SUSUNAN REDAKSI JURNAL DINAMIKA
Pengawas : Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis UNS
Dr. Hunik Sri Runing Sawitri, M.Si
Pembimbing : Ketua Jurusan Ekonomi Pembangunan FEB UNS
Dr. Siti Aisyah Tri Rahayu,S.E.M.Si
Dewan Redaksi : Bhimo Rizky Samudro, SE, M.Si., Ph.D
Tri Mulyaningsih, SE, M.Si., Ph.D
Penanggung Jawab : Yogi Pasca Pratama,SE.,M.E
Estrada Dewanagara
Pemimpin Umum : Devanda Septian P.A
Pemimpin Redaksi : Novia Tri Wahyuningsih
Redaksi Pelaksana : Daru Prabowo Jati
Fachri Rosyidi
Kartika Syandra Refriza
Kurniantoro Priadi
Salsabila Shelma Karamy
Stephani Eka Putri M.
Staff Redaksi : Muhammad Rifqi Hasbullah Veliannisa Widiyastama
Tias Anggria Setyani Icha Meinanda Putri
Layout dan Sirkulasi : Sinta Santosa
Wahyu Kurniawan
Alamat Redaksi : Himpunan Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan (HMJEP)
Fakultas Ekonomi Dan Bisnis
Universitas Sebelas Maret
Gedung UKM FEB UNS
Jl. Ir. Sutami No. 36 A, Solo 57126
Telp: (0271) 647481
Jurnal Dinamika ini adalah jurnal berkala ilmiah yang diterbitkan oleh Himpunan Mahasiswa
Jurusan Ekonomi pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sebelas Maret.
Diterbitkan sebagai sarana publikasi hasil pemikiran ilmiah mahasiswa dan pihak yang berkompeten,
baik berupa penelitian empiris maupun artikel yang berkaitan dengan isu-isu dterkini dalam bidang ilmu
ekonomi atau studi pembangunan.
Tulisan yang dipublikasikan dalam jurnal ini merupakan tanggung jawab penulis, tidak mewakili
pendapat penyunting.
PENULIS JUDUL HALAMAN
Anang Pra Yogi
Yogi Pasca Pratama
KAJIAN MENYUSUI: KEBIJAKAN,
BUDAYA DAN PERAN DALAM
PEMBANGUNAN
1-33
Nunung Sri Mulyani
Izza Mafruhah
Nurul Istiqomah
ANALISIS POTENSI USAHA KRIPIK TEMPE
DAN FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN
SENTRA INDUSTRI KRIPIK TEMPE DI
KABUPATEN NGAWI
34-57
Ariyanto Adhi Nugroho KONDISI PERUMAHAN DAN STRATEGI
DEVELOPER MENGHADAPI PERSAINGAN
PASAR PROPERTI DI KOTA SURAKARTA
58-77
Dyah Kusumaning A.P DINAMIKA PEREKONOMIAN WILAYAH
INDONESIA TAHUN 2011-2016 78-103
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMAKASIH
Segala puja dan puji syukur senantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT
yang senantiasa mencurahkan rahmat serta semua ke agungan-Nya, sehingga
penyusunan Jurnal Bidang Media dan Informasi Himpunan Mahasiswa Jurusan
Ekonomi Pembangunan, Universitas Sebelas Maret ini dapat berjalan dengan
lancar.
Pada kesempatan ini tidak lupa kami selaku Bidang Penerbitan di Himpunan
Mahasiswa Jurusan Ekonomi Pembangunan Universitas Sebelas Maret,
mengucapkan rasa terimakasih kepada Ibu Tri Mulyaningsih, S.E, M.Si, Ph.D dan
Bapak Bhimo Rizky Samudro, S.E, M.Si, Ph.D selaku reviewer, yang disela-sela
rutinnya masih dapat meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, dorongan,
serta pengetahuan kepada kami.
Ucapan terimakasih juga kami sampaikan kepada Anang Pra Yogi, Yogi
Pasca Pratama, Nunung Sri Mulyani, Izza Mafruhah, Nurul Istiqomah, Ariyanto
Adhi Nugroho, dan Dyah Kusumaning A.P. Selaku penulis yang bersedia
menuangkan idenya didalam jurnal ini.
Kami juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang tidak
dapat kami sebutkan satu persatu di sini. Kami menyadari bahwa dalam
penyusunan jurnal ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kami
masih membutuhkan bimbingan dari bapak dan ibu dosen di pengerjaan jurnal
selanjutnya.
Semoga jurnal ini dapat memberikan manfaat kepada para pembaca,
khususnya mahasiswa, serta dapat membawa dampak yang positif terhadap
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
1
KAJIAN MENYUSUI: KEBIJAKAN, BUDAYA DAN PERAN
DALAM PEMBANGUNAN Anang Pra Yogi
1, Yogi Pasca Pratama
2
1Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas
Sebelas Maret 2Universitas Sebelas Maret
1,2Kesatuan Intelektual Masyarakat Independen (KIMI) Institute
Email: [email protected], [email protected]
ABSTRACT
This study aims to see government`s view and regulation about exclusive
breastfeeding, the socio-culture about breastfeeding habit in the community, and
how exclusive breastfeeding can play a role in human development. The study
focus on breastfeeding policy, breastfeeding culture, and the role of breastfeeding
development. Begin with literature studies, by collecting secondary data sources
related to breastfeeding, then analyze it to become a systematic study. In the end,
we found that Indonesian government show their concern about exclusive
breastfeeding. There are several policies that regulate breastfeeding in Indonesia,
but the community shows their support in traditions breastfeeding activity as a
culture and inhibit the exlusive breastfeeding. Even though exclusive
breastfeeding can improve human quality which has a long-term impact that can
improve human health.
Keywords: breastfeeding, policy, culture, human development
PENDAHULUAN
Kajian pembangunan merupakan salah satu pembahasan utama dalam
lingkup ilmu ekonomi. Segala upaya pembangunan merupakan suatu jalan untuk
mencapai kesejahteraan rakyat secara umum yang dilakukan melalui berbagai
bidang. Salah satu yang perlu diperhatikan adalah pembangunan manusia sebagai
titik tolak upaya pembangunan yang tidak hanya memposisikan manusia sebagai
objek pembangunan, tetapi juga menempatkan manusia sebagai subjek
pembangunan. Oleh karena itu pembangunan manusia untuk meningkatkan
kualitas sumber daya manusia merupakan suatu tajuk bahasan yang menarik untuk
diteliti.
Pembangunan manusia sendiri merupakan suatu upaya holistik yang
kompleks dan mencakup berbagai bidang. Pembangunan manusia dalam rangka
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018
2
meningkatan kualitas manusia dapat diupayakan dalam berbagai bidang, salah
satunya adalah peningkatan kualitas kesehatan. Perhatian pada aspek kesehatan
manusia menjadi penting karena kesehatan merupakan salah satu aspek mendasar
yang menjadi kebutuhan manusia.
Kementerian Kesehatan RI (2016) menjelaskan bahwa pembangunan
kesehatan sebagai upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia pada periode
2015-2019 difokuskan pada empat program utama. Keempat program itu antara
lain, penurunan angka kematian ibu dan bayi, penurunan prevalensi balita pendek
(stunting), pengendalian penyakit menular dan pengendalian penyakit tidak
menular.
Pencapaian program Kementerian Kesehatan tersebut berkaitan erat dengan
aspek mendasar, yaitu bagaimana situasi gizi masyarakat. Gizi merupakan aspek
yang krusial karena dapat berpengaruh ada kondisi kesehatan manusia dari awal
kehidupan manusia hingga masa usia lanjut. Kementerian Kesehatan RI (2016)
menegaskan bahwa gizi yang didapat manusia pada lima tahun pertama (0-59
bulan) berperan sangat vital terhadap kehidupan bayi hingga masa tua. Hal ini
dikarenakan pada lima tahun pertama, perkembangan fisik dan otak sedang berada
pada masa emas dalam pertumbuhan. Sehingga akan berpengaruh pada
perkembangan masa-masa hidup selanjutnya.
Situasi gizi pada usia tersebut ternyata berkaitan erat salah satunya dengan
bagaimana cakupan pemberian ASI. Seperti yang diungkapkan Umar, Abdullah,
& Prawirodihardjo (2013) dalam penelitiannya yang berpendapat bahwa
rendahnya cakupan pemberian ASI merupakan hambatan terhadap tumbuh
kembang anak yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan.
Perhatian pada pemberian ASI ini juga ditunjukkan oleh pemerintah dengan
penerbitan berbagai kebijakan yang terkait dengan dukungan pemberian ASI pada
balita di Indonesia. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012
Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif merupakan kebjakan terbaru yang
dikeluarkan oleh Pemerintah RI yang mengatur secara rinci perihal ASI eksklusif.
Pasal 6 dan pasal 7 pada peraturan tersebut menjelaskan tentang kewajiban
pemberian ASI eksklusif. Pasal 6 menjelaskan bahwa setiap ibu yang melahirkan
mempunyai kewajiban untuk memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
3
dilahirkannya. Pengecualian pada kondisi tidak memungkinkan, dijelaskan pada
pasal 7, yaitu pada kondisi yang menyebabkan bayi tidak dapat memperoleh hak
ASI eksklusif dikarenakan adanya indikasi medis yang dianjurkan oleh dokter, ibu
meninggal, dan ibu terpisah dari bayi. Oleh karena itu, pemberian ASI eksklusif
tetap harus diusahakan karena merupakan hak bayi dan kewajiban bagi sang ibu.
Selain itu, sebagai sebuah perilaku, menyusui (dengan ASI) tidak terlepas
dari kondisi sosial budaya di mana manusia menjalani kehidupannya. Penelitian
Firanika (2010) di Kelurahan Bubulak, Kota Bogor menunjukkan salah satu
contoh hubungan antara nilai budaya dan cara hidup terhadap perilaku menyusui
secara eksklusif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa nilai yang dipegang
masyarakat, selanjutnya akan dikukuhkan dalam keputusan memberikan ASI
eksklusif. Ada nilai budaya dan cara hidup yang memberikan dorongan untuk
memberikan ASI eksklusif, tetapi ada juga yang menghambat ataupun menolak
pemberian ASI eksklusif. Sehingga dapat diketahui bahwa nilai dan cara hidup
yang menjadi bagian dari sistem budaya masyarakat ternyata juga dapat
berdampak pada keputusan pemberian ASI eksklusif.
Melihat pentingnya pemberian ASI eksklusif dalam konteks pembangunan
manusia, cukup menarik ketika melihat cakupan pemberian ASI eksklusif di
Indonesia yang masih rendah. Menurut publikasi Infodatin (Pusat Data dan
Informasi Kementrian Kesehatan Republik Indonesia) yang dikeluarkan oleh
Kementerian Kesehatan RI (2014), menunjukkan bahwa pada tahun 2013, dari
2.482.485 bayi usia 0-6 bulan di Indonesia, terdapat 1.348.532 bayi yang
mendapat asupan ASI eksklusif dan 1.134.953 bayi yang tidak mendapat asupan
ASI eksklusif. Presentase bayi 0-6 bulan yang mendapat asupan ASI eksklusif di
Indonesia secara keseluruhan sebesar 54,3 persen. Sehingga dapat dikatakan
hampir separuh dari bayi 0-6 bulan tidak mendapat asupan ASI eksklusif
sebagaimana mestinya.
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
4
Pemberian ASI Eksklusif Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2013
No
Provinsi
Bayi 0-6
Bulan
Presentase ASI
Eksklusif
Peringkat (Berdasar
Presentase ASI
Eksklusif)
1 Aceh 67.381 48,8 25
2 Sumatera Utara 58.909 41,3 29
3 Sumatera Barat 33.623 68,9 6
4 Riau 98.455 55,9 19
5 Jambi 31.747 51,3 23
6 Sumatera Selatan 91.256 63,9 10
7 Bengkulu 26.363 74,5 2
8 Lampung 103.360 59,4 14
9 Kep Babel 17.294 50,8 24
10 Kep. Riau 12.420 52,6 22
11 DKI Jakarta 27.264 62,7 12
12 Jawa Barat 579.593 33,7 31
13 Jawa Tengah 294.312 58,4 17
14 DI Yogyakarta 13.669 67,9 7
15 Jawa Timur 352.603 70,8 4
16 Banten 111.292 47,9 26
17 Bali 30.210 69,3 5
18 NTB 93.782 79,7 1
19 NTT 68.130 74,4 3
20 Kalimantan Barat 51.584 47,3 27
21 Kalimantan Tengah 17.755 43,4 28
22 Kalimantan Selatan 19.005 58,7 16
23 Kalimantan Timur 19.105 58,9 15
24 Sulawesi Utara 18.597 34,7 30
25 Sulawesi Tengah 14.531 62,3 13
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
5
26 Sulawesi Selatan 78.815 66,5 8
27 Sulawesi Tenggara 21.628 56,0 18
28 Gorontalo 7.310 54,1 20
29 Sulawesi Barat 33.416 66,0 9
30 Maluku 13.224 25,2 33
31 Maluku Utara 5.103 62,7 11
32 Papua Barat 11.611 53,5 21
33 Papua 50.138 46,1 32
Indonesia 2.483.485 54,3
Sumber: Riskesdas 2013 dan olahan pusdatin (Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Berdasarkan tabel tersebut, rata-rata cakupan pemberian ASI ekslusif di
Indonesia sebesar 54,3 persen. Sedangkan berdasarkan provinsi, NTB menjadi
urutan teratas dalam pemberian ASI eksklusif, yaitu sebesar 79,7 persen.
Sedangkan yang terendah adalah Maluku dengan cakupan pemberian ASI
eksklusif hanya sebesar 25,2 persen. Provinsi di Pulau Jawa sendiri yang relatif
padat penduduknya ternyata mempunyai presentase menyusui yang rendah pada
tiga provinsi, yaitu Banten, Jawa Barat, dan Jawa Tengah. Hal ini cukup menarik
melihat perkembangan yang terjadi di Pulau Jawa tetapi ternyata pada aspek
cakupan pemberian ASI eksklusif, ketiga provinsi tersebut tertinggal jauh dengan
pemberian ASI eksklusif di NTB.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, kajian atas perilaku menyusui
menjadi masalah pembangunan yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Aspek
yang perlu ditelaah lebih mendalam melihat pentingnya menyusui dan relatif
masih rendahnya cakupan pemberian ASI eksklusif di Indonesia disusun dalam
tiga poin utama rumusan masalah. Rumusan masalah dalam penelitian ini antara
lain:
a. Bagaimana kebijakan pemerintah yang diwujudkan dalam berbagai peraturan
dapat mendukung peningkatan cakupan ASI eksklusif?
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
6
b. Bagaimana kondisi sosial budaya masyarakat yang berkaitan dengan perilaku
menyusui?
c. Bagaimana ASI eksklusif berperan pada pembangunan dengan melihat
kondisi sosial budaya serta kebijakan yang diterapkan?
TINJAUAN PUSTAKA
Pembangunan Manusia
Orientasi pembangunan manusia bertujuan untuk mewujudkan manusia
yang berkualitas. Manusia berkualitas ialah tercapainya tiga tujuan dan inti
pembangunan, pada intinya tercukupinya kebutuhan dasar hidup manusia. Salah
satu komponen dalam mengupayakan pembangunan manusia adalah terpenuhinya
kebutuhan akan kesehatan.
Goulet (dalam Todaro & C, 2011) menjelaskan mengenai tiga inti
pembangunan yaitu, kecukupan (sustenance), harga diri (self-esteem), dan
kebebasan (freedom). Kecukupan diartikan sebagai kemampuan seseorang dalam
memenuhi kebutuhan dasar kehidupannya yang mencakup makanan, tempat
tinggal, kesehatan, dan perlindungan. Harga diri merujuk pada suatu perasaan
yang bermartabat, tidak diperalat untuk mencapai tujuan orang lain dan berproses
menjadi manusia yang seutuhnya. Nilai harga diri dapat berbeda antara individu
satu dengan yang lain sesuai latar belakangnya. Kebebasan dijelaskan sebagai
kondisi kemampuan sesorang untuk independen dalam menentukan pilihan yang
terbaik bagi jalan kehidupannya. Berdasarkan analisa Goulet, penekanan akan inti
pembangunan terdapat pada peningkatan kualitas manusia. Pembangunan
berproses dan bermuara pada manusia dan sudah seyogyanya demikian adanya.
Dengan demikian, cara pandang pembangunan termasuk dari sudut pandang
ekonomi tidak lagi mengidentikkan pembangunan ekonomi hanya ke arah
pertumbuhan ekonomi yang dicirikan peningkatan pendapatan perkapita, tetapi
mengarah pada terpenuhinya eksistensi manusia menjadi manusia yang
berkualitas. Mubyarto (2000) menegaskan bahwa pergeseran dari tahap
pembangunan ekonomi ke pembangunan manusia adalah suatu hal yang penting.
Dengan demikian, terdapat pergeseran paradigma pembangunan dari yang
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
7
menekankan pada pertumbuhan ekonomi menjadi pertumbuhan melalui
pemerataan.
Hubungan antara manusia dan pembangunan ekonomi mempunyai sifat
timbal-balik yang saling bersangkutan. Manusia memerlukan pembangunan
ekonomi agar kebutuhan materiilnya terpenuhi, tetapi dalam pembangunan
ekonomi juga diperlukan peranan manusia sebagai aktor utama (Mubyarto, 1988).
Manusia seharusnya tidak dipandang sebagai sumberdaya dalam suatu rangkaian
proses pembangunan sehingga mengarah pada eksploitasi antar manusia. Tetapi
keberadaan manusia dalam pembangunan dipahami sebagai upaya bersama,
berproses bersama, dan menikmati hasilnya bersama tanpa menimbulkan
kecurangan serta penindasan.
Kebijakan Publik
Friedrich (dalam Winarno, 2002) menjelaskan bahwa kebijakan publik
merupakan suatu usulan tindakan yang seharusnya dilakukan. Usul terkait
tindakan yang semestinya diambil, berasal dari seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu. Tindakan juga dimaksudkan untuk
mencapai suatu sasaran atau maksud tertentu dengan cara memberikan hambatan
atau kesempatan terhadap kebijakan dalam rangka mencapai sasaran.
Menurut Nugroho (2008) kebijakan publik merupakan strategi untuk
merealisasikan tujuan negara yang disusun oleh negara, terutama pada posisi
pemerintah. Selain itu, kebijakan publik dapat mengubah kondisi suatu
masyarakat. Perubahan tersebut sebagai upaya untuk masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang
dicita-citakan.
Salah satu bidang yang dibahas dalam kebijakan publik adalah pada bidang
kesehatan. Kesehatan sebagai kebutuhan mendasar hidup manusia, maka
diperlukan regulasi dari negara untuk menjamin pelayanan kesehatan yang dapat
dimanfaatkan oleh rakyat. Maka dari itu, kebijakan kesehatan menjadi salah satu
kebijakan publik yang patut dicermati dalam penyusunan dan pelaksanannya.
Kebijakan kesehatan tumbuh dari unsur keterpaduan hukum administrasi,
hukum pidana, hukum perdata dan hukum internasional. Konsep dasar kebijakan
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
8
kesehatan sendiri mempunyai aspek yang istimewa yaitu, Hak Asasi Manusia
(HAM), kesepakatan internasional, legal baik pada level nasional maupun
internasional, serta ilmu pengetahuan dan teknologi yang termasuk tenaga
kesehatan profesional (Thalal & Hiswanil, 2007).
Kebudayaan
Geertz (dalam Liliweri, 2014) mengelaborasikan pendapat Clyde
Kulckhohn dan meringkas definisi kebudayaan menjadi beberapa poin intisari.
Poin-poin yang menjadi intisari pendefinisian kebudayaan antara lain: cara hidup
manusia; warisan sosial individu dari kelompoknya; cara berpikir, merasakan, dan
keyakinan; abstraksi dari perilaku; seperangkat teori tentang cara sekelompok
orang berperilaku; gudang pengetahuan; seperangkat orientasi kehidupan; belajar
berperilaku; mekanisme untuk mengatur perilaku yang normatif; seperangkat
untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan; endapan sejarah; pemetaan perilaku,
saringan, atau matriks.
Menurut Sudiharto (2005) budaya berdasarkan pandangan antropologi
tradisional, dapat dibagi menjadi dua, yaitu budaya material yang berupa objek,
seperti pakaian, seni, benda-benda kepercayaan (jimat), atau makanan dan
nonmaterial yang berupa kepercayaan, kebiasaan, bahasa, dan institusi sosial.
Berdasarkan pengertian ini, menyusui secara eksklusif juga dapat dibagi pada
budaya material dan nonmaterial. Budaya material terkait ASI eksklusif dapat
merujuk misalnya pada Makanan Pendamping atau Pengganti ASI (MPASI).
Sedangkan budaya nonmaterial dapat diwujudkan dalam pandangan, kebijakan,
maupun kebiasaan masyarakat tentang menyusui secara eksklusif.
Menyusui Eksklusif
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif, ASI diartikan sebagai cairan hasil sekresi
kelenjar payudara ibu. Menurut Soetjiningsih (1997) ASI adalah emulsi lemak
dalam larutan protein, laktosa dan garam-garam organik yang disekresi oleh
kedua belah kelenjar payudara ibu sebagai makanan utama bagi bayi. Sedangkan
Roesli (2002) menjelaskan pengertian ASI sebagai suatu jenis makanan yang
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
9
lezat, manis, dapat dibawa kemana-mana, siap pakai pada suhu yang selalu tepat,
mudah dicerna, bernilai gizi tinggi, kaya kandungan daya tahan terhadap penyakit
dan komposisinya berubah-ubah disesuaikan dengan kebutuhan bayi. Raharjo
(2015) manambahkan bahwa ASI terbukti merupakan makanan yang terbaik bagi
bayi, kandungan gizinya yang lengkap mampu mencukupi kebutuhan gizi bagi
bayi dengan seimbang.
WHO (dalam Utami, 2011) mendefinisikan menyusui sebagai suatu cara
dalam memberikan makanan ideal bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi
yang sehat. Pemberian makanan dengan menyusui ini dapat memberi dampak
biologis dan kejiwaan yang unik terhadap kesehatan ibu menyusui serta bayi yang
disusuinya. Menyusu merupakan suatu cara makan anak-anak yang tradisional,
telah ada sejak zaman purba sampai sekarang dengan keadan yang hampir sama
(Handajani, 2002). Menyusui adalah proses pemberian susu kepada bayi dengan
ASI dari payudara ibu, sedangkan bayi berusaha untuk menghisap guna
mendapatkan ASI (Utami, 2011).
ASI eksklusif atau lebih tepat pemberian ASI secara eksklusif adalah bayi
hanya diberi ASI tanpa tambahan asupan makanan lain seperti susu formula,
jeruk, madu, air teh, air putih, dan tambahan makanan padat seperti pisang,
pepaya, bubur susu, biskuit, bubur nasi, dan tim (Roesli, 2000). Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu
Ibu Eksklusif, 2012 pasal 1 ayat 1 dan 2 menjelaskan bahwa ASI eksklusif adalah
ASI yang diberikan kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, tanpa
menambahkan dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain. ASI
sendiri merupakan cairan hasil sekresi kelenjar payudara ibu.
Menyusui dapat dikelompokkan sesuai pola menyusui yang dilihat
berdasarkan proporsi pemberian ASI dengan asupan makanan lain kepada bayi.
Pola menyusui ini dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain
(Kementerian Kesehatan RI, 2014):
1) Menyusui Eksklusif
Pola menyusui ini disebut sebagai eksklusif dikarenakan pada pola
menyusui jenis ini bayi tidak mendapat asupan makanan lain selain ASI pada
periode 0-6 bulan umur bayi. Makanan lain yang dimaksud termasuk tidak
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
10
memberikan air putih sekalipun, kecuali jika dalam kondisi tertentu dengan
indikasi medis bahwa bayi memerlukan asupan obat-obatan maupun vitamin.
2) Menyusui Predominan
Menyusui predominan adalah menyusui bayi tetapi pernah memberikan
asupan makanan lain selain ASI sesaat setelah bayi dilahirkan dan ASI
dipersepsikan belum keluar. Pengetahuan ibu bayi, keluarga yang menemani
persalinan, maupun tenaga kesehatan sangat berdampak apakah bayi akan
mendapat ASI eksklusif atau tidak. Karena meskipun sedikit saja diberikan
asupan makanan lain, maka pola ini sudah termasuk menyusui jenis
predominan.
3) Menyusui Parsial
Menyusui parsial dapat dikatakan merupakan pola menyusui predominan
yang dilanjutkan. Sebelumnya menyusui predominan merupakan pola
menyusui yang memberikan makanan lain selain ASI dikarenakan sesaat
setelah melahirkan, ASI belum keluar. Sedangkan pola menyusui parsial tetap
memberikan asupan makanan lain meskipun ASI ibu bayi sudah keluar.
Menyusui parsial adalah menyusui bayi serta disertai dengan pemberian
makanan buatan selain ASI, baik susu formula, bubur atau makanan lainnya
sebelum bayi berumur enam bulan.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian pustaka atau literatur. Menurut
Zed (2008), studi pustaka merupakan serangkaian tahapan penelitian yang
berkenaan dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mencatat, dan
mengolah bahan penelitian. Oleh karenanya, studi literatur tidak memerlukan
studi lapangan dan hanya bersumber dari pustaka yang diperoleh.
Metode studi pustaka dipilih karena didasarkan beberapa alasan. Seperti
yang diungkapkan Zed (2008), alasan memilih studi pustaka dikarenakan,
pertama, permasalahan penelitian yang hanya dapat dijawab dengan studi pustaka.
Kedua, studi pustaka dapat dijadikan sebagai studi pendahuluan. Ketiga,
keandalan data pustaka dalam menjawab permasalahan peneitian.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
11
Studi pustaka juga memiliki ciri-ciri, antara lain, pertama, posisi peneliti
yang tidak bersinggungan langsung dengan fenomena atau objek penelitian,
melainkan hanya melalui teks terkait tema penelitian. Kedua, data pustaka bersifat
siap pakai, sehingga peneliti tidak perlu pergi ke lapangan untuk mencari sumber
data. Ketiga, bentuk data studi pustaka merupakan sumber data sekunder.
Berdasarkan uraian sebelumnya, rumusan masalah dalam penelitian ini
sesuai jika menggunakan metode studi pustaka. Hal ini bertujuan untuk
mengumpulkan, mengorganisasikan, dan mengelaborasi tema menyusui yang
dibahas dari berbagai rumpun ilmu sehingga dapat dijadikan suatu kajian yang
komprehensif dan disusun untuk dapat menjawab rumusan masalah penelitian.
Bahan pustaka yang cukup banyak tentang tema menyusui mempermudah peneliti
dalam penelitian ini. Meskipun demikian, penelitian dengan studi pustaka juga
mempunyai kelemahan, terutama karena peneliti dalam hal ini tidak dapat
bersinggungan langsung dengan fenomena atau objek penelitian, sehingga hanya
mengandalkan sumber data sekunder.
Penelitian literatur ini menggunakan sumber data yang berupa data sekunder
dalam bentuk berbagai karya tulis. Karya tulis yang digunakan tidak dibatasi
dalam bentuk digital maupun cetak, asalkan masih sesuai dengan topik masalah
yang diteliti dan dapat menjawab masalah penelitian. Data ini dikumpulkan dalam
jangka waktu yang tidak dibatasi hingga peneliti merasa bahwa data yang ada
sudah jenuh (tidak memberikan variasi berarti) dan dapat menjawab masalah
penelitian. Data yang dikumpulkan dapat berupa teori yang sesuai, hasil penelitian
dengan tema terkait, kutipan pernyataan, dan kebijakan yang terkait dengan tema
penelitian.
Setelah data dikumpulkan, data pustaka kemudian dianalisis dan disusun
secara sistematis sesuai kaidah akademis dan ilmiah untuk dapat menjawab
masalah penelitian. Levy & Ellis (2006) menjelaskan bahwa analisis studi pustaka
dilakukan dengan cara memisahkan, menghubungkan, membandingkan, memilih,
dan menjelaskan data yang telah dikumpulkan. Tidak hanya sampai di situ,
peneliti juga melakukan penggabungan, pengintegerasian, modifikasi, penataan,
perancangan, penyusunan, dan generalisasi atas data yang dikumpulkan untuk
menjawab masalah penelitian.
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
12
PEMBAHASAN
Kebijakan Menyusui
Pentingnya masalah ASI eksklusif pada dasarnya juga tergatung pada
bagaimana dukungan pemerintah berupa kebijakan yang mendukung upaya
pemberian ASI eksklusif. Melalui dasar hukum, hal yang berkaitan dengan ASI
eksklusif baik yang mendorong maupun menghambat upayanya dapat dilandasi
aturan yang jelas. Pengaturan mengenai ASI eksklusif dijelaskan dalam berbagai
produk hukum dengan berbagai tingkatan, baik yang secara khusus berbicara
mengenai ASI eksklusif maupun sebagai pelengkap dengan aturan pada pokok
masalah lain.
Berdasarkan studi literasi tentang kebijakan yang terkait dengan menyusui,
diperoleh berbagai peraturan. Peraturan ini terdiri dari Undang-undang, Peraturan
Pemerintah, Peraturan Menteri, dan Kepututusan Menteri.
Penelusuran kebijakan menyusui dimulai dengan sebuah publikasi resmi
dari lembaga Better Work Indonesia & Indonesia (2012), yang mempublikasikan
daftar peraturan yang mengatur tentang menyusui dan ASI eksklusif. Tulisan
tersebut mendasari peneliti untuk mencari lebih jauh tentang peraturan yang
berkaitan dengan menyusui dan ASI eksklusif. Selanjutnya, penelusuran
dilakukan dengan melihat bagian “Menimbang” dan “Mengingat” pada peraturan
yang ditetapkan sehingga dapat menemukan berbagai peraturan yang saling
berkaitan. Sehingga dapat diganakan untuk mengetahui mengapa peraturan baru
terbit yang dikaitkan dengan peraturan sebelumnya.
Penelurusan kebijakan ini dirangkum dalam masing-masing topik
pembahasan. Beberapa topik pembahasan tersebut antara lain mengenai kewajiban
menyusui, bagaimana kebijakan menaungi wanita bekerja yang menyusui,
bagaimana peraturan tentang penyediaan fasilitas menyusui, dan bagaimana
strategi untuk mengoptimalkan program Asi eksklusif.
1) Hak dan Kewajiban Menyusui
Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia pasal 49 ayat 2 menyebutkan bahwa wanita mempunyai hak
dalam mendapat perlindungan khusus dalam pelakasanaan pekerjaan terhadap
hal-hal yang dapat mengancam keselamatan jiwa dan atau berkenaan dengan
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
13
fungsi reproduksi wanita. Bentuk perlindungan fungsi reproduksi tersebut
berupa pelayanan kesehatan yang berkaitan dengan haid, hamil, melahirkan,
dan pemberian kesempatan untuk menyusui bayinya.
Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 Tentang Hak
Asasi Manusia pasal 128 ayat 1 menyebutkan bahwa setiap bayi mempunyai
hak untuk mendapatkan ASI eksklusif sejak dilahirkan sampai umur 6 bulan
(terkecuali apabila terdapat indikasi medis). Kebijakan tersebut dikuatkan
dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada pasal 6 dan 7 yang menjelaskan bahwa
setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI ekslusif kepada bayi yang
dilahirkannya dengan pengecualian dengan adanya indikasi medis, ibu tidak
ada, atau ibu terpisah dari bayi.
Berdasarkan peraturan yang ada, menyusui merupakan suatu kewajiban,
serta merupakan hak bagi bayi. Oleh karena itu, semua pihak yang terlibat juga
harus mendukung upaya pemberian ASI eksklusif. Dukungan terhadap
program pemberian ASI eksklusif juga tidak terkecuali pada wanita yang
bekerja, dengan seyogyanya diberikan kesempatan untuk tetap dapat
memberikan ASI eksklusif bagi bayinya.
2) Kebijakan Menyusui pada Wanita yang Bekerja
Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan pasal 83 menjelaskan bahwa pekerja perempuan yang mana
mempunyai anak dan masih menyusui, maka harus diberi kesempatan
sepatutnya untuk menyusui jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja.
Kemudian tentang cuti pekerja perempuan sebagai PNS yang diatur dalam
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 24 Tahun 1976 Mengenai Cuti
Pegawai Negeri Sipil pasal 19 ayat 1-3 dan Pasal 21. Pasal 19 menjelaskan
bahwa PNS perempuan mempunyai hak cuti bersalin selama satu bulan
sebelum dan dua bulan setelah persalinan. Kemudian dilanjutkan dengan
peraturan pasal 21 yang menjelaskan bahwa selama menjalankan cuti bersalin,
maka PNS perempuan yang bersangkutan tetap menerima penghasilan penuh.
Kebijakan terkait pemberian ASI di tempat kerja juga diatur dalam
Peraturan Bersama 3 Menteri (Menteri Pemberdayaan Wanita dan
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
14
Perlindungan Anak, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri
Kesehatan) – No. 48/ MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan
1177/MENKES/PB/XII/2008 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Selama, 2008)
di Tempat Kerja pasal 2 huruf a-d serta pasal 3. Pasal 2 menjelaskan tujuan
dari penerbitan peraturan bersama ini, antara lain: memberi kesempatan kepada
pekerja perempuan untuk memberikan atau memerah ASI selama waktu kerja,
memenuhi hak pekerja perempuan untuk meningkatkan kesehatan ibu dan
anaknya, memenuhi hak anak untuk mendapatkan ASI guna meningkatkan gizi
dan kekebalan anak, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia sejak
dini.
Selanjutnya, pasal 3 menjelaskan perihal kewajiban dan tanggung jawab
masing-masing menteri. Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan
Anak mempunyai tanggung jawab untuk membekali pengetahuan pekerja
wanita tentang arti penting pemberian ASI dan menginformasikan kepada
penyelengara kerja tentang kondisi yang diperlukan dalam memberi
kesempatan pekerja wanita untuk dapat memerah ASI pada jam kerja di tempat
kerja. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai tanggung jawab
dalam mendorong pengusaha maupun serikat pekerja untuk mengatur prosedur
pemberian ASI dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan, dan
mengkoordinasikan sosialisasi pemberian ASI di tempat kerja. Terakhir,
Menteri Kesehatan mempunyai tanggung jawab dalam menyelenggarakan
pelatihan dan menyediakan staf yang terlatih baik dalam hal pemberian ASI,
serta memberikan dan menyebarkan seluruh jenis bahan-bahan komunikasi,
informasi, dan pendidikan tentang manfaat dari memerah ASI
Berdasarkan berbagai peraturan tersebut, upaya pemberian ASI eklusif
yang dijalankan oleh wanita yang bekerja memang memerlukan upaya ekstra
dan dukungan berbagai pihak, terutama tempat kerja. Cuti yang diberikan
untuk pekerja wanita yang bersalin tentu terlalu pendek jika wanita hanya
berfokus dalam merawat anak dan memberikan ASI eksklusif. Sehingga jalan
yang dapat ditempuh adalah upaya negosiasi dengan tujuan dapat
terfasilitasinya wanita yang bekerja agar tetap dapat memberikan ASI eksklusif
bagi banyinya. Hal ini sangat memungkinkan dengan cara memberi
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
15
kesempatan wanita yang sedang berada pada waktu kerja untuk sesekali
memerah ASI nya dan menyimpannya sementara sehingga nanti dapat
diberikan pada bayinya yang ada di rumah.
3) Penyediaan Dukungan Fasilitas Menyusui
Terkait dengan topik pembahasan sebelumnya mengenai peraturan pada
wanita pekerja yang menyusui, pada topik ini dijabarkan peraturan yang
diterbitkan guna mendukung fasilitas menyusui. Pertama yang akan dibahas
adalah Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 Tentang
Kesehatan Pasal 128 berisi ayat 2, 3, dan 200. Pada pasal 2 dan 3 dijelaskan
bahwa selama pemberian ASI, pihak keluarga, pemerintah, pemerintah daerah,
dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan
waktu dan fasilitas khusus yang diadakan di tempat kerja dan tempat sarana
umum. Sedangkan pada pasal 200 menjelaskan perihal hukuman pidana
penjara paling lama 1 tahun dan denda paling banyak sebesar
Rp100.000.000,00 bagi setiap orang yang dengan sengaja menghalangi
program pemberian ASI eksklusif. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
No 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada pasal 34
juga menjelaskan bahwa pengurus tempat kerja wajib memeberikan
kesempatan kepada pekerja wanita untuk dapat memberikan ASI eksklusif
selama waktu kerja di jam kerja.
Peraturan selanjutnya adalah Kementrian Kesehatan Republik Indonesia
(2013) pasal 2 dan 10. Pada pasal 2 peraturan ini menjelaskan tentang tujuan
pengaturan tata cara penyediaan ruang ASI oleh pengurus tempat kerja maupun
penyelenggara fasilitas umum yaitu untuk memberikan perlindungan kepada
ibu dalam memberikan ASI eksklusif dan memenuhi hak anak untuk
mendapatkan ASI eksklusif, serta meningkatkan peran dan dukungan keluarga,
masyarakat, Pemerintah Daerah, dan Pemerintah terhadap pemberian ASI
eksklusif. Sedangkan pada pasal 10 menjelaskan tentang persyaratan dan teknis
pengadaan ruang ASI.
Dukungan pada pemberian ASI eksklusif ditunjukkan dengan penyediaan
fasilitas dan pemberian ruang bagi wanita yang hendak menyusui. Penyediaan
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
16
fasilitas baik di tempat umum maupun di tempat kerja, tentu akan sangat
membantu wanita agar tetap dapat memeberikan ASI eksklusif pada bayinya.
4) Strategi menyusui ekslusif
Guna menunjang keberhasilan program menyusui ekslusif, pemerintah
mencetuskan sepuluh langkah menuju keberhasilan menyusui sebagaimana
yang diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No
450/MENKES/SK/IV/2004 Tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara
Eksklusif Pada Bayi di Indonesia. Strategi sepuluh langkah menuju
keberhasilan menyusui ini kemudian diperbarui secara komprehensif pada
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012 Tentang
Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif pada pasal 33, yang berisi sebagai berikut.
a. membuat kebijakan tertulis tentang menyusui dan dikomunikasikan kepada
semua staf pelayanan kesehatan;
b. melatih semua staf pelayanan dalam keterampilan menerapkan kebijakan
menyusui tersebut;
c. menginformasikan kepada semua ibu hamil tentang manfaat dan manajemen
menyusui;
d. membantu ibu menyusui dini dalam waktu 60 (enam puluh) menit pertama
persalinan;
e. membantu ibu cara menyusui dan mempertahankan menyusui meskipun ibu
dipisah dari bayinya;
f. memberikan ASI saja kepada bayi baru lahir kecuali ada indikasi medis;
g. menerapkan rawat gabung ibu dengan bayinya sepanjang waktu 24 (dua
puluh empat) jam;
h. menganjurkan menyusui sesuai permintaan Bayi;
i. tidak memberi dot kepada Bayi; dan
j. mendorong pembentukan kelompok pendukung menyusui dan merujuk ibu
kepada kelompok tersebut setelah keluar dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Berdasarkan rangkaian aspek hukum yang telah dipaparkan sebelumnya
dapat dipahami berbagai hal terkait pentingnya menyusui eksklusif. Salah satunya
bahwa perempuan yang menyusui mendapatkan perlindungan secara hukum.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
17
Bahkan bagi perempuan bekerja seharusnya tetap mendapat kesempatan untuk
menyusui meskipun pada waktu kerja. Sehingga perusahaan atau organisasi
tempat perempuan bekerja harus dapat menyesuaikan dengan kondisi ini. Aspek
hukum juga mengakomodasi perempuan pekerja sebagai PNS yang akan
melahirkan dengan memberikan hak cuti selama 3 bulan dengan tetap menerima
penghasilan secara penuh
Upaya pemberian ASI eksklusif salah satu tujuannya adalah untuk
meningkatkan status gizi masyarakat sehingga dapat menyukseskan pembangunan
kesehatan. ASI juga merupakan hak bayi dan kewajiban bagi ibu. Bayi diharuskan
mendapat ASI eksklusif sampai umur 6 bulan terkecuali jika terdapat indikasi
medis. ASI dipahami sebagai makanan yang paling tepat dan terbaik bagi bayi.
Berdasarkan segala manfaat ASI eksklusif yang diberikan pada masa emas
pertumbuhan bayi, maka diharapkan bayi ASI eksklusif akan tumbuh menjadi
manusia yang sehat, cerdas, dan berkualitas.
Pemerintah dapat berperan dalam tanggung jawab menetapkan kebijakan
dalam rangka menjamin hak bayi agar mendapat ASI eklsklusif. Selain itu
pemerintah juga harus dapat menyediakan fasilitas di tempat umum untuk
mengakomodasi keperluan ibu menyusui. Selain itu penegakan hukum terhadap
upaya yang menghambat pemberian ASI eksklusif juga dapat diancam dengan
hukuman dengan ancaman penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak seratus juta rupiah Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun
2009 Tentang Kesehatan Pasal 200).
Budaya Menyusui
Setelah meninjau beberapa kebijakan yang mengatur bagaimana
pelaksanaan ASI eksklusif, pada sub bahasan ini akan membahas mengenai
pandangan dari segi budaya tentang bagaimana pelaksanaan perilaku menyusui di
masyarakat. Pandangan budaya menyusui ini diperoleh dari literatur dari berbagai
pihak yang mempunyai fokus menangkap fenomena perilaku menyusui yang ada
di masyarakat berbagai daerah, baik yang mendukung maupun menghambat
program pemberian ASI eksklusif. Bahasan difokuskan dengan melihat
bagaimana tradisi menyusui yang ada di masyarakat; bagaimana perilaku
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
18
menyusui yang dilihat dari sudut pandang gender, terutama untuk membahas
perilaku menyusui wanita yang bekerja; serta ditambahkan bahasan tentang
dogma agama tentang menyusui yang berperan dalam membentuk persepsi di
masyarakat.
1) Tradisi Menyusui
Menurut berbagai literatur yang ditemukan, terdapat budaya yang
mendukung maupun menghambat perilaku menyusui eksklusif, baik yang
dijelaskan dalam peraturan perundang-undangan atau tidak secara jelas
tercantum dalam kebijakan. Seperti diungkapkan Firanika (2010) dalam
penelitiannya di Kelurahan Bubulak Kabupaten Bogor yang menyimpulkan
bahwa terdapat nilai budaya dan cara hidup yang mendukung dan menghambat
pemberian ASI eksklusif. Hal ini diindikasikan seperti adanya dukungan sosial
dan keterikatan keluarga kepada ibu menyusui. Sedangkan yang tidak
mendukung seperti adanya pantangan dalam makan dan adanya tradisi mapas.
Tradisi ini dikhawatirkan dapat mengganggu kesehatan ibu dan bayi karena
kekurangan konsumsi makanan tertentu dengan adanya pantangan makan
dalam mapas.
Mapas sendiri oleh masyarakat Bubulak diartikan sebagai masa di mana
ibu menjalani pantangan dalam memilih makanan. Masa mapas yaitu bayi
puput tali pusar sampai umur satu tahun. Jadi ibu menyusui dilarang memakan
jenis makanan tertentu pada mapas, dimana makanan tersebut belum penah
dimakan sebelum puput tali pusar. Misalnya setelah melahirkan sampai puput
tali pusar ibu menyusui tidak pernah makan daging ayam, maka pada saat masa
mapas ibu tersebut tidak boleh makan daging ayam hingga masa mapas selesai.
Handajani (2002) juga menuturkan bahwa terdapat tradisi yang
menghambat pemberian ASI eksklusif, yaitu keengganan masyarakat untuk
memberikan ASI yang pertama keluar setelah melahirkan, yang dalam ilmu
kesehatan lebih dikenal dengan kolostrum. Kolostrum sendiri dalam berbagai
tradisi dikenal dalam berbagai macam sebutan. Masyarakat Jawa Timur biasa
menyebut kolostrum dengan susu kuning, susu basi, susu kotor, susu toya, atau
air jelek. Masyarakat Nusa Tenggara Barat menyebut kolostrum dengan susu
bongkok, susu apek, susu baro, susu koe, air susu panas, air susu bungsu, susu
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
19
amis, atau susu dara kotor. Kolostrum yang dianggap kurang baik biasanya
diganti dengan makanan lain sesuai tradisi masyarakat dan diteruskan sebagai
pendamping ASI, meskipun masa tersebut harusnya bayi diberikan ASI
eksklusif. Seperti yang diungkapakan Media, Kasnodiharjo, Prasodjo, &
Manalu (2005) dalam penelitiannya di Kabupaten Karawang yang
menyimpulkan bahwa tradisi yang menghambat pemberian ASI eksklusif
seperti pemberian madu, air putih, air putih dan madu/gula merah, pisang,
bubur, dan biskuit pada bayi yang seharusnya hanya diberi ASI.
Kolostrum sendiri merupakan jenis ASI yang mempunyai kandungan
nutrisi yang tinggi, sehingga wajib diberikan kepada bayi. Oleh karena itu,
terakait juga dengan program ASI eksklusif, pemberian kolostrum ini juga
mendapat perhatian serius dengan pencanangan program inisiasi menyusui dini
(IMD). Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam IMD ialah pelekatan
pertama antara ibu dan bayi, dimana kulit bayi dan ibu akan saling bersentuhan
untuk pertama kalinya dan dipercaya akan mewujudkan ikatan (bonding)
antara ibu dan anak. IMD dilakukan dengan cara meletakkan bayi yang baru
lahir pada perut atau dada ibu, untuk selanjutnya dibiarkan menyusu pada
payudara ibunya secara alamiah dalam kurun waktu kira-kira satu jam.
Sedangkan di daerah lain seperti penelitian Rejeki (2008) di Kendal,
mengungkapkan bahwa terdapat budaya yang mendukung praktik menyusui
seperti kebiasaan minum jamu wejah, mandi wuwung, dan menjaga kebersihan
payudara setelah berpergian. Jamu wejah diracik dari daun-daunan dan
rempah-rempah, berupa daun sigaran, daun kelor, daun klampok, daun otok,
daun kemuning, sirih air, daun sinom, daun serut, lempuyang, kunyit, kencur,
temu hitam, dan gula aren. Jamu wejah sendiri mempunyai khasiat untuk
memperlancar dan menyehatkan ASI. Demikian juga mandi wuwung yang
memiliki khasiat yang sama, dilakukan dengan cara mandi seperti biasa pada
pagi hari (sebelum matahari terbit) disertai dengan keramas dan mengguyur
rambut secara berulang-ulang. Sedangkan menjaga kebersihan payudara
setelah bepergian merupakan suatu upaya agar terhindar dari sawan, yaitu
semacam gangguan dari makhluk halus.
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
20
Terkait dengan aspek tradisi yang ada di masyarakat dengan perilaku
menyusui dijelaskan oleh Kurniawati & Hargono (2014) bahwa norma
subyektif ibu menyusui cenderung dipengaruhi persepsi norma sosial yang ada
lingkungan sekitar. Hal ini didasari karena adanya keyakinan terhadap norma
sosial budaya sekitar dan motivasi dari orang terdekat yang membentuk
persepsi ibu menyusui. Persepsi berdasarkan norma sosial budaya akan
mendorong niat ibu untuk berperilaku memberikan ASI eksklusif pada
bayinya.
Roesli (2002) menambahkan bahwa permasalahan yang mengganggu
upaya ASI eksklusif adalah dengan berkembangnya informasi-informasi yang
tidak benar dan kurang tepat di masyarakat terkait menyusui. Terutama apabila
dikaitkan dengan adanya mitos-mitos tentang menyusui, sehingga dapat
berakibat kurangnya rasa percaya diri para ibu serta menurunnya semangat
mereka untuk menyusui eksklusif.
Berdasarkan uraian ini dapat diketahui bahwa terdapat persepsi tradisi
masyarakat tentang ASI dan prilaku menyusui yang ternyata dapat berdampak
pada persepsi ibu menyusui. Terdapat tradisi masyarakat yang mendukung ASI
eksklusif, tetapi juga terdapat tradisi yang menghambat pemberian ASI
eksklusif. Oleh karena itu diperlukan informasi yang cukup pada masyarakat
tentang bagaiman program ASI eksklusif.
2) Perilaku Menyusui Wanita Pekerja
Salah satu penelitian di Kelurahan Paseban, Jakarta oleh Wijayanti
(2015) menyimpulkan bahwa faktor utama yang berkaitan dengan rendahnya
praktik pemberian ASI adalah persepsi ibu bahwa ASI kurang, pekerjaan,
waktu ibu untuk merawat anak, pengalaman ibu sebelumnya, serta
dukungan/pengaruh dari keluarga, tenaga kesehatan dan tempat bekerja.
Penelitian ini ditujukan untuk melihat bagaimana peran ibu menyusui yang
bekerja tetapi mempunyai kewajiban untuk tetap merawat anak terutama pada
segi menyusui. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa faktor yang tekait
dengan peran ibu bekerja juga berdampak pada pemberian ASI kepada
bayinya.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
21
Sependapat dengan penelitian tersebut, Umar et al., 2013 yang meneliti
ibu bekerja di Kota Pare-pare mengungkapkan bahwa faktor jenis pekerjaan,
jumlah jam kerja, sosial ekonomi, paparan promosi susu formula dan dukungan
keluarga mempunyai pengaruh terhadap pemberian ASI eksklusif. Raharjo
(2015) juga menunjukkan hasil penelitian di masyarakat Kendal mendapati
bahwa status pekerjaan ibu ini memiliki hubungan dengan praktek ASI
eksklusif.
Berdasarkan penelitian-penelitian ini dapat diketahui bahwa pekerjaan
wanita yang menyusui akan berdampak pada bagaimana perilaku
menyusuinya. Pertimbangan waktu kerja dan waktu mengurus anak,
kepraktisan pemberian susu formula dibanding pemberian ASI, merupakan
beberapa alasan yang menguatkan mengapa wanita yang bekerja mempunyai
tingkat pemberian ASI ekslusif yang lebih rendah.
Penelitian Mutiaraningtyas (2013) yang mengungkapkan bahwa wanita
karir cenderung menganggap bahwa susu formula merupakan asupan gizi
utama yang dapat menggantikan asupan ASI ketika ibu menyusui pergi
bekerja. Sehingga susu formula lebih diminati oleh ibu menyusui dibanding
dengan memberikan ASI secara ekslusif kepada bayinya. Pemberian susu
formula ini akan membantu ibu menyusui untuk tetap dapat fokus pada
pekerjaan pada jam kerja.
Penelitian Ningsih (2015) di RS Dr. Moewardi Surakarta
mengungkapkan bahwa alasan terbesar memberi tambahan susu formula
dikarenakan faktor pekerjaan sebanyak 50 persen, dengan pertimbangan
memilih susu formula berdasarkan komposisi zat gizi sebanyak 21,7 persen,
harga jual sebanyak 15,2 persen, dan pertimbangan cocok dengan bayi
sebanyak 13 persen. Penelitian ini menguatkan mengapa ibu menyusui memilih
susu formula karena susu formula dirasa mempunyai kandungan gizi yang
dinilai cukup untuk memenuhi kebutuhan bayi dan menggantikan pemberian
ASI eksklusif.
Kondisi wanita pekerja yang menyusui dikaji oleh Pratama, Samudro, &
Yogi (2018) dengan meneliti menyusui dalam dimensi gender dan sosial
ekonomi. Kesimpulan dari penelitian tersebut mengungkapkan bahwa peran
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
22
menyusui tidak hanya dibebankan pada wanita saja, meskipun secara kodrati
menyusui merupakan peran seorang wanita. Akan tetapi keputusan pemberian
ASI terutama pada wanita bekerja juga tidak terlepas dari bagaimana dukungan
suami, keluarga, masyarakat, tempat kerja, dan pemerintah.
Selain itu, penelitian Melissa, Jati, & Suparwati (2015) mengenai
implementasi kebijakan ASI eksklusif di salah satu perusahaan di Kabupaten
Semarang, menunjukkan hasil yang kurang mendukung ASI eksklusif.
Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa perusahaan belum melembagakan
ASI ekslusif bagi pekerja wanitanya. SOP atau peraturan internal terkait
menyusui eksklusif belum ditetapkan oleh perusahaan. Fasilitas menyusui
sebenarnya sudah disediakan di perusahaan ini, namun demikian, ruangan ini
sangat jarang digunakan oleh pekerja karena letaknya yang tepisah gedung
dengan tempat bekerja serta kurangnya sosialisasi oleh perusahaan.
Kurangnya implementasi kebijakan pemberian ASI eksklusif bagi
pekerja wanita juga diungkapkan oleh Henderawaty, Kartasurya, & Suparwati
(2014) yang melakukan penelitian di Provinsi Kalimantan Selatan.
Berdasarkan penelitian tersebut dapat diketahui bahwa masih banyaknya
instansi yang belum menyediakan fasilitas menyusui di tempat kerja, serta
sosialisasi yang minim kepada perusahaan swasta mengenai kewajiban
penyediaan ruang menyusui.
3) Sudut Pandang Agama Tentang Menyusui
Pandangan agama diperlukan dalam membahas perilaku masyarakat
dalam segi budaya karena dalam agama mengatur bagaimana seluk beluk
kehidupan manusia dan termasuk juga perilaku menyusui. Agama merupakan
tuntunan, dan biasanya terdapat anjuran atau larangan akan suatu perliaku
manusia. Ja`far (2000) menuturkan bahwa agama merupakan kebutuhan asasi
bagi pemeluknya yang dapat menentukan arah dan tujuan hidup manusia.
Agama bersifat operasional-fungsional, karena secara sosisologis, agama
mengatur hubungan antar manusia dan berinteraksi dengan aspek-aspek
kehidupan masyarakat lainnya, seperti politik, ekonomi, sosial dan lain
sebagainya. Ahimsa-putra (2012) menambahkan bahwa agama mempunyai dua
dimensi, yakni: dimensi kolektif dan individual. Hal ini menunjukkan bahwa
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
23
ada pandangan agama yang kebenarannya diterima secara kolektif oleh
sejumlah orang atau sekelompok orang, tetapi ada juga kebenaran agama yang
hanya diikuti oleh satu orang saja.
Berdasarkan penelusuran literatur, terdapat dua agama yang secara
eksplisit menjelaskan tentang menyusui dalam kitab agama tersebut. Pertama
adalah agama Islam memberikan perhatiannya terhadap perilaku menyusui
yang dituangkan pada berbagai surat Al Quran yang menjadi kitab suci
penganut ajaran islam. Kedua adalah agama Kristen yang menjelaskan perihal
menyusui dalam berbagai ayat dalam Alkitab.
Al Quran dalam agama islam mengatur tentang menyusui setidaknya
pada lima surat, yaitu QS Al-Baqarah: 233; QS Luqman: 14; QS Al-Ahqof: 15;
QS Ath-Tholaq: 6; dan QS Al-Qoshosh: 12-13 (Al-Baitariyyah, 2010).
QS Al-Baqoroh ayat 233 menganjurkan untuk menyusui bayi sampai umur dua
tahun. Ayat ini juga mengingatkan agar ibu menyusui maupun ayah bayi tidak
merasa keberatan dengan anjuran menyusui bayi. QS Luqman ayat 14 berisi
anjuran kepada anak agar mengingat kedua orang tuanya, terutama ibu yang
mengandung dan menyusuinya. Menyusui pada anak dilakukan hingga umur
dua tahun. QS Al-Ahqof ayat 15 berisi anjuran agar selalu mengingat kebaikan
orang tua terutama ibu. Perihal menyusui dijelaskan bahwa menyusui
dilakukan hingga bayi umur tiga puluh bulan atau dua setengah tahun. QS Ath-
Tholaq: 6 berisi kewajiban seorang suami apabila mencerai istrinya yang
sedang hamil, maka tetap harus menafkahi hingga bayinya lahir. Tentang
menyusui juga tetap mendapat perhatian, bahkan seorang laki-laki dianjurkan
memberikan upah kepada mantan istrinya atas upaya menyusui bayi mereka.
QS Al-Qoshosh: 12-13 menceritakan soal upaya mencari ibu menyusui bagi
bayi Nabi Musa yang pada akhirnya dipertemukan Tuhan dengan ibunya
sendiri. Hal yang terkait menyusui adalah bahwa menyusui tetap menjadi hal
yang penting dan harus diupayakan meski bayi disusukan kepada orang lain.
Pandangan Islam secara jelas membahas masalah menyusui yang
diwajibkan sampai bayi berumur 2 - 2,5 tahun. Kewajiban ini dijelaskan dalam
berbagai ayat dalam Al Quran. Sebagai kewajiban, menyusui harus dijalankan
oleh penganut agama Islam dan apabila tidak dijalankan maka akan
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
24
menimbulkan konsekuensi dalam kaidah nilai agama. Seharusnya dengan
kewajiban menyusui ini, keluarga yang menganut agama ini dapat menjalankan
perilaku menyusui dengan lebih baik.
Penelitian Hanafi (2012) berkesimpulan bahwa terdapat relevansi antara
perspektif Al-Quran tentang pemberian ASI dengan hasil penelitian dalam
sains modern. Anjuran Islam dalam pemberian ASI selama dua tahun pertama
berpengaruh terhadap perkembangan otak bayi. Hal ini terutama karena masa
perkembangan otak manusia secara optimal terjadi pada umur dua tahun
pertama. Selain karena kandungan ASI, perkembangan otak ini dipengaruhi
akibat proses kontak fisik dan sosial ibu dan anak pada saat menyusui.
Sedangkan Alkitab dalam agama Kristen menjelaskan tentang menyusui
dalam berbagai bagian yang terdapat dalam Petrus 2:2; Mazmur 22:10;
Mazmur 8:3; dan Hosea 1:8 (dalam Muaja, 2010). 1 Petrus 2:2 menjelaskan
bahwa ASI sangat dibutuhkan seorang bayi untuk tumbuh dan mendapat
keselamatan. Mazmur 22:10 menyebutkan bahwa dengan menyusui akan
muncul perasaan aman oleh bayi, karena dekat dengan ibunya. Mazmur 8:3
membahas masalah kekuatan akibat menyusui, kekuatan ini dapat dikaitkan
dengan banyaknya kandungan zat antibodi atau kekebalan tubuh dalam ASI.
Hosea 1:8 menyebutkan bahwa setelah Gomer menyapih Lo-Ruhama, ia hamil
untuk yang kedua kalinya. Secara tersirat, ini dapat dimaknai bahwa menyusui
merupakan metode kontrasepsi alami.
Ajaran agama Kristen seperti yang telah diuraikan di atas menjelaskan
manfaat yang didapat dengan menyusui. Uraian di atas memang tidak
membahas secara rinci masalah periode menyusui ataupun yang membahas
menyusui secara eksklusif. Akan tetapi mengungkapkan manfaat menyusui
seperti tercukupinya kebutuhan bayi, kedekatan ibu dan bayi, dapat
menjarangkan kehamilan, dan keselamatan bagi bayi. Oleh karena itu, ajaran
agama Kristen mendukung persepsi menyusui dengan menjelaskan manfaat
yang didapatkan dari menyusui.
Pandangan agama Kristen dalam menyusui seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya lebih mengaitkan dengan manfaat yang didapat dengan menyusui.
Dengan menunjukkan manfaat ini, meskipun tidak terdapat kata yang
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
25
mewajibkan, menyusui merupakan suatu perilaku yang menguntungkan apabila
dijalankan. Tetapi di sisi lain, ajaran dalam Al Kitab tidak menjelaskan dampak
apabila tidak menjalankan perilaku menyusui.
Peran ASI Eksklusif pada Pembangunan
Pembangunan bangsa Indonesia merupakan upaya dalam membangun
manusia seutuhnya dan pembangunan seluruh rakyat Indonesia. Pembangunan
manusia yang utuh dapat diartikan bahwa bidang-bidang kebutuhan manusia yang
hendak dibangun, seharusnya seimbang secara materiil dan spriritual. Sedangkan
pembangunan seluruh rakyat diartikan pembangunan yang merata dengan asas
keadilan (Mubyarto, 1988).
Manusia bukan hanya sekedar faktor produksi sebagai sumber daya
manusia yang bahkan kedudukannya disejajarkan dengan faktor produksi lain
dalam fungsi produksi. Tujuan pembangunan manusia selayaknya tidak
dipandang hanya sebagai investasi pada satu sumber daya yang pada ujungnya
adalah peningkatan produksi dan pendapatan. Pembangunan manusia ditujukan
untuk memuliakan manusia dan memerdekakan dari segala bentuk penindasan.
Oleh karena itu pembangunan manusia bukanlah merupakan suatu pangkal seperti
suatu titian yang ujungnya peningkatan pendapatan, tetapi sebagai suatu proses
yang saling berkesinambungan menuju kehidupan yang adil dan sejahtera. Brata
(2002) menegaskan bahwa pembangunan manusia yang berkualitas akan
menunjang pembangunan ekonomi dan sebaliknya kinerja ekonomi yang baik
mendukung pembangunan manusia.
Peran kesehatan dalam kaitan dengan pembangunan diuraikan oleh
Notoatmodjo (2008) sebagai berikut. Pertama, upaya mewujudkan generasi lanjut
yang berkualitas baik fisik maupun non fisik. Kedua, dalam upaya mewujudkan
generasi lanjut yang berkualitas maka diperlukan perilaku yang mendukung
kesehatan serta kondisi lingkungan yang juga sehat, baik lingkungan fisik, sosial,
ekonomi, budaya dan sebagainya. Ketiga, perlunya mengubah paradigma
kesehatan yang mengutamakan tindakan preventif dan kuratif tanpa meninggalkan
pelayanan kuratif dan rehabilitatif.
Demikian juga hubungan ASI dengan kesempatan bayi untuk dapat
bertahan hidup. UNICEF melaporkan bahwa dengan pemberian ASI kepada bayi,
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
26
maka kesempatan untuk bertahan hidup memiliki kemungkinan 3 kali lebih besar
dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Pemberian ASI secara eksklusif
ternyata dapat menyelamatkan 1,3 juta jiwa di seluruh dunia, termasuk di
antaranya 22 persen bayi yang meninggal setelah kelahiran (Bunga dalam Arasta,
2012).
Briawan (2004) menjelaskan bahwa keuntungan ASI umumnya dibagi
dalam empat kelompok. Pertama, keuntungan bagi bayi dengan mendapat zat gizi
dan kekebalan tubuh untuk pertumbuhan dan perkembangan. Kedua, keuntungan
bagi ibu dalam mempercepat pemulihan uterus, pendarahan, dan efek kontraseptif
atau menjarangkan kelahiran tanpa bantuan alat kontrasepsi. Ketiga, keuntungan
bagi masyarakat luas dalam mengurangi perawatan kesehatan, dan keuntungan
ekonomis bagi keluarga karena biaya perawatan kesehatan yang berkurang.
Keempat, keuntungan bagi lingkungan dalam mengurangi polusi hasil industri
susu buatan.
Apabila dijabarkan secara lebih rinci, manfaat pemberian ASI eksklusif
terhadap berbagai pihak yang berkaitan dapat dijelaskan sebagai berikut.
1) Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi majikan atau perusahaan yang
memperkerjakan ibu menyusui, antara lain (Roesli, 2000):
a. Mengutip hasil penelitian Cohen dan kawan-kawan yang dilakukan di
Amerika pada tahun 1995, menunjukkan bahwa ibu menyusui eksklusif
lebih jarang bolos kerja (25 persen) dibanding ibu tidak menyusui eksklusif
dan memberikan susu formula (75 persen). Hal ini dapat dipahami bahwa
bayi yang mendapat ASI eksklusif cenderung tidak rentan terhadap penyakit
dibandingkan bayi yang mendapat susu formula. Sehingga waktu ibu yang
seharusnya digunakan untuk masuk kerja digunakan untuk merawat anak
yang sedang sakit.
b. Penelitian kedua oleh Auerbach et al., pada tahun 1984 yang dilakukan pada
567 ibu menyusui dan bekerja menunjukkan bahwa ibu yang memberikan
ASI eksklusif dapat mempunyai prestasi kerja yang meningkat. Hasil
penelitian ini dapat dikaitkan dengan poin sebelumnya bahwa dengan relatif
lebih jarang tidak masuk kerja, maka ibu menyusui yang bekerja dapat
meningkatkan produktivitas dan prestasi kerjanya.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
27
2) Manfaat pemberian ASI eksklusif bagi negara (Roesli, 2000):
a. Penghematan devisa untuk pembelian susu formula, perlengkapan
menyusui, serta biaya menyiapkan susu.
b. Penghematan untuk biaya sakit terutama sakit muntah-mencret dan sakit
saluran nafas.
c. Penghematan obat-obatan, tenaga, dan sarana kesehatan.
d. Menciptakan generasi penerus bangsa yang tangguh dan berkualitas untuk
membangun negara.
3) Manfaat ASI eksklusif bagi keluarga (Budiasih, 2008):
a. Keluarga tidak ikut dibuat repot dengan menyediakan susu formula,
merebus alat-alat, menyediakan air panas, dan lain-lain, sehingga dapat
mengurangi pengeluaran keluarga.
b. Mengurangi biaya pengobatan karena bayi ASI relatif lebih jarang sakit.
4) Manfaat ASI eksklusif pada bayi (Werdiyanti, 2013):
a. Aspek gizi
a) Komposisi ASI berubah sesuai usia dan perkembangan bayi. Tahap awal,
ASI tinggi kandungan antibodi sebagai perlindungan dari penyakit.
Berikutnya, ASI tinggi laktosa untuk perkembangan otak.
b) Adanya enzim pada ASI menyebabkan ASI lebih mudah dicerna.
c) Rasa ASI berubah-ubah sesuai makanan ibu.
d) Penelitian yang dilakukan Resalti (2013) tentang kenaikan berat badan
bayi di kelurahan Joyosuran Kota Surakarta menunjukkan bahwa
terdapat hubungan antara frekuensi menyusui yang semakin meningkat
akan mempengaruhi peningkatan berat badan bayi.
b. Aspek neurologis
Saat menyusu langsung pada payudara, bayi belajar sistem menelan,
menghisap, dan bernafas. Menyusu langsung pada ibu berguna pula sebagai
stimulasi alami untuk otak kanan dan kiri, juga stimulasi organ oral untuk
kemampuan mengunyah, berbicara, dan pertumbuhan gigi.
c. Aspek imunologik
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
28
ASI mengandung anti virus, anti parasit, anti inflamasi, anti bakteri,
dan anti infeksi. Sehingga frekuensi bayi ASI terserang sakit jauh lebih
rendah dibanding bayi tanpa ASI.
5) Manfaat ASI bagi lingkungan (Roesli, 2000):
ASI akan mengurangi bertambahnya sampah dan polusi di dunia.
Memberikan ASI berati tidak diperlukan kaleng susu, karton, kertas
pembungkus, botol plastik, serta dot karet. ASI juga tidak menambah polusi
udara karena untuk membuatnya tidak diperlukan pabrik yang mengeluarkan
asap, juga tidak memerlukan alat transportasi yang mengeluarkan asap, serta
tidak memerlukan pembukaan lahan untuk membangun pabrik susu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Kebijakan menyusui yang ada di Indonesia sudah cukup banyak ditemukan
dalam berbagai aspek dalam upaya meningkatkan pemberian ASI eksklusif.
Secara tegas, menyusui merupakan kewajiban dan merupakan hak bagi bayi, serta
pencapiannya memerlukan keikutsertaan seluruh pihak yang terkait. Pada segi
budaya, terdapat tradisi yang mendukung maupun yang menghambat perilaku
menyusui. Sedangkan dari sisi agama, anjuran untuk menyusui dapat ditemukan
dalam kitab suci agama Islam dan Kristen. Pada bahasan wanita yang bekerja dan
menyusui ternyata belum menunjukkan hasil yang mendukung peningkatan
pemberian ASI eksklusif. Meskipun kebijakan mengatur tentang fasilitasi wanita
menyusui di tempat kerja, tetapi kenyataanya masih banyak wanita bekerja yang
memilih memberikan susu formula dibandingkan dengan memberikan ASI
eksklusif pada bayinya. Hal ini berkaitan dengan minimnya implementasi
kesempatan dan ruang menyusui yang disediakan oleh tempat kerja, sekaligus
minimnya sosialisasi yang diadakan. Dan yang terakhir, dapat diungkap bahwa
ASI ekslusif mempunyai andil dalam peningkatan kualitas sumber daya manusia
yang mana selanjutnya merupakan rangkaian pembangunan manusia. Oleh karena
itu, program pemberian ASI eksklusif perlu ditangani secara lebih serius dengan
harapan akan meningkatnya cakupan pemberian ASI ekslusif bagi bayi di
Indonesia.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
29
Saran
Perlunya pelaksanaan komunikasi antara pemerintah, pekerja, dan tempat kerja
untuk membahas secara detail mengenai penyediaan ruang wanita menyusui yang
bekerja. Peningkatan sosialisasi pentingnya ASI eksklusif juga diperlukan agar
wanita menyusui menjadi lebih percaya diri dan yakin bahwa memberikan ASI
eksklusif merupakan upaya yang terbaik dalam merawat bayi yang dilahirkannya.
REFERENSI
Ahimsa-putra, H. S. (2012). Fenomenologi Agama: Pendekatan Fenomenologi
untuk Memahami Agama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan,
20(2), 271–304. https://doi.org/10.1016/j.camwa.2014.01.009
Arasta, L. D. (2012). Hubungan Pelaksanaan Rawat Gabung Dengan Perilaku Ibu
Dalam Memberikan Asi Eksklusif Di Polindes Harapan Bunda Desa
Kaligading Kecamatan Boja Kabupaten Kendal Tahun 2010. Jurnal
Komunikasi Kesehatan, 3(1). Retrieved from http://e-journal.akbid-
purworejo.ac.id/index.php/jkk4/article/view/64
Better Work Indonesia, & Indonesia, A. I. M. (2012). Undang-undang dan
Peraturan Tentang Menyusui. Retrieved from
https://betterwork.org/indonesia/?page_id=2082&lang=id
Brata, A. G. (2002). Pembangunan Manusia dan Kinerja Ekonomi Regional di
Indonesia. Jurnal Ekonomi Pembangunan, 7(2), 113–122.
https://doi.org/10.1109/ICCCN.2003.1284157
Briawan, D. (2004). Pengaruh Promosi Susu Formula terhadap Pergeseran
Penggunaan Air Susu Ibu ( ASI ). Makalah Perorangan Semester Ganjil
2004. https://doi.org/10.1046/j.1466-822x.2...Global
Budiasih, K. S. (2008). Handbook Ibu menyusui. Bandung: Hayati Qualita.
Firanika, R. (2010). Aspek Budaya Dalam Pemberian Asi Eksklusif Di Kelurahan
Bubulak Kota Bogor Tahun 2010. Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah. Jakarta. Retrieved from
http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/handle/123456789/1024
Hanafi, Y. (2012). Peningkatan Kecerdasan Anak Melalui Pemberian Asi Dalam
Al-Qur‟an. MutawâTir: Jurnal Keilmuan Tafsir Hadis, 2(1). Retrieved from
http://mutawatir.uinsby.ac.id/index.php/Mutawatir/article/view/18
Handajani, S. (2002). Pola Pemberian dan Komposisi Gizi ASI. In T. Y. KAKAK
(Ed.), ASI, Hak Asasi Anak: Untaian Bunga Rampai. Jakarta: Mercy Corps.
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
30
Henderawaty, R., Kartasurya, M. I., & Suparwati, A. (2014). Analisis
Implementasi Kebijakan Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif Bagi Ibu Bekerja
di Provinsi Kalimantan Selatan. Jurnal Manajemen Kesehatan Indonesia,
02(01), 36–43.
Ja`far, S. (2000). Absolutisme agama, ideologi dan upaya titik temu. Al-Afkar,
2(3), 990–110. Retrieved from
https://jurnalushuluddin.files.wordpress.com/2008/03/abs-agama-_-
ideologi.pdf
Kementerian Kesehatan RI. (2014). Infodatin: Situasi dan Analisis ASI Eksklusif.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Jakarta Selatan.
https://doi.org/10.1300/J095v11n02_07
Kementerian Kesehatan RI. (2016). Infodatin: Situasi Gizi di Indonesia. Jakarta
Selatan. Retrieved from
http://www.pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/inf
odatin-asi-2015.pdf
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. (2013). Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyediaan
Fasilitas Khusus Menyusui dan/atau Memerah Air Susu Ibu.
https://doi.org/10.1016/S0014-5793(98)00914-4
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 450/MENKES/SK/IV/2004
Tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Secara Eksklusif Pada Bayi di
Indonesia (2004). Republik Indonesia.
Kurniawati, D., & Hargono, R. (2014). Faktor Determinan yang Mempengaruhi
Kegagalan Pemberian ASI Eksklusif pada Bayi Usia 6-12 Bulan di
Kelurahan Mulyorejo Wilayah Kerja Puskesmas Mulyorejo Surabaya.
Promkes, 2(1), 15–27. Retrieved from http://repository.unair.ac.id/22633/
Levy, Y., & Ellis, T. J. (2006). A systems approach to conduct an effective
literature review in support of information systems research. Informing
Science, 9, 181–211. https://doi.org/10.28945/479
Liliweri, A. (2014). Pengantar Studi Kebudayaan. Bandung: Nusa Media.
Media, Y., Kasnodiharjo, Prasodjo, R. S., & Manalu, H. (2005). Faktor-faktor
Sosial Budaya yang Melatar belakangi Pemberian ASI Eksklusif. Jurnal
Ekologi Kesehatan, 4(2), 241–246. Retrieved from
http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/jek/article/view/1630
Melissa, A., Jati, S. P., & Suparwati, A. (2015). No Title. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 3(2), 11–19. Retrieved from http://ejournal-
s1.undip.ac.id/index.php/jkm
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
31
Muaja, J. (2010). Breastfeeding: Kekayaan untuk Setiap Bayi. Retrieved from
https://jmministry.wordpress.com/2010/05/21/breastfeeding-kekayaan-untuk-
setiap-bayi/
Mubyarto. (1988). Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Mubyarto. (2000). Membangun Sistem Ekonomi. Yogyakarta: BPFE-Yogyakarta.
Mutiaraningtyas, R. (2013). Konstruksi Sosial ASI Eksklusif Bagi Wanita Karir.
Jurnal Komunitas, 2(2). Retrieved from
http://journal.unair.ac.id/article_5542_media135_category8.html
Ningsih, I. (2015). Pemilihan Susu Formula Bayi 0 - 6 Bulan Berdasarkan
Komposisi Zat Gizi atau Harga Jual (Studi Kasus di Rumah Sakit Dr.
Moewardi Surakarta). Universitas Sebelas Maret Surakarta. Retrieved from
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/8268/Pemilihan-susu-formula-bayi-
0-6-bulan-berdasarkan-komposisi-zat-gizi-atau-harga-jual-studi-kasus-di-
Rumah-Sakit-DrMoewardi-Surakarta
Notoatmodjo, S. (2008). Kesehatan dan pembangunan sumber daya manusia.
Kesmas, 2(5), 195–199. https://doi.org/1998
Nugroho, R. (2008). Public Policy: Teori Kebijakan-Analisis Kebijakan-Proses
Kebijakan, Perumusan, Implementasi, Evaluasi, Revisi, Risk Manajement
dalam Kebijakan Publik, Kebijakan sebagai The Fith Estate, Metode
Kebijakan. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Peraturan Bersama 3 Menteri (Menteri Pemberdayaan Wanita dan Perlindungan
Anak, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi serta Menteri Kesehatan) –
No. 48/ MEN.PP/XII/2008, PER.27/MEN/XII/2008 dan
1177/MENKES/PB/XII/2008 Tentang Pemberian Air Susu Ibu Selama
(2008). Republik Indonesia.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 24 Tahun 1976 Mengenai Cuti
Pegawai Negeri Sipil (1976). Republik Indonesia.
https://doi.org/10.1017/S0003598X00101735
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No 33 Tahun 2012 Tentang Pemberian
Air Susu Ibu Eksklusif (2012). Republik Indonesia.
Pratama, Y. P., Samudro, B. R., & Yogi, A. P. (2018). Breastfeeding: Gender And
Socio-Economic Dimensions. Ekuilibrium : Jurnal Bidang Ilmu Ekonomi,
13(1), 67–84. Retrieved from
http://journal.umpo.ac.id/index.php/ekuilibrium/article/view/897
Raharjo, B. B. (2015). Momentum Emas Pembentukan SDM Berkualitas (Kajian
Sosial Budaya Inisiasi Menyusui Dini dan ASI Eksklusif di Masyarakat
Kajian Menyusui: Kebijakan, Budaya Dan Peran Dalam Pembangunan
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 1- 33
32
Kendal Jawa Tengah). Universitas Satya Wacana. Retrieved from
http://repository.uksw.edu/handle/123456789/7053
Rejeki, S. (2008). Studi Fenomenologi: Pengalaman Menyusui Eksklusif Ibu
Bekerja Di Wilayah Kendal Jawa Tengah. Nurse Media Journal of Nursing,
2(1), 1–13. https://doi.org/10.14710/nmjn.v2i1.734
Resalti, T. (2013). Hubungan Antara Frekuensi Menyusui dengan Kenaikan Berat
Badan Bayi Usia 0-6 Bulan di Kelurahan Joyosuran Surakarta. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta. Retrieved from
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/32754/Hubungan-Antara-Frekuensi-
Menyusui-Dengan-Kenaikan-Berat-Badan-Bayi-Usia-0-6-Bulan-Di-
Kelurahan-Joyosuran-Surakarta
Roesli, U. (2000). Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Roesli, U. (2002). Mitos-mitos Menyusui. In Tim Yayasan Kakak (Ed.), ASI, Hak
Asasi Anak: Untaian Bunga Rampai. Jakarta: Mercy Corps.
Soetjiningsih. (1997). ASI Petunjuk untuk Tenaga Kesehatan. Jakarta: EGC.
Sudiharto. (2005). Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan
Keperawatan Transtruktural. Jakarta: EGC.
Thalal, M., & Hiswanil. (2007). Aspek Hukum dalam Pelayanan Kesehatan.
Jurnal IKM: Ilmu Kesehatan Masyarakat, 11(1), 72–75. Retrieved from
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/19039
Todaro, M. P., & C, S. (2011). Pembangunan Ekonomi (11th ed.). Jakarta:
Erlangga.
Umar, H., Abdullah, H. M. T., & Prawirodihardjo, L. (2013). Faktor Determinan
Pemberian ASI Eksklusif pada Ibu Bekerja di Kota Parepare. Makassar:
Pascasarsana Universitas Hasanuddin. https://doi.org/10.1002/j.1875-
9114.2012.01178.x
Undang-Undang Republik Indonesia No 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
(2003). Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia No 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Pub.
L. No. 36 (2009). Republik Indonesia.
Undang-Undang Republik Indonesia No 39 Tahun 1999 Tentang hak Azasi
Manusia, Pub. L. No. 39 (1999). Republik Indonesia.
Utami, R. N. (2011). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tindakan Ibu Menyusui
dalam Penggunaan Susu Formula untuk Bayi di Kota Surakarta. Universitas
Sebelas Maret. Retrieved from
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
33
https://digilib.uns.ac.id/dokumen/detail/23291/Faktor-Faktor-Yang-
Mempengaruhi-Tindakan-Ibu-Menyusui-Dalam-Penggunaan-Susu-Formula-
Untuk-Bayi-Di-Kota-Surakarta
Werdiyanti, R. (2013). Welcome to The Exclusive Club: Ibu Bekerja Menyusui.
Yogyakarta: Familia.
Wijayanti, H. S. (2015). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Praktik Pemberian
Asi Di Wilayah Perkotaan, Kelurahan Paseban, Jakarta. Jurnal Gizi
Indonesia, 38(1), 29–40. Retrieved from
http://ejournal.persagi.org/ojspersagi2481/index.php/Gizi_Indon/article/view
/165/158
Winarno, B. (2002). Teori dan Proses Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Zed, M. (2008). Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
34
ANALISIS POTENSI USAHA KRIPIK TEMPE DAN FAKTOR-
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENGEMBANGAN
SENTRA INDUSTRI KRIPIK TEMPE DI KABUPATEN
NGAWI
Nunung Sri Mulyani, Izza Mafruhah, Nurul Istiqomah
Universitas Sebelas Maret
ABSTRAK
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) berbasis home industry mulai
tumbuh dan berkembang. Berbagai kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah
pusat maupun pemerintah daerah diarahkan untuk mendukung perkembangan
sektor usaha ini. Tiap kabupaten/kota harus memiliki Tujuan penelitian ini adalah
untuk (1) mengidentifikasikan potensi sentra industri kripik tempe, (2)
menganalisis permasalahan yang dihadapi sentra industri kripik tempe dan (3)
menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan sentra industri
kripik tempe di Kabupaten Ngawi. Metode yang digunakan adalah Squential
mixed metodh yaitu perpaduan antara kuantitatif dan kualitatif, sedangkan alat
analisis yang digunakan adalah statistic deskriptif, analisis regresi dan analisis
atlasti. Data yang digunakan adalah data primer dengan sampel 100 orang
responden dan data sekunder yang diperoleh melalui indepth interview dan Focus
Group Discussion (FGD).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa permasalahan yang dihadapi oleh
industri kripik tempe di Kabupaten Ngawi adalah a) Kontinuitas ketersediaan
bahan baku pembuatan kripik tempe; b)bahan bakar yang digunakan untuk
menggoreng kripik tempe yang belum ramah lingkungan; c) proses produksi
pembuatan kripik tempe membutuhkan waktu yang relative lama; d) Belum
adanya spesialisasi dalam proses produksi, e) Inovasi teknologi dalam
produksi; f) permasalahan perijinan usaha ; g) pemasaran ; h) permodalan dan i)
jejaring kerjasama.
Kesimpulan dalam penelitan ini adalah potensi usaha kripik tempe di
Kabupaten Ngawi masih sangat besar, karena merupakan salah satu produk
unggulan di Ngawi, karena permintaan bersadal dari dalam Kabupaten Ngawi,
maupun tingkatan nasional dan internasional. Jika modal dan jumlah tenaga kerja
dinaikkan maka omzet dari pengrajin kripik tempe tersebut akan semakin
meningkat.
Kata Kunci : Industri, Kripik Tempe, Pengembangan, Potensi, Sentra.
PENDAHULUAN
Perencanaan pembangunan ekonomi daerah diartikan sebagai perencanaan
untuk memperbaiki penggunaan sumberdaya publik yang tersedia didaerah
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
35
tersebut dan untuk memperbaiki kapasitas sektor swasta dalam menciptakan nilai
sumberdaya swasta secara bertanggung jawab. Pembangunan ekonomi yang
efisien membutuhkan secara seimbang perencaanaan yang lebih teliti mengenai
penggunaan sumber daya publik dan sektor swasta (Abidin, 2002).
Terdapat tiga (3) impilikasi pokok dari perencanaan pembangunan ekonomi
daerah: Pertama, perencanan pembangunan ekonomi daerah yang realistik
memerlukan pemahaman tentang hubungan antara daerah dengan lingkungan
nasional dimana daerah tersebut merupakan bagian darinya, keterkaitan secara
mendasar antara keduanya, dan konsekuensi akhir dari interaksi tersebut. Kedua,
sesuatu yang tampaknya baik secara nasional belum tentu baik untuk daerah dan
sebaliknya yang baik di daerah belum tentu baik secara nasional. Ketiga,
Perangkat kelembagaan yang tersedia untuk pembangunan daerah, misalnya
administrasi, dan proses pengambilan keputusan. (Arsyad, 1999).
Saat ini kemampuan pemerintah daerah masih sangat tergantung pada
penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Undang-undang No. 33 Tahun
2004 Pasal 10 menyebutkan bahwa yang menjadi sumber pembiayaan untuk
pembangunan daerah (capital investment) antara lain berasal dari Dana Bagi
Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) yang
merupakan dana dari pemerintah pusat, daerah juga bisa membiayai pelaksanaan
pembangunan melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) berupa pajak daerah,
retribusi daerah, BUMD dan lain–lain pendapatan yang sah. Salah satu aspek yang
sangat berpengaruh dan sangat menentukan bagi daerah agar mampu mengatur
rumah tangganya sendiri dengan sebaik - baiknya adalah kemampuan daerah
dalam mengadakan dan memperoleh dana–dana atau pendapatan asli daerah.
Kondisi ini mendorong pemerintah kabupaten/kota untuk melakukan
penggalian daerah untuk peningkatan pendapatan asli daerah (PAD) atau
menggali potensi daerahnya sendiri. Sumber daya local yang dimiliki daerah
sebenarnya sangat banyak, namun selama ini belum memperoleh perhatian
sehingga belum bisa berkembang dengan baik.
Usaha kecil menengah merupakan sektor usaha yang memiliki peran cukup
tinggi dalam perekonomian daerah, terutama dalam penyediaan lapangan kerja.
Namun demikian perkembangan usaha kecil menengah akhir-akhir ini cukup
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
36
memprihatinkan terlebih dengan masuknya berbagai produk impor yang
merupakan hasil usaha menengah luar negeri. Kondisi demikian akan
memperlemah posisi sektor usaha kecil dipasar Indonesia. Semakin melemahnya
posisi sektor usaha kecil dipasar, dalam jangka panjang akan berdampak pada
turunnya taraf hidup masyarakat serta bertambahnya pengangguran oleh karena
diperlukan upaya-upaya yang mengarah pada pengembangan sektor usaha kecil
dalam rangka memperbaiki mutu produk/jasa sehingga mampu bersaing dipasar
upaya untuk memperbaiki mutu produk diperlukan pengelola usaha (manajemen)
dengan baik, meliputi usaha permodalan, produksi, pemasaran, sumber daya
manusia, dan pembukuan seperti yang dikemukakan oleh Kwik Kian Gie (2003)
dalam Deliarnov (2006).
Sebagai suatu strategi pembangunan, pengembangan produk unggulan
dinilai mempunyai kelebihan, karena dianggap bahwa suatu daerah yang
menerapkan pola pembangunan ini relatif lebih “mandiri” dalam
pengembangan ekonominya. Pengembangan produk unggulan dan
pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) dapat merupakan
strategi yang efektif dalam pengembangan ekonomi daerah.
Menurut Hoselitz dalam Hofstede (1993) menyebutkan bahwa kunci utama
keberhasilan UMKM dalam bertahan menghadapi berbagai krisis adalah karena
karakteristik UMKM yang cenderung berbiaya rendah. Selain itu letak dan produk
UMKM yang spesifik juga membuat mereka berbeda serta memiliki pangsa pasar
tersendiri. Dalam menproduksi barang maupun jasa mereka lebih mudah
beradaptasi dengan kebutuhan masyarakat. Fleksibilitas inilah yang menyebabkan
UMKM mampu bertahan dalam jangka waktu yang relatif panjang.
Kabupaten Ngawi adalah daerah yang memiliki cukup banyak sentra-sentra
industri kecil baik di sektor pangan maupun non pangan. Usaha kecil terbukti
mampu menyerap tenaga kerja, menggali potensi sumber daya lokal dan
memberdayakan ekonomi masyarakat yang pada giliriannya akan meningkatkan
taraf perekonomian dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu industri yang
menjadi unggulan di Kabupaen Ngawi adalah tempe kripik. Sentra-sentra industri
kripik tempe di Kabupaten Ngawi antara lain terletak pada daerah sebagai berikut
Desa Karangtengah Kecamatan Ngawi, Desa Gendingan Kecamatan Widodaren,
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
37
Desa Pucangan Kecamatan Ngrambe dan Desa Purwosari Kecamatan
Kwadungan.
Industri keripik menjadi sangat layak ditonjolkan arena tempe merupakan
makanan favorit masyarakat Indonesia, relatif murah, pemasarannya mudah, dan
set up cost atau biaya untuk memulai suatu usahanya relative ringan. Dalam
penelitian ini ingin mengkaji mengenai Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe dan
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Sentra Industri Kripik Tempe
di Kabupaten Ngawi.
A. Tujuan Penelitian
Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) khususnya yang berbasis home
industry saat ini mulai didorong untuk tumbuh, dan berkembang. Berbagai
kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah
diarahkan untuk mendukung perkembangan sektor usaha ini. Salah satu cara yang
terbukti mampu dalam mengembangkan usaha kecil adalah dengan cluster atau
sentra. Berdasar latar belakang tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah
1. Untuk mengetahui potensi sentra industri kripik tempe.
2. Untuk mengetahui permasalahan yang dihadapi sentra industri kripik
tempe.
3. Untuk mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan
sentra industri kripik tempe di Kabupaten Ngawi.
B. Tinjauan Pustaka
a. Sentra Industri
Sentra atau cluster diterjemahkan sebagai suatu lingkungan kegiatan
sejenis yang secara luas terhampar, tersistem dan mempunyai keterkaitan yang
sangat erat antara satu dengan yang lain dalam bentuk kemitraan. Menurut
Munnich Jr, cluster adalah konsentrasi geografis dari industri dan perusahaan
yang saling berkompetisi, saling melengkapi, atau saling terkait yang
melakukan bisnis satu dengan yang lain. Atau mempunyai kebutuhan serupa
akan kemampuan tehnologi dan infrastruktur. Jadi cluster pada dasarnya adalah
jaringan dari sehimpunan industri yang saling terkait antara industri inti core
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
38
industries (industri inti) yang menjadi fokus dan supporting industries (industri
pendukung). Cluster akan meningkatkan eksternalitas ekonomi (seperti
munculnya pemasok spesialis bahan baku dan komponen, atau pertumbuhan
kelompok keterampilan spesifik sektor) dan mendorong peningkatan jasa-jasa
yang terspesialisasi dalam bidang teknis, administratif, dan keuangan (Ceglie
dan Dini, 1999).Cluster akan memiliki hubungan erat yang mengikat
perusahaan-perusahaan dan industri tertentu secara bersama dalam beragam
aspek perilaku umum, seperti misalnya lokasi geografis, sumber-sumber
inovasi, pemasok dan faktor produksi bersama, dan lainnya (Bergman dan
Feser, 1999);
Pendekatan cluster dilakukan dengan memberdayakan kelompok
kegiatan ekonomi melalui integrasi vertikal yaitu membina jaringan kemitraan
dari produsen primer, pengumpul, produsen barang (baik barang jadi, maupun
setengah jadi) hingga eksportir. Tahapan pertama dalam pembentukan klaster
adalah identifikasi potensi ekonomi daerah yang merupakan penjabaran dari
potensi sektor unggulan. Pola – pola Kelompok Swadaya Masyarakat sebagai
penopang pemberdayaan ekonomi perlu untuk terus diberikan dorongan dan
pambinaan sehingga akan mampu memberikan efek yang semakin luas bagi
masyarakat sekitar. Pendampingan terutama sekali dalam kuantitas dan kualitas
produk yang dimulai dari standarisasi produk.
b. Industri dan Peranan Usaha Kecil Mikro
Pengertian industri adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan
kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia, atau dengan
tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang
kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dans ifatnya lebih
dekat kepada pemakaian terakhir (Indra, 2010:52). Industri juga bisa diartikan
sebagai sekumpulan perusahaan yang menjual produk yang sama atau yang
berhubungan dengan produk tersebut mulai dari pengolahan bahan mentah
menjadi bahan setengah jadi atau bahan jadi yang mempunyai nilai tambah
untuk memperoleh keuntungan.
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
39
Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa kegiatan ini
diklasifikasikan berdasarkan Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI).
Sedangkan industri pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang
melakukan kegiatan mengubah barang dasar (bahan mentah) menjadi barang
jadi/setengah jadi dan atau dari barang yang kurang nilainya menjadi barang
yang lebih tinggi nilainya, baik secara mekanis, kimiawi dengan mesin ataupun
dengan tangan. Industri menurut jumlah tenaga kerjanya dapat dibedakan
menjadi industri rumah tangga, industri kecil, menengah dan besar. Industri
rumah tangga adalah industri yang mempunyai tenaga kerja antara 1-4 orang.
Industri mikro adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya antara 5-19
orang. Industri menengah adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya antara
20-99 orang dan industri besar adalah industri yang jumlah tenaga kerjanya
lebih dari 100 orang, (www.bps.go.id).
Sektor industri mempunyai peranan dalam pembangunan ekonomi baik
pada level daerah, wilayah, nasional maupun internasional. Pada perekonomian
global, dimana arus barang komoditas, tenaga kerja maupun modal dan
investasi sudah sangat terbuka, masing-masing daerah harus memiliki
keunggulan lokal baik dari aspek komparatif maupun kompetitif. Era
keterbukaan mempunyai dua pilihanya itu melakukan ekspor keluar negeri atau
mempertahankan daya saing untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Kedua
pilihan tersebut mempunyai konsekwensi perlunya investasi untuk
mengembangkan potensi sumber daya lokal strategis. Salah satu point penting
dalam pengembangan ekonomi lokal adalah memunculkan spesialisasi, karena
spesialisasi akan mendorong munculnya sektor-sektor basis yang berkembang
bersama tanpa adanya tumpang tindih. Mubyarto (1988) menyatakan bahwa
sektor industri jika dikaitkan dengan pembangunan wilayah mempunyai tiga
tujuan, yaitu:
a. Meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat.
b. Meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam upaya membangun
pedesaan yang mampu menaikkan produktivitas masyarakat.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
40
c. Meningkatkan kemampuan pemerintah pusat dalam memberikan
dukungan kepada upaya-upaya pembangunan pedesaan oleh pemerintah
daerah yang akan menaikkan pendapatan masyarakat.
Salah satu bagian penting dalam sektor industri adalah Usaha mikro
kecil menengah (UMKM). Pentingnya UMKM dalam negara berkembang
biasanya dihubungkan dengan masalah-masalah ekonomi dan social, yaitu
dihubungkan dengan tingkat kemiskinan, besarnya jumlah pengangguran
terutama dari golongan masyarakat yang berpendidikan rendah,
ketimpangan distribusi pendapatan, proses pembangunan yang tidak
merata antara di kota dan di desa. Artinya, keberadaan atau
perkembangan UKM diharapkan dapat member suatu kontribusi yang
positif dan signifikan terhadap upaya-upaya penanggungan masalah-
masalah tersebut.
Proses pembangunan ekonomi di suatu negara, diharapkan
memberikan kesempatan yang sama bagi semua jenis kegiatan ekonomi
di semua skala untuk berkembang. Besarnya suatu usaha tergantung dari
beberapa factor. Dua diantaranya adalah factor pasar dan teknologi.
Factor pasar, apabila pasar yang dilayaninya adalah kecil, dimana jumlah
pembelinya terbatas atau sifatnya adalah musiman, maka unit usaha
yang lebih sesuai adalah usaha kecil. Dilihat dari factor teknologi, apabila
economic size dari suatu jenis produk yang ditentukan oleh teknologi
adalah kecil, maka suatu perusahaan besar yang membuat produk
tersebut akan dengan cepat tersisihkan dari pasar. Perubahan teknologi
pada saat sekarang ini berlangsung sangat cepat, sehingga dengan
sendirinya menyebabkan terjadinya perubahan pasar secara terus
menerus. Banyak perusahaan-perusahaan besar yang mengalami kesulitan
dalam menyeseuaikan diri erhadap perubahan-perubahan teknologi dan
pasar, dan masih ada pula yang jarang melakukan penyesuaian tanpa
membutuhkan biaya yang sangat tinggi. Kondisi seperti ini yang mebuat
industri kecil lebih fleksibel untuk menyesuaikan diri dan memiliki
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
41
harapan yang besar daripada industri besar untuk dapat bertahan
(Tambunan, 2002: 3).
Industri Kecil Menengah memiliki segmentasi pasar sendiri yang
melayani kebutuhan kelompok konsumen tertentu, dan biasanya berasal
dari kalangan masyarakat berpendapatan menengah ke bawah.
Perkembangan Industri Kecil Menengah di suatu wilayah biasanya
mempunyai beberapa indicator-indikator untuk mengukurnya, yaitu
pertumbuhan nilai atau volume outputnyaa, peningkatan nilai tambah
terhadap pembentukan PDB, pertumbuhan tenaga kerja, dan peningkata
porsi dalam jumlah tenaga kerja di sektor industri manufaktur.
Fenomena umum yang dihadapi oleh negara industri-industri
maju seperti yang dikemukakan oleh Meiler dan Meineress dalam Deliarnov
(1997) adalah terjadinya pergeseran fungsi konsumsi masyarakat. Seperti
teori Engel, yang menyatakan kelompok masyarakat kaya akan
cenderung membelanjakan sebagian besar dari pendapatannya untuk
membeli barang-barang non makanan yang sebagian besar adalah barang-
barang impor atau produk-produk dalam negeri buatan Industri Menengah
Besar yang lebih baik kualitasnya, lebih indah bentuk atau warnyanya, lebih
bagus penampilannya, dibandingkan barang-barang serupa buatan industri
kecil. Teori Engel ini juga berlaku di Indonesia, maka yang harus dilakukan
oleh pengusaha-pengusaha kecil agar dapat bertahan dalam persaingan
dengan pengusaha besar adalah mengubah produk-produk mereka menjadi
lebih baik dalam jenis maupun kualitas mengikuti perubahan selera
masyarakat.
Industri Kecil bisa menampung kelebihan tenaga kerja yang ada
di pasar, yang berarti terjadi suatu relasi yang positif antara peningkatan
jumlah pengangguran dengan pertumbuhan tenaga kerja di Industri Kecil
atau Industri Rumah Tangga. Apabila jumlah orang yang menganggur
banyak, maka semakin besar penawaran tenaga kerja dan wirausaha di
Industri Kecil atau Industri Rumah Tangga, sehingga mereka para
pengangguran bersedia untuk bekerja pada Industri Kecil tersebut,
walaupun dengan pendapatan yang rendah. Maka bisa disimpulkan,
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
42
bahwa Industri Kecil atau Industri Rumah Tangga berfungsi sebagai the
last resort dalam penyediaan sumber pendapatan bagi mereka.
Berdasarkan penelitian yan dilakukan oleh Weijland (1991),
menyebutkan bahwa di daerah dengan tingkat kemiskinan yang tinggi,
dimana pendapatan riil rata-rata per orang sangat rendah, maka jumlah
Industri Kecil dan Industri Rumah Tangga dan kegiatan-kegiatan
informal lainnya di luar sektor pertanian akan jauh lebih banyak
daripada daerah yang makmur. Oleh karena itu, keterlibatan seseorang
dalam melakukan kegiatan Usaha Kecil Mikro, baik sebagai pekerja atau
pengusaha, bisa karena terpaksa atau memang karena ingin melakukan
kegiatan tersebut, karena memberikan keuntungan yang lebih besar
baginya.
Industri Kecil Menengah di negara-negara maju masih berbeda
dengan di negara-negara berkembang, seperti di Indonesia. Industri Kecil
Menengah di negara berkembang biasanya menggunakan teknologi yang
tradisonal yang kebanyakan direkayasa sendiri, akses informasi mengenai
pasar dan teknologi sangat minim, bahkan mereka jarang menggunakan
fasilitas internet untuk pengembangan teknologi dan pemasarannya.
c. Kewirusahaan
Schumpeter, dalam bukunya yang berjudul The Theory Of Economic
Development (1934), yang kemudian dikembangkan menjadi buku Business
Cycle (1939)menyatakanterdapat satu pemahaman penting dalam teori yang
dibangun yaitu adanya faktor utama perkembangan ekonomi adalah para
wirausaha (entrepreuner). Inovasi menjadi bagian yang sangat penting dalam
pembangunan. Schumpeter membedakan antara invensi dan inovasi. Invensi
hanya menemukan suatu tehnologi nmun belum tentu bisa mengembangkan
penemuan tersebut. Sementara inovasi akan lebih mengacu pada penerapan
hasil penemuan untuk pembangunan. Terdapat 5 macam kegiatan penting yang
dimasukkan dalam inovasi, yaitua) Diperkenalkannya produk baru yang
semula tidak ada; b) Diperkenalkannya cara berproduksi baru; c) Pembukaan
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
43
daerah atau pasar–pasar baru; d) Penemuan sumber–sumber bahan mentah
baru; e) Perubahan organisasi industri yang mengarah pada efisiensi industri.
Schumpeter manyatakan dalam teorinya bahwa dalam jangka panjang
sistem kapitalisme akan runtuh karena adanya transformasi gradual dan
tehnologi sehingga menuju pada sistem sosialistis. Proses pertumbuhan
menurut Schumpeter sendiri sangat terkenal dan kemudian mendasar banyak
negara untuk mengembangkan entrepreunership sebagai usaha untuk
meningkatkan taraf hidup masyarakat dan mengurangi gap atau kesenjangan
antar anggota masyarakat yang akan berdampak pada pengurangan
kemiskinan. Indonesia termasuk salah satu negara yang mengadopsi paham
teori ini. Secara detail akan dijelaskan pada bab pemberdayaan
masyarakat.Secara grafis proses kemajuan ekonomi menurut Schumpeter bisa
ditunjukkan sebagai berikut :
Gambar 1 . Proses Kemajuan Ekonomi Menurut Schumpeter
d. Produk Unggulan
Produk unggulan merupakan produk yang potensial untuk dikembangkan
dalam suatuwilayah dengan memanfaatkan sumberdaya alam dan sumberdaya
manusia setempat,serta mendatangkan pendapatan bagi masyarakat maupun
pemerintah. Produkunggulan memiliki daya saing, berorientasi pasar dan ramah
lingkungan, sehingga tercipta keunggulan kompetitif yang siap menghadapi
persaingan global.Secara lebih rinci, unggulan mengandung pengertian adanya
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
44
nilai tambah dan produktivitas, unggulan mencakup berbagai konteks tataran baik
pada tingkat bahasan maupun tataran antara lain:
a. Mikro, fokusnya pada tingkat entitas atau unit bisnis/usaha tertentu dengan
faktor yang relevan pada tingkat ini.
b. Meso, fokusnya pada tingkat himpunan entitas bisnis tertentu dan dengan
faktor relevan pada tingkat ini.
c. Makro: telaahan mencakup agregasi himpunan entitas bisnis dan denganfaktor
relevan pada tingkat ekonomi makro.
d. Meta: telaahan bersifat luas dan menyangkut sistem nilai dan faktor/aspek
multidimensi yang bersifat mendasar.
Sementara tataran cakupan pengertian unggulan meliputi:
a. Produk: fokusnya sangat spesifik pada produk tertentu (barang dan/ataujasa);
b. Rantai nilai industri: fokusnya pada rantai nilai (value chain) keseluruhansuatu
industri (klaster industri) sebagai suatu sistem;
c. Kompetensi: fokusnya pada keunikan sumber daya (alam dan buatan)
dankapabilitas tertentu yang menentukan keunggulan daya saing
berkelanjutansuatu klaster industri.
Penetapan kriteria produk unggulan selanjutnya perlu dilakukan sebagai
pedoman bersama bagipara stakeholder kunci, yang dinilai tepat dan operasional
untuk digunakan dalammenentukan unggulan daerah. Kesepakatan/konsensus
para stakeholder kunciatas konteks spesifik yang dapat dipahami bersama dengan
jelas(comprehensible) dan pragmatis merupakan faktor penentu bagi penggunaan
yangbermanfaat atas istilah unggulan daerah.
Pengembangan Produk Unggulan Daerah
Pengembangan produk unggulan daerah sangat penting dalam rangka
peningkatan perekonomian suatu daerah. Adanya unggulan daerah akan tercipta
multiplier efek yang cukup tinggi. Unggulan daerah mengindikasikan sumber bagi
nilai tambah dan produktivitasyang lebih tinggi karena kelebihan/kemenonjolan
secara relatif atas faktor lokasi yang dimiliki. Hal ini menjadi sumber potensial
bagi pertumbuhan danperbaikan termasuk di dalamnya dalam penyerapan sumber
daya lokal, tenaga kerja lokal dan juga di kemudian hari sasaran akhirnya adalah
pengentasan kemiskinan. Cukup logismengharapkan berkembangnya unggulan
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
45
daerah bagi peningkatan kesejahteraanmasyarakat yang semakin adil. Beberapa
alasan penting produk unggulan daerah membutuhkan perhatian serius antara lain:
Nilai tambah yang diperoleh karena keunggulan daya saing yang
terbangun(setidaknya secara bisnis/ekonomi)
Adanya common platform bagi stakeholder untuk membangun upayasinergis
yang positif yang lebih bertumpu pada hal positif yang dimiliki(inherent),
mengatasi kekurangan/kelemahan, memanfaatkan danmengembangkan
peluang, serta menghadapi tantangan yang makinkompleks dan dinamis.
Penggunaan/alokasi sumber daya dan pengembangan kapabilitas yanglebih
baik sesuai dengan potensi dan karakteristik setempat.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan squential mixed method yaitu perpaduan
antara analisis kualitatif dan kuantitatif yang dilakukan secara berurutan.
Masing masing tujuan akan diolah dengan menggunakan alat analisis sesuai
dengan kebutuhan. Data dan tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Jenis Data, Sumber dan Teknik Pengumpulan
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah data primer, yaitu
data yang diperoleh melalui observasi langsung di lapangan yang akan
dilakukan kepada sentra industri kripik tempe di daerah sampel terpilih.
Identifikasi permasalahan yang dihadapi serta harapan atau fasilitasi yag
diharapkan dalam rangka pengembangan sentra industri kripik tempe.
Selain itu, data primer juga diperoleh melalui proses Focus Group
Discussion (FGD) yang akan dilakukan dengan seluruh stakeholder daerah
termasuk di dalamnya pemerintah daerah dan pihak swasta. Serta data
sekunder yaitu data yang akan diperoleh melalui kajian pustaka dan
sumber data sekunder yang lain seperti dari BPS dan SKPD terkait.
2. Alat Analisis
Untuk menjawab tujuan pertama yaitu mengidentifikasikan potensi sentra
industri kripik tempe akan digunakan analisis deskriptif dengan
memberikan gambaran mengenai kondisi pengrajin kripik tempe yang ada
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
46
di Ngawi dan menjelaskan potensi yang masih bisa ditingkatkan pada
industri tersebut, Untuk menjawab tujuan kedua yaitu menganalisis
permasalahan yang dihadapi sentra industri kripik tempe akan digunakan
atlas ti, yaitu pengolahan informasi kualitatif yang diolah secara kuantitatif
dan akan menemukan jaringan permasalahan. Atlas ti membantu dalam
mengorganisasi, memberikan kode hingga menganalisis data penelitian
menjadi lebih efisien dan terstruktur sehingga memungkinkan untuk
melakukan trianggulasi dengan berbagai jenis pengumpulan data;
sedangkan untuk menjawab tujuan ketiga yaitu menganalisis faktor yang
berpengaruh terhadap pengembangan sentra industri kripik tempe di
Kabupaten Ngawi akan digunakan analisis regresi linear
berganda.Variabel dependent dalam analisis ini adalah omzet pengrajin
kripik tempe, sementara variabel independentnya adalah variabel
umur, pengalaman usaha, modal, jumlah tenaga kerja dan tingkat
pendidikan. Adapun persamaan regresinya bisa ditulis sebagai berikut :
LogY = βo + β 1 LogX1 + β2 LogX2 + β3 LogX3+ β4X4 + β5X5 + ei
Dimana :
Y = Omzet pengrajin kripik tempe
X1 = Umur pengrajin kripik tempe
X2 = Pengalaman Usaha
X3 = Modal
X4 = Tenaga Kerja
X5 = Pendidikan
Βo = Konstanta
β 1 β2, β3, β4= Koefisien regresi
ei = Variabel pengganggu
PEMBAHASAN
1. Potensi Sentra Industri Kripik Tempe di Kabupaten Ngawi
Data yang diperoleh dari Dinas Koperasi, UMK dan Perindustrian
Kabupaten Ngawi terdapat 400-an pembuat tempe, dan hanya sekitar 70-
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
47
an orang yang menjadi pengarjin kripik tempe. Setelah dilakukannya FGD
dengan pengurus Koperasi Pengrajin Kripik Tempe di Desa Sadang, bisa
terungkap bahwa permintaan terhadap kripik tempe terus mengalami
peningkatan karena potensi pemasarannya sudah terjual ke luar kota.
Dalam penelitian ini mengambil sampel sebanyak 30 orang pengrajin
kripik tempe di daerah Ngawi. Berdasarkan sampel tersebut diperoleh rata-
rata produksi kripik tempe adalah sebanyak 4500-an bungkus kripik
tempe per bulan. Dalam proses pembuatan kripik tempe, ketersediaan
bahan baku merupakan hal yang mutlak. Agar menghasilkan kripik tempe
yang berkualitas bagus, maka bahan bakunya pun juga harus diselektif.
Kedelai sebagai bahan baku pembuatan tempe dipilih kedelai impor
dengan butiran yang lebih besar dan putih. Sayangnya kadang kala
ketersediaan kedelai impor tersebut kurang lancar pada saat-saat tertentu.
Bulog sebagai perusahaan negara yang bergerak di bidang logistic pernah
memberikan opsi untuk menyediakan bahan baku kedelai untuk
pembuatan tempe. Sampai sekarang belum ada keputusan bagaimana
mekanisme penyediaannya. Sebenarnya hal tersebut sangat membantu bagi
pengrajin kripik tempe, karena bagi pengrajin ada kepastian terhadap
ketersediaan bahan baku kedelai serta diharapkan bisa menekan ongkos
produksi.
Beberapa pengrajin tempe di Ngawi biasa menjual produknya
dengan merk dagang kepunyaan mereka sendiri, tetapi ada juga beberapa
diantaranya yang menjual kripik tempenya dengan merk dagang lain,
misalkan saja merk dagang dari toko pusat penjualan oleh-oleh yang
sudah besar. Bagi yang terbiasa menjual kripik tempenya dengan merk
dagang sendiri ada beberapa keunggulan dan kelemahan. Keunggulannya
jika merk dagangnya sudah dikenal karena produknya memang bagus,
maka nilai tambah dari penjualan kripik tersebut dalam arti keuntungan
yang diperoleh pedangan tersebut akan bisa dinikmati dengan lebih
banyak. Sedangkan jika merknya belum terlalu dikenal oleh masyarakat
umum, maka tingkat penjualannya kemungkinan belum bisa berkembang
dalam waktu yang relative singkat. Bagi pengrajin kripik tempe yang
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
48
menjual produknya dengan merk dagang lain, keunggulannya adalah hasil
produksi yang dipesan bisa dalam jumlah yang besar. Tetapi ada juga
kelemahannya, salah satunya adalah keuntungan yang pengrajin kripik
tempe tersebut ternyata lebih kecil daripada keuntungan yang diperoleh
oleh toko penjual oleh-oleh tersebut. Disamping itu, merk dagang yang
mereka punyai tidak bisa dikenal secara cepat oleh konsumen pada
umumnya. Jika pada suatu saat permintaan dari toko oleh-oleh tersebut
terhadap kripik tempe menurun, maka omzet yang diperoleh pengrajin
tersebut juga mengalami penurunan yang signifikan.
Secara garis besar, bisa disimpulkan bahwa potensi kripik tempe
masih bisa terus dikembangkan, baik untuk pasar lokal, nasional bahkan
internasional. Untuk pasar lokal, sentra industri kripik tempe sudah bisa
mensuplai kebutuhan akan camilan/ makanan ini sebagai hasil produksi
yang khas dari Ngawi. Sedangkan dala skala nasional, kripik tempe dari
Ngawi sudah dikirim ke luar daerah lain, baik dengan menggunakan merk
sendiri atau merk pesanan pembeli. Untuk pangsa internasional/ luar
negeri masih perlu perhatian dan dorongan dari pemerintah daerah dalam
menghadapi kendala serta mencari jalan keluar menembus pasar luar
negeri. Potensinya untuk di ekspor sudah ada, terbukti dengan adanya
beberapa pesanan dari luar negeri. Tetapi ketika pemesanannya dalam
jumlah yang besar, pengrajin dengan berat hati menolak karena
keterbatasan kapasitas produksi. Tenaga kerja yang dibutuhkan dalam
proses produksi pun tidak hanya berasal dari satu desa melainkan sudah
ada yang dari luar desa sentra industri tersebut,yang artinya penyerapan
tenaga kerja untuk industri kripik tempe semakin meningkat.
XXXXX
Potensi yang ada pada industri kripik tempe di Kabupaten Ngawi secara
ringkas bisa digambarkan pada tabel berikut ini.
Tabel 1. Potensi Industri Kripik Tempe di Kabupaten Ngawi
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
49
No Potensi Industri Kripik Tempe di Kabupaten Ngawi
1 Kripik tempe dari Ngawi sudah terkenal pada skala lokal dan
dibeberapa daerah di luar Ngawi, tetapi selama ini hanya dijual dalam
kiloan saja. Kripik tempe yang kiloan tadi biasanya dibeli toko pusat
penjualan oleh-oleh, dan diberikan merk dagang toko tersebut. Hal
ini membuat margin laba yang diperoleh pengrajin kripik tempe lebih
sedikit dibandingkan dengan toko tersebut. Dengan pendampingan
pelatihan mengenai brand awareness, maka sekarang banyak
pengrajin kripik tempe sudah mempunyai merk dagang sendiri. Hal
ini membuat potensi laba yang diperoleh pengrajin kripik tempe
meningkat.
2 Kesadaran terhadap merk dagang sendiri, membuat pangsa pasar
yang dimiliki oleh masing-masing pengrajin kripik tempe juga
semakin meluas, serta produknya semakin dikenal oleh masyarakat
luas.
3 Pemanfaatan kulit ari kedelai sebagai limbah dalam pembuatan kripik
tempe bisa diterapkan untuk penerapan Desa Mandiri Energi di Desa
Sadang. Dimana kulit ari kedelai dijadikan sebagai makanan untuk
hewan sapi ternak yang juga dimiliki oleh pengrajin kripik tersebut.
Kulit ari kedelai bermanfaat untuk menaikkan berat badan sapi, dan
kotoran sapi tersebut digunakan sebagai bahan baku untuk pembuatan
biogas.
4 Biogas yang dihasilkan bisa digunakan sebagai bahan bakar dalam
proses produksi terutama pada saat penggorengan kripik tempe. Hal
ini bisa mengurangi biaya produksi dan keuntungan yang diperoleh
pengrajin kripik tempe mengalami peningkatan. Disamping itu,
terjadi penurunan penggunaan kayu bakar sebagai bahan baku dalam
proses produksi tersebut sehingga kualitas lingkungan terjaga.
2. Permasalahan yang Dihadapi Sentra Industri Kripik Tempe di
Kabupaten Ngawi.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
50
Sampel yang diambil adalah sebanyak 30 orang responden yang
semuanya berada di Desa Sadang dimana daerah tersebut merupakan sentra
industri kripik tempe di Ngawi. Wawancara dilakukan terhadap responden
dengan panduan kuesioner kemudian dilanjutkan indepth interview terhadap 10
orang key person, Hasil wawancara dioleh dengan menggunakan atlas.ti
sehingga bisa diperoleh bahwa permasalahan yang dihadapi oleh pengrajin
tempe keripik di kabupaten Ngawi teridentifikasi sebagaimana gambar 2
berikut :
Gambar 2 Permasalahan pada industri tempe keripik di kabupaten Ngawi
Hasil identifikasi menunjukkan bahwa terdapat lima permasalahan
utama yang dihadapi oleh pengrajin tempe keripik yang terdiri atas
a. Supply, bahan baku pada industri keripik tempe di kabupaten Ngawi
menghadapi tiga permalasahan utama yaitu kedelai yang merupakan bahan
baku utama pembuatan tempe masih import sehingga pada saat kurs dollar
naik akan menimbulkan dua efek lanjutan yaitu (i) Harga fluktuatif, barang
import yang sangat tergantung terhadap kurs dollar menyebabkan harga
tempe keripik fluktuatif, padahal harga yang tidak stabil ini sulit untuk
dikompensasikan ke harga komoditas karena kenaikan yang tiba – tiba dan
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
51
tinggi akan merusak image dari tempe keripik itu sendiri, (ii) Kelangkaan
barang, kedelai yang merupakan barang import sering memberikan
spekulasi dari para tengkulak khususnya pada saat kurs tidak stabil,
pedagang berhati-hati dalam mengeluarkan barang karea khawatir harga
terus melonjak sehingga tidak mampu lagi untuk membeli barang sehingga
mereka memilih untuk menyimpan stock barang dengan menimbun
kedelai sambil menunggu kurs dolar stabil.
b. Proses Produksi , terdapat tiga masalah utama dalam proses produksi yaitu
(i) sumber daya manusia, usaha tempe keripik untuk saat ini bukan
merupakan usaha yang diminati oleh kaum muda di kabupaten Ngawi
sehingga di kedepannya apabila tidak dilakukan regenerasi dan juga
deferensiasi produk akan menyebabkan usaha keripik ini tidak
berkembang, (ii) Tehnologi yang dimiliki dalam usaha tempe keripik
masih bersifat manual sehingga perkembangan produksi tidak bisa
optimal. Salah satunya adalah proses produksi pembuatan kripik tempe
membutuhkan waktu yang relative lama. Untuk pembuatan tempe
membutuhkan waktu 4 hari, sedangkan untuk proses menjadi kripik
tempe dibutuhkan waktu 1 hari. Jadi, rata-rata pembuatan kripik
tempe membutuhkan waktu 5 hari. Setelah melakukan deep interview
terhadap para pengrajin kripik tempe maka mereka menginginkan
adanya inovasi dan pelatihan pembuatan tempe yang relative lebih
cepat waktunya sehingga bisa mengurangi lama waktu proses
produksi. Proses produksi yang juga membutuhkan tehnologi adalah
proses pemotongan tempe keripik dan proses pengeringan agar minyak
bisa tuntas dan tidak menyebabkan adanya resiko bau apak. Oleh sebab itu
dibutuhkan tehnologi tepat guna yang mudah diterapkan serta murah, (iii)
bahan bakar yang digunakan untuk proses produksi masuk menggunakan
kayu bakar sehingga tidak ramah lingkungan, karena merusak hutan dan
juga menimbulkan polusi yang lebih banyak dibandingkan dengan bahan
bakar lainnya. Di samping itu penggunaan kayu bakar ternyata lebih
boros dalam ongkos produksi. Inovasi teknologi dibutuhkan untuk
penghematan bakan bakar, salah satunya dengan cara memasang
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
52
cerobong di atas penggorengan. Hal ini sudah diterapkan di daerah
lain, dan berdampak signifikan mengurangi pemakaian bahan bakar
dan juga menjadikan daerah di sekitar tempat produksi lebih bersih.
Salah satu wacana yang diinginkan oleh pengrajin kripik tempe agar
desanya menjadi desa wisata, yang tujuannya meningkatkan nilai
tambah sentra industri kripik tempe tersebut.
c. Permodalan, dua maalah utama dlam permodalan adalah (i) permodalan
sendiri, selama ini usaha tempe keripik masih menggunakan modal sendiri
yang tidak banyak sehingga tidak bisa melakukan ekspansi dan
perkembangan usaha dengan cepat (ii) Bankable di sisi lain terdapat
masalah yaitu manajemen keuangan usaha keripik masih sangat sederhana
tanpa adanya laporan keuangan sehingga kelayakan untuk memperoleh
usaha permodalan dari bank snagat rendah.
d. Pemasaran, merupakan masalah utama dalam UMKM karena daya saing
komoditas barang yang masih rendah dan persaingan dengan usaha besar
yang bergerak di bidang yang sama. Namun branding tempe keripik
Ngawi yang sudah terkenal mengeliminir permasalahan ini. Masalah yang
dihadapi oleh pengusha kripik Ngawi adalah (i) Bagaimana
mengembangkan jejaring usaha yang menyeluruh baik dari aspek
pemerintah, swasta maupun komunitas yang mampu mendorong
perkembangan usaha. Salah satu jejarring dibutuhkan untuk mengurus
perijinan. Usaha pengrajin kripik tempe masih banyak yang belum
memiliki perijinan yang lengkap. Bahkan untuk perijinan P-IRT yang
merupakan hal yang penting untuk menunjang aspek pemasarannya
pun banyak yang belum mengurusnya (ii) Pemasaran luar daerah,
selama ini usah tempe keripik di kabupaten Ngawi baru pada tataran lokal,
sehingga dibutuhkan promosi yang masif namun murah untuk
mengambangkan pemasaran luar daerah. Salah satu jalan yang dilakukan
adalah dengan menggunakan media sosial dan internet melalui web yang
dibuat untuk usaha ini.
e. Penanganan limbah, tempe keripik mempunyai dua masalah utama yaitu
limbah kulit ari kedelai yang cukup banyak, berbau dan menganggu
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
53
lingkungan dan limbah bahan bakar. Salah satu cara yang saat ini mulai
dikembangkan adalah limbah yang dihasilkan dalam produksi tempe
baru dimanfaatkan sebatas hanya untuk makanan ternak peliharaannya
saja. Belum ada pemanfaatan limbah secara ekonomis. Sudah banyak
penelitian yang bisa memanfaatkan limbah tempe untuk diolah lebih
lanjut dan mempunyai nilai jual, dengan bantuan teknologi atau
dengan pelatihan maka limbah tersebut bisa dijadikan tempe gembus,
kecap, pupuk untuk tanaman, atau bahkan bisa menjadi nata de soya.
Wacana menjadikan sentra industri kerajinan kripik tempe menjadi
desa wisata apabila yang dijual adalah wisata edukasi mengenai
pengolahan kripik tempe saja sepertinya akan kurang menarik bagi
calon wisatawan.
3. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan Sentra Industri
Kripik Tempe diKabupaten Ngawi
Berikut disajikan mengenai hasil analisis regresi linear berganda untuk
menganalisis factor yang berpengaruh terhadap omzet pengrajin kripik tempe
di Ngawi.
Tabel 2. Hasil Regresi Variable yang Berpengaruh Terhadap Omzet
Pengrajin Kripik Tempe di Ngawi
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t
Sig.
B
Std.
Error
Beta
1 (Constant) 5.083 1.458 3.487 .002
Log_Umur .222 .874 .036 .254 .801
Log_Pengala
man_Usaha
.236
.232
.152
1.017
.319
Log_Modal .130 .038 .506 3.454 .002
Tenaga_Kerj .062 .030 .307 2.100 .046
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
54
a .023
.019
.173
1.182
.249 Pendidikan
Berdasarkan pengolahan data, maka diperoleh kesimpulan bahwa
variabel umur, pengalaman usaha dan tingkat pendidikan tidak
berpengaruh terhadap omzet yang dimiliki oleh pengrajin kripik tempe di
Ngawi. Terdapat dua variabel yang berpengaruh terhadap omzet, yaitu
jumlah modal dan jumlah tenaga kerja.
Koefisien yang diperoleh pada variabel modal adalah sebesar 0,13
yang artinya jika modal kerja yang diperoleh pengrajin kripik tempe
mengalami kenaikan sebesar 1 % maka omzet usahanya akan meningkat
sebesar 13 %. Kendala yang dihadapi oelh pengrajin kripik tempe salah
satunya adalah pada permodalan, jika adanya kemudahan dalam mengakses
ke lembaga keuangan maka bisa dipastikan omzet yang dihasilkan oleh
pengrajin kripik tempe pun mengalami peningkatan.
Variabel jumlah tenaga kerja juga mempengaruhi omzet pengrajin
kripik tempe, artinya jika tenaga kerja bertambah maka omzet pengrajin
kripik tempe pun juga akan meningkat. Apabila pemasaran yang
dilakukan oleh pengrajin kripik tempe sudah semakin luas, maka akan
meningkatkan permintaan. Permintaan yang semakin banyak, didukung
dengan akses terhadap permodalan juga dipermudah maka akan menyerap
tenaga kerja baik yang berasal dari sentra industri kripik tempe tersebut
atau dari luar wilayah. Penambahan tenaga kerja ini akan menambah
omzet yang dimiliki oleh pengrajin kripik tempe.
KESIMPULAN DAN SARAN
1. Kesimpulan
Gambaran potensi industri kripik tempe di Kabupaten Ngawi masih
cukup potensial. Permintaan akan kripik tempe sudah merambah wilayah
lokal, nasional bahkan internasional. Beberapa permasalahan yang dihadapi
oleh industri kripik tempe di Kabupaten Ngawi adalah sebagai berikut : (a).
ketersediaan bahan baku pembuatan kripik tempe, (b). Bahan bakar yang
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
55
digunakan untuk menggoreng kripik tempe masih sangat sederhana. (c).
Proses produksi pembuatan kripik tempe membutuhkan waktu yang relative
lama. (d). Belum adanya spesialisasi dalam proses produksi. (e). Pengrajin
tempe membutuhkan inovasi teknologi dalam pemotongan tempenya. (f).
Perijinan usaha yang dimiliki oleh pengrajin kripik tempe masih banyak
yang belum lengkap. (g). Sebagian besar pengrajin kripik tempe melakukan
kegiatan pemasarannya sendiri, dan belum memiliki kerjasama untuk
memasarkan dengan pihak lain. (h). Limbah yang dihasilkan dalam produksi
tempe baru dimanfaatkan sebatas hanya untuk makanan ternak peliharaannya
saja. (i). Para pengrajin kripik tempe kebanyakan mempunyai kendala dalam
permodalan.
Faktor yang berpengaruh terhadap pengembangan industri kerajinan
kripik tempe di Kabupaen Ngawi adalah variabel modal dan jumlah tenaga
kerja. Apabila kedua variabel tersebut nilainya dinaikkan maka akan
meningkatkan omzet dari pengrajin kripik tempe.
2. Saran
Pembentukan desa wisata membutuhkan kerjasama dengan beberapa
pihak terkait, karena desa wisata tidak hanya untuk memperlihatkan proses
pembuatan kripik tempe saja, tetapi juga menjual kegiatan ekonomi yang lain
yang berkaitan dengan proses pembuatan kripik tempe. Misalkan proses
mengolah limbah tempe sehingga bisa mempunyai nilai jual yang lebih,
pembuatan bahan baku tepung beras yang dilakukan oleh kelompok pengrajin
lainnya dan lain sebagainya.
Modal merupakan salah satu variabel penting yang berpengaruh
terhadap omzet para pengrajin kripik tempe, tetapi banyak di antara pengrajin
tersebut yang belum bankable. Maka hendaklah pemerintah daerah banyak
memberikan pelatihan dan mendorong para pengrajin tersebut untuk membuat
laporan keuangan secara sederhana serta mempunyai motivasi untuk bisa
mengakses ke lembaga keuangan.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
56
REFERENSI
Abidin, Said Zainal. 2002. Kebijakan Publik. Yayasan Pancur Siwah. Jakarta.
Adolf Heatubun. 2008. Potensi Jumlah Usaha Kecil dan Menengah Dalam
Perannya Menstimulasi Perekonomian. Jurnal Organisasi dan
Manajemen. Vol 4 No 1.
Alma, Buchori. 2007. Kewirausahaan.Bandung: Alfabeta.
Arsyad, Lincolin. 1999.Ekonomi Pembangunan.Yogyakarta: STIE YKPN.
Chris Manning & Tadjudin Noer Effendi. 1991. Urbanisasi, Pengangguran, dan
Sektor Informal. Jakarta: Gramedia.
Deliarnov. 1997. Pengantar Ekonomi Makro. Cetakan Pertama. Universitas
Indonesia. Jakarta.
. 2006. Ekonomi Politik. Jakarta: Erlangga.
Djarwanto. 1987. Statistik Sosial Ekonomi. Yogyakarta: BPFE.
Gujarati, 2003. Basic Econometric. McGraw Hill Companies, New York.
Hendro. 2011. Dasar-Dasar Kewirausahaan : Panduan bagi Mahasiswa untuk
Mengenal, Memahami dan Memasuki Dunia Bisnis. Jakarta: Erlangga.
Hofstede, G. 1993. Constraints in Cultural theories management. Academy of
Management, 7(1), pp.81–94. Available at:
http://web.ebscohost.com.ezproxy.lib.uts.edu.au/ehost/detail?vid=4&hid
=111&sid=bef30093-8cf1-4813-86f0-
7d91a155269e@sessionmgr15&bdata=JnNpdGU9ZWhvc3QtbGl2ZQ==
#db=bth&AN=9409142061.
Indra, Setyo Nugroho. 2010. Dampak Keberadaan Industri Tekstil PT. Delta
Dunia Tekstil Terhadap Aktivitas Ekonomi Masyarakat Desa Brujul
Kabupaten Karanganyar.Skripsi.Tidak untuk Dipublikasikan.
Insukindro. 2003. Ekonometrika. Yogyakarta: BPFE UGM.
Mubyarto. 1998. Sistem dan Moral Ekonomi Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Nachrowi, Dajlal Nachrowi & Hardius Usman. 2006. Pendekatan Populer dan
Praktis Ekonometrika untuk Analisis Ekonomi dan Keuangan. Jakarta:
LP FE UI.
Priyatno, Duwi. 2010. Paham Analisis Statistik Data Dengan SPSS. PT Buku
Seru.
Analisis Potensi Usaha Kripik Tempe Dan Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pengembangan
Sentra Industri Kripik Tempe Di Kabupaten Ngawi
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 34-57
57
Saleh, Irsan Azhary. 1981. Industri Kecil Sebuah Tinjauan dan Perbandingan.
Jakarta: LP3ES.
Suryana. 2001. Kewirausahaan. Jakarta: Salemba Empat
Susanto, A. B. 2009. Leadpreneurship: Pendekatan Strategic Management
dalam Kewirausahaan. Jakarta: Erlangga.
Tambunan, Tulus TH. 2002. Usaha Kecil dan Menengah di Indonesia:
Beberapa Isu Penting. Jakarta: Salemba Empat.
Undang-undang No 9 Tahun 1999
Undang-undang No. 33 Tahun 2004
www.bps.go.id
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
58
KONDISI PERUMAHAN DAN STRATEGI DEVELOPER
MENGHADAPI PERSAINGAN PASAR PROPERTI DI KOTA
SURAKARTA
Ariyanto Adhi Nugroho*)a)
*
)Program Studi Ekonomi Pembangunan, Universitas Sebelas Maret Surakarta
a)Email: [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan bisnis properti dewasa ini semakin menarik. Lokasi
merupakan hal yang utama dalam property. Adanya keterbatasnya lahan, lokasi
yang strategis dan ekonomis tidak mudah didapatkan. Developer property juga
harus mempersiapkan strategi untuk menghadapi persaingan sehingga dapat
bertahan dan mengembangkan perusahaannya. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis kondisi pasar perumahan dan persaingan properti yang dapat
dilakukan developer dalam menghadapi persaingan pengembang properti di Kota
Surakarta. Metode penelitian ini deskriptif melalui Wawancara, Focus Group
Discussion (FGD) dan kuesioner untuk mengetahui ketertarikan manajemen
terhadap alternatif strategi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis
menggunakan Quantitative Strategic Planning Matrix (QSPM). Hasil penelitian
ini developer di wilayah Soloraya berada pada posisi harvest or divest.
Berdasarkan pemilihan alternatif strategi dengan menggunakan QSPM, strategi
yang terbaik tersebut adalah memanfaatkan SDM yang berpengalaman untuk
mengembangkan produk properti dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang
berkualitas (efficiency strategy). Prioritas kedua kerjasama dengan investor luar
untuk pembiayaan proyek pengembangan property (capital formation strategy).
Kata kunci: QSPM, efficiency strategy, capital formation strategy
PENDAHULUAN
Perkembangan bisnis properti dewasa ini semakin pesat. Pengembangan
properti tersebut tidak hanya hotel, mall, apartemen tetapi juga perumahan.
Keterbatasan lahan membuat pengembangan properti sekarang tidak hanya berada
pada pusat komersial tetapi juga di berbagai daerah di luar Central Bussines
District (CBD). Real Estate Indonesia (REI) merilis 6 (enam) kota tujuan
investasi properti yaitu Medan, Bandung, Pekanbaru, Balikpapan, Solo dan
Yogyakarta.
59
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
Perumahan merupakan salah satu sektor properti yang mempunyai prospek
yang menarik. Hal itu disebabkan oleh permintaan rumah yang tidak semata-mata
untuk tempat tinggal. Rumah memiliki aspek yang unik, permintaannya
mempunyai dua sisi yang didasarkan dua motif yaitu motif konsumsi dan motif
investasi (Arrondel, Badenes dan Spradaro, 2010). Walaupun sama-sama sebagai
aset, investasi rumah berbeda dengan dengan saham, obligasi, atau elemen
portfolio lainnya karena rumah di dalamnya terkandung benefit dalam bentuk
konsumsi sedangkan elemen portfolio lain tidak ada.
Adanya motif investasi pada perumahan banyak hal yang telah dilakukan
oleh para developer untuk menarik konsumen dan bersaing dengan pengembang
yang lain yaitu dengan mempertimbangkan mengenai lokasi, peruntukan properti,
desain, fasilitas, mekanisme pembayaran dan penentuan harga. Faktor paling
penting dalam pengembangan properti adalah lokasi.
Secara umum pembelian rumah mayoritas melalui KPR yaitu sebesar
sebesar 77,82 persen (Riset Residensial BI, 2016). Besarnya pembiayaan yang
dilakukan oleh bank kepada masyarakat dalam hal pemenuhan rumah
menimbulkan risiko kredit yang besar pada KPR dan KPA. Hal ini menjadi alasan
pemerintah menerapkan makroprudential yang berkaitan dengan KPR dan KPA
melalui kebijakan LTV. Kebijakan tersebut dimulai tahun 2012 dengan beberapa
perubahan di tahun-tahun berikutnya.
Hewlett (1999) meneliti tentang rencana strategis untuk perusahaan real
estate pada tahun 1999. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa strategi yang
dilakukan untuk meningkatkan perusahaan khususnya pada perusahaan real
estate. Strategi-strategi tersebut antara lain yaitu growth strategy, rationalization
strategy, efficiency strategy, organization strategy.
Berdasarkan daftar 6 (enam) kota sasaran investasi property yang
diterbitkan Real Estate Indonesia (2013) Solo atau Surakarta menjadi salah satu
sasaran investasi property selain Medan, Bandung, Pekanbaru, Balikpapan dan
Yogyakarta. Sebagai kota perdagangan dan jasa, Kota Surakarta menjadi pilihan
masyarakat untuk bertempat tinggal. Lahan yang semakin terbatas menjadikan
harga tanah di wilayah Kota Surakarta relative semakin mahal. Hal tersebut
60
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
diduga menjadi alasan masyarakat untuk memilih hunian di wilayah hinterland
Kota Surakarta.
Tabel 1
Proporsi Pertumbuhan penggunaan Lahan dan Perubahan Penggunaan
Lahan di Kota Surakarta Tahun 2011-2015 (hektar)
Penggunaan Lahan Tahun
2012
Tahun
2013
Tahun
2014
Tahun
2015
Taman kota -0.51 0 0 0.03
Lapangan Olah Raga -2.2 0 0 0
Kuburan 0.07 0 0 0
Sawah -2.49 -2.5 -0.99 0
Tegalan -6.72 -1.46 -1.18 -6.06
Tanah Kosong -5.74 0 -3.32 0
Industri -2.77 3 0 0.16
Perdagangan 0.36 0.29 0 0.46
Jasa 19.05 0.66 2.11 3.25
Perumahan/Pemukiman 32.15 1.42 1.45 1.96
Lain-lain -34.2 1.59 1.93 0.2
Sumber : BPS Surakarta, 2016.
Berdasarkan Tabel 1, penggunaan lahan di Kota Surakarta mengalami
pergerakan dari penggunaan untuk sawah, tegalan, dan tanah kosong menjadi
penggunaan untuk perumahan, jasa dan perdagangan. Selain penggunaan tersebut,
penggunaan lain tidak mengalami perkembangan yang mencolok.
Tabel 2
Backlog Perumahan di Soloraya berdasarkan Data SUPAS tahun 2016
No Wilayah Backlog Kepemilikan Backlog penghunian
1 Surakarta 125,948 25,145
2 Boyolali 274,221 4,207
3 Sukoharjo 222,194 20,370
61
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
4 Karanganyar 221,628 4,631
5 Wonogiri 259,656 3,931
6 Sragen 249,067 10,672
7 Klaten 314,163 16,274
Sumber : BPS Jawa Tengah, 2016. (diolah)
Kesenjangan masyarakat yang memiliki rumah dan yang belum memilik
rumah cukup besar di wilayah Soloraya. Berdasarkan Tabel 2 di atas
menunjukkan kondisi kesenjangan (backlog) dari 2 (dua) kategori yaitu
berdasarkan perbandingan antara jumlah keluarga dengan kepemilikan rumah dan
kepala keluarga dengan hunian (jumlah rumah). Backlog kepemilikan tertinggi
backlog kepemilikan berada di Kabupaten Klaten. Sedangkan backlog penghunian
tertinggi berada di wilayah Sukoharjo. Kesenjangan tersebut menjadi market
potensial bagi developer dalam mengembangkan perumahan di wilayah Surakarta.
Kondisi pasar perumahan di wilayah Surakarta yang dinamis menjadi alasan
para developer untuk bisa bersaing dan menyediakan kebutuhan rumah bagi
masyarakat. Dalam rangka mewujudkan tujuan developer tersebut perlu
mempertimbangkan faktor internal dan eksternal yang ada. Faktor internal yang
dimaksud adalah kemampuan dan kelemahan dari developer. Faktor eksternal
dapat diartikan sebagai ancaman yang dihadapi dan peluang yang bisa didapatkan.
Adanya pertimbangan mengenai faktor internal dan eksternal dapat
mempengaruhi ketepatan dalam menentukan strategi.
Tujuan melakukan pemilihan strategi adalah untuk menjamin ketepatan
pencapaian sasaran. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam melakukan pemilihan
strategi, maka akan dikaji penentuan pilihan melalui matriks kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman (strengths, weaknesses, opportunities, threats
matrix). Organisasi dapat memandang kekuatan, kelemahan, peluang dan
ancaman sebagai suatu kesatuan yang melekat dalam perumusan strategi dengan
analisis tersebut. Guna mempermudah menganalisis faktor internal dan eksternal
maka digunakan Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor
Evaluation (EFE).
62
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
1. Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti kondisi pasar perumahan di Wilayah
Soloraya dan bagaimana strategi developer untuk menghadapi persaingan dan
kondisi tersebut. Strategi yang dilakukan oleh para pengembang dilihat
menggunakan berbagai aspek yaitu growth strategy, rationalization strategy,
efficiency strategy, organization strategy menggunakan Quantitative Strategic
Planning Matrix (QSPM).
2. Tinjauan Pustaka
Hewlett (1999) meneliti tentang rencana strategis untuk perusahaan real
estate pada tahun 1999. Penelitian tersebut menghasilkan beberapa strategi yang
dilakukan untuk meningkatkan perusahaan khususnya pada perusahaan real estate.
Strategi strategi tersebut antara lain yaitu Growth strategy, Rationalization
Strategy, Efficiency Strategy, Organization Strategy, dan Capital Formation
Strategy.
Leung, dkk. (2011) meneliti tentang rencana strategis perusahaan real estate
di China dengan menggunakan SWOT. Hasil penelitian tersebut menyebutkan
perusahaan di sana mempunyai keunggulan dari management ability, better-
equipped information system, financial capacity, quality work and brand
reputation. Namun, perusahaan real estate di China sangat lemah dalam
memahami budaya lokal, kondisi pasar dan sistem hukum, dan kurangnya
hubungan bisnis dengan pemerintah lokal dan pelaku bisnis.
Saghaei, dkk. (2012) meneliti tentang rencana strategis perusahaan minyak
pelumas menggunakan SWOT dan QSPM pada perusahaan minyak di Iran. Hasil
dari penelitian ini menunjukkan perusahaan berada pada wilayah strategi yang
beranekaragam. Hasil dari QSPM, strategi untuk berpartisipasi dalam pameran
untuk menyajikan produk dan mendekatkan staf kepada pelanggan memperoleh
skor tertinggi dan karena itu, menjadi prioritas utama.
METODE PENELITIAN
Pengambilan sampel yang digunakan dalam penelitian ini melalui metode
purposive sampling. Pengembang yang dijadikan sebagai sampel adalah
63
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
pengembang/ developer yang sedang mengembangkan perumahan pada saat
penelitian ini berlangsung yaitu sejumlah 9 perusahaan developer dari 28
perusahaan pengembang yang terdaftar di DPD REI Solo. Setiap perusahaan
diwakili oleh 1 orang responden yang merupakan manajer dari perusahaan
developer.
Penelitian ini dengan metode wawancara, FGD dan kuesioner yang dibagi
menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, FGD untuk mengetahui faktor internal dan
ekstenal yang berkaitan dengan perusahaan. Kedua, kuesioner diberikan kepada
manajemen untuk melihat bobot dan rating mengenai faktor-faktor internal dan
eksternal yang berkaitan dengan perusahaan serta melihat ketertarikan masing-
masing manajemen terhadap alternatif strategi yang ditawarkan. Pelaksanaan
Wawancara dan FGD dalam penelitian ini dilakukan pada bulan Februari – April
Tahun 2017.
Penelitian ini menggunakan analisis kerangka FiveForces Porter, SWOT
(Strong Weakness Opportunity Threath) dan QSPM (Quantitative Strategic
Planning Matrix). Analisis SWOT didasarkan pada hasil wawancara terhadap
manajer dari 9 developer yang berbeda. Analisis SWOT diawali dengan
pengelompokan faktor-faktor yang ada dalam perusahaan menjadi faktor internal
dan eksternal. Faktor internal berisikan mengenai kekuatan dan kelemahan yang
selama ini dirasakan oleh perusahaan, sedangkan faktor eksternal berisi tentang
peluang dan ancaman yang sudah dialami dan yang akan dialami. Tahap yang
terakhir adalah pemilihan strategi dengan menggunakan QSPM yaitu menentukan
daya tarik relatif (attractiveness) dari berbagai strategi berdasarkan pada sejauh
mana faktor-faktor internal dan eksternal perlu dimanfaatkan atau diperbaiki.
PEMBAHASAN DAN HASIL
1. Five Forces Analysis
Analisis five forces (5 Kekuatan) menggunakan konsep kerangka yang
dikemukakan oleh Porter (1998). Pada dasarnya kerangka 5 kekuatan ini
mempertimbangkan kondisi yang terjadi sekarang dan potensi persaingan pasar di
masa mendatang. Lima kekuatan menurut kerangka five forces analysis adalah
sebagai berikut.
64
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
1. Persaingan Industri Properti
Pengembang properti yang terdaftar di DPD Solo adalah 28 perusahaan,
tetapi tidak tertutup kemungkinan masih ada pengembang yang belum
bergabung dengan asosiasi REI. Jumlah developer yang berada di wilayah
Surakarta tersebut tentu saja membuat persaingan pada bisnis properti
semakin ketat mengingat terbatasnya wilayah pengembangan di Kota
Surakarta.
Penguasaan pasar didominasi oleh pengembang yang mempunyai sumber
daya besar, baik itu modal finansial juga kepemilikan lahan yang luas.
Bahkan ada beberapa perusahaan yang bekerja sama untuk megembangkan
perumahan secara bersama. Hal ini mengakibatkan perusahaan pengembang
yang mempunyai modal terbatas akan kesulitan untuk mendapatkan lahan
yang optimal dan mengembangkan properti sesuai dengan momentum
pasarnya.
2. Ancaman Pemain Baru dalam Industri
Perkembangan bisnis properti di Surakarta yang semakin menarik dapat
menjadi alasan untuk masuknya developer baru. Pemain baru tersebut
bermacam-macam latar belakang, namun dari beberapa pengamatan, banyak
yang awal mulanya dari bisnis otomotif kemudian mencoba mengembangkan
bisnis properti.
Permintaan perumahan selain faktor lokasi dan harga juga disebabkan
oleh faktor selera atau preferensi. Pengembang berusaha untuk mencukupi
semua keinginan dari calon pembeli. Hal ini yang dapat dimanfaatkan oleh
para pemain baru yang akan masuk ke dalam bisnis properti. Celah-celah
yang belum disentuh oleh pengembang yang sudah ada menjadi kekuatan
untuk merebut pasar. Apalagi masyarakat sangat menyukai hal-hal yang
berbau kekinian dan desain yang menarik.
3. Ancaman Produk Pengganti
Produk properti sangat beragam, baik dari hunian sampai bisnis. Dewasa
ini banyak dikembangkan jenis pengembangan properti untuk meminimalkan
penggunaan tanah, seperti apartemen. Produk properti tersebut dimaksudkan
untuk mewadahi kebutuhan tempat tinggal bagi masyarakat menengah ke
65
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
atas. Sejenis dengan apartemen, rumah susun juga dikembangkan oleh
beberapa pemeritah daerah terutama di Kota Surakarta, namun penggunaanya
diperuntukkan bagi masyarakat yang kurang mampu dengan sistem sewa.
Beberapa produk properti tersebut di atas dimaksudkan untuk
menggantikan rumah atau perumahan. Praktiknya, respon masyarakat
terhadap apartemen khususnya di Kota Solo dan sekitarnya masih kurang.
Masyarakat masih belum bisa menggantikan peran rumah dengan apartemen.
Hal itu disebabkan salah satunya dengan budaya sosial yang tinggi di
masyarakat. Apartemen selain disiapkan untuk hunian akan tetapi banyak
didorong dari faktor lifestyle.
4. Daya Tawar Konsumen.
Terbatasnya kemampuan finansial masyarakat untuk memiliki
perumahan mengakibatkan produk bank yaitu kredit perumahan (KPR) sangat
diminati. Hal ini bisa menandakan bahwa kekuatan tawar-menawar dari
pembeli cenderung rendah karena developer bisa menetapkan harga jualnya
sendiri.
Lokasi menjadi faktor penting dalam pengembangan properti karena
sebagai salah satu kunci keberhasilan developer dalam mengembangkan
propertinya. Hal ini menjadi alasan di mana posisi tawar konsumen menjadi
lemah sehingga lebih menjadi price taker. Selain itu faktor yang melemahkan
daya tawar konsumen adalah mayoritas pembeli menggunakan fasilitas KPR
sehingga pembeli dapat dikendalikan oleh developer dan bank.
5. Kekuatan Tawar Pemasok.
Pengembang properti mempunyai faktor yang membedakan dengan
pengembang properti yang lain. Faktor lokasi merupakan faktor utama yang
menjadi pembeda. Selain itu seperti desain, spesifikasi, segmentasi dan harga.
Terbatasnya lahan yang dapat dikembangkan menjadi kekuatan developer
untuk menentukan harga. Selain itu, terbatasnya lahan membuat investasi
properti semakin meningkat setiap tahunnya
Dilihat dari sisi finansial, mayoritas pengembang bergantung pada
lembaga finansial seperti bank. Pengembang lebih baik menggunakan
pinjaman dari bank untuk membiayai proyeknya karena dalam sektor properti
66
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
pertumbuhan nilai lebih tinggi dari pada bunga pinjaman bank. Adanya
regulasi dari Bank Indonesia salah satunya mengenai kredit KPR membuat
pengembang merasa terbatasi dalam mengakses pembiayaan. Hal ini
membuat pengembang harus menyediakan dana terlebih dahulu untuk
pembiayaan pembangunan propertinya.
Pembangunan properti melibatkan banyak aspek termasuk bahan baku
yang beranekaragam. Beberapa bahan baku yang digunakan untuk
membangun proyek perumahan bisa dari alam dan dari hasil olahan. Bahan
baku dari alam seperti pasir dan kayu mengalami keterbatasan stok. Bahan
baku dari alam tersebut kadang mengalami fluktuasi yang cukup tinggi.
Bahan baku lainnya dari olahan industri misalnya besi dan keramik, dan
semen juga tidak terlepas dari fluktuasi harga.
2. Analisis SWOT
Penentuan factor dalam analisis SWOT ini mengacu pada analisis internal
dan eksternal yang telah dilakukan dengan wawancara masing-masing responden.
Hasil dari analisis ini akan menunjukkan bobot dan rating masing-masing faktor
yaitu faktor internal dan eksternal sehingga dapat di ketahui kondisi dari posisi
perusahaan. Rincian analisis SWOT dapat dijelaskan sebagai berikut.
1. Pengukuran bobot dan rating faktor internal dan eksternal
Berdasarkan analisis faktor internal dan eksternal kemudian dibuat
pengukuran bobot dan rating dari faktor tersebut. Faktor yang menjadi
kekuatan bagi developer antara lain pengalaman sebagai developer, harga
produk bersaing, desain dan penataan landscape menarik, kemudahan
pembayaran uang muka dan SDM yag berpengalaman. Faktor yang menjadi
kelemahan bagi developer antara lain lokasi kurang strategis jenis produk
kurang beragam dan terbatasnya modal.
Tabel 3
Hasil Pengukuran Bobot dan Rating Faktor Internal
No Faktor Internal Bobot Rating Skor
67
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
Terbobot
Kekuatan
1 Nama perusahaan yang baik dan
berpengalaman
0,13 3,50 0,46
2 Harga produk perumahan bersaing 0,12 3,00 0,36
3 Desain dan penataan properti (landscape)
yang lebih menarik
0,13 3,17 0,42
4 Kemudahan pembelian dan proses
pembayaran
0,11 3,00 0,33
5 Tenaga Kerja yang berpengalaman dalam
pembangunan perumahan
0,14 3,67 0,53
Sub jumlah 0,64 2,11
Kelemahan
1 Lokasi properti yang dikembangkan kurang
strategis
0,12
1,33
0,16
2 Jenis produk propert yang dikembangkani
kurang beragam
0,12
1,67
0,20
3 Terbatasnya permodalan yang digunakan
dalam pengembangan perumahan
0,11
1,83
0,21
Sub jumlah 0,36 0,58
TOTAL INTERNAL 2,68
Berdasarkan hasil analisis faktor internal dan eksternal didapatkan skor
bobot dan rating masing-masing faktor. Bobot tertinggi dalam faktor
internal di faktor kekuatan adalah tenaga kerja yang berpengalaman. Bobot
yang paling rendah dalam faktor ini adalah kemudahan pembayaran uang
muka. Responden menganggap kemudahan pembayaran uang muka bukan
kekuatan mutlak bagi perusahaan mengingat hal ini mungkin bisa
diduplikasi oleh pengembang lain.
Rating yang tertinggi dari faktor kekuatan ini adalah tenaga kerja yang
berpengalaman. Responden menganggap tenaga yang berpengalaman
68
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
merupakan faktor yang penting dalam menjaga kualitas produk perusahaan.
Pandangan masyarakat mengenai rendahnya kualitas pembangunan
perumahan oleh developer dapat dibantahkan dalam faktor ini. Rating yang
paling rendah adalah faktor harga yang bersaing dan kemudahan
pembayaran uang muka. Responden menganggap kedua faktor tersebut
bersifat dinamis sehingga bukan hal yang mutlak dimiliki oleh perusahaan.
Faktor kelemahan terdapat 2 (dua) faktor yang memiliki bobot tertinggi
yaitu faktor lokasi kurang strategis dan jenis produk kurang beragam. Faktor
ini merupakan kelemahan PT. Graha Abadi Sentosa di mana dalam
menentukan lokasi berada dipinggiran kota bahkan akses transportasi umum
juga tidak ada. Lokasi merupakan hal penting dalam pengembangan properti
karena akan menentukan kenaikan nilai ke depan. Mahalnya lahan yang
berada di lokasi yang strategis menjadi kendala bagi setiap pengembang.
Hal ini diperkuat dengan terbatasnya permodalan yang juga dinilai menjadi
bobot yang tinggi dalam faktor kelemahan ini.
Rating yang tertinggi dari faktor kelemahan ini adalah lokasi properti
kurang strategis dan jenis properti yang kurang beragam. Responden
menganggap faktor ini yang menjadi kelemahan dari perusahaan. Produk
properti yang dihasilkan oleh PT. Graha Abadi Sentosa mayoritas berupa
perumahan dengan kelas menengah ke bawah dan dikembangkan satu hotel.
Tabel 4
Hasil Pengukuran Bobot dan Rating Faktor Eksternal
No
Faktor Eksternal
Bobot
Rating
Skor
Terbobot
Peluang
1 Menjalin kerjasama dengan instansi potensial 0,10 3,00 0,29
2 Bcaklog Perumahan di Soloraya masih tinggi 0,12 3,17 0,39
3 Pertumbuhan penduduk cukup tinggi 0,11 2,83 0,30
4 Nilai investasi property yang terus
meningkat
0,11 3,00 0,34
69
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
Jumlah 0,44 1,32
Ancaman
1 Regulasi Bank Indonesia tentang Kredit
Pemilikan Rumah (KPR) melalui LTV
0,11 1,00 0,11
2 Regulasi Pemerintah daerah tentang
penggunaan lahan
0,12 1,17 0,14
3 Konsumen lebih memilih membeli dalam
bentuk tanah kapling
0,11 1,33 0,15
4 Kenaikan harga material bangunan 0,12 1,17 0,14
5 Kenaikan suku bunga kredit (KPR) 0,10 1,17 0,12
Jumlah 0,56 0,65
TOTAL EFE 1,97
Faktor peluang yang mempunyai bobot tertinggi adalah permintaan
perumahan kategori menengah ke bawah sangat tinggi. Selain itu, faktor
tersebut juga mempunyai rating yang paling tinggi yaitu sebesar 3,17.
Responden menganggap faktor tersebut merupakan peluang terbesar atau
terkuat yang menjadi tujuan dari pengembangan properti yaitu perumahan.
Hal itu diperkuat dengan segmentasi sementara PT. Graha Abadi
Sentosa yaitu pembangunan perumahan dengan kategori menengah ke
bawah. Rating yang paling tinggi dalam faktor eksternal ini adalah regulasi
Bank Indonesia tentang kredit pemilikan rumah (KPR). Responden
menganggap faktor ini sangat berperngaruh bagi perusahaan mengingat
mayoritas pembeli menggunakan skema KPR.
2. Penentuan Posisi Perusahaan dengan menggunakan matriks IFE-EFE
Berdasarkan hasil analisis internal – eksternal dapat dilakukan analisis
penentuan posisi perusahaan dengan menggunakan analisis kuadran.
Analisis ini membandingkan antara faktor internal yaitu kekuatan dan
kelemahan serta membandingkan faktor eksternal antara peluang dan
ancaman. Hasil analisis posisi perusahaan dapat dijelaskan pada gambar
matriks berikut ini.
70
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
Tabel 5
Posisi Developer Properti Dengan Menggunakan Matriks IFE-EFE
tinggi rata-rata lemah
4,0 3,0 2,0 1,0
4,0 I II III
tinggi Grow and Build Grow and Build Grow and Build
3,0 IV V VI
rata-rata Hold and Mantain Hold and Mantain Hold and Mantain
2,0 VII VIII IX
lemah
1,0 Harvest or Divesture Harvest or Divesture Harvest or Divesture
Berdasarkan hasil analisis IFE dan EFE, maka dapat dihasilkan posisi
perusahaan sampel berada di matriks harvest or divesture (2,68; 1,97). Pada
posisi ini menandakan perusahaan sampel dapat melakukan pilihan antara
harvest or divesture. Dalam hal ini perusahaan sampel tetap kontinyu untuk
melakukan usahanya, bahkan selain pengembangan perumahan telah
melakukan investasi di bidang perhotelan dan Kawasan bisnis ruko). Dalam
rangka melakukan divestasi developer perlu melepas beberapa aset yang
idle yang kiranya membebani keuangan perusahaan.
Berdasarkan analisis IFE dan EFE dapat dirumuskan strategi yang bisa
menjadi pilihan bagi perusahaan. Strategi tersebut memenuhi 4 komponen
yang menjadi acuan yaitu growth strategy, razionalization strategy,
efficiency strategy, capital formation strategy. Perumusan matriks SWOT
tersebut adalah sebagai berikut.
71
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
Tabel 6
Perumusan Matriks Strategi Perusahaan Developer di Soloraya
IFAS
EFAS
STRENGHT (S)
6. Pengalaman sebagai
developer sejak Tahun
1994.
7. Harga produk bersaing.
8.Desain dan penataan
properti (landscape)
yang menarik.
9. Kemudahan
pembayaran uang muka.
10. Tenaga kerja yang
berpengalaman.
WEAKNESS (W)
4. Lokasi pengembangan
properti kurang
strategis.
5. Jenis produk properti
kurang beragam.
6. Terbatasnya
permodalan untuk
melakukan ekspansi.
OPPORTUNITIES (O)
d. Menjalin kerjasama
dengan instansi.
e. Permintaan
perumahan kategori
menengah ke bawah
sangat tinggi.
f. Pertumbuhan
penduduk cukup
tinggi.
g. Nilai investasi yang
terus meningkat
STRATEGI SO
1. Meningkatkan pangsa
pasar dengan
menambah jumlah
properti atau ekspansi
lokasi (growth
strategy) S1-O3.
STRATEGI WO
1. Mengembangkan
produk properti lain
selain perumahan
(rasionalization
strategy) W2-O4.
72
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
TREATH (T)
1. Regulasi Bank
Indonesia tentang
Kredit Pemilikan
Rumah (KPR).
2. Regulasi Pemerintah
daerah tentang
RTRW.
3. Konsumen lebih
memilih membeli
dalam bentuk tanah
kapling.
4. Kenaikan harga
material bangunan.
5. Kenaikan suku bunga
kredit bank.
STRATEGI ST
1. Memanfaatkan SDM
yang berpengalaman
untuk mengembangkan
produk properti
dengan memanfaatkan
bahan baku lokal yang
berkualitas (efficiency
strategy) S5-T4.
STRATEGI WT
1. Kerjasama dengan
investor luar untuk
pembiayaan proyek
pengembangan properti
(capital formation
strategy) W3-T4.
3. Analisis QSPM
Analisis Quantitatif Strategic Planning Matrix (QSPM) dilakukan untuk
mengetahui tingkat ketertarikan manajemen terhadap alternatif-alternatif strategi
yang ada. Penentuan alternatif strategi berdasarkan kombinasi dari beberapa
faktor dalam analisis SWOT. Berdasarkan hasil tersebut dapat diketahui alternatif
strategi yang terbaik yang dipilih oleh manajemen.
Penentuan Strategi Perusahaan.
Strategi yang akan digunakan dalam pemilihan strategi oleh responden
adalah sebagai berikut.
a. Strategi S-O (S1)
Meningkatkan pangsa pasar dengan menambah jumlah properti atau ekspansi
lokasi (growth strategy).
b. Stategi W-O (S2)
Mengembangkan produk properti lain selain perumahan (rasionalization
strategy).
73
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
c. Strategi S-T (S3)
Memanfaatkan SDM yang berpengalaman untuk mengembangkan produk
properti dengan memanfaatkan bahan baku lokal yang berkualitas (efficiency
strategy).
d. Strategi W-T (S4)
Kejasama dengan investor luar untuk pembiayaan proyek pengembangan
properti (capital formation strategy).
Berdasarkan hasil analisis QSPM dapat ditunjukkan bahwa nilai Total
Attractiveness Scores (TAS) yang paling tinggi adalah pada S3 yaitu dengan nilai
7,271 dan kemudian diikuti oleh S4 yaitu sebesar 6,939. Hal itu menandakan
bahwa responden tertarik pada alternatif strategi S3 yaitu Memanfaatkan SDM
yang berpengalaman untuk mengembangkan produk properti dengan
memanfaatkan bahan baku lokal yang berkualitas (efficiency strategy). Alternatif
strategi selanjutnya adalah strategi S4 yaitu kerja sama dengan investor luar untuk
pembiayaan proyek pengembangan properti (capital formation strategy).
Tabel 7
Pemilihan Strategi dengan Menggunakan QSPM
No Faktor Bobot S1 S2 S3 S4
AS TAS AS TAS AS TAS AS TAS
Faktor Internal
Kekuatan
1 Nama perusahaan yang
baik dan
berpengalaman
0,133
3,500
0,464
3,500
0,464
3,500
0,464
3,833
0,508
2 Harga produk
perumahan kompetitif
0,122
3,167
0,385
2,500
0,331
3,000
0,398
3,333
0,442
3 Desain dan penataan
properti (landscape)
yang lebih menarik
0,133
3,000
0,398
3,000
0,398
3,333
0,442
3,333
0,442
4 Kemudahan pembelian
dan proses pembayaran
0,110
3,333
0,368
2,500
0,331
2,667
0,354
2,500
0,331
5 Tenaga Kerja yang 0,144 4,167 0,599 3,333 0,442 3,667 0,486 3,333 0,442
74
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
1
berpengalaman dalam
pembangunan
perumahan
Kelemahan
Lokasi properti yang
dikembangkan kurang
strategis
Jenis produk propert
yang dikembangkani
kurang beragam
Terbatasnya
permodalan yang
digunakan dalam
pengembangan
perumahan
Faktor Eksternal
Peluang
Menjalin kerjasama
dengan instansi
potensial
Bcaklog Perumahan di
Soloraya masih tinggi
Pertumbuhan penduduk
cukup tinggi
Nilai investasi property
yang terus meningkat
Ancaman
Regulasi Bank
Indonesia tentang
Kredit Pemilikan
Rumah (KPR) melalui
0,122
4,000
0,486
0,000
0,000
3,833
0,508
3,333
0,442
2
0,122
3,500
0,425
3,333
0,442
3,000
0,398
2,833
0,376
3
0,116
3,333
0,387
3,500
0,464
3,333
0,442
3,000
0,398
1
0,098
3,500
0,341
0,000
0,000
3,500
0,464
3,667
0,486
2
0,122 3,500 0,427 3,667 0,486 3,167 0,420 3,000 0,398
3
0,107 2,500 0,268 3,500 0,464 3,000 0,398 2,833 0,376
4
0,112 3,000 0,337 3,333 0,442 3,333 0,442 3,333 0,442
1
0,112
2,667
0,299
2,833
0,376
3,333
0,442
3,167
0,420
75
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
LTV
2 Regulasi Pemerintah
daerah tentang
penggunaan lahan
0,117
2,667
0,312
2,667
0,354
3,167
0,420
2,833
0,376
3 Konsumen lebih
memilih membeli
dalam bentuk tanah
kapling dan
membangun sendiri
0,112
3,167
0,355
3,167
0,420
3,000
0,398
2,833
0,376
4 Kenaikan harga
material bangunan
0,117
3,333
0,390
3,000
0,398
3,167
0,420
2,833
0,376
5 Kenaikan suku bunga
kredit (KPR)
0,102
2,833
0,290
2,833
0,376
2,833
0,376
2,333
0,309
Jumlah 6,532 6,188 7,271 6,939
KESIMPULAN
Kondisi kesenjangan kepemilikan rumah di Soloraya masih relatif besar
tetapi lahan yang terbatas menjadi peluang bagi pengembangan kawasan hunian
selain perumahan. Pasar properti di Soloraya terdapat dominasi pasar oleh
developer yang mempunyai sumberdaya yang besar dan mempunyai
kecenderungan mengarah ke pasar oligopoli. Strategi yang banyak dilakukan oleh
developer guna menghadapi persaingan tersebut yaitu efficiency strategy melalui
penggunaan bahan baku dan tenaga kerja lokal.
REKOMENDASI
Hasil dalam penelitian ini dapat memberikan rekomendasi kepada
pengambil kebijakan di wilayah Soloraya berkaitan dengan keterbatasan lahan
untuk hunian sedangkan backlog kepemilikan rumah semakin meningkat. Selain
itu hasil penelitian ini memberikan masukan kepada developer untuk
mengembangkan perumahan yang mempunyai konsep mix use untuk
meningkatkan daya tarik dan pemanfaatan lahan yang efektif.
76
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
REFERENSI
Appraisal Institute, 1993. The Dictionary of Real Estate Appraisal. Illinois:
Appraisal Institute, Chichago.
Arrondel, L, Nuria Badenes, and Amedeo Spadaro, 2010, Consumption and
Investment Motives in Housing Wealth Accumulation of Spanish
Households, Social Sience Research Network (SSRN) Working Paper.
Baye, R. Michael, 2010, Managerial Economics and Business Strategy, 7th ed,
The McGraw-Hill Companies, New York.
Bank Indonesia, 2014. Suku Bunga Dasar Kredit. Tersedia di
http://www.bi.go.id/id/perbankan/suku-bunga-dasar/Default.aspx, diakses
tanggal 5 Juli 2014
Bank Indonesia , 2013, Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 15/40/DKMP
tanggal 24 September 2013 perihal Penerapan Manajemen Risiko pada
Bank yang Melakukan Pemberian Kredit atau Pembiayaan Pemilikan
Properti, Kredit atau Pembiayaan Konsumsi Beragun Properti, dan Kredit
atau Pembiayaan Kendaraan
Bermotorhttp://www.bi.go.id/id/peraturan/perbankan/Pages/SE_154013.asp
x, diakses tanggal 23 Desember 2013
David, F. R. 2002. Manajemen Strategis (Edisi Bahasa Indonesia) PT.
Prenhallindo, Jakarta
Hewlett, Charles A. 1999. Strategic Planning For Real Estate Companies. Journal
of Property Management, Vol. 64, No. 1, Jan/Feb: 26-29
Kuncoro, Mudrajad, 2003. Metode Riset untuk Bisnis dan ekonomi, Erlangga,
Jakarta.
Leung, Barbara dkk. 2011. SWOT Dimensional Analysis for Strategic Planning –
The Sase of Overseas Real Estate Developers in Guangzhou, China.
International Journal of Strategic Property Management. Vol. 15, No. 2,
Feb: 105-122
77
Kondisi Perumahan Dan Strategi Developer Menghadapi Persaingan Pasar Properti Di Kota
Surakarta
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 58-77
Mintzberg, Henry dan Quinn, James Brian. 1996. The Strategy Process; Concept,
Context, Cases (3th Edition), Prentice - Hall International Editions, New
Jersey
Parwata, I Wayan. 2004. Dinamika Permukiman Pedesaan Pada Masyarakat
Bali, Universitas Warmadewa, Denpasar
Porter, Michael, 1998. Competitive Strategy, Techniques for Analyzing Industries
and Competitors. The Free Press, New York,
Rangkuti, Freddy. 2005. Analisis SWOT Teknik Membelah Kasus Bisnis. PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Saghaei, Fazayeli, Shojaee, 2012. Strategic Planning for A Lubricant
Manufacturing Company, Australian Journal of Business and Management
Research. Vol. 1, No. 10, Januari: 18-24
Siagian, Sondang. 2008. Manajemen Stratejik. Bumi Aksara, Jakarta.
Sidik, Machfud. 2000. Model Penilaian Properti Berbagai Penggunaan Tanah di
Indonesia, Yayasan Bina Ummat Sejahtera, Jakarta.
Sukirno, Sadono. 2002. Teori Mikro Ekonomi. Cetakan Keempat Belas.
RajawaliPress: Jakarta.
Umar, H. 2003. Strategic Manajemen in Action. PT. Gramedia Pustaka Utama.
Jakarta.
Undang-Undang No.1 tahun 2011 tentang Perumahan dan kawasan Permukiman.
Wheelen, T.L. and J. David Hunger, 2002. Strategic Management and Business
Policy. Eighth Edition, Prentice-Hall, New Jersey.
78
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
DINAMIKA PEREKONOMIAN WILAYAH DI INDONESIA
TAHUN 2011-2016 Dyah Kusumaning Putri Lani
Sarjana Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Universitas Sebelas Maret
ABSTRACT
The purpose of this study is to determine the results of development
reviewed through the status of the economy, the level of inequality, and the
relationship of economic growth with the welfare of society in 33 provinces in
Indonesia in 2011-2016. The descriptive quantitative method is employed to
assess There are 33 provinces in Indonesia. Techniques of collecting data used
were through accessing the website Badan Pusat Statistik and Library Study to
support the research data. Analytical techniques used are Klassen Typology, Theil
Index, and Pearson Correlation.
The results of Klassen Tipology show during 2011-2016 as many as 3
provinces are included in Rapid Growth Region, 4 provinces are in Retarted
Region, while 18 provinces are in Growing Region, the remaining 8 provinces are
in Relatively Backward Region. At the end of the study in 2016, indicators of
economic status in 6 provinces are in increase. and declining economic status in 4
provinces. The Result of Theil Index during the year 2011-2016 there is a
declining in between provinces inequality, and the decrease in inter-island
inequality. The total inequality in 2011 was 10.23, while in 2016 it was 10.08. The
bigger inequality is caused by the between provinces inquality. The result of
Pearson Correlation shows that there is a negative and significant correlation
between economic growth (PE) with 4 variables (indicator of social welfare)
among others: Very strong relationship between PE and Human Development
Index with correlation value is 0.926, with Life Expectancy is 0.950, with the Old
School Expectation is 0.969, while with the Old School Average occurs strong
relationship with the value is 0.876. Whereas, there was no significant
relationship between PE and Real Per Capita Spending with correlation value is
0.778
Keywords: Indonesian Economy, National Development, Klassen Typology, Theil
Index, Pearson Correlation, Inequality, Economic Growth, Sosial
Welfare, Human Development Index
PENDAHULUAN
Pembangunan merupakan suatu langkah yang terus dikembangkan dan
dilaksanakan oleh negara, daerah, dan suatu kawasan untuk mencapai tujuan akhir
pembangunan nasional. Proses pembangunan terjadi di semua aspek kehidupan
masyarakat, ekonomi, sosial, budaya, politik, yang berlangsung pada level makro
79
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
(nasional) dan mikro. Secara umum pembangunan ekonomi bertujuan untuk
meningkatkan tingkat hidup dan menaikkan mutu hidup yang dapat diartikan
sebagai derajat dipenuhinya kebutuhan dasar, sehingga pertumbuhan ekonomi
tanpa dibarengi dengan penambahan kesempatan kerja akan mengakibatkan
ketimpangan dalam pembagian penambahan pendapatan tersebut. Ketimpangan
yang terjadi dapat menciptakan suatu pertumbuhan ekonomi dengan peningkatan
kemiskinan (Hukom, 2014: 120-1).
Berdasarkan data BPS(2017), pada tahun 2015 distribusi persentase
penduduk sebesar 56.81% masih berada di Pulau Jawa. Secara tidak langsung
akan menimbulkan ketimpangan kualitas SDM dan Kualitas perekonomian
wilayahnya.
Sumber: Badan Pusat Statistik.2017.(data diolah)
Gambar 1.1
Pertumbuhan Ekonomi Berdasarkan Pembagian Wilayah di Indonesia
Tahun 2011-2016 (dalam persen)
Berdasarkan data BPS (2017) PDB Indonesia pada tahun 2016 masih
didominasi oleh kontribusi Pulau Jawa (59%) yang mana Pulau Jawa merupakan
pulau dengan infrastruktur yang paling lengkap di antara wilayah lainnya.
Perbedaan PDB antar wilayah berdampak pada kesenjangan. Dalam rangka
mengurangi ketimpangan dan meningkatkan pemerataan, pemerintah mengambil
80
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
kebijakan otonomi daerah yang ditandai dengan diberlakukannya UU No. 23
Tahun 2014 (Siswanto, 2016: 4). Selain itu, pemerintah pusat sedang
menggiatkan pembangunan infrastruktur di wilayah luar Pulau Jawa. Hasilnya,
wilayah kepulauan Sulawesi selama 6 (enam) tahun terakhir memiliki tingkat
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata Indonesia
(Gambar 1.3). Diharapkan adanya pertumbuhan ekonomi di wilayah Timur yang
lebih tinggi akan mendorong kemajuan dan kesejahteraan masyarakat di Indonesia
bagian timur. Hal ini diharapkan akan membuat kesenjangan antara Pulau Jawa
dan pulau-pulau lainnya dapat diselesaikan.
Berdasarkan data BPS 2017, diketahui bahwa IPM di 25 Provinsi Indonesia
masih berada di bawah IPM Indonesia pada tahun 2016 yaitu sebesar 70.18%. Hal
ini menunjukkan ada kecenderungan bahwa pertumbuhan ekonomi yang selama
ini telah dicapai tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan pembangunan manusia
dan pencapaian kesejahteraan masyarakat.
Penelitian Fattah dan Rahman (2013), Sinurat (2016), serta Soebyakto dan
Bashir (2014) memiliki kesimpulan bahwa kondisi perekonomian yang terjadi
baik di Sulawesi Selatan , Jawa Barat, dan Sumatera Selatan menunjukkan adanya
perbedaan kategori (kuadran) antara kota besar dengan kabupaten kecil dalam
sebuah wilayah. Perbedaan kondisi perekonomian antar daerah juga sejalan
dengan adanya ketimpangan yang terjadi di Provinsi di Indonesia. Penelitian yang
dilakukan oleh Mahardiki dan Santoso (2013) menunjukkan adanya
kecenderungan ketimpangan antar provinsi yang meningkat di akhir periode.
Selain itu, sebagian besar provinsi di Indonesia masuk dalam kategori daerah
maju tetapi tertekan.
Penelitian yang dilakukan oleh Gorica dan Gumeni (2013) menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara Human Development Index (HDI) dan
Gross Domestic Product (GDP) di Albania. Dari penelitian tersebut juga
diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi lebih cepat dibandingkan dengan
pembangunan manusia. Elistia (2017) melakukan penelitian yang menghasilkan
sebuah kesimpulan bahwa di Malaysia dan Brunei Darussalam meskipun adanya
hubungan yang kuat tetapi IPM tidak berpengaruh signifikan dalam
mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Bahkan di negara Thailand dan Filipina
81
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
tidak ada hubungan dan pengaruh yang kuat diantara kedua variabel tersebut.
Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Anggraini dan Muta‟ali (2013)
menunjukkan adanya hubungan signifikan antara pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan manusia di provinsi Jawa Timur.
Berdasarkan kondisi yang telah digambarkan di atas, diperlukan suatu
penelitian guna menganalisis karakteristik perekonomian Indonesia yang ditandai
dengan pengelompokkan kategori masing-masing daerah berdasarkan
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangannya dalam rangka pembangunan ekonomi
di 33 provinsi Indonesia tahun 2011-2016. Lebih lanjut penelitian ini digunakan
untuk melihat sejauh mana pembangunan ekonomi tersebut berhubungan dengan
kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan dengan variabel pembentuk IPM. Hal
ini akan menjadi indikator seberapa besar pembangunan nasional yang selama ini
telah dijalankan oleh pemerintah telah memberikan kesejahtaraan yang nyata
sesuai dengan amanat UUD 1945. Oleh karena itu, disusunlah penelitian dengan
mengambil judul Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-
2016.
Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana status perekonomian provinsi di Indonesia selama kurun waktu
2011-2016?
2. Bagaimana kondisi ketimpangan pendapatan antar wilayah di Indonesia pada
tahun 2011-2016?
3. Bagaimana hubungan pembangunan ekonomi Indonesia yang dilihat melalui
indikator pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat yang
didasarkan variabel pembentuk Indeks Pembangunan Manusia di Indonesia
tahun 2011-2016?
KAJIAN PUSTAKA
Pembangunan Ekonomi
Arsyad (2010) mendefinisikan pembangunan ekonomi merupakan proses
yang menyebabkan pendapatan perkapita penduduk suatu masyarakat meningkat
dalam jangka panjang yang disertai dengan perbaikan sistem kelembagaan. Akhir
82
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
dasawarsa tahun 1960 banyak Negara Sedang Berkembang (NSB) mulai
menyadari bahwa “pertumbuhan” tidak identik dengan “pembangunan”.
Pertumbuhan ekonomi di NSB melebihi tingginya pertumbuhan ekonomi di
negara maju, akan tetapi dibarengi dengan masalah-masalah sosial ekonomi
lainnya seperti pengangguran, kemiskinan di pedesaan, distribusi pendapatan yang
timpang, dan ketidakseimbangan struktural.
Indikator Pembangunan
Pandangan Dudley Seers (1973) mengatakan bahwa sasaran pembangunan
terdiri dari penanggulangan kemiskinan, penggangguran, dan ketimpangan, hal ini
menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk target
ekonomi melainkan juga tujuan sosial (Kuncoro, 2010: 5-6).
Menurut Kuncoro (2013: 3) indikator-indikator kunci pembangunan dapat
diklasifikasikan menjadi dua indikator utama yaitu, Indikator Ekonomi yang
meliputi: Pendapatan Nasional, Laju Pertumbuhan Ekonomi, dan GNP Per Kapita
dengan purchasing power parity. Sedangkan Indikator Sosial terdiri dari Indeks
Pembangunan Manusia dan Physical Quality Life Index.
Tujuan pembangunan nasional adalah kesejahteraan masyrakat/
kesejahteraan sosial. Guna mewujudkan pembangunan nasional yang sejalan
dengan tujuan pembangunan nasional, maka Pemerintah harus memperhatikan
indikator sosial pembangunan, antara lain:
1. Human Development Index
IPM memiliki merupakan indeks dengan 3 komponen (i) usia panjang yang
diukur dengan tingkat harapan hidup, (ii) pengetahuan yang diukur dengan rata-
rata tertimbang dari jumlah orang dewasa yang dapat membaca (duapertiga) dan
rata-rata tahun sekolah (diberi bobot sepertiga)1, (iii) penghasilan yang diukur
dengan pendapatan per kapita riil yang telah disesuaikan, yaitu disesuaikan
1 Sejak tahun 2010, UNDP merubah metodologi perhitungan IPM. Angka Melek Huruf diganti
dengan Harapan lama Sekolah. Penggantian ini terjadi karena Angka melek huruf sudah tidak
relevan dalam mengukur pendidikan secara utuh karena tidak dapat menggambarkan kualitas
pendidikan. Selain itu, karena angka melek huruf di sebagian besar daerah sudah tinggi, sehingga
tidak dapat membedakan tingkat pendidikan antar daerah dengan baik. (BPS. 2015)
83
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
menurut daya beli mata uang masing-masing negara dan asumsi menurunnya
utilitas marginal penghasilan dengan cepat (Kuncoro, 2013: 222).
2. Physical Quality Life Index
Morris (1979) mengajukan tiga indikator pokok, yaitu (i) tingkat kematian
bayi (IMR), (ii) harapan hidup saat usia satu tahun, dan (iii) angka melek huruf.
Indikator ini juga digunakan oleh Biro Pusat Statistik dalam mengukur Indeks
Mutu Hidup dalam usaha membandingkan tingkat kesejahteraan. (Faturochman,
X: 3).
Indeks Theil dan Indeks L
Menurut Kuncoro (2013: 99) tolak ukur pemerataan distribusi pendapatan
dapat dilihat melalui ketimpangan yang terjadi antar negara atau daerah. Salah
satu indikator yang sering digunakan untuk mengukur ketimpangan di suatu
negara atau daerah adalah Indeks Theil dan Indeks L.
Keunggulan utama indeks ini adalah bahwa pada suatu titik waktu, indeks ini
menyediakan ukuran derajat konsentrasi distribusi spasial pada sejumlah daerah
dan sub-daerah dalam suatu negara. Selain itu, indeks ini dapat membedakan
kesenjangan “antar daerah” (between-region inequality) dan kesenjangan “dalam
satu daerah” (within-region inequality) (Kuncoro, 2013: 104).
Penelitian Terdahulu
Mahardiki dan Santoso (2013) menggunakan Tipologi Klassen untuk
mengklasifikasikan wilayah/ provinsi di Indonesia berdasarkan tingkat
pendapatan dan tingkat pertumbuhannya. Penelitian tersebut menemukan bahwa
dari 33 Provinsi di Indonesia, terdapat 12 provinsi yang masuk dalam kategori
wilayah tertinggal. Selain itu, Mahardiki dan Santoso (2013) menemukan bahwa
perekonomian wilayah di Indonesia sebagian besar menujukkan indikator yang
kurang baik. Hal ini ditandai dengan adanya peningkatan tingkat kesenjangan
pendapatan antar wilayah selama tahun 2006-2011. Hasil perhitungan dengan
Indeks Kesenjangan Theil didapatkan rata-rata nilai Indeks Kesenjangan Theil
pada tahun 2006-2011 sebesar 0,3513. Jelaskan apa artinya nilai indeks 0,3513.
Secara umum nilai Indeks Kesenjangan Theil dari 33 provinsi di Indonesia
mengalami kecenderungan meningkat selama tahun 2006-2011.
84
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
Penelitian di Wilayah Indonesia Timur dilakukan oleh Fattah dan Rahman
(2013), yaitu tentang klasifikasi kabupaten di Sulawesi Selatan menunjukkan
banyaknya daerah yang berada di kuadran 4. Kota besar (pusat pertumbuhan)
memiliki pertumbuhan dan pendapatan yang tinggi, sangat berbeda dengan
kabupaten kecil.
Penelitian yang dilakukan di wilayah Jawa dilakukan oleh Sinurat (2016),
dalam penelitiannya Sinurat melakukan penelitian di Cianjur, Jawa Barat.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa wilayah yang masuk dalam
daerah relatif tertinggal memiliki sektor unggulan adalah sektor pertanian
Di sisi lain, penelitian yang dilakukan di wilayah barat Indonesia, yaitu di
Sumatera Selatan dilakukan oleh Soebyakto dan Bashir (2014) menunjukkan
bahwa dinamika pertumbuhan wilayah di daerah perkotaan cenderung lebih baik
dibandingkan dengan daerah terpencil. Dari seluruh kabupaten/kota di Sumatera
Selatan hanya Palembang (pusat perekonomian) yang masuk dalam kuadran I
kategori pertumbuhan ekonomi dan IPM.
Penelitian Antika Utari tahun 2015 menunjukkan Indeks Williamson (IW)
Pendapatan Perkapita di Pulau Sumatera sebesar 0,00764 ketimpangan yang
terjadi tegolong ketimpangan rendah. Nilai Entropi Theil antar provinsi lebih
besar dengan rata-rata 0,35634 dibandingkan dengan nilai Entropi Theil antar
wilayah bagian dengan rata-rata yaitu 0,0821. Angka ketimpangan inter- wilayah
(Tw) lebih besar dibandingkan antar-wilayah (Tb). Hal ini menggambarkan
bahwa ketimpangan pendapatan perkapita di Pulau Sumatera sebenarnya terjadi
antar propinsi yang berada di Pulau Sumatera, bukan ke antar wilayah bagian
Pulau Sumatera.
Gorica dan Gumeni (2013) melakukan penelitian tentang korelasi yang ada
antara HDI dan PDB per kapita di Albania. Nilai korelasi variabel tersebut positif,
tetapi nilainya tidak tinggi. Ini menyiratkan bahwa pertumbuhan telah meningkat
lebih cepat dari pada pembangunan. Ekonomi Albania telah membuat kemajuan
yang signifikan dalam pertumbuhan namun tidak dalam indeks pembangunan.
Anggraini RA, Muta‟ali L (2013) melakukan penelitian untuk menganalisis
pola hubungan pertumbuhan ekonomi dan Indeks Pembangunan Manusia di
Provinsi Jawa Timur tahun 2007-2011. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat
85
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
korelasi signifikan. Koefisien korelasi menunjukkan adanya arah hubungan positif
karena nilai Pearson tersebut bertanda positif „+‟. Hipotesis dalam penelitian ini
adalah Terdapat hubungan yang signifikan antara pertumbuhan ekonomi dengan
IPM kabupaten/kota di Jawa Timur. Hasil dari penelitian membuktikan bahwa
Hubungan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan manusia yang diukur dari
rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dengan IPM menunjukkan adanya hubungan
yang signifikan.
Elistia (2017) melakukan penelitian mengenai hubungan dan pengaruh IPM
terhadap pertumbuhan ekonomi pada 6 negara ASEAN yaitu Indonesia, Malaysia,
Singapura, Thailand, Brunei Darussalam dan Filipina. Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa di Indonesia dan di Singapura terdapat hubungan negatif
yang sangat kuat serta pengaruh yang signifikan antara Indeks Pembangunan
Manusia dengan Pertumbuhan Ekonomi. Sedangkan di negara Thailand, Brunei
Darussalam, dan Filiphina terjadi hubungan negatif yang kuat tetapi tidak ada
pengaruh yang signifikan, ditunjukkan dengan nilai P-value lebih besar dari 0.05.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diketahui bahwa hasil pembangunan di
Indonesia belum sepenuhnya dirasakan oleh masyarakat di Indonesia, utamanya
masyarakat yang tinggal di daerah terpencil. Hasil penelitian di atas menunjukkan
bahwa ketimpangan di dalam wilayah maupun ketimpangan di Indonesia belum
terselesaikan dengan baik. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai pada periode
tersebut belum mampu mendorong tercapainya tujuan nasional sepenuhnya.
METODE PENELITIAN
Data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah jenis data Secondary
data (data sekunder) yang diperoleh dari data Badan Pusat Statistik baik pusat
maupun daerah.
Dalam memecahkan 3 (tiga) pertanyaan penelitian, penelitian ini
menggunakan 3 (tiga) metode analisis, di antaranya:
1. Status Perekonomian Provinsi: Tipologi Klassen
86
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
Tipologi daerah membagi daerah berdasarkan dua indikator utama,
yaitu pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah, seperti
terlihat pada Tabel 3.1 di bawah ini:
Tabel 3.1
Pengelompokkan Daerah Berdasarkan Tipologi Klassen PDRB per kapita
(Y)
Laju Pertumbuhan ( r )
Yij>Yi Yij<Yj
Rij > Rj daerah maju dan cepat
tumbuh (Kuadran I)
daerah berkembang cepat
(Kuadran III)
Rij < Rj daerah maju tapi
tertekan (Kuadran II)
daerah relatif
tertinggal (Kuadran IV)
Sumber: Kuncoro, 2013:234
Keterangan:
Rij : Laju pertumbuhan PDRB ADHK tiap Provinsi
Rj : Rata-rata laju pertumbuhan PDRB ADHK Indonesia
Yij: Pendapatan per kapita tiap Provinsi
Yj : rata – rata pendapatan per kapita Indonesia
2. Ketimpangan Pendapatan antar Wilayah: Indeks Theil
Indeks Theil digunakan untuk mengetahui kondisi ketimpangan
pendapatan di dalam suatu provinsi dan antar provinsi di Indonesia selama
2011-2016.
Ying (2000) dalam Kuncoro (2013: 104) menerangkan Indeks
Ketimpangan Entropi Theil adalah sebagai berikut :
I Theil = I intra + I inter ............................................................(3.1)
I intra = ∑(Yi/Y) . Ti .............................................................(3.1.a)
Ti = ∑( yij/Yi) log [(yij/Yi) / (nij/ni)] .............................(3.1.b)
I inter = ∑ ( yi/Y). Log [(yi/Y)/ni/n)] .................................. (3.1.c)
87
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
Dalam rangka melihat tingkat ketimpangan menggunakan Indeks Theil
dalam penelitian ini, seluruh provinsi dalam penelitian akan dikelompokkan
menjadi 6 (enam) wilayah. Pembagian wilayah dilakukan berdasarkan koridor
ekonomi dalam percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi tahun 2011-
2025 antara lain: Sumatera, Jawa, Bali-Nusa tenggara, Kalimantan, Sulawesi,
Papua.
3. Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat:
Korelasi Pearson
Dalam penelitian ini akan digunangan alat bantu SPSS 16 untuk melihat
hubungan antara pembangunan ekonomi dengan pembangunan manusia yang
menggambarkan hubungan pembangunan ekonomi dengan hasilnya berupa
kesejahteraan manusia akan dianalisis dengan menggunakan korelasi pearson.
Variabel pembangunan ekonomi diwakili oleh laju pertumbuhan ekonomi dan
variabel kesejahteraan diwakili oleh indeks pembangunan manusia (IPM),
Angka haraan hidup (AHH), Harapan Lama Sekolah (HLS), Rerata lama
sekolah (LS), dan pengeluaran perkapita ( PENG).
Hipotesis dari penelitian ini dapat terjawab dengan melihat nilai
probabilitas atau signifikansinya, kriteria signifikansi sebagai berikut:
1. Jika signifikansi > 0.05 maka Ho diterima, berarti tidak ada hubungan
antara pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat
2. Jika signifikansi < 0.05 maka Ho ditolak, berarti adda hubungan antara
pertumbuhan ekonomi dengan kesejahteraaan masyarakat.
PEMBAHASAN
1. Klasifikasi Status Perekonomian Provinsi
Status perekonomian 33 provinsi di Indonesia selama Tahun 2011-2016
diklasifikasikan dengan menggunakan Tipologi Klassen. Perklasifikasian ini
didasarkan pada pendapatan per kapita dan pertumbuhan ekonomi yang kemudian
diklasifikasikan menjadi 4 (empat) kuadran.
88
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
Pergeseran status perekonomian ke 33 provinsi di Indonesia selama tahun
2011-2016 dapat dilihat melalui tabel 4.1. Semakin banyak provinsi dengan warna
kolom kuning dan hijau menunjukkan adanya kencenderungan yang baik, Di sisi
lain adanya daerah dengan warna ungu dan merah yang semakin meningkat
menujukkan indikator yang buruk .
Hasil penelitian ini mendukung penelitian Mahardiki dan Santosa (2013)
yang menunjukkan hasil pengklasifikasian bahwa sebagian besar provinsi di
Indonesia berada pada kuadran III (daerah berkembang cepat). Penelitian ini
menunjukkan bahwa Provinsi dengan status perekonomian berkembang cepat
meningkat dibandingkan dengan rata-rata pada penelitian sebelumnya. Provinsi
yang menunjukkan indikator perekonomian yang membaik ini antara lain:
Bengkulu, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, dan Maluku. Pertumbuhan
ekonomi di provinsi tersebut mengalami peningatan di atas rata-rata peningkatan
nasional. Hal ini juga mendukung bukti bahwa pembangunan yang dilakukan di
Luar Pulau Jawa memberikan dampak yang nyata dan baik bagi perekonomian
wilayah di Indonesia. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini juga harus terus
dimanfaatkan dengan baik agar dapat meningkatkan pendapatan per kapita
masyarakat sehingga akan menjadikan wilayah di Luar Pulau Jawa menjadi
wilayah maju dan cepat tumbuh.
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
Tabel 4.1
Perkembangan Klasifikasi Status Perekonomian Provinsi di Indonesia Tahun 2011-2016
Kuadran III (Daerah Berkembang Cepat) Kuadran I (Daerah Maju dan Cepat Tumbuh)
2011 2016 Rata-rata 2011 2016 Rata-rata
Sumut, Sumbar, Sumsel,
Bengkulu, Lampung,
Jabar, Jatim, Banten, Bali,
Kalteng, Kalsel, Sulteng,
Sulsel, Sultra, Gorontalo,
Sulbar, Maluku, Maluku
Utara.
Sumut, Sumbar, Sumsel,
Bengkulu, Lampung,
Jabar, Jatim, Banten, Bali,
Kalteng, Sulut, Sulteng,
Sulsel, Sultra, Gorontalo,
Sulbar, Maluku, Maluku
Utara, Jateng, DIY, NTT,
NTB.
Sumut, Sumbar, Sumsel,
Bengkulu, Lampung,
Jabar, Jatim, Banten, Bali,
Kalteng, Sulut, Sulteng,
Sulsel, Sultra, Gorontalo,
Sulbar, Maluku, Maluku
Utara.
Jambi, Kep Bangka
Belitung, Kep Riau, DKI
Jakarta, Kaltim.
Kep Riau, DKI
Jakarta, Papua.
Jambi, Kep Riau, DKI
Jakarta.
Kuadran IV (Daerah Relatif Tertinggal) Kuadran II (Daerah Maju tetapi Tertekan)
2011 2016 Rata-rata 2011 2016 Rata-rata
Jateng, DIY, Aceh, NTB,
NTT, Sulut, Kalbar.
Aceh, Kalsel, Kep Bangka
Belitung
Aceh, KalSel, Kep
Bangka Belitung, Jateng,
DIY, NTB, NTT, Kalbar.
Riau, Papua Barat, Papua. Riau,Jambi
Kaltim, Papua Barat.
Riau, Kaltim, Papua
Barat, Papua.
Sumber: Hasil Analisis Data, 2018
Keterangan:
: Daerah dengan status perekonomian tahun 2016 meningkat (lebih baik) dibandingkan tahun 2011
: Daerah dengan status perekonomian tahun 2016 menurun (lebih rendah)dibandingkan tahun 2011
: Daerah dengan status perekonomian rata-rata menurun (lebih rendah) dibandingkan tahun 2011
: Daerah dengan status perekonomian rata-rata meningkat (lebih baik) dibandingkan tahun 2011
89
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
90
Pada periode 2011-2016, provinsi dengan rata-rata status perekonomian
berada pada daerah relatif tertinggal juga lebih baik dibandingkan pada Tahun
2006-2011 yang dilakukan oleh Mahardiki Santoso (2013). Di mana pada
penelitian sebelumnya jumlah provinsi pada kuadran IV mencapai 12 (dua belas
provinsi), sedangkan pada Tahun 2011-2016 hanya 8 (delapan) provinsi. Akan
tetapi, Jumlah provinsi yang menurun di kuadran IV belum menjadi jaminan
keberhasilan pembangunan daerah, pasalnya Jawa Tengah yang pada periode
sebelumnya berada pada status daerah berkembang cepat justru di Tahun 2011-
2016 ini mengalami penurunan status perekonomiannya. Hal ini dikarenakan
rendahnya pendapatan per kapita pada provinsi ini. Jumlah dan kepadatan
penduduk yang semakin tinggi di provinsi tersebut tidak diimbangi dengan
meningkatnya laju PDRB yang signifikan, sehingga provinsi ini menjadi daerah
relatif tertinggal.
Persebaran hasil perhitungan dengan menggunakan Tipologi Klassen dalam
penelitian ini digambarkan dalam Gambar 4.1 di bawah ini.
Gambar 4.1
Klasifikasi Status Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Sumber: Hasil analisis data
Keterangan:
: Daerah Maju dan Cepat Tumbuh
: Daerah Maju Tetapi Tertekan
: Daerah berkembang cepat
: Daerah Relatif Tertinggal
Provinsi yang maju dan cepat tumbuh diharapkan dapat menjadi lokomotif
yang menarik kemajuan daerah lain dan Indonesia pada umumnya. Provinsi
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
91
diharapkan akan aktif mencari sumber daya unggulan masing-masing yang dapat
digunakan untuk perkembangan dan daya tarik investasi, sehingga
perekonomiannya akan lebih maju. Kerjasama antar daerah sangat diperlukan,
karena dalam kaitannya dengan perekonomian wilayah, selain itu guna
tercapainya target pertumbuhan, diperlukan suatu tingkat tabungan yang pas dan
seluruh keuntungan pengusaha diinvestasikan kembali di wilayah tersebut.
2. Ketimpangan Pendapatan antar Wilayah
Pengukuran kesenjangan regional melalui pendekatan indeks akan
digunakan berdasarkan analisis Indeks Theil. Perkembangan rata-rata tingkat
ketimpangan antar wilayah selama Tahun 2011-2016 tersaji dalam Tabel 4.2.
Berdasarkan data hasil perhitungan Indeks Theil tersebut diketahui bahwa tingkat
ketimpangan cenderung menurun di akhir periode penelitian. Hal ini berbeda
dengan hasil Analisis ketimpangan pada Tahun 2005-2010 yang menunjukkan
adanya kecenderungan meningkat dari tingkat ketimpangan di Indonesia yang
dilakukan oleh Bappenas pada Tahun 2012.
Tabel 4.2
Perkembangan Rata-rata Tingkat Disparitas di Wilayah Indonesia
Tahun 2011-2016 Keterangan 2011 2012 2013 2014 2015 2016
Theil Within 4.844 4.824 4.833 4.808 4.784 4.763
Theil Between 5.386 5.375 5.362 5.355 5.333 5.316
Theil Total 10.230 10.199 10.194 10.163 10.117 10.079
Theil Within % 47.35 47.30 47.41 47.31 47.28 47.26
Theil Between % 52.65 52.70 52.59 52.69 52.72 52.74
Sumber: BPS, 2017 (data hasil pengolahan)
Jika di dekomposisi rata-rata tingkat ketimpangan yang terjadi di Indonesia
lebih banyak di sumbangkan oleh adanya ketimpangan antar provinsi
dibandingkan tingkat ketimpangan dalam wilayah masing-masing. Persentase
sumbangan tingkat ketimpangan antar provinsi dari Tahun ke Tahun juga
cenderung meningkat.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
92
Tabel 4.3
Ketimpangan Indeks Theil Menurut Wilayah
Tahun 2011-2016 Pulau 2011 2014 2016
Within Between T Total Within Between T Total Within Between T Total
Sumatera 7.338 12.560 19.897 7.029 12.183 19.212 6.776 11.871 18.647
Jawa 2.390 8.328 10.717 2.546 8.539 11.085 2.721 8.790 11.511
Bali-Nusa
Tenggara 1.511 0.816 2.327 1.511 0.830 2.341 1.668 0.886 2.554
Kalimantan 8.471 4.514 12.986 8.292 4.382 12.674 7.533 3.975 11.508
Sulawesi 3.617 3.298 6.915 3.954 3.490 7.445 4.303 3.686 7.989
Maluku-Irian 5.735 2.800 8.535 5.514 2.704 8.218 5.579 2.686 8.264
Sumber: BPS, 2017 (data hasil pengolahan)
Jika diperbandingkan, tingkat kesenjangan wilayah pulau antara Tahun 2011
dan Tahun 2016 (Tabel 4.3), menunjukkan tingkat kesenjangan di Wilayah
Sumatera, Kalimantan, Maluku-Irian cenderung turun, sedangkan wilayah Jawa,
Bali-Nusa Tenggara, dan Sulawesi cenderung memiliki ketimpangan total yang
meningkat. Pada Tahun 2011 ketimpangan total tertinggi terjadi pada wilayah
Sumatera sebesar 19.897 dan terendah terjadi pada wilayah Bali-Nusa Tenggara
sebesar 2.327. Urutan besarnya total ketimpangan pada Tahun 2011 adalah
sebagai berikut: Sumatera, Kalimantan dengan nilai 12.986, Jawa dengan nilai
10.717, Maluku-Irian sebesar 8.535, sedangkan Sulawesi sebesar 6.915, dan
terakhir Bali-Nusa Tenggara.
Seiring berjalannya Tahun, terjadi perkembangan yang baik di beberapa
wilayah tetapi di wilayah lain menunjukkan hal negatif yang ditandai dengan
meningkatnya nilai ketimpangan. Berdasarkan hasil tersebut, dapat dijelaskan
bahwa ketimpangan terjadi di daerah dengan pertumbuhan ekonomi rata-rata
rendah. Selain itu, diketahui juga bahwa ketimpangan justru terjadi di wilayah
yang memiliki provinsi dengan status perekonomian kuadran I (daerah maju dan
berkembang cepat) seperti Kepulauan Riau, DKI Jakarta, dan Kalimantan Timur
yang memiliki pendapatan per kapita tinggi. Hal ini menunjukkan adanya
kemampuan antar provinsi dalam memberdayakan potensi alam guna mencapai
kesejahteraan penduduknya belum merata dan maksimal.
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
93
Dari 6 (enam) wilayah penelitian, di ketahui bahwa pada Tahun 2011
ketimpangan dalam wilayah tertinggi ialah wilayah Pulau Kalimantan sebesar
8.471, sedangkan ketimpangan dalam wilayah terendah ialah wilayah Bali-Nusa
Tenggara sebesar 1.511. Berdasarkan perhitungan Indeks Theil, tingkat
ketimpangan pendapatan antar provinsi di masing-masing wilayah penelitian pada
Tahun 2011 menunjukkan bahwa wilayah Sumatera memiliki ketimpangan antar
provinsinya yang paling tinggi dibandingkan dengan wilayah lainnya sebesar
12.560, sedangkan ketimpangan antar provinsi terendah terjadi di wilayah Bali-
Nusa Tenggara yang terdiri dari Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa
Tenggara Timur sebesar 0.816. Pada Tahun 2016, Nilai ketimpangan antar
provinsi di Sumatera sebesar 18.647, sedangkan di wilayah Bali-Nusa Tenggara
sebesar 0.886.
Perkembangan ketimpangan pendapatan dalam wilayah di seluruh Indonesia
selama Tahun 2011-2016 menunjukkan adanya perkembangan yang berbeda antar
wilayahnya, selengkapnya lihat di Gambar 4.2 di bawah ini:
Sumber: BPS, 2017 (data diolah)
Gambar 4.2
Perkembangan Indeks Theil dalam Wilayah Tahun 2011-2016
Perkembangan indeks ketimpangan antar provinsi di Indonesia selama
2011-2016 menunjukkan bahwa provinsi yang masuk dalam daerah maju dan
cepat tumbuh cenderung mengakibatkan adanya ketimpangan yang lebih besar di
bandingkan dengan daerah lainnya. Hal ini dikarenakan di Indonesia sebagian
besar provinsi masih berada pada daerah berkembang cepat. PDRB yang tinggi di
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
94
Indonesia belum mampu dihasilkan dari masing-masing provinsi dengan setara.
Akhirnya menyebabkan ketimpangan antar provinsi yang tinggi. Selengkapnya
tersaji dalam Gambar 4.3.
Sumber: BPS, 2017 (data diolah)
Gambar 4.3
Perkembangan Indeks Theil antar Provinsi Tahun 2011-2016
Adanya ketimpangan antar provinsi Tahun 2011-2016 yang masih tinggi
menunjukkan adanya pembangunan ekonomi di masing-masing daerah yang
belum berhasil. Pembangunan ekonomi harus berorientasi pada hasil yang secara
merata dirasakan oleh masyarakat, menciptakan pembangunan yang seimbang di
berbagai daerah, menciptakan kesempatan kerja, dan melindungi perkembangan
perusahaan-perusahaan nasional.
3. Hubungan
Pembangunan Ekonomi dengan Kesejahteraan Masyarakat
Keterkaitan kesejahteraan masyaraat dan pertumbuhan ekonomi (PE) dapat
dipahami dari 2 (dua) arah, yaitu hubungan dari pertumbuhan ekonomi terhadap
kesejahteraan masyarakat, dan hubungan kesejahteraan masyarakat terhadap
pertumbuhan ekonomi. Keterkaitan antara pertumbuhan ekonomi dan
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
95
pembangunan manusia tidak bisa dianggap linier atau langsung, namun ditentukan
oleh sejauhmana peranan faktor-faktor yang menghubungkan kedua konsep
tersebut. Di bawah ini akan diuraikan lebih terperinci mengenai hubungan
variabel tersebut di masing-masing provinsi di Indonesia selama Tahun 2011-
2016.
Tabel 4.4
Korelasi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat di
Indonesia
Tahun 2011-2016 Korelasi pearson IPM LS AHH HLS PENG
Pertumbuhan
Ekonomi
Nilai Korelasi 92.6% 87.6% 95% 96.9% 77.8%
Signifikansi 0.00 0.02 0.00 0.00 0.06
Sumber: Hasil Analisis dengan spss 16.0
Keterangan:
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
LS : Rerata Lama Sekolah
AHH : Angka Harapan Hidup
HLS : Harapan Lama Sekolah
PENG : Pengeluaran Per Kapita Riil
Berdasarkan hasil perhitungan korelasi pearson menggunakan SPSS 16.0
dengan tingkat signifikansi 95%, diketahui bahwa secara keseluruhan di Indonesia
selama Tahun 2011-2016 terdapat hubungan yang signifikan negatif antara
pertumbuhan ekonomi dan IPM, Rerata Lama Sekolah, Angka Harapan Hidup,
dan Harapan Lama Sekolah. Hubungan pertumbuhan ekonomi dengan variabel
Pengeluaran Per Kapita tidak signifikan.
Hasil penelitian selaras dengan penelitian Elistia periode 2010-2015 yang
menyatakan bahwa hubungan pertumbuhan ekonomi dan IPM di Indonesia dan
Singapura kuat dengan nilai korelasi 84.6% dan 81.9%. Hubungan yang
signifikan juga terjadi di Albani dalam penelitian Gumeni dan Gurica 2004
dengan kekuatan 48.6%.
Korelasi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat di masing-
masing provinsi selama Tahun 2011-2016 memiliki hasil perhitungan yang
beragam, tidak semua provinsi memiliki hasil perhitungan yang signifikan. Hasil
perhitungan korelasi dapat dilihat melalui Tabel 4.5 di bawah ini:
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
96
Tabel 4.5
Korelasi Pertumbuhan Ekonomi dan Kesejahteraan Masyarakat
Menurut Provinsi di Indonesia Tahun 2011-2016
NO
Provinsi
Korelasi pearson
IPM
LS
AHH
HLS
PENG
1 Aceh PE Nilai Korelasi -0.458 -0.528 -0.566 -0.476 -0.332
Signifikansi 0.361 0.281 0.242 0.340 0.520
2 Sumatera Utara PE Nilai Korelasi -0.942 -0.952 -0.934 -0.955 -0.832
Signifikansi 0.005 0.003 0.006 0.003 0.040
3 Sumatera Barat PE Nilai Korelasi -0.984 -0.946 -0.972 -0.939 -0.970
Signifikansi 0.000 0.004 0.001 0.005 0.001
4 Riau PE Nilai Korelasi -0.831 -0.724 -0.893 -0.832 -0.826
Signifikansi 0.040 0.104 0.016 0.040 0.043
5 Jambi PE Nilai Korelasi -0.851 -0.779 -0.855 -0.807 -0.902
Signifikansi 0.032 0.068 0.030 0.052 0.014
6 Sumatera Selatan PE Nilai Korelasi -0.761 -0.794 -0.859 -0.754 -0.684
Signifikansi 0.079 0.059 0.029 0.083 0.134
7 Bengkulu PE Nilai Korelasi -0.944 -0.960 -0.933 -0.963 -0.819
Signifikansi 0.005 0.002 0.007 0.002 0.046
8 Lampung PE Nilai Korelasi -0.936 -0.887 -0.931 -0.981 -0.779
Signifikansi 0.006 0.019 0.007 0.001 0.068
9 Kep. Bangka Belitung PE Nilai Korelasi -0.949 -0.863 -0.976 -0.897 -0.959
Signifikansi 0.004 0.027 0.001 0.015 0.003
10 Kep. Riau PE Nilai Korelasi -0.747 -0.530 -0.801 -0.727 -0.815
Signifikansi 0.088 0.279 0.056 0.102 0.048
11 Dki Jakarta PE Nilai Korelasi -0.912 -0.758 -0.950 -0.928 -0.907
Signifikansi 0.011 0.081 0.004 0.008 0.013
12 Jawa Barat PE Nilai Korelasi -0.771 -0.768 -0.802 -0.802 -0.578
Signifikansi 0.073 0.075 0.055 0.055 0.229
13 Jawa Tengah PE Nilai Korelasi -0.719 -0.701 -0.678 -0.781 -0.666
Signifikansi 0.107 0.120 0.139 0.067 0.149
14 Di Yogyakarta PE Nilai Korelasi -0.719 -0.701 -0.678 -0.781 -0.666
Signifikansi 0.107 0.120 0.139 0.067 0.149
15 Jawa Timur PE Nilai Korelasi -0.924 -0.925 -0.954 -0.944 -0.853
Signifikansi 0.009 0.008 0.003 0.005 0.031
16 Banten PE Nilai Korelasi -0.923 -0.888 -0.922 -0.922 -0.893
Signifikansi 0.009 0.018 0.009 0.009 0.017
17 Bali PE Nilai Korelasi -0.758 -0.626 -0.744 -0.829 -0.752
Signifikansi 0.080 0.184 0.090 0.042 0.084
18 Nusa Tenggara Barat PE Nilai Korelasi 0.727 0.113 0.064 0.763 0.555
Signifikansi 0.101 0.113 0.064 0.078 0.253
19 Nusa Tenggara Timur PE Nilai Korelasi -0.890 -0.857 -0.898 -0.912 -0.818
Signifikansi 0.018 0.029 0.015 0.011 0.047
20 Kalimantan Barat PE Nilai Korelasi -0.579 -0.538 -0.559 -0.627 -0.512
Signifikansi 0.229 0.271 0.249 0.183 0.299
21 Kalimantan Tengah PE Nilai Korelasi -0.435 -0.377 -0.429 -0.413 -0.488
Signifikansi 0.389 0.462 0.397 0.416 0.326
22 Kalimantan Selatan PE Nilai Korelasi -0.931 -0.903 -0.973 -0.973 -0.784
Signifikansi 0.007 0.014 0.003 0.001 0.065
23 Kalimantan Timur PE Nilai Korelasi -0.966 -0.934 -0.938 -0.942 -0.867
Signifikansi 0.002 0.006 0.006 0.005 0.025
24 Sulawesi Utara PE Nilai Korelasi -0.375 -0.496 -0.353 -0.415 -0.273
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
97
NO
Provinsi
Korelasi pearson
IPM
LS
AHH
HLS
PENG
Signifikansi 0.464 0.317 0.493 0.413 0.600
25 Sulawesi Tengah PE Nilai Korelasi 0.148 0.214 0.129 0.073 0.206
Signifikansi 0.780 0.684 0.808 0.891 0.689
26 Sulawesi Selatan PE Nilai Korelasi -0.765 -0.741 -0.784 -0.780 -0.664
Signifikansi 0.076 0.092 0.065 0.067 0.151
27 Sulawesi Tenggara PE Nilai Korelasi -0.813 -0.841 -0.898 -0.736 -0.792
Signifikansi 0.049 0.036 0.015 0.096 0.060
28 Gorontalo PE Nilai Korelasi -0.881 -0.886 -0.835 -0.898 -0.816
Signifikansi 0.020 0.019 0.039 0.015 0.047
29 Sulawesi Barat PE Nilai Korelasi -0.805 -0.911 -0.718 -0.753 -0.835
Signifikansi 0.053 0.012 0.108 0.084 0.038
30 Maluku PE Nilai Korelasi -0.455 -0.262 -0.541 -0.536 -0.450
Signifikansi 0.364 0.617 0.268 0.273 0.370
31 Maluku Utara PE Nilai Korelasi -0.781 -0.863 -0.812 -0.762 -0.726
Signifikansi 0.066 0.027 0.050 0.078 0.102
32 Papua Barat PE Nilai Korelasi 0.198 0.121 0.299 0.180 0.194
Signifikansi 0.707 0.820 0.565 0.733 0.712
33 Papua PE Nilai Korelasi 0.836 0.763 0.846 0.825 0.761
Signifikansi 0.038 0.077 0.034 0.043 0.079
Sumber: Hasil Analisis Data dengan SPSS 16.0
Keterangan:
IPM : Indeks Pembangunan Manusia
LS : Rerata Lama Sekolah
AHH : Angka Harapan Hidup
HLS : Harapan Lama Sekolah
PENG : Pengeluaran Per Kapita Riil
: Signifikan
: Tidak Signifikan.
Hasil penelitian ini menunjukkan adanya ketidakpastian bahwa provinsi
yang memiliki status perekonomian (rumusan 1) baik yang ditandai dengan
adanya pertumbuhan ekonomi dan pendapatan per kapita tinggi belum
berhubungan erat dengan kesejahteraan masyarakat. Daerah Maju dan Cepat
Tumbuh belum menjamin adanya kesejahteraan masyarakat yang baik, seperti
pada provinsi Papua Barat. Perekonomian yang tumbuh cepat nyatanya belum
diimbangi dengan IPM yang tinggi dan cepat pertumbuhannya.
Dalam Era Globalisasi, perlu dicatat bahwa pembangunan sumber daya
manusia yang berkualitas merupakan langkah penting dalam mencapai
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
98
pembangunan berkelanjutan. Persaingan tidak saja antar daerah akan tetapi
dengan negara lain. Hasil perhitungan dengan menggunakan korelasi pearson
tersebut mengindikasikan bahwa perlunya perhatian yang serius terhadap
peningkatan kualitas sumber daya manusia (IPM) dan variabel pembentuk IPM,
sehingga kontribusinya akan berdampak baik dalam menentukan pertumbuhan
ekonomi daerah di masing-masing provinsi. Hal ini dapat dimaknai jika suatu
daerah pertumbuhan ekonominya ingin lebih baik, maka kualitas sumber daya
manusia (IPM) tersebut jangan diabaikan.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Elistia di 6 (enam) negara
pada tahun 2017. Interpretasi utama mengenai hasil perhitungan ini adalah, bahwa
selama Tahun 2011-2016 terdapat hubungan yang negatif antara pertumbuhan
ekonomi dengan kesejahteraan masyarakat yang ditunjukkan melalui IPM dan
variabel pembentuk IPM. Hubungan yang negatif ini berarti bahwa tujuan
pembangunan nasional belum tercapai dengan baik. Sasaran pembangunan tidak
hanya berhenti sampai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi saja seperti
yang selama ini dilakukan. Melainkan, pertumbuhan ekonomi yang berkualitas
dengan memperhitungkan pemerataan kesejahteraan masyarakat dan indikator
sosial lainnya.
Pandangan Dudley Seers (1973) yang mengatakan bahwa sasaran
pembangunan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk target ekonomi melainkan
juga tujuan sosial haruslah dipahami dan diterapkan di Indonesia, karena
berdasarkan hasil penelitian ini menunjukkan adanya pertumbuhan ekonomi yang
meningkat justru berhubungan negatif dengan kesejahteraan masyarakat. Padahal,
berdasarkan amanat UUD 1945 pemerintah seharusnya memberikan kesejahtaraan
yang nyata, artinya pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu
masyarakat adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan
Pancasila.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
1. SIMPULAN
Berdasarkan hasil pengolahan data dapat diambil kesimpulan penting
untuk menjawab permasalahan atau pertanyaan penetitian sebagai berikut:
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
99
Klasifikasi status perekonomian provinsi di Indonesia Tahun 2011-2016
menunjukkan bahwa sebagian besar berada pada daerah berkembang
cepat. Secara rata-rata selama Tahun 2011-2016 Provinsi pada kuadran I
(Daerah Maju dan Cepat Tumbuh) terdiri dari 3 Provinsi. Kuadran II
(Daerah Maju tetapi Tertekan). Kuadran III (Daerah Berkembang Cepat)
terdiri dari 18 Provinsi. Kuadran IV (Daerah Relatif Tertinggal) terjadi di 8
provinsi.
Perhitungan ketimpangan pendapatan dengan menggunakan Indeks Theil
menunjukkan bahwa perkembangan rata-rata disparitas di wilayah
Indonesia Tahun 2011-2016 cenderung menurun yang dikarenakan adanya
ketimpangan antar provinsi dan ketimpangan dalam wilayah (antar pulau)
yang semakin menurun. Ketimpangan tersebut lebih besar disebabkan oleh
ketimpangan antar provinsi dari pada ketimpangan dalam wilayah (antar
pulau).
Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dengan IPM, Angka Harapan Hidup,
Harapan Lama Sekolah memiliki korelasi sangat kuat. Hubungan Rerata
Lama Sekolah memiliki nilai korelasi kuat Sedangkan Hubungan
Pertumbuhan Ekonomi dengan Pengeluaran Per kapita Riil tidak signifikan
Korelasi bersifat negatif artinya peningkatan pertumbuhan ekonomi belum
sepenuhnya diikuti dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
2. REKOMENDASI
Berdasarkan kesimpulan penelitian yang telah peneliti kemukakan di
atas, Adapun saran yang mungkin bisa diterapkan antara lain:
1. Dalam rangka menjamin tujuan pembangunan yang tercapai di seluruh
wilayah, salah satu langkahnya yaitu dengan mendorong status
perekonomian di masing-masing provinsi. Langkah-langkah yang dapat
diambil oleh Pemerintah antara lain: (i) Pemerintah dapat memprioritaskan
pembangunan fasilitas di Daerah Relatif Tertinggal dan Daerah Maju
tetapi Tertekan agar investor tertarik untuk menanamkan modalnya,
sehingga daerah tersebut dapat tumbuh dengan optimal dan berhasil
mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi. (ii) Penetapan kebijakan
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
100
mengenai penanaman modal yang mudah di Daerah Relatif Tertinggal,
Daerah Berkembang Cepat, dan Daerah Maju Tetapi Tertekan. (iii)
Pemerintah sebaiknya memompa dan mengontrol laju pertumbuhan
ekonomi di masing-masing wilayah agar tidak lebih rendah dibandingkan
dengan laju pertumbuhan penduduknya.
2. Guna mengurangi permasalahan ketimpangan antar wilayah, Pemerintah
dapat menyelesaikan melalui penguatan sumber daya manusia dan
peningkatan infrastruktur di Luar Pulau Jawa
3. Sebaiknya Pemerintah tidak mengesampingkan pembangunan yang
bertujuan untuk menegakkan kesejahteraan, melalui peningkatan indikator
sosial pembangunan seperti IPM dan variabel pembentuknya. Hal ini
dikarenakan adanya Pertumbuhan Ekonomi yang tinggi belum menjamin
peningkatan kesejahteraan dan menurunkan kesenjangan antar wilayah
maupun antar penduduk. Selain itu, Pemerintah juga berkewajiban
memberikan kemudahan akses dan keadilan kepada seluruh penduduk atas
pelatihan, dan kegiatan yang dapat meningkatkan kemampuan dan IPM
sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat.
REFERENSI
Abdulrahman M, Muhidin S A, Somantri Ating. 2011. Dasar-dasar Metode
Statistika (untuk penelitian). Bandung: CV Pustaka Setia.
Anggraini RA, Muta‟ali L. 2013. Pola Hubungan Pertumbuhan Ekonomi dan
Pembangunan Manusia di Provinsi Jawa Timur Tahun 2007-2011. Jurnal
Bumi Indonesia. Vol 2 No 3 Tahun 2013.
Anonim. Pembangunan Nasional. Retrived by:
http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._PEND._LUAR_SEKOLAH/1952072
51978031-ACE_SURYADI/Risalah_16022006171006.pdf (diakses 12
oktober 2017)
Antika,Utari S. 2015. Ketimpangan Pendapatan Perkapita di Pulau Sumatera Tahun 2003-2013. Jom FEKON Vol. 2 No. 1 Februari 2015
Arsyad, Lincolin. 2010. Ekonomi Pembangunan. Edisi 5. Yogyakarta: UPP STIM
YKPN.
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
101
BPS. 2015. IPM metode baru. Retrived from: http://ipm.bps.go.id/page/ipm
(diakses 03 Januari 2018)
Badan Pusat Statistika . 2017. Statistik Indonesia 2017. Jakarta: CV. Dharmaputra
BPS. 2017. a. Distribusi Persentase Penduduk di Indonesia Menurut Provinsi
Tahun 2000 – 2015 https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/843
(di akses 12 Oktober 2017)
BPS. 2017. b. PDRB ADHK 2010 menurut provinsi. Retrived from:
https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/10/07/956/-seri-2010-produk-
domestik-regional-bruto-atas-dasar-harga-konstan-2010-menurut-provinsi-
2010-2016-miliar-rupiah-.html (di akses 17 Januari 2018)
BPS. 2017. c. Laju Pertumbuhan ADHK 2010 menurut provinsi. Retrived from:
https://www.bps.go.id/dynamictable/2015/10/07/961/-seri-2010-laju-
pertumbuhan-produk-domestik-regional-bruto-atas-dasar-harga-konstan-
2010-menurut-provinsi-2010-2016-persen-.html (di akses 17 Januari 2018)
BPS. 2017.d. Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (metode baru)
https://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/1211
BPS. 2017. e. Variabel Pembentuk IPM. Retrived from:
https://www.bps.go.id/subject/26/indeks-pembangunan-
manusia.html#subjekViewTab5 (Di akses 30 januari 2018).
DKN. 2017. Profil wilayah. Retrived from: https://dkn.go.id/ruang-
opini/9/jumlah-pulau-di-indonesia.html (di akses 04 Desember 2017)
Elistia. 2017. Kajian Hubungan dan Pengaruh Human Development Index
(HDI)Terhadap Gross Domestic Product (GDP) pada 6 (Enam) Negara
Anggota Asean pada Tahun 2010–2015. Jurnal Forum Ilmiah Volume
14Nomor2, Mei 2017
Fattah S, Rahman A. 2013. Analysis of Regional Economic Development in the
Regency/Municipality at South Sulawesi Province In Indonesia. Journal of
Economics and Sustainable Development. ISSN 2222-1700 (Paper) ISSN
2222-2855 (Online). Vol.4, No.1, 2013.
Faturochman Indikator Kualitas Hidup: retrived from:
http://fatur.staff.ugm.ac.id/file/KORAN%20-
%20Kualitas%20Hidup%20Sebagai%20Sasaran%20Pembangunan.pdf
(diakses 03 Januari 2018)
Gay, L, R 1987. Educational Research Competencies for Analysis and
Application. Ohio. Merrill Publishing Company.
Dinamika : Jurnal Ekonomi Pembangunan
Vol. 11 No. 1 Desember 2018, Hal: 1 - 103
102
Gorica, Klodina. Gumeni, Anita. 2013. Towards sustainable development:
Relationship between HDI and GDP per capita in Albania. International
Journal of Scientific & Engineering Research, Volume 4, Issue 12,
December-2013
Hukom, Alexandra. 2014. Hubungan Ketenagakerjaan Dan Perubahan Struktur
Ekonomi terhadap Kesejahteraan Masyarakat. jurnal ekonomi kuantitatif
terapan. Vol 7 no 2. 2014.
Jhingan. M L. 1996. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Karsinah, K.Putri P I. Rahayu K N. Panjiputri A F. 2016. The Profile of
Pekalongan as a Center of Economic Growth at Tangkalangka strategic
Areas. International Journal of Economics and Financial Issues ISSN:
2146-4138. Vol: 6 spesial issue (S6) 2016.hal 105- 109.
Kementrian Koordinator Perekonomian. 2011. Master Plan: Percepatan Dan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-2025. Jakarta:
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian.
Kuncoro, Mudrajat. 2002. Analisis Spasial dan Regional. Yogyakarta: UPP AMP
YKPN.
Kuncoro, Mudrajat. 2010. Dasar - dasar Ekonomika Pembangunan, Edisi kelima
UPP STIM YKPN Yogyakarta.
Kuncoro, Mudrajat. 2013. Indikator Ekonomi . Yogyakarta: UPP STIM YKPN.
Mahardiki, Dwi, Santoso RP. 2013. Analisis Perubahan ketimpangan Pendapatan
Pertumbuhan Ekonomi antar Propinsi di Indonesia 2006-2011. Journal of Economics and Policy6 (2) (2013): 103-213 ISSN 1979-715X.
Nugraheni, Dwi. 2010. Analisis Pertumbuhan Ekonomi di Kabupaten Sragen
Tahun 2004-2009 (Studi kasus di 20 Kecamatan Kabupaten Sragen). Tesis.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Putri, Ronar, R, N. 2015. Transformasi Struktural, Keunggulan Kompetitif,
Ketimpangan, dan Kinerja Pembangunan. Skripsi. Universitas Sebelas
Maret.
Santosa, Agus Budi. 2008. Kemampuan Inflasi Pada model Purchasing Power
Parity dalam Menjelaskan Nilai Tukar Rupiah Terhadap Dollar Amerika
Serikat. Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE), Maret 2008, Hal. 39 – 53 Vol 15
No 01. (diakses 02 Januari 2018.
Dinamika Perekonomian Wilayah di Indonesia Tahun 2011-2016
Vol. 11 No.1 Desember 2018 Hal: 72-103
103
Sinurat, Muhammad. 2016. Cianjur Regency Regional Economy Potential
Analysis. International Jaournal of Social science ISSN 2305-4557. 30
August 2016. Vol.45. No.1.
Siswanto K Y. 2016 Analisis Perubahan Struktur Ekonomi dan Pola
Hubungannya dengan Pembangunan Manusia di Kawasan
SUBOSUKOWONOSRATEN. Skripsi. Surakarta: Universitas Sebelas
Maret.
Soebyakto, Bashir, A. 2014. Analisis Tipologi dan Hubungan Antara Indeks
Pembangunan Manusia dan Pertumbuhan Ekonomi di Provinsi Sumatera
Selatan. Journal of Economic & Development. Juni 2015. Volume 13, No.1
hal: 21 - 36
Sukirno, Sadono. 1985. Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, dan Dasar
kebijaksanaan. Jakarta: Bima Grafika.
Sukirno, Sadono. 2006. Ekonomi Pembangunan:Proses, Masalah, dan Dasar
Kebijakan. Jakarta: Prenada Media Group.
Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi . Edisi Revisi.
Jakarta: PT Bumi Aksara.
Todaro M, Smith S. 2006. Pembangunan Ekonomi Edisi Kesembilan. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Republik Indonesia. 1978. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik
Indonesia Nomor : IV/MPR/1978 Tentang Garis-Garis Besar Haluan
Negara.