i
LAPORAN PROGRAM P2M DANA DlPA
PENGEMBANGAN SEKOLAH BERKARAKTER BERBASIS
KEARIFAN LOKAL
PELAKSANAAN PENDIDIKAN KARAKTER SECARA
KOMPREHENSIF DI SEKOLAH LABORATORIUM
UNIVERSITAS PENDIDIKAN GANESHA
Oleh:
Prof. Dr. I Made Candiasa, MIKomp., NIP. 196012311986011004
Prof. Dr. I Nyoman Natajaya, MPd., NIP. 195212311981021003
Dr. Ni Made Sri Mertasari, M.Pd., NIP. 196609201991031001
Ida Bagus Gede Purwa, SKom., NIP. 19807212005011002
JURUSAN PEND. MATEMATIKA
FAKULTAS MIPA
UNDIKSHA
2015
i
TIM PELAKSANA
1. Ketua Pelaksana
a. Nama dan gelar : Prof. Dr. I Made Candiasa, M.I.Komp
b. Pangkat/Golongan/NIP : Pembina Utama Madya/IVd/
196012311986011004
c. Jabatan Fungsional : Guru Besar
d. Bidang Keahlian : Ilmu Komputer
2. Anggota Pelaksana I
a. Nama dan gelar : Dr. Ni Made Sri Mertasari, M.Pd.
b. Pangkat/Golongan/NIP : Pembina/IVa/16609201991032001
c. Jabatan Fungsional : Lektor Kepala
d. Bidang Keahlian : Pendidikan Matematika
3. Anggota Pelaksana II
a. Nama dan gelar : Prof. Dr. Nyoman Natajaya, MPd.
b. Pangkat/Golongan/NIP : Pembina Utama/IVe/195212311981021003
c. Jabatan Fungsional : Guru Besar
d. Bidang Keahlian : Administrasi Pendidikan
4. Anggota Pelaksana III
a. Nama dan gelar : Ida Bagus Gede Purwa, SKom.
b. Pangkat/Golongan/NIP : IIIa, Penata Muda, 198307212005011002
c. Jabatan Fungsional : Pustakawan Muda
d. Bidang Keahlian : Informatika
ii
KATA PENGANTAR
Atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa pengabdian
masyarakat dengan topik Pelaksanaan Pendidikan Karakter secara Komprehensif di
Sekolah Laboratorium Universitas Pendidikan Ganesha dapat terlaksana dengan baik.
Pengabdian ini bertujuan mengoptimalkan pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah.
Universitas Pendidikan Ganesha Singaraja sebagai lembaga pendidikan tenaga
kependidikan selalu bekerjasama dengan masyarakat dalam upaya meningkatkan
kualitas pendidikan. Berbagai aktifitas kerjasama telah diwujudkan, dan salah satunya
adalah pengembangan model pendidikan karakter terpadu. Kegiatan tersebut
merupakan wujud nyata partisipasi kampus untuk memajukan pendidikan.
Keberhasilan penyelenggaraan program tersebut merupakan kerjasama banyak
pihak. Oleh karena itu, atas terlaksananya pengabdian ini, ucapan terimakasih
disampaikan kepada beberapa pihak di bawah ini.
1. Pimpinan Undiksha dan Pengelola Sekolah Laboratorium Universitas Pendidikan
Ganesha yang telah memfasilitasi pengabdian ini.
2. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPM) Universitas Pendidikan
Ganesha Singaraja yang telah mendanai kegiatan ini.
3. Kepala SD Laboratorium Undiksha beserta semua staf sekolah yang terlibat
sebagai peserta dalam pengabdian ini.
4. Para orang tua siswa yang terlibat sebagai peserta dalam pengabdian ini.
5. Masyarakat umum yang terlibat sebagai peserta dalam pengabdian ini, yang tidak
dapat kami sebutkan satu-persatu.
Diharapkan pelatihan ini memberi manfaat kepada semua masyarakat,
khususnya pengelola sekolah, siswa, dan orang tua siswa agar dapat mengoptimalkan
pelaksanaan pendidikan karakter secara terpadu.
Singaraja, Oktober 2015
iii
Pelaksana
ABSTRAK
Hasil belajar pendidikan karakter mayoritas berada pada domain afektif (sikap) dan
perilaku (psikomotor). Oleh karena itu, pembelajaran untuk pendidikan karakter
paling tepat dilakukan dengan pemberian contoh yang baik atau keteladanan.
Selanjutnya, evaluasi untuk pendidikan karakter paling tepat dilakukan melalui
pengamatan atau observasi. Waktu yang dimiliki guru untuk memberi teladan dan
mengamati sikap serta perilaku siswa amat terbatas karena siswa lebih banyak berada
di lingkungan keluarga atau di lingkungan masyarakat umum. Oleh karena itu
diperlukan model pembelajaran dan evaluasi pendidikan karakter yang komprehensif,
melibatkan pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar. Model ini diadaptasi dari
model ngayah dengan sistem nyantrik yang sudah berlangsung sejak lama di desa-desa
di Bali. Pengabdian yang dilakukan di SD Laboratorium Undiksha telah mampu
mengimplementasikan pendidikan karakter terpadu dengan melibatkan guru, staf
pegawai, staf perpustakaan, staf kebersihan, staf kantin, staf pengamanan, serta orang
tua siswa. Pembinaan dan keteladanan guru di kelas didukung keteladanan layanan
pegawai, dan staf seklah lainnya mampu memberikan pengalaman yang baik bagi
siswa dalam hal kebersamaan, tanggung jawab, dan rasa memiliki. Dengan demikian
peningkatan kualitas pendidikan karakter dapat dicapai. Upaya yang dilakukan perlu
keberlanjutan dan perlu dukungan media yang memadai agar pendidikan karakter di
sekolah semakin baik.
iv
DAFTAR ISI
HALAMAN PENGESAHAN …………………………………………………. ii
TIM PELAKSANA ……..…….…………………………………………..….. iii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………….. iv
ABSTRAK ……………………………………………………………………... v
DAFTAR ISI …………………………………………………………………… vi
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………………………………………………………….…. 1
1.2 Analisis Situasi ……………………………………………………….……. 2
1.3 Identifikasi dan Perumusan Masalah ………………………………….…… 6
1.4 Tujuan Kegiatan ……………………………………………….……….…… 6
1.5 Manfaat Kegiatan ……………………………..…………………….…….… 8
1.6 Target Luaran ................................................................................................... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………… 19
BAB III METODE PELAKSANAAN ..................................…………………. 30
3.1 Kerangka Pemecahan Masalah …………………………….………………… 30
3.2 Metode Kegiatan ......………………………………….…………………..… 31
3.3 Metode Evaluasi ………………..……………………………………..……. 32
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …….………………………………… 34
4.1 Hasil ……………………………..………………………………………… 34
4.2 Pembahasan ……………………..……………………………………….… 37
BAB V PENUTUP ……………………. …….……………………………….…
41
5.1 Simpulan …....…………………..……………………………………….… 41
v
5.2 Saran ……….……………………..……………………………………..… 42
DAFTAR PUSTAKA .………………..………………………………………. 43
LAMPIRAN ………………..…………..………………………………………. 44
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Berbagai upaya sudah
dilakukan agar fungsi pendidikan nasional dapat berjalan sesuai yang digariskan.
Sejak tahun ajaran baru 2011/2012 pendidikan kareakter mulai diberlakukan. Usai
peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 Mendiknas menyebutkan bahwa
bentuk pendidikan karakter diwujudkan mulai dari kurikulum sampai dengan
membangun kultur budaya di sekolah (SuaraMerdeka.com, 2 Mei 2011). Menteri
menambahkan bahwa karakter yang ingin dibangun bukan hanya kesantunan,
melainkan secara bersamaan, dibangun karakter yang mampu menumbuhkan
kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya
inovasi.
Tahun 2013 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan
kurikulum baru yang populer dengan sebutan Kurikulum 2013. Sudah pasti ini
merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kepala Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
menjelaskan bahwa sesuai filosofi pendidikan Indonesia yang diatur dalam UU
2
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengajaran
pendidikan karakter melekat pada semua mata pelajaran (Kemendikbud, 28 Maret
2013). Dijelaskan pula disana bahwa Kurikulum 2013 merupakan entry point
untuk memasuki sistem pembelajaran yang berkarakter. Artinya, pendidikan
karakter masih mendapat perhatian yang penting.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa kurikulum 2013
memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa
untuk aktif (Kompas.com, 26 Desember 2012). Dijelaskan pula bahwa dengan
adanya perubahan kurikulum ini, berbagai standar dalam komponen pendidikan
akan berubah, baik standar isi, standar proses maupun standar kompetensi lulusan.
Ditambahkan juga bahwa standar penilaian pada kurikulum baru juga berbeda
dengan kurikulum sebelumnya. Aktivitas siswa, termasuk aktivitas bertanya
selama pembelajaran dan kemampuan menalar secara logis mendapat penekanan
dalam penilaian. Uraian di atas menunjukkan bahwa kuriositas, kreativitas serta
berbagai dimensi pendidikan karakter lainnya perlu mendapat perhatian yang
penting, demi menciptakan anak didik yang berkarakter. Asesmen formatif
sebagai bagian integral dari proses pembelajaran juga harus mempertimbangkan
asesmen formatif untuk pendidikan karakter.
1.2 Analisis Situasi
Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional mengatur bahwa pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta
peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi
3
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab (Depdiknas, 2003). Berbagai upaya sudah
dilakukan agar fungsi pendidikan nasional dapat berjalan sesuai yang digariskan.
Sejak tahun ajaran baru 2011/2012 pendidikan kareakter mulai diberlakukan. Usai
peringatan Hari Pendidikan Nasional Tahun 2011 Mendiknas menyebutkan bahwa
bentuk pendidikan karakter diwujudkan mulai dari kurikulum sampai dengan
membangun kultur budaya di sekolah (SuaraMerdeka.com, 2 Mei 2011). Menteri
menambahkan bahwa karakter yang ingin dibangun bukan hanya kesantunan,
melainkan secara bersamaan, dibangun karakter yang mampu menumbuhkan
kepenasaranan intelektual sebagai modal untuk membangun kreativitas dan daya
inovasi.
Tahun 2013 ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan
kurikulum baru yang populer dengan sebutan Kurikulum 2013. Sudah pasti ini
merupakan salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan di Indonesia.
Kepala Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan Penjaminan Mutu Pendidikan
menjelaskan bahwa sesuai filosofi pendidikan Indonesia yang diatur dalam UU
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pengajaran
pendidikan karakter melekat pada semua mata pelajaran (Kemendikbud, 28 Maret
2013). Dijelaskan pula disana bahwa Kurikulum 2013 merupakan entry point
untuk memasuki sistem pembelajaran yang berkarakter. Artinya, pendidikan
karakter masih mendapat perhatian yang penting.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan mengatakan bahwa kurikulum 2013
memiliki tujuan untuk meningkatkan rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa
4
untuk aktif (Kompas.com, 26 Desember 2012). Dijelaskan pula bahwa dengan
adanya perubahan kurikulum ini, berbagai standar dalam komponen pendidikan
akan berubah, baik standar isi, standar proses maupun standar kompetensi lulusan.
Ditambahkan juga bahwa standar penilaian pada kurikulum baru juga berbeda
dengan kurikulum sebelumnya. Aktivitas siswa, termasuk aktivitas bertanya
selama pembelajaran dan kemampuan menalar secara logis mendapat penekanan
dalam penilaian. Uraian di atas menunjukkan bahwa kuriositas, kreativitas serta
berbagai dimensi pendidikan karakter lainnya perlu mendapat perhatian yang
penting, demi menciptakan anak didik yang berkarakter.
Pengalaman emperis di lapangan menunjukkan bahwa kesulitan yang
dialami guru dalam menerapkan pendidikan karakter di semua mata pelajaran di
sekolah antara lain terjadi pada keterbatasan waktu untuk dapat mengamati siswa.
Model pelaksanaan pendidikan karakter yang terbaik adalah melalui keteladanan
atau pemberian contoh karena siswa cenderung lebih mudah meniru contoh
perilaku atau sikap daripada mempelajarinya dengan model yang lain, seperti
tutorial atau pemberian arahan. Oleh karena itu, guru harus lebih banyak memberi
keteladanan dalam hal berperilaku atau bersikap yang baik, sehingga siswa dapat
menirukan perilaku atau sikap yang baik tersebut. Sikap atau perilaku baru yang
belum pernah dikenal siswa akan dipelajari dari sikap atau perilaku yang
ditunjukkan oleh gurunya. Demikian pula sikap atau perilaku yang sudah pernah
dikenal siswa, namun apabila mereka merasakan ada ketidakcocokan dengan
sikap atau perilaku yang ditunjukkan oleh gurunya, maka mereka akan berupaya
beradaptasi dengan sikap atau perilaku yag ditujukkan gurunya. Jadi keteladanan
5
sikap atau perilaku yang baik dari gurunya akan menjadi model yang baik untuk
ditiru siswa selama pelaksanaan pendidikan karakter.
Pelaksanaan asesmen, khususnya asesmen formatif juga sulit dilakukan
karena keterbatasan waktu dari guru untuk mengamati siswa. Asesmen pendidikan
karakter yang paling baik adalah melalui pengamatan (observasi), karena
mayoritas hasil belajar berada pada domain afektif dan psikomotor. Memang
teknik asesmen yang lain dapat diterapkan untuk pendidikan karakter, seperti
angket atau wawancara namun sifatnya sebagai pembanding dan pelengkap.
Asesmen formatif diterapkan guru selama proses pembelajaran untuk mengetahui
kompetensi apa yang sudah dicapai siswa serta mengidentifikasi kesenjangan
antara kompetensi siswa dengan kompetensi standar yang harus dicapai. Informasi
tersebut dimanfaatkan guru untuk merencanakan pembelajaran berikutnya dalam
upaya meningkatkan hasil belajar siswa. Apabila waktu observasi terbatas, maka
hasil pengamatan guru terhadap siswanya juga sangat terbatas.
Siswa berada di sekolah hanya sekitar enam jam atau seperempat dari satu
hari sekolah. Berarti, sekitar 18 jam atau tiga-per-empat dari satu hari sekolah
anak itu berada di lingkungan keluarga atau di masyarakat. Akibatnya,
kesempatan guru untuk mengamati sikap dan perilaku siswanya amat terbatas.
Bahkan saat hari minggu atau liburan sekolah, kesempatan guru untuk dapat
mengamati siswanya sangat kecil peluangnya. Selain itu, kesempatan guru untuk
memberikan keteladanan sikap dan perilaku kepada siswanya juga terbatas. Oleh
karena itu, perlu dicari upaya terobosan untuk dapat mengamati sikap dan perilaku
siswa secara optimal. Hasil pengamatan tersebut selanjutnya dijadikan pedoman
untuk memberikan umpan balik kepada siswanya. Sikap atau perilaku yang baik
6
atau sesuai standar perlu diberikan umpan balik berupa penguatan, sementara
sikap atau perilaku yang belum sesuai dengan standar yang ditetapkan perlu
diberikan remidi atau perbaikan.
1.3 Identifikasi dan Perumusan Masalah
Kesempatan guru mengamati anak di sekolah amat terbatas. Waktu anak
lebih banyak di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat lainnya. Selain
itu, guru bisa optimal membina siswa selama di kelas selama pembelajaran
berlangsung. Agar dapat memantau kemajuan belajar anak dengan lebih optimal,
diperlukan sebuah kerjasama melibatkan semua pengelola sekolah, yaitu kepala
sekolah, guru, petugas administrasi, petugas perpustakaan, petugas konsumsi
(kantin), petugas kebersihan, dan petugas keamanan sekolah. Semua pengelola
sekolah bekerjasama dengan orang tua siswa serta masyarakat lainnya untuk
melaksanakan pendidikan karakter secara terpadu. Masalah yang harus dijawab
melalui pengabdian ini adalah: 1) apakah pengelola sekolah mampu bekerjasama
menerapkan pendidikan karakter terpadu?, 2) apakah pengelola sekolah mampu
bekerjasama dengan orang tua siswa dan mayarakat umum untuk
mengimplementasikan pendidikan karakter terpadu?, dan 3) apakah implementasi
pendidikan karakter terpadu mampu membina sikap dan perilaku siswa?
1.4 Tujuan Kegiatan
Kesempatan guru mengamati anak di sekolah amat terbatas. Waktu anak
lebih banyak di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat lainnya. Agar
dapat memantau kemajuan belajar anak dengan lebih optimal, diperlukan sebuah
7
kerjasama antara guru, kepala sekolah, orang tua siswa dan tokoh masyarakat
untuk melaksanakan pendidikan karakter secara komprehensif. Kerjasama
tersebut dapat terjadi dalam pelaksanaan pembelajaran, pelaksanaan asesmen, dan
pemberian umpan balik. Masalah yang cukup sulit dalam pelaksanaan pendidikan
karakter adalah mendapatkan informasi kemajuan hasil belajar menyangkut
karakter siswa. Hasil belajar pendidikan karakter lebih banyak menyangkut
domain afektif (sikap) dan psikomotor (perilaku), seperti kejujuran, tanggung
jawab, keberanian mengemukakan pendapat, kesiapan bekerja keras, kemandirian,
dan seterusnya. Oleh karena itu, bentuk dan proses asesmen yang dipilih harus
mampu mengukur domain afektif dan psikomotor dengan baik, sebagai bahan
pengambilan keputusan lebih lanjut.
Pada kesempatan ini dicoba dikaji pelaksanaan pendidikan karakter secara
komprehensif melibatkan pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar.
Pengkajian ini didasarkan pada anjuran Lickona (2001) bahwa sekolah, keluarga,
gereja, dan komunitas lainnya yang bertanggungjwab pada pendidikan karakter
harus terlibat dalam pelaksanaan dan evaluasi pendidikan karakter demi tujuan
bersama yang sudah ditetapkan. Hanya saja, pengalaman terbaik (best practice)
untuk pelaksanaan pendidikan karakter seperti ini di Tanah Air, khususnya di Bali
belum tampak jelas. Oleh karena itu, pada kesempatan ini dicoba dilakukan
sebuah percontohan pelaksanaan pendidikan karakter secara komprehensif,
melibatkan sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar dengan mengambil lokasi di
SD dan SMP Laboratorium Universitas Pendidikan Ganesha. Pihak sekolah yang
dimaksud adalah kepala sekolah, guru, dan pegawai. Sementara itu, pihak
keluarga yang dimaksud adalah orang tua siswa atau wali. Di lain sisi, masyarakat
8
sekitar yang dimaksud adalah komite, yayasan/direktur, dan beberapa pakar
berkompeten di bidang pendidikan karakter.
Tujuan yang ingin dicapai dalam kegiatan pengabdian masyarakat ini
adalah sebagai berikut.
1. Meningkatkan kemampuan guru melaksanakan pendidikan karakter,
khususnya untuk pendidikan karakter komprehensif.
2. Meningkatkan kemampuan para guru untuk melaksanakan asesmen
pendidikan karakter secara komprehensif.
3. Menciptakan iklim sekolah yang kondusif dimana pendidikan karakter
dapat terlaksana secar komprehensif antara pihak sekolah, keluarga,
masyarakat sekitar.
4. Meningkatkan keterlibatan pihak keluarga dalam pelaksanaan pendidikan,
khususnya pendidikan karakter.
5. Meningkatkan keterlibatan masyarakat sekitar dalam pelaksanaan
pendidikan, khususnya pendidikan karakter.
1.5 Manfaat Kegiatan
Manfaat yang diharapkan dari pengabdian masyarakat ini adalah adalah
sebagai berikut.
1. Terciptanya kebiasaan pada setiap guru untuk melaksanakan
pendidikan karakter secara komprehensif pada setiap bidang studi.
2. Terciptanya iklim sekolah yang kondusif yang dapat mendukung
pelaksanaan pendidikan karakter secara komprehensif melibatkan
pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar.
9
3. Adanya peningkatan keterlibatan pihak keluarga dalam pelaksanaan
pendidikan, khsuusnya pendidikan karakter.
4. Adanya peningkatan keterlibatan masyarakat sekitar dalam
pelaksanaan pendidikan, khsuusnya pendidikan karakter.
5. Tumbuhnya kesadaran di masyarakat bahwa pendidikan adalah
tanggung jawab bersama, baik sekolah, keluarga, maupun masyarakat.
1.6 Target Luaran
1.6.1 Model Pendidikan Karakter Komprehensif
Model pendidikan karakter komprehensif yang dikembangkan adalah
model pendidikan karakter komprehensif melibatkan pihak sekolah, keluarga, dan
masyarakat sekitar. Model ini diadaptasi dari model ngayah dengan sistem
nyantrik yang sudah berlangsung sejak lama di desa-desa di Bali, yang melibatkan
prajuru, krama, dan keluarga. Pihak sekolah yang dimaksud adalah kepala
sekolah, guru, dan pegawai administrasi. Sementara itu, pihak keluarga yang
dimaksud adalah orang tua atau wali siswa. Selanjutnya, masyarakat sekitar yang
dimaksud adalah anggota masyarakat yang memiliki keperdulian terhadap
pendidikan, seperti komite. Keterlibatan pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat
sekitar diharapkan dapat mengoptimalkan pengamatan kepada siswa dalam upaya
membina karakter mereka. Selama di sekolah pihak sekolah lebih banyak
berperan, selama di rumah pihak keluarga lebih banyak berperan, dan selam
pergaulan siswa di masyarakat pihak masyarakat sekitar yang lebih berperan.
Forum komunikasi berkala antara ketiga pihak tersebut dimanfaatkan untuk
10
membahas temuan masing-masing untuk merumuskan kebijakan pendidikan
karakter lebih lanjut.
Pendidikan karakter untuk anak-anak dan generasi muda menjadi amat
penting bagi orang-orang yang tertarik dengan reformasi pendidikan karakter.
Kerjasama antara keluarga dan kelompok masyarakat akan dapat
mengidentifikasikan nilai-nilai karakter, mengajarkannya, memberi contoh, dan
mendorong keberanian generasi muda untuk mempraktekkannya. Intinya,
perkembangan kognitif dan karakter, baik individu maupun masyarakat
merupakan hal yang amat penting dalam pendidikan publik, yang terintegrasi
dalam lingkungan sekolah, baik dalam kurikulum, strategi mengajar, atau program
ko-kurikuler. Lickona (2001) menyebut bahwa sekolah, keluarga, dan gereja
harus terlibat secara komprehensif untuk menyukseskan pendidikan karakter.
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) menguraikan tujuan,
fungsi, dan media pendidikan karakter seperti berikut. Pendidikan karakter
bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu
Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun
bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar
memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai
umat manusia. Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan
kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas,
berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan
ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara
11
yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan
bangsa lain dalam suatu harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai
media yaitu keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha,
dan media massa.
Beberapa tahun belakangan ini sekolah memang telah kehilangan
kapasitas untuk bisa melaksanakan dengan baik dan benar misi moral tersebut,
padahal moral merupakan komponen yang amat esensial dalam usaha
memelihara dan mengembangkan ide-ide maupun usaha-usaha dari para pendidik.
Misi moral yang dimaksudkan di sini bukanlah menunjuk kepada kepercayaan
secara religius, melainkan moral yang bisa dipahami oleh guru, pegawai
administrasi, siswa, dan orang tua siswa mengingat mereka memiliki tanggung
jawab satu sama lainnya. Menurut DeRoche & Williams (1999), paradigma yang
dipegang pada misi moral ini antara lain adalah: 1) pendidikan adalah kegiatan
moral; 2) masa muda dari siswa yang dapat dbutirpa amat pendek dan krusial; 3)
apa yang dipelajari dan apa yang tidak dipelajari sangat penting; 4) apa yang
menjadi kebiasaan dan apa yang tidak menjadi kebiasaan memiliki konsekuensi
terhadap siswa; dan 5) apa yang diyakini baik dan benar oleh seseorang adalah
sesuai dengan pandangan hidup secara umum.
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang terus-menerus
mempertahankan komitmen untuk mengajarkan nilai moral yang sangat berharga
itu selalu terlupakan. Anak-anak lebih banyak belajar kebiasaan dan moral dari
kelompoknya dan media masa seperti televisi, majalah, surat kabar, atau internet,
sehingga pengalaman yang diperoleh di sekolah kurang diakui. Peran guru sudah
berkurang hanya sebagai teknisi, yaitu menggunakan berbagai strategi untuk
12
membantu mentransfer informasi dan ketrampilan kepada siswa. Arti kata guru
sebagai seseorang yang membantu anak untuk membentuk dirinya menjadi lebih
baik telah direduksi menjadi sekedar membantu anak untuk meningkatkan
kemampuan, kompetensi, ketrampilan, atau teknik.
Masyarakat merasa bahwa penurunan nilai moral dan karakter disebabkan
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) keluarga yang tidak
utuh; 2) media masa seperti televisi, film, majalah, atau media masa lainnya yang
menyajikan kekerasan, pemakaian obat terlarang, penyimpangan perilaku seks,
pencurian, dan kecurangan akademis; 3) kurangnya tokoh panutan karena banyak
atlit, artis, politisi, atau pemimpin yang mempromosikan gaya hidup yang
bertentangan dengan prinsip moral dan etika, sehingga menimbulkan kebingungan
mana pahlawan dan mana selebriti.
Pendidikan dipandang sebagai kesempatan untuk memperoleh
pengetahuan untuk menguasai dunia. Banyak siswa menyatakan bosan
bersekolah, yang mungkin disebabkan oleh media hiburan yang serba indah dan
disajikan secara besar-besaran. Selain itu siswa memandang bahwa pelayanan
yang diberikan oleh guru adalah hak mereka, jadi tidak memandang pendidikan
sebagai tanggung jawab mereka. Sikap tersebut jelas tidak menguntungkan bagi
pemeliharaan hubungan yang baik dan benar antara guru dengan siswa.
Tidak ada komunitas, khususnya komunitas sekolah yang dapat berfungsi
lama tanpa misi moral, bahasa, aturan, dan hak atau kewajiban. Michael Fullan,
tokoh reformasi pendidikan internasional menyatakan bahwa kunci reformasi
pendidikan adalah kualitas hubungan antar personal yang terlibat di sekolah.
Semakin jelas bahwa etika dan moralitas, tersebut merupakan isu sentral dalam
13
pendidikan anak. Masyarakat, pendidik, dan orang tua menghapkan dengan tegas
agar anak-anak belajar dengan baik untuk menjadi produktif, baik hati, dan
berguna bagi kemanusiaan. Anak harus diajar berpikir rasional dan
bertanggungjawab. Selain itu anak harus diajar untuk senang belajar, selama ingin
hidup di alam demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak, kewajiban,
kebebasan, kepentingan yang sama, dan tanggung jawab.
Ada dua tujuan utama bersekolah, yaitu pengembangan pengetahuan
akademik dan pembentukan karakter. Pengembangan pengetahuan akademik
berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan dan ketrampilan intelektual
anak. Pembentukan karakter membantu pembentukan sikap dan perilaku yang
disebabkan oleh karakter, seperti kejujuran, integritas, rasa hormat, tanggung
jawab, disiplin diri, dan ketahanan diri. Benninga dkk. (2003) menemukan bahwa
sekolah dengan kualitas penerapan pendidikan karakter yang baik cenderung
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik lebih tinggi.
Pengetahuan akademik dan pengembangan karakter mempersiapkan anak
untuk memasuki dunia kerja, untuk pendidikan selanjutnya, untuk pendidikan
sepanjang hayat, dan untuk kewarganegaraan. Program pendidikan karakter tidak
menggantikan tanggung jawab guru dan murid dalam pendidikan pengetahuan
akademik. Pendidikan karakter menciptakan lingkungan yang diharapkan mampu
meningkatkan efektifitas kegiatan pembelajaran. Harapannya adalah tidak ada
siswa yang menamatkan sekolah dengan menguasai pengetahuan akademik
namun kurang dalam hal karakter.
14
1.6.2 Model Evaluasi Pendidikan Karakter yang Komprehensif
1.6.2.1 Bentuk Asesmen
Pendidikan karakter lebih banyak menekankan pada hasil belajar untuk
domain afektif dan psikomotor. Oleh karena itu, evaluasi pendidikan karakter
dilakukan melalui teknik evaluasi yang sesuai untuk mengukur domain afektif dan
psikomotor, seperti observasi atau pengamatan langsung dan portofolio serta
dibantu angket dan inventori. Kepala sekolah, guru, dan pegawai administrasi
memegang pedoman observasi untuk mengamati sikap den perilaku siswa. Orang
tua atau wali juga memagang pedoman observasi untuk mengamati sikap dan
perilaku putra-putrinya. Komite juga memegang pedoman observasi untuk
mengobservasi sikap dan perilaku siswa. Setiap siswa memegang buku untuk
merekam portofolio masing-masing.
Observasi adalah teknik evaluasi dengan cara mengamati langsung hasil
belajar yang ingin dievaluasi. Instrumen observasi atau pengamatan langsung
berupa lembar observasi yang memuat indikator-indikator yang menjadi pedoman
dievaluasi dan telah dilengkapi dengan kriteria-kriteria untuk masing-masing
indikator. Penilai dapat menuliskan informasi atau memberi tanda pada kriteria
yang sudah diberikan. Selain observasi, interview juga efektif digunakan untuk
evaluasi sikap (Muller, 1985).
Asesmen portofolio mendasarkan penilaian pada kumpulan karya-karya
yang dikerjakan siswa. Wyatt III dan Loper (1999) mendefinisikan portofolio
sebagai suatu koleksi personal yang berisi bukti-bukti karya (artifak) serta refleksi
siswa tentang pencapaian, perkembangan, kekuatan, dan karya terbaik sebagai
hasil belajarnya. Portofolio juga diartikan sebagai kumpulan karya siswa dalam
15
kurun waktu tertentu (Depdiknas, 2002). Pembatasan waktu dilakukan dengan
ketat menggunakan alat ukur waktu yang tersedia pada sistem komputer.
Angket merupakan instrumen evaluasi berupa sejumlah pertanyaan tertulis
yang diberikan kepada responden (Candiasa, 2010). Terdapat dua jenis angket,
yakni angket terstruktur dan angket tidak terstruktur atau angket terbuka. Angket
terstruktur adalah angket yang di dalamnya memuat pertanyaan yang disertai
dengan pilihan jawaban. Angket tidak terstruktur atau angket terbuka tidak
menyertakan pilihan jawaban yang diharapkan. Dengan kata lain, Responden
dapat memberi respon secara bebas menurut pikirannya masing-masing.
Inventorri adalah instrument evaluasi berupa sejumlah pernyataan yang
disertai rentang sekor untuk dipilih. Umumnya rentangan sekor dalam inventori
bergerak dari satu kutub ke kutub yang lain. Misalnya sebuah inventori yang di
dalamnya memuat peryataan tentang tata cara berpakaian. Rentangan sekor yang
disedaiakan misalnya 1 sampai 10, yang mana 1 berada pada kutub jelek dan 10
berada pada kutub 10. Penilai akan memberikan sekor sesuai hasil pengamatan
yang dilakukan.
1.6.2.2 Tim Penilai
Tujuan, perencanaan, dan pelaksanaan pendidikan karakter harus dibuat
jelas sehingga mudah dievaluasi. Cara mengevaluasi pendidikan karakter juga
harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat diperlukan data yang akurat
sebagai ukuran keberhasilan mencapai tujuan pendidikan karakter sebagai bahan
laporan kepada masyarakat.
16
Sekolah merupakan tempat untuk validasi nilai, tempat kerja sama antara
staf sekolah dengan anak dan dengan orang tua anak, tempat untuk mengetahui
apakah pendidikan karakter berjalan dengan sukses atau tidak. Usaha untuk
mempertahankan pendidikan karakter ada pada sekolah. Oleh karena itu, evaluasi
pendidikan karakter sebaiknya dilakukan oleh tim evaluasi pendidikan karakter.
Tim tersebut beranggotakan guru, pegawai administrasi, staf sekolah yang lain,
orang tua, wakil masyarakat, siswa, dan ahli evaluasi dari suatu perguruan tinggi.
Tugas tim evaluasi adalah menentukan apa yang harus dievaluasi, menentukan
kapan, dimana, dan oleh siapa evaluasi dilaksanakan, dan membuat jadwal
pelaksanaan evaluasi.
Dalam melaksanakan tugasnya, tim evaluasi harus mengikuti beberapa
petunjuk pentinga, antara lain: 1) evaluasi harus mencakup indikator hasil belajar
yang diinginkan dari implementasi program pendidikan karakter, sehingga
masalah-masalah yang muncul dapat dikoreksi segera; 2) staf sekolah harus
mereview hasil penilaian pendidikan karakter; 3) penilaian dilakukan dengan
berbagai teknik, termasuk jurnal, anekdot, laporan-individu, survey, tes, angket,
wawancara, dan sebagainya; 4) pembuatan disain dan langkah-langkah
implementasi evaluasi pendidikan karakter harus melibatkan siswa, orang tua, dan
staf sekolah; dan 5) sebaiknya diadakan kerjasama penilaian dengan perguruan
tinggi atau lembaga terkait lainnya.
Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan anggota tim
agar mampu mengerjakan tugasnya masing-masing. Bila proses evaluasi sudah
dilaksanakan, maka kegiatan pokok berikutnya adalah mengambil keputusan
tentang nilai yang diperoleh siswa, dan kemudian memutuskan cara untuk
17
menyebarkan hasil tersebut kepada peserta. Berdasarkan jadwal, tim kemudian
menentukan langkah-langkah yang harus diambil berikutnya.
1.6.2.3 Kriteria Penilaian
Kriteria berfungsi sebagai pedoman dalam mengevaluasi pendidikan
karakter. Kriteria adalah standar yang diyakini memiliki kepastian, sehingga
sesuatu bisa diputuskan berdasarkan kriteria ini. Ada sebelas kriteria yang dipilih
sebagai standar yang akan memandu usaha pendidikan karakter, yaitu kepedulian,
kerjasama, komitmen, keberanian, perubahan, hubungan, koherensi, konsensus,
komunikasi, budaya, dan kekritisan.
Kepedulian, yang meliputi prinsip-prinsip seperti empati, antusiasme, dan
perilaku pro-sosial adalah konsep yang menembus organisasi dari pemimpin
sampai ke partisipan. Kerjasama mengarahkan bagaimana individu bersama-sama
memecahkan masalah. Kerjasama adalah hubungan saling menguntungkan antara
dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan melalui berbagi tanggung jawab,
otoritas, dan akuntabilitas.
Komitmen ditujukan kepada individu untuk bekerjasama. Identitas
seseorang adalah apa yang telah dia komitmenkan. Komitmen individu adalah
mempersiapkan energi, fisik, atau psikologis bagi seseorang untuk melakukan
sesuatu. Hubungan dalam pendidikan karakter komunikasi antar-individu, baik di
sekolah maupun di masyarakat. Pemisahan, sekat, dan perpecahan yang
disebabkan oleh ras, etnis, gender, usia, prestasi, materi pelajaran, bakat,
kecakapan, politik, atau penghasilan adalah hal yang tidak diharapkan dan tidak
perlu terjadi.
18
Fungsi terpenting bagi pendidikan karakter di masyarakat dan di sekolah
adalah mencapai konsensus dalam nilai demokratis. Orang-orang di dalam dan di
luar program perlu mengetahui apa yang terjadi dan mengapa. Perencanaan dan
pelaksanaan program pendidikan karakter harus dilakukan secara terbuka,
mengingat misi, harapan, gaya, dan metode merupakan hal yang sangat penting
dipahami oleh semua staf sekolah dan masyarakat.
Budaya lingkungan sekolah, etos, atau kurikulum tersembunyi yang berdasarkan
kriteria kepedulian dan konsensus merupakan inti dari program pendidikan
karakter. Akhirnya pendidik perlu bersikap kritis agar bisa melakukan penilaian
berdasarkan standar atau kriteria yang ada. Sikap kritis ditujukan terhadap apa
yang dikatakan, dilakukan, dan bagaimana membuat model nilai-nilai yang
diajarkan.
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Pendidikan Karakter
Tujuan dari pembangunan karakter adalah untuk mengembangkan karakter
bangsa agar mampu mewujudkan nilai-nilai luhur Pancasila (Kemdiknas, 2011).
Pendidikan karakter dimaksudkan untuk menghasilkan anak didik yang jujur,
sopan, baik hati, bersikap yang baik, dan berperilaku yang baik pula. Sikap dan
perilaku yang kurang baik, seperti sombong, curang, anarkis, dan seterusnya agar
dibuang jauh-jauh karena tidak sesuai dengan nilai-nilai luhur Pancasila.
Pemberian contoh atau teladan dan pembiasaan untuk bersikap dan berperilaku
yang baik merupakan dasar pendidikan karakter. Sikap jujur dan
bertanggungjawab disertai toleransi dan apresiasi terhadap sesama akan
menumbuhkan sikap nasinalisme. Perilaku suka bekerja dibarengi dengan
kreativitas yang tinggi akan menghasilkan inovasi-inovasi di berbagai bidang
yang akan membawa keunggulan bangsa di tengah persaingan global.
Mendiknas menyebutkan bahwa bentuk pendidikan karakter diwujudkan
mulai dari kurikulum sampai dengan membangun kultur budaya di sekolah
(SuaraMerdeka.com, 2 Mei 2011). Menteri menambahkan bahwa karakter yang
ingin dibangun bukan hanya kesantunan, melainkan secara bersamaan, dibangun
karakter yang mampu menumbuhkan kepenasaranan intelektual sebagai modal
untuk membangun kreativitas dan daya inovasi. Tahun 2013 ini Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan menerapkan kurikulum baru yang populer dengan
sebutan Kurikulum 2013. Kepala Badan Pengembangan SDM Pendidikan dan
20
Penjaminan Mutu Pendidikan menjelaskan bahwa sesuai filosofi pendidikan
Indonesia yang diatur dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, pengajaran pendidikan karakter melekat pada semua mata
pelajaran (Kemendikbud, 28 Maret 2013).
Pendidikan karakter tidak dijalankan sebagai mata pelajaran tersendiri,
melainkan terintegrasi pada semua mata pelajaran yang ada. Pada prinsipnya,
pengembangan budaya dan karakter bangsa tidak dimasukkan sebagai pokok
bahasan tetapi terintegrasi ke dalam mata pelajaran, pengembangan diri, dan
budaya sekolah (Kemdiknas, 2010). Guru harus mengintegrasikan nilai-nilai
pendidikan karakter ke dalam rencana program pembelajaran (RPP) dan dalam
pelaksanaan pembelajaran dikelas pada semua mata pelajaran yang ada. Siswa
didorong untuk mampu melakukan evaluasi diri dan mengenali jati diri budaya
bangsa, sehingga dapat bersikap dan berperilaku sesuai dengan nilai-nilai luhur
Pancasila.
Pendidikan karakter bukan hanya sekedar mengajarkan mana yang benar
dan mana yang salah, melainkan merupakan usaha menanamkan kebiasaan-
kebiasaan yang baik sehingga peserta didik mampu bersikap dan bertindak
berdasarkan nilai-nilai yang telah menjadi kepribadiannya. Pendidikan karakter
mencakup pengetahuan yang baik, sikap yang baik, dan perilaku yang baik.
Berbagai pengetahuan yang diterima peserta didik dari berbagai sumber
hendaknya mampu disaring agar mendapatkan pengetahuan yang baik untuk
diamalkan. Sikap dan perilaku yang disaksikan peserta didik baik secara langsung
maupun melalui berbagai media hendaknya dapat disaring untuk memilih sikap
dan perilaku yang sesuai dengan nilai luhur Pancasila.
21
2.2 Model Pendidikan Karakter Komprehensif
Model pendidikan karakter komprehensif yang dikembangkan adalah
model pendidikan karakter komprehensif melibatkan pihak sekolah, keluarga, dan
masyarakat sekitar. Model ini diadaptasi dari model ngayah dengan sistem
nyantrik yang sudah berlangsung sejak lama di desa-desa di Bali, yang melibatkan
prajuru, krama, dan keluarga. Pihak sekolah yang dimaksud adalah kepala
sekolah, guru, dan pegawai administrasi. Sementara itu, pihak keluarga yang
dimaksud adalah orang tua atau wali siswa. Selanjutnya, masyarakat sekitar yang
dimaksud adalah anggota masyarakat yang memiliki keperdulian terhadap
pendidikan, seperti komite. Keterlibatan pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat
sekitar diharapkan dapat mengoptimalkan pengamatan kepada siswa dalam upaya
membina karakter mereka. Selama di sekolah pihak sekolah lebih banyak
berperan, selama di rumah pihak keluarga lebih banyak berperan, dan selam
pergaulan siswa di masyarakat pihak masyarakat sekitar yang lebih berperan.
Forum komunikasi berkala antara ketiga pihak tersebut dimanfaatkan untuk
membahas temuan masing-masing untuk merumuskan kebijakan pendidikan
karakter lebih lanjut.
Pendidikan karakter untuk anak-anak dan generasi muda menjadi amat
penting bagi orang-orang yang tertarik dengan reformasi pendidikan karakter.
Kerjasama antara keluarga dan kelompok masyarakat akan dapat
mengidentifikasikan nilai-nilai karakter, mengajarkannya, memberi contoh, dan
mendorong keberanian generasi muda untuk mempraktekkannya. Intinya,
perkembangan kognitif dan karakter, baik individu maupun masyarakat
merupakan hal yang amat penting dalam pendidikan publik, yang terintegrasi
22
dalam lingkungan sekolah, baik dalam kurikulum, strategi mengajar, atau program
ko-kurikuler. Lickona (2001) menyebut bahwa sekolah, keluarga, dan gereja
harus terlibat secara komprehensif untuk menyukseskan pendidikan karakter.
Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter (2011) menguraikan tujuan,
fungsi, dan media pendidikan karakter seperti berikut. Pendidikan karakter
bertujuan mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu
Pancasila, meliputi: (1) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi
manusia berhati baik, berpikiran baik, dan berprilaku baik; (2) membangun
bangsa yang berkarakter Pancasila; (3) mengembangkan potensi warganegara agar
memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai
umat manusia. Pendidikan karakter berfungsi (1) membangun kehidupan
kebangsaan yang multikultural; (2) membangun peradaban bangsa yang cerdas,
berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap pengembangan kehidupan
ummat manusia; mengembangkan potensi dasar agar berhati baik, berpikiran baik,
dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (3) membangun sikap warganegara
yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu hidup berdampingan dengan
bangsa lain dalam suatu harmoni. Pendidikan karakter dilakukan melalui berbagai
media yaitu keluarga, satuan pendidikan, masyarakat, pemerintah, dunia usaha,
dan media massa.
Beberapa tahun belakangan ini sekolah memang telah kehilangan
kapasitas untuk bisa melaksanakan dengan baik dan benar misi moral tersebut,
padahal moral merupakan komponen yang amat esensial dalam usaha
memelihara dan mengembangkan ide-ide maupun usaha-usaha dari para pendidik.
Misi moral yang dimaksudkan di sini bukanlah menunjuk kepada kepercayaan
23
secara religius, melainkan moral yang bisa dipahami oleh guru, pegawai
administrasi, siswa, dan orang tua siswa mengingat mereka memiliki tanggung
jawab satu sama lainnya. Menurut DeRoche & Williams (1999), paradigma yang
dipegang pada misi moral ini antara lain adalah: 1) pendidikan adalah kegiatan
moral; 2) masa muda dari siswa yang dapat dbutirpa amat pendek dan krusial; 3)
apa yang dipelajari dan apa yang tidak dipelajari sangat penting; 4) apa yang
menjadi kebiasaan dan apa yang tidak menjadi kebiasaan memiliki konsekuensi
terhadap siswa; dan 5) apa yang diyakini baik dan benar oleh seseorang adalah
sesuai dengan pandangan hidup secara umum.
Sejarah menunjukkan bahwa masyarakat yang terus-menerus
mempertahankan komitmen untuk mengajarkan nilai moral yang sangat berharga
itu selalu terlupakan. Anak-anak lebih banyak belajar kebiasaan dan moral dari
kelompoknya dan media masa seperti televisi, majalah, surat kabar, atau internet,
sehingga pengalaman yang diperoleh di sekolah kurang diakui. Peran guru sudah
berkurang hanya sebagai teknisi, yaitu menggunakan berbagai strategi untuk
membantu mentransfer informasi dan ketrampilan kepada siswa. Arti kata guru
sebagai seseorang yang membantu anak untuk membentuk dirinya menjadi lebih
baik telah direduksi menjadi sekedar membantu anak untuk meningkatkan
kemampuan, kompetensi, ketrampilan, atau teknik.
Masyarakat merasa bahwa penurunan nilai moral dan karakter disebabkan
oleh beberapa faktor. Faktor-faktor tersebut antara lain: 1) keluarga yang tidak
utuh; 2) media masa seperti televisi, film, majalah, atau media masa lainnya yang
menyajikan kekerasan, pemakaian obat terlarang, penyimpangan perilaku seks,
pencurian, dan kecurangan akademis; 3) kurangnya tokoh panutan karena banyak
24
atlit, artis, politisi, atau pemimpin yang mempromosikan gaya hidup yang
bertentangan dengan prinsip moral dan etika, sehingga menimbulkan kebingungan
mana pahlawan dan mana selebriti.
Pendidikan dipandang sebagai kesempatan untuk memperoleh
pengetahuan untuk menguasai dunia. Banyak siswa menyatakan bosan
bersekolah, yang mungkin disebabkan oleh media hiburan yang serba indah dan
disajikan secara besar-besaran. Selain itu siswa memandang bahwa pelayanan
yang diberikan oleh guru adalah hak mereka, jadi tidak memandang pendidikan
sebagai tanggung jawab mereka. Sikap tersebut jelas tidak menguntungkan bagi
pemeliharaan hubungan yang baik dan benar antara guru dengan siswa.
Tidak ada komunitas, khususnya komunitas sekolah yang dapat berfungsi
lama tanpa misi moral, bahasa, aturan, dan hak atau kewajiban. Michael Fullan,
tokoh reformasi pendidikan internasional menyatakan bahwa kunci reformasi
pendidikan adalah kualitas hubungan antar personal yang terlibat di sekolah.
Semakin jelas bahwa etika dan moralitas, tersebut merupakan isu sentral dalam
pendidikan anak. Masyarakat, pendidik, dan orang tua menghapkan dengan tegas
agar anak-anak belajar dengan baik untuk menjadi produktif, baik hati, dan
berguna bagi kemanusiaan. Anak harus diajar berpikir rasional dan
bertanggungjawab. Selain itu anak harus diajar untuk senang belajar, selama ingin
hidup di alam demokrasi, di mana setiap orang memiliki hak, kewajiban,
kebebasan, kepentingan yang sama, dan tanggung jawab.
Ada dua tujuan utama bersekolah, yaitu pengembangan pengetahuan
akademik dan pembentukan karakter. Pengembangan pengetahuan akademik
berkontribusi terhadap peningkatan kemampuan dan ketrampilan intelektual
25
anak. Pembentukan karakter membantu pembentukan sikap dan perilaku yang
disebabkan oleh karakter, seperti kejujuran, integritas, rasa hormat, tanggung
jawab, disiplin diri, dan ketahanan diri. Benninga dkk. (2003) menemukan bahwa
sekolah dengan kualitas penerapan pendidikan karakter yang baik cenderung
menghasilkan lulusan yang memiliki kemampuan akademik lebih tinggi.
Pengetahuan akademik dan pengembangan karakter mempersiapkan anak
untuk memasuki dunia kerja, untuk pendidikan selanjutnya, untuk pendidikan
sepanjang hayat, dan untuk kewarganegaraan. Program pendidikan karakter tidak
menggantikan tanggung jawab guru dan murid dalam pendidikan pengetahuan
akademik. Pendidikan karakter menciptakan lingkungan yang diharapkan mampu
meningkatkan efektifitas kegiatan pembelajaran. Harapannya adalah tidak ada
siswa yang menamatkan sekolah dengan menguasai pengetahuan akademik
namun kurang dalam hal karakter.
2.3 Model Evaluasi Pendidikan Karakter yang Komprehensif
2.3.1 Bentuk Asesmen
Pendidikan karakter lebih banyak menekankan pada hasil belajar untuk
domain afektif dan psikomotor. Oleh karena itu, evaluasi pendidikan karakter
dilakukan melalui teknik evaluasi yang sesuai untuk mengukur domain afektif dan
psikomotor, seperti observasi atau pengamatan langsung dan portofolio serta
dibantu angket dan inventori. Kepala sekolah, guru, dan pegawai administrasi
memegang pedoman observasi untuk mengamati sikap den perilaku siswa. Orang
tua atau wali juga memagang pedoman observasi untuk mengamati sikap dan
perilaku putra-putrinya. Komite juga memegang pedoman observasi untuk
26
mengobservasi sikap dan perilaku siswa. Setiap siswa memegang buku untuk
merekam portofolio masing-masing.
Observasi adalah teknik evaluasi dengan cara mengamati langsung hasil
belajar yang ingin dievaluasi. Instrumen observasi atau pengamatan langsung
berupa lembar observasi yang memuat indikator-indikator yang menjadi pedoman
dievaluasi dan telah dilengkapi dengan kriteria-kriteria untuk masing-masing
indikator. Penilai dapat menuliskan informasi atau memberi tanda pada kriteria
yang sudah diberikan. Selain observasi, interview juga efektif digunakan untuk
evaluasi sikap (Muller, 1985).
Asesmen portofolio mendasarkan penilaian pada kumpulan karya-karya
yang dikerjakan siswa. Wyatt III dan Loper (1999) mendefinisikan portofolio
sebagai suatu koleksi personal yang berisi bukti-bukti karya (artifak) serta refleksi
siswa tentang pencapaian, perkembangan, kekuatan, dan karya terbaik sebagai
hasil belajarnya. Portofolio juga diartikan sebagai kumpulan karya siswa dalam
kurun waktu tertentu (Depdiknas, 2002). Pembatasan waktu dilakukan dengan
ketat menggunakan alat ukur waktu yang tersedia pada sistem komputer.
Angket merupakan instrumen evaluasi berupa sejumlah pertanyaan tertulis
yang diberikan kepada responden (Candiasa, 2010). Terdapat dua jenis angket,
yakni angket terstruktur dan angket tidak terstruktur atau angket terbuka. Angket
terstruktur adalah angket yang di dalamnya memuat pertanyaan yang disertai
dengan pilihan jawaban. Angket tidak terstruktur atau angket terbuka tidak
menyertakan pilihan jawaban yang diharapkan. Dengan kata lain, Responden
dapat memberi respon secara bebas menurut pikirannya masing-masing.
27
Inventorri adalah instrument evaluasi berupa sejumlah pernyataan yang
disertai rentang sekor untuk dipilih. Umumnya rentangan sekor dalam inventori
bergerak dari satu kutub ke kutub yang lain. Misalnya sebuah inventori yang di
dalamnya memuat peryataan tentang tata cara berpakaian. Rentangan sekor yang
disedaiakan misalnya 1 sampai 10, yang mana 1 berada pada kutub jelek dan 10
berada pada kutub 10. Penilai akan memberikan sekor sesuai hasil pengamatan
yang dilakukan.
2.3.2 Tim Penilai
Tujuan, perencanaan, dan pelaksanaan pendidikan karakter harus dibuat
jelas sehingga mudah dievaluasi. Cara mengevaluasi pendidikan karakter juga
harus dipertimbangkan dengan baik, mengingat diperlukan data yang akurat
sebagai ukuran keberhasilan mencapai tujuan pendidikan karakter sebagai bahan
laporan kepada masyarakat.
Sekolah merupakan tempat untuk validasi nilai, tempat kerja sama antara
staf sekolah dengan anak dan dengan orang tua anak, tempat untuk mengetahui
apakah pendidikan karakter berjalan dengan sukses atau tidak. Usaha untuk
mempertahankan pendidikan karakter ada pada sekolah. Oleh karena itu, evaluasi
pendidikan karakter sebaiknya dilakukan oleh tim evaluasi pendidikan karakter.
Tim tersebut beranggotakan guru, pegawai administrasi, staf sekolah yang lain,
orang tua, wakil masyarakat, siswa, dan ahli evaluasi dari suatu perguruan tinggi.
Tugas tim evaluasi adalah menentukan apa yang harus dievaluasi, menentukan
kapan, dimana, dan oleh siapa evaluasi dilaksanakan, dan membuat jadwal
pelaksanaan evaluasi.
28
Dalam melaksanakan tugasnya, tim evaluasi harus mengikuti beberapa
petunjuk pentinga, antara lain: 1) evaluasi harus mencakup indikator hasil belajar
yang diinginkan dari implementasi program pendidikan karakter, sehingga
masalah-masalah yang muncul dapat dikoreksi segera; 2) staf sekolah harus
mereview hasil penilaian pendidikan karakter; 3) penilaian dilakukan dengan
berbagai teknik, termasuk jurnal, anekdot, laporan-individu, survey, tes, angket,
wawancara, dan sebagainya; 4) pembuatan disain dan langkah-langkah
implementasi evaluasi pendidikan karakter harus melibatkan siswa, orang tua, dan
staf sekolah; dan 5) sebaiknya diadakan kerjasama penilaian dengan perguruan
tinggi atau lembaga terkait lainnya.
Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan anggota tim
agar mampu mengerjakan tugasnya masing-masing. Bila proses evaluasi sudah
dilaksanakan, maka kegiatan pokok berikutnya adalah mengambil keputusan
tentang nilai yang diperoleh siswa, dan kemudian memutuskan cara untuk
menyebarkan hasil tersebut kepada peserta. Berdasarkan jadwal, tim kemudian
menentukan langkah-langkah yang harus diambil berikutnya.
2.3.3 Kriteria Penilaian
Kriteria berfungsi sebagai pedoman dalam mengevaluasi pendidikan
karakter. Kriteria adalah standar yang diyakini memiliki kepastian, sehingga
sesuatu bisa diputuskan berdasarkan kriteria ini. Ada sebelas kriteria yang dipilih
sebagai standar yang akan memandu usaha pendidikan karakter, yaitu kepedulian,
kerjasama, komitmen, keberanian, perubahan, hubungan, koherensi, konsensus,
komunikasi, budaya, dan kekritisan.
29
Kepedulian, yang meliputi prinsip-prinsip seperti empati, antusiasme, dan
perilaku pro-sosial adalah konsep yang menembus organisasi dari pemimpin
sampai ke partisipan. Kerjasama mengarahkan bagaimana individu bersama-sama
memecahkan masalah. Kerjasama adalah hubungan saling menguntungkan antara
dua pihak atau lebih untuk mencapai tujuan melalui berbagi tanggung jawab,
otoritas, dan akuntabilitas.
Komitmen ditujukan kepada individu untuk bekerjasama. Identitas
seseorang adalah apa yang telah dia komitmenkan. Komitmen individu adalah
mempersiapkan energi, fisik, atau psikologis bagi seseorang untuk melakukan
sesuatu. Hubungan dalam pendidikan karakter komunikasi antar-individu, baik di
sekolah maupun di masyarakat. Pemisahan, sekat, dan perpecahan yang
disebabkan oleh ras, etnis, gender, usia, prestasi, materi pelajaran, bakat,
kecakapan, politik, atau penghasilan adalah hal yang tidak diharapkan dan tidak
perlu terjadi.
Fungsi terpenting bagi pendidikan karakter di masyarakat dan di sekolah
adalah mencapai konsensus dalam nilai demokratis. Orang-orang di dalam dan di
luar program perlu mengetahui apa yang terjadi dan mengapa. Perencanaan dan
pelaksanaan program pendidikan karakter harus dilakukan secara terbuka,
mengingat misi, harapan, gaya, dan metode merupakan hal yang sangat penting
dipahami oleh semua staf sekolah dan masyarakat.
Budaya lingkungan sekolah, etos, atau kurikulum tersembunyi yang
berdasarkan kriteria kepedulian dan konsensus merupakan inti dari program
pendidikan karakter. Akhirnya pendidik perlu bersikap kritis agar bisa melakukan
penilaian berdasarkan standar atau kriteria yang ada. Sikap kritis ditujukan
terhadap apa yang dikatakan, dilakukan, dan bagaimana membuat model nilai-
nilai yang diajarkan.
30
BAB III
METODE PELAKSANAAN
3.1 Kerangka Pemecahan Masalah
Kerangka pemecahan masalah yang dicoba ditawarkan adalah pelaksanaan
focus group discussions (FGD) melibatkan para kepala sekolah dan para guru
untuk membahas pelaksanaan pendidikan karakter secara komprehensif.
Harapannya, para guru mampu menyiapkan, melaksanakan pembelajaran karakter
secara komprehensif. Kepada para orang tua atau wali siswa disampaikan format
observasi untuk mengamati sikap dan perilaku siswa selama di rumah. Selain itu,
kepada para orang tua atau wali siswa disampaikan daftar isian terkait pembinaan
karakter yang telah dilakukan kepada putra putrinya. Kepada msyarakat umum
disampaikan format observasi terhadap sikap dan perilaku siswa. Selain itu,
kepada msyarakat disampaikan pula daftar isian terkait saran untuk pelaksanaan
pendidikan karakter secara komprehensif. Kepada siswa diberikan buku saku
untuk merekam dan mengevaluasi sikap dan perilakunya setiap hari. Buku
tersebut akan dipantau setiap minggu oleh wali kelas bekerjasama dengan guru
Bimbingan Konseling (BK).
Penyelenggara pendidikan, khususnya pendidikan karakter, yakni kepala
sekolah dan guru sangat memerlukan bantuan dari para orang tua atau wali siswa
untuk memberikan hasil pantauannya terhadap sikap dan perilaku siswa di rumah.
Hasil pantauan tersebut dapat dijadikan pertimbangan untuk merevisi proses
pembelajaran selanjutnya. Oleh karena itu, laporan pantauan orang tua atau wali
terhadap sikap dan perilaku putra-putrinya akan sangat membantu pekerjaan guru.
31
Selain itu, informasi terkait model pembinaan karakter anak yang dilakukan dapat
menjadi informasi bagi guru sebagai model pembinaan pendidikan karakter
alternatif. Di sisi lain, masyarakat sekitar dapat membantu memberikan penilaian
terhadap sikap dan perilaku anak yang dipantau untuk membantu guru mengambil
keputusan terkait pembinaan pendidikan karakter yang dilakukan. Masukan dari
masyarakat sekitar terkait model pendidikan karakter dapat dijadikan acuan untuk
memilih model pendidikan karakter oleh guru. Pada diri siswa akan tumbuh
kebiasaan untuk menilai diri sendiri sebagai bahan untuk melakukan introspeksi
diri ke arah karakter yang lebih baik. Dengan demikian akan terbentuk sinergi
yang amat baik antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar untuk
pelaksanaan pendidikan karakter, agar terjadi peningkatan kualitas pendidikan
karakter, yang akan bermuara pada peningkatan kualitas pendidikan.
3.2 Metode Kegiatan
Kegiatan pengabdian akan dilakukan dengan mekanisme sebagai berikut.
1) Para kepala sekolah dan para guru yang menjadi subyek pengabdian diajak
melakukan FGD bersama penyelenggara di Sekolah Laboratorium
UNDIKSHA untuk mengkaji pelaksanaan pendidikan karakter secara
komprehensif.
2) Para kepala sekolah dan para guru melaksanakan pendidikan karakter
secara komprehensif terpadu dengan tugas keseharian masing-masing.
3) Para kepala sekolah dan para guru melaksanakan asesmen pendidikan
karakter menggunakan instrumen yang sudah dikembangkan.
32
4) Menyampaikan instrumen asesmen pendidikan karakter kepada para orang
tua atau wali siswa untuk diisi sesuai dengan pengamatan mereka terhadap
sikap dan perilaku putra-putrinya.
5) Menyampaikan buku catatan kepada para orang tua atau wali siswa untuk
diisi model pembinaan sikap dan perilaku yang dilakukan terhadap putra-
putrinya.
6) Menyampaikan instrumen asesmen pendidikan karakter kepada sampel
masyarakat sekitar untuk diisi sesuai dengan pengamatan mereka terhadap
sikap dan perilaku siswa yang diamati.
7) Menyampaikan buku catatan kepada sampel masyarakat sekitar untuk diisi
model pembinaan sikap dan perilaku yang disarankan.
8) Menyampaikan buku kecil kepada siswa untuk diisi rekaman sikap dan
perilakunya setiap hari serta hasil evaluasi diri terhadap sikap dan perilaku
mereka yang direkam sendiri.
3.3 Metode Evaluasi
Evaluasi dilakukan dengan mengamati proses pendidikan karakter
komprehensif yang terjadi di sekolah. Proses dimaksud mencakup proses kerja
sama antara pihak sekolah, keluarga, dan masyarakat sekitar, serta antusiasme dari
ketiga pihak tersebut. Selain itu, evaluasi juga dilakukan terhadap iklim sekolah
berkaitan dengan pendidikan karakter. Evaluasi dilakukan oleh panitia dengan
melibatkan pakar yang independen. Selain itu, penilain juga dilakukan oleh siswa
sendiri, kepala sekolah, guru, orang tua atau wali, serta sampel masyarakat sekitar.
Indikator pencapaian yang ditetapkan adalah, bahwa pengabdian dinyatakan
33
berhasil apabila: 1) masing-masing pihak sudah bekerja untuk pendidikan karakter
sesuai panduan yang disepakati, 2) semua pihak, yakni pihak sekolah, keluarga,
maupun masyarakat sekitar memberi penilain bahwa pendidikan karakter
komprehensif bermanfaat, 3) terbentuk iklim sekolah yang kondusif terkait
pendidikan karakter menurut penilaian pakar yang independen, 4) siswa
berpendapat bahwa program yang dilaksanakan menyenangkan dan tidak
membebani, 5) terjadi pengurangan frekuensi pelanggaran tata-tertib di
lingkungan sekolah.
34
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil
FGD dengan para guru untuk persiapan melaksanakan pendidikan
karakter terpadu yang yang berlangsung selama dua kali mampu menghasilkan
pemahaman dan kesamaan pandangan tentang pendidikan karakter terpadu. Para
peserta sudah lebih menyadari bahwa pendidikan karakter tidak hanya
diintegrasikan pada pembelajaran semua mata pelajaran di kelas, melainkan juga
dilaksanakan dalam semua kegiatan sekolah. Upacara bendera, bermain di
halaman saat istirahat, perlombaan, pembersihan, kegiatan ulang tahun sekolah,
dan seterusnya, semua bisa disisipi dengan pendidikan karakter. Apalagi kegiatan-
kegiatan seperti olah raga, pramuka, persembahyangan bersama sangat membuka
peluang pendidikan karakter secara terpadu.
Para guru juga sudah sangat menyadari bahwa mereka tidak mungkin
bertanggungjawab sendiri untuk pendidikan karakter. Pegawai administasi, staf
perpustakaan, petugas kebersihan, satuan pengamanan sekolah, petugas
kebersihan, petugas konsumsi, dan penjaga kantin amat berperan dalam
pendidikan karakter. Hasil diskusi dengan pegawai administasi, staf perpustakaan,
petugas kebersihan, satuan pengamanan sekolah, petugas kebersihan, petugas
konsumsi, dan penjaga kantin memberi pemahaman bahwa betapa besar peran
mereka dalam pendidikan karakter. Layanan yang cepat, tertib, dan adil dari staf
administrasi, staf perpustakaan, dan petugas konsumsi memberi pengalaman yang
berarti kepada siswa untuk berlaku tertib, adil, dan bertanggungjawab. Layanan
35
kebersihan yang memadai dari petugas kebersihan dan layanan keamanan dan
ketertiban yang memadai dari satuan pengamanan memberikan rasa nyaman
kepada siswa, dan sekaligus memberi pengalaman dan keteladanan kepada
mereka untuk terbiasa hidup bersih, aman, dan tertib, sehingga tumbuh rasa
tanggung jawab untuk ikut menjaga kebersihan, keamanan, dan ketertiban.
Peran orang tua dalam pendidikan karakter juga disadari amat tinggi. Di
rumah, orang tua berperan penuh untuk pendidikan karakter. Pembinaan orang tua
kepada anak sangat menentuan keberhasilan pendidikan karakter. Selain itu,
semua sikap dan perilaku di rumah menjadi teladan yang penting bagi anak.
Selanjutnya, sikap tertib berlalu lintas saat mengantar anak ke sekolah atau
menjemput anak dari sekolah merupakan teladan yang amat penting bagi anak.
Komunikasi yang efektif antara orang tua dan pihak sekolah sangat berperan
menentukan keberhasilan pendidikan karakter.
Semua pihak yang terlibat dalam pendidikan karakter dan terlibat dalam
FGD mencoba mengimplementasikan pendidikan karakter secara terpadu.
Implementasi dari hasil FGD diobservasi secara berkala. Observasi dilakukan
terhadap sikap dan perilaku siswa. Hasil observasi tahap pertama belum
menunjukkan adanya perubahan sikap dan perilaku siswa akibat pendidikan
karakter terpadu yang dibahas dalam FGD sebelumnya. Oleh karena itu,
dilakukan FGD lagi untuk membahas hasil observasi pertama. Dalam FGD, baik
guru, pegawai administasi, staf perpustakaan, petugas kebersihan, satuan
pengamanan sekolah, petugas kebersihan, petugas konsumsi, dan penjaga kantin
menyatakan sudah terjadi perubahan sikap dan perilaku pada siswa, namun belum
seberapa dan itu terjadi baru pada anak-anak tertentu. Pada FGD saat itu
36
disepakati untuk memberikan lembar panduan pelaksanaan pendidikan karakter
terpadu kepada siswa, agar mereka ahu apa yang terjadi.
Observasi kedua juga belum menunjukkan adanya perubahan sikap dan
perilaku yang optimal seperti yang diharapkan. Walaupun demikian siswa sudah
menunjukkan animo untuk terlibat dalam semua kegiatan yang dapat disisipi
pendidikan karakter. Tanggung jawab sudah berkembang dalam pengerjaan tugas
dan keikutsertaan dalam kegiatan. Pada FGD membahas temuan observasi kedua
ini terungkap bahwa dunia bermain anak masih sangat dominan mempengaruhi
karakter anak. Dunia bermain menjadi media komunikasi yang sangat efektif bagi
anak-anak. Anak-anak mengutamakan kegiatan bermain daripada yang lain. Oleh
karena itu disepakati untuk memberikan ruang bermain yang lebih longgar kepada
anak. Semua pihak mengatur kegiatan masing-masing untuk dapat memberi
peluang yang lebih banyak kepada anak untuk bermain. Pengawasan dilakukan
oleh semua pihak agar dalam permainan anak-anak tetap menedepankan
keselamatan, kebersihan, dan etika. Pagi hari orang tua rela mengantar anak lebih
pagi agar ada keempatan anak berkomunikasi dengan teman-temannya, antara lain
melalui permainan. Siang hari saat pulang sekolah, orang tua rela meluangkan
waktu lebih banyak untuk menunggu anak karena mereka sedang asik bermain.
Komunikasi dalam permainan sangat banyak menumbuhkan rasa
kebersamaan, tanggung jawab, dan tenggang rasa. Memang sesekaliwaktu terjadi
pelanggaran, namun saat itu juga anak yang melakukan pelanggaran merangkul
temannya yang dilanggar sebagai tanda meminta maaf. Keterlibatan guru sangat
jarang dalam mengatasi masalah antar-anak yang timbul dalam permainan.
Mereka sendiri sudah mampu mencari penyelesaian masalah mereka selama
37
permainan. Petugas kebersiahan dan petugas keamanan sesekali waktu
mengingatkan anak yang menganggu kebersihan atau ketertiban dalam bermain.
Hal ini menunjukkan peran semua pihak dalam pendidikan karakter sudah
semakin meningkat.
Pada akhir FGD muncul ide untuk mengembangkan media komunikasi
online yang dapat diakses guru, siswa, kepala sekolah, pegawai, dan orang tua
siswa. Penyediaan media yang dapat membantu pihak sekolah menyelenggarakan
pembelajaran dan sekaligus memantau kegiatan siswa sehari penuh juga dapat
membantu penyelenggaraan pendidikan karakter secara terpadu. Media yang
dapat berfungsi seperti di atas adalah situs web dinamik yang dilengkapi fasilitas
untuk menyelenggarakan komunikasi interaktif secara on-line. Infrastruktur
teknologi informasi dan komunikasi (jaringan internet) sangat mendukung
pengembangan media tersebut. Mayoritas sekolah sudah memiliki situs web
(website). Apabila situs web dilengkapi media komunikasi antara guru, pegawai,
siswa, kepala sekolah, dan orang tua, maka pemantauan siswa dapat
diselenggarakan lebih efektif dan efisien.
4.2 Pembahasan
Pendidikan karakter tidak diselenggarakan sendiri, melainkan terintegrasi
dengan semua mata pelajaran. Selain itu, pendidikan karakter harus dilakukan
secara terpadu olehh guru, pegawai administasi, staf perpustakaan, petugas
kebersihan, satuan pengamanan sekolah, petugas kebersihan, petugas
konsumsi, dan penjaga kantin. Sekalipun demikian, masih banyak kendala yang
muncul dalam pendidikan karakter. Kendala dimaksud antara lain berupa
38
keterbatasan waktu, keterbatasan kemampuan mengamati siswa yang cukup
banyak, dan keterbatasan instrumen untuk merekam kemajuan belajar. Kendala
tersebut perlu difasilitasi dengan segera agar kemajuan belajar siswa secara
terpadu untuk materi pembelajaran dan pendidikan karakter dapat direkam dengan
baik dan dapat diberi umpan balik yang relevan. Solusi lain yang lebih berpeluang
untuk diimplementasikan adalah pelibatan orang tua dan masyarakat lainnya
dalam pendidikan karekter secara terpadu. Anak berada di sekolah hanya sekitar
enam jam. Waktu 18 jam dalam sehari dilalui anak dalam keluarga atau di
masyarakat. Oleh karena itu pelibatan orang tua dan masyarakat dalam pendidikan
karakter secara terpadu dan eksplisit sangat membantu.
Penyediaan media yang dapat membantu pihak sekolah menyelenggarakan
pembelajaran dan sekaligus memantau kegiatan siswa sehari penuh juga dapat
membantu penyelenggaraan pendidikan karakter secara terpadu. Media yang
dapat berfungsi seperti di atas adalah portal web pembelajaran yang dilengkapi
fasilitas untuk menyelenggarakan komunikasi interaktif secara on-line.
Infrastruktur teknologi informasi dan komunikasi (jaringan internet) sangat
mendukung pengembangan media tersebut. Mayoritas sekolah sudah memiliki
situs web (website) dan bahkan beberapa sekolah sudah menyelenggarakan e-
pembelajaran (e-learning). Bila situs web sekolah dilengkapi fasilitas asesmen
online, maka guru dapat menyelenggarakan asesmen formatif secara online dan
sekaligus dapat menyiapkan umpan balik secara online pula. Media asesmen
online membuka peluang kepada guru untuk menyelengarakan asesmen teman
sebaya (peer assessment), selain asesmen dari guru. Selain itu, media tersebut
juga dapat dimanfaatkan untuk melatih siswa untuk menyelenggarakan pengajuan
39
masalah (problem posing) secara online. Mengingat asesmen formatif diberikan
secar online, guru dapat menyertakan asesmen pendidikan karakter secara terpadu
dalam wujud portofolio.
Dalam hal pemberian umpan balik, media asesmen online membantu guru
menyajikan umpan balik kepada siswa, baik perorangan maupun secara
berkelompok. Bahkan terbuka peluang juga pembelajaran diselenggarakan guru
dengan umpan balik dari teman sebaya atau teman sejawat (peer feedback). Oleh
karena itu, umpan balik diberikan secara terpadu antara mata pelajaran dan
pendidikan karakter bisa diselenggarakan. Umpan balik dapat disajikan dalam
bentuk teks online atau teks dokumen sebagai lampiran. Bahkan umpan balik
dapat disertai gambar, diagram, atau animasi.
Beberapa karakteristik media online seperti bebas konteks, relatif bebas
konvensi sosial, serta dapat menjamin kerahasiaan individu dapat menjadi
kelebihan dari media asesmen online yang akan dikembangkan. Kondisi bebas
konteks dan relatif bebas konvensi sosial membuat siswa dapat bekerja secara
lugas dan dapat menyampaikan kinerja sesuai kemampuan yang dimiliki. Selain
itu, siswa juga dapat memberikan respon secara lugas tanpa ada perasaan takut
atau tertekan. Apalagi dengan kerahasiaan individu terjamin, siswa akan lebih
berani menyampaikan kinerjanya tanpa takut kesalahannya diketahui teman.
Kondisi ini sangat menguntungkan dalam hal mengurangi kecemasan siswa.
Media asesmen online juga dapat dikemas sebagai media pengajuan
masalah (problem posing) oleh siswa dan bahkan bisa dirancang sebagai media
asesmen oleh teman sebaya. Kondisi ini sudah tentu sangat menguntungkan
dalam hal menumbuhkan motivasi belajar, kuriositas, kreativitas,
40
ketahanmalangan, serta keberanian menyampaikan pendapat. Dalam pemberian
umpan balik, media asesmen online juga dapat diatur sehingga dapat terjadi
umpan balik oleh teman sebaya. Selain meningkatkan motivasi belajar,
kuriositas, kreativitas, serta keberanian mengajukan pendapat, umpan balik oleh
teman sebaya juga dapat meningkatkan kemampuan siswa untuk melakukan
evaluasi diri.
41
BAB V
PENUTUP
5.1 Simpulan
Pendidikan karakter terpadu yang melibatkan semua staf sekolah,
keluarga, dan masyarakat sudah dicoba diimplementasikan di Sekolah dasar
Laboratorium Universitas Pendidikan ganesha Singaraja. Kepala sekolah, semua
guru, staf pegawai administrasi, staf perpustakaan, petugas konsumsi, satuan
pengamanan, petugas kebersihan, orang tua siswa, dan anggota masyarakat
terbatas semua terlibat dalam pendidikan karakter. Guru mengintegrasikan
pembelajaran mata pelajaran dengan pendidikan karakter. Kepala sekolah
melaksanakan kepemimpinan dengan mengedepankan keteladanan selain
pembinaan dan pengarahan untuk mendukung pendidikan karakter. Petugas
kebersihan memberi layanan kebersihan yang optimal demi kenyamanan anak
belajar, dan sekaligus memberi keteladanan di bidang kebersihan. Petugas
keamanan memberi layanan keamanan yang optimal demi kenyamanan anak
belajar, dan sekaligus memberi keteladanan di bidang ketertiban. Petugas
perpustakaan dan petugas konsumsi memberi layanan dengan cepat, ramah, dan
adil untuk memberi pengalaman yang bermakna pada anak. Orang tua siswa
membinan anak di rumah dan memberi contoh bersikap dan berperilaku di luar
rumah agar menjadi teladan bagi anak.
Bila kondisi di atas dilengkapi dengan model komunikasi online, maka
pendidika karakter terpadu dapat lebih optimal. Beberapa karakteristik media
online seperti bebas waktu, bebas hambatan geografis, bebas konteks, relatif
bebas konvensi sosial, serta dapat menjamin kerahasiaan individu dapat
menjembatani keberagaman lingkungan keluarga anak. Kondisi bebas waktu dan
bebas hambatan geografis dapat menjembatani keberagaman profesi orang tua dan
42
jarak geografis sekolah dan rumah tinggal anak. Kondisi bebas konteks dan relatif
bebas konvensi sosial membuat siswa dapat bekerja secara lugas dan dapat
menyampaikan kinerja sesuai kemampuan yang dimiliki. Selain itu, siswa juga
dapat memberikan respon secara lugas tanpa ada perasaan takut atau tertekan.
Apalagi dengan kerahasiaan individu terjamin, siswa akan lebih berani
menyampaikan kinerjanya tanpa takut kesalahannya diketahui teman. Kondisi ini
sangat menguntungkan dalam hal mengurangi kecemasan siswa.
5.2 Saran
Pendidikan karakter terpadu yang diimplementasikan masih memiliki
beberapa keterbatasan. Pertama, kesamaan persepsi antara semua pihak yang
terlibat dalam pendidikan karakter terpadu belum optimal. Kondisi keluarga siswa
juga amat beragam, baik dari segi profesi orang tua, lingkungan keluarga, dan
letak geografis rumah dari sekolah. Oleh karena itu disarankan kepada pihak
berminat untuk mampu mengimplementasikan media komunikasi online agar
pihak-piak yang terlibat dalam pendidikan karakter terpadu dapat komunikasi
secara online. Beberapa karakteristik media online seperti bebas waktu dan bebas
hambatan geografis dapat menjembatani keberagaman profesi orang tua dan jarak
geografis sekolah dan rumah tinggal anak. Kondisi bebas konteks dan relatif
bebas konvensi sosial membuat siswa dapat bekerja secara lugas dan dapat
menyampaikan kinerja sesuai kemampuan yang dimiliki. Hasil akhir yang
diharapkan bersama adalah siswa yang memiliki karakter sesuai dengan Dasar
Negara Pancasila yang dapat membawa bangsa ini sejajar dengan bangsa-bangsa
lain di dunia.
43
DAFTAR PUSTAKA
Benninga, dkk., ”The Relationship of Character Education and Academic
Achevement in Elementary School”, Journal of Research in Character
Education, 1(1), 2003, pp. 19–32.
Depdiknas, 2002, Penilaian Tingkat Kelas, Jakarta: Departemen Pendidikan
Nasional.
Depdiknas, 2009, Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa 2010-
2025, Pendikar.go.id.
Depdiknas, 2010, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional 2010-
2014, Jakarta: Depdiknas.go.id
DeRoche, Edward F. & Mary M. Williams, 1999, Educating Heart and Minds: A
Comprehensive Character Education Framework, Kogan Page Limited,
London.
Kemdiknas, 2010, Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa,
jakarta: Kemdiknas.
Kemdiknas, 2011, Panduan Pelaksanaan Pendidikan Karakter, Jakarta:
Kemdiknas.
Kemendikbud, “Pendidikan Karakter Melekat pada Semua Mata Pelajaran”, Situs
Web Kemendikbud (diakses 28 Maret 2013).
Lickona, Thomas, 2001, The Teacher’s Role in Character Education, Boston
University, Boston.
Muller, Daniel J., 1985, Measuring Social Attitude, Teacher College Press, New
York.
Suaramerdeka.com, 02 Mei 2011, Mendiknas: Pendidikan Karakter Segera
Diterapkan.
Wyatt III, R.L. & S. Looper, 1999, So You Have To Have a Portfolio: a Teacher’s
Guide to Preparation and Presentation, California: Corwin Press Inc.
44
LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. Buku Panduan Pendidikan Karakter Terpadu
MEMBANGUN KERJASAMA YANG EFEKTIF ANTARA KELUARGA
(RUMAH TANGGA), SEKOLAH, DAN MASYARAKAT
Masyarakat umum menganggap bahwa sekolah harus mengajarkan
pendidikan moral kepada anak untuk menangkal pengaruh negatif yang timbul
dari pergaulan atau media masa, seperti televisi, internet, film, dan media masa
lainnya. Paradigma baru dalam pendidikan moral yang dikembangkan adalah
melibatkan orang tua dalam pembinaan moral anak. Bagaimanapun orang tua
adalah guru dan pembina moral yang pertama bagi anak. Mengingat kemampuan,
perhatian, dan kesempatan orang tua dalam urusan ini amat beragam maka kerja
sama yang baik antara guru, orang tua, dan masyarakat dalam satu organisasi
akan mampu meningkatkan mutu pendidikan moral.
Guru akan memainkan peran yang sangat besar dalam organisasi yang
melibatkan sekolah, rumah tangga, dan masyarakat untuk pendidikan karakter.
Beberapa peran yang bisa dimainkan guru dalam organisasi dimaksud antara lain
adalah sebagai berikut.
1. Guru harus mendidik siswa sebagai orang tua di masa mendatang.
2. Guru harus membantu orang tua dalam mendidik anaknya, bekerja sama
dengan orang tua anak lainnya, dan mencari sumber daya di masyarakat.
3. Guru harus mampu menghimpun orang tua, staf sekolah, dan masyarakat
dalam penyediaan layanan bersama.
45
4. Guru bersama-sama dengan orang tua dan masyarakat harus mampu
memotivasi anak untuk meningkatkan prestasi akademik dan mengem-
bangkan kepribadian dan nilai moral.
Faktor ekonomi yang tidak menentu, emosi yang tidak menentu, budaya
kesukuan, dan pola pikir individual yang merajalela secara kumulatif telah
menyebabkan kerusakan keluarga dan tetangga di Amerika. Tingginya tingkat
perceraian dan perkawinan kembali memaksa anak untuk menyesuaikan diri
dengan hubungan yang kompleks. Keluarga dengan kedua orang tua bekerja
menyebabkan kurangnya interaksi antara anak dan orang tua. Anak-anak lebih
banyak menghabiskan waktunya di luar rumah. Beberapa diantaranya memiliki
fasilitas bermain di rumah dan ada pula anak pingitan dengan pengawasan yang
kurang ketat. Beberapa anak terlibat dalam kelompok besar atau kecil untuk
mencari bimbingan, nasihat, dan dukungan. Sehubungan dengan hal itu maka
diperlukan penataan kembali budaya nilai demokrasi untuk membantu orang tua
dan para pengasuh dalam pengembangan intelektual dan moral anak.
Keluarga dari berbagai tingkatan sosial ekonomi, budaya, dan ras,
termasuk keluarga modern semuanya memerlukan dukungan dan bantuan dari
masyarakat dan sekolah. Menurut Gardner (1992) masyarakat yang diperlukan
adalah masyarakat yang bisa menjadi generator dari sistem nilai. Masyarakat
tersebut harus mampu mempertahankan dukungan, kepercayaan, kerjasama,
tanggung jawab dan integritas diantara anggotanya. Sehingga pekerjaan yang
diurusi adalah menghimpun warga dari berbagai usia dalam masyarakat,
mengadakan perubahan untuk membangun kembali konsep masyarakat,
menciptakan mekanisme kerja agar masyarakat bisa memutuskan nilai tertentu
46
dan menciptakan budaya masyarakat peduli. Terkait dengan rumah tangga,
sekolah, dan masyarakat, Henderson (1994) menemukan beberapa hal:
1. bila orang tua bisa memainkan peranan dalam proses belajar anaknya maka
prestasi anaknya lebih baik;
2. bila terjadi hubungan yang komprehensif antara keluarga dan sekolah, disertai
perencanaan yang baik dan pembedaan peran orang tua maka prestasi anak
akan lebih baik lagi;
3. prestasi terbaik diperoleh bila organisasi komunitas dan sekolah bisa bekerja
sama dengan baik.
Melihat kenyataan itu maka program sekolah harus didesain untuk bisa
memenuhi keperluan berikut.
1. meningkatkan ketrampilan menjadi orang tua
2. menciptakan kondisi yang bisa mendukung kegiatan belajar di rumah
3. membantu orang tua dalam membimbing anaknya belajar di rumah
4. mengkoordinasikan masyarakat dan layanan kepada anak dan keluarga
5. melatih orang tua agar mampu terlibat dalam pengajaran dan pelayanan yang
ditawarkan di sekolah
6. berkomunikasi secara efektif dan reguler dengan orang tua tentang program
sekolah dan kemajuan anaknya
7. membantu orang tua dalam mengembangkan ketrampilan kepemimpinan dan
pembuatan keputusan, sehingga mereka bisa berpartisipasi dalam memerintah,
memberi nasehat, dan membimbing.
47
Bentuk Kerjasama
Ada beberapa pola kerjasama antara sekolah, orang tua, dan masyarakat
yang bisa dipilih untuk menciptakan, mengimplementasikan, memelihara, dan
menilai program pendidikan karakter. Bentuk organisasi yang sering menjadi
dilema adalah apakah organisasi akan dibentuk dalam tingkat daerah (distrik) atau
organisasi berdasarkan komunitas di mana sekolah itu berada. Sebenarnya pola
organisasi bukanlah masalah, sebenarnya keberadaan masing-masing pola itu
masih sangat bervariasi.
Sebagai contoh akan dibahas pola kerjasama berdasarkan komunitas di
mana sekolah itu berada. Pembahasan didasarkan pada artikel Joyce Epstein
(1995), yang mengusulkan agar setiap sekolah mengembangkan tim kerjasama.
Susunan tim yang diusulkan adalah sebagai berikut.
1. Keanggotaan tim terdiri dari tiga guru, para orang tua dari grade yang berbeda,
satu pegawai administrasi, satu anggota masyarakat, dua siswa masing-masing
dari sekolah menengah dan sekolah tinggi dari grade berbeda. Anggota harus
bertemu tiap 2-3 tahun.
2. Sub kelompok. Anggota tim aktif harus memilih ketua dan wakil ketua untuk
6 sub kelompok. Satu sub kelompok untuk tiap bentuk keterlibatan dalam
model Epstein.
Standar Kerjasama
Mengingat pentingnya pendidikan karakter maka berikut ini diusulkan
beberapa pedoman dasar.
48
1. Usaha pendidikan karakter harus tidak jauh dari orang tua. Kerjasama yang
baik dengan orang tua akan membawa keberhasilan pendidikan karakter.
2. Mengingat pentingnya keterlibatan orang tua dalam pendidikan karakter dan
pendidikan akademis maka orang tua, pembimbing, dan pengasuh harus
berpartisipasi aktif dalam perencanaan dan evaluasi program pendidikan
karakter, khususnya di sekolah anak bersangkutan.
3. Komunitas program pendidikan karakter akan menyediakan orang tua dan
rumah dengan fasilitas lengkap untuk membantu siswa memenuhi keperluan
fisik, sosial, dan emosi.
4. Semua personil sekolah memerlukan ketrampilan dan strategi untuk
mempersiapkan orang tua dalam membantu anaknya dalam belajar, dan
membantu orang tua menangani masalah yang dialami anaknya.
5. Hasil penelitian menunjukkan bahwa keterlibatan orang tua berkurang sejalan
dengan bertambahnya tingkat. Mengingat hal itu maka personalia sekolah di
sekolah menengah dan sekolah tinggi harus membuat usaha khusus untuk
menjaga minat yang berkaitan dengan orang tua dan keterlibatan dengan
sekolah dalam membantu mempertahankan pendidikan karakter.
6. Lembaga swadaya masyarakat dan para pengusaha merupakan komponen
yang penting dalam membantu orang tua agar terlibat dalam pengembangan
kognitif dan moral anaknya.
7. Personalia sekolah memerlukan pengetahuan dan kesadaran yang banyak
tentang struktur keluarga siswa, khususnya bagi siswa dari keluarga yang
tidak utuh dan susunan keluarga alternatif.
49
8. Personalia sekolah harus perduli terhadap keterlibatan orang tua. Mereka
harus sering berkomunikasi dengan orang tua, menilai kerjasama dan
meningkatkannya, memiliki rencana kerja, dan mengubah faktor yang dapat
merusak kerjasama.
Tujuan organisasi adalah membangun kerjasama pendidikan yang efektif
dan efisien antara sekolah dan orang tua. Keanggotaan organisasi bervariasi
menurut ukuran sekolah dan masyarakat pendukung yang akan terlibat. Organisasi
memberikan dukungan finansial dan fasilitas lainnya. Merencanakan aktivitas
organisasi. Melaksanakan kegiatan organisasi berdasarkan pedoman.
Prinsip Dasar Kerjasama
Ada beberapa prinsip dasar untuk kerjasama organisasi guru, staf sekolah,
orang tua, dan masyarakat. Konsep tersebut antara lain:
1) staf sekolah harus menerima anggota masyarakat untuk terlibat dalam
program pendidikan;
2) perhatian penting harus diberikan kepada hambatan komunikasi dalam
organisasi, yang disebabkan oleh faktor bahasa;
3) Komunikasi antar anggota organisasi harus kontinyu dan bermakna;
4) disiplin organisasi harus diutamakan;
5) organisasi harus memperhatikan pelatihan emosi dan empati untuk anak dan
orang tua anak;
6) memelihara perhatian keluarga;
7) anak harus dikelompokkan untuk tujuan pembinaan ketrampilan, remidi, atau
kelompok belajar; dan
50
8) staf sekolah harus mampu memanfaatkan semua sumber yang ada di
masyarakat.
Tugas Pendidik Karakter
Pendidika karakter bukan hanya guru, melainkan juga staf sekolah yang
lain, orang tua siswa, dan anggota masyarakat lainnya. Tugas inti dari guru
sebagai pendidik karakter antara lain adalah sebagai berikut.
1) menciptakan cara baru untuk mewujudkan kerjasama yang efektif dengan
orang tua dan masyarakat
2) menjadi pendamping, penasehat dan pendukung usaha orang tua untuk
memajukan anaknya
3) menjadi pelopor dan pembangkit pendidikan berbasis nilai
4) menguji efektifitas dan kreativitas usaha kerjasama
5) menemukan pelaksana terbaik dan penelitian terbaru dalam hal pendidikan
moral
6) menguji kebijaksanaan, prosedur, dan praktek yang diangkat dari kerjasama
berkelanjutan antara keluarga, sekolah, dan masyarakat.
7) mempersiapkan orang tua dan masyarakat untuk memainkan perann dan
tanggungjawabnya dalam program kerjasama pendidikan moral.
Peran pemimpin program pendidikan karakter adalah memadukan
program kerja, sehingga rasa tanggung jawab orang tua dan masyarakat terhadap
kehidupan sekolah semakin meningkat.
51
MENILAI PROGRAM PENDIDIKAN KARAKTER
Sekolah merupakan tempat untuk validasi nilai, tempat kerja sama antara
staf sekolah dengan anak dan dengan orang tua anak, tempat untuk mengetahui
apakah pendidikan karakter berjalan dengan sukses atau tidak. Oleh karena itu
usaha untuk mempertahankan pendidikan karakter ada pada sekolah. Seperti
sudah dibicarakan pada bab sebelumnya evaluasi pendidikan karakter sebaiknya
dilakukan oleh panitia penilaian pendidikan karakter. Panitia tersebut
beranggotakan guru, pegawai administrasi, staf sekolah yang lain, orang tua,
wakil masyarakat, siswa, dan ahli evaluasi dari suatu perguruan tinggi. Tugas
panitia evaluasi adalah sebagai berikut.
1) menentukan apa yang harus dievaluasi;
2) menentukan kapan, dimana, dan oleh siapa evaluasi dilaksanakan;
3) membuat jadwal pelaksanaan evaluasi.
Petunjuk yang harus diikuti oleh panitia evaluasi dalam melaksanakan
tugasnya antara lain:
1) evaluasi harus mencakup implentasi program sehingga masalah-masalah yang
muncul dapat dikoreksi segera;
2) staf sekolah harus mereview penelitian pendidikan karakter;
3) penilaian dilakukan dengan berbagai metode, termasuk jurnal, anekdot,
laporan-individu, survey, tes, kuesioner, wawancara, dan sebagainya;
4) pembuatan disain dan langkah-langkah implementasi evaluasi pendidikan
karakter harus melibatkan siswa, orang tua, dan staf sekolah;
5) sebaiknya diadakan kerjasama penilaian dengan perguruan tinggi atau
lembaga terkait lainnya.
52
Kegiatan lain yang tidak kalah pentingnya adalah menyiapkan anggota
panitia agar mampu mengerjakan tugasnya masing-masing. Bila proses evaluasi
sudah dilaksanakan maka kegiatan pokok berikutnya adalah mengambil keputusan
tentang nilai yang diperoleh siswa, dan kemudian memutuskan cara untuk
menyebarkan hasil tersebut kepada peserta. Berdasarkan jadwal, panitia kemudian
menentukan langkah-langkah yang harus diambil berikutnya.
Langkah Sukses Evaluasi
Perencana pendidikan karakter juga harus mengorganisasikan dan
merencanakan porsi evaluasi program. Pemegang keputusan, khususnya pendidik
harus tahu literatur pendidikan karakter. Mereka harus membaca buku teks,
artikel, laporan penelitian, atau tulisan populer lainnya untuk mengetahui lebih
jauh tentang pendidikan karakter. Pengetahuan ini akan mendukung kemampuan
menjawab pertanyaan, menangkap isu, dan terlibat dalam diskusi atau debat.
Anggota panitia juga harus sering melempar pertanyaan yang akan membantu
memberikan bimbingan operasional. Pertanyaan tersebut antara lain: apa yang
harus dievaluasi?, kapan evaluasi dilakukan?, bagaimana evaluasi dilakukan?, apa
yang harus dipersiapkan panitia agar dapat melaksanakan tugas dengan baik?
Setiap orang harus terlibat dalam penilaian, dari siswa sampai anggota
masyarakat senior, dari guru sampai penjaga sekolah, dan dari orang tua
sampai politisi. Hal ini mengingat mereka itu semua akan bertanggungjawab
terhadap kesepakatan nilai dan berbagai program. Selain itu keterlibatan dalam
proses pendidikan amat berguna karena sangat mendidik. Semua akan tahu,
53
apakah program berjalan?, bagaimana program dijalankan?, kemana program
akan diarahkan?, apa yang harus dilakukan selanjutnya?, dan sebagainya.
Penilaian berarti mengerjakan penelitian tindakan. Pendidik lokal dan
masyarakat bekerjasama melaksanakan penelitian, mencoba alat evaluasi, belajar
mengajukan pertanyaan yang baik dan mempersiapkan jawaban yang tepat.
Mereka harus mencoba cara untuk mempertahankan nilai, menggunakan metode
penilaian yang tepat, menciptakan strategi penelitian yang tepat, dan mendesain
laporan dengan kreativitas sendiri. Proses evaluasi harus melibatkan ahli evaluasi
baik dari masyarakat umum, pengusaha, atau dari perguruan tinggi. Ahli ini sudah
harus dilibatkan sejak dari perencanaan program.
Pemegang keputusan memerlukan waktu untuk untuk memutuskan apakah
akan mempertahankan atau mengubah program pendidikan karakter yang sudah
diimplementasikan. Untuk urusan ini disarankan periode empat tahunan. Panitia
harus menyediakan skhema yang handal, sosok masyarakat setempat, apa yang
sudah dikerjakan, apa yang sedang dikerjakan, dan apa yang akan dicapai paling
tidak setiap empat tahun.
Panitia harus melaporkan informasi secara reguler, tentang apa yang
sedang dikerjakan, kenapa itu dikerjakan, seberapa efektifitas program, dan apa
manfaat program terhadap sekolah atau masyarakat. Laporan tersebut sebagai alat
komunikasi, mendorong diskusi, mendukung usaha kerja sama, menangkal isu,
dan memperbaiki persepsi yang salah.
Metode penilaian yang banyak disarankan adalah metode campuran.
Keterlibatan para ahli dalam pemilihan metode dan proses penilaian harus
dipertahankan. Beberapa teknik seperti perbandingan dan eksperimen dengan
54
perlakuan bisa digunakan. Metode lain yang mungkin digunakan adalah metode
kualitatif, yang menyediakan observasi lebih dalam dan deskripsi yang lebih kaya
tentang apa yang sedang terjadi di sekolah.
Teknik Evaluasi Pendidikan Karakter
1. Skala Efektifitas dalam Evaluasi Pendidikan Karakter
Lickona, Schaps, dan Lewis (1996) mempublikasikan sebelas prinsip
pendidikan karakter yang efektif. Lickona mendesain instrumen penilaian
formatif, yang dikenal dengan sebelas prinsip penilaian efektifitas pendidikan
karakter. Instrumen ini bisa dikembangkan untuk keperluan sendiri dan bisa juga
untuk peneliti lain. Tiap prinsip dianggap sebagai satu komponen, dan tiap
komponen terdiri dari beberapa subkomponen. Skor yang dihasilkan dari
penilaian ini ada tiga, yaitu skor untuk tiap subkomponen, skor untuk tiap prinsip,
dan skor keseluruhan. Rentangan skala untuk tiap subkomponen adalah sebagai
berikut.
Implementasi Rendah Implementasi Tinggi
1---------------- 2 ---------------- 3 ---------------- 4 -----------------5
TT (Tidak Tahu)
55
2. Persepsi Personalia Sekolah dalam Program Pendidikan Karakter
Pada akhir tahun pertama atau berikutnya, diperlukan observasi untuk
mengetahui bagaimana pandangan personalia sekolah terhadap program
pendidikan karakter. Panitia evaluasi dapat menyusun skala persepsi informal.
Responden melingkari satu jawaban untuk masing-masing butir. Jawaban dari
butir-butir tersebut antara lain berwujud tidak berpendapat, pasti, kadang-kadang,
atau tidak sama sekali. Beberapa butir yang disarankan untuk digunakan antara
lain adalah sebagai berikut.
1. Ada dasar pemikiran untuk program pendidikan karakter di sekolah.
2. Sebagian besar orang di sekolah ini mengetahui visi dan harapan program
pendidikan karakter.
3. Saya sudah dipersiapkan dengan baik untuk memulai program.
3. Inventori Permasalahan Sekolah
Apabila panitia ingin mengumpulkan data awal sebelum program
pendidikan moral diimplementasikan dan ingin dibandingkan dengan data yang
dikumpulkan di akhir program, maka bisa digunakan inventori. Inventori ini dapat
digunakan untuk mengetahui pada bagian mana program membuat perubahan
positif. Pada inventori bisa dibuat T menyatakan total siswa yang terlibat dan %
menyatakan prosentase siswa yang terlibat. Berikut ini disajikan beberapa butir
inventori.
56
Sebelum Implementasi Butir Setelah Implementasi
-------------- % A. Siswa yang membolos ---------------- %
-------------- % B. Siswa yang gagal ---------------- %
--------------- % C. Siswa yang tidak hadir --------------- %
-----------------------------------------------------------------------------
4. Efektifitas Organisasi dari Dewan Penasihat
Bila komisi pendidikan karakter di sekolah ingin mengetahui cara pandang
pengambil keputusan dalam memimpin pendidikan karakter, maka komisi
bisa memerintahkan panitia untuk membuat instrumen. Instrumen meminta
responden (personalia sekolah, orang tua, siswa, dan yang lain) untuk membuat
keputusan tentang tingkat efektifitas butir menurut skala dari 1 sampai 5, di mana
1 berarti sangat tinggi dan 5 berarti tidak sama sekali. Berikut ini dicantumkan
beberapa butir.
1 2 3 4 5 Dewan membantu personalia sekolah menginterpretasikan visi
dan harapan masyarakat untuk program pendidikan
karakter
1 2 3 4 5 Dewan membantu personalia sekolah mengembangkan teknik
mengimplemenasikan standar program pendidikan
1 2 3 4 5 Peran guru dan personalia sekolah lainnya didefinisikan dengan
jelas dan dimengerti
57
5. Penyimpangan Tingkah laku Siswa dan Kemungkinan Penyebabnya
Panitia evaluasi ingin mengetahui dari personalia sekolah atau dari
anggota panitia sendiri tentang frekuensi penyimpangan tingkah laku dan
kemungkinan penyebabnya. Informal inventori bisa digunakan untuk keperluan
ini. Inventori ini berusaha menemukan frekuensi penyimpangan tingkah laku
dengan meminta responden untuk menandai garis di bawah frekuensi (sering,
sedang, jarang) dan melingkari nomor penyebab penyimpangan tingkah laku
tersebut. Nomor penyebab dimaksud adalah sebagai berikut.
1 - Lingkungan rumah
2 - Sikap orang tua
3 - Kurang kontrol orang tua
4 - Pengaruh kelompok
5 - Akibat sekolah atau guru
6 - Siswa memilik masalah pribadi
7 - Siswa memiliki masalah belajar
8 - Semua penyebab
Berikut ini adalah beberapa butir inventori.
58
Frekuensi
-----------------------------------------------------------------------------
Sering Sedang Jarang Penyebab
1. Kebiasaan terlambat -------- --------- -------- 1 2 3 4 5 6 7 8
2. Sering absen -------- --------- -------- 1 2 3 4 5 6 7 8
3. Menyontek -------- --------- -------- 1 2 3 4 5 6 7 8
-----------------------------------------------------------------------------
6. Inventori Keterlibatan Masyarakat
Inventori keterlibatan mayarakat digunakan jika dewan pendidikan moral
ingin mendapatkan informasi tentang keterlibatan atau keinginan untuk terlibat
dari para pengusaha atau organisasi. Inventori itu bisa dikirimkan ke perusahaan,
media masa, kelompok orang tua siswa, organisasi kepemudaan, dan yang sejenis.
7. Portfolio Siswa
Portfolio siswa adalah kumpulan dari hasil kecerdasan dan refleksi
dokumen kerja siswa yang sudah ada. Guru dapat memanfaatkan penilaian
portfolio ini untuk pendidikan karakter. Setiap guru diminta mengelompokkan
siswa, dengan anggota kelompok dua orang. Setiap kelompok mengembangkan
portfolio dengan fokus pada salah satu nilai dalam program pendidikan karakter.
Sebagai contoh, salah satu kelompok mengambil nilai “kejujuran”, yang lain
membahas “rasa hormat”, dan yang lain lagi mengambil “disiplin diri”. Portfolio
antara lain memuat:
1. ringkasan tulisan tentang nilai;
59
2. jurnal rekaman observasi dan perasaan tentang nilai;
3. gambar, kartun, dan komik dilengkapi dengan deskripsi tentang bagaimana
pengarang mengilustrasikan nilai;
4. laporan buku yang menjelaskan bagaimana cerita melukiskan nilai;
5. koleksi puisi, cerita, atau dongeng tentang nilai;
6. kliping koran atau majalah yang berhubungan dengan nilai;
7. ulasan program televisi yang memperkenalkan suatu nilai;
8. ulasan tentang bagaimana nilai diperkenalkan oleh para politisi, pemimpin
perusahaan, atlit profesional, dan selebritis;
9. rekomendasi untuk membantu siswa lain belajar tentang nilai; dan
10. refleksi dari pendidikan karakter di sekolah
8. Menilai Pandangan Siswa
Setelah program pendidikan karakter berjalan satu tahun maka bisa
diadakan kuesioner terhadap siswa untuk mengetahui pandangannya terhadap
efektifitas dan pengaruh program pendidikan karakter terhadap diri dan
kelompoknya. Berikut disajikan contoh kuesioner dimaksud.
1. Sejak diberlakukan program pendidikan karakter di sekolah ini, apakah anda
merasakan perubahan positif? Jika ya, jelaskan perubahan itu. Jika tidak,
mengapa?
2. Berapa nilai yang anda berkan kepada teman anda tentang tatacaranya
mempraktekkan nilai yang dipelajari?
3. Bagaimana cara anda menunjukkan bahwa beberapa nilai berguna bagi anda?
60
9. Polling Terhadap Orang Tua
Ada beberapa cara yang dapat digunakan untuk menentukan pengetahuan
orang tua dan menilai pandangan, persepsi, dan keterlibatannya pada program
pendidikan karakter di sekolah. Sebagai contoh opini dari orang tua terhadap
program pendidikan karakter di sekolah dapat dinilai melalui bentuk inventori,
yang sering disebut opinioner. Opinioner juga dapat digunakan untuk guru, siswa,
dan personil guru lainnya. Opinioner harus disajikan dalam bahasa utama dari
orang tua. Berikut ini disajikan contoh opinioner untuk orang tua.
Menurut opini anda, bagaimanakah pengaruh positif dari program pendidikan
karakter pada putra/putri anda, sesuai butir-butir berikut.
-------------------------------------------------------------------------------
Besar Sedang Kecil Tidak ada
1. Perduli terhadap orang lain ------- -------- ------ ------------
2. Sikap terhadap sekolah ------- -------- ------ ------------
3. Sikap terhadap guru ------- -------- ------ -----------
---------------------------------------------------------------------------------
67
3) Daftar Peserta
NO. NAMA
1 Drs. I Made Arsana, M.Pd. Kepsek
2 Gede Yasa, S.Pd. Guru Penjas
3 Nyoman Sariani, S.Pd.SD. Guru Kelas
4 Luh Setiari, S.Pd. Guru Agama Hindu
5 Dra. Wayan Yasa Suyastini Guru Kelas
6 Luh Pateni, S.Pd. Guru Kelas
7 Ni Wayan Kurniasih, S.Pd. Guru Kelas
8 Nyoman Suryasmini Guru Kelas
9 Ketut Yayuk Anggreni, S.Pd.SD. Guru Kelas
10 Nyoman Sarinadi, S.Pd. Guru Kelas
11 Putu Nova Agustina, S.Pd. Guru Kelas
12 Drs. Putu Triyasa Guru Kelas
13 I Wayan Suparta, S.Pd. Guru Kelas
14 I Wayan Aryanta, S.Pd. Guru Kelas
15 Luh Susiani, S.Ag. (GTT) Guru Agama Budha
16 Putu Kencanawati (GTT) Guru Kelas
17 Putu Yogi Arshita Dewi, S.Pd. Guru Bahasa Inggris
18 I Putu Susila Darma, S.Pd., M.Pd. Guru Kelas
19 Trisnawati (GTT) Guru Agama Islam
20 Rupi'ah (GTT) Guru Agama Islam
21 Ida Ayu Komang Astuti, M.Pd. Guru Kelas
22 Ni Nyoman Kurnia Wati, M.Pd. Guru Kelas
23 Gusti Ayu Indrawati Rahayu, S.Pd.H. Guru Agama Hindu
24 Putu Rizka Zanela, S.Pd. Guru Kelas
25 Luh Supani Aryani Peg. TU
26 Luh Putu Mirna Suryani Peg. TU
27 Putu Wirnata Peg. Perpustakaan
28 Ketut Suarsa Peg. TU
29 Made Dyah Aryani Peg. TU
30 Nengah Rening Petugas Kebersihan
31 Made Kastamayasa Petugas Kebersihan
32 Komang Yuli Asrini Kafetaria