefrotik; teori underfilled
dan teori overfille. Pada teori underfill di jelaskan pembentukan edema terjadi karena
menurunnya albumin (hipoalbuninemia), akibat kehilangan protein melalui urin.
Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma, yang
memungkinkan transudasi cairan dari ruang inervaskular keruangan intersisial.
Penurunan volume intravakular menyebabkan penurunan tekanan perfusi ginjal, sehingga
terjadi pengaktifan sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang merangasang reabsorbsi
natrium ditubulus distal. Penurunan volume intravaskular juga merangsang pelepasan
hormon antideuritik yang mempertinggi penyerapan air dalam duktus kolektivus. Karena
tekanan onkotik kurang maka cairan dan natrium yang telah direabsorbsi masuk kembali
ke ruang intersisial sehingga memperberat edema.
Pada teori overfill dijelaskan retensi natrium dan air diakibatkan karena
mekanisme intra renal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik perifer. Serta
adanya agen dalam sirkulasi yang meningkatkan permeabilitas kapiler diseluruh tubuh
serta ginjal. Retensi natrium primer akibat defek intra renal ini menyebabkan ekspansi
cairan plasma dan cairan ekstraseluler. Edema yang terjadi diakibatkan overfilling cairan
ke dalam ruang interstisial.
Kelainan Glomerulus
Hipoalbuminemia
Albuminuria
Retensi Na di tubulus distal & sekresi ADH
Tekanan onkotik koloid plasma ↓
Volume plasma ↓
Edema
Albuminuria Hipoalbuminemia
Dengan teori underfill dapat diduga terjadi kenaikan renin plasma dan aldosteron
sekunder terhadap adanya hipovolemia, tetapi hal tersebut tidak terdapat pada semua
penderita Sindroma nefrotik. Sehingga teori overfill dapat di pakai untuk menerangkan
terjadinya edema pada sindrom nefrotik dengan volume plama yang tinggi dan kadar
renin, aldosteron menurun terhadap hipovolemia.
Pada Sindroma nefrotik hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid
meningkat. Paling tidak ada dua faktor yamg mungkin berperan yakni: (1)
hipoproteinemia merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati termasuk
lipoprotein. (2) katabolisme lemak menurun karena penurunan kadar lipoprotein lipase
plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.
Manifestasi Klinik
Gejala awal dari sindroma nefrotik meliputi;menurunnya nafsu makan, malaise,
bengkak pada kelopak mata dan seluruh tubuh, nyeri perut, atropy dan urin berbusa.
Abdomen mungkin membesar karena adanya akumulasi cairan di intraperitoneal (Asites),
dan sesak napas dapat terjadi karena adanya cairan pada rongga pleura (efusi pleura)
ataupun akibat tekanan abdominal yang meningkat akibat asites. Gejala lain yang
mungkin terjadi adalah bengkak pada kaki, scrotum ataupun labia mayor. Pada keadaan
asites berat dapat terjadi hernia umbilikasis dan prolaps ani.2
Kelainan Glomerulus
Retensi Na renal primer
Volume plasma ↑
Edema
Seringkali cairan yang menyebabkan edema dipengaruhi oleh gravitasi sehingga
bengkak dapat berpindah-pindah. Saat malam cairan terakumulasi di tubuh bagian atas
seperti kelopak mata. Disaat siang hari cairan terakumulasi dibagian bawah tubuh seperti
ankles, pada saat duduk atau berdiri.
Pada anak tekanan darah umumnya rendah dan tekanan darah dapat turun sekali
saat berdiri (orthostatic hypotension), dan shock mungkin dapat terjadi. Produksi urin
dapat menurun dan renal faillure dapat terjadi jika terjadi kebocoran cairan dari dalam
pembuluh darah kejaringan sehingga suplai darah ke ginjal berkurang. Biasanya renal
failure dengan kurangnya produksi urin terjadi tiba-tiba.
Defisiensi zat gizi dapat terjadi karena hilangnya nutrien dalam urin serta
anoreksia, dapat terjadi gagal tumbuh serta hilangnya kalsium tulang. Diare sering
dialami oleh pasien dalam keadaan edema, keadaan ini rupanya bukan berkaitang dengan
adanya infeksi, namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus. Hepatomegali
dapat di temukan, hal ini dikaitkan dengan sinteis protein yang meningkat atau edema,
atau keduanya. Kadang terdapat nyeri perut kuadran kanan atas akibat hepatomegali dan
edema dinding perut. 2
Pada anak dengan sindroma nefrotik dapat terjadi gangguan fungsi psikososial
yang merupakan akibat stess nonspesifik terhadap anak yang sedang berkembang.
Klasifikasi
Subkategori atau klasifikasi nefrotik sindrom primer bedasarkan deskripsi
histologi dan dihubungkan dengan patologi klinis kelainan yang sebelumnya telah
diketahui.3 Tetapi bagaimanapun pengetahuan mengenai penyebab spesifik sindrom
nefrotik sangat terbatas, varians nefrotik sindrom akan diketahui manifestasi klinisnya
dengan memastikan proses histopatologinya. Tipe histopatologi juga menentukan dalam
hal respon terapi, dan prognosis dari penyakit.
Klasifikasi kelainan histopatologis glomerulus pada sindroma nefrotik yang
digunakan sesuai dengan rekomendasi komisi internasional (1982). Kelainan glomerulus
ini sebagian besar ditegakan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan
pemeriksaan mikroskop elektron dan imunoflorosensi. Dibawah ini tabel klasifikasi
glomerulus pada sindrom nefrotik primer sesuai laporan ISKDC (1970) dan Habib,
kleinknecht (1971).
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomeruloskerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intra membran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/ subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Komplikasi
1. Infeksi
Infeksi merupakan komplikasi utama dari sindrom nefrotik, komplikasi ini akibat
dari meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri selama kambuh.
Peningkatan kerentanan terhadap infeksi disebabkan oleh5:
- penurunan kadar imunoglobulin
kadar IgG pada anak dengan sindrom nefrotik sering sangat menurun,
dimana pada suatu penelitian didapkan rata-rata 18% dari normal.
Sedangkan kadar IgM meningkat. Hal ini menunjukan kemungkinan ada
kelainan pada konversi yang diperantarai sel T pada sintesis IgG dan IgM
- cairan edema yang berperan sebagai media biakan.2
- defisiensi protein,
- penurunan aktivitas bakterisid leukosit,
- imunosupresif karena pengobatan,
- penurunan perfusi limpa karena hipovolemia,
- kehilangan faktor komplemen (Faktor properdin B) dalam urin yang meng
oponisasi bakteria tertentu.
Pada Sindrom nefrotik terdapat peningkatan kerentanan terhadap bakteria tertentu
seperti1 :
- Streptococcus pneumoniae,
- Haemophilus influenzae,
- Escherichia coli,
- Dan bakteri gram negatif lain
Peritonitis spontan merupakan jenis infeksi yang paling sering, belum jelas
sebabnya. Jenis infeksi lain yang dapat ditemukan antara lain; sepsis, pnemonia,
selulitis dan ISK. Terapi profilaksis yang mencakup gram positif dan gram negatif
dianggap penting untuk mencegah terjadinya peritonitis.5
2. Kelainan koagulasi dan trombosis
Kelainan hemostatic ini bergantung dari etiologi nefrotik sindrom, pada kelainan
glomerulopati membranosa sering terjadi komplikasi ini, sedang pada kelainan
minimal jarang menimbulkan komplikasi tromboembolism1,2. Pada sindrom
nefrotik terdapat peningkatan faktor-faktor I, II, VII, VII, dan X yang disebabkan
oleh meningkatnya sintesis oleh hati dan dikuti dengan peningkatan sintesis
albumin serta lipoprotein. Terjadi kehilangan anti trombin II, menurunya kadar
plasminogen, fibrinogen plasma meningkat dan konsentrasi anti koagulan protein
C dan protein S meningkat dalam plasma4. Secara ringkas kelainan hemostatik
pada Sindrom nefrotik dapat timbul dari dua mekanisme yang berbeda2:
- peningkatan permeabilitas glomerulus mengakibatkan:
meningkatnya degradasi renal dan hilangnya protein dalam urin seperti
anti trombin III, protein S bebas, plasminogen dan α antiplasmin
hipoalbuminuria mengakibatkan aktivasi trombosit lewat tromboksan
A2, meningkatkan sintesis protein pro koagulan karena hiporikia dan
tekanan fibrinolisis.
- Aktivasi sistem hemostatik didalam ginjal dirangsang oleh faktor jaringan
monosit dan oleh paparan matriks subendotel pada kapiler glomerulus
yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan fibrin dan agregasi
trombosit.
3. Pertumbuhan abnormal
Pada anak dengan sindrom nefrotik dapat terjadi gangguan pertumbuhan (failure
to thrive), hal ini dapat disebabkan anoreksia hypoproteinemia, peningkatan
katabolisme protein, atau akibat komplikasi penyakit infeksi, mal absorbsi karena
edem saluran gastrointestinal.
Dengan pemberian kortikosteroid pada sindrom nefrotik dapat pula menyebabkan
gangguan pertumbuhan. Pemberian kortikosteroid dosis tinggi dan dalam jangka
waktu yang lama, dapat menghambat maturasi tulang dan terhentinya
pertumbuhan linier; terutama apabila dosis melampaui 5mg/m2/hari. Walau
selama pengobatan kortikosteroid tidak terdapat pengurangan produksi atau
sekresi hormon pertumbuhan, tapi telah diketahui bahwa kortikosteroid
mengantagonis efek hormon pertumbuhan endogen atau eksogen pada tingkat
jaringan perifer , melalui efeknya terhadap somatomedin.
4. Perubahan hormon dan mineral
Pada pasien Sindrom nefrotik berbagai gangguan hormon timbul karena protein
pengikat hormon hilang dalam urin. Hilangnya globulin pengikat tiroid (TBG)
dalam urin pada beberapa pasien Sindrom nefrotik dan laju eksresi globulin
umumnya berkaitan dengan beratnya proteinemia. Hipo kalsemia pada sindrom
nefrotik berkaitan dengan disebabkan oleh albumin serum yang rendah dan
berakibat menurunnya kalsium terikat, tetapi fraksi trionisasi tetap normal dan
menetap.2
5. Anemia
Anemia ringan hanya kadang-kadang ditemukan pada pasien sindrom nefrotik.
Anemianya hipokrom mikrositik, karena defisiensi besi yang tipikal, namun
resisten terhadap prefarat besi. Pada pasien dengan volume vaskular yang
bertambah anemia nya terjadi karena pengenceran. Pada beberapa pasien terdapat
transferin serum yang sangat menurun, karena hilangnya protein ini dalam urin
dalam jumlah besar.
Diagnosis
Diagnosis ditegakan bedasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik yang didapat,
pemeriksan laboratorium dan dikonfirmasi dengan renal biopsi untuk pemeriksaan
histopatologis3. Anak dengan awitan sindrom nefrotik antara usia 1-8 tahun agaknya
menderita penyakit lesi minimal yang responsif terhadapt kortikosteroid. Penyalit lesi
minimal tetap lazim pada anak usia diatas 8 tahun, tetapi glomerulonefritis membranosa
dan membranoploriferatif frekuensinya menjadi semakin sering. Pada kelompok ini
biopsi ginjal dianjurkan biopsi ginjal untuk menegakan diagnostik sebelum pertimbangan
terapi.
Pada analisa urin didapatkan proteinuria +3 atau +4; mungkin ada hemeturia
mikroskopis, tapi jarang ada hematuria makroskopis. Fungsi ginjal mungkin normal atau
menurun. Klirens protein melebihi 2 gr/24 jam. Kadar kolesterol dan trigliserid serum
naik, kadar albumin serum biasanya kurang dari 2 g/dl (20g/L). Dan kadar kalsium serum
total menurun, karena penurunan fraksi terikat albumin. Kadar C3 biasanya normal.
Penatalaksanaan
1. Terapeutik
Obat yang digunakan dalam penatalaksan nefrotik sindrom mencakup
kortikosteroid, levamisone, cyclosphospamid, dan cyclosporine. Respon terhadap
pengobatan dengan kortikosteroid berhubungan dengan tipe histopatologi sindrom
nefrotik.
ISKDC melaporkan sekitar 91,8% pasien yang bererpon terhadap kotikosteroid
mempunyai kelainan minimal glomeruloneprithis, dibandingkan dengan 25%
pasien yang tidak respon. Pada pasien yang tidak berespon terhadap
kortikosteroid dan berusia dibawah 6 tahun, 50 % merupakan kelainan minimal
glomerulonepritis. Dan pada usia lebuh dari 6 tahun hanya 3,6% yang mempunyai
kelainan minimal glomerulonepritis. The Southwest Pediatric Nephrology Study
Group melaporkan sekitar 63% pasien dengan diffuse membranous
hypercellularity, dan 30% pasien dengan focal glomeruralscerosis berespon
terhadap kortikosteroid.
Pengobatan kortistreroid (prednison) dimulai dengan dosis 60 mg/m2/24jam
(maksimum dosis 60 mg/ hari), dibagi menjadi tiga atau empat dosis. Waktu yang
dibutuhkan untuk berespon dengan prednison sekitar 2 minggu, responnya
ditetapkan pada saat urin bebas protein 3 hari berturut-turut. Jika anak berlanjut
menderita proteinuria (+2 atau lebih) setelah satu bulan pemberian prednison
dosis terbagi secara terus-menerus setiap hari, maka disebut resisten steroid dan
terindikasi melakukan biopsi ginjal untuk menentukan penyebab penyakit yang
tepat.
Lima hari setelah urin bebas protein (negatif, sedikit sekali atau +1 pada dipstick),
dosis prednison diubah menjadi 60mg/m2 (maksimal 60mg) diberikan selang
sehari sebagai dosis tunggal bersama dengan makan pagi. Setelah periode selang
sehari tersebut, prednison dapat dihentikan secara mendadak.
Setiap relaps nefrosis diobati dengan cara yang sama. Kekambuhan didefinisikan
sebagai berulangnya edema dan bukan hanya proteinuria. Karena pada anak
dengan keadaan ini menderita proteinuria intermiten yang menyembuh spontan.
Sejumlah kecil pasien yang berespon terhadap terapi dosis terbagi setiap hari,
akan mengalami kekambuhan segera setelah perubahan ke atau setelah
penghentian terapi selang sehari, penderita demikian disebut tergantung steroid.
Bila ada kekambuhan berulang dan terutama jika anak menderita toksisitas steroid
(muka cushingoid, hipertensi, gagal tumbuh) harus dipikirkan terapi imuno
supresif lain.
- Siklofosfamid, Dosis siklofosfamid 3 mg/kg/24jam sebagai dosis tunggal,
selama total pemberian 12 minggu (8 minggu 1). Terapi prednison tetap
diteruskan selama pemberian siklosfosfamid. Selama terapi dengan
siklofosfamid, leukosit harus dimonitor setiap minggu dan obatnya
dihentikan jika jumlah leukosit menurun dibawah 5000/mm3. komplikasi
lain berupa supresi sumsum tulang,hair loss, azoospremia, hemorrhagic
cystitis, keganasan, mutasi dan infertilitas.
- Levamison, adalah imunosimultan dengan efek steroid-sparing yang lemah
sehingga perlu penghentian terapi prednison. Dosis yang dipakai adalah 2,5
mg/kg selama 4-12 bulan. Efek samping jarang ditemukan, tetapi dilaporkan
dapat terjadi neutropenia dan encelopathy. Obat ini tidak umum digunakan.
- Cyclosporin, adalah inhibitor fungsi limfosit T dan diindikasikan bila terjadi
relaps setelah terapi dengan cyclosfosfamid. Cyclosporin lebih disukai
digunakan pada anak laki-laki dalam masa pubertas yang beresiko menjadi
azoospermia akibat induksi siklosfosfamid. Cyclosporin dapat bersifat
nefrotoksik, dan dapat menyebabkan hisurtism, hipertensi dan hipertropi
ginggiva.
2. Pengobatan supotif
Dalam penanganan pasien sindrom nefrotik harus diperhatikan tidak saja
pendekatan farmakologis terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya. Tapi
juga ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele yang menyertainya.
Pengobatan suportif sangat penting bagi pasien yang tidak memberi respon
terhadap pengobatan imunosupresif dan karena itu mudah mendapat komplikasi
Sindrom nefrotik yang berkepanjangan.
- terapi dietetik
masukan garam dibatasi ± 2gram/hari untuk mengurangi keseimbangan
natrium yang positif
diet tinggi kalori, protein dibatasi ± 2 gram/kgBB/hari.
Diet vegetarian yang mengandung kedelai lebih efektif menurunkan
hiperlipidemia.
- Pengobatan terhadap edema.
Dengan pemberian diuretik tiazid ditambah dengan obat penahan kalium
(spirinolakton, triamteren). Bila tidak ada respon dapat digunakan
furesemid, asam etekrinat atau bumetamid. Dosis furosemid 25-1000mg/
hari dan paling sering dipakai karena toleransinya baik walau dengan dosis
tinggi.
- Proteinuria dan hipoalbuminemia
ACE inhibitor mempunyai efek antiproteinuria, efek bergantung pada
dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan ACE
inhibitor dimulai dengan dosis rendah dan secara progresif ditingkatkan
sampai dosis toleransi maksimal.
Obat-obat anti inflamasi nonsteroid dapat menurunkan protreinuia sampai
50%, efek ini disebabkan karena menurunnya permeabilitas kapiler
terhadap protein, nenurunnya tekanan kapiler intraglomerural dan atau
karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Indometasin (150mg/hari)
dan meklofenamat (200-300mg/hari) merupakan obat yang sering
dipakai.
n-3 asam lemak takjenuh (polyunsaturated fatty acid) dapat mengurangi
proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.
- Hiperlipidemia
Pada saat ini penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan
simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada
sindrom nefrotik.
- Hiperkoagulabilitas
Pemakaian obat anti koaagulan terbatas pada keadaan terjadinya resiko
tromboemboli seperti; tirah baring lama, pembedahan, saat dehidrasi, atau
saat pemberian kortikosteroid iv dosis tinggi.
Prognosis
Pronosis pasien nefrotik sindrom bervariasi bergantung tipe kelainan
histopatologi. Prognosis untuk nefrotik sindrom kongenital adalah buruk, pada banyak
kasus dalam 2-18 bulan akan terjadi kematian karena gagal ginjal. Sedangkan prognosis
untuk anak dengan kelainan minimal glomerulus sangat baik. Karena pada kebanyakan
anak respon tehadap terapi steroid; sekitar 50% mengalami 1-2 kali relaps dalam 5 tahun
dan 20% dapat relaps dalam kurun waktu 10 tahun setelah didiagnosis. Hanya 30 % anak
yang tidak pernah relaps setelah inisial episode. Setidaknya sekitar 3% anak yang respon
terhadap steroid menjadi steroid resisten. Progresif renal insufisiensi terjadi pada kurang
dari 1% pasien, dan kematian pada pasien kelainan minimal biasanya disebabkan oleh
infeksi dan komplikasi ekstra renal.
Hanya sekitar 20% pasien sindrom nefrotik dengan fokal segmental
glomerulonefritis sklerosis, yang mengalami remisi derajat protenurianya, banyak pasien
yang mengalamai relaps menjadi steroid dependen atau resisten. Penyakit renal stadium
akhir terjadi pada 25-30% pasien dalam lima tahun, dan 30-40% dalam sepuluh tahun.
Lima puluh persen pasien dengan difuse mesangial proliferation mengalami
remisi komplit dari proteinuria dengan steroid terapi, sekitar 20% terjadi delayed remisi.
Dua puluh persen menjadi proteinuria yang berlanjut dan sekitar 6% menjadi renal
isufisiensi yang progresif. Prognosis pada pasien dengan membranoproliferatif
glomerulonephropaty umumnya kurang baik, dan keuntungan terapi steroid tidak begitu
jelas. Pada beberapa study dinyatakan, tidak ada perbedaan evidence hasil antara
pemberian pengobatan dengan tampa pengobatan pada pasien ini, karena sekitar 30%
pasien akan menjadi penyakit renal stadium akhir dalam 5 tahun.
B. HIPERTENSI
DEFINISI
Tekanan darah normal pada anak adalah tekanan darah sistolik (TDS) dan tekanan
darah diastolik (TDD) di bawah persentil 90 berdasarkan jenis kelamin, usia dan tinggi
badan. Definisi hipertensi pada anak dan remaja didasarkan pada distribusi normal
tekanan darah pada anak sehat. Berdasarkan data dari National Health and Nutrition
Examination Survey (NHANES), tingkatan tekanan darah anak laki-laki dan anak
perempuan berdasarkan persentil usia dan tinggi badan yang sudah direvisi.
Hipertensi didefinisikan sebagai rerata TDS dan/atau TDD ≥ persentil 95 sesuai
dengan jenis kelamin, usia dan tinggi badan pada ≥ 3 kali pengukuran berturut-turut. Pre-
hipertensi pada anak didefinisikan sebagai rerata TDS atau TDD ≥ persentil 90 tetapi
<persentil 95, keadaan ini berisiko tinggi berkembang menjadi hipertensi. Terdapat istilah
”white-coat hypertension” yang merujuk pada suatu keadaan penderita memiliki tekanan
darah > persentil 95 pada pemeriksaan di klinik atau praktek dokter, sedangkan diluar
tempat kesehatan tersebut penderita memiliki tekanan darah yang normal. Hipertensi
tingkat 1 (hipertensi bermakna) yaitu rerata TDS atau TDD yang berada ≥ 95 sampai
dengan 5 mmHg di atas persentil 99. Hipertensi tingkat 2 (hipertensi berat) yaitu rerata
TDS atau TDD > 5 mmHg di atas persentil 99. Krisis Hipertensi yaitu rerata TDS atau
TDD > 5 mmHg di atas persentil 99 disertai gejala dan tanda klinis seperti gejala gagal
jantung, ensefalopati, gagal ginjal, maupun retinopati.
Kriteria hipertensi juga dibagi atas derajat ringan, sedang, berat, dan
krisisberdasarkan kenaikan tekanan darah sistolik normal sesuai dengan umur.
Formula untuk menghitung tekanan darah pada anak juga dikembangkan
untukmemfasilitasi deteksi dini hipertensi pada anak yaitu:
Tekanan darah sistolik (persentil 95)
1-17 tahun = 100 + (usia dalam tahun x 2)
Tekanan darah diastolik (persentil 95)
1-10 tahun = 60 + (usia dalam tahun x 2)
11-17 tahun = 70 + (usia dalam tahun)
Batasan hipertensi menurut the fourth report NHBLI tahun 2005 :
Klasifikasi Persentil TDS atau TDD
Normal TD sistolik dan diastolic persentil < 90 menurut
umur dan jenis kelamin
Prehipertensi Persentil 90sampai <95 atau jika TD >
Age (years)
120/80 mmHg meskipun berada di bawah persentil
90 dan di atas persentil < 95
Hipertensi I persentil95th sampai persentil 99th ditambah 5
mmHg
Hipertensi II Lebih dari persentil99th ditambah 5 mmHg
ETIOLOGI
1.1 Hipertensi Primer
Hipertensi primer atau esensial merupakan hipertensi yang tidak dapat dijelaskan
penyakit yang mendasarinya. Meskipun demikian, identifikasi faktor-faktor yang dapat
diperkirakan menjadi penyebab terjadinya hipertensi primer telah dilakukan. Beberapa
predictor diidentifikasi seperti faktor keturunan, berat badan, respon terhadap stres fisik
dan psikologis, abnormalitas transpor kation pada membran sel, hipereaktivitas sistem
saraf simpatis, resistensi insulin, dan respon terhadap masukan garam dan kalsium.
Tekanan darah yang tinggi pada masa anak-anak merupakan faktor risiko hipertensi
pada masa dewasa muda. Hipertensi primer pada masa anak biasanya ditandai oleh
hipertensi ringan atau bermakna. Evaluasi anak dengan hipertensi primer harus disertai
dengan evaluasi beberapa faktor risiko yang berkaitan dengan risiko berkembangnya
suatu penyakit kardiovaskular. Obesitas, kolesterol lipoprotein densitas tinggi yang
rendah, kadar trigliserida tinggi, dan hiperinsulinemia merupakan faktor risiko yang harus
dievaluasi untuk berkembangnya suatu penyakit kardiovaskular.
1.2 Hipertensi Sekunder
Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang terjadi oleh karena adanya penyebab
yang jelas.Hipertensi sekunder lebih sering terjadi pada anak-anak dibanding orang
dewasa. Evaluasiyang lebih teliti diperlukan untuk setiap anak untuk mencari penyebab
yang mendasarinya.Anak dengan hipertensi berat, anak dengan umur yang masih muda,
serta anak remaja dengangejala klinis suatu kondisi sistemik disertai hipertensi harus
dievaluasi lebih lanjut.Anamnesis dan pemeriksaan fisik merupakan langkah pertama
evaluasi anak dengan kenaikantekanan darah yang menetap sehingga dapat mengarahkan
pada suatu kelainan sistemik yangmendasari terjadinya hipertensi. Jadi, sangat penting
untuk mencari gejala dan tanda klinisyang mengarah pada penyakit ginjal (hematuria
nyata, edema, kelelahan), penyakit jantung(nyeri dada, dispneu, palpitasi), atau penyakit
dari sistem organ lain (seperti kelainanendokrinologis, reumatologis). Riwayat penyakit
dahulu diperlukan untuk mengungkappenyebab hipertensi. Pertanyaan berupa riwayat
opname sebelumnya, trauma, infeksi salurankemih, diabetes, atau masalah gangguan
tidur. Riwayat penyakit keluarga berupa riwayathipertensi, diabetes, obesitas, apnea pada
waktu tidur, penyakit ginjal, hiperlipidemia, stroke,dan kelainan endokrinologis pada
keluarga.
Sekitar 60-80% hipertensi sekunder pada masa anak berkaitan dengan
penyakitparenkim ginjal.9 Kebanyakan hipertensi akut pada anak berhubungan
denganglomerulonefritis. Hipertensi kronis pada anak paling sering berhubungan dengan
penyakitparenkim ginjal (70-80%), sebagian karena hipertensi renovaskular (10-15%),
koartasio aorta(5-10%), feokromositoma dan penyebab endokrin lainnya (1-5%). Pada
anak yang lebih kecil(< 6 tahun) hipertensi lebih sering sebagai akibat penyakit parenkim
ginjal, obstruksi arterirenalis, atau koartasio aorta. Anak yang lebih besar bisa mengalami
hipertensi dari penyakitbawaan yang baru menunjukkan gejala hipertensi dan penyakit
dapatan seperti refluksnefropati atau glomerulonefritis kronis.
Penyebab tersering hipertensi berdasarkan usia:
Infant Anak Remaja1-6 tahun 7-12 tahun
Thrombosis of arteri atau vena renalis
Anomali kongenital renal
koarktasio aorta
dysplasia bronkopulmoner
Stenosis arteri renalis
penyakit parenkim ginjal
tumor Wilms
Neuroblastoma
koarktasio aorta
penyakit parenkim ginjal
abnormalitas renovaskular
penyebab endokrin
hipertensi esensial
hipertensi esensial
penyakit parenkim ginjal
penyebab endokrin
PATOFISIOLOGIHIPERTENSI
Patogenesis hipertensi pada anak dengan penyakit ginjal melibatkan
beberapamekanisme.
1. Hipervolemia
Hipervolemia oleh karena retensi air dan natrium, efek kelebihan mineralkortioid
terhadap peningkatan reabsorpsi natrium dan air di tubuli distal, pemberian
infuse larutan garam fisiologik, koloid, atau transfusi darah yang berlebihan pada
anak dengan laju filtrasi glomerolus yang buruk. Hipervolemia menyebabkan
peningkatan curah jantung sehingga menyebabkan hipertensi. Keadaan ini sering
terjadi pada glomerulonefritis dan gagal ginjal
2. Gangguan sistem Renin, Angiotensin dan Aldosteron
Renin adalah enzim yang diproduksi oleh sel apparatus jukstaglomerolus. Bila
terjadi penurunan aliran darah intrarenal dan penurunan laju filtrasi glomerolus,
apparatus jukstaglomerolus akan terangsang untuk mensekresi renin yang akan
mengubah angiotensinogen yang berasal dari hati menjadi Angiotensin I.
Kemudian Angiotensin I akan diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II
menimbulkan vasokonstriksi pembuluh darah tepid an menyebabkan tekanan
darah meningkat. Selanjutnya angiotensin II merangsang korteks adrenal untuk
mengeluarkan aldosteron. Aldosteron meningkatkan retensi natrium dan air di
tubuli ginjal dan menyebabkan hipervolemia dan tekanan darah menjadi
meningkat.
3. Berkurangnya zat vasodilator.
Zat vasodilator yang dihasilkan oleh medulla ginjal yaitu prostaglandin A2,
kilidin, dan bradikinin. Zat tersebut berkurang pada penyakit ginjal kronis.
MANIFESTASI KLINIS
Hipertensi derajat ringan atau sedang umumnya tidak menimbulkan gejala. Namun
daripenelitian yang baru-baru ini dilakukan, kebanyakan anak yang menderita hipertensi
tidaksepenuhnya bebas dari gejala. Gejala non spesifik berupa nyeri kepala, insomnia,
rasa lelah,nyeri perut atau nyeri dada dapat dikeluhkan. Pada keadaan hipertensi berat
yang bersifatmengancam jiwa atau fungsi organ vital timbul gejala yang nyata. Keadaan
ini disebut krisishipertensi.
Krisis hipertensi ini dibagi menjadi dua kondisi yaitu hipertensi urgensi
danhipertensi emergensi. Manifestasi klinisnya sangat bervariasi namun komplikasi
utama padaanak melibatkan sistem saraf pusat, mata, jantung, dan ginjal. Anak dapat
mengalamigejala berupa sakit kepala, pusing, nyeri perut, muntah, atau gangguan
penglihatan. Krisishipertensi dapat pula bermanifestasi sebagai keadaan hipertensi berat
yang diikuti komplikasiyang mengancam jiwa atau organ seperti ensefalopati, gagal
jantung akut, infark miokardial,edema paru, atau gagal ginjal akut. Ensefalopati
hipertensif ditandai oleh kejang fokalmaupun umum diikuti penurunan kesadaran dari
somnolen sampai koma. Gejala-gejalayang tampak pada anak dengan ensefalopati
hipertensif umumnya akan segera menghilangbila pengobatan segera diberikan dan
tekanan darah diturunkan menjadi normal. Gejala dan tanda kardiomegali, retinopati
hipertensif, atau gambaran neurologis yangberat sangat penting karena menunjukkan
hipertensi yang telah berlangsung lama
PENDEKATAN DIAGNOSIS
Anak yang benar-benar mengalami peningkatan tekanan darah harus diklasifikasikan
menjadisalah satu dari dua kemungkinan kategori berdasarkan manifestasi klinisnya.
kategori Iadalah anak-anak dengan peningkatan tekanan darah yang bermakna dan
dengankemungkinan komplikasi dengan onset akut. Yang termasuk kategori ini biasanya
anak yanglebih muda dengan hipertensi sekunder yang memerlukan terapi emergensi,
terapi terhadapkomplikasi yang terjadi, dan terapi spesifik terhadap penyebab hipertensi.
Kategori II adalahanak-anak dengan peningkatan tekanan darah yang ringan dan dengan
kemungkinankomplikasi jangka panjang yang biasanya adalah anak remaja dengan
hipertensi esensial.Klasifikasi ini penting baik untuk tujuan diagnostik maupun terapi.
1.3 Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang perlu dilakukan pada pasien hipertensi adalah pemeriksaan
tekanan darah.
Tekanan darah adalah hasil kali tahanan vaskuler perifer dan curah jantung.
Pengukuran
tekanan darah yang tepat tergantung dari kondisi penderita saat diperiksa, kualitas
peralatan,dan keterampilan pemeriksa.Pengukuran tekanan darah pada anak memerlukan
ruang pemeriksaan yang tenang, sertakondisi anak yang tenang agar tidak mempengaruhi
hasil pengukuran. Anak dapat berbaringtelentang dengan tangan lurus di samping badan
ataupun duduk dengan lengan bawah yang diletakkan di atas meja sehingga lengan atas
berada setinggi jantung. Peralatan standar untukmengukur tekanan darah adalah
sfigmomanometer air raksa pada anak berusia lebih dari tigatahun. Metode terpilih untuk
pengukuran tekanan darah adalah dengan auskultasi.Manset yang digunakan harus sesuai
dengan ukuran tubuh anak. Tekanan darah akan terlalutinggi apabila manset yang dipakai
terlalu kecil dan terlalu rendah bila ukuran manset terlalubesar. Lebar kantong manset
harus menutupi 1/2 sampai 2/3 panjang lengan atas ataupanjang tungkai atas. Panjang
manset juga harus melingkari setidak-tidaknya 2/3 lingkarlengan atas atau tungkai atas.
Manset dipasang melingkari lengan atas atau tungkai atasdengan batas bawah lebih
kurang 3 cm dari siku atau lipat lutut. Manset dipompa sampaidenyut nadi arteri radialis
atau dorsalis pedis tidak teraba kemudian diteruskan dipompasampai 20-30 mmHg lagi.
Stetoskop diletakkan di denyut arteri brakialis atau poplitea,kemudian manometer
dikosongkan perlahan-lahan dengan kecepatan 2-3 mmHg per detik.Pada penurunan air
raksa ini akan terdengar bunyi-bunyi Korotkoff. Bunyi Korotkoff I yaitubunyi yang
pertama kali terdengar berupa bunyi detak yang perlahan. Bunyi Korotkoff IIseperti
bunyi Korotkoff I tetapi disertai bunyi desis (swishing sign). Bunyi Korotkoff IIIseperti
bunyi Korotkoff II tetapi lebih keras. Bunyi Korotkoff IV bunyi tiba-tiba melemah.Bunyi
Korotkoff V bunyi menghilang. Tekanan sistolik adalah saat mulai terdengarnya
bunyiKorotkoff I, sedangkan tekanan diastolik adalah saat mulai terdengarnya bunyi
Korotkoff IV,yang biasanya pada bayi dan anak bersamaan atau hampir bersamaan
dengan menghilangnyabunyi (Korotkoff V). Dalam keadaan normal, tekanan darah
sistolik di lengan 10-15 mmHglebih rendah dibanding dengan tekanan darah tungkai.
Pada bayi baru lahir penggunaan sfignomanometri konvensional
tidakdirekomendasikan karena suara Korotkoff tidak dapat terdengar dengan jelas. Untuk
itudigunakan alat ultrasonik Doppler, puls oksimetri, atau osilometri. Teknik puls
oksimetrimenggunakan muncul dan hilangnya gelombang phletysmographic saat manset
menaik dan menurun di sekitar tekanan sistolik. Manometer osilometrik digunakan secara
luas dalampraktek klinis tetapi lebih kurang akurat jika dibandingkan dengan alat
ultrasonik Doppler danpuls oksimetri saat dibandingkan dengan baku emas yaitu tekanan
darah intraarterial.
Peningkatan tekanan darah harus dikonfirmasi pada kunjungan ulang
sebelummenetapkan anak menderita hipertensi. Konfirmasi dari hasil pengukuran
tekanan darah yangmeningkat sangat penting karena tekanan darah yang tinggi dapat
turun pada pengukuranberikutnya karena terpengaruh oleh faktor-faktor: (1)
berkurangnya kecemasan penderita darikunjungan pertama ke kunjungan berikutnya. (2)
regresi rerata tekanan darah karena sifattekanan darah yang bersifat tidak statis tetapi
bervariasi bahkan dalam kondisi tenang.
Ukuran-ukuran manset yang tersedia di pasaran untuk evaluasi pengukuran tekanan
darah anak:
Nama manset Lebar kantong karet (cm) Panjang kantong karet (cm)
Neonatus 2-4 5-9
Bayi 4-6 11,5-18
Anak 7,5-9 17-19
Dewasa 11,5-13 22-26
Lengan besar 14-15 30,5-33
Paha 18-19 36-38
Diagnosis Banding berdasarkan temuan fisik pada pemeriksaan fisik :Pemeriksaan Fisik Yang ditemukan Kemungkinan Etiologi
Tanda-tanda vital Takikardi Hipertiroid, feokromositoma,
neuroblastoma, hipertensi primer
Penurunan pulsasi ekstremitas inferior,
Penurunan tekanan darah saat mengukur
tekanan darah dari ekstremitas atas
menuju ekstremitas bawah
Koarktasio aorta
Mata Perubahan retina Krisis hipertensi
Telinga, hidung,
tenggorokan
Hipertrofi adenotonsilar Berhubungan dengan gangguan
bernafas saat tidur (sleep apnea),
mendengkur
Tinggi/berat Retardasi pertumbuhan Gagal ginjal kronis
Obesitas Hipertensi primer
Kepala dan leher Wajah seperti bulan “moon facies” Sindrom Cushing
Webbed neck Sindrom turner
Tiromegali Hipertiroid
Kulit Pucat, diaphoresis feokromositoma
Jerawat, hirsutisme, strie Sindrom Cushing, penyalahgunaan
anabolik steroid
Malar rash Lupus eritematous sistemik
Dada Murmur pada jantung Koarktasio aorta
Friction rub Lupus eritematous sistemik
(perikarditis), stadium penyakit renal
dengan uremia
Perut Massa Tumor Wilms, neuroblastoma,
feokromositoma
Bruit pada epigastrium Stenosis arteri renalis
Terabanya ginjal Penyakit ginjal polikistik,
hidronefrosis,
Genetalia Ambigu/firilisasi Hyperplasia adrenal
Ekstremitas Pembengkakan pada persendian Lupus eritematous sistemik
Kelemahan otot hiperaldosteronisme
1.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan:
a. Pemeriksaan tahapan I untuk mengevaluasi diagnostic kearah penyebab hipertensi
sekunder :
Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit ginjal:
i. Urinalisis, tes dipstick urin hasil positif untuk darah dan atau
protein mengindikasikan kepada penyakit ginjal. Peningkatan
jumlah natrium pada urin menunjukkan adanya diet asupan
natrium yang berlebihan.
ii. Biakan urin digunakan untuk mengevaluasi pasien untuk
mengetahui kronik pielonefritis.
iii. Kimia darah (kolesterol, albumin, globulin, asam urat, ureum,
kreatinin) peningkatan serum kreatinin mengindikasikan adanya
penyakit ginjal, temuan hipokalemia mengarahkan kepada
hiperaldosteronisme.
iv. Darah lengkap adanya anemia menunjukkan adanya gagal ginjal
kronik
v. Pemeriksaan hormone darah peningkatan renin plasma
mengindikasikan adanya hipertensi vascular renal, koarktasio
aorta, peningkatan hormone aldosteron menunjukkan adanya
hiperaldosteronisme. Peningkatan jumlah katekolamin merupakan
diagnosis adanya feokromositoma atau neuroblastoma.
vi. Pielogram intravena
Pemeriksaan untuk mendeteksi penyakit endokrin:
i. Elektrolit serum
ii. Aktivitas renin plasma dan aldosteron hiperaldosteronisme,
hipertensi vascular renal
iii. Katekolamin plasma feokromositoma, neuroblastoma
iv. Katekolamin urin dan metabolitnya dalam urin feokromositoma,
neuroblastoma
v. Aldosteron dan metabolit steroid dalam urin sindrom cushing
vi. Hormone tiroid hipertiroid
Evaluasi akibat hipertensi terhadap organ target
i. EKG
ii. Foto rontgen dada kardiomegali
iii. Ekokardiografi terlihat adanya pembesaran ventrikel kiri
mengindikasikan adanya hipertensi kronis
b. Pemeriksaan tahap II untuk evaluasi diagnostic ke arah penyebab hipertensi
sekunder:
ASTO, Komplemen (C3), kultur apus tenggorok/keropeg infeksi kulit
jika positif, diagnosis mengarahkan pada diagnosis GNAPS
Sel LE, uji serologi untuk SLE jika positif , diagnosis mengarahkan
pada SLE
Biopsi ginjal
CT ginjal
Arteriografi
CT kelenjar adrenal atau abdomen
Uji supresi dengan dexametason diagnosis mengarahkan kepada
sindrom Cushing
TATALAKSANA
Penanganan anak dengan hipertensi ditujukan pada penyebab naiknya tekanan darah
danmengurangi gejala yang timbul. Kerusakan organ target, kondisi-kondisi lain yang
terjadibersamaan, serta faktor-faktor risiko juga mempengaruhi keputusan terapi.
Terapinonfarmakologis dan terapi farmakologis direkomendasikan berdasarkan usia
anak, tingkatanhipertensi, dan respon terhadap terapi. Pemantauan ditujukan pada
komplikasi yang timbul. Terapi mencapai keberhasilan jika memenuhi kriteria: tekanan
diastolic turun di bawah 90 persentil, efek samping obat minimal, penggunaan obat untuk
mengontrol tekanan darah hanya diperlukan dalam jumlah sedikit.
A. Terapi nonfarmakologis
Pada anak dengan kondisi pre-hipertensi atau hipertensi tingkat 1 terapi berupa
perubahangaya hidup direkomendasikan. Terapi ini berupa pengontrolan berat badan,
olahraga yangteratur, diet rendah lemak dan garam, pengurangan kebiasaan merokok
pada anak remajayang merokok, dan tidak mengkonsumsi alkohol. Korelasi yang kuat
terdapat pada anakyang memiliki berat badan lebih dengan peningkatan tekanan darah.
Pengurangan berat badantelah terbukti efektif pada anak obese disertai hipertensi.
Pengontrolan berat badan tidakhanya menurunkan tekanan darah juga menurunkan
sensitivitas tekanan darah terhadapgaram, menurunkan risiko kardiovaskular lain seperti
dislipidemia dan tahanan insulin. Padapenelitian tersebut disebutkan bahwa penurunan
indeks massa tubuh 10% menurunkantekanan darah dalam jangka waktu pendek sebesar
8 sampai 10 mmHg.Aktivitas fisik yang teratur membantu menurunkan berat badan dan
sekaligusmenurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Aktivitas fisik tersebut
minimal dilakukanselama 30-60 menit per hari. Intervensi diet pada anak dapat berupa
ditingkatnya dietberupa sayuran segar, buah segar, serat, dan makanan rendah lemak,
serta konsumsi garamyang adekuat hanya 1,2 g/hari (anak 4-8 tahun) dan 1,5 g/hari untuk
anak yang lebih besarmembantu dalam manajemen hipertensi. Pengurangan garam pada
anak dan remajadisebutkan dapat mengurangi tekanan darah sebesar 1 sampai 3 mmHg.
Peningkatan masukankalium, magnesium, asam folat juga dikaitkan dengan tekanan
darah yang rendah.
B. Terapi farmakologis
Indikasi penggunaan terapi farmakologis hipertensi pada anak dan remaja jika
ditemukankeadaan hipertensi yang bergejala, kerusakan organ target (seperti: hipertrofi
ventrikel kiri,retinopati, proteinuria), hipertensi sekunder, hipertensi tingkat 1 yang tidak
berespon denganperubahan gaya hidup, dan hipertensi tingkat 2. Tujuan terapi adalah
mengurangi tekanandarah kurang dari persentil 95. Jika terdapat kerusakan organ target
atau penyakit yangmendasari, tujuan terapi adalah tekanan darah kurang dari persentil 90.
Dalam memilih terapifarmakologi harus dipertimbangkan efikasi ketersediaan obat,
frekuensi pemberian, efeksamping dan biaya. Farmakoterapi harus mengikuti tahapan
peningkatan dosis obat secara bertahap.
Menggunakan satu macam obat dengan dosis terendah kemudian meningkatkan
dosis sampaiefek terapetik terlihat. Bila terdapat efek samping atau dosis obat maksimal
dapat digunakanobat kedua yang memiliki mekanisme kerja berbeda.Angiotensin-
Converting Enzyme Inhibitors (ACEI) (seperti: kaptopril, enalapril,lisinopril, ramipril)
dan Calcium Channel Blocking Agents (seperti: nifedipin, amlodipin,felodipin, isradipin)
adalah obat antihipertensi yang sering digunakan karena efek sampingnyayang rendah.
Diuretika (diuretik tiazid, loop diuretic, dan diuretik hemat kalium biasanyadigunakan
sebagai terapi tambahan. Obat-obatan baru seperti penghambat reseptorangiotensin
(seperti: irbesartan) juga digunakan pada hipertensi yang terjadi pada anak danremaja.
Obat ini mungkin bisa menjadi pilihan pada anak yang menderita batuk kronik
akibatpenggunaan penghambat ACE. Penghambat reseptor adrenergic (seperti:
propanolol,atenolol, metoprolol, dan labetolol), penghambat reseptor adrenergik, agonis
reseptor,vasodilator langsung, agonis reseptor adrenergik perifer jarang digunakan pada
pasien anakkarena efek samping yang ditimbulkannya, akan tetapi obat-obatan ini dapat
menjadi pilihanbila terjadi kegagalan terapi dengan obat-obatan Calcium Channel
Blocking Agents, Angiotensin-Converting Enzyme Inhibitors, atau penghambat reseptor
angiotensin.
Langkah-langkah pendekatan pengobatan hipertensi:
Langkah 1 Diuretika dimulai dengan dosis minimal atauPenghambat adrenergik dimulai dengan dosis minimal
Jika diperlukan dosis dapat dinaikkan sampai dosis maksimal
Tekanan darah tidak turun
Tambahkan atau ganti dengan penghambat adrenergikatauTambahkan atau ganti dengan diuretik (thiazide)
Lanjutkan sampai mencapai dosis maksimal
Langkah 2
Tekanan darah tidak turun
Tambahkan golongan vasodilator atau Rujuk pada spesialis anak konsultan nefrologiLangkah 3
TATA LAKSANA KRISIS HIPERTENSI
The Fourth Report On The Diagnosis, Evaluation, And Treatment Of High Blood
Pressure In Children And Adolescentsmendefinisikan hipertensi berat bila tekanan darah
melebihi 5mmHg di atas persentil 99 menurut usia. Krisis hipertensi yaitu rerata TDS
atau TDD > 5mmHg di atas persentil 99 disertai gejala dan tanda klinis. Pendapat lain
menyebutkan bahwahipertensi krisis dapat bersifat emergensi (HE) yaitu peningkatan
TDS atau TDS yang telah atau dalamproses menyebabkan kerusakan organ dalam
beberapa menit-jam atau urgensi (HU) yang perluditurunkan dalam 12-24 jam karena
sewaktu-waktu dapat progresif menjadi hipertensiemergensi.
Krisis hipertensi yang disertai gejala ensefalopati hipertensif memerlukan
pengobatandengan antihipertensi intravena untuk mengontrol pengurangan tekanan darah
dengan tujuanterapi menurunkan tekanan darah 25% selama 8 jam pertama setelah krisis
dan secaraperlahan-lahan menormalisasikan tekanan darah dalam 26 sampai 48 jam.
Krisis hipertensidengan gejala lain yang lebih ringan seperti sakit kepala berat atau
muntah dapat diobatidengan obat antihipertensi oral atau intravena. Pengawasan secara
berhati-hati dilakukanterhadap reaksi pupil, penglihatan, kesadaran, dan temuan
neurologis.
Pengobatan krisis hipertensi:
Lini pertama : Nifedipin oral diberikan dengan dosis 0,1 mg/kgBB/kali,
dinaikkan 0,1 mg/kgBB/kali (dosis maksimal 10 mg/kali) setiap 5 menit pada 15
menit pertama, kemudian setiap 15 menit pada 1 jam pertama, selanjutnya setiap 30
menit sampai tercapai tekanan darah yang stabil. Furosemid diberikan dengan dosis 1
mg/kgBB/kali, 2 kali sehari; bila tensi tidak turun diberi kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali,
2-3 kali sehari.
Lini kedua : klonidin drip 0,002 mg/kgBB/8 jam + 100 ml dekstrose 5%. Tetesan
awal 12 mikrodrip/menit, bila tekanan darah belum turun, tetesan dinaikkan 6
mikrodrip/menit setiap 30 menit (maksimum 36 mikrodrip/menit), bila tekanan darah
masih belum turun ditambahkan kaptopril 0,3 mg/kgBB/kali, diberikan 2-3 kali sehari
(maksimal 2 mg/kgBB/kali) bersama furosemid 1 mg/kgBB/kali 2 kali sehari.
Sodium nitroprusid, nikardipin, dan labetalol direkomendasikan sebagai obat
intravenayang aman dan efektif karena mudah dititrasi dan dengan toksisitas yang
rendah. Obat lainyang direkomendasikan adalah hidralazin, klonidin, esmolol,
enalaprilat. Nipedipin oralyang diberikan secara sublingual juga direkomendasikan.
Keamanan dan efikasi nipedipinkerja cepat telah terbukti aman dan hanya menimbulkan
sedikit efek samping saat digunakanpada anak dengan hipertensi yang dirawat inap. Obat
oral perlu mendapat perhatian khususkarena efek yang tidak terkontrol dalam penurunan
tekanan darah sehingga responnyaterhadap penurunan tekanan darah tidak dapat
diprediksi.
ALGORITMA MANAJEMEN HIPERTENSI PADA ANAK
berdasarkan algoritma di atas anak dengan peningkatan tekanan darah perlu dilakukan
pemeriksaan tekanan darah ulang dan menyingkirkan adanya peningkatan reaktif dalam
tekanan darah seperti anak gelisah, takut dan lain-lain. Kemudian tekanan darah yang
didapat dari pemeriksaan diklasifikasikan menjadi kategori I dan kategori II. Jika
hasilnya masuk ke dalam kategori I maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut dan
dilakukan pengobatan baik secara oral maupun intravena. Jika masuk ke dalam kategori
II, dilakukan follow up, jika terdapat kerusakan organ target atau selama 3 kali
pengukuran tekanan darah tetap > persentil 95 maka diklasifikasikan ke dalam kategori I.
DAFTAR PUSTAKA
Agraharkar Mahendra, Nefrotik Syndrome. www.emedicine.com Last Update: september
2, 2004.
Alatas H, Tambunan T, Trihono PP, Pardede SO : Sindrom Nefrotik, Buku Ajar
Nefrologi Anak. Edisi 2. Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2004
Behram, Kleigman, Arvin. Nelson, Ilmu Kesehatan Anak. Ed 15. EGC Jakarta 2000
Behrman, Kliegman et.al. 2002.Nelson Ilmu Kesehatan Anak. Vol. 2. EGC. Jakarta. Fam
Phys.
Ganong, William F. 2002.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.20. EGC. Jakarta.
Gleadle, Jonathan. 2005. At a glance, Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik. Jakarta:
Erlangga
Guyton, Arthur C. 2002.Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed.9. EGC. Jakarta.
Kliegman, Marchdante, Jehnson, Behrman. 2008. Nelson Essential of Pediatric, Fifth
edition. SF: Elsevier
National High Blood Pressure Education Program Working Group on High
BloodPressure in Children and Adolescents. 2005. The Fourth Report on the
Diagnosis, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure in Children and
Adolescents. US: Departement of Health and Human Services.
Nephrotic Syndrome, The Merck Manual Diagnosis and Therapy.
www.Merckmanual.com.
Silbernagl, Stefan. 2007.Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC. Jakarta
Sulistia dan Gunawan. 2007. Farmakologi dan Terapi. Jakarta: FK UI
Travis Luther, Nephrotic Syndrome. www.emedicine.com. Last Update: april14, 2005.
WHO dan DEPKES RI. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. Jakarta:
WHO Indonesia press.