Download - Referat ACS Nafis
BAB I
PENDAHULUAN
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan keadaan darurat jantung dengan
manifestasi klinis rasa tidak enak di dada atau gejala lain sebagai akibat iskemia
miokardium. SKA terdiri atas angina pektoris tidak stabil, infact myocard acute (IMA)
yang disertai elevasi segmen St dan penderita dengan infark miokardium tanpa elevasi
ST.
SKA ditetapkan sebagai manifestasi klinis penyakit arteri koroner. Penyakit
jantung koroner (PJK) merupakan manifestasi utama proses aterosklerosis.
Yaitu suatu fase akut dari Angina Pektoris Tak Stabil (APTS) yang disertai IMA
gelombang Q (IMA-Q) dengan non ST elevasi (NSTEMI) atau tanpa gelombang Q
(IMA-TQ) dengan ST elevasi (STEMI) yang terjadi karena adanya trombosis akibat dari
ruptur plak aterosklerosis yang tak stabil (Vulnerable).
Sindrom ini menggambarkan suatu penyakit yang berat, dengan mortalitas tinggi.
Mortalitas tidak tergantung pada besarnya prosentase stenosis (plak) koroner, namun
lebih sering ditemukan pada penderita dengan plak kurang dari 50–70% yang tidak
stabil, yakni fibrous cap ‘dinding (punggung) plak’ yang tipis dan mudah erosi atau
ruptur. Terminologi sindrom koroner akut berkembang selama 10 tahun terakhir dan
telah digunakan secara luas. Hal ini berkaitan dengan patofisiologi secara umum yang
diketahui berhubungan dengan kebanyakan kasus angina tidak stabil dan infark miokard:
baik Angina tidak stabil, infark miokard tanpa gelombang Q, dan infark miokard
gelombang Q mempunyai substrat patogenik umum berupa lesi aterosklerosis pada arteri
koroner.
4
Terminologi yang akan sering dipakai pada penderita Angina Pectoris adalah
perasaan “berat”, “sesak”, “ditekan”, “didorong” atau “diremas”. Angina Pectoris yang
khas biasanya akan terasa di tengah dada/belakang sternum (retrosternal) dan akan
menjalar ke dagu dan/atau ke lengan. Angina bisa rasanya dari nyeri ringan sampai ke
paling nyeri dan timbul keringatan dingin dan perasaan cemas. Kadang kala akan berserta
dengan sesak nafas.
Gambar 1. Angina Pektoris pada SKA
Angina sering dipicu dengan aktivitas fisik terutama setelah makan dan pada
cuaca yang dingin, dan kebanyakan dicetus oleh perasaan marah atau gembira. Nyeri
akan hilang cepat (biasanya berapa menit) dengan istirahat. Kadang kala perasaan itu
akan hilang sendiri dengan teruskan aktivitas.
Istilah ACS banyak digunakan saat ini untuk menggambarkan kejadian yang
gawat pada pembuluh darah koroner. ACS merupakan satu sindrom yang terdiri dari
beberapa penyakit koroner yaitu, unstable angina, Acute Myocardial Infarction dengan
5
segmen ST elevasi (STEMI) dan Acute Myocardial Infarction tanpa segmen ST elevasi
(NSTEMI), maupun angina pektoris pasca infark atau pasca tindakan intervensi koroner
perkutan. Alasan rasional menyatukan semua penyakit itu dalam satu sindrom adalah
karena mekanisme patofisiologi yang sama. Semua disebabkan oleh terlepasnya plak
yang merangsang terjadinya agregasi trombosit dan trombosis, sehingga pada akhirnya
akan menimbulkan stenosis atau oklusi pada arteri koroner dengan atau tanpa emboli.
Sedangkan letak perbedaan antara angina tak stabil, infark Non-elevasi ST dan dengan
elevasi ST adalah dari jenis thrombus yang menyertainya. Angina tak stabil dengan
trombus mural, Non-elevasi ST dengan thrombus inkomplet/nonklusif, sedangkan pada
elevasi ST adalah trombus komplet/oklusif.
Proses terjadinya thrombus dimulai dengan gangguan pada salah satu dari Trias
Virchow; kelainan pada pembuluh darah, gangguan endotel, serta aliran darah terganggu.
Selanjutnya proses aterosklerosis mulai berlaku, inflamasi, dan formasi plak di pembuluh
darah. Pada suatu saat, terjadi rupture/fissure pada plak dan akhirnya menimbulkan
thrombus yang akan menghambat pembuluh darah. Apabila pembuluh darah tersumbat
100% maka terjadi STEMI. Namun bila sumbatan tidak total, tidak terjadi infark, hanya
UA atau NSTEMI.
6
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI ACS
Acute Coronary Syndrome (ACS) adalah suatu istilah yang digunakan untuk
memggambarkan spectrum keadaan atau kumpulan gejala penyakit yang meliput
Unstable Angina (UA), Non-ST elevasi Myocardium Infarction (NSTEMI) dan ST-
elevasi Myocardium Infarction (STEMI). UA dan NSTEMI mempunyai pathogenesis
dan presentasi klinik yang sama, hanya beda dalam derajatnya. Bila ditemukan
peningkatan enzim-enzim jantung, maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila
enzim-enzim jantung tidak meninggi, maka diagnosis adalah UA.
Bagan 1. Pembagian SKA
Pada UA dan NSTEMI, pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total
sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, thrombisis dan
vasokonstriksi. Penentuan Troponin I/T adalah ciri paling sensitive dan specific untuk
nekrosis miosit dan penentuan pathogenesis dan alur pengobatan.UA dan NSTEMI
merupakan ACS yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen
miokardium.
7
Sindrom Koroner Akut (SKA)
Unstable Angina
STEMI
UNSTEMI
Penyebab utama ACS adalah stenosis koroner akibat thrombus pada plak
ateroscklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau rupture dan menyumbat pada
pumbuluh darah yang sudah mengalami penyempitan oleh aterosklerosis. UA dan
NSTEMI adalah bagian dari sindrom koroner akut kontinum, di mana plak pecah dan
terbentuk thrombosis koroner aliran darah ke daerah miokardium. UA dan NSTEMI juga
disebutkan sindrom koroner akut non-ST elevasi. Untuk membedakan mereka dari
STEMI, pemakaian EKG dibutuhkan. Dalam UA dan NSTEMI, tidak ditemukan ST
Elevasi dan gelombang Q patologis pada EKG, pada pasien dengan STEMI, alasan
mengapa ST elevasi dan gelombang Q patologis ditemukan, kerana ada hubungan
iskemic dari miokardium. Durasi oklusi, sejauh mana daerah infark menjaga
kelangsungan hidup selama oklusi, serta letak pembuluh darah yang menentukan infark
ada hubungan dengan munculnya ST elevasi dan gelombang Q.
B. EPIDEMIOLOGI
The American Heart Association memperkirakan lebih dari 6 juta penduduk
Amerika menderita penyakit jantung koroner dan lebih dari 1 juta orang yang
diperkirakan mengalami serangan infark miokardium setiap tahun. Kejadiannya lebih
cenderung pada pria dengan umur antara 45 – 65 tahun, dan di atas 65 tahun, pria dan
wanita menpunyai risiko yang sama. Sampai hari ini, penyakit jantung koroner
merupakan penyebab kematian utama di dunia.
Di Indonesia data lengkap penyakit jantung koroner belum ada. Pada survei
kesehatan rumah tangga (SKRT) tahun 1992, kematian akibat penyakit kardiovaskuler
menempati urutan pertama (16%) untuk umur di atas 40 tahun. SKRT pada tahun 1995 di
Pulau Jawa dan Pulau Bali didapatkan kematian akibat penyakit kardiovaskuler tetap
menempati urutan pertama dan persentasenya semakin meningkat (25%) dibandingkan
8
dengan SKRT tahun 1992. Di Makassar, didasari data yang dikumpulkan oleh Alkatiri7
di empat rumah sakit (RS) selama 5 tahun (1985 sampai 1989), ternyata penyakit
kardiovaskuler menempati urutan ke 5 sampai 6 dengan persentase berkisar antara 7,5
sampai 8,6%.
Penyakit jantung koroner terus-menerus menempati urutan pertama di antara
jenis penyakit jantung lainnya. dan angka kesakitannya berkisar antara 30 sampai 36,1%.
Diagnosis NSTEMI lebih sulit untuk ditegakkan dibanding diagnosis STEMI. Oleh
karena itu perkiraan prevalensinya menjadi lebih sulit. Secara keseluruhan, data
menunjukkan bahwa kejadian NSTEMI dan UA tahunan lebih tinggi daripada STEMI.
Perbandingan antara SKA dan NSTEMI telah berubah seiring waktu, karena laju
peningkatan NSTEMI dan UA relatif terhadap STEMI tanpa penjelasan yang jelas
mengenai perubahan ini. Perubahan dalam pola kejadian NSTEMI dan UA mungkin
dapat dihubungkan dengan perubahan dalam manajemen serta upaya pencegahan
penyakit jantung koroner selama 20 tahun terakhir. Secara keseluruhan, dari berbagai
penelitian, didapatkan bahwa kejadian tahunan dari penerimaan rumah sakit untuk
NSTEMI dan UA sekitar 3 per 1000 penduduk. Hingga saat ini, tidak ada perkiraan yang
jelas untuk Eropa secara keseluruhan, karena tidak adanya statistik kesehatan umum yang
terpusat.
C. PATOGENESIS
Lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan mengalami kerusakan
oleh adanya faktor risiko antara lain:
1. Faktor hemodinamik seperti hipertensi,
2. Zat – zat vasokonstriktor,
3. Mediator (sitokin) dari sel darah,
9
4. Zsap rokok,
5. Diet aterogenik,
6. Peningkatan kadar gula darah,
7. dan oxidasi dari LDL – C.
Di antara faktor – faktor risiko penyakit jantung koroner (lihat Tabel 1 di bawah),
diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok, dan kepribadian
merupakan faktor – faktor penting yang mesti diketahui.
Proses ACS mulai dengan proses aterosklerosis koroner. Proses aterosklerosis
koroner adalah suatu proses inflammasi yang kompleks dengan karakter – karakter
berikut:
- akumulasi lipid, makrophag dan sel otot polos di plak intima di dalam arteri
koroner yang berukuran besar dan medium.
- Endothelium vascular memainkan peranan yang kritikal dalam
mempertahankan integritas vascular dan hemeostasis.
10
- Stress mechanis dari hipertensi, abnormalitas biokim dari dislipidemia,
diabetes mellitus dan elevasi homosistein di plasma, immunologis dari radikal
bebas di rokok, inflammasi dari infeksi dan alterasi genetik dapat
berkontribusi pada inisiasi kelukaan atau disfungsi endotel, yang
dipercayakan akan mempacukan atherogenesis.
Kerusakan ini menyebabkan sel endotel menghasilkan cell adhesion molecule
seperti : Sitokin (IL-1), Tumor Nekrosis Factor alfa, (TNF-α), Kemokin dan Growth
Factor. Sel inflamasi seperti Monosit dan T-Limfosit masuk ke permukaan endotel dan
migrasi dari endothelium ke sub endotel. Monosit kemudian berdiferensiasi menjadi
makrofag dan mengambil LDL teroksidasi yang bersifat lebih aterogenik dibanding LDL.
Makrofag ini kemudian membantu sel busa.
LDL teroksidasi menyebabkan kematian sel endotel dan menghasilkan respons
inflamasi. Sebagai tambahan, terjadi respons dari angiotensin II, yang menyebabkan
gangguan vasodilatasi, dan mencetuskan efek protrombik dengan melibatkan platelet dan
faktor koagulasi.
Akibat keruskan endotel terjadi respons protektif dan terbentuk lesi fibrofatty dan
fibrous, plak aterosklerosik, yang dipicu oleh inflamasi. Plak yang terjadi dapat menjadi
tidak stabil (vulnerable) dan mengalami rupture sehingga terjadi Acute Coronery
Sndrome (ACS)
D. DIAGNOSIS
Diagnosis ACS dapat diitegakkan dengan riwayat dan gejala, namun bisa juga
dengan bantuan EKG dan pemeriksaan laboratorium. Langkah pertama dalam
pengelolaan ACS ialah penetapan diagnosis pasti.
11
Diagnosis yang tepat amat penting, karana bila diagnosis ACS telah dibuat di
dalamnya terkandung pengertian bahwa penderitanya mempunyai kemungkinan akan
dapat mengalami infark jantung atau kematian mendadak. Diagnosis yang salah sering
menpunyai konsekuensi buruk terhadap kuaitas hidup penderita. Pada orang – orang
muda, pembatasan kegiatan jasmami yang tidak pada tempatnya mungkin akan
dinasihatkan. Bila hal ini terjadi pada orang – orang tua, maka mereka mungkin harus
mengalami pensium yang terlalu dini, harus berulang kali dirawat di rumah sakit secara
berlebihan atau harus makan obat – obatan yang potensial toksin untuk jangka waktu
lama. Di pihak lain, konsekuensis fatal dapat terjadi bila adanya penyakit jantung koroner
yang tidak diketahui atau bila adanya penyakit-penyakit jantung lain yang menyebabkan
angina pectoris terlewat dan tidak terdeteksi.
Cara – cara diagnostic yang dipakaikan ada di table 2, tapi yang harus dokter
lakukan buat diagnosis ACS adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dengan
mempunyai anamnesis dan pemeriksaan fisik yang bener dan lengkap, sudah cukup
mengarahkan kita ke arah ACS.
Tabel 2. Cara – Cara Diagnositik
1. Anamnesis
2. Pemeriksaan Fisik
3. Laboratium
4. Foto Dada
5. Pemeriksaan Jantung Non – Invasif
- EKG istirehat
- Uji Latihan Jasmani (treadmill)
- Uji latih Jasmani Kombinasi Pencitraan:
12
- Uji Latih Ekokardiagrafi (Stress Eko)
- Uji Latih Jasmani Scintigrafi Perfusi Miokard
- Uji Latih Jasmani Farmakologik Kombinasi Teknik Imaging
- Ekokardiografi Istirehat
- Monitoring EKG ambulatory
- Teknik non invasif penentuan klasifikasi koroner dan anatomi koroner :
- computed tomography
- Magnetic resonance arteriography
6. Pemerikasaan invasive menentukan anatomi koroner
- arteriografi koroner
- ultrasound intravascular (IVUS)
Setiap pasien dengan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis yang teliti, penentuan
faktor risiko, pemeriksaan jasmani dan EKG. Pada pasien dengan gejala angina pectoris
ringan,cukup dilakukan pemeriksaan non-invasif. Bila pasien dengan keluhan yang berat
dan kemungkinan diperlukan tindakan revaskularisasi, maka tindakan angiografi sudah
merupakan indikasi.
Pada keadaan yang meragukan dapat melakukan Treadmill test. Treadmill test
lebih sensitive dan specific dibandingkan dengan EKG isitrahat dan merupakan tes
pilihan untuk mendeteksi pasien yang kemungkinan Angina Pectoris dan pemeriksaan ini
sarannya yang mudah dan biayanya terjangkau.
Pemeriksaan alternatif lain yang dapat dilakukan adalah ekokardiografi dan
teknik non – invasive penentuan kalsifikasi koroner dan anatomi koroner, Computed
Tomography, Magnetic Resonance Arteriography, dengan sensifitas dan specifitas yang
lebih tinggi.
13
Dari anamnesis kita harus menanyakan beberapa soalan yang mengarahkan kita
ke ACS. Pertanyaan seperti berikut :
a. Sakit dada berterusan berapa lama?
b. Ada 15 menit? atau lebih lama?
c. Sakit dada di sebelah mana? Sila ditunjukkan!
d. Sakit itu rasa seperti apa? Terbakar? Tertekan? Ditindih?
e. Sakit waktu lakukan apa? Aktivitas? Apakah waktu istirahat?
f. Apakah sakit itu dengan rasa sesak? Lemas?
g. Apakah rasa sakit itu radiasi ke tangan kiri?
h. Apakah rasa sakit itu terasosiasi dengan keringatan dingin?
i. Sakit itu membaik dengan istirehat?
j. Apakah pasien perokok? Konsumsi alcohol?
k. Apakah pasien punya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dislipidemia?
l. Dalam keluarga ada yang mempunyai riwayat penyakit jantung? Stroke? Mati
mendadak?
Dari pemeriksaan fisik, kita harus mempunyai tanda-tanda yang harus kita curiga
ke arah ACS. Tanda – tanda seperti berikut :
1. Tachycardia > 100x/min
2. Tachypnea >24/min.
3. Tampak Cemas
4. Tekanan Darah tinggi > 140/90 atau rendah <100/70.
5. Pulsasi arrhythmia.
6. Kedengaran murmur mungkin adalah komplikasi dari ACS.
14
Diteruskan dengan pemeriksaan penunjang seperti EKG istirahat dan
pemeriksaan darah; periksa darah rutin dan enzim jantung (CK, CK-MB, Troponin T dan
Troponin I). Pasien dengan STEMI dan NSTEMI akan kita lihat kelainan di EKG seperti
ST elevasi, ST depresi, Tall T wave, T inversi. UA tiada kelainan di EKG, karana di
thrombus itu menyumbat tidak total dan tidak lama di arteri koroner dan tidak akan
menyebabkan perubahan di EKG. Pemeriksaan darah rutin dibutuhkan karana dari
keputusannya akan mengarahkan apakah pasien ini anemis dan apakah pasien ini ada
infeksi. Pemeriksaan enzim jantung juga mengarahkan kita ke ACS, di keadaan fisiologis
enzim jantung Troponin I dan T tidak akan meningkat, tapi enzim CK dan CK-MB akan
meningkat jika melakukan aktivitas yang berat, kerusakan otot-otot atau mengalami
febris yang tinggi. Pemeriksaan Enzim dapat membedakan antara NSTEMI dan Unstable
Angina.
E. TATA LAKSANA
Sekiranya pasien sudah mempunyai tanda-tanda ACS, kita harus segera bertindak
supaya tidak menyebabkan konsekuensi yang lebih parah. Penatalaksanaan dapat
menggunakan akrronim MONACO. Dapat dimulai dengan memberikan oksigen 4L/mnt,
Aspirin 300mg, Clopidogrel 300mg, Nitroglycerin 0.6mg SL ulang setiap 5 minute
sebanyak tiga kali, jika pasien mengeluhkan nyeri dada yang berat sekali, morphine IV
0.5mg/ml sebanyak 5 ml dimasukin. Seterusnya, EKG harus dipantau dan mengetahui
apakah ini UA, NSTEMI atau STEMI. Jika pasien mengalami UA, kita harus
memastikan dengan pemeriksaan enzim jantung, dan melanjutkan ke arah edukasi dan
terapi rawat jalan. Jika pasien mengalami STEMI/ NSTEMI, kita harus memikirkan
apakah rencana reperfusi dengan Percutaneus Coronary Intervention (PCI) boleh
15
dilakukan apa tidak? Jika tidak boleh, kita harus rencanakan fibrinolysis. Di gambar
bawah (gambar 1) adalah algorithm penalaksaan ACS di Instalasi Gawat Darurat.
F. PENGOBATAN
Tujuan pengobatan pada ACS adalah untuk memperbaiki prognosis dengan cara
mencegah infark miokard dan kematian. Upaya yang dilakukan adalah bagaimana
mengurangi terjadinya thrombotic akut dan disfungsi ventrikel kiri. Tujuan ini dapat
dicapai dengan modifikasi gaya hidup ataupun intervensi farmakologik yang akan
(i) mengurang progresif plak
(ii) menstabilkan plak, dengan mengurangi inflamasi dan memperbaiki fungsi
endotel, dan akhirnya,
(iii) mencegah thrombosis bila terjadi disfungsi endotel atau pecahnya plak.
Selain itu, obat juga dipakai untuk memperbaiki simtom dan iskemi yaitu
nitrat kerja jangka pendek dan jangka panjang, Beta – Blocker, CCB.
Kepada pasien yang menderita ACS maupun keluarganya perlu kita terangkan
tentang perjalanan penyakit, pilihan obat yang tersedia. Pasien harus diyakinkan bahwa
kebanyakan kasus angina dapat mengalami perbaikan dengan pengobatan dan modifikasi
gaya hidup sehingga kualitas hidup lebih baik. Kelainan penyerta seperti hipertensi,
diabetes mellitus, dislipidemia, dll, perlu ditangani secara baik.
Cara pengobatan ACS yaitu,
(i) pengobatan farmakologis,
(ii) revaskularisasi miokard. Perlu diingat bahwa tidak satu pun cara di atas
sifatnya menyembuhkan. Dengan kata lain tetap diperlukan modifikasi
gaya hidup dan mengatasi factor-factor risiko.
16
Di pengobatan farmakologik, ada banyak jenis obat yang boleh dipakai dan ada
tertentu yang sering dipakaikan dan akan dibahaskan nanti. Yang pertama adalah Aspirin
dosis rendah, dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan
obat utama untuk mencegahan thrombosis. Meta-analysis menunjukkan bahwa dosis 75 –
150 mg sama efektivitasna dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu
aspirin disarankan diberi pada semua pasien ACS kecuali ditemukan kontraindikasi.
Selain itu, efek samping seperti iritasi gastrointestinal dan perdarahan, alergi harus
diperhatiin. Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih minimal dibandingkan
Aspirin. Selain itu, Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis
ADP dan menghambat agregasi Thrombosit. Clopidogrel lebih diindikasikan pada
penderita dengan resistensi atau intoleransi terhadap Aspirin. AHA/ACC guidelines
update 2007 memasukkan kombinasi Aspirin dan Clopidogrel pada pasien dengan ACS
menunjukkan lebih rendah mortality rate.
Obat penurun kolesterol juga dipakai di pasien ACS, pengobatan dengan statin
digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi primer maupun pervensi
sekunder. Berbagai studi membuktikan bahwa statin dapat menurunkan komplikasi
sebesar 39%. Selain menurunkan kolesterol, statin juga mempunyai mekanisme lain yang
dapat berperan sebagai anti inflamasi, anti thrombotic dll (pleiotropic effect). Target
penurunan LDL kolesterol adalah < 100mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, Diabetes
Mellitus, penderita penyakit jantung koroner dianjurkan menurunkan LDL kolesterol <
70mg/dl.
17
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan SKA
18
Pengunaan Angiotensin Converter Enzyme – Inhibitor (ACEI)/ Aldosterone
Receptor Blocker (ARB) sebagai kardioproteksi untuk prevensi infark sekunder pada
pasien dengan penyakit jantung koroner telah dibuktikan dari studi.
Nitrat pada umumnya disarankan pada pasien ACS karena nitrat memiliki efek
venodilator sehingga preload miokard dan afterload ventrikel kiri dapat menurun
sehingga dengan demikian konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga
melebarkan pembuluh darah normal dan yang mengalami aterosklerotik, menaikkan
aliran darah kolateral dan menghambat agregasi thombosit. Bila serangan Angina tidak
respons dengan Nitrat jangka pendek seperti Nitroglycerin, maka harus diwaspadai
adanya STEMI. Efek samping dari obat ini adalah sakit kepala dan flushing.
β blocker juga merupakan obat standar yang diberikan pada pasien ACS, β
blocker menghambat efek katekolamin pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat
menyebabkan penurunan konsumsi oksigen miokardium. Pemberian β blocker dilakukan
dengan target denyut jantung sekitar 60 kali per menit. Kontraindikasi terpenting
pemberian β blocker adalah riwayat asma bronchial serta disfungsi ventrikel kiri akut.
Kalsium channel blocker juga diberikan, dia mempunyai efek vasodilatasi.
Kalsium channel blocker dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat
nitrat atau β blocker; terutama pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan
β blocker. Kalsium channel blocker tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi
ventrikel kiri atau gangguan konduksi atrioventrikel.
Selain obat di atas, obat anticoagulant juga dipakai untuk coba membuka
pembuluh darah yang teroklusi. Unfractionated Heparin (UFH) adalah obat yang memicu
aktivitas antithrombin III dan mencegah converse fibrinogen ke fibrin. Obat ini tidak
melysiskan thrombusnya tapi mencegeh lanjutan thrombogenesis. Selain UFH, terdapat
Low Molecular Weight Heparins (LMWH) yang dapat dipakai juga. LMWH adalah
19
indikasi untuk terapi STEMI dan adalah prophylaksis pada UA dan NSTEMI. LMWH
ada kelebihan dari UFH, karena LMWH tidak harus dimonitor International Normalized
Ratio (INR). Di UFH harus melakukan INR berterusan supaya tidak sampai tahap yang
mungkinkan perdarahan.
Setelah obat farmakologi, sekarang masuk ke revaskularisasi miokard. Ada dua
cara revaskularisasi yang telah terbukti baik pada ACS stabil yang disebabkan
aterosklerotik koroner yaitu tindakan revaskularisasi pembedahan, bedah pintas koroner
(coronary artery bypass graft = CABG) dan tindakan intervensi perkutan (percutaneous
coronary intervention = PCI). Akhir – akhir ini kedua cara tersebut telah mengalami
kemajuan pesat yaitu diperkenalkannya tindakan, off pump surgery dengan invasive
minimal dan drug eluting stent (DES). Revaskularisai dengan 1 tujuan adalah
meningkatkan survival ataupun mencegah infark ataupun menghilangkan gejala.
Secara umum, pasien yang memiliki indikasi untuk dilakukan arteriography
koroner dan tindakan kateterisasi menunjukkan penyempitan arteri koroner adalah
kandidat yang potensial untuk dilakukan ravaskularisasi miokard. selain itu, tindakaan
revaskularisasi dilakukan pada pasien jika; 1. Pengobatan tidak berhasil mengontrol
keluhan pasien 2. Hasil uji non-invasif menunjukan adanya risiko miokard 3. Dijumpai
risiko tinggi untuk kejadian dan kematian 4. Pasien lebih memiilihkan tindakan
intervensi disbanding dengan pengobatan biasa dan sepenuhnya mengerti akan risiko dari
pengobatan yang diberikan kepada mereka.
Dari gambar 1, menunjukkan goal reperfusi adalah PCI atau terapi thrombolitic,
jika PCI tidak dapat diakses dalam jangka waktu 90 menit, terapi thrombolitic
disarankan. Thrombolitic terapi dapat menurunkan mortalitas dan kurangkan saiz infark
di patient dengan STEMI. Terapi ini dilakukan dalam 3 jam pertama dari angina berlaku
dan dapat menurunkan 50% mortalitas pada pasien ACS.
20
Penderita penyakit jantung koroner akan kita mengevaluasikan risiko mortalitas,
ACS yang baru atau recurrent atau butuh revascularisasi yang darurat. Setiap pasien
dating dengan diagnosis ACS harus dilakukan score ini, namanya TIMI Risk Score di
table 2 dan 3 di bawah.
Table 2. TIMI score di UA dan NSTEMI
21
Table 3. TIMI Score di STEMI
G. KOMPLIKASI
Banyak komplikasi akan berlaku jika ACS tidak ditanganin dengan segera dan
membiarin proses iskemic berterusan. Yang paling sering kelihat di pasien ACS adalah
congestive heart failure (CHF). CHF post STEMI adalah suatu feature prognostic yang
buruk dan membutuhkan terapi obat supaya mortalitas rate diturunkan. Klasifikasi
Killip digunakan untuk assess pasien yang CHF post STEMI. 1) Killip 1 – tiada ronchi
22
dan tiada suara jantung ke-3. 2) Killip 2 – ronchi di < 50% paru – paru atau ada suara
jantung ke – 3. 3) Killip 3 – ronchi > 50% paru – paru. 4) Killip 4 – Syok Cardiogenic.
Untuk penderita CHF yang ringan biasanya akan respon terhadap Intravenous
Furosemide 40-80mg dan Nitroglycerin administrasi kalau tekanan darah dalam batas
normal. Oksigen adalah mandatory dan regular tahap oksigen monitor. ACE-I boleh
diberikan dalam < 24-48 jam jika tekanan darah dalam batas normal. Penderita dengan
CHF yang berat butuh melakukan Swan-Ganz katetherisasi untuk memeriksa tekanan
pulmonary. Intravenous inotropic seperti dopamine dan dobutamine dibutuhkan pada
penderita CHF yang berat. Jika pasien menderita syok kardiogenic, revaskularisasi
dan/atau intra-aortic ballon pump insersi dibutuhkan.
Selain gagal jantung, penderita juga mungkin mengalami rupture miokardium dan
dilatasi aneurism. Ruptur di dinding ventrikel kiri biasanya adalah tanda – tanda awal dan
yang fatal. Penderita akan mengalami kollaps haemodynamic dan mengikuti cardiac
arrest. Ruptur subakut masih boleh lakukan pericardiocentesis dan pembaikan ruptur
dengan operasi. Dilatasi aneurism pada miokardium yang infark adalah komplikasi yang
lambat dan butuhkan operasi.
Ventricular Septal Defect juga mungkin berlaku pada 1 – 2% pasien STEMI dan
biasanya disebabkan keterlambatan dan gagal fibrinolisis. Mortalitasnya sangat tinggi
dengan tanpa operasi langsung, mortalitas akan mencapai 92%. Mitral regurgitasi
mungkin berlaku pada pasien STEMI juga. Sever mitral regurgitasi mungkin berlaku
pada awal proses STEMI. Tiga mechanism mungkin menyebabkan mitral regurgitasi di
STEMI, dengan bantuan Transoesophageal Echocardiogram (TOE) akan konfirmasikan
causanya, 1) disfungsi ventricular kiri yang sever dan dilatasi menyebabkan annular
dilatasi pada katup dan menyebabkan regugitasi. 2) miokardium infark di dinding inferior
yang menyebabkan disfungsi otot papillary yang control buka dan tutup katupnya. 3)
23
miokardium infark pada otot papilari dan menyebabkan akut sever oedem pulmo dan
syok kardiogenic.
Irama jantung juga akan terganggu pada penderita ACS. Ventrikular takikardi dan
ventricular fibrilasi adalah gejala yang sering ketemu di pasien STEMI terutama dengan
reperfusi. Ventrikular takikardi harus di terapi dengan Intravenous Beta – blockers,
lidocain atau amiodarone. Kalau pasien adalah hipotensi, synchronized kardioversi
dilakukan, dan memastikan kalium adalah di atas 4.5 mmol/L. Refractori ventricular
takikardi atau fibrilasi akan ada respon terhadap magnesium 8 mmol/L dalam 15 menit
IV. Atrial fibrillasi sering ketemu juga dan diterapikan beta – blocker atau digoxin.
Bradyarrthimia boleh diterapi dengan IV Atripine 0.5mg dan diulangkan 6 kali dalam 4
jam. Kadang kala, gangguan konduksi aliran listrik jantung juga mungkin berlaku. AV
blok adalah yang paling sering ketemu pada AMI, terutama kalau adalah dinding inferior
yang infark, karena arteri koroner yang kanan supply ke SA dan AV node. Gangguan
konduksi boleh temporary dan permenant. Jika temporary, hanya dilakukan Atropine
atau pacemaker yang temporary. Tapi kalau adalah permanent, pacemaker yang
permanent dibutuhkan.
H. PENCEGAHAN
Tidak ada motto yang boleh mengganti ini, “Mencegah lebih baik daripada
mengobati”. Ini berlaku untuk siapapun, terlebih pada orang yang mempunyai factor
risiko yang tinggi. Prioritas pencegahan terutama dilakukan pada pasien dengan penyakit
jantung koroner, penyakit arteri periferi dan ateroscklerosis cerebrovascular. Selain itu,
pasien yang tanpa gejala tapi mempunyai risiko tinggi karena banyak factor risiko dan
besarnya risiko dalam 10 tahun bakal dapat penyakit kardiovascular yang fatal.
Peningkatan salah satu komponen factor risiko seperti cholesterol > 320mg/dl, LDL >
24
240 mg/dl, tekanan darah > 180/110mmhg dan pasien diabetes tipe2 dan tipe 1 dengan
mikroalbuminuria. Riwayat keluarga dekat pasien yang mempunyai penyakit
kardiovaskular aterosklerotik atau riwayat mati mendadak. Semua yang diatas adalah
factor – factor risiko yang menyebabkan penyakit jantung koroner yang memungkin pada
pasien.
Jadi kita sebagai pelayan medis, harus mencarikan factor risiko yang ada pada
pasien dan membantu pasien mencegahkan factor risiko tersebut dengan cara
nonfarmakologik dan farmakologik. ACC/AHA merekomendasikan petunjuk untuk
untuk pencegahan penyakit kardiovaskular yang ditentukan dari factor risiko yang ada, di
bawah table 4.
Table 4. Panduan pencegahan primer penyakit kardiovaskular dan stroke
berdasarkan factor risko.
Selain daripada yang diatas, terdapat prevensi sekunder pada individu yang
terbukti menderita penyakit jantung koroner adalah upaya untuk mencegah agak ACS itu
tidak berulang lagi. Prevensi sekunder itu sangat diperlukan pada individu yang pernah
atau sudah terbukti menderita ACS, cenderung untuk mendapat sakit jantung lagi, dan
25
orang yang belum pernah sakit jantung tapi mempunyai kemungkinanya yang besar.
Selain itu, individu yang mempunyai proses aterosklerosis pada pembuluh darah organ
lain seperti di otak, aorta atau arteri karotis, arteri perifer dll. Oleh sebab itu, pervensi
sekunder itu penting supaya tidak menyebabkan ACS nanti. Tabel 5 di bawah adalah
intervensi – intervensi yang harus dilakukan pada penderita atau bakal penderita ACS
supaya ACS tidak berlaku.
Tabel 5. Intervensi Faktor risiko.
Faktor risiko dan Perubahan yang diharapkan
Merokok:
berhenti total. Tidak terpapar pada lingkungan perokok.
Kontrol tekanan darah :
Tujuan TD < 140/90 mmHg; <130/80 mmHg pada gangguan gingal atau gagal jantung dan
diabetes.
Diet :
Tujuan : mengkonsumsi makanan yang menyehatkan
Pemberian Aspirin :
Tujuan: Aspirin dosis rendah pada penderita dengan risiko tinggi kardiovaskular
Pengaturan Lipid di Dalam tubuh:
tujuan : LDL – C < 160 mg/dl jika factor risiko ≤ 1, LDL < 130 mg/dl jika memiliki ≥ 2 faktor
risiko dan risiko CHD 20%, atau LDL – C < 100 mg/dl untuk factor risiko ≥ 2 faktor risiko
dimiliki dan memiliki 10% risiko CHD ≥20% atau jika pasien juga terkena diabetes.
Aktivitas fizik :
Tujuan : aktivatas fizik minimal 30 menit atau aktivitas fizik dengan intensitas sedang setiap
hari dalam 1 minggu.
Pengaturan Berat Badan
Tujuan : mencapai dan mempertahankan berat (BMI 18.5 – 24.9 kg/m2) Bila BMI ≥ 25 kg/m -2, lingkar pinggang ≤ 40 inci pada pria dan ≤ 35 inci pada wanita
Pengeloaan Diabetes
Tujuan : KGD puasa (< 110 mg/dl) dan HBA1c (<7%)
Atrial Fibrilasi Kronik
Tujuan : mencapai sinus ritme atau jika muncul atrial fibrilasi kronik, antikoagulan dengan
INR 2.0 – 3.0 ( target : 2.5)
26
Pada pasien yang post AMI harusnya diberikan terapi farmakologic supaya
moralitas dan rekurrensi boleh diturunkan. Jadi, menurut AHA/ACC, pasien post AMI
harus menggunakan Aspirin 75 – 100 mg/day, Beta Blocker supaya denyutan nadi < 60
b.pm. eg. Metoprolol 50 mg 2 kali sehari, ACE – I, eg. Ramipril 2.5mg 2 kali sehari dan
mentitrasi sampai dosis yang diinginkan, jika ACE – I tidak ditoleransi oleh pasien,
diganti dengan ARB, eg Valsartan 20mg 2 kali sehari. Statin juga digunakan seperti
simvastatin 20-80 mg/hari. Clopidogrel 75mg/hari for 9 – 12 bulan harus ditambahin
pada pasien yang berisiko sedang – tinggi dan NSTEMI. Aldosterone antagonist eg.
Eplerenone 25mg/hari harus diberikan pada pasien post AMI dengan gejala klinis gagal
jantung dan ejeksi fraction berkurang.
27
BAB III
KESIMPULAN
ACS adalah penyakit yang gawat dan harus diidentifikasi dan ditangain dengan
cepat supaya komplikasi yang lebih parah tidak terjadi. Pada fase awal, ACS itu masih
reversible, tapi bila sudah fase lebih lama, infark tidak dapat dikembali ke otot jantung
yang normal. Otot jantung tidak dapat pulih dengan sendirinya. Selain itu, faktor – faktor
resiko ACS seperti diabetes mellitus, hipertensi, dislipidemia, obesitas, merokok dll
dapat menyebabkan lapisan endotel pembuluh darah koroner yang normal akan
mengalami kerusakan sehingga terbentuknya plak pada pembuluh darah koroner dan
menyempitnya lumen arteri koroner, dan mengurangi aliran darah/iskemia miokard. Bila
plak aterosklerotik mengalami rupture akan menyebabkan ACS. Walaupun cara – cara
diagnosis ACS bermacam – macam, setiap dokter harus mengetahui kemampuan dan
keterbatasan masing – masing cara tersebut. Untuk membuat suatu diagnosis yang
menyeluruh tidak selalu membutuhkan semua pemeriksaan tersebut. Pada penderita, uji
latihan jasmani mungkin merupakan pemeriksaan yang sudah mencukupi tetapi pada
penderita lain mungkin diperlukan arterigrafi koroner tanpa harus sebelumnya menjalani
uji latihan jasmani.
Pengobatan ACS ada banyak cara, pengobatan farmakologis, tindakan intervensi
kardiologi dan pembedahan. Tetapi yang paling penting kita harus evaluasi apa factor
risiko yang ada pada penderita dan menghilangkan risiko itu. Dengan cara modifikasi
gaya hidup, mengatasi factor risiko/penyebab agar progresi penyakit dapat dihambat dan
rekurensi ACS diminimalisasikan. Tindakan PCI maupun bedah pintas jantung (CABG)
dikerjakan sesuai dengan indikasi yang tepat. Dengan kemajuan yang pesat dalam bidang
intervensi kardiologi, sebagian kasus ACS yang dulunya harus dilakukan tindakan bedah
28
jantung, sekarang ini dapat diatasi dengan PCI. Saat ini tindakan PCI maupun primary
PCI sudah rutin dikerjakan. Pencegahan ACS penting sekali diperhatikan terutama pada
kelompok orang dengan risiko tinggi. Pemeriksaan factor risiko harus dimulai sejak umur
20tahun terutama bila ada riwayat keluarga dengan ACS. Seluruh orang dewasa usia di
atas 40 tahun harus mengetahui factor risiko dan prediksi besarnya risiko ACS dalam 10
tahun dengan tujuan menurunkan factor risiko sebesar-besarnya. Pasien diabetes atau
risiko 10 tahun > 20% dianggap sama pasien ACS.
29
DAFTAR PUSTAKA
Rani A. et al., 2006, Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia, halaman
63
Fauci A. et al., 2005, Harrison’s Principles of Internal Medicine 16th edition, p1425
Kumar P and Clark M, 2006, Clinical Medicine 7th Edition, page 743
Brady W. et al. 2012, Acute Coronary Syndrome : 2010 American Heart Association
Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular
Care, AHA
Aroney C. et al. 2006, Guidelines for the management of acute coronary syndromes
2006, National Heart Foundation of Australia.
Acute Coronary Syndromes : a national clinical guidelines, 2007, Scottish Intercollegiate
Guidelines Network.
Harrisons, Prinsiples of Internal Medicine, 17th ed, Philadelphia, McGraw Hill,
2000,1387–97.
Andra. Sindrom Koroner Akut:Pendekatan Invasif Dini atau Konservatif?. Majalah
Farmacia Edisi Agustus 2006 , Halaman: 54
Sunarya Soerianata, William Sanjaya. Penatalaksanaan Sindrom Koroner Akut dengan
Revaskularisasi Non Bedah. Cermin Dunia Kedokteran No. 143, 2004
R.A. Nawawi, Fitriani, B. Rusli, Hardjoeno. NILAI TROPONIN T (cTnT) PENDERITA
SINDROM KORONER AKUT (SKA). Indonesian Journal of Clinical Pathology
and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 3, Juli 2006: 123-126
30