Download - Tinjauan Yuridis Penggunaan Blangko Akta Jual Beli Perumahan di Kota Medan_Agung Yuriandi
1
TINJAUAN YURIDIS PENGGUNAAN BLANGKO AKTA JUAL BELI PERUMAHAN
DI KOTA MEDAN
Oleh : Agung Yuriandi
Medan 2011
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebutuhan manusia dalam kehidupan ini begitu banyak seperti, kebutuhan
untuk makan dan minum, kebutuhan pakaian, kebutuhan untuk tempat tinggal atau
perumahan, kebutuhan transportasi dan lain sebagainya. Kebutuhan manusia akan
tempat tinggal atau perumahan tersebut sudah merupakan suatu hal yang pokok
dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dari begitu banyaknya program
pembangunan yang dicanangkan oleh pemerintah dan salah satunya adalah program
pembangunan perumahan untuk rakyat. Berdasarkan program tersebut maka pihak
pemerintah maupun swasta berlomba- lomba untuk mengadakan pembangunan
perumahan untuk rakyat dengan memanfaatkan lahan yang ada. Alvi Syahrin sebagai
ahli hukum lingkungan mengatakan bahwa, “pembangunan perumahan dan
pemukiman akan terus meningkat seirama dengan pertambahan penduduk, dinamika
kependudukan dan tuntutan ekonomi, sosial budaya yang berkembang”.1
Dengan berkembangnya pembangunan perumahan seiring dengan
pertumbuhan penduduk maka pihak swasta atau pengembang melaksanakan program
pembangunan perumahan dan pemukiman bagi semua pihak, terutama untuk
golongan ekonomi menengah ke bawah dengan pengadaan Rumah Sangat Sederhana
(selanjutnya disebut RSS). Program pembangunan Rumah Sangat Sederhana (RSS)
1 Alvi Syahrin, Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan
Pemukinan Berkelanjutan, (Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003), hal. 1.
3
adalah “program yang ditetapkan untuk memperluas kesempatan bagi masyarakat
untuk mendapatkan rumah dan mengurangi kesenjangan sosial, karena harganya
disesuaikan dengan daya beli sebagian masyarakat golongan berpenghasilan rendah”.
Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS) adalah sebidang tanah
yang memenuhi kriteria sebagai berikut2 :
1. “Harga perolehan tanah dan rumah, dan apabila atas bidang tanah tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan, Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan Tanah dan rumah tersebut tidak lebih daripada Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah);
2. Luasnya tidak lebih daripada 200 m2 ; dan 3. Di atasnya dibangun rumah dalam rangka pembangunan perumahan massal
atau kompleks perumahan”. Berdasarkan Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian
Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana
(RS), Hak Guna Bangunan (HGB) atas tanah untuk RSS dan RS di atas tanah negara
termasuk di atas tanah pengelolaan, kepunyaan perseorangan Warga Negara
Indonesia, atas permohonan pemegang hak atau kuasanya bisa diubah menjadi Hak
Milik. Sedangkan tanah RSS dan RS di atas tanah Hak Pengelolaan (HPL) kepunyaan
perseorangan WNI yang belum dimiliki dengan HGB, diberikan kepadanya Sertifikat
Hak Milik (SHM).3
Untuk permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi SHM dan
perolehannya, dikenai kewajiban pembayaran administrasi kepada negara sebesar Rp.
10.000,- dan sumbangan landreform sebesar Rp. 5.000,- dan biaya pendaftaran sesuai
2 Pasal 1 huruf d., Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS).
3 Pasal 2 ayat (1), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS). Lihat juga : Kian Goenawan, Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Pustaka Grahatama, 2008), hal. 48.
4
dengan ketentuan Keputusan Kepala BPN No. 2 Tahun 1992 tentang Biaya
Pendaftaran Tanah.4
Permohonan pendaftaran perubahan HGB menjadi Hak Milik diajukan kepada
Kepala Kantor Pertanahan setempat dengan melampirkan dokumen sebagai berikut5 :
1) “Sertifikat Hak Guna Bangunan yang dimohon untuk diubah menjadi Hak Milik;
2) Akta jual beli atau surat perolehan mengenai rumah beserta tanah yang bersangkutan;
3) SPT Pajak Bumi dan Bangunan terakhir, apabila atas bidang tanah tersebut sudah dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan tersendiri; dan
4) Surat persetujuan dari pemegang Hak Tanggungan, apabila tanah tersebut dibebani Hak Tanggungan”.
Akta jual beli inilah (angka 2 di atas) yang harus disertakan untuk
mendaftarkan perubahan HGB menjadi Hak Milik. Akta jual beli didapatkan dengan
mengisi Blangko Akta Jual Beli yang diperoleh oleh PPAT dari Kantor Wilayah BPN
setempat. Namun, akta jual beli dari BPN itu sangat sulit didapat dikarenakan sering
kekurangan stok dan proses pengadaan yang tidak transparan. Setelah mendapatkan
Akta Jual Beli (AJB) di PPAT. Asas terang dan tunai pada hukum agraria yang
berlaku bersumber dari hukum adat. Ini berarti jual beli harus dilakukan di hadapan
pejabat yang berwenang (PPAT atau Camat) dan harus ada pembayaran atas jual beli
tersebut. Bila kedua syarat telah dipenuhi, jual beli dikatakan sah menurut hukum.
4 Pasal 2 ayat (2), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS). Lihat juga : Kian Goenawan, Op.cit., hal. 49.
5 Pasal 3 ayat (1), Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS). Lihat juga : Ibid., hal. 49.
5
Setelah transaksi dibuktikan dengan adanya AJB, PPAT wajib mendaftarkan jual beli
sekaligus balik nama ke atas nama pembeli ke kantor pertanahan setempat.6
Pelaksanaan program pembangunan perumahan dan pemukiman yang
dilakukan oleh pihak swasta atau pengembang tersebut dengan berbagai cara seperti
melalui sistem Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya disebut KPR) yang dilakukan
oleh pengembang atau developer sendiri ataupun KPR melalui suatu bank atau
lembaga pembiayaan yang ada di daerah tersebut. Selain pemilikan rumah melalui
KPR, pihak pengembang atau developer juga memberikan cara pemilikan rumah
melalui pembelian secara tunai dengan sistem jual beli kepada para konsumen.
Sistem jual beli perumahan yang dilakukan pengembang atau developer kepada para
konsumen tersebut didasarkan pada perjanjian jual beli menurut Undang-Undang.
Menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
KUHPerdata) bahwa, “jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain
untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
Sementara itu R. Subekti memberikan definisi tentang perjanjian jual beli
yang tidak jauh berbeda dengan definisi dari Pasal 1457 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa perjanjian jual beli adalah, “suatu perjanjian di mana pihak yang
satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang sedangkan pihak
lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagai harganya”.7
6 Ibid., hal. 40. 7 R. Subekt i, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : Intermasa, 1992), hal. 161-162.
6
Berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata dan pernyataan dari R. Subekti tersebut maka
ada beberapa unsur dari perjanjian jual beli, yaitu :
1. Ada pihak penjual dan pembeli.
2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan.
3. Ada penyerahan barang atau benda oleh penjual kepada pembeli.
4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual.
Setelah melihat definisi dan unsur-unsur dari perjanjian jual beli tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli tersebut terjadi jika kedua belah
pihak mencapai suatu kata sepakat tentang barang atau benda dan harga. Hal ini
sesuai dengan yang disebutkan dalam Pasal 1458 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa : “jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak seketika
setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan
harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan maupun harganya belum
dibayar”. Selain dari hal tersebut, R. Subekti menyatakan bahwa dalam perjanjian
jual beli, penjual mempunyai dua kewajiban pokok antara lain8 :
1. Menyerahkan barang serta menjamin dapat memiliki barang tersebut dengan
tentram; dan
2. Bertanggungjawab terhadap cacat-cacat yang tersembunyi.
Sementara untuk kewajiban pembeli menurut R. Subekti adalah, “membayar
harga pada waktu dan di tempat yang telah ditentukan dan disepakati kedua belah
8 Ibid., hal. 162.
7
pihak”.9 Terhadap pernyataan dari R. Subekti tersebut tentang kewajiban penjual dan
pembeli dari perjanjian jual beli secara umum tersebut maka dapat dilihat bahwa
sebenarnya banyak hal yang terjadi dan perlu diuraikan secara lebih mendalam lagi
tentang perjanjian jual beli tersebut seperti, mengenai penyerahan barang atau benda,
risiko dan lain sebagainya. Tetapi agar lebih akurat dan terperinci uraiannya
ditentukanlah objek perjanjian jual beli dalam penelitian ini adalah perumahan oleh
pengembang atau developer kepada para konsumen. Terhadap unsur-unsur yang ada
dalam perjanjian jual beli yang telah diuraikan sebelumnya jika dihubungkan dengan
perjanjian jual beli perumahan oleh pengembang kepada para konsumen, maka dapat
diuraikan unsur-unsurnya antara lain :
1. Ada pihak penjual yaitu pengembang dan pihak pembeli;
2. Ada objek barang atau benda yang diperjanjikan yaitu perumahan;
3. Ada penyerahan oleh penjual kepada pembeli yaitu adanya penyerahan
perumahan oleh pengembang kepada konsumen; dan
4. Ada pembayaran uang sebagai harga oleh pembeli kepada penjual yaitu
adanya pembayaran uang sebagai harga oleh konsumen kepada pengembang.
Berdasarkan unsur-unsur perjanjian jual beli perumahan yang dilakukan oleh
pihak pengembang kepada para konsumen yang sebagaimana telah diutarakan
sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan untuk konsumen yang
ekonominya menengah ke atas ataupun menengah ke bawah (RSS) selalu
berhubungan dengan tanah sebagai tempat berdirinya rumah tersebut. Sehingga untuk
9 Ibid.
8
sekarang inijual beli perumahan tersebut identik dengan jual beli tanah, karena rumah
tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan tanah. Menurut Urip
Sutanto sebagai ahli hukum perdata, “pengertian jual beli tanah adalah perbuatan
hukum yang berupa penyerahan Hak Milik (penyerahan tanah untuk selama- lamanya)
oleh penjual kepada pembeli, yang pada saat itu juga pembeli menyerahkan sejumlah
harganya kepada penjual”.10 Berdasarkan pernyataan dari Urip Sutanto tersebut, maka
jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak konsumen
tersebut merupakan suatu perbuatan hukum yang dimaksudkan untuk memindahkan
hak atas tanah perumahan beserta rumahnya dari pemegang hak (penjual atau
pengembang) kepada pihak lain (pembeli atau konsumen) dengan pembayaran
sejumlah uang secara tunai yang telah disepakati oleh kedua belah pihak sebagai
harga kepada penjual.
Peralihan hak atas tanah atau perumahan tersebut yag dilakukan oleh pihak
pengembang kepada konsumen pada kenyataannya adalah menggunakan blangko
Akta Jual Beli. Sementara untuk suatu peralihan hak atas tanah atau perumahan
melalui jual beli adalah merupakan bagian dari kewenangan seorang Pejabat Pembuat
Akta Tanah (selanjutnya disebut PPAT) dan hal ini sesuai dengan Pasal 2 ayat (2)
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah yang menyebutkan bahwa perbuatan hukum sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) adalah sebagai berikut11 :
10 Urip Sutanto, Pendaftaran dan Peralihan Hak Atas Tanah, (Jakarta : Kencana Prenada
Media Group, 2010), hal. 360. 11 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah..
9
1. “Jual beli. 2. Tukar menukar. 3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng). 4. Pembagian hak bersama. 5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik. 6. Pemberian Hak Tanggungan. 7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan”.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Blangko Akta Jual Beli yang
dikeluarkan Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) hanya bisa
dipergunakan oleh pihak PPAT dimana objek peralihan hak atas tanah atau
perumahan melalui jual beli dilangsungkan. PPAT diangkat oleh Pemerintah, dalam
hal ini BPN dengan tugas dan kewenangan tertentu dalam rangka melayani kebutuhan
masyarakat akan akta pemindahan hak atas tanah, akta pembebanan hak atas tanah,
dan akta pemberian kuasa pembebanan hak tanggungan sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan yang berlaku.12 Dalam hal melakukan perbuatan
hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah haruslah di hadapan seorang Notaris
atau PPAT yang bertujuan untuk memperoleh kekuatan pembuktian yang sah dan
dibuatkan dengan Akta Otentik. Khusus untuk tanah-tanah yang bersertifikat jual beli
atau pengalihan hak ini dilakukan di hadapan PPAT, tetapi ada kalanya pelaksanaan
jual beli ini dilakukan di hadapan Notaris yang dinamakan Perjanjian Jual
Beli/Perikatan Jual Beli.13
12 Jimly Asshiddiqie, “Independensi dan Akuntabilitas Pejabat Pembuat Akta Tanah”, Renvoi
03 Juni 2003, hal. 31., dalam : Nelly Sriwahyuni Siregar, “Tin jauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”, (Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008), hal. 2-3.
13 Ibid.
10
Kewenangan PPAT yang selama ini diatur dalam berbagai peraturan
perundang-undangan yaitu memberikan kewenangan kepada PPAT untuk membuat
(to make) akta jual beli perumahan. Hal ini sesuai dengan ketentuan yang diatur
dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang menyatakan bahwa “seorang
PPAT mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik mengenai perbuatan
hukum mengenai hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang terletak
di daerah kerjanya. PPAT berwenang membuat akta jual beli, tukar menukar, akta
pemasukan dalam perusahaan, dan akta pembagian hak bersama mengenai hak atas
tanah dan hak milik atas satuan rumah susun yang menjadi objek perbuatan hukum.
Sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, pembuatan akta PPAT tidak pernah
sekalipun dilimpahkan kepada instansi lain yaitu kepada Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Dalam aturan hukum yang mengatur keberadaan BPN tidak satu pasal pun
yang menegaskan bahwa BPN mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau
PPAT lahir secara atributif atau delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi, dalam
hal ini PPAT lahir sebagai belesregel atau policy rules dari Pemerintah langsung.14
Kewenangan PPAT membuat akta (to make) adalah menciptakan, melakukan,
mengerjakan sendiri akta PPAT, bukan mengisi (to fill) formulir/blanko. Oleh karena
itu, mengisi formulir bukan berarti membuat akta PPAT. Pada kenyataannya, selama
ini PPAT masih mengisi formulir/blanko, maka hal ini membuktikan telah terjadi
kesalahkaprahan dan penyesatan (misleading) dalam memahami dan menerapkan
14 Anita Budiman, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko Akta
Tanah”, (Surabaya : Tesis, Universitas Airlangga), hal. ii.
11
kewenangan PPAT sesuai dengan tataran hukum yang benar. Akta PPAT yang
digunakan sebagai alat bukti bahwa telah terjadi perbuatan hukum tertentu menangani
hak atas tanah dan hak milik atas rumah, bentuk dan jenisnya ditentukan oleh
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah. Pengaturan ini tentunya membawa akibat hukum
terhadap kekuatan pembuktian akta PPAT itu sendiri.15
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah pada Pasal 38 ayat (2) menyebutkan bahwa : “bentuk, isi, dan cara pembuatan
akta-akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) diatur oleh Menteri”. Ketentuan ini
merupakan perubahan dari Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang
Pendaftaran Tanah, bahkan kemudian dipertegas dalam Keputusan Kepala Badan
Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah pada Pasal 53 ayat (1) yang mengatakan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan
mengisi blangko akta yang tersedia secara lengkap sesuai dengan petunjuk
pengisiannya”. PPAT dilahirkan bukanlah untuk mengisi blangko kosong melainkan
membuat Akta Otentik. Hal ini bertentangan dengan kewenangan PPAT itu sendiri.16
Dengan format blangko yang baku tersebut, maka formulir atau blangko yang
telah disediakan tersebut tinggal diisi saja. Memang hal ini menjadikan lebih mudah,
cepat dan memiliki standard keseragaman sedangkan untuk pembuatan dan
15 Ibid. 16 Ev i Novita Tri Setyorini, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan
Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”, (Semarang : Tesis, Universitas Diponegoro, 2005), hal. 21.
12
penerbitan dari blangko akta tersebut dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional
(BPN) Republik Indonesia seperti yang tercantum pada Pasal 51 Keputusan Kepala
Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah bahwa : “Blangko akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya dibeli oleh PPAT, PPAT
Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”.17 Hal tersebut kemudian menjadi
masalah ketika terjadi kelangkaan yang berujung pada kekosongan blangko atau
formulir akta tersebut di Indonesia sampai saat ini. Bahkan beberapa media telah
mengupas hal ini, sebagai berikut18 :
“Forum Kepala Desa dan Lurah Kota Tangerang Selatan, Banten, mendatangi Kantor Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Tangerang mempertanyakan blanko akte jual beli tanah yang kosong selama enam bulan. Sudah enam bulan blanko akte jual beli tanah kosong, sedangkan permintaan saat ini sudah banyak. Bila ketersediaan blanko akta jual beli tanah tidak disediakan secepatnya, maka akan menghambat sistem pelayanan bagi masyarakat. Tak hanya itu saja, kekosongan blanko akta jual beli tanah juga mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah”.
Benar bahwa adanya kekosongan Blangko Akta Jual Beli di Badan
Pertanahan Nasional Republik Indonesia. Hal ini sampai mendera hampir di seluruh
BPN Republik Indonesia baik di daerah, maupun di perkotaan. Begitu juga di BPN
Kota Medan. Kemudian BPN mengeluarkan kebijakan dengan memperbolehkan
17 Ibid., hal. 22. 18 Robert Adhi Kusumaputra, “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam Bulan”,
http://properti.kompas.com/read/2011/05/18/20520289/Astaga.Blanko.Akte.Jual.Beli.Tanah.Kosong.Enam.Bulan., diakses pada 11 Juni 2011. Lihat juga : Tempo Interakt if, “Blangko Akta Tanah Langka, Lurah se-Tangerang Selatan Geruduk BPN”, http://www.tempointerakt if.com/hg/layanan_publik/2011/05/18/brk,20110518-335110,id.html., diakses pada 11 Juni 2011. Lihat juga : Bataviase, “Blangko Akte Jual Tanah Langka”, http://bataviase.co.id/node/662747., diakses pada 11 Jun i 2011.
13
PPAT menggunakan blanko akta yang difotokopi, dilegalisir, dan diberi nomor
registrasi oleh Badan Pertanahan Nasional Wilayah masing-masing daerah
sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko Akta PPAT. Namun kebijakan ini
kemudian menimbulkan perdebatan panjang di kalangan Pejabat Pembuat Akta
Tanah. Perdebatan itu pada intinya dalam hal pembuktian. Perdebatan itu pada intinya
dalam hal pembuktian. Apalagi untuk transaksi jual beli atas tanah yang bernilai
milyaran rupiah, para pihak ragu apabila menggunakan blangko akta tersebut. Bahkan
beberapa praktisi dan akademisi saling berbeda pendapat ketika ada yang berargumen
bahwa PPAT sebenarnya memiliki kewenangan untuk membuat akta pertanahan
tanpa menggunakan blangko akta tersebut.19
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas telah mendorong penulis untuk
mengungkapkannya ke dalam penelitian tesis ini dengan judul : “Tinjauan Yuridis
Penggunaan Blangko Akta Jual Beli Perumahan di Kota Medan”.
B. Rumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang sudah dipaparkan maka rumusan masalah
dalam tulisan ilmiah ini, antara lain :
1. Bagaimana pelaksanaan jual beli perumahan dengan menggunakan blangko
akta jual beli di Kota Medan?
19 Ev i Novita Tri Setyorini, Op.cit., hal. 23.
14
2. Bagaimana keabsahan penggunaan blangko akta jual beli oleh pengembang di
Kota Medan?
3. Bagaimana hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan blangko
akta jual beli oleh pengembang di Kota Medan?
C. Tujuan Penelitian
Bertolak dari rumusan masalah yang sudah dipaparkan sebelumnya maka
tujuan dari penelitian ini, antara lain :
1. Untuk mengetahui pelaksanaan jual beli perumahan oleh pengembang dengan
menggunakan blangko akta jual beli di Kota Medan.
2. Untuk mengetahui keabsahan penggunaan blangko akta jual beli perumahan
oleh pengembang di Kota Medan.
3. Untuk menganalisis hambatan-hambatan yang terjadi pada saat penggunaan
blangko akta jual beli perumahan oleh pengembang di Kota Medan.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang dilakukan ini diharapkan dapat memberi manfaat baik
secara teoritis maupun praktis, yaitu :
1. Secara Teoritis
a. Sebagai bahan informasi bagi para akademisi maupun sebagai bahan
pertimbangan bagi penelitian selanjutnya.
15
b. Memperkaya khasanah kepustakaan dalam hal literatur mengenai
penyertaan modal yang masih sedikit.
2. Secara Praktis
a. Sebagai bahan masukan bagi Badan Pertanahan Nasional dalam
menerapkan peraturan.
b. Sebagai bahan masukan bagi Notaris/PPAT dalam melakukan
perikatan antara Developer dengan Masyarakat sebagai pembeli.
c. Sebagai bahan masukan bagi Developer dalam melakukan penjualan
perumahan.
d. Sebagai bahan masukan bagi Masyarakat dalam melakukan pembelian
perumahan yang dikembangkan oleh Developer.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada dari Perpustakaan Universitas Sumatera
Utara khususnya di lingkungan Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara, penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Penggunaan
Blangko Akta Jual Beli Perumahan di Kota Medan”, belum pernah dilakukan oleh
peneliti lain sebelumnya.
Namun ada penelitian yang menyangkut masalah blangko akta jual beli,
antara lain :
1. Tesis atas nama Chairani Bustami dengan judul ”Aspek-Aspek Hukum yang
Terkait Dalam Akta Perjanjian Jual Beli yang Dibuat Notaris Dalam Kota
16
Medan”, Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Tahun
2002;
2. Tesis atas nama Alvin Hidayat dengan judul ”Aspek Hukum Dalam Perjanjian
Jual Beli Tanah Yang Diperbuat Dihadapan Notaris/PPAT”, Program
Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara pada
tahun 2008. Dibimbing oleh Sudarmiaty, dan M. Siddik;
3. Tesis atas nama Pantas Situmorang dengan judul ”Problematika Keotentikan
Akta PPAT”, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, di Medan
pada tahun 2008. Dibimbing oleh : Bismar Nasution; Muhammad Yamin; dan
Syafnil Gani.
Keduanya tesis di atas memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang
berbeda. Penelitian ini mengkaji mengenai penggunaan blangko akta jual beli
perumahan khususnya masalah yang ditimbulkan dari penggunaan blangko akta jual
beli dan upaya penanggulangannya. Penelitian ini menjunjung tinggi kode etik
penulisan karya ilmiah, oleh karena itu penelitian ini adalah benar keasliannya baik
dilihat dari materi, permasalahan, dan kajian dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah.
F. Kerangka Teoritis dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Suatu penelitian hukum biasanya ada kerangka konsepsional dan landasan
atau kerangka teori yang merupakan suatu hal yang penting. Pada kerangka
17
konsepsional menurut Soeryono Soekanto, “diungkapkan beberapa konsepsi atau
pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum, dan di dalam
landasan/kerangka teoritis diuraikan segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai
sistem atau ajaran”.20
Kerangka teori adalah, “suatu kerangka berfikir lebih lanjut terhadap masalah-
masalah yang diteliti”21. Berbicara tentang teori yang digunakan pada penelitian
penggunaan blangko akta jual beli oleh pengembang di kota Medan adalah
didasarkan pada teori Asas Kebebasan berkontrak yang terdapat dalam Pasal 1338
ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa, “semua perjanjian yang dibuat secara
sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dapat dilihat bahwa ada kata
“semua” dalam kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah”. Kata “semua” menurut
Sutarno, “memberitahukan kepada setiap orang boleh membuat perjanjian yang
syarat dan ketentuan dalam perjanjian ditentukan atau diatur sendiri oleh para pihak
dan perjanjian yang dibuat tersebut mengikat bagi para pihak seperti undang-
undang”.22
Sementara itu untuk kalimat “perjanjian yang dibuat secara sah” mengandung
arti bahwa setiap perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu
perjanjian, sehingga baru dapat dikatakan perjanjian tersebut mengikat bagi para
20 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
(Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal. 6. 21 Ibid. 22 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank , (Bandung : Alfabeta, 2004), hal. 75.
18
pihak yang membuatnya seperti undang-undang. Syarat sah suatu perjanjian
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata, antara lain :
1. Kesepakatan dari mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Fungsi pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.
Kedudukan PPAT termasuk akta-aktanya, bentuk akta dan blangko aktanya
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan kegiatan pendaftaran tanah dan
secara historis embrio kelahiran PPAT dimulai pada tahun 1961 melalui Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Pada waktu itu dikenal
dengan istilah Pejabat yang berwenang membuat Akta (bukan akta otentik) mengenai
perbuatan-perbuatan hukum dengan objek hak atas tanah dan hak jaminan atas
tanah.23
Dalam menjalankan jabatannya PPAT wajib menggunakan blangko akta
(formulir) yang telah dicetak. Secara historis penggunaan blangko diawali dengan
Peraturan Kepala BPN No. 11 Tahun 1961 tentang Bentuk Akta, kemudian setelah
berlaku Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
penggunaan blangko akta diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997
23 Reza Febriantina, “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam Pembuatan
Akta Otentik”, (Semarang : Tesis, Universitas Diponegoro), hal. 28.
19
tentang Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.24
Hal ini menimbulkan persepsi bahwa Badan Pertanahan Nasional terkenal
arogan dalam kebijakan yang dibuat berupa Keputusan Kepala BPN No. 1 Tahun
2006, yang mewajibkan PPAT untuk membeli dan memakai blangko akta PPAT
yang dibuat oleh BPN. Padahal berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PPAT
dalam jabatannya memiliki kewenangan untuk membuat akta sendiri.25
Pengaturan penggunaan formulir- formulir akta (blangko akta) dilatar
belakangi karena pada waktu itu sebagian besar PPAT dijabat oleh Camat yang
karena jabatannya (ex officio) menjalankan sementara Jabatan PPAT, yang sebagian
besar tidak bergelar Sarjana Hukum sehingga untuk memudahkan pelaksanaan
jabatannya itu dibuatlah formulir- formulir akta dan buku petunjuk pengisian formulir
(blangko akta) itu. Blangko yang dibuat oleh BPN adalah yang berkaitan dengan
pertanahan, blangko tersebut berwujud form isian dan PPAT hanya mengisi form
isian tersebut. Blangko tersebut dicetak oleh yayasan yang dimiliki oleh BPN. Hal ini
bertentangan dengan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang
menyebutkan bahwa pendirian Yayasan tidak boleh berbisnis, melainkan untuk
24 Ibid., hal. 29. 25 Ibid., hal. 29-30.
20
kepentingan sosial (nirlaba). Saat ini yayasan tersebut sedang diaudit serta diperiksa
oleh tim Kejaksaan Agung.26
Berdasarkan isi aturan hukum yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana
diuraikan di atas, bahwa kewenangan PPAT yaitu diberi kewenangan membuat Akta
Pejabat Pembuat Akta Tanah otentik. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia bahwa
: ”membuat adalah menciptakan, melakukan, atau mengerjakan”. Dengan demikian
PPAT mempunyai kewenangan untuk menciptakan, membuat, dan mengerjakan akta,
yang berarti mengerjakan, melakukan, dan membuatnya sendiri akta (PPAT) yang
menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal 95 Keputusan Kepala
BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Keputusan Kepala BPN No. 37 Tahun
1998, yaitu akta : Jual Beli; Tukar-Menukar; Hibah; Pemasukan ke dalam perusahaan
(inbreng); pembagian hak bersama; pemberian hak tanggungan; pemberian hak guna
bangunan atas tanah hak milik; pemberian hak pakai atas tanah hak milik; dan surat
kuasa membebankan hak tanggungan.27
Oleh karena itu, bagaimana mungkin PPAT sebagai Pejabat Umum dalam
mengimplementasikan kewenangannya hanya mengisi blangko atau formulir yang
bentuk dan isinya ditentukan oleh BPN, tetapi blangko/formulir tersebut dicetak oleh
pihak lain. Padahal, kewenangan PPAT tersebut bukan berasal dari kewenangan BPN
atau BPN memberikan kewenangannya kepada PPAT. Dalam aturan hukum yang
mengatur kewenangannya kepada BPN, yaitu Keputusan Presiden No. 26 Tahun
26 Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
beta.hukumonline.com/.../ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., d iakses pada 14 Juni 2011.
27 Reza Febriantina, Loc.cit., hal. 30-31.
21
1988 tidak ada satu pasal pun dalam Keppres tersebut yang menegaskan bahwa BPN
mempunyai kewenangan tertentu terhadap PPAT atau PPAT lahir secara atributif
ataupun delegatif dari kewenangan BPN. Akan tetapi dalam hal ini PPAT lahir
sebagai beleidsregel atau policyrules dari Pemerintah langsung. Dengan kata lain,
PPAT bukan lahir dari kewenangan BPN dan juga bukan subordinasi BPN atau
bukan pelimpahan dari kewenangan BPN. Sejak semula dibuat lembaga PPAT
dengan kewenangan yang melekat pada jabatan PPAT, bahwa kewenangan PPAT
tersebut tidak pernah menjadi kewenangan BPN.28
Dengan demikian, sudah saatnya PPAT untuk kembali melakukan
kewenangannya sebagaimana pengertian membuat akta tersebut di atas. Selain itu,
BPN ataupun pihak lainnya agar segera menghentikan kegiatannya melakukan
pencetakan formulir akta-akta PPAT yang hanya meraih dan mengeruk keuntungan
dari kegiatan menjual formulir- formulir akta PPAT, yang telah dilakukannya sejak
keberadaan PPAT tahun 1961.29 Sebagai sarana penting untuk dokumen otentik
perbuatan hukum dalam peralihan hak atas tanah, maka blangko akta tanah
seharusnya selalu tersedia di Kantor PPAT. Namun, para PPAT yang diberi tugas
oleh BPN untuk membuat akta hak atas tanah ini sempat kesulitan karena ketersidaan
akta terganggu menunggu penetapan tata cara pengelolaannya oleh Pemerintah.
Selain daripada teori Asas Kebebasan berkontrak yang telah disebutkan di
atas, maka teori yang juga berhubungan dengan penelitian penggunaan blangko akta
jual beli oleh pengembang di kota Medan tersebut adalah teori tentang akta. Hal
28 Ibid., hal. 32-33. 29 Habib Adjie, Meneropong Khazanah Notaris dan PPAT, (Bandung : Cit ra Aditya Bakt i,
2009), hal. 281. Dalam : Ibid., hal. 33.
22
tersebut dikarenakan bahwa penelitian ini ada hubungannya dengan akta jual beli dan
oleh sebab itu teori tentang akta sesuai dengan penelitian ini.
Menurut R. Subekti dan Tjitrosoebadio yang menyatakan bahwa, “akta
berasal dari bahasa Latin “acta” yang berarti geschrift atau surat dan kata “acta”
merupakan bentuk jamak dari kata “actum” yang berarti perbuatan-perbuatan”.30
Selain itu menurut R. Subekti yang sebagaimana dikutip Sutarno mengatakan bahwa,
“akta diartikan sebagai surat atau tulisan yang sengaja dibuat dan ditandatangani,
memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada suatu hak untuk dijadikan
alat bukti”.31
Sedangkan menurut Pitlo dalam buku yang telah diterjemahkan oleh M. Isa
Arief yang mengartikan akta itu sebagai “suatu surat yang ditandatangani, diperbuat
untuk dipakai sebagai bukti dan dipergunakan oleh orang untuk keperluan siapa surat
itu diperbuat”.32 Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo bahwa : “akta adalah
surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar
daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian”.33
Berdasarkan beberapa pendapat dari ahli hukum tersebut di atas tentang
pengertian akta, maka dapat ditarik beberapa unsur dari pengertian akta tersebut
antara lain :
1. Surat yang sengaja dibuat.
30 R. Subekt i dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramita, 1980), hal. 9. 31 Sutarno, Op.cit., hal. 101. 32 M. Isa Arief, Pembuktian Dan Daluarsa, (Intermasa, 1978), hal 52. 33 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 1985),
hal. 121.
23
2. Diperuntukkan atau dibuat untuk dijadikan sebagai alat bukti tentang suatu
peristiwa.
3. Ditandatangani.
Setelah melihat beberapa pengertian dan unsur-unsur pengertian dari akta
tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tidak semua surat disebut sebagai akta kalau
tidak memenuhi unsur-unsur tersebut. Hal yang sama juga dikatakan oleh Victor
Situmorang yang menyatakan bahwa, “tidaklah semua surat dapat disebut akta,
melainkan hanya surat-surat tertentu yang memenuhi syarat-syarat tertentu pula baru
dapat disebut akta”.34
Berdasarkan pernyataan dari Victor Situmorang di atas maka unsur-unsur dari
akta tersebut, harus memenuhi kriteria bahwa dibuat dengan sengaja dan
ditandatangani yang bertujuan sebagai alat bukti terhadap suatu peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar suatu hak tertentu. Dengan demikian, suatu surat dikatakan
sebagai akta harus dapat menjadi alat bukti dipersidangan.
Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata alat-alat bukti tersebut terdiri atas :
1. Bukti tulisan.
2. Bukti dengan saksi-saksi.
3. Persangkaan-persangkaan.
4. Pengakuan dan sumpah.
34 Victor Situmorang, Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, (Jakarta : Sinar Grafika,
1996), hal. 52.
24
Sebagaimana yang disebut dalam Pasal 1866 KUHPerdata di atas, maka akta
merupakan alat bukti tulisan. Pembuktian dengan tulisan tersebut menurut Pasal 1867
KUHPerdata adalah, “pembuktian dengan tulisan dilakukan dengan tulisan-tulisan
otentik maupun dengan tulisan-tulisan di bawah tangan”, dan hal yang sama juga
disebutkan oleh Sutarno yang mengatakan bahwa35 : “ada dua bentuk akta yaitu :
Akta Otentik; dan Akta di Bawah Tangan”.
Mengenai akta otentik tersebut diatur dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa, “suatu akta otentik ialah akta yang di dalam bentuk yang
ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh atau di hadapan pegawai-pegawai umum
yang berkuasa untuk itu di tempat di mana akta dibuatnya”. Sedangkan menurut
Sudikno Mertokusumo yang mengatakan bahwa36 : “suatu akta otentik adalah akta
yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh penguasa, menurut
ketentuan-ketentuan yang ditetapkan, baik dengan maupun tanpa bantuan dari yang
berkepentingan, yang mencatat apa yang dimintakan untuk dimuat di dalamnya oleh
yang berkepentingan”.
Berdasarkan pengertian dari akta otentik yang disebutkan dalam Pasal 1868
KUHPerdata dan definisi akta otentik menurut Sudikno Mertokusumo, maka yang
disebut akta otentik apabila memenuhi syarat-syarat antara lain :
1. Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat di hadapan pegawai-pegawai
umum yang ditunjuk oleh undang-undang.
35 Sutarno, Op.cit., hal. 101. 36 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124.
25
2. Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuatnya akta harus
menurut ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang.
3. Di tempat di mana pejabat berwenang membuat akta tersebut.
Sebagaimana pernyataan yang telah disebutkan di atas tentang akta otentik,
bahwa akta otentik dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang berwenang yang disebut
pejabat umum, namun apabila yang membuatnya pejabat yang tidak cakap atau tidak
berwenang ataupun bentuknya cacad maka menurut M. Yahya Harahap “akta tersebut
tidak sah atau tidak memenuhi syarat formil akta otentik oleh karena itu tidak dapat
diperlakukan sebagai akta otentik, namun akta demikian mempunyai nilai kekuatan
sebagai akta di bawah tangan dengan syarat apabila akta itu ditandatangani oleh para
pihak”.37
Pernyataan M. Yahya Harahap tersebut sama halnya seperti yang disebutkan
dalam Pasal 1869 KUHPerdata yaitu bahwa, “suatu akta yang karena tidak kuasa atau
tidak cakapnya pegawai termaksud di atas, atau karena suatu cacad dalam bentuknya,
tidak dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan
sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”.
Sebagaimana yang telah disebutkan oleh M. Yahya Harahap dan Pasal 1869
KUHPerdata di atas, maka dapat dikatakan bahwa otentik tidaknya suatu akta
tidaklah cukup apabila akta itu dibuat oleh atau di hadapan pejabat saja, akan tetapi
caranya membuat akta otentik itu haruslah menurut ketentuan yang ditetapkan oleh
undang-undang. Selain itu, suatu akta yang dibuat oleh seorang pejabat tanpa
37 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 566.
26
wewenang dan tanpa ada kemampuan untuk membuatnya atau tidak memenuhi
syarat, tidaklah dapat dianggap sebagai akta otentik, tetapi hanya mempunyai
kekuatan sebagai akta di bawah tangan jika ditandatangani oleh pihak-pihak yang
bersangkutan dengan akta tersebut.
Sementara itu, Pejabat yang dimaksud dalam KUHPerdata sebagaimana
disebutkan di atas antara lain “Notaris, Panitera, Jurusita, Pegawai Catatan Sipil,
Hakim dan sebagainya”.38 Sedangkan menurut Sutarno tentang pejabat yang
dimaksud dalam KUHPerdata tersebut juga tidak jauh berbeda yaitu, “Notaris,
Hakim, Juru Sita pada Pengadilan, Pegawai Catatan Sipil dan dalam
perkembangannya seorang Camat karena jabatannya sebagai Pejabat Pembuat Akta
Camat (selanjutnya disebut PPAT)”.39 Dengan demikian sebagaimana yang
disebutkan oleh Sudikno Mertokusumo dan Sutarno, maka dapat dikatakan bahwa
suatu Akta Notaris, Putusan ataupun Penetapan Hakim, Berita Acara yang dibuat oleh
juru sita Pengadilan atau Panitera Pengadilan, Akta Perkawinan yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil/Kantor Urusan Agama, Akta Kelahiran yang dibuat oleh
Pegawai Catatan Sipil, Akta-Akta yang dibuat oleh PPAT seperti akta jual beli
tanah/rumah merupakan akta-akta otentik.
M. Yahya Harahap sebagai ahli hukum perdata mengatakan bahwa, “pada
umumnya akta otentik yang menyangkut bidang perdata dibuat oleh Notaris”.40 Dan
hal ini ditegaskan lagi dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN) yang menyatakan bahwa,
38 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 124. 39 Sutarno, Op.cit., hal. 102. 40 M.Yahya Harahap, Op.cit., hal. 573.
27
“Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan
kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Akan tetapi
dalam Pasal 1868 KUHPerdata tentang akta otentik, hanya menerangkan tentang
yang dinamakan akta otentik, sedangkan tentang pejabat umum dalam pasal tersebut
tidak diberikan penjelasan ataupun pengertian sedikitpun. Namun dalam pasal-pasal
yang lain dalam KUHPerdata maupun dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-
ketentuan lain ditegaskan adanya pejabat lain yang diberi tugas atau wewenang untuk
membuat akta otentik.
Menurut Ahmad Sanusi, ada pejabat lain yang ditugaskan dapat membuat
akta-akta otentik berdasarkan pasal-pasal yang lain dalam KUHPerdata maupun
dalam peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan lainnya yang dikecualikan dari
kewenangan dari Notaris antara lain41 :
1. “Akta Catatan Sipil yang dikeluarkan oleh Dinas Kependudukan berdasarkan Pasal 4 KUHPerdata.
2. Akta yang dibuat oleh PPAT berdasarkan Pasal 6 ayat (2) dan Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah juncto Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akte Tanah.
3. Akta wasiat dalam daerah pertempuran yang dibuat di hadapan perwira minimal berpangkat letnan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi, berdasarkan Pasal 946 KUHPerdata.
4. Kapten Kapal atau Nahkoda atau Mua’lim boleh membuat akta wasiat bagi penumpang yang sedang menghadapi kematiaan dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi berdasarkan Pasal 947 KUHPerdata.
5. Bila terjadi penyakit menular di suatu tempat dan orang luar tidak boleh masuk, Notaris tidak ada, Pegawai Umum (Bupati atau Camat) boleh membuat surat wasiat dengan dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi berdasarkan Pasal 948 ayat (1) KUHPerdata, demikian juga apabila terjadi gempa bumi, sakit atau kecelakaan yang mengakibatkan kematian, pemberontakan atau bencana alam lainnya yang hebat dalam keadaan yang sungguh-sungguh
41 Ahmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, (Bandung :
Tarsito, 1999), hal. 89.
28
terancam kematian, sedangkan dalam jarak 9 (sembilan) kilometer disekitar itu tidak ada Notaris”.
Namun demikian menurut Victor Situmorang, ada beberapa akta yang
menjadi kewenangan Notaris bersama-sama dengan pejabat lain untuk membuatnya,
yaitu42 :
1. “Akta pengangkatan anak di luar kawin berdasarkan Pasal 281 KUHPerdata. 2. Berita acara tentang kelalaian pejabat penyimpan hipotik berdasarkan Pasal
1227 KUHPerdata. 3. Berita acara tentang penawaran pembayaran tunai dan konsinyasi berdasarkan
Pasal 1405 dan Pasal 1406 KUHPerdata. 4. Akta protes wessel dan cek berdasarkan Pasal 143 KUHPerdata”.
Kekosongan formulir Akta PPAT tersebut dimanfaatkan oleh Kantor Wilayah
BPN, yaitu dengan menentukan dan mewajibkan formulir akta PPAT tersebut
difotocopy dan fotocopynya harus diketahui/dilegalisasi oleh salah satu Kepala Seksi
pada Kanwil BPN tersebut.43 Tentunya legalisasi tersebut tidak gratis, setidaknya
harus ada biaya yang sama dengan biaya membeli formulir akta PPAT di kantor pos
setempat. Sudah tentu hal ini menyuburkan pungutan liar (transaction cost)44 dan
penyalahgunaan wewenang oleh BPN, dalam arti tidak ada aturan hukum yang
bersumber dari kewenangan BPN untuk melegalisasi fotokopi akta PPAT tersebut.45
42 Victor Situmorang, Op.cit., hal. 34-35. 43 Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tentang Blanko Akta PPAT, tertanggal 13 Juli
2003, yang menyatakan bahwa : “apabila d i daerah Saudara terdapat kelangkaan blanko akta PPAT tertentu agar Saudara segera menerbitkan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Penggunaannya dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas setiap halaman”.
44 Pungutan Liar atau Transaction Cost adalah biaya keluar yang disebabkan oleh peraturan tertentu yang berbelit-belit birokrasinya. Biaya ini hanya menambah pengeluaran dari PPAT untuk pengurusan sertifikat tanah. Transaction Cost tidak harus dikeluarkan karena tidak ada peraturan sebagai dasar pengutipannya.
45 Habib Adjie dalam Reza Febriantina, Op.cit., hal. 34.
29
2. Kerangka Konsep
Konsepsi adalah, “salah satu bagian terpenting dari teori. Peranan konsepsi
dalam penelitian adalah untuk menghubungkan teori dan observasi, antara abstrak
dan kenyataan, sedangkan konsep diartikan sebagai kata yang menyatukan abstrasi
yang disebut definisi operasional”.46 Kegunaan dari adanya konsepsi agar ada
pegangan dalam melakukan penelitian atau penguraian, sehingga dengan demikian
memudahkan bagi orang lain untuk memahami batasan-batasan atau pengertian-
pengertian yang dikemukakan. Oleh karena itu, di dalam penelitian ini dikemukakan
beberapa konsep dasar sebagai berikut :
1. Notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang No.
30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;47
2. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat Pemerintah yang
ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT;48
3. Akta adalah surat yang diberi tandatangan, yang memuat peristiwa-peristiwa
yang menjadi dasar daripada suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak
semula dengan sengaja untuk pembuktian;49
46 Samadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998),
hal. 28. 47 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. 48 Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah. 49 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
30
4. Akta PPAT adalah akta tanah yang diuat oleh PPAT sebagai bukti telah
dilaksanakan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun;50
5. Blangko Akta Jual Beli Perumahan adalah formulir kosong (belum diisi) yang
didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat;
6. Fotocopy Blangko Akta Jual Beli Perumahan adalah rekaman formulir kosong
Blangko Akta Jual Beli yang didapat dari Kantor Wilayah BPN setempat;51
7. Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan
dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk
membayar harga yang telah dijanjikan;52
8. Rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian
dan sarana pembinaan keluarga;53
9. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan
tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan
sarana lingkungan;54
10. Massal adalah mengikut sertakan atau melibatkan orang banyak;55
11. Pengembang adalah orang atau perusahaan (badan hukum – legal entity) yang
melakukan pembangunan untuk perumahan.56
50 Pasal 1 angka 4, Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah. 51 Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blanko Akta PPAT. 52 Pasal 1457, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. 53 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 54 Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman. 55 Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), hal. 562. 56 Ibid., hal. 414.
31
G. Metode Penelitian
Kegiatan penelitian merupakan sarana ilmu pengetahuan dan teknologi. Hasil-
hasil yang dicapai dan berguna bagi kehidupan manusia dimulai dari kegiatan
penelitian bahkan menjadi tradisi yang berlaku dalam pergaulan masyarakat ilmiah.
Pengetahuan dan teknologi diperoleh saat ini dipastikan melalui kegiatan penelitian
termasuk ilmu-ilmu sosial yang di dalamnya termasuk ilmu hukum.57
Penelitian mengandung metode atau cara yang harus dilalui sebagai syarat
dalam penelitian. Metode dilaksanakan pada setiap kegiatan penelitian didasarkan
pada cakupan ilmu pengetahuan yang mendasari kegiatan penelitian. Meskipun
masing-masing terdapat karakteristik metode yang digunakan pada setiap kegiatan
penelitian, akan tetapi terdapat prinsip-prinsip umum yang harus dipahami oleh
semua peneliti seperti pemahaman yang sama terhadap validitas dari hasil capaian
termasuk penerapan prinsip-prinsip kejujuran ilmiah.58 Kejujuran ilmiah adalah kode
etik penulisan karya tulis ilmiah, yaitu :
1. Menjunjung tinggi posisi terhormat penulis sebagai orang terpelajar, kebenaran hakiki informasi yang disebarluaskan dan tidak menyesatkan orang lain;
2. Tidak menyulitkan pembaca dengan tulisan yang dibuat; 3. Memperhatikan kepentingan penerbit penyandang dana penerbitan dengan
cara mempadatkan tulisan agar biaya pencetakan bisa ditekan; 4. Memiliki kesadaran akan perlunya bantuan penyunting sebagai jembatan
penghubung dengan pembaca; 5. Teliti, cermat, mengikuti petunjuk penyunting mengenai format dan
sebagainya; 6. Tanggap dan mengikuti usul/saran penyunting; 7. Bersikap jujur mutlak diterapkan kepada diri sendiri dan umum dengan tidak
menutupi kelemahan diri;
57 Muhamad Muhdar, “Bahan Kuliah Metode Penelit ian Hukum : Sub Pokok Bahasan
Penulisan Hukum”, (Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010), hal. 2. 58 Ibid.
32
8. Menjunjung tinggi hak, pendapat, temuan orang lain dengan cara tidak mengambil ide orang lain diakui sebagai ide/gagasan sendiri;
9. Mengakui hak cipta/Hak Kekayaan Intelektual dengan cara tidak melakukan plagiat atas tulisan sendiri dan orang lain. 59
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan
pendekatan juridis normatif.60 Dengan demikian objek penelitian adalah norma
hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum dibuat dan ditetapkan oleh
pemerintah dalam sejumlah peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang
terkait secara langsung dengan blangko akta jual beli perumahan yang dikeluarkan
oleh Badan Pertanahan Nasional.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif dengan
menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statute approach) dalam
menggunakan pengkajian terhadap penggunaan blangko akta jual beli perumahan di
Kota Medan. Pendekatan tersebut berkaitan dengan pendekatan dilakukan dengan
menggunakan teori hukum murni yang berupaya membatasi pengertian hukum pada
bidang-bidang hukum saja, bukan karena hukum itu mengabaikan atau memungkiri
pengertian-pengertian yang berkaitan, melainkan karena pendekatan seperti ini
menghindari pencampuradukan berbagai disiplin ilmu yang berlainan metodologi
59 Etika Penulisan Ilmiah, (DITJEN DIKTI : Lokakarya Pelatihan Penulisan Artikel Ilmiah
yang diselenggarakan DP2M), hal. 2-6., seperti yang diringkas/disarikan oleh M. A. Rifai., dalam Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20et ik).ppt., 2007, diakses pada 11 Juni 2011.
60 Adapun tahap-tahap dalam analisis yuridis normat if adalah : merumuskan azas-azas hukum dari data hukum positif tertulis; merumuskan pengertian-pengertian hukum; pembentukan standar-standar hukum; dan perumusan kaidah-kaidah hukum. Sumber : Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Rajawali Press, 2010), hal. 166-167.
33
(sinkretisme metodologi) yang mengaburkan esensi ilmu hukum dan meniadakan
batas-batas yang ditetapkan pada hukum itu oleh sifat pokok bahasannya.61
Sifat penelitian adalah penelitian deskriptif yang ditujukan untuk
menggambarkan secara tepat, akurat, dan sistematis gejala-gejala hukum terkait
dengan studi terhadap penggunaan blangko akta jual beli di Kota Medan.
2. Sumber Bahan Hukum
Penelitian hukum normatif yang menitikberatkan pada penelitian kepustakaan
dan berdasarkan pada data sekunder, maka sumber bahan hukum yang dapat
digunakan dapat dibagi ke dalam beberapa kelompok, yaitu :
1. Bahan hukum primer, meliputi seluruh peraturan perundang-undangan yang
relevan dengan permasalahan dan tujuan penelitian, antara lain :
a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek);62
b. Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel);63
c. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria;64
d. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan
Permukiman;65
61 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan
oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga, (Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007).
62 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23. 63 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23. 64 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
34
e. Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan;66
f. Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan;67
g. Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris;68
h. Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;69
i. Peraturan Pemeirntah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
Pejabat Pembuat Akta Tanah;70
j. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.
24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
k. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.
1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.
37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.
2. Bahan hukum sekunder digunakan untuk membantu memahami berbagai
konsep hukum dalam bahan hukum primer, analisis bahan hukum primer
dibantu oleh bahan hukum sekunder yang diperoleh dari berbagai sumber baik
65 Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669. 66 Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632. 67 Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688.
68 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
69 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
70 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746.
35
jurnal, buku-buku, berita, dan ulasan media, dan sumber-sumber lain yang
relevan seperti :
a. Keputusan Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik
Atas Tanah Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana
(RS);
b. Keputusan Kepala BPN No. 15 Tahun 1997 tentang Perubahan Keputusan
Kepala BPN No. 9 Tahun 1997 tentang Pemberian Hak Milik Atas Tanah
Untuk Rumah Sangat Sederhana (RSS) dan Rumah Sederhana (RS);
c. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang
Blangko Akta PPAT.
3. Bahan hukum tertier diperlukan dipergunakan untuk berbagai hal dalam hal
penjelasan makna-makna kata dari bahan hukum sekunder dan bahan hukum
primer, seperti :
a. Kamus Besar Bahasa Indonesia;
b. Black’s Law Dictionary.71
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data adalah menggunakan tekhnik studi kepustakaan
(library research) dan studi dokumen yang dipandang relevan. Instrumen yang
digunakan ada 2 (dua) hal yaitu : a. Kepustakaan; dan b. Pengumpulan Data melalui
Badan Pertanahan Nasional Kota Medan dengan cara wawancara. Wawancara
dilakukan sebagai alat pengumpulan data penunjang selain bahan hukum yang
71 Richard A. Garner, Editor, Black’s Law Dictionary, Ed isi Kedelapan, (West Group, 2004).
36
dikumpulkan melalui perpustakaan. Wawancara dilakukan dengan para Staff dan
Karyawan Badan Pertanahan Nasional di Medan.
Pengumpulan data akan dapat dilakukan dengan baik, jika tahap sebelumnya
sudah dilakukan persiapan secara matang. Sebelum melakukan pengumpulan data ke
lapangan, maka hal-hal yang perlu dipersiapkan atau disediakan adalah72 :
“Surat izin untuk melakukan penelitian, pedoman untuk melakukan wawancara dengan pihak responden atau informan, alat tulis menulis dan lain-lain yang dianggap penting dalam melakukan suatu penelitian di lapangan untuk memperoleh data yang diinginkan”.
Metode wawancara yang digunakan adalah in-dept interview atau wawancara
mendalam,73 sedangkan teknik sampel yang digunakan adalah sampling purposive.
Dalam sampling purposive,74 pemilihan sekelompok subjek atas ciri-ciri atau sifat-
sifat tertentu yang dipandang mempunyai sangkut paut yang erat dengan ciri-ciri atau
sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Keuntungan menggunakan
metode ini adalah dapat meminimalkan biaya penelitian. Responden yang dipilih
adalah yang terlibat langsung dalam penggunaan blangko akta jual beli yaitu
72 Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Pratek , (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal.
49. 73 Wawancara mendalam secara umum adalah proses mempero leh keterangan untuk tujuan
penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam kehidupan informan. Sepert i yang dikemukakan o leh Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, (Jakarta : Kencana, 2009), hal. 108.
74 Berkenaan dengan tujuan penelitian kualitatif, maka dalam prosedur sampling yang terpenting adalah informan yang diwawancarai haruslah sarat akan informasi yang berkaitan dengan bahasan penelitian. Sampling purposive adalah unsur-unsur yang ditelit i masuk ke dalam sampel yang dituju dalam hal in i adalah para Staff/Pegawai dan Karyawan Badan Pertanahan Nasional karena merupakan informan yang tepat untuk diwawancarai berkaitan dengan penggunaan blanko akta jual beli perumahan. Seperti yang dikemukakan o leh Satjipto Rahard jo, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 196.
37
masyarakat yang berada di wilayah kantor Badan Pertanahan Nasional yang sedang
melakukan pengajuan permohonan.
4. Analisis Data
Data-data tersebut di atas berupa bahan-bahan hukum dianalisis dengan
menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif. Dilihat dari tujuan analisis, maka
ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis data kualitatif, yaitu : 1) Menganalisis
proses berlangsungnya suatu fenomena sosial dan memperoleh suatu gambaran yang
tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik
informasi, data, dan proses suatu fenomena.75
Analisis dilakukan secara holistik76 dan integral untuk menemukan hubungan
logis antara berbagai konsep hukum yang sudah ditemukan dengan menggunakan
kerangka teoritis yang relevan. Dalam hal ini yang akan diuji hubungan logisnya
antara lain meliputi penggunaan blangko akta jual beli, peran notaris dalam
mengakomodir penggunaan blangko akta jual beli, penyediaan blangko akta jual beli
oleh Badan Pertanahan Nasional, perlindungan hukum terhadap konsumen, dan lain-
lain yang ditemukan dalam penelitian.
Melalui pendekatan holistik dalam ilmu hukum, maka ilmu hukum dapat
menjalankan perkembangannya sebagai suatu ilmu pengetahuan yang lebih utuh dan
tidak terintegrasi ke dalam ilmu-ilmu lain yang nantinya akan berakibat bagi
75 Burhan Bungin, Op.cit., hal. 153. 76 Menurut Dilthey, holistik adalah hubungan melingkar antara part (bagian) dan whole
(keseluruhan) sebagai perputaran antara bagian dan keseluruhan dalam memahami sesuatu. Bagian yang satu dapat dipahami apabila direlasikan dengan bagian yang lain sehingga membentuk totalitas atau keseluruhan. Dalam : Yusran Darmawan, ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 11 Juni 2011.
38
perkembangan ilmu hukum itu sendiri, oleh sebab itu paradigma tersebut tentunya
akan mengubah peta hukum dan pembelajaran hukum selama ini memandu kita
dalam setiap kajian-kajian ilmu hukum yang lebih baik dalam prinsip keilmuan.77
Pendekatan secara integral maksudnya adalah suatu konsep yang meliputi seluruh
bagian dari penggunaan blangko akta jual beli perumahan di Kota Medan agar
menjadikan sebuah penelitian itu lengkap dan sempurna.78
Penarikan kesimpulan dilakukan dengan menggunakan logika berfikir
deduktif – induktif yaitu dilakukan dengan teori yang digunakan dijadikan sebagai
titik tolak untuk melakukan penelitian. Deduktif artinya menggunakan teori sebagai
alat, ukuran dan bahkan instrumen untuk membangun hipotesis, sehingga secara tidak
langsung akan menggunakan teori sebagai “kacamata kuda”-nya dalam melihat
masalah dalam penggunaan blangko akta jual beli perumahan di Kota Medan.
Teorisasi induktif adalah menggunakan data sebagai awal pijakan melakukan
penelitian, bahkan dalam format induktif tidak mengenal teorisasi sama sekali artinya
teori dan teorisasi bukan hal yang penting untuk dilakukan.79
Maka deduktif – induktif adalah penarikan kesimpulan didasarkan pada teori
yang digunakan pada awal penelitian dan data-data yang didapat sebagai tunjangan
pembuktian teori tersebut apakah80 :
77 Satjipto Rahardjo, “Pendekatan Holistik Terhadap Hukum”, (Jurnal Progresif, Vol. 1 No.
2), hal. 5, dalam Ronny Junaidy K., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif-ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 11 Juni 2011.
78 Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 11 Juni 2011.
79 Burhan Bungin, Op.cit., hal. 26. 80 Ibid., hal. 27-29.
39
1. Hasil-hasil penelitian ternyata mendukung teori tersebut sehingga hasil
penelitian dapat memperkuat teori yang ada;
2. Apakah teori dalam posisi dapat dikritik karena telah mengalami perubahan-
perubahan disebabkan karena waktu yang berbeda, lingkungan yang berbeda,
atau fenomena yang telah berubah, untuk itu perlu dikritik dan direvisi teori
yang digunakan tadi; dan
3. Apakah membantah teori yang digunakan untuk penelitian berdasarkan hasil
penelitian, maka semua aspek teori tidak dapat dipertahankan karena waktu,
lingkungan, dan fenomena yang berbeda, dengan demikian teori tidak dapat
dipertahankan atau direvisi lagi, karena itu teori tersebut harus ditolak
kebenarannya dengan menggunakan teori baru.
40
BAB II
PELAKSANAAN JUAL BELI PERUMAHAN DENGAN MENGGUNAKAN BLANGKO AKTA JUAL BELI DI KOTA MEDAN
A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
Hidup bermasyarakat mengandung arti bahwa, manusia atau setiap individu
saling ketergantungan dengan manusia atau individu lainnya. Hal tersebut tercermin
dari berbagai aktifitas yang dilakukan seperti tukar menukar, pinjam meminjam, jual
beli terhadap barang atau jasa dan sebagainya. Semua aktifitas tersebut akan menjadi
dasar lahirnya suatu perjanjian, karena adanya perikatan untuk saling mengikatkan
diri satu sama lainnya bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Menurut Subekti dalam
bukunya Hukum Perjanjian mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari, istilah
kontrak dipakai ketika seseorang ingin menyewa rumah, tempat usaha, atau bekerja di
sebuah perusahaan swasta. Dalam arti lebih sempit, istilah kontrak pemakaiannya
ditujukan kepada perjanjian atau persetujuan yang tertulis.81
Contohnya dapat dilihat pada perjanjian jual beli, perjanjian kerjasama,
perjanjian pemborongan pekerjaan, perjanjian utang-piutang, dan lain sebagainya.
Bila seorang kontraktor akan menerima pekerjaan merenovasi sebuah rumah maka
kontraktor tersebut membuat perjanjian pemborongan pekerjaan dengan pemilik
rumah. Dalam pengertian sederhana, perjanjian/kontrak adalah kesepakatan antara
dua orang atau lebih tentang sesuatu hal, baik dibuat secara tertulis atau lisan. Para
81 Yunirman Rijan dan Ira Koesoemawat i, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian/Kontrak
dan Surat Penting Lainnya, Cetakan Pertama, (Jakarta : Raih Asa Sukses, 2009), hal. 5.
41
pihak yang membuat perjanjian/kontrak. Kini, semua perjanjian/kontrak dibuat dalam
bentuk tertulis dengan maksud untuk memudahkan pembuktian di kemudian hari.82
1. Perjanjian Merupakan Sumber Perikatan
Perjanjian yang ditandatangani oleh para pihak merupakan sumber perikatan
dan mengikat kedua belah pihak atau yang menandatanganinya sejak tanggal
ditandatanganinya perjanjian tersebut. Perjanjian yang dibahas dalam penelitian ini
adalah yang dimaksudkan dalam Buku III KUHPerdata. Di dalam KUHPerdata
ditulis mengenai rumusan tentang perikatan yaitu pada Pasal 1233 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa : “tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan maupun
karena undang-undang”. Berdasarkan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa perikatan
itu terjadi dikarenakan oleh suatu persetujuan antara kedua belah pihak ataupun oleh
beberapa pihak. Perikatan itu dapat juga terjadi bukan atas kemauan sendiri tetapi
karena dilahirkan oleh undang-undang.83
Kata “Perikatan” (verbintenis) mempunyai arti lebih luas dari pada
“Perjanjian”. Menurut R. Subekti84 :
”Buku III BW berjudul Perihal Perikatan, perikatan (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”, sebab dalam buku III itu diatur juga perihal hubungan hukum yang sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perihal perikatan yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan
82 Ibid. 83 Samuel M.P. Hutabarat, Penawaran dan Peneerimaan Dalam Hukum Perjanjian, (Jakarta :
Grasindo, Tanpa Tahun), hal. 24. Lihat juga H.F. Vollmar, Inleiding tot de studie van het Nederlands Burgelijk Recht (1), mengatakan bahwa : “ditinjau dari isinya ternyata bahwa perikatan itu ada selama seseorang itu (debitor) harus melakukan suatu prestasi yang mungkin dapat dipaksakan terhadap kreditor kalau perlu dengan bantuan hukum”.
84 R. Subekt i, Op.cit., hal. 122-123.
24
42
persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari Buku III ditujukan pada perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan perikatan oleh Buku III BW itu adalah suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang yang memberi hak. Satu orang untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu. Buku II mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak-hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi objek juga suatu benda. Oleh karena sifat hukum yang memuat dalam Buku III itu selalu berupa suatu tuntut menuntut, maka isi Buku III itu juga dinamakan hukum perhutangan. Pihak yang berhak menuntut dinamakan pihak yang berpiutang atau krebitur, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau debitur. Adapun barang sesuatu yang dapat dituntut dinamakan prestasi, yang menurut undang-undang dapat berupa :
1. Menyerahkan suatu barang. 2. Melakukan suatu perbuatan. 3. Tidak melakukan suatu perbuatan”.
Buku III KUHPerdata tidak ada memberikan suatu defenisi dari perikatan.
Namun ada beberapa ahli hukum memberikan defenisi tentang perikatan. Menurut
Mariam Darus Badrulzaman, “perikatan adalah hubungan yang terjadi di atara dua
orang atau lebih yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan, dimana
pihak yang satu berhak atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi
itu”.85 Sementara itu, J. Satrio menyatakan bahwa86 :
“Mengenai istilah verbintenis terjemahannya dalam Bahasa Indonesia masih belum ada kesatuan pendapat. Ada yang menggunakan istilah “perutangan”, ada yang menggunakan istilah “perikatan”, ada yang menggunakan kedua istilah tersebut bersama-sama, malahan ada yang mengusulkan istilah “perjanjian” untuk mengganti verbintenis, sekalipun diberikan arti yang luas, meliputi juga yang muncul dari hukum Adat dan segi lain lebih sempit dari verbintenis yang selama ini dikenal, karena tidak meliputi yang lahir dari
85 Mariam Darus Badrulzaman, KUHPerdata Buku ke III Hukum Perikatan Dengan
Penjelasan, (Jakarta : Alumni, 1998), hal. 1. 86 J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, (Bandung : Alumni, 1993), hal. 1.
43
undang-undang saja (uit de wet allen) dan yang lahir dari onrechtmatigedaad”.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah disebutkan di atas, maka hal tersebut
memberikan kejelasan bahwa suatu perjanjian yang dibuat itu telah menimbulkan
perikatan bagi pihak-pihak yang membuatnya dan hak serta kewajiban dengan
sendirinya harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, seperti halnya jual beli
perumahan oleh pengembang atau developer, di mana pihak pengembang atau
developer menjual perumahannya kepada para konsumen yang membeli perumahan
tersebut. Para konsumen sebagai pembeli membayar harga rumah sesuai dengan
kesepakatan berdasarkan perjanjian jual beli yang telah ditandatangani oleh para
pihak.
2. Asas-Asas Hukum Perjanjian
Jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada para konsumen
merupakan perjanjian jual beli perumahan yang menggunakan blangko akta jual beli.
Blangko akta jual beli harus memuat asas-asas untuk keabsahan suatu perjanjian yang
benar karena untuk pembuatan perjanjian jual beli perumahan tersebut oleh
pengembang harus sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Di samping itu beberapa ahli
hukum telah memberikan penjelasan-penjelasan hakikat dari suatu perjanjian dan
untuk lebih mendalami hal tersebut maka di bawah ini akan dibahas asas-asas yang
harus termuat dalam suatu perjanjian.
44
Menurut Mariam Darus Badrulzaman, dalam hukum perjanjian terdapat
beberapa asas, antara lain87 :
1. “Asas kebebasan mengadakan perjanjian (partij otonomi). Asas ini biasa disebut juga dengan asas kebebasan berkontrak. Dalam Pasal 1320 ayat (1) KHUPerdata disebutkan bahwa, “para pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya”. Hal ini terlihat bahwa masing-masing pihak ada kemauan secara sukarela untuk saling mengikatkan diri pada suatu kondisi yang dikehendaki bersama.
2. Asas konsensualisme. Asas ini terdapat dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan
Pasal 1338 KUHPerdata. Dinyatakan dalam pasal-pasal tersebut bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk menyatakan keinginannya dalam suatu perjanjian.
3. Asas kepercayaan (vertrouwensbeginsel). Asas ini menyatakan bahwa dengan
mengadakan perjanjian maka masing-masing pihak akan memegang janjinya, dengan demikian akan tumbuh atau muncul kepercayaan antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, sehingga masing-masing pihak akan memberikan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati bersama.
4. Asas kekuatan mengikat. Asas ini menyatakan bahwa dalam suatu perjanjian
terkandung makna asas kekuatan mengikat, karena masing-masing pihak yang berjanji terikat untuk melakukan yang telah diperjanjikan, namun tidak semata-mata terbatas pada apa yang telah diperjanjikan, tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang hal tersebut dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral.
5. Asas persamaan hukum. Asas ini menyatakan bahwa masing-masing pihak
mempunyai kedudukan dan persamaan derajat tanpa dibedakan satu dengan yang lainnya oleh karena perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan dan lain- lain. Masing-masing menghormati perbedaan ini sebagai ciptaan Tuhan.
6. Asas keseimbangan. Pelaksanaan daripada perjanjian tersebut adalah menjadi
kehendak dari kedua belah pihak yang berjanji. Asas ini juga merupakan kelanjutan dari asas persamaan hukum. Seorang kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut perluasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur juga harus memikul beban untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan itikad baik. Kedudukan kreditur yang lebih kuat diimbangi dengan kewajiban untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.
87 Mariam Darus Badrulzaman, Loc.cit., hal. 108-115.
45
7. Asas kepastian hukum. Perjanjian mempunyai kekuatan mengikat bagi kedua
belah pihak karena perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan oleh karenanya perjanjian tersebut mempunyai kepastian hukum.
8. Asas moral. Asas ini terlihat dalam perikatan yang wajar, dimana suatu
perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontra prestasi dari pihak debitur. Juga hal ini terlihat di dalam zaakwaarneming, dimana seseorang yang melakukan suatu perbuatan secara sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya, juga asas ini terdapat dalam Pasal 1339 KUHPerdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan untuk melakukan perbuatan hukum tersebut berdasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.
9. Asas kepatutan. Dalam Pasal 1339 KUHPerdata, asas ini berkaitan dengan
ketentuan-ketentuan yang dibuat di dalam perjanjian tersebut. Hal ini yang menjadi ukuran tentang hubungan dan rasa keadilan yang satu dengan yang lainnya.
10. Asas kebiasaan. Asas ini diatur dalam Pasal 1339 jo Pasal 1347 KUHPerdata
yang dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang dalam keadaan dan kebiasaan yang lazin diikuti”.
Berdasarkan uraian yang telah disebutkan di atas mengenai asas-asas yang
terdapat dalam suatu perjanjian, maka jual beli perumahan oleh pengembang kepada
para konsumen dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli diharapkan dapat
memenuhi beberapa asas tersebut.
3. Jenis-Jenis Perjanjian
Penelitian ini juga membahas mengenai jenis-jenis perjanjian pada umumnya,
sehingga dari hal tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan blangko akta jual beli
oleh pengembang tersebut termasuk dalam suatu jenis perjanjian apa yang akan
46
diutarakan di bawah ini. Ada beberapa jenis perjanjian dalam ruang lingkup hukum
perjanjian, antara lain :
a. Perjanjian Timbal Balik dan Perjanjian Sepihak
Menurut Abdulkadir Muhammad sebagai ahli hukum perdata “perjanjian
timbal balik (bilateral contract) adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak”.88 Perjanjian ini merupakan kegiatan yang
biasa terjadi dalam kehidupan sehari-hari, misalnya perjanjian jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa dan lain sebagainya. “Sedangkan perjanjian sepihak adalah
perjanjian yang hanya memberikan atau membebankan kewajiban kepada salah satu
pihak saja tanpa diikuti penerimaan hak dan memberikan hak kepada pihak yang
lainnya tanpa dikuti dengan kewajiban”.89 Perjanjian ini dapat diberikan contoh
seperti : pemberian hadiah, hibah dan lain sebagainya. Dalam hal tersebut, pihak
pemberi hadiah ataupun pemberi hibah diwajibkan untuk menyerahkan benda yang
menjadi objek dari perikatan tersebut, sedangkan pihak lainnya berhak untuk
menerima benda yang diberikan atau dihibahkan tersebut.
b. Perjanjian Cuma-Cuma dan Perjanjian Atas Beban
“Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian yang memberikan keuntungan bagi
salah satu pihak saja, dan contohnya hibah. Sedangkan perjanjian atas beban adalah
perjanjian dimana terhadap prestasi dari pihak yang satu selalu terdapat kontra
88 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990), hal. 1. 89 Ibid., 2.
47
prestasi dari pihak lain dan antara kedua prestasi tersebut ada hubungannya menurut
hukum”.90
c. Perjanjian Bernama dan Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang memiliki nama tersendiri. Dengan
kata lain, bahwa perjanjian-perjanjian tersebut telah diatur dan diberi nama oleh
pembentuk undang-undang berdasarkan tipe yang paling banyak terjadi dalam
kehidupan sehari-hari. Perjanjian bernama terdiri dari91 :
1. Perjanjian yang terdapat dalam Buku III KUHPerdata Bab V – Bab XVII.
Contohnya : jual beli, tukar menukar, sewa menyewa, perjanjian kerja,
persekutuan perdata, badan hukum, hibah, penitipan barang, pinjam pakai,
pinjam pakai habis, bunga tetap, persetujuan untung-untungan, pemberian
kuasa, penanggung dan perdamaian;
2. Perjanjian yang diatur dalam KUHD. Contohnya : perjanjian perwalian
khusus, perjanjian jual beli perniagaan, makelar, dan asuransi; dan
3. Perjanjian yang diatur dalam Undang-Undang khusus. Contohnya : Perseroan
Terbatas, perjanjian pengangkutan udara, Koperasi, dan Yayasan.
Sedangkan perjanjian tidak bernama yaitu perjanjian yang tumbuh
berdasarkan asas kebebasan berkontrak dalam mengadakan suatu perjanjian.
Perjanjian tidak bernama ini tidak diatur dalam KUHPerdata, akan tetapi di dalam
90 Ibid., hal. 3. 91 Much. Nurachmad, Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cetakan
Pertama, (Jakarta : Visimedia, Desember 2010), hal. 14.
48
kehidupan sehari-hari telah sering terjadi di masyarakat. Jumlah perjanjian ini tidak
terbatas, hal ini dikarenakan perjanjian tersebut disesuaikan dengan kebutuhan para
pihak yang akan membuat perjanjian tersebut, misalnya perjanjian kerjasama,
perjanjian pemasaran, perjanjian kuasa dan sebagainya.92
d. Perjanjian Kebendaan (Zakelijke Overeenkomst) dan Perjanjian Obligatoir
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian hak atas benda yang dialihkan atau
diserahkan (transfer of title) kepada pihak lain.93 Sedangkan perjanjian obligatoir
berdasarkan Pasal 1314 KUHPerdata adalah perjanjian di antara pihak-pihak yang
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan kepada pihak lain (perjanjian yang
menimbulkan perikatan). Menurut Mariam Darus Badrulzaman berdasarkan
KUHPerdata perjanjian jual beli saja belum mengakibatkan beralihnya hak milik dari
penjual kepada pembeli dan untuk beralihnya hak milik bendanya masih diperlukan
satu lembaga lain, yaitu penyerahan.94
Menurut Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian konsensuil sudah memiliki
kekuatan mengikat karena telah tercapai persesuaian kehendak (ada kata sepakat) di
antara kedua belah pihak dalam melakukan suatu perikatan. Sedangkan perjanjian riil
berlaku atau dianggap sah apabila telah terjadi penyerahan barang (levering).
Contohnya : perjanjian penitipan barang yang tercantum dalam Pasal 1694
KUHPerdata dan lain- lain.
92 Ibid., hal. 14. 93 Mariam Darus Badru lzaman, et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, (Bandung : Citra Aditya
Bakt i, 2001), hal. 67. 94 Ibid., hal. 20.
49
e. Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis)
Perjanjian campuran yaitu perjanjian yang mengandung dua atau lebih
ketentuan-ketentuan Undang-Undang dari Perjanjian Bernama. Dengan kata lain,
Perjanjian campuran adalah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian.
Sebagai contoh seorang pemilik rumah yang menyewakan kamar atau sebagian
ruangan rumahnya (yang mana dalam hal ini tergolong dalam sewa menyewa), akan
tetapi juga menyajikan makanan kepada penyewa kamar atau sebagian ruangan
rumah tersebut (yang dalam hal ini tergolong dalam jual beli).95
Berdasarkan yang telah diuraikan di atas mengenai beberapa jenis perjanjian,
maka dalam penggunaan Blangko Akta Jual Beli oleh pengembang tersebut adalah
termasuk dalam beberapa jenis yaitu perjanjian timbal balik, perjanjian tidak
bernama, perjanjian kebendaan (zakelijke overeenkomst) dan perjanjian obligatoir.
4. Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian
Sebagaimana suatu perjanjian biasa, maka jual beli perumahan yang
menggunakan blangko akta jual beli oleh pengembang tersebut memiliki syarat-syarat
yang harus dipenuhi. Oleh sebab itu, perlu untuk diketahui syarat-syarat sah
perjanjian pada umumnya seperti yang tercantum dalam Pasal 1320 KUHPerdata
antara lain96 :
95 Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Anke Dwi Saputro (editor), 100 Tahun Ikatan
Notaris Indonesia : Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan Masa Datang, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Tanpa Tahun), hal. 82.
96 Fitri Susanti, “Praktek Perjan jian Pengikatan Jual Beli Hak Atas Tanah Berdasarkan Akta Notaris di Jakarta Timur”, (Semarang : Tesis, Universitas Diponegoro, 2008), hal. 6.
50
1. Kesepakatan para pihak untuk mengikatkan diri (detoestemning);
2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan (de bekwaamheid);
3. Suatu hal tertentu (een bepald onderwerp); dan
4. Suatu sebab yang halal (een geoorloofde oorzaak).
Selain syarat umum yang telah disebutkan dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
Munir Fuady menyebutkan bahwa dalam hukum perjanjian atau hukum kontrak ada
syarat sah umum di luar Pasal 1320 KUHPerdata dan syarat sah yang khusus, sebagai
berikut97 :
1. “Syarat sah umum di luar Pasal 1320 KHUPerdata, terdiri dari : a. Syarat itikad baik. b. Syarat sesuai dengan kebiasaan. c. Syarat sesuai dengan kepatutan. d. Syarat sesuai dengan kepentingan umum.
2. Syarat sah yang khusus, terdiri dari : a. Syarat tertulis untuk kontrak-kontrak tertentu. b. Syarat akta Notaris untuk kontrak-kontrak tertentu. c. Syarat akta pejabat tertentu (yang bukan Notaris) untuk kontrak-
kontrak tertentu. d. Syarat dari yang berwenang”.
Adanya kata sepakat dalam suatu perjanjian, maka berarti kedua belah pihak
haruslah mempunyai kebebasan berkehendak. Bagi para pihak tidak boleh mendapat
suatu tekanan yang akan mengakibatkan adanya kecacatan dalam perwujudan
kehendak tersebut. Pengertian sepakat dilukiskan sebagai persyaratan kehendak yang
disetujui (overeentemende wilsverklaring) antar parapihak. Pernyataan pihak yang
97 Munir Fuady, Hukum Kontrak : Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, (Bandung : Citra
Aditya Bakt i, 1999), hal. 33-34.
51
menerima tawaran dinamakan akseptasi (acceptatie). Dilihat dari syarat-syarat
perjanjian tersebut, maka dapat dibedakan bagian dari perjanjian, antara lain yaitu 98 :
1. “Bagian inti (wanzenlijke naturalia oorde). 2. Sub bagian inti disebut esensialia adalah bagian yang merupakan sifat yang
harus ada di dalam perjanjian, sifat yang menentukan atau menyebabkan perjanjian itu tercipta (contructieve oordeel).
3. Bagian yang bukan inti disebut naturalia adalah bagian yang merupakan sifat bawaan (natuur) perjanjian sehingga secara diam-diam melekat pada perjanjian, seperti menjamin tidak ada cacat dari benda yang dijual (vrijwaring).
4. Bagian aksidentialia adalah bagian yang merupakan sifat yang melekat pada perjanjian yang secara tegas diperjanjikan oleh para pihak”.
Berdasarkan Pasal 1339 KUHPerdata disebutkan bahwa : “semua persetujuan,
baik yang mempunyai suatu nama khusus, maupun yang tidak terkenal dengan nama
tertentu tunduk pada peraturan-peraturan umum”. Selain dari hal tersebut, Pasal 1339
KUHPerdata juga menyebutkan bahwa : “persetujuan-persetujuan tidak hanya
mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk
segala sesuatu yang menurut sifat persetujuan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan
atau undang-undang”. Umumnya perjanjian tidak terikat kepada suatu bentuk
tertentu, dapat dibuat secara lisan maupun secara tertulis. Jika dibuat secara tertulis,
maka dapat berbentuk akta Notaris dan akta di bawah tangan. Akta di bawah tangan
dapat berupa perjanjian baku (perjanjian standar) dan hal tersebut bersifat sebagai alat
bukti jika terjadi perselisihan dikemudian harinya. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata
disebutkan bahwa : “jika di dalam suatu perjanjian terdapat kekhilafan, paksaan atau
penipuan, berarti di dalam perjanjian itu terjadi cacat pada kesepakatan antar para
pihak dan karena itu perjanjian tersebut dapat dibatalkan”.
98 Marian Darus Badru lzaman, et.al., Op.cit., hal. 57.
52
Undang-Undang membedakan dua jenis kekhilafan yaitu khilaf mengenai
orang (error inpersonal) dan khilaf mengenai barang yang menjadi pokok perjanjian
(error insubtantia). Pasal 1323 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1327 KUHPerdata
menjelaskan bahwa paksaan tersebut terjadi apabila seseorang tidak bebas untuk
menyatakan kehendaknya. Paksaan ini berwujud kekerasan jasmani atau ancaman
(akan membuka rahasia) yang menimbulkan ketakutan pada seseorang sehingga yang
bersangkutan membuat perjanjian. Selanjutnya dalam Pasal 1328 KUHPerdata
menyebutkan bahwa : “penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan tipu muslihat
berhasil sedemikian rupa sehingga pihak yang lain bersedia untuk membuat suatu
perjanjian dan perjanjian itu tidak akan terjadi tanpa adanya tipu muslihat tersebut”.
Berdasarkan dari ketentuan pasal tersebut, maka perjanjian yang diadakan dengan
penipuan tersebut dapat dibatalkan.
Sementara mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum
sebagaimana diatur di dalam Pasal 1329 KUHPerdata sampai dengan Pasal 1331
KUHPerdata pada dasarnya menetapkan setiap orang cakap untuk membuat
perikatan, kecuali jika Undang-Undang menyatakan bahwa orang tersebut adalah
tidak cakap. Orang-orang yang tidak cakap membuat perjanjian adalah orang-orang
yang belum dewasa dan setiap orang yang ditaruh di bawah pengampuan, dalam
keadaan pailit. Terhadap suatu hal tertentu, undang-undang menentukan benda-benda
yang tidak dapat dijadikan objek dari perjanjian. Benda-benda itu adalah yang
dipergunakan untuk kepentingan umum. Suatu perjanjian harus mempunyai objek
tertentu sekurang-kurangnya dapat ditentukan benda-benda itu dapat berupa benda
yang sekarang ada dan juga benda-benda yang nanti akan ada di kemudian hari.
53
5. Penyebab Berkahirnya Suatu Perjanjian
Sebagaimana perjanjian pada umumnya, jual beli perumahan dengan
menggunakan akta jual beli oleh pengembang juga memiliki ketentuan-ketentuan
kapan berakhirnya atau diakhirinya perjanjian tersebut. Oleh sebab itu, di bawah ini
akan dibahas mengenai berakhirnya suatu perjanjian. Berdasarkan Pasal 1381
KUHPerdata, suatu perjanjian dapat berakhir atau hapus disebabkan karena, antara
lain :
a. Pembayaran
Pembayaran merupakan salah satu alasan yang menyebabkan hapusnya
perikatan, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1382 sampai dengan Pasal 1403 Bab IV
Buku III bagian I KUHPerdata. Gunawan Widjaja dan Kartini Muljadi mengatakan
Pasal 1382 KUHPerdata menyebutkan bahwa99 :
”Tiap-tiap perikatan dapat dipenuhi oleh siapa saja yang berkepentingan, seperti seorang yang turut berhutang atau seseorang penanggung hutang. Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja orang pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi hutang debitor, atau jika ia bertindak atas namanya sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditor”.
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dilihat bahwa KUHPerdata tidak
memberikan suatu pengertian tentang pembayaran, hanya saja dari rumusan tersebut
disebutkan dan dikatakan secara tegas tentang masalah pemenuhan hutang. Dengan
demikian berarti yang dimaksud dengan pembayaran adalah pemenuhan kewajiban
99 Gunawan Wid jaja dan Kart ini Muljad i, Hapusnya Perikatan, (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2003), hal. 14.
54
debitor kepada kreditor. Pembayaran dalam pengertian hukum perikatan bukan hanya
memenuhi, menyerahkan sejumlah uang tetapi juga berupa penyerahan barang sesuai
dengan perjanjian. Jadi, bukan saja pembeli membayar uang untuk pembelian tetapi
penjual pun dikatan membayar jika penjual menyerahkan barang yang dijualnya.
Selain dari hal tersebut di atas, maka ada hal lain yang berhubungan dengan
pembayaran yaitu mengenai tempat pembayaran. Menurut Gunawan Widjaja dan
Kartini Muljadi, tempat pembayaran terbagi dalam dua kelompok, antara lain100 :
1. “Untuk perikatan yang lahir dari undang-undang, seluruh biaya yang dikeluarkan sehubungan dengan pembayaran atau pemenuhan perikatan adalah menjadi tanggungan debitor sepenuhnya.
2. Untuk perikatan yang lahir dari perjanjian, tempat pemenuhan perikatan merupakan hal yang penting dalam menentukan luasnya tanggung-jawab debitor atas biaya pembayaran atau pemenuhan perikatan. Untuk itu maka ketentuan dalam Pasal 1393 KUHPerdata menentukan bahwa pembayaran harus dilakukan di tempat yang ditetapkan dalam persetujuan, jika dalam persetujuan tidak ditetapkan pada suatu tempat, maka pembayaran mengenai suatu barang yang sudah ditentukan, harus terjadi di tempat di mana barang tersebut berada sewaktu persetujuannya dibuat”.
b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti Dengan Penyimpanan Atau Penitipan
Ketentuan mengenai penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan
penyimpanan atau penitipan telah diatur dalam Pasal 1404 KUHPerdata sampai
dengan Pasal 1412 KUHPerdata. Hapusnya perikatan karena penawaran pembayaran
tunai yang diikuti dengan penyimpanan atau penitipan hanya dapat terjadi terhadap
perikatan untuk menyerahkan atau memberikan sesuatu, baik berupa kebendaan
dalam arti luas, maupun dalam bentuk uang sebagai pemenuhan hutang dalam arti
yang sempit. Bahkan jika diperhatikan makna kata penitipan atau penyimpanan
100 Ibid., hal. 66-67.
55
tersebut di atas jelas bahwa kebendaan yang dimaksud hanya meliputi kebendaan
yang bergerak saja, disebabkan karena kebendaan dari penyerahan kebendaan
bergerak. Di mana menurut ketentuan Pasal 612 KUHPerdata cukup dilakukan
dengan penyerahan fisik dari kebendaan tersebut. Sedangkan kebendaan tidak
bergerak secara esensi tidak mungkin dapat dititipkan atau disimpan untuk diserahkan
kepada kreditor.
Berdasarkan uraian yang telah diutarakan di atas, maka dapat dilihat bahwa
KUHPerdata tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan debitor yang beritikad
baik, yang memang bermaksud untuk memenuhi perikatannya atau melakukan
pembayaran sesuai dengan kewajibannya.
c. Pembaharuan Hutang (Novasi)
Novasi atau pembaharuan hutang merupakan salah satu cara untuk mengakhiri
suatu perjanjian. Marian Darus Badrulzaman mengatakan bahwa, novasi adalah suatu
perjanjian baru dengan mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan sekaligus
diadakan suatu perikatan baru.101 Menurut Sutarno sebagai ahli hukum perdata, Pasal
1413 KUHPerdata menyebutkan bahwa ada tiga cara terjadinya novasi, yaitu102 :
1. Novasi subjektif aktif suatu perjanjian yang bertujuan menggantikan kreditor
lama dengan seorang kreditor baru.
101 Mariam Darus Badrulzaman, Op.cit., hal. 76. 102 Sutarno, Op.cit., hal. 174.
56
2. Novasi subjektif pasif adalah suatu perjanjian yang bertujuan mengganti
debitor lama dengan debitor baru dan membebaskan debitor lama dari
kewajibannya dan biasanya juga disebut dengan alih debitor.
3. Novasi objektif yaitu suatu perjanjian antara kreditor dengan dibitor untuk
memperbarui atau merubah objek ataupun isi perjanjian. Pembaruan objek
perjanjian ini terjadi jika kewajiban prestasi tertentu dari debitor diganti
dengan prestasi lain.
d. Perjumpaan Hutang (Kompensasi)
Kompensasi atau perjumpaan hutang dapat dilakukan dengan beberapa syarat
yang harus dipenuhi berdasarkan Pasal 1427 KUHPerdata, antara lain :
1. Kedua-duanya berpokok sejumlah uang.
2. Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan. Maksud dari barang yang
dapat dihabiskan adalah barang yang dapat diganti.
3. Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditagih seketika.
Menurut perkembangannya, untuk menyelesaikan kredit macet debitor dan
kreditor dapat melakukan kompensasi antara hutang debitor dengan jaminan yang
telah disediakan oleh debitor, bukan dengan hutang saja. Caranya yaitu debitor
menyerahkan jaminannya kepada kreditor/bank dan bank menghapuskan hutangnya
(hutang dinyatakan lunas) dan kompensasi ini disebut juga set off.103
103 Ibid., hal. 175.
57
e. Pencampuran Hutang
Ketentuan Pasal 1436 KUHPerdata menjelaskan makna percampuran hutang
dengan rumusan sebagai berikut, “apabila kedudukan-kedudukan sebagai orang yang
berpiutang dan orang berhutang berkumpul pada satu orang, maka terjadilah demi
hukum suatu percampuran hutang, dengan mana piutang dihapuskan”. Berdasarkan
pernyataan tersebut, maka dapat dilihat bahwa hanya satu hutang, kewajiban atau
perikatan yang saling meniadakan karena berkumpulnya hutang dan piutang pada
satu pihak.
Berbeda halnya dengan kompensasi yang di dalamnya terkait sekurang-
kurangnya dua hutang yang saling timbal balik. Menurut Pasal 1437 KUHPerdata,
konsekuensi dari adanya percampuran hutang tersebut adalah :
“Percampuran hutang yang terjadi pada dirinya si berhutang utama, berlaku juga untuk keuntungan para penanggung hutangnya. Percampuran yang terjadi pada dirinya si penanggung hutang, tak sekali-kali mengakibatkan hapusnya hutang pokok. Percampuran yang terjadi pada dirinya salah satu dari orang-orang yang berhutang secara tanggung-menanggung sehingga melebihi bagiannya dalam hutang yang ia sendiri menjadi orang berhutang”.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka menjadi lebih jelas lagi bahwa
meskipun perikatan pokok (yang bersifat tanggung-menanggung pasif) telah hapus
karena terjadinya percampuran hutang, namun para debitor yang secara tanggung-
menanggung bertanggung-jawab atas hutang yang telah dipercampurkan tersebut
(tidak dibebaskan dari kewajibannya yang terkait secara tanggung-menanggung pasif
tersebut) untuk memenuhi bagian hutang atau kewajiban masing-masing terhadap
debitor (dalam perikatan tanggung-menanggung pasif tersebut) karena percampuran
58
hutangnya telah dianggap memenuhi kewajiban yang bersifat tanggung-menanggung
pasif tersebut.
f. Pembebasan Hutang
Menurut Sutarno, pembebasan hutang adalah perbuatan hukum yang
dilakukan kreditor dengan menyatakan secara tegas tidak menuntut lagi pembayaran
hutang dari debitor. Hal ini berarti bahwa kreditor melepaskan haknya dan tidak
menghendaki lagi pemenuhan perjanjian yang diadakan, dengan begitu debitor
dibebaskan dari prestasi yang sebenarnya harus dilakukan. Secara tegas berarti bahwa
kreditor memberitahukan secara lisan atau tulisan kepada debitor bahwa kreditor
membebaskan kepada debitor untuk tidak membayar lagi hutangnya.104
Ketentuan Pasal 1442 KUHPerdata menyatakan bahwa :
“Pembebasan suatu hutang atau penglepasan menurut persetujuan, yang diberikan kepada si berhutang utama, membebaskan para penanggung hutang. Pembebasan yang diberikan kepada si penanggung hutang tidak membebaskan si berhutang utama. Pembebasan yang diberikan kepada salah seorang penanggung hutang tidak membebaskan para penanggung lainnya”.
Berdasarkan pernyataan dari Sutarno tentang pembebasan hutang dan
ketentuan dari Pasal 1442 KUHPerdata tentang pembebasan hutang, maka secara
langsung tidak berkaitan dengan jual beli perumahan dengan menggunakan blangko
akta jual beli oleh pengembang karena biasanya pembayaran dilakukan secara tunai,
akan tetapi secara tidak langsung mempunyai hubungan dengan jual beli perumahan
104 Sutarno, Op.cit., hal. 88.
59
oleh pengembang jika dilakukan melalui Kredit Pemilikan Rumah (selanjutnya
disebut KPR).
Hal ini dapat terjadi jika pihak konsumen yang ingin memiliki perumahan
melalui KPR, maka pihak konsumen yang berhutang dalam melakukan pembayaran
kredit pemilikan perumahan kepada pihak pengembang atau pihak bank, maka dapat
dikatakan bahwa pihak pengembang atau bank sebagai kreditor dan pihak konsumen
sebagai debitor. Pihak pengembang atau Bank selaku kreditor harus secara tegas
menyatakan tidak akan menuntut pembayaran kredit yang terhutang dari pihak
konsumen dan pihak konsumen pun akan menggunakan perumahan tersebut tanpa
adanya gangguan akan mendapat tuntutan dari pihak pengembang maupun pihak
bank selaku kreditor.105
g. Musnahnya Barang yang Terhutang
Menurut Sutarno sebagai ahli hukum perdata, mengenai musnahnya barang
yang terhutang adalah jika barang yang menjadi objek perjanjian musnah, hilang,
tidak dapat lagi diperdagangkan, sehingga barang tersebut tidak diketahui lagi apakah
masih ada atau tidak maka perjanjian menjadi hapus, dengan syarat musnahnya
barang atau hilangnya barang bukan disebabkan oleh debitor dan sebelum debitor
lalai menyerahkan barangnya kepada kreditor. Seandainya debitor lalai menyerahkan
barang dan debitor dibebaskan dari pemenuhan prestasi jika debitor dapat
membuktikan musnahnya barang atau hilangnya barang tersebut disebabkan kejadian
di luar kekuasaannya atau disebabkan overmacht. Apabila barang yang menjadi objek
105 Ibid., hal. 89.
60
dari perjanjian tersebut telah diasuransikan (memiliki hak asuransi atas barang yang
musnah/hilang tersebut), maka debitor diwajibkan untuk menyerahkannya kepada
kreditor.106
Berdasarkan pernyataan tersebut mengenai musnahnya barang yang terhutang,
maka secara langsung ada hubungannya dengan jual beli perumahan oleh
pengembang kepada konsumen, dimana menurut hasil wawancara dengan pihak
pengembang, jika rumah tersebut telah dibayar lunas oleh pihak konsumen sementara
pihak pengembang belum menyerahkan rumah tersebut kepada pihak konsumen,
maka pihak pengembang diwajibkan untuk mengganti rumah tersebut sesuai dengan
ketentuan yang terdapat dalam perjanjian.107
h. Pembatalan atau Kebatalan
Suatu perjanjian dapat dibatalkan ataupun batal jika tidak memenuhi
ketentuan, antara lain :
1. Tidak dipenuhinya syarat subjektif yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Apabila syarat subjektif ini dipenuhi, maka perjanjian tersebut
tidak dapat dibatalkan, artinya para pihak tidak melakukan pembatalan atas
perjanjian tersebut maka perjanjian tersebut adalah sah dan mengikat serta
berlaku bagi para pihak.
106 Ibid., hal. 90. 107 Wawancara dengan Anton Wijaya selaku Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi,
pada tanggal 20 Januari 2011.
61
2. Tidak dipenuhinya syarat objektif yang terdapat dalam Pasal 1320
KUHPerdata. Apabila syarat objektif ini tidak dipenuhi, maka perjanjian
tersebut dengan sendirinya batal demi hukum, artinya perjanjian tersebut
dianggap dari semula tidak pernah ada, dengan begitu tidak ada perjanjian
yang dihapus.
Suatu perjanjian dapat juga dibatalkan oleh salah satu pihak bila salah satu
pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi walaupun telah terpenuhinya
syarat subjektif dan syarat objektif (hal ini sesuai dengan Pasal 1266 KUHPerdata).
Hakim berkuasa untuk membatalkan suatu perjanjian jika isi perjanjian
membebankan kewajiban yang tidak seimbang atau membebankan kewajiban yang
lebih besar kepada salah satu pihak dan memberikan keuntungan di pihak lainnya
yang disebabkan karena kebodohan, kurang pengalaman atau dalam keadaan
memaksa dari salah satu pihak.108
i. Berlakunya Suatu Syarat Batal
Sesuai denga bunyi Pasal 1265 KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan dan
membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada
suatu perikatan”. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah
mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya apabila
peristiwa yang dimaksudkan terjadi.
108 R. Subekt i, Op.cit., hal. 161.
62
j. Lewatnya Waktu (daluarsa)
Menurut M. Yahya Harahap, lewatnya waktu (daluwarsa) akan memberikan 2
(dua) pengertian, antara lain109 :
1. “Membebaskan seseorang dari kewajiban setelah lewat jangka waktu tertentu
sebagaimana yang telah ditetapkan undang-undang.
2. Memberikan kepada seseorang untuk memperoleh sesuatu hak setelah lewat
jangka waktu tertentu sesuai dengan yang dtetapkan undang-undang”.
Selain dari hal tersebut di atas daluwarsa yang menyebabkan seseorang
dibebaskan dari kewajibannya dalam perjanjian disebut juga dengan daluarsa
extinctive, sedangkan daluwarsa yang menyebabkan seseorang memperoleh suatu hak
atas suatu barang disebut dengan daluwarsa acquisitive.110
B. Proses Jual Beli Perumahan Oleh Pengembang Dengan Menggunakan Blangko Akta Jual Beli di Kota Medan
Setiap manusia membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal baik untuk
tempat berteduh dari panasnya matahari dan hujan, tempat untuk tidur, tempat untuk
berkumpul bersama keluarga dan lain sebagainya. Disisi lain hal-hal tersebut dilihat
sebagian orang atau pihak pengembang (developer) merupakan suatu peluang untuk
melakukan kegiatan usaha yang memberikan keuntungan bagi dirinya, namun juga
memberikan keuntungan bagi pihak-pihak lain yang sedang membutuhkan rumah
109 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal. 166. 110 Ibid., hal. 167.
63
sebagai pemenuhan kebutuhan hidupnya.111 Pihak pengembang dalam menawarkan
produk perumahannya kepada konsumen dengan berbagai macam cara seperti melalui
pemasaran dengan menggunakan selebaran yang diberikan dari rumah ke rumah,
melalui pemasangan iklan pada billboard di perempatan jalan ataupun di pinggir
jalan, pemasangan iklan pada media cetak seperti di koran ataupun majalah,
pemasangan iklan pada media elektronik seperti di radio ataupun televisi dan
sebagainya.112
Pemasaran perumahan oleh pihak pengembang kepada konsumen tersebut
“menawarkan berbagai macam fasilitas perumahan yang dimiliki seperti spesifikasi
teknis dari bangunan, tipe bangunan, pengamanan perumahan (security), kapasitas
penerangan setiap rumah (listrik), penerangan jalan pada perumahan, air bersih setiap
rumah, alas hak atas tanah setiap tipe rumah/bangunan pada perumahan, dan lain
sebagainya”.113 Selain fasilitas perumahan yang ditawarkan oleh pihak pengembang
kepada pihak konsumen, pihak pengembang juga menawarkan cara bagaimana untuk
mendapatkan atau memiliki perumahan tersebut seperti dengan cara melalui Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) pada bank-bank yang telah ditunjuk oleh pihak pengembang
atau KPR yang langsung kepada pihak pengembang ataupun pembelian secara
langsung tunai oleh pihak konsumen dari pihak pengembang.114
111 Hermawan Wijaya, 77 Rahasia Cepat Untung Bisnis Properti, Cetakan Pertama, (Yogyakarta : Pustaka Ghratama, 2009), hal. 11.
112 Budi Santoso, Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah dan Rumah, Cetakan Kedua, (Jakarta : Elex Media Komputindo, Februari 2008), hal. 81-82.
113 Ibid., hal. 36. 114 Ibid., hal. 43-46.
64
1. Pelaksanaan Kredit Pemilikan Rumah (KPR) Oleh Pengembang Terhadap Konsumen
Pengembang memberikan kemudahan kepada pihak konsumen atau
masyarakat dalam hal untuk dapat memiliki perumahan dengan cara KPR melalui
bank-bank yang telah ditunjuk oleh pengembang atau tanpa melalui bank atau
langsung kepada pihak pengembang itu sendiri. Kemudahan yang diberikan kepada
konsumen untuk memiliki perumahan dengan cara KPR melalui bank atau tanpa
melalui bank (melalui pihak pengembang sendiri) yang harus memenuhi persyaratan
kelengkapan data permohonan kredit dan persyaratan tersebut antara lain115 :
1. “Kelengkapan Data Pribadi/Keluarga Pihak Konsumen, yaitu : a. Fotocopy kartu identitas atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) suami- isteri; b. Pasphoto suami- isteri; c. Fotocopy kartu keluarga; d. Fotocopy surat nikah/cerai (bagi yang telah bercerai); dan e. Fotocopy buku tabungan bank.
2. Kelengkapan Data Pekerjaan/Usaha Pihak Konsumen yang terdiri atas :
a. Terhadap konsumen dengan status Pegawai Negeri Sipil (PNS) atau Pegawai Swasta harus menyediakan, antara lain : 1) Fotocopy Nomor Peserta Wajib Pajak (NPWP) atau Surat Pajak
Tahunan Pajak Penghasilan (SPTPPh); 2) Surat Keterangan Tempat Bekerja; 3) Slip gaji/penghasilan terakhir; 4) Fotocopy rekening koran tabungan/giro/deposito suatu bank dalam
wakt 3 (tiga) bulan terakhir; dan 5) Surat Kuasa Pemotongan gaji/pensiunan.
b. Terhadap konsumen dengan status wiraswasta harus menyediakan, antara
lain : 1) Fotocopy Surat Izin Usaha Perusahaan (SIUP), Tanda Daftar
Perusahaan (TDP), Surat Izin Tempat Usaha (SITU), NPWP Perusahaan dan izin usaha lainnya;
2) Fotocopy Akta Pendirian Perusahaan/Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan dan perubahan terakhirnya;
115 Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi di
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
65
3) Fotocopy Neraca laba-rugi/Laporan penjualan; 4) Fotocopy rekening koran tabungan/giro/deposito perusahaan dalam
waktu 3 (tiga) bulan terakhir; dan 5) Daftar rekanan perusahaan/kontrak-kontrak yang telah dilakukan
perusahaan. 3. Kelengkapan Data Agunan Pihak Konsumen yang melakukan KPR melalui
bank, antara lain : a. Fotocopy sertifikat tanah/bangunan dengan status Sertifikat Hak
Milik/Sertifikat Hak Guna Bangunan; b. Fotocopy Izin Mendirikan Bangunan (IMB); c. Fotocopy Pajak Bumi dan Bangunan (PBB); d. Foto rumah yang menjadi agunan; dan e. Bukti pembayaran rekening listrik, air dan telepon”.
“Persyaratan kelengkapan data permohonan kredit di atas, maka dapat dikatakan bahwa persyaratan kelengkapan tersebut sebagai bahan dasar atau pertimbangan bagi pihak pengembang dalam memberikan KPR kepada konsumen yang ingin memiliki perumahan. Memang pada dasarnya dalam pemberian suatu kredit membutuhkan suatu keyakinan dan kepercayaan bahwa pihak konsumen (debitur) tersebut benar-benar mempunyai kemampuan untuk menyelesaikan KPR tersebut sampai lunas pembayarannya”.116
Untuk menentukan bahwa seseorang dipercaya untuk memperoleh kredit,
pada umumnya dunia perbankan atau dunia usaha lainnya menggunakan instrumen
analisa yang terkenal dan biasa disebut the fives of credit atau disingkat 5 C, yaitu117 :
1. “Charakter (watak) ialah sifat dasar yang ada dalam hati seseorang. Watak dapat berupa baik dan jelek bahkan ada yang terletak di antara baik dan jelek. Watak merupakan bahan petimbangan untuk mengetahui risiko yang dapat terjadi.
2. Capital (modal). Seseorang atau badan usaha yang akan menjalankan usaha
atau bisnis sangat memerlukan modal untuk memperlancar kegiatan bisnisnya.
116 Ibid. 117 Sutarno, Op.cit., hal. 93-94.
66
3. Capacity (kemampuan). Seorang debitur yang mempunyai karakter atau watak yang baik selalu akan memikirkan mengenai pembayaran kembali hutangnya sesuai waktu yang telah ditentukan.
4. Collateral (jaminan). Jaminan berarti harta kekayaan yang dapat diikat
sebagai jaminan untuk menjamin kepastian pelunasan hutang jika dikemudian hari debitur tidak melunasi hutangnya dengan menjual jaminan dan mengambil pelunasan dari penjualan harta kekayaan yang menjadi jaminan tersebut.
5. Condition of economy (kondisi ekonomi). Selain faktor- faktor di atas, yang
perlu mendapat perhatian penuh dari analisa adalah kondisi ekonomi negara. Kondisi ekonomi adalah situasi ekonomi pada waktu dan jangka waktu tertentu di mana kredit tersebut diberikan oleh bank kepada pemohon”.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Rachmadi Usman yang menyatakan
bahwa, “sebelum memberikan kredit atau pembiayaan, pihak kreditur harus
menganalisa berdasarkan prinsip 5 C yaitu penilaian watak (charakter), penilaian
kemampuan (capacity), penilaian modal (capital), penilaian agunan (collateral) dan
penilaian terhadap prospek usaha nasabah debitur (codition of economy)”.118 Namun
demikian menurut Munir Fuady sebagaimana yang dikutip oleh Rachmadi Usman
juga menambahkan bahwa selain menerapkan prinsip 5 C juga harus menerapkan apa
yang dinamakan prinsip 5 P, yaitu119 :
1. “Party (para pihak). Para pihak merupakan titik sentral yang diperhatikan dalam setiap pemberian kredit. Untk itu pihak pemberi kredit harus memperoleh suatu “kepercayaan” terhadap para pihak, dalam hal ini debitur.
2. Purpose (tujuan). Tujuan dari pemberian kredit juga sangat penting diketahui
oleh pihak kreditur. Harus dilihat apakah kredit tersebut akan digunakan untuk hal-hal yang positif yang benar-benar dapat menaikkan income perusahaan.
118 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan di Indonesia, PT. Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2003, hal. 246. 119 Ibid., hal. 248-249.
67
3. Payment (pembayaran). Harus diperhatiakan apakah sumber pembayaran kredit dari calon debitur tersebut cukup tersedia dan cukup aman, sehingga dengan demikian diharapkan kredit yang akan diluncurkan tersebut dapat dibayar.
4. Profitabilty (perolehan laba). Usaha perolehan laba oleh debitur tidak kalah
pentingnya dalam pemberian kredit. Untuk itu, kreditur harus berantisipasi apakah laba yang akan diperoleh perusahaan lebih besar dari pada bunga pinjaman dan apakah pendapatan perusahaan dapat menutupi pembayaran kembali kredit, cash flow dan sebagainya.
5. Protection (perlindungan). Diperlukan suatu perlindungan terhadap kredit
oleh perusahaan debitur. Untk itu, perlindungan dari kelompok perusahaan, atau jaminan dari holding, atau jaminan pribadi pemilik perusahaan penting diperhatikan”.
Melihat penjabaran tersebut tentang instrumen analisa pemberian kredit atau
disebut dengan prinsip 5C yang telah disebutkan di atas dan dihubungkan dengan
persyaratan kelengkapan data permohonan KPR maka dapat dikatakan bahwa, antara
lain :
1. Untuk perwujudan prinsip dari charakter (watak) dan capital (modal) tersebut
dapat tercapai dari kelengkapan data pribadi pihak konsumen.
2. Untuk perwujudan prinsip dari capacity (kemampuan), collateral (jaminan)
dan condition of economy (kondisi ekonomi) tersebut dapat tercapai dari
kelengkapan data pekerjaan/usaha pihak konsumen dan kelengkapan data
agunan pihak konsumen.
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka dapat dilihat bahwa
pelaksanaan KPR yang dilakukan oleh pengembang terhadap konsumen tersebut
adalah sesuai dengan instrumen analisa pemberian kredit atau disebut prinsip 5 C.
68
2. Pelaksanaan Jual Beli Perumahan Oleh Pengembang Dengan Menggunakan Blangko Akta Jual Beli di Kota Medan
Menurut Pasal 1457 KUHPerdata, ”Jual beli adalah suatu persetujuan dengan
mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan
pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Terhadap definisi jual beli
yang disebutkan dalam Pasal 1457 KUHPerdata tersebut jika dihubungkan dengan
jual beli perumahan oleh pengembang, maka pihak pengembang mengikatkan dirinya
untuk menyerahkan perumahan kepada pihak konsumen (pembeli) dan pihak
konsumen (pembeli) tersebut akan membayar harga perumahan sebagaimana yang
telah diperjanjikan di dalam suatu Akta Jual Beli perumahan.
Perumahan yang diperjualbelikan oleh pengembang kepada pihak konsumen
selalu berkaitan dengan tanah sebagai alas hak dari perumahan tersebut. Walaupun
yang dujual tersebut oleh pengembang adalah perumahan, namun pada hakikatnya
merupakan satu kesatuan dengan tanah sebagai alas hak atas tanah dari perumahan
tersebut, karena memang perumahan yang dibangun oleh pengembang tersebut di atas
sebidang tanah. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Badan Pertanahan
Nasional (selanjutnya disebut BPN) Medan, “biasanya yang dilakukan cek bersih
untuk jual beli rumah adalah objek tanahnya atau alas hak atas tanah tersebut sesuai
atau tidak dengan buku tanah yang terdapat di BPN Medan dan bukan rumahnya”.120
Hal yang sama juga dikatakan oleh Yulhamdi sebagai salah seorang Pegawai
BPN Medan, jika jual beli rumah dengan status alas hak atas tanah Hak Milik
(selanjutnya disebut HM) atau Hak Guna Bangunan (selanjutnya disebut HGB), maka
120 Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
69
biasanya meminta kepada pihak Notaris/PPAT untuk melakukan pengecekkan secara
lisan atau secara tulisan ke BPN Medan yang bertujuan untuk memastikan apakah
objek yang bersangkutan tersebut sesuai dengan yang tertera pada buku tanah yang
terdapat di BPN seperti apakah sesuai pemiliknya, lokasi, luas tanah dan bangunan,
dan kalau ada bangunannya, apakah objek tanah yang bersangkutan tersebut sedang
dibebankan Hak Tanggungan atau tidak dan lain sebagainya.121
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jual beli perumahan yang dilakukan
pengembang kepada para konsumen atau masyarakat identik atau sama dengan jual
beli tanah pada umumnya. Oleh karena itu jual beli perumahan oleh pengembang
kepada para konsumen (masyarakat) dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli di
Kota Medan harus memenuhi dua persyaratan, antara lain :
a. Syarat Materil
Syarat materil sangat menentukan sahnya jual beli tanah tersebut.122 Syarat
materil yang harus dipenuhi untuk suatu jual beli perumahan yang dilakukan
pengembang dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli, yaitu123 :
1. “Harus ada pembeli, maksudnya pihak yang akan membeli perumahan;
2. Harus ada penjual, maksudnya pihak yang akan menjual perumahan; dan
121 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011. 122 Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, (Jakarta : Sinar Grafika,
2007), hal. 77. 123 Wawancara dengan Bahrum Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
70
3. Objek perumahan yang mau diperjualbelikan tersebut alas hak atas tanahnya
tidak dalam sengketa”.
Hal yang sama juga disebutkan oleh Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT di
Medan yang mengatakan bahwa jual beli perumahan atau tanah harus memenuhi
syarat materiil yaitu124 :
1. “Adanya pihak pembeli yang ingin membeli perumahan atau yang akan diperjualbelikan dan dalam hal ini konsumen atau masyarakat.
2. Adanya pihak penjual yang ingin menjual perumahan atau tanah yang bersangkutan dan dalam hal ini pihak pengembang
3. Objek perumahan atau tanah yang bersangkutan tidak dalam kondisi dipersengketakan”.
Syarat materiil jual beli tanah, antara lain125 :
1. Pembeli berhak membeli tanah yang bersangkutan. Maksudnya, sebagai penerima hak harus memenuhisyarat untuk memiliki tanah yang akan dibelinya. Untuk menentukan berhak atau tidaknya si pembeli memperoleh hak atas tanah yang dibelinya tergantung pada hak apa yang ada pada tanah tersebut, apakah HM, HGB atau Hak Pakai (selanjutnya disebut HP). Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) yang mempunyai HM atas tanah hanya Warga Negara Indonesia tunggal dan Badan-Badan Hukum yang ditetapkan oleh pemerintah berdasarkan Pasal 21 UUPA. Jika pembeli mempunyai kewarganegaraan asing atau suatu Badan Hukum yang tidak dikecualikan oleh pemerintah maka jual beli tersebut batal karena hukum dan tanah tersebut jatuh kepada negara berdasarkan Pasal 26 ayat (2) UUPA.
2. Penjual berhak menjual tanah yang bersangkutan. Maksudnya, yang menjual
suatu bidang tanah tentu saja si pemegang yang sah dari hak atas tanah tersebut yang disebut sebagai pemilik, kalau pemilik sebidang tanah yang tersebut hanya satu orang, maka ia yang berhak untuk menjual sendiri, akan tetapi bila pemilik tanah tersebut lebih dari satu orang atau dua orang, maka yang berhak menjual tanah yang bersangkutan adalah kedua orang tersebut secara bersama-sama dan tidak boleh satu orang saja yang bertindak sebagai penjual.
124 Yulhamdi, Op.cit. 125 Adrian Sutedi, Op.cit., hal. 77-78.
71
3. Tanah yang bersangkutan boleh diperjualbelikan jika tidak dalam sengketa.
Jika salah satu syarat materiil ini tidak dipenuhi, maka jual beli tanah yang bersangkutan tidak sah dan batal demi hukum.
Mengenai tidak dipenuhinya salah satu syarat materil dalam jual beli tanah
atau perumahan tersebut, maka untuk terpenuhinya syarat materil tersebut terutama
untuk syarat adanya penjual tanah dan objek tanah yang bersangkutan tidak dalam
sengketa harus dilakukan cek bersih, sedangkan untuk syarat pembeli tanah harus
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, maka dituntut pihak Notaris/PPAT yang melakukan perbuatan
hukum tersebut harus benar-benar mengidentifikasi secara teliti tentang diri si
pembeli.126
Sementara itu, untuk menjamin suatu kepastian hukum terhadap obyek hak atas
tanah dalam hal pembuatan Akta Jual Beli yang dibuat oleh Notaris/PPAT, maka
tindakan yang dilakukan Notaris/PPAT adalah melakukan pemeriksaan sertifikat hak
atas tanah pada Kantor Pertanahan setempat yang bertujuan untuk memberikan
perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam jual beli tanah
tersebut.127 Berkenaan dengan pemeriksaan sertifikat hak atas tanah, maka
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebagaimana
yang diatur dalam Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah,
126 Wawancara dengan Syafrudin Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari 2011. 127 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
72
yang menyebutkan bahwa kewajiban untuk melakukan pemeriksaan sertifikat hak
atas tanah tersebut hanya kepada PPAT, bukan kepada Notaris.128
Jika pihak Notaris hendak melakukan pemeriksaan sertifikat yang berkenaan
dengan rencana pembuatan akta, maka para Notaris tersebut biasanya melakukan
pemeriksaan secara lisan atau datang ke Kantor Pertanahan setempat untuk
melakukan pengecekan secara langsung keadaan tanah yang dimaksud. Dengan kata
lain, Notaris tidak dapat melakukan pengecekan secara resmi/formal akan tetapi
secara Non-Formal.129
128 Pasal 103 ayat (1), Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang menyatakan bahwa : ”PPAT wajib menyampaikan Akta PPAT dan dokumen-dokumen lain yang diperlukan untuk keperluan pendaftaran peralihan hak yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan, selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak d itandatanganinya akta yang bersangkutan”. Didukung dengan Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari 2011.
129 Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari 2011.
73
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di BPN Medan tersebut di
atas mengenai cek bersih, maka untuk lebih jelasnya dapat dilihat dalam bagan
sebagai berikut :
Bagan Prosedur Pemeriksaan Sertifikat Hak Atas Tanah
(Cek Bersih)
Permohonan Diterima oleh Loket
Pemeriksaan/Pengecekan oleh Petugas
(Sub Seksi Peradilan Hak, Pembebanan Hak dan PPAT)
Tidak Bersih 1. Tidak sesuai dgn daftar-daftar yg
ada di BPN. 2. Ada sita jaminan. 3. Ada blokir dari p ihak-pihak yg
berkepentingan
Bersih 1. Sesuai dgn daftar-daftar yg ada di
BPN. 2. Tidak ada sita jaminan. 3. Tidak ada blokir dari p ihak-pihak yg
berkepentingan
Pemberian Tanda Bukti Pemeriksaan
Pengambilan Hasil Pemeriksaan 1. Asli Ser tifikat. 2. Bukti Pembayaran PNBP Rp. 25.000,-
Selanjutnya siap dibuat Akta, setelah memenuhi persyaratan sesuai dengan perundangan yang
berlaku.
Pengajuan Permohonan Melampirkan : 1. Asli Ser tifikat Hak Atas Tanah. 2. Biaya Cek Bersih Rp. 25.000,-
74
Sebagaimana yang telah disebutkan di atas tentang syarat-syarat materiil
dalam suatu jual beli tanah atau perumahan berdasarkan hasil penelitian di lapangan
maka dapat dikatakan bahwa jual beli tanah atau perumahan tersebut dapat terlaksana
jika syarat-sayarat materil tersebut harus terpenuhi terlebih dahulu. Apabila salah satu
syarat materil tersebut tidak terpenuhi maka secara yuridis jual beli yang dilakukan
dapat dikatakan batal demi hukum atau dapat juga dikatakan bahwa perbuatan hukum
tersebut dianggap sejak awal tidak pernah terjadi.
b. Syarat Formil
“Setelah semua persyaratan materil dipenuhi maka biasanya pihak Notaris/PPAT akan membuat Akta Jual Beli untuk tanah atau perumahan yang bersangkutan.130 Namun ada juga pihak pengembang yang membuat Akta Jual Belinya karena memang Akta Jual Beli tersebut berbentuk blangko yang telah tersedia di BPN setempat atau di Kantor Pos setempat, sehingga siapa saja dapat memilikinya dengan cara membelinya asalkan ada surat pengantar atau surat keterangan dari Notaris/PPAT setempat untuk pengambilan blangko tersebut, akan tetapi pada akhirnya tetap ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT yang menjadi rekanan dari pihak pengembang.131
“Sebelum dibuatkan Akta Jual Beli oleh pihak Notaris/PPAT, biasanya pihak
pengembang membuat perjanjian jual beli perumahan sementara sebagai pengikatan
awal antara pengembang dengan pihak konsumen yang bertujuan untuk menunjukkan
keseriusan dari pihak konsumen untuk membeli perumahan yang bersangkutan”.132
130 Wawancara dengan Syafrudin Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari 2011. 131 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011. 132 Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bangun Indah Makmur Abadi di
Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
75
Sebagaimana yang telah diutarakan dalam hasil penelitian di atas, maka dapat
dikatakan bahwa setelah dipenuhinya syarat-syarat materil dalam jual beli perumahan
atau tanah yang bersangkutan, maka pihak Notaris/PPAT akan membuatkan Akta
Jual Beli untuk perumahan atau tanah yang bersangkutan dengan menggunakan
blangko Akta Jual Beli yang diperoleh dari BPN setempat (Medan). Walaupun ada
juga pihak pengembang yang membuat perjanjian jual beli perumahan sebagai
pengikatan sementara yang menunjukkan keseriusan dari pihak konsumen dalam
pembelian perumahan tersebut atau hanya mengisi Blangko Akta Jual Beli namun
pada akhirnya penandatanganan tetap dilakukan oleh pihak Notaris/PPAT.
Ada beberapa syarat kelengkapan yang harus dipenuhi sebelum Akta Jual Beli
perumahan atau tanah yang dibuat Notaris/PPAT, antara lain133 :
1. “Fotocopy identitas/KTP para pihak (pihak penjual dan pihak pembeli); 2. Surat Keterangan silang sengketa dari pihak Kelurahan setempat yang
diketahui Camat di mana objek perumahan atau tanah yang bersangkutan akan dijual;
3. Fotocopy Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut PBB) dari perumahan atau tanah yang bersangkutan; dan
4. Fotocopy dan aslinya alas hak dari perumahan atau tanah yang bersangkutan”.
“Setelah Akta Jual Beli tersebut dibuat oleh Notaris/PPAT, maka selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak Akta Jual Beli tersebut ditandatangani oleh para pihak, Notaris/PPAT menyerahkan akta tersebut ke Kantor BPN setempat untuk pendaftaran tanah dalam hal pendaftaran pemindahan hak atas tanahnya”.
“Setelah Akta Jual Beli tersebut ditandatangani oleh para pihak, maka para pihak harus membayar Pajak Penjualan dan Pajak Pembelian jika Nilai Jual Objek Pajak atau nilai transaksi jual beli tanah atau perumahan tersebut di atas Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (selanjutnya disebut NJOPTKP) sebesar Rp. 30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), serta membayar biaya
133 Wawancara dengan Bahrum Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011.
76
pemasukan ke Kantor BPN Medan untuk pendaftaran tanah dalam hal pemindahan hak atas tanahnya”.134
Berdasarkan pernyataan dari penelitian lapangan di BPN Medan, maka hal
tersebut sesuai dengan Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997) yang menyatakan
bahwa :
1. “Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatnya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftarkan.
2. PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak”.
Selain itu, untuk pemindahan hak karena jual-beli yang merupakan balik nama
dari pemegang sertifikat hak selaku penjual kepada pembeli dengan menggunakan
akta Notaris/PPAT yang dimohon oleh pembeli kepada Kepala Kantor Pertanahan
setempat melalui prosedur perolehan sertifikat hak atas tanah dengan pemenuhan
persyaratan permohonan sebagai berikut135 :
1. “Surat Permohonan. 2. Surat pengantar pendaftaran akta jual-beli dari Notaris selaku PPAT. 3. Akta jual-beli. 4. Sertifikat hak atas tanah. 5. Fotokopi KTP atau identitas diri penjual dan pembeli. 6. Fotokopi KTP atau identitas diri penerima kuasa yang disertai surat kuasa jika
permohonannya dikuasakan. 7. Fotokopi SPPT-PBB tahun berjalan. 8. Bukti pelunasan BPHTB terhutang.
134 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011. 135 S. Chandra, Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di Kantor
Pertanahan, (Jakarta : Grasindo, 2005), hal. 83-84.
77
9. Bukti pelunasan PPh terutang. 10. Pernyataan pembeli tentang batasan pemilikan tanah dan penelantaran tanah
serta akibat hukumnya. 11. Izin pemindahan hak dari yang berwenang jika haknya berdiri di atas tanah
Hak Pengelolaan atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun atau Hak Pakai atas Tanah Negara”.
Mengenai pendaftaran melalui peralihan hak atas tanah tersebut, maka untuk
lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel berikut ini :
Tabel 1 Pendaftaran Tanah Melalui Peralihan Hak Atas Tanah Tahun 2008 – 2010
No Jenis Peralihan Hak Atas Tanah 2008 2009 2010 1. Jual beli 520 537 615 2. Hibah 115 125 145 3. Pewarisan 205 225 315 4. Perwakafan 75 82 98 J U M L A H 915 969 1173 Sumber : Badan Pertanahan Nasional Medan dari Tahun 2008 – 2010.
Berdasarkan Tabel 1 di atas mengenai pendaftaran tanah melalui peralihan
hak atas tanah dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010, maka dapat dilihat bahwa
untuk peralihan hak atas tanah melalui jual beli dari tahun 2008 sampai dengan tahun
2010 lebih banyak dilakukan oleh masyarakat dibandingkan melalui peralihan hibah,
pewarisan, dan perwakafan. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan berbagai faktor, di
antaranya136 :
1. “Nilai ekonomis dari tanah atau perumahan setiap saat semakin meningkat, jadi harga jual dari tanah atau perumahan tersebut semakin tinggi dan banyak orang atau masyarakat yang melakukan pembelian sebagai sarana investasi untuk jangka waktu yang lama.
2. Kebutuhan masyarakat terhadap tanah atau perumahan semakin tinggi, karena tanah atau perumahan merupakan salah satu kebtuhan pokok setiap manusia.
136 Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
78
3. Semakin bertambahnya jumlah manusia, sedangkan luas tanah tetap bahkan semakin menyempit/berkurang yang disebabkan oleh faktor alam seperti gempa bumi, tsunami, abrasi pantai dan sebagainya”.
Minat masyarakat terhadap peralihan hak atas tanah melalui jual beli tanah
atau perumahan dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 semakin tinggi, yaitu dari
tahun 2008 sampai dengan tahun 2009 terjadi penambahan kurang lebih 17 objek
peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli dan dari tahun 2009 sampai
dengan tahun 2010 terjadi penambahan kurang lebih 78 objek. Dengan demikian hal
ini menunjukkan bahwa keinginan masyarakat terhadap tanah atau perumahan masih
tetap tingi. Sebagaimana yang telah disebut dalam hasil penelitian di atas, maka dapat
dilihat bahwa Notaris/PPAT sangat berperan dalam peralihan hak atas tanah dalam
hal ini jual beli perumahan atau tanah milik pengembang yang diperjualbelikan
kepada konsumen dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli menuju proses
pendaftaran tanah di Kantor BPN Medan sesuai dengan ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 40 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.137
137 Pasal 40, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, menyatakan bahwa : “(1) Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar; (2) PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kepada para pihak yang bersangkutan”.
79
BAB III
KEABSAHAN PENGGUNAAN BLANGKO AKTA JUAL BELI PERUMAHAN OLEH PENGEMBANG DI KOTA MEDAN
A. Tinjauan Umum Tentang Keabsahan Suatu Akta yang Dibuat Oleh Notaris/PPAT
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa : “akta adalah surat yang
diberi tandatangan yang memuat peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar daripada
suatu hak atau perikatan yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk
pembuktian”.138 Berdasarkan pernyataan maka dalam penelitian ini juga membahas
tentang keabsahan suatu akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT.
1. Kewenangan Notaris/PPAT dalam Pembuatan Akta
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyatakan bahwa : “Pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta otentik
dan kewenanganlainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini”. Selain itu
dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyatakan bahwa : “akta Notaris adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di
hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam undang-undang
ini”. Sementara menurut Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998
tentang Pejabat Pembuat Akta Tanah (selanjutnya disebut PP No. 37 Tahun 1998)
yang menyatakan bahwa, “PPAT adalah Pejabat umum yang diberi kewenangan
138 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 121.
80
untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak
atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Selain itu, dalam Pasal 1
angka 4 PP No. 37 Tahun 1998 ditentukan bahwa : “akta PPAT adalah akta yang
dibuat oleh PPAT sebagai bukti telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik atas Satuan Rumah Susun”.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004
tentang Jabatan Notaris maka dapat dilihat dalam definisi tersebut bahwa Notaris
merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam pembuatan akta-akta otentik yang
dibuat oleh atau di hadapan Notaris. Jadi, notaris merupakan Pejabat umum yang
tidak membatasi dirinya untuk perbuatan hukum tertentu dalam pembuatan akta
kecuali yang menjadi larangan untuk dibuat aktanya atau bertentangan dengan
perundang-undangan yang berlaku. Pasal 1 angka 1 dan angka 4 PP No. 37 Tahun
1998 menentukan bahwa PPAT merupakan Pejabat Umum yang berwenang dalam
pembuatan akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas
tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, jadi PPAT membatasi diri untuk
pembuatan akta terhadap perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun dan ketentuan-ketentuan yang bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Pada prinsipnya Notaris dan PPAT merupakan Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik. Hanya saja Notaris dapat membuat akta-akta otentik yang umum sifatnya tetapi tidak dapat membuat akta-akta yang dilarang untuk membuatnya dan akta-akta otentik yang dikeluarkan oleh Pejabat lainnya seperti akta nikah yang dikeluarkan oleh Pejabat Kantor Urusan Agama, akta kelahiran yang dikeluarkan oleh Pejabat Catatan Sipil, Berita Acara yang dibuat oleh Panitera atau Jurusita Pengadilan, Putusan dan Penetapan Pengadilan yang dikeluarkan oleh Hakim Pengadilan Negeri setempat dan lain- lain.
81
Sedangkan PPAT merupakan pejabat umum yang hanya dapat membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu yang berhubungan dengan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun seperti jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pebagian hak bersama, pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan. Selain itu Notaris dan PPAT yang masing-masing sebagai Pejabat Umum dapat merangkap jabatan sebagai PPAT berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998”.139
PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat (1)
PP No. 37 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa, “PPAT dapat merangkap jabatan
sebagai Notaris, Konsultan atau Penasehat Hukum”.140
Selain itu perbuatan hukum yang dapat dibuatkan aktanya berdasarkan
ketentuan Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 adalah sebagai berikut :
1. “Jual beli. 2. Tukar menukar. 3. Pemasukan ke dalam Perusahaan (inbreng). 4. Pembagian hak bersama. 5. Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik. 6. Pemberian Hak Tanggungan. 7. Pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan”.
Sebagaimana yang telah diutarakan di atas mengenai Notaris yang dapat
merangkap jabatan sebagai PPAT, maka kewenangannya pun tidak jauh berbeda
dalam pembuatan akta-akta otentik. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, ada
beberapa wewenang Notaris meliputi empat hal, antara lain141 :
1. “Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuatnya.
139 Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011. 140 Wawancara dengan Bahrum sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 2 Februari 2011. 141 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal. 35.
82
2. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang untuk kepentingan siapa akta itu dibuat.
3. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat di mana akta itu dibuat. 4. Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu”.
Dapat dikatakan bahwa jika suatu akta dibuat oleh atau di hadapan pejabat
yang tidak berwenang untuk itu, maka akta itu bukanlah akta otentik, melainkan
hanya berlaku sebagai akta di bawah tangan jika para pihak telah
menandatanganinya. Hal tersebut sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 1869
KUHPerdata yang menyebutkan bahwa, “suatu akta karena tidak berkuasa atau tidak
cakapnya pegawai termaksud di atas atau karena suatu cacad dalam bentuknya, tidak
dapat diperlakukan sebagai akta otentik, namun demikian mempunyai kekuatan
sebagai tulisan di bawah tangan, jika ia ditandatangani oleh para pihak”.
Meskipun PPAT dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan
ketentuan Pasal 7 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998, akan tetapi akta yang dibuat oleh
PPAT tersebut didasarkan atas perbuatan hukum tertentu sebagaimana yang
disebutkan dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 mengenai hak atas tanah
atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun. Dengan demikian wewenang dari seorang
PPAT tersebut adalah membuat semua akta otentik yang berkenaan dengan perbuatan
hukum dalam Pasal 2 ayat (2) PP No. 37 Tahun 1998 yaitu jual beli, tukar menukar,
hibah, pemasukan ke dalam perusahaan (inbreng), pebagian hak bersama, pemberian
Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas tanah Hak Milik, pemberian Hak Tanggungan
83
dan Pemberian Kuasa membebankan Hak Tanggungan mengenai hak atas tanah dan
Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya.142
Mengenai wewenang PPAT, maka hal tersebut sesuai dengan Pasal 3 ayat (1)
PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “Untuk melaksanakan tugas pokok
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, seorang PPAT mempunyai kewenangan
membuat akta otentik mengenai semua perbuatan hukum sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2) mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”. Selain daripada hal yang telah
disebutkan di atas mengenai wewenang dari PPAT, oleh karena seorang PPAT
tersebut dapat merangkap jabatan sebagai Notaris berdasarkan Pasal 7 ayat (1) PP No.
37 Tahun 1998, maka menurut hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa ada
penambahan wewenang dari PPAT tersebut antara lain143 :
“PPAT berwenang terhadap orang-orang untuk kepentingan siapa akta tersebut dibuat, akan tetapi PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT sendiri, suami atau isteri, keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus tanpa batas derajat dan dalam garis lurus ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain”.
Mengenai penambahan kewenangan dari PPAT yang merangkap jabatan
sebagai Notaris tersebut, maka untuk seorang PPAT dilarang untuk melakukan
perbuatan hukum tertentu dan diatur dalam Pasal 23 ayat (1) PP No. 37 Tahun 1998
yang menentukan bahwa :
142 Bahrum, Loc.cit. 143 Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011.
84
“PPAT dilarang membuat akta apabila untuk PPAT sendiri, suami atau isteri, keluarga sedarah dan semenda dalam garis lurus tanpa batas derajat dan dalam garis lurus ke samping sampai derajat kedua, menjadi pihak dalam perbuatan hukum yang bersangkutan baik dengan cara bertindak sendiri maupun melalui kuasa atau menjadi kuasa dari pihak lain”.
Pendapat dari Van Dunne yang dikutip oleh Mariam Darus Badrulzaman
menyatakan bahwa berdasarkan wewenang Notaris terhadap akta yang dibuatnya,
maka dikatakan bahwa : “suatu perjanjian terjadi melalui suatu proses yang terdiri
dari tiga fase yakni fase pra-kontrak, fase kontrak dan fase pasca kontrak”.144 Fase-
fase atau tahap-tahap yang dilakukan dalam suatu perjanjian atau perbuatan hukum
baik oleh pihak Notaris atau PPAT tersebut, antara lain145 :
1. “Tahap pra-kontrak, biasanya terjadi kesepakatan tentang isi pokok perjanjian tersebut dan pada tahap prakontrak ini apabila tidak ditemukan kesepakatan di antara para pihak yang ingin membuat perjanjian tersebut, maka tahap kontrak tidak akan dilanjutkan, tetapi jika ditemukan kesepakatan di antara para pihak maka akan dilanjutkan kepada tahap kontrak;
2. Tahap kontrak, biasanya pada tahap ini kesepakatan mengenai isi perjanjian
telah ada, sehingga dengan demikian tahap ini dapat dilanjutkan kepada tahap pasca kontrak;
3. Tahap pasca kontrak, biasanya pada tahap ini telah tercapainya kesepakatan
secara terperinci dengan ditandatanganinya perjanjian tersebut, maka timbullah hak dan kewajiban antara para pihak yang membuat perjanjian”.
Kewenangan dari Notaris/PPAT dalam hal pembuatan akta otentik terhadap
perbuatan hukum tertentu bagi para pihak yang mengingkannya akan melahirkan
suatu tanggung jawab terhadap akta yang telah dibuat oleh Notaris/PPAT tersebut,
meskipun akta tersebut sesuai dengan keinginan dari para pihak dan tidak melanggar
144 Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, Op.cit. 145 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
85
ketentuan perundang-undangan yang berlaku akan tetapi jika dikemudian hari terjadi
perselisihan antara para pihak yang membuat akta tersebut atau terhadap pihak ketiga,
maka pihak Notaris/PPAT tersebut akan dituntut harus bertanggungjawab terhadap
akta yang telah dibuatnya tersebut di Persidangan atau Pengadilan, dan paling tidak
posisi Notaris/PPAT tersebut sebagai saksi ahli di persidangan.146
2. Akta Notaris dan PPAT sebagai Alat Bukti di Persidangan
Pernyataan kehendak dan kata sepakat dari para pihak dalam suatu perbuatan
hukum tertentu yang dituangkan dalam suatu akta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT
merupakan alat bukti otentik yang dapat dipergunakan dalam suatu persidangan jika
terjadi perselisihan dikemudian hari bagi para pihak yang bersangkutan atau salah
satu pihak dengan pihak ketiga. Akta yang dibuat oleh Notaris dan PPAT merupakan
akta otentik karena akta tersebut merupakan akta yang dibuat oleh seorang Pejabat
Umum yang sebagaimana telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang
No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris untuk akta Notaris, sedangkan untuk akta
PPAT ditentukan dalam Pasal 1 angka 4 PP No. 37 Tahun 1998.147
“Fungsi akta terpenting dari suatu akta adalah sebagai alat bukti”. Suatu akta
mempunyai kekuatan pembuktian yang dapat dibedakan antara lain148 :
1. “Kekuatan pembuktian lahir, yaitu kekuatan pembuktian yang didasarkan atas keadaan lahir, apa yang tampak pada lahirnya adalah bahwa surat yang tampaknya (dari lahir) seperti akta, dianggap (mempunyai kekuatan) seperti akta sepanjang tidak terbukti sebaliknya.
146 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011. 147 Ibid. 148 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., hal. 122-123.
86
2. Kekuatan pembuktian formil, yaitu kekuatan pembuktian formil tersebut
menyangkut tentang memberikan kepastian terhadap peristiwa, bahwa pejabat dan para pihak menyatakan dan melakukan apa yang termuat dalam suatu akta.
3. Kekuatan pembuktian materiil, yaitu kekuatan pembuktian materiil ini
memberikan kepastian tentang materi suatu akta, memberikan kepastian tentang peristiwa bahwa pejabat atau para pihak menyatakan dan melakukan seperti yang dimuat di dalam suatu akta”.
Mengenai akta yang dibuat oleh seorang Notaris/PPAT juga mempunyai
kekuatan pembuktian sebagai suatu akta otentik yang terdiri dari149 :
1. “Kekuatan pembuktian secara lahir sebagai akta otentik. Maksudnya akta Notaris dan PPAT tersebut memang diakui sebagai suatu akta otentik karena dibuat oleh seorang Pejabat Umum yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undang yang berlaku atau sesuai dengan kewenangannya yaitu berdasarkan UUJN dan PP No. 37 Tahun 1998;
2. Kekuatan pembuktian formil sebagai akta otentik. Maksudnya akta Notaris
dan PPAT tersbut secara formil membuktikan kebenaran dari pada apa yang dilihat dan didengar dari para pihak yang kemudian dibuatkan aktanya oleh pihak Notaris dan PPAT; dan
3. Kekuatan pembuktian Materiil sebagai akta otentik. Maksudnya akta Notaris
dan PPAT tersebut secara materiil memastikan atau menjamin keaslian mengenai waktu atau tanggal, tempat dan tangdtangan dari para pihak tentang apa yang diinginkan oleh para pihak untuk dibuatkan aktanya oleh Notaris dan PPAT”.
“Mengenai kekuatan pembuktian akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut adalah kekuatan pembuktian akta otentik yang sempurna, artinya akta otentik tersebut dianggap sah dan benar tanpa perlu membuktikan atau menyelidiki keabsahan tandatangan para pihak yang terdapat di dalam akta tersebut. Akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut mempunyai kekuatan pembuktian formal, maksudnya akta Notaris dan PPAT tersebut membuktikan kebenaran daripada yang dilihat, didengar dan dilakukan oleh para pihak, sehingga dapat menjamin kebenaran identitas para pihak, tandatangan para pihak, tempat akta dibuat dan para pihak menjamin keterangan yang diuraikan dalam akta yang
149 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari 2011
87
bersangkutan. Selain dari hal itu, akta otentik dari Notaris dan PPAT tersebut mempunyai kekuatan pembuktian materiil, maksudnya akta yang bersangkutan isinya mempunyai kepastian sebagai alat bukti yang sah di antara para pihak, para ahli waris dan orang-orang yang memperoleh hak dari akta tersebut”.150
Mengenai kekuatan pembuktian suatu akta otentik sebagai kekuatan
pembuktian yang sempurna, hal tersebut sesuai dengan Pasal 1870 KUHPerdata yang
menyebutkan bahwa, “suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta
ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak daripada mereka suatu bukti yang
sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya”. M. Yahya Harahap, “kekuatan
pembuktian yang ada pada akta otentik adalah kekuatan pembuktian luar, sehingga
akta otentik yang diperlihatkan harus dianggap dan diperlakukan sebagai akta otentik
kecuali dapat dibuktikan sebaliknya bahwa akta itu bukan akta otentik”. Selain itu,
“suatu perkara yang masuk di pengadilan yang berkaitan dengan akta maka akta itu
harus diterima kebenarannya sebagai akta otentik dan jika dapat dibuktikan
kepalsuannya, hilang atau gugur kekuatan bukti luar dimaksud, sehingga tidak boleh
diterima dan dinilai sebagai akta otentik”.151
Menyimak teori-teori yang dikemukakan oleh para ahli hukum mengenai
kekuatan pembuktian akta yang dibuat Notaris dan PPAT maka dapat dikatakan
bahwa akta Notaris dan PPAT sebagai akta otentik yang dapat dijadikan sebagai alat
bukti di persidangan. Tanggung jawab Notaris/PPAT adalah hadir di Persidangan
150 Wawancara dengan Agusnita CH sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 7 Februari
2011. 151 M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 555.
88
untuk memberikan keterangan kesaksian apabila Akta Otentik yang dibuatnya
menimbulkan permasalahan hukum.
B. Keabsahan Blangko Akta Jual Beli yang Digunakan Pengembang Untuk Jual Beli Perumahan
Jual beli dapat dilakukan oleh siapa saja jika sesuai dengan ketentuan yang
berlaku. Sebagaimana yang telah disebutkan pada bab sebelumnya bahwa jual beli
perumahan yang dilakukan oleh pengembang tersebut sesuai dengan ketentuan jual
beli berdasarkan Pasal 1457 KUHPerdata yang menyatakan bahwa : “suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan
suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”.
1. Keabsahan Blangko Akta Jual Beli yang Digunakan Oleh Pengembang Secara Massal
“Pengembang yang melakukan jual beli perumahan dengan pihak konsumen membuat perjanjian dengan dengan menggunakan Akta Jual Beli. Siapa saja ingin mendapatkan atau membeli blangko Akta Jual Beli yang ada di BPN ataupun di Kantor Pos dapat memperolehnya jika yang berkepentingan membawa Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari Notaris/PPAT. Dengan demikian pihak pengembang bisa mendapatkan atau membeli blangko Akta Jual Beli tersebut yang kemudian akan menggunakannya untuk melakukan jual beli perumahan.152
Namun demikian, tidak satupun pihak pengembang yang langsung melakukan
peralihan hak atas tanah melalui jual beli perumahannya, semua peralihan hak atas
152 Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
89
tanah dilakukan dengan pembuatan akta oleh pihak Notaris PPAT Medan dan hal ini
dapat dilihat dalam Tabel 2 berikut ini :
Tabel 2 Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli Tahun 2008 – 2010
No. Pihak Yang Mengalihkan 2008 2009 2010
1. Notaris/PPAT 520 Peralihan 537 Peralihan 615 Peralihan 2. CAMAT PPAT - - - 3. Pengembang - - -
Sumber : BPN Medan Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010.
Berdasarkan Tabel 2 di atas, maka dapat dikatakan bahwa dari tahun 2008
sampai dengan tahun 2010 peralihan hak atas tanah melalui jual beli, semuanya
dilakukan oleh pihak Notaris/PPAT.
“Peralihan hak atas tanah melalui jual beli hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh Notaris/PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dibuat oleh Camat/PPAT Medan tidak lagi diperkenankan, karena Camat/PPAT tersebut hanya sebagai PPAT Sementara, jadi sifatnya juga sementara sehingga jika sudah ada di daerah tersebut Notaris/PPAT (Medan) maka Camat/PPAT tidak bisa lagi sebagai PPAT (di Medan)”.153
Ketentuan tersebut di atas, sesuai dengan Pasal 37 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP
No. 24 Tahun 1997) yang menyebutkan bahwa :
“Peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Satuan Rumah Susun emlalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahanhak lainnya kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”.
153 Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
90
Tentang masalah Camat/PPAT sebagai PPAT Sementara, maka hal tersebut
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang disebut dalam Pasal
1 angka 2 PP No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan bahwa : “Pejabat Pemerintah
yang ditunjuk karena jabatannya untuk melaksanakan tugas PPAT dengan membuat
akta PPAT di daerah yang belum cukup terdapat PPAT”. Selain itu pada dasarnya
seorang PPAT tersebut dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai Pegawai
Negeri Sipil dan hal ini berdasarkan Pasal 7 ayat (2) huruf b PP No. 37 Tahun 1998
yang menyatakan bahwa, “PPAT dilarang merangkap jabatan atau profesi sebagai
Pegawai Negeri, atau Pegawai Badan Usaha Milik Negara/Daerah”.
Melalui wawancara dengan pengembang diketahui bahwa, jual beli
perumahan yang dilakukan dengan pihak konsumen atau masyarakat dilakukan
dengan dua cara, antara lain154 :
1. “Dengan menggunakan perjanjian jual beli yang dibuat sendiri oleh pihak pengembang dengan konsumen atau masyarakat, di mana pihak konsumen atau masyarakat membayar panjar sebagai uang muka untuk pembelian perumahan yang bersangkutan, jika konsumen serius dalam pembelian tersebut maka akan dibuatkan perjanjian jual beli yang bersifat sementara sebelum lunas pembayarannya;
2. Dengan menggunakan Akta Jual Beli yang dibuat ataupun diisi oleh pihak
pengembang, namun pada akhirnya ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT dan juga pihak konsumen atau masyarakat jika telah melakukan pembayaran secara tunai kepada pihak pengembang”.
Dapat dikatakan bahwa perjanjian jual beli perumahan yang dibuat oleh pihak
pengembang dengan konsumen tanpa melalui pengikatan yang dibuat oleh
Notaris/PPAT apabila konsumen baru membayar uang muka atau panjar untuk
154 Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bumi Indah Makmur Abadi d i Jl. Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
91
pembelian rumah, akan tetapi setelah lunas pembayarannya maka barulah Akta Jual
Beli perumahan dibuatkan oleh pihak Notaris/PPAT. Untuk lebih jelas dapat dilihat
pada Tabel 3 berikut ini :
Tabel 3 Jenis Perjanjian Pemilikan Rumah Pada PT. Bangun Indah Mak mur Abadi Tahun 2008 – 2010
No. Jenis Perjanjian 2008 2009 2010 1. Kredit Pemilikan Rumah 38 Unit Rumah 56 Unit Rumah 67 Unit Rumah 2. Perjanjian Jual Beli 7 Unit Rumah 8 Unit Rumah 10 Unit Rumah 3. Akta Jual Beli 5 Unit Rumah 6 Unit Rumah 8 Unit Rumah J U M L A H 50 Unit Rumah 70 Unit Rumah 85 Unit Rumah Sumber : PT. Bangun Indah Makmur Abadi Tahun 2008 – 2010.
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dilihat bahwa PT. Bangun Indah Makmur
Abadi pada tahun 2008 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
konsumen (masyarakat), dengan cara antara lain :
1. Melalui KPR sebanyak 38 (tiga puluh delapan) unit rumah dari 50 (lima
puluh) unit perumahan yang dibangun.
2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 7 (tujuh) unit rumah dari 50 (lima
puluh) perumahan yang dibangun.
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 50 (lima puluh)
perumahan yang dibangun.
Pada tahun 2009 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
konsumen (masyarakat), dengan cara antara lain :
1. Melalui KPR sebanyak 56 (lima puluh enam) unit rumah dari 70 (tujuh puluh)
unit perumahan yang dibangun.
92
2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 70 (tujuh
puluh) perumahan yang dibangun.
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 6 (enam) unit rumah dari 70 (tujuh puluh)
perumahan yang dibangun.
Pada tahun 2010 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
konsumen (masyarakat) cara antara lain :
1. Melalui KPR sebanyak 67 (enam puluh tujuh) unit rumah dari 85 (delapan
puluh lima) unit perumahan yang dibangun.
2. Melalui Perjanjian jual beli sebanyak 10 (sepuluh) unit rumah dari 85
(delapan puluh lima) perumahan yang dibangun.
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 85 (delapan
puluh lima) perumahan yang dibangun.
Melalui penjelasan Tabel 3 di atas :
“pemilikan rumah melalui KPR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 lebih banyak diminati oleh pihak konsumen (masyarakat), karena dengan uang muka atau down payment (DP) yang ringan, suku bunga kredit perbulan yang ringan dan jangka waktu kredit yang cukup lama maka pihak konsumen (masyarakat) sudah dapat memiliki rumah. Sedangkan untuk pembelian secara langsung tunai melalui perjanjian jual beli dan Akta Jual Beli pihak konsumen merasa lebih berat, karena biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dan mahal. Namun demikian pada tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 tetap mengalami peningkatan, karena memang kebutuhan rumah sebagai tempat tinggal atau sebagai investasi jangka panjang bagi pihak konsumen atau masyarakat dianggap sebagai salah satu hal yang menguntungkan.155
155 Wawancara dengan Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bumi Indah Makmur Abadi jl.
Brigjen Katamso No. 329 Medan, pada tanggal 25 Januari 2011.
93
Selain itu, pihak pengembang lainnya juga melakukan hal yang sama dalam
melakukan perjanjian pemilikan rumah sabagaimana yang dapat dilihat pada tabel 4
berikut ini :
Tabel 4 Jenis Perjanjian Pemilikan Rumah Pada PT. Toha Property Tahun 2008 – 2010
No. Jenis Perjanjian 2008 2009 2010 1. Kredit Pemilikan Rumah 27 Unit Rumah 38 Unit Rumah 45 Unit Rumah 2. Perikatan Jual Beli 5 Unit Rumah 7 Unit Rumah 8 Unit Rumah 3. Akta Jual Beli 3 Unit Rumah 5 Unit Rumah 6 Unit Rumah J U M L A H 50 Unit Rumah 50 Unit Rumah 58 Unit Rumah Sumber : PT. Toha Property Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2010.
Berdasarkan Tabel 4 di atas, maka dapat dilihat bahwa PT. Toha Property
pada tahun 2008 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
konsumen (masyarakat) cara antara lain :
1. Melalui KPR sebanyak 27 (dua puluh tujuh) unit rumah dari 35 (tiga puluh
lima) unit perumahan yang dibangun;
2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 35 (tiga puluh
lima) perumahan yang dibangun; dan
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 3 (tiga) unit rumah dari 35 (tiga puluh lima)
perumahan yang dibangun.
Pada tahun 2009 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
konsumen (masyarakat) cara antara lain :
1. Melalui KPR sebanyak 38 (tiga puluh delapan) unit rumah dari 50 (lima
puluh) unit perumahan yang dibangun;
94
2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 7 (tujuh) unit rumah dari 50 (lima puluh)
perumahan yang dibangun; dan
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 5 (lima) unit rumah dari 50 (lima puluh)
perumahan yang dibangun.
Pada tahun 2010 telah melakukan perjanjian pemilikan rumah dengan pihak
konsumen (masyarakat) cara antara lain :
1. Melalui KPR sebanyak 45 (empat puluh lima) unit rumah dari 58 (lima puluh
delapan) unit perumahan yang dibangun;
2. Melalui Perikatan jual beli sebanyak 8 (delapan) unit rumah dari 58 (lima
puluh delapan) perumahan yang dibangun; dan
3. Melalui Akta Jual Beli sebanyak 6 (enam) unit rumah dari 58 (lima puluh
delapan) perumahan yang dibangun.
Melalui penjelasan Tabel 4 tersebut di atas :
“Pemilikan rumah melalui KPR dari tahun 2008 sampai dengan tahun 2010 lebih banyak diminati oleh pihak konsumen (masyarakat) yaitu dari tahun 2008 sampai dengan 2009 terjadi peningkatan kurang lebih 11 (sebelas) unit rumah dari penambahan 15 (lima belas) unit pembangunan perumahan dan tahun 2009 sampai tahun 2010 terjadi peningkatan 7 (tujuh) unit rumah dari penambahan 8 (delapan) unit pembangunan perumahan, hal tersebut terjadi dikarenakan melalui KPR maka pihak konsumen atau masyarakat akan mendapatkan uang muka yang ringan, cicilan kredit perbulan yang ringan dan jangka waktu kredit yang ditawarkan oleh pengembang yang cukup lama”.156
Mengenai pihak pengembang yang menggunakan Akta Jual Beli dalam jual
beli perumahannya kepada konsumen atau masyarakat memang ada terjadi dan
156 Wawancara dengan Edwin Marpaung sebagai Staf Legal PT. Toha Property di Jl. AR. Hakim No. 273 Medan, pada tanggal 27 Januari 2011.
95
dibolehkan karena Akta Jual Beli tersebut dapat diperoleh atau dibeli di BPN dan
Kantor Pos jika ada Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari pihak Notaris/PPAT
Medan. Namun demikian Blangko Akta Jual Beli yang diisi oleh pihak pengembang
tersebut tetap saja harus ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT setempat (Medan),
karena untuk pendaftaran tanah melalui peralihan hak atas tanah dengan cara jual beli
di BPN setempat (Medan) harus dengan akta Notaris/PPAT setempat (Medan).
2. Akta Jual Beli Sebagai Bukti Peralihan Hak Atas Tanah
Undang-Undang membagi benda dalam beberapa macam antara lain157 :
1. “Benda yang dapat diganti dan yang tidak dapat diganti.
2. Benda yang dapat diperdagangkan dan yang tidak dapat diperdagangkan.
3. Benda yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi.
4. Benda yang bergerak dan yang tidak bergerak”.
Selain itu, benda bergerak dan benda tidak bergerak dapat dibagi ke dalam
tiga golongan, antara lain158 :
1. “Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena sifatnya.
2. Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena tujuannya.
3. Benda bergerak dan benda tidak bergerak karena ketentuan yang ditentukan
oleh undang-undang”.
157 R. Subekt i, Op.cit., hal. 60. 158 Ibid., hal. 60-62.
96
Hal yang sama juga disebutkan oleh Sri Soedewi Majschoen Sofwan, bahwa
benda tidak bergerak itu dibedakan menjadi tiga golongan, yaitu159 :
1. “Benda tidak bergerak karena sifatnya tetap, seperti tanah dan segala sesuatu yang melekat di atasnya.
2. Benda tidak bergerak karena tujuan pemakaiannya ialah segala apa yang meskipun tidak secara sungguh-sungguh digabungkan dengan tanah atau bangunan yang dimaksudkan untuk mengikuti tanah atau bangun itu untuk waktu yang agak lama seperti mesin-mesin dalam suatu pabrik.
3. Benda tidak bergerak karena telah ditentukan dalam undang-undang. Hal ini berwujud terhadap hak-hak atas benda-benda yang tidak bergerak seperti hak memungut hasil benda tidak bergerak, hak memakai atas benda tidak bergerak, Hak Tanggungan dan lain- lain”.
Selain hal tersebut di atas, ada empat hal penting yang harus diperhatikan
terhadap benda bergerak dan benda tidak bergerak, antara lain160 :
1. Bezit;
2. Levering (penyerahan);
3. Verjaring (kadaluwarsa); dan
4. Bezwaring (pembebanan).
“Bezit adalah suatu keadaan lahir, di mana seorang menguasai suatu benda
seolah-olah kepunyaannya sendiri, yang oleh hukum dilindungi dengan tidak
mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siapa”.161 Bezit
terhadap benda tidak bergerak seperti seseorang yang menempati sebuah rumah milik
orang tuanya yang berasal dari warisan, di mana orang yang bersangkutan secara
sungguh-sungguh mengira bahwa rumah yang dikuasainya tersebut merupakan
159 Sri Soedewi Majchoen Sofwan, Hukum Perdata (Hukum Benda), (Yogyakarta : Liberty,
1981), hal. 20. 160 Ibid., hal. 22. 161 R. Subekt i, Op.cit., hal. 63.
97
miliknya sendiri. Sementara itu, penyerahan (levering) pada benda tidak bergerak
adalah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya kepada orang lain,
sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu.162 Sedangkan levering
(penyerahan) tersebut mempunyai dua arti yaitu163 :
1. Perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (feitelijke levering).
2. Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik pada orang lain
(juridische levering).
Kedua pengertian tersebut di atas dapat dilihat dalam pemindahan hak milik
atas benda yang tidak bergerak karena pemindahan ini tidak cukup dilaksanakan
dengan pengoperan kekuasaan belaka, malainkan harus pula dibuat suatu surat
penyerahan akta Van transport yang harus dikutip dalam daftar eigendom.164
Terhadap jual beli perumahan yang dilakukan oleh pengembang kepada pihak
konsumen atau masyarakat, maka sahnya suatu jual beli tersebut berdasarkan Pasal
1457 KUHPerdata, jika pembeli membayar lunas harga rumah dan penjual
menyerahkan rumah tersebut kepada pihak konsumen atau masyarakat dengan suatu
perjanjian jual beli ataupun Akta Jual Beli. Namun demikian, penyerahan (levering)
untuk suatu tanah atau perumahan yang merupakan benda tidak bergerak, penyerahan
tersebut tidak dapat langsung beralih hak kepemilikannya kepada pembeli jika
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam perundang-undang yang berlaku tidak diikuti
secara benar.
162 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Op.cit., hal. 67. 163 R. Subekt i, Op.cit., hal. 71. 164 Ibid.
98
“Peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli harus dibuat oleh Notaris/PPAT yang bertujuan untuk membuat pendaftaran hak atas tanah, sedangkan peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli yang dilakukan oleh para pihak sendiri yaitu pihak pembeli dan pihak penjual dengan Akta Jual Beli tetap sah akan tetapi pendaftaran untuk peralihan hak untuk balik nama sertifikat ataupun untuk memperoleh sertifikat jika alas hak atas tanahnya adalah SK Camat atau merupakan tanah negara tidak dapat dipenuhi tanpa akta yang dibuat dan ditandatangani oleh pihak Notaris/PPAT setempat (Medan)”.165
Pernyataan tentang pendaftaran hak atas tanah melalui peralihan hak atas
tanah denagn cara jual beli di BPN setempat harus dengan akta PPAT yaitu
pendaftaran jual beli itu hanya dapat (boleh) dilakukan dengan akta PPAT sebagai
buktinya. Selain orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT
tidak akan memperoleh sertifikat biarpun jual belinya sah menurut hukum.166
“Pada prinsipnya untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah atau perumahan atau secara jual beli harus menggunakan akta Notaris/PPAT, sedangkan untuk peralihan hak atas tanah atau perumahannya saja tanpa memperoleh sertifikat atau balik nama sertifikat dapat dilakukan secara di bawah tangan saja ataupun melalui akta Notaris sudah dianggap sah menurut hukum dan hak atas tanah tersebut sudah dianggap beralih kepemilikannya. Namun untuk lebih sempurnanya bukti kepemilikan tersebut beralih ke tangan si pembeli, maka hak kepemilikan (sertifikat) yang lama digantikan kepemilikannya dengan yang baru (balik nama sertifikat)”.167
Fungsi akta PPAT merupakan bukti adanya suatu perbuatan hukum
pemindahan hak atas tanah oleh para pihak, di samping itu juga sebagai syarat untuk
165 Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011. 166 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentuan, Isi dan Pelaksanaannya,
(Jakarta : Djambatan, 1997), hal. 52. 167 Wawancara dengan Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT Medan, pada tanggal 5 Februari
2011.
99
dapat dilakukan pendaftaran pada Kantor Pertanahan.168 “Maksud adanya pendaftaran
tersebut bukan menentukan saat berpindahnya hak kepada penerima, melainkan untuk
memperoleh alat pembuktian yang kuat sekaligus memperluas daya pembuktiannya
dengan adanya sifat keterbukaan dari administrasi pendaftaran bagi umum”.169
Berdasarkan Penjelasan Pasal 37 PP No. 24 Tahun 1997 yang menyatakan
bahwa : “akta PPAT adalah merupakan bukti untuk dapat dilaksanakannya
pendaftaran, bukan syarat sahnya peralihan hak”. Sedangkan dalam ketentuan Pasal
28 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 Tentang Pendaftaran
Tanah (selanjutnya disebut PP No. 10 Tahun 1961) menentukan bahwa : “fungsi akta
PPAT dalam perbuatan hukum pemindahan hak adalah untuk membuktikan, bahwa
benar telah dilakukan perbuatan hukum yang bersangkutan oleh para pihak”. Dengan
demikian jika kedua pasal-pasal tersebut digabungkan, maka dapat dikatakan bahwa
adanya akta PPAT tersebut merupakan syarat untuk dapat dilakukan pendaftaran
perbuatan hukumnya oleh Kantor Pertanahan.
C. Kedudukan Hukum dan Arti Penting Blangko Akta Tanah Bagi Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai Pe jabat Umum
1. Kedudukan Hukum Blangko Akta Tanah PPAT
Satu-satunya Pasal dalam yang merupakan pilar keberadaan akta otentik dan
Pejabat Umum di Indonesia diatur dalam Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata. Pasal ini menghendaki adanya undang-undang organik yang mengatur
168 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Indonesia), (Jakarta :
Djambatan, 2003), hal. 517. 169 Wawancara dengan Syafrudin sebagai Pegawai BPN Medan, pada tanggal 4 Februari
2011.
100
tentang bentuk akta otentik dan Pejabat Umum dan tidak mengatur tentang blangko
akta otentik. Pelaksanaan Pasal 1868 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata diatur
dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (sebelumnya
diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris Staatsblad 1860 : 3). Tugas dan kewenangan
Notaris adalah untuk membuat akta otentik sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris dan sebelumnya diatur dalam
Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 : 3).
Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris (Staatsblad 1860 : 3), mengemukakan
bahwa :
“Notaris adalah Pejabat Umum yang satu-satunya berwenang untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grosse, salinan dan kutipannya, semuanya sepanjang perbuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain”.
Sedangkan pada Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris menyatakan bahwa :
“Notaris berwenang membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh Undang-Undang”.
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris dan Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris, kewenangan Notaris menggunakan
101
kata “membuat akta” harus diartikan memproduksi akta dalam bentuk yang
ditentukan oleh Undang-Undang sebagaimana dalam Pasal 1868 KUHPerdata yang
menjadi sumber dari Pasal 1 Peraturan Jabatan Notaris dan Undang-Undang No. 30
Tahun 2004 itu. Kewenangan memproduksi akta ini yang memberikan stempel
otensitas kepada Akta Notaris. Pejabat umum merupakan organ Negara yang mandiri
dalam arti Pejabat Umum mempunyai kebebasan dalam membuat akta sesuai dengan
bentuk yang ditetapkan oleh Undang-Undang.170 Kata ”membuat” harus diartikan
sebagai memproduksi akta-akta sesuai dengan bentuk yang ditentukan oleh Undang-
Undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1868 KUHPerdata, yang menjadi
sumber akta otentik dan Pejabat Umum.
Dalam kontek PPAT selaku Pejabat Umum yang tunduk pada Pasal 1868
KUHPerdata, Blangko Akta PPAT tidak diperlukan dalam menjalankan jabatannya
selaku Pejabat Umum dalam membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum
tertentu mengenai Akta Jual Beli, Akta Hibah, Akta Tukar Menukar, dan lain
sebagainya. Bahkan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia membuat mempunyai
arti menciptakan, melakukan, mengerjakan, dengan demikian kewenangan PPAT
membuat akta otentik harus diartikan menciptakan, membuat dan mengerjakan akta
termasuk membuat sendiri akta yang menjadi kewenangannya. Memperhatikan
kewenangan Notaris selaku Pejabat Umum dalam membuat akta otentik didasarkan
pada dua hal, yaitu :
1. Atas kehendak atau permintaan oleh yang berkepentingan agar perbuatan
hukum itu dinyatakan dalam bentuk akta otentik; dan
170 GHS Lumban Tobing, Peraturan Jabatan Notaris, (Jakarta : Erlangga, 1980), hal. 28.
102
2. Selain karena kehendak atau permintaan oleh yang berkepentingan, juga
karena Undang-Undang mengharuskan agar sesuatu perbuatan hukum tertentu
mutlak dibuat dalam akta otentik tertentu.
Pembuatan akta otentik berdasarkan atas permintaan yang berkepentingan
mengandung arti Notaris hanya berwenang membuat akta otentik di bidang hukum
perdata dan tidak berwenang membuat akta otentik secara jabatan ataupun di bidang
hukum publik, perbuatan hukum yang tertuang dalam akta Notaris bukanlah
merupakan perbuatan hukum dari Notaris itu. Penggunaan blangko terhadap akta-akta
PPAT sebagai akta otentik yang isinya merupakan kehendak atau atas permintaan
yang berkepentingan, maka blangko akta tidak memiliki urgensi hukum karena
dengan menggunakan blangko berarti isi perjanjian sudah diatur dalam hukum publik
atau karena jabatan dan hal ini bertentangan dengan azas kebebasan berkontrak bagi
Akta PPAT sebagai perbuatan hukum kontraktual. Lain halnya bila PPAT tidak
memenuhi kriteria sebagai Pejabat Umum, maka penggunaan Blangko Akta PPAT
merupakan hal yang dapat diterima mengingat tugas dan kewenangan PPAT
merupakan bagian dari urusan pemerintah di bidang pendaftaran tanah.
Foto Copy Blangko Akta sebagai ganti Blangko Akta PPAT yang dicetak,
menjadi masalah hukum tersendiri ditinjau dari aspek bentuk produk hukum dan
keabsahannya. Foto Copy Blangko Akta diatur dalam bentuk surat Kepala BPN No.
640-1884 sedangkan pengaturan Blangko Akta PPAT yang dicetak diatur dalam
Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 sehingga surat bukanlah suatu produk
hukum. Ditinjau dari Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
103
Peraturan Perundang-Undangan kewenangan mengeluarkan Foto Copy Blangko Akta
yang dilegalisir, tidak ada aturan hukumnya yang memberikan wewenang kepada
BPN untuk mengeluarkan Blangko Akta dalam bentuk Foto Copy.
Tujuan diselenggarakannya pendaftaran tanah adalah untuk menjamin
kepastian hukum, sedangkan kehadiran Blangko Akta PPAT tidak lebih hanya
berfungsi sebagai dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan tidak
menentukan otensitas dan keabsahan suatu perbuatan hukum yang dimuat dalam akta
tersebut sehingga blangko akta tidak memiliki urgensi hukum dalam menentukan
kepastian hukum suatu perbuatan hukumnya. Kewenangan PPAT dalam membuat
akta-akta jual beli, tukar menukar yang menggunakan blangko atau formulir akta
yang disediakan BPN merupakan intervensi atau campur tangan Pejabat Administrasi
Negara terhadap kebebasan para pihak dalam Bidang Hukum Perdata. Tugas PPAT
dalam membuat akta-akta tanah yang berfungsi sebagai alat bukti tulisan yagn
dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah dan karena itu terdapat
perbedaan tugas PPAT dalam membuat akta tanah yang bersumber dari hukum
perdata dengan pendaftaran perubahan atau pendaftaran tanah yang bersumber dari
Hukum Administrasi Negara.
2. Arti Penting Blangko Akta Bagi PPAT
Keberadaan Blangko Akta sebenarnya dapat membantu kinerja PPAT
Sementara dan PPAT yang baru diangkat menjadi PPAT karena dapat memudahkan
PPAT Sementara dan PPAT baru dalam pembuatan akta. Selain itu, dapat
memudahkan BPN dalam pemeriksaan, serta agar terdapat keseragaman dalam
104
bentuk akta PPAT. Berdasarkan Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997, jika
Blangko Akta PPAT tidak digunakan dalam membuat akta PPAT mengakibatkan
akta PPAT tersebut akan ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun, tidak dapat
dipungkiri pula adanya kelemahan dalam penggunaan blangko akta apabila sewaktu-
waktu terjadi kelangkaan atau kekosongan blangko akta seperti yang pernah terjadi di
tahun 2007 yang lalu. Apabila PPAT tetap menggunakan blangko akta dalam
menjalankan wewenangnya dalam pembuatan akta otentik maka pelayanan kepada
masyarakat akan terhambat, karena dengan tidak adanya blangko akta PPAT tidak
dapat membuat akta.
Ada dua aspek di dalam suatu akta yang sudah selesai (jadi), yaitu aspek
hukum yang berhubungan dengan perbuatan atau peristiwa hukum, ini adalah ranah
pekerjaan PPAT dan aspek administratif untuk memenuhi azas publisitas, ini adalah
ranah pekerjaan BPN. Blangko seharusnya dengan mudah didapatkan di BPN tidak
harus mengajukan permohonan, pencatatan nomor seri blangko kemana perginya,
masa tunggu. Tetapi yang terjadi adalah kesulitan untuk mendapatkan blangko
dengan penerbitan berbagai macam peraturan oleh BPN sebagai regulator. Tidak
diperjualbelikan blangko itu oleh BPN malah menimbulkan kecurigaan, dimana BPN
telah membawa PPAT dalam pusaran untuk menikmati uang rakyat yang nantinya
berujung pada korupsi lembaga BPN sama dengan korupsi lembaga PPAT karena
telah sama-sama menikmati uang rakyat dengan melalui tidak dijualnya blangko
105
tersebut disadari atau tidak disadari, PPAT telah masuk perangkap rayuan (fait
accompli) BPN.171
Dalam bentuk peristiwa atau perbuatan hukum yang akhirnya terjamin
otensitas akta bagi para pihak tidaklah didasarkan tertib atau tidak tertibnya asal
muasal blangko, gratis atau dibeli, warna kertas merah atau hitam, dicetak BPN atau
tidak, pakai nomor seri atau nomor bantu adalah dijalani prosedur proses hukum yang
benar oleh PPAT dengan pihak yang terlibat dalam akta tersebut. Fotocopy mlangko
akta yang dilegalisir oleh Kepala Kantor Wilayah atau Kepala Kantor BPN selama
Blangko Akta Tanah tidak ada tidak masalah dan dibenarkan oleh BPN. Terlihat
janggal kalau BPN mengatur peredaran blangko sekompleks mungkin seolah-olah
dalam hal ini telah menganggap para PPAT pihak yang harus diayomi seperti anak
taman kanak-kanak. BPN lupa sejarah hukum perjanjian dengan kertas dari daun
kayu pun kalau telah memenuhi Pasal 1320 KUHPerdata perjanjian itu adalah sah.172
Sejak BPN menjadi administrator dan sekaligus regulator blangko akta, sejak
itu pula PPAT mendapatkan blangko akta secara gratis dari BPN. Tidak ada sistem
yang valid atau wajar saja tetapi sesuatu yang bisa berjalan dnegan mudah kenapa
harus dipersulit. Karena dengan gratisnya blangko akta itu oleh BPN, PPAT wajib
melaporkan seluruh lalup- lintas penggunaan blangko yang telah diterima sebelumnya.
Hal ini akan menambah pekerjaan yang seharusnya tidak perlu ada. Sering blangko
tersebut hilang timbul keberadaannya di Kantor Pertanahan, jumlah yang terbatas itu
jadi tetap harus dibayar di masing-masing Kantor Pertanahan. Semuanya itu adalah
171 Yonsah Miranda, Blangko (Lagi) Akta, Majalah Renvoi Nomor 2.74.VII, Th. 07/2009, hal.
4. 172 Ibid.
106
hambatan yang harus dilewati PPAT. Pelayanan BPN dalam hal blangko akta gratis
masih banyak kedala sehingga pelayanan BPN belum menunjukkan hasil yang
optimal. Proses untuk mencapai yang ideal memang diperlukan oleh semua pihak
yang terkait.
Kendati pihak BPN telah membuat standar-standar pelayanan yang optimal
termasuk menggratiskan blangko akta PPAT. Namun, masih terjadi ketimpangan di
sana-sini seperti pendistribusian blangko gratis yang ditandatangani langsung oleh
BPN dengan harapan agar terjadi pelayanan yang cepat dan tepat ternyata masih
terdapat ketimpangan. Implikasinya justru menghambat proses pelayanan. Blangko
yang dicetak dengan dana APBN dan diberikan secara gratis ini, faktanya sulit
diperoleh. Permohonan kebutuhan yang diajukan seorang PPAT pada Kantor
Pertanahan tidak serta merta dipenuhi, karena adanya beragam pertimbangan dari
pihak Kantor Pertanahan. Padahal, pengurangan jatah tersebut membuat keinginan
masyarakat dalam pembuatan akta tidak terpenuhi atau tertunda. Blangko yang sering
disebut gratis tersebut, ternyata pada kenyataannya masih diperoleh dnegan
mengeluarkan sejumlah biaya (transaction cost).
107
D. Kekuatan Pembuktian Dari Akta Pertanahan yang Dibuat Oleh PPAT Dengan Menggunakan Foto Copy Blangko Akta yang Dilegalisir Oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
Foto Copy Blangko Akta yang dilegalisir oleh Kepala Kantor Wilayah BPN
berasal dari Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang
Blangko Akta PPAT, yang isinya sebagai berikut173 :
1. ”Apabila di daerah Saudara terdapat kelangkaan blangko akta PPAT tertentu agar Saudara segera menerbitkan fotocopy akta yang disahkan sebagaimana surat kami tersebut di atas. Pada halaman pertama akta sebelah kiri atas ditulis Disahkan Pengguna-annya dan ditandatangani oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi atau Pejabat yang ditunjuk serta dibubuhi paraf dan cap dinas pada setiap halaman.
2. Fotocopy blangko akta dimaksud haruslah berdasarkan suatu blangko akta
dengan nomor porporasi tertentu yang dimiliki oleh Kepala Kantor Wilayah BPN Provinsi dan asli blangkonya merupakan asli dari setiap fotocopy blangko yang diserahkan kepada PPAT.
3. Penggunaan blangko akta fotocopy dimaksud angka 1 di atas hanya dalam
keadaan tertentu, apabila terjadi kelangkaan blangko akta, setelah Saudara terlebih dahulu mengadakan pengecekan ke Kantor Pos setempat atau Kantor PT. Pos Indonesia di Bandung telepon nomor 022-7206329, 7206281 pesawat 121”.
Keberadaan blangko akta yang difotokopi dan dilegalisir oleh Kantor Wilayah
BPN tersebut ternyata masih menimbulkan banyak permasalahan. Kebijakan tersebut
membuahkan perdebatan panjang di kalangan PPAT. Akta dengan menggunakan
blangko yang telah difotokopi dan dilegalisir tersebut dapat dijadikan sebagai alat
bukti. Alasannya adalah asli atau tidak terletak pada tanda tangan para pihak bukan
terletak pada blangko akta fotokopi tersebut.174 Sedangkan untuk permasalah tersebut
173 Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884 tanggal 31 Juli 2003 tentang Blangko Akta
PPAT. 174 Boedi Harsono, Op.cit.
108
sebelumnya harus dikembalikan lagi kepada apa yang dimaksu dengan akta otentik,
dalam hal ini akta PPAT. Hal ini dapat dikembalikan pada Pasal 19 Undang-Undang
No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, pendaftaran tanah
tersebut meliputi pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
Kewenangan inilah yang diserahkan oleh Pemerintah untuk menjadi bidang pekerjaan
PPAT. Atas dasar Pasal 19 inilah maka lahir Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun
1961 tentang Pendaftaran Tanah yang kemudian dalam perjalanannya diubah menjadi
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah hanya
memuat akta PPAT sebagai alat bukti atau pendaftaran tanah maka keluarlah
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menguatkan kedudukan profesi PPAT
dan lingkup pekerjaannya. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta
Tanah, yang mengatakan bahwa ”PPAT adalah Pejabat Umum yang diberikan
kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu
mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun”. Pada ayat (4)
ditegaskan bahwa : ”Akta PPAT adalah akta yang dibuat oleh PPAT sebagai bukti
telah dilaksanakannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak
Milik Atas Satuan Rumah Susun.
Dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, disebutkan juga bahwa :
”Tugas pokok PPAT adalah melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta, sebagai bukti telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun
109
yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu”.
Perbuatan hukum sebagaimana dimaksud adalah berkaitan dengan jual beli,
tukar menukar, hibah, pemasukan ke dalam perusahaan, pembagian hak bersama,
pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai atas Tanah Hak Milik, pemberian Hak
Tanggungan dan pemberian kuasa membebankan Hak Tanggungan. Dalam Pasal 3
ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat
Pembuat Akta Tanah disebutkan pula untuk tugas pokok sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 2 ayat (2). Mengenai hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun yang terletak di dalam daerah kerjanya. Dengan demikian jelas yang menjadi
tugas PPAT, seperti yang diamanatkan dalam ketentuan perundang-undangan.
Kaitannya dengan pendaftaran tanah dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun
1997, Pasal 37 dikatakan peralihan hak atas tanah dan Hak Milik Atas Satuan Rumah
Susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan
perbuatan hukum pemindahan hak lainnya. Kecuali pemindahan hak melalui lelang,
hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang
berwenang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sah atau tidaknya suatu akta sebagai akta otentik tidak berdasarkan akan
bahan atau kertas yang digunakan tetapi telah terpenuhinya unsur-unsur dalam
perjanjian dan telah berdsarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian
penggunaan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli yang telah dilegalisir untuk pembuatan
akta PPAT memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan blangko asli. Karena
kedua-duanya sama-sama memiliki dasar hukum.
110
BAB IV
HAMBATAN YANG TERJADI PADA SAAT PENGGUNAAN BLANGKO AKTA JUAL BELI PERUMAHAN OLEH PENGEMBANG
DI KOTA MEDAN
A. Kekosongan Blangko Akta Jual Beli Perumahan di BPN Medan
Dalam pembuatan akta pertanahan, seorang PPAT diharuskan menggunakan
blangko yang telah disediakan. Keberadaan blangko akta tersebut untuk pertama kali
muncul dengan adanya Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran
Tanah yang kemudian diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, yang tercantum dalam Pasal 38 ayat (2), bahwa :
“Bentuk, isi, dan cara pembuatan akta-akta PPAT diatur oleh Menteri”. Kemudian
dalam Pasal 96 ayat (1) dan (2) Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah sebagai peraturan pelaksanaannya disebutkan bahwa :
(1) “Bentuk-bentuk akta yang dipergunakan di dalam pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 s/d 23 dan terdiri dari bentuk :
a. Akta Jual Beli (lampiran 16); b. Akta Tukar Menukar (lampiran 17); c. Akta Hibah (lampiran 18); d. Akta Pemasukan ke Dalam Perusahaan (lampiran 19); e. Akta Pemberian Hak Tanggungan (lampiran 21); f. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai Atas Tanah Hak
Milik (lampiran 22); dan g. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (lampiran 23).
(2) Pembuatan akta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) dan (2) harus
dilakukan dengan menggunakan formulir sesuai dengan bentuk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang disediakan”.
111
Tidak itu saja bahkan dalam Pasal 21 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah juga disebutkan, bahwa :
“Akta PPAT dibuat dengan bentuk yang ditetapkan oleh Menteri”. Kemudian
dipertegas lagi dalam Peraturan Pelaksanaannya yaitu dalam Pasal 51 dan Pasal 53
ayat (1) Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat
Akta Tanah. Dalam Pasal 51 menyebutkan bahwa : “Blanko Akta PPAT dibuat dan
diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia dan hanya boleh
dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”.
Sementara itu, pada Pasal 53 menyebutkan bahwa :
(1) “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang tersedia secara lengkap sesuai petunjuk pengisiannya;
(2) Pengisian blangko akta dalam rangka pembuatan akta PPAT sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan sesuai dengan kejadian, status dan data yang benar serta didukung dengan dokumen sesuai peraturan perundang-undangan;
(3) Pembuatan akta PPAT dilakukan dengan kesaksian oleh 2 (dua) orang saksi yang memberi kesaksian mengenai :
a. Identitas dan kapasitas penghadap; b. Kehadiran para pihak atau kuasanya; c. Kebenaran data fisik dan data yuridis objek perbuatan hukum dalam
hal objek tersebut sebelum terdaftar; d. Keberadaan dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta; e. Telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang
bersangkutan. (4) Yang dapat menjadi saksi adalah orang yang telah memenuhi syarat sesuai
dengan peraturan perundang-undangan”.
Dari seluruh ketentuan mengenai Blangko Akta Jual Beli dapat dilihat bahwa
penggunaan Blangko Akta Jual Beli adalah suatu hal yang wajib dilakukan oleh
setiap Notaris/PPAT yang akan melakukan pendaftaran/pengalihan hak atas tanah.
112
Permohonan pendaftaran hak atas tanah dilakukan di BPN. Namun, kenyataannya
keberadaan Blangko Akta Jual Beli di BPN seluruh Indonesia mengalami
kekosongan. Adapun tujuan penyeragaman format blangko adalah agar ada
kekhususan akta demi keteraturan. Hal ini dikarenakan profesi PPAT hanya ada di
Indonesia dan di negara lain tidak ada.175
Kekosongan Blangko Akta Jual Beli yang disediakan oleh BPN ini juga dapat
dilihat pada kutipan berita berikut176 :
“Kantor Pos mengaku telah mendistribusikan blangko akta secara merata sejak dua bulan terkahir, sejumlah PPAT di daerah terpaksa mengalami kefakuman dalam menjalankan aktivitasnya. Pasalnya Blangko Akta Jual Beli tanah yang disediakan PT. Kantor Pos, tidak lagi dapat memenuhi permintaan. Padahal, menurut pengakuan supervisor sebagai distributor PT. Kantor Pos telah menjual Blangko Akta Jual Beli secara merata dan itu dikhususkan bagi PPAT di tingkat Kecamatan. Dalam prosedur permintaan Blangko Akta Jual Beli, merupakan kewenangan instansi Badan Pertanahan Nasional (BPN) daerah yang memintanya langsung ke pusat. Namun, karena blangko sedang diperbanyak sehingga memerlukan proses panjang untuk sampai ke daerah. Prosedurnya memang seperti itu dan terkait pengadaannya merupakan kewenangan BPN. Sementara itu, blangko dapat diperbanyak dengan melakukan fotocopy, dan selanjutnya meminta rekomendasi pada Kanwil BPN sebagai bukti, bahwa blangko akan digunakanuntuk pengurusan jual beli. Dalam hal ini, diharapkan memfotocopy Blangko Akta Jual Beli menjadi solusi jadi kekosongan blangko bukan lagi menjadi kendala dalam menjalankan aktivitasnya”.
Dari keterangan kutipan berita di atas, diketahui bahwa diperbolehkan untuk
memfotocopy blangko apabila terjadi kekosongan di BPN atau di Kantor Pos. Jadi,
Notaris/PPAT boleh memfotocopy dengan meminta legalisasi dari Kepala Kantor
175 Boedi Harsono, “Polemik Kelangkaan Blangko Kembalikan Pada Filosofinya”, Jakarta,
Majalah Renvoi No. 8.44.IV tanggal 03 Januari 2007, hal. 8. 176 Harian Komentar, “Terkait Kekosongan AJB Tanah”,
http://www.hariankomentar.com/arsip/arsip_2006/sep_09/eko04.html., d iakses pada 18 Juni 2011.
113
BPN setempat sehingga hal ini tidak menghambat apabila ada permohonan
pendaftaran/peralihan hak di BPN.177 Namun, jika dengan memfotocopy dan
melegalisasi melalui Kepala Kantor BPN setempat maka hal ini akan dijadikan
sebagai upaya untuk melakukan pungutan liar (transaction cost) oleh oknum-oknum
yang tidak bertanggung jawab. Dasar memfotocopy Blangko Akta Jual Beli ini
adalah melalui Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang
Blangko Akta PPAT.
Sebenarnya kebijakan yang dibuat untuk memfotocopy Blangko Akta Jual
Beli tersebut sudah merupakan suatu solusi untuk mengatasi kelangkaan Blangko
Akta Jual Beli. Pungutan liar itulah yang menyebabkan peraturan itu tidak baik, hal
ini terkait dengan perilaku para pejabat di instansi BPN.178 Dengan kata lain, budaya
hukumnya masih budaya suap. Inilah yang menyebabkan suatu kebijakan itu menjadi
tidak baik. Jadi, sebaiknya pihak BPN hanya mengutip biaya administrasi yang tertera
pada papan pengumuman daftar harga blangko di BPN yaitu sebesar Rp. 25.000,-.179
Mengenai budaya suap di BPN dapat dilihat pada kutipan di bawah ini180 :
177 Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Juli 2003 tentang Blangko Akta
PPAT. 178 Lawrence M. Friedman. American Law An Introduction, Edisi Kedua, diterjemahkan oleh
Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, (Jakarta : Tata Nusa, 2001), hal. 7. Mengatakan bahwa : “hukum terdiri dari tiga unsur yakni struktur hukum, substansi hukum, dan kultur hukum. Terkait dengan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli, substansi hukumnya adalah Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1884, tanggal 31 Ju li 2003 tentang Blangko Akta PPAT, struktur hukumnya adalah para Pejabat Pengawai Negeri Sip il d i lingkungan Kantor Badan Pertanahan Nasional, dan kultur hukum (budaya hukum) adalah menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum inilah yang masih merupakan budaya hukum suap dari Pejabat Pegawai Negeri Sip il d i Lingkungan BPN setempat.
179 Blangko Akta PPAT di BPN memang tidak perlu bayar namun Notaris/PPAT harus mengganti biaya transportasi dari BPN Pusat ke BPN Daerah.
180 Liston Damanik, “Henry Sinaga Sudah Adukan Kinerja Kepala BPN Pematang Siantar Tiga Kali”, Harian Tribun Medan, diterbitkan Minggu 10 April 2011.
114
“Surat pengaduan bertanggal 04 April 2011 yang dibuat Notaris dan PPAT Henry Sinaga terkait perilaku kinerja Oberlin Malau beserta stafnya merupakan laporan ketiga. Oktober 2010 yang lalu, Henry melaporkan pembuatan Surat Perintah Tugas fiktif dan terindikasi korupsi oleh oknum BPN Pematang Siantar dan pungutan liar di instansi pemerintah itu. Pada Februari lalu Henry kembali mengadukan Oberlin Sinaga perihal pembangkangan Kepalan BPN itu terhadap Peraturan Menteri Keuangan mengenai BPHTB. Selain itu, Oberlin juga dilaporkan telah berlaku kasar, menghina, dan mengusir sesama pejabat negara itu saat sedang menjalankan tugas”.
Perlakuan seperti menghina dan pengusiran di BPN inilah yang terkadang
membuat kesal para Notaris/PPAT. Penghinaan dan pengusiran sesama pejabat
negara yang tidak berlandaskan atas azas etika dan perilaku merupakan perlakuan
yang sering diterapkan oleh para Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi
pemerintahan BPN. Dalam hal Blangko Akta Jual Beli perumahan, perlakuan para
pegawai juga demikian. Mengenai kekosongan Blangko Akta Jual Beli atau disebut
Blangko PPAT yang tersedia di BPN, jika ditarik ke belakang dapat dilihat dari segi
pengadaannya. Seharusnya diadakan melalui tender pengadaan barang dan jasa
berdasarkan Peraturan Presiden No. 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa
Pemerintah. Peraturan tersebut memerintahkan agar setiap pengadaan barang di
instansi pemerintahan menggunakan pelelangan umum atau tender terbuka. Untuk
lebih jelasnya dapat dilihat di bawah ini181 :
“Selama ini PPAT harus membeli blangko resmi akta jual beli yang dikeluarkan oleh Yayasan Agraria seharga Rp. 17.500,- atau fotokopi blangko yang sudah dilegalisir BPN seharga Rp. 20.000,- sampai dengan Rp. 50.000,- akta berlaku di seluruh Indonesia, dan harga tergantung kantor wilayahnya.
181 Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”,
http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol17415/ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., d iakses 19 Juni 2011.
115
Sementara itu Tina, Kepala Humas BPN Pusat, ketika dihubungi via telepon menekankan kewajiban menggunakan blangko resmi maupun fotokopi blangko yang telah dilegalisir wajib hukumnya bagi seluruh PPAT berdasarkan keputusan menteri – yang ia lupa nomornya –. Kewajiban menggunakan blangko resmi atau legalisir tidak membatasi kewenangan PPAT. Untuk mengisi blangko PPAT harus memiliki kemampuan, tidak semua orang bisa. Hanya BPN sudah punya atiran standar yang harus diikuti”.
Dalam hal Blangko Akta Jual Beli ini, tidak dilakukan pelelangan umum
dikarenakan yang mengadakan Blangko PPAT tersebut adalah sebuah Yayasan yang
didirikan oleh BPN itu sendiri.182 Jelas bertentangan dengan Pasal 1 angka 1 Undang-
Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan yang menyebutkan bahwa : “Yayasan
adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan
untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang
tidak mempunyai anggota.
Jadi, yayasan dibentuk dengan tujuan untuk nirlaba maksudnya adalah bahwa
yayasan bertujuan sosial demi kemaslahatan masyarakat banyak.183 Dengan tujuan
sosial tersebut dengan kata lain yayasan dibentuk bukanlah untuk kegiatan yang
menghasilkan keuntungan. Mengenai Blangko Akta PPAT yang dicetak oleh
Yayasan ini, sudah menjadi rahasia umum tetapi tidak ada satu orangpun yang perduli
bahwa BPN salah dalam menerapkan peraturan. Seharusnya dalam pengadaan
Blangko Akta PPAT tersebut dilakukan tender umum dengan cara mengundang
perusahaan-perusahaan percetakan yang ada di Indonesia untuk bersaing harga.
182 Notariat Watch, “Monopoli Akta”, http://notariatwatch.blogspot.com/2008/05/monopoli-akta.html., diakses pada 19 Juni 2011. Lihat juga : Tempo Interakt if, “Lenyapnya Blangko Kami”, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/26/HK/mbm.20050926.HK116689.id.html., diakses pada 19 Juni 2011.
183 Louis E. Boone dan David L. Kurtz, Contemporary Business, 11th Edit ion, diterjemahkan Ali Akbar Yulianto dan Krista, Pengantar Bisnis Kontemporer, Edisi Kesebelas, (Jakarta : Salemba, 2007), hal. 2.
116
Harga yang lebih murah tentu saja dijadikan sebagai pemenang tender, maksudnya
perusahaan yang mengajukan harga murah tersebut berhak untuk mencetak Blangko
PPAT. Percetakan itu harus berbiaya murah, pelaksanaan pelelangan harus transparan
dan akuntabel sesuai dengan azas yang tersirat di dalam Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
B. Kewenangan Notaris/PPAT dalam Membuat Akta Jual Beli Perumahan
Mengenai kewenangan Notaris/PPAT dalam membuat Akta Jual Beli
perumahan terletak pada Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 4 Tahun 1994 tentang
Hak Tanggungan dinyatakan bahwa : “PPAT adalah pejabat umum yang diberi
kewenangan untuk membuat Akta Pemindahan Hak Atas Tanah, Akta Pembebanan
Hak Atas Tanah dan Akta Pemberian Kuasa Membebankan Hak Tanggungan,
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Pejabat umum adalah seorang
yang diangkat oleh Pemerintah dengan tujuan dan kewenangan memberikan tugas
dan kewenangan memberikan pelayanan kepada umum di bidang tertentu. Berarti
PPAT berkewajiban untuk melakukan public service yang diberikan kewenangan
oleh Undang-Undang/Pemerintah. Jadi, kewenangan PPAT bukan berasal dari Badan
Pertanahan Nasional yang dikurangi wewenangnya oleh Pemerintah dan diberikan
kepada PPAT. Melainkan kewenangan PPAT didapat dari Pemerintah itu sendiri.
PPAT diangkat oleh Pemerintah dengan tugas dan kewenangan memberikan
pelayanan dalam bentuk pembuatan akta, atas permintaan orang-orang dan badan-
badan hukum yang melakukan perbuatan-perbuatan hukum pemindahan hak atas
tanah, pembebanan hak atas tanah dengan hak tanggungan dan pemberian kerjanya
117
menurut ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan isi dan aturan hukum
yang mengatur eksistensi PPAT sebagaimana diuraikan di atas, bahwa kewenangan
PPAT yaitu diberi wewenang untuk membuat akta otentik. Disinilah kemudian
banyak sekali argumen yang bermunculan.
Dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah menyebutkan bahwa : “PPAT adalah
pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai
perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan
Rumah Susun”. Dari pasal tersebut, berarti sudah memberikan kewenangan kepada
PPAT untuk membuat akta otentik. Namun kemudian hal tersebut bertentangan
dengan peraturan selanjutnya Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yaitu Pasal 51 menyebutkan bahwa : “Blangko
Akta PPAT dibuat dan diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional dan hanya dapat
dibeli oleh PPAT, PPAT Pengganti, PPAT Sementara atau PPAT Khusus”. Pasal 53
ayat (1) menyebutkan bahwa : “Akta PPAT dibuat dengan mengisi blangko akta yang
tersedia secara lengkap sesuai petunjuk pengisiannya”. Hal ini kemudian
menyebabkan kewenangan PPAT seakan-akan tercampuri oleh BPN.
118
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bahwa membuat adalah
menciptakan, melakukan, mengerjakan.184 Dengan demikian, PPAT mempunyai
kewenangan untuk menciptakan, membuat, mengerjakan akta, melakukan, membuat
sendiri akta (PPAT) yang menjadi kewenangannya sebagaimana tersebut dalam Pasal
95 Peraturan Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
C. Kesadaran Hukum Pengembang, Konsumen (Masyarakat) Masih Rendah Dalam Menggunakan Jasa Notaris/PPAT Untuk Pendaftaran/Peralihan Hak Atas Tanah Atau Perumahan Melalui Jual Beli
Ternyata setelah ditelusuri mengenai penggunaan Blangko Akta Jual Beli
perumahan didapat bahwa kesadaran hukum pengembang, konsumen (masyarakat)
masih rendah dalam menggunakan jasa PPAT untuk melakukan
pendaftaran/peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli. Dapat dilihat
pada kutipan wawancara berikut ini185 :
“Sebelum dilakukannya pengikatan jual beli tanah atau perumahan dilakukan oleh pengembang biasanya dilakukan cek bersih oleh pihak pembeli melalui perantaraan Notaris/PPAT ke BPN dan jika pengikatan yang dilakukan oleh pihak pengembang dengan menggunakan Balngko Akta Jual Beli, maka prosedur tersebut tidak akan dilakukan dan hal tersebut akan merugikan pihak konsumen atau masyarakat (pembeli);
Objek hak atas tanah dari perumahan tersebut masih diikat dengan Hak Tanggungan dan belum dilakukan roya parsial ataupun roya secara keseluruhan; dan
Pendaftaran untuk peralihan hak atas tanah atau perumahan melalui jual beli yang menggunakan Blangko Akta Jual Beli dari pihak pengembang tanpa
184 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.cit. 185 Yulhamdi sebagai Notaris/PPAT d i Medan, Op.cit.
119
pembuatan Akta Jual Beli dari pihak Notaris/PPAT tidak akan diterima dan tidak diproses sesuai dengan ketentuan yang berlaku meskipun secara prinsipnya jual beli tersebut sah menurut hukum”.
Selanjutnya Blangko Akta Jual Beli yang disediakan oleh BPN tidak bisa
dibeli oleh pengembang. Harus dengan menggunakan surat keterangan dari
Notaris/PPAT. Jika tidak menyertakan surat keterangan dari Notaris/PPAT ini maka
pihak BPN tidak akan melayani walaupun diberikan sejumlah uang. Hal ini jelas
seperti yang dikatakan oleh Pasal 51 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
“Pengambilan atau pembelian Blangko Akta Jual Beli di BPN ataupun Kantor Pos tidak menggunakan Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari Notaris/PPAT Medan, maka pembelian ataupun pengambilan Blangko Akta Jual Beli tersebut tidak akan dilayani. Maksudnya, meskipun bisa siapa saja membeli Blangko Akta Jual Beli tersebut di BPN ataupun Kantor Pos, akan tetapi harus menggunakan Surat Pengantar atau Surat Keterangan dari Notaris/PPAT Medan ataupun kalau tidak pihak yang menginginkan blangko tersebut dikenal oleh pegawai di BPN, sehingga Blangko Akta Jual Beli tersebut tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu atau pihak yang tidak bertanggungjawab terhadap perbuatan hukum yang telah dilakukan”.186
Kesadaran hukum berasal dari dalam diri seseorang (law from inside to
outside).187 Jika para Staf BPN, Pengembang, dan PPAT mempunyai kesadaran
hukum yang tinggi dalam hal penggunaan Blangko Akta Jual Beli perumahan ini
maka tidak akan jadi masalah jika terjadi kekosongan blangko. Semuanya akan
186 Anton Wijaya sebagai Staf Legal PT. Bumi Indah Makmur Abadi, Op.cit. 187 Teori empati (empathy theory) menyatakan bahwa : “pada dasarnya semua bentuk
pelanggaran hukum yang terjadi adalah dikarenakan pelaku t idak memiliki empat terhadap orang lain atau lingkungannya. Jika seseorang memiliki rasa empati tehradap orang lain atau lingkungannya, maka seseorang tersebut tidak akan melakukan pelanggaran hukum”. Sumber : Sat jipto Rahard jo, Penegakan Hukum Progresif, (Jakarta : Kompas, Agustus 2010), hal. 52.
120
dengan mudah teratasi karena saling hidup berdampingan seiring sejalan dan saling
membutuhkan. Sebagai contoh : apabila pihak pengembang ingin melakukan
pendaftaran/peralihan hak atas tanah ke BPN harus menghubungi rekanannya yaitu
PPAT selanjutnya barulah bisa berhubungan dengan BPN. Setelah itu, BPN juga
harus membantu (tidak mengutip bayaran) PPAT yang melakukan
pendaftaran/peralihan hak atas tanah demi kebutuhan pengembang yang mewakili
konsumen (masyarakat). Pembayaran juga dilakukan berdasarkan tarif yang berlaku
atau tidak ada tambahan apapun dari pihak BPN. Dengan begitu, seluruh pihak tidak
ada yang dirugikan.
121
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasannya sebagaimana yang telah
dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa hal yang
menjadi kesimpulan, antara lain :
1. Pelaksanaan jual beli perumahan dengan menggunakan Blangko Akta Jual
Beli di Kota Medan harus ada kerjasama antara Pengembang dan
Notaris/PPAT yang melakukan permohonan ke BPN. Hal ini dikarenakan
pihak BPN tidak akan menyerahkan Blangko Akta Jual Beli kepada pihak
yang tidak ada Surat Pengantar dari Notaris/PPAT. Dengan kata lain,
Notaris/PPAT harus membeli sendiri Blangko Akta Jual Beli atau
memberikan kuasa kepada pihak lain untuk mengambil Blangko Akta Jual
Beli di BPN. Pihak Pengembang dan Pembeli tidak bisa mengambil Blangko
Akta Jual Beli di BPN karena bertentangan dengan Pasal 51 Peraturan Kepala
BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah
No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
2. Penggunaan Blangko Akta Jual Beli oleh pihak pengembang yang bekerja
sama dengan Notaris/PPAT di Kota Medan pada prinsipnya sah menurut
hukum meskipun Akta Jual Beli tersebut tidak dibuat oleh pihak
Notaris/PPAT Medan, akan tetapi untuk pendaftaran peralihan hak atas tanah
atau perumahan melalui jual beli perumahan tersebut tidak akan diterima di
122
Kantor BPN Medan kalau Akta Jual Beli tersebut tidak dibuat oleh pihak
Notaris/PPAT Medan.
Akta PPAT dengan menggunakan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli dan
dilegalisir memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta yang dibuat
dengan menggunakan Blangko Akta Jual Beli. Hal ini bahwa pengadaan
Blangko Fotocopy dan legalisir tersebut memiliki dasar hukum, yaitu :
a. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1887 tanggal 16 Juli 2002 perihal
Blangko Akta PPAT; dan
b. Surat Edaran Kepala BPN No. 640-1887 tanggal 31 Juli 2003 perihal
Blangko Akta PPAT.
Selain itu, walaupun menggunakan Fotocopy Blangko Akta Jual Beli yang
telah dilegalisir namun apabila akta PPAT tersebut telah memenuhi syarat
untuk disebut sebagai akta otentik sebagaimana Pasal 1868 KUHPerdata dan
memiliki keuatan pembuktian, yaitu : kekuatan pembuktian lahiriah
(uitwendige bewijskracht), kekuatan pembuktian formal (formale
bewijskracht), kekuatan pembuktian material (materiale bewujskracht).
Karena hal yang otentik adalah tanda tangan para pihak bukan jenis kertasnya.
Jika Fotocopy Blangko Akta Jual Beli sudah di tanda tangani oleh para pihak
dan dilegalisir juga di paraf oleh Kepala Kantor Pertanahan maka Fotocopy
Blangko Akta Jual Beli tersebut sah menurut hukum dan mempunyai
kekuatan hukum untuk melakukan pembuktian di Pengadilan.
123
3. Hambatan dalam penggunaan Blangko Akta Jual Beli perumahan di Kota
Medan, antara lain :
a. Kekosongan Blangko Akta Jual Beli di BPN dan Kantor Pos. Awal mula
kekosongan blangko berangkat dari sistem pengadaan di BPN Pusat tidak
menggunakan pelelangan umum berdasarkan Peraturan Presiden No. 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah melainkan
menunjuk langsung Yayasan Agraria yang didirikan oleh BPN untuk
mencetak blangko;
b. Pasal 51 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 jelas bertentangan
dengan peraturan diatasnya yaitu Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. BPN mengakui
bahwa digunakannya Blangko PPAT guna menyeragamkan seluruh
permohonan pendaftaran/peralihan hak atas tanah di BPN. Namun, hal ini
menjadi polemik di masyarakat bahwa banyak sekali pungutan liar dalam
hal pengambilan Blangko PPAT di BPN. Peraturan Kepala BPN No. 1
Tahun 2006 hanya untuk melegalisasi pungutan yang dilakukan oleh
Pejabat Pegawai Negeri Sipil di lingkungan instansi BPN. Apalagi
ditambah dengan Surat Edaran No. 640-1887 tanggal 31 Juli 2003 perihal
Blangko Akta PPAT yang memperbolehkan setiap PPAT untuk
memfotocopy blangko tersebut dengan catatan harus mendapatkan paraf
dari Kepala Kantor BPN. Jelas sudah Surat Edaran ini yang tidak
mempunyai kekuatan hukum sangat mengada-ada. Apalagi Surat Edaran
124
itu berlandaskan Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2006 (sebagai
ketentuan pelaksanaan) yang sudah bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah No. 37 Tahun 1998 (peraturan yang akan dilaksanakan); dan
c. Kesadaran hukum pengembang, konsumen (masyarakat) masih rendah
dalam menggunakan jasa PPAT untuk pendaftaran/peralihan hak atas
tanah atau perumahan melalui jual beli. Dapat dilihat bahwa pengembang
tidak mempunyai rekanan (PPAT) tetap untuk melaksanakan akad jual
beli kepada konsumen. Hal ini mengakibatkan sulitnya untuk melakukan
pendaftaran/peralihan hak atas tanah di BPN yang merupakan langkah
selanjutnya setelah dilakukannya pembayaran.
B. Saran
Berdasarkan analisis dari kesimpulan di atas, selanjutnya akan disarankan hal-
hal sebagai berikut sebagai pemecahan masalah :
1. Sebaiknya pihak BPN Medan agar lebih selektif lagi dalam memberikan atau
menjual Blangko Akta Jual Beli kepada pihak-pihak yang lebih membutuhkan
seperti pihak Notaris/PPAT Medan, sehingga BPN Medan tidak mengalami
kehabisan dalam penyediaan blangko Akta Jual Beli tersebut. Selama
ketentuan yang mengharuskan PPAT untuk menggunakan Blangko Akta Jual
Beli maupun penggantinya (Fotocopy Blangko Akta Jual Beli telah
dilegalisir) masih berlaku, maka PPAT harus menjalankannya. Peraturan-
peraturan yang membatasi kewenangan PPAT seperti keharusan penggunaan
125
Blangko Akta dalam pembuatan akta, dalam hal ini mengenai ketentuan
penggunaan blangko akta agar segera direvisi, supaya semakin jelas
kewenangan yang dimiliki oleh PPAT sehingga tidak terkesan rancu atau
contradictio in terminis.
2. Sebaiknya kepada pihak pengembang tidak menggunakan lagi Blangko Akta
Jual Beli dalam hal jual beli perumahannya secara sepihak tanpa melibatkan
pihak Notaris/PPAT dalam pembuatan Akta Jual Beli yang merupakan
kewenangannya. Karena jika tidak ada tanda tangan atau legalisasi dari
Notaris/PPAT maka Blangko Akta Jual Beli yang diajukan oleh pengembang
tidak diterima oleh Kantor Wilayah BPN.
3. Sebaiknya kepada pihak pengembang agar selalu bekerja sama dengan pihak
Notaris/PPAT untuk membuat peralihan hak atas tanah melalui jual beli agar
pendaftaran peralihan hak atas tanah melalui jual beli tersebut di BPN Medan
dapat terpenuhi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Caranya Pemerintah
membuat suatu aturan dapat berupa Peraturan Pemerintah bagi perusahaan
pengembang untuk mewajibkan agar menggunakan PPAT. Apabila aturan
hukumnya sudah dibuat maka akan menimbulkan kewajiban bagi perusahaan
pengembang dengan sendirinya perusahaan akan mematuhi dan memilih
PPAT sebagai rekanannya. Sehingga setiap ada terjadi akad perjanjian jual
beli, maka disitulah PPAT berperan dalam hal peralihan hak atas tanah.
126
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Arief, M. Isa., Pembuktian Dan Daluarsa, Intermasa, 1978.
Amirudin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Press, 2010.
Badrulzaman, Mariam Darus., Aneka Hukum Bisnis, Bandung : Alumni, 1994.
-----------------------------------., KUHPerdata Buku ke III Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, Jakarta : Alumni, 1998.
-----------------------------------., et.al., Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001.
Bungin, Burhan., Penelitian Kualitatif : Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta : Kencana, 2009.
Budiman, Anita., “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Untuk Mengisi Blanko Akta Tanah”, Surabaya : Tesis, Universitas Airlangga.
Boone, Louis E., dan David L. Kurtz, Contemporary Business, 11th Edition, diterjemahkan Ali Akbar Yulianto dan Krista, Pengantar Bisnis Kontemporer, Edisi Kesebelas, Jakarta : Salemba, 2007.
Chandra, S., Sertifikat Kepemilikan Hak Atas Tanah Persyaratan Permohonan Di Kantor Pertanahan, Jakarta : Grasindo, 2005.
Friedman, Lawrence M., American Law An Introduction, Edisi Kedua, diterjemahkan oleh Wishnu Basuki, Hukum Amerika Sebuah Pengantar, Jakarta : Tata Nusa, 2001.
127
Fuady, Munir., Hukum Kontrak : Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1999.
Goenawan, Kian., Panduan Mengurus Izin Tanah & Properti, Cetakan Pertama, Yogyakarta : Pustaka Grahatama, 2008.
Harahap, M. Yahya., Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005.
------------------------., Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung : Alumni, 1986.
Harsono, Boedi., Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentuan, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta : Djambatan, 1997.
---------------------., Hukum Agraria Indonesia (Hukum Tanah Indonesia), Djambatan, Jakarta, 2003.
Hutabarat, Samuel M.P., Penawaran dan Peneerimaan Dalam Hukum Perjanjian, Jakarta : Grasindo, Tanpa Tahun.
Kelsen, Hans., Teori Hukum Murni : Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif, diterjemahkan oleh Raisul Muttaqien, disunting oleh Nurainun Mangunsong, Cetakan Ketiga, Bandung : Nusamedia & Nuansa, 2007.
Lumban Tobing, GHS., Peraturan Jabatan Notaris, Jakarta : Erlangga, 1980.
Mertokusumo, Sudikno., Hukum Acara Perdata Indonesia, Yogyakarta : Liberty, 1985.
Muhammad, Abdulkadir., Hukum Perikatan, Bandung : Citra Aditya Bakti, 1990.
Muhdar, Muhamad., “Bahan Kuliah Metode Penelitian Hukum : Sub Pokok Bahasan Penulisan Hukum”, Balikpapan : Universitas Balikpapan, 2010.
128
Nurachmad, Much., Buku Pintar Memahami dan Membuat Surat Perjanjian, Cetakan Pertama, Jakarta : Visimedia, Desember 2010.
Pengurus Pusat Ikatan Notaris Indonesia, Anke Dwi Saputro (editor), 100 Tahun Ikatan Notaris Indonesia : Jati Diri Notaris Indonesia Dulu, Sekarang, dan Masa Datang, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, Tanpa Tahun.
Rahardjo, Satjipto., Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Universitas Indonesia Press, 1986.
-----------------------., Penegakan Hukum Progresif, Jakarta : Kompas, Agustus 2010.
Sanusi, Ahmad., Pengantar Ilmu Hukum Dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung : Tarsito, 1999.
Santoso, Budi., Profit Berlipat Dengan Investasi Tanah dan Rumah, Cetakan Kedua, Jakarta : Elex Media Komputindo, Februari 2008.
Satrio, J., Hukum Perikatan Pada Umumnya, Bandung : Alumni, 1993.
Setyorini, Evi Novita Tri., “Kewenangan Pejabat Pembuat Akta Tanah Dalam Pembuatan Akta Sehubungan Dengan Kekosongan”, Semarang : Tesis Universitas Diponegoro, 2005.
Siregar, Nelly Sriwahyuni., “Tinjauan Yuridis Kedudukan Kuasa Mutlak Dalam Peralihan Hak Atas Tanah Oleh Notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)”, Medan : Tesis, Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2008.
Situmorang, Victor., Aspek Hukum Akta Catatan Sipil Di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1996.
Soekanto, Soerjono., dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
129
Sofwan, Sri Soedewi Majchoen., Hukum Perdata (Hukum Benda), Yogyakarta : Liberty, 1981.
Subekti, R., dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1980.
Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta : Intermasa, 1992.
Suryabrata, Samadi., Metodologi Penelitian, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1998.
Sutanto, Urip., Pendaftaran Dan Peralihan Hak Atas Tanah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2010
Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Bandung : Alfabeta, 2004.
Sutedi, Adrian., Peralihan Hak Atas Tanah Dan Pendaftarannya, Jakarta : Sinar Grafika, 2007.
Syahrin, Alvi., Pengaturan Hukum Dan Kebijakan Pembangunan Perumahan Dan Pemukinan Berkelanjutan, Medan : Pustaka Bangsa Press, 2003.
Rijan, Yunirman., dan Ira Koesoemawati, Cara Mudah Membuat Surat Perjanjian/Kontrak dan Surat Penting Lainnya, Cetakan Pertama, Jakarta : Raih Asa Sukses, 2009.
Waluyo, Bambang., Penelitian Hukum Dalam Pratek, Jakarta : Sinar Grafika, 2002.
Wijaya, Hermawan., 77 Rahasia Cepat Untung Bisnis Properti, Cetakan Pertama, Yogyakarta : Pustaka Ghratama, 2009.
Widjaja, Gunawan., dan Kartini Muljadi, Hapusnya Perikatan, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003.
130
ARTIKEL INTERNET DAN MEDIA MASSA
Bataviase, “Blangko Akte Jual Tanah Langka”, http://bataviase.co.id/node/662747., diakses pada 11 Juni 2011.
Damanik, Liston., “Henry Sinaga Sudah Adukan Kinerja Kepala BPN Pematang Siantar Tiga Kali”, Harian Tribun Medan, diterbitkan Minggu 10 April 2011.
Darmawan, Yusran., ”Membincang Holistik dalam Antropologi”, http://timurangin.blogspot.com/2009/08/membincang-holistik-dalam-antropologi.html., diakses pada 11 Juni 2011.
Departemen Pendidikan Nasional, “Integral”, Kamus Besar Bahasa Indonesia Online, http://pusatbahasa.diknas.go.id/kbbi/index.php., diakses pada 11 Juni 2011.
Harsono, Boedi., “Polemik Kelangkaan Blangko Kembalikan Pada Filosofinya”, Jakarta, Majalah Renvoi No. 8.44.IV tanggal 03 Januari 2007.
Hukum Online, “PPAT Gugat BPN Karena Menolak Pendaftaran Akta Jual Beli”, beta.hukumonline.com/.../ppat-gugat-bpn-karena-menolak-pendaftaran-akta-jual-beli., diakses pada 14 Juni 2011.
K., Ronny Junaidy., “Ilmu Hukum dalam Perspektif Ilmu Pengetahuan Modern”, http://www.legalitas.org/content/ilmu-hukum-dalam-perspektif- ilmu-pengetahuan-modern., diakses pada 11 Juni 2011.
Kusumaputra, Robert Adhi., “Astaga, Blanko Akte Jual Beli Tanah Kosong Enam Bulan”, http://properti.kompas.com/read/2011/05/18/20520289/Astaga.Blanko.Akte.Jual.Beli.Tanah.Kosong.Enam.Bulan., diakses pada 11 Juni 2011.
Miranda, Yonsah., Blangko (Lagi) Akta, Majalah Renvoi Nomor 2.74.VII, Th. 07/2009
131
Munandir., “Kode Etik Menulis : Butir-Butir”, www.unissula.ac.id /perpustakaan/.../Munandir%20(kode%20etik).ppt., 2007, diakses pada 11 Juni 2011.
Notariat Watch, “Monopoli Akta”, http://notariatwatch.blogspot.com/2008/05/monopoli-akta.html., diakses pada 19 Juni 2011.
Tempo Interaktif, “Blangko Akta Tanah Langka, Lurah se-Tangerang Selatan Geruduk BPN”, http://www.tempointeraktif.com/hg/layanan_publik/2011/05/18/brk,20110518-335110,id.html., diakses pada 11 Juni 2011.
Tempo Interaktif, “Lenyapnya Blangko Kami”, http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2005/09/26/HK/mbm.20050926.HK116689.id.html., diakses pada 19 Juni 2011.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 1 Tahun 2006 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pembuat Akta Tanah.
Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696.
132
Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3746.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 343669.
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3632.
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 44, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3688.
Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432.
KAMUS
Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 1986.
Garner, Richard A., (Editor), Black’s Law Dictionary, Edisi Kedelapan, West Group, 2004.